Bab 3 Kecelakaan Kapal (31 Okt 2023)
Bab 3 Kecelakaan Kapal (31 Okt 2023)
A. Kasus Posisi
Kasus yang akan dibahas pada penelitian ini adalah kasus perdata yaitu
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atas peristiwa kecelakaan laut berupa
tubrukan yang terjadi antara KM. Sanjaya Fisherindo dengan KM. Jala Karya
Sukses Abadi yang terjadi di Laut Banda. Para pihak adalah Penggugat yang
merupakan merupakan pemilik Kapal Mesin (KM) Sanjaya Fisherindo yang
merupakan kapal kargo pengangkutan ikan hasil tangkapan. Pihak tergugat terdiri
dari Tergugat I yang merupakan perusahaan pemilik sekaligus pengoperasional
Kapal Mesin (KM) Jala Karya Sukses Abadi yang juga kapal kargo campuran dan
mengangkut ikan kesehariannya, yang disebut Tergugat II merupakan nahkoda
yang bertanggung jawab atas memimpin pelayaran KM. Jala karya Sukses Abadi
dan bekerja pada Tergugat I, dan Tergugat III adalah Anak Buah Kapal (ABK)
dari KM. Jala Karya Sukses Abadi yang telah mengantongi sertifikasi BST(Basic
Safety Training) dan merupakan karyawan dari Tergugat I.
Pada tanggal 12 Januari 2021, pada hari Selasa, KM. Sanjaya Fisherindo
berangkat dari Pelabuhan Dobo dengan membawa muatan ikan dan cumi seberat
202 ton menuju Pelabuhan Probolinggo. Keberangkatan ini didukung oleh Surat
Persetujuan Berlayar nomor 12.100-010.I-SPB-KP2021 yang dikeluarkan oleh
Syahbandar Pelabuhan Perikanan Dobo sambil menggandeng KM. Nata Celesion
I yang mengalami mesin kurang sehat dalam perjalanannya. Ketika KM. Sanjaya
Fisherindo berlayar di perairan Banda yang berbatasan dengan Perairan Nusa
Tenggara Timur, situasi pelayaran adalah menghadapi ombak laut yang
berlawanan dengan kecepatan 3,0 Knot (setara dengan 5,5 km/jam), dengan arah
haluan 265 derajat (menuju ke arah Barat). Kapal tersebut dikendalikan oleh ABK
yang bernama Saifudin, yang memiliki Buku Pelaut dan memiliki Sertifikasi Surat
Kecakapan Kapal (SKK). Selain itu, kapal juga didampingi oleh ABK bernama
Sdr. Hendri Kurnia Abadi.
Pada saat yang bersamaan, KM. Jala Karya Sukses Abadi berlayar dari
arah yang berlawanan dengan arus ombak, bergerak dengan kecepatan 7 Knot
(setara dengan 13 km/jam), mengarah ke arah Timur, menuju Pelabuhan Dobo.
Saat itu, kapal tersebut tidak memiliki muatan dan dikendalikan oleh
TERGUGAT III. Sekitar pukul 02.30 WITA (01.30 WIB), Sdr. Saifudin dan Sdr.
Hendri Kurnia Abadi melihat KM. Jala Karya Sukses Abadi datang dari arah yang
berlawanan, berada di posisi sebelah kanan poros simpangan. Dengan mematuhi
aturan pelayaran, Sdr. Sifudin dengan berjarak cukup jauh telah mengubah haluan
KM. Sanjaya Fisherindo yang sedang berlayar lambat karena muatannya yang
berat ke arah kiri, dengan niat mengurangi efek ombak ketika kedua kapal
melewati satu sama lain dan untuk menghindari risiko tabrakan.
Walaupun KM. Sanjaya Fisherindo telah mengubah posisi arahnya ke kiri
dengan upaya menciptakan jarak dari poros simpangan, sayangnya, KM. Jala
Karya Sukses Abadi yang dikendalikan oleh Tergugat III dengan kecepatan tinggi
justru berbelok tajam ke kanan, menuju jalur yang sama dengan KM. Sanjaya
Fisherindo yang telah berusaha menjauh. Akibatnya, pada pukul 02.36 WITA,
KM. Jala Karya Sukses Abadi yang berbelok tajam ke kanan menabrak lambung
depan sebelah kanan KM. Sanjaya Fisherindo, menyebabkan keduanya terpental
dan bergerak menjadi sejajar. Akibat benturan keras tersebut, KM. Jala Karya
Sukses Abadi mengalami kerusakan serius yang meliputi lubang besar pada
lambung depan bagian kanan KM. Sanjaya Fisherindo. Selanjutnya, Nahkoda
KM. Sanjaya Fisherindo, yang sudah saling kenal satu sama lain, menghubungi
Nahkoda KM. Jala Karya Sukses Abadi, yang disebut sebagai Tergugat II, melalui
radio dengan permintaan agar Tergugat II membantu memeriksa kerusakan pada
KM. Sanjaya Fisherindo. Namun, permintaan tersebut ditolak oleh Tergugat II
dengan alasan bahwa saat itu sudah tengah malam dan gelombang laut sedang
tinggi.
Meskipun begitu, Tergugat II memilih untuk memerintahkan KM. Jala
Karya Sukses Abadi untuk melanjutkan perjalanan ke Dobo, sementara KM.
Sanjaya Fisherindo mengalami kerusakan parah di tengah perairan Banda yang
berbatasan dengan Perairan Nusa Tenggara Timur sehingga KM. Nata Celesion 1
yang pada awalnya di gandeng oleh KM. Sanjaya harus melanjutkan perjalanan
sendiri. Yang lebih mengejutkan, Tergugat II bahkan mengomel Nahkoda KM.
Sanjaya Fisherindo, yang bernama Sdr. Yanto, yang berkeras menentang
keputusan tersebut. Akibatnya, KM. Sanjaya Fisherindo terpaksa meminta
bantuan dari kapal lain yaitu KM. Nata Celesion 1 yang beberapa waktu lalu di
gandeng oleh KM. Sanjaya Fisherindo. Akibat kerusakan pada KM. Sanjaya
Fisherindo, air laut masuk ke dalam lambung kapal melalui lubang yang terbentuk
akibat tabrakan dengan KM. Jala Karya Sukses Abadi. Untuk menjaga
keselamatan KM. Sanjaya Fisherindo beserta ABK-nya, Nahkoda KM. Sanjaya
Fisherindo memutuskan untuk memindahkan 5 ton muatan ikan dan cumi ke
kapal KM. Nata Celesion 1. Selain itu, dia juga memerintahkan pembuangan lebih
dari 110 ton ikan dan cumi agar kapal menjadi lebih ringan dan dapat mengapung
lebih tinggi, dengan tujuan menjaga jarak antara lubang akibat tabrakan dan
permukaan air laut.
Pada tanggal 21 Januari 2021, belakangan diketahui bahwa KM. Jala
Karya Sukses Abadi telah sampai di Pelabuhan Dobo dan Tergugat II ternyata
tidak pernah melaporkan peristiwa kecelakaan yang melibatkan KM. Sanjaya
Fisherindo di lautan Banda kepada Syahbandar Dobo seperti berusaha menutupi
informasi kecelakaan laut tersebut. Tergugat II melaporkan peristiwa tersebut
setelah panggilan dari Syahbandar Dobo atas pengaduan sebelumnya dari
Perwakilan Penggugat yang berada di Dobo pada tanggal 26 Januari 2021. KM.
Sanjaya Fisherindo dipandu oleh KM. Nata Celesion 1 dalam keadaan rusak tiba
di Probolinggo pada tanggal 26 Januari 2021 dan langsung melaporkan kejadian
tersebut kepada Syahbandar Probolinggo setelah sebelumnya tanggal 22 Januari
2021, Agen Kapal KM. Sanjaya Fisherindo telah menyurati laporan kepada
Syahbandar Probolinggo perihal kecelakaan laut tersebut serta telah
mempersiapkan kedatangan KM. Sanjaya Fisherindo yang dipandu oleh KM.
Nata Celesion 1.
Selanjutnya, Penggugat berupaya menghubungi Tergugat I untuk
musyawarah dengan difasilitasi oleh Agen dan Syahbandar Probolinggo untuk
melakukan penyelesaian ganti rugi secara damai dengan tawaran masing-masing
pihak menanggung setengah dari kerugian Penggugat namun di tolak oleh
Tergugat I karena merasa tidak perlu mengganti kerugian Penggugat dalam
jumlah berapapun. Oleh karena itu, Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Negeri Probolinggo pada tanggal 11 Februari 2021 dengan perkara Nomor
6/Pdt.G/2021/PN Pbl. Kasus tersebut diputus pada tanggal 7 Juni 2021 yang
putusannya pada pokoknya menyatakan mengabulkan gugatan Penggugat untuk
sebagian, menyatakan Penggugat adalah subjek hukum yang beritikad baik,
menyatakan Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III telah melakukan perbuatan
melawan hukum atas kejadian kecelakaan laut berupa tubrukan antara KM.
Sanjaya Fisherindo dengan KM. Jala Karya Sukses Abadi pada tanggal 18 Januari
2021 di wilayah perairan Dobo, menghukum Tergugat I, Tergugat II, dan
Tergugat III secara tanggung renteng kepada Penggugat sebesar
Rp.6.796.850.270,00 (enam milyar tujuh ratus sembilan puluh enam juta delapan
ratus lima puluh ribu dua ratus tujuh puluh ribu rupiah), menolak gugatan
Penggugat selain dan selebihnya, dan menghukum para Tergugat membayar biaya
perkara secara tanggung renteng sebesar Rp.2.155.000,00 (dua juta seratus lima
puluh lima ribu rupiah).
1
R. Soekardono, Loc.cit., hlm. 17.
2
Achmad Ichsan, Loc.cit., hlm. 17.
3
Martha Eri Safira, 2017, Hukum Dagang Dalam Sejarah dan Perkembangannya di Indonesia,
CV. Nata Karya, Ponorogo, hlm. 9.
4
Harsanto Nursadi, 2007, Sistem Hukum Indonesia, Penerbit Universitas Terbuka, Jakarta, hlm.
3.21.
Ketika Belanda mengadopsi kodifikasi hukum dagang, mereka mengikuti
model yang ada di Perancis. Oleh karena itu, dalam K.U.H Perdata hanya
mencakup hal-hal yang berasal dari hukum Romawi, seperti aturan dalam Corpus
Juris Civilis. Sedangkan aturan yang muncul setelah kerajaan Romawi diatur
dalam kitab undang-undang terpisah. Pada tanggal 1 Januari 1809, Belanda
dijajah oleh Perancis, yang mengakibatkan penerapan hukum Code de Commerce
di Belanda sebagai negara jajahan. Setelah Belanda merdeka kembali pada tanggal
1 Oktober 1838, mereka membuat "Wetboek van Koophandel" sebagai aturan
yang meniru Code de Commerce. Di Indonesia, yang saat itu merupakan negara
jajahan, aturan ini diterapkan berdasarkan azas konkordansi kodifikasi hukum
dagang yang diumumkan oleh Pemerintah pada tanggal 30 April 1847, yang
hanya berlaku bagi warga Eropa. Pada tahun 1935, perubahan signifikan
dilakukan di Belanda, dan perubahan tersebut juga disesuaikan di Indonesia pada
tahun 1938 dengan L.N No. 276. Pada tahun 1924, K.U.H. Dagang mulai berlaku
untuk warga Tionghoa dan bangsa lainnya, kecuali bangsa Indonesia. Bangsa
Indonesia diizinkan tunduk pada K.U.H. Dagang secara sukarela berdasarkan
penetapan Raja pada tanggal 15 September 1916 No. 26 yang mulai berlaku pada
tanggal 1 Januari 1917.5
3. Pengangkutan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
Pengangkutan dan perdagangan merupakan dua hal yang memiliki
keterkaitan satu dengan yang lainnya, pengangkutan membantu pendistribusian
barang menggunakan pengangkutan didalam mengantarkan atau memindahkan
barang dari satu tempat ke tempat lainnya. Hukum pengangkutan merupakan
hukum yang mengatur bisnis yang mencakup pengangkutan baik melalui jalur
laut, udara, darat dan perairan pedalaman serta termasuk dari bidang hukum
perdata yang tidak terlepas dari bagian bidang hukum tersebut. 6 Salah satu
pengaturan mengenai pengangkutan diatur dalam KUHD dan mengatur mengenai
pengangkutan pada beberapa bagian.
5
Op.Cit., hlm. 10-11.
6
HMN. Purwosujipto, 1981, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 3, Djambatan,
Jakarta, hlm. 1.
Ketentuan-ketentuan umum mengenai pengangkutan dalam hukum
dagang, sebagaimana terdapat dalam KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang), dapat ditemukan dalam beberapa pasal berikut:7
1. Buku I Bagian V Bagian 2 Pasal 86 hingga Pasal 90 yang membahas
kedudukan para ekspeditur sebagai pengusaha perantara.
2. Buku I Bagian V Bagian 2 dan 3, mulai dari Pasal 90 hingga Pasal 98,
yang mengatur pengangkutan darat dan pengangkutan perairan darat.
3. Buku II Bagian V Pasal 453 hingga Pasal 465 yang berkaitan dengan
Percarteran Kapal, Buku II Bagian V A Pasal 466 hingga Pasal 520
yang mengatur Pengangkutan Barang, dan Buku II Bagian VB Pasal
521 hingga Pasal 544a yang mengatur Pengangkutan Orang.
4. Buku II Bagian XIII Pasal 748 hingga Pasal 754 yang membahas kapal-
kapal dan alat-alat pelayaran yang berlayar di sungai dan perairan
pedalaman.
Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), ada beberapa
pihak yang terkait dalam pengangkutan. Pihak-pihak tersebut merupakan:
1. Ekspeditur
Ekspeditur termasuk subyek pengangkutan karena memiliki tugas
sebagai pencari pengangkut barang dalam proses pengiriman barang. 8
Pasal 86 KUHD menyebutkan bahwa seorang ekspeditur adalah
individu yang bertanggung jawab untuk mengatur pengangkutan barang
di darat atau perairan. Mereka harus mencatat informasi tentang jenis,
jumlah, dan nilai barang yang akan diangkut dalam catatan harian.
Selain itu, Pasal 87 KUHD menyatakan bahwa ekspeditur harus
menjamin pengiriman barang dagangan dengan baik dan secepat
mungkin, menggunakan semua sarana yang tersedia untuk memastikan
pengiriman yang lancar. Dengan demikian, ekspeditur bertindak
sebagai perantara antara pengirim dan angkutan barang.9
7
Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
8
Zainal Asikin, 2013, Hukum Dagang, Raja Grafindo Persada, hlm. 165.
9
Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Buku 1, Bagian 2.
2. Pengangkut
Abdulkadir Muhammad menjelaskan bahwa secara umum,
pengangkut adalah pihak yang berkomitmen untuk mengorganisir
pengangkutan orang dan/atau barang.10 Dalam Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, pengangkutan
dijelaskan sebagai penyelenggaraan angkutan menggunakan kendaraan
di ruang lalu lintas jalan. Berdasarkan perundang-undangan tersebut,
pengangkutan disesuaikan dengan jenis transportasi yang digunakan
untuk mengirim barang.
12
Hadi Supriyono dan Djoko Subandrijo, 2017, COLREG 1972 Dan Dinas Jaga Anjungan,
Deepublish, Yogyakarta, hlm. 1.
1979 Tentang Mengesahkan "Convention on The International Regulations for
Preventing Collisions At Sea, 1972".
Saat ini, COLREG 1972 telah mengalami empat kali amandemen pada
tahun 1987, 1989, 1993, dan 2001. COLREG 1972 terdiri dari 41 aturan yang
terbagi dalam enam bagian, yaitu:13
1) BAGIAN A - UMUM
2) BAGIAN B - ATURAN-ATURAN MENGEMUDIKAN DAN
BERLAYAR
a) Seksi I - Sikap kapal dalam semua kondisi (batas) penglihatan
b) Seksi II - Sikap kapal dalam kondisi saling melihat.
c) Seksi III - Sikap kapal dalam kondisi tampak terbatas
3. BAGIAN C - PENERANGAN DAN SOSOK BENDA
4. BAGIAN D - ISYARAT BUNYI DAN CAHAYA
5. BAGIAN E - PEMBEBASAN
6. LAMPIRAN I - Penempatan dan Rincian Teknis Penerangan dan
Sosok Bend
7. LAMPIRAN II - Isyarat-isyarat Tambahan bagi Kapal-Kapal Ikan
yang Sedang Menangkap Ikan Saling Berdekatan
8. LAMPIRAN III - Rincian Teknis Tentang Perlengkapan Isyarat Bunyi
9. LAMPIRAN IV - Isyarat-Isyarat Marabahaya
Pentingnya COLREG 1972 terletak pada pengaturan tindakan yang harus
diambil oleh awak kapal saat berlayar di perairan yang padat lalu lintas laut.
COLREG berperan sebagai upaya preventif untuk menghindari terjadinya
tubrukan. Setiap kelalaian dalam penerapan COLREG berpotensi menimbulkan
dampak serius terhadap keselamatan kapal.
Colreg 1972, yang ditetapkan melalui Resolusi IMO Nomor A. 464 (XII),
berlaku secara internasional dan wajib diikuti serta dilaksanakan sepenuhnya oleh
seluruh kapal, pemilik kapal, Nakhoda, dan awak kapal untuk mencegah
terjadinya kecelakaan di laut. Kesepakatan Colreg 1972 ini telah ditandatangani
oleh seluruh anggota IMO pada bulan Oktober 1972 di London, termasuk
13
Lihat Colreg Tahun 1972.
Indonesia, yang sebagai negara kepulauan terbesar di dunia juga menjadi salah
satu dari 47 negara yang turut menandatanganinya.14
2. Aturan Colreg 1972 atau P2TL Terkait Putusan Mahkamah
Pelayaran Nomor HK.212/14/IX/MP.2022
Colreg 1972 (The International Regulations for Preventing Collision at
Sea 1972) adalah serangkaian peraturan yang mengatur tata cara navigasi dan
pencegahan tabrakan kapal di laut. Peraturan ini disusun dan diterbitkan oleh IMO
(Organisasi Maritim Internasional) dan digunakan sebagai panduan standar yang
diikuti oleh semua kapal yang terdaftar di IMO. Colreg 1972 merupakan alat yang
penting dalam menjaga keselamatan dan mengatur interaksi antar kapal di seluruh
dunia.15
Dalam keseluruhan, Colreg 1972 adalah dokumen penting yang berfungsi
sebagai panduan untuk menghindari tabrakan kapal di laut dan berkontribusi pada
keselamatan pelayaran global. Peraturan ini mengikuti prinsip-prinsip yang diatur
dalam Konvensi tentang peraturan internasional untuk pencegahan tabrakan di
laut 1972, dan memberikan pedoman teknis yang berguna bagi kapten kapal, awak
kapal, dan otoritas maritim di seluruh dunia.16
Colreg 1972 atau P2TL tidak memuat pengaturan mengenai penyelesaian
ganti rugi atas tubrukan yang terjadi pada kapal laut. Colreg 1972 atau P2TL
hanya mengatur mengenai pencegahan tubrukan kapal di laut. Pengaturan
mengenai penyelesaian ganti rugi atas tubrukan kapal di laut diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, dan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran.
17
Muhammad Shoim, 2022, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Rafi Sarana Perkasa,
Semarang, hlm. 1.
18
Ibid., hlm.1
19
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Perdata: Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta,
hlm. 1
Namun, perlu diperhatikan bahwa pembagian ini berbeda dengan
pembagian yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang
terdiri dari:20
1. Buku I (Hukum Perorangan/Hukum pribadi)
2. Buku II (Hukum Benda)
3. Buku III (Hukum Perikatan)
4. Buku IV (Hukum Bukti dan Daluwarsa).
2. Sejarah Singkat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Sejarah perkembangan hukum perdata di Indonesia erat kaitannya dengan
pengaruh hukum Eropa, terutama Belanda. Pada tahun 1848, hukum privat bagi
golongan hukum Eropa di Indonesia dikodifikasi, mengumpulkan hukum-hukum
tersebut dalam beberapa kitab undang-undang sesuai sistem tertentu. Proses
pembuatan kodifikasi ini, dalam bidang hukum perdata, mengikuti asas
konkordansi, yang berarti hukum yang berlaku bagi orang-orang Belanda di
Indonesia harus disesuaikan dengan hukum yang berlaku di Belanda.
Sumber pokok hukum perdata di Indonesia adalah Kitab Undang-Undang
Hukum Sipil (KUHS) atau Burgerlijk Wetboek (BW), yang sebagian besar
didasarkan pada hukum perdata Prancis, seperti Code Napoleon tahun 1811-1838.
Setelah berakhirnya pendudukan Prancis di Belanda, pemerintah Belanda
membentuk panitia untuk menyusun rencana kodifikasi hukum perdata Belanda
dengan menggunakan Code Napoleon sebagai salah satu sumber utama.
Kodifikasi hukum perdata Belanda diresmikan pada 1 Oktober 1838 dan menjadi
landasan bagi kodifikasi hukum perdata Eropa di Indonesia.
Berdasarkan asas konkordansi, kodifikasi hukum perdata Belanda menjadi
panduan untuk kodifikasi hukum perdata di Indonesia. Hukum Perdata Belanda
diumumkan pada tanggal 30 April 1847 dan mulai berlaku di Indonesia pada 1
Mei 1848. Dasar hukum berlakunya peraturan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata di Indonesia adalah Pasal 1 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945
hasil perubahan keempat, yang menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan
20
Martha Eri Safira, 2017, Hukum Perdata, Edisi Pertama, Nata Karya, Ponorogo, hlm. 5.
yang ada tetap berlaku hingga diadakan yang baru sesuai dengan Undang-Undang
Dasar ini.21
3. Aturan-Aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Mengenai Penyelesaian Ganti Rugi atas Kecelakaan Kapal
Berdasarkan Putusan Nomor 6/Pdt.G/2021/PN Pbl, ada beberapa pasal
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dilanggar mengenai penyelesaian
ganti rugi atas kecelakaan kapal dalam putusan tersebut. Pasal-pasal tersebut
adalah:
1. Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
“Setiap perbuatan melawan hukum, yang oleh karenanya menimbulkan
kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya
menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian”
Pasal 1365 KUH Perdata menyatakan bahwa seseorang diwajibkan
untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada orang lain akibat
perbuatan melawan hukum. Analisis unsur-unsur Pasal 1365 adalah
sebagai berikut:
Adanya suatu perbuatan yang melawan hukum: Ini berarti
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang harus bertentangan
dengan hukum atau melanggar norma-norma yang berlaku. Dalam
kasus ini, perbuatan TERGUGAT III yang mengemudikan KM.
JALA KARYA SUKSES ABADI dengan kecepatan tinggi dan
berbelok tajam ke kanan, menabrak lambung depan sebelah kanan
KM. SANJAYA FISHERINDO merupakan perbuatan melawan
hukum karena bertentangan dengan aturan navigasi dan
keselamatan pelayaran.
21
Dadang Sundawa, 2008, Hukum Perdata dan Acara Perdata, Edisi 2, Universitas Terbuka Press,
Tangerang Selatan, hlm. 1.8-1.9
berbelok tajam ke kanan dan tidak menghindari tabrakan,
sementara kesalahan TERGUGAT II adalah meninggalkan KM.
SANJAYA FISHERINDO dalam keadaan rusak tanpa memberikan
pertolongan. Keduanya memiliki kesalahan dalam peristiwa
kecelakaan laut.
Adanya kerugian bagi korban: Kerugian harus dialami oleh korban
akibat perbuatan melawan hukum tersebut. Dalam kasus ini,
kerugian terjadi karena tabrakan antara KM. JALA KARYA
SUKSES ABADI dan KM. SANJAYA FISHERINDO yang
menyebabkan kerusakan serius pada lambung depan KM.
SANJAYA FISHERINDO. Korban dalam hal ini adalah pemilik
KM. SANJAYA FISHERINDO.
Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian: Terdapat
keterkaitan penyebab-akibat antara perbuatan yang melawan
hukum dan kerugian yang dialami korban. Dalam hal ini, tabrakan
yang disebabkan oleh perbuatan TERGUGAT III dan kelalai
TERGUGAT II mengakibatkan kerusakan serius pada kapal KM.
SANJAYA FISHERINDO.
Berdasarkan analisis tersebut, Pasal 1365 KUH Perdata dapat
digunakan untuk menuntut ganti rugi dari TERGUGAT III dan
TERGUGAT II atas kerugian yang ditimbulkan pada pemilik KM.
SANJAYA FISHERINDO akibat perbuatan melawan hukum yang mereka
lakukan dalam peristiwa kecelakaan laut tersebut. Pasal ini memberikan
dasar hukum yang kuat untuk meminta penggantian kerugian yang timbul.
2. Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
”Seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas kerugian yang disebabkan
perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan
perbuatan - perbuatan orang - orang yang menjadi tanggungannya atau
disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.
..... Majikan dan orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili
urusan-urusan mereka, bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan
oleh pelayan atau bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan yang
ditugaskan kepada orang-orang itu.”
Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
menyatakan bahwa seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas
kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri, melainkan juga atas
kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah
pengawasannya. Hal ini mengindikasikan prinsip tanggung jawab pihak
ketiga, di mana seseorang atau entitas dapat dianggap bertanggung jawab
atas tindakan orang lain atau barang-barang yang mereka awasi.
Dalam konteks ini, TERGUGAT I, yang merupakan pemilik KM
JALA KARYA SUKSES ABADI dan perusahaan yang mempekerjakan
TERGUGAT II dan TERGUGAT III untuk operasional kapal tersebut,
mempunyai tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh TERGUGAT II dan TERGUGAT III. Meskipun
perbuatan- perbuatan tersebut dilakukan oleh TERGUGAT II dan
TERGUGAT III, TERGUGAT I masih harus bertanggung jawab atas
tindakan mereka sehubungan dengan operasional kapal yang berada di
bawah kendali TERGUGAT I. Jadi, berdasarkan Pasal 1367 KUH Perdata,
TERGUGAT I dapat dianggap bertanggung jawab atas kerugian yang
ditimbulkan oleh TERGUGAT II dan TERGUGAT III yang mengakibatkan
kerusakan pada KM SANJAYA FISHERINDO, dan PENGGUGAT
memiliki dasar hukum untuk menuntut ganti rugi dari TERGUGAT I.
1. Pengertian pelayaran
Pelayaran adalah kegiatan angkutan di perairan, baik di laut lepas, di
perairan kepulauan, maupun di perairan pedalaman yang dapat dilayari oleh kapal.
2. Penyelenggara pelayaran
22
Irnaldi Rahim Wijaya, 2023, Analisis Perubahan UU No17 tahun 2008 tentang Pelayaran
terhadap UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, hlm. 687-
688.
Penyelenggara pelayaran adalah orang atau badan hukum yang melakukan
usaha angkutan di perairan, baik di laut lepas, di perairan kepulauan, maupun di
perairan pedalaman yang dapat dilayari oleh kapal.
3. Kapal
Kapal adalah setiap alat apung yang dapat dipergunakan untuk pelayaran
dan tidak bertempat tinggal tetap.
4. Awak kapal
Awak kapal adalah setiap orang yang bekerja di atas kapal, baik sebagai
nahkoda, mualim, maupun anak buah kapal.
5. Pelayaran
Pelayaran adalah kegiatan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, dan pengendalian angkutan di perairan, baik di laut lepas, di perairan
kepulauan, maupun di perairan pedalaman yang dapat dilayari oleh kapal.
6. Keamanan dan keselamatan pelayaran
Keamanan dan keselamatan pelayaran adalah upaya untuk mencegah
terjadinya kecelakaan dan pencemaran di perairan dalam rangka menjamin
keselamatan jiwa manusia, barang, dan lingkungan maritim.
7. Lingkungan maritim
Lingkungan maritim adalah ruang perairan, dasar perairan, dan ruang
udara di atasnya yang merupakan satu kesatuan ekosistem.
8. Penyelesaian perselisihan
Penyelesaian perselisihan adalah upaya untuk menyelesaikan perselisihan
yang timbul dalam pelayaran.
Selain aspek-aspek tersebut, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008
tentang Pelayaran juga mengatur tentang:
1. Sertifikasi dan perizinan
2. Dokumen pelayaran
3. Ketentuan lain
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran merupakan
peraturan perundang-undangan yang penting untuk menjamin keselamatan dan
keamanan pelayaran di Indonesia.
2. Tanggung Jawab Pengangkut dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2008 Tentang Pelayaran
Tanggung jawab pengangkut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2008 Tentang Pelayaran terdapat dalam Paragraf 2 (dua) yang dimulai dari Pasal
40 sampai Pasal 43. Pasal 40 dari Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran mengatur tentang tanggung jawab pengangkut di perairan. Berdasarkan
Pasal 40(1), perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap
keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkut. Ini berarti
perusahaan angkutan di perairan memiliki kewajiban utama untuk memastikan
bahwa pelayaran mereka aman dan memenuhi standar keselamatan.
Pasal 40(2) lebih lanjut menjelaskan bahwa perusahaan angkutan di
perairan bertanggung jawab terhadap muatan kapal sesuai dengan jenis dan
jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan dan/atau perjanjian atau kontrak
pengangkutan yang telah disepakati. Ini mengandung prinsip kejelasan dan
kepastian dalam pengangkutan barang.
Pasal 41 menjelaskan bahwa tanggung jawab perusahaan angkutan dapat
timbul sebagai akibat dari berbagai situasi, termasuk kematian atau luka
penumpang, kerusakan barang, keterlambatan, atau kerugian pihak ketiga. Pasal
41(2) memberikan kelonggaran bagi perusahaan angkutan jika mereka dapat
membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan disebabkan oleh kesalahan mereka.
Dalam hal ini, mereka dapat dibebaskan sebagian atau seluruh tanggung
jawabnya.
Pasal 41(3) mengharuskan perusahaan angkutan untuk mengasuransikan
tanggung jawabnya dan melaksanakan asuransi perlindungan dasar penumpang
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini bertujuan untuk
memastikan bahwa ada dana yang tersedia untuk menutupi kerugian yang
mungkin timbul selama pelayaran. Pasal 42 dan Pasal 43 mengatur tentang
fasilitas khusus dan kemudahan yang harus diberikan oleh perusahaan angkutan
kepada penyandang cacat, wanita hamil, anak-anak, orang sakit, dan orang lanjut
usia tanpa dikenakan biaya tambahan.
2. Aturan-Aturan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008
Tentang Pelayaran
Berdasarkan Putusan Nomor 6/Pdt.G/2021/PN Pbl, ada beberapa pasal
dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran yang dilanggar
mengenai tanggung jawab ganti rugi atas kecelakaan kapal dalam putusan
tersebut. Pasal-pasal tersebut adalah:
1. Pasal 247
“Nakhoda yang mengetahui kecelakaan kapalnya atau kapal lain wajib
mengambil tindakan penanggulangan, meminta dan/atau memberikan
pertolongan, dan menyebarluaskan berita mengenai kecelakaan tersebut kepada
pihak lain.”
2. Pasal 249
“Kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 merupakan tanggung
jawab Nakhoda kecuali dapat dibuktikan lain.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, maka dapat dianalisis bahwa:
1. Tergugat II tidak bersedia memberi pertolongan
Pasal 247 Undang-undang Republik Indonesia No. 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran (UU Pelayaran) menyatakan bahwa nahkoda kapal wajib melakukan
tindakan penanggulangan, memberikan pertolongan, dan melaporkan kecelakaan
kapal. Dalam hal ini, KM. SANJAYA FISHERINDO mengalami kecelakaan laut.
Nahkoda kapal, yang dalam hal ini adalah Tergugat II, wajib memberikan
pertolongan kepada awak kapal dan penumpang yang berada di kapal tersebut.
Namun, Tergugat II justru meninggalkan KM. SANJAYA FISHERINDO dalam
keadaan rusak di tengah laut. Tindakan Tergugat II ini bertentangan dengan
ketentuan Pasal 247 UU Pelayaran. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai
perbuatan melawan hukum, karena telah melanggar kewajiban nahkoda kapal
untuk memberikan pertolongan.
2. Tergugat II terkesan menutupi terjadinya kecelakaan laut
Pasal 249 UU Pelayaran menyatakan bahwa nahkoda kapal bertanggung
jawab atas kecelakaan kapal. Dalam hal ini, Tergugat II tidak melaporkan
terjadinya kecelakaan laut KM. SANJAYA FISHERINDO pada saat kedatangan
di pelabuhan Dobo. Tindakan ini terkesan menutupi terjadinya kecelakaan laut.
Tindakan Tergugat II ini juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 249 UU
Pelayaran. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum,
karena telah melanggar kewajiban nahkoda kapal untuk melaporkan kecelakaan
kapal.
BAB IV
PERBANDINGAN PERTIMBANGAN HAKIM MELALUI PUTUSAN
PENGADILAN NEGERI DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH
PELAYARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dari tulisan ini, terdapat beberapa kesimpulan
yang didapatkan oleh penulis, diantaranya:
1. Dalam konteks tanggung jawab perdata, tiga faktor penting harus
dipertimbangkan. Dalam kasus ini, terdapat tiga pihak terlibat: penggugat,
tergugat I, dan tergugat II. Penggugat adalah PT. Sanjaya Fisherindo,
sedangkan tergugat I adalah PT. Jala Karya Sukses Abadi tergugat II adalah
Nahkoda KM. Jala Karya Sukses Abadi, dan tergugat III adalah ABK KM. Jala
Karya Sukses Abadi. Penggugat menggugat perdata karena tergugat I dan
tergugat II dianggap bertanggung jawab atas kecelakaan kapal tersebut.
Terutama, tindakan tergugat II yang menolak memberikan bantuan setelah
kecelakaan menjadi faktor utama. Putusan pengadilan menyimpulkan bahwa
tergugat I, tergugat II, dan tergugat III bertanggung jawab atas kecelakaan dan
diwajibkan membayar ganti rugi kepada penggugat. Namun, jumlah ganti rugi
yang harus dibayarkan oleh masing-masing tergugat berbeda, sesuai dengan
tingkat keterlibatan dan tanggung jawab mereka dalam kecelakaan tersebut.
2. Dalam kasus ini, terdapat dua putusan hakim yang perlu dianalisis: Putusan
Pengadilan Negeri Nomor 6/Pdt.G/2021/PN dan Putusan Mahkamah Pelayaran
Nomor HK. 212/14/IX/MP.022. Kedua putusan ini membahas tabrakan antara
KM. Jala Karya Sukses Abadi dan KM. Sanjaya Fisherindo yang terjadi pada
18 Januari 2021 di perairan wilayah Banda yang berbatasan dengan Perairan
Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Putusan Pengadilan Negeri lebih berfokus
pada aspek perdata. Pengadilan memutuskan untuk mengabulkan sebagian
gugatan penggugat dan menyatakan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan
melawan hukum dalam peristiwa tabrakan laut tersebut. Pengadilan
menghukum tergugat untuk membayar ganti rugi materiil kepada penggugat
sejumlah Rp. 6.796.850.270,00. Putusan ini memberikan penekanan pada
aspek perdata dan kompensasi atas kerugian materiil. Di sisi lain, Putusan
Mahkamah Pelayaran lebih berfokus pada aspek kelaiklautan. Mahkamah
menyatakan bahwa faktor manusia, yaitu kelalaian dalam bernavigasi, menjadi
penyebab tabrakan. Nakhoda dari kedua kapal diberikan sanksi pencabutan
sementara sertifikat keahlian mereka sebagai langkah pencegahan. Putusan ini
memberikan penekanan pada aspek keselamatan laut dan tindakan preventif.
Kedua putusan memiliki persamaan dalam hal menyatakan bahwa faktor
manusia menjadi penyebab tabrakan dan bahwa nakhoda dari kedua kapal
terbukti lalai dalam menjalankan kewajibannya. Keduanya juga memberikan
sanksi kepada nakhoda untuk mencegah terjadinya kecelakaan serupa di masa
mendatang.
B. Saran
1. Pemerintah seharusnya membuat aturan tambahan atau merubah Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dengan menambah teknis
regulasi jika terjadi tubrukan yang terjadi antara dua kapal atau lebih.
2. Pihak penyedia jasa pengangkutan kapal seharusnya lebih memperhatikan
regulasi dan kesehatan awak kapal sebelum berlayar terlebih kesehatan mata
ABK yang memegang stering kapal secara bergantian.
3. Pemerintah seharusnya membuat atau menambah aturan lebih khusus tentang
penyelesaian ganti rugi jika terjadi tubrukan antar kapal.