Anda di halaman 1dari 13

Pendapat Hukum Status Hak Atas Tanah Eks Konsesi Polonia (Sekarang di

bawah status kepemilikan Negara cq Angkatan Udara Republik Indonesia)

Oleh Dr. Edy Ikhsan MA

A. Pengantar

Pendapat Hukum ini dibuat atas permintaan Kesultanan Deli/Kedatukan Suka Piring
dan dikerjakan dengan pengetahuan saya sebagai akademisi Universitas Sumatera
Utara yang menekuni tanah-tanah konsesi di Sumatera Utara (di masa kolonial
dikenal dengan Wilayah Sumatera Timur (Oost Kust van Sumatera). Data-data yang
digunakan bersumber pada arsip Kolonial, Republik Indonesia dan bahan-bahan
sekunder lainnya.

B. Pola Kepemilikan Tanah sebelum masuknya Kapital Asing di Sumatera


Timur

Bahwa sejak awalnya (sebelum kedatangan para planters dan onderneming), orang
Melayu di Sumatera Utara kelihatannya telah memiliki hak tanah mereka, baik secara
individu maupun komunal. Ridder, mencontohkan satu kondisi komunalisme di
kalangan penduduk di kawasan Pantai Timur Sumatera dengan mengutip satu laporan
di wilayah Panei: “Di wilayah-wilayah Batak, tanah berada pada suku yang pertama
sekali mendiami, pemilik-pemilik terdahulu yang telah ditaklukkan, diwakili oleh
Suku (penakluk, pen), dan juga kepala-kepala kampung. Di dalam prakteknya,
penguasaan atas tanah berada pada kepala-kepala kampung, yang menjadi wakil
kepala suku. Di wilayah orang-orang Melayu, orang hanya mengenal hak-hak yang
(tanah) yang diperoleh melalui kepemilikan faktual atau atas kemauan (persetujuan)
Raja.”1

Bahwa Mahadi berpendirian: “Hak-hak adat orang Melayu atas tanah baik sebelum
maupun setelah konsesi memang ada. Apabila sebelum konsesi ruang lingkup dan isi
hak-hak itu bersifat samar-samar, maka di dalam akta-akta konsesi hak-hak itu
mendapat kodifikasi, memperoleh rumusan, mendapat pengukuhan dan pengakuan.”2

Bahwa Lah Husny, seperti yang dikutip Erman mengatakan bahwa di wilayah dataran
rendah Melayu, setiap kampung mempunyai hak atas tanah yang dibuka, sedangkan
hak penguasaan dan pengaturan juga berada di tangan penghulu. Oleh karena daerah
masih luas, kampung-kampung Melayu juga mempunyai tanah dan daerah tertentu
untuk sumber perekonomian mereka di samping berdagang. Derah itu sebagian
digarap secara kontiniu, tetapi sebagian lagi digarap secara berkala seperti tanah reba
atau tanah ladang. Bahkan ada pula yang diambil hasilnya saja, seperti tanah hutan,
yaitu rotan, damar dan binatang buruan. Tanah ini dinamakan Pancung Alas. Masing-
masing penduduk mengenal batas-batas hutan ladang yang boleh mereka gunakan
sebagai sumber perekonomian.3
1
De Ridder.J. De Invloed van de Westersche Cultures op de Autochtone Bevolking ter Oostkust van
Sumatera. Wageningen: H.Veenman&Zonen. 1935.
2
Mahadi, Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu atas Tanah di Sumatera Timur (1800-
1975), Bandung: Penerbit Alumni,1976: Hal.191.
3
Erman, Erwiza. Pemberontakan Sunggal 1872 di Deli: Jawaban Terhadap Perubahan Sosial, dalam
Masyarakat Indonesia: Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia. Jakarta, April, Jilid XII No.1, 1985:

1
Bahwa Pada waktu itu tiap-tiap kampung mempunyai tanah dan daerahnya sendiri,
ada yang diusahai intensif langsung dan ada yang diusahai secara berkala (tanah reba,
perladangan dan sebagainya. Dan ada pula yang hasilnya saja diambil (hutan, rotan,
kayu tualang, getah perca, damar, binatang buruan dan lain-lain). Batas-batas tanah
kampung ini jelas dan terang dan diketahui oleh penduduk kampung lain, sedang
pemerintahan kampung berjalan secara hirarchies otonom dalam kekuasaan
Kesultanan. Sultan selalu mengadakan musyawarah dengan Datuk-Datuk, bermufakat
dengan penghulu/kampung. Penduduk aslilah yang mempunyai hak bersama atas
tanah, dan hak penguasaaan adalah pada kepala adat (Datuk/Raja)4.

Bahwa pada tanah yang telah diusahai, tanah-tanah itu telah dibagi dan bagian-bagian
itu menjadi hak milik. Jika tidak terus diusahai maka tanah itu menjadi hak bersama
kepunyaan penduduk, sebagaimana banyak terjadi pada tanah reba/perladangan di
pinggir-pinggir batas tanah daerah perkampungan. Atas tanah inilah semua
turunan/zuriat penduduk mempunyai hak tanah. Orang luar yang bukan anak daerah
situ tidak berhak atas tanah tersebut.5

C. Tentang Pembukaan Perkebunan Asing dan Kedudukan Hak Atas Tanah


Adat Kesultanan/Kedatukan Melayu di Sumatera Timur

Bahwa Kerajaan/Kesultanan Deli adalah wilayah yang paling muda bagi pengusaha-
pengusaha onderneming yang pertama. Penata kerajaan inilah yang memberikan
konsesi-konsesi pertanian yang pertama.6

Bahwa Kesultanan Deli adalah satu dari 5 Kesultanan Besar di Pantai Timur Sumatera
(lainnya adalah Serdang, Langkat, Asahan dan Siak). Daerah atau wilayah kekuasaan
Kesultanan Deli mencakup daerah-daerah taklukan dan rantau jajahan yang masih
mempertahankan sistem pemerintahan berdasarkan adat lama. Di Deli misalnya,
dikenal empat urung (suku) yakni Sunggal Serbanyaman, Hamparan Perak atau
Sepuluh Dua Kuta, Suka Piring dan Senembah Deli) serta tiga daerah taklukan
(Percut, Padang dan Bedagei).7

Bahwa Keempat Datuk inilah yang memiliki kewenangan-kewenangan strategis di


wilayahnya dan menjadikan Sultan Deli sebagai pemimpin/kepala adat, agama dan
pemerintahan yang menghimpun kesatuan keempat kedatukan tadi.8

Bahwa Lekkerkerker menyatakan:“de regeling van de beschikking over


gebruiksrechten op grond toekomst aan gemeenschappen” (pengaturan dan
kekuasaan terhadap tanah terletak ditangan persekutuan hukum).9

hal.61. Lihat juga Lah Husny, Op.cit. hal.100.


4
Van Vollenhoven, Het Adatrecht van Nederlandsch Indie. Leiden, EJ. Brill, 1931: Hal.302.
5
Bool. H.J. Op.cit. Hal.53
6
Pelzer, Karl.J. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera
Timur 1863-1947. Jakarta:Penerbit Sinar Harapan, 1985: Hal.9.
7
Von Meyenfeldt. De Inheemsche Rechtspraak in de Zelfsbesturende Landschappen ter Oostkust van
Sumatra (Proeftschrift). Wageningen, H.Veenman & Zonen. Tanpa tahun.
8
Hallewijn. E.A. Geographische en Etnographisce Gegevens Betreffelijk Het Rijk van Deli. (TBG
23:1876); Perret, Daniel. Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2010, Hal: 141-142.

2
Bahwa sistem penjualan dan penyewaan tanah kepada pihak ketiga haruslah
dimusyawarahkan dahulu dengan penghulu-penghulu kampung atau dengan datuk-
datuk urung karena merekalah yang berkuasa dan mengatur semua kebijaksanaan
dalam daerah kuasanya. Sultan Deli sendiri sebenarnya tidak bisa mengatur
pemberian konsesi tanah kepada pengusaha asing itu tanpa mengikutsertakan
penghulu-penghulu kampung dan datuk-datuk urung.10

Bahwa mengenai hak-hak agraria penduduk setempat yang kampung-kampung dan


ladang-ladangnya terletak dalam perbatasan suatu tanah konsesi, kontrak-kontrak
awal paling-paling mengatur tanpa ketentuan tegas bahwa tanah desa, ladang dan
kebun buah-buahan, terutama kebun pala dan lada, harus dihormati oleh para
pengusaha onderneming.11

Bahwa Pasal 1 Agrarisch Besluit tahun 1870 sebagai peraturan pelaksanaan bagi
Agrarische Wet menyatakan bahwa semua tanah dimana tidak dapat dibuktikan
kepemilikannya oleh orang lain, maka tanah demikian merupakan tanah milik
(domein) negara (dat alle grond, waarop niet door anderen regt van eigendom wordt
bewezen, domein van den staat is).12

Bahwa pasal 9 dari Stb 1870 No 118 tersebut secara tegas menentukan tanah-tanah
yang tidak bisa dikenakan erfpacht, yakni: a. Tanah-tanah yang diatasnya ada hak
orang lain (Gronden waarop anderen regt hebben), kecuali mereka tidak ingin
menggunakan haknya tersebut; b. Tanah-tanah yang diaggap mempunyai hubungan
magisch/suci (gewijde) oleh penduduk pribumi; c. Tanah-tanah yang diperuntukkan
untuk pasar-pasar atau peruntukan buat orang banyak/umum (openbare markten of
openbare dienst bestemd);d. Kebun-kebun kopi permerintah; e. Tanah-tanah pohon
Jati dan tanaman/kayu hutan lainnya; f. Tanah-tanah yang terletak di dalam wilayah
Gubernur Jenderal, yang ditetapkan untuk ditanami tanaman pemerintah; f. Tanah-
tanah yang disediakan untuk pengembangan tanaman kopi.13

Bahwa upaya Pemerintah Hindia Belanda untuk mendominasi tanah-tanah rakyat


untuk kepentingan modal dan ekonomi melalui Agrarisch Wet 1870 (Staatsblad
No.118 Tahun 1870) dan Agrarisch Besluit di tahun yang sama kelihatan nyaris
berjalan mulus. Melalui pasal 1 Agrarisch Besluit 1870 dinyatakan bahwa semua
tanah jika tidak dapat dibuktikan kepemilikannya, dianggap sebagai milik (domein)
negara (dat alle grond, waarop niet door anderen recht van eigendom wordt bewezen,
domein van de staat is). Mula-mula Pemerintah Hindia Belanda masih memakai
9
Lekkerkerker, J.G.W. Concessie en Erfpachten ten behoeve van Landbouwondernemingen in de
Buitengewesten van Nederlands Indie. Groningen-Den Haag, JB.Wolters, 1928. Hal.112
10
Mail Report No.213, 31 Desember 1872.
11
Pelzer, Karl.J. Op.cit. Hal.93.
12
Wignjosoebroto berpandangan bahwa Agrarische Wet konon bertolak dari suatu dasar pembenar yang
bersesuaian dengan azas hukum adat Jawa yang menyatakan bahwa “siapa yang menggarap tanahn, dia itulah yang
harus dipandang sebagai orang yang menghaki (tanah tersebut)”. Tanah yang tak digarap oleh siapapun menurut
konsep ini adalah milik Tuhan; dan karena Raja harus dipandang sebagai kalifatullah, maka Rajalah yang berhak
atas tanah tak digarap itu, dengan catatan setiap sat penduduk bebas saja untuk memulai menggarapnya dan begitu
juga untuk mulai menyatakan hak menggarap, memakai dan menempati tanah tersebut. Karena kini di daerah-
daerah Hindia Belanda di luar Swapraja yang berkewenangan adalah Pemerintah Hindia Belanda, maka merujuk
alur pemikiran Agraraische Wet dan azas hukum adat jawa tersebut,, tanah-tanah yang tidak digarap oleh
penduduk serta merta haruslah dipandang sebagai bagian dari domein negara. Bandingkan dengan RR Pasal 62 RR
di atas. Wignjisoebroto, Op.cit. Hal.91.
13
Penyebutan tanah-tanah yang tidak bisa disewakan ini kemudian diperkuat lagi dengan Stb.1872 No.116,
wijziging van het Koninklijk besluit, opgenomen in Indisch Staatsblad 1870 No.118.

3
istikah vrij en onvrij domein (milik bebas dan tidak bebas). Yang termasuk bebas
adalah semua tanah-tanah yang berada dalam kewenangan bersih pemerintah Hindia
Belanda. Sementara yang tidak bebas, adalah tanah-tanah yang di dalamnya masih
melekat hak-hak adat atas tanah.

Bahwa setidaknya setelah dikeluarkannya Domein Nota tahun 1916, hampir tidak
banyak lagi tanah-tanah yang diatasnya ada hak-hak masyarakat adat di Hindia
Belanda yang diakui dan kemudian mendapat jaminan hukum. Dengan kata lain,
negara kemudian merengsek masuk ke wilayah (lahan) yang selama ini telah diklaim
sebagai tanah adat. Kenyataan itu berlaku untuk seluruh wilayah Hindia Belanda
kecuali di wilayah sejumlah Kesultanan Besar di Sumatera Timur.

Bahwa Pemberlakuan Agrarisch Besluit 1870 diwilayah luar Jawa dan Madura
melalui Stb. 1875 No.1899a dan Stb. 1874 No.94f (dengan judul “tanah-tanah liar di
Sumatera) mengalami kegagalan total untuk setidaknya 3 Wilayah Kesultanan Besar
di Sumatera Timur, yakni Wilayah Kesultanan Langkat, Deli dan Serdang. Hal ini
disebabkan bahwa Pemerintah Hindia Belanda dan Ketiga Kesultanan tersebut telah
memiliki kontrak politik yang mengatur secara detail urusan kewenangan pengelolaan
tanah di wilayah ini. Dengan kata lain, prinsip pasal 1 Agrarisch Besluit 1870, tidak
bisa diberlakukan ditiga wilayah Kesultanan Melayu ini.

Bahwa usaha untuk menyeragamkan status tanah-tanah adat ke dalam kewenangan


Pemerintah Belanda untuk menggampangkan Pemerintah Hindia Belanda
mengaturnya tidak mengalami kesuksesan. Para pengusaha perkebunan yang berada
di balik usaha untuk menyeragamkan semua aturan ini (akibat kerumitan berhubungan
dengan pihak kesultanan dan status hubungan dengan Kesultananan yang bersifat
kontrak jangka panjang (konsesi) yang menghalangi mereka untuk mendapatkan
modal tambahan usaha dari Bank-Bank di Belanda) tidak mampu menundukkan
Kesultanan Melayu tersebut. Kontrak-kontrak konsesi dan politik kontrak yang telah
dibuat sebelum berlakunya Agrarisch Besluit tersebut tidak bisa diputuskan atau
diganti dengan seenaknya oleh Pemerintah Hindia Belanda atau para Pengusaha
Belanda (Asing) saat itu.

Bahwa konsekwensinya adalah, tanah-tanah yang ada di Kesultanan-Kesultanan yang


disebutkan di atas, tetap berada di bawah kewenangan Kesultanan. Hal mana sangat
berbeda dengan apa yang terjadi di Jawa dan daerah lainnya, dimana tanah-tanah
tersebut jatuh ke tangan Pemerintah Hindia Belanda dan kemudian jika ada pengusaha
perkebunan yang ingin mengusahakan tanah tersebut, pemerintah Hindia Belanda
akan memberikannya dengan Hak Erfpacht (Hak Guna Usaha). Inilah yang
membedakannya dengan tanah-tanah yang ada di Sumatera Timur (khususnya tiga
kesultanan yang disebutkan di atas).

Bahwa Politik Kontrak Sultan Deli (Sultan Amaluddin Sani) dengan Pemerintahan
Hindia Belanda Tahun 1938 dalam kaitannya dengan kewenangan/kekuasaan atas
tanah dinyatakan:

1. 50% hasil pertambangan dan perkebunan yang diterima Gubernemen


diserahkan kepada Kas Kerajaan Bumiputera (Pasal 18);

4
2. Mengenai tanah dalam wilayah landschap (Kerajaan), bukan Gubernemen
melainkan Kerajaan yang berkuasa atas tanah di wilayah Kerajaan tersebut
(Pasal 16);
3. Pernyataan Gubernemen bahwa tanah adalah domein (kepunyaan)
Gubernemen (Raja Belanda) hanya berlaku di dalam daerah Gubernemen
langsung saja (Lihat juga Stb.1875/199a).

D. Status Hukum Tanah Eks Konsesi Kesultanan dalam kaitannya dengan UU


Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia No.86 Tahun 1958

Bahwa Perjanjian konsesi (sewa menyewa jangka panjang) bersifat


persoonlijksrechtelijk (bersifat hukum perorangan) dan bukan zakenrechtelijk
(bersifat hak kebendaan). Bukti untuk itu bisa dilihat dalam satu dokumen penuntun
arsip di Negeri Belanda yang menyatakan bahwa:: “De overeenkomst werd gesloten
op basis van een persoonlijke verbintenis tussen de zelfbestuurder van het
betreffendelandschap en de planter. De bestuurlijke invloed van het gouvernement
beperkte zich tot de goedkeuring van het concessiekontrakt door de resident.”14

Bahwa pemaknaan yang sama bisa juga dijumpai di dalam satu disertasi yang ditulis
di Belanda, oleh Robert van De Waal. Ia berkata bahwa de landbouw concessie is een
persoonlijk recht, berustend op een overeenkomst tussen de Sultan en de
concessionaris (Konsesi perkebunan adalah hak perseorangan yang bersandar kepada
perjanjian antara Sultan dan pemegang konsesi). Dan dalam disertasi tersebut juga
ditunjukkan fakta bahwa di Kesultanan Deli, Serdang dan Langkat yang luasnya
mencakup 5493 km2 15, tidak ada satupun yang berbentuk erfpacht (yang setelah
tahun 1960 melalui UU Pokok Agraria No.5/1960 dikonversi menjadi Hak Guna
Usaha (HGU)), melainkan hanyalah apa yang sejak awal dituliskan dalam banyak
bukti tertulis sebagai sebuah perjanjian Konsesi.

Bahwa UU No.86/1958 tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang


ada di Indonesia jelaslah satu kebijakan yang salah kaprah dan menyamaratakan
semua konstruksi hubungan hukum yang ada pada saat itu antara perusahaan Belanda
dengan kelompok-kelompok rakyat. Jika tindakan-tindakan itu dilakukan terhadap
perkebunan-perkebunan Belanda di Jawa, cukup beralasan. Karena seluruh
perkebunan-perkebunan Belanda di sana sudah berstatus erfpacht dengan hak
kebendaan yang disandingnya. Namun untuk Deli, Langkat dan Serdang, kasusnya
berbeda. Tidak pernah ada Erfpacht di tiga wilayah ini seperti yang telah disebutkan
di muka.

Bahwa Prof.Dr.M.Solly Lubis SH, Pakar Hukum Tatanegara Indonesia menyatakan


dalam kesaksiannya dalam kasus perdata Kesultanan Deli vs PT Kereta Api Indonesia
(Putusan PN Medan No.371/Pdt.G/2010/PN.Mdn) menyebutkan nada yang sama
14
“Perjanjian dibuat atas dasar perikatan hak perseorangan antara penguasa wilayah yang
bersangkutan (Raja) dengan pekebun. Pengaruh pemerintahan (Belanda, pen ) sebatas persetujuan
kontrak konsesi oleh Residen.” Inventaris van het archief van de NV Deli Maatschappij,
Dochtermaatschappijen en Gefuseerde Bedrijven, (ca. 1700) 1869-1967 (1968). Nummer
archiefinventaris: 2.20.46. Hal.20. (P1)
15
Catatan van de Waal mengungkapkan erfpacht hanya berhasil diterapkan di wilayah-wilayah yang
ditundukkan dengan Korte Verklaring, seperti Simalungun (seluas 89 km2), Asahan (seluas 95km2)
dan Labuhan Batu (seluas 748 km2). Lihat van de Waal, Robert. Richtlijnen voor Een
Ontwikkelingsplan voor de Oostkust van Sumatra (proeftschrift), Wageningen: 1950. Hal.54. (P2)

5
dengan mengatakan bahwa kebijakan nasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia
secara politik adalah hal yang sah-sah saja, untuk kepentingan nasional. Namun secara
hukum, tanah dimana bangunan-bangunan milik perusahaan Belanda tersebut tidak
termasuk ke dalam asset yang harus dinasionalisasi, karena benda tersebut adalah
milik masyarakat hukum adat Melayu Deli dan objek sewa menyewa menjadi ranah
hukum perdata. Oleh karena hal tersebut, tanah-tanah tersebut mesti dikembalikan
kepada pemiliknya yakni Kesultanan Deli yang merupakan Kepala Masyarakat
Hukum Adat Melayu di Deli. Selengkapnya Prof.Dr. M.Solly Lubis Berkata:
“Kalaupun terjadi perubahan ketatanegaraan dan pergeseran kekuasaan politik
semenjak Perang Dunia ke II, yakni kalahnya Pemerintah Hindia Belanda terhadap
Jepang, dan kemudian Jepang kalah dengan Sekutu, lalu lahir negara dan Pemerintah
Republik Indonesia kesemua itu adalah fakta politis. Bahkan kalaupun Republik
Indonesia menasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Asing di negara ini, yang
kemudian itu adalah merupakan tindakan politis yang sah-sah saja dilakukan oleh
pemerintah yang sah, namun tanah adat/ulayat milik masyarakat persekutuan adat
Deli itu sendiri adalah tetap merupakan aset perdata adalah milik persekutuan
masyarakat adat Deli.”16

D. Sejarah dan Status Hukum Tanah eks Konsesi Polonia

Bahwa Pada tanggal 7 Juli 1863, Jacobus Nienhuys, anak seorang pedagang tembakau
mendarat di Belawan, datang ke tanah Deli karena terpicu dengan informasi yang
disampaikan oleh seorang Arab di Surabaya yang bernama Abdullah Bilsagih.
Dikatakan Abdullah kepada Nienhuys: “Di Deli tembakau dan merica ditanam, dan
Sultan Deli bersedia untuk meminjamkan tanahnya untuk ditanam.”17

Bahwa 1 November 1869, Deli Maatschappij (Deli Mij) didirikan dan diaktekan
tertangal 12 Januari 1870 di Amsterdam. Pendirinya adalah Nienhuys, Janssen dan
Clemen dengan sokongan modal dari Nederlandsche Handelsmaatschappij.18

Bahwa pada tanggal 11 Juni 1870 atau bertepatan dengan 11 Rabiul Awal 1287, Deli
Mij yang diwakili oleh Edo Anton Friderich Straatman dan Jacobus Nienhuys
menandatangani kontrak konsesi tanah dengan Sultan Deli, yakni Sultan Mahmoed
Perkasa Alam, yang batasnya antara sungai Deli dan peringgan Senambah dan
peringgan Mabar sampai tentang Deli Toewa untuk dibuat kebun atau ditanam
dengan apa-apa yang patut. Kontrak ini adalah kontrak utama yang cukup luas dan
kemudian dikenal dengan Kontrak Konsesi Mabar Deli Toewa.19

Bahwa sebelum Kontrak Mabar – Deli Toewa ini dibuat sudah ada perjanjian antara
Sutan Deli dengan Von Mach tertanggal 12 Desember 1866, seterusnya perjanjian
antara Sultan Deli dengan Jacobus Nienhuijs 21 Januari 1868 serta perjanjian yang
dibuat Sultan Deli dengan Ferdinand Heinrich Friedrichs, tertanggal 21 Januari 1868.
Pada tanggal 29 Maret 1869 perjanjian tersebut sudah dipulangkan kepada Von Mach
16
Solly Lubis, Dokumen Kesaksian dalam Putusan PN Medan No.371/Pdt.G/2010/PN.Mdn. (P.3)
17
Meijer, H.Ir. De Deli Spoorwegmaatschappij :Driekwaart Eew Koloniaal Spoor. Zuthpen: De
Walburg Press, 1987: Hal. 14. Bahasa Belandanya tertulis: ‘In Deli tabak en peper warden verbouwd
en dat de Sultan van Deli bereid was om grond voor de tabakscuktuur af te staan.” (P.4)
18
Statuta Deli Mij (perubahan). 24 September 1907 (P.5)
19
Transkrip dalam bahasa Melayu (Indonesia), yang telah dibuat dan ditandatanganai oleh Notaris
W.J.M Michielsen, tertanggal 17 November 1870. (P.6)

6
dan Nienhuijs. Ketiga Perjanjian yang dibuat di atas (Perjanjian tanggal 12 Desember
1866, dan dua perjanjian yang dibuat pada tanggal 21 Januari 1868) digabung menjadi
satu dan dinamakan Kontrak Mabar- Deli Toewa.20

Bahwa lahan konsesi Polonia tersebut merupakan lahan adat Kedatukan Suka Piring
yang terletak di dalam wilayah Kedatukan Suka Piring, pecahan dari Kontrak Mabar-
Deli Toewa. Lahan Adat milik Kedatukan Suka Piring tersebut diserahkan
pengelolaan dan pemanfaatannya kepada Sultan Deli selaku Kepala Masyarakat Adat
Deli.21

Bahwa tanah-tanah untuk konsesi Polonia (saat ini berada dibawah penguasaan
sejumlah instansi dan masyarakat) secara jelas dapat ditunjukkan melalui peta resmi
yang dikeluarkan atau dibuat oleh institusi yang berwenang saat itu yakni:
1. Peta Hooddplaats Medan dengan Onderneming Polonia, skala 1:10.000.22
2. Peta Perkebunan Polonia, skala; 1:10.000.23

Bahwa berdasarkan peta yang telah disebutkan di atas, tanah-tanah yang sekarang di
atasnya berdiri bangunan TNI AU, Perumahan Mewah, Pertokoan dan rumah-rumah
masyarakat adalah tanah-tanah eks konsesi Kesultanan Deli/Kedatukan Suka Piring
dan dalam prakteknya di zaman colonial, Deli Maatschappij pun mengembalikan
tanah-tanah konsesi perkebunan yang sudah tidak digunakannya lagi kepada
Kesultanan Deli sebagai Kepala Pemangku Adat di Wilayah Kesultanan Deli. 24

Bahwa pada tanggal 4 Desember 1869, L. Michalsky seorang Polandia mendapatkan


konsesi tanah dari Kesultanan Deli seluas 1000 bouw (1 bouw: 0,7 Ha. Total seluas
700 Ha) untuk pertanian. Dan dalam Kolonial Verslag 1901, luas tersebut menjadi
1100 bouw. Letak tanah tersebut berdasarkan Koloniaal Verslag 1874 berada di
kawasan yang disebut Kampung Lama dan Baroe yang merupakan wilayah
Kedatukan Suka Piring. Kebunnya dinamakan Polonia. Lamanya konsesi 75 tahun
dan berakhir pada tanggal 3 Desember 1944.25

Bahwa pada tanggal 30 Agustus 1886, Residen Sumatera Timur menyetujui peralihan
hak atas tanah konsesi yang dimiliki oleh L. Michalsky tersebut kepada Langkat
Associatie dan seterusnya pada tanggal 23 September 1889, hak konsesi tersebut
dialihkan Langkat Associatie kepada Deli Maatschappij.26

20
Isi Kontrak Mabar-Deli Toewa 11 Juni 1870. (P.7)
21
Koloniaal Verslag …. Overeenkomsten met Inlandsche Vorsten in den Oost-Indisch Archipel. Lihat
Juga Halewijn, E.A. Geografische en Ethhnografische Gegevens betreffende het Rijk van Deli
(Oostkust van Sumatrai). Tijdschrift voor Indische Taal-Land-Volkenkunde, Deel 23, 1875. (P.8)
22
Peta Kota Medan, Sumber: Arsip Nasional Belanda, Kode Arsip: 4.Deli.Nomor Arsip: 511-512,
Kaart Betrefdende Gronduitgifte in de Hoofdplaats Medan z.d. 2 bladen. (P.9)
23
Peta Perkebunan Polonia, Sumber: Arsip Nasional Belanda, Kode Arsip: Kaart van de Onderneming
Polonia en Mariendal ten zuiden van Medan met daarop aangegeven het aangelegde gotten en
wegenstelsel en de djatti aanplant 1909. (P.10)
24
Peta Pengembalian Tanah-tanah Konsesi kepada Kesultanan. Overzichtskaart van voor
tabakconcessies terug te geven gronden 1935. (P.11)
25
Kolonial Verslag van 1874 Nederlandsch Oost Indie. Kamerstuk Tweede Kamer 1874-1875.
Kamerstuk Nummer 5 Ondernummer 37. (P8) Kolonial Verslag van 1901 Nederlandsch Oost Indie.
Overzicht over 1901, betreffende de verschillende in de buitenbezettingen gevestigde Ondernemingen
van Landbouw (P.12)
26
Terjemahan Perjanjian Sultan Deli dengan Langkat Associatie dan Copy Perjanjian dalam huruf
Arab Melayu dan Belanda. (P.13)

7
Terkait dengan perkembangan Kota Medan, di tahun 1886 tersebut, Langkat
Associatie melepaskan tanah seluas lebih kurang 63 Ha dari lahan konsesi Polonia
tersebut. Dalam tahun 1869 diadakan pembaruan lagi atas lahan eks konsesi Polonia,
dimana atas permintaan Sultan Deli, Langkat Associatie dimintakan melepaskan lagi
sejumlah lahan eks konsesi Polonia untuk pengembangan kota Medan.27

Bahwa kontrak konsesi atas tanah yang tersebut dengan kontrak Polonia berjalan
sesuai dengan isi kontrak dimana Kesultanan Deli dan Kedatukannya mendapatkan
hasil dari pajak-pajak tanah yang dibayarkan Deli Maatschappij.28

Bahwa Deli Maatschappij selaku pemegang konsesi Polonia menyediakan bagian


lahan konsesinya sebagai pelabuhan udara terkait dengan informasi kedatangan pionir
penerbang berkebangsaaan Belanda yang bernama Van der Hoop dan kebutuhan
hubungan udara yang teratur, khususnya Medan-Batavia-Singapura. Pelabuhan Udara
Polonia baru secara resmi dibuka pada tahun 1924 bersamaan dengan singgahnya
enam (6) buah pesawat pos udara KLM dari Negeri Belanda.29

Bahwa berdasarkan kontrak konsesi tersebut, Deli Maatschappij selaku penyewa


harus menyerahkan tanah yang dikontrakkan tersebut pada tanggal 3 Desember 1944.
Namun kenyataannya pihak Deli Maatschappij baru menyerahkannya pada tanggal 31
Maret tahun 1950 dan tidak kepada Kesultanan Deli/Kedatukan Suka Piring,
melainkan kepada Negara Sumatera Timur.

Bahwa pihak Deli Maatschappij (Setelah fusi menjadi NV Deli Universal) melalui
satu suratnya menyatakan kesilapan/kesalahan dalam penyerahan tersebut dan
mengakui bahwa mereka telah melakukan apa yang disebut dalam istilah hukum
dengan Nemo Plus Juris (melakukan sesuatu tindakan yang melebihi hak yang ada
padanya) dan tidak menduga implikasi hukum atas penyerahan tersebut, semata-mata
untuk pengembangan Negara Sumatera Timur.30

Bahwa mengingat situasi politik dan keamanan pada masa awal kemerdekaan, TNI
Angkatan Udara, dengan berpegang pada Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan
Perang (KSAP) No.023/P/KSAP/50 tanggal 9 Mei tahun 1950 dan Surat Keputusan
Menteri Pertahanan No. MP/A/705/57 tanggal 3 Agustus 1957 menguasai lahan eks
konsesi Polonia tersebut. Hal ini diselaraskan oleh Pemerintah saat itu dengan UU
No.23 Prp. Tahun 1959 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
tentang Keadaan Bahaya PAsal 37 ayat 1 yang menyatakan: “Penguasa Perang
berhak untuk mengambil barang-barang apapun juga langsung untuk kepentingan
keamanan atau pertahanan.”

27
Mahadi. Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu atas Tanah di Sumatera Timur (tahun
1800-1975). Bandung, Penerbit Alumni. 1976: Hal. 255. (P.14)
28
Koloniaal Verslag 1907. Overeenkomsten met Inlandsche Vorsten in den Oost-Indisch Archipel.
Contract tusschen het Gouvernement van Nederlands-Indie en het Inlandsch Zelfsbestuur van Deli.
29
Sinar, Tengku Luckman. Sejarah Medan Tempo Doeloe. Cetakan Ketujuhbelas. 2009: Hal. 97-99.
(P.15)
30
Ini merupakan surat balasan dari Surat Mr. Amin Arjoso (Pengacara Kesultanan Deli untuk kasus
melawan PT Malibu Indah) tertanggal 5 desember 1991 perihal status kepemilikan konsesi Polonia.
(P.16)

8
Bahwa dalam realitasnya TNI AU baru menguasai secara fisik sebagian saja dari eks
lahan konsesi Polonia dan belum melakukan Pencabutan atau Pengalihan Hak-Hak
atas tanah yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Selanjutnya
berdasarkan peraturan yang berlaku tentang pengambilan tanah bagi keperluan
pemerintah haruslah mendapat persetujuan dari pemiliknya dibarengi dengan
pemberian ganti rugi sesuai dengan keadaan pada saat itu.31

Bahwa batas-batas yang ditetapkan untuk Lapangan Terbang Medan yaitu: sebelah
Timur dengan Sungai Deli, sebelah Barat dengan Sungai Babura, sebelah Utara
dengan Jalan Merdeka/Jl. Monginsidi, sebelah Selatan dengan Gedung Johor/Rel
Kereta Api berdasarkan Surat KSAP dan Surat Menteri Pertanahan yang dimaksudkan
di atas sesuai atau cocok dengan tanah eks konsesi Polonia yang diterangkan di atas.32

Bahwa selanjutnya Surat KSAP dan Surat Menteri Pertahanan tersebut dikuatkan lagi
dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No.1/HPL/DA/70 tanggal 3-2-1970
tentang pemberian Hak Pengelolaan kepada Panglima Komando Wilayah Udara I
Pangkalan Udara Medan atas tanah seluas 1.379.659,50 meter persegi dengan syarat:
a. penerima hak harus memberi ganti rugi kepada pihak-pihak yang dapat
membuktikan mempunyai hubungan hukum dengan tanah dimaksud; b. apabila tanah
tersebut akan dialihkan harus ada izin dari Mendagri.33

Bahwa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No.1/HPL/DA/70,


rincian luasan tanah yang diberikan Hak Pengelolaan adalah sbb:
- Kampung Polonia I-II : 439.279,25 m2
- Kampung Sidodadi I-II : 608.678,25 m2
- Asrama Darurat AD : 31,500 m2
- Komp. Mess Arafuru & Sekitarnya : 28,202 m2
- Kampung Karang Rejo/Karang Sari : 200,00 m2
- Kampung Sukadamai/Hamdan : 72,00 m2
Jumlah Seluruhnya :1.379.659,50 m2 (atau setara
atau lebih kurang 138 Ha).

Bahwa Bahwa berdasarkan diktum ketujuh Surat Mendagri No.1/HPL/DA/70


dinyatakan bahwa jika ternyata ada pihak lain yang dapat membuktikan hak miliknya
atas tanah tersebut, maka pihak AURI harus bersedia membayar ganti rugi kepada
yang bersangkutan.34

Bahwa Hak Pengelolaan kepada TNI AU Cq Panglima Komando Wilayah Udara I


Pangkalan Udara Medan belum pernah didaftarkan/disertifikatkan pada Kantor

31
Berdasarkan UU No.23 Prp. Thn 1959, pasal 37 ayat (3) dikatakan bahwa: ‘Salinan Surat Keputusan
tentang penetapan pengambilan barang-barang tidak bergerak dan kapal-kapal yang mempunyai surat
bukti resmi, disampaikan kepada yang berwajib yang harus memindahkan hak milik tersebut menurut
peraturan yang berlaku.” Selanjutnya Pasal 27 ayat (2) UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum menyatakan bahwa: Pelaksanaan Pengadaan Tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 1. Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah; 2. Penilaian Ganti Kerugian; 3. Musyawarah penetapan Ganti
Kerugian; 4. Pemberian Ganti Kerugian; dan 5. Pelepasan tanah Instansi.
32
Kaarten met Aanplant Gegevens van Ondernemingen van Deli Maatschappij, door de Landmeter
Brouerius van Navik, 1921-1939, 10 Bladen, 632 Polonia. (P.17)
33
Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 1/HPL/DA/70 (P.18)
34
Ibid.

9
Agraria atau sekarang dikenal dengan Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota
Medan.

Bahwa Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 27 Agustus 1976
Nomor SK.217/HP/DA/76 sebagian dari Hak Pengelolaan yang diberikan kepada TNI
AU tersebut yakni seluas 219.506 m2 (sekitar 22 Ha) dibatalkan dan diberikan Hak
Pakai kepada PT Surya Dirgantara di Medan dan kemudian ditambahkan lagi tanah
garapan/negara seluas 8.520 m2 (sekitar 0,9 Ha) sehingga luas seluruhnya menjadi
228.026 (sekitar 23 Ha) dengan persyaratan bahwa PT Surya Dirgantara harus
membayar ganti rugi kepada pihak-pihak lain yang dapat membuktikan mempunyai
sesuatu hak di atas tanah garapan/negara tersebut.

Bahwa tanah yang dikuasai oleh PT Surya Dirgantara tersebut, pada tanggal 4 Mei
1981 melalui akte perjanjian No.14 di hadapan Notarais Dr. AP. Parlindungan SH
dilepaskan kepada Yayasan Adi Upaya (YASAU). Dan dari Akte pelepasan hak
tersebut, Menteri Dalam Negeri melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri No.
78/HP/DA/87 menguatkan penguasaan hak atas tanah Yayasan Adi Upaya untuk
tanah seluas 210.000 meter (setara dengan 21 Ha) yng terletak di Jalan Karang Sari
Desa Polonia, Kecamatan Medan Baru, Kota Madya Medan dan membatalkan Surat
Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 27 Agustus 1976 Nomor
SK.217/HP/DA/76.

Bahwa selanjutnya YASAU telah mengajukan permohonan Hak atas tanah tersebut
kepada kantor Agraria (sekarang bernama BPN) Medan dan mendapatkan Hak Pakai
No.194. Hak Pakai yang diberikan kepada YASAU tersebut tidak ada batas waktu
berlakunya (diberikan selama tanahnya dipergunakan YASAU). Hal ini bertentangan
dengan ketentuan Peraturan yang berlaku, yaitu pemberian Hak Pakai tanpa batas
waktu berlakuknya hanya diberikan kepada instansi pemerintah.

Bahwa YASAU dengan hak pakai yang dimilikinya untuk kepentingan pembangunan
perumahan anggota AURI dan YASAU ternyata telah menyimpangi maksud dan
tujuan pemberian hak pakai tersebut. Hal mana tercermin dari lahirnya pengalihan hak
tertanggal 20 April 1989 No.30 di depan Notaris Linda Herawati SH kepada PT
Taman Malibu Indah, yang selanjutnya dipergunakan untuk pembangunan perumahan
mewah yang diperjualbelikan kepada masyarakat umum.

Bahwa sebenarnya pada tanggal 8 September 1982, melalui Surat Keputusan Menteri
Dalam Negeri No.SK/150/DJA/82 telah mencabut SK Mendagri No.
Sk.1/HPL/DA/70 yang tersebut di atas.

Bahwa pada tanggal 13 Juni 1997 dan 25 Juni 1997, TNI-AU telah mendapatkan
sertifikat hak pakai No 1 seluas 32, 25 Ha dan 267,53 Ha di atas tanah eks konsesi
Kesultanan Deli/Kedatukan Suka Piring adalah keliru karena tidak didasarkan kepada
alas hak yang sah melainkan hanya Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT)
No.630.2.25.28/BKM/1993 yang diterbitkan Badan Pertanahan Kota Medan. Untuk
diketahui Dari 591,30 Hektar yang diklaim TNI-AU

Bahwa terkait lahan seluas 260 Ha di Kelurahan Sari Rejo yang saat ini dikuasai lebih
kurang lebih 5500 Kepala Keluarga, ataupun tanah yang sudah bersertifikat Hak Pakai
yang dipegang oleh TNI AU (masing-masing 32,53 Ha dan 267, 53 Ha) berdasarkan

10
peta-peta yang dibuat di masa kolonial, juga termasuk ke dalam areal konsesi Polonia
yang dimaksud, yang awalnya berjumlah 1000 dan atau 1100 bauw (bahu) (setara
dengan 700 dan atau 7700 Ha. 1 Bahu: 0,7 Ha).

Bahwa terkait lahan eks konsesi Polonia yang digarap masyarakat Desa Sari rejo,
walaupun secara hukum melalui putusan Mahkamah Agung RI No.229/K/Pdt/1991
tanggal 18 Mei 1995 telah ditetapkan bahwa tanah-tanah tersebut adalah tanah
garapan warga masyarakat yang menggugat, tetaplah kepentingan Kesultanan
Deli/Kedatukan Suka Piring mesti diperhitungkan secara hukum sebagai pemilik sah
atas tanah-tanah tersebut.35

Bahwa terkait pelepasan tanah yang dilakukan TNI-AU kepada Perumahan Taman
Malibu Indah, Perumahan The Recidence Palace, Perumahan Taman Polonia, Villa
Polonia, Grand Polonia dan Central Bisnis Distrik (CBD) Polonia di atas tanah eks
konsesi Polonia jelaslah mengandung cacat hukum karena tidak didasarkan kepada
alas hak/hukum yang kuat.

E. Kesimpulan

Berdasarkan fakta arsip, bahan-bahan sekunder dan analisis hukum yang digambarkan
di atas, dapatlah disimpulkan bahwa:

1. Tanah Konsesi yang disewakan oleh Kesultanan Deli merupakan tanah-tanah


yang berada dibawah otonomi Kedatukan (Sunggal, Suka Piring, Sepuluh Dua
Kuta dan Senembah Deli) dan Kejeruan (Pertjut, Padang dan Bedagai) yang
berhimpun di bawah panji-panji Kesultanan Deli;
2. Tanah Konsesi bukan bersifat kebendaan (zakelijk Rechtelijk) yang berbentuk
Erfpacht (Hak Guna Usaha), Opstal (Hak Guna Bangunan) atau Eigendom
(Hak Milik) ataupun Vruchtgebruik (Hak menikmati hasil) atau hak lainnya
melainkan Kontrak Konsesi bersifat Persoonlijk rechtelijk dan tidak tunduk
pada buku II KUHPerdata, melainkan buku III KUHPerdata (BW);
3. Kontrak Konsesi merupakan sewa jangka panjang dan tidak dikenal di wilayah
lainnya di Hindia Belanda pada saat itu dan hanya dipakai mengenai tanah di
wilayah Kerajaan/Kesultanan di Sumatera Timur (untuk tanah-tanah yang
bukan wilayah langsung Gubernemen Belanda);
4. Tanah konsesi yang diperjanjikan kepada perusahaan asing oleh Kesultanan,
yang bertindak atas nama Masyarakat Hukum Adat (Adat
Rechtsgemeenschap) merupakan sejenis tanah ulayat/beschikkingsrecht)
seperti yang digambarkan dalam literatur Hukum Adat di Indonesia;
5. Tanah konsesi Polonia yang disewakan kepada individu dan atau Perusahaan
asing bukan kepunyaan Perusahaan tersebut, tetapi kepunyaan rakyat asli
(Masyarakat Hukum Adat Deli, dalam hal ini Kedatukan Suka Piring) dimana
Raja atau Sultan bertindak sebagai Kepala Adatnya;
6. Hak Kesultanan dan Masyarakat Hukum Adat Deli tidak dapat dihapuskan
walaupun UU No.86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda

35
Pengertian tanah garapan diperluas, menurut Surat Kepala BPN perihal Keputusan Kepala BPN No.
2 Tahun 2003, tertanggal 28 Agustus 2003, yaitu tanah garapan adalah sebidang tanah yang sudah atau
belum dilekati dengan sesuatu hak yang dikerjakan atau dimanfaatkan oleh pihak lain baik dengan
persetujuan atau tanpa persetujuan yang berhak dengan atau tanpa jangka waktu tertentu.

11
mengambil tanah-tanah tersebut untuk dijadikan Perusahaan Negara (Kereta
Api, Perkebunan dll);
7. Hak Kesultanan dan Masyarakat Hukum Adatnya tidak dapat dihapuskan
walaupun ada kegentingan memaksa terkait soal kemanan negara. Jikalau
tanah tersebut diambil, mesti didahului dengan persetujuan dan ganti rugi atas
pelepasan tanah atau lahan tersebut;
8. Mengingat sejak tahun 1944 (dihitung 75 tahun sejak disetujuinya perjanjian
konsesi di tahun 1869) tanah konsesi Polonia telah habis berlakunya maka
secara hukum wajib dipulangkan oleh Deli Maatschappij dan atau TNI-AU
atau pihak-pihak lain yang menguasai dan mengakui memiliki hak atas tanah
tersebut kepada pihak Kesultanan Deli/Kedatukan Suka Piring;
9. Berdasarkan Hukum Perdata tidak ada hak dari pihak Pemerintah Hindia
Belanda (Van Mook) membatalkan sepihak Kontrak Politik Kerajaan Deli
dengan Pemerintah Hindia Belanda (1907 dan 1938) dengan menyerahkan
kekuasaan Kerajaan Deli di Sumatera Timur kepada Negara Sumatera Timur
melalui Besluit Gubernur Jendral No.2 Tahun 1948 secara sepihak. Pihak
Kesultanan Deli tidak pernah melanggar satupun pasal-pasal di dalam kontrak
Politik tersebut (Tidak pernah melakukan Perbuatan Melawan Hukum
(Onrechtmatige Daad));
10. Secara nyata sebelum dikuasai TNI AU, pada lahan konsesi Polonia telah
terdapat Hak atas tanah yang dimiliki oleh suatu pihak (dalam hal ini
Kesultanan Deli/Kedatukan Suka Piring). Dengan kata lain saat TNI AU mulai
menguasai tanah tersebut (tahun 1950), lahan Polonia bukan tanah kosong
atau terlantar. Hal ini juga didasarkan kepada dokumen yang dimiliki
Kesultanan Deli dan juga pemakai tanah pada saat itu yakni NV Deli
Matschappij;
11. Pengakuan dan pelepasan hak oleh Kesultanan Deli kepada TNI AU dan
pihak-pihak lainnya bersifat mutlak. Hal ini untuk memberikan sebuah alas
hak dan dasar hukum yang kuat bagi TNI AU dan pihak-pihak lain dalam
mengoptimalkan lahan atau tanah tersebut.

F. Rekomendasi

1. TNI AU atau instansi yang berwenang di atasnya sebaiknya bermusyawarah


atau bermufakat dengan Kesultanan Deli/Kedatukan Suka Piring untuk
melepas hak atas lahan eks konsesi Polonia dengan klausula bahwa
dikemudian hari tidak akan ada lagi gugatan dan sejenisnya kepada TNI AU
dan pihak-pihak lain yang menguasai dan memiliki ha katas lahan tersebut;
2. TNI AU atau instansi yang berwenang di atasnya bersama dengan Kesultanan
Deli/Kedatukan Suka Piring sebaiknnya mengadakan musyawarah dengan
penduduk/masyarakat Sari Rejo untuk lahan seluas 260 Ha yang saat ini
digarap dan telah dijadikan pemukiman warga dengan prinsip ganti rugi yang
tidak memberatkan masyarakat yang telah menghuni dan mengusahakan lahan
tersebut selama puluhan tahun;
3. Dengan mengingat modal (biaya) yang mahal yang telah dikeluarkan
pengembang (Developer) perumahan dan hak-hak yang telah dimiliki oleh
para penghuni perumahan, perlu diadakan inventarisasi ulang lahan-lahan
yang dialihkan oleh TNI-AU kepada pengembang (Developer) perumahan
dengan berpedoman kepada prinsip win-win solution.

12
Medan, 22 November 2016

Dr. Edy Ikhsan MA


Dosen Universitas Sumatera Utara
Kepala Perpustakaan Tengku Luckman Sinar

13

Anda mungkin juga menyukai