Anda di halaman 1dari 17

“MISI DALAM KISAH PARA RASUL

DAN MISI MENURUT PAULUS”

Dosen Pengajar: Pdt. Ramli Sarimbangun,

M.Th Mata Kuliah : Misiologi

Kelas : 9 (Hari Selasa Jam 07:00-09:45)

Disusun Oleh:

Kelompok 4

Febiola F

Kaparang

Michele M S E Rumeser

Mutiara V G Manoppo

Praycilia A J Rengkuan

YAYASAN DOMINEE ALBERTUS ZAKHARIAS RUNTURAMBI

WENAS UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON

TEOLOGI KRISTEN PROTESTAN

FAKULTAS TEOLOGI

2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................2

MISI DALAM KISAH PARA RASUL...............................................................................2


MISI MENURUT PAULUS.................................................................................................7
BAB III KESIMPULAN........................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................14

i
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus atas tuntunan dan penyertaan-Nya
maka kelompok boleh menyelesaikan Tugas Misiologi mengenai “Misi Dalam Kisah Para
Rasul dan Misi Menurut Paulus”, yang telah kelompok rangkum dan dikemas dalam bentuk
makalah ini. Kelompok mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dan kerjasama dari
semua pihak yang turut berkontribusi dalam proses penyelesaian makalah ini.

Tidak ada gading yang tidak retak dan tidak ada yang sempurna maka kelompok-pun
menyadari apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kekurangan dan ada hal-hal yang
perlu di perbaiki, dikoreksi, atau perlu ditinjau kembali maka, setiap kelompok dengan
terbuka akan menerima setiap usul, kritik, dan saran dari pembaca sekalian yang tentunya
membangun demi terciptanya kesatuan perspektif dan peningkatan mutu pengetahuan
bersama. Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Misiologi demi mencapai
hasil dan nilai terbaik.

Kamis, 27 Oktober 2023

Kelompok 4

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

Kisah Para Rasul bercerita tentang pertobatan Paulus dengan bakat khas si penulis. Paulus
"meniupkan api permusuhan", menganiaya setiap pengikut sekte mesianik baru yang berbahaya
itu yang bisa dijumpainya. Dia melakukan sweeping yang sama dengan yang dulu dilakukan
polisi di Yerusalem dan kawasan sekitar Yudea, dan ini tidak perlu dipermanis: Paulus adalah
pemimpin pasukan pembunuh (death squad). Saking fanatiknya, dia ingin mengejar para
penyimpang ini, ke mana pun mereka melarikan diri, bahkan ke negeri-negeri asing.

Pada suatu ketika, tahun 34 M Paulus pergi ke Damaskus untuk memburu setiap pelarian di
sana yang bisa ditemukannya. Akan tetapi, Allah berpikir lain. Paulus mengatakan dia segera
dihentikan dalam perjalanan ke Damaskus lewat pewahyuan Putera Allah (Gal. 1:15-16). Kisah
Para Rasul menambahkan bahwa dia secara harfiah direbahkan oleh pewahyuan ini, dibutakan
oleh cahaya yang memancar dari surga. Sebuah suara berkata kepadanya: "Saul, Saul, mengapa
engkau menganiaya Aku?" "Siapa Engkau, Tuhan?" tanya Paulus, bukannya tanpa alasan.
"Akulah Yesus yang engkau aniaya," jawab-Nya. Para ilmuwan kadang berbeda pendapat
apakah akan menyebut peristiwa ini "konversi" atau "panggilan". Konversi berarti perubahan dan
pergeseran dramatis, namun ada bahaya menyatakan bahwa Paulus meninggalkan Yudaisme dan
berkonversi ke agama lain sama sekali (artinya kepada Kekristenan). Implikasi ini tidak perlu
dan disayangkan. Paulus sendiri menyebut peristiwa ini panggilan (lihat Gal. 1:15), yang
mengacu ke panggilan profetis yang memenuhi Kitab Suci Yahudi. Paulus dipanggil untuk
menginjili masyarakat yang tidak biasa, orang pagan atau orang yang faham kepercayaan yang
menganggap Tuhan itu seperti manusia, baik bentuk maupun sifatnya.

Misi Paulus yang menekankan misi kepada orang non-Yahudi tidak menutup pintu
terhadap orang Yahudi itu sendiri karena Gereja yang terdiri dari orang Kristen Yahudi dan non-
Yahudi adalah suatu pangembangan dan interpretasi atau pengertian yang segar dari apa yang
dimengerti oleh Yudaisme sebagai 'Israel baru' atau lebih tepat 'Israel yang diperluas'. Oleh
karena itu, keberadaan orang Kristen non-Yahudi tidak mungkin pernah dilepaskan dari Israel.
Kedua golongan ini dipersatukan di dalam Gereja. Menurut Paulus keberadaan Gereja adalah
suatu konsekuensi dari misi dalam dunia yang terbagi secara cultural, religious, ekonomis, dan
sosial. Tiap anggota menemukan identitas mereka di dalam Yesus Kristus lebih daripada di
dalam ras, budaya, kelas sosial, atau jenis kelamin.

Kitab Kisah Para Rasul yang menunjukkan kesatuan antara misi Yesus dan misi Gereja
perdana. Istilah "rasul" dan "saksi" dalam Kisah Para Rasul mempunyai makna yang sama dalam
perkembangan misi. ,KRasul-rasul adalah mereka yang menjadi saksi Kristus, terutama saksi
kebangkitan-Nya. Itu berarti saksi Kerajaan Allah di dalam Yesus yang inkarnasi, mati, dan
bangkit. Kemudian, adapun Paulus adalah Rasul untuk orang "non-yahudi" yang memberi
pengaruh sangat besar terhadap pemikiran dan praktek misi gereja perdana.

1
BAB II

PEMBAHASAN

MISI DALAM KISAH PARA RASUL

Lukas Kisah Para Rasul: mempraktikkan pengampunan dan solidaritas dengan kaum miskin.

Makna penting Lukas

Lukas tidak hanya menulis sebuah Injil, tetapi juga kitab kisah para rasul. Orang Yahudi,
orang samaria dan orang bukan Yahudi dalam Lukas dan kisah para rasul.

Perbedaan antara Injil Lukas dan kisah para rasul.

Kebanyakan ahli kesepakatan bahwa penulisan kisah para rasul bukanlah pemikiran yang
muncul belakangan, melainkan bahwa, sejak permulaan, Lukas telah bermaksud untuk menulis
dua jilid buku titik hal ini jelas muncul apabila dilihat pada keseluruhan struktur kedua tulisan
tersebut.

Dalam kisah para rasul, pelayanan misioner gereja pun berkembang dalam tiga tahapan
yang ditunjukkan dalam 1:8, “kamu akan menjadi saksiku di Yerusalem dan di seluruh yudea
dan samaria dan sampai ke ujung bumi”. Pasal-pasal ini pembukuan kisah para rasul
menceritakan kelahiran dan pertumbuhan gereja di Yerusalem; bagian yang kedua melukiskan
perluasan gereja ke samaria dan daratan-daratan pantai sampai menjangkau antiokhia; bagian
yang ketiga mengisahkan jangkauan misi ke beberapa arah, yang ditutup dengan tibanya Paulus
di Roma. Pada titik tersebut kitab ini tiba pada akhir yang agak mendadak.

Dengan demikian, kerangka keseluruhan dari kedua kitab tersebut bersifat geografis, dari
Galilea ke Yerusalem dan kembali dari Yerusalem ke Roma, tetapi hal ini tak diragukan
mempunyai makna yang lebih daripada sekadar makna geografis. Geografi semata-mata menjadi
sarana untuk menyampaikan makna teologis (atau misiologis).

Perjumpaan dengan orang-orang samaria.

Lukas kisah para rasul yakni untuk memperlihatkan bahwa misi samaria adalah
permulaan dari misi bukan Yahudi dan merupakan bagian dari rencana ilahi.

Mula-mula kepada orang Yahudi, kemudian yang bukan Yahudi.

Yang sama pentingnya dalam laporan Lukas adalah keyahudian Yesus yang tidak dapat
disangkal, ke yahudian mereka yang ada di sekitarnya, dan para mualaf Yahudi dalam kisah para
rasul. Orang tua Yesus adalah orang-orang Yahudi yang setia pada Torah dan praktik-praktik
Yahudi tradisional (Luk 2:27-31). Bait Allah di Yerusalem adalah tempat yang tepat bagi Yesus
(2:49 dyb) dan ia ikut serta dalam ibadah di sindanggogi (4:16-21) dalam kisah, Lukas

2
menekankan bahwa orang-orang Kristen Yerusalem yang mula-mula hidup sebagai orang-orang
Yahudi yang saleh: mereka sering mengunjungi Bait Allah, hidup dalam ketaatan yang sangat
ketat terhadap Torah dan sesuai dengan kebiasaan para leluhur (bnd. 2:46, 3:1, 5:12, 16:3:
21:20). Banyak dari orang bukan Yahudi yang menjadi Kristen adalah kaum proselit atau
"orang-orang yang takut akan Allah”, artinya, mereka yang sebelumnya sudah terkait dengan
Israel; orang-orang bukan Yahudi dari sinagogelah yang menerima Injil (bnd. Jervell 1912:44
dyb., 49 dyb.). Sebuah perbandingan antara Lukas 7:1-10 dan Matius 8:5-13 juga memberikan
kita penjelasan mengenai hal ini. Dalam Lukas, perwira itu dengan jelas disebut seorang yang
"takut akan Allah" ia mengirim para tua-tua Yahudi untuk mewakilinya dan berbicara kepada
Yesus, dan mereka mengatakan kepada Yesus bahwa ia patut mendapatkan pertolongan, “sebab
ia mengasihi bangsa Kita dan dialah yang menanggung pembangunan rumah ibadat kami” (bnd.
Bosch 1959).

Dalam terang semua ini kita dapat memahami mengapa, di seluruh Kitab Kisah Para
Rasul, ditekankan bahwa Injil pertama-tama harus diberitakan kepada orang-orang Yahudi dan
baru sesudah itu kepada bukan Yahudi Hal ini bukanlah semata-mata acuan pada suatu rangkaian
historis yang sesungguhnya. Bukan pula sekadar suatu strategi komunikasi, berdasarkan argumen
bahwa orang-orang Yahudi, khususnya mereka yang berada di sinagoge-sinagoge di diaspora,
lebih besar kemungkinan untuk menjadi mualaf ketimbang orang-orang kafir. Tidak, hal itu
disebabkan oleh alasan-alasan teobgis, pada prioritas orang Yahudi dalam terang sejarah
keselamatan (Zingg 1973:205, Irik 1982:287). Hal ini menjelaskan mengapa, menurut Kisah,
bahkan Paulus, "rasul kepada orang bukan Yahudi”, menghabiskan sama banyak, kalau bukan
malah lebih, dari waktuIya untuk berkhotbah kepada orang Yahudi dibandingkan kepada bukan
Yahudi (Wilson 1973:249). Hal ini juga menjelaskan mengapa bahkan setelah ia dengan khidmat
mengumumkan bahwa, karena orang Yahudi telah menolak injil, kini ia berpaling kepada orang
bukan Yahudi — Paulus, dengan pengulangan yang hampir monoton, tetap pergi ke sinagoge
terlebih dahulu di setiap kota yang dikunjunginya (bnd. Kis. 14:15 17:1, 10, 175 18:4, 19, 26:
19:8)

Namun, tekanan pada keselamatan bagi orang Yahudi dan prioritas teologis mereka tidak
boleh diceraikan dari orang-orang bukan Yahudi dan misi kepada mereka. Tuhan yang bangkit
telah mempercayakanuntuk orang-orang bukan Yahudi kepada Para Rasul (Luk. 24:47, Kis.
1:8), mereka melaksanakan misi ini dengan pertama-tama berpaling kepada orang Yahudi! Misi
bukan Yahudi tidaklah sekunder dibandingkan misi Yahudi. Misi ini pun bukankah sekedar
merupakan konsekuensi dari yang lainnya. Sebaliknya, misi bukan Yahudi dikoordinasikan
dengan misi Yahudi.

Oleh karena itu, tidaklah tepat, atau sekurang-kurangnya, tidak memadai, bila kita
mengatakan (seperti yang masih dikemukakan oleh sejumlah ahli, antara lain Anderson
1964:269, 272, Hahni 134: Sanders 1981:668) bahwa misi bukan Yahudi hanya dimungkinkan
setelah orang-orang Yahudi menolak injil. Dalam bentuknya yang lebih ekstrem pandangan ini
mengatakan bahwa keseluruhan tujuan Lukas adalah membuktikan tanpa dapat diragukan lagi

3
bahwa orang-orang Yahudi, melalui keputusan mereka sendiri, telah membuang segala harapan
keselamatan. Menurut pandangan orang-orang Yahudi, bagi Lukas, “hanyalah pion-pion
teologis" orang-orang yang keras kepala dan jahat dan hanya berfungsi untuk membenarkan misi
bukan Yahudi dan pembentukan gereja bukan Yahudi (Sanders 1981).

Semuanya membutuhkan Pertobatan

Jadi, mengapa Lukas melangkah begitu jauh dalam menyunting sumber-sumbernya


(khususnya Markus dan Q), untuk menyertakan berbagai acuan yang tersurat maupun tersirat
pada orang miskin dan pada tanggung-jawab orang kaya kepada mereka dan kemudian
meninggalkan seluruh penekanan ini ketika ia mulai menulis jilid keduanya? James Bergquist
meneliti beberapa pemecahan yang dikemukakan dan kemudian menyimpulkan bahwa alasannya
dapat ditemukan dalam kenyataan bahwa dalam pandangan Lukas, motif kabar baik untuk orang
miskin memang merupakan tema sentral, namun pada saat yang sama merupakan bagian belum
selesai dari maksud teologis yang lebih luas dan yang mengendalikan dalam Lukas-Kisah Para
Rasul. Motif teologis yang mengendalikan ini demikian pendapatnya, terletak pada pemberitaan
tentang keselamatan akhir Allah di dalam Yesus.

Bergquist menemukan pengukuhan bagi tesis ini pada kenyataan bahwa dalam Kisah,
istilah "bukan Yahudi menggantikan istilah khas Injil tersebut untuk orang miskin dan orang
asing: orang luar di dalam Kisah Para Rasul menjadi bukan Yahudi titik, di dalam kisah para
rasul Lukas menyebutkan orang bukan Yahudi 43 kali dan ia membangun narasi misinya sambil
mengingat mereka dalam benaknya.

KESELAMATAN DALAM LUKAS-KISAH PARA RASUL

Tidak dapat disangsikan bahwa "keselamatan" dan gagasan-gagasan “yang terkait


dengannya, yaitu pertobatan dan pengampunan dosa, merupakan tema sentral bagi karya Lukas
yang dua jilid. dalam Lukas dan Kisah Para Rasul sementara dalam Markus dan Matius sama
sekali tidak dan dalam Yohanes satu kali. Empat kali keselamatan disebutkan dalam kisah
kelahiran versi Lukas. Dalam dua kesempatan di antaranya Lukas menggunakan bentuk soleron
yang kurang umum yang, selain dalam Kisah Para Rasul 28:28 (artinya, pada akhir karyanya
yang dua jilid itu), hanya muncul dalam Efesus 6:17. Jadi, dalam pengertian tertentu, pada
keseluruhan kumpulan tulisannya Lukas memberikan sebuah kerangka gagasan keselamatan
yang datang di dalam Kristus. Di antara Injil-injil sinoptik, hanya Lukas yang menyebut Yesus
Soter (“Juruselamat”), sekali dalam Injilnya (2:11) dan dua kali dalam Kisah Para Rasul (5: 31:
13:23).

Dengan cara yang sama, Lukas memberikan tempat yang menonjol bagi metanoeo
(bertobat) dan metanota (pertobatan', kadang: kadang ia menggunakan epistrefein [berputar]
sebagai alternatif). Markus 2:17, misalnya, berbunyi, "Aku datang bukan untuk memanggil orang
yang benar, tetapi orang berdosa”: Lukas 5:32 menambahkan "supaya mereka bertobat”.
"Bertobat” atau "pertobatan”, dalam tulisan-tulisan Lukas, sering kali dihubungkan erat dengan

4
"orang-orang berdosa” (hamartoloi) dan "pengampunan" (afesis). Ini adalah pesan yang bergema
dalam khotbah-khotbah misioner dalam Kisah Para Rasul (bnd. 2:38: 3:19: 5:31: 8:22: 10:43:
13:38: 17:30: 20: 21: 26:18, 20). Meskipun demikian, pesan ini tidak dimulai hanya di dalam
Kisah Para Rasul. Dengan demikian, pertobatan, perubahan hati dan pengampunan menjadi
sebuah tema dominan dalam pelayanan bukan hanya Yesus, tetapi juga para rasul dan penginjil
sesudah Dia dan pelayanan Yohanes Pembaptis sebelum-Nya.

Tidak langsung jelas, khususnya dalam Kisah, dosa-dosa apakah yang harus disesali oleh
orang-orang tersebut. Sering kali para rasul hanya berseru kepada para pendengarnya agar
mereka bertobat dari dosa-dosa mereka tanpa menvebutkan dengan jelas apa dosa-dosanya.
Namun, dosa-dosa orang Yahudi dan bukan Yahudi berbeda. Orang Yahudi harus bertobat dari
bagian mereka dalam kematian Yesus dan sesudah itu mereka akan (kembali) diikutsertakan
dalam sejarah keselamatan, terutama terdiri dari penyembahan berhala (Kis.17:29) (bnd.
Wilekens 1963; Grant).

Bila kita membandingkan contoh-contoh ini dengan khotbah-khotbah misioner dalam


Kisah, jelas ada perbedaan dalam pemahaman tentang dosa. Hal ini menjadi jelas khususnya bila
kita membandingkan reaksi terhadap pemberitaan Yohanes Pembaptis dengan reaksi terhadap
khotbah Petrus dalam Kisah Para Rasul 2. Dalam kedua kasus tersebut tanggapan para
pendengarnya diungkapkan dalam pertanyaan pemeriksaan batin, "Jika demikian, apakah yang
harus kami perbuat?” (Luk. 3:10: 12: 14: Kis. 2:37). Dalam Kisah Para Rasul, jawaban Petrus
tetap kabur, hanya dengan suatu petunjuk pada kenyataan bahwa para pendengarnya telah ikut
menyebabkan kematian Yesus (2:38-40).

Dalam Injil Lukas, jawaban Yohanes Pembaptis sangat konkret - hal ini berkaitan dengan
berbagi jubah dengan orang yang tidak punya, memberikan makanan kepada yang lapar, dan
tidak merampas mereka yang tidak berdaya (Luk. 3:11-14) Jadi, bila kita membandingkan Injil
Lukas dengan Kisah Para Rasul berdasarkan isi yang dituntut oleh pertobatan dan perubahan
hati, kita melihat adanya suatu perubahan hati berarti bahwa orang Yahudi menerima Yesus
sebagai Mesias mereka dan perubahan orang bukan Yahudi dari berhala yang dimana mereka
beriman kepada-Nya. Dalam Injil, perubahan hati lebih spesifik.

Pemahaman yang menyeluruh tentang keselamatan ini terbukti dalam Injil Lukas dan
kisah. Misi penguyuban Kristen dalam kisah para rasul adalah misi keselamatan seperti halnya
karya Yesus. Keselamatan meliputi pembalikan segala konsekuensi jahat dosa, terhadap Allah
dan sesama. Hal ini tidak hanya mempunyai suatu dimensi "vertikal".

Karena itu, dalam analisis terakhir, tidak ada kesenjangan yang tidak dapat dijembatani
antara Injil Lukas dan Kisah Para Rasul (meskipun ketegangan antara penekanan dari kedua
kitab tersebut tidak boleh disangkal).

Dilihat dari perspektif ini, Lukas-Kisah Para Rasul menjadi sebuah nyanyian syukur bagi
kasih karunia Allah yang tidak ada bandingnya, yang dicurahkan kepada untuk kepada orang-

5
orang berdosa. Tekanan tentang hal ini hanya dapat dipahami, dan itu pun hanya sebagian, bila
kita melihatnya dalam latar belakang mengenai pemahaman tentang Allah pada masa itu:
mahakuasa, menakutkan dan tidak dapat didekati. Ia tidak boleh dipahami sebagai Allah yang
menyenangkan dan tidak berbahaya yang selalu siap untuk mengampuni lebih daripada
kecenderungan orang untuk berdosa.

Seluruh inisiatif-Nya tetap terletak pada Allah. Dan hal ini menampakkan diri dalam
cara-cara yang tidak masuk akal bagi pikiran manusia. Anak yang hilang menjadi penerima
kebaikan yang tidak dapat diselami dan tidak patut diterimanya, orang berdosa hanya dicari dan
diterima, namun ia mendapatkan kehormatan, tanggung jawab dan kuasa (Ford 1984). Allah
menjawab doa pemungut cukai, tetapi bukan seperti yang telah dihadapkan oleh para pendengar
Yesus; doa orang Farisi. Keselamatan datang kepada kepala pemungut cukai, dari sekian banyak
orang, tetapi hanya setelah Yesus mengambil inisiatif dan mengundang Diri-Nya untuk datang
ke rumah Zakheus. Seorang Samaria orang paling tidak mungkin dibayangkan melakukan
perbuatan belas kasihan yang luar biasa.

Seorang penjahat yang hina menerima pengampunan dan janji Firdaus pada jam
kematiannya. tanpa ada kemungkinan apa pun untuk melakukan perbaikan atas kejahatannya.
Para penyalib orang yang tidak bersalah dari Nazaret itu mendengar dia berdoa memohon
pengampunan bagi apa yang mereka lakukan kepada-Nya. Dan di dalam Kisah Para Rasul orang-
orang Samaria yang direndahkan dan orang-orang kafir menerima pengampunan dan
diikutsertakan ke dalam Israel: dengan Israel mereka merupakan satu umat Allah. Apa yang
dikatakan sehubungan dengan kata-kata Yesus bahwa pemungut cukai dan bukan orang Farisi
pulang ke rumah “dibenarkan” (Luk. 18:14) dapat dikatakan mengenai semua contoh yang diacu
di atas: "Kesimpulan semacam itu" tentu telah sangat mencekam para pendengar.

Mereka sama sekali tidak dapat membayangkannya. Kesalahan apakah yang telah
dilakukan oleh orang Farisi itu dan apakah yang telah dilakukan oleh pemungut cukai itu untuk
memperbaikinya” (dikutip dalam Ford 1984). Yesus yang diperkenalkan Lukas kepada para
pendengar adalah Dia yang membawa orang luar, orang asing dan musuh ke rumah dan, dengan
mempermalukan orang-orang yang "benar", memberikannya tempat kehormatan pada perjamuan
dalam pemerintahan Allah.

6
MISI MENURUT PAULUS: UNDANGAN UNTUK BERGABUNG DENGAN
KOMUNITAS ESKATOLOGI :

MISIONARIS PERTAMA: TEOLOG PERTAMA

Rasul Paulus selalu mempunyai daya tarik khusus bagi para misionaris. Tidak
mengherankan bahwa selama bertahun-tahun, beberapa monograf tentang makna penting Paulus
bagi misi Kristen telah ditulis oleh para misionaris dan misiologis. Missionary Methods: St.
Paul's or Ours karya Roland Allen (terbit pertama kali pada tahun 1912) menduduki tempat
terhormat dalam kaitan ini dan telah memberikan pengaruh yang mendalam khususnya di
kalangan misionaris berbahasa Inggris. Setahun sesudah itu, Johannes Warneck menerbitkan
bukunya, Paulus im Lichte der heutigen Heidenmissio, sebuah buku yang mempunyai dampak
sebanding di kalangan para misionaris berbahasa Jerman. Minat pertama Allen, Warneck dan
para misiolog lainya sesudah mereka (seperti Gillland 1983) adalah pada metode-metode misi
Paulus dan apa yang dapat dipelajari para misionaris masa kini dari dirinya.

Dalam hal yang sama, kebanyakan studi tentang Paulus sebelumnya oleh para ahli biblika
cenderung untuk “mencampurkan” Paulus dari surat-surat dengan menurut Kisah Para Rasul.
Namun, ini tidak berarti bahwa Kisah Para Rasul tidak punya nilai dalam hal ini: kitab itu
mengandung banyak hal yang tidak disangsikan didasarkan pada tradisi yang dapat diandalkan
(bnd. Senior dan Stuhlmucller 1983; 1986) dan merupakan “komentar pertama tentang Paulus”
yang dimiliki (Haas 1971). Tetapi, Kisah Para Rasul tetap merupakan sumber sekunder tentang
Paulus, dan secara metodologis tak baik kita mencampuradukkan sumber primer dengan sumber
sekunder.

Ada lagi keterbatasan lain dalam hal sumber-sumbernya misalnya dalam ketujuh surat
yang secara umum dianggap jelas-jelas berasal dari tangan Paulus: Roma, 1 dan 2 Korintus,
Galatia, Filipi, 1 Tesalonika dan Filemon, meskipun tanpa berprasangka terhadap masalah
kemungkinan kepengarangan Paulus terhadap keenam surat lainnya yang dikaitkan kepada
Paulus. Betapapun juga surat-surat ini akan memberikan cukup banyak bahan untuk dipikirkan
daripada yang mungkin kita cerna.

Pada umumnya disepakati bahwa 1 Tesalonika adalah surat Paulus yang pertama dan
Roma atau Filipi yang terakhir. Ketujuh surat tersebut ditulis pada tahun-tahun pelayanan misi
Paulus yang aktif setelah ia meninggalkan Antiokhia, suatu periode yang relatif singkat, sekitar
tujuh atau delapan tahun (bnd. Hahn 1965; Hengel 1983; Ollrog 1979), yang dimana juga
merentang dari sekitar tahun 47 M sampai kira-kira tahun 56 M. Ini berarti bahwa Paulus
menuliskan surat-suratnya sekitar lima belas sampai dua puluh tahun sebelum Markus
mengarang Injilnya dan tiga puluh tahun atau lebih sebelum Matius dan Lukas menulis Injil
mereka.

Selama bertahun-tahun ia dianggap sebagai pencipta suatu sistem dogmatika. Baru


kemudian setahap demi setahap para ahli biblika Menemukan bahwa Paulus pertama-tama dan

7
terutama sekali harus dipahami, juga di dalam surat-suratnya, sebagai seorang misionaris rasuli.
Pada tahun 1899 seorang ahli Perjanjian Baru muda, Paul Werle, menerbikan sebuah traktat
yang berjudul Paulus der Heidenmisstonar, yang mungkin merupakan upaya ilmiah pertama
yang bersungguh-sungguh untuk meninjau Paulus dari perspektif panggilan dan pelayanan
misinya.

Kata Werle, Semua surat Paulus memberikan hanya satu jawaban kepada pertanyaan
tentang siapa dia dan ingin jadi apa dia — seorang rasul Yesus Kristus, seorang misionaris. “Ia
tahu... bahwa Allah telah mengutusnya ke dalam dunia untuk memberitakan Injil, bukan untuk
merenung dan berspekulasi”

Namun, baru pada tahun 1960-an arti penting sepenuhnya dan persepsi tentang Paulus ini
diakui dan dihargai secara tepat. Di masa kini Paulus diakui sebagai teolog Kristen pertama
justru karena misionaris Kristen pertama (Hengel 1983; Dahl 1977; Russell 1988). bahwa
“teologi misinya praktis bersinonim dengan keseluruhan refleksinya yang menakjubkan tentang
kehidupan Kristen” (Senior dan Stuhlmueller 1983:161). Teologi Paulus dan misinya tidak
semata-mata saling berkaitan seperti “teori” dengan “praktik” dalam pengertian bahwa misinya
“mengalir” dari teologinya, melainkan dalam pengertian bahwa teologinya adalah sebuah teologi
misioner (Hultgren 1985:145) dan bahwa misinya secara terpadu berkaitan dengan identitas dan
pemikiran sendiri. Pemahaman Paulus tentang misi bukanlah suatu bangunan abstrak yang
bergantung pada sebuah prinsip universal, melainkan suatu analisis tentang realitas yang
didorong oleh suatu pengalaman mula-mula yang memberikan suatu pandangan dunia yang baru
(Senior dan Stuhlmueller 1983). Hal ini khususnya berlaku bagi Surat Roma (bnd. Lefgrand
1988; Russel 1988), satu-satunya surat yang ditulis Paulus kepada sebuah jemaat yang tidak
didirikannya sendiri.

Orang harus meneliti seluruh teologinya. Hal ini, sudah tentu merupakan usaha yang
sangat luar biasa, khususnya karena Paulus adalah seorang pemikir yang paling kompleks. Tidak
mengherankan bahwa bahkan seorang pengarang Kristen mula-mula harus mengeluh tentang
surat-surat Paulus bahwa “Dalam surat-suratnya itu ada hal-hal yang sukar dipahami” (2 Pet
3;16) Keadaannya tidak lebih mudah sekarang, khususnya mengingat begitu banyak penafsiran
yang berbeda-beda tentang Paulus yang dijumpai oleh peneliti yang serius.

PERTOBATAN DAN PEMANGGILAN PAULUS

Paulus sendiri memulainya dengan peristiwa pertobatan dan pemanggilannya. Apakah


yang mengubah seorang Farisi yang paling fanatik menjadi rasul Kristus kepada bangsa-bangsa
bukan Yahudi, penganiaya gerakan Kristen mula-mula menjadi tokoh protagonis utama,
seseorang yang memandang Yesus sebagai penipu dan ancaman bagi Yudaisme menjadi
seseorang yang merangkulnya sebagai pusat kehidupannya. Paulus sendiri hanya memberi satu
jawaban: perjumpaannya dengan Kristus yang bangkit. Dalam surat-suratnya Paulus tidak pernah
menguraikan peristiwa ini. Dalam surat-suratnya Paulus juga mengacu pada peristiwa ini sampai
tiga kali: Galatia 1:11-17, Filipi 3:2-11, dan barangkali Roma 7:13-25, tetapi ia melakukannya

8
dalam cara yang sangat berbeda dengan laporan-laporan dalam Kisah Para Rasul. Acuan-
acuannya sangat dingin dan hanya berfungsi untuk menggambarkan asal-usul Injilnya yang
bukan dari manusia (Beker 1980)

Beberapa ahli telah mengajukan pendapat bahwa tidak boleh menggunakan kata
”pertobatan” sehubungan dengan pengalaman Paulus di jalan ke Damsyik. Alasan mereka pada
hakikatnya ada dua:

 Pertama, pertobatan menunjukkan suatu perubahan agama, dan Paulus jelas tidak
mengubah agamanya; apa yang kita sebut kekristenan di masa Paulus adalah sebuah
sekte di dalam Yudaisme (bnd. Stendahl 1976; Beker 1980; Gaventa 1986).
 Kedua, tidak ada dasarnya untuk melukiskan Paulus, seperti yang masih terjadi, sebagai
orang yang tersiksa dan penuh rasa bersalah karena dosa-dosa, sebagai orang yang
mengalami konflik batin yang akhirnya tembawanya pada pertobatan. Dalam sebuah esai
yang kini menjadi klasik, yang pertama kali terbit dalam bahasa Swedia pada 1960,
Stendahl dengan meyakinkan telah mengajukan pendapat bahwa “penafsiran” psikologis
seperti itu tentang apa yang terjadi pada Paulus pada jalan ke Damsyik itu mencerminkan
suatu pemahaman modern yang khas tentang peristiwa tersebut. Fenomenon tentang
“nurani introspektif”, tentang pemeriksaan diri yang mendalam yang disertai oleh
kerinduan untuk mencapai kepastian tentang keselamatan, adalah sesuatu yang khas
Barat, kata Stendahl.

Keadaan ini telah menyebabkan Stendahl dan lain-lainnya berpendapat bahwa lebih baik
kita tidak menggunakan “bahasa pertobatan” untuk apa yang terjadi pada Paulus (dan, akibatnya,
untuk apa yang diharapkan Paulus akan terjadi dalam karya misinya). Bukannya menyebut
“pertobatan paulus” Kita seharusnya berbicara tentang “pemanggilannya” Paulus tidak berbicara
secara tentang pengalaman Damsyik. tetapi secara teologis tentang pemanggilannya untuk
menjadi seorang rasul kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi.

Setiap kali Paulus mengacu pada penampakan Kristus kepada dirinya, ia mengklaim
dengan demikian ia dipanggil dan diutus sebagai seorang rasul dan ia melakukan hal tersebut
dengan acuan-acuan yang sangat jelas pada panggilan kenabian Yesaya dan Yeremia.
Panggilannya berasal dari tindakan Allah yang menentukan dan yang disampaikan kepadanya
melalui suatu pengataan dan penglihatan. Apa yang sering kali diacu sebagai pengalaman
pertobatannya diserap oleh realitas yang lebih besar dari panggilan kerasulannya.

Penekanan pada pemanggilan Paulus jelas adalah suatu koreksi yang paling penting
terhadap pemahaman tradisional tentang pertobatan Paulus. Meskipun demikian, standar dan lah
yang lain lainnya melangkah terlalu jauh dengan menafsirkan apa yang terjadi pada Paulus
semata mata dalam pengertian sebuah panggilan.

Paulus pada dasarnya tetap berada dalam Kesinambungan dengan masa lampau nya, yang
kepadanya tanda kutip "hanya" Ditambahkan suatu panggilan untuk misi kepada bukan Yahudi.

9
Namun, apa yang digambarkan oleh Paulus sendiri dalam Galatia 1:1-17 tidak menunjukkan
bahwa apa yang telah dialaminya dapat digolongkan ke dalam kategori ini. Paulus mengalami
suatu pengalaman radikal dalam nilai-nilai, definisi diri dan komitmen. Paulus mengalami suatu
revisi yang dasariah terhadap persepsi nya tentang Yesus dari Nazaret dan tentang nilai hukum
torah yang menyelamatkan; dan meskipun ada banyak unsur pandangan dunia nya yang penting
dan yang pada hakikatnya tidak berubah lebih baik kita menggunakan istilah pertobatan (atau,
sekurang-kurangnya,“transformasi”) untuk apa yang terjadi pada dirinya. Barangkali inilah
pengalaman yang primordial dari setiap orang Kristen.

Jadi, bahkan Petrus, Paulus dan Yohanes, yang telah hidup sebagai orang Yahudi yang
benar, harus mengalami sesuatu yang lainnya agar dapat menjadi umat Allah; mereka harus
mempunyai Iman kepada Kristus. Peristiwa Kristus menunjukkan perubahan zaman dan
menandakan, bagi Paulus, pemberitaan keadaan yang baru yang telah dimulai Allah di dalam
Kristus. Torah sebagai jalan keselamatan dikalahkan oleh Mesias yang disalibkan dan bangkit.
Salah satu hal yang Untuk-Nya seseorang yang ingin mengikuti Kristus harus mati adalah hukum
torah, yang berarti bahwa mereka harus meninggalkan atau menyerahkan sesuatu-dan ini adalah
bahasa pertobatan.

STRATEGI MISI PAULUS

Misi ke Metropolis

Ciri-ciri pemahaman Paulus tentang misi yang baru saja disebutkan dan yang lain-
lainnya, menampakkan diri pertama-tama dalam apa yang dapat disebut (karena tidak ada istilah
yang lebih tepat) sebagai strategi misi Paulus.

Visi misioner Paulus bersifat mendunia, setidak-tidaknya sehubungan dengan dunia yang
dikenal olehnya. Sampai pada persidangan para rasul (tahun 48 M) titik jangkauan misi kepada
bangsa-bangsa bukan Yahudi mungkin terbatas sampai ke Siria dan kilikia, Jemaat di Roma,
yang mungkin berasal dari awal tahun 40-an dari abad pertama masehi, dimulai sebagai sebuah
Jemaat Kristen Yahudi.

Paulus dan rekan-rekannya.

Ciri lain dari praktik misi Paulus terletak dalam cara di mana ia memanfaatkan berbagai
sahabat mengajukan pendapat tentang pandangan bahwa orang-orang ini dalam (termasuk kaum
perempuan, seperti Priskila) bukan hanya pembantu-pembantu atau bawahan Paulus, melainkan
benar-benar rekan-rekannya (Ollrog 1979, passim).

1
Kesadaran diri rasuli Paulus.

Ketaatan tidak bersyarat yang ditekankan oleh Paulus dan kekuasaan yang diklaimnya
bukanlah untuk dirinya sendiri melainkan untuk Injil, artinya untuk Kristus.

Motivasi misi Paulus.

Michael green mengusulkan bahwa ada tiga motif misi utama yang bekerja dalam gereja
mula-mula, yang kesemuanya secara khusus dapat dengan jelas diidentifikasikan dalam Paulus:
rasa bersyukur rasa tanggung jawab dan rasa keprihatinan.

Rasa keprihatinan.

Di sinilah keprihatinan Paulus masuk dan ikut bermain. Ia melihat umat manusia di luar
Kristus sama sekali tersesat, dalam dalam perjalanan menuju ke kehancuran dan dalam
kebutuhan yang sangat mendesak akan keselamatan titik gagasan tentang penghakiman yang
segera akan datang terhadap mereka yang "tidak taat kepada kebenaran" (Rm.2:8) adalah tema
yang muncul berulang-ulang pada Paulus. Justru karena alasan inilah, ia tidak membiarkan
dirinya bersantai titik ia harus memberitakan pembebasan "dari murka yang akan datang" (1 Tes
1:10) kepada sebanyak mungkin orang. Ia adalah utusan Allah: Allah memanggil orang-orang
yang tersesat melalui Paulus dan rekan-rekan sekerjanya: "kami meminta kepadaMu berilah
dirimu didamaikan dengan Allah" (2 Kor 5:20).

Jadi, maksud misi Paulus adalah memimpin orang pada keselamatan di dalam Kristus.
Namun, perspektif antropologis ini bukanlah tujuan akhir dari pelayanannya titik di dalam dan
melalui misinya ia mempersiapkan dunia untuk kemuliaan Allah yang akan datang dan untuk
hari di mana seluruh alam akan memuji dia.

Dalam suratnya yang kedua kepada Jemaat Korintus Paulus menggunakan istilah lain
dalam usahanya untuk mengungkapkan hutangnya: “kami tahu apa artinya takut akan Tuhan
karena itu kami berusaha meyakinkan orang” (2 Kor 5:11). Green menafsirkannya dengan tepat,
“Ini... bukanlah rasa takut yang pengecut dari mereka yang pecundang, melainkan rasa takut
yang penuh kasih dari seorang sahabat dan hambanya yang terpercaya yang tidak ingin
mengecewakan tuannya yang dikasihinya”

Semua acuan ini menekankan rasa berhutang kepada Kristus dan kepada orang-orang
yang kepadanya Paulus diutus. Pada kesempatan ini akan mendapatkan lebih banyak informasi
pada apa yang dikatakan Paulus tentang sikap dan perilaku orang percaya terhadap “orang luar”,
karena hal ini akan lebih menolong menjelaskan pemahamannya tentang tanggung jawab dirinya
dan orang Kristen lain di mana ia menekankan kepada para pembacanya bahwa mereka adalah
sebuah komunitas khusus.

Rasa bersyukur

1
Hak istimewa, kasih karunia rasa syukur (kharis adalah kata kata Yunani perjanjian baru
yang dipergunakan untuk ketiga istilah ini) - semuanya adalah pemahaman yang dipergunakan
Paulus ketika ia mengacu pada tugas misinya. Dalam surat kepada Jemaat di Roma ia
membangun hubungan yang erat antara "kasih karunia" atau "rasa syukur" dan "kewajiban";
dengan kata lain, pengakuan Paulus tentang rasa berhutangnya dengan segera diterjemahkan ke
dalam rasa syukur. Hutang atau kewajiban yang dirasakannya tidak mewakili beban yang
menghalanginya; sebaliknya, pengakuan akan hutang ini sinonim dengan pengucapan syukur.

Cara Paulus mengucap syukur adalah dengan menjadi misionaris kepada orang Yahudi
dan bukan Yahudi. Ia telah menukarkan hutang dosa yang mengerikan dengan hutang yang lain
yakni hutang rasa syukur yang ditampakkan dalam misi.

Paulus kadang-kadang menggunakan bahasa kultik untuk mengungkapkan "hutang


syukur"-nya sendiri maupun sesama orang percaya. Dalam Roma 15:16 yang sudah beberapa
kali diacu, ia menyebut dirinya sebagai leitourgos ("pelayan") kepada bangsa-bangsa bukan
Yahudi dan tentang keterlibatan misionernya sebagai "pelayanan imamat" (leitourgein "berfungsi
sebagai imam). Dalam filipi 2:17 ia menyebutnya sebagai thusia kurban curahan dan leitourgia
("kurban"). Dalam cara yang sama ia menghimbau kepada para pembacanya agar
mempersembahkan tubuh mereka kepada Allah sebagai "persembahan yang hidup yang kudus,
yang katanya adalah "ibadah yang sejati": dan persembahan yang dikirimkan oleh orang-orang
filipi kepadanya melalui Epafroditus disebutnya sebagai persembahan yang harum (Flp 4:18).

Di balik semua ungkapan ini terdapat gagasan tentang qurban atau persembahan yang
diberikan berdasarkan kasih dan karena kasih Paulus telah diterima oleh Paulus dan komunitas-
komunitasnya dari Allah melalui Kristus.

1
BAB III

KESIMPULAN

Dalam kisah Para Rasul, terdapat beberapa misi yang dilakukan oleh para rasul, oleh
Rasul Paulus dan rasul-rasul yang mengikutinya. Kesimpulan utama dari misi mereka adalah
untuk menyebarkan ajaran agama Kristen, memberitakan kabar baik tentang Yesus Kristus
sebagai Juruselamat. Paulus menyebarkan ajaran Injili Kristus kepada berbagau komunitas dan
bangsa. Ia melakukan perjalanan panjang dan beresiko tinggi dalam pemberitaan Injili Kristus, Ia
aktif dalammenginjili orang-orang di luar komunitas Yahudi dan membuka pintu bagi mereka
untuk menerima Kristus.

Dalam menjalankan misinya Paulus juga mendirikan gereja-gereja di berbagai kota dan
wilayah yang ia kunjungi selama misinya. Meskipun mengalami banyak penderitaan dan
penganiayaan dalam menjalankan misinya namun paulus selalu bertekun dan menekankan
pentingbya kasih,iman dan keselamatan melalui iman dam Yesus Kristus. Kesimpulan lain yang
dapat kami kelompok ambil adalah pentingnya iman, ketekunan, dan pengorbanan dalam
menjalankan misi Kristen.

1
DAFTAR PUSTAKA

Transformasi misi Kristen : sejarah teologi misi yang mengubah dan berubah, David J. Bosch;
diterjemahkan oleh Stephen Suleeman. Jakarta, BPK Gunung Mulia

Paulus : Perjalanan Seorang Rasul, Douglas A. Campbell. Jakarta, BPK Gunung Mulia.

Anda mungkin juga menyukai