Anda di halaman 1dari 36

BAB III

Perspektif Tanggung Jawab Perdata dalam Penyelesaian Ganti Rugi atas


Kecelakaan Kapal di Indonesia (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri dan
Putusan Mahkamah Pelayaran)

A. Kasus Posisi
Kasus yang akan dibahas pada penelitian ini adalah kasus perdata yaitu
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atas peristiwa kecelakaan laut berupa
tubrukan yang terjadi antara KM. Sanjaya Fisherindo dengan KM. Jala Karya
Sukses Abadi yang terjadi di Laut Banda. Para pihak adalah Penggugat yang
merupakan merupakan pemilik Kapal Mesin (KM) Sanjaya Fisherindo yang
merupakan kapal kargo pengangkutan ikan hasil tangkapan. Pihak tergugat terdiri
dari Tergugat I yang merupakan perusahaan pemilik sekaligus pengoperasional
Kapal Mesin (KM) Jala Karya Sukses Abadi yang juga kapal kargo campuran dan
mengangkut ikan kesehariannya, yang disebut Tergugat II merupakan nahkoda
yang bertanggung jawab atas memimpin pelayaran KM. Jala karya Sukses Abadi
dan bekerja pada Tergugat I, dan Tergugat III adalah Anak Buah Kapal (ABK)
dari KM. Jala Karya Sukses Abadi yang telah mengantongi sertifikasi BST(Basic
Safety Training) dan merupakan karyawan dari Tergugat I.
Pada tanggal 12 Januari 2021, pada hari Selasa, KM. Sanjaya Fisherindo
berangkat dari Pelabuhan Dobo dengan membawa muatan ikan dan cumi seberat
202 ton menuju Pelabuhan Probolinggo. Keberangkatan ini didukung oleh Surat
Persetujuan Berlayar nomor 12.100-010.I-SPB-KP2021 yang dikeluarkan oleh
Syahbandar Pelabuhan Perikanan Dobo sambil menggandeng KM. Nata Celesion
I yang mengalami mesin kurang sehat dalam perjalanannya. Ketika KM. Sanjaya
Fisherindo berlayar di perairan Banda yang berbatasan dengan Perairan Nusa
Tenggara Timur, situasi pelayaran adalah menghadapi ombak laut yang
berlawanan dengan kecepatan 3,0 Knot (setara dengan 5,5 km/jam), dengan arah
haluan 265 derajat (menuju ke arah Barat). Kapal tersebut dikendalikan oleh ABK
yang bernama Saifudin, yang memiliki Buku Pelaut dan memiliki Sertifikasi Surat
Kecakapan Kapal (SKK). Selain itu, kapal juga didampingi oleh ABK bernama
Sdr. Hendri Kurnia Abadi.
Pada saat yang bersamaan, KM. Jala Karya Sukses Abadi berlayar dari
arah yang berlawanan dengan arus ombak, bergerak dengan kecepatan 7 Knot
(setara dengan 13 km/jam), mengarah ke arah Timur, menuju Pelabuhan Dobo.
Saat itu, kapal tersebut tidak memiliki muatan dan dikendalikan oleh
TERGUGAT III. Sekitar pukul 02.30 WITA (01.30 WIB), Sdr. Saifudin dan Sdr.
Hendri Kurnia Abadi melihat KM. Jala Karya Sukses Abadi datang dari arah yang
berlawanan, berada di posisi sebelah kanan poros simpangan. Dengan mematuhi
aturan pelayaran, Sdr. Sifudin dengan berjarak cukup jauh telah mengubah haluan
KM. Sanjaya Fisherindo yang sedang berlayar lambat karena muatannya yang
berat ke arah kiri, dengan niat mengurangi efek ombak ketika kedua kapal
melewati satu sama lain dan untuk menghindari risiko tabrakan.
Walaupun KM. Sanjaya Fisherindo telah mengubah posisi arahnya ke kiri
dengan upaya menciptakan jarak dari poros simpangan, sayangnya, KM. Jala
Karya Sukses Abadi yang dikendalikan oleh Tergugat III dengan kecepatan tinggi
justru berbelok tajam ke kanan, menuju jalur yang sama dengan KM. Sanjaya
Fisherindo yang telah berusaha menjauh. Akibatnya, pada pukul 02.36 WITA,
KM. Jala Karya Sukses Abadi yang berbelok tajam ke kanan menabrak lambung
depan sebelah kanan KM. Sanjaya Fisherindo, menyebabkan keduanya terpental
dan bergerak menjadi sejajar. Akibat benturan keras tersebut, KM. Jala Karya
Sukses Abadi mengalami kerusakan serius yang meliputi lubang besar pada
lambung depan bagian kanan KM. Sanjaya Fisherindo. Selanjutnya, Nahkoda
KM. Sanjaya Fisherindo, yang sudah saling kenal satu sama lain, menghubungi
Nahkoda KM. Jala Karya Sukses Abadi, yang disebut sebagai Tergugat II, melalui
radio dengan permintaan agar Tergugat II membantu memeriksa kerusakan pada
KM. Sanjaya Fisherindo. Namun, permintaan tersebut ditolak oleh Tergugat II
dengan alasan bahwa saat itu sudah tengah malam dan gelombang laut sedang
tinggi.
Meskipun begitu, Tergugat II memilih untuk memerintahkan KM. Jala
Karya Sukses Abadi untuk melanjutkan perjalanan ke Dobo, sementara KM.
Sanjaya Fisherindo mengalami kerusakan parah di tengah perairan Banda yang
berbatasan dengan Perairan Nusa Tenggara Timur sehingga KM. Nata Celesion 1
yang pada awalnya di gandeng oleh KM. Sanjaya harus melanjutkan perjalanan
sendiri. Yang lebih mengejutkan, Tergugat II bahkan mengomel Nahkoda KM.
Sanjaya Fisherindo, yang bernama Sdr. Yanto, yang berkeras menentang
keputusan tersebut. Akibatnya, KM. Sanjaya Fisherindo terpaksa meminta
bantuan dari kapal lain yaitu KM. Nata Celesion 1 yang beberapa waktu lalu di
gandeng oleh KM. Sanjaya Fisherindo. Akibat kerusakan pada KM. Sanjaya
Fisherindo, air laut masuk ke dalam lambung kapal melalui lubang yang terbentuk
akibat tabrakan dengan KM. Jala Karya Sukses Abadi. Untuk menjaga
keselamatan KM. Sanjaya Fisherindo beserta ABK-nya, Nahkoda KM. Sanjaya
Fisherindo memutuskan untuk memindahkan 5 ton muatan ikan dan cumi ke
kapal KM. Nata Celesion 1. Selain itu, dia juga memerintahkan pembuangan lebih
dari 110 ton ikan dan cumi agar kapal menjadi lebih ringan dan dapat mengapung
lebih tinggi, dengan tujuan menjaga jarak antara lubang akibat tabrakan dan
permukaan air laut.
Pada tanggal 21 Januari 2021, belakangan diketahui bahwa KM. Jala
Karya Sukses Abadi telah sampai di Pelabuhan Dobo dan Tergugat II ternyata
tidak pernah melaporkan peristiwa kecelakaan yang melibatkan KM. Sanjaya
Fisherindo di lautan Banda kepada Syahbandar Dobo seperti berusaha menutupi
informasi kecelakaan laut tersebut. Tergugat II melaporkan peristiwa tersebut
setelah panggilan dari Syahbandar Dobo atas pengaduan sebelumnya dari
Perwakilan Penggugat yang berada di Dobo pada tanggal 26 Januari 2021. KM.
Sanjaya Fisherindo dipandu oleh KM. Nata Celesion 1 dalam keadaan rusak tiba
di Probolinggo pada tanggal 26 Januari 2021 dan langsung melaporkan kejadian
tersebut kepada Syahbandar Probolinggo setelah sebelumnya tanggal 22 Januari
2021, Agen Kapal KM. Sanjaya Fisherindo telah menyurati laporan kepada
Syahbandar Probolinggo perihal kecelakaan laut tersebut serta telah
mempersiapkan kedatangan KM. Sanjaya Fisherindo yang dipandu oleh KM.
Nata Celesion 1.
Selanjutnya, Penggugat berupaya menghubungi Tergugat I untuk
musyawarah dengan difasilitasi oleh Agen dan Syahbandar Probolinggo untuk
melakukan penyelesaian ganti rugi secara damai dengan tawaran masing-masing
pihak menanggung setengah dari kerugian Penggugat namun di tolak oleh
Tergugat I karena merasa tidak perlu mengganti kerugian Penggugat dalam
jumlah berapapun. Oleh karena itu, Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Negeri Probolinggo pada tanggal 11 Februari 2021 dengan perkara Nomor
6/Pdt.G/2021/PN Pbl. Kasus tersebut diputus pada tanggal 7 Juni 2021 yang
putusannya pada pokoknya menyatakan mengabulkan gugatan Penggugat untuk
sebagian, menyatakan Penggugat adalah subjek hukum yang beritikad baik,
menyatakan Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III telah melakukan perbuatan
melawan hukum atas kejadian kecelakaan laut berupa tubrukan antara KM.
Sanjaya Fisherindo dengan KM. Jala Karya Sukses Abadi pada tanggal 18 Januari
2021 di wilayah perairan Dobo, menghukum Tergugat I, Tergugat II, dan
Tergugat III secara tanggung renteng kepada Penggugat sebesar
Rp.6.796.850.270,00 (enam milyar tujuh ratus sembilan puluh enam juta delapan
ratus lima puluh ribu dua ratus tujuh puluh ribu rupiah), menolak gugatan
Penggugat selain dan selebihnya, dan menghukum para Tergugat membayar biaya
perkara secara tanggung renteng sebesar Rp.2.155.000,00 (dua juta seratus lima
puluh lima ribu rupiah).

B. Tinjauan Melalui Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)


1. Pengertian Hukum Dagang
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD/Wetboek van
Koophandel/WvK) dalam kitabnya tidak memberikan definisi mengenai apa itu
hukum dagang. Pengertian hukum dagang sepenuhnya diserahkan kepada para
ahli atau pendapat para sarjana. Menurut R. Soekardono, hukum dagang
merupakan bagian dari hukum perdata secara umum, menangani isu-isu yang
berkaitan dengan perjanjian dan perikatan yang tercakup dalam Buku III dari
Burgerlijke Wetboek (BW). Dengan kata lain, Hukum Dagang adalah kumpulan
peraturan yang mengatur hubungan antarindividu dalam konteks kegiatan
perusahaan, yang utamanya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hukum dagang dapat juga dijelaskan
sebagai seperangkat aturan yang mengatur aspek-aspek bisnis dan kegiatan
perdagangan.1 Selain itu, menurut Achmad Ichsan dalam bukunya, hukum dagang
adalah hukum yang mengatur soal-soal perdagangan, yaitu soal-soal yang timbul
karena tingkah laku manusia dalam perdagangan. 2 Dari dua pengertian hukum
dagang diatas, maka secara sederhana dapat diartikan bahwa hukum dagang
adalah hukum yang mengatur segala aspek yang menyangkut bisnis dan
perdagangan, seperti perjanjian, kontrak, dan hubungan antar pihak yang terlibat
dalam kegiatan ekonomi.
2. Sejarah Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
Pada awalnya, peraturan perdagangan dan bisnis diatur dalam dua Kitab
Undang-Undang terpisah. Ini disebabkan oleh fakta bahwa pada zaman Romawi
kuno, seperti "Corpus Juris Civilis", tidak ada hukum dagang yang berdiri sendiri.
Oleh karena itu, masalah seperti transaksi jual beli diatur bersama dengan
peraturan hukum sipil lainnya. Dengan berkembangnya perdagangan, muncul pula
adat dan kebiasaan perdagangan, terutama ketika pedagang-pedagang tersebut
membentuk persekutuan. Ini mendorong munculnya peraturan dan keputusan
yang berdiri sendiri, yang pada saat itu didasarkan pada kebiasaan lokal, yang
dikenal sebagai hukum kota (stadsrechten).3
Di Perancis, di bawah pemerintahan Raja Louis XIV, diperkenalkan aturan
seperti "Ordonnance du Commerce" (1673) dan "Ordonnance de la Marine"
(1681), yang kemudian digabungkan dalam satu kitab undang-undang yang
disebut "Code de Commerce." Ini menjadi dasar dari K.U.H Dagang yang ada
sekarang. Sementara itu, dalam "Code de Civil" hanya mencakup hal-hal yang
terkait dengan hukum perjanjian, yang disebut "Business Law" dalam hukum
Amerika Serikat, dan dimasukkan ke dalam satu kode.4

1
R. Soekardono, Loc.cit., hlm. 17.
2
Achmad Ichsan, Loc.cit., hlm. 17.
3
Martha Eri Safira, 2017, Hukum Dagang Dalam Sejarah dan Perkembangannya di Indonesia,
CV. Nata Karya, Ponorogo, hlm. 9.
4
Harsanto Nursadi, 2007, Sistem Hukum Indonesia, Penerbit Universitas Terbuka, Jakarta, hlm.
3.21.
Ketika Belanda mengadopsi kodifikasi hukum dagang, mereka mengikuti
model yang ada di Perancis. Oleh karena itu, dalam K.U.H Perdata hanya
mencakup hal-hal yang berasal dari hukum Romawi, seperti aturan dalam Corpus
Juris Civilis. Sedangkan aturan yang muncul setelah kerajaan Romawi diatur
dalam kitab undang-undang terpisah. Pada tanggal 1 Januari 1809, Belanda
dijajah oleh Perancis, yang mengakibatkan penerapan hukum Code de Commerce
di Belanda sebagai negara jajahan. Setelah Belanda merdeka kembali pada tanggal
1 Oktober 1838, mereka membuat "Wetboek van Koophandel" sebagai aturan
yang meniru Code de Commerce. Di Indonesia, yang saat itu merupakan negara
jajahan, aturan ini diterapkan berdasarkan azas konkordansi kodifikasi hukum
dagang yang diumumkan oleh Pemerintah pada tanggal 30 April 1847, yang
hanya berlaku bagi warga Eropa. Pada tahun 1935, perubahan signifikan
dilakukan di Belanda, dan perubahan tersebut juga disesuaikan di Indonesia pada
tahun 1938 dengan L.N No. 276. Pada tahun 1924, K.U.H. Dagang mulai berlaku
untuk warga Tionghoa dan bangsa lainnya, kecuali bangsa Indonesia. Bangsa
Indonesia diizinkan tunduk pada K.U.H. Dagang secara sukarela berdasarkan
penetapan Raja pada tanggal 15 September 1916 No. 26 yang mulai berlaku pada
tanggal 1 Januari 1917.5
3. Pengangkutan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
Pengangkutan dan perdagangan merupakan dua hal yang memiliki
keterkaitan satu dengan yang lainnya, pengangkutan membantu pendistribusian
barang menggunakan pengangkutan didalam mengantarkan atau memindahkan
barang dari satu tempat ke tempat lainnya. Hukum pengangkutan merupakan
hukum yang mengatur bisnis yang mencakup pengangkutan baik melalui jalur
laut, udara, darat dan perairan pedalaman serta termasuk dari bidang hukum
perdata yang tidak terlepas dari bagian bidang hukum tersebut. 6 Salah satu
pengaturan mengenai pengangkutan diatur dalam KUHD dan mengatur mengenai
pengangkutan pada beberapa bagian.

5
Op.Cit., hlm. 10-11.
6
HMN. Purwosujipto, 1981, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 3, Djambatan,
Jakarta, hlm. 1.
Ketentuan-ketentuan umum mengenai pengangkutan dalam hukum
dagang, sebagaimana terdapat dalam KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang), dapat ditemukan dalam beberapa pasal berikut:7
1. Buku I Bagian V Bagian 2 Pasal 86 hingga Pasal 90 yang membahas
kedudukan para ekspeditur sebagai pengusaha perantara.
2. Buku I Bagian V Bagian 2 dan 3, mulai dari Pasal 90 hingga Pasal 98,
yang mengatur pengangkutan darat dan pengangkutan perairan darat.
3. Buku II Bagian V Pasal 453 hingga Pasal 465 yang berkaitan dengan
Percarteran Kapal, Buku II Bagian V A Pasal 466 hingga Pasal 520
yang mengatur Pengangkutan Barang, dan Buku II Bagian VB Pasal
521 hingga Pasal 544a yang mengatur Pengangkutan Orang.
4. Buku II Bagian XIII Pasal 748 hingga Pasal 754 yang membahas kapal-
kapal dan alat-alat pelayaran yang berlayar di sungai dan perairan
pedalaman.
Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), ada beberapa
pihak yang terkait dalam pengangkutan. Pihak-pihak tersebut merupakan:
1. Ekspeditur
Ekspeditur termasuk subyek pengangkutan karena memiliki tugas
sebagai pencari pengangkut barang dalam proses pengiriman barang. 8
Pasal 86 KUHD menyebutkan bahwa seorang ekspeditur adalah
individu yang bertanggung jawab untuk mengatur pengangkutan barang
di darat atau perairan. Mereka harus mencatat informasi tentang jenis,
jumlah, dan nilai barang yang akan diangkut dalam catatan harian.
Selain itu, Pasal 87 KUHD menyatakan bahwa ekspeditur harus
menjamin pengiriman barang dagangan dengan baik dan secepat
mungkin, menggunakan semua sarana yang tersedia untuk memastikan
pengiriman yang lancar. Dengan demikian, ekspeditur bertindak
sebagai perantara antara pengirim dan angkutan barang.9
7
Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
8
Zainal Asikin, 2013, Hukum Dagang, Raja Grafindo Persada, hlm. 165.
9
Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Buku 1, Bagian 2.
2. Pengangkut
Abdulkadir Muhammad menjelaskan bahwa secara umum,
pengangkut adalah pihak yang berkomitmen untuk mengorganisir
pengangkutan orang dan/atau barang.10 Dalam Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, pengangkutan
dijelaskan sebagai penyelenggaraan angkutan menggunakan kendaraan
di ruang lalu lintas jalan. Berdasarkan perundang-undangan tersebut,
pengangkutan disesuaikan dengan jenis transportasi yang digunakan
untuk mengirim barang.

4. Pengangkutan Melalui Laut dan Tanggung Jawab Pengangkutan


Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
Pengangkutan melalui jalur laut diatur lebih khusus dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang Buku Kedua. Bagian dari Buku Kedua mengatur tentang
Hak-Hak dan Kewajiban-Kewajiban yang Timbul dari Perkapalan mencakup
berbagai bagian yang mengatur hal-hal seperti kapal laut dan muatannya,
pengusaha kapal, nakhoda, perjanjian kerja laut, penyediaan kapal, pengangkutan
barang dan orang, tubrukan kapal, kapal karam, pertanggungan terhadap bahaya
laut, pertanggungan terhadap bahaya pengangkutan di darat dan sungai, serta
berbagai aspek perniagaan laut.11
Dalam KUHD yaitu Pasal 468 KUHD yang berhubungan dengan
pengangkutan barang menyatakan bahwa dalam persetujuan pengangkutan,
pengangkut diwajibkan untuk menjaga keselamatan barang yang diangkut sejak
saat barang diterima hingga diserahkan. Pengangkut juga bertanggung jawab
untuk mengganti segala kerugian yang timbul, baik karena ketidakserahan barang
secara keseluruhan atau sebagian, kerusakan barang tersebut, kecuali jika dapat
dibuktikan bahwa ketidakserahan atau kerusakan tersebut disebabkan oleh
malapetaka yang tidak dapat dicegah atau dihindari, cacat pada barang, atau
kesalahan pengirimnya. Pengangkut bertanggung jawab atas tindakan semua
10
Abdulkadir Muhammad, Loc.Cit., hlm. 54.
11
Ridwan Khairandy, 2013, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, Cetakan I, FH UII Press,
hlm. 10-11.
orang yang diperkerjakannya dan atas benda yang digunakan dalam
pengangkutan.
5. Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Dagang atas Putusan
Pengadilan Negeri No: 6/Pdt.G/2021/PN Pbl
Kasus kecelakaan laut antara KM. Sanjaya Fisherindo dengan KM. Jala
Karya Sukses Abadi dalam Putusan Pengadilan Negeri No: 6/Pdt.G/2021/PN Pbl
bila dianalisis melalui perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
dapat dijabarkan menjadi beberapa penjelasan atas beberapa pasal yang berkenaan
dengan kasus ini. Penjabaran atas pasal-pasal tersebut adalah:
1. Pasal 358a KUHD
Pasal 358a KUHD mengatur tentang kewajiban nakhoda untuk
memberi pertolongan kepada kapal lain yang terlibat dalam tubrukan.
Dalam kasus ini, Tergugat II selaku nahkoda KM. Jala Karya Sukses
Abadi telah menolak permintaan Nahkoda KM. Sanjaya Fisherindo
untuk membantu memeriksa kerusakan kapal tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa Tergugat II tidak menjalankan tugasnya sebagai
nakhoda.
2. Pasal 427 KUHD
Pasal 427 KUHD mengatur tentang waktu kerja nakhoda. Dalam
kasus ini, Tergugat II selaku nahkoda KM. Jala Karya Sukses Abadi
telah menolak permintaan Nahkoda KM. Sanjaya Fisherindo untuk
membantu memeriksa kerusakan kapal tersebut. Hal ini menunjukkan
bahwa Tergugat II tidak menjalankan tugasnya sebagai nakhoda.
3. Pasal 534 KUHD
Pasal 534 KUHD mengatur tentang pertanggungjawaban untuk
kerugian yang ditimbulkan oleh tubrukan kapal. Dalam kasus ini, KM.
Sanjaya Fisherindo mengalami kerugian akibat tabrakan dengan KM.
Jala Karya Sukses Abadi. Oleh karena itu, pertanggungjawaban untuk
kerugian tersebut diatur oleh ketentuan-ketentuan dalam bab usaha.
4. Pasal 536 KUHD
Pasal 536 KUHD mengatur tentang tanggung jawab pengusaha
kapal yang telah melakukan kesalahan dalam tubrukan kapal. Dalam
kasus ini, Tergugat III selaku ABK KM. Jala Karya Sukses Abadi telah
lalai dalam menjalankan tugasnya sebagai pengemudi kapal. Tergugat
III telah berbelok tajam ke kanan, padahal KM. Sanjaya Fisherindo
telah berada di jalur yang sama. Hal ini menyebabkan tabrakan yang
mengakibatkan kerugian pada KM. Sanjaya Fisherindo.
Berdasarkan analisis dari Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tersebut,
dapat disimpulkan bahwa Putusan Pengadilan Negeri Probolinggo No.
6/Pdt.G/2021/PN Pbl adalah putusan yang tepat dan sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku. Putusan tersebut didasarkan pada bukti-bukti yang ada dan
pertimbangan hukum yang jelas. Putusan tersebut juga memberikan kepastian
hukum bagi para pihak yang terlibat dalam kasus tersebut.

C. Tinjauan Melalui Perspektif Collision Regulation (Colreg) 1972 atau


Peraturan Pencegahan Tubrukan di Laut (P2TL)
1. Collision Regulation Tahun 1972 atau Peraturan Pencegahan
Tubrukan di Laut (P2TL)
International Regulations for Preventing Collisions at Sea 1972
(COLREG 1972) adalah sebuah konvensi internasional yang digagas oleh
International Maritime Organization (IMO). Di dalam bahasa Indonesia,
COLREG 1972 dikenal dengan sebutan P2TL (Peraturan Pencegahan Tubrukan
Laut). COLREG 1972 berlaku bagi semua jenis kapal, termasuk kapal perang.
Kesesuaian ini dengan peran COLREG 1972 sebagai peraturan dan prosedur
untuk mencegah tubrukan di perairan laut. Colreg 1972 diadopsi dalam sidang
tanggal 20 Oktober 1972 dan mulai diberlakukan sejak 15 Juli 1977. 12 Indonesia
telah meratifikasi sejak tahun 1979 melalui Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun

12
Hadi Supriyono dan Djoko Subandrijo, 2017, COLREG 1972 Dan Dinas Jaga Anjungan,
Deepublish, Yogyakarta, hlm. 1.
1979 Tentang Mengesahkan "Convention on The International Regulations for
Preventing Collisions At Sea, 1972".
Saat ini, COLREG 1972 telah mengalami empat kali amandemen pada
tahun 1987, 1989, 1993, dan 2001. COLREG 1972 terdiri dari 41 aturan yang
terbagi dalam enam bagian, yaitu:13
1) BAGIAN A - UMUM
2) BAGIAN B - ATURAN-ATURAN MENGEMUDIKAN DAN
BERLAYAR
a) Seksi I - Sikap kapal dalam semua kondisi (batas) penglihatan
b) Seksi II - Sikap kapal dalam kondisi saling melihat.
c) Seksi III - Sikap kapal dalam kondisi tampak terbatas
3. BAGIAN C - PENERANGAN DAN SOSOK BENDA
4. BAGIAN D - ISYARAT BUNYI DAN CAHAYA
5. BAGIAN E - PEMBEBASAN
6. LAMPIRAN I - Penempatan dan Rincian Teknis Penerangan dan
Sosok Bend
7. LAMPIRAN II - Isyarat-isyarat Tambahan bagi Kapal-Kapal Ikan
yang Sedang Menangkap Ikan Saling Berdekatan
8. LAMPIRAN III - Rincian Teknis Tentang Perlengkapan Isyarat Bunyi
9. LAMPIRAN IV - Isyarat-Isyarat Marabahaya
Pentingnya COLREG 1972 terletak pada pengaturan tindakan yang harus
diambil oleh awak kapal saat berlayar di perairan yang padat lalu lintas laut.
COLREG berperan sebagai upaya preventif untuk menghindari terjadinya
tubrukan. Setiap kelalaian dalam penerapan COLREG berpotensi menimbulkan
dampak serius terhadap keselamatan kapal.
Colreg 1972, yang ditetapkan melalui Resolusi IMO Nomor A. 464 (XII),
berlaku secara internasional dan wajib diikuti serta dilaksanakan sepenuhnya oleh
seluruh kapal, pemilik kapal, Nakhoda, dan awak kapal untuk mencegah
terjadinya kecelakaan di laut. Kesepakatan Colreg 1972 ini telah ditandatangani
oleh seluruh anggota IMO pada bulan Oktober 1972 di London, termasuk

13
Lihat Colreg Tahun 1972.
Indonesia, yang sebagai negara kepulauan terbesar di dunia juga menjadi salah
satu dari 47 negara yang turut menandatanganinya.14
2. Aturan Colreg 1972 atau P2TL Terkait Putusan Mahkamah
Pelayaran Nomor HK.212/14/IX/MP.2022
Colreg 1972 (The International Regulations for Preventing Collision at
Sea 1972) adalah serangkaian peraturan yang mengatur tata cara navigasi dan
pencegahan tabrakan kapal di laut. Peraturan ini disusun dan diterbitkan oleh IMO
(Organisasi Maritim Internasional) dan digunakan sebagai panduan standar yang
diikuti oleh semua kapal yang terdaftar di IMO. Colreg 1972 merupakan alat yang
penting dalam menjaga keselamatan dan mengatur interaksi antar kapal di seluruh
dunia.15
Dalam keseluruhan, Colreg 1972 adalah dokumen penting yang berfungsi
sebagai panduan untuk menghindari tabrakan kapal di laut dan berkontribusi pada
keselamatan pelayaran global. Peraturan ini mengikuti prinsip-prinsip yang diatur
dalam Konvensi tentang peraturan internasional untuk pencegahan tabrakan di
laut 1972, dan memberikan pedoman teknis yang berguna bagi kapten kapal, awak
kapal, dan otoritas maritim di seluruh dunia.16
Colreg 1972 atau P2TL tidak memuat pengaturan mengenai penyelesaian
ganti rugi atas tubrukan yang terjadi pada kapal laut. Colreg 1972 atau P2TL
hanya mengatur mengenai pencegahan tubrukan kapal di laut. Pengaturan
mengenai penyelesaian ganti rugi atas tubrukan kapal di laut diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, dan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran.

D. Tinjauan Melalui Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
14
Dewi Indira Biasane, 2017, Penerapan Regulation for Prevention Collisions at Sea (COLREG
1972) pada Kapal Berbendera Indonesia di Pelabuhan Bitung, Jurnal Penelitian Transportasi
Laut, Balitbanghub, Jakarta, hlm. 50.
15
Hadi Supriyono dan Djoko Subandrijo, Loc.cit., hlm. 1.
16
Ibid., hlm. 3
Hukum Perdata dapat diidentifikasi sebagai dua jenis utama, yakni hukum
publik dan hukum privat (hukum perdata). Asal usul kata "perdata" berasal dari
kata "pradoto" dalam Bahasa Jawa Kuno yang memiliki makna pertengkaran atau
perselisihan. Oleh karena itu, dalam arti harfiah, hukum perdata dapat dijelaskan
sebagai hukum yang mengatur perselisihan atau sengketa.17
Menurut Prof. Mr. E.M. Mejers, hukum perdata adalah hukum perdata
adalah hukum yang mengatur hak-hak yang diberikan kepada perorangan
(individu), yang diserahkan sepenuhnya untuk menetapkan kepada mereka,
apabila ia akan mempergunakan hakhak itu, sepenuhnya dapat melulu
memperhatikan kepentingan sendiri.18 Selain itu, hukum perdata menurut
Sri Soedewi Masjchoen adalah kerangka hukum yang mengatur hubungan antara
individu dengan individu lainnya.19
Jadi, berdasarkan dua pengertian hukum perdata tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa kesimpulan pengertian hukum perdata adalah sistem hukum
yang mengatur hak-hak yang diberikan kepada individu, yang memungkinkan
individu tersebut memiliki kebebasan penuh untuk menentukan penggunaan hak-
hak tersebut dengan memprioritaskan kepentingan pribadi. Selain itu, hukum
perdata juga dapat dijelaskan sebagai kerangka hukum yang mengatur hubungan
antara individu dengan individu lainnya.
Hukum perdata terdiri dari dua jenis, yaitu hukum tertulis yang terdapat
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan hukum tidak tertulis yang
disebut Hukum Adat. Dalam konteks ilmu pengetahuan, Hukum Perdata dapat
dibagi menjadi empat bagian utama, yaitu:
A. Hukum Perorangan (Personen recht)
B. Hukum Keluarga (Familierecht)
C. Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht)
D. Hukum Waris (Erfrecht)

17
Muhammad Shoim, 2022, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Rafi Sarana Perkasa,
Semarang, hlm. 1.
18
Ibid., hlm.1
19
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Perdata: Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta,
hlm. 1
Namun, perlu diperhatikan bahwa pembagian ini berbeda dengan
pembagian yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang
terdiri dari:20
1. Buku I (Hukum Perorangan/Hukum pribadi)
2. Buku II (Hukum Benda)
3. Buku III (Hukum Perikatan)
4. Buku IV (Hukum Bukti dan Daluwarsa).
2. Sejarah Singkat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Sejarah perkembangan hukum perdata di Indonesia erat kaitannya dengan
pengaruh hukum Eropa, terutama Belanda. Pada tahun 1848, hukum privat bagi
golongan hukum Eropa di Indonesia dikodifikasi, mengumpulkan hukum-hukum
tersebut dalam beberapa kitab undang-undang sesuai sistem tertentu. Proses
pembuatan kodifikasi ini, dalam bidang hukum perdata, mengikuti asas
konkordansi, yang berarti hukum yang berlaku bagi orang-orang Belanda di
Indonesia harus disesuaikan dengan hukum yang berlaku di Belanda.
Sumber pokok hukum perdata di Indonesia adalah Kitab Undang-Undang
Hukum Sipil (KUHS) atau Burgerlijk Wetboek (BW), yang sebagian besar
didasarkan pada hukum perdata Prancis, seperti Code Napoleon tahun 1811-1838.
Setelah berakhirnya pendudukan Prancis di Belanda, pemerintah Belanda
membentuk panitia untuk menyusun rencana kodifikasi hukum perdata Belanda
dengan menggunakan Code Napoleon sebagai salah satu sumber utama.
Kodifikasi hukum perdata Belanda diresmikan pada 1 Oktober 1838 dan menjadi
landasan bagi kodifikasi hukum perdata Eropa di Indonesia.
Berdasarkan asas konkordansi, kodifikasi hukum perdata Belanda menjadi
panduan untuk kodifikasi hukum perdata di Indonesia. Hukum Perdata Belanda
diumumkan pada tanggal 30 April 1847 dan mulai berlaku di Indonesia pada 1
Mei 1848. Dasar hukum berlakunya peraturan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata di Indonesia adalah Pasal 1 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945
hasil perubahan keempat, yang menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan

20
Martha Eri Safira, 2017, Hukum Perdata, Edisi Pertama, Nata Karya, Ponorogo, hlm. 5.
yang ada tetap berlaku hingga diadakan yang baru sesuai dengan Undang-Undang
Dasar ini.21
3. Aturan-Aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Mengenai Penyelesaian Ganti Rugi atas Kecelakaan Kapal
Berdasarkan Putusan Nomor 6/Pdt.G/2021/PN Pbl, ada beberapa pasal
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dilanggar mengenai penyelesaian
ganti rugi atas kecelakaan kapal dalam putusan tersebut. Pasal-pasal tersebut
adalah:
1. Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
“Setiap perbuatan melawan hukum, yang oleh karenanya menimbulkan
kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya
menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian”
Pasal 1365 KUH Perdata menyatakan bahwa seseorang diwajibkan
untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada orang lain akibat
perbuatan melawan hukum. Analisis unsur-unsur Pasal 1365 adalah
sebagai berikut:
 Adanya suatu perbuatan yang melawan hukum: Ini berarti
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang harus bertentangan
dengan hukum atau melanggar norma-norma yang berlaku. Dalam
kasus ini, perbuatan TERGUGAT III yang mengemudikan KM.
JALA KARYA SUKSES ABADI dengan kecepatan tinggi dan
berbelok tajam ke kanan, menabrak lambung depan sebelah kanan
KM. SANJAYA FISHERINDO merupakan perbuatan melawan
hukum karena bertentangan dengan aturan navigasi dan
keselamatan pelayaran.

 Adanya kesalahan dari pihak pelaku: Kesalahan dalam konteks ini


mengacu pada kelalaian atau pelanggaran yang dilakukan oleh
pelaku. Dalam kasus ini, kesalahan TERGUGAT III adalah

21
Dadang Sundawa, 2008, Hukum Perdata dan Acara Perdata, Edisi 2, Universitas Terbuka Press,
Tangerang Selatan, hlm. 1.8-1.9
berbelok tajam ke kanan dan tidak menghindari tabrakan,
sementara kesalahan TERGUGAT II adalah meninggalkan KM.
SANJAYA FISHERINDO dalam keadaan rusak tanpa memberikan
pertolongan. Keduanya memiliki kesalahan dalam peristiwa
kecelakaan laut.
 Adanya kerugian bagi korban: Kerugian harus dialami oleh korban
akibat perbuatan melawan hukum tersebut. Dalam kasus ini,
kerugian terjadi karena tabrakan antara KM. JALA KARYA
SUKSES ABADI dan KM. SANJAYA FISHERINDO yang
menyebabkan kerusakan serius pada lambung depan KM.
SANJAYA FISHERINDO. Korban dalam hal ini adalah pemilik
KM. SANJAYA FISHERINDO.
 Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian: Terdapat
keterkaitan penyebab-akibat antara perbuatan yang melawan
hukum dan kerugian yang dialami korban. Dalam hal ini, tabrakan
yang disebabkan oleh perbuatan TERGUGAT III dan kelalai
TERGUGAT II mengakibatkan kerusakan serius pada kapal KM.
SANJAYA FISHERINDO.
Berdasarkan analisis tersebut, Pasal 1365 KUH Perdata dapat
digunakan untuk menuntut ganti rugi dari TERGUGAT III dan
TERGUGAT II atas kerugian yang ditimbulkan pada pemilik KM.
SANJAYA FISHERINDO akibat perbuatan melawan hukum yang mereka
lakukan dalam peristiwa kecelakaan laut tersebut. Pasal ini memberikan
dasar hukum yang kuat untuk meminta penggantian kerugian yang timbul.
2. Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
”Seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas kerugian yang disebabkan
perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan
perbuatan - perbuatan orang - orang yang menjadi tanggungannya atau
disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.
..... Majikan dan orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili
urusan-urusan mereka, bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan
oleh pelayan atau bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan yang
ditugaskan kepada orang-orang itu.”
Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
menyatakan bahwa seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas
kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri, melainkan juga atas
kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah
pengawasannya. Hal ini mengindikasikan prinsip tanggung jawab pihak
ketiga, di mana seseorang atau entitas dapat dianggap bertanggung jawab
atas tindakan orang lain atau barang-barang yang mereka awasi.
Dalam konteks ini, TERGUGAT I, yang merupakan pemilik KM
JALA KARYA SUKSES ABADI dan perusahaan yang mempekerjakan
TERGUGAT II dan TERGUGAT III untuk operasional kapal tersebut,
mempunyai tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh TERGUGAT II dan TERGUGAT III. Meskipun
perbuatan- perbuatan tersebut dilakukan oleh TERGUGAT II dan
TERGUGAT III, TERGUGAT I masih harus bertanggung jawab atas
tindakan mereka sehubungan dengan operasional kapal yang berada di
bawah kendali TERGUGAT I. Jadi, berdasarkan Pasal 1367 KUH Perdata,
TERGUGAT I dapat dianggap bertanggung jawab atas kerugian yang
ditimbulkan oleh TERGUGAT II dan TERGUGAT III yang mengakibatkan
kerusakan pada KM SANJAYA FISHERINDO, dan PENGGUGAT
memiliki dasar hukum untuk menuntut ganti rugi dari TERGUGAT I.

E. Tinjauan Melalui Perspektif Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008


Tentang Pelayaran
1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran
Indonesia, yang sebagian besar terdiri dari perairan, memiliki peran
penting dalam mengembangkan maritimnya. Dengan luas laut sekitar 3,25 juta
km2, termasuk 2,55 juta km2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Indonesia memiliki
tanggung jawab untuk memfasilitasi lintas lintas internasional melalui
perairannya. Dalam posisi strategis antara benua Asia dan Australia, Indonesia
memiliki peran unik yang menarik perhatian masyarakat internasional terkait
dengan jalur perdagangan yang vital. Indonesia memiliki ciri khas sebagai negara
kepulauan yang membuatnya menjadi salah satu negara yang paling penting di
dunia dalam konteks perairan. Oleh karena itu, laut Indonesia menjadi ajang
perebutan pengaruh dari negara-negara lain.
Dengan melihat regulasi hukum internasional yang fokus pada wilayah
daratan, perairan Indonesia dianggap sebagai "Res Nullius," yang mengarah pada
keprihatinan bahwa negara lain mungkin akan bersaing menguasai perairan
nusantara. Kebebasan pelayaran di perairan Indonesia adalah isu utama yang
selalu dipertahankan oleh negara-negara maritim besar. Dengan pertumbuhan
perdagangan laut yang terus berkembang, transportasi laut menjadi elemen
penting dalam perekonomian dunia. Undang-Undang No. 17 tahun 2008
menetapkan regulasi khusus yang harus dihormati oleh negara pantai lain di
perairan Indonesia, memberikan Indonesia kewenangan untuk mengatur alur
pelayaran, sistem rute, tata cara berlalu lintas, dan daerah labuh kapal sesuai
dengan kepentingan nasional.22
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran dengan
penjelasan singkat tentang masing-masing aspek yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran sebagai berikut:

1. Pengertian pelayaran
Pelayaran adalah kegiatan angkutan di perairan, baik di laut lepas, di
perairan kepulauan, maupun di perairan pedalaman yang dapat dilayari oleh kapal.
2. Penyelenggara pelayaran
22
Irnaldi Rahim Wijaya, 2023, Analisis Perubahan UU No17 tahun 2008 tentang Pelayaran
terhadap UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, hlm. 687-
688.
Penyelenggara pelayaran adalah orang atau badan hukum yang melakukan
usaha angkutan di perairan, baik di laut lepas, di perairan kepulauan, maupun di
perairan pedalaman yang dapat dilayari oleh kapal.
3. Kapal
Kapal adalah setiap alat apung yang dapat dipergunakan untuk pelayaran
dan tidak bertempat tinggal tetap.
4. Awak kapal
Awak kapal adalah setiap orang yang bekerja di atas kapal, baik sebagai
nahkoda, mualim, maupun anak buah kapal.
5. Pelayaran
Pelayaran adalah kegiatan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, dan pengendalian angkutan di perairan, baik di laut lepas, di perairan
kepulauan, maupun di perairan pedalaman yang dapat dilayari oleh kapal.
6. Keamanan dan keselamatan pelayaran
Keamanan dan keselamatan pelayaran adalah upaya untuk mencegah
terjadinya kecelakaan dan pencemaran di perairan dalam rangka menjamin
keselamatan jiwa manusia, barang, dan lingkungan maritim.
7. Lingkungan maritim
Lingkungan maritim adalah ruang perairan, dasar perairan, dan ruang
udara di atasnya yang merupakan satu kesatuan ekosistem.
8. Penyelesaian perselisihan
Penyelesaian perselisihan adalah upaya untuk menyelesaikan perselisihan
yang timbul dalam pelayaran.
Selain aspek-aspek tersebut, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008
tentang Pelayaran juga mengatur tentang:
1. Sertifikasi dan perizinan
2. Dokumen pelayaran
3. Ketentuan lain
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran merupakan
peraturan perundang-undangan yang penting untuk menjamin keselamatan dan
keamanan pelayaran di Indonesia.
2. Tanggung Jawab Pengangkut dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2008 Tentang Pelayaran
Tanggung jawab pengangkut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2008 Tentang Pelayaran terdapat dalam Paragraf 2 (dua) yang dimulai dari Pasal
40 sampai Pasal 43. Pasal 40 dari Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran mengatur tentang tanggung jawab pengangkut di perairan. Berdasarkan
Pasal 40(1), perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap
keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkut. Ini berarti
perusahaan angkutan di perairan memiliki kewajiban utama untuk memastikan
bahwa pelayaran mereka aman dan memenuhi standar keselamatan.
Pasal 40(2) lebih lanjut menjelaskan bahwa perusahaan angkutan di
perairan bertanggung jawab terhadap muatan kapal sesuai dengan jenis dan
jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan dan/atau perjanjian atau kontrak
pengangkutan yang telah disepakati. Ini mengandung prinsip kejelasan dan
kepastian dalam pengangkutan barang.
Pasal 41 menjelaskan bahwa tanggung jawab perusahaan angkutan dapat
timbul sebagai akibat dari berbagai situasi, termasuk kematian atau luka
penumpang, kerusakan barang, keterlambatan, atau kerugian pihak ketiga. Pasal
41(2) memberikan kelonggaran bagi perusahaan angkutan jika mereka dapat
membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan disebabkan oleh kesalahan mereka.
Dalam hal ini, mereka dapat dibebaskan sebagian atau seluruh tanggung
jawabnya.
Pasal 41(3) mengharuskan perusahaan angkutan untuk mengasuransikan
tanggung jawabnya dan melaksanakan asuransi perlindungan dasar penumpang
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini bertujuan untuk
memastikan bahwa ada dana yang tersedia untuk menutupi kerugian yang
mungkin timbul selama pelayaran. Pasal 42 dan Pasal 43 mengatur tentang
fasilitas khusus dan kemudahan yang harus diberikan oleh perusahaan angkutan
kepada penyandang cacat, wanita hamil, anak-anak, orang sakit, dan orang lanjut
usia tanpa dikenakan biaya tambahan.
2. Aturan-Aturan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008
Tentang Pelayaran
Berdasarkan Putusan Nomor 6/Pdt.G/2021/PN Pbl, ada beberapa pasal
dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran yang dilanggar
mengenai tanggung jawab ganti rugi atas kecelakaan kapal dalam putusan
tersebut. Pasal-pasal tersebut adalah:
1. Pasal 247
“Nakhoda yang mengetahui kecelakaan kapalnya atau kapal lain wajib
mengambil tindakan penanggulangan, meminta dan/atau memberikan
pertolongan, dan menyebarluaskan berita mengenai kecelakaan tersebut kepada
pihak lain.”
2. Pasal 249
“Kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 merupakan tanggung
jawab Nakhoda kecuali dapat dibuktikan lain.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, maka dapat dianalisis bahwa:
1. Tergugat II tidak bersedia memberi pertolongan
Pasal 247 Undang-undang Republik Indonesia No. 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran (UU Pelayaran) menyatakan bahwa nahkoda kapal wajib melakukan
tindakan penanggulangan, memberikan pertolongan, dan melaporkan kecelakaan
kapal. Dalam hal ini, KM. SANJAYA FISHERINDO mengalami kecelakaan laut.
Nahkoda kapal, yang dalam hal ini adalah Tergugat II, wajib memberikan
pertolongan kepada awak kapal dan penumpang yang berada di kapal tersebut.
Namun, Tergugat II justru meninggalkan KM. SANJAYA FISHERINDO dalam
keadaan rusak di tengah laut. Tindakan Tergugat II ini bertentangan dengan
ketentuan Pasal 247 UU Pelayaran. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai
perbuatan melawan hukum, karena telah melanggar kewajiban nahkoda kapal
untuk memberikan pertolongan.
2. Tergugat II terkesan menutupi terjadinya kecelakaan laut
Pasal 249 UU Pelayaran menyatakan bahwa nahkoda kapal bertanggung
jawab atas kecelakaan kapal. Dalam hal ini, Tergugat II tidak melaporkan
terjadinya kecelakaan laut KM. SANJAYA FISHERINDO pada saat kedatangan
di pelabuhan Dobo. Tindakan ini terkesan menutupi terjadinya kecelakaan laut.
Tindakan Tergugat II ini juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 249 UU
Pelayaran. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum,
karena telah melanggar kewajiban nahkoda kapal untuk melaporkan kecelakaan
kapal.
BAB IV
PERBANDINGAN PERTIMBANGAN HAKIM MELALUI PUTUSAN
PENGADILAN NEGERI DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH
PELAYARAN

A. Perbandingan Pertimbangan-Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan


Negeri No: 6/Pdt.G/2021/PN dengan Putusan Mahkamah Pelayaran No:
HK. 212/14/IX/MP.022)
A. Pertimbangan-Pertimbangan Hakim dalam Putusan Pengadilan
Negeri No: 6/Pdt.G/2021/PN Pbl
A. Pertimbangan-Pertimbangan Hukum dalam Eksepsi Putusan
Pengadilan Negeri Nomor 6/Pdt.G/2021/PN Pbl:
Dalam eksepsi ini, pertimbangan hukum utamanya adalah sebagai berikut:
1. Eksepsi mengenai kewenangan Pengadilan Negeri Probolinggo
Pengadilan Negeri Probolinggo memutuskan bahwa Pengadilan
tersebut memiliki kewenangan absolut untuk mengadili perkara ini,
sehingga eksepsi yang menyatakan sebaliknya ditolak.
2. Eksepsi mengenai gugatan prematur atau masih terlampau dini
Majelis Hakim menilai bahwa gugatan Penggugat dalam perkara
ini adalah terkait dengan kerugian yang dialami oleh kapal pengangkut
ikan setelah terjadi tabrakan, khususnya mengenai ganti kerugian muatan
kapal. Pemeriksaan perdata tidak perlu menunggu penyelesaian
pemeriksaan pidana oleh Kepolisian atau Syahbandar. Oleh karena itu,
eksepsi ini ditolak.
3. Eksepsi mengenai kurangnya pihak (Plurium Litis Consortium)
Saifudin selaku Nahkoda kapal dan pihak lain seperti Syahbandar
Dobo dan Observer yang tidak disertakan sebagai pihak dalam gugatan
tidak membuat gugatan Penggugat menjadi kurang pihak. Saifudin
memiliki kepentingan yang sama dengan Penggugat terhadap Para
Tergugat dalam perkara ini. Demikian pula, Syahbandar Dobo dan
Observer tidak memiliki hubungan atau kepentingan langsung terkait
dengan ganti rugi yang diajukan oleh Penggugat. Oleh karena itu, eksepsi
ini ditolak.
B. Pertimbangan-Pertimbangan Hukum dalam Pokok Perkara Putusan
Pengadilan Negeri Nomor 6/Pdt.G/2021/PN Pbl:
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Nomor 6/Pdt.G/2021/PN Pbl,
inti-inti dari pertimbangan hukum dalam pokok perkara ini adalah sebagai berikut:
1. Penggugat (pemilik KM. Sanjaya Fisherindo) menggugat Tergugat I
(PT. Jala Karya Sukses Abadi), Tergugat II (Sui Tie sebagai
Nahkoda), dan Tergugat III (Taufik sebagai ABK) atas dasar bahwa
KM. Sanjaya Fisherindo mengalami kerusakan parah akibat ditabrak
oleh KM. Jala Karya Sukses Abadi yang dimiliki oleh Tergugat I.
Akibat dari tabrakan tersebut, Penggugat terpaksa membuang
sebagian besar muatan ikan, menyebabkan kerugian. Penggugat
mengklaim bahwa ini adalah tindakan melawan hukum oleh Tergugat
yang harus ditanggung.
2. Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III membantah tuntutan
Penggugat. Mereka mengklaim bahwa tabrakan terjadi karena
kesalahan Nahkoda KM. Sanjaya Fisherindo dan mencoba
menjelaskan bahwa mereka telah mengikuti prosedur yang benar,
termasuk memberikan tanda lampu peringatan.
3. Pengadilan menganggap bahwa KM. Sanjaya Fisherindo adalah kapal
milik Penggugat dan bahwa tabrakan terjadi antara KM. Sanjaya
Fisherindo dan KM. Jala Karya Sukses Abadi, serta kerugian yang
dituntut oleh Penggugat adalah hasil dari tabrakan tersebut.
4. Pokok persengketaan antara kedua belah pihak adalah apakah
kerugian yang dialami oleh Penggugat adalah kesalahan dan tanggung
jawab KM. Jala Karya Sukses Abadi.
5. Penggugat memiliki bukti surat dan saksi yang mendukung klaim
mereka, termasuk dokumen-dokumen mengenai kepemilikan kapal
dan bukti kerugian yang dialami.
6. Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III juga memiliki bukti surat
yang tidak memadai untuk membantah klaim Penggugat, tetapi
pengadilan menilai bahwa bukti mereka tidak cukup kuat untuk
mendukung klaim mereka.
7. Pengadilan kemudian mengambil keputusan bahwa tuntutan
Penggugat beralasan, dan Tergugat tidak dapat membuktikan dalil-
dalil sangkalan mereka. Oleh karena itu, pengadilan memutuskan
untuk mengabulkan gugatan Penggugat.
2. Pertimbangan-Pertimbangan Hakim dalam Putusan Mahkamah
Pelayaran No: HK. 212/14/IX/MP.022
Dalam Putusan Mahkamah Pelayaran No: HK. 212/14/IX/MP.022,
terdapat pertimbangan-pertimbangan hukum dalam putusannya. Adapun
pertimbangan-pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Pelayaran No:
HK. 212/14/IX/MP.022 ialah:
1. Tentang Kapal, Surat Kapal, dan Awak Kapal KM Jala Karya Sukses
Abadi:
 Deskripsi kapal, surat kapal, dan awak kapal, termasuk jenis,
ukuran, dan kondisi kapal.
 Surat kapal lengkap dan masih berlaku, kecuali untuk susunan
perwira dek dan mesin yang tidak sesuai dengan sertifikat
keselamatan kapal.
2. Tentang Kapal, Surat Kapal, dan Awak Kapal KM Sanjaya
Fisherindo:
 Deskripsi kapal, surat kapal, dan awak kapal, termasuk jenis,
ukuran, dan kondisi kapal.
 Surat kapal lengkap dan masih berlaku, kecuali untuk susunan
perwira dek yang tidak sesuai dengan sertifikat keselamatan kapal.
3. Tentang Cuaca:
 Analisis cuaca saat kecelakaan berdasarkan data BMKG dan
kesaksian Nakhoda dan awak kapal.
 Cuaca saat kejadian dinyatakan sebagai berawan dengan hujan
ringan, arah dan kecepatan angin, arah dan kecepatan arus, arah
dan tinggi gelombang, dan jarak pandang di lokasi kejadian.
4. Tentang Muatan dan Stabilitas Kapal KM Jala Karya Sukses Abadi:
 Penjelasan tentang muatan kapal, termasuk ukuran kapal, draft
kapal, dan kondisi muatan.
 Tidak ada perubahan muatan pada KM Jala Karya Sukses Abadi
sebagai akibat dari kecelakaan.
5. Tentang Stabilitas Kapal KM Jala Karya Sukses Abadi:
 Tidak ada perhitungan stabilitas kapal sebelum berangkat, tetapi
kapal dalam keadaan mengapung tegak, stabil, dan tanpa kebocoran
sebelum dan sesudah tubrukan.
6. Tentang Spesifikasi Kapal KM Sanjaya Fisherindo:
 Kapal ini memiliki ukuran-ukuran pokok sesuai dengan Surat Ukur
Internasional yang dikeluarkan pada tanggal 18 Mei 2017.
 Kapal memiliki sertifikat garis muat kapal sementara yang
diterbitkan pada tanggal 17 Desember 2020 yang menunjukkan
lambung timbul sebesar 0,65 meter.
 Sarat maksimum kapal sebelum kejadian dihitung sebagai 2,85
meter.
 Kapal berangkat dari Pelabuhan Dobo dengan muatan berbagai
jenis ikan beku dan total berat 202,073 ton. Sebelum kejadian,
kapal tidak dalam keadaan overdraft, yang merupakan pelanggaran
hukum.
7. Tentang Keadaan Kapal dan Perilaku Nakhoda:
 KM Jala Karya Sukses Abadi memiliki dimensi dan daya mesin
tertentu.
 Pada saat kejadian, kapal memiliki kecepatan rata-rata 7 knots, dan
ada informasi tentang kondisi cuaca dan jarak pandang yang baik.
 Kapal tidak mengambil tindakan yang cukup cepat dalam
menghindari tubrukan, dan tindakan pencegahan yang diambil
tidak sesuai dengan peraturan pencegahan tubrukan di laut (P2TL)
tahun 1972.
 Terduga Nakhoda tidak memberikan petugas jaga kewenangan
yang cukup dalam penggunaan alat komunikasi radio, perubahan
haluan, dan penggunaan mesin kapal untuk mencegah tubrukan.
8. Penyebab Kecelakaan:
 Kecelakaan ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan
pemahaman tentang peraturan pencegahan tubrukan di laut,
kurangnya komunikasi antara kapal-kapal, dan kurangnya
pengawakan yang sesuai dengan ketentuan sertifikat keselamatan
kapal.
9. Upaya Penyelamatan:
 KM Jala Karya Sukses Abadi melakukan beberapa upaya
penyelamatan setelah kejadian, termasuk berkomunikasi dengan
KM Sanjaya Fisherindo, mengitari kapal tersebut, dan memeriksa
kondisinya.
 KM Sanjaya Fisherindo juga melakukan beberapa upaya
penyelamatan, seperti memperbaiki kerusakan, menghubungi
pemilik kapal, dan membuang sebagian muatan untuk melanjutkan
pelayaran.
10. Kesalahan dan Kelalaian:
 Terduga Nakhoda dari kedua kapal terlibat dalam kesalahan dan
kelalaian, termasuk kurangnya pengetahuan mereka tentang
peraturan pencegahan tubrukan di laut.
 Terduga Nakhoda dari KM Jala Karya Sukses Abadi tidak
memberikan petugas jaga kewenangan yang cukup dalam
penggunaan alat komunikasi radio, perubahan haluan, dan
penggunaan mesin kapal untuk tindakan pencegahan tubrukan.
 Terduga Nakhoda dari KM Sanjaya Fisherindo menempatkan
petugas jaga dengan latar belakang pendidikan teknik/mesin, yang
tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang navigasi.
3. Hasil Analisis Perbandingan Pertimbangan-Pertimbangan Hukum
dalam Putusan Pengadilan Negeri No: 6/Pdt.G/2021/PN dengan
Putusan Mahkamah Pelayaran No: HK. 212/14/IX/MP.022)
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum dalam Putusan
Pengadilan Negeri No: 6/Pdt.G/2021/PN dengan Putusan Mahkamah Pelayaran
No: HK. 212/14/IX/MP.022 yang sudah di rincikan diatas, maka terdapat poin-
poin yang dihasilkan atas analisis dari membandingkan pertimbangan-
pertimbangan hukum dari dua putusan tersebut, yaitu:
1. Persamaan
 Deskripsi Kapal, Surat Kapal, dan Awak Kapal: Kedua putusan
mengulas informasi rinci tentang kapal-kapal yang terlibat,
termasuk jenis, ukuran, dan kondisi kapal, serta status surat kapal
mereka.
 Tentang Cuaca: Kedua putusan mempertimbangkan kondisi cuaca
saat kecelakaan terjadi, termasuk data cuaca dari BMKG dan
kesaksian awak kapal.
 Tentang Keadaan Kapal dan Perilaku Nakhoda: Putusan dari kedua
pengadilan mencakup informasi tentang spesifikasi kapal,
kecepatan kapal saat kejadian, dan perilaku Nakhoda. Kedua
pengadilan juga menilai tindakan yang diambil atau tidak diambil
oleh kapal-kapal terkait.
 Upaya Penyelamatan: Kedua pengadilan mempertimbangkan upaya
penyelamatan yang dilakukan oleh kapal-kapal setelah kejadian,
termasuk komunikasi dan tindakan yang diambil untuk memeriksa
kondisi kapal.
2. Perbedaan
 Pertimbangan Kewenangan Pengadilan: Putusan pengadilan negeri
mencakup pertimbangan mengenai kewenangan Pengadilan Negeri
Probolinggo untuk mengadili perkara ini. Di sisi lain, putusan
mahkamah pelayaran tidak membahas masalah kewenangan
pengadilan.

 Eksepsi mengenai Gugatan Prematur: Putusan pengadilan negeri


mengatasi eksepsi mengenai gugatan prematur atau masih
terlampau dini. Pengadilan menyimpulkan bahwa gugatan tersebut
tidak prematur. Sementara itu, putusan mahkamah pelayaran tidak
mencakup aspek ini.
 Pertimbangan Tentang Plurium Litis Consortium: Putusan
pengadilan negeri menilai bahwa gugatan Penggugat tidak menjadi
kurang pihak meskipun beberapa pihak seperti Syahbandar Dobo
dan Observer tidak disertakan sebagai tergugat. Putusan mahkamah
pelayaran tidak membahas isu ini.
 Pokok Perkara: Putusan pengadilan negeri mencakup pertimbangan
yang lebih mendalam tentang pokok perkara, termasuk klaim
gugatan Penggugat dan sangkalan dari Tergugat. Pengadilan
mengevaluasi bukti dan argumen dari kedua belah pihak untuk
mencapai keputusan.
 Penilaian Bukti: Putusan pengadilan negeri dan mahkamah
pelayaran melakukan penilaian bukti yang berbeda. Pengadilan
negeri menyatakan bahwa bukti Penggugat lebih kuat, sementara
pengadilan mahkamah pelayaran tidak memberikan pandangan
tentang kekuatan bukti.
Dalam konteks perbandingan ini, putusan pengadilan negeri memberikan
analisis yang lebih komprehensif tentang permasalahan hukum dalam perkara
tersebut, mencakup pokok perkara dan akhirnya menghasilkan keputusan. Di sisi
lain, putusan mahkamah pelayaran memberikan pertimbangan hukum terkait
aspek teknis kapal, cuaca, dan kesalahan yang mempengaruhi kejadian laut, tetapi
tidak memberikan keputusan akhir. Kedua putusan saling melengkapi dengan
fokus pada aspek hukum yang berbeda dalam konteks kasus kecelakaan laut
tersebut.

B. Perbandingan Putusan Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri No:


6/Pdt.G/2021/PN dengan Putusan Mahkamah Pelayaran No: HK.
212/14/IX/MP.022)
1. Putusan Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri No:
6/Pdt.G/2021/PN
Putusan Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor
6/Pdt.G/2021/PN Pbl adalah:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Penggugat adalah subjek hukum yang beritikad baik;
3. Menyatakan Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III telah melakukan
perbuatan melawan hukum dalam peristiwa Kecelakaan Laut berupa
Tubrukan antara KM. Jala Karya Sukses Abadi dengan KM. Sanjaya
Fisherindo yang terjadi pada tanggal 18 Januari 2021 diperairan
wilayah Banda berbatasan dengan Perairan Nusa Tenggara Timur
Indonesia;
4. Menghukum Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III secara
tanggung renteng membayar ganti rugi materiel kepada Penggugat
sebesar Rp.6.796.850.270,00 (enam milyar tujuh ratus sembilan puluh
enam juta delapan ratus lima puluh ribu dua ratus tujuh puluh rupiah);
5. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;
6. Menghukum Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III secara
tanggung renteng membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.155.000,00
(dua juta seratus lima puluh lima ribu rupiah)
2. Putusan Hakim dalam Putusan Mahkamah Pelayaran No: HK.
212/14/IX/MP.022
Putusan Hakim dalam Putusan Mahkamah Pelayaran No: HK.
212/14/IX/MP.022 adalah:
I. Menyatakan bahwa tubrukan antara KM Jala Karya Sukses Abadi
dengan KM Sanjaya Fisherindo pada tanggal 18 Januari 2021 pukul
02.24 WIT di sekitar Perairan Laut Banda — Maluku, pada posisi 06°
46,708’ S/125° 26,908 T, adalah disebabkan oleh faktor manusia
dikarenakan Nakhoda KM Jala Karya Sukses Abadi dan Nakhoda KM
Sanjaya Fisherindo tidak cermat dalam bernavigasi dan menghindari
bahaya tubrukan.
II. Menyatakan Terduga Nakhoda KM Jala Karya Sukses Abadi Saudara
Sui Tie telah lalai melaksanakan kecakapan pelaut yang baik (Good
Seamanship) dalam memenuhi kewajibannya sesuai amanah Pasal 342
Kitab Undang Undang Hukum Dagang (KUHD), karena menempatkan
petugas jaga navigasi yang tidak memiliki pengetahuan cukup tentang
bernavigasi di laut, sehingga kapal tidak menerapkan Peraturan
Pencegahan Tubrukan di Laut (P2TL) Tahun 1972, aturan 5, aturan 14,
aturan 17, dan membatasi kewenangan petugas jaga dalam bernavigasi
yang menyebabkan terjadinya tubrukan.
III. Menyatakan Terduga Nakhoda KM Sanjaya Fisherindo Saudara Yanto
telah lalai melaksanakan kecakapan pelaut yang baik (Good
Seamanship) dalam memenuhi kewajibannya sesuai amanah Pasal 342
Kitab Undang Undang Hukum Dagang (KUHD), karena menempatkan
petugas jaga navigasi yang tidak memiliki pengetahuan cukup tentang
bernavigasi di laut, sehingga kapal tidak menerapkan Peraturan
Pencegahan Tubrukan di Laut (P2TL) Tahun 1972, aturan 5, aturan 8,
aturan 14, aturan 15, aturan 16, dan aturan 24 serta membatasi
kewenangan petugas jaga dalam bernavigasi yang menyebabkan
terjadinya tubrukan.
IV. Menghukum Terduga Nakhoda KM Jala Kaiya Sukses Abadi, atas
nama Saudara Sui Tie, lahir di Meral Karimun tanggal 16 May 1958,
memiliki Sertifikat Ahli Nautika Kapal Penangkap Ikan Tingkat III
(ANKAPIN-III), Nomor 6221810839N96019, yang dikeluarkan oleh
Kepala Sub Direktorat Kepelautan, Direktorat Perkapalan dan
Kepelautan, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, dengan mencabut
sementara Sertifikat Keahlian tersebut untuk bertugas sebagai Nakhoda
di kapal-kapal Niaga, selama jangka waktu 1 (satu) bulan.
V. Menghukum Terduga Nakhoda KM Sanjaya Fisherindo, atas nama
Saudara Yanto, lahir di Meral Karimun tanggal 10 November 1980,
memiliki Sertifikat Ahli Nautika Kapal Penangkap Ikan Tingkat III
(ANKAPIN-III), Nomor 6221810004N96118, yang dikeluarkan oleh
Kepala Sub Direktorat Kepelautan, Direktorat Perkapalan dan
Kepelautan, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, dengan mencabut
sementara Sertifikat Keahlian tersebut untuk bertugas sebagai Nakhoda
di kapal-kapal Niaga, selama jangka waktu 2 (dua) bulan.
3. Hasil Analisis Perbandingan Putusan Hakim dalam Putusan
Pengadilan Negeri No: 6/Pdt.G/2021/PN dengan Putusan Mahkamah
Pelayaran No: HK. 212/14/IX/MP.022)
Putusan Mahkamah Pelayaran Nomor HK. 212/14/IX/MP.022 dan
Putusan Pengadilan Negeri Nomor 6/Pdt.G/2021/PN.PBL memiliki beberapa
persamaan dan perbedaan.
1. Persamaan
Kedua putusan sama-sama menyatakan bahwa tubrukan antara KM Jala
Karya Sukses Abadi dengan KM Sanjaya Fisherindo pada tanggal 18 Januari
2021 disebabkan oleh faktor manusia. Kedua putusan sama-sama menyatakan
bahwa Nakhoda KM Jala Karya Sukses Abadi dan Nakhoda KM Sanjaya
Fisherindo telah lalai melaksanakan kecakapan pelaut yang baik (Good
Seamanship) dalam memenuhi kewajibannya. Kedua putusan sama-sama
menjatuhkan sanksi kepada Nakhoda KM Jala Karya Sukses Abadi dan Nakhoda
KM Sanjaya Fisherindo, yaitu pencabutan sementara sertifikat keahlian untuk
bertugas sebagai nakhoda di kapal-kapal niaga.
2. Perbedaan
Putusan Mahkamah Pelayaran lebih fokus pada aspek kelaiklautan,
sedangkan Putusan Pengadilan Negeri lebih fokus pada aspek perdata. Putusan
Mahkamah Pelayaran tidak memberikan putusan ganti rugi, sedangkan Putusan
Pengadilan Negeri memberikan putusan ganti rugi materiil kepada penggugat
sebesar Rp6.796.850.270,00.
Perbedaan fokus antara kedua putusan tersebut dapat dilihat dari rumusan
amar putusan. Amar putusan Mahkamah Pelayaran lebih menekankan pada
temuan pelanggaran terhadap peraturan kelaiklautan, yaitu Peraturan Pencegahan
Tubrukan di Laut (P2TL) Tahun 1972. Putusan ini juga menetapkan sanksi
pencabutan sementara sertifikat keahlian kepada para nakhoda sebagai upaya
untuk mencegah terjadinya kecelakaan serupa di masa mendatang.
Sedangkan amar putusan Pengadilan Negeri lebih menekankan pada aspek
perdata, yaitu ganti rugi yang harus dibayarkan oleh para tergugat kepada
penggugat. Ganti rugi tersebut diberikan sebagai kompensasi atas kerugian
materiil yang dialami oleh penggugat akibat kecelakaan laut tersebut. Berdasarkan
perbedaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kedua putusan tersebut saling
melengkapi. Putusan Mahkamah Pelayaran memberikan kontribusi dalam aspek
kelaiklautan, sedangkan Putusan Pengadilan Negeri memberikan kontribusi dalam
aspek perdata.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dari tulisan ini, terdapat beberapa kesimpulan
yang didapatkan oleh penulis, diantaranya:
1. Dalam konteks tanggung jawab perdata, tiga faktor penting harus
dipertimbangkan. Dalam kasus ini, terdapat tiga pihak terlibat: penggugat,
tergugat I, dan tergugat II. Penggugat adalah PT. Sanjaya Fisherindo,
sedangkan tergugat I adalah PT. Jala Karya Sukses Abadi tergugat II adalah
Nahkoda KM. Jala Karya Sukses Abadi, dan tergugat III adalah ABK KM. Jala
Karya Sukses Abadi. Penggugat menggugat perdata karena tergugat I dan
tergugat II dianggap bertanggung jawab atas kecelakaan kapal tersebut.
Terutama, tindakan tergugat II yang menolak memberikan bantuan setelah
kecelakaan menjadi faktor utama. Putusan pengadilan menyimpulkan bahwa
tergugat I, tergugat II, dan tergugat III bertanggung jawab atas kecelakaan dan
diwajibkan membayar ganti rugi kepada penggugat. Namun, jumlah ganti rugi
yang harus dibayarkan oleh masing-masing tergugat berbeda, sesuai dengan
tingkat keterlibatan dan tanggung jawab mereka dalam kecelakaan tersebut.
2. Dalam kasus ini, terdapat dua putusan hakim yang perlu dianalisis: Putusan
Pengadilan Negeri Nomor 6/Pdt.G/2021/PN dan Putusan Mahkamah Pelayaran
Nomor HK. 212/14/IX/MP.022. Kedua putusan ini membahas tabrakan antara
KM. Jala Karya Sukses Abadi dan KM. Sanjaya Fisherindo yang terjadi pada
18 Januari 2021 di perairan wilayah Banda yang berbatasan dengan Perairan
Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Putusan Pengadilan Negeri lebih berfokus
pada aspek perdata. Pengadilan memutuskan untuk mengabulkan sebagian
gugatan penggugat dan menyatakan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan
melawan hukum dalam peristiwa tabrakan laut tersebut. Pengadilan
menghukum tergugat untuk membayar ganti rugi materiil kepada penggugat
sejumlah Rp. 6.796.850.270,00. Putusan ini memberikan penekanan pada
aspek perdata dan kompensasi atas kerugian materiil. Di sisi lain, Putusan
Mahkamah Pelayaran lebih berfokus pada aspek kelaiklautan. Mahkamah
menyatakan bahwa faktor manusia, yaitu kelalaian dalam bernavigasi, menjadi
penyebab tabrakan. Nakhoda dari kedua kapal diberikan sanksi pencabutan
sementara sertifikat keahlian mereka sebagai langkah pencegahan. Putusan ini
memberikan penekanan pada aspek keselamatan laut dan tindakan preventif.
Kedua putusan memiliki persamaan dalam hal menyatakan bahwa faktor
manusia menjadi penyebab tabrakan dan bahwa nakhoda dari kedua kapal
terbukti lalai dalam menjalankan kewajibannya. Keduanya juga memberikan
sanksi kepada nakhoda untuk mencegah terjadinya kecelakaan serupa di masa
mendatang.

B. Saran
1. Pemerintah seharusnya membuat aturan tambahan atau merubah Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dengan menambah teknis
regulasi jika terjadi tubrukan yang terjadi antara dua kapal atau lebih.
2. Pihak penyedia jasa pengangkutan kapal seharusnya lebih memperhatikan
regulasi dan kesehatan awak kapal sebelum berlayar terlebih kesehatan mata
ABK yang memegang stering kapal secara bergantian.
3. Pemerintah seharusnya membuat atau menambah aturan lebih khusus tentang
penyelesaian ganti rugi jika terjadi tubrukan antar kapal.

Anda mungkin juga menyukai