Anda di halaman 1dari 594



i
ii
Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi

TAFSIR SYA’RAWI
Renungan Seputar Kitab Suci Alquran

JILID 15
Juz XXX
al-Naba’ [87]: 1 s/d an-Nas [114]: 6

iii
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Alquran, Tafsir
Tafsir Sya’rawi juz 30/penulis, Syekh Muhammad Mutawally Sya’rawi;
Penerjemah Dr. H. Zainal Arifin, Lc, Penyunting Tim Duta Azhar. –Cet 1- Medan:
Penerbit Duta Azhar, 2015. xii + 580 hlm; 23.5 x 18 cm.
Judul asli: Tafsir Sya’rawi
ISBN 979-3588-00-4 (Nomor Jilid Lengkap)
ISBN 978-979-3588-59-9 (Jil. 12) Juz 25-26
ISBN 978-979-3588-60-5 (Jil. 13) Juz 27-28
ISBN 978-979-3588-61-2 (Jil. 14) Juz 28-29
ISBN 978-979-3588-62-9 (Jil. 15) Juz 30

.1Alquran – Tafsir. I. Judul. II. Tim Safir al-Azhar

Judul asli
‫ﺮﺍﻭﹺﻯ‬‫ﻌ‬‫ﺗﹾﻔﺴِﲑﺍﻟﺸ‬
Tafsir Sya’rawi
Akhbar al-Yaum, Kairo
Penulis
Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi

Penerjemah: Dr. H. Zainal Arifin, Lc


Ketua Tim Terjemah Safir al-Azhar (Ikatan Alumni al-Azhar Internasional Indonesia Sumut)
Tim Ahli: Prof. Dr. H. Abdullahsyah, MA; Prof. Dr. H. Ya’kub Matondang, MA;
Prof. Dr. H. Hasballah Taib, MA; Dr. H. Muhammad Sofyan, MA.
Penyunting: Tim Duta Azhar, Dr. H. Zainal Arifin, Lc
Setter: Dra. Dahlia

Penerbit
Duta Azhar
Jln. Sunggal Besar Km. 7.5 Komplek Masjid al-Ikhwan (222) No. 7 Serba Setia Medan
Kode Pos 20128 HP: 0813 61 71 41 87
Email: tafsirinspirasi@gmail.com
Pemasaran di Indonesia
PT Khazanah Nusantara Agung
Jln. Cililitan Kecil I No. 1 RT 010 RW 007 Kramat Jati Jakarta Timur
HP 081 64 81 49 31
Pemasaran di Malaysia
Pustaka Darussalam Sdn.Bhd.
No. 956 & 958, Kompleks Peruda, Jalan Sultan Badlishah 05000 Alor Setar,
Kedah Darul Aman
E-mail: drisalam@tm.net.my
Percetakan
PT Ikrar Mandiriabadi, Jakarta

Cetakan Pertama, Rabiul Awwal 1437 H/Januari 2016M

iv
pppppppppppp

TRANSLITERASI

‫ﺃ‬a ‫ﺥ‬kh ‫ﺵ‬sy ‫ﻍ‬gh ‫ﻥ‬n

‫ﺏ‬b ‫ﺩ‬d ‫ﺹ‬sh ‫ﻑ‬f ‫ﻭ‬w

‫ﺕ‬t ‫ﺫ‬dz ‫ﺽ‬dh ‫ﻕ‬q ‫ﻩ‬h

‫ﺙ‬ts ‫ﺭ‬r ‫ﻁ‬th ‫ﻙ‬k ’‫ﺀ‬

‫ﺝ‬j ‫ﺯ‬z ‫ﻅ‬zh ‫ﻝ‬l ‫ﻱ‬y

‫ﺡ‬h ‫ﺱ‬s ‫‘ﻉ‬ ‫ﻡ‬m …..

â = a panjang, contoh ‫ﺍﳌﺎﻟﻚ‬ :al-Mâlik


î = i panjang, contoh ‫ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ‬ :ar-Rahîm
û = u panjang, contoh ‫ﺍﻟﻐﻔﻮﺭ‬ :al-Ghafûr

v
pppppppppppp

DAFTAR ISI

SURAT AN-NABÂ’ (78) ... 1


Hari Berbangkit... 6
Kekuasaan Allah menciptakan alam dan ni’mat-ni’mat yang diberikan-
Nya adalah bukti bagi kekuasaan-Nya membangkitkan manusia ... 6
Kehebatan hari berbangkit ...36
Balasan terhadap orang yang durhaka... 43
Balasan terhadap orang yang bertakwa ... 53
Perintah agar manusia memilih jalan yang benar ... 58

SURAT AN-NÂZI‘ÂT (79) ... 61


Penegasan hari berbangkit kepada musyrik yang mengingkarinya ... 70
Kisah Musa a.s. dan Firaun sebagai penghibur bagi Nabi Saw ... 88
Pembangkitan manusia adalah mudah bagi Allah seperti menciptakan
alam semesta ... 98

SURAT ‘ABASA (80) ... 103


Teguran kepada Rasulullah Saw ... 105
Peringatan Tuhan kepada manusia yang tidak tahu hakikat dirinya... 116

SURAT AT-TAKWÎR (81) ... 129


Di kala terjadinya peristiwa besar pada hari kiamat, tahulah tiap jiwa
apa yang telah dikerjakannya waktu di dunia ... 131
Muhammad bukanlah gila, melainkan Rasul kepadanya diturunkan
Alquran ... 139

SURAT AL-INFITHÂR (82) ... 149


Celaan terhadap manusia yang durhaka ... 152
Semua perbuatan manusia dicatat dan dibalas ... 158

SURAT AL-MUTHAFFIFÎN (83) ... 161

vi
pppppppppppp
Ancaman terhadap orang yang curang dalam menakar dan
menimbang ... 163
Keadaan orang yang durhaka pada hari kiamat ... 163
Keadaan orang yang berbakti kepada Allah pada hari kiamat ... 170
Ejekan terhadap mukmin di dunia dan balasannya di akhirat ... 176

SURAT AL-INSYIQÂQ (84) ... 183


Mukmin menerima catatan amalnya di sebelah kanan dan akan
menerima pemeriksaan yang mudah ... 186
Durhaka menerima catatan amalnya dari belakang dan akan dimasukkan
ke neraka ... 192
Manusia mengalami proses kehidupan tingkat demi tingkat ... 195

SURAT AL-BURÛJ (85) ... 199


Penentang Muhammad akan akan hancuran sebagaimana dialami umat
terdahulu ... 201

SURAT ATH-THÂRIQ (86) ... 221


Tiap manusia itu ada penjaganya ...223
Allah yang kuasa menciptakan manusia, kuasa pula
membangkitkannya ... 230
Alquran pemisah antara yang hak dan bathil... 238

SURAT AL-’ALÂ (87) ... 245


Bertasbih dan menyucikan diri adalah pangkal keberuntungan ... 249

SURAT AL-GHÂSYIYAH (88) ... 263


Keadaan penghuni neraka dan surga ... 263
Anjuran memperhatikan alam semesta ... 275

SURAT AL-FAJR (89) ... 279


Mereka yang menentang Nabi Muhammad Saw pasti binasa seperti
umat terdahulu ... 282
Kekayaan dan kemiskinan adalah ujian Tuhan bagi hambanya ... 293
Penyesalan manusia yang tenggelam dalam kehidupan duniawi di
akhirat ... 295
Penghargaan Allah terhadap mukmin ... 297

vii
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

SURAT AL-BALAD (90) ... 299


Hidup manusia penuh dengan perjuangan ... 301

SURAT ASY-SYAMS (91) ... 311


Manusia diilhami Allah jalan yang buruk dan yang baik ... 313

SURAT AL-LAIL (92) ... 319


Usaha manusia yang terpenting ialah mencari keredaan Allah ... 321

SURAT ADH-DHUHÂ (93) ... 329


Beberapa nikmat yang dianugerahkan kepada Nabi Muhammad ... 332

SURAT AL-INSYIRÂH (94) ... 337


Perintah Allah kepada Nabi Muhammad Saw agar terus berjuang
dengan ikhlas dan tawakal ... 339

SURAT AT-TÎN (95) ... 343


Manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya ... 345

SURAT AL-‘ALÂQ (96) ... 349


Tulis baca adalah kunci ilmu pengetahuan ... 351
Manusia menjadi jahat karena merasa cukup ... 354

SURAT AL-QADR (97) ... 361


Kemuliaan Lailatul Qadr ... 363

SURAT AL-BAYYINAH (98) ... 373


Ahli kitab berpecah belah menghadapi Muhammad Saw sedang ajaran
yang dibawanya adalah wajar ... 376

SURAT AL-ZILZALAH (99) ... 385


Di hari berbangkit manusia melihat balasan perbuatannya biarpun yang
sebesar dzarrah... 387

SURAT AL- ‘ÂDIYÂT (100) .... 391


Manusia menjadi kikir karena tamaknya kepada harta ... 393

viii
MUKADDIMAH

SURAT AL-QÂRI‘AH (101) ... 397


Orang yang berat dan yang ringan perbuatannya di hari kiamat... 399

SURAT AT-TAKÂTSUR (102) ... 415


Ancaman Allah terhadap orang-orang yang lalai dan bermegah-
megahan ... 417

SURAT AL-‘ASHR (103) ... 479


Amat rugilah manusia yang tidak memanfaatkan waktunya untuk
berbakti ... 428

SURAT AL-HUMAZAH (104) ... 447


Amat celakalah penimbun harta yang tidak menafkahkannya di jalan
Allah ... 449

SURAT AL-FÎL (105) ... 459


Azab Allah kepada tentara bergajah yang akan menghancurkan
Kakbah ... 461

SURAT QURAISY (106) ... 471


Kemakmuran dan ketenteraman seharusnya menjadikan orang berbakti
kepada Allah ... 473

SURAT AL-M‘ÛN (107) ... 485


Beberapa sifat yang mendustakan agama ... 487

SURAT AL-KAUTSAR (108) ... 493


Salat dan berkorban tanda bersyukur kepada nikmat Allah... 495

SURAT AL-KÂFIRÛN (109) ... 503


Tidak ada toleransi dalam hal keimanan dan peribadatan ... 507

SURAT AN-NASHR (110) ... 515


Pertolongan dan kemenangan itu datangnya dari Allah, maka pujilah
Dia ... 517

SURAT AL-LAHAB (111) ... 531


Tukang fitnah pasti akan celaka ... 535

ix
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

SURAT AL-IKHLÂSH (112) ... 543


Arti keesaan Tuhan ... 547

SURAT AL-FALAQ (113) ... 557


Allah pelindung dari segala kejahatan... 559

SURAT AN-NÂS (114) ... 575


Allah pelindung manusia dari kejahatan bisikan setan dan manusia ...
577

x
pppppppppppp

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Juz 30 dari terjemah Tafsir Sya’rawi dapat


diterbitkan. Salawat dan salam disampaikan kepada Nabi Muhammad,
nabi penuh rahmat.
Juz 30 ini seharusnya diterbitkan terakhir. Namun karena juz 29
belum selesai diterbitkan oleh Akhbar al-Yaum, Kairo, Mesir; dan jilid
11 sudah terbit sejak lama (2013), maka untuk memecah kebuntuan juz
30 adalah solusi bijak menurut hemat Ketua Tim. Ini karena juz 30
adalah juz yang sering dihapal oleh pemula. Ini juz femiliar bagi umat
Islam di dunia.
Juz 30 ini terdiri dari surat an-Naba’ [78] hingga surat an-Nas
[114]. Terdapat 37 surat dari total surat 114. Surat yang sebagian besar
turun di Mekah sebelum hijrah ini adalah surat yang banyak
menceritakan tentang keesaan Allah dan kuasa-Nya yang diliputi oleh
kasih dan sayang, di samping kisah tentang hari pembalasan: mukmin
surga, kafir nereka.
Uniknya Alquran, Allah menutup Alquran dengan juz 30 melalui
surat dan ayat-ayatnya yang pendek. Walaupun pendek ia memiliki
kesulitan menghapal, karena redaksi ayatnya yang mirip di antara ayat
atau surat. Anak usia dini sangat layak dan bagus menghapal surat
pendek pada juz 30 ini, di samping terlihat pendek, ia juga melatih
pembentukan sel-sel otak dengan ketelitian penghapalan.
Di sisi lain, mengkaji juz 30 sama dengan mengkaji 1/4 surat
Alquran. Atau 37 dari 114 surat. Kajian ini memberi motivasi tersendiri
bagi orang dewasa untuk membaca lanjutannya. Walaupun terletak di
belakang surat, tetapi tetap saja juz 30 menjadi inti dari kitab suci
Alquran. Suatu hal yang menarik, bagi mereka yang cerdas dalam
membaca suatu buku yang bagus dengan kiat: “membaca di bagian
penutup dari buku itu” karena di sini semua kesimpulan dirangkum.
Begitulah juz 30 bagi Alquran yang mulia ini. Ia bagaikan
kesimpulan dari semua isi Alquran, yang telah dihantar pada al-Fatihah.
Walaupun semua Alquran berisikan isi, sehingga dibaca dari halaman

xi
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

manapun tetap menarik dan memiliki pesan tersendiri, tapi tetap saja
juz 30 bagian dari kesimpulan unik yang sangat tidak arif untuk
dilewatkan bagi mereka yang telah menghapal untuk kemudian
melangkah kepada pemahaman.
Buku Tafsir Syarawi juz 30 ini adalah jembatan untuk melangkah
lebih baik ke depan, dengan cara memahami juz 30 setelah sebelumnya
sebagian dari pembaca telah menghapal juz 30 ini. Jika belum terhapal,
mudah-mudahan dengan memahami, maka menghapal jauh lebih
mudah. Atau buku ini juga dapat dijadikan bahan untuk menambah
wawasan dai dan guru untuk menggali juz 30 di hadapan para siswa
dan jemaahnya.
Ketua Tim Terjemah mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu terbitnya juz 30 ini, dari pada penulis,
pembaca ulang, dan donatur. Ucapan terima kasih terkhusus
disampaikian kepada Ketua Umum MUI Sumut merangkap Ketua
Umum Ikatan Alumni al-Azhar Internasional Indonesia Sumut Medan
(Prof. Dr. H. Abdullah Syah, MA). Tentu hal yang sama untuk ayah,
ibu dan keluarga.
Walau sudah dibaca ulang berkali-kali, dan diterjemahkan sejak
tahun 2006, tetap saja pembaca masih menemukan kesalahan ketik atau
ketidak konsistenan dalam penulisan atau kesalahan terjemah, untuk itu
penulis mohon maaf serta mohon diinformasikan ke alamat dan nomor
yang tertera. Kami sangat mengucapkan terima kasih, demi perbaikan
ke depan. Tak ada manusia yang sempurna.
Demikianlah pengantar dari juz 30 ini, selamat membaca.

Medan, 30 Safar 1437 H


12 Desember 2015 M

Dr. H. Zainal Arifin, Lc


Ketua Tim Terjemah

xii
AN-NABA’ 78 JUZ 30

SURAT 78
AN-NABA'
(MAKKIYAH)

1
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

2
AN-NABA’ 78 JUZ 30

Selamat berjumpa kembali di bawah naungan Alquran, semoga Allah


melimpahkan rezeki pendengaran kepada kita, memberi taufik dalam
segala sesuatu yang kita lakukan dan tinggalkan. Saudara-saudara saya
yang memiliki ide pertemuan ini mengusulkan agar pembahasan kali ini
membahas seputar juz terakhir dari Alquran yaitu juz ‘Amma. Ide ini
sangat bagus karena juz terakhir mencakup surat-surat pendek yang
sering dibaca ketika salat di samping sering digunakan pada awal
penghafalan Alquran. Apabila kita curahkan seluruh perhatian untuk
membahas juz ini, maka kita akan mengetahui seluruh tujuan dan
maksud Alquran tertumpu pada juz ini. Seakan-akan ketika Allah Swt
menyusun pembicaraan sesuai dengan urutan mushaf, Dia ingin agar
perkataan-Nya yang terakhir yang mengetuk telinga adalah perkataan
yang mengingatkan kepada seluruh dasar-dasar agama, kaidah-kaidah
dan tujuannya.
Jika kita ingin mengetahui posisi firman Allah: ‫ﺴﺎ َﺀﹸﻟﻟﻮ ﹶﻥ‬
‫ﺴ‬‫ﺘ‬‫ ﻳ‬‫ﻢ‬‫ ﻋ‬tentang
apakah mereka saling bertanya-tanya? terhadap surat sebelumnya,
maka akan kita temukan hubungan yang bersifat maknawi dan lafzi.
Adapun surat sebelumnya adalah surat al-Mursalât. Apabila kita
membaca surat al-Mursalât, maka ditemukan firman Allah Swt:
 ‫ﻴﺎ‬‫ﻴ‬‫ﻠﹾﻘ‬‫ﻗﹰﻗﺎ)(ﻓﹶﻓﺎﻟﹾﻤ‬‫ ﻓﹶﺮ‬‫ﺮﺍ)(ﻓﹶﻓﺎﻟﹾﻔﹶﻔﺎﺭﹺﻗﹶﻗﺎﺕ‬‫ﺮ‬‫ﺸ‬‫ ﻧ‬‫ﺮﺍﺕ‬‫ﺮ‬‫ﻨﺎﺷ‬‫ﻭﺍﻟﻨ‬‫ﺼﻔﹰﻔﺎ)(ﻭ‬
‫ﺕ‬  ‫ﻋ‬ ‫ﺕ‬
 ‫ﻔﹶﻔﺎ‬‫ﻌﺎﺻ‬‫ﻓﹰﻓﺎ)(ﻓﹶﻓﺎﻟﹾﻌ‬‫ﺮ‬‫ ﻋ‬‫ﻼﹶﺕ‬‫ﺳ‬‫ﺮ‬‫ﻭﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻭ‬
‫ﻊ‬ ‫ﻗ‬ ‫ﻮﻮﺍ‬ ‫ﺪﺪﻭ ﹶﻥ ﹶﻟ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺗﺗﻮ‬ ‫ﻤﻤﺎ‬ ‫ﻧ‬‫ﺭﺍ)(ﹺﺇ‬‫ﺬﹾﺭ‬‫ ﻧ‬‫ﺭﺍ ﺃﹶﻭ‬‫ﺬﹾﺭ‬‫ﺮﺮﺍ)(ﻋ‬ ‫ﺫ ﹾﻛ‬ demi malaikat-malaikat yang diutus
untuk membawa kebaikan, dan (malaikat-malaikat) yang terbang
dengan kencangnya, dan (malaikat-malaikat) yang menyebarkan
(rahmat Tuhannya) dengan seluas-luasnya, dan (malaikat-malaikat)
yang membedakan (antara yang hak dan yang batil) dengan sejelas-
jelasnya, dan (malaikat-malaikat) yang menyampaikan wahyu, untuk
menolak alasan-alasan atau memberi peringatan, sesungguhnya apa
yang dijanjikan kepadamu itu pasti terjadi. (QS al-Mursalât [77]: 1-7)
Seakan-akan surat ini dimulai dengan berbagai macam sumpah, dan
yang menjadi materi sumpahnya adalah apa yang didustakan oleh kaum
musyrik, yaitu hari akhir. Lalu Allah berfirman sebagai jawaban atas
sumpah tersebut: ‫ﻊ‬ ‫ﻗ‬ ‫ﻮﻮﺍ‬ ‫ﺪﺪﻭ ﹶﻥ ﹶﻟ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺗﺗﻮ‬ ‫ﻤﻤﺎ‬ ‫ﻧ‬‫ ﹺﺇ‬sesungguhnya apa yang dijanjikan
kepadamu itu pasti terjadi. (QS al-Mursalât [77]: 7)
Kemudian Dia menyebutkan tanda-tanda peristiwa tersebut, maka
apabila bintang-bintang telah dihapuskan, dan apabila langit telah
dibelah, dan apabila gunung-gunung telah dihancurkan menjadi debu,
dan apabila rasul-rasul telah ditetapkan waktu (mereka). (Niscaya

3
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

dikatakan kepada mereka:) “Sampai hari apakah ditangguhkan


(mengazab kaum kafir itu)?” Sampai hari keputusan. Tahukah kamu
apakah hari keputusan itu? Kecelakaan yang besarlah pada hari itu
bagi orang-orang yang mendustakan”. (QS al-Mursalat [77]: 8-14)
Cocoklah jika surat yang datang setelahnya menjelaskan tentang
hari keputusan tersebut, karena ketika Allah berkata: “Tahukah kamu
apakah hari keputusan itu?” (QS al-Mursalât [77]: 15) Hal ini
mengindikasikan bahwa peristiwa tersebut adalah sesuatu yang besar,
sangat menakutkan, yang harus diperhatikan oleh akal pikiran, dan
sesuatu yang harus dipersiapkan.
Ketika Allah berkata: ‫ﻙ‬  ‫ﺭﺍ‬‫ﺭ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﺩ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬tahukah kamu?” Kalimat tersebut
digunakan untuk sesuatu yang akan diberikan Allah keterangannya
kepada Rasul-Nya. Hari yang tidak kamu ketahui sebelumnya atau
belum pernah kamu dengar akan tetapi tidak ada halangan bagimu untuk
mengetahuinya. Sedangkan ketika Allah berkata: ‫ﻳﻚ‬‫ﺪﺭﻳ‬‫ﺪ‬‫ﻣﺎﻳ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬dalam bentuk
kata kerja masa yang akan datang, seakan-akan ia menafikan hal yang
dipertanyakannya itu untuk diketahui. Jadi, apabila kamu menemukan
kalimat ‫ﻙ‬  ‫ﺭﺍ‬‫ﺭ‬‫ﻣﺎﺃﹶﺩ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬tahukah kamu? ketahuilah bahwa Allah akan
memberitahukan tentang hal yang ditanyakannya itu. Namun apabila
kamu temukan kalimat: ‫ﻳﻚ‬‫ﺪﺭﻳ‬‫ﺪ‬‫ﻣﺎ ﻳ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬maka jangan harap Dia akan
memberitahukannya.
Di sana juga terdapat kesesuaian yang lain yaitu bahwa surat al-
Mursalât memaparkan benda-benda alam yang termasuk manusia di
dalamnya. Sebagai contoh Allah Swt berfirman di dalam surat tersebut:
‫ﺗﺎ‬‫ﻔﹶﻔﺎﺗ‬‫ ﻛ‬‫ﺽ‬‫ﻞﹺ ﺍﻷَﺭ‬‫ﻌ‬‫ﺠ‬‫ ﻧ‬‫ ﺃﹶﻟﹶﻢ‬bukankah Kami menjadikan bumi (tempat)
berkumpul. (QS al-Mursalât [77]: 25) setelah Dia berkata: ‫ﲔ‬  ‫ﻟ‬‫ﻚ ﺍ َﻷﻭ‬
 ‫ﻠ‬‫ﻬ‬‫ ﻧ‬‫ﺃﹶﻟﹶﻢ‬
bukankah kami telah membinasakan orang-orang yang dahulu? (77:16)
‫ﻬﹺ ﹴ‬‫ﻣﺎﺀٍ ﻣ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺨ ﹸﻠ ﹾﻘ ﹸﻜﻢ‬
‫ﲔ‬  ‫ ﻧ‬‫ ﺃﹶﻟﹶﻢ‬bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang
hina? (77: 20) ‫ﺭﻭ ﹶﻥ‬‫ﺭ‬‫ ﺍﻟﹾﻘﹶﻘﺎﺩ‬‫ﻢ‬‫ﻧﺎ ﻓﹶﻨﹺﻌ‬‫ﻧ‬‫ﺭ‬‫ ﻓﹶﻘﹶﺪ‬lalu Kami tentukan (bentuknya), maka
Kamilah sebaik-baik yang menentukan. (77: 23) Hal ini juga dikatakan
Allah dalam surat an-Naba`: ‫ﺴﺎ َﺀﹸﻟﻟﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﺴ‬‫ﺘ‬‫ ﻳ‬‫ﻢ‬‫ ﻋ‬tentang apakah mereka saling
bertanya-tanya? Lalu Dia berkata: ‫ﺩﺍ‬‫ﺗﺎﺩ‬‫ﺗ‬‫ﺒﺎﻝﹶ ﺃﹶﻭ‬‫ﻭﺍﻟﹾﺠﹺﺒ‬‫ﺩﺍ)(ﻭ‬‫ﻬﺎﺩ‬‫ﻬ‬‫ ﻣ‬‫ﺽ‬‫ﻞﹺ ﺍﻷَﺭ‬‫ﻌ‬‫ﺠ‬‫ ﻧ‬‫ﺃﹶﻟﹶﻢ‬
bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?” dan

4
AN-NABA’ 78 JUZ 30

gunung-gunung sebagai pasak? (QS an-Naba' [78]: 6-7) Jadi, hubungan


kalimatnya adalah selaras dan serasi.
Demikian juga dengan dua surat sebelum surat an-Naba` yaitu surat
al-Insân ‫ ﹺﺮ‬‫ﻫ‬‫ ﺍﻟﺪ‬‫ﻣﻦ‬ ‫ﲔ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﻥ‬ ‫ﺴﺎ‬ ‫ﺴ‬‫ﻠﹶﻠﻰ ﺍﻹِﻧ‬‫ﺗﻰ ﻋ‬‫ﻞﹾ ﺃﹶﺗ‬‫ ﻫ‬bukankah telah datang atas
manusia satu waktu dari masa. (QS al-Insân [76]: 1) Di dalam kedua
surat ini akan kita temukan sesuatu yang sangat menakjubkan, karena
surat ini memaparkan tentang nikmat bagi orang-orang yang bertakwa
dan hanya menyinggung sedikit tentang perihal azab bagi kaum kafir,
yaitu dalam ayat: ‫ﲑﺍ‬ ‫ﲑ‬‫ﻌ‬‫ﻭﺳ‬ ‫ﻼ ﹰﻻ‬
‫ﺃﹶﻏﹾ ﹶ‬‫ﻞﹶ ﻭ‬‫ﻼﹶﺳ‬‫ ﺳ‬‫ﺮﹺﺮﻳﻦ‬‫ﻠﹾﻜﹶﻜﺎﻓ‬‫ﻧﺎ ﻟ‬‫ﻧ‬‫ﺪ‬‫ﻋﺘ‬ ‫ﻧﺎ ﹶﺃ‬‫ ﺇﹺﻧ‬sesungguhnya Kami
menyediakan bagi kaum kafir rantai, belenggu dan neraka yang
menyala-nyala.(QS al-Insân [76]: 4) Setelah itu: ‫ﺭ‬ ‫ﺮﺍ‬‫ﺮ‬‫ ﺇﹺﻥﱠ ﺍﻷَﺑ‬sesungguhnya
orang-orang yang berbuat kebajikan, (QS al-Insân [76]: 4) yang
memberitahukan tentang nikmat yang ditunggu-tunggu oleh mukminin.
Lalu pada akhir surat disebutkan: Dia memasukkan siapa pun yang Dia
kehendaki ke dalam rahmat-Nya (surga). Adapun bagi orang-orang zalim
disediakan-Nya azab yang pedih. (QS al-Insân [76]: 31) Kemudian
Allah memaparkan tentang kaum kafir pada ayat yang lain, akan tetapi
secara keseluruhan alur pembicaraan membicarakan tentang nikmat bagi
mukminin di akhirat.
Kemudian datang surat al-Mursalât menjelaskan kebalikannya yaitu
penjelasan tentang azab akhirat bagi kaum kafir. Surat ini hanya
menjelaskan tentang satu bentuk nikmat yaitu pada ayat: ‫ﻝ‬ ‫ﻼﹴ‬
‫ ﹶ‬‫ﻓﻓﻲ ﻇ‬ ‫ﲔ‬
 ‫ﻘ‬‫ﻤﺘ‬ ‫ﹺﺇ ﱠﻥ ﺍﹾﻟ‬
‫ﻥ‬ ‫ﻴﻴﻮ‬‫ﻋ‬ ‫ﻭ‬ sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam naungan
(yang teduh) dan (di sekitar) mata-mata air. (QS al-Mursalât [77]: 41)
Seakan-akan surat al-Insân banyak menjelaskan tentang keadaan
nikmat; sedikit menjelaskan tentang azab bagi kaum kafir, dan surat al-
Mursalât memaparkan tentang azab yang dinantikan kaum kafir; sedikit
membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan mukminin. Lalu
datang surat an-Naba` untuk memberikan balasan yang setimpal,
memberikan kepada setiap orang bagiannya masing-masing.***

5
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

HARI BERBANGKIT
Kekuasaan Allah Menciptakan Alam dan Nikmat-nikmat yang
Diberikan-Nya adalah Bukti bagi Kekuasaan-Nya Membangkitkan
Manusia
(QS an-Naba' [78]: 1-5)
N MLKJIHGFEDCBA
 R QPO
S
Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? Tentang berita
yang besar, yang mereka perselisihkan tentang ini. Sekali-kali
tidak; kelak mereka akan mengetahui, kemudian sekali-kali tidak;
kelak mereka mengetahui.
Ketika kita membaca firman Allah: tentang apakah mereka saling
bertanya-tanya? maka ayat ini merupakan salah satu bentuk
pengagungan dengan cara penyamaran maksud. Ketika Allah
mengagungkan sesuatu yang ditanyakan, maka ini merupakan indikasi
bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang besar sehingga kemudian Allah
berkata tentangnya bahwa ia adalah sesuatu yang besar. Karena
seseorang terkadang mengatakan sesuatu itu besar sesuai dengan
pemahamannya akan kebesaran sesuatu tersebut. Akan tetapi ketika
Allah mengagungkan sesuatu, maka pengagungan-Nya sesuai dengan
pengetahuan Allah yang Mahabesar.
Suatu hal yang sangat menakjubkan adalah; Allah menjawab
pertanyaan: tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? dengan
cepat dilanjutkan dengan ‫ﻈﻈﻴ ﹺﻢ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﹺﺈ ﺍﹾﻟ‬‫ﺒ‬‫ﻋﻦﹺ ﺍﻟﻨ‬ tentang berita yang besar.
Maksud dengan an-Naba`/berita bukan kabar biasa akan tetapi ia
adalah kabar penting tentang sesuatu yang besar. Tidak diragukan lagi
bahwa seluruh tujuan beragama kembali kepada pengetahuan tentang
rahasia hari tersebut, karena ia adalah hasil yang akan dipetik pada akhir
dunia di mana seluruh manusia di-hisab berkenaan dengan apa yang
dilakukannya. Jika kelakuannya baik, maka kebaikan yang akan
didapatkannya. Jika buruk, maka keburukan pula yang akan didapatnya.
Oleh sebab itu, ia menjadi peristiwa terbesar yang berhubungan dengan
manusia.
Ketika Allah Swt berkata: “Tentang berita yang besar,” hal ini
memberikan kesan kepada kita bahwa hal ini merupakan permintaan
penjelasan bagi pertanyaan “tentang apa mereka bertanya-tanya.”

6
AN-NABA’ 78 JUZ 30

Seakan-akan kamu mempertanyakan bahwa hal ini adalah sesuatu yang


harus dipertanyakan. Hal ini sangat jelas dan merupakan sebuah
aksioma yang seharusnya tidak dipertanyakan karena ia adalah berita
yang besar, yang jelas dan berdiri di atas argumen yang kuat. Akan
tetapi kesalahan metode pada kaum kafir datang dari sisi bahwa mereka
ingin mendiskusikan cabang-cabang akidah padahal hal tersebut tidak
dapat dilakukan oleh orang yang berakal, kecuali setelah terlebih dahulu
mendiskusikan inti akidah.
Ketika kita tidak mengimani Allah, lalu bagaimana kita dapat
mengimani hari pembalasan? Yang seharusnya terlebih dahulu kita
imani adalah Allah. Setelah kita mengimani-Nya, Allah kemudian
menjelaskan tentang hari akhir yang harus kita imani. Jadi, yang
terpenting bukan pembicaraan tentang hari akhir dan apa yang harus
diperbuat untuk menghadapinya, akan tetapi yang terlebih dahulu harus
diperbincangkan adalah puncak akidah yaitu mengimani Allah. Apabila
kamu mengimani Allah, maka konsistenlah terhadap keimanan tersebut;
dan apabila kamu tidak mengimani-Nya, lalu apa konsekuensi yang
akan kamu terima.
Kita tidak dapat mengimani malaikat, kitab-kitab, para rasul,
ketentuan qada dan qadar baik atau buruk dan hari akhirat kecuali
setelah Allah mengatakan hal tersebut. Karena semuanya adalah hal-hal
gaib dan perkara yang gaib tidak berada di alam nyata. Oleh sebab itu,
saya tidak dapat mempercayainya kecuali jika yang mengatakannya
adalah Zat yang saya percayai. Apakah aku dapat mempercayainya jika
akal menerima cara terjadinya. Kita katakan: Tidak, karena terjadinya
sesuatu berbeda dengan cara terjadinya.
Perbedaan antara “kejadian” dan “cara terjadinya” telah kita
jelaskan khususnya pada perkataan Ibrahim as kepada Tuhannya: “Ya
Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan
orang mati.” Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?”. Ibrahim
menjawab: “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap
mantap (dengan imanku).” (QS al-Baqarah [2]: 260)
Ketika Ibrahim berkata: “Perlihatkanlah padaku bagaimana
Engkau menghidupkan orang mati,” Allah berkata: “Belum yakinkah
kamu?” Ibrahim menjawab dengan: balâ yang artinya; “saya yakin”.
Adapun arti saya yakin adalah keteguhan hati terhadap satu akidah,
tanpa ada pertentangan di dalamnya. Apabila keyakinan masih
mengambang dan bertentangan, maka hal ini tidak disebut dengan iman
atau akidah.

7
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Apabila Ibrahim telah yakin, mengapa ia minta bukti?” Selama dia


minta agar hatinya tenang, maka ketenangan tersebut belum ada, dan
selama ketenangan tersebut belum ada, maka ketika Allah bertanya:
“belum yakinkah kamu”, Ibrahim tidak boleh menjawab: balâ karena
ketenangan hatinya belum ada?
Kita katakan: sebenarnya tidak demikian. Kontradiksi zhahir ini
terjadi akibat pengabaian terhadap satu lafaz dalam ayat, dan
pengabaian lafaz atau huruf akan mengubah pemahaman tentang sebuah
ayat. Ibrahim tidak bertanya kepada Allah: “Apakah Engkau dapat
menghidupkan orang mati?” akan tetapi dia berkata: “Bagaimana
Engkau menghidupkan orang mati.” Jadi, yang dipertanyakan adalah
tentang “cara” bukan tentang “kejadiannya”. Artinya, dia percaya
bahwa Tuhannya dapat menghidupkan orang mati akan tetapi yang
dipertanyakannya adalah cara atau proses penghidupan tersebut. Maka
perkataannya balâ maksudnya; saya yakin Engkau dapat menghidupkan
orang mati -dan hal ini yang dituntut dari setiap hamba yang mukallaf-.
Adapun mengetahui cara pembuatan atau tidak, tidak akan merusak
akidah karena penggunaan terhadap suatu benda tidak mengharuskanmu
untuk mengetahui cara pembuatan benda tersebut.
Sebagai contoh; orang buta huruf dan baduwi yang memanfaatkan
listrik di rumahnya, apakah dia tahu bagaimana proses listrik tersebut
ada? Dia tidak mengetahuinya sama sekali, jadi dia memanfaatkan
sesuatu tanpa harus tahu bagaimana cara terjadinya. Jadi,
pengetahuannya terhadap cara pembuatan sesuatu tidak mempengaruhi
penggunaannya terhadap benda tersebut. Dia menggunakannya sama
seperti orang yang tahu bagaimana proses penghasilan energi listrik
tersebut.
Demikian halnya Allah yang mampu menghidupkan orang mati.
Adapun kehendakmu untuk mengetahui caranya, ini adalah
pembicaraan yang harus kamu lakukan jika kamu ingin mengetahui
pekerjaan Tuhan. Akan tetapi Allah Swt memalingkan Ibrahim kepada
masalah akidah dengan berkata: “Bukan merupakan kebesaran dan
kemampuan-Ku untuk memindahkan pengaruh kekuasaan-Ku kepada
makhluk lain, akan tetapi yang menjadi keagungan-Ku adalah
memindahkan sebagian kekuatan-Ku kepada makhluk agar ia dapat
berbuat. Ketika makhluk yang kuat menemukan makhluk yang lemah
untuk membawa sebuah beban, apa yang akan diperbuatnya? Tentu dia
akan membawakannya. Manusia tidak dapat memindahkan kekuatan
mereka kepada orang yang hilang kekuatan. Mereka hanya dapat

8
AN-NABA’ 78 JUZ 30

memindahkan pengaruh kekuatan mereka kepada orang yang


kehilangan kekuatan, dan orang yang kehilangan kekuatan akan selalu
menjadi orang yang hilang kekuatan.
Adapun jawaban Allah Swt berkenaan dengan cara yang diinginkan
oleh Ibrahim adalah: “Ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah
semuanya olehmu”. Perhatikan dengan baik “lalu letakkan di atas tiap-
tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu”. Kemudian tampak
kekuasaan yang agung. Allah tidak mengatakan: “Aku memanggil
burung lalu kehidupan mendatanginya”. Akan tetapi Allah berkata:
“Panggillah burung-burung tersebut”. Inilah keagungan di mana Allah
menjadikan makhluk yang tidak mampu (Ibrahim), menjadi mampu
dengan kehendaknya untuk berbuat. Kemudian panggillah mereka,
niscaya mereka datang kepadamu dengan segera. (QS al-Baqarah [2]:
260)
Allah telah menjawab pertanyaan Ibrahim tentang kaifiyat (cara)
seluas mungkin. Allah memiliki keistimewaan dibanding makhluk
dalam memberikan kekuatan kepada orang lain agar dia dapat berbuat,
sedangkan manusia hanya dapat memberikan pengaruh kekuatan
mereka dengan cara berbuat untuk orang lain.
Kembali kepada surat yang sedang dibahas, apa yang dipertanyakan
Allah dalam ayat: ‫ﺴﺎ َﺀﹸﻟﻟﻮ ﹶﻥ‬
‫ﺴ‬‫ﺘ‬‫ ﻳ‬‫ﻢ‬‫ ﻋ‬apa yang mereka pertanyakan, maksudnya
adalah apa yang harus mereka pertanyakan, karena hal tersebut sangat
jelas dalam ayat selanjutnya yaitu: ‫ﻠ ﹸﻔﻔﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﺘ‬‫ﺨ‬  ‫ﻪ ﻣ‬ ‫ﻓﻓﻴ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺬﺬﻱ‬ ‫ﻈﻈﻴ ﹺﻢ)(ﺍﱠﻟ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﹺﺈ ﺍ ﹾﻟ‬‫ﺒ‬‫ﻋﻦﹺ ﺍﻟﻨ‬
tentang berita yang besar, yang mereka perselisihkan tentang ini. (QS
an-Naba' [78]: 2-3) Siapa yang pertama-tama bertanya? Selama Allah
mempertanyakan sesuatu, maka yang dipertanyakan tersebut awalnya
berasal dari orang-orang yang mengingkari. Seakan-akan para
pengingkar berkata: “Kapan datangnya janji tersebut, jika kamu
(Muhammad) adalah orang yang jujur? Kapan datangnya hari kiamat?”
Nabi akan berkata: “Bukankah Allah telah menjanjikan kepada kalian
jika kalian mati dan menjadi tanah, maka kalian akan dibangkitkan
kembali. Demikian juga dengan pendahulu-pendahulu kalian. Ini adalah
suatu hal yang sangat mudah bagi Allah.”
Pengingkaran ini muncul dari kaum musyrik atau orang-orang yang
mendustakan hari kebangkitan. Mereka mempertanyakan hal tersebut
kepada mukminin dan Nabi Saw.
Kata tasâul/bertanya-tanya tidak sama dengan kata saala/bertanya.
Saala/bertanya memerlukan subjek. Contohnya, saya bertanya kepada si

9
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Fulan tentang sesuatu, maka kalimat ini mengandung subjek dan objek,
sedangkan tasâul mencakup keduanya. Sebagai contoh, kaum tersebut
bertanya-tanya, artinya bahwa setiap orang dari mereka menjadi
penanya dalam satu sisi, dan menjadi orang yang ditanya pada sisi lain.
Mereka menjadi subjek dan objek secara bersamaan.
Contoh lain, si Fulan membunuh Zaid, maka pembunuhan dilakukan
oleh si Fulan dan yang terbunuh adalah Zaid. Lain halnya dengan
kalimat si Fulan dan si Fulan saling membunuh. Maka artinya adalah
pembunuhan dilakukan secara bersama-sama dan bergantian. Si Fulan
menjadi subjek pada satu waktu, dan menjadi objek pada waktu yang
lain.
Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? (QS 78: 1) Seakan-
akan di antara mereka bertanya-tanya tentang pertanyaan yang bersifat
pengingkaran dan pencemoohan. Apabila mereka saling bertanya dan
saling melemparkan pertanyaan dengan nada cemoohan kepada yang
lain, lalu bagaimana terjadi perselisihan di antara mereka padahal setiap
orang mengingkarinya? Sebenarnya tidak demikian karena tingkatan
penafian perbuatan mencakup banyak hal; seseorang benar-benar
mengingkari, sedangkan yang lain ragu-ragu untuk mengingkarinya. ‫ﻧﻧﺎ‬‫ﻭﹺﺇ‬
 ‫ﺷ‬ ‫ﻔﻔﻲ‬ ‫ ﹶﻟ‬sesungguhnya kami dalam keragu-raguan. (QS Ibrahîm [14]: 9)
‫ﻚ‬
Ditemukan manusia yang benar-benar mengingkari dan yang lain
bersikap ragu. Orang yang mengingkari berdiri pada salah satu sisi,
sedangkan orang yang ragu masih berdiri di tengah-tengah. Ini yang
menjadi bentuk dari perselisihan di antara mereka, atau antara mereka
dengan Nabi dan mukminin. Sekelompok mengatakan kepastian
terjadinya hari kiamat, sedangkan yang lain menafikannya. Mereka
bertanya-tanya tentang masalah yang seharusnya tidak dipertanyakan.
Tentang berita yang besar, yang mereka perselisihkan tentang ini.
Sekali-kali tidak. (78: 2-3) Kata kallâ/sekali-kali tidak adalah kata rad‘u
wa zajru, artinya bahwa kalimat yang ada sebelumnya harus mengakhiri
penjelasan tentang hal ini demi kebaikan penerima penjelasan ini, bukan
untuk kebaikan orang yang mengatakannya, tapi kebaikan untuk mereka
yang mendengar. Allah tidak mendapat kerugian dari pendustaan
manusia.
Timbul pertanyaan selanjutnya, kenapa mereka mendustakan hari
kiamat? Karena apabila dikatakan kepada mereka mengapa mereka
mendustakan masalah cabang ini? Masalah cabang ini harus
dipindahkan ke tempat pendiskusian masalah pokok yaitu Tuhan,

10
AN-NABA’ 78 JUZ 30

sementara mereka tidak dapat mengingkari Allah. ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻠﹶﻘﹶ‬‫ﻦ ﺧ‬


 ‫ﻣ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺄﹶﻟﹾﺘ‬‫ ﺳ‬‫ﻦ‬‫ﻟﹶﺌ‬‫ﻭ‬
‫ﻪ‬ ‫ﻦ ﺍﻟ ﱠﻠ‬ ‫ﻴ ﹸﻘﻘﻮﹸﻟ‬‫ ﹶﻟ‬apabila kamu bertanya kepada mereka siapa yang menciptakan
langit dan bumi, mereka berkata: “Allah”. (QS az-Zukhrûf [43]: 87)
Jadi masalah keberadaan Allah, penciptaan dan pemeliharaan tidak
dapat mereka ingkari, oleh sebab itu mereka beralih kepada cabang
agama (akhirat).
Agama pertama-tama membahas masalah utama yaitu keimanan
kepada Allah dengan seluruh kebebasan berpikir. Setelah mukmin puas
dengan kebebasan berpikir tentang iman kepada Allah, mukmin akan
percaya kepada apa yang disampaikan Allah. Apabila mukmin
mempercayai-Nya, maka dia harus konsekuen kepercayaanmu itu
semua. Jadi, jangan terlebih dahulu membahas masalah-masalah cabang
dengan meninggalkan masalah pokok.
Tentang Allah, kita telah mendengar jawaban mereka ketika mereka
ditanya. Sedangkan dalam masalah rasul dan kebenarannya, Alquran
berkata: ‫ﻚ‬
 ‫ﺑﻮﻧ‬‫ﻜﹶﺬﱢﺑ‬‫ﻢ ﹶﻻ ﻳ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻘﹸﻘﻮﻟﹸﻟﻮﻥﹶ ﻓﹶﺈﹺﻧ‬‫ﺬﻱ ﻳ‬‫ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻚ‬‫ﻧ‬‫ﺰ‬‫ﺤ‬‫ ﻟﹶﻴ‬‫ﻪ‬‫ ﺇﹺﻧ‬‫ﻠﹶﻢ‬‫ﻌ‬‫ ﻧ‬‫ ﻗﹶﺪ‬sesungguhnya, Kami
mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan
hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya
bukan mendustakan kamu..” (QS al-An'âm [6]: 33) Bagi mereka kamu
adalah orang yang benar. ‫ﺪﺪﻭ ﹶﻥ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﺠ‬‫ ﻳ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻳﺎﺕ‬‫ ﺑﹺﺑﺂﻳ‬‫ﲔ‬‫ﻤ‬‫ ﺍﻟﻈﱠﻈﺎﻟ‬‫ﻦ‬‫ﻟﹶﻜ‬‫ ﻭ‬akan tetapi orang-
orang zalim yang mengingkari ayat-ayat Allah. (QS al-An'âm [6]: 33)
Mengenai Alquran, pertama sekali mereka mengatakannya sebagai
sihir, syi’ir dan perdukunan. Awalnya mereka hanya mengatakannya
namun kemudian mereka terlarut di dalamnya. Sejauh mana keterlarutan
mereka ketika mereka berkata: “Mengapa Alquran ini tidak diturunkan
kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif)
ini?” (QS az-Zukhrûf [43]: 31)
Alquran menjadi bacaan yang dapat diterima oleh kaum kafir
Mekah, akan tetapi yang menghambat penerimaan mereka adalah
kedatangannya melalui lisan Nabi Muhammad ini. Dalam kesempatan
lain mereka terlalu larut ketakutan yang tidak beralasan. Mereka
berkata: “Jika kami mengikuti petunjuk bersama kamu, niscaya kami
akan diusir dari negeri kami.”(QS al-Qashash [28]: 57)
Mereka telah mengakui bahwa apa yang datang dari Rasulullah itu
adalah petunjuk. Di akhir perdebatan mereka menetapkan bahwa
Rasulullah telah datang dengan membawa petunjuk kepada mereka,
akan tetapi mereka takut jika mereka mengikuti petunjuk, mereka akan

11
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

diusir dari negeri mereka. Oleh karena itu, Allah menolak alasan
tersebut dengan penolakan yang sederhana, yaitu jika kalian adalah
orang-orang yang kafir maka kami jadikan bagi kalian Masjidilharam
sebagai tempat yang aman yang datang kepadanya segala buah-buahan.
Lalu apakah jika kalian mengimani Allah, Dia akan membiarkan kalian.
Sungguh logis jika mereka terlebih dahulu tidak membahas hari
kebangkitan lalu mengingkarinya, sebelum membahas tentang
permasalahan pokok. Jika mereka telah membahas dan mengakui
keberadaan Allah, maka mereka akan mempercayai berita yang datang
selanjutnya.
‫ﻤﻤﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻌ ﹶﻠ‬ ‫ﻴ‬‫ﺳ‬ ‫ﻼ‬
‫ ﹶﻛ ﱠ‬sekali-kali tidak. Mereka akan mengetahuinya. (QS an-
Naba' [78]: 4) Di sini para mufassir berkata: “Apabila kata ini
disebutkan berulang-ulang, maka maksudnya adalah penegasan.”
Maksudnya, mereka yang mendustakan hari kebangkitan dan hari
pembalasan akan mengetahui bahwa kiamat itu adalah benar dan
mereka mengetahui hal itu adalah benar.
Pengetahuan atau ilmu itu sendiri terdiri dari tiga tingkatan.
Pertama, ilmu yakin; kedua, ain yakin; dan ketiga, haqqul yakin.
Contohnya, seseorang berkata kepadamu: “Saya telah pergi ke New
York, kota yang memiliki banyak gedung pencakar langit.” Lalu dia
memberikan fotonya kepadamu. Kamu percaya kepadanya karena dia
tidak pernah berbohong. Pada suatu kesempatan dia bersamamu dalam
sebuah perjalanan dengan mengendarai pesawat, melintas di atas kota
New York, dia berkata: “Inilah kota yang saya ceritakan.”
Kepercayaanmu yang semula hanya berdasarkan cerita berubah
menjadi berdasarkan penglihatan mata. Lalu apabila ia berkata: “Kita
akan singgah di kota ini selama seminggu lalu kamu berjalan-jalan di
kota tersebut, maka pengetahuanmu terhadap kota tersebut menjadi
haqqul yakin.
Ketiga tingkatan ilmu ini telah dijelaskan dalam: Janganlah begitu,
kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah
begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu
mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-
benar akan melihat neraka Jahiim.”(QS al-Kautsâr [102]: 1-6)
Mereka masih belum mempercayainya dengan ilmu yakin, mereka
akan melihat api neraka dengan ainul yakin. Selanjutnya akan menjadi
haqqul yakin dalam surat kedua: ‫ﻤﻤﻴ ﹴﻢ‬ ‫ﺣ‬  ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺰ ﹲﻝ‬ ‫ﻨ‬‫ﲔ)( ﹶﻓ‬
 ‫ﻀﺎﻟﱢ‬
‫ﲔ ﺍﻟﻀ‬
 ‫ﻤ ﹶﻜﺬﱢﺑﹺ‬ ‫ﻦ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻣﻣﺎ ﹺﺇ ﹾﻥ ﹶﻛﻛﺎ ﹶﻥ‬ ‫ﻭﹶﺃ‬

12
AN-NABA’ 78 JUZ 30

‫ﺤﻴ ﹴﻢ‬
‫ﺤ‬‫ﻴﺔﹸ ﺟ‬‫ﺼﻠ‬
 ‫ﺗ‬‫ﻭ‬ adapun jika dia termasuk golongan orang yang mendusta-
kan lagi sesat, maka dia mendapat hidangan air yang mendidih, dan
dibakar di dalam neraka. (QS al-Wâqi'ah [56]: 92) Apabila mereka
telah memasukinya, maka mereka akan mengetahuinya dengan haqqul
yakin.
Sama halnya dengan firman Allah: “Sekali-kali tidak; kelak mereka
akan mengetahui, kemudian sekali-kali tidak; kelak mereka akan
mengetahui.” (78: 3-4) Ketika sakaratul maut menemui manusia, maka
perkataan singkat terakhir yang dikatakan Allah kepadanya:
“Seungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka
Kami singkapkan dari padamu tutup (yang menutupi) matamu, maka
penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (QS Qâf [50]: 22)
Apa yang dahulu tidak kamu lihat, akan kamu lihat, dan akan
tampak jelas baginya alam malakut dan seluruh apa yang didustakan.
Karena itulah banyak kita temukan orang sekarat yang mengatakan hal-
hal aneh menurut kita, padahal mereka mengatakan apa yang mereka
saksikan. Mereka menyaksikan hal-hal yang tidak mereka lihat di dunia.
Ketika keadaan seperti ini datang kepada mereka, mereka segera tahu
bahwa apa yang terjadi adalah bagian dari hari pembalasan dan hari
akhirat. Masalah ini lurus, artinya hal ini pada awalnya diketahui secara
ilmu, kemudian setelah mereka dibangkitkan sesuai dengan keadaan
mereka, mereka akan mendapat pengetahuan baru.
Atau karena orang yang mendustakan selalu menentang orang yang
membenarkan. Yang satu adalah mukmin, dan yang satunya adalah
kafir. Mukmin berkata: “Sekali-kali tidak, mereka akan mengetahui
keadaan mereka pada hari kiamat tersebut.”
Ketika dilakukan perbandingan terhadap kedua kelompok ini, maka
yang ada adalah kerugian bagi yang diazab. Siksaan itu cukup
menyakitkan, dan lebih menyakitkan lagi ketika melihat kelompok lain
mendapat nikmat pada saat penyiksaan berlangsung. Sedangkan orang
yang mendapat nikmat kemudian melihat kelompok lain disiksa akan
merasakan nikmat yang lain. Semua akan melihat posisi masing-masing
pada hari pembalasan, dan seluruhnya akan melihat posisi kelompok
lain. Saat itu kerugian akan menjadi nyata bagi kafir.
Allah meninggalkan hal yang disumpahkan dan hal yang
menyebabkan turunnya surat an-Naba’ yang merupakan berita besar
yang mereka perselisihkan, untuk beralih kepada hal lain yang secara
lahirnya tampak jauh dari apa yang dimaksud. Tidak, Allah ingin

13
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

memberikan gambaran alam yang berinteraksi dengan manusia dalam


kehidupannya untuk mengambil gambaran alam nyata sebagai bukti atas
kebenaran apa yang disampaikan Allah. Ia tidak beralih, akan tetapi ia
menuju dalil untuk menegaskan pernyataan yang menyebabkan mereka
bertanya-tanya.
Pada ayat selanjutnya, Allah menjelaskan masalah yang disepakati
sebagai titik tolak untuk membahas masalah yang diperselisihkan.
Masalah ini tersebar di dalam Alquran dan nanti akan kita sebutkan
banyak contoh. Seperti masalah kehidupan, bagaimana kita muncul dan
bagaimana kita diciptakan? Ini adalah masalah yang tidak kita saksikan.
Tidak ada seorang pun yang menyaksikan bagaimana dirinya
diciptakan? ‫ﻢ‬ ‫ﻔﹸﺴِ ﹺﻬ‬‫ ﺃﹶﻧ‬‫ﻠﹾﻖ‬‫ﻻﹶ ﺧ‬‫ﺽﹺ ﻭ‬‫ﻭﺍﻷَﺭ‬‫ ﻭ‬‫ﻮﺍﺕ‬‫ﻮ‬‫ﻤ‬‫ ﺍﻟﺴ‬‫ﺧﻠﹾﻖ‬  ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺗ‬‫ﺪ‬‫ﻬ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﺷ‬‫ ﻣ‬Aku tidak
menghadirkan mereka (iblis dan anak cucunya) untuk menyaksikan
penciptaan langit dan bumi dan tidak (pula) penciptaan diri mereka
sendiri. (QS al-Kahfi [18]: 51)
Bagaimana manusia tahu proses penciptaannya dan dari apa
diciptakan? Allah yang telah memberitahukan bahwa manusia
diciptakan dari (1) turâb/debu, (2) jika diberi air maka ia akan menjadi
thîn/tanah. (3) Thîn apabila dibiarkan akan menjadi tanah lunak, dan
akan menjadi seperti lumpur hitam yang dapat dibentuk dan memiliki
bau yang berbeda-beda. (4) Apabila kemudian ia mengeras, maka ia
akan menjadi shalshâl/tanah liat kering seperti tembikar. (5) Terakhir,
Allah meniupkan ruh kepadanya.
Apabila kamu berjalan pada sebuah jalan hingga sampai di ujung,
kemudian kamu ingin kembali pada jalan tersebut, maka stasiun
pertama ketemu adalah stasiun terakhir yang kamu lalui dalam
perjalanan pergi. Demikian halnya dengan kehidupan, yang terakhir
dititipkan Allah pada manusia adalah (1) ruh keluar dari tubuh manusia
ketika mati. Inilah peristiwa yang dapat kita lihat. Beberapa lama
setelah seseorang mati, dia akan (2) mengeras menjadi shalshâl/tanah
liat kering. (3) Setelah itu ia mengeras seperti tembikar. (4) Dia
mengurai menjadi seperti lumpur hitam yang dapat dibentuk. (5) Unsur
air yang ada pada manusia akan menguap kemudian ia menjadi debu.
Oleh sebab itu kamu akan terkejut ketika dalam surat Tabârak
disebutkan: ‫ﻴﺎ ﹶﺓ‬‫ﻴ‬‫ﻭﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻭ‬‫ﺕ‬‫ﻮ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻠﹶﻖ‬‫ﺬﻱ ﺧ‬‫ﺮ)(ﺍﻟﱠﺬ‬ ‫ﺪﻳ‬‫ﻲﺀٍ ﻗﹶﺪ‬
 ‫ﺷ‬ ‫ﻋ ﹶﻠﻠﻰ ﹸﻛ ﱢﻞ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻚ‬
 ‫ﻤ ﹾﻠ‬ ‫ﻩ ﺍ ﹾﻟ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻴ‬‫ﺬﻱ ﹺﺑ‬‫ﻙ ﺍﻟﱠﺬ‬ ‫ﺒﺎﺭ‬‫ﺒ‬‫ﺗ‬
Mahasuci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia
Mahakuasa atas segala sesuatu, yang menjadikan mati dan hidup.”(QS
al-Mulk [67]: 1-2) Seharusnya Dia mengatakan: “Yang menciptakan

14
AN-NABA’ 78 JUZ 30

kehidupan dan kematian. Sebenarnya tidak demikian. Dia mengatakan


bahwa Dia yang menciptakan kematian, karena kematian ini mungkin
untuk dilihat. Kemudian dari kenyataan kematian tersebut kamu
menarik sebuah argumen. Demikian halnya yang terjadi di sini yang
meninggalkan suatu pernyataan berkenaan dengan hari pembalasan.***

(QS an-Naba’ [78]: 6-19)


 ^]\[ZYXWVUT
jihgfedcba`_
utsrqponmlk
  `_~}|{zyxwv
a
 nmlkjihgfedcb
srqpo
Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?
Gunung-gunung sebagai pasak? Kami jadikan kamu berpasang-
pasangan, dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, dan Kami
jadikan malam sebagai pakaian dan Kami jadikan siang untuk
mencari penghidupan, dan Kami bina di atas kamu tujuh (langit)
yang kokoh, dan Kami jadikan pelita yang amat terang
(matahari), dan Kami turunkan dari awan air yang banyak
tercurah, supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan
tumbuh-tumbuhan, dan kebun-kebun yang lebat? Sesungguhnya
hari keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan, yaitu hari
(yang pada waktu itu) ditiup sangkakala lalu kamu datang
berkelompok-kelompok, dan dibukalah langit, maka terdapatlah
beberapa pintu.
Ayat-ayat di atas adalah suatu fanomena nyata yang dapat
disaksikan. Allah menjadikan sesuatu yang nyata di alam yang
berhubungan dengan manusia. Alam yang pertama kali berhubungan
dengan manusia adalah bumi, tempat hidup mereka di dalamnya. Bumi
diciptakan Allah berupa hamparan, seperti buaian bagi bayi, karena kata
mihâd yang ada dalam ayat di atas berarti kasur yang empuk agar
nyaman tidur di atasnya. Kemudian dari buaian Dia beralih ke gunung

15
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

yang menjadi pasak, maka ketinggian gunung menjadi pelengkap bagi


hamparan, sedangkan kata awtâd/pasak itu sendiri mengindikasikan
kekokohan posisi gunung.
Belakangan kita ketahui bahwa bumi itu memiliki gerakan, jika
bumi diciptakan dalam keadaan tetap dan diam, maka bumi akan
mengalami guncangan. Dahulu, para ilmuan menetapkan bahwa bumi
ini tetap dan stabil tanpa gerak, tapi ayat yang dikaji mengisyaratkan
bahwa bumi ini bergerak. Selama ia bergerak, ia akan berguncang; jika
ia berguncang, maka ia memerlukan pasak.
Pasak tidak hanya terbatas pada penguat, tapi ia juga dimaknai
dengan pondasi yang kokoh. Kata watad/pasak adalah sesuatu yang
dikenal oleh setiap orang pada masa ayat ini turun. Saat itu rumah
penduduk Arab terdiri dari tenda-tenda bulu, maka awtâd ini adalah
salah satu bahan untuk fondasinya. Selama watad menguatkan
bangunan rumah, maka Allah memberikan perumpamaan dari
lingkungan mereka agar dapat mereka paham. Jika tenda tidak kuat
dengan pasak ini, maka terjadi kesalahan dalam pemasangannya atau
tali yang kendur atau tiang utama yang tidak kokoh.
‫ﺩﺍ‬‫ﺗﺎﺩ‬‫ﺗ‬‫ﺒﺎﻝﹶ ﺃﹶﻭ‬‫ﻭﺍﻟﹾﺠﹺﺒ‬‫ ﻭ‬gunung-gunung itu pasak, adalah tasbîh al-balîgh
(perumpamaan yang sempurna). Allah tidak mengatakan “gunung-gunu-
ng seperti pasak” dalam bentuk tasbîh ghairu al-balîgh. Allah ingin
menggunakan perumpamaan secara hiperbola. Seperti, perkataan
pujangga: ’Kamu itu bulan”, bukan “seperti bulan.” Karena kamu
adalah sumber keindahan. Ketika seseorang ingin membuat
perumpamaan yang lebih lagi, maka ia akan mengatakan: “Bulan seperti
kamu.” Di sini tampak perumpamaan menjadi terbalik setelah yang
tadinya adalah objek yang diumpamakan menjadi materi perumpamaan.
Ia membalikkan hal ini untuk menunjukkan kepadamu bahwa “kamu”
adalah dasar keindahan yang harus diikutkan kepadanya segala sesuatu.
Ketika Allah berkata: “Gunung-gunung itu pasak,” artinya gunung
adalah rujukan standar pasak yang kokoh yang terkadang dipandang
hina oleh manusia.
Meskipun secara tekstual dapat dipahami bahwa yang terjadi adalah
perumpamaan sesuatu yang rendah disamakan dengan sesuatu yang
besar, akan tetapi dalam hal ini terjadi pengalihan. Pengalihan ini untuk
mengalihkan perhatian manusia di mana Allah berkata kepadanya:
“Wahai orang Arab, wahai orang yang mendirikan kemah dan tiang
dengan menggunakan pasak, katakanlah apa yang dapat dilakukan oleh

16
AN-NABA’ 78 JUZ 30

pasak ini? Apakah pasak ini diletakkan untuk mengokohkan bumi atau
agar pasak-pasak kemah tertancap kuat di bumi, apakah ia diletakkan
untuk menguatkan bumi agar tidak berguncang atau untuk menguatkan
sesuatu yang ada di atas bumi?
Perbedaan pertama dalam perumpamaan ini, kamu berkata:
“Gunung-gunung diciptakan di bumi sebagai pasak-pasak untuk
mengokohkan bumi.” Kita katakan bahwa pasak-pasak kemah tidak
seperti pasak-pasak tersebut dan bukan untuk mengokohkan bumi akan
tetapi untuk menguatkan bangunan kemah yang ada di atas bumi. Pasak-
pasak ini tidak dapat mengokohkannya sendirian, karena sebuah kemah
tidak akan dapat berdiri hanya dengan pasak tanpa ada tiang penyangga.
Maka ketika kata pasak disebutkan, seharusnya kita juga
memperhatikan apa yang membantu pasak untuk mengokohkan sesuatu.
Lalu apa yang dikokohkan gunung pada bumi? Agar perumpamaannya
menjadi benar. Jika kamu ingin mengatakan bahwa gunung hanya untuk
menguatkan posisi bumi saja, maka kamu akan berkata: “Salah satu
artinya adalah bahwa ia menguatkan bumi sebagaimana ia bagaikan
pasak bagi kemah”. Jika demikian, ia tidak mengokohkan bumi, akan
tetapi mengokohkan sesuatu yang ada di atas bumi.
Kemah tidak dapat berdiri sendiri di atas pasak. Kemah juga
memerlukan tiang, maka hendaklah kamu mencari bagi alam ini sesuatu
yang menjadi seperti tiang pada kemah, yang membantu untuk
mendirikan kemah dan agar perumpamaan di sini menjadi selaras.
Ketika ilmu pengetahuan sedikit lebih maju, ia mendekatkan kita
kepada pemahaman mengenai masalah ini. Kita baca apa yang
dikatakan oleh peneliti gunung, dan di dalam gelapnya bumi. Hasil
penelitian menyebutkan bahwa bumi tidak dapat dihuni kecuali karena
adanya udara di dalamnya. Udara adalah unsur terpenting bagi
kehidupan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa udara, air
dan makanan, adalah unsur yang sangat diperlukan.
Kita pahami bahwa di bumi terdapat lapisan udara yang
menyelimutinya. Lapisan udara tersebut merupakan bagian dari bumi,
oleh sebab itu ketika Allah berbicara tentang perjalanan, Dia berkata: ‫ﻞ‬
‫ﻗﹸ ﹾ‬
‫ﹶﺎ‬‫ﻓﻴﹺﻬ‬ ‫ﲑﻭﺍ‬
‫ﲑ‬‫ ﺳ‬Katakanlah: “Berjalanlah kamu di dalamnya.” Dia tidak
mengatakan: “Berjalanlah kamu di atasnya”, karena lapisan udara
merupakan bagian yang melengkapi bumi.
Mereka mengatakan bahwa lapisan udara yang ada di atas kita
melindungi kita dari banyak hal, seperti sinar ultraviolet yang

17
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

dipantulkannya. Jika tidak, kita akan binasa. Ia juga memberikan kepada


kita kebutuhan pernapasan. Lapisan udara yang ada di bumi
mengelilinginya, apa yang membuat lapisan ini tidak pergi dari bumi
dan pindah ke luar angkasa. Tentu ada sesuatu yang mengikatnya ke
bawah. Mereka meneliti dan menemukan bahwa sebuah hukum yang
disebut dengan hukum gravitasi yang menarik lapisan udara ini agar
tidak pergi meninggalkan kita tanpa udara.
Seorang ilmuwan berkata: “Keberadaan gunung tidak lepas dari
kekuatan gaya gravitasi.” Gunung membantu menjaga bumi dengan
udaranya. Seakan-akan tiang yang membantu pasak bumi adalah hukum
gravitasi yang ada di bumi yang tidak kelihatan bentuknya.
Ini adalah pesan Alquran yang belum dipahami secara mendetail
oleh bangsa Arab saat ia diturunkan. Seiring dengan perjalanan waktu,
Alquran yang berisikan dengan semangat kreatifitas penelitian terus saja
mengeluarkan anugerah ilmiah hingga hari kiamat.
Rasulullah Saw tidak menjelaskan secara detail anugerah ilmiah ini.
Dia menjelaskan Alquran sesuai dengan standar pemikiran masyarakat
pada masa tersebut, bukan standar akal sebenarnya. Jika beliau
menjelaskan semua sesuai dengan standar akal sebenarnya, maka ia
akan menjadi statis. Jika ia sudah statis, maka kesesuaian Alquran di
berbagai tempat dan waktu sulit untuk diwujudkan.
Rasulullah Saw menjelaskan tentang hukum-hukum yang dituntut
dari seorang mukmin pada masanya sampai dengan datangnya hari
kiamat. Sedangkan yang berhubungan dengan alam yang tunduk di
bawah kreatifitras akal untuk membuka rahasianya, dibiarkan Allah agar
menjadi lahan bagi akal sesuai dengan kemampuannya. Oleh sebab itu
kita katakan: “Allah telah menjelaskan segala sesuatu di dalam Alquran,
dan darinya manusia mengambil seluruh kesimpulan sesuai dengan
kemampuan akal mereka.”
‫ﺩﺍ‬‫ﻬﺎﺩ‬‫ﻬ‬‫ ﻣ‬‫ﺽ‬‫ﻞﹺ ﺍﻷَﺭ‬‫ﻌ‬‫ﺠ‬‫ ﻧ‬‫ ﺃﹶﻟﹶﻢ‬bukankah Kami telah menjadikan bumi itu
sebagai hamparan? (78: 6) Mengapa Allah tidak berkata: “Kami telah
menjadikan bumi sebagai hamparan” tanpa menggunakan kata lam dan
hamzah istifham? Karena tujuan dari ucapan ini sangat jelas dan logis.
Apabila kalian mengingkari masalah kebangkitan, bukankah
sebelumnya Kami telah menciptakan bumi bagi kehidupan kalian
sebagai hamparan yang sangat menakjubkan. Apabila yang berbicara
kepada kalian adalah Tuhan yang Mahakuasa, Mahabijaksana dan
melakukan semua ini, maka kalian wajib mempercayai apa yang

18
AN-NABA’ 78 JUZ 30

dikatakannya. Akan tetapi jika Dia tidak melakukan hal ini semua, maka
kalian wajar mengingkari-Nya.
‫ﺟﺎ‬‫ﻭﻭﺍﺟ‬ ‫ ﺃﹶﺯ‬‫ﻨﺎﻛﹸﻢ‬‫ﻠﹶﻘﹾﻨ‬‫ﺧ‬‫ ﻭ‬Kami jadikan kamu berpasang-pasangan, (78: 8) juga
merupakan bagian dari kemukjizatan Alquran. Allah telah menciptakan
makhluk berpasang-pasangan. Seorang agamawan berkata: “Mustahil
jika alam raya ini diciptakan secara kebetulan.” Kenapa? Karena apabila
kebetulan telah menciptakan bayi laki-laki, maka sangat masuk akal jika
kebetulan juga menciptakan bayi kedua yang bernama perempuan. Tapi,
hal ini tidak mungkin dilakukan oleh teori kebetulan. Allah Penciptalah
yang menjadi berpasang-pasangan. Ini adalah sebuah bukti bahwa ada
sebuah kesengajaan, tujuan, dan pengurutan yang menciptakan jenis ini.
Contoh sederhananya, jika setiap hari kita bertemu seseorang pada
jam sembilan pagi di sekolah, maka ini bukan kebetulan, tapi ini adalah
kesengajaan, perencanaan dan pengaturan yang sudah dipersiapkan,
agar dia dapat masuk sekolah setiap jam sembilan pagi.
Firman Allah: “Kami jadikan kamu berpasang-pasangan,” telah
menyadarkan kita akan ayat lain: ‫ﺟﺎ‬ ‫ﻭﻭﺍﺟ‬ ‫ ﺃﹶﺯ‬‫ﻔﹸﺴِﻜﹸﻢ‬‫ ﺃﹶﻧ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﺧ ﹶﻠﻖ‬ ‫ﻪ ﹶﺃ ﹾﻥ‬ ‫ﺗ‬‫ﻳﺎ‬‫ ﺀَﺀﺍﻳ‬‫ﻣﻦ‬ ‫ﻭ‬ di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri. (QS ar-Rûm [30]: 21) Ini menjadi bukti
adanya kesengajaan dan tujuan, dan ini adalah kebutuhan yang tidak
terjadi dengan sendirinya. Jika tidak, maka apa itu kebetulan yang telah
menciptakan seorang laki-laki kemudian menciptakan baginya seorang
perempuan dari jenisnya, di mana jika terjadi hubungan khusus antara
keduanya, akan melahirkan seorang keturunan? Hal ini tidak mungkin
terjadi dengan sendirinya. Jadi, Allah menciptakan kalian berpasang-
pasangan agar kalian menjadi banyak.
Penciptaan tentu memiliki penopang. Apa itu penopang penciptaan?
Atau apa yang akan membuat makhluk bertahan hidup. Sebelum Allah
menciptakan makhluk berpasang-pasangan, Ia terlebih dahulu
mempersiapkan bagi mereka penopang kehidupan, dan ini termasuk
dalam ‫ﺩﺍ‬‫ﻬﺎﺩ‬‫ﻬ‬‫ ﻣ‬‫ﺽ‬‫ﻞﹺ ﺍﻷَﺭ‬‫ﻌ‬‫ﺠ‬‫ ﻧ‬‫ ﺃﹶﻟﹶﻢ‬bukankah Kami telah menjadikan bumi itu
sebagai hamparan, maksudnya dihamparkan untuk kehidupan. Jika
dihamparkan untuk kehidupan maka di dalamnya haruslah ada
penopang kehidupan. Kemudian Dia menerangkan hal ini dengan
keterangan yang kedua berkenaan dengan penopang kehidupan ini.
Kehidupan ada dua bentuk, bentuk yang sadar yaitu gerakan dan
perbuatan, dan bentuk yang tidak sadar (tidur).

19
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Seakan-akan yang pertama adalah penopang kehidupan yang


diyakini bukan hanya makanan dan minuman. Masalah tidur ini adalah
masalah yang tidak dapat diselidiki apa sebabnya oleh para ilmuan dan
ahli filsafat. Begitu juga dengan sistemnya dan bagaimana ia datang
kepada manusia? Mereka telah banyak melakukan percobaan untuk
mengetahui fenomena ini akan tetapi tidak seorang pun yang dapat
membuka rahasianya. Terakhir mereka berkesimpulan bahwa tidur
adalah pengistirahatan otomatis bagi perangkat atau anggota tubuh
manusia. Maksudnya, ketika anggota tubuh bekerja, ia akan sampai
pada titik lelah yang membuat akal berkata, berhentilah sebentar.
Ada waktu di mana sebuah alat kehabisan kekuatan. Ia tidak
menunggumu untuk bertindak, ia sendiri yang berkata kepadamu:
“Berhentilah!”. Pekerjaan tidak akan pernah habis, tetapi tidak ada
baiknya untuk diteruskan. Ini yang disebut dengan pemberhentian
otomatis dan terkadang tanpa sadar kamu telah tertidur pulas. Lalu apa
artinya ini? Artinya bahwa kamu sudah tidak dapat lagi melanjutkan
pekerjaan, karena telah kehabisan energi, maka tunggulah hingga
energimu pulih kembali. Oleh sebab itu, manusia menjadi lelah dan
tertidur pulas hingga dua atau tiga jam, kemudian ia bangun dan merasa
segar kembali. Apa yang sebenarnya terjadi? Alquran memparkan hal
ini dalam proses kehidupan: ‫ﻪ‬ ‫ﻨ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻨ ﹰﺔ‬‫ﻣ‬ ‫ﺱ ﹶﺃ‬ ‫ﻌﺎ‬‫ﻌ‬‫ﻢ ﺍﻟﻨ‬ ‫ﺸﻴ ﹸﻜ‬ ‫ﺸ‬
 ‫ﻐ‬ ‫ﻳ‬ ‫( ﺇﹺ ﹾﺫ‬ingatlah), ketika
Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripa
da-Nya. (QS al-Anfâl [8]: 11) ‫ﺳﺎ‬
‫ﻌﺎﺳ‬‫ﻌ‬‫ﻨﺔﹰ ﻧ‬‫ﻣ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ‬ ‫ﻐ‬ ‫ﺪ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻴ ﹸﻜ‬ ‫ﻋ ﹶﻠ‬ ‫ﺰ ﹶﻝ‬ ‫ ﺃﹶﻧ‬‫ ﺛﹸﻢ‬kemudian
setelah kamu berduka cita Allah menurunkan kepada kamu keamanan
(berupa) kantuk. (QS Âli 'Imrân [3]: 154) Seakan-akan tidur ini adalah
proses kehidupan yang penting. Oleh sebab itu setelah firman-Nya:
Kami telah menciptakan kalian berpasang-pasangan, Dia berkata: ‫ﻨﺎ‬‫ﻠﹾﻨ‬‫ﺟﻌ‬  ‫ﻭ‬
‫ﺗﺎ‬‫ﺒﺎﺗ‬‫ﺒ‬‫ ﺳ‬‫ﻣﻜﹸﻢ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻧ‬ Kami jadikan tidurmu untuk istirahat. (78:9)
Masalah tidur merupakan salah satu nikmat Allah Swt yang terbesar
bagi manusia. Terkadang kamu telah membebani jasmani dan akalmu
untuk berusaha. Tuhan kita tidak meninggalkanmu pada proses ini dan
berkata kepadamu: “Tidak. Perlawanan telah berakhir”. Proses
kehidupan telah terhenti sementara waktu, dan ketika proses kehidupan
telah terhenti sejenak, maka ia akan menjadi kembali bersemangat. Jadi
jelaslah bahwa tidur merupakan salah satu dari bukti-bukti kekuasaan
Allah. Oleh sebab itu salah satu kandungan ayat-ayat karunia dari Allah
bagi hambanya adalah: ‫ﻞ‬ ‫ ﹺ‬‫ ﺑﹺﺑﺎﻟﻠﱠﻴ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻨﺎﻣ‬‫ﻨ‬‫ ﻣ‬‫ﻪ‬‫ﻳﺎﺗ‬‫ ﺀَﺀﺍﻳ‬‫ﻣﻦ‬ ‫ﻭ‬ di antara tanda-tanda
20
AN-NABA’ 78 JUZ 30

kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam. (QS ar-Rûm [30]: 23)


Kemudian Dia berkata: “Terangkanlah kepadaku, jika Allah
menjadikan untukmu siang itu terus menerus sampai hari kiamat,
siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam
kepadamu.” (QS al-Qashash [28]: 72) Lalu, katakanlah: “Terangkanlah
kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu malam itu terus menerus
sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan
mendatangkan sinar terang kepadamu? Maka apakah kamu tidak
mendengar?” (QS al-Qashash [28]: 72)
Kita telah menjadikan malam sebagai waktu istirahat, ini adalah
proses nikmat yang besar. Selama tertidur, manusia kehilangan kontak
dengan aktivitas kehidupan, hal ini disebut dengan subat. Karena as-
sabtu artinya adalah pemutusan. Ia memutuskanmu dari gerakan
kehidupan dengan tidur. Pemutusan tersebut merupakan rahmat bagimu
dan anggota tubuhmu. Oleh sebab itu, tidur disebut juga dengan mati.
‫ﻬﺎ‬‫ﻬ‬‫ﺗ‬‫ﻮ‬‫ ﻣ‬‫ﲔ‬‫ ﺣ‬‫ﻔﹸﺲ‬‫ﻮ ﱠﻓﻓﻰ ﺍﻷَﻧ‬ ‫ﺘ‬‫ﻳ‬ ‫ﻪ‬ ‫ ﺍﻟ ﱠﻠ‬Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya.
(QS az-Zumar [39]: 42) Karena ia memutuskan gerakan hingga tidak
kembali dan karena ia menghilangkan gerakan dan kesadaran.
Ketidaksadaran dalam tidur merupakan proses lain dari nikmat yang
besar. Misalnya; ketika terkena bisul dan merasakan sakit, tapi hanya
dengan tidur, rasa sakit itu akan hilang. Ketika terbangun, maka rasa
sakit tersebut akan terasa kembali. Dengan demikian, kita sadar bahwa
yang merasa sakit bukan anggota tubuh, akan tetapi yang merasakannya
adalah jiwa dan kesadarannya.
Jika tidak demikian, maka anggota tubuh yang di dalamnya terdapat
bisul akan mengalami rasa sakit baik ketika tidur atau terbangun. Akan
tetapi kenyataannya, hanya dengan tidur, rasa sakit akan hilang, dan
ketika terbangun, rasa sakit itu kembali lagi. Hal ini membuktikan
bahwa tidur melindungi dari rasa sakit yang amat sangat. Selama ia
memutuskanku dari aktivitas kehidupan dan menghilangkan
kesadaranku, maka sepanjang saya tidak memiliki kesadaran, saya dapat
bergerak dengan gerakan-gerakan dalam bentuk khusus.
‫ﺷﺎ‬‫ﻌﺎﺷ‬‫ﻣﻌ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻬﺎ‬‫ﻬ‬‫ﻨﺎ ﺍﻟﻨ‬‫ﻠﹾﻨ‬‫ﻌ‬‫ﺟ‬‫ﺳﺎ)(ﻭ‬‫ﺒﺎﺳ‬‫ﺒ‬‫ﻞﹶ ﻟ‬‫ﻨﺎ ﺍﻟﻠﱠﻴ‬‫ﻠﹾﻨ‬‫ﻌ‬‫ﺟ‬‫ ﻭ‬Kami jadikan malam sebagai
pakaian dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan. (78: 10-
11) Aku membuat waktu tidur kalian pada malam hari agar kalian dapat
beristirahat dan bekerja pada siang hari. Ketika Allah Swt memaparkan
hal ini, Dia memaparkannya dengan pemaparan yang jelas dan tidak
menimbulkan perselisihan. Artinya, tidak ada seorang pun yang

21
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

meragukan hal tersebut, karena alasan yang logis dan dapat diterima
akal. Tidak ada seorang pun yang mengaku bahwa dialah pemilik
pertolongan dan nikmat ini, maka hal ini membatalkan ketuhanan selain
Allah. Karena Tuhan adalah siapa yang telah menciptakan makhluk dan
menjadikan bumi menjadi hamparan, menjadikan gunung-gunung
sebagai pasak-pasak, menjadikan malam sebagai waktu istirahat dan
siang sebagai waktu berusaha.
Allah yang telah melakukan itu semua dan mengaku bahwa Dia
yang telah melakukannya. Sementara yang lain tidak ada yang
mengaku, atau terdiam atau tidak berbicara. Ketika seseorang
mengeluarkan sebuah pengakuan lalu tidak ada yang menyanggahnya,
maka itu adalah miliknya? Jika di ruang ini ditemukan sebuah dompet
dan tidak seorang pun yang mengaku memilikinya. Kemudian datang
seseorang mengaku dompet itu sebagai miliknya dengan ciri-ciri yang
sesuai, sementara yang lain diam, maka dompet tersebut adalah milik
orang itu. Oleh sebab itu perkataan Allah pada QS 78: 6-8 yang dikaji
ini adalah pembuktian bahwa Dia adalah Tuhan dan Dia adalah
Penciptanya.
Apabila perkataan Allah dalam QS 78: 6-8 sesuai dengan kenyataan,
maka ucapan-Nya patut untuk ditaati. Naudzubullah jika perkataan
Allah tersebut salah, seperti: ternyata bumi tidak terhampar, dan gunung
bukan pasak, dan makhluk tidak hidup berpasang-pasangan, maka
ketuhanan-Nya di sini dapat ditolak. Tapi, selama perkataan dan realita
itu selaras dan dapat dipercaya serta tidak ada seorang pun yang
mengaku selain Allah, maka Dialah Tuhan dan itu adalah perbuatan-
Nya.
Ketika Allah menantang kepada tuhan-tuhan palsu: “Tunjukkanlah
kepada-Ku dirimu yang telah menciptakan makhluk, namun
membiarkan seseorang mengaku telah menciptakannya. Tunjukkan
dirimu, wahai zat yang telah dicuri darinya tapi dia diam saja! Atau
tunjukkan perintah dan larangan yang kamu keluarkan.
Sepanjang sejarah ditemukan orang yang menyembah matahari, tapi
tunjukkan apa aturan main yang diingini oleh matahari. Tuhan matahari
atau tuhan-tuhan lain yang sejenis dengannya adalah tuhan buatan
manusia itu sendiri. Matahari tidak pernah meminta manusia untuk
menyembahnya, dan ia tidak juga pernah menyebutkan tentang cara
penyembahannya. Matahari tidak pernah berkata: “Siapa yang menyem-
bahku maka aku akan memperlakukannya seperti ini, dan siapa yang
tidak menyembahku akan aku perlakukan seperti ini.” Inilah tuhan tanpa

22
AN-NABA’ 78 JUZ 30

status, tuhan tanpa manhaj, tuhan tanpa pahala dan azab bagi orang yang
menyembah dan tidak menyembahnya. Kesimpulannya, tentu ini adalah
tuhan palsu yang tidak layak disembah.
Apabila Tuhan menyampaikan sesuatu, maka pesan itu valid
sepanjang hal tersebut tidak diakui juga oleh zat lain. Jika muncul
pengakuan baru yang mengatakan: “Tidak. Aku yang telah
menciptakannya dengan bukti seperti ini”, lalu dia datang dengan
mukjizat yang lebih kuat dari mukjizat yang diberikan Allah kepada
para nabinya. Kepadanya kita katakan: “Berdebatlah di antara kalian
dan pertegas masalah ini serta tunjukkan kemampuan kalian berdua agar
kami dapat melihat siapa yang harus kami sembah? Tentu tuhan palsu
tidak dapat memberikan argumen dan kemampuan.
Ketika Allah mengucapkan sesuatu yang sesuai dengan realita,
seperti ucapan-Nya: “Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu seba-
gai hamparan?” maka yakin dan percaya kepada-Nya merupakan satu
konsekuensi logis. Selama Allah telah menciptaan yang sebelumnya
tidak pernah ada, maka pesannya untuk bersiap terhadap apa yang akan
terjadi pada hari kebangkitan, harus diamini dan disiapkan sebaik
mungkin.
Terlebih menciptakan yang sudah ada lebih ringan daripada
memulai dari nol? Reka ulang lebih mudah, karena ia membuat sesuatu
dari yang telah ada. Zat yang mampu menciptakan sesuatu dari tiada
apakah Dia lemah untuk membangkitkannya dan dapat mengulangi
penciptaan tersebut? ‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﻋ ﹶﻠ‬ ‫ﻮ ﹸﻥ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻮ ﹶﺃ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻩ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻌﻌﻴ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻖ ﹸﺛ‬
 ‫ﺨ ﹾﻠ‬
 ‫ﺪﹸﺃ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺒ‬ ‫ﺬﻱ ﻳ‬‫ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻮ‬‫ﻫ‬‫ ﻭ‬Dialah yang
menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan
(menghidupkan) nya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah
lebih mudah bagi-Nya”. (QS ar-Rûm [30]: 27)
Pendahuluan yang telah diucapkan oleh Allah tentang berita besar
yang mereka pertanyakan, di mana tidak ditemukan ucapan yang
berbeda dengan kenyataan, dan tidak ada satu pun peristiwa yang
dinisbatkan kepada selain-Nya, maka sejalan dengan pendahuluan ini
sangat logis jika manusia harus mengatakan: “Wahai Tuhan, jadikanlah
bagi kami hari di mana Engkau melakukan perhitungan bagi kami”.
Apabila Allah berkata: “Bagi kalian hari di mana kalian mendapat
perhitungan”, berarti Dia telah memberikan pendahuluan yang logis.
Allah tidak meninggalkan jawaban bagi apa yang mereka
pertanyakan seputar berita yang besar kecuali didahului dengan
pendahuluan yang akurat dan tepercaya agar manusia yakin bahwa

23
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

berita besar tersebut ada dan sangat penting untuk manusia.


Orang yang bertanya akan terkejut. Sedangkan Allah yang berkata:
“Apa yang mereka pertanyakan? Juga terkejut dan heran, mengapa
mereka mempertanyakan hal ini. Walau demikian Dia akan
mengabarkan kepada kita untuk menjelaskan apa yang mereka
pertanyakan.
Kata naba’ mengindikasikan bahwa hal ini adalah hal yang sangat
besar, jelas dan terang yang seharusnya tidak dipertanyakan. Karena
Allah yang memulai penciptaan dengan kekuasaan-Nya dan menitipkan
pada alam seluruh rahasianya dengan hikmah-Nya. Hal ini tidak
mungkin sia-sia karena akan memberi kesempatan kepada perusak
untuk berbuat kerusakan, dan orang yang berbuat kebaikan berbuat
kebaikan tanpa merujuk kepada peng-hisab yang memberikan balasan
kepada seluruh manusia atas apa yang telah dilakukannya.
Setelah itu Allah mengabarkan kepada kita bahwa mereka akan
segera mengetahui. Jika sebelumnya mereka telah mengingkari atau
ragu untuk ilmu yakin atas apa yang bersumber dari Allah, maka ketika
mereka mati, saat itu mereka akan menyaksikan dan merasakan apa
yang sebelumnya tidak pernah mereka saksikan dan rasakan. Ketika itu
mereka mengetahui kebenaran pemberitaan Allah. Dalam firman-Nya
Allah berkata: “Maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam”. Setelah
itu mereka akan mengetahui dengan haqqul yakin. Mereka dikejutkan
oleh hari kebangkitan dan telah berada di hadapan Tuhan yang akan
menghitung seluruh apa yang telah mereka lakukan.
Ketika Allah memaparkan sesuatu yang gaib, Dia datang dengan
dalil-dalil dari alam nyata agar manusia dapat mengkiaskan sesuatu
yang gaib dari yang nyata itu. QS 78: 6-8 adalah ayat-ayat yang tidak
diragukan oleh kaum skeptis sekalipun, dan tidak seorang pun yang
mengaku bahwa dia yang telah menciptakannya. Maka pengakuan
tersebut hanya milik Allah sampai datang orang lain yang mengakuinya
dengan dalil dan bukti. Selama Allah yang mengaku telah menciptakan
bumi sebagai hamparan, gunung-gunung sebagai pasak dan tidak ada
orang lain yang mengakuinya, maka Ia benar dengan pengakuan-Nya.

Ketika Allah Swt berbicara tentang fenomena kekuatan dan hikmah-


Nya di alam ini, Ia mulai dengan perkataan: “Bukankah Kami telah
menjadikan bumi itu sebagai mihâd/hamparan? Kata mihâd berarti
kasur empuk yang disiapkan untuk seorang bayi sebagai buaian.

24
AN-NABA’ 78 JUZ 30

Selama bumi sebagai hamparan, maka seakan-akan Allah Swt


mengetahui bahwa makhluk pertamanya akan menerima kehidupan
yang diberikannya dengan akal yang masih kecil yang tidak mengetahui
apa-apa dan tidak bisa berpikir untuk memberikan peringatan dan
penjagaan. Hendaklah Dia mempersiapkan baginya pendahuluan
kehidupan sampai ia mulai dapat berpikir untuk bercocok tanam,
membajak dan menyemai benih.
Kata mihâd juga menandakan fase pertama kehidupan bayi yaitu
fenomena bernafas. Jadi pekerjaan pertama sebelum makan atau
melakukan sesuatu, adalah bernafas dengan menggerakkan paru-paru.
Oleh sebab itu apabila seorang bayi yang lahir dalam keadaan sungsang
(kepalanya sebelah atas) dan tidak dapat keluar sebagaimana mestinya
maka ia akan mati. Hanya sekedar dengan izin Allah bagi kehidupan
ibunya, dia juga dapat bertahan hidup. Apabila wajahnya tidak terlihat
dan hidungnya terhalang untuk menghirup udara, ia juga akan mati.
Oleh sebab itu ketika Allah Swt berkata: “Bukankah Kami telah
menjadikan bumi itu sebagai hamparan? dan gunung-gunung sebagai
pasak?” Kita katakan bahwa fenomena pasak di bumi adalah untuk
menahan bumi agar tidak dapat bergerak. Jadi pasak adalah penopang
bagi gaya gravitasi bumi untuk menarik lapisan udara yang sangat
penting bagi manusia.
Ayat-ayat di atas mengisyaratkan bahwa sebelum Allah Swt men-
ciptakan makhluk, Dia telah mempersiapkan sarana dan prasarana kehi-
dupan dan kebutuhan makhluk agar bumi ini menjadi layak dihuni.
Kasur yang menjadi buaian bagi anak kecil seperti halnya gunung
sebagai pasak yang membantu untuk menjaga udara yang merupakan
unsur terpenting bagi kehidupan manusia, setelah itu manusia pun
diciptakan berpasang-pasangan. Jadi Dia mempersiapkan bagi
makhluknya pendahuluan kehidupan sebelum Dia menciptakan
makhluk tersebut. Kami telah menciptakanmu berpasang-pasangan,
sebagai kasih sayang dan rahmat bagi manusia.
Setelah itu Allah berbicara tentang fenomena tidur, dan tidur seperti
yang kita sebutkan adalah pemberhentian alami di dalam tubuh yang
memberitahukan tubuh bahwa ia tidak lagi dapat melakukan aktivitas
kehidupan, maka ia harus mengesampingkan aktivitas kehidupan untuk
kemudian tertidur. Setelah tidur dan beristirahat, reaksi kimiawinya
akan kembali kepada alaminya. Lalu ia berdiri dengan semangat dan
memulai kehidupannya kembali dengan segar. Oleh sebab itu manusia
dipaksa untuk tidur karena terkadang seseorang ingin tidur tetapi tidur

25
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

tidak kunjung datang, terkadang manusia juga terkejut karena tiba-tiba


ia telah tertidur lelap. Jadi tidur tidak dapat diketahui bagaimana ia
dimulai. Ini adalah pengistirahatan otomatis bahwa instrumen manusia
tidak dapat lagi digunakan untuk melakukan aktivitas kehidupan, lalu ia
terputus dari kehidupan. Maka Allah menjadikan tidur sebagai waktu
istirahat.
Setelah itu Allah menjadikan ‫ﺳﺎ‬ ‫ﺒﺎﺳ‬‫ﺒ‬‫ﻞﹶ ﻟ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻴ‬malam sebagai pakaian yang
menutupi kita, dan pakaian penutup ini adalah milik Allah.
Kegunaannya sangat banyak, ketika tidur manusia ingin agar ia tidak
dilihat oleh orang lain karena selama di dalam tidur seseorang tidak
sadarkan diri, akan muncul darinya hal-hal yang tidak diingininya untuk
dilihat orang lain, oleh sebab itu Allah menjadikan malam sebagai
pakaian yang menutupi. Keberadaan malam ini juga berguna untuk
merencanakan serangan balik kepada musuh, hingga mereka tidak dapat
melihat apa yang kamu persiapkan.‫ﺷﺎ‬ ‫ﻌﺎﺷ‬‫ﻣﻌ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻬﺎ‬‫ﻬ‬‫ﻨﺎ ﺍﻟﻨ‬‫ﻠﹾﻨ‬‫ﻌ‬‫ﺟ‬‫ ﻭ‬Kami jadikan siang
untuk mencari penghidupan. (78:11) Ini adalah fanomena alam yang
jelas. Siang adalah waktu manusia beraktivitas, bekerja dan beramal.
Kemudian: ‫ﺩﺍ‬‫ﺪﺍﺩ‬‫ﺪ‬‫ﻌﺎ ﺷ‬‫ﻌ‬‫ﺒ‬‫ ﺳ‬‫ﻜﻢ‬
‫ﻮ ﹶﻗ ﹸ‬ ‫ﻨﺎ ﹶﻓ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﻨ‬‫ﺑ‬‫ ﻭ‬Kami bangun di atas kamu tujuh
buah (langit) yang kokoh. (78: 12) Tujuh langit seperti yang disebutkan
banyak redaksi dalam Alquran maksudnya adalah sejumlah langit.
Adapun jumlah langit tujuh diketahui dari banyak nash dan keadaannya
bertingkat-tingkat juga diketahui dari berbagai nash, hanya saja dilihat
dari pengetahuan manusia saat ini, manusia belum mengetahui hakikat
bentuk langit ini.
Manusia berusaha untuk mengungkapkan arti langit dengan sesuatu
yang sesuai dengan akal manusia, khususnya ketika muncul beberapa
teori di bidang akidah dan pemikiran. Teori ini memberi sinar ketika
mereka menperdengarkannya kepada manusia. Mereka yang berniat
ikhlas ini bekerja untuk agama yang mulia ini dalam visi mendekatkan
agama dari realitas kehidupan. Mereka berusaha untuk mendekatkan
masalah agama, khususnya hal gaib dengan mengkiaskannya dengan
peristiwa nyata yang dapat disaksikan.
Salah seorang tokoh ini adalah Muhammad Abduh, bapak pemikir
Islam kontemporer. Dia selalu berusaha untuk mendekatkan masalah
agama yang berhubungan dengan hal gaib kepada akal manusia. Secara
lahir hal ini menunjukkan adanya semangat keagamaan, akan tetapi dia
lebih banyak membahayakan daripada manfaatnya, kenapa? Karena

26
AN-NABA’ 78 JUZ 30

masalah agama yang berkenaan dengan hal gaib adalah wajib untuk
diimani, dan prosedur pengimanannya tidak penting untuk diketahui.
Kita katakan bahwa iman memiliki puncak yaitu beriman kepada Allah.
Selama kamu telah mengimani Allah dengan pilihanmu dan kamu
memasuki puncak keimanan dengan akalmu, maka kamu dapat
menerima dari Allah seluruh apa yang dikatakannya kepadamu baik
yang dapat diterima akalmu atau tidak.
Dalam kehidupan terdapat sesuatu yang menguatkan hakikat ini.
Banyak hal-hal materi merupakan masalah gaib dulunya. Contohnya,
ketika ilmu penggunaan alat bantu penglihatan -seperti mikroskop atau
teleskop- belum ditemukan mikroba adalah gaib, tapi setelah ditemukan
ia ada karena dapat dilihat berkat alat bantu penglihatan itu. Jadi,
kondisi sesuatu yang tidak dapat diketahui dengan inderamu, bukan
berarti ia tidak ada. Maka curigailah inderamu karena ia tidak dapat
sampai mengetahui hal itu. Keberadaan sesuatu yang tadinya gaib
kemudian menjadi nyata menunjukkan bahwa akalmu tidak harus selalu
memikirkan masalah-masalah yang gaib, karena keterbatasana akal
pikiran, bahkan ia harus mendukung dan mengatakan: “Selama Allah
telah mengatakannya, ia benar adanya”. Ini merupakan keputusan baik,
sama ada ia dapat diketahui dengan akal atau tidak.
Adapun ilmu selalu membuka rahasia-rahasia Allah yang ada di
alam ini, maka hal-hal yang sebelumnya gaib, saat ini menjadi nyata.
Bukankah hal ini menjadi bukti bahwa ketika Allah berbicara tentang
hal-hal gaib kepada saya, saya tidak menolak perkataan ini dengan
alasan bahwa saya tidak mengetahuinya? Kita katakan kepadanya
bahwa dalam materi-materi kehidupanmu banyak hal-hal yang
sebelumnya gaib menjadi nyata. Jadikanlah hal tersebut juga sebagai
sarana untuk mengimani bahwa hal gaib itu sangat banyak dan tidak
dapat diketahui oleh akal, akan tetapi Allah telah memberitahukannya
dan kita wajib mengimaninya.
Oleh sebab itu Alquran mencirikan mukmin dengan iman kepada
yang gaib: ‫ﺐ‬ ‫ ﹺ‬‫ﻴ‬‫ﻨﻮﻥﹶ ﺑﹺﺑﺎﻟﹾﻐ‬‫ﻨ‬‫ﻣ‬‫ﺆ‬‫ ﻳ‬‫ﺬﻳﻦ‬‫( ﺍﻟﱠﺬ‬yaitu) orang-orang yang beriman kepada
yang gaib. (QS al-Baqarah [2]: 3) Mengimani sesuatu yang nyata adalah
masalah yang sama antara mukmin dan kafir. Jadi tidak ada
keistimewaan mukmin kecuali mengimani hal yang gaib. Apabila akal
dapat dipuaskan dengan penegasan indera, lalu apa gunanya keimanan?
Ketika mereka melihat bahwa langit tidak termasuk di bawah indera
dan tidak termasuk di bawah percobaan dan kita tidak dapat mengetahui

27
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

sesuatu tentangnya, lalu apa yang mereka katakan?


Mereka berkata: “Bahwa langit adalah seluruh yang ada di atasmu
dan menaungimu. Planet-planet, matahari, bulan, dan bintang yang ada
di atas adalah ungkapan bagi langit. Kemudian perpindahan mereka
dalam masalah ini bertambah dengan perpindahan dari yang gaib
kepada alam nyata. Planet yang beredar menurut pengetahuan Abduh
pada waktu itu ada tujuh, ia sesuai dengan jumlah langit yang tujuh.
Akan tetapi kemudian menjadi jelas bahwa planet yang beredar
sekitar matahari bukan tujuh, karena telah ditemukan planet lain.
Ternyata, langit bukan matahari dan planet-planet yang mengitarinya.
Di langit terdapat banyak bintang dan planet, yang terlihat dan tidak
terlihat. Jadi, mereka ingin mendekatkan masalah gaib kepada masalah
nyata dengan akal kontemporer, tapi dalam hal ini belum berhasil.
Imam Muhammad Abduh ingin menjelaskan kata banaha/
dibangunnya dalam ayat: ‫ﻫﺎ‬‫ﻨﺎﻫ‬‫ﻨ‬‫ﻤﺎﺀُ ﺑ‬‫ﻤ‬‫ﻠﹾﻘﹰﻘﺎ ﺃﹶﻡﹺ ﺍﻟﺴ‬‫ ﺧ‬‫ﺪ‬‫ ﺃﹶﺷ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ ﺀَﺃﹶﻧ‬apakah kamu yang
lebih sulit penciptaannya ataukah langit banaha/yang dibangun? (QS an
-Nâziât' [79]: 27) dan memaparkan ‫ﺩﺍ‬‫ﺪﺍﺩ‬‫ﺪ‬‫ﻌﺎ ﺷ‬‫ﻌ‬‫ﺒ‬‫ ﺳ‬‫ﻜﻢ‬ ‫ﻮ ﹶﻗ ﹸ‬ ‫ﻨﺎ ﹶﻓ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﻨ‬‫ﺑ‬‫ ﻭ‬Kami bangun di
atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh. (78: 12) Dia berkata bahwa
bina’/pembangunan maksudnya di sini adalah mengadakan sesuatu
yang saling menyokong dengan kuat dan tidak akan terlepas.
Pembangunan di mana satu demi satu batu bata disusun kemudian
antara satu batu dengan batu yang lain dilekatkan dengan tanah liat atau
semen. Semua ini disebut dengan proses pembangunan. Sedangkan
planet yang disebut dengan matahari, bulan dan planet-planet lainnya
disebut dengan langit. Lalu apa arti banaha/dibangunkannya? Menurut
beliau artinya adalah menjadikannya saling mengokohkan dengan yang
lain dan tidak satu pun yang jatuh dari garis edarnya. Ia senantiasa
selalu terikat dengan hukum gravitasi. Hukum gravitasi ini telah ada
sebelum ditemukan oleh Newton pada abad ke tujuh belas. Mereka
senang menggunakan hukum ini dan berkata bahwa Alquran sejalan
dengan hukum ilmu pengetahuan.
Kita katakan: “Wahai Imam! ini adalah perkataan yang bagus, akan
tetapi Alquran tidak dapat diambil sepotong-sepotong, akan tetapi harus
secara keseluruhan.”
Ada empat alasan bahwa bintang, planet atau matahari bukan langit.
Pertama, ‫ﺖ‬  ‫ﻤﺎﺀُ ﻓﹸﺮﹺﺟ‬‫ﻤ‬‫ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺍﻟﺴ‬‫ﺖ)(ﻭ‬
 ‫ﺴ‬‫ ﻃﹸﻤ‬‫ﺠﻮﻡ‬
‫ﺠ‬‫ ﻓﹶﺈﹺﺫﹶﺫﺍ ﺍﻟﻨ‬maka apabila bintang-bintang
telah dihapuskan, dan apabila langit telah dibelah. (QS al-Mursalât

28
AN-NABA’ 78 JUZ 30

[77]: 8) Menunjukkan bahwa bintang bukan langit, dan selanjutnya


pada awal surat yang lain disebutkan bahwa langit bukan bintang:
apabila langit terbelah, dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan.
(QS al-Infithar [82]: 2) Jadi pada prakteknya bintang dan planet tidak
sama dengan langit. Langit adalah sesuatu, dan bintang adalah sesuatu
yang lain.
Kedua, langit yang bertingkat ini berbeda dengan matahari dan
bulan. Alquran telah menerangkan hal ini semua secara mendetail.
‫ﺟﺎ‬‫ﺮﺍﺟ‬‫ﺮ‬‫ ﺳ‬‫ﻤﺲ‬ ‫ﻞﹶ ﺍﻟﺸ‬‫ﻌ‬‫ﺟ‬‫ﺭﺍ ﻭ‬‫ﻧﻮﺭ‬‫ ﻧ‬‫ﻓﻴﻬﹺﻦ‬‫ ﻓ‬‫ﺮ‬‫ ﹶﻞ ﺍﻟﹾﻘﹶﻤ‬‫ﻌ‬‫ﻭﺟ‬ ()‫ﺒﺎﻗﹰﻗﺎ‬‫ﺒ‬‫ ﻃ‬‫ﻮﺍﺕ‬‫ﻮ‬‫ﻤ‬‫ ﺳ‬‫ﻊ‬‫ﺒ‬‫ ﺳ‬‫ﻖ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ ‫ﺧ ﹶﻠ‬ ‫ﻒ‬
 ‫ﻴ‬ ‫ﻭﻭﺍ ﹶﻛ‬ ‫ﺮ‬ ‫ ﺗ‬‫ﺃﹶﻟﹶﻢ‬
tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh
langit bertingkat-tingkat? Allah menciptakan padanya bulan sebagai
cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita? (QS Nuh [71]: 15)
Ketiga, Allah menyebutkan bintang dengan planet, dan terkadang
kata planet dengan bintang. ‫ﺖ‬  ‫ﻤﺎﺀُ ﻓﹸﺮﹺﺟ‬‫ﻤ‬‫ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺍﻟﺴ‬‫ﺖ)(ﻭ‬
 ‫ﺴ‬‫ ﻃﹸﻤ‬‫ﺠﻮﻡ‬
‫ﺠ‬‫ ﻓﹶﺈﹺﺫﹶﺫﺍ ﺍﻟﻨ‬maka
apabila bintang-bintang telah dihapuskan, dan apabila langit telah
dibelah. (QS al-Mursalât [77]: 8) Pada ayat lain: “Apabila langit
terbelah, dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan,”
Keempat, bintang memancarkan cahaya sendiri dan memiliki nyala
dari dirinya. Sedangkan planet cahayanya berasal dari luar dirinya.
Alquran berkata (yang menunjukkan kedalaman penyampaian
pencipta): ‫ﺢ‬
 ‫ﺼﺎﺑﹺﺑﻴ‬
‫ﺼ‬‫ﻴﺎ ﺑﹺﻤ‬‫ﻴ‬‫ﻧ‬‫ﻤﺎﺀَ ﺍﻟﺪ‬‫ﻤ‬‫ﻨﺎ ﺍﻟﺴ‬‫ﻨ‬‫ﻳ‬‫ﻧﺎ ﺯ‬‫ ﺇﹺﻧ‬sesungguhnya Kami telah menghiasi
langit yang dekat dengan pelita-pelita. (QS al-Mulk [67]: 5) Sesekali Ia
berkata: ‫ﺐ‬‫ ﹺ‬‫ﻮﺍﻛ‬‫ ﺍﻟﹾﻜﹶﻮ‬‫ﻨﺔ‬‫ﻴﺎ ﺑﹺﺰﹺﺰﻳ‬‫ﻴ‬‫ﻧ‬‫ﻤﺎﺀَ ﺍﻟﺪ‬‫ﻤ‬‫ﻨﺎ ﺍﻟﺴ‬‫ﻨ‬‫ﻳ‬‫ﻧﺎ ﺯ‬‫ ﺇﹺﻧ‬sesungguhnya Kami telah
menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu planet-planet. (QS
ash-Shaffât [37]: 6)
Sesekali Alquran menyebut hiasan di langit berupa planet dan
sesekali berupa pelita. Karena bulan dan planet yang menerima cahaya
dari matahari juga bercahaya. Jadi ia juga menjadi hiasan yang tidak
disyaratkan sinar harus bersumber dari dirinya, tetapi cukup mengambil
sinar dari yang lain. Sedangkan pelita maksudnya adalah hiasan yang
sinarnya berasal dari dirinya.
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan
cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di
dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca. (QS an-
Nûr [24]: 35) Cahaya kaca bukan berasal dari dirinya, karena kaca
hanya memantulkan sinar pelita, yang sumber cahaya itu dari dirinya.
Kesimpulan dari ini ialah bahwa langit adalah sesuatu, sedangkan

29
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

planet, matahari dan bulan adalah sesuatu yang lain. Terlebih-lebih


setelah peneliti menemukan planet-planet lainnya seperti Uranus,
Nepton, Pluto dan lain sebagainya, maka planet-planet tersebut
bertambah lebih dari tujuh.
Peneliti bintang atau para ahli astronomi berdasarkan penelitian
yang dilakukan berkesimpulan bahwa tujuh galaxy yang meliputi planet
-planet yang beredar sekitar matahari, tidak sesuai dengan hasil
penelitian. Di galaksi matahari bumi ditemukan kumpulan dari ratusan
juta planet, dan di alam ini terdapat ratusan juta galaksi sepertinya.
Untuk mendekatkan pemahaman tentang masalah ini dan agar tidak
terjadi kerancuan penghitungan, tumpuklah pasir yang ada di tepi pantai
semuanya lalu hitunglah, maka kalian akan menemukan jumlah bintang-
bintang sama persis seperti jumlahnya.
Jarak antara Dog Star dengan kita adalah 140 tahun cahaya,
sedangkan antara kita dengan matahari delapan menit cahaya. Meskipun
jaraknya 140 tahun cahaya, namun ia dapat memberikan cahaya serta
panas 26 kali lebih besar dari matahari dan tidak mengenai planet besar
lainnya. Maka alam adalah kalian, matahari, bulan, planet-planet dan
bintang-bintang.
Bangsa Yunani pernah mengatakan bahwa bumi adalah pusat alam.
Ini pernyataan yang salah, karena bumi tidak ada apa-apanya jika
dibandingkan dengan kerajaan Allah: ‫ﻌﻌﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﺳ‬
 ‫ﻤﻤﻮ‬ ‫ﻧﻧﺎ ﹶﻟ‬‫ﻭﹺﺇ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻳ‬‫ﻫﺎ ﺑﹺﹶﺄ‬‫ﻨﺎﻫ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﻨ‬‫ﻤﺎﺀَ ﺑ‬‫ﻤ‬‫ﻭﻭﺍﻟﺴ‬ dan
langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya
Kami benar-benar meluaskannya. (QS adz-Dzâriyât [51]: 47) Alam
raya ini sangat luas.
Jadi perkataan Muhammad Abduh bahwa planet disebut dengan
langit dan gaya gravitasi yang telah mengikatnya, adalah rancu dan
salah. Alquran menjelaskan tentang pembangunan langit, dengan
menggunakan masdar tunggal, yaitu kata “bina’”, Yang menjadikan
bumi terhampar, dan langit bina’/bangunan.
Ketika menjelaskan tentang pembangunan bumi menggunakan
masdar jamak “bunyan”. Apakah orang-orang yang mendirikan
bunyanahu/bangunannya/mesjidnya di atas dasar takwa kepada Allah
dan keridaan (Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang
mendirikan bunyanahu/bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu
bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka
Jahannam? (QS at-Tawbah [9]: 109)
Bunyan adalah bangunan yang terdiri dari susunan batu dan semen

30
AN-NABA’ 78 JUZ 30

di ataranya. Bina` adalah bangunan utuh, kokoh tanpa susunan batu dan
tanpa ada perekat. Pada langit tidak ditemukan celah dan retak, karena
bina’ adalah sesuatu yang saling menguatkan dan mengokohkan.
Bangunan langit yang utuh digambarkan Allah dalam firman-Nya:
 ِ‫ﺴ‬‫ ﺣ‬‫ﻮ‬‫ﻫ‬‫ﺌﹰﺌﺎ ﻭ‬‫ﺧﺎﺳ‬‫ ﺧ‬‫ﺮ‬‫ﺼ‬‫ ﺍﻟﹾﺒ‬‫ﻚ‬‫ ﺇﹺﻟﹶﻴ‬‫ﺐ‬‫ﻘﹶﻠ‬‫ﻨ‬‫ﻴ ﹺﻦ ﻳ‬ ‫ﺗ‬‫ ﻛﹶﺮ‬‫ﺮ‬‫ﺼ‬‫ﺟﹺﻊﹺ ﺍﻟﹾﺒ‬‫ ﺍﺭ‬‫ ﺛﹸﻢ‬kemudian pandanglah
‫ﲑ‬
sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan
tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam
keadaan payah. (QS al-Mulk [67]: 4)
Kamu melihat langit ketika cerah dalam satu warna dan dalam satu
bentuk. Lihatlah ke bulan dan perhatikan dengan seksama maka kamu
pasti dapat melihat apa yang disebut dengan kalaf/merah kehitam-
hitaman. Kemudian lihat juga kepada matahari, kamu akan temukan di
dalamnya buq’u/warna belang-belang. Arti bangunan langit adalah
bangunan yang tidak terdiri dari potongan yang tergabung ke dalam
potongan, yang di antaranya terdapat sesuatu yang memisahkan antara
keduanya. Jadi, pada langit tidak terdapat celah atau retakan.
Allah Swt menghibur Rasul dalam peristiwa Israk dan Mikraj, lalu
Rasul berkata: “Saya berangkat menuju langit dan Jibril membukanya.”
Kemudian dikatakan kepadanya: “Siapa yang bersamamu.”
Dia menjawab: “Muhammad.”
Mereka membukanya untuk beliau sehingga beliau dapat naik
menuju langit yang ke dua.”
“Wahai Imam Muhammad Abduh, jangan anda dan madrasah anda
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan langit adalah apa yang ada di
atas kita dan menaungi kita seperti matahari, bulan, planet-planet dan
bintang-bintang untuk mendekatkan masalah ini kepada akal. Dengan
alasan bahwa agama tidak bertentangan dengan ilmu.”
Benar, agama itu tidak bertentang dengan ilmu, tapi ilmu yang
mana? Yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu sampai kepada
hakikat (kemapanan). Karena antara kalam Allah dan alamnya tidak
mungkin terdapat kerancuan. Allah yang telah menciptakan alam dan
Allah yang berbicara di dalam Alquran. Tidak akan ada pertentangan
selamanya di antara keduanya.
Dari mana munculnya pertentangan? Kamu menganggap hakikat
yang ada di dalam Alquran sesuai dengan pemahamanmu, padahal
hakikatnya tidak demikian. Akan tetapi jika kamu memahami Alquran
seperti hakikat yang ada di dalamnya, maka tidak akan pernah terjadi
pertentangan.

31
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Manusia selalu tergesa-gesa ketika mereka melihat penemuan sain


baru, yang dengan berbagai teori mereka berusaha menjelaskan
kegaiban Allah Swt. Mereka benar-benar orang yang ikhlas dalam
masalah ini. Karena yang terpenting bagi mereka adalah mengangkat
akal manusia kepada standarnya. Jika pengetahuanmu tentang hal ini
didukung oleh ketinggian akal dan ilmu bahwa langit seperti ini dan
seperti ini, maka manfaat hal tersebut tidak kembali kepada Allah, akan
tetapi kepadamu.
Kemudian apa yang ditinggalkan oleh akal abad dua puluh bagi akal
abad tiga puluh dan empat puluh. Jika setiap hari kita melangkah
dengan ilmu sehingga dapat mengantarkan kita kepada kebenaran, maka
apabila akal pada abad dua puluh ingin memahami hakikat hal-hal gaib
saat ini, apa yang dapat ditinggalkannya bagi akal abad tiga puluh
sebagai pedoman untuk melakukan hal yang sama. Bukankah rahasia-
rahasia Allah datang seperti sebuah kereta api. Setiap hari Allah
memberikan sebagian rahasianya kepada hambanya? Allah Swt
berfirman: ‫ﻢ‬ ‫ﻔﹸﺴِ ﹺﻬ‬‫ﻓﻲ ﺃﹶﻧ‬‫ﻓ‬‫ﻓﻲ ﺍﻵﻓﹶﻓﺎﻕﹺ ﻭ‬‫ﻨﺎ ﻓ‬‫ﻨ‬‫ﻳﺎﺗ‬‫ ﺀَﺀﺍﻳ‬‫ﺮﹺﺮﻳﻬﹺﻢ‬‫ﺳﻨ‬
 Kami akan memperlihatkan
kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan
pada diri mereka sendiri”. (QS Fushshilat [41]: 53)
Kita senantiasa membacanya dengan ‫ﻢ‬ ‫ﺮﹺﺮﻳ ﹺﻬ‬‫ﻨ‬‫ ﺳ‬Kami akan memperlihat-
kan, bukannya ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻨﺎ‬‫ﻨ‬‫ﻳ‬‫ ﺃﹶﺭ‬Kami telah perlihatkan. Kita senantiasa membaca-
nya demikian hingga hari kiamat. Artinya bahwa setiap hari harus ada
pengetahuan baru jika kita ingin memahami langit. Atas dasar inilah
pemikiran pada masa kini dibangun sehingga kita dapat mempercepat
proses untuk mengetahui sebuah permasalahan agar akal kita
terpuaskan, bahwa Alquran sejalan dengan hakekat ilmu pengetahuan.
Namun hakikat teori ilmiah menyalahkan pemahaman kita tentang alam
yang kita asaskan kepada Alquran.
Untuk menghindari kesalahan ini hendaklah dipahami langit seperti
yang dikatakan oleh Allah ‫ﺒﺎﻗﹰﻗﺎ‬‫ﺒ‬‫ ﻃ‬‫ﻮﺍﺕ‬‫ﻮ‬‫ﻤ‬‫ ﺳ‬‫ﻊ‬‫ﺒ‬‫ ﺳ‬tujuh langit yang bertingkat-
tingkat. (QS al-Mulk [67]: 3) Sedangkan seluruh planet berada pada
langit dunia. ‫ﺐ‬
‫ ﹺ‬‫ﻮﺍﻛ‬‫ ﺍﻟﹾﻜﹶﻮ‬‫ﻨﺔ‬‫ﻴﺎ ﺑﹺﺰﹺﺰﻳ‬‫ﻴ‬‫ﻧ‬‫ﻤﺎﺀَ ﺍﻟﺪ‬‫ﻤ‬‫ﻨﺎ ﺍﻟﺴ‬‫ﻨ‬‫ﻳ‬‫ﻧﺎ ﺯ‬‫ ﺇﹺﻧ‬sesungguhnya Kami telah
menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang.
(QS ash-Shaffât [37]: 6) Semuanya berada di bawah langit, dan tidak
ada hubungannya dengan langit. Adapun tentang kemampuan manusia
untuk dapat sampai ke langit, manusia masih belum mampu karena

32
AN-NABA’ 78 JUZ 30

sampai saat ini manusia hanya dapat sampai pada apa yang ada antara
bumi dengan langit.
Setelah itu Allah berfirman: ‫ﺟﺎ‬ ‫ﻫﺎﺟ‬‫ﻭﻫ‬ ‫ﺟﺎ‬‫ﺮﺍﺟ‬‫ﺮ‬‫ﻨﺎ ﺳ‬‫ﻠﹾﻨ‬‫ﻌ‬‫ﺟ‬‫ﺩﺍ)(ﻭ‬‫ﺪﺍﺩ‬‫ﺪ‬‫ﻌﺎ ﺷ‬‫ﻌ‬‫ﺒ‬‫ ﺳ‬‫ﻮ ﹶﻗ ﹸﻜﻢ‬ ‫ﻨﺎ ﹶﻓ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﻨ‬‫ﺑ‬‫ﻭ‬
Kami bangun di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh, dan Kami
jadikan pelita yang amat terang (matahari). (78: 12-13) Maksud Allah
Swt dalam kalimat ‫ﺟﺎ‬ ‫ﻫﺎﺟ‬‫ﻭﻫ‬ ‫ﺟﺎ‬‫ﺮﺍﺟ‬‫ﺮ‬‫ ﺳ‬yang pertama adalah syaiun wahhaj yaitu
sesuatu yang menyala atau bersinar. Pertama, menyala dan nyala ini
menimbulkan panas. Kedua, bersinar atau memberikan cahaya dan
kilatan. Jika dikatakan adz-dzahab mutawahhij artinya adalah emas
yang mengeluarkan warna yang berkilau. Api juga memiliki nyala.
Benar bahwa matahari adalah sirâj dan kita tahu bahwa sirâj
mengandung panas dan cahaya. Berbeda dengan bulan yang hanya
mengandung cahaya. ‫ﺟﺎ‬ ‫ﺮﺍﺟ‬‫ﺮ‬‫ ﺳ‬‫ﻤﺲ‬ ‫ﻞﹶ ﺍﻟﺸ‬‫ﻌ‬‫ﺟ‬‫ﺭﺍ ﻭ‬‫ﻧﻮﺭ‬‫ ﻧ‬‫ﻓﻴﻬﹺﻦ‬‫ ﻓ‬‫ﺮ‬‫ ﹶﻞ ﺍﻟﹾﻘﹶﻤ‬‫ﻌ‬‫ﻭﺟ‬ Allah
menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari
sebagai pelita? (QS Nûh [71]: 16)
Jelas bahwa bulan hanya memiliki cahaya. Oleh sebab itu mereka
menyebutnya dengan nurul halîm/cahaya lembut, yaitu cahaya yang
tidak mengandung panas. Berbeda dengan matahari yang sinarnya
memiliki panas.
Allah berfirman: ‫ﺟﺎ‬ ‫ﻫﺎﺟ‬‫ﻭﻫ‬ ‫ﺟﺎ‬‫ﺮﺍﺟ‬‫ﺮ‬‫ﻨﺎ ﺳ‬‫ﻠﹾﻨ‬‫ﻌ‬‫ﺟ‬‫ ﻭ‬Kami jadikan pelita yang amat
terang (matahari). (78: 13) Jika kita mengetahui perbandingan antara
kata ‫ ﻭﻫﺎﺝ‬yang berarti menyala dan kalimat: ‫ﺟﺎ‬ ‫ﺠﺎﺟ‬ ‫ﻣﺎﺀً ﺛﹶﺠ‬‫ ﻣ‬‫ﺮﺍﺕ‬‫ﺮ‬‫ﺼ‬‫ﻌ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ﻨﺎ ﻣ‬‫ﻟﹾﻨ‬‫ﺰ‬‫ﺃﹶﻧ‬‫ﻭ‬
Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah. (78: 14)
Ini pernyataan Pencipta yang mengatur segala sesuatu berdasarkan
sebab musababnya. Seperti yang kita ketahui, hujan adalah air tawar
yang turun dari langit. Secara alami hal ini hasil dari apa? Seperti yang
diketahui bahwa cadangan air terbesar ada di laut yang asin airnya.
Turunnya hujan disebabkan oleh proses distilasi. Distilasi ini terjadi
disebabkan oleh proses penguapan, maksudnya uap air naik ke udara
kemudian mengkristal setelah sampai pada daerah dingin, ia lalu
menjadi banyak hingga turunlah hujan yang tawar dan dapat diminum.
Ada hubungan antara matahari yang menyala dengan air tawar yang
turun pada QS 78: 14.
Para ilmuwan meneliti tentang mu‘shir/awan, pertama sekali
dibahas secara bahasa. Apa arti mu‘shir? Mu’shir artinya orang yang
memeras. Secara bahasa a‘shara berarti telah tiba waktu untuk

33
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

menghasilkan sesuatu yang mengalir. Sesuatu yang mengalir


maksudnya telah tiba waktu penghasilannya di mana ia telah terkumpul
dan mulai dapat menghasilkan.
Mu‘shir juga berarti seorang anak gadis montok yang telah sampai
usia dewasa yang dapat melahirkan keturunan. Jadi, ‫ﻣﻣﺎ ًﺀ‬ ‫ﺕ‬
 ‫ﺮﺍ‬‫ﺮ‬‫ﺼ‬‫ﻌ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ﻨﺎ ﻣ‬‫ﻟﹾﻨ‬‫ﺰ‬‫ﺃﹶﻧ‬‫ﻭ‬
‫ﺟﺎ‬‫ﺠﺎﺟ‬
‫ ﺛﹶﺠ‬Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah atau dari apa?
Sebagian mereka mengatakan dari angin, dan sebagian yang lain berkata
dari awan, sedangkan yang lainnya mengatakan dari puncak gunung.
Yang penting ia berasal dari sesuatu yang diperas ketika telah tiba
waktu penghasilannya. Adalah benar bahwa angin membawa awan, tapi
tidak semua angin membawa awan yang mengandung hujan yang harus
turun pada daerah yang dingin setelah ia menjadi banyak. Demikian
halnya dengan gunung, tidak setiap gunung memiliki puncak yang dapat
menurunkan air. Biasanya gunung berada pada ketinggian tertentu.
Bukankah Kami menjadikan bumi (tempat) berkumpul, orang-orang
hidup dan orang-orang mati?, dan Kami jadikan padanya gunung-
gunung yang tinggi, dan Kami beri minum kamu dengan air yang
tawar? (QS al-Mursalât [77]: 25-27) Pemberian minum dengan air
tawar berhubungan dengan gunung-gunung yang tinggi.
Berkenaan dengan hal ini datang, salah seorang peneliti yang tidak
dapat aku sebutkan namanya dengan benar, terdiri dari huruf hat, syin,
sin, salah satu penyusun ensiklopedi yang menggambarkan garis lintang
es abadi. Garis lintang es abadi adalah daerah yang esnya abadi. Dapat
kita lihat pada gambar bahwa garis lintang ini dimulai dari garis
khatulistiwa sebelah atas kemudian melalui arah bawah garis lintang
tropis utara lalu berakhir pada permukaan laut.
Telah diketahui bahwa puncak tertinggi di daerah khatulistiwa mulai
dari 16 sampai 17 ribu kaki. Suhu 23 derajat hanya pada ketinggian 13
ribu kaki saja. Tampak bahwa ketinggian garis es menurun pada garis
lintang tropis utara kemudian melalui garis yang lebarnya 70 garis es
yang ada pada permukaan laut. Jadi, setiap kali garis es menjauh dari
daerah tropis, maka garis es akan menurun. Kita tahu bahwa seluruh
puncak gunung tinggi tertutup es, dan es tidak akan ada kecuali di
bawah suhu nol derajat celcius.
Selama suhu udara nol derajat celcius, maka es tersebut akan
senantiasa ada, lalu ketika suhu mencapai seperempat derajat celcius, es
akan mencair dan apabila mencair, maka ia akan mengalir turun. Berat
es dari atas memberikan tekanan hingga menyebabkan air terus turun.

34
AN-NABA’ 78 JUZ 30

Akan tetapi angin seperti yang mereka katakan; berhembus melewati


daerah garis es dan menyimpan air yang ada padanya di puncak gunung
kemudian ia berhembus ke arah yang berlawanan tanpa air. Apakah ini
berarti bahwa arah-arah yang tidak memiliki garis es senantiasa tanpa
es? Sebenarnya tidak demikian karena adanya tiupan angin. Oleh sebab
itu ayat surat an-Nûr menjelaskan proses ini kepada kita:
‫ﻪ‬ ‫ﻟ‬‫ﻼ‬
‫ﺧ ﹶ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺝ‬
 ‫ﺮ‬ ‫ﺨ‬‫ ﻳ‬‫ﻕ‬‫ﺩ‬‫ﺮﻯ ﺍﻟﹾﻮ‬‫ﺮ‬‫ﻣﺎ ﻓﹶﺘ‬‫ﻛﹶﻛﺎﻣ‬‫ ﺭ‬‫ﻠﹸﻪ‬‫ﻌ‬‫ﺠ‬‫ﻢ ﻳ‬ ‫ﻪ ﹸﺛ‬ ‫ﻨ‬‫ﻴ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻒ‬
 ‫ﺆﻟﱢ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺑﺑﺎ ﹸﺛ‬‫ﺤﺎ‬
‫ﺤ‬‫ﺟﹺﺟﻲ ﺳ‬‫ﺰ‬‫ ﻳ‬‫ﺮ ﹶﺃ ﱠﻥ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ ‫ ﺗ‬‫ﺃﹶﻟﹶﻢ‬
tidakkah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian
mengumpulkan antara (bagian-bagian) nya, kemudian menjadikannya
bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-
celahnya. (QS an-Nûr [24]: 43)
Berdasarkan ayat ini sekilas dipahami bahwa setiap awan datang
menurunkan hujan. Padahal tidak demikian karena untuk turunnya
hujan, awan harus terdiri dari jantan dan betina, kemudian harus
mengandung arus listrik positif dan negatif lalu keduanya bersatu
hingga terjadilah proses ini.
Sejak dahulu Allah berkata: ‫ﺢ‬ ‫ﻮﺍﻗ‬‫ ﻟﹶﻮ‬‫ﻳﺎﺡ‬‫ﻳ‬‫ﻨﺎ ﺍﻟﺮ‬‫ﻠﹾﻨ‬‫ﺳ‬‫ﺃﹶﺭ‬‫ ﻭ‬Kami telah meniupkan
angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan). (QS al-Hijr [15]: 22)
Diketahui bahwa angin yang mengawinkan tumbuhan. Kemudian juga
telah diketahui kalimat setelahnya: ‫ﻣﻣﺎ ًﺀ‬ ‫ﻤﻤﺎ ِﺀ‬ ‫ﺴ‬ ‫ﻦ ﺍﻟ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻨﻨﺎ‬‫ﻟﹾ‬‫ﺰ‬‫ ﻓﹶﺄﹶﻧ‬‫ﺢ‬‫ﻮﺍﻗ‬‫ ﻟﹶﻮ‬‫ﻳﺎﺡ‬‫ﺮﻳ‬ ‫ﻨﺎ ﺍﻟ‬‫ﻠﹾﻨ‬‫ﺳ‬‫ﺃﹶﺭ‬‫ﻭ‬
‫ﻩ‬ ‫ﻤﻤﻮ‬ ‫ﻨﻨﺎ ﹸﻛ‬‫ﻴ‬ ‫ﺳ ﹶﻘ‬ ‫ﻓﹶﹶﺄ‬
Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-
tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum
kamu dengan air itu. (QS al-Hijr [15]: 22)
Jadi jelas bahwa ia bukanlah perkawinan seperti yang kamu pahami,
karena ia juga mengawinkan antara arus positif dan negatif hingga hujan
dapat turun, ini adalah ungkapan yang memberikan pengetahuan kepada
kita, Allah memberikan anugerah kepada orang yang aktif dan brilian
untuk memberikan maklumat ini kepada kita.
Perhatikan firman Allah Swt: ‫ﺟﺎ‬ ‫ﺠﺎﺟ‬
‫ﻣﺎﺀً ﺛﹶﺠ‬‫ ﻣ‬‫ﺮﺍﺕ‬‫ﺮ‬‫ﺼ‬‫ﻌ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ﻨﺎ ﻣ‬‫ﻟﹾﻨ‬‫ﺰ‬‫ﺃﹶﻧ‬‫ ﻭ‬Kami
turunkan dari awan air yang banyak tercurah. Yaitu yang memancar.
‫ ﺃﹶﻟﹾﻔﹶﻔﺎﻓﹰﻓﺎ‬‫ﻨﺎﺕ‬‫ﻨ‬‫ﺟ‬‫ﺗﺎ)(ﻭ‬‫ﺒﺎﺗ‬‫ﺒ‬‫ﻧ‬‫ﺒﺎ ﻭ‬‫ﺒ‬‫ ﺣ‬‫ ﺑﹺﻪ‬‫ﺮﹺﺝ‬‫ﺨ‬‫ﻨ‬‫ ﻟ‬supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-
bijian dan tumbuh-tumbuhan, dan kebun-kebun yang lebat. (78: 15-16)
Perhatikan dengan seksama kalimat biji, tumbuhan dan kebun-kebun!
Kalimat ini adalah ketelitian ungkapan yang tidak mungkin diucapkan
kecuali oleh Pencipta. Pertama, tumbuhan dan kebun-kebun yang lebat
harus memiliki bakteri-bakteri benih agar dapat tumbuh. Biji (bibit) ini

35
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

menjadi asal tumbuhan. Tumbuhan yang dikira tidak memiliki biji


(bibit), sebenarnya berasal dari biji (bibit). Jika tidak demikian, maka
keadaannya seperti Adam ketika datang. Pertama sekali Allah
mendatangkan tumbuhan dengan benih, lalu Dia berkata kepadanya:
“Tumbuhlah dan tunggulah ketika ia tumbuh.”
Untuk pertumbuhan tersebut Allah telah mempersiapkan segala
sesuatu berupa makanan yang diperlukan. Jadi, setiap segala sesuatu
memiliki benih. Memang benar jika saat ini kita dapat bercocok tanam
tanpa benih, seperti menanam dengan mengambil tunasnya bukan biji
atau benih. Tetapi, tetap saja pada awalnya ia memiliki benih.
Untuk itu Allah berkata: “Apakah kalian ingin mengetahui bukti
Allah tentang awal penciptaan?” Berjalanlah di bumi dan lihatlah bumi
yang makmur disebabkan oleh perbuatan kalian. Akan tetapi berjalanlah
dan pergilah ke daerah-daerah yang belum dijamah oleh manusia, maka
akan ditemukan berbagai jenis pohon dan buah-buahan. Apa yang kamu
temukan ini bukanlah akibat perbuatanmu. Apa yang dilakukan manusia
di kebun juga hanya proses penanaman pertama sekali. Kemudian yang
menumbuhkan adalah Allah. Dalam proses tumbuh itu dimulai dari biji-
bijian dan tumbuh-tumbuhan,dan kebun-kebun yang lebat. Artinya,
kesuburan tanah merupakan faktor penting hingga tumbuhan dapat
tumbuh dengan dahan-dahan yang saling menindih. ***

Kehebatan Hari Berbangkit


(QS an-Naba’ [78]: 17-20)
onmlkjihgfedcb
| {zyxwvutsrqp
¬«ª©¨§¦¥¤£¢¡~}
Sesungguhnya hari keputusan adalah suatu waktu yang
ditetapkan,Yaitu hari (yang pada waktu itu) ditiup sangkakala
lalu kamu datang berkelompok-kelompok, dan dibukalah langit,
maka terdapatlah beberapa pintu, dan dijalankanlah gunung-
gunung maka menjadi fatamorganalah ia.
Dapat dilihat bahwa Allah Swt telah memaparkan dalam surat
‘Amma yang dimulai dengan istifham inkar dan ta’ajjub tentang apa
yang mereka pertanyakan atau apa yang dipertanyakan oleh orang-orang
musrik dan kafir. Kemudian Dia mengagungkannya lalu menyertainya

36
AN-NABA’ 78 JUZ 30

dengan mim dan berkata: “Amma” kemudian menjelaskannya dengan


kalimat: ‫ﻠ ﹸﻔﻔﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﺘ‬‫ﺨ‬
 ‫ﻪ ﻣ‬ ‫ﻓﻓﻴ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺬﺬﻱ‬ ‫ﻈﻈﻴ ﹺﻢ)(ﺍﱠﻟ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﹺﺈ ﺍﹾﻟ‬‫ﺒ‬‫ﻋﻦﹺ ﺍﻟﻨ‬ tentang berita yang besar, yang
mereka perselisihkan tentang ini. (78:1-2) Namun sebelum berbicara
tentang berita ini Allah menjelaskan tentang hal-hal yang mengharuskan
orang yang mendengarnya untuk mengimani berita tersebut dengan
keimanan berdasarkan peristiwa-peristiwa yang dapat mereka lihat
dalam alam yang mengelilingi mereka, karena ia adalah peristiwa-
peristiwa yang penguasanya memiliki kemampuan, ilmu hikmah dan
tujuan. Maka Dia berkata: “Apa yang membuat kalian bertanya-tanya
dengan pertanyaan yang mengandung pengingkaran atau keraguan
terhadap berita besar:
“Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?
dan gunung-gunung sebagai pasak?, dan Kami jadikan kamu berpasang
-pasangan, dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, dan Kami jadikan
malam sebagai pakaian, dan Kami jadikan siang untuk mencari
penghidupan, dan Kami bangun di atas kamu tujuh buah (langit) yang
kokoh, dan Kami jadikan pelita yang amat terang (matahari), dan Kami
turunkan dari awan air yang banyak tercurah, supaya Kami tumbuhkan
dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, dan kebun-kebun yang
lebat? (78: 6-16)
Ketika Allah berkata: ‫ﺩﺍ‬‫ـﺎﺩ‬ ‫ـ‬‫ﻬ‬‫ ﻣ‬‫ﺽ‬‫ـﻞﹺ ﺍﻷَﺭ‬‫ﻌ‬‫ﺠ‬‫ ﻧ‬‫ ﺃﹶﻟﹶـﻢ‬bukankah Kami telah
menjadikan bumi itu sebagai hamparan? (78: 6) Maka nikmat apa yang
diikutsertakannya yang menunjukkan atas kemampuan penciptaan dan
kebijaksanaan dalam pengaturannya. Artinya, jika kami tidak
melakukan hal ini, mungkin saja mereka bertanya-tanya dan merasa
heran akan adanya hari keputusan sedangkan kita telah melakukan
penciptaan dan tidak ada orang lain yang mengaku bahwa ia yang telah
melakukannya. Maka wajib bagi akal manusia ketika menerima nikmat
besar ini untuk percaya bahwa yang menciptakan makhluk tersebut
mampu untuk mengumpulkan mereka, menghidupkan kembali jasad
mereka dan menghitung amal perbuatan yang telah mereka lakukan.
Jika tidak demikian, maka penciptaan tersebut akan sia-sia dan akan
sama nilai perbuatan baik dan buruk.
Bahkan dapat kita katakan bahwa orang yang beramal buruk lebih
beruntung dari yang beramal baik. Kenapa? Karena ia telah melepaskan
tali kekang yang telah mengikatnya dan ia mendapatkan kebebasan
dalam kehidupannya. Sedangkan orang yang beramal saleh mengikat
kebebasannya, mengikat perbuatannya dan melelahkan dirinya. Apabila

37
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

perbuatan baik dan buruk sama nilainya, maka tidak akan ada hari
kebangkitan, perhitungan pahala dan hukuman karena orang yang jahat
telah mengambil bagiannya dari kebaikan.
Oleh sebab itu setelah menyebutkan argumen ini kita katakan bahwa
dalam menyebutkan dalil atas sebuah hukum, jika hukum tersebut
adalah masalah gaib yang tidak termasuk dalam pembicaraan konkret,
maka Allah memberikan dalil atasnya berupa sesuatu yang konkret
seperti alam yang ada di sekeliling kita ini. Jadi ketika Dia berfirman: ‫ﹺﺇ ﱠﻥ‬
‫ﺗﺎ‬‫ﻣﻴﻘﹶﻘﺎﺗ‬‫ﻞﹺ ﻛﹶﻛﺎﻥﹶ ﻣ‬‫ ﺍﻟﹾﻔﹶﺼ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ ﻳ‬sesungguhnya Hari Keputusan adalah suatu waktu
yang ditetapkan. (78:17) Allah telah mengemukakan argumen atas
kebenarannya dalam masalah ini. Dia tidak mengatakan bahwa hari
keputusan telah terjadi seperti yang diminta karena mereka ragu-ragu
dalam hal ini. Akan tetapi Allah berkata: ‫ﺗﺎ‬‫ﻣﻴﻘﹶﻘﺎﺗ‬‫ ﻣ‬waktu yang telah
ditetapkan, sehingga jelas bahwa Allah tidak terpengaruh oleh
kemaksiatan makhluk, tidak terpengaruh oleh kekufuran mereka.
Konsekuensi dari penciptaan makhluk yang kemudian kufur adalah
membuat perhitungan. Jadi Allah tidak terpengaruh, bahkan setiap
sesuatu di sisi-Nya memiliki waktu yang telah ditetapkan. Dengan
demikian makhluk tidak dapat membuat Allah marah dengan kekufuran,
tidak juga dengan kemaksiatan hingga Dia mempercepat posisi mereka
dalam hisab, karena terpengaruh adalah sifat untuk sesuatu yang baharu.
Ayat 78:17 dapat dipahami dengan, hari tersebut memiliki waktu,
maka Allah tidak terpengaruh untuk mempercepat hari perhitungan
tersebut bagi kaum kafir karena mereka telah mencemoohkan kaum
muslimin dengan berkata: ‫ﲔ‬  ‫ﻗ‬‫ﺻﺎﺩ‬
‫ ﺻ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ ﺇﹺﻥﹾ ﻛﹸﻨ‬‫ﺪ‬‫ﻋ‬‫ﺬﹶﺬﺍ ﺍﻟﹾﻮ‬‫ﺘﻰ ﻫ‬‫ﺘ‬‫ ﻣ‬bilakah (terjadinya)
janji ini (hari berbangkit) jika kamu adalah orang-orang yang benar?
(QS Saba' [34]: 29). Di sini seakan-akan Allah berkata: “Aku tidak
terpengaruh oleh kalian dan tidak terpengaruh oleh tingkah laku kalian
untuk mempercepat hari perhitungan dari janji yang telah aku tetapkan.”
Janji itu telah ditetapkan sebagai hari perhitungan, baik kalian
mengimaninya atau tidak.
Kata al-fashl sendiri menunjukkan bahwa di dalamnya terdapat
berbagai masalah. Yang ini mengatakan benar, dan yang lain
mengatakan salah. Setelah itu ketika hari keputusan tiba, seluruh
masalah akan menjadi jelas. Kebenaran akan datang dari satu sisi dan
kebatilan datang dari sisi yang lain.

38
AN-NABA’ 78 JUZ 30

Allah Swt berfirman: ‫ﺟﺎ‬‫ﻮﻮﺍﺟ‬ ‫ﺗﺗﻮ ﹶﻥ ﹶﺃ ﹾﻓ‬‫ﺄﹾ‬‫ﺼﻮﺭﹺ ﻓﹶﺘ‬


‫ﻓﻲ ﺍﻟﺼ‬‫ ﻓ‬‫ﻔﹶﺦ‬‫ﻨ‬‫ ﻳ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ ﻳ‬yaitu hari (yang
pada waktu itu) ditiup sangkakala (seakan-akan hal ini adalah awal
dari hari keputusan), lalu kamu datang berkelompok-kelompok. (78: 18)
Senada dengan ayat yang lain: “(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu)
Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya.” Atau orang yang
melakukan perbuatan buruk berkumpul pada barisan mereka yang
sejenis. Seperti komunitas dari para penzina, pemakan riba, pelaku
kezaliman, kejahatan, dan lain-lain.
Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawih dari Mu’az bin Jabal (bahwa
ketika Mua’az membaca firman Allah Swt: “yaitu hari (yang pada
waktu itu) ditiup sangkakala lalu kamu datang berkelompok-kelompok”,
Dia bertanya kepada Rasulullah tentang hal ini, dan Rasulullah berkata:
“Wahai Mu’az, engkau menanyakan tentang suatu perkara yang besar.
Kemudian beliau melepaskan pandangannya menatap langit dan
berkata: “Allah Azza wajalla membedakan kaum muslimin dengan
sepuluh bentuk. (1) di antara mereka ada yang berbentuk kera, (2)
sebagian yang lain berbentuk babi, (3) sebagian yang lain berbentuk
terbalik (kaki mereka berada di atas dan kepala ke bawah), (4) di antara
mereka ada yang buta dan bermuka masam.
(5) Di antara mereka ada yang tuli dan bisu sehingga tidak dapat
berpikir. (6) Di antara mereka ada yang menggigit lidah mereka yang
terjulur hingga ke dada mereka, lalu mengeluarkan nanah dari mulut
mereka seperti ludah. (7) Di antara mereka terdapat kaum yang
memotong tangan dan kaki mereka, (8) di antara mereka terdapat kaum
yang disalib di atas pohon yang berapi, (9) di antara mereka terdapat
kaum yang lebih busuk dari pada bangkai yang menjijikkan setiap
orang, (10) di antara mereka terdapat kaum yang mengenakan jilbab
yang terbuat dari ter yang melekat pada tubuh mereka.
(1) orang yang berwujud kera, mereka adalah orang-orang yang
suka mengadu domba orang lain hingga menimbulkan kerusakan pada
manusia, (2) sedangkan orang yang berwujud babi, mereka adalah orang
yang mengambil rezeki yang haram. (3) Orang yang terbalik (kaki di
atas dan kepala di bawah) adalah orang yang memakan riba; (4) orang
yang buta adalah orang yang berbuat zalim dalam hukum. (5) Orang
yang bisu dan tuli adalah orang yang tidak berpikir dan merasa hebat
akan amal perbuatannya. (6) Orang yang menggigit lidah yang terjulur
di dadanya hingga mengeluarkan nanah seperti ludah adalah ulama keji
yang menimbulkan fitnah, mereka mengatakan apa yang tidak mereka
lakukan.
39
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

(7) Adapun orang yang memotong tangan dan kaki mereka adalah
orang yang menyakiti tetangganya. (8) Orang yang disalib di atas batang
berapi adalah mereka yang mengeksploitasi masyarakat untuk meraih
jabatan sultan, (9) adapun mereka yang berbau sangat busuk hingga
menjijikkan setiap orang adalah mereka yang mengikuti syahwat dan
kelezatannya. (10) Adapun mereka yang mengenakan jilbab yang
terbuat dari ter yang melekat di badan mereka adalah orang yang
sombong dan angkuh.
Dengan ini Rasulullah telah menafsirkan kata afwaja/berkelompok-
kelompok, meskipun para peneliti takhrij hadis mengatakan bahwa alur
pembicaraan menunjukkan bahwa pembicaraan ini ditujukan kepada
orang yang mengingkari hari kebangkitan. Orang yang mengingkari hari
kebangkitan atau yang meragukannya adalah kafir. Sedangkan hadis ini
memaparkan tentang kelompok kaum muslimin. Dengan demikian, Ibnu
Hajar al-Asqalani menyimpulkan bahwa hadis ini ditempatkan tidak
pada tempatnya, maka hadis ini berstatus palsu atau maudu’.
Ayat: ‫ﺑﺎ‬‫ﻮﺍﺑ‬‫ﻮ‬‫ ﺃﹶﺑ‬‫ﺖ‬‫ﻜﺎﻧ‬
‫ﻤﺎﺀُ ﻓﹶﻜﹶ‬‫ﻤ‬‫ ﺍﻟﺴ‬‫ﺖ‬‫ﺤ‬‫ﻓﹸﺘ‬‫ﺟﺎ)(ﻭ‬‫ﻮﻮﺍﺟ‬ ‫ﺗﺗﻮ ﹶﻥ ﹶﺃ ﹾﻓ‬‫ﺄﹾ‬‫ﺼﻮﺭﹺ ﻓﹶﺘ‬
‫ﻓﻲ ﺍﻟﺼ‬‫ ﻓ‬‫ﻔﹶﺦ‬‫ﻨ‬‫ ﻳ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ ﻳ‬yaitu hari
(yang pada waktu itu) ditiup sangkakala lalu kamu datang berkelompok
-kelompok, dan dibukalah langit, maka terdapatlah beberapa pintu. (78:
18-19) artinya adalah bahwa saat ini pada langit tidak terdapat celah
antara satu dengan yang lainnya. Selama tidak ada celah di antaranya,
lalu apa yang ada? Ia dalam keadaan bersambung. Allah berfirman:
 ‫ﺒ‬‫ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻤﺎﺀِ ﺫﹶﺫﺍﺕ‬‫ﻤ‬‫ﻭﺍﻟﺴ‬‫ ﻭ‬demi langit yang mempunyai jalan-jalan
‫ﻚ‬
(mahbuk).” (QS adz-Dzâriyât [51]: 7) Kata mahbuk artinya adalah
padanya tidak terdapat pemisah.
Ayat 19 ini diartikan juga bahwa langit akan terkena goncangan
yang hebat seperti yang terjadi di bumi. Kesimpulan dari apa yang
terjadi pada saat itu adalah apa yang dikatakan Allah ‫ﺮ‬ ‫ ﻏﹶﻴ‬‫ﺽ‬‫ﻝﹸ ﺍﻷَﺭ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﺗ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ﻳ‬
 ‫ﻮﺍ‬‫ﻮ‬‫ﻤ‬‫ﻭﺍﻟﺴ‬‫ﺽﹺ ﻭ‬‫( ﺍﻷَﺭ‬yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang
‫ﺕ‬
lain dan (demikian pula) langit. (QS Ibrâhîm [14]: 48) Karena langit
dan bumi yang ada adalah tempat yang dihuni, akan tetapi di sana
terdapat bumi dan langit yang dijanjikan. Adapun perbedaan antara
bumi yang dihuni dan bumi yang dijanjikan adalah bahwa bumi yang
dihuni mengandung sebab sedangkan di akhirat kita tidak terkena sebab,
illat atau mukaddimah, akan tetapi hanya dengan terlintas di benak,
kamu hidup dalam kemampuan sebab, dengan kata “kun”. Jadi pada saat
itu kita tidak memerlukan unsur-unsur, tidak juga hujan yang turun dari

40
AN-NABA’ 78 JUZ 30

langit, matahari yang mengeluarkan panas untuk menguapkan air dan


tidak juga titik suhu tertentu yang dingin.
QS Ibrâhîm [14]: 48 di atas berarti tetap harus terjadi pembalikan
pada langit seperti terbelah, terguncang dan segala sesuatu yang
mungkin membinasa-kannya sehingga kemudian datang langit dan bumi
yang baru.
Dari firman Allah QS 78: 18-20 dapat dipahami bahwa peristiwa
pertama yang disaksikan oleh manusia di alam nyata adalah bahwa
gunung ini menguatkan sesuatu yang dilihat manusia. Ia melihatnya
tertancap seperti kalimat yang sering diungkapkannya: tertancap seperti
gunung. Ia dapat berkata demikian karena ia telah melihat gunung
tertancap seperti yang kamu lihat.
Allah berfirman: ‫ﺑﺎ‬‫ﺮﺍﺑ‬‫ﺮ‬‫ ﺳ‬‫ﺖ‬‫ﻜﺎﻧ‬ ‫ﺒﺎﻝﹸ ﻓﹶﻜﹶ‬‫ ﺍﻟﹾﺠﹺﺒ‬‫ﺕ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬dijalankanlah gunung-
gunung maka menjadi fatamorganalah ia. (78: 20) Masalah gunung ini
mengambil bagian yang besar dalam Alquran, ketika kamu temukan 29
ayat yang berhubungan dengan gunung, maka 11 di antaranya
berhubungan dengan keadaan gunung pada hari kiamat. Akan tetapi
masalah perjalanannya seperti yang disebut pada ayat di atas maksudnya
adalah: Ketika kita memperhatikan kata ‫ﺕ‬  ‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ ﺳ‬dinisbatkan kepada
gunung, hal ini juga ditemukan dalam firman Allah Swt dalam surat at-
Takwir “Apabila matahari digulung, dan apabila bintang-bintang
berjatuhan, dan apabila gunung-gunung dihancurkan”.
Kemudian pada surat al-Kahfi juga memaparkan tentang proses ini.
‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻧﺎ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬‫ﺸ‬‫ﺣ‬‫ﺓﹰ ﻭ‬‫ﺑﺎﺭﹺﺯ‬‫ ﺑ‬‫ﺽ‬‫ﺮﻯ ﺍﻷَﺭ‬‫ﺮ‬‫ﺗ‬‫ﺒﺎﻝﹶ ﻭ‬‫ ﺍﻟﹾﺠﹺﺒ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﺴ‬‫ ﻧ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ﻳ‬‫ ﻭ‬Ingatlah akan hari (yang ketika
itu) Kami perjalankan gunung-gunung dan kamu akan melihat bumi itu
datar dan Kami kumpulkan seluruh manusia. (QS al-Kahfi [18]: 47)
Juga pada ath-Thûr Allah berfirman: ‫ﺮﺍ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﺒﺎﻝﹸ ﺳ‬‫ ﺍﻟﹾﺠﹺﺒ‬‫ﺴِﲑ‬‫ﺗ‬‫ﺭﺍ)(ﻭ‬‫ﺭ‬‫ﻮ‬‫ﻤﺎﺀُ ﻣ‬‫ﻤ‬‫ ﺍﻟﺴ‬‫ﻤﻮﺭ‬‫ﻤ‬‫ ﺗ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ﻳ‬
pada hari ketika langit benar-benar berguncang, dan gunung benar-
benar berjalan. (QS ath-Thûr [52]: 9) Juga pada surat yang tengah
dibahas ini ‫ﺑﺎ‬‫ﺮﺍﺑ‬‫ﺮ‬‫ ﺳ‬‫ﺖ‬‫ﻜﺎﻧ‬ ‫ﺒﺎﻝﹸ ﻓﹶﻜﹶ‬‫ ﺍﻟﹾﺠﹺﺒ‬‫ﺕ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬dijalankanlah gunung-gunung maka
menjadi fatamorganalah ia. (78:20)
Kata ‫ﻝ‬ ‫ﺒﺒﺎ ﹸ‬‫ ﺍﻟﹾﺠﹺ‬‫ﺴِﲑ‬‫ َﺗ‬terdapat pada empat surat, hanya saja pada tiga surat
tidak membahas tentang apa yang terjadi setelah tasyir? Akan tetapi
pada surat amma disebutkan: “Maka dijalankanlah gunung-gunung
maka menjadi fatamorganalah ia.” Jadi seakan-akan hasil dari
penjalanan adalah menjadi fatamorgana. Sepertinya pada ayat tersebut

41
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

terdapat dua proses; bergerak dari tempatnya dengan berjalan, kemudian


menjadi fatamorgana.
Apakah penjalanan gunung identik dengan penghancurannya seperti
yang diisyaratkan oleh sebagian ayat seperti: ‫ﺖ‬
 ‫ﻛﹶﻛﺎﻧ‬‫ﺒﺎﻝﹸ ﻭ‬‫ﻭﺍﻟﹾﺠﹺﺒ‬‫ ﻭ‬‫ﺽ‬‫ ﺍﻷَﺭ‬‫ﻒ‬‫ﺟ‬‫ﺮ‬‫ ﺗ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ﻳ‬
‫ﻬﹺﻬﻴ ﹰ‬‫ﺒﺎ ﻣ‬‫ﺜﻴﺒ‬‫ﺒﺎﻝﹸ ﻛﹶﺜ‬‫ ﺍﻟﹾﺠﹺﺒ‬pada hari bumi dan gunung-gunung berguncangan, dan
‫ﻼ‬
menjadilah gunung-gunung itu tumpukan-tumpukan pasir yang
beterbangan. (QS al-Muzammil [73]: 14) ‫ﺒﺒﺎ‬‫ﺜﺜﻴ‬‫ ﹶﻛ‬artinya pasir. ‫ﻼ‬ ‫ﻬﹺﻬﻴ ﹰ‬‫ ﻣ‬artinya
beterbangan setelah sebelumnya saling menguatkan. Apakah ketika
pasir saling berpegang ia akan tetap berada pada tempatnya atau tidak?
Tampaknya ia bukan sebuah fatamorgana karena wujud materi
fatamorgana sebenarnya tidak ada.
Akan tetapi ‫ﻼ‬‫ﻬﹺﻬﻴ ﹰ‬‫ﺒﺎ ﻣ‬‫ﺜﻴﺒ‬‫ ﻛﹶﺜ‬menunjukkan atas kondisi yang bertebaran,
maka pasir tidak memberikan proses yang terakhir. Ini dalam surat
Muzammil. Kemudian dalam surat al-Mursalat: ‫ﺖ‬  ‫ﺴِﻔﹶ‬‫ﺒﺎﻝﹸ ﻧ‬‫ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺍﻟﹾﺠﹺﺒ‬‫ ﻭ‬apabila
gunung-gunung telah dihancurkan menjadi debu. (QS al-Mursalat [77]:
10) juga menjelaskan tentang kata nasafat. Dalam surat al-Wâqi’ah: ‫ﺇﹺ ﹶﺫﺫﺍ‬
‫ﺜﺎ‬‫ﺜ‬‫ﺒ‬‫ﻨ‬‫ﺒﺒﺎ ًﺀ ﻣ‬‫ ﻫ‬‫ﺖ‬‫ﺴﺎ)(ﻓﹶﻜﹶﻜﺎﻧ‬
‫ﺴ‬‫ﺒﺎﻝﹸ ﺑ‬‫ ﺍﻟﹾﺠﹺﺒ‬‫ﺖ‬‫ﺴ‬‫ﺑ‬‫ﺟﺎ)(ﻭ‬‫ﺭﺟ‬ ‫ﺽ‬‫ ﺍﻷَﺭ‬‫ﺖ‬‫ﺟ‬‫ ﺭ‬apabila bumi
diguncangkan sedahsyat-dahsyatnya, dan gunung-gunung dihancur
luluhkan sehancur-hancurnya, maka jadilah dia debu yang beter-
bangan. (QS al-Wâqi'ah [56]: 4-6) Kata ‫ﺜﺜﺎ‬‫ﺒ‬‫ﻨ‬ ‫ﻣ‬ artinya hancur lebur. Jadi di
dalamnya terdapat arti penghancuran dan penjalanan. Penjalanan datang
pada surat an-Naba’ yang menjelaskan kenyataannya bahwa setelah
penjalanan tersebut ‫ﺑﺎ‬‫ﺮﺍﺑ‬‫ﺮ‬‫ ﺳ‬‫ﺖ‬‫ﻜﺎﻧ‬ ‫ﺒﺎﻝﹸ ﻓﹶﻜﹶ‬‫ ﺍﻟﹾﺠﹺﺒ‬‫ﺕ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬dijalankanlah gunung-
gunung maka menjadi fatamorganalah ia. (78: 20)
Akan tetapi arti nasfu adalah hancur. Ini adalah proses
penghancuran, hal ini berarti nasfu dapat ditafsirkan dengan taysir atau
penghancuran sebagian gunung dan penjalanan sebagian yang lain. Ini
dikarenakan perbedaan tabiat gunung. Perbedaan tabiat tersebut
membuat kondisinya tidak keluar dari dua bentuk; bentuk tasyir
(penjalanan) -ini yang dikatakannya sehingga menjadi fatamorgana- dan
bentuk nasfu (penghancuran). Berkenaan dengan nasfu, ketika kita lihat
firman Allah: ‫ﻦ‬‫ﻬ ﹺ‬ ‫ﺒﺎﻝﹸ ﻛﹶﻛﺎﻟﹾﻌ‬‫ﻜﹸﻜﻮﻥﹸ ﺍﻟﹾﺠﹺﺒ‬‫ﺗ‬‫ ﹺﻞ)(ﻭ‬‫ﻬ‬‫ﻤﺎﺀُ ﻛﹶﻛﺎﻟﹾﻤ‬‫ﻤ‬‫ﻜﹸﻜﻮﻥﹸ ﺍﻟﺴ‬‫ ﺗ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ ﻳ‬pada hari ketika
langit menjadi seperti luluhan perak. Gunung-gunung menjadi seperti

42
AN-NABA’ 78 JUZ 30

bulu (yang beterbangan), (QS al-Ma'ârij [70]: 8) dan: ‫ﻦ‬


‫ﻬ ﹺ‬ ‫ﺒﺎﻝﹸ ﻛﹶﻛﺎﻟﹾﻌ‬‫ﻜﹸﻜﻮﻥﹸ ﺍﻟﹾﺠﹺﺒ‬‫ﺗ‬‫ﻭ‬
‫ﻔﹸﻔﻮ ﹺ‬‫ﻨ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan. (QS al-
‫ﺵ‬
Qâri’ah [101]: 5) Kata ‫ﻦ‬
‫ﻬ ﹺ‬ ‫ َﺍﻟﹾﻌ‬artinya adalah kain wol yang berwarna dan
‫ﻔﹸﻔﻮ ﹺ‬‫ﻨ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬artinya yang beterbangan. Akan tetapi apakah ketika gunung-
‫ﺵ‬
gunung menjadi debu yang beterbangan, pasirnya saling mengikat
seperti halnya kain wol? Jadi jelaslah bahwa gunung-gunung akan
mengalami dua proses: penjalanan hingga menjadi fatamorgana dan
penghancuran yang membuatnya menjadi seperti debu yang
beterbangan.***

Balasan Terhadap Orang yang Durhaka


(QS an-Naba’ [78]: 21-30)
¦¥¤£¢¡~}| {zy
´³²±°¯®¬«ª©¨§
ÁÀ¿ ¾½¼»º¹¸¶µ
ÊÉÈÇÆÅÄÃÂ
Sesungguhnya neraka Jahannam itu (padanya) ada tempat
pengintai, lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang
melampaui batas, mereka tinggal di dalamnya berabad-abad
lamanya. Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan
tidak (pula mendapat) minuman, selain air yang mendidih dan
nanah, sebagai pambalasan yang setimpal. Sesungguhnya mereka
tidak berharap (takut) kepada hisab, dan mereka mendustakan
ayat-ayat Kami dengan sesungguh- sungguhnya. Dan segala
sesuatu telah Kami catat dalam suatu kitab karena itu
rasakanlah. dan Kami sekali-kali tidak akan menambah kepada
kamu selain daripada azab.
‫ﺩﺍ‬‫ﺻﺎﺩ‬
‫ﺻ‬‫ﺮ‬‫ ﻣ‬‫ﺖ‬‫ ﻛﹶﻛﺎﻧ‬‫ﻢ‬‫ﻨ‬‫ﻬ‬‫ﺑﺎ)(ﺇﹺﻥﱠ ﺟ‬‫ﺮﺍﺑ‬‫ﺮ‬‫ ﺳ‬‫ﺖ‬‫ﺒﺎﻝﹸ ﻓﹶﻜﹶﻜﺎﻧ‬‫ ﺍﻟﹾﺠﹺﺒ‬‫ﺕ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬dijalankanlah gunung-
gunung maka menjadi fatamorganalah ia. Sesungguhnya neraka
Jahannam itu (padanya) ada tempat pengintai. (78: 20-21) Lihatlah apa
yang menjadi tujuannya. Yang pertama apa yang dikatakan Allah
kepada orang-orang yang mengingkari hari kebangkitan? Dia berkata:

43
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

“Mereka akan segera mengetahui dan sekali-kali tidak. Mereka akan


segera mengetahui.” Setelah itu datang kenyataan kepada mereka
bahwa “Sesungguhnya Hari Keputusan adalah suatu waktu yang ditetap
kan”. Jika Allah memberikan gambaran tentang guncangan dahsyat
yang menimpa alam, maka setelah guncangan dahsyat tersebut berakhir
haruslah ada pemberian balasan.
Perhatikan dengan seksama kedalaman arti ungkapan Alquran
dengan kata ‫ﺩﺍ‬‫ﺻﺎﺩ‬ ‫ﻣﺮﺻ‬‫ ﻣ‬dalam ayat: ‫ﺩﺍ‬‫ﺻﺎﺩ‬ ‫ﺻ‬‫ﺮ‬‫ ﻣ‬‫ﺖ‬‫ ﻛﹶﻛﺎﻧ‬‫ﻢ‬‫ﻨ‬‫ﻬ‬‫ ﺇﹺﻥﱠ ﺟ‬sesungguhnya neraka
Jahannam padanya ada tempat pengintai. Mirshâd artinya adalah
seseorang yang duduk dengan perlengkapannya untuk mengawasi
kejadian-kejadian di alam, seakan-akan Allah menjelaskan tentang
persiapan yang matang bahwa neraka memperhatikan dan mengawasi
mereka.
Kalimat ‫ﺩﺍ‬‫ﺻﺎﺩ‬ ‫ﺻ‬‫ﺮ‬‫ ﻣ‬‫ﺖ‬‫ ﻛﹶﻛﺎﻧ‬artinya terdapat pengintai yang mengintai dan
menanti kedatangan mereka serta tidak melupakan mereka pada tempat
yang sama di mana mereka akan menerima azab sebagaimana yang
dipaparkan oleh Allah: ‫ﻆ‬  ‫ﻴ‬‫ ﺍﻟﹾﻐ‬‫ﻣﻦ‬ ‫ﺰ‬ ‫ﻴ‬‫ﻤ‬‫ ﺗ‬‫ﻜﹶﻜﺎﺩ‬‫ ﺗ‬hampir-hampir (neraka) itu
terpecah-pecah lantaran marah. (QS al-Mulk [67]: 8) Allah memper-
lihatkan pengaruh yang ada dan memberikan gambaran tentang
pengaruh tersebut, maka tempat itu telah terpengaruh atas mereka.
‫ﺬﻳﺮ‬‫ﺬ‬‫ ﻧ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﺄﹾﺗ‬‫ ﻳ‬‫ﻬﺎ ﺃﹶﻟﹶﻢ‬‫ﻬ‬‫ﺘ‬‫ﻧ‬‫ﺰ‬‫ ﺧ‬‫ﻢ‬‫ﺄﹶﻟﹶﻬ‬‫ ﺳ‬‫ﻮﺝ‬ ‫ﻬﺎ ﹶﻓ‬‫ﻓﻴﻬ‬‫ ﻓ‬‫ﻲ‬‫ﻤﺎ ﺃﹸﻟﹾﻘ‬‫ ﻛﹸﻠﱠﻤ‬‫ﻆ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﻟﹾﻐ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺰ‬‫ﻴ‬‫ﻤ‬‫ ﺗ‬‫ﻜﹶﻜﺎﺩ‬‫ ﺗ‬hampir-
hampir (neraka) itu terpecah-pecah lantaran marah. Setiap kali
dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (kaum kafir). Penjaga-penjaga
(neraka itu) bertanya kepada mereka: “Apakah belum pernah datang
kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?” (QS al-Mulk
[67]: 8) juga ‫ﺕ‬  ‫ﻼﹶ‬‫ﺘ‬‫ﻞﹺ ﺍﻣ‬‫ ﻫ‬‫ﻢ‬‫ﻨ‬‫ﻬ‬‫ﺠ‬‫ﻘﹸﻘﻮﻝﹸ ﻟ‬‫ ﻧ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ ( ﻳ‬ingatlah akan) hari (yang pada
hari itu) Kami bertanya kepada Jahannam: “Apakah kamu sudah
penuh? (QS Qaf [50]: 30)
Allah memperlihatkan keberadaannya dalam kondisi marah
terhadap orang yang menyalahi ajaran-Nya, seperti yang kita katakan
sebelumnya. Setiap sesuatu yang ada di dunia ini menjalankan misinya
sesuai yang diinginkan oleh Allah. Bagi alam yang ditundukkan, alam
yang bertasbih dan alam yang eksistensi seluruhnya adalah hamba, ia
pasti marah terhadap manusia yang durhaka.
Perhatikan firman Allah ini: “Apakah kamu tiada mengetahui,
bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, mataha-

44
AN-NABA’ 78 JUZ 30

ri, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang


melata.” (QS al-Hajj [22]: 18) Bukankah ini semua secara keseluruhan?
Lalu tentang manusia, Allah berkata: ‫ﺏ‬  ‫ﺬﹶﺬﺍ‬‫ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺣﻖ‬ ‫ﲑ‬
 ‫ﺜ‬‫ﻭ ﹶﻛ‬ ‫ﺱ‬
‫ﻨﺎ ﹺ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﻦ‬‫ﲑ ﻣ‬
 ‫ﻭ ﹶﻛﺜ‬
sebagian besar daripada manusia? Banyak di antara manusia yang
telah ditetapkan azab atasnya.(QS al-Hajj [22]: 18)
Allah Swt berfirman: ‫ﺑﺎ‬‫ﻣﺂﺑ‬‫ ﻣ‬‫ﲔ‬‫ﻟﻠﻄﱠﻄﺎﻏ‬‫ﺩﺍ)(ﻟ‬‫ﺻﺎﺩ‬
‫ﺻ‬‫ﺮ‬‫ ﻣ‬‫ﺖ‬‫ ﻛﹶﻛﺎﻧ‬‫ﻢ‬‫ﻨ‬‫ﻬ‬‫ ﺇﹺﻥﱠ ﺟ‬sesungguhnya
neraka Jahannam itu (padanya) ada tempat pengintai. Lagi menjadi
tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas. (78: 21-22)
Kata ‫ﺑﺑﺎ‬‫ﻣﻣﺂ‬ artinya adalah marja’/tempat kembali. Benar, kita akan kembali
kepada Allah, akan tetapi kata marja’ dan ma`ab menunjukkan bahwa
manusia kembali kepada sesuatu di mana dia mulai.
Timbul pertanyaan: “Apakah awalnya mereka di sini kemudian
pergi lalu kembali?” Tentu tidak. Ini adalah permulaan lalu bagaimana
ia menjadi ma`ab dan marja’. Manusia dalam eksistensi alamiyahnya
mengambil satu dari dua alternatif yang sifatnya memaksa. Yang
pertama, sebelumnya ia tidak ada dan dimiliki oleh sebuah kekuatan.
Kemudian Allah menciptakannya dengan sifat yang mengandung
pilihan, kemudian kembali kepada suatu paksaan yang hanya dimiliki
oleh kekuatan tersebut. Maka kata ma`ab atau marja` adalah tempat
kembali yang sifatnya memaksa (mereka harus kembali) di mana
mereka tidak memiliki pilihan dalam hal ini.
Sama halnya dengan tidak adanya intervensi pilihan mereka pada
saat kelahiran dan penciptaan mereka, karena dominasi kekuatan
menguasai mereka. Dengan demikian mereka akan kembali pada hari di
mana mereka tidak memiliki kekuatan di dalamnya dan tidak memiliki
pilihan. Dengan demikian, manusia dalam eksistensi kehidupannya
berada di antara dua dominasi paksaan; pertama, penciptaan, yang
setelah itu datang masa hidup yang penuh dengan pilihan yang
diciptakan Allah; kedua, adalah saat kembali dalam keadaan terpaksa.
Itulah yang disebut dengan ma`ab.
‫ﺑﺎ‬‫ﻘﹶﻘﺎﺑ‬‫ﻬﺎ ﺃﹶﺣ‬‫ﻓﻴﻬ‬‫ ﻓ‬‫ﲔ‬‫ ﻻﹶﺑﹺﺜ‬lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang
melampaui batas, mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya.
(78: 23) Para ulama berhenti pada kata ahqaba untuk memikirkan
berapa lama ukuran ahqâb itu? Mereka mengatakan 80 tahun, akan
tetapi diambil dari mana? kamu tidak dapat menggunakan kata ahqâb
kecuali untuk sesuatu yang terjadi secara berturut-turut, karena ia
berasal dari kata haqibah/tas orang yang melakukan perjalanan yang

45
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

diletakkan di belakangnya dan menyertai perjalanannya. Jadi jangan


kamu katakan: mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya. (QS
an-Naba' [78]: 23) dengan maksud sejumlah waktu yang terbatas,
karena kata ahqâb tidak digunakan kecuali untuk waktu yang berurutan.
Artinya setiap kali masa yang panjang berakhir dilanjutkan dengan masa
yang lain setelahnya. Ahqâb artinya adalah azab yang senantiasa
diberikan sebagaimana halnya Allah menyebutnya dengan ‫ﺪﺪﺍ‬ ‫ﺑ‬‫ﻬﺎ ﺃﹶ‬‫ﻓﻴﻬ‬‫ ﻓ‬‫ﺪﻳﻦ‬‫ﺪ‬‫ﺧﺎﻟ‬ ‫ﺧ‬
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Fungsi ahqâb adalah bahwa Allah Swt mengekalkan azab bagi
mereka. Setelah beberapa lama berada di dalam neraka, datang malikat
Zabaniyah untuk mengeluarkan mereka dari neraka dan memindahkan
mereka ke dalam surga. Saat itu datang sebuah harapan kepada mereka
berupa kebebasan. Akan tetapi kemudian mereka di masukkan kembali
ke dalam neraka. Ini adalah penyiksaan yang sangat menyakitkan baik
mereka mendapat azab kembali atau tidak. Seperti halnya seseorang
yang mendatangimu untuk meminta air namun kamu tidak
memberikannya, saat itu ia merasa seperti di dalam sebuah neraka
karena kehausan.
Akan tetapi mendadak ia memiliki harapan ketika kamu
memberikan segelas air kepadanya seraya berkata: “Silahkan!”, dia lalu
mengulurkan tangannya untuk mengambil gelas tersebut dan
mendekatkannya ke mulutnya, namun ketika dia akan mangkuk air yang
ada di dalam gelas tersebut, kamu tiba-tiba menepiskan gelas tersebut
hingga terjatuh. Tentu ini adalah bentuk kelanjutan penyiksaan. Jadi
kata ahqâb artinya bahwa disiksa beberapa saat, lalu mereka diberi
harapan seakan-akan Allah akan mengampuni mereka, akan tetapi
setelah itu Dia mengembalikan mereka ke neraka.
‫ﺴﺎﻗﹰﻗﺎ‬
‫ﻏﹶﺴ‬‫ﻤﺎ ﻭ‬‫ﻤﻴﻤ‬‫ﻤ‬‫ﺑﺎ)(ﺇﹺﻻﱠ ﺣ‬‫ﺮﺍﺑ‬‫ﺮ‬‫ﻻﹶ ﺷ‬‫ﺩﺍ ﻭ‬‫ﺩ‬‫ﺮ‬‫ﻬﺎ ﺑ‬‫ﻓﻴﻬ‬‫ﺬﹸﺬﻭﻗﹸﻗﻮﻥﹶ ﻓ‬‫ ﻻﹶ ﻳ‬mereka tidak merasakan
kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, selain air
yang mendidih dan nanah. (78: 24-25) Kata illâ yang ada pada ayat ini
juga mengandung arti pemberian harapan kepada pendengarnya. Karena
kata illâ sebagaimana yang diketahui adalah sebagai pengecualian,
artinya bahwa ia mengeluarkan sesuatu, dan selama pengeluaran itu
adalah dari azab, maka hal tersebut adalah rahmat. Akan tetapi jika yang
dia lihat kemudian adalah azab, hal ini tentu lebih menyakitkan. Sama
juga seperti perkataan kita: Allah telah melepaskan dahaganya akan
tetapi setelah itu mengembalikannya kepada azab.

46
AN-NABA’ 78 JUZ 30

Oleh sebab itu para sahabat mengatakan bahwa ayat 24 dan 25 di


atas adalah ayat siksa neraka yang terkeras di dalam Alquran. Ini
dinamakan sebagai metode pujian yang mengandung celaan, atau celaan
yang mengandung pujian.
Hamîm adalah air yang sangat panas, apakah ia akan menjadi
dingin. Sedangkan ghassâq adalah nanah, apakah nanah ini dapat
menjadi minuman bagi penghuni neraka?
Setelah itu: ‫ﺰﺍﺀً ﻭﹺﻓﹶﻓﺎﻗﹰﻗﺎ‬‫ﺰ‬‫ ﺟ‬sebagai pembalasan yang setimpal. (78:26)
atau sebagai sebuah keadilan. Kata wifaq berfungsi untuk mencegah
rasa kasihan yang tidak pada tempatnya. Ketika mendengar azab yang
ditimpakan kepada manusia, terkadang manusia mengatakan: “Ini
adalah hukuman yang keras.” Padahal sebelumnya Allah telah
memaparkan sebab-sebab yang mengharuskan datangnya azab tersebut.
Allah berkata: “Janganlah kamu menyangka bahwa kami telah berlebih-
lebihan dalam menyiksa mereka karena hal tersebut adalah balasan yang
setimpal dengan apa yang mereka lakukan”. Allah berfirman: “Sebagai
pembalasan yang setimpal.” (78:26)
Kemudian datang berita yang berlawanan dengan hal itu yang
berkenaan dengan penghuni surga: ‫ﺑﺎ‬‫ﺴﺎﺑ‬ ‫ﺴ‬‫ﻄﹶﻄﺎﺀً ﺣ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺑ‬‫ ﺭ‬‫ﻦ‬‫ﺰﺍﺀً ﻣ‬‫ﺰ‬‫ ﺟ‬sebagai
balasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak. (78: 36) Dia
tidak mengatakan: “Sama.” Jika keburukan akan dibalas dengan
keburukan yang sama, tapi kebaikan akan dibalas dengan ihsan dan
karunia yang lebih.
Balasan diberikan atas suatu perbuatan, dan pemberian diberikan
kepada selain perbuatan. Mengapa? Karena Allah Swt akan memberikan
keburukan yang setimpal kepada orang yang melakukan suatu perbuatan
buruk; dan memberikan balasan sepuluh kali lipat kepada orang yang
melakukan suatu perbuatan baik. Kebaikan di hadapan satu kebaikan
sebagai balasan, sedangkan sembilan sisanya adalah karunia.
Allah memberikan argumen yang membuat pendengar mengimani
dengan sempurna bahwa balasan Allah bagi mereka adalah adil. Ia
berkata: ‫ﺑﺎ‬‫ﻛﺬﱠﺬﺍﺑ‬ ‫ﻨﺎ‬‫ﻨ‬‫ﻳﺎﺗ‬‫ﺑﻮﺍ ﺑﹺﺑﺂﻳ‬‫ﻛﹶﺬﱠﺑ‬‫ﺑﺎ)(ﻭ‬‫ﺴﺎﺑ‬
‫ﺴ‬‫ﺟﻮﻥﹶ ﺣ‬‫ﺟ‬‫ﺮ‬‫ﻧﻮﺍ ﻻﹶ ﻳ‬‫ ﻛﹶﻛﺎﻧ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ ﺇﹺﻧ‬sesungguhnya mereka
tidak takut kepada hisab, dan mereka mendustakan ayat-ayat Kami
dengan sesungguh-sungguhnya. (78: 27-28) Jadi ada dua hal yang
mereka lakukan: (1) mereka tidak takut kepada hisab, dan (2) mereka
mendustakan ayat-ayat Kami dengan sesungguh-sungguhnya.
Mengapa mereka tidak takut kepada hisab? Karena mereka tidak

47
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

mengimani hisab atau mereka mengimaninya tetapi mereka merasa


heran bagaimana kita dapat kembali lagi setelah menjadi tulang-
belulang. Jadi, mereka tidak takut kepada hisab karena mereka tidak
mengimani hisab yang benar atau mereka mengimaninya akan tetapi
mereka menganggap mustahil kita akan hidup kembali lagi.
Kata ‫ﺑﺎ‬‫ﺴﺎﺑ‬
‫ﺴ‬‫ﺟﻮﻥﹶ ﺣ‬‫ﺟ‬‫ﺮ‬‫ﻧﻮﺍ ﻻﹶ ﻳ‬‫ ﻛﹶﻛﺎﻧ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ ﺇﹺﻧ‬tidak takut pada hisab adalah awal dari
kerusakan dunia telah merata. Kapan masyarakat rusak? Ketika anggota
masyarakat tidak takut lagi kepada hukuman atas perbuatan mereka.
Ketika di dalam masyarakat tidak lagi sifat ini, maka setiap orang akan
berbuat sesuka hatinya. Jadi orang yang bertanggung jawab atas
kemaslahatan dunia juga bertanggung jawab atas kemaslahatan akhirat.
Demikian juga dengan dunia, kapan terjadi kerusakan di dunia?
Ketika masyarakat tidak takut akan hisab. Adapun jika masyarakat takut
kepada hisab di mana setiap orang mengingat bahwa ia akan dihisab
atas perbuatannya, maka masyarakat akan menjadi teratur.
Lalu kapan masyarakat tidak takut akan hisab? Bisa jadi ketika wali
atau hakimnya adalah orang bodoh yang tidak dapat menganalisa gejala
tersebut dengan seksama dan tidak menerapkan hisab atas orang-orang
yang bersalah. Atau karena masyarakat tidak melakukan hisab atas
orang yang bersalah, atau karena manusia sendiri tidak melakukan hisab
atas apa yang telah dilakukannya.
Pelaku hisab dalam masyarakat kita ada tiga: Hakim yang diangkat
Allah untuk menegakkan hukum-Nya, masyarakat atau individu. Inilah
akhir kesimpulan institusi modern secara keseluruhan tentang
pengganjaran. Hanya saja dalam hal ini terdapat keistimewaan ketika
mengandung hisab yang kita harapkan setelah dunia ini berakhir.
Lalu bagaimana menurutmu tentang para kriminal yang tidak
terlihat oleh hakim atau masyarakat. Jika di dalam jiwanya tidak
terdapat suatu pencegah yang berkata kepadanya: “Kamu mungkin
dapat lepas dari hukum dunia, tapi tidak mungkin lepas dari hukum
langit”. Jadi yang tersisa adalah hakim terakhir yang ma’shum, yang
perkasa, yang mengetahui hal ini secara keseluruhan, agar manusia
yakin bahwa dia diadili di hadapan mata yang mengetahui yang tidak
tertutup, di samping dia pun tidak dapat bersembunyi dari-Nya dan pasti
akan kembali kepada0Nya untuk menerima pembalasan. Bisa saja dia
terlepas dari ganjaran masyarakat dan hakim akan tetapi perasaan atau
hatinya akan bergejolak.
Seseorang tidak akan terpelihara dari keburukan atau dari kerusakan

48
AN-NABA’ 78 JUZ 30

kecuali jika dia memiliki pencegah yang berasal dari agama berupa
keimanan kepada Allah yang Maha Mengawasi dan Maha Pemberi
pembalasan. Tidak sesuatu pun yang tertutup baginya dan tidak
mustahil setiap orang akan berdiri di hadapannya kelak. Ini akan
membuat manusia tidak pernah berpikir untuk berbuat buruk sehingga
hakim dan masyarakat dapat melepaskan diri dari manusia.
Mereka yang tidak takut hisab akhirat akan berbuat kerusakan yang
parah mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar, berupa kufur
terhadap Allah. Sedangkan di dunia, suatu kerusakan tidak terjadi
kecuali jika kita sudah tidak takut lagi terhadap hisab. Bayangkan jika
di dalam sebuah masyarakat terdapat seorang hakim yang tidak adil,
artinya ia tidak menerapkan hukum terhadap sekelompok orang dan
menerapkannya pada sekelompok yang lain karena sebab tertentu. Apa
yang terjadi jika kelompok yang terikat oleh hukum melihat kelompok
lainnya yang bebas hukum? Yang muncul adalah masyarakat yang
melakukan pengkhianatan dengan berkata: “Aku akan berlindung di
balik kejahatan sebisa mungkin”.
Oleh sebab itu Rasul bersabda: “Kaum sebelum kalian binasa
karena apabila orang terpandang mereka melakukan pencurian,
mereka membiarkannya, dan apabila orang yang lemah melakukan
pencurian, maka mereka akan segera menjatuhkan hukuman kepada
nya.” Ini yang membuat adanya diskriminasi dalam masyarakat.
Berkenaan dengan institusi moral masyarakat, Allah Swt berfirman:
‫ﻪ‬ ‫ﺳﺳﻮﹸﻟ‬ ‫ﺭ‬ ‫ ﻭ‬‫ﻤ ﹶﻠ ﹸﻜﻢ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺮﺮﻯ ﺍﻟ ﱠﻠ‬ ‫ﻴ‬‫ﻠﹸﻠﻮﺍ ﻓﹶﺴ‬‫ﻤ‬‫ﻗﹸﻞﹺ ﺍﻋ‬‫ ﻭ‬katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka
Allah dan Rasul-Nya akan melihat pekerjaan kalian.” (QS at-Tawbah
[9]: 105) Hal ini saya singgung karena ia adalah pencegah yang berasal
dari agama bagi orang-orang mukmin. Ketika kamu berbuat kerusakan
ayat ini akan memberi peringatan kepadamu. Sebagai contoh, Allah
berfirman: ‫ﻦ‬  ‫ﺮﹺﺮﻳ‬‫ﺨﺎﺳ‬ ‫ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺢ‬‫ﺒ‬‫ ﻓﹶﺄﹶﺻ‬‫ﻠﹶﻪ‬‫ ﻓﹶﻘﹶﺘ‬‫ﺧﻴﻪ‬‫ﺘﻞﹶ ﺃﹶﺧ‬ ‫ﻪ ﹶﻗ‬ ‫ﺴ‬
 ‫ﻔﹾ‬‫ﻪ ﻧ‬ ‫ ﹶﻟ‬‫ﺖ‬‫ﻋ‬‫ ﹶﻓ ﹶﻄﻮ‬hawa nafsu Qabil
menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu
dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang
merugi. (QS al-Mâidah [5]: 30) Artinya, setelah dia membuat dirinya
rida untuk berbuat kejahatan dengan membunuh adiknya, maka sesuatu
yang ada di dalam dirinya memberi peringatan sehingga merasa
menyesal. Ayat lain: ‫ﻢ‬ ‫ﻦ ﹺﺇﹾﺛ‬  ‫ﺾ ﺍﻟ ﱠﻈ‬  ‫ﻌ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻦ ﹺﺇ ﱠﻥ‬ ‫ﻦ ﺍﻟ ﱠﻈ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﲑﺍ‬ ‫ﲑ‬
 ‫ﺜ‬‫ﺒﺒﻮﺍ ﹶﻛ‬‫ﺘﹺﻨ‬‫ﺟ‬ ‫ ﺍ‬jauhilah
kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu
adalah dosa. (QS al-Hujarât [49]: 12)

49
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Lalu pada ayat yang lain: ‫ﺔ‬ ‫ﻬﺎﹶﻟ‬‫ﻬ‬‫ﻣﺎ ﺑﹺﺠ‬‫ﻣ‬‫ﺒﻮﺍ ﻗﹶﻮ‬‫ﺼﻴﺒ‬


‫ﺼ‬‫ﻨﻮﺍ ﺃﹶﻥﹾ ﺗ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ ﻓﹶﺘ‬‫ﺒﺄ‬‫ ﺑﹺﻨ‬‫ﺳﻖ‬ ‫ﻢ ﹶﻓﻓﺎ‬ ‫ﺟﺟﺎ َﺀ ﹸﻛ‬ ‫ﹺﺇ ﹾﻥ‬
 ‫ﻣ‬‫ﻧﺎﺩ‬‫ ﻧ‬‫ﻢ‬‫ﻠﹾﺘ‬‫ﻣﺎ ﻓﹶﻌ‬‫ﻠﹶﻠﻰ ﻣ‬‫ﺤﻮﺍ ﻋ‬
‫ﲔ‬ ‫ﺒﹺﺤ‬‫ﺼ‬‫ ﻓﹶﺘ‬jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu
itu.” (QS al-Hujarât [49]: 6)
Terkadang seseorang menyembuhkan dirinya dengan memfitnah
orang lain. Dia membuat dirinya rela berbuat demikian karena
kebenciannya terhadap orang tersebut. Akan tetapi ketika hukuman
dijatuhkan kepada orang tersebut akibat fitnah yang lontarkannya; dia
akan mencela dirinya. Inilah yang dimaksud dengan institusi intuisi.
Akan tetapi dominasi yang ada di atas institusi masyarakat, institusi
hakim dan institusi intuisi adalah dominasi agama yang diyakini
manusia berupa rasa takut akan hisab dari Tuhan yang Maha
Mengetahui segala sesuatu.
Jadi “mereka tidak takut terhadap hisab” adalah sebab dari
kerusakan yang mereka lakukan, sebab dari kekufuran mereka, sebab
dari cemoohan mereka, sebab dari sikap perlawanan dan permusuhan
serta penindasan mereka terhadap Muhammad Saw. Semuanya ini
bersumber dari “mereka tidak takut terhadap hisab”.
Setelah itu Allah berfirman: ‫ﺑﺎ‬‫ﻛﺬﱠﺬﺍﺑ‬ ‫ﻨﺎ‬‫ﻨ‬‫ﻳﺎﺗ‬‫ﺑﻮﺍ ﺑﹺﺑﺂﻳ‬‫ﻛﹶﺬﱠﺑ‬‫ ﻭ‬mereka mendustakan
ayat-ayat Kami dengan sesungguh-sungguhnya. (78: 28) Di sini kita
lihat bahwa kata ‫ﺑﺎ‬‫ﻛﺬﱠﺬﺍﺑ‬ berfungsi untuk menegaskan kebohongan yang
mereka lakukan. Kebohongan adalah tidak sesuainya perkataan dengan
kenyataan. Apabila ditemukan kenyataan antara aspa yang dibicarakan
dan dipikirkan, maka ia adalah berita. Apabila kenyataannya datang
setelah dibicarakan kita sebut dengan insya’ atau perintah. Sebagai
contoh ketika kamu katakan bahwa Zaid adalah orang yang rajin. Katika
kamu mengucapkan kalimat ini, dan Zaid adalah orang yang rajin, maka
ini sesuai dan disebut dengan berita. Berbeda ketika kamu berkata
kepadanya: “Rajinlah wahai Zaid”! Maka kerajinan tersebut datang
setelah nisbah kalamiyah, dalam wujud perintah. Jadi apabila kamu
mengatakan sesuatu sesuai dengan kenyataan, maka ini adalah berita
yang benar; jika tidak sesuai, maka ini adalah kebohongan.
Sebagai contoh: “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu,
mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-
benar Rasul Allah”. Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu

50
AN-NABA’ 78 JUZ 30

benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya


orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta”. (QS al-
Munâfiqûn [63]: 1)
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata:
“Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul
Allah,” padahal sebelumnya Allah mengatakan bahwa munafik itu
pendusta. Bukankah perkataan mereka sesuai dengan kenyataan? Tidak
demikian. Mereka mengatakan: ‫ﻪ‬ ‫ﻝ ﺍﻟ ﱠﻠ‬
‫ﺳﺳﻮ ﹸ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻚ ﹶﻟ‬
 ‫ﺪ ﹺﺇﻧ‬ ‫ﻬ‬‫ﺸ‬‫ ﻧ‬kami bersaksi bahwa
kamu adalah benar-benar Rasulullah, kesaksian mereka itu adalah
kepalsuan. Karena pada hakikatnya pengakuan ini hanya berasal dari
lisan dan bukan dari keimanan yang ada di hati mereka. Jadi pendustaan
yang dimaksud bukan dalam perkataan mereka ‫ﻪ‬ ‫ﻝ ﺍﻟ ﱠﻠ‬ ‫ﺳﺳﻮ ﹸ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻚ ﹶﻟ‬
 ‫ ﹺﺇﻧ‬bahwa
sesungguhnya kamu benar-benar Rasulullah, akan tetapi dalam kalimat:
“Kami bersaksi,”
‫ﺑﺎ‬‫ﺘﺎﺑ‬‫ﺘ‬‫ ﻛ‬‫ﻨﺎﻩ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﺼ‬‫ﺀٍ ﺃﹶﺣ‬‫ﺷﻲ‬ ‫ﻭ ﹸﻛ ﱠﻞ‬ segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu
kitab. (78: 29) Kata ‫ﺼﺎ َﺀ‬ ‫ﺼ‬
 ‫ﺣ‬ ‫ ﹺﺇ‬adalah mengetahui sesuatu dengan sendirinya.
Pengetahuan ini cukup ada di dalam benak, karena masalahnya tidak
hanya berhubungan dengan ilmu akan tetapi juga berhubungan dengan
penulisan. Inilah sebab bahwa ia menyimpang dari sumber. Ia tidak
mengatakan ‫ﺼﺎ َﺀ‬‫ﺼ‬
 ‫ﺣ‬ ‫ﻩ ﹺﺇ‬ ‫ﻨﻨﺎ‬‫ﻴ‬ ‫ﺼ‬
 ‫ﺣ‬ ‫ﻲﻲﺀ ﹶﺃ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﻭ ﹸﻛ ﱠﻞ‬ . Karena ‫ﻩ‬ ‫ﻨﺎ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﺣﺼ‬ ‫ ﹶﺃ‬berarti Kami telah
mengetahuinya secara mendetail baik itu yang kecil maupun yang besar.
Pengetahuan ini dapat menjadi argumen bagi-Ku tetapi tidak bagi
mereka. Aku ingin ada sesuatu yang dapat menjadi argumen bagi
mereka, maka Kami telah mencatatkannya sebagai catatan atau
menuliskannya dalam suatu kitab. Jadi tidak hanya cukup dengan
mengetahui akan tetapi Kami ingin agar ia tertulis sehingga kepada
mereka dapat dikatakan: ‫ﺒﺎ‬‫ﺴﻴﺒ‬ ِ‫ﺴ‬‫ ﺣ‬‫ﻚ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ ﺍﻟﹾﻴ‬‫ﻔﹾﺴِﻚ‬‫ ﻛﹶﻔﹶﻔﻰ ﺑﹺﻨ‬‫ﻚ‬‫ﺘﺎﺑ‬‫ﻛﺘ‬ ‫ﺮﹾﺃ‬ ‫ ﺍﻗﹾ‬bacalah
kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab
terhadapmu. (QS al-Isra’ [17]: 14)
Allah Swt berfirman: ‫ﺑﺎ‬‫ﺬﹶﺬﺍﺑ‬‫ﻢ ﹺﺇﻻﱠ ﻋ‬ ‫ﺪ ﹸﻛ‬ ‫ ﹺﺰﺰﻳ‬‫ ﻧ‬‫ ﹶﻓ ﹸﺬﺬﻭ ﹸﻗﻗﻮﺍ ﹶﻓ ﹶﻠﻦ‬Kami sekali-kali tidak
akan menambah kepada kamu selain daripada azab. (78: 30) Dari gaya
bahasanya dapat dilihat bahwa Allah Swt berbicara tentang kaum kafir
dan orang-orang yang mengingkari hari kebangkitan dan menolak
seluruh kegaiban.
‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﺩﺍ‬‫ﺩ‬‫ﺮ‬‫ﻬﺎ ﺑ‬‫ﻓﻴﻬ‬‫ﺬﹸﺬﻭﻗﹸﻗﻮﻥﹶ ﻓ‬‫ﺑﺎ)(ﻻﹶ ﻳ‬‫ﻘﹶﻘﺎﺑ‬‫ﻬﺎ ﺃﹶﺣ‬‫ﻓﻴﻬ‬‫ ﻓ‬‫ﲔ‬‫ﺑﺎ)(ﻻﹶﺑﹺﺜ‬‫ﻣﺂﺑ‬‫ ﻣ‬‫ﲔ‬‫ﻟﻠﻄﱠﻄﺎﻏ‬‫ﺩﺍ)(ﻟ‬‫ﺻﺎﺩ‬
‫ﺻ‬‫ﺮ‬‫ ﻣ‬‫ﺖ‬‫ ﻛﹶﻛﺎﻧ‬‫ﻢ‬‫ﻨ‬‫ﻬ‬‫ﺇﹺﻥﱠ ﺟ‬

51
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

‫ﺰﺍﺀً ﻭﹺﻓﹶﻓﺎﻗﹰﻗﺎ‬‫ﺰ‬‫ﺴﺎﻗﹰﻗﺎ)(ﺟ‬
‫ﻏﹶﺴ‬‫ﻤﺎ ﻭ‬‫ﻤﻴﻤ‬‫ﻤ‬‫ﺑﺑﺎ)(ﺇﹺﻻﱠ ﺣ‬‫ﺮﺍ‬‫ﺮ‬‫ ﺷ‬sesungguhnya neraka Jahannam itu
(padanya) ada tempat pengintai, lagi menjadi tempat kembali bagi
orang-orang yang melampaui batas, mereka tinggal di dalamnya
berabad-abad lamanya, mereka tidak merasakan kesejukan di
dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, selain air yang
mendidih dan nanah, sebagai pembalasan yang setimpal. (78: 21-26)
Sesuai dengan alur kalimat dapat saja disebutkan:‫ ﻟﻴﺬﻭﻗﻮﺍ‬agar mereka
dapat merasakan. Akan tetapi hal ini adalah peralihan dari keadaan
pembicara yang gaib menjadi seakan-akan menjadi khitab (seruan
langsung). Karena liyadzûqû adalah khitab dari pembicara yang dide-
ngarkan oleh orang yang diajak bicara akan tetapi yang pertama adalah
gaib (tidak ada di tempat). Ia ingin membuat gaya bahasa yang dapat
menjelaskan arti secara mutlak.
Kenapa? Karena akhirat ada akan tetapi ia gaib bagi manusia oleh
sebab itu mereka mendustakannya. Maka ketika Allah ingin agar akhirat
menjadi dapat disaksikan (nyata), Ia seakan-akan berkata: “Kalian akan
menghadap kepada-Ku dan Aku akan berbicara kepada kalian seperti
ini: ‫ﺑﺎ‬‫ﺬﹶﺬﺍﺑ‬‫ﻢ ﹺﺇﻻﱠ ﻋ‬ ‫ﺪ ﹸﻛ‬ ‫ ﹺﺰﺰﻳ‬‫ ﻧ‬‫ ﹶﻓ ﹸﺬﺬﻭ ﹸﻗﻗﻮﺍ ﹶﻓ ﹶﻠﻦ‬karena itu rasakanlah. Kami sekali-kali tidak
akan menambah kepada kamu selain daripada azab. (78:30)
Kata “kami tidak akan menambahkan kecuali azab kepada kalian”
merupakan penegasan bahwa Kami sekali-kali tidak akan menambahkan
kepada kalian kecuali azab”. Ketika mendengar kata “illa” kamu akan
berkata; “di dalamnya terdapat keringanan”. Oleh sebab itu kata kecuali
azab adalah sebuah ejekan yang sempurna bagi orang yang telah
memiliki harapan ketika ia dalam keadaan pesimis. Sebagai contoh
adalah seseorang yang sangat haus meminta segelas air kepadamu akan
tetapi kamu tidak mau memberikan segelas air kepadanya.
Setelah itu ia melihatmu membawakan segelas air. Melihat ini tentu
timbul harapan padanya bahwa kamu akan segera memberinya air.
Kemudian kamu memberikan gelas tersebut kepadanya, akan tetapi
ketika ia ingin minum; kamu memukul gelas tersebut hingga terjatuh.
Maka ini adalah ejekan yang sempurna. ***

52
AN-NABA’ 78 JUZ 30

Balasan Terhadap Orang yang Bertakwa


(QS an-Naba’ [78]: 31-37)
NMLKJIHGFEDCBA
\[ZYXWVUTSRQPO
fedcba`_^]
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa mendapat
kemenangan, (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, dan gadis-
gadis remaja yang sebaya, dan gelas-gelas yang penuh (berisi
minuman). Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang
sia-sia dan tidak (pula) perkataan dusta. Sebagai pembalasan
dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak, Tuhan yang
memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara
keduanya; yang Maha Pemurah. mereka tidak dapat berbicara
dengan Dia.
Setelah ayat: ‫ﺑﺎ‬‫ﺬﹶﺬﺍﺑ‬‫ﻢ ﹺﺇﻻﱠ ﻋ‬ ‫ﺪ ﹸﻛ‬ ‫ ﹺﺰﺰﻳ‬‫ ﻧ‬‫ ﹶﻓ ﹸﺬﺬﻭ ﹸﻗﻗﻮﺍ ﹶﻓ ﹶﻠﻦ‬karena itu rasakanlah. Kami
sekali-kali tidak akan menambah kepada kamu selain daripada azab.
(78:30) Kemudian Allah menambah azab mereka dengan mengabarkan
keadaan orang selain mereka: ‫ﺯﺍ‬‫ﻔﹶﻔﺎﺯ‬‫ ﻣ‬‫ﲔ‬‫ﻘ‬‫ﺘ‬‫ﻠﹾﻤ‬‫ ﺇﹺﻥﱠ ﻟ‬sesungguhnya orang-orang
yang bertakwa mendapat kemenangan. (78:31)
Orang-orang yang bertakwa tidak menjadi orang-orang yang
berdusta dan mereka tidak memiliki andil dalam masalah ini. Ini adalah
proses yang di dalamnya terdapat celaan yang lain. Karena celaan atas
keburukan menjadi azab; azab atas keburukan juga menjadi azab,
kemudian pemberian nikmat atas orang lain merupakan bentuk azab lain
yang ditimpakan kepada orang yang berbuat buruk. Maka ketika Allah
berfirman: “Sesungguhnya bagi orang yang bertakwa.” Orang yang
bertakwa adalah mereka yang menerima dan mengikuti manhaj Allah,
perintah dan larangannya. Inilah arti orang yang bertakwa.
Kata ‫ﺯﺍ‬‫ﻔﹶﻔﺎﺯ‬‫ ﻣ‬kemenangan mengandung beberapa arti. Terkadang ia
berarti bahwa kemenangan yang sesungguhnya bagi orang yang
bertakwa. Kemenangan adalah sampainya kebaikan seorang mukmin
pada jiwanya. Menang artinya sampai pada kebaikan yang
diharapkannya. Kemenangan atau keselamatan merupakan lafaz yang
mengandung arti ganda. Keduanya akan terjadi di akhirat. Oleh sebab
itu Allah Swt berkata: “Tidak ada seorang pun dari padamu, melainkan
53
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian
yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-
orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di
dalam neraka dalam keadaan berlutut”. (QS Maryam [19]: 71-72)
Tidak ada seorang pun dari padamu, melainkan mendatangi
neraka itu. Kita akan melalui dan melihat nyala api ketika berjalan di
atas titian. Selamat dari api setelah melihatnya adalah sebuah nikmat
meskipun hanya berada di atas A’raf, tempat di antara surga maupun
neraka. Lalu bagaimana pula nikmatnya selamat dari api dan sampai di
surga.
Kata mafâzâ selain kemenangan dapat juga diartikan dengan
keselamatan. Barang siapa yang keluar dari neraka dan masuk ke dalam
surga, ia adalah orang-orang yang menang dan selamat. Unsur-unsur
kemenangan ada dua; pertama, Allah mengeluarkan manusia dari
neraka dan menempatkannya di A’raf yang ada antara neraka atau surga.
Kedua, memasukkannya ke dalam surga, tentu ini adalah kemenangan
yang besar. Barang siapa yang keluar dari neraka dan masuk ke dalam
surga maka ia adalah orang yang menang.
Mafâzâ atau kemenangan berasal dari kata mafazah, atau selamat
dari padang pasir. Seperti yang diketahui padang pasir adalah tempat
yang dapat membinasakan. Karena ketika seseorang melalui padang
pasir, kemungkinan dia tidak akan menemukan mata air untuk minum
dan menjumpai banyak gangguan seperti binatang buas yang akan
menyerangnya. Mereka menyebutnya istilah mafazah ketika seseorang
dapat keluar dari padang pasir sebagai pemenang. Tingkat kemenangan
yang terendah adalah tidak mendapat kebinasaan, sedangkan yang
tertinggi adalah mendapat kebaikan. ‫ﺯ‬ ‫ ﻓﹶﻓﺎ‬‫ﺔﹶ ﻓﹶﻘﹶﺪ‬‫ﻨ‬‫ﻞﹶ ﺍﻟﹾﺠ‬‫ﺧ‬‫ﺃﹸﺩ‬‫ﻨﺎﺭﹺ ﻭ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﻨ‬‫ ﻋ‬‫ﺣﺰﹺﺡ‬  ‫ﺯ‬
barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga,
maka sungguh ia telah beruntung. (QS Ali 'Imran [3]: 185)
Ayat: ‫ﺑﺎ‬‫ﻨﺎﺑ‬‫ﻨ‬‫ﺃﹶﻋ‬‫ ﻭ‬‫ﻖ‬‫ﺪﺍﺋ‬‫ﺪ‬‫( ﺣ‬yaitu) kebun-kebun dan buah anggur. (78: 32)
Memberikan gambaran tentang surga dalam bentuk yang dapat
diketahui. Karena surga adalah sesuatu yang gaib yang disampaikan
Allah kepada manusia. Meskipun ia masalah yang gaib, namun ia telah
memberitahukan kepada kita hal-hal yang mendasar tentangnya yaitu:
‫ﻴ ﹴﻦ‬‫ﻋ‬ ‫ﺓ ﹶﺃ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻦ ﹸﻗ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻲ ﹶﻟ‬ ‫ﻔ‬ ‫ﺧ‬ ‫ﻣﻣﺎ ﹸﺃ‬ ‫ﺲ‬
 ‫ﻧ ﹾﻔ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻌ ﹶﻠ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻼ‬
‫ ﻓﹶ ﹶ‬tidak seorang pun mengetahui apa yang
disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang
menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang

54
AN-NABA’ 78 JUZ 30

telah mereka kerjakan. (QS Sajdah [32]: 17) Rasulullah Saw juga
menerangkan hal ini: “Di dalamnya terdapat hal-hal yang tidak pernah
dilihat oleh mata atau didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas
di hati manusia.”
Lalu ungkapan apa yang dapat digunakan untuk menjelaskannya
jika tidak terdapat dalam bahasa manusia yang mengandung arti
sepenuhnya tentang surga. Karena seperti yang diketahui bahwa
sebelum suatu lafaz diucapkan maka makna ucapan tersebut harus
terlebih dahulu ada di dalam benak baru kemudian diungkapkan dalam
sebuah lafaz. Jadi tidak ada suatu lafaz pun dalam bahasa yang dapat
diucapkan kecuali maknanya telah terlintas di dalam pikiran. Jika surga
tidak pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan tidak pernah
terlintas di dalam hati manusia, lalu ungkapan apa yang dapat
menjelaskan maknanya?
Tidak ada lafaz dalam bahasa kita untuk menyebutkan makna-
makna yang terdapat di dalam surga, oleh sebab itu Allah memberikan
iliustrasi atau contoh atau permisalan atau perumpamaan dari nikmat
dunia untuk menjelaskan sebagian dari arti surga yang sebenarnya. Oleh
sebab itu Dia berkata: ‫ﺘ ﹸﻘﻘﻮ ﹶﻥ‬‫ﻤ‬ ‫ﺪ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺘﺘﻲ‬‫ﺔ ﺍﱠﻟ‬ ‫ﻨ‬‫ﺠ‬
 ‫ﻣﹶﺜ ﹸﻞ ﺍﹾﻟ‬ perumpamaan surga yang
dijanjikan kepada orang-orang yang takwa. (QS Muhammad [47]: 15)
Ia tidak mengatakan: “Surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang
bertakwa adalah..”.
Adapun kata khamar yang ada pada ayat: “Sungai-sungai dari air
yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang
tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar (arak) yang lezat
rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring.
(QS Muhammad [47]: 15) adalah khamar tidak mengandung sifat
memabukkan di dalamnya.
Yaitu kebun-kebun dan buah anggur, (78: 32) memberikan sebuah
gambaran tentang lingkungan Arab yang padanya terdapat kebun, taman
atau dinding yang menjadi kebutuhan besar. Kata hadîqah adalah taman
yang dikelilingi oleh pagar. Kamu berkata: “Ahdaqu bihi artinya
berkumpul di sekitarnya dan mengelilinginya. Jadi hadâiq adalah taman
yang dipagari. Pemagarannya ini sebagai dalil atas nikmat khusus.
Dalam kelezatan surga terdapat kenikmatan khusus, kenikmatan khusus
ini diberikan Allah secara simbolik dalam kata: “hadâiq”, begitu juga
dengan kenikmatan lain: ‫ﻴﻴﺎ ﹺﻡ‬‫ﻓﻲ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ ﻓ‬‫ﺭﺍﺕ‬‫ﺼﻮﺭ‬ ‫ﻘﹾﺼ‬‫ ﻣ‬‫ﺣﻮﺭ‬‫ ﺣ‬bidadari-bidadari yang
jelita, putih bersih dipingit dalam rumah. (QS ar-Rahmân [55]: 72)

55
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Pada tempat yang lain ‫ﺟﺎ ﱞﻥ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻠﹶ‬‫ﺲ ﻗﹶﺒ‬
 ‫ﻧ‬‫ﻦ ﹺﺇ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻤ ﹾﺜ‬ ‫ﻳ ﹾﻄ‬ ‫ﻢ‬ ‫ ﹶﻟ‬tidak pernah disentuh
oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi
suami mereka) dan tidak pula oleh jin. (QS ar-Rahmân [55]: 56)
Karunia Allah sangat luas untuk diberikan kepada seluruh manusia
sebagai suatu keistimewaan, keistimewaan ini ditunjukkan oleh firman
Allah hadâiq yang memiliki pagar. Kemudian datang nikmat lain yang
ada di dalam taman-taman tersebut yaitu anggur. Ketika dalam Alquran
disebutkan sebuah lafaz yang memiliki perumpamaan di dunia, maka
kita tidak akan menyamakannya dengan perumpamaan tersebut, terlebih
lebih menyamakannya dengan ukuran yang ada pada masanya. Jadi
anggur dunia dan anggur akhirat, khamar dunia dan khamar akhirat
tidak akan pernah sama. Oleh sebab itu : ‫ ﹺﺰ ﹸﻓﻓﻮ ﹶﻥ‬‫ﻨ‬‫ﻻﹶ ﻳ‬‫ﻬﺎ ﻭ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ﻋﻮﻥﹶ ﻋ‬‫ﻋ‬‫ﺪ‬‫ﺼ‬‫ ﻻﹶ ﻳ‬mereka
tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk. (QS al-Wâqi'ah [56]: 19)
Jika kita telah mendengar bahwa di dalam surga terdapat nikmat
yang memiliki perumpamaan seperti yang ada di dunia, maka saya tidak
boleh mengukurnya dengan ukuran yang sama dengan yang saya
ketahui, akan tetapi dengan ukuran masa di mana ia berada. Dengan
kata lain, anggur surga jangan dipahami dengan ukuran anggur dunia.
Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu,
mereka mengatakan: “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahu-
lu.” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di
dalamnya ada istri-istri yang suci dan mereka kekal di dalamnya. (QS
al-Baqarah [2]: 25) Kita katakan kamu menganggap bahwa kamu telah
pernah diberi rezeki serupa, perhatikanlah dengan seksama, maka yang
diberikan tersebut tidak sama dengan yang diberikan sebelumnya.
Apa hikmah penyebutannya dengan lafaz yang wujudnya dapat kita
temukan di dunia? Seperti yang diketahui bahwa pengetahuan jiwa
terhadap sesuatu yang diinginkannya adalah yang mendorongnya untuk
mendapatkan sesuatu tersebut. Sebagai contoh ketika kamu bepergian
ke suatu tempat kemudian kamu temukan buah-buahan yang tidak
pernah kamu lihat, apakah kamu mau memakannya. Tentu tidak. Jadi
perumpamaannya dengan buah-buahan yang ada di dunia agar kita
termotivasi untuk mencicipinya. Karena keadaannya sebenarnya tidak
diketahui, maka pengungkapannya dalam bentuk seperti yang ada di
dunia, membuatmu menerima hal ini. Jadi janganlah kamu selalu
mengukur masalah dengan kenyataannya yang ada di dunia.
‫ﺑﺎ‬‫ﺮﺍﺑ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﺗ‬‫ﺐ‬‫ﻮﺍﻋ‬‫ﻛﹶﻮ‬‫ ﻭ‬gadis-gadis remaja yang sebaya. (78: 33) Tentu kita

56
AN-NABA’ 78 JUZ 30

memahami ka’ab yang berhubungan dengan wanita adalah seorang


gadis remaja yang buah dadanya seperti kubus yaitu yang baru tumbuh.
Sedangkan ‫ﺑﺎ‬‫ﺮﺍﺑ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﺗ‬artinya yang sama usianya.
Sedangkan kata ‫ﺳﺎ‬ ‫ﻛﹶﺄﹾﺳ‬‫ ﻭ‬gelas-gelas dalam kalimat ‫ﻫﺎﻗﹰﻗﺎ‬‫ﻫ‬‫ﺳﺎ ﺩ‬‫ﻛﹶﺄﹾﺳ‬‫ ﻭ‬gelas-
gelas yang penuh (berisi minuman) berarti tempat khamar, yaitu gelas-
gelas yang penuh, bening dan tersusun rapi. Gelas yang campurannya
adalah kafuran, zanjabil yang berbagai jenis.
‫ﺑﺎ‬‫ﻛﺬﱠﺬﺍﺑ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﻮﻮﺍ‬ ‫ﻐ‬ ‫ﻬﺎ ﹶﻟ‬‫ﻓﻴﻬ‬‫ﻌﻮﻥﹶ ﻓ‬‫ﻤﻌ‬ ‫ﺴ‬‫ ﻻﹶ ﻳ‬mereka tidak mendengar perkataan sia-sia
di dalamnya ataupun kebohongan. Mengapa mereka tidak mendengar
perkataan yang sia-sia ataupun kebohongan? Karena asal dari kesia-
siaan ini adalah hilangnya akal. Akan tetapi khamar yang ada di surga
tidak menghilangkan akal atau mengacaukan pembicaraan orang-orang
yang meminumnya sehingga tidak terdengar perkataan yang sia-sia.
Mereka berkata: kenikmatan apa yang ada di dalam hal itu? Dikatakan
nikmat karena orang yang normal tidak akan senang mendengar kesia-
siaan selamanya kecuali orang-orang yang dilaknat.
Setelah itu ‫ﺑﺎ‬‫ﺴﺎﺑ‬ ‫ﺴ‬‫ﻄﹶﻄﺎﺀً ﺣ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺑ‬‫ ﺭ‬‫ﻦ‬‫ﺰﺍﺀً ﻣ‬‫ﺰ‬‫ ﺟ‬sebagai balasan dari Tuhanmu dan
pemberian yang cukup banyak. (78: 36) Balasan atau pemberian adalah
upah atas suatu perbuatan, sedangkan hadiah adalah pemberian tanpa
pekerjaan.
Setelah Allah menjelaskan kondisi orang kafir dan muttaqin, Ia lalu
itu beralih kepada keterangan lain bahwa Ia adalah “Tuhan langit dan
bumi?” Ia adalah penguasa yang bebas berbuat karena tidak ada
kekuatan di atas-Nya. Dia menyebutkan keterangan yang sesuai dengan
nikmat dan kesinambungannya, “yang Maha Pengasih tuhan langit dan
bumi serta yang ada di antara keduanya, yang maha pengasih mereka
tidak dapat berbicara kepada-Nya.
Seperti yang telah dikatakan, pemaksaan pada kita ada dua jenis;
yang pertama ketika kita diciptakan dan pemaksaan dalam hisab di
mana mereka tidak dapat berbicara dengan-Nya. Mengapa mereka tidak
dapat berbicara dengan-Nya? Karena ketika Allah Swt menciptakan
dunia, Ia juga menciptakan sebab-sebab di dalamnya, akan tetapi
terkadang manusia hanya ingat pada sebab namun lupa terhadap
Pencipta sebab, seolah-olah ia selalu di hadapannya hanyalah sebab.
Akan tetapi di akhirat sebab-sebab itu tidak berfungsi karena pemberian
nikmat seluruhnya langsung berasal dari Pencipta sebab.

57
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Tidak akan terjadi seperti yang dilakukan oleh kaum kafir. Di dunia
manusia menerima karunia Allah dengan menebarkan benih, membajak
tanah, mengairi dan melakukan pekerjaan untuk memenuhi seluruh
kebutuhannya. Di akhirat, tidak ada lagi sebab yang menghalangi antara
kamu dengan Allah Swt, karena seluruh kebutuhanmu akan langsung
terwujud dengan kata kun. Jika masalahnya seperti ini –dengan hanya
terlintas di benak, seluruh kehendak akan terwujud-, tidak seorang pun
yang dapat berbicara kepada-Nya. Begitu juga dengan para malaikat
yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya ke
pada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS at-
Tahrîm [66]: 6)
Di antara mereka adalah para malaikat yang berdiri bersaf-saf yang
tidak mampu berbicara kepada Allah, padahal mereka tidak melakukan
perbuatan maksiat, akan tetapi kebesaran dan keagungan tuhan
membuat mereka berdiri ‫ﺑﺎ‬‫ﻮﺍﺑ‬‫ﻮ‬‫ﻗﹶﻗﺎﻝﹶ ﺻ‬‫ ﻭ‬‫ﻤﻦ‬ ‫ﺣ‬
 ‫ﺮ‬ ‫ﻪ ﺍﻟ‬ ‫ﺫ ﹶﻥ ﹶﻟ‬ ‫ ﺃﹶ‬‫ﻦ‬‫ﻤﻤﻮ ﹶﻥ ﹺﺇ ﱠﻻ ﻣ‬ ‫ﺘ ﹶﻜ ﱠﻠ‬‫ﻳ‬ ‫ ﹶﻻ‬mereka
tidak berkata-kata kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh
Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar.
(QS an-Naba' [78]: 38)
Apakah masuk akal jika pada hari akhirat malaikat mengatakan hal-
hal yang tidak benar? Untuk menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu
harus kita ketahui apa arti shawâba/benar. Benar artinya kesesuaian
sesuatu dengan kenyataan, ini yang disebut dengan benar. Allah Swt
tidak mengizinkan seseorang untuk memberi syafaat kepada orang lain
kecuali atas rida Allah Swt. ***

Perintah Agar Manusia Memilih Jalan yang Benar


(QS an-Naba’ [78]: 38-40)
tsrqponmlkjihg
cba`_~}|{zyxwvu
qp onmlkjihgfed
Pada hari, ketika ruh dan Para Malaikat berdiri bershaf- shaf,
mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin
kepadanya oleh Tuhan yang Maha Pemurah; dan ia
mengucapkan kata yang benar. Itulah hari yang pasti terjadi.
Maka barang siapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh

58
AN-NABA’ 78 JUZ 30

jalan kembali kepada Tuhannya. Sesungguhnya Kami telah


memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat,
pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua
tangannya; dan orang kafir berkata:”Alangkah baiknya
Sekiranya dahulu adalah tanah”.
Tidak ada keraguan akan terjadinya hari tersebut. Hari tersebut
adalah hari kebenaran. Artinya jika di dunia manusia dapat berbuat batil
dan hak secara bersamaan, akan tetapi di akhirat hal tersebut tidak dapat
terjadi, karena pada hari itu yang dapat berjalan hanyalah kebenaran.
Setelah Allah mengatakan hal ini, Dia kemudian berkata: “Aku telah
menyampaikan hal-hal yang menakutkan bagi kaum kafir pada hari
tersebut, dan nikmat-nikmat yang diberikan kepada orang-orang yang
bertakwa.” Allah berfirman: ‫ﺑﺎ‬‫ﻣﺂﺑ‬‫ﻪ ﻣ‬ ‫ﺑ‬‫ﺭ‬ ‫ﺬﹶ ﺇﹺﻟﹶﻟﻰ‬‫ﺨ‬‫ﺷﺎﺀَ ﺍﺗ‬ ‫ ﺷ‬‫ﻦ‬‫ ﻓﹶﻤ‬maka barang siapa
yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada
Tuhannya. (78:39) Artinya dia melalui jalan Tuhan untuk kembali
kepada-Nya.
‫ﺒﺎ‬‫ﺑﺎ ﻗﹶﺮﹺﺮﻳﺒ‬‫ﺬﹶﺬﺍﺑ‬‫ ﻋ‬‫ﻧﺎﻛﹸﻢ‬‫ﻧ‬‫ﺬﹶﺭ‬‫ﻧﺎ ﺃﹶﻧ‬‫ ﺇﹺﻧ‬sesungguhnya Kami telah memperingatkan
kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat. Dikatakan azab yang
dekat karena setiap sesuatu yang akan datang itu adalah sesuatu yang
dekat. Meskipun jarak masanya masih panjang, akan tetapi ia pasti
datang oleh sebab itu dikatakan dekat. Sebagai dalil atas hal ini adalah
firman Allah Swt: ‫ﻫﺎ‬‫ﺤﺎﻫ‬ ‫ﺤ‬‫ ﺿ‬‫ﺔﹰ ﺃﹶﻭ‬‫ﻴ‬‫ﺸ‬‫ﺜﹸﺜﻮﺍ ﺇﹺﻻﱠ ﻋ‬‫ﻠﹾﺒ‬‫ ﻳ‬‫ﻬﺎ ﻟﹶﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻧ‬‫ﺮﻭ‬ ‫ ﻳ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ ﻳ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ ﻛﹶﺄﹶﻧ‬pada hari
mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak
tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi
hari. (QS an-Nâziât [79]: 46) Selama ia pasti datang, maka ia adalah
dekat, dan Allah telah memberikan peringatan kepada manusia dengan
peringatan yang dekat.
Ayat Alquran mengatakan biarkan mereka melakukan sesuka
hatinya dan bermain hingga datang kepada mereka hari di mana tipu
daya mereka tidak bermanfaat bagi mereka dan tidak juga menjadi
penolong bagi mereka yaitu hari kiamat. ‫ﻚ‬  ‫ﺩﻭﻥﹶ ﺫﹶﻟ‬‫ﺑﺎ ﺩ‬‫ﺬﹶﺬﺍﺑ‬‫ﻤﻮﺍ ﻋ‬‫ ﻇﹶﻠﹶﻤ‬‫ﺬﻳﻦ‬‫ﻠﱠﺬ‬‫ﺇﹺﻥﱠ ﻟ‬‫ﻭ‬
sesungguhnya untuk orang-orang yang zalim ada azab selain itu. (QS at
-Thûr [52]: 47) Yaitu ketika neraka dinampakkan kepada mereka pada
pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat. Saat itu ‫ﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺧ ﹸﻠﻠﻮﺍ َﺀﺀﺍﻝﹶ ﻓ‬  ‫ﺩ‬ ‫ﺃﹶ‬
‫ﺬﹶﺬﺍ ﹺ‬‫ﺍﻟﹾﻌ‬
‫ﺏ‬ ‫ﺷﺪ‬ ‫ﹶﺃ‬ “masukkanlah Firaun dan kaumnya ke dalam azab yang
sangat keras.” (QS al-Mu’min [40]: 46) Ini terjadi pada hari kiamat,

59
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

akan tetapi sebelumnya Allah berkata: “Kepada mereka dinampakkan


neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat.
(Dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah Firaun dan kaumnya ke
dalam azab yang sangat keras.” (QS al-Mu’min [40]: 46)
Di sini Allah dapat mengatakan bahwa Dia telah memperingati
manusia dengan azab yang dekat, bukan saja hari kiamat, akan tetapi
juga dapat disaksikan oleh manusia di dunia dan berupa kenyataan dan
azab yang akan diberikan kepadanya saat di dalam kubur. Atau bisa
juga maksudnya adalah hari kiamat karena setiap yang pasti datang
adalah dekat.
‫ﻩ‬ ‫ﺪﺪﺍ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺖ‬
 ‫ﻣ‬‫ﻣﻣﺎ ﹶﻗﺪ‬ ‫ﺮ ُﺀ‬ ‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻈﹸﺮ‬‫ﻨ‬‫ ﻳ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ﺒﺎ ﻳ‬‫ﺑﺎ ﻗﹶﺮﹺﺮﻳﺒ‬‫ﺬﹶﺬﺍﺑ‬‫ ﻋ‬‫ﻧﺎﻛﹸﻢ‬‫ﻧ‬‫ﺬﹶﺭ‬‫ﻧﺎ ﺃﹶﻧ‬‫ ﺇﹺﻧ‬sesungguhnya Kami telah
memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada
hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya.
(QS an-Naba' [78]: 40) Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala
kebajikan dihadapkan (di mukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah
dikerjakannya; Ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada
masa yang jauh. (QS Âli 'Imrân [3]: 30)
Ditutup dengan: ‫ﺑﺎ‬‫ﺮﺍﺑ‬‫ﺮ‬‫ ﺗ‬‫ﺖ‬‫ﻨﹺﻨﻲ ﻛﹸﻨ‬‫ﺘ‬‫ﻳﺎﻟﹶﻴ‬‫ ﻳ‬‫ﺮ‬‫ﻜﺎﻓ‬ ‫ﻘﹸﻘﻮﻝﹸ ﺍﻟﹾﻜﹶ‬‫ﻳ‬‫ ﻭ‬orang kafir berkata:
“Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah”. Apa arti
alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah? (78: 40) Hal ini
diucapkan karena manusia diciptakan dari tanah. Maksudnya alangkah
baiknya jika aku masih menjadi tanah dan tidak pernah ada, hingga aku
tidak diberi beban atau diuji dengan taklif untuk taat atau durhaka. Atau
alangkah baiknya jika aku dipaksa seperti tanah.
Kita mohon kepada Allah agar selalu menjadikan kita sebagai
orang-orang yang bertakwa atau membuat bagi kita tempat kembali
kepadanya dan melindungi kita dari keburukan hawa nafsu dan
keburukan setan serta mewujudkan harapan saya dan kalian. ***

60
AN-NÂZI‘ÂT 79 JUZ 30

SURAT 79
AN-NÂZI‘ÂT
(MAKKIYAH)

61
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

62
AN-NÂZI‘ÂT 79 JUZ 30

Saya memujimu Tuhanku sebagaimana Engkau mengajarkan saya


bagaimana untuk memuji, salawat dan salam atas sebaik-baik makhluk-
Mu sayyidina Muhammad. Wa ba’du:
Kita telah mengakhiri pembahasan seputar surat an-Naba’ dalam
pertemuan sebelumnya. Surat tersebut dimulai Allah dengan pertanyaan
‘amma yang mengandung pengagungan. Kemudian Allah menjelaskan
bahwa masalah yang mereka pertanyakan, mereka nafikan, mereka
ragukan, memberikan dua pengetahuan kepada mereka. Pertama, ketika
mereka menyaksikan guncangan pertama di alam yang mereka diami
ini. Kedua, ketika mereka berinteraksi dengan kenyataan pada hari itu
dan hal-hal menakutkan yang ada padanya, serta balasan apa yang
mereka dapatkan pada hari tersebut.
Kemudian Allah menerangkan dua jenis tempat kembali pada hari
itu: Pertama, tempat kembali bagi orang-orang yang mendustakan dan
meragukan adanya pembangkitan, hal ini dijelaskan Allah dalam
firmanNya: ‫ﺑﺎ‬‫ﻣﺂﺑ‬‫ ﻣ‬‫ﲔ‬‫ﻟﻠﻄﱠﻄﺎﻏ‬‫ ﻟ‬lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang
yang melampaui batas. Kedua, tempat kembali orang-orang yang
bertakwa yaitu ampunan Allah dan rahmat-Nya sebagai balasan dan
pemberian serta perhitungan. Kemudian Allah memaparkan bahwa hal
itu adalah benar. Jika sebelumnya mereka ragu karena ia adalah perkara
yang gaib bagi manusia, maka sekarang mereka tidak perlu lagi ragu-
ragu karena hal tersebut kini nyata di hadapan mereka.
Allah menutup surat tersebut dengan firman-Nya:
‫ﺑﺎ‬‫ﺮﺍﺑ‬‫ﺮ‬‫ﺖ ﺗ‬
 ‫ﺘﹺﻨﻨﻲ ﹸﻛﻨ‬‫ﻴ‬ ‫ﻳﺎﹶﻟ‬‫ ﻳ‬‫ﺮ‬‫ﻘﹸﻘﻮﻝﹸ ﺍﻟﹾﻜﹶﻜﺎﻓ‬‫ﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﺪﺍﻩ‬‫ﺪ‬‫ ﻳ‬‫ﺖ‬‫ﻣ‬‫ﻣﺎ ﹶﻗﺪ‬‫ﺮ ُﺀ ﻣ‬ ‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻈﹸﺮ‬‫ﻨ‬‫ ﻳ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ﺒﺎ ﻳ‬‫ﺑﺎ ﻗﹶﺮﹺﺮﻳﺒ‬‫ﺬﹶﺬﺍﺑ‬‫ﻢ ﻋ‬ ‫ﻧﻧﺎ ﹸﻛ‬‫ﺬﹶﺭ‬‫ﻧﺎ ﺃﹶﻧ‬‫ﺇﹺﻧ‬
sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir)
siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat
oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata: “Alangkah baiknya
sekiranya aku dahulu adalah tanah.” (QS an-Naba' [78]: 40)
Yang harus diperhatikan dalam surat ini adalah sebuah bentuk
penetapan kebenaran yang dijelaskan oleh Allah. Pengukuhan
kebenaran memerlukan dua hal yaitu dengan kesaksian dan sumpah.
Oleh sebab itu dikatakan: “Hendaklah orang yang menuntut
mengajukan bukti sedangkan orang yang mengingkari hendaklah
memberikan sumpah.” Jadi sarana penetapan kenyataan bisa dengan
kesaksian atau dengan sumpah.
Dalam surat ini dapat dilihat bahwa Allah mengemukakan
kebenaran dengan kesaksian: ‫ﺩﺍ‬‫ﺗﺎﺩ‬‫ﺗ‬‫ﺒﺎﻝﹶ ﺃﹶﻭ‬‫ﻭﺍﻟﹾﺠﹺﺒ‬‫ﺩﺍ)(ﻭ‬‫ﻬﺎﺩ‬‫ﻬ‬‫ ﻣ‬‫ﺽ‬‫ﻞﹺ ﺍﻷَﺭ‬‫ﻌ‬‫ﺠ‬‫ ﻧ‬‫ ﺃﹶﻟﹶﻢ‬bukankah

63
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? dan gunung-


gunung sebagai pasak? (QS an-Naba' [78]: 6-7) hingga akhir firman-
Nya. Itulah bukti yang menguatkan bahwa Allah yang menciptakan
segala sesuatu dengan kekuasaan-Nya, Dia yang telah menciptakan dan
mengaturnya dengan hikmah-Nya. Dia mengaturnya dengan pengaturan
yang sesuai di mana setiap jenis melakukan fungsinya masing-masing
dengan sempurna. Ini yang disebut dengan kesaksian; atau kesaksian
alam bagi kebenaran hakikat pembangkitan.
Di samping itu Allah juga menguatkan kebenaran tersebut dengan
kesaksian. Karena Dia berfirman: ‫ﻌ ﹾﻠ ﹺﻢ‬ ‫ﻭﹸﺃﺃﻭﹸﻟﻟﻮ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻜ ﹸﺔ‬ ‫ﺋ ﹶ‬‫ﻼ‬
‫ ﹶ‬‫ﻭﺍﻟﹾﻤ‬‫ ﻭ‬‫ﻮ‬‫ﻪ ﹺﺇﻻﱠ ﻫ‬ ‫ﻪ ﹶﻻ ﹺﺇﹶﻟ‬ ‫ﻧ‬‫ﻪ ﹶﺃ‬ ‫ﺪ ﺍﻟﱠﻠ‬ ‫ﺷ ﹺﻬ‬
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para malaikat
dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu).
(QS Âli 'Imrân [3]: 18) Ini yang disebut dengan kesaksian.
Sedangkan penguatan kebenaran dengan sumpah disebutkan Allah
dalam ayat: ‫ﻖ‬
‫ﺤ‬ ‫ﻪ ﹶﻟ‬ ‫ﻧ‬‫ﺽ ﹺﺇ‬
‫ﺭ ﹺ‬ َ‫ﻭﺍﻷ‬‫ﻤﺎﺀِ ﻭ‬‫ﻤ‬‫ ﺍﻟﺴ‬‫ﺏ‬‫ﺭ‬‫ ﻓﹶﻮ‬maka demi Tuhan langit dan bumi,
sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi)
seperti perkataan yang kamu ucapkan. (QS adz-Dzâriyât [51]: 23) Jadi
Allah menegaskan kebenaran dengan sumpah.
Surat an-Naba’ memaparkan keterangan yang sifatnya menegaskan.
Seakan-akan penjelasan tentang alam merupakan kesaksian atas
kebenaran apa yang dikatakan oleh Allah, dan apa yang diingkari oleh
kaum kafir. Kemudian datang surat an-Nazi’at atau surat as-Sahirah
atau surat at-Thammah yang dimulai dengan sumpah. Inilah hubungan
antar dua surat, jika surat an-Naba’ melakukan menguatkan kebenaran
akan adanya pembangkitan dengan kesaksian, maka surat an-Nazi’at
dengan sumpah. Jadi kebenaran telah ditetapkan dengan dua rukun
dasar: kesaksian dan sumpah.
Ketika Allah Swt bersumpah: ‫ﺕ‬  ‫ﺤﺎ‬‫ﺴﺎﺑﹺﺤ‬
‫ﻭﺍﻟﺴ‬‫ﻄﹰﻄﺎ)(ﻭ‬‫ﺸ‬‫ ﻧ‬‫ﻄﹶﻄﺎﺕ‬‫ﻨﺎﺷ‬‫ﻭﺍﻟﻨ‬‫ﻗﹰﻗﺎ)(ﻭ‬‫ ﻏﹶﺮ‬‫ﻋﺎﺕ‬‫ﻨﺎﺯﹺﻋ‬‫ﻭﺍﻟﻨ‬‫ﻭ‬
‫ﺩ ﹶﻓ ﹸﺔ‬ ‫ﺮﺍ‬‫ﻬﺎ ﺍﻟﺮ‬‫ﻬ‬‫ﻌ‬‫ﺒ‬‫ﺘ‬‫ﺮﺮﺍ ﹺﺟ ﹶﻔ ﹸﺔ)(ﺗ‬ ‫ﻒ ﺍﻟ‬
 ‫ﺟ‬ ‫ﺮ‬ ‫ ﺗ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ﺮﺍ)(ﻳ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﻣ‬‫ﺮﺍﺕ‬‫ﺮ‬‫ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻘﹰﻘﺎ)(ﻓﹶﻓﺎﻟﹾﻤ‬‫ﺳﺒ‬ ‫ﺕ‬
 ‫ﺴﺎﺑﹺﻘﹶﻘﺎ‬
‫ﺤﺎ)(ﻓﹶﻓﺎﻟﺴ‬
‫ﺤ‬
 ‫ﺒ‬‫ ﺳ‬demi
(malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras, dan
(malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut, dan
(malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat, dan (malaikat
-malaikat) yang mendahului dengan kencang, dan (malaikat-malaikat)
yang mengatur urusan (dunia). (Sesungguhnya kamu akan
dibangkitkan) pada hari ketika tiupan pertama mengguncangkan alam,
tiupan pertama itu diiringi oleh tiupan kedua. (79: 1-7)

64
AN-NÂZI‘ÂT 79 JUZ 30

Sumpah-sumpah ini bermaksud menguatkan kebenaran akan adanya


kebangkitan. sedangkan surat an-Naba’ memaparkan bahwa hari
keputusan adalah benar dan tidak diragukan. Akan tetapi surat an-Naba’
belum berbicara tentang mukaddimah yang mendahului pembangkitan
tersebut, lalu datang surat ini yang bersumpah atas nama ciptaan-Nya
sehingga mukaddimah atau tanda-tanda itu akan menjadi tetap. Adapun
hal-hal yang menyertai hari tersebut adalah guncangan hebat di langit
dan di bumi.
Hubungan lain antara surat an-Nazi’at dan surat an-Naba’ adalah
bahwa surat an-Naba’ mengatakan: ‫ﺗﺎ‬‫ﻣﻴﻘﹶﻘﺎﺗ‬‫ﻞﹺ ﻛﹶﻛﺎﻥﹶ ﻣ‬‫ ﺍﻟﹾﻔﹶﺼ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ ﹺﺇﻥﱠ ﻳ‬sesungguhnya
Hari Keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan.(QS an-Naba' [78]:
18) dalam wujud berita, dan: ‫ﻩ‬ ‫ﺪﺪﺍ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺖ‬
 ‫ﻣ‬‫ﻣﻣﺎ ﹶﻗﺪ‬ ‫ﺮ ُﺀ‬ ‫ﻤ‬ ‫ ﺍﻟﹾ‬‫ﻈﹸﺮ‬‫ﻨ‬‫ ﻳ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ﺒﺎ ﻳ‬‫ﺑﺎ ﻗﹶﺮﹺﺮﻳﺒ‬‫ﺬﹶﺬﺍﺑ‬‫ ﻋ‬‫ﻧﺎﻛﹸﻢ‬‫ﻧ‬‫ﺬﹶﺭ‬‫ﻧﺎ ﺃﹶﻧ‬‫ﺇﹺﻧ‬
sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir)
siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat
oleh kedua tangannya. (QS an-Naba' [78]: 40) Setelah itu datang surat
an-Nazi’at mengatakan:
‫ﻨﺎ‬‫ﻨ‬‫ﻳﻘﹸﻘﻮﻟﹸﻟﻮﻥﹶ ﺃﹶﺋ‬()‫ﻌ ﹲﺔ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﺧﺧﺎ‬ ‫ﻫﻫﺎ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺼﺎ‬
‫ﺼ‬‫ﻭﻭﺍ ﹺﺟ ﹶﻔ ﹲﺔ)(ﺃﹶﺑ‬ ‫ﺬ‬ ‫ﺌ‬‫ﻣ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺏ‬
 ‫ﺩ ﹶﻓ ﹸﺔ)( ﹸﻗ ﹸﻠﻠﻮ‬ ‫ﺮﺍ‬‫ﻬﺎ ﺍﻟﺮ‬‫ﻬ‬‫ﻌ‬‫ﺒ‬‫ﺘ‬‫ﺮﺮﺍ ﹺﺟ ﹶﻔ ﹸﺔ)(ﺗ‬ ‫ﻒ ﺍﻟ‬
 ‫ﺟ‬ ‫ﺮ‬ ‫ ﺗ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ﻳ‬
‫ﺮ ﹲﺓ‬ ‫ﺧﺎﺳ‬‫ﺮ ﹲﺓ ﺧ‬ ‫ ﺇﹺﺫﹰﺫﺍ ﹶﻛ‬‫ﻠﹾﻚ‬‫ﺮ ﹰﺓ)(ﻗﹶﻗﺎﻟﹸﻟﻮﺍ ﺗ‬ ‫ﺨ‬‫ﻣﺎ ﻧ‬‫ﻈﹶﻈﺎﻣ‬‫ﻨﺎ ﻋ‬‫ﺬﹶﺬﺍ ﻛﹸﻨ‬‫ﺓ)(ﺃﹶﺋ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺤﺎﻓ‬
‫ﻓﻲ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﺩﻭﻥﹶ ﻓ‬‫ﺩﻭﺩ‬‫ﺩ‬‫ﺮ‬‫( ﻟﹶﻤ‬sesungguhnya
k a m u a k a n d i b a n g k i t k a n ) p a d a h a r i k e t i k a t i u p a n p e rt a m a
mengguncangkan alam, tiupan pertama itu diiringi oleh tiupan kedua.
Hati manusia pada waktu itu sangat takut, pandangannya tunduk.
(Kaum kafir) berkata: “Apakah sesungguhnya kami benar-benar
dikembalikan kepada kehidupan yang semula? Apakah (akan
dibangkitkan juga) apabila kami telah menjadi tulang-belulang yang
hancur lumat?” Mereka berkata: “Kalau demikian, itu adalah suatu
pengembalian yang merugikan. (79: 6-12)
Jadi surat an-Nazi’at telah dimulai dengan sumpah untuk menyem-
purnakan pengukuhan kebenaran dengan sumpah, sebagaimana
dikuatkan terlebih dahulu dengan bukti atau kesaksian. Kita dihadapkan
dengan fenomena gaya bahasa yang ada di dalam Alquran, fenomena ini
adalah fenomena sumpah. Sumpah sama dengan halfu. Akan tetapi
sumpah di sini berasal dari Allah Swt dan sumpah harus terdiri dari
unsur-unsur di antaranya: adanya orang yang bersumpah, materi
sumpah, jawaban sumpah, dan shighah sumpah. Di samping itu harus
terdapat unsur yang menjadi sebab yang menyebabkan munculnya
sumpah, dan menuntut adanya hal-hal yang disumpahi. Jadi seluruh
sumpah mencakup unsur zat yang bersumpah. Dalam hal ini yang

65
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

menjadi zat yang bersumpah adalah Allah; dan menuntut adanya materi
sumpah yaitu pengukuhan adanya hari kiamat dan hal-hal yang
menakutkan yang ada padanya; dan menuntut adanya alat sumpah, dan
menuntut adanya orang-orang yang disumpahi yaitu mereka yang
mendustakan hari tersebut; juga menuntut adanya sebab sumpah. Jadi
hendaklah terlebih dahulu kita berbicara tentang unsur-unsur sumpah
satu demi satu.
Ketika seseorang bersumpah atas sesuatu, apa yang diinginkannya
dari sumpah tersebut? Dia ingin penguatan dan pembenaran sesuatu
yang disumpahkannya sehingga orang yang mendengar menjadi percaya
dan yakin. Akan tetapi manusia melihat sumpah dalam dua bentuk:
Pertama, sumpah yang datang atas suatu hal yang telah terjadi sebelum
bersumpah. Kedua, dan sesuatu yang terjadi setelah adanya sumpah.
Misalnya, yang bersumpah berkata: “Demi Allah saya telah berbuat
seperti ini kemarin,” ini adalah peristiwa yang telah terjadi sebelum
diucapkannya sumpah. Sedangkan yang mengatakan: “Demi Allah aku
akan melakukan seperti ini besok.” Ini adalah peristiwa yang datang
setelah diucapkannya sumpah.
Lalu yang menjadi tujuan dalam kedua sumpah tersebut? Jika kamu
bersumpah atas sesuatu yang telah berlalu, itu artinya kamu ingin
meyakinkannya dan menghilangkan keraguannya dan sesuatu yang
menjadi sumpah haruslah sesuatu yang besar, dan hendaklah ia
memiliki kekuatan yang memaksa yang kamu takuti jika kamu
berbohong dalam sumpahmu. Berbeda jika kamu bersumpah atas
sesuatu yang akan terjadi. Itu artinya kamu mengharuskan dirimu untuk
melakukan sesuatu tersebut.
Hal ini jika sumpah berasal dari makhluk, lalu bagaimana kita
menafsirkan sumpah jika berasal dari Allah dan ditinjau dari kedua sisi
ini? Apakah Allah boleh bersumpah atas sesuatu yang telah terjadi
sebelum Dia bersumpah atau atas sesuatu yang terjadi setelah Dia
bersumpah. Jika Dia melakukannya, maka Dia telah bersumpah atas
sesuatu yang besar yang pada sesuatu yang besar ini terdapat kekuatan,
paksaan, dan kekerasan yang Dia takuti apabila berdusta karena akan
mendapatkan hukuman atau azab darinya? Tentu ini mustahil bagi
Allah.
Biasanya sumpah datang dengan berbagai hal yang dalam
pandangan para makhluk dapat memberikan manfaat dan pengaruh pada
kehidupan mereka. Orang-orang yang menyembah matahari misalnya,
melihat bahwa di dalam matahari terdapat manfaat dan pengaruh bagi

66
AN-NÂZI‘ÂT 79 JUZ 30

kehidupan mereka sehingga mereka merasa perlu untuk mengagungkan


zatnya. Mereka tidak melihatnya sebagai makhluk Allah karena jika
mereka melihatnya sebagai makhluk Allah, tentu mereka tidak akan
mengagungkannya. Seharusnya mereka tidak mengagungkan sesuatu
yang berada dibawah kendali sesuatu, akan tetapi yang seharusnya
mereka agungkan adalah siapa yang mengendalikannya untuk mereka.
Adapun sumpah Allah dengan hal-hal tersebut bertujuan untuk
memalingkan pikiran pendengar ketika Dia bersumpah bahwa hal-hal
tersebut dijadikan sumpah karena sangat agung menurut mereka dan
untuk mengarahkan mereka kepada apa yang terjadi setelahnya.
Sebagai contoh firman Allah Swt: ‫ﻫﺎ‬‫ﺤﺎﻫ‬ ‫ﺤ‬‫ﺿ‬‫ﺲﹺ ﻭ‬‫ﻤ‬‫ﻭﺍﻟﺸ‬‫ ﻭ‬demi matahari dan
cahayanya di pagi hari. (QS asy-Syams [91]: 1) Ketika manusia
mendengar Allah bersumpah atas nama matahari, mereka memahami
bahwa matahari itu besar seperti yang mereka yakini dan di dalamnya
terdapat banyak hal. Oleh sebab itu Allah Swt bersumpah atas nama
matahari: ‫ﻫﺎ‬‫ﺸﺎﻫ‬
‫ﺸ‬‫ﻐ‬‫ﻞﹺ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﻳ‬‫ﻭﺍﻟﻠﱠﻴ‬‫ﻫﺎ)(ﻭ‬‫ﻼﱠﻫ‬‫ﻬﺎﺭﹺ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺟ‬‫ﻬ‬‫ﻭﺍﻟﻨ‬‫ﻫﺎ)(ﻭ‬‫ﻼﹶﻫ‬‫ﺮﹺ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺗ‬‫ﻭﺍﻟﹾﻘﹶﻤ‬‫ﻫﺎ)(ﻭ‬‫ﺤﺎﻫ‬
‫ﺤ‬‫ﺿ‬‫ﺲﹺ ﻭ‬‫ﻤ‬‫ﻭﺍﻟﺸ‬‫ﻭ‬
demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila
mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam
apabila menutupinya. (QS as-Syams [91]: 1-4) atau menutupinya
hingga tenggelam. Mereka melihat di dalamnya terdapat ayat yang
menentang apa yang mereka yakini. Karena sesuatu yang disembah
tidak boleh hilang atau tenggelam. Oleh itu Ibrahim berkata: ‫ﺐ‬  ‫ﺣ‬ ‫ﹶﻗﻗﺎ ﹶﻝ ﹶﻻ ﹸﺃ‬
 ‫ﻠ‬‫ ﺍﻵﻓ‬saya tidak suka kepada yang tenggelam. (QS al-An'âm [6]: 76)
‫ﲔ‬
Jadi Allah bersumpah atas nama sesuatu yang mereka anggap agung
karena memberikan banyak manfaat kepada mereka adalah untuk
menarik perhatian. Setelah mereka menaruh perhatian atas seruan ini,
Allah lalu menyebutkan bantahan atas apa yang mereka yakini.
Misalnya tentang malaikat: ‫ﺮﺍ‬‫ﻛﹾﺮ‬‫ ﺫ‬‫ﻴﺎﺕ‬‫ﻴ‬‫ﺘﺎﻟ‬‫ﺮﺍ)(ﻓﹶﻓﺎﻟﺘ‬‫ﺮ‬‫ﺟ‬‫ ﺯ‬‫ﺮﺍﺕ‬‫ﺰﺍﺟﹺﺮ‬‫ﻔﺎ)(ﻓﹶﻓﺎﻟﺰ‬‫ﺻﻔ‬
 ‫ﺕ‬
 ‫ﺼﺎﻓﱠﻓﺎ‬
‫ﻭﻭﺍﻟﺼ‬
demi (rombongan) yang bershaf-shaf dengan sebenar-benarnya, dan
demi (rombongan) yang melarang dengan sebenar-benarnya (dari
perbuatan-perbuatan ma` siat), dan demi (rombongan) yang
membacakan pelajaran. (QS ash-Shaffât [37]: 1-3) Para malaikat yang
mereka yakini memiliki pengaruh bagi mereka ternyata berdzikir dan
mensucikan Allah Swt.
Jika malaikat patut disembah seperti apa yang mereka pahami, tentu
para malikat tidak akan menyembah yang lain, akan tetapi mereka

67
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

memberi peringatan dan bertasbih ‫ﺪ‬ ‫ﺣ‬


 ‫ﻮﻮﺍ‬ ‫ﻢ ﹶﻟ‬ ‫ﻬ ﹸﻜ‬ ‫ﺮﺍ)(ﹺﺇﻥﱠ ﺇﹺﹶﻟ‬‫ﻛﹾﺮ‬‫ ﺫ‬‫ﻴﺎﺕ‬‫ﻴ‬‫ﺘﺎﻟ‬‫ ﻓﹶﻓﺎﻟﺘ‬demi
(rombongan) yang membacakan pelajaran, sesungguhnya Tuhanmu
benar-benar Esa. (QS ash-Shaffât [37]: 3-4)
Allah Swt bersumpah atas nama banyak hal, karena kebiasaan yang
berlaku saat itu membuatnya menjadi sesuatu yang biasa sehingga
dengan bersumpah atas nama-nama tersebut, umat manusia yang ada
saat itu mengarahkan perhatian mereka kepada apa yang akan
disampaikan setelahnya. Mengapa Allah bersumpah atas nama-nama
tersebut? Tentu hal ini mengandung banyak manfaat. Sebelumnya,
mereka hanya memperhatikan hal-hal yang menurut mereka banyak
memberikan manfaat kepada mereka sehingga cenderung meninggikan
derajat sesuatu untuk kemudian menyembahnya dan melupakan Allah
sebagai Tuhan alam raya.
Di samping itu, Allah ingin menarik perhatian mereka karena kita
cenderung mengatakan bahwa apabila Allah bersumpah atas nama
makhluk, itu menandakan bahwa makhluk tersebut memiliki derajat
yang tinggi namun kita remehkan. Misalnya:
‫ﺗ ﹾﻘ ﹺﻮ ﹴﱘ‬ ‫ﺴ ﹺﻦ‬
 ‫ﺣ‬ ‫ﻓﻓﻲ ﹶﺃ‬ ‫ﺴﺎ ﹶﻥ‬
‫ﺴ‬
 ‫ﻨﺎ ﺍﻹِﻧ‬‫ﻠﹶﻘﹾﻨ‬‫ﺪ ﺧ‬ ‫ﲔ)(ﹶﻟ ﹶﻘ‬
‫ ﹺ‬‫ﺪ ﺍ َﻷﻣ‬ ‫ﺒ ﹶﻠ‬‫ﺬﹶﺬﺍ ﺍﹾﻟ‬‫ﻫ‬‫ﲔ)(ﻭ‬
 ‫ﺳﻴﻨﹺ‬‫ﻃﹸﻃﻮﺭﹺ ﺳ‬‫ﻥ)(ﻭ‬ ‫ﺘﺘﻮ‬‫ﻳ‬ ‫ﺰ‬ ‫ﻭﺍﻟ‬‫ﲔﹺ ﻭ‬‫ﻭﺍﻟﺘ‬‫ﻭ‬
demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan demi kota
(Mekah) ini yang aman, sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (QS at-Tîn [95]: 1-4) Jadi
ada dua hal yang menjadi tujuan sumpah Allah. Pertama, untuk
merendahkan sesuatu yang menurut manusia besar sehingga tidak layak
untuk disembah. Kedua, untuk memperingatkan manusia akan manfaat
hal-hal yang sering mereka remehkan namun ternyata memberikan
banyak manfaat bagi mereka.
Allah Swt bersumpah dengan banyak hal, misalnya Dia bersumpah
dengan zat-Nya, dengan rububiyah: ‫ﺑﺑﻲ‬‫ﺭ‬ ‫ ﻗﹸﻞﹾ ﺇﹺﺇﻱ ﻭ‬‫ﻮ‬‫ ﻫ‬‫ﻖ‬‫ ﺃﹶﺣ‬‫ﻚ‬‫ﺒﹺﺌﹸﺌﻮﻧ‬‫ﻨ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ﻳ‬‫ ﻭ‬mereka
menanyakan kepadamu: “Benarkah (azab yang dijanjikan) itu?”
Katakanlah: “Ya, demi Tuhan-ku”. (QS Yûnus [10]: 53) Ia juga
berkata: “Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan
dibangkitkan.” (QS at-Taghâbun [64]: 7) ‫ﲔ‬  ‫ﻌ‬‫ﺟﻤ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺄﹶﻟﹶﻨ‬‫ﺴ‬‫ ﻟﹶﻨ‬‫ﻚ‬‫ﺑ‬‫ﺭ‬‫ ﻓﹶﻮ‬demi
Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua. (QS al-Hijr [15]:
92) ‫ﺏ‬
‫ﻐﺎﺭﹺ ﹺ‬‫ﻐ‬‫ﻭﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺸﺎﺭﹺﻕﹺ ﻭ‬
‫ﺸ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺏ‬‫ ﺑﹺﺮ‬‫ ﻓﹶﻼﹶ ﺃﹸﻗﹾﺴِﻢ‬Aku bersumpah dengan Tuhan Yang
Mengatur tempat terbit dan terbenamnya matahari, bulan dan bintang.
(QS al-Ma'ârij [70]: 40) ‫ﺮﻭ ﹶﻥ‬‫ﺮ‬‫ﺼ‬‫ﺒ‬‫ﻣﺎ ﻻﹶ ﺗ‬‫ﻣ‬‫ﺮﻭ ﹶﻥ)(ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﺼ‬‫ﺒ‬‫ﻤﺎ ﺗ‬‫ ﺑﹺﻤ‬‫ ﻓﹶﻼﹶ ﺃﹸﻗﹾﺴِﻢ‬Aku bersumpah

68
AN-NÂZI‘ÂT 79 JUZ 30

dengan apa yang kamu lihat. Dan dengan apa yang tidak kamu lihat.
(QS al-Haqqah [69]: 38-39)
Jadi Allah sesekali bersumpah dengan Zat-Nya dan sesekali dengan
ciptaan-Nya. Adapun sumpah atas nama zat-Nya, maka kebolehannya
telah kita sepakati bersama. Sedangkan sumpah-Nya atas nama ciptaan-
Nya seperti matahari dan waktu dhuhanya: ‫ﺠﻰ‬ ‫ﺠ‬‫ﻞﹺ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺳ‬‫ﻭﺍﻟﻠﱠﻴ‬‫ﺤﻰ)(ﻭ‬
‫ﺤ‬‫ﻭﻭﺍﻟﻀ‬ demi
waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah
sunyi. (QS adh-Dhuha [93]: 1-2) atau bersumpah dengan tumbuh-
tumbuhan: ‫ﻥ‬ ‫ﺘﺘﻮ‬‫ﻳ‬‫ﺰ‬ ‫ﻭﺍﻟ‬‫ﲔﹺ ﻭ‬‫ﻭﺍﻟﺘ‬‫ ﻭ‬demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun. (QS at-Tîn
[95]: 1) atau atas nama malaikat: ‫ﻔﺎ‬‫ﺻﻔ‬  ‫ﺕ‬  ‫ﺼﺎﻓﱠﻓﺎ‬
‫ﻭﻭﺍﻟﺼ‬ demi (rombongan) yang
bershaf-shaf dengan sebenar-benarnya. (QS ash-Shaffât [37]: 1) semua
ini bertujuan untuk menegaskan sesuatu dan hakikatnya.
Misalnya Allah bersumpah untuk menetapkan ketuhananNya yang
Esa, maka Dia berfirman: ‫ﺪ‬ ‫ﺣ‬  ‫ﻮﻮﺍ‬ ‫ﻢ ﹶﻟ‬ ‫ﻬ ﹸﻜ‬ ‫ ﹺﺇﻥﱠ ﺇﹺﹶﻟ‬sesungguhnya Tuhanmu benar-
benar Esa. (QS ash-Shaffât [37]: 4) Pada kesempatan yang lain Dia
bersumpah untuk menegaskan bahwa Alquran al-Karim adalah benar:
‫ﻄ ﹸﻘﻘﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻨ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻧ ﹸﻜ‬‫ﻣﻣﺎ ﹶﺃ‬ ‫ﻣ ﹾﺜ ﹶﻞ‬ ‫ﻖ‬ ‫ﺤ‬
 ‫ﻪ ﹶﻟ‬ ‫ﻧ‬‫ﺽ ﹺﺇ‬
‫ﺭ ﹺ‬ َ‫ﻭﻭﺍﻷ‬ ‫ﻤﻤﺎ ِﺀ‬ ‫ﺴ‬  ‫ ﺍﻟ‬‫ﺏ‬‫ﺭ‬‫ ﻓﹶﻮ‬maka demi Tuhan langit dan
bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan
terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan. (QS adz-Dzâriyât [51]:
23) Ia bersumpah atas kebenaran rasul-Nya Saw karena mereka dahulu
telah membohonginya: ‫ﲔ‬  ‫ﻠ‬‫ﺳ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ ﻟﹶﻤ‬‫ﻚ‬‫ﻜﻜﻴ ﹺﻢ)(ﺇﹺﻧ‬ ‫ﺤ‬  ‫ ﺍﻟﹾ‬‫ﺮﺀَﺀﺍﻥ‬ ‫ﻭﺍﻟﹾﻘﹸ‬‫ ﻳﺲ)(ﻭ‬Yâ Sîn. Demi
Alquran yang penuh hikmah, sesungguhnya kamu salah seorang dari
rasul-rasul. (QS Yâsîn [36]: 1-3) Lalu Allah bersumpah: “Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman,” (QS al-‘Ashr [103]: 1-3) Semua ini
berhubungan dengan manusia, dan ketika manusia secara mutlak tidak
terikat dengan ajaran langit maka mereka akan benar-benar mendapat
kerugian.
Allah berfirman: ‫ﻨﻨﻰ‬‫ﻐ‬ ‫ﺘ‬‫ﺳ‬  ‫ﻩ ﺍ‬ ‫ﺭﺭﺁ‬ ‫ﻐﻐﻰ)(ﹶﺃ ﹾﻥ‬ ‫ﻴ ﹾﻄ‬‫ﺴﺎ ﹶﻥ ﹶﻟ‬ ‫ﺴ‬
 ‫ﻼ ﹺﺇ ﱠﻥ ﺍﻹِﻧ‬ ‫ ﹶﻛ ﱠ‬ketahuilah! Sesung
guhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat
dirinya serba cukup. (QS al-'Alaq [96]: 6-7) Akan tetapi ditemukan
orang yang makmur tetapi tidak melampaui batas. Apa yang menjaga
mereka dari kesombongan itu, padahal Allah mengatakan: “Ketahuilah!
Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia
melihat dirinya serba cukup.” (QS al-'Alaq [96]: 6)

69
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Setiap kali Allah memberikan kekayaan dan kemakmuran kepada


orang yang memiliki ikatan dengan ajaran langit, maka dia akan
mengingat Allah, dan ketika dia terhalang dari sifat melampaui batasnya
atau sifat kesombongannya. Dia selalu mengingat posisinya sebagai
khalifah Allah di bumi ini. Jadi manusia yang melampaui batas adalah
manusia yang jauh dari ajaran langit:‫ ﹴﺮ‬‫ﺴ‬‫ﻔﻲ ﺧ‬‫ﺴﺎﻥﹶ ﻟﹶﻔ‬
‫ﺴ‬‫ ﹺﺮ)(ﺇﹺﻥﱠ ﺍﻹِﻧ‬‫ﺼ‬‫ﻭﺍﻟﹾﻌ‬‫ ﻭ‬demi
masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian”
atau secara mutlak dia jauh dari ajaran Allah hingga dia berada dalam
kerugian.
Apa yang menyelamatkan manusia dari kerugian? Allah berfirman:
“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS al-‘Ashr [103]: 1-3) ***

PENEGASAN HARI BERBANGKIT KEPADA KAUM


MUSYRIK YANG MENGINGKARINYA
(QS an-Nâzi‘ât [79]: 1-5)
  zyxwvutsr
¡~}|{
Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras,
dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah-
lembut, dan (malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan
cepat, dan (malaikat-malaikat) yang mendahului dengan
kencang, dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia)
Ketika Allah bersumpah dengan ciptaan-Nya, Dia bersumpah atas
sesuatu yang berhubungan dengan manusia sebagai khalifah yang lupa
diri dengan merasa diri sebagai penguasa di alam ini, padahal dia
sebenarnya adalah khalifah atau wakil. Kerusakan alam secara
keseluruhan dikarenakan pandangan manusia yang menganggap dirinya
sebagai penguasa alam.
Ketika kita melihat sumpah Allah, maka akan menemukan
kesamaran di dalamnya seperti, demi (malaikat-malaikat) yang
mencabut (nyawa) dengan keras, dan (malaikat-malaikat) yang
mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut, dan (malaikat-malaikat) yang
turun dari langit dengan cepat, dan (malaikat-malaikat) yang
mendahului dengan kencang, dan (malaikat-malaikat) yang mengatur

70
AN-NÂZI‘ÂT 79 JUZ 30

urusan (dunia). (79: 1-5)


Di sini terdapat sumpah dengan berbagai hal, hanya saja hal-hal ini
diliputi oleh kesamaran, hingga membuat pikiran memeliki berbagai
bentuk pemahaman. Padahal kesamaran ini adalah merupakan salah satu
jenis dari penjelasan. Kenapa? Karena jika Allah menjelaskannya, maka
hal tersebut akan memiliki satu pengertian, akan tetapi ketika Dia
menyamarkan maksudnya, maka pikiran akan memiliki banyak bentuk
pemahaman untuk mencari tahu apa itu an-Nâzi‘ât dan apa itu an-
Nâsyithât, as-Sâbihât. Ulama menafsirkannya dengan berbagai makna,
yang semuanya ini berasal dari kandungan lafadz.
Ketika pembaca melihat di dalam Alquran hal-hal yang samar
mengenai sesuatu, maka ketahuilah bahwa hal tersebut adalah salah satu
tujuan dari penjelasan. Karena sesuatu apabila dijelaskan dengan satu
bentuk keterangan sedangkan Allah menginginkan agar pikiranmu
memiliki berbagai bentuk pemahaman, dan seluruh bentuk tersebut
kamu temukan sandaran nashnya. Jadi penjelasannya tidak terbatas dan
kesamarannya tak terhitung.
Hal ini pernah kita jelaskan ketika berbicara tentang firman Allah
yang berkenaan dengan pohon zaqqum. ‫ﻞ‬ ‫ ﹺ‬‫ﻬ‬‫ﺛﺛﻴ ﹺﻢ)(ﻛﹶﻛﺎﻟﹾﻤ‬‫ﻡ ﺍ َﻷ‬ ‫ﻌﻌﺎ‬ ‫ﺰ ﱡﻗﻗﻮ ﹺﻡ)( ﹶﻃ‬ ‫ﺮ ﹶﺓ ﺍﻟ‬ ‫ﺠ‬‫ﺇﹺﻥﱠ ﺷ‬
‫ﻤﻤﻴ ﹺﻢ‬ ‫ﺤ‬
 ‫ﻠﹾﻲﹺ ﺍﻟﹾ‬‫ﻥ)( ﹶﻛﻐ‬ ‫ﺒ ﹸﻄﻄﻮ‬‫ﻓﻓﻲ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻠﻠﻲ‬ ‫ﻐ‬ ‫ﻳ‬ sesungguhnya pohon zaqqum itu, makanan
orang yang banyak berdosa. (Ia) sebagai kotoran minyak yang
mendidih di dalam perut, seperti mendidihnya air yang sangat panas.
(QS ad-Dukhân [44]: 43-46) Pohon zaqqum adalah pohon yang ada di
Neraka, dan bagi kita neraka adalah sesuatu yang gaib.
Kita tidak akan pernah mengimaninya kecuali setelah Allah
menyatakan keberadaannya. Karena kita tidak mengetahui zaqqum,
maka wajib bagi Allah untuk menjelaskan kepada kita dengan sesuatu
yang kita ketahui di dunia ini. Ini adalah bentuk analogi dalam bahasa
dan sebuah analogi harus berdasarkan sesuatu yang kamu ketahui untuk
menjelaskan tentang sesuatu yang tidak diketahui. Oleh sebab itu ketika
kamu mengatakan “Zaid seperti si Fulan”, itu artinya kamu telah
mengenal Fulan dan tidak mengenal Zaid. Untuk memberikan gambaran
tentang Zaid, kamu katakan bahwa gambaran zaid adalah seperti si
Fulan. Jadi penyamaan harus menyertakan sesuatu yang samar dengan
sesuatu yang diketahui.
Adapun berkenaan dengan pohon zaqqum yang ada di neraka dan
tidak kita ketahui, maka untuk menganalogikannya Allah berfirman:

71
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

‫ ﹺ‬‫ﻴﺎﻃ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﻟﺸ‬‫ﺀُﺀﻭﺱ‬‫ ﺭ‬‫ﻪ‬‫ﻬﺎ ﻛﹶﺄﹶﻧ‬‫ﻬ‬‫ ﻃﹶﻠﹾﻌ‬mayangnya seperti kepala setan-setan. (QS ash-
‫ﲔ‬
Shaffât [37]: 65)
Namun kepala setan itu sendiri belum pernah kita lihat. Jadi yang
terjadi di sini adalah penyamaan sesuatu yang samar dengan sesuatu
yang samar lainnya. Sebagian orang menganggap hal ini tidak
memberikan pengetahuan tambahan. Sebenarnya ini adalah pandangan
yang hanya melihat sisi luarnya saja. Akan tetapi orang yang memiliki
pandangan yang teliti akan memahami bahwa ungkapan ini adalah
kalam Allah yang mengandung berbagai rahasia dan wajib bagi akal
untuk menyimpulkannya sesuai dengan kesadaran akal dalam
mengeluarkan apa yang dimaksudkannya. Ia akan melihat bahwa
kesamaran itu sendiri adalah tujuan dari penjelasan.
Bagaimana ini dapat terjadi? Karena jika Allah menyamakan pohon
zaqqum dengan sesuatu yang menjijikkan, yang menakutkan dan buruk
seperti yang kita ketahui, itu artinya Dia telah membatasi keburukan dan
kejelekan dalam sesuatu yang kita kenal. Sedangkan keburukan Zaqqum
melebihi hal-hal buruk yang kita kenal. Di samping itu karena sesuatu
itu dapat saja buruk bagi seseorang tetapi tidak demikian bagi yang lain.
Sesuatu bisa saja indah bagi seseorang tetapi belum tentu bagi orang
lain. Misalnya, ketika kita temukan bahwa bagi orang Negro tanda-
tanda kecantikan adalah mulut yang besar dan bibir yang tebal. Padahal
di pedalaman lainnya tidak demikian. Jadi pandangan manusia tentang
keburukan itu sendiri berbeda-beda.
Sebagai contoh lain, jika kita katakan kepada pelukis karikatur
seluruh dunia bahwa kita akan membuat perlombaan bagi mereka dalam
menggambar setan, maka akan datang jutaan gambar dan bentuk
sebagai hasil imajinasi orang yang membayangkan keburukan setan.
Jadi rupa yang buruk berbeda pandangan setiap orang. Jika Allah
menyamakan antara mayang pohon zaqqum dengan sesuatu yang buruk
yang diketahui oleh manusia, maka keburukannya akan menjadi
terbatas, akan tetapi ketika Ia berkata: ‫ﲔ‬
‫ ﹺ‬‫ﻴﺎﻃ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﻟﺸ‬‫ﺀُﺀﻭﺱ‬‫ ﺭ‬kepala setan-setan,
manusia akan memiliki pemahaman yang berbeda sesuai dengan
padangan mereka tentang sesuatu yang buruk. Jadi bentuk keburukan itu
bermacam-macam, dan selama bentuk keburukan tersebut bermacam-
macam maka ia adalah penjelasan; bukan kesamaran.
Sama halnya dengan sumpah yang ada di sini: ‫ﻗﹰﻗﺎ‬‫ ﻏﹶﺮ‬‫ﻋﺎﺕ‬‫ﻨﺎﺯﹺﻋ‬‫ﻭﺍﻟﻨ‬‫ ﻭ‬demi
(malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras. (79:1) Para

72
AN-NÂZI‘ÂT 79 JUZ 30

ulama berkata: “Apa arti an-Nâzi‘ât? Seseorang dari mereka berkata:


“Maksud dari an-Nâzi‘ât adalah para malaikat yang mencabut ruh
manusia ketika akan mati. Ketika mati, ruh manusia terbagi dua: bagian
yang mukmin dan bagian yang kafir. Bagi kekafiran tidak ada tempat
hidup baginya selain dunia ini karena ia tidak mengimani akhirat. Jadi,
baginya tidak ada kehidupan kecuali di dunia.
Berbeda dengan orang mukmin, baginya dunia ini adalah tempat
yang rendah, dan tempat mulia adalah di surga. Jadi seluruh amal dan
upaya jiwanya, kelelahan dan jerih payahnya dalam menjalankan ajaran
Allah bertujuan untuk mengambil masa yang panjang dalam istirahat
dan nikmat di akhirat kelak. Bagi mukmin, dunia adalah sesuatu yang
hina, maka ketika dia didatangi sakaratul maut; dia tidak terkejut karena
dia ingin segera bertemu dengan Allah untuk menerima balasannya dan
mendapatkan kehidupan yang lapang tanpa kepedihan di dalamnya.
Pada hakekatnya mukmin rindu akan maut, kerinduan akan maut ini
membuatnya merasa ringan dalam menghadapi masalah kematian,
bahkan dia mengharapkannya. Lalu keadaan kafir ketika didatangi oleh
sakaratul maut yang begitu bergantung penuh pada kehidupan dunia
akan sedih dan menderita. Ruh akan dicabut darinya secara paksa dan
keras. Karena kata mencabut berarti mencabut sesuatu dari sesuatu yang
menahannya, dan orang kafir tertahan oleh kenikmatan hidup. Ruhnya
dicabut secara paksa dan keras karena ia tidak ingin berpisah dengan
kehidupan.
Kata an-Nâsyithât berasal dari kata ‫ ﺃﻧﺸﻄﺔ‬yang dalam bahasa pasaran
sering dikatakan: ‘uqdatun wa syanithatun, kata ‘uqdah digunakan
untuk mengikat sesuatu. Jika saya mengikat sesuatu dengan kuat, maka
saya akan lelah untuk membukanya, oleh sebab itu saya mengikatnya
dengan ikatan yang sedang-sedang saja, hingga ketika saya ingin
membukanya, saya dapat membukanya dengan mudah. Jadi, ruh
mukmin dapat terlepas dengan mudah, sedangkan ruh orang kafir
dicabut dengan keras. Ketika para malaikat mencabut ruh orang kafir,
maka proses tersebut adalah bentuk pencabutan dari kelengketannya
dengan kehidupan, karena sangat rakus terhadapnya sehingga
pencabutan ini menimbulkan perlawanan.
‫ﻄﹰﻄﺎ‬‫ﺸ‬‫ ﻧ‬‫ﻄﹶﻄﺎﺕ‬‫ﻨﺎﺷ‬‫ﻭﺍﻟﻨ‬‫ﻗﹰﻗﺎ)(ﻭ‬‫ ﻏﹶﺮ‬‫ﻋﺎﺕ‬‫ﻨﺎﺯﹺﻋ‬‫ﻭﺍﻟﻨ‬‫ ﻭ‬demi (malaikat-malaikat) yang mencabut
(nyawa) dengan keras, dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa)
dengan lemah-lembut. (79:1-2) maksudnya adalah para malaikat yang

73
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

mencabut ruh dengan keras dan lembut. Mencabut dengan keras ruh-ruh
orang kafir dan mencabut dengan lembut ruh mukmin.
‫ﺤﺎ‬ ‫ﺤ‬‫ﺒ‬‫ ﺳ‬‫ﺤﺎﺕ‬‫ﺴﺎﺑﹺﺤ‬‫ﻭﺍﻟﺴ‬‫ ﻭ‬demi malaikat-malaikat) yang turun dari langit de-
ngan cepat. (79:3) Para malaikat turun dengan cepat ke alam ini karena
mereka memiliki berbagai misi. Misi-misi inilah yang membuat mereka
diciptakan. Sebagimana Allah berfirman: “Bagi manusia ada malaikat-
malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakang-
nya, mereka menjaganya atas perintah Allah.” (QS ar-Ra'ad [13]: 11)
Atau bahwa malaikat tersebut mencabut ruh dan membawanya pergi
untuk mengembalikan setiap ruh kepada tempatnya yang telah
disediakan.
‫ﻘﹰﻘﺎ‬‫ﺳﺒ‬ ‫ﺕ‬
 ‫ﺴﺎﺑﹺﻘﹶﻘﺎ‬
‫( ﻓﹶﻓﺎﻟﺴ‬malaikat-malaikat) yang mendahului dengan ken-
cang. (79:4) maksudnya untuk melaksanakan perintah-perintah Allah,
karena mereka tidak mendu rhakai Allah terhada p ap a yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan. (QS at-Tahrîm [66]: 6)
‫ﺮﺍ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﻣ‬‫ﺮﺍﺕ‬‫ﺮ‬‫ﺑ‬‫ﺪ‬‫( ﻓﹶﻓﺎﻟﹾﻤ‬malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia).
(79:5) Seakan-akan Allah bersumpah atas nama ciptaan-Nya ini untuk
menjelaskan bahwa para malaikat memiliki tugas, malaikat A
ditugaskan untuk menurunkan wahyu, yang B ditugaskan untuk
mencabut ruh, yang C ditugaskan untuk memberi rezeki dalam berbagai
kondisi. Di samping itu hal ini juga untuk menegaskan adanya hari
kiamat dan hari kiamat.
Penafsiran lain dari ayat-ayat di atas adalah: ayat pertama
ditafsirkan dengan bintang-bintang dan planet-planet dalam garis
edarnya yang tenggelam dalam sesuatu atau upaya. Planet-planet ini
memiliki garis edar tempat berjalan dan tidak pernah keluar dari garis
edar tersebut.
Ayat kedua ditafsirkan dengan, bintang-bintang yang ada di dalam
garis orbitnya yang berpindah dan keluar dari satu sudut kemudian
masuk ke dalam sudut yang lain. Ayat ketiga ditafsirkan dengan garis-
edar atau orbit. Masing-masing beredar pada garis edarnya. (QS Yâsîn
[36]: 40) Ayat keempat artinya, semuanya tidak berjalan dengan satu
kecepatan, karena setiap planet berjalan sesuai dengan kekuatan dan
garis edar serta sesuai dengan jarak yang ditempuh. Buktinya, jumlah
hari pada setiap planet berbeda. Bisa jadi jumlah hari di planet ini sudah
sebulan sedangkan di planet lain masih 17 dan di planet yang lainnya

74
AN-NÂZI‘ÂT 79 JUZ 30

sudah satu tahun.


Lalu timbul permasalahan pada ayat ‫ﺮﺍ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﻣ‬‫ﺮﺍﺕ‬‫ﺮ‬‫ﺑ‬‫ﺪ‬‫( ﻓﹶﻓﺎﻟﹾﻤ‬malaikat-
malaikat) yang mengatur urusan (dunia). (79:5) Karena jika Ia
bersumpah atas nama bintang-bintang, maka bintang-bintang tersebut
yang mengatur urusan-urusan? Apa yang dimaksud dengan mengatuir di
sini? Pengaturan urusan artinya di sini adalah membuat sesuatu menjadi
aktif dan menjadi sebab terciptanya sesuatu. Seperti api misalnya adalah
sebab terbakarnya sesuatu dan air sebab untuk kebasahannya. Maksud
para pengatur urusan adalah sesutu yang diperintahkan dan dikendalikan
untuk melakukan pekerjaan ini. Pengaturan urusan terbagi dua; urusan
dunia dan akhirat. Lalu bagaimana ia dapat mengatur hal-hal yang
berkenaan dengan masalah agama?
Bukankah planet matahari telah menerangkan hari-hari bagimu dan
menetapkannya serta menjelaskan tahun? Bukankah bulan telah
menerangkan kepadamu waktu-waktu ibadah. Dengan matahari kamu
dapat mengetahui kapan salat Subuh sebelum matahari terbit, kapan
salat Zhuhur ketika matahari ada di pertengahan, kapan salat Ashar
yaitu ketika bayangan segala sesuatu sama tinggi dengannya, dan kapan
salat Maghrib, yaitu ketika matahari terbenam; kapan salat Isya, yaitu
ketika syafaq merah telah hilang. Jadi ini planet matahari mengatur
waktu ibadah salat. Ia juga mengatur waktu haji serta waktu pemberian
zakat. Ia juga mengatur waktu puasa ketika bulan Ramadhan tiba.
Kemudian membatasi waktu siang dengan matahari dan waktu malam
dengan bulan, maka inilah yang dimaksud dengan pengatur-pengatur.
Di samping itu dapat kamu lihat bahwa ia tidak hanya mengatur
masalah ibadah saja, akan tetapi juga hal-hal yang berhubungan dengan
dunia. Seperti tenggelamnya matahari sehingga memberikan kegelapan
dan menciptakan ketenangan, sedangkan di sisi lain memberikan cahaya
sehingga kita dapat melakukan aktivitas kehidupan. Dengan panasnya
dapat menguapkan air lalu naik ke udara, hingga terjadi hujan. Jadi
segala peristiwa di alam ini memiliki kaitan terhadap pengaturan planet
matahari dan menjadikannya sebagai sebab. Akan tetapi merupakan
suatu kesalahan jika kita hanya memikirkan sebab dan melupakan
Penciptanya.
Penafsir lain berkata: “Yang dimaksud dengan ayat pertama adalah
jiwa yang beriman, atau kelompok-kelompok yang berusaha. Apa yang
mereka raih adalah karena mereka mencabut busur. Busur yang terbuat
dari dahan yang lembut dan dapat melekuk sehingga tidak mudah patah.

75
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Ketika sebuah anak panah diletakkan pada tali yang berada pada busur
lalu ditarik, maka kekuatan lemparnya besar dan jauh. Hal ini yang
dilakukan para mujahid untuk meraih kemenangan di medan
pertempuran; mereka menarik busur mereka dengan sepenuh tenaga
hingga akhir batas kebengkokan busur agar menghasilkan lemparan
yang lebih jauh. Jadi ayat kedua mengandung arti: hanya dengan
menarik dan melepaskan busur, anak panah dapat melesat menuju
musuh.
Ayat ketiga adalah kuda-kuda atau sarana perang yang berlari tanpa
menimbulkan guncangan padanya. Maksudnya ia berlari dengan
kencang akan tetapi pengendaranya merasa nyaman di dalam, tidak
guncangan. Ayat keempat artinya bahwa kuda-kuda itu saling
mendahului untuk sampai kepada musuh. Ayat kelima di dalam strategi
perang, pengaturan merupakan hal yang inti, di samping sarana perang
berbentuk alat perang (panah) dan transportasinya (kuda).
Dengan kesamaran lima ayat ini ia telah memberikan banyak
interpretasi dan gambaran. Gambaran tinggi tentang malaikat dan kita
tidak dapat melihat proses ini pada mereka karena ini adalah masalah
gaib. Namun sebagai gambaran nyatanya dapat kita lihat apa yang ada
pada planet-planet yang berhubungan dengan masalah Islam, atau
gambaran tentang perang dan strateginya. Jadi kesimpulannya adalah
kesamaran ayat Alquran memberikan arti yang bermacam dan beragam.
***

(QS an-Nâzi'ât [79]: 6-14)


®¬«ª©¨§¦¥¤£¢
¼»º ¹¸¶µ´³²±°¯
ËÊÉÈÇÆÅÄÃÂÁ À¿¾½
(Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan) pada hari ketika tiupan
pertama mengguncang alam, tiupan pertama itu diiringi oleh
tiupan kedua. Hati manusia pada waktu itu sangat takut,
pandangannya tunduk. (Kaum kafir) berkata: “Apakah
sesungguhnya Kami benar-benar dikembalikan kepada kehidupan
semula? Apakah (akan dibangkitkan juga) apabila Kami telah
menjadi tulang belulang yang hancur lumat?” Mereka berkata:
“Kalau demikian, itu adalah suatu pengembalian yang

76
AN-NÂZI‘ÂT 79 JUZ 30

merugikan”. Sesungguhnya pengembalian itu hanyalah satu kali


tiupan saja, maka dengan serta-merta mereka hidup kembali di
permukaan bumi.
Setelah Allah bersumpah dengan firmanNya pada ayat 1-5,
seharusnya Allah berkata: “Kalian akan dibangkitkan” sebelum mengata
-kan: ‫ﺟ ﹶﻔ ﹸﺔ‬
‫ﺮﺮﺍ ﹺ‬ ‫ﻒ ﺍﻟ‬
 ‫ﺟ‬ ‫ﺮ‬ ‫ ﺗ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ ﻳ‬pada hari ketika tiupan pertama mengguncangkan
alam, (79:6) sebagai jawaban sumpah berupa keterangan atas adanya
hari kebangkitan seperti yang telah Dia sumpahkan. Akan tetapi Allah
tidak menyebutkan itu. Apa alasannya?
Alasannya, agar akal pikiran mukmin bekerja dengan
memperhatikan dan mengingat ayat-ayat yang ada di dalam Alquran,
untuk diolah dan dikaitkan satu dengan yang lain. Alquran tidak dapat
diambil sepotong-sepotong. Karena bisa saja Allah menghapuskan
sesuatu dengan menyebutkan bandingannya pada banyak ayat yang lain.
Misalnya, ayat yang juga termasuk sumpah atas adanya hari kiamat:
 ‫ﺼﺎﺩ‬
‫ﻕ‬ ‫ﺪﻭﻥﹶ ﻟﹶﺼ‬‫ﺪ‬‫ﺗﻮﻋ‬‫ﻤﺎ ﺗ‬‫ﻤ‬‫ﺮﺍ)(ﺇﹺﻧ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﻣ‬‫ﻤﺎﺕ‬‫ﻤ‬‫ﻘﹶﺴ‬‫ﺮﺍ)(ﻓﹶﻓﺎﻟﹾﻤ‬‫ﺮ‬‫ﺴ‬‫ ﻳ‬‫ﻳﺎﺕ‬‫ﺠﺎﺭﹺﻳ‬
‫ﺮﺍ)(ﻓﹶﻓﺎﻟﹾﺠ‬‫ ﻭﹺﻗﹾﺮ‬‫ﻼﹶﺕ‬‫ﺤﺎﻣ‬
‫ﻭﻭﺍ)(ﻓﹶﻓﺎﻟﹾﺤ‬ ‫ ﺫﹶﺭ‬‫ﻳﺎﺕ‬‫ﻭﺍﻟﺬﱠﺬﺍﺭﹺﻳ‬‫ﻭ‬
‫ﻊ‬ ‫ﻗ‬ ‫ﻮﻮﺍ‬ ‫ﻦ ﹶﻟ‬ ‫ﺪﺪﻳ‬ ‫ﻭﹺﺇ ﱠﻥ ﺍﻟ‬ () demi (angin) yang menerbangkan debu dengan sekuat-
kuatnya, dan awan yang mengandung hujan, dan kapal-kapal yang
berlayar dengan mudah, dan (malaikat-malaikat) yang membagi-bagi
urusan, sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti benar, dan
sesungguhnya (hari) pembalasan pasti terjadi. (QS adz-Dzâriyât [51]: 1
-6)
Di dalamnya terdapat bentuk sumpah yang menegaskan kepastian
adanya hari kebangkitan, dengan firman-Nya: ‫ﻕ‬  ‫ﺼﺎﺩ‬ ‫ﺪﻭﻥﹶ ﻟﹶﺼ‬‫ﺪ‬‫ﺗﻮﻋ‬‫ﻤﺎ ﺗ‬‫ﻤ‬‫ﺇﹺﻧ‬
sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti benar. (QS adz-
Dzâriyât [51]: 5) Artinya, ketika Allah bersumpah dengan hal-hal yang
terkait dengan hari kiamat, maka pikiran akan memahaminya sebagai
penegasan datangnya hari kiamat.
Dia juga berfirman: ()‫ﺮﺍ‬‫ﺮ‬‫ﺸ‬‫ ﻧ‬‫ﺮﺍﺕ‬‫ﺮ‬‫ﻨﺎﺷ‬‫ﻭﺍﻟﻨ‬‫ﺼﻔﹰﻔﺎ)(ﻭ‬
 ‫ﻋ‬ ‫ﺕ‬
 ‫ﻔﹶﻔﺎ‬‫ﻌﺎﺻ‬‫ﻓﹰﻓﺎ)(ﻓﹶﻓﺎﻟﹾﻌ‬‫ﺮ‬‫ ﻋ‬‫ﻼﹶﺕ‬‫ﺳ‬‫ﺮ‬‫ﻭﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻭ‬
‫ﺮﺍ‬‫ﻛﹾﺮ‬‫ ﺫ‬‫ﻴﺎﺕ‬‫ﻴ‬‫ﻠﹾﻘ‬‫ﻗﹰﻗﺎ)(ﻓﹶﻓﺎﻟﹾﻤ‬‫ ﻓﹶﺮ‬‫ ﻓﹶﻓﺎﻟﹾﻔﹶﻔﺎﺭﹺﻗﹶﻗﺎﺕ‬demi malaikat-malaikat yang diutus untuk
membawa kebaikan, dan (malaikat-malaikat) yang terbang dengan
kencangnya, dan (malaikat-malaikat) yang menyebarkan (rahmat
Tuhannya) dengan seluas-luasnya, dan (malaikat-malaikat) yang
membedakan (antara yang hak dan yang bathil) dengan sejelas-
jelasnya, dan (malaikat-malaikat) yang menyampaikan wahyu, untuk
menolak alasan-alasan atau memberi peringatan, sesungguhnya apa

77
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

yang dijanjikan kepadamu itu pasti terjadi. (QS al-Mursalât [77]: 1-5)
Jadi di sana terdapat gaya bahasa yang berbentuk sumpah, lalu jawaban
bagi sumpah ini berhubungan dengan masalah pembangkitan.
Seperti yang kita katakan sebelumnya bahwa ketika Alquran
memaparkan sesuatu dan menyebutkan bandingannya, terkadang ia
menghapuskan sebagian gaya bahasa yang menegaskannya dengan
sebagian ayat yang lain, seperti firman Allah Swt ketika berfirman:
“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan),
maka Allah mengutus para nabi.” (QS al-Baqarah [2]: 213) Di sini akal
berhenti mengatakan selama mereka adalah umat yang satu, lalu
mengapa Allah mengutus para nabi, padahal setelah pengutusan nabi
tersebut apa yang mereka lakukan? Untuk memberi keputusan di antara
manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. (QS al-Baqarah
[2]: 213)
Lalu bagaimana mereka bisa disebut sebagai umat yang satu? Ayat
mengatakan pengutusan para nabi datang setelah manusia menjadi satu
umat setelah itu mereka datang untuk menjelaskan kepada manusia
tentang hal-hal yang mereka perselisihkan, tampak di dalamnya terdapat
kontradiksi dengan mukjizatnya. Sebenarnya tidak. Karena kamu hanya
memahami satu ayat ini saja, akan tetapi jika dimemahami ayat sejenis
dengannya yang ada dalam Alquran, tentu akan diketahui bahwa gaya
bahasa Alquran terkadang menghapuskan sesuatu karena telah
ditemukan redaksi yang sama pada ayat-ayat yang sejenis dengannya.
Berkenaan dengan hal ini ada ayat yang kedua: “Manusia
dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih.” Maka
Allah mengutus para nabi. Kalimat ‫ﻪ‬ ‫ﺚ ﺍﻟ ﱠﻠ‬ ‫ﻌ ﹶ‬ ‫ﺒ‬‫ ﹶﻓ‬maka Allah mengutus para
nabi di sini tidak diikutsertakan pada firman Allah sebelumnya (QS al-
Baqarah [2]: 213), akan tetapi disertakan dan ditegaskan oleh ayat yang
lain.
Secara zahir ayat kedua ini: ‫ﲔ‬
 ‫ﺒﹺﻴ‬‫ﻪ ﺍﻟﻨ‬ ‫ﺚ ﺍﻟﱠﻠ‬‫ﻌ ﹶ‬ ‫ﺒ‬‫ﺪ ﹰﺓ ﹶﻓ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﻭﻭﺍ‬ ‫ﻣ ﹰﺔ‬ ‫ﺱ ﹸﺃ‬
 ‫ﻨﻨﺎ‬‫ ﹶﻛﻛﺎ ﹶﻥ ﺍﻟ‬manusia
itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah
mengutus para nabi, membuat sebagian orang yang berbicara dalam
ilmu perbandingan agama mengatakan: “Bahwa pada dasarnya manusia
menganggap banyak tuhan, kemudian apabila akal mereka berkembang,
mereka akan condong kepada tauhid.” Ini sudut pandang yang
kontradiktif dengan pandangan Islam yang tertuang jelas di dalam
Alquran, ketika Allah menciptakan manusia pertama yaitu Adam dan

78
AN-NÂZI‘ÂT 79 JUZ 30

istrinya Dia berkata: ‫ﻱ‬  ‫ﺪﺍ‬‫ﺪ‬‫ ﻫ‬‫ﺒﹺﻊ‬‫ ﺗ‬‫ﻦ‬‫ﺪﻯ ﻓﹶﻤ‬‫ﺪ‬‫ﻨﻲ ﻫ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻨ ﹸﻜ‬‫ﻴ‬‫ﺗ‬‫ﻳ ﹾﺄ‬ ‫ﻣﺎ‬‫ ﻓﹶﹺﺈﻣ‬kemudian jika datang
petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-
Ku. (QS al-Baqarah [2]: 38) Maka jangan berbuat seperti ini dan ini.
Ketika Allah menciptakan manusia, Dia langsung memberikan
ajaran kepadanya, sehingga apabila terjadi penyimpangan dari ajaran
setelah adanya kesepakatan, maka ayat kedualah yang menjadi sandaran
karena dahulunya manusia adalah umat yang satu. Sehingga kemudian
mereka berselisih dikarenakan kelalaian dan kelupaan. Ketika mereka
jauh dari ajaran, merupakan rahmat Allah untuk mengutus para rasul
untuk mengembalikan mereka kepada satu jaran dan kepada
kebenarannya kembali.
Ketika kamu melihat gaya bahasa Alquran, hendaklah kamu juga
melihat ayat sejenis yang ada dalam Alquran, karena ayat bandingan
tersebut yang melengkapi satu sama lain dan memberikan kepada kita
analisa yang benar. Adapun yang mengambil ayat dan meninggalkan
ayat lain karena lalai atau lupa, maka ia terpaksa memahami masalah-
masalah tersebut dengan pemahaman yang tidak semestinya.
‫ﺮﺮﺍ ﹺﺟ ﹶﻔ ﹸﺔ‬ ‫ﻒ ﺍﻟ‬
 ‫ﺟ‬ ‫ﺮ‬ ‫ ﺗ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ ﻳ‬sesungguhnya kamu akan dibangkitkan) pada hari
ketika tiupan pertama mengguncangkan alam, (79:6) setelah firman-
Nya: ‫ﺮﺍ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﻣ‬‫ﺮﺍﺕ‬‫ﺮ‬‫ﺑ‬‫ﺪ‬‫( ﻓﹶﻓﺎﻟﹾﻤ‬malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia),
adalah dalil bahwa hari ditiupkannya sangkakala adalah zharfun dan
selama ia adalah zharfun maka harus ada mazhrufnya. Apa yang terjadi
pada hari ditiupkannya sangkakala tersebut? Yang terjadi adalah
kebangkitan.
Seakan-akan Allah berkata: “Kalian benar-benar akan mati, dan
setelah itu kalian akan dibangkitkan pada hari ditiupkannya
sangkakala.” Hari ditiupkannya sangkakala menjelaskan zhuruf, dan
zharfu tidak ada dengan sendirinya, kecuali dikarenakan kondisi yang
terjadi di dalamnya. Selama ada peristiwa apa yang terjadi pada hari
ditiupkannya sangkakala haruslah dengan bandingan-bandingan agar ia
menjadi perihal kebangkitan.
Maka jawaban atas sumpah pada surat ini adalah bahwa kalian
dibangkitkan pada hari ditiupkannya sangkakala. Surat ini akan
bertambah mudah dipahami jika dikaitkan dengan surat-surat lain,
seperti: surat adz-Dzariyat atau “al-Mursalat” yang juga membahas
tentang hari kebangkitan.
Keterangan yang ada di sini lebih banyak dari apa yang ada pada

79
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

surat an-Naba’ karena surat an-Naba’ tidak membahas kecuali tentang


wujud hari kiamat. ‫ﺗﺎ‬‫ﻣﻴﻘﹶﻘﺎﺗ‬‫ﻞﹺ ﻛﹶﻛﺎﻥﹶ ﻣ‬‫ ﺍﻟﹾﻔﹶﺼ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ ﹺﺇﻥﱠ ﻳ‬sesungguhnya Hari Keputusan
adalah suatu waktu yang ditetapkan. (QS an-Naba' [78]: 17) Akan
tetapi apa yang terjadi pada hari tersebut tidak disebutkan. Tampak surat
ini mencakup argumen atau sesuatu yang terjadi pada hari keputusan
yaitu hari kiamat.
‫ﻌ ﹲﺔ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﺧﺧﺎ‬ ‫ﻫﻫﺎ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺼﺎ‬
‫ﺼ‬‫ﻭﻭﺍ ﹺﺟ ﹶﻔ ﹲﺔ)(ﺃﹶﺑ‬ ‫ﺬ‬ ‫ﺌ‬‫ﻣ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺏ‬
 ‫ﺩ ﹶﻓ ﹸﺔ)( ﹸﻗ ﹸﻠﻠﻮ‬ ‫ﺮﺍ‬‫ﻬﺎ ﺍﻟﺮ‬‫ﻬ‬‫ﻌ‬‫ﺒ‬‫ﺘ‬‫ﺮﺮﺍ ﹺﺟ ﹶﻔ ﹸﺔ)(ﺗ‬ ‫ﻒ ﺍﻟ‬
 ‫ﺟ‬ ‫ﺮ‬ ‫ ﺗ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ﻳ‬
(sesungguhnya kamu akan dibangkitkan) pada hari ketika tiupan
pertama mengguncangkan alam, tiupan pertama itu diiringi oleh tiupan
kedua. Hati manusia pada waktu itu sangat takut” pandangannya
tunduk. (79: 6-9) Menjelaskan tentang apa yang terjadi di alam ini
ketika hari kiamat tiba. Karena hal ini sangat berpengaruh terhadap akal
manusia. Tampak bahwa fenomena yang terlihat di alam ini adalah pada
hari ketika tiupan pertama mengguncangkan alam, tiupan pertama itu
diiringi oleh tiupan kedua. (79:6-7) Kemudian apa yang terjadi pada
jiwa manusia atau jiwa kafir? ‫ﻌ ﹲﺔ‬ ‫ﺷ‬  ‫ﺧﺧﺎ‬ ‫ﻫﻫﺎ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺼﺎ‬
‫ﺼ‬‫ﻭﻭﺍ ﹺﺟ ﹶﻔ ﹲﺔ)(ﺃﹶﺑ‬ ‫ﺬ‬ ‫ﺌ‬‫ﻣ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺏ‬
 ‫ ﹸﻗ ﹸﻠﻠﻮ‬hati manusia
pada waktu itu sangat takut, pandangannya tunduk. (79:8-9)
‫ﺮﺮﺍ ﹺﺟ ﹶﻔ ﹸﺔ‬ ‫ﻒ ﺍﻟ‬
 ‫ﺟ‬ ‫ﺮ‬ ‫ ﺗ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ ﻳ‬pada hari ketika tiupan pertama mengguncangkan
alam, (79:6) pada surat yang kedua disebutkan: ‫ﻝ‬ ‫ﺒﺒﺎ ﹸ‬‫ﻭﺍﻟﹾﺠﹺ‬‫ ﻭ‬‫ﺽ‬‫ ﺍﻷَﺭ‬‫ﻒ‬‫ﺟ‬‫ﺮ‬‫ ﺗ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ﻳ‬
pada hari bumi dan gunung-gunung berguncangan. (QS al-Muzammil
[73]: 14) Jadi berdasarkan ayat 79:6 yang dikaji yang mengalami
guncangan adalah bumi.
‫ﺩ ﹶﻓ ﹸﺔ‬ ‫ﺮﺍ‬‫ﻬﺎ ﺍﻟﺮ‬‫ﻬ‬‫ﻌ‬‫ﺒ‬‫ﺘ‬‫ ﺗ‬tiupan pertama itu diiringi oleh tiupan kedua, lalu diikuti
oleh langit. Karena langit diciptakan setelah bumi, ini adalah perkataan
yang bermakna tinggi. Akan tetapi apakah bumi yang berguncang atau
yang diguncang? Bumi tidaklah berguncang akan tetapi ada sesuatu
yang mengguncangnya. Bumi diguncang dan digoyang. Ini adalah gaya
bahasa yang sering digunakan bangsa Arab sebelum Islam datang yang
disebut dengan majaz.
Sebagai contoh perkataan mereka: ‘aisyatun râdhiyah. Apakah
kehidupan yang meridai (subjek) atau yang diridai (objek)? Tentu saja
kehidupan yang diridhai bukan meridai. Ini adalah ungkapan hiperbola
yang menerangkan tentang keridaan dan kecintaanmu terhadapnya
bukan dari satu pihak, akan tetapi berasal dari dua pihak sehingga
seakan-akan ia juga meridai. Ketika Allah Swt mengatakan ‘aisyatun
râdhiyah artinya adalah ungkapan hiperbola tentang kehidupan yang

80
AN-NÂZI‘ÂT 79 JUZ 30

diridhai oleh Allah sehingga seakan-akan kehidupan tersebut juga


meridhaimu.
Allah membesarkan kondisi yang menakutkan pada hari itu dengan
mengatakan bahwa bumi diguncang oleh kekuatan Allah sehingga ia
seakan-akan yang berguncang dan memiliki kekuatan untuk berguncang
sendiri.
Arjafaab artinya adalah memberikan kekuatan kepadanya sehingga
menjadi terguncang. Tampaknya pada awalnya ia diguncangkan
sehingga kemudian berguncang sendiri. Ayat 79: 6-7 dapat dipahami
bahwa bumi diguncang hingga berguncang dengan sendirinya, dan
langit juga mengalami hal yang sama. Pada saat itu timbul kegelisahan
yang amat sangat sehingga langit terbelah menjadi pintu-pintu.
Apabila itu terjadi di alam, maka seluruh manusia yang mengingka-
rinya akan mengetahui bahwa masalah ini adalah serius. Masalahnya
bukan dunia dan siapa yang akan tetap di atasnya atau siapa yang pergi
dan siapa yang akan datang? Akan tetapi permasalahannya iman dan
amal saleh yang tidak mereka persiapkan.
Jika datang kepada mereka hari kiamat yang mereka dustakan, lalu
apa yang terjadi pada mereka? Mereka akan mendapatkan rekaman
perbuatan mereka, sikap mereka yang berhubungan dengan akidah
maupun amal saleh akan dibukakan. Mereka berkata: “Gambaran hitam,
yang telah kita dustakan mulai tampak hingga hati menjadi takut, resah
dan gelisah.” Mengapa demikian? Karena mereka melihat hal-hal yang
mereka dustakan menjadi nyata, dan seluruh perbuatan akan
diperlihatkan. Ketika hal ini berlangsung, maka mereka mendapatkan
diri yang sebelumnya bertentangan dengan ajaran yang seharusnya
diikuti. Jadi hendaklah kamu menunggu keadaan yang menyakitkan
sebagaimana yang diberitakan oleh para rasul pembawa ajaran ini
sehingga masalah ini menjadi benar dan nyata.
‫ﻭﻭﺍ ﹺﺟ ﹶﻔ ﹲﺔ‬ ‫ﺬ‬ ‫ﺌ‬‫ﻣ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺏ‬
 ‫ ﹸﻗ ﹸﻠﻠﻮ‬hati manusia pada waktu itu sangat takut. (79:8)
setelah itu ia berkata: ‫ﻌ ﹲﺔ‬ ‫ﺷ‬
 ‫ﺧﺧﺎ‬ ‫ﻫﻫﺎ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺼﺎ‬
‫ﺼ‬‫ ﺃﹶﺑ‬pandangannya tunduk. (79:9)
Ketakutan hati adalah sesuatu yang tersembunyi dari pandangan
manusia, meskipun demikian padanya terdapat tanda-tanda yang dapat
dilihat seperti ekpresi seluruh indera. Melalui mata dapat diketahui
segala hakikat jiwa manusia. Dari pandangan mata kamu dapat melihat
apakah pandangan seseorang itu bersahabat atau marah. Melalui mata
kamu dapat melihat apakah pandangannya takjub atau menyindir dan
mengejek. Dari pandangan mata kamu dapat melihat semua yang

81
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

mungkin disembunyikan oleh jiwa. Oleh sebab itu Allah Swt berfirman:
‫ﻴ ﹺﻦ‬‫ﻋ‬ ‫ﻨ ﹶﺔ ﺍ َﻷ‬‫ﺋ‬‫ﺧﺧﺎ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻌ ﹶﻠ‬ ‫ﻳ‬ Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat. (QS al-
Mukmin [40]: 19)
Mata adalah wadah ekpresi, sampai-sampai para psikologi
mengatakan bahwa ketika seseorang jatuh cinta maka suasana hatinya
dapat dilihat melalui mata. Jadi bagaimana kita mengetahui suasana hati
yang ketakutan? Hati manusia pada waktu itu sangat takut. (79: 9) Saat
itu pandangan mata tertunduk karena merasa terhina. Jadi matalah yang
memberitahukan suasana hati. Ini bukanlah kebiasan kafir atau pendosa,
karena biasanya kafir dan pendosa melakukan kekafiran dan
kemaksiatan tanpa rasa malu. Dalam istilah Arab disebut dengan
bajahah, atau tebal muka.
Akan tetapi di akhirat tidak ada lagi tempat bagi bajahah, karena
manusia tidak dapat menguasai dan membohongi dirinya. Jika dia ingin
membohongi dirinya, maka masalahnya akan bersifat paksaan dan
bukan inisiatif. Ia tidak lagi mampu mengontrol kehendaknya.
‫ﻌ ﹲﺔ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﺧﺧﺎ‬ ‫ﻫﻫﺎ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺼﺎ‬ ‫ﺼ‬‫ ﺃﹶﺑ‬pandangannya tunduk. Di sini dapat dilihat bahwa
Alquran tidak menisbahkan pandangan kepada him atau mereka, akan
tetapi dinisbatkan kepada ha atau hati. Ini memberikan kesan gaya
bahasa yang baru yaitu bahwa hati ketika bergejolak, takut dan resah, ia
akan menyembunyikan keresahan tersebut hingga sampai kepada
seluruh bagian jiwa. Seakan-akan bukan hanya hati yang takut, akan
tetapi sekujur tubuh juga ikut takut: mata, telinga, tangan, kaki dll. Ayat
di atas bermaksud, seakan-akan dengan kegelisahan dan keresahan hati
mereka, sekujur tubuh ikut gelisah dan resah.

Berdasarkan keterangan sebelumnya, jelaslah bagi kita bahwa Allah


Swt memulai surat an-Nâzi‘ât dengan sejumlah sumpah atas nama
sebagian ciptaannya. Telah kita bahas bahwa Allah Swt bersumpah atas
nama sebagian ciptaannya untuk mengukuhkan hal-hal yang diingkari
atau diragukan oleh manusia berdasarkan dalil atas kebenarannya. Kita
katakan bahwa surat an-Nâzi‘ât datang dengan bentuk lain dari bukti
dakwah, karena bukti atas dakwah dapat ditetapkan baik dengan
kesaksian -surat an-Naba’ telah menunjukkan hal ini- atau dengan
sumpah –dan surat an-Nâzi‘ât datang untuk mewujudkan hal itu-.
Allah Swt bersumpah dengan surat an-Nâzi‘ât setelah didahului oleh
surat an-Naba’ yang bersaksi. Sumpah diucapkan karena ada makhluk
yang mengingkari saksi dan bukti yang telah disampaikan. Kesaksian

82
AN-NÂZI‘ÂT 79 JUZ 30

surat an-Naba’ tentang kiamat berasal dari Allah dan sumpah juga
datang dari Allah. Kita harus memahami rahasia keterkaitan kedua surat
ini, yaitu bahwa ketika Allah Swt bersumpah atas sesuatu yang diingkari
oleh orang yang mendengar, Allah lalu akan bersumpah untuk
membantah pengingkaran mereka.
Oleh sebab itu Ia berfirman: ‫ﲔ‬ ‫ﻬﹺ ﹴ‬‫ﻣﺎﺀٍ ﻣ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺨ ﹸﻠ ﹾﻘ ﹸﻜﻢ‬  ‫ ﻧ‬‫ ﺃﹶﻟﹶﻢ‬bukankah Kami
menciptakan kamu dari air yang hina? (QS al-Mursalat [77]: 20) Ia
menetapkan suatu perkara lalu mengingkari pendapat penuntut atau
lawan. Oleh sebab itu datang kesaksian dari Allah dalam surat an-Naba’
dan sumpah dari Allah dalam surat an-Nazi’at.
Sebagaimana yang diketahui bahwa sumpah haruslah dengan
sesuatu, jika ia mengingkari sumpahnya maka ia akan mendapat akibat
dari sesuatu tersebut. Berdasarkan ini maka sesuatu yang namanya
digunakan dalam sumpah haruslah memiliki keagungan, kekuatan
pemaksa dan kebesaran sehingga orang yang bersumpah takut untuk
mengingkari sumpahnya karena jika ia berbuat demikian maka ia akan
mendapatkan hukuman atau celaan. Akan tetapi apakah hal itu juga
berlaku bagi Allah Swt? Tidak. Memang benar bahwa Allah bersumpah
dengan sesuatu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan dalam jiwa
manusia, akan tetapi tidak bagi Allah karena Ia bersumpah atas nama
ciptaanNya untuk menjelaskan sejauh mana kelemahan yang ada pada
sesuatu ciptaan tersebut, dan sejauh mana perubahan yang terjadi
dengannya sehingga manusia dapat keluar dari kerusakan.
‫ﻫﺎ‬‫ﺸﺎﻫ‬
‫ﺸ‬‫ﻐ‬‫ﻞﹺ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﻳ‬‫ﻭﺍﻟﻠﱠﻴ‬‫ﻫﺎ)(ﻭ‬‫ﻼﱠﻫ‬‫ﻬﺎﺭﹺ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺟ‬‫ﻬ‬‫ﻭﺍﻟﻨ‬‫ﻫﺎ)(ﻭ‬‫ﻼﹶﻫ‬‫ﺮﹺ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺗ‬‫ﻭﺍﻟﹾﻘﹶﻤ‬‫ﻫﺎ)(ﻭ‬‫ﺤﺎﻫ‬
‫ﺤ‬‫ﺿ‬‫ﺲﹺ ﻭ‬‫ﻤ‬‫ﻭﺍﻟﺸ‬‫ ﻭ‬demi
matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengi
ringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila
menutupinya. (QS asy-Syamsy [91]: 1-3) Terkadang Allah juga
bersumpah dengan hal-hal yang diyakini manusia sebagai sesuatu yang
remeh, karena ia berjalan dalam kehidupan manusia sebagai suatu
kebiasaan. Oleh sebab itu mereka tidak memperhatikan kebesaran yang
ada di dalamnya, maka Allah mengingatkan bahwa sesuatu yang
menurut mereka remeh itu jika kamu perhatikan dengan seksama
hakekatnya, maka kamu akan temukan kebesaran di dalamnya dan
bermanfaat bagimu.
Ketika Allah bersumpah dengan an-Nâzi‘ât, dengan an-Nâsyithât,
dengan as-sâbihât, dengan as-sâbiqât, dan mudabbirât maka artinya
bisa malaikat, bisa juga planet-planet dan bisa juga perjuangan yang
dilakukan oleh kelompok mujahid yang mengarahkan panahnya ke arah

83
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

musuh. Telah disebutkan bahwa sesuatu yang disumpahkan di sini


adalah penegasan datangnya hari kiamat. Maka ketika Allah berfirman:
‫ﺮﺍ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﻣ‬‫ﺮﺍﺕ‬‫ﺮ‬‫ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻘﹰﻘﺎ)(ﻓﹶﻓﺎﻟﹾﻤ‬‫ﺳﺒ‬ ‫ﺕ‬  ‫ﺴﺎﺑﹺﻘﹶﻘﺎ‬ ‫ﺤﺎ)(ﻓﹶﻓﺎﻟﺴ‬ ‫ﺤ‬‫ﺒ‬‫ ﺳ‬‫ﺤﺎﺕ‬ ‫ﺴﺎﺑﹺﺤ‬ ‫ﻭﺍﻟﺴ‬‫ﻄﹰﻄﺎ)(ﻭ‬‫ﺸ‬‫ ﻧ‬‫ﻄﹶﻄﺎﺕ‬‫ﻨﺎﺷ‬‫ﻭﺍﻟﻨ‬‫ ﻭ‬demi (malaikat-
malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras, dan (malaikat-
malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut, dan (malaikat-
malaikat) yang turun dari langit dengan cepat, dan (malaikat-malaikat)
yang mendahului dengan kencang, dan (malaikat-malaikat) yang
mengatur urusan (dunia) (79:2-5) Kamu benar-benar akan
dibangkitkan. Ini merupakan bantahan atas pengingkaran kaum kafir.
Ini terjadi: ‫ﺟ ﹶﻔ ﹲﺔ‬ ‫ﻭﻭﺍ ﹺ‬ ‫ﺬ‬ ‫ﺌ‬‫ﻣ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺏ‬ ‫ﺩ ﹶﻓ ﹸﺔ)( ﹸﻗ ﹸﻠﻠﻮ‬ ‫ﺮﺍ‬‫ﻬﺎ ﺍﻟﺮ‬‫ﻬ‬‫ﻌ‬‫ﺒ‬‫ﺘ‬‫ﺮﺮﺍ ﹺﺟ ﹶﻔ ﹸﺔ)(ﺗ‬ ‫ﻒ ﺍﻟ‬
 ‫ﺟ‬ ‫ﺮ‬ ‫ ﺗ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫( ﻳ‬sesungguhnya
kamu akan dibangkitkan) pada hari ketika tiupan pertama menggun-
cangkan alam, tiupan pertama itu diiringi oleh tiupan kedua. Hati
manusia pada waktu itu sangat takut (79: 6-8) atau gelisah dan resah
serta ‫ﻌ ﹲﺔ‬ ‫ﺷ‬  ‫ﺧﺧﺎ‬ ‫ﻫﻫﺎ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺼﺎ‬
‫ﺼ‬‫ ﺃﹶﺑ‬pandangannya tunduk.
Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan pada hari ketika tiupan
pertama mengguncangkan alam, tiupan pertama itu diiringi oleh tiupan
kedua, pandangannya tunduk. Ini adalah kesaksian atas adanya hari
kiamat karena sebelumnya mereka:
‫ﺮ ﹲﺓ‬ ‫ﺧﺎﺳ‬‫ﺮ ﹲﺓ ﺧ‬ ‫ ﺇﹺﺫﹰﺫﺍ ﹶﻛ‬‫ﻠﹾﻚ‬‫ﺮ ﹰﺓ)(ﻗﹶﻗﺎﻟﹸﻟﻮﺍ ﺗ‬ ‫ﺨ‬‫ﻣﺎ ﻧ‬‫ﻈﹶﻈﺎﻣ‬‫ﻨﺎ ﻋ‬‫ﺬﹶﺬﺍ ﻛﹸﻨ‬‫ﺓ)(ﺃﹶﺋ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺤﺎﻓ‬ ‫ﻓﻲ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﺩﻭﻥﹶ ﻓ‬‫ﺩﻭﺩ‬‫ﺩ‬‫ﺮ‬‫ﻨﺎ ﻟﹶﻤ‬‫ﻨ‬‫ﻘﹸﻘﻮﻟﹸﻟﻮﻥﹶ ﺃﹶﺋ‬‫( ﻳ‬kaum
kafir) berkata: “Apakah sesungguhnya kami benar-benar dikembalikan
kepada kehidupan yang semula? Apakah (akan dibangkitkan juga)
apabila kami telah menjadi tulang-belulang yang hancur lumat?”
Mereka berkata: “Kalau demikian, itu adalah suatu pengembalian yang
merugikan. (79: 10-12) Seakan-akan mereka mengatakan tiga hal: 1.
Pengingkaran, 2. pendustaan dan 3. penjauhan.
Pertama, pengingkaran, terdapat pada ayat 10. Kata hâfirah berasal
dari ungkapan gaya bahasa Arab yang mengatakan: “raja’a fulanun fi
hâfiratihi” artinya ia kembali kepada keadaannya semula. Seakan ayat
10 ini berkata: “Apakah kami kembali kepada kehidupan kami semula.”
Kedua, pendustaan. Ayat 11 ini mengatakan tidak mungkin dan satu
dusta nyata bila tubuh sudah menjadi tulang yang hancur lumat, busuk
dan hancur jika kamu sentuh, dapat kembali utuh.
Ketiga, penjauhan. “Kalau demikian, itu adalah suatu pengembalian
yang merugikan” (12). Apakah perdagangan yang mendapat untung atau
orang yang melakukannya? Tentu saja yang mendapat untung adalah
pelaku pernagaan itu. Adapun perniagaan hanya merupakan sarana
untuk mendapat hasil. Namun Allah berkata: ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺗ‬‫ﺠﺎﺭ‬ ‫ﺠ‬‫ ﺗ‬‫ﺖ‬‫ﺑﹺﺤ‬‫ﻤﺎ ﺭ‬‫ ﻓﹶﻤ‬maka

84
AN-NÂZI‘ÂT 79 JUZ 30

tidaklah beruntung perniagaan mereka. (QS al-Baqarah [2]: ) 16) laba


tersebut dinisbatkan kepada perniagaan, dan kerugian juga dinisbatkan
kepada perniagaan. ‫ﺮ ﹲﺓ‬ ‫ﺧﺎﺳ‬ ‫ﺮ ﹲﺓ ﺧ‬ ‫ ﺇﹺﺫﹰﺫﺍ ﹶﻛ‬‫ﻠﹾﻚ‬‫ ﺗ‬kalau demikian, itu adalah suatu
pengembalian yang merugikan. (79:12) Ini mengisyaratkan kerugiaan
ganda. Tidak saja perniagaan, tapi juga pelaku. Ini adalah puncak dari
kerugiaan. Ketika kafir dan pendosa tidak mengakui kebangkitan,
karena alasan tulang yang sudah hancur, mereka rugi perniagaan dan
diri. Mereka mengatakan tiga alasan ini dengan tujuan untuk menghina.
Kalian membandingkan perbuatan Allah dengan perbuatan
makhluk, oleh sebab itu berat bagi kalian untuk menyembahnya, tetapi
tidak bagi mukmin. bandingkanlah seluruh perbuatan dengan pelakunya.
Dengan sikap arif dan bijak, akhirnya kamu tidak akan membatasi
kemampuan sesuatu secara mutlak. Jika kalian menganggap mustahil
adanya kiamat, tentu sulit bagi kalian untuk mempercayai kebangkitan.
Berbeda dengan mukmin yang menerima adanya kiamat, maka masalah
kebangkitan mudah diyakini. Mudah bagi mukmin karena perbuatan
Allah tidak mengandung perbaikan. Arti perbaikan adalah pembagian
kekuatan kepada waktu agar melakukan proses pembangkitan.
Pembangkitan ini tidak memerlukan proses dari Allah. Karena Allah
berfirman: ‫ﺪ ﹲﺓ‬ ‫ﺣ‬
 ‫ﻭﻭﺍ‬ ‫ﺮ ﹲﺓ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﺯ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻤﺎ‬‫ﻤ‬‫ ﻓﹶﺈﹺﻧ‬sesungguhnya pengembalian itu hanyalah
dengan satu kali tiupan saja. (79:13)
Maksudnya kebangkitan dari kubur tidak melalui proses
pengumpulan unsur-unsur tubuh, kemudian meniupkan ruh kepadanya,
karena pembangkitan ini hanya dengan sekali tiupan. ‫ﺓ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺴﺎﻫ‬ ‫ ﺑﹺﺑﺎﻟﺴ‬‫ﻢ‬‫ﻓﹶﺈﹺﺫﹶﺫﺍ ﻫ‬
maka dengan serta merta mereka hidup kembali di permukaan bumi.
(79:14) Dengan demikian proses pembangkitan ini tidak menyulitkan
kita, lalu mengapa kalian menolaknya?
Kafir menolak kebangkitan karena membandingkan kuasa Allah
dengan kekuatan manusia. Adapun jika kekuatan Allah dilihat sebagai
Tuhan yang Mahakuasa, maka kekuasaan-Nya tidak memerlukan
perbaikan dalam perbuatannya, akan tetapi sesungguhnya perintah-Nya
apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ‫ﻦ‬ ‫ﹸﻛ‬
‫ﻴ ﹸﻜﻜﻮ ﹸﻥ‬‫“ ﹶﻓ‬Jadilah!” maka terjadilah ia. (QS Yâsîn [36]: 82)
Keraguan paling besar atas kebangkitan berasal dari para filosof.
Misalnya ketika seseorang mati dan menjadi mayat pada suatu tempat,
kemudian unsur-unsurnya menyebar di tanah. Setelah beberapa lama

85
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

tempat tersebut ditanami tumbuhan yang menghasilkan buah. Buah ini


dimakan oleh manusia. Jadilah manusia memakan unsur manusia, ketika
ia memakan hasil pohon tersebut. Dari sini ia mempunyai keturunan
yang berasal dari buah yang dimakannya, dan buah yang dimakannya
mendapat makanan dari unsur-unsur seseorang yang telah mati. Apabila
dia dibangkitkan, apakah dia dibangkitkan dari unsur yang pertama atau
dari yang kedua? Apabila dia dibangkitkan dari yang pertama, maka
akan mengurangi dari unsur yang kedua, dan apabila dia dibangkitkan
dari yang kedua, maka akan mengurangi dari yang pertama, demikian
seterusnya.
Ini adalah argumen terkuat bagi para filosof dalam menolak masalah
kebangkitan dan janji pada hari kiamat. Akan tetapi, ada sesuatu yang
belum mereka pahami yaitu bahwa unsur-unsur di dalam zatnya adalah
unsur-unsur dasar yang tidak berbeda. Artinya, ketika Allah Swt
menciptakan manusia, ia menciptakannya dari 16 unsur, seperti:
oksigen, karbon, hidrogen, nitrogen, magnesium, fosfor, yodium,
botasium dengan persentasi tertentu. Ketika dia mati, 16 unsur tersebut
akan menyatu dengan tanah. Dari sejumlah unsur-unsurnya itu terbentuk
banyak individu. Dengan demikian bukan berarti manusia terdiri dari
unsur-unsur saudaranya karena unsur-unsur tersebut pada dasarnya satu,
namun berbeda persentasenya antara satu dengan lainnya.
Pada seseorang bisa jadi terdapat unsur ini 67 %, pada yang lain
67,1%, dan pada yang lain lagi 67,001%. Jadi perbedaan individu
bersumber bukan dari perbedaan unsur-unsur yang terkandung di
dalamnya akan tetapi dari perbedaan persentase yang ada pada unsur-
unsur tersebut. Jika peneliti menguraikan tubuh seseorang, maka akan
ditemukan di dalam setiap manusia unsur-unsur 16 itu.
Akan tetapi jika kamu menguraikan tubuh manusia yang lain, maka
akan kamu temukan unsur yang sama akan tetapi dengan persentase
yang berbeda. Sebagai bukti; ketika seseorang mengalami masalah dan
pergi kepada dokter, dokter menemukan bahwa ada unsur yang kurang
di dalam tubuhnya. Oleh sebab itu dokter memberikan kepada orang
tersebut fosfor misalnya atau zat besi dan yodium. Hal ini berarti bahwa
ganguan kesehatan yang dialaminya berasal dari berkurangnya kadar
unsur-unsur yang penting dalam pembentukannya. Namun setelah unsur
-unsur tersebut ditambah, maka ia akan sehat kembali.
Jadi perbedaan individu berasal dari perbedaan persentase unsur
yang ada pada masing-masing individu. Jika diteliti dengan lebih
mendetail, maka diketahui bahwa persentase unsur pada setiap orang

86
AN-NÂZI‘ÂT 79 JUZ 30

berbeda. Jika kamu mendatangkan ratusan juta manusia lalu kamu


uraikan unsur-unsur mereka, maka kamu tidak akan menemukan
persentase unsur yang sama pada setiap orang.
Oleh sebab itu: ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻨ‬‫ ﻣ‬‫ﺽ‬‫ ﺍﻷَﺭ‬‫ﻘﹸﺺ‬‫ﻨ‬‫ﻣﺎ ﺗ‬‫ﻨﺎ ﻣ‬‫ﻨ‬‫ﻤ‬‫ﻠ‬‫ ﻋ‬‫ ﻗﹶﺪ‬Kami telah mengetahui apa
yang dihancurkan oleh bumi dari (tubuh-tubuh) mereka. (QS Qâf [50]:
4) artinya kamu tahu kadar unsur-unsur yang dipergunakan untuk
membentuk manusia, maka ketika kami ingin membangkitkannya, kami
hanya memerintahkan unsur-unsur yang membentuk tubuh si fulan
untuk berkumpul. Ketika unsur-unsur terkumpul dalam persentase
pembentukannya yang pertama, maka akan muncul seseorang.
Kita beri contoh dan telah kita katakan bahwa jenis unsur bukanlah
sesuatu yang penting. Sebagai ilustrasi misalnya, seseorang yang
memiliki berat badang 100 kilogram kemudian turun 30 kilogram ketika
ia sakit. Lalu dokter memberi petunjuk dengan mengindetifikasi sebab
penyakitnya dan memberikan obat kepadanya hingga sembuh dan berat
badannya kembali. Apakah 30 kilo yang datang setelah ia sembuh sama
dengan 30 kilogram yang hilang ketika ia sakit? Tentu tidak. Jadi yang
terpenting dalam pembentukan seseorang adalah persentase
pembentukan molekulnya.
Selama Allah mengetahui secara mendetail kadar yang dihancurkan
oleh bumi, maka ketika Allah Swt memerintahkan pembentukan
kembali tubuh manusia, maka seluruh unsur-unsur manusia
pembentuknya akan terkumpul sesuai dengan kadarnya semula. Sama
halnya ketika aku kehilangan 30 kilo berat badan ketika sakit kemudian
kembali lagi setelah sehat. Jadi firman Allah QS Qâf [50]: 4 membantah
para filosof yang mengatakan bahwa jika diambil dari manusia pertama
maka akan berkurang pada manusia ke dua, atau sebaliknya.
Allah Swt juga meberikan contoh, bahwa pengembalian selamanya
lebih mudah dari penciptaan pertama. Jika kalian mengimani Allah
bahwa Dia yang telah menciptakan kalian dari sesuatu yang tidak ada.
Tentu akan lebih mudah bagi kalian untuk mengimani bahwa Dia akan
menciptakan kalian kembali dari unsur yang telah ada. Allah berfirman:
‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﻋ ﹶﻠ‬ ‫ﻮ ﹸﻥ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻮ ﹶﺃ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻩ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻌﻌﻴ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻖ ﹸﺛ‬ ‫ﺨ ﹾﻠ‬
 ‫ﺪﹸﺃ ﺍ ﹾﻟ‬ ‫ﺒ‬ ‫ﺬﻱ ﻳ‬‫ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻮ‬‫ﻫ‬‫ ﻭ‬Dialah yang menciptakan
(manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)
nya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi-
Nya. (QS ar-Rûm [30]: 27)
Jadi firman Allah: “Sesungguhnya pengembalian itu hanyalah

87
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

dengan satu kali tiupan saja,” maksudnya janganlah kalian menganggap


sulit pengembalian tersebut hingga kalian menolaknya, karena hanya
dengan satu kali tiupan saja, bukan dengan proses perbaikan.
‫ﺓ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺴﺎﻫ‬
‫ ﺑﹺﺑﺎﻟﺴ‬‫ﻢ‬‫ ﻓﹶﺈﹺﺫﹶﺫﺍ ﻫ‬dengan serta merta mereka hidup kembali di permuka-
an bumi. Setelah tiupan mereka terkejut bahwa mereka telah hidup
kembali. As-sâhirah artinya adalah tanah yang putih. Tanah padang
makhsyar akan terdiri dari satu warna. Adapun tanah akhirat adalah
tanah yang dijanjikan sebagai tanah tempat hidup. Selama demikian
maka ia terdiri dari beberapa warna dari warna putih kemudian merah
lalu hitam, bebatuan pasir hingga batu yang kuning. Semua itu
dikarenakan perbedaaan unsur yang ada di dalam tanah untuk
memberikan kepada manusia penyokong kehidupannya dan penyokong
pemakmuran kehidupan tersebut. ***

Kisah Musa a.s dan Firaun Sebagai Penghibur Bagi Muhammad


(QS an-Nâzi'ât [79]: 15-26)
HGFEDCBAÐÏÎÍÌ
WVUTSRQPONMLKJI
cba`_^]\[ZYX
ponmlkjihgfed
yxwvutsrq
Sudah sampaikah kepadamu (ya Muhammad) kisah Musa.
Tatkala Tuhannya memanggilnya di lembah suci ialah lembah
Thuwa: “Pergilah kamu kepada Firaun, Sesungguhnya Dia telah
melampaui batas, dan Katakanlah (kepada Firaun): “Adakah
kehendak bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)”.
Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu
takut kepada-Nya?” Lalu Musa memperlihatkan kepadanya
mukjizat yang besar. Tetapi Firaun mendustakan dan
mendurhakai. Kemudian Dia berpaling seraya berusaha
menantang (Musa). Maka Dia mengumpulkan (pembesar-
pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya. (Seraya)

88
AN-NÂZI‘ÂT 79 JUZ 30

berkata:”Akulah Tuhanmu yang paling tinggi”. Maka Allah


mengazabnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi
orang yang takut (kepada Tuhannya).
Setelah itu Allah beralih kepada cuplikan kisah Musa, cuplikan ini
memberikan gambaran umum tentang kisah-kisah yang ada di dalam
Alquran. Kisah-kisah yang disebutkan di dalam Alquran bukan sebagai
sejarah, akan tetapi untuk menegaskan pelajaran dan ibrah. Oleh sebab
itu dalam kelahiran rasul tidak disebutkan bahwa ia lahir pada hari ini,
di tempat ini, dari kedua orang tua seperti ini dan seperti ini dan ia mulai
menceritakan kisah hidupnya, karena itu tidak penting. Yang penting
adalah peristiwa besar yang mengesankan, peristiwa yang menciptakan
inspirasi dan di dalamnya terdapat motivasi. Setiap kali kisah mencakup
unsur-unsur ini, maka kisah tersebut mengandung wisdom.
‫ﺳﺳﻰ‬ ‫ﻣﻣﻮ‬ ‫ﺚ‬
‫ﺪﺪﻳ ﹸ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﻙ‬ ‫ﺗﺎ‬‫ﻞﹾ ﺃﺗ‬‫ ﻫ‬sudahkah sampai kepadamu (ya Muhammad)
kisah Musa. (79:15) Lihatlah kepada kelembutan pertanyaan, kepada
kehalusannya dalam pengarahannya kepada Rasulullah Saw. Tidak
diragukan bahwa dia telah mengetahuinya, akan tetapi Allah
memperlihatkan cuplikan kisah Musa sesuai dengan alur dimana ayat-
ayat ini datang.
Alur ceritanya adalah bahwa kaum kafir mengingkari pembangkitan
dan mendustakan Nabi Muhammad serta menyengsarakannya. Untuk
menghibur beliau Allah Swt berkata: Apakah barangkali kamu akan
membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling,
sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Alquran). (QS
al-Kahfi [18]: 6)
Karena kasih sayang Rasulullah kepada umatnya, beliau ingin agar
mereka semua menjadi orang yang beriman dan dapat menikmati
manisnya iman. Dia memang lelah meskipun dia tahu dengan baik
bahwa tugasnya hanya menyampaikan saja. Kita juga mengetahui hal
ini akan tetapi kehendaknya dan kecintaannya kepada umatnya
membuatnya ingin agar setiap orang mendapat petunjuk hingga selamat
dari azab dan memperoleh nikmat yang dijanjikan oleh Allah kepada
orang-orang yang beriman kepada-Nya.
Ini dari sisi Rasulullah. Adapun dari sisi kaum kafir, mereka telah
sampai pada puncak penganiyaaan dan pengingkaran terhadap
Rasulullah serta penindasan terhadapnya. Juga, penganiyaan terhadap
mukminin, dan menguji mereka dalam agama mereka. Akan tetapi di

89
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

sini Allah Swt berfirman kepada mereka: “Bahwa azab yang dijanjikan
kepada mereka akan datang pada hari kiamat.”
Seakan-akan Allah menyebutkan kisah ini untuk menunjukkan
kepada mereka kejadian sebenarnya di alam ini dan bukan hanya
pembicaraan sebatas teori. Pembicaraan teoritis terkadang diucapkan
manusia berdasarkan khayalannya, hingga dia mengatakan apa yang
ingin dikatakannya. Akan tetapi ketika berkaitan dengan kenyataan,
maka tampaklah contoh konkrit di hadapannya. Dia tidak
mengembalikan mereka kepada pembicaraan teoritis, Dia
mengembalikan mereka kepada contoh yang konkrit; Musa dan Firaun
contoh konkrit itu.
Oleh sebab itu Allah berfirman pada 79:15 yang artinya ada apa
dengan kaum kafir Quraisy sehingga mereka berusaha keras
menganiaya dan mendustakan Nabi Muhammad, tidakkah mereka
mengetahui kisah Musa dengan Firaun? Apakah mereka telah berbuat
zalim seperti Firaun yang telah sampai kepada puncak kezaliman,
sampai mengaku dirinya adalah tuhan. Lihat QS al-Qashash [28]: 38.
Kezaliman Firaun lebih besar dari kezaliman kaum kafir Quraisy.
Akan tetapi Allah tidak membiarkan Musa bahkan menolongnya di
dunia ini. Jadi jangan pernah berpikir bahwa masalah kamu takuti
hanyalah azab hari kiamat karena bagi kita terdapat azab yang lebih
ringan dari itu. Yaitu azab duniawi yang datang sebelum hari kiamat
tiba. Kafir dan pendosa yang mendustakan rasul Allah, pasti kalah; dan
rasul Allah pasti menang. “Sampaikanlah wahai Muhammad kepada
para musuhmu, meskipun mereka menindas mukmin, hendaklah mereka
melihat kepada kisah Firaun.” Ini adalah berita menakutkan bagi orang
yang ingkar.
Di sisi lain, ayat ini adalah bujukan terhadap hati Rasulullah Saw
agar beliau bersabar sebagaimana sabarnya para rasul ulul azmi. Di
hadapanmu terdapat contoh yang selalu berakhir dengan kemenangan
Rasulullah, maka janganlah kamu terpengaruh oleh bujuk rayu mereka
dan janganlah kamu berputus asa disebabkan oleh sikap mereka.
Sudahkah sampai kepadamu (ya Muhammad) kisah Musa, datang
dengan cuplikan kisah ini untuk: pertama, menerangkan tentang
penindasan kaum kafir terhadap Rasulullah, mereka mendustakan dan
bersikap kasar terhadapnya. Kedua, untuk menenangkan hati Rasulullah
Saw bahwa para rasul Allah selalu meraih kemenangan. Ayat ini secara
implisit mengandung dua hal; ancaman yang menakutkan bagi kafir dan
hiburan bagi Rasulullah.

90
AN-NÂZI‘ÂT 79 JUZ 30

Seolah-olah Allah berkata bahwa orang yang lebih keras dari kalian
telah Kami hancurkan, dan kamu wahai Rasul, sebelummu terdapat
rasul yang diperlakukan seperti dirimu lalu kami membuatnya menang.
Jadi satu ungkapan mengandung dua arti.
Apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kepada Alquran
yang diturunkan Allah”, mereka berkata: “Kami hanya beriman kepada
apa yang diturunkan kepada kami”. Mereka kafir kepada Alquran yang
diturunkan sesudahnya, sedang Alquran itu adalah (Kitab) yang hak;
yang membenarkan apa yang ada pada mereka. (QS al-Baqarah [2]: 91)
Lalu datang bantahan dari Alquran yang mengatakan kepada mereka:
“Kalian telah mengimani apa yang diturunkan kepada kalian yaitu
Taurat dan tidak mengimani apa yang ada di balik itu berupa kitab yang
telah kami benarkan, maka apabila kalian adalah orang-orang yang
mengimani Taurat maka berikanlah kepada kami sebuah nash dari
Taurat yang membolehkan kalian membunuh nabi-nabi kalian.”
 ‫ﻨﹺ‬‫ﻣ‬‫ﺆ‬‫ﻢ ﻣ‬ ‫ﺘ‬‫ﻨ‬ ‫ ﹸﻞ ﹺﺇ ﹾﻥ ﹸﻛ‬‫ ﻗﹶﺒ‬‫ﻣﻦ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻴﻴﺎ َﺀ ﺍﻟ ﱠﻠ‬‫ﻧﹺﺒ‬ ‫ﺘ ﹸﻠﻠﻮﻥﹶ ﺃﹶ‬‫ﺗ ﹾﻘ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻠ‬ ‫ ﻗﹸ ﹾﻞ ﹶﻓ‬Katakanlah: “Mengapa kamu
‫ﲔ‬
dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kamu orang-orang yang
beriman?” (QS al-Baqarah [2]: 91) Kami membenarkan kalian untuk
tidak mengimani selain apa yang diturunkan kepada kalian. Akan tetapi
selama kalian telah mengimani apa yang diturunkan kepada kalian, lalu
apakah di dalam Taurat terdapat sebuah nash yang membolehkan kalian
untuk membunuh nabi-nabi kalian? Jadi kalian juga tidak mengimani
apa yang diturunkan kepada kalian.
Selama kalian tidak mengimani apa yang diturunkan kepada kalian,
maka kehendak kami agar kalian mengimani apa yang diturunkan
setelahnya tidaklah pada tempatnya. Jika kalian kafir terhadap apa yang
diturunkan kepada kalian, maka jelaskan kebohongan kalian yang
pertama dalam perkataan kalian: “Kami telah beriman kepada apa yang
diturunkan kepada kami.” Kedua, kalian juga belum mengimani apa
yang diturunkan kepada kalian, dengan dalil bahwa jika kalian
mengimani apa yang diturunkan kepada kalian lalu mengapa kamu
dahulu membunuh nabi-nabi Allah ?
Yang menjadi dalil pada ayat ini adalah dalam kalimat mengapa
kamu membunuh yang menunjukkan perbuatan yang sekarang, akan
datang, dan masa lalu. Kedua, kata min qabl/dahulu.
Untuk yang pertama, alur cerita yang seharusnya adalah: “Mengapa
sebelumnya bapak-bapak kalian membunuh ... ?” Akan tetapi Allah
berfirman: “Lalu mengapa kalian membunuh ... ? Karena berita tentang

91
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

kejahatan yang terjadi dahulu boleh jadi telah hilang pengaruhnya dari
jiwa. Oleh sebab itu Allah ingin mendatangkan gambaran kejahatan
tersebut kembali hingga seakan-akan kita dapat melihat mereka
bertindak semena-mena menumpahkan darah para nabi mereka.
Kita mendatangkan gambaran yang telah terjadi karena ketika
seorang kriminal yang melakukan kejahatan dijatuhi berbagai jenis
hukuman, maka orang yang menyaksikan hukumannya tidak lagi
membayangkan kejahatan yang telah dilakukan oleh orang tersebut.
Oleh sebab itu, kamu selalu menemukan hati manusia berpihak pada
terhukum dan kasihan padanya. Akan tetapi jika mereka membayangkan
kembali apa yang telah dilakukan terhukum, tentu mereka akan
menyetujui hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Adapun mengingat
apa yang akan menimpanya di hadapanmu saat ini dan melupakan apa
yang telah dilakukannya adalah sebuah bentuk kejahatan. Itu yang
menyebabkan timbulnya diskriminasi dalam hukum.
Oleh sebab itu Allah berfirman: “Mengapa kalian dahulu
membunuh ..? Artinya, kalian adalah keturunan pembunuh, dan
pembunuh tersebut sezaman dengan para nabi. Ia yang telah
menyampaikan penyimpangan tersebut kepada kalian seolah-olah kalian
semua yang telah membunuh para nabi-nabi tersebut.
Kedua, kata min qabl menyebabkan ayat ini memiliki makna ganda.
Usaha Yahudi untuk membunuh Nabi Muhammad sia-sia dan tidak
berhasil. Jika dahulu mereka suksea membunuh para nabi, tapi tidak ada
jaminan mereka dapat melakukan itu pada diri Nabi Muhammad. Di sisi
lain, ini adalah hiburan bagi Rasulullah bahwa pembunuhan tidak akan
berhasil dilakukan Yahudi walaupun usaha itu telah mereka lakukan.
‫ﻮﻯ‬‫ﺱﹺ ﻃﹸﻮ‬‫ﻤﻘﹶﺪ‬ ‫ ﺍﹾﻟ‬‫ﻮﺍﺩ‬‫ ﺑﹺﺑﺎﻟﹾﻮ‬‫ﻪ‬‫ﺑ‬‫ ﺭ‬‫ﺩﺍﻩ‬‫ﻧﺎﺩ‬‫ ﺇﹺﺫﹾ ﻧ‬Tatkala Tuhannya memanggilnya di
lembah suci ialah Lembah Thuwa. (79:16) Pada ayat lain disebutkan
kapan Musa datang ke lembah suci? ‫ﻪ‬ ‫ﻠ‬ ‫ﻫ‬ ‫ ﺑﹺﹶﺄ‬‫ﺳﺎﺭ‬ ‫ﺳ‬‫ﻞﹶ ﻭ‬‫ﺳﻰ ﺍﻷَﺟ‬‫ﻣﻮﺳ‬‫ﻀﻰ ﻣ‬
‫ﻤﺎ ﻗﹶﻀ‬‫ ﻓﹶﻠﹶﻤ‬maka
tatkala Musa telah menyelesaikan waktu yang ditentukan dan dia
berangkat dengan keluarganya. QS al-Qashash [28]: 29) Allah tidak
menyebutkan seluruh kisah dalam surat ini. Ia hanya menyebutkan
cuplikan yang kita butuhkan saja.
‫ﻐﻐﻰ‬ ‫ﻪ ﹶﻃ‬ ‫ﻧ‬‫ﻮ ﹶﻥ ﹺﺇ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻓ‬ ‫ﺐ ﹺﺇﹶﻟﻟﻰ‬
 ‫ﻫ‬ ‫ ﺍﺫﹾ‬pergilah kamu kepada Firaun, sesungguhnya
dia telah melampaui batas. (79:17) Selama ia telah melampaui batas,
maka dia memerlukan nasihat dan pesan kebaikan dari seorang rasul.
Karena ketika kezaliman manusia masih berlanjut, ia memerlukan

92
AN-NÂZI‘ÂT 79 JUZ 30

seorang untuk mengingatkan. Sama halnya ketika masyarakat telah


rusak, maka harus ada intervensi ajaran langit melalui risalah dan
mukjizat yang baru yang dapat memalingkan manusia kepada Allah.
Kata thagha arti adalah memaksa atau melewati batas. Seorang rasul
yang datang kepada lawannya yaitu orang yang melampaui batas
haruslah memiliki sikap percaya diri yang tinggi dan sopan santun.
Hendaklah ia berkata: “Adakah kehendak bagimu untuk membersihkan
diri dari kesesatan” adalah pemaparan yang lembut bukan perintah.
Sama halnya ketika kamu berkata: Apakah kamu akan mengunjungiku.
Artinya bukan: “kunjungi aku”.
Oleh sebab itu setelah kata thagha yang merupakan munasabah
kekerasan, Allah berfirman: ‫ﺰ ﱠﻛﻛﻰ‬ ‫ﺗ‬ ‫ ﹺﺇﹶﻟﻟﻰ ﹶﺃ ﹾﻥ‬‫ﻞﹾ ﻟﹶﻚ‬‫ ﻓﹶﻘﹸﻞﹾ ﻫ‬katakanlah (kepada
Firaun): “Adakah kehendak bagimu untuk membersihkan diri (dari
kesesatan)”. Sebagaimana Dia berkata dalam ayat yang lain “maka
berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah
lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. Karena Nabi Musa dan
Harun adalah pesuruh dan utusan Allah, dan selama keduanya adalah
pesuruh, maka keduanya harus tunduk dan taat.
Perkataan lembut di sini dibutuhkan karena ini adalah dakwah
kepada jalan Allah dengan hikmah dan pengajaran yang baik. Dakwah
itu memberi petunjuk dan mengajak kebaikan, bukan memerintahkan
sesuatu dengan marah-marah atau penuh paksaan. Oleh sebab itu Allah
berfirman: “Dan katakanlah (kepada Firaun): “Adakah kehendak bagi-
mu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)?”
Adakah kehendakmu untuk membersihkan diri? Membersihkan diri
dari kotoran yang ada padamu, dari pengakuan sebagai tuhan, dari
perbuatanmu yang melampaui batas, dari penindasanmu terhadap Bani
Israil, dari pembunuhanmu terhadap anak-anak laki-laki dan
membiarkan hidup anak wanita. Semua ini yang harus kamu bersihkan
dari dirimu, dan lihatlah kata Hal laka ayau adakah kehendak bagimu
merupakan pertanyaan dan pengharapan bukan perintah.
‫ﺸﻰ‬‫ﺸ‬‫ﺨ‬‫ ﻓﹶﺘ‬‫ﻚ‬‫ﺑ‬‫ ﺇﹺﻟﹶﻟﻰ ﺭ‬‫ﻚ‬‫ﻳ‬‫ﺪ‬‫ﺃﹶﻫ‬‫ ﻭ‬kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar
supaya kamu takut kepada-Nya?” (79:19) bermaksud; karena kamu
telah kehilangan jalan Tuhan, selama kamu menjadi tuhan, maka kamu
harus diberikan jalan menuju Tuhan hakiki.Kamu adalah pemimpin
manusia dan aku ingin menunjukimu jalan menuju Tuhanmu.
Dengan ayat ini ketakutan yang dituntut tidak ada kecuali setelah

93
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

datangnya hidayah. Karena apabila Rasul menunjukinya, kemudian dia


mengetahui keagungan Allah, mengetahui kekuasaan, dan rahmat-Nya,
hendaklah dia mengecilkan diri dan menganggap apa yang telah berlalu
sebagai sebuah kesalahan yang harus diperbaiki dengan bertaubat dan
membersihkan diri. Ketika dia dahulu tidak mengetahui kebesaran
Allah, dan sekarang dia mengetahuinya, maka dia pasti akan takut
kepada-Nya. “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-
hamba-Nya, hanyalah ulama”.
‫ﺮﻯ‬‫ﺮ‬‫ﺔﹶ ﺍﻟﹾﻜﹸﺒ‬‫ ﺍﻵﻳ‬‫ﺭﺍﻩ‬‫ ﻓﹶﺄﹶﺭ‬Musa memperlihatkan kepadanya mu'jizat yang besar
(79:18-20) berupa tongkat. Apa yang terjadi setelah datangnya ayat
yang besar? Ia masih tetap mendustakan dan durhaka serta berpaling
sambil menantang dengan melakukan tipu daya sihir. “Tetapi Firaun
mendustakan dan mendurhakai. Maka dia mengumpulkan (pembesar-
pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya”.
Mengumpulkan di sini maksudnya adalah mengumpulkan para
tukang sihir untuk bertanding melawan Musa. Dia berkata: “Akulah
tuhan kalian yang tertinggi,” dengan demikian dia telah melakukan dua
dosa. Pertama, dosa mendustakan Rasul dan mendurhakainya. Kedua,
keberaniannya memposisikan diri sebagai tuhan.
‫ﻭﻭﺍﻵﻭﹶﻟﻟﻰ‬ ‫ﺓ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻧ ﹶﻜﻜﺎ ﹶﻝ ﺍﻵﺧ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻩ ﺍﻟ ﱠﻠ‬ ‫ﺧ ﹶﺬ‬ ‫ ﹶﻓﹶﺄ‬Allah mengazabnya dengan azab di akhirat
dan azab di dunia. Nakâl adalah hukuman atau hukuman beserta
balasan. Ketika Allah memberi hukuman di akhirat, apakah dia dihukum
juga di dunia? Ia terlebih dahulu dihukum di dunia dan juga di akhirat
karena dia telah mengaku sebagai tuhan, ini adalah puncak kekufuran.
‫ﺬﹶﺬﺍ ﹺ‬‫ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﺷﺪ‬ ‫ﻮ ﹶﻥ ﹶﺃ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺧ ﹸﻠﻠﻮﺍ َﺀﺀﺍ ﹶﻝ ﻓ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻋ ﹸﺔ ﺃﹶ‬ ‫ﺴﺎ‬
‫ﺏ‬ ‫ ﺍﻟﺴ‬‫ﺗ ﹸﻘﻘﻮﻡ‬ ‫ﻡ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬‫ﻭ‬ ‫ﻴﺎ‬‫ﺸﻴ‬
 ‫ﻋ‬‫ﻭﺍ ﻭ‬‫ﺪﻭ‬ ‫ﻬﺎ ﹸﻏ‬‫ﻬ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﺿﻮﻥﹶ ﻋ‬
‫ﺿ‬
 ‫ﺮ‬ ‫ﻌ‬‫ ﻳ‬‫ﻨﺎﺭ‬‫ﺍﻟﻨ‬
Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada
hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah
Firaun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras”. Maka Allah
mengazabnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia. (QS al-
Mukmin [40]: 46) Atau azab akhirat dan dunia ditimpakan kepada
Firaun karena mengaku tuhan. Selama dia mendustakan posisi uluhiyah
dan rububiyah Allah, maka pendustaan terhadap para rasul termasuk di
dalamnya. Sama halnya dengan seseorang yang telah mencuri dan
membunuh lalu kita membunuhnya, maka kesalahan yang pertama telah
masuk ke dalam kesalahan yang kedua.
‫ﺮ ﹰﺓ‬ ‫ﺒ‬‫ ﻟﹶﻌ‬‫ﻚ‬‫ﻓﻲ ﺫﹶﻟ‬‫ﻭﻭﺍﻵﻭﹶﻟﻟﻰ)(ﺇﹺﻥﱠ ﻓ‬ ‫ﺓ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻧ ﹶﻜﻜﺎ ﹶﻝ ﺍﻵﺧ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻩ ﺍﻟ ﱠﻠ‬ ‫ﺧ ﹶﺬ‬ ‫ ﹶﻓﹶﺄ‬maka Allah mengazabnya
dengan azab di akhirat dan azab di dunia. Sesungguhnya pada yang

94
AN-NÂZI‘ÂT 79 JUZ 30

demikian itu, artinya bahwa dalam cuplikan kisah ini terdapat pelajaran
bagi orang yang takut (kepada Tuhannya). Kembali kepada apa yang
ada di dalam Alquran. Yaitu yang berhubungan dengan masalah
Quraisy, wahai orang yang kufur terhadap Muhammad, dan kalian telah
mendustakannya atau kalian tuduh bahwa Alquran adalah sihir,
ambillah pelajaran dari kisah Firaun! Firaun lebih kuat, atau memiliki
peradaban lebih tinggi akan tetapi dia telah ditenggelamkan di laut. Jadi
kalian tidak dapat menghindar dari Allah. Artinya, tidak ada orang kafir
yang dapat menentang dakwah Islam. Akhir dari dakwah Nabi
Muhammad adalah iman yang menang atau hukuman seperti yang
terjadi pada kaum Tsamud dan kaum Firaun. ***

KISAH MUSA A.S. DAN FIRAUN SEBAGAI PENGHIBUR


(QS an-Naziaat [79]: 27-33)
hgfedcba`_~}|{z
tsrqponmlkji
{zyxwvu
Apakah kamu lebih sulit penciptaanya ataukah langit? Allah telah
membinanya. Dia meninggikan bangunannya lalu
menyempurnakannya, dan Dia menjadikan malamnya gelap
gulita, dan menjadikan siangnya terang benderang. Bumi sesudah
itu dihamparkan-Nya. Ia memancarkan daripadanya mata airnya,
dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Gunung-gunung
dipancangkan-Nya dengan teguh, (semua itu) untuk
kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.
‫ﺸﻰ‬
‫ﺸ‬‫ﺨ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ﻤ‬‫ﺓﹰ ﻟ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﻟﹶﻌ‬‫ﻚ‬‫ﻓﻲ ﺫﹶﻟ‬‫ ﺇﹺﻥﱠ ﻓ‬sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat pelajaran, peringatan dan i’tibar bagi orang yang takut.
Kemudian Allah berfirman: ‫ﻤﻤﺎ ُﺀ‬ ‫ﺴ‬  ‫ﺧﻠﹾﻘﹰﻘﺎ ﹶﺃﻡﹺ ﺍﻟ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ‬ ‫ﺘ‬‫ﻧ‬‫ َﺀﹶﺃ‬apakah kamu yang
lebih sulit penciptaannya ataukah langit? (79:27) Allah tidak mungkin
melemparkan pertanyaan: “Apakah kamu lebih sulit,” kecuali untuk
menegaskan kembali masalah kebangkitan kepada orang yang keras
kepala. Pertanyaan ini tidak mungkin dilontarkan kecuali apabila Zat
yang bertanya yakin bahwa orang yang menjawab tidak akan menjawab
kecuali: ‫ﺱ‬
‫ﻨﺎ ﹺ‬‫ﻠﹾﻖﹺ ﺍﻟﻨ‬‫ ﺧ‬‫ﻣﻦ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺽﹺ ﺃﹶﻛﹾﺒ‬‫ﻭﺍﻷَﺭ‬‫ ﻭ‬‫ﻮﺍﺕ‬‫ﻮ‬‫ﻤ‬‫ﻖ ﺍﻟﺴ‬ ‫ﺨ ﹾﻠ‬
 ‫ ﻟﹶ‬sesungguhnya penciptaan

95
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia. (QS al-
Mu’min [40]: 57)
Ayat tentang kebangkitan disebutkan: Iia membuat perumpamaan
bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: “Siapakah
yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?
Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya
kali yang pertama. Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk,
yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka
tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu.” Tidakkah Tuhan yang
menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan kembali jasad-
jasad mereka yang sudah hancur itu? Benar, Dia berkuasa. Dialah
Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui”. (QS Yâsîn [36]: 78-81)
Selama penciptaan langit dan bumi lebih rumit dari penciptaan
manusia, dan ternyata menciptakan langit dan bumi tidak rumit menurut
Allah, buktinya Dia membangun langit dengan konstruksi yang
menakjubkan dan menghamparkan bumi sehingga sejalan dengan
kemaslahatan hamba di dalamnya, tentu menciptakan manusia sangat
mudah. Penciptaan yang menakjubkan tersebut memerlukan
kemampuan yang tinggi, hikmah dan ilmu yang juga dapat
membangkitkan kalian kembali.
‫ﻫﺎ‬‫ﻮﺍﻫ‬‫ﻮ‬‫ﻬﺎ ﻓﹶﺴ‬‫ﻜﹶﻬ‬‫ﻤ‬‫ ﺳ‬‫ﻓﹶﻊ‬‫ ﺭ‬Dia meninggikan bangunannya lalu menyempur-
nakannya. (79: 28) Kata as-samk artinya yang tinggi dan jauh. Kata
sawwaha artinya menyempurnakannya sehingga tidak dapat dilihat
bagian yang retak dari bangunan tersebut. Dikatakan bangunan bila batu
disusun dengan rapi dengan perekat dan dipelaster dengan mulus.
Bagimanapun telitinya pembangunan tersebut tetap saja tampak bagian
yang retak atau sambungan serta celah. Akan tetapi Allah berkata: “Aku
membangun langit dengan tanpa batu dan tidak retak.” Karena
penciptaannya sangat teliti dan lembut sehingga ia seperti satu kesatuan.
‫ﻫﺎ‬‫ﻋﺎﻫ‬‫ﻋ‬‫ﺮ‬‫ﻣ‬‫ﻫﺎ ﻭ‬‫ﻣﺎﺀَﻫ‬‫ﻬﺎ ﻣ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ ﻣ‬‫ﺝ‬‫ﺮ‬‫ﻫﺎ)(ﺃﹶﺧ‬‫ﺣﺎﻫ‬‫ﺣ‬‫ ﺩ‬‫ﻚ‬‫ ﺫﹶﻟ‬‫ﺪ‬‫ﻌ‬‫ ﺑ‬‫ﺽ‬‫ﻭﺍﻷَﺭ‬‫ ﻭ‬bumi sesudah itu
dihamparkan-Nya. Ia memancarkan daripadanya mata airnya dan
(menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. (79:30-31) Ini adalah peringatan
akan kekuasaan-Nya yang menakjubkan di alam ini berupa penciptaan
langit dan meninggikannya serta menyempurnakannya, berupa
penghamparan bumi dengan membuat apa yang kalian butuhkan untuk
kelangsungan hidup kalian. Dari mana datangnya jaminan
kesinambungan hidup ini? Segala apa yang tumbuh di bumi
memberikan manfaat bagi kita dan segala sesuatu yang hidup di bumi

96
AN-NÂZI‘ÂT 79 JUZ 30

memiliki hubungan dengan apa yang ada di langit berupa air hujan. Di
mana sumber air disimpan di dalam bumi, sehingga ketika ia keluar
menjadi mata air; juga turun dalam bentuk hujan. Air yang merembes di
dalam tanah keluar dalam bentuk mata air, sedangkan yang tidak masuk
ke dalam tanah kita manfaatkan sebagai sungai ataupun danau.
‫ﻫﺎ‬‫ﺤﺎﻫ‬ ‫ﺤ‬‫ ﺿ‬‫ﺝ‬‫ﺮ‬‫ﺃﹶﺧ‬‫ﻬﺎ ﻭ‬‫ﻠﹶﻬ‬‫ ﻟﹶﻴ‬‫ﺃﹶﻏﹾﻄﹶﺶ‬‫ ﻭ‬Dia menjadikan malamnya gelap gulita dan
menjadikan siangnya terang benderang. (79:29) Allah membuat gelap
malam menjadi bersinar. Kehidupan ini memerlukan kedua hal yang
saling melengkapi; cahaya dan kegelapan. Gelap terus menerus tidak
baik, dan terang terus menerus juga tidak bagus. Harus ada kegelapan
dan dilanjutkan dengan cahaya terang. Ini adalah penyempurnaan dan
tidak saling bertentangan.
‫ﻫﺎ‬‫ﺣﺎﻫ‬‫ﺣ‬‫ ﺩ‬‫ﻚ‬‫ ﺫﹶﻟ‬‫ﺪ‬‫ﻌ‬‫ ﺑ‬‫ﺽ‬‫ﻭﺍﻷَﺭ‬‫ ﻭ‬Bumi sesudah itu dihamparkan-Nya, (79:29-30)
dengan dalil: “Ia memancarkan dari padanya mata airnya dan
(menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya” sebagai proses kelangsungan
hidup. “Gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh, semua itu
untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu”. Yang
harus kita perhatikan di sini adalah untuk kesenanganmu dan untuk
binatang-binatang ternakmu. Ayat ini didahului oleh tiga hal: “Ia
memancarkan daripadanya mata airnya dan (menumbuhkan) tumbuh-
tumbuhannya, dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh,
(semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang
ternakmu”. Jadi pemancangan gunung di bumi memiliki andil dalam
keberadaan kesenangan dan kebahagiaan. Begitu juga dengan
tumbuhnya tumbuh-tumbuhan, dan keberadaan gunung.
Jika diperhatikan ilmu pengatahuan modern yang mengatakan
bahwa turunnya hujan di gunung, dan faktor-faktor erosi yang terjadi di
gunung adalah bentuk penggemburan bagian permukaan gunung.
Setelah hujan turun, air hujan akan membawa tanah subur ini turun dari
gunung sehingga membentuk lembah dan memberikan kesuburan pada
tanah di kaki gunung. Seakan-akan gunung yang keras ini adalah
gudang kesuburan yang terjadi akibat proses erosi. Di sisi lain, matahari
memberikan panasnya sehingga gunung dapat mengembang, dan malam
dengan dinginnya sehingga membuatnya mengerut. Pembentangan dan
pengerutan ini menyebabkan terjadinya celah-celah di gunung.
Oleh sebab itu ketika dilihat gunung, akan ditemukan celah-celah
dan retakan. Hujan turun dan membawa kesuburan tanah ini berjatuhan
dari kawah atau bukit gunung. Kesinambungan proses ini akan

97
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

memberikan setiap tahunnya kesuburan tanah yang baru, hingga


tanaman dan rerumputan tumbuh. Jika hal ini tidak terjadi, maka bumi
akan subur di puncak gunung saja.***

PEMBANGKITAN MANUSIA ADALAH MUDAH BAGI


ALLAH SEPERTI MENCIPTAKAN ALAM SEMESTA
(QS an-Naziaat [79]: 34-41)
©¨§¦¥¤£¢¡~}|
»º¹¸¶µ´³²±°¯®¬«ª
ÊÉÈÇÆÅÄÃÂÁÀ¿¾½¼
Apabila malapetaka yang sangat besar (hari kiamat) telah
datang. Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah
dikerjakannya, dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada
Setiap orang yang melihat. Adapun orang yang melampaui batas,
dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya
nerakalah tempat tinggal(nya). Adapun orang-orang yang takut
kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari kehendak
hawa nafsunya, maka surgalah tempat tinggal(nya).
Kembali kepada masalah kebangkitan yang perlu ditegaskan berkali
-kali dan terus menerus. Karena masalah kebangkitan ini jika jelas
terpatri di dalam pikiran manusia, tentu ini menjadi pelajaran kepada
nya untuk beriman kepada Allah dan rasul-rasulNya, dan beriman
kepada kitab suciNya, dengan cara menerima ajaranNya. Minimal,
kalau dia tidak takut kepada Allah, dia akan berpikir ulang jika
kekafiran dan perbuatannya, membuatnya masuk nereka.
Ath-thâmmah adalah peristiwa yang besar, yang mengerikan dan
menakutkan yang membuat manusia melupakan seluruh peristiwa yang
terjadi sebelumnya. Apabila at-thâmmah datang maka pada hari
(ketika) manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya.
Ketika peristiwa yang mengejutkan dan tidak dinantikan ini datang,
manusia akan mengingat kembali apa yang telah dilakukannya pada
kehidupan di dunia. Dia akan berkata: “Ini adalah hari yang aku
dustakan, pendustaan yang menarikku untuk juga mendustakan para
rasul dan mendustakan adanya Tuhan, mendustakan ajaran-Nya dan
berlebihan dalam kezaliman”. Lalu datang kepadanya rekaman

98
AN-NÂZI‘ÂT 79 JUZ 30

perbuatannya selama hidup sehingga dia tidak dapat mendustakannya


dan menerima dengan berat hati hukuman atas perbuatan tersebut.
‫ﺮﻯ‬‫ﺮ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ﻤ‬‫ ﻟ‬‫ﺤﻴﻢ‬ ‫ﺤ‬‫ ﺍﻟﹾﺠ‬‫ﺕ‬‫ﺯ‬‫ﺮ‬‫ﺑ‬‫ ﻭ‬diperlihatkan neraka dengan jelas kepada
setiap orang yang melihat. (79:36) Maksudnya adalah bahwa neraka
yang telah mereka dustakan keberadaannya dan tidak mereka percayai
pemberitahuannya oleh para rasul, saat ini berada di depan mata
mereka. Neraka tampak jelas bagi orang yang dapat melihat.
Atau maksudnya bagi yang memiliki penglihatan pasti dapat
melihatnya, atau dia akan dapat dilihat oleh orang yang berbuat baik
maupun yang berbuat buruk. Bagi mukmin dan kafir, bagi yang
bertakwa dan berbuat maksiat. Bagi setiap orang yang memiliki
penglihatan akan dapat melihatnya. Dalam ayat lain: ‫ﻫﺎ‬‫ﻫ‬‫ﻭﺍﺭﹺﺩ‬‫ ﺇﹺﻻﱠ ﻭ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻨ‬‫ﺇﹺﻥﹾ ﻣ‬‫ﻭ‬
dan tidak ada seorang pun daripadamu, melainkan mendatangi neraka
itu. (QS Maryam [19]: 71) Kemudian Allah menyelamatkan orang yang
bertakwa, dan meninggalkan pelaku kezaliman di dalamnya.
Orang yang bertakwa mendapat nikmat dua kali: nikmat ketika
melihat azab yang dia diselamatkan darinya; nikmat melihat surga yang
ia akan dimasukkan ke dalamnya. Hanya dengan melihat azab dan
selamat darinya merupakan bentuk pemberian nikmat. Jadi neraka
terlihat jelas bagi orang yang dapat melihat sehingga orang mukmin
merasakan dua nikmat yang diberikan Allah kepadanya. Nikmat yang
pertama bahwa ia diselamatkan dari api neraka dan yang kedua bahwa
ia akan masuk ke dalam surga.
‫ﻭﻯ‬‫ﺄﹾﻭ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻲ‬‫ ﻫ‬‫ﺤﻴﻢ‬
‫ﺤ‬‫ﻴﺎ)(ﻓﹶﺈﹺﻥﱠ ﺍﻟﹾﺠ‬‫ﻴ‬‫ﻧ‬‫ﻴﺎﺓﹶ ﺍﻟﺪ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﺀَﺀﺍﺛﹶﺮ‬‫ﻐﻐﻰ)(ﻭ‬ ‫ﻦ ﹶﻃ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ ﹶﻓﹶﺄ‬adapun orang yang
melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka
sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya). (79: 37-39) Di sini
terdapat dua keterangan; melampaui batas dan orang yang lebih
mengutamakan kehidupan dunia. ()‫ﻮﻯ‬‫ﻮ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﹾﻬ‬‫ ﻋ‬‫ﻔﹾﺲ‬‫ﻬﻰ ﺍﻟﻨ‬‫ﻬ‬‫ﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﺑ‬‫ ﺭ‬‫ﻘﹶﻘﺎﻡ‬‫ ﻣ‬‫ﺧﺎﻑ‬ ‫ﻦ ﺧ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ﻭﹶﺃ‬
‫ﻭﻯ‬‫ﺄﹾﻭ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻲ‬‫ﺔﹶ ﻫ‬‫ﻨ‬‫ ﻓﹶﺈﹺﻥﱠ ﺍﻟﹾﺠ‬dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran
Tuhannya dan menahan diri dari kehendak hawa nafsunya, maka
sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya). (79: 40-41) Ini
berlawanan artinya dengan ayat di atas.
Takut kepada kebesaran tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsu
maka surgalah tempat tinggalnya, dapat sejalan. Melampaui batas
artinya berbuat semena-mena hingga melampaui batas kewajaran.
Melampaui batas ini bersumber dari kerusakan kekuatan akal, hingga

99
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

zalim, atau bersikap sombong. Sumber dari akal yang tidak lurus.
Karena manusia tidak akan menzalimi kecuali orang yang lemah.
Arti menzalimi yang lemah adalah bahwa pemikirannya tidak lurus
dalam dua titik. Titik pertama, dia menyangka bahwa dia adalah orang
yang kuat dan tidak ada lagi yang lebih kuat selainnya. Akan tetapi jika
ia mengetahui ada yang lebih kuat darinya, tentu dia tidak akan berbuat
demikian dengan kekuatannya. Titik kedua, dia mengetahui bahwa
kekuatannya ini tidak mengalami perubahan. Akan tetapi jika dia
mengetahui bahwa dia dapat berubah menjadi lemah, maka dia akan
sadar dan tidak berlaku zalim.
Kezaliman adalah penyakit jiwa yang menakjubkan. Karena dia
melihat dirinya serba cukup. Padahal ketika memulai kehidupan, dia
adalah orang yang lemah, lalu orang di sekitarnya membantunya dan
menguatkannya serta menolongnya untuk berdiri di atas kedua kakinya,
sehingga dia memiliki kekuasaan. Sayang ketika telah memiliki
kekuasaan, dia merasa cukup dan ingin melampaui batas. Ketika ia
berbuat melampaui batas lalu kemudian menemukan seseorang yang
memiliki kelebihan di atasnya, maka tipu dayanya akan tertolak.
Jadi perbuatan melampaui batas selalu dikarenakan manusia merasa
tidak ada lagi orang sombong sepertinya di benua tempatnya hidup.
Orang yang berlaku sombong tidak memiliki rasa takut terhadap Allah,
jika seseorang menghadirkan kebesaran Tuhannya maka seluruh
kebesarannya akan menjadi kecil di hadapan Tuhannya.
Selama kebesarannya mengecil di hadapan Tuhan, maka
kesombongannya tidak dapat timbul. Jadi orang yang berlaku sombong
lupa untuk menghadirkan dan menyaksikan kebesaran Allah. Jika dia
merasakan kebesaran Allah, maka dia akan merasakan kelemahan dan
kekurangannya, dan ketika itu dia tidak dapat berlaku sombong. Oleh
sebab itu orang-orang yang selalu menghadirkan Tuhan, mereka adalah
orang-orang yang memiliki kelemahan dan ketaatan. Karena ia dapat
merasakan kekuatan yang lebih besar darinya. Akan tetapi yang berlaku
sombong dan melampaui batas tidak merasakan adanya kekuatan yang
lebih tinggi darinya. ***

100
AN-NÂZI‘ÂT 79 JUZ 30

(QS an-Nâzi‘ât [79]: 42-46)


ÙØ×ÖÕ ÔÓÒÑÐÏÎÍÌË
éèçæåäãâáàßÞÝÜÛÚ
(Kaum kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari
kebangkitan, kapankah terjadinya? Siapakah kamu (maka) dapat
menyebutkan (waktunya)? Kepada Tuhanmulah dikembalikan
kesudahannya (ketentuan waktunya). Kamu hanyalah pemberi
peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari berbangkit).
Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa
seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja)
di waktu sore atau pagi hari.
Seakan-akan akhir surat ini memaparkan peringatan. Allah ingin
menjelaskan bahwa misi Rasul dalam dakwah adalah memberi peringat-
an bagi orang yang takut kepada hari kiamat. Arti dzikr adalah
peringatan atas datangnya hukuman yang pasti bagi orang yang
menyalahi ajaran Pencipta. Pemberi peringatan tidak memiliki
pekerjaan selain menyampaikan peringatan tersebut yang merupakan
misi seluruh nabi. Mereka datang untuk menyampaikan ajaran Allah,
dan untuk mengingatkan akan fitrah sehat yang tertanam di dalam jiwa.
Akan tetapi mereka yang ikhlas untuk menyampaikan risalah
membebani diri lebih dari apa yang dibebankan oleh Allah. Mereka
melakukan hal ini dengan ambisi, ekstra kerja untuk meyakinkan, dan
bersikap lembut terhadap mereka. Dakwah rasul dilakukan dengan
serius, bukan sekedar dakwah. Oleh sebab itu Allah Swt mengatakan:
“Tidak ada kewajiban bagimu selain menyampaikan”.
Dalam keseriusan Rasulullah Saw menyebarkan dakwah Islam,
beliau menghadapi kaum kafir yang memiliki kekuasaan, sarana materi
dan wibawa yang kuat, hingga dakwah Islam difitnah dan mukminin
yang lemah ditindas serta jalan hidup mereka dipersempit. Apabila
orang lemah melihat sikap penguasa menghalangi dakwah, maka tidak
sedikit dari mereka yang menyembunyikan imannya. Oleh sebab itu,
Rasulullah berusaha untuk meyakinkan para penguasa untuk mau
beriman, hingga Islam terbela dan umatnya terselamatkan.
Ini tentu menyusahkan Rasul, karena dia membawa dirinya kepada
hal-hal yang tidak dibebankan oleh Allah kepadanya. Ketika Rasulullah
mendapat kesempatan untuk berkumpul dengan kaum Quraisy, beliau
duduk bersama mereka untuk berbicara tentang tujuan agama yang

101
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

dibawanya dan untuk meyakinkan mereka akan pentingnya Islam.


Allah menegurnya seakan-akan Dia berkata: “Kamu menyusahkan
dirimu, kewajibanmu hanya menyampaikan, kamu tidak perlu
melakukan strategi untuk meyakinkan para penguasa, karena Allah
sudah cukup bagi seluruh manusia.” Penguasa kafir tidak dapat
memberikan manfaat kepada Allah dengan keislaman mereka, akan
tetapi Allah yang memberi karunia kepada mereka dengan menunjuki
mereka Islam. Allah tidak mengambil manfaat dari seseorang selamanya
meskipun seluruh orang yang ada di alam ini beriman. Dia tidak
mendapatkan bahaya sedikitpun dari seseorang meskipun seluruh alam
kafir terhadap-Nya.
Wajib untuk dipahami bahwa Allah tidak memerlukan mereka dan
kamu pun tidak memerlukan mereka, karena kamu tidak memiliki
kepentingan terhadap mereka. Keseriusan kamu terhadap mereka
membuat mereka menganggap dakwah memerlukan mereka, sedangkan
mereka tidak memerlukan dakwah. Lalu mengapa kamu menyusahkan
dirimu dengan kesusahan ini?
Apakah teguran Allah kepada Rasul-Nya karena dia melakukan
perbuatan yang dibenci oleh Allah atau sebagai bentuk kasih sayang
Allah kepada Rasul-Nya? Saya heran melihat orang-orang yang
membaca Alquran kemudian berkata: “Ini adalah celaan bagi Rasulullah
dan penghinaan atas tindakannya.” Hal ini bukan penghinaan atas
perbuatannya, akan tetapi ini adalah bentuk kasih sayang karena dia
membebani dirinya di atas apa yang diperintahkan.
Kunci pembicaraan yang harus diperhatikan adalah firman Allah
“Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri
(beriman).” Bahaya apa yang akan menimpamu jika mereka tidak
beriman dan membersihkan diri? Allah menghapuskan pekerjaan yang
dianggap Muhammad wajib dia lakukan. Maka teguran disampaikan
untuk kemaslahatan Muhammad Saw dan bukan celaan baginya.
Contoh lain adalah, Dia (Muhammad) bermuka masam dan
berpaling, dan mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah
menghalalkannya bagimu, dan supaya Allah memberi ampunan
kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu, dan mengapa kamu
memberi izin kepada mereka. Ayat-ayat ini hendaklah dipahami sebagai
kemaslahatan untuk Nabi Muhammad bukan pernghinaan.***

102
‘ABASA 80 JUZ 30

SURAT 80
‘ABASA
(MAKKIYAH)

103
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

104
‘ABASA 80 JUZ 30

TEGURAN KEPADA RASULULLAH SAW


(QS ‘Abasa [80]: 1-10)
ONMLKJIHGFEDCBA
_^]\[ZYXWVUTSRQP
jihgfedcba`
Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah
datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia
ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau Dia (ingin)
mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat
kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup,
maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu
kalau Dia tidak membersihkan diri (beriman). Adapun orang
yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan
pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), maka kamu
mengabaikannya.
Allah tidak berkata: “Kamu telah bermuka masam dan berpaling”,
akan tetapi Allah menginginkan hal tersebut sebagai kebaikan maka Dia
berkata: Dengarkanlah kisah Muhammad dan rasa kepeduliannya
terhadap dakwah. “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling
karena telah datang seorang buta kepadanya”. Yaitu dia datang
kepadamu untuk bertanya suatu masalah yang mudah dan dapat kamu
jawab dengan dua kalimat, akan tetapi kamu pergi untuk melayani orang
-orang yang merasa diri mereka cukup “Adapun orang yang merasa
dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya”. Lihatlah apa yang
terdapat dalam kata “tashadda”. Artinya bahwa dia mengerahkan
seluruh kemampuannya untuk menerima dan melayani mereka. Jadi
inilah kesusahan yang tidak diiginkan oleh Allah terhadap Rasul-Nya.
Bagi orang yang menemukan ayat-ayat seperti ini hendaklah mereka
menggunakan kunci yang ada dalam firman Allah “Padahal tidak ada
(celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman)”. Apa
yang membuatmu susah jika mereka tidak mau membersihkan diri? Jika
Rasulullah Saw telah melakukan hal trersebut, maka Allah menegurnya
karena ia telah membebani dirinya di luar dari apa yang diperintahkan.
Bukankah pembebanan dirinya melebihi apa yang diperintahkan
menunjukkan keikhlasannya untuk berdakwah?. Apakah Allah
membenci keikhlasannya dalam berdakwah? Dengan demikian maka

105
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

dengan teguran tersebut, Allah ingin mengsitirahatkannya sehingga ia


tidak merasa tertekan dan mengalami kelelahan serta tidak menyesali
diri jika mereka tidak memeluk Islam.
Di samping itu, ketika Rasulullah Saw ditegur atas suatu masalah di
luar dari apa yang dibebankan kepadanya adalah bukan demi
kepentingannya akan tetapi demi kepentingan dakwah. Siapa yang
menegurnya? Tuhannya yang menegurnya. Apakah Muhammad malu
atau merasa disakiti jika ditegur oleh Allah? Tidak mungkin, karena
Rasulullah sadar akan sikapnya dan menyukai teguran tersebut.
Ketika Ibnu Ummi Maktum datang kepada beliau, beliau berkata:
“selamat datang kepada orang yang telah membuat Allah menegurku”.
Jadi masalahnya adalah kebesaran.
Teguran lain kepada Rasulullah Saw berhubungan dengan Zaid bin
Haritsah. Ketika keluarganya sadar akan keberadaannya, mereka datang
ke Mekah menemuinya, maka Rasulullah memberikan pilihan kepada
Zaid: “Kamu pergi bersama keluargamu atau tetap bersamaku?” Lalu
Zaid bin Haritsah memilih tetap bersama Rasulullah Saw dan berkata:
“Saya memilih tetap bersama Rasulullah.” Kemudian bagaimana
Rasulullah memberi balasan yang setimpal kepadanya? Beliau
mengangkatnya sebagai anak.
Zaid mengganti namanya dengan Zaid bin Muhammad yaitu orang
yang dipilihnya sebagai orang tuanya. Dilihat dari sisi pembicaraan
manusia ini adalah pembicaraan yang lurus. Akan tetapi Allah tidak
ingin terjadi kerusakan umum, oleh sebab itu Dia tidak hanya
memperhatikan masalah-masalah individu. Allah membatalkan hal ini
dengan firmanNya: “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan
(memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi
Allah”. Kata aqshat menunjukkan bahwa di dalamnya terdapat sebuah
keadilan atau lebih. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah adalah suatu
perbuatan adil, akan tetapi Allah mengalihkannya kepada perbuatan
yang lebih adil bagai kesempurnaan manusia. Beliau tidak menemukan
sesuatu yang memuliakannya, kecuali dengan mengatakan bahwa dia
adalah anaknya dan ini adalah keadilan, akan tetapi apa yang dituntut
oleh Allah adalah yang lebih adil.
Allah tidak hanya mengatakannya sebagai sesuatu yang lebih adil
saja, akan tetapi Ia mengatakan indallah/di sisi Allah. Jadi, standarnya
adalah di sisi Allah, sedangkan kita adalah manusia. Ketika Rasulullah
mengumumkannya, maka hal ini menunjukkan sifat amanahnya
sehingga Dia menyampaikan apa yang diturunkan oleh Allah

106
‘ABASA 80 JUZ 30

kepadanya. Dia tidak menyembunyikan sesuatu terlebih-lebih yang


berhubungan dengan perubahan hukum bahwa hukum mengangkat anak
dan memberinya dengan nama kita adalah batal.
Jadi setiap teguran yang datang seperti ini terlebih dahulu harus
diperhatikan dengan seksama. Pertama, bahwa dengan teguran tersebut
adab Rasulullah menjadi sempurna. Tidak ada salahnya, jika Allah
menyempurnakan adab nabi-Nya. Kedua, banyak dari bentuk teguran
ditujukan kepada Rasulullah bukan karena kesalahannya. Ketiga, bahwa
dalam teguran tersebut terdapat suri tauladan dari Rasulullah berkenaan
dengan sifat amanahnya. Dia telah menyampaikan teguran tersebut
kepada kita terutama yang berhubungan dengan perubahan hukum.
Keempat, Rasulullah meluruskan jalan manusia agar sesuai dengan
ajaran Allah yang ada padanya. Apabila Rasulullah diminta Allah untuk
lurus, maka hal tersebut adalah sebagai suri tauladan.
Perlu dibedakan anatara teguran yang bertujuan untuk kemaslahatan
Rasulullah atau celaan atas kesalahan. Harus dipisahkan antara masalah
yang ditetapkan Rasulullah dalam hal-hal yang tidak mengandung
hukum dengan masalah yang mengandung hukum? Selama dia
menetapkan sesuatu yang tidak mengandung hukum, maka teguran atas
hal tersebut bukanlah celaan. Jadi hendaklah dipahami ayat-ayat seperti:
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling” bukan sebagai
celaan. Demikian juga dengan ayat: “Mengapa kamu mengharamkan
apa yang Allah menghalalkannya bagimu”. Pengharaman apa yang
dihalalkan oleh Allah tentu saja menyusahkan jiwanya.
Mukmin perlu melihat ini dengan pandangan yang luas.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya: “Dia mendapatimu
sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk”. Arti
dhalal dalam bahasa adalah kebingungan ketika menghadapi dua jalan.
Jika saya tidak mengetahui jalan, maka saya akan berhenti dan berusaha
mempergunakan akal untuk mengetahuinya. Akan tetapi setelah melalui
jalan tersebut, datang seseorang mengatakan kepadaku bahwa jalannya
bukan ini.
Atau dhalal artinya adalah lupa “Supaya jika seorang lupa maka
seorang lagi mengingatkannya”. Atau dhalal artinya mengalir di dalam
diri sehingga tidak mengetahui kebenaran, sebagaimana yang mereka
katakan: “Mereka berkata: “Apakah bila kami telah lenyap (hancur) di
dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru.”
Yaitu apabila kita telah hancur menjadi tanah sehingga kita tidak
memiliki bentuk apakah kita akan tetap dibangkitkan? Jadi dhalal

107
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

memiliki banyak arti dan kita kita harus menafsirkannya sesuai dengan
arti-artinya.
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang
nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu
yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-
Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus. Rasulullah
tidak saja terpelihara dari kesalahan yang telah dilakukan ataupun yang
akan dilakukan, akan tetapi Allah juga telah mengampuninya, jika
tersalah. Jadi nikmat yang diberikan kepada beliau adalah berupa
pengampunan dosa. Kemenangan yang telah diberikan adalah
kemenangan Hudaibiyah atau kemenangan Mekah.
Lalu apa hubungannya dengan pengampunan dosa? Sebelumnya
mereka telah menyakiti Rasulullah dan mengatakan bahwa dia adalah
pendusta, pengada-ada, pemutus silatur rahmi dan hubungan antara
kaumnya, mencela tuhan mereka dan memisahkan keluarga mereka,
semua ini adalah dosa Rasulullah Saw. Lalu Allah berkata kepada
beliau: “Aku telah memberikan kemenangan kepadamu di Mekah
sehingga banyak orang yang berbondong-bondong masuk Islam, dan
mereka menghapuskan dosa-dosa yang sebelumnya mereka tuduhkan
kepadamu. Dosa-dosa kaum kafir tersebut tidak dihitung, karena mereka
telah menjadi muslim. Mereka yang sebelumnya mengatakan bahwa
kamu telah mencela tuhan mereka, sekarang telah beriman kepada
Allah. Jadi dosa-dosa yang terdahulu telah diampuni. Jadi, liyagfira
adalah untuk menutupimu dari dosa yang mereka tuduhkan kepadamu.
Akan tetapi dengan keimanan dan masuknya mereka ke dalam Islam
secara berbondong-bondong maka segala urusan setelah itu datang
tanpa dosa bagimu di dalamnya. Dengan demikian hal ini selaras
dengan kemenangan: “Sesungguhnya Kami telah memberikan
kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan
kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu”. Keharusan mengampuni
di sini memiliki hubungan dengan kemenangan manusia dalam
memeluk Islam secara berbondong-bondong. Maka mereka yang
mengatakan bahwa Rasulullah seperti ini dan seperti ini, tidak lagi
berkata demikian. Jadi dosa ini berasal dari mereka dan setelah itu tidak
pernah mereka ucapkan.
Atas dasar inilah kita memahami dan menafsirkan ayat “Dia
(Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang
seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin
membersihkan dirinya (dari dosa)”.

108
‘ABASA 80 JUZ 30

Ketika yang dimaksud adalah Ummi Maktum, Allah malah


menyebutkan status diri Ummi Maktum sebagai orang buta atau a‘mâ.
Padahal status ini dapat saja mencederai pemiliknya. Begitulah Alquran
ingin melukiskan peristiwa itu dengan sempurna, seakan ia berkata:
“Lihat buta yang datang kepadamu dengan berjalan begitu kencangnya,
hampir berlari, hanya karena ingin menerima pesan-pesan kebaikan dari
langit atau ingin menuntut ilmu. Padahal orang buta itu tidak dapat
berjalan kencang. Sai ini bukti cinta ilmu dan cinta kebaikan.
Buta berjalan kencang, dan dia takut. Alquran tidak menerangkan
takut dari apa dan siapa Ummi Maktum ini. Tujuannya agar otak
pembaca bekerja dengan cerdas. Apakah dia tukut dari terjatuh ke dalam
lobang, karena dia buta? Atau takut terbentur tembok, atau takut dari
para musuh Islam yang mengintimidasi dan merongrong muslim lemah,
atau takut di atas dari itu semua; yaitu takut kepada Allah. Kata yakhsya
atau takut ini dapat dipahami dengan semua pengertian itu.
Posisi Ummi Maktum yang begitu semangat untuk belajar Islam, dan
memiliki semua potensi kebaikan, siap menerima segala perintah,
membuatnya dapat saja menanti kedatangan nabi atau ditunda
pertemuan dengannya, untuk mendahulukan pertemuan dengan
pemimpin kaum kafir.
Rupanya ini salah dan tidak baik. Nabi telah tersalah karena
mengambil jalan susah dan berliku menghadap kafir dengan
meninggalkan jalan mudah bertemu dengan Ummi Maktum yang buta.
Misi Nabi yang mulia adalah terwujudnya Islam sebagai agama bagi
warga Mekah. Tapi ini dikorerksi Allah. Karena kamu akan kecewa jika
memiliki misi seperti itu. Tidak ada salah dalam misi itu, tapi harus
dipahami Islam tidak memerlukan mereka, tapi mereka yang
memerlukan Islam.
Kata talahha berasal dari kata al-lahw atau senda gurau. Jika al-
la‘ab atau bermain adalah melakukan sesuatu aktifitas yang tidak
diminta, maka al-lahw adalah melakukan sesuatu aktifitas yang diminta
tapi dengan cara yang tidak diharapkan. Seakan Allah berkata:
“Lapangan dakwah mu adalah orang-orang yang mencintai dan
merindukan Islam. Adapun orang yang menjadikan Islam sebagai senda
gurau, maka itu bukan lahan yang perlu digarap.”
Kalimat talahha menunjukkan bahwa kegiatan Rasulullah dengan
kaum musyrikin, tidak membuahkan sesuatu. Dengan demikian kita
mendapatkan Alquran menyebut:

109
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

“Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia


(biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengi-
kuti kamu melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang
lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu
kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah
orang-orang yang dusta”. (QS Hûd [11]: 27)
Ayat itu sebagai bantahan terhadap orintalis yang mengatakan
bahwa Islam tersebar dengan senjata di Mekkah. Mereka mengatakan
bahwa Islam di Mekkah identik dengan senjata. Ternyata, ketika Islam
tersebar di Mekkah ia tersebar hanya di golongan lemah secara finansial
dan kekuatan. Secara umum Islam kurang mendapat respons di Mekkah.
Ia tersebar jauh di Madinah. Kenapa?
Karena Allah ingin menegaskan bahwa keimanan dan keislaman
melahirkan fanatisme kepada Muhammad. Bukan fanatisme kepada
Muhammad, yang melahirkan iman dan Islam. Islam tidak tersebar
dengan pedang, karena mukmin yang lemah tidak punya dana dan
kemampuan untuk membawa pedang.
Islam tersebar pertama kali di kalangan orang lemah. Islam yang
sesungguhnya, tidak tersebar dengan orang kuat. Tetapi tersebar dengan
orang-orang lemah. Yang lemah akhirnya mereka kuat karena Islam.
Ketika salah seorang berkata bahwa Islam tersebar dengan pedang,
Anda wajib mengatakan bahwa ini adalah pernyataan yang tidak benar.
Jika Islam tersebar dengan pedang, siapa yang membawanya? Siapa
yang menggusung pedang itu? Pernyataan ini akan benar, jika
Muhammad diutus bersamanya pedang. Memaksa manusia untuk
beriman. Tetapi yang beriman kepadanya adalah orang yang lemah.
Saya berbicara bukan pada pedang yang dibawa, tetapi siapa orang yang
membawa? Jika dipastikan Islam tersebar dengan pedang; siapa yang
membawanya? Yang lemah? Maka masalah apa yang menyebabkan
orang lemah menjadi kuat dengan membawa pedang? Ini topik penting.
Jadi, pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa Islam datang untuk
memperjuangkan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan. Disebut dengan
mabadiul hayat.
Prinsip-prinsip dasar ini wajib dilestarikan, atau mukmin harus
berusaha untuk menjaganya. Dengan demikian, jika dikatakan:
“Tebarkan kebahagiaan dengan Islam.” Kami katakan: “Sebelum kamu
menyebarkan Islam, yakinkan kepada diri, bahwa Islam itu agama yang
baik. Kokohkan dan tanamkan Islam yang membahagiakan pertama
sekali dalam diri sendiri.” Ketika Islam mengkristal dalam mental dan

110
‘ABASA 80 JUZ 30

tingkah laku, Islam akan menjadi contoh kongkrit di dunia. Dunia akan
melirik kepada sesuatu yang baru itu. Karena mereka memberikan
contoh tauladan yang baik.
Dengan demikian, teladan baiklah yang disebarkan Islam diberbagai
negara. Islam akhirnya menjadi agama yang memberi solusi bagi dunia.
Islam tersebar karena teladan dan moral. Jika di bumi tegak suatu
prinsip dari cara hidup, maka Islam datang untuk menawarkan prinsip-
prinsip langit yang solusi. Prinsip bumi berorientasi kepada yang kuat,
dia yang menang; demikian juga prinsip langit. Tapi kuat dibidang apa?
Dahulu, kemenang dunia, jika dia kuat dalam material, lalu berubah
kepada kekuatan kecerdasan, dan berujung pada kekuatan iman dan
keikhlasan. Inilah kuat langit, kekuatan pada sumber-sumber ideologi.
Muslim pertama kuat dalam sumber ideologi. Setelah itu mereka
mampu menaklukkan kaum jahiliyah yang kuat secara material. Lalu
mereka tanamkan prinsip kehidupan manusiawi secara cerdas.
‫ﺮﻯ‬‫ ﺍﻟﺬﱢﻛﹾﺮ‬‫ﻌﻪ‬ ‫ﺘﺘﻨ ﹶﻔ‬‫ﺮ ﹶﻓ‬ ‫ﻳ ﱠﺬﻛﱠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺰ ﱠﻛﻛﻰ ﹶﺃ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻌ ﱠﻠ‬ ‫ ﹶﻟ‬‫ﺭﹺﺭﻳﻚ‬‫ﺪ‬‫ﻣﺎ ﻳ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬tahukah kamu barangkali ia
ingin membersihkan dirinya (dari dosa). atau dia (ingin) mendapatkan
pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? (QS 90:
3-4) Apa perbedaan antara Yuzakki dengan yudzakkiru? Yuzakki artinya
berthaharah atau membersihkan diri. Maknanya pada dirinya ada
kotoran dan kemudian ia ingin untuk bersuci membersihkan diri. Tidak
diragukan lagi bahwa masyarakat Jahiliah sangat lengket dengan
kotoran dan dosa.
Adapun kaum Mekkah yang bersifat manusiawi, seperti orang
shalih. Atau orang yang tidak terpengaruh dengan kotoran lingkungan
Jahiliah dan tidak mengerjakannya. Mereka itu cukup diperingati saja
(yudzakkiru). Karena mereka dekat dengan ajaran langit. Hal demikian
tak mengagetkan mereka. Mereka ingin memulai diri dengan al-haq.
Ketika mereka berkumpul, mereka berkata: “Kami bukan pada jalan
yang benar. Patung yang disembah sebenarnya tidak layak dijadikan
Tuhan. Buktinya, jika ia rusak, kami yang memperbaikinya.” Mereka
adalah orang yang hanif. Salah seorang dari mereka berkata: “Aku akan
berjalan dan akan mencari agama yang benar.” Yang lain berkata: “Aku
akan berpikir hingga akan datang kepadaku kemudahan dan pemecahan
masalah. Ini merupakan dalil bahwa di sana ada orang-orang yang jenuh
dengan masalah penyembahan patung itu.
Jadi, penduduk Mekkah terbagi kepada dua golongan: pertama,
mereka yang mengikuti tradisi jahiliyah, hingga perlu disucikan atau

111
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

tazkiyah. Kedua, golongan yang baik dan berusaha mencari kebenaran,


maka mereka perlu diingatkan atau tadzkirah.
‫ﻨﻨﻰ‬‫ﻐ‬ ‫ﺘ‬‫ﺳ‬ ‫ﻣ ﹺﻦ ﺍ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ ﹶﺃ‬adapun orang yang merasa dirinya serba cukup. Merasa
cukup dari apa? Merasa cukup atau tak perlu dengan Islam dan manhaj
Allah serta memandang dirinya pada posisi yang baik. Atau bahkan
merasa bahwa tidak ada orang yang lebih baik dari dirinya. Seperti
pemimpin, pemuka suku, orang berpangkat, orang kuat. Apa yang
mereka inginkan setelah merasa hebat dan cukup ini?
Mereka meresa tidak perlu beriman kepada Muhammad Saw dan
meneladani cara hidup Rasulullah. Bahkan mereka tak perlu kepada
Allah, Pencipta alam semesta. Padahal, sejak lahir sampai detik ini,
semua yang ada pada dirinya bersumber dari Allah. Baik kekuatan,
pangkat, jabatan, maupun kekuasaan yang sedang dia miliki.
‫ﺪﻯ‬‫ﺼﺪ‬  ‫ﺗ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺖ ﹶﻟ‬ ‫ﻨﻰ ﻓﹶﺄﹶﺄﻧ‬‫ﻨ‬‫ﻐ‬‫ﺘ‬‫ﻣ ﹺﻦ ﺍﺳ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ ﹶﺃ‬adapun orang yang merasa dirinya serba
cukup, maka kamu melayaninya. Kata tashadda, dapat diartikan dengan
membelakangi, berhadapan, kehausan. Ungkapan Allah memberikan
ungkapan yang mengandung makna semua itu. Nabi Muhammad
melayani dengan berhadapan dengan mereka dan membelakangi Ummi
Maktum, bahkan menjamu mereka dengan minuman.
‫ﺰ ﱠﻛﻛﻰ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻚ ﹶﺃ ﱠﻻ‬  ‫ﻴ‬ ‫ﻋ ﹶﻠ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ﻭ‬ padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak
membersihkan diri (beriman). Walaupun kamu Muhammad, berusaha
untuk menghindari bahaya dari diri dan bangsa Arab dengan mengajak
mereka masuk Islam. Tetapi Dia memposisikan tugasmu hanya
menyampaikan atau al-balagh. Selama perintah hanya menyampaikan,
dan tugasmu hanya itu, maka tidak ada dosa dan bahaya yang akan
menimpamu jika bangsa Arab tidak beriman.
‫ﻬﻰ‬‫ﻠﹶﻬ‬‫ ﺗ‬‫ﻨﻪ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺸﻰ ﻓﹶﺄﹶﺄﻧﺖ‬ ‫ﺸ‬‫ﺨ‬‫ ﻳ‬‫ﻮ‬‫ﻫ‬‫ﻌﻰ ﻭ‬‫ﻌ‬‫ﺴ‬‫ ﻳ‬‫ﺟﺎﺀﻙ‬‫ﻣﻣﻦ ﺟ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ﻭﹶﺃ‬ adapun orang yang datang
kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran) sedang
ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Prinsip yang
perlu diambil Rasulullah dari Allah di sini bahwa orang menerima
dakwah adalah para prajurit yang benar. Mereka akan mengerahkan
segala upaya untuk membantu dan merangkul orang sekelilingnya.
Mereka adalah kepingan iman yang kokoh, teladan baik, menarik
simpatik orang banyak untuk masuk ke dalam Islam. Adapun komunitas
dan aktifis yang tidak serius tidak perlu diperhatikan, karena tidak ada
dosamu jika mereka sesat.

112
‘ABASA 80 JUZ 30

Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman


mereka. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat
kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allahlah yang
melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada
keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar”. (QS al-Hujurat
[49]: 17)
Setelah itu Allah menjelaskan prinsip Nabi Muhammad dan prinsip
umum yang dibawa oleh para nabi, dengan firman-Nya***

(QS ‘Abasa [80]: 11-16)


 vutsrqponmlk
   ~ }|{zyxw
_
Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran
Tuhan itu adalah suatu peringatan, maka barang siapa yang
menghendaki, tentulah ia memperhatikannya, di dalam Kitab-
Kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di
tangan Para penulis (malaikat), yang mulia lagi berbakti.
‫ﺮ ﹲﺓ‬ ‫ﺬﹾﻛ‬‫ﻬﺎ ﺗ‬‫ﻬ‬‫ ﻛﹶﻼﱠ ﺇﹺﻧ‬sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran
Tuhan itu adalah suatu peringatan. Peringatan atau tazkirah adalah pe-
ringatan yang mengingatkan manusia kepada sesuatu, atau dengan
sesuatu, di mana sebelumnya lengah dan lalai dengan hal itu. Peringatan
dalam ayat ini terkait dengan proses penciptaan, kejadian dan
keberadaan manusia sebagai makhluk. Atau peringatan yang
mengingatkan mannusia kepada fitrah murni di dalam jiwa berupa fitrah
iman kepada Allah.
Segala sesuatu yang datang dari penyelewengan, pasti akan merusak
lingkungan dan fitrah. Fitrah diperlukan agar debu lingkungan kejahilan
dan kesesatan lepas darinya. Siapa saja yang dalam dirinya belum
bersarang debu kesesatan, maka debu itu akan lepas dari dirinya. Barang
siapa yang melepaskan diri dari kesesatan walaupun manhaj belum
mengkristal pada dirinya, maka itu juga akan mampu menyingkirkan
noda jahiliah.
‫ﻩ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﹶـ‬
‫ﺷـﺎﺀ ﺫﹶﻛﻛـ‬
‫ـ‬‫ﻤﻦ ﺷ‬‫ ﻓﹶﻤ‬maka barang siapa yang menghendaki, tentulah ia
memperhatikannya. Tazkirah atau peringatan itu penting untuk
mengingat iman yang telah diikat antara manusia dengan Allah dalam

113
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

alam rahim. Ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-


anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap
jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”
Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”.
(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: “Kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)”, atau agar kamu tidak mengatakan:
“Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan
sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang
(datang) sesudah mereka. (QS al-A'râf [7]: 172-173)
Dua hal yang membuat manusia menjauh dari iman dan
menyebabkan dia menikmati kekafiran dan kemaksiatan: pertama,
kelalaian, dan kedua, mengikut tradisi orang tua dan lingkungan. Mana
yang lebih dahulu dari keduanya? Ikut orang tua terlebih dahulu, atau
kelalaian? Pertama adalah hadirnya kelalaian, hingga lahir generasi
yang lalai. Ketika hadir generasi lalai terhadap ajaran Allah, maka
datanglah generasi berikutnya yang mengkhususkan diri untuk lalai dan
mengikuti lingkungan di dalamnya. Jadi, peringatan ini penting dan
perlu untuk mengurangi kelalaian dan mengikut tradisi yang salah.
Alquran merupakan tadzkirah atau peringatan yang mengingatkan
manusia pada periode fitrah iman yang asli. Ia menghilangkan kelalaian
dan memupus habis debu untuk mengikut tradisi jahiliyah. Alquran
menjadikan mukmin memiliki komitmen dan menjadikannya manusia
yang teguh pada pendirian. Komitmen itu penting untuk membentuk
kepribadian unggul.
‫ﺔ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻣ ﹶﻜ‬ ‫ﻒ‬
 ‫ﺤ‬
‫ﺻ‬ ‫ﻓﻓﻲ‬ ‫ﻩ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺷﺎﺀ ﹶﺫ ﹶﻛ‬‫ﻤﻦ ﺷ‬‫ ﹶﻓﻤ‬maka barang siapa yang menghendaki,
tentulah ia memperhatikannya, di dalam kitab-kitab yang dimuliakan.
Bagaimana sifat Alquran itu? Sifatnya yang ditinggikan lagi disucikan.
Ini adalah sifat kedua setelah mukarramah/mulia. Yaitu marfu‘ah yang
bermakna tinggi. Tidak akan digapai oleh tangan kotor. Muthahharah
yaitu suci. Tidak akan disentuh, kecuali oleh makhluk suci.
Lihatlah pemeliharaan Allah terhadap hidayah ini ‫ﺔ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻜ‬ ‫ﻣ ﹶ‬ ‫ﻒ‬
 ‫ﺤ‬
‫ﺻ‬ ‫ﻓﻓﻲ‬ di
dalam kitab-kitab yang dimuliakan. Suci dan tidak disentuh oleh tangan,
kecuali oleh tangan makhluk yang suci.
Sifat ketiga, ‫ﺓ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻔﹶ‬‫ﺪﻱ ﺳ‬‫ﺪ‬‫ ﺑﹺﺄﹶﻳ‬di tangan para penulis (malaikat), Yaitu
antara pegangan tangan Allah dan makhluknya. Dilanjutkan dengan
sifat keempat: ‫ﺓ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺮ‬‫ﺮﺍﻡﹴ ﺑ‬‫ﺮ‬‫ ﻛ‬atau yang mulia lagi berbakti. Orang yang

114
‘ABASA 80 JUZ 30

mendapat peringatan Alquran itu beruntung dan sukses, karena dia


memiliki sifat-sifat mulia yang beraneka ragam. Di antara sifat-sifat itu:
1. mulia pada pribadinya, 2. tinggi posisinya, dan 3. terjaga dari tangan
kotor yang ingin mengotorinya. Serta 4. dijaga oleh para malaikat.
Sifat-sifat inilah yang membuat mukmin tenang dekat dengan
Alquran. Mukmin harus yakin dan percaya kepada Allah Tuhan yang
memberikan peringatan iman sejak priode fitrah ini. Iman itu keteguhan
hati yang tidak goyah dan berobah. Iman prinsip utama yang ditegaskan
Alquran. Kenapa? Karena kehancuran dua agama sebelum datangnya
Islam, yakni: Yahudi dan Kristen, karena perubahan pada kitab suci
yang memperburuk citra iman. Perubahan dan pergantian yang
menghilangkan esensi iman dalam manhaj sistem hidup itu.
Mereka melupakan ayat suci, karena tidak ada pesan untuk
menghapal dan menjaga kesucian kitab suci itu. Atau orang yang hapal
menyembunyikan pesan iman dan tidak menyampaikan kepada yang
lain. Di sisi lain, ada pula yang menambah pesan kemusyrikan di dalam
kitab suci dan menyatakan ini dari Allah.
Ketika menegaskan kitab suci ini, Alquran berkata: “Tenanglah
umat Islam, yakinlah bahwa Alquran adalah mukjizat dan kitab suci.
Tidak ada andil manusia padanya. Alquran itu mulia dan tinggi. Ia
dibawa oleh malaikat kepada Nabi Muhammad. Muhammad
membawanya kepada manusia. Sahabat dan tabiin yang menjadi
perantara Muhammad dengan umat Islam setelahnya adalah komunitas
yang ditanggung sifat amanah dan kejujuran. Ini terbukti ketelitian
dalam segi bacaan, hukum dan kodifikasi. Inilah makna safarah atau
delegasi. Sama ada delegasi atau prantara dari sejak malaikat, Nabi
Muhammad, ataupun para sahabat, tabiin, dst sampai kepada kita saat
ini; semuanya adalah para delegasi yang jujur dan amanat. Dengan
demikian, kitab suci Alquran akan terus terjaga. Kami yang menurunkan
Alquran, dan Kami juga yang menjaganya. (QS al-Hujurat [49]: 9)
Alquran menjadikan manusia ingat dengan janji fitrah yang diikat pada
alam fitrah.
Walaupun banyak alasan telah disebutkan hingga manusia layak
untuk yakin kepada Alquran, namun kita sangat kaget dan terkejut
kepada orang yang masih mengingkari Alquran dan meragukan iman
kepada Allah.***

115
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

PERINGATAN TUHAN KEPADA MANUSIA YANG


TIDAK TAHU HAKIKAT DIRINYA
(QS ‘Abasa [80]: 17-22)
 nmlkjihgfedcba`
{zyxwvutsrqpo
Binasalah manusia; alangkah amat sangat kekafirannya? Dari
apakah Allah menciptakannya? Dari setetes mani, Allah
menciptakannya lalu menentukannya. Kemudian Dia
memudahkan jalannya. Kemudian Dia mematikannya dan
memasukkannya ke dalam kubur, kemudian bila Dia
menghendaki, Dia membangkitkannya kembali.
Binasalah manusia; alangkah amat sangat kekafirannya? Kata
qutila secara harfiyah bermakna dibunuh, diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia menjadi binasa. Menurut Syarawi dibunuh adalah
istilah yang tepat, kenapa? Karena kata dibunuh adalah istilah yang
sangat menakutkan dan mengerikan. Tidak dikatakan: mut/matilah.
Karena kematian adalah perkara yang diketahui secara maklum. Setiap
manusia pasti mati. Tapi, tidak setiap manusia mati dalam keadaan
dibunuh. Kata “manusia dibunuh” mengandung makna, andai kata ia
memiliki kesadaran maka dia tidak akan memilih kekafiran yang akan
membunuh dan membuat sengsara serta binasa. Ringkasnya, kekafiran
itu membunuh.
Dalam Alquran banyak kita temukan bahwa penyebutan kata al-
Insan bertalian dengan kejelekan. Seperti contoh:
• Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam
kerugian. (QS al-‘Ashr [103]: 1-2)
• Manusia mendoa untuk kejahatan sebagaimana ia mendoa untuk
kebaikan. (QS al-Isrâ' [17]: 11)
• Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam
susah payah. (QS al-Balad [90]: 4)
• Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang
serendah-rendahnya (neraka), (QS at-Tîn [95]: 4-5)
• Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.
Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia
mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang
mengerjakan salat. (QS al-Ma'ârij [70]: 19-22)

116
‘ABASA 80 JUZ 30

Melalui ayat-ayat yang terkait dengan kata al-insan ini,


menginagatkan kita sebagai manusia untuk sadar dengan status dirinya
sebagai manusia, yang rugi, terbunuh, keluh kesah. Hanya iman dan
amal saleh solusi agar beruntung, selamat dan bahagia. Tanpa manhaj
samawi, manusia rugi.
Sebagai bukti, dia diciptakan dalam keadaan keluh kesah. Apabila
ditimpa musibah, dia akan bertambah keluh kesah. Apabila
mendapatkan kebaikan, akan pelit dan bakhil. Tanpa iman manusia
tidak jauh berbeda dengan hewan. Walaupun manusia memiliki akal,
dan akal dapat menentukan sesuatu itu baik dan benar, tapi terkadang
akal telah dikendalikan nafsu dan syahwat, maka manusia dalam posisi
ini akan menjadi lebih buruk dari hewan. Kecuali orang yang
menegakkan salat. Atau iman dan amallah yang menyelamatkan
manusia dari segala kejahatan.
Sejenak berhenti pada kalimat ma akfarahu. Kalimat menunjukkan
kepada dua struktur gaya bahasa. Pertama, gaya takjub/kaget
bagaimana mungkin manusia dapat kafir kepada Allah. Kedua, uslub
istifham/tanya. Bagaimana mungkin manusia dapat kafir atau menutupi
keberadaan Allah? Hal senada ditemukan dalam:
Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati,
lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan
dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nyalah kamu dikembali
kan? (QS al-Baqarah [2]: 28)
Berdasarkan pada QS al-Baqarah [2]: 28 di atas, fenomena
kekufuran adalah aneh dan menimbulkan pertanyaan. Katakan kepada
kami bagaimana kalian bisa kufur kepada Allah. Seakan-akan orang
yang berakal, tidak ada jalan untuk kufur kepada Allah. Seakan-akan
dikatakan, kafir itu sangat aneh. Setiap dalil menunjukkan bahwa
manusia wajib untuk beriman. Akal, jiwa, nurani, perasaan, dan
indranya akan menggiringnya untuk yakin dan percaya kepada Allah.
Lafaz kufur kebalikan iman. Kafir itu sendiri menunjukkan
keberadaan iman itu sendiri. Karena makna kafara adalah satara/
menutup. Ditutupnya keberadaan Allah dengan cara tidak mengakui,
sebagai bukti bahwa Allah itu ada, hanya saja tidak diakuinya.
Binasalah manusia; alangkah amat sangat kekafirannya? Bermakna
manusia harus mengambil kebenaran iman, sebagai pemberian dari
Allah yang memiliki sifat Rububiyah. Rububiyah adalah pemberian
Allah yang sangat luas kepada mukmin dan kafir. Allah memberi
mereka semua pemberian material bagi siapa yang berusaha di bumi

117
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

dengan baik. Siapa yang menanam biji dia akan menuai, siapa yang
bekerja sungguh-sungguh dia akan mendapat. Semua mengambil
pemberian rububiyah material itu. Namun mukmin mengambil dua
dimensi dari pemberian: di samping rububiyah, dia juga mengambil
pemberian uluhiyah.
Pemberian rububiyah itu dapat berupa keberadaan kita sebagai
manusia, yang sebelumnya tidak ada. Wujud individu manusia itu
adalah sebagai pemberian rububuyah yang utama dan pertama. Ini
merupakan puncak rezeki. Alquran menjelaskan anugerah itu dalam
firman Allah: ‫ﻪ‬ ‫ﺧ ﹶﻠ ﹶﻘ‬  ‫ﻲ ٍﺀ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﻱ‬  ‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﻣ‬ dari apakah Allah menciptakannya? (QS
80: 18) Manusia diciptakan dari air mani, kemudian disempurnakan.
Dalam Alquran air mani disebut dengan nuthfah.
‫ﻩ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻪ ﹶﻓ ﹶﻘﺪ‬ ‫ﺧ ﹶﻠ ﹶﻘ‬ ‫ﺔ‬ ‫ﻧ ﹾﻄ ﹶﻔ‬ ‫ﻣﻣﻦ‬ dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu
menentukan-nya. (QS 80: 19) Nuthfah atau mani, selalu dikenal sesuatu
yang khusus bagi hewan hidup. Manusia tidak mampu menciptakan
cairan seperti mani itu. Manusia hanya bisa mengolah pada akhir proses
kelahiran saja, yang dikenal dengan istilah bayi tabung. Mani tidak
dapat disejajarkan dengan mikroba lain.
Mani adalah sesuatu cairan yang hina dan tidak bermanfaat.
Walaupun Allah menciptakan manusia dari cairan hina, tapi kemudian
Dia menganugerahkan kemuliaan kepada manusia itu. Allah
menciptakan manusia, dan telah menentukan garis tangan atas segala
sesuatu yang kelak akan dijalaninya. Dalam kajian modern kajian garis
tangan ini lebih dikenal dengan ilmu genetika. Spesifik manusia telah
ditemukan ada pada mani itu.
Kita melihat keagungan penciptaan itu ada pada dua hal: pertama,
keagungan Allah terletak pada benda yang kecil bahkan karena sangat
kecil hingga tidak diketahui bentuknya. Kedua, terlalu besar, hingga
sangat sulit dideteksi kebesarannya secara tuntas.
Benda sangat kecil dapat dicontohkan dengan mikroba. Susunannya
yang sangat halus. Pada tingkat ini manusia akan bertanya-tanya.
Bagaimana bentuk mikroba itu? Di dalam mikroba yang halus dan tak
dapat dilihat kecuali dengan mikroskop ditemukan kehidupan. Sungguh
sangat ajaib sekali.
Air mani yang keluar itu dalam cairan yang tak banyak itu
ditemukan ratusan juta mikroba kecil yang menjadi benih bayi. Ratusan
juta mati, yang menjadi calon bayi hanya satu atau dua. Merupakan
kekuasaan Allah yang luar biasa dalam air mani yang hina itu. Di sisi

118
‘ABASA 80 JUZ 30

lain, Allah memperlihatkan juga kekuasaannya di langit dengan


triliunan planet yang besarnya jutaan kali lipat bumi atau bahkan jutaan
kali lipat matahari. Bintang atau planet yang sangat besar.
Jadi, keagungan penciptaan dan pembentukan itu tampak jelas pada
dua hal: sangat kecil dan halus sekali, hingga sulit untuk diketahui; atau
sangat besar sekali, hingga tidak dapat diliputi oleh mata kepala. Dua
perkara ini sama rumitnya.
Contoh, jika kita melihat jarum jam di Menara Eiffel. Diketahui
bahwa jarumnya itu panjangnya 10 meter. Ini merupakan karya yang
teliti. Kemudian diciptakan jam seukuran cincin yang sangat kecil. Jam
kecil dan halus ini menggambarkan ketelitian dan keakuratan
pembuatnya. Jam besar itu sendiri mengundang perhatian karena
besarnya, begitu juga dengan jam kecil. Dengan demikian Allah
berfirman: “Sungguh penciptaan langit dan bumi, lebih hebat dari
penciptaan manusia”. (QS Ghâfir [40]: 57)
Agar penciptaannya merupakan sesuatu yang indah. Dengan
demikian selalu dikatakan: nakirah (nuthfah/mani) adalah kebalikan
dari makrifat. Makrifat membatasi sesuatu pengertian (an-nuthfah).
Sedangkan nakirah membuka banyak peluang, karena sesuatu itu tak
dikenal karena hebatnya. Atau tak dikenal karena kehinaannya.
Dari apakah Allah menciptakannya? Dapat membantu kita untuk
menjawab, jika Allah tidak berkata demikian, mungkin kita tidak tahu
bagaimana kita diciptakan. Karena proses jenis penciptaan, memiliki
kenikmatan tersendiri. Selama adanya kenikmatan tersendiri itu, maka
kita akan paham prosesnya adalah demikian. Tetapi Allah pertama
sekali memberikan pemikiran bagaimana manusia diciptakan dari
setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya. (80:19) Dari
air mani hina ini manusia diciptakan, dan Allah memberikan kadar
ketentuannya.
Ayat 19 ini menunjukkan bahwa manusia itu makhluk dengan
ketentuan-ketentuan khusus. Sifat, instink, naluri, warna dan bentuk:
semuanya berbeda satu dengan yang lain. Bahkan suara manusia pun
berbeda satu dengan yang lain. Begitu juga dengan jap jari jemarinya.
Semua ini ditentukan kadarnya pada sperma yang sederhana ini.
‫ﻩ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺴ‬‫ﺒﹺﺒﻴﻞﹶ ﻳ‬‫ ﺍﻟﺴ‬‫ ﺛﹸﻢ‬kemudian Dia memudahkan jalannya. (QS 80: 20)
Karena sangat mungkin Allah memulai penciptaan manusia, kemudian
membiarkan manusia bebas berbuat apa saja. Allah berkata: “Tidak.”
Dia menciptakan manusia dengan kekuasaan-Nya. Kemudian menyuruh

119
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

manusia dengan sifat qayyumiyah/kesiagaan Allah agar mereka beriman


dan taat pada aturan main Allah. Karena manusia sangat memerlukan
Allah, dan Dia tidak memerlukan manusia. Dengan iman jalan hidup
manusia menjadi mudah.
Untuk lebih jelas bagaimana fasilitas kehidupan yang manusia lalui
sejak awal hingga wafat, mari kita baca surat al-Wâqi‘ah [56]: 58-74:
Terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan.
Kamukah yang menciptakannya, atau Kamikah yang menciptakannya?
Kami telah menentukan kematian di antara kamu dan Kami sekali-sekali
tidak akan dapat dikalahkan, untuk menggantikan kamu dengan orang-
orang yang seperti kamu dalam dunia dan menciptakan kamu kelak di
akhirat dalam keadaan yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya kamu
telah mengetahui penciptaan yang pertama, Maka Mengapakah kamu
tidak mengambil pelajaran untuk penciptaan yang kedua?
Terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam. Kamukah yang
menumbuhkannya atau Kamikah yang menumbuhkannya? Kalau Kami
kehendaki, benar-benar Kami jadikan ia hancur dan kering, Maka
jadilah kamu heran dan tercengang. Sambil berkata: "Sesungguhnya
kami benar-benar menderita kerugian", Bahkan kami menjadi orang-
orang yang tidak mendapat hasil apa-apa.
Terangkanlah kepada-Ku tentang air yang kamu minum. Kamukah
yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya? Kalau Kami
kehendaki, niscaya Kami jadikan ia asin, Maka mengapakah kamu tidak
bersyukur?
Terangkanlah kepadaku tentang api yang kamu nyalakan dengan
menggosok-gosokkan kayu. Kamukah yang menjadikan kayu itu atau
Kamikah yang menjadikannya? Kami jadikan api itu untuk peringatan
dan bahan yang berguna bagi musafir di padang pasir. Maka
bertasbihlah dengan menyebut nama Rabbmu yang Maha besar. (QS al-
Wâqi‘ah [56]: 58-74)
Seakan akan Allah berkata: hai manusia, walaupun engkau kafir,
tapi lihatlah pada dirimu. Engkau pengendali dan pemimpin di alam
semesta ini. Semua alam dan benda berkhidmat kepadamu. Hewan
perkhidmat untuk anda. Tumbuh-tumbuhan dan benda mati berkhidmat
kepadamu. Semua alam membantu dan berkhidmat untukmu. Siapakah
yang memberikan kepemimpinan itu kepadamu? Semua tunduk
padamu, sedangkan sebelumnya kamu tidak memiliki kekuatan apapun.
Maka kewajiban bagi kamu sebagai manusia mulia untuk menoleh pada
suatu kekuatan, kekuatan yang lebih kuat dari dirimu. Melalui

120
‘ABASA 80 JUZ 30

pendekatan kepada Zat yang kuat itu, seisi alam akan berkhidmat
padamu.
Di alam ini, manusia menemukan suatu kekuatan yang lebih dahsyat
dari kekuatan dirinya. Atau di alam ini juga ada kekuatan yang tidak
dapat digapai. Manusia kalah kuat dan hebat dari matahari, bulan, awan,
bahkan air. Lebih dari itu, semua kekautan ini tidak dapat manusia atur
dan gapai. Manusia juga tidak memiliki kekuatan terhadap warna apa
saja. Walaupun demikian manusia adalah penguasa alam raya ini. Siapa
yang memberikan khilafah itu? Jawabnya adalah Allah. Maka dekatlah
kepada Allah, Pencipta alam dan seisinya itu. Jika Allah memberikan
taklif, ketahuilah bahwa beban itu dapat dipikul. Allah Mahatahu
kemampuan manusia yang diciptakan-Nya.
‫ﻩ‬ ‫ﺮ‬ ‫ ﻓﹶﺄﹶﻗﹾﺒ‬‫ﻪ‬‫ﻣﺎﺗ‬‫ ﺃﹶﻣ‬‫ ُﺛﹸﻢ‬kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke
dalam kubur. Kata maut dalam ayat ini banyak mengundang perhatian.
Amâtahu adalah kata kerja yang digunakan lazim dan mutaaddy
sekaligus. Ia subjek dan objek sekaligus. Contoh, lazim yang tanpa
objek dikatakan: Mâta Fulan (Fulan mati). Subjek adalah Fulan. Dalam
mutaadi dicontohkan: Amata Allah Fulan. Fulan menjadi objek, dan
subjeknya Allah.
Mati adalah terpisahnya unsur ruh dari unsur material. Pemisahan
ini menurut bahasa adalah kematian. Allah memegang jiwa (orang)
ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu
tidurnya. (QS az-Zumar [39]: 42) Jadi, sebelum ruh lengket dengan
materi jasad, maka ruh itu tidak disebut jiwa. Jiwa manusia adalah
gabungan antara ruh dan jasat. Saat Allah ingin mewafatkan manusia,
Dia mengenggam ruhnya, hingga jasadpun menjadi rusak. Kematian itu
sendiri terkadang dilakukan secara langsung oleh Allah, berdasarkan
firman-Nya pada az-Zumar 42, dan terkadang dilakukan oleh malaikat
pencabut nyawa, sebagaimana firman Allah pada as-Sajdah 11, dan
ketiga, kematian dapat juga dilakukan oleh utusan para malaikat,
sebagaimana firman Allah pada al-An‘am 61.
Hilangnya nyawa seorang manusia itu dapat terjadi karena tiga hal:
kematian, dibunuh atau bunuh diri. Pertama, kematian adalah hilang
nyawa karena ajalnya telah tiba. Kedua, pembunuhan adalah hilangnya
nyawa seseorang karena ulah orang lain. Ketiga, bunuh diri adalah
hilangnya nyawa seseorang karena ulah diri sendiri. Nomor dua dan tiga
ini dinyatakan bersalah dan berdosa pelakunya, karena dia telah
merusak jasad diri atau orang itu. Dia telah melakukan sesuatu yang

121
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

dilarang oleh agama. Keduanya telah menjatuhkan takdir kematian yang


telah ditetapkan Allah di dalam ilmu-Nya.
Kematian itu sendiri merupakan anugerah, sebagaimana kehidupan,
hidayah, kemudahan. Dengan kematian manusia akan menggunakan
waktu dalam hidupnya untuk mengabdi kepada Allah, sebagai jalan
menuju kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Jika manusia tidak takut
kepada Allah karena Allah Tuhan yang layak disembah, minimal dia
harus berpikir ulang untuk kafir, karena hidupnya di dunia ini
sementara. Kematian itu anugerah baginya untuk tetap berbuat baik,
karena takut pada neraka atau mengharapkan surga. Kematian adalah
anugerah, karena mukmin akan kembali bertemu Allah dan akan masuk
ke dalam surga.
Sebagaimana kematian adalah anugerah, dikuburkan juga anugerah
terindah. Kita sering melihat bangkai hewan berserakan di jalan dan di
depan rumah. Manusia sebagai makhluk mulia tidak boleh diperlakukan
seperti itu. Manusia mulia, sama ada saat dia hidup ataupun saat mati.
Kemuliaan terakhir yang dipersembahkan untuknya saat dia wafat
adalah dengan mengubur. Ini penghormatan dari Allah untuk si wafat.
Di sisi lain, agar manusia tidak terganggu dengan aroma yang tidak
sedap. Atau, agar tubuhnya tidak dimakan oleh binatang buas. Ini juga
kemuliaan. Jika hewan mati cukup dicampakkan di jalan, atau
bangkainya menjadi makanan bagi hewan lain, maka itu tidak boleh
terjadi untuk manusia mulia ini.
‫ﻩ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺷﺎﺀ ﺃﹶﺃﻧﺸ‬‫ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺷ‬‫ ﺛﹸﻢ‬kemudian bila Dia menghendaki, Dia membangkitkan-
nya kembali. Kematian dan dikuburkan bukan akhir dari perjalanan
individu manusia. Setiap manusia akan dibangkitkan kembali untuk
hidup kekal dan abadi, untuk menerima semua pahala atas iman dan
amal yang telah dia lakukan.
Kebangkitan itu sendiri merupakan kehendak dan masyiah dari
Allah. Tidak seorang pun tahu, kapan kebangkitan itu tiba. Disebutkan
kehendak baru kebangkitan, agar rahasia kebangkitan tetap terjaga, dan
tidak ada harapan bagi manusia untuk mengetahuinya.***

122
‘ABASA 80 JUZ 30

(QS ‘Abasa [80]: 23-32)


®¬«ª©¨§¦¥¤£¢¡~}|
½¼»º¹¸¶µ´³²±°¯
ÇÆÅÄÃÂÁÀ¿¾
Sekali-kali jangan; manusia itu belum melaksanakan apa yang
diperintahkan Allah kepadanya, maka hendaklah manusia itu
memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami benar-benar
telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi
dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi
itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan kurma, kebun-kebun
(yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk
kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.
Kalla/sekali-kali jangan maksudnya jangan menjadi kafir setelah
datangnya nikmat Allah yang banyak ini. Tidak wajar bagi seseorang
yang berakal, secara paksaan atau kehendak sendiri, untuk kafir kepada
Allah. Walaupun, pada saat kafir itu menguntungkan kemashlahatan
sejenak bagi dirinya.
Sekali-kali jangan; manusia itu belum melaksanakan apa yang
diperintahkan Allah kepadanya. Dalam ayat ini, tidak dikatakan dengan
lam, tetapi lamma. Kata lamma, merupakan harapan yang tidak ada kata
putus. Boleh jadi sebelum dan hingga saat ini mereka masih melakukan
kekafiran, nauzubillah. Tapi, setelah mendengar saat ini, atau satu saat
nanti mereka kembali kepangkuan iman. Dia meresa menyesal dan
berusaha untuk melaksanakan perintah Allah dengan baik.
‫ﻪ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻌﻌﺎ‬ ‫ﺴﺎ ﹸﻥ ﹺﺇﹶﻟﻟﻰ ﹶﻃ‬
‫ﺴ‬
 ‫ﻴﻨﻈﹸﺮﹺ ﺍﻹِﻹﻧ‬‫ ﻓﹶﻠﹾﻴ‬maka hendaklah manusia melihat (memikirkan)
makanannya. Sebelum ayat ini, Allah telah menerangkan tentang awal
penciptaan manusia dari mani, Dia memuliakan, mengangkat mereka
jadi pemimpin, bukan karena manusia itu makhluk yang hebat, tapi
karena kehendak Allah semata. Tapi, sayang di antara manusia
ditemukan masih berstatus kafir. Mereka tidak mensyukuri Allah atas
anugerah kehidupan dan rezeki ini. Tidak juga gentar akan neraka yang
disediakan atas kekafiran mereka. Jika kedua hal ini: cinta Allah atau
takut neraka tidak bermanfaat, maka Allah sekali lagi mengajak
manusia untuk melihat pilar kehidupan dirinya. Dengan makna bahwa
Allah menciptakan manusia, tidak menelantarkan, tetapi Dia memberi
manusia itu piranti dan perangkat kehidupan.

123
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

‫ﺒﺎ‬‫ﺻﺒ‬
 ‫ﻤﻤﺎﺀ‬ ‫ﻨﺎ ﺍﹾﻟ‬‫ﻨ‬‫ﺒ‬‫ﺒ‬‫ﻧﺎ ﺻ‬‫ ﺃﹶﻧ‬sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan
air (dari langit). Kata shabba mengandung curahan air yang banyak dan
deras. Diketahui air bersumber dari uap air yang ada di bumi. Kemudian
menguap ke udara. Hingga mengkristal dan menjadi awan. Awan
bertabrakan dengan awan yang telah membeku. Jatuhlah air menjadi
hujan. Seakan-akan ayat ini berbicara tentang air yang ada di udara.
Sebelum terjadi penguapan dan proses terjadinya hujan.
Mungkin saja air itu identik dengan hujan. Jika air hujan dari langit
tidak turun, dari mana sumber air itu datang? Ketika Allah menciptakan
bumi, Dia telah menyediakan air dalam bentuk sumber mata air, sungai
dan laut. Pengolahan air ini menjadi siklus yang menarik di alam ini
dalam wujud penguapan dan turun hujan. Proses awal adalah
sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit).
Proses selanjutnya: ‫ﻘﺎ‬‫ﺷﻘ‬  ‫ﺽ‬
 ‫ﺭ‬ َ‫ﻨﺎ ﺍﻷ‬‫ﺷ ﹶﻘﻘﹾﻨ‬ ‫ﻢ‬ ‫ ﹸﺛ‬kemudian Kami belah bumi dengan
sebaik-baiknya.
Membelah bumi adalah menyangkul dan membajak yang dilakukan
oleh petani dan pekebun. Tumbuhan yang mungil itu akhirnya
membelah bumi dengan akarnya yang kecil. Lambat tapi pasti, yang
tadinya kecil berkat anugerah Allah menjadi tumbuh dan membesar,
hingga dapat dipanen. Lingkungan yang tadinya kering, kini berkat
hujan yang turun menjadi subur atas kehendak Allah. Ayat ini juga
menunjukkan bahwa dengan membelah atau mencangkul tanah akan
datang berbagai kehidupan, kesejahteraan dan kemakmuran.
Kegiatan menanam itu dimulai dengan mencangkul. Tanah diolah
agar menjadi gembur. Sehingga udara dapat masuk. Cahaya juga dapat
menerobos ke dalam. Karena tumbuhan juga memerlukan pernafasan,
yang sesuai dengan spesifikasi tanaman tu. Tanah tak akan subur jika
udara dan cahaya tidak dapat masuk. Jika udara dan cahaya tidak dapat
masuk, maka tanah itu tidak dapat menyerap air.
Akar tanaman akan sehat dan tumbuh maksimal jika ia dapat
mengisap zat yang ia butuhkan di dalam tanah. Jika tiap insan
memikirkan hal ini, maka di balik itu semua terdapat hikmah kekuasaan,
ilmu dan kasih sayang Allah kepada manusia.
‫ﺒﺎ‬‫ﺣﺒ‬ ‫ﻬﺎ‬‫ﻓﻴﻬ‬‫ﻨﺎ ﻓ‬‫ﻨ‬‫ﺘ‬‫ ﻓﹶﺄﹶﺄﻧﺒ‬kemudian kami tumbuhkan tanaman padanya. Habb atau
bijian dalam ayat ini dapat dipahami sebagai apa saja yang dapat
dimakan manusia. Ia dapat berupa beras, kacang, dan segala jenis bijian.
‫ﺒﺎ‬‫ﺒ‬‫ﻭﻗﹶﻀ‬ ‫ﺒﺎ‬‫ﺒ‬‫ﻨ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬anggur dan sayur-sayuran. Penyebutan kata anggur, karena

124
‘ABASA 80 JUZ 30

buah ini memiliki dua kekhususan. Ia dapat dijadikan buah dan dapat
dijadikan sebagi makanan bernutrisi. Adapun sayuran dapat berupa
bayam, gargir, dan daun lainnya yang dapat dikonsumsi manusia.
‫ ﹰ‬‫ﺨ‬‫ﻧ‬‫ﻧﺎ ﻭ‬‫ﺘﻮﻧ‬‫ﺘ‬‫ﻳ‬‫ﺯ‬‫ ﻭ‬zaitun dan pohon kurma berguna untuk makanan dan
‫ﻼ‬
menjadi tiang kehidupan. Bukan hanya makanan saja, tetapi Allah juga
menyebut kebun atau taman ‫ﺒﺎ‬‫ ﻏﹸﻠﹾﺒ‬‫ﻖ‬‫ﺪﺍﺋ‬‫ﺪ‬‫ﻭﺣ‬ kebun-kebun (yang) lebat. Kebun
yang penuh dengan hutan lebat. Dari hutan dapat menghasilkan kayu
untuk perabot rumah tangga.
‫ﻢ‬ ‫ﻣ ﹸﻜ‬ ‫ﻌﻌﺎ‬ ‫ﻧ‬‫ﻭ َﻷ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻋﻋﺎ ﱠﻟ ﹸﻜ‬ ‫ﺘﺘﺎ‬‫ﻣ‬ ‫ﺑﺑﺎ‬‫ﻭﹶﺃ‬ ‫ﻬ ﹰﺔ‬ ‫ﻛ‬ ‫ﻭ ﹶﻓﻓﺎ‬ buah-buahan serta rumput-rumputan,
untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu. Maksud
untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu, bahwa
semua anugerah Allah ini merupakan keperluan asasi yang sangat
penting bagi kelangsungan hidup manusia.
Kemudian Allah ingin mengajak kita untuk melihat bagian kedua
dari surat ini:***

(QS ‘Abasa [80]: 33-42)


ÕÔÓÒÑÐÏÎÍÌËÊÉÈ
 âáàßÞÝÜÛÚÙØ×Ö
 íìëêéèçæåäã
òñðïî
Apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang
kedua), pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu
dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari
mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup
menyibukkannya. Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa
dan bergembira ria, dan banyak (pula) muka pada hari itu
tertutup debu, dan ditutup lagi oleh kegelapan. Mereka itulah
kaum kafir lagi durhaka.
Apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang
kedua), jika telah datang suara shakkahah/sangkakala. Lihatlah
pemilihan kata shakkahah bagi orang yang belum mendengar. Seperti
suara pecahan batu yang membelah kepala dan mengalirlah darah.

125
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Seakan-akan Allah berkata: “Akan datang suatu suara yang menakutkan


manusia. Mereka mendengarnya, tetapi mereka tak peduli dengan suara
itu.”
Suara shakhah, yang memekakkan telinga, tidak mampu didengar
telinga. Suara itu muncul menakutkan. Sebagai hasil dari revolusi alam
dan kehidupan yang porak poranda. Yang menghilangkan rasa cinta dan
kasih sayang, mengakibatkan semua orang lari puntang panting.
‫ﻪ‬ ‫ﺑﹺﻨﻨﻴ‬‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺘ‬‫ﺒ‬‫ﺣ‬ ‫ﺻﺎ‬
‫ﺻ‬
 ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻭﹶﺃﹺﺑﺑﻴ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻭﹸﺃ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺧﺧﻴ‬ ‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺮ ُﺀ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺮ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻔ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻡ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ pada hari ketika manusia lari
dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya.
Jadi urutan ayat ini, dapat dipahami secara berurutan dari depan atau
juga dapat dipahami dari belakang. Kenapa ia lari dari saudaranya?
Mungkin saudaranya ketika melihatnya, akan dicekiknya. Kenapa?
Karena mungkin saudaranya telah menyesatkannya. Atau telah
merayunya untuk sesat. Atau ia sendiri tidak memenuhi kebutuhan dan
kewajiban-kewajiban terhadap saudaranya. Jika keduanya bertemu,
pasti akan saling menghindar.
Demikian juga dengan bapak, anak, ibu dan lain-lain. Mungkin saja
seorang rekan berkata kepada rekannya: “Engkau belum pernah
menasihatiku seumur hidupku. Aku terzalimi. Aku mengadukan hal itu
kepada Allah.”
Anak lari dari orang tuanya. Kenapa? Mungkin kedua orang tuanya
belum berbuat baik kepadanya. Anak dan istrinya ia beri makan dari
sumber yang haram. Atau mereka diajari dengan ilmu yang
menyesatkan masa depan anaknya. Mungkin juga mereka tidak
memberikan pendidikan yang baik kepada kedua anaknya. Sehingga
anak berlari meninggalkan ibu dan bapaknya. Jika mereka saling
memerlukan, maka mereka tidak akan saling berlarian.
Atau juga dapat ditafsirkan bahwa setiap orang sibuk dengan
urusannya sendiri-sendiri. Sesuai dengan ayat: ‫ﻪ‬ ‫ﻐﹺﻨﻨﻴ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺷ ﹾﺄ ﹲﻥ‬  ‫ﺬ‬ ‫ﺌ‬‫ﻣ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻨ‬‫ﺉ ﻣ‬
‫ﺮﹺ ﹴ‬‫ﻜﹸﻞﱢ ﺍﻣ‬‫ﻟ‬
setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup
menyibukkannya.
Rasulullah bersabda dalam suatu riwayat: Manusia itu dibangktkan
dalam keadaan telanjang dan terbuka tanpa busana.
Aisyah bertanya: “Manusia telanjang dan kelihatan auratnya?”
Rasulullah bersabda: “Masalah ini lebih parah lagi dari seseorang
melihat seseorang.”
Setelah kejadian ini semua, datanglah hasil: ‫ﻜ ﹲﺔ‬ ‫ﺣ ﹶ‬ ‫ﺿﺎ‬
‫ﺿ‬
 ‫ﺮ ﹲﺓ‬ ‫ﻔ‬ ‫ﺴ‬  ‫ﻣ‬ ‫ﺬ‬ ‫ﺌ‬‫ﻣ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻩ‬ ‫ﺟﺟﻮ‬ ‫ﻭ‬

126
‘ABASA 80 JUZ 30

‫ﺮ ﹲﺓ‬ ‫ﻬﺎ ﻗﹶﺘ‬‫ﻘﹸﻬ‬‫ﻫ‬‫ﺮ‬‫ﺓﹲ ﺗ‬‫ﺮ‬‫ﻬﺎ ﻏﹶﺒ‬‫ﻬ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺬ‬‫ﺌ‬‫ﻣ‬‫ﻮ‬‫ﻩ ﻳ‬ ‫ﺟﺟﻮ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺮ ﹲﺓ‬ ‫ﺸ‬
 ‫ﺒ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬banyak muka pada hari itu berseri-
seri, tertawa dan gembira ria, dan banyak (pula) muka pada hari itu
tertutup debu, dan ditutup lagi oleh kegelapan.
Dari potongan ayat ini, manusia terbagi kepada dua bagian:
Pertama, kelompok yang tertawa dan ceria. Kenapa? Karena ini adalah
gerbang awal dari kebahagiaan hakiki. Pada saat itu, sesuatu yang gaib
menjadi nyata. Orang yang melaksanakan manhaj Allah, mendapatkan
janji Allah sesuai dan benar.
Dia berkata: “Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah.” Dia
selamat karena ketaatannya kepada Allah. Jasad dan ruhnya selamat dari
siksa Allah. Akhirnya dia tertawa bahagia. Dia teringat dengan beban
dakwahnya, hasilnya terlihat di sisi Allah. Baru sekedar melangkah ke
alam gaib, pancaran wajahnya menunjukkan kebahagiaan yang luar
biasa.
Di sisi lain, petaka itu datang bagi orang yang mengingkari hari
akhirat itu. Tidak percaya kepada gaib yang akan terjadi. Apa yang
terjadi pada diri mereka? Terjadilah guncangan jiwa yang amat dahsyat.
Hingga terlihat pada wajah mereka. Inilah kelompok kedua, kelompok
yang sedih dan susah hati. ‫ﺮ ﹲﺓ‬ ‫ﻬﺎ ﻗﹶﺘ‬‫ﻘﹸﻬ‬‫ﻫ‬‫ﺮ‬‫ﺓﹲ ﺗ‬‫ﺮ‬‫ﻬﺎ ﻏﹶﺒ‬‫ﻬ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺬ‬‫ﺌ‬‫ﻣ‬‫ﻮ‬‫ﻩ ﻳ‬ ‫ﺟﻮ‬
‫ﺟ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻭ‬ dan banyak
(pula) muka pada hari itu tertutup debu, dan ditutup lagi oleh kege
lapan. Mereka itu adalah orang kafir dan pelaku maksiat.
Surat ini diakhiri dengan ayat yang menceritakan tentang wajah.
Nampaknya permasalahan kecil, tetapi ini adalah kenyataan tak dapat
dibantah oleh Allah.
Kita mohon pada Allah, agar menjadikan kiita orang yang senyum
ceria di akhirat. Bahagia pada hari itu. Hari kiamat, akhirat. Hari yang
pasti kita temui, dengan izin Allah.***

127
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

128
AT-TAKWÎR 81 JUZ 30

SURAT 81
AT-TAKWÎR
(MAKKIYAH)

129
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

130
AT-TAKWÎR 81 JUZ 30

Pembahasan kali ini tentang “renungan terhadap surat at-Takwir.”


Sebagaimana surat-surat lainnya, surat ini memberikan corak khusus.
Dalam surat ini terdapat nilai esensi wujud alam. Dapat kita
temukan dalamnya, beberapa maksud yang berkenaan dengan hari
kiamat. Wahyu dari Allah, risalah nabi pilihan. Yang intinya semua
untuk membentuk nilai tauhid agar mengkristal dalam minda mukmin.
Komposisi kandungan surat ini diwujudkan dalam kata-kata yang
mendalam dan menggetarkan jiwa.
Surat ini terbagi dari dua bagian. Bagian pertama, sarat dengan
muatan kata idza/apabila. Bagian kedua merupakan jawaban dari idza/
apabila. Dua kombinasi ini membentuk sistem yang indah. Sehingga
memiliki maksud yang tertentu dan sangat mendalam.

DI KALA TERJADINYA PERISTIWA BESAR PADA


HARI KIAMAT, TAHULAH TIAP JIWA APA YANG
TELAH DIKERJAKANNYA WAKTU DI DUNIA
(QS at-Takwir [81]: 1-14)
LKJIHGFEDCBA
WVUTSRQPONM
dcba`_^]\[ZYX
 ponmlkjihgfe
yxwvutsrq
Apabila matahari digulung, dan apabila bintang-bintang
berjatuhan, dan apabila gunung-gunung dihancurkan, dan
apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan (tidak terurus),
dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan, dan
apabila lautan dipanaskan, dan apabila roh-roh dipertemukan
(dengan tubuh), dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur
hidup-hidup ditanya, karena dosa apa dia dibunuh? Apabila
lembaran-lembaran (catatan amal) telah dibuka lebar-lebar, dan
apabila langit dilenyapkan, dan apabila neraka Jahim
dinyalakan, dan apabila surga didekatkan, setiap jiwa akan
mengetahui apa yang telah dikerjakannya.

131
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

 ‫ﺭ‬‫ ﻛﹸﻮ‬‫ﺲ‬‫ﻤ‬‫ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺍﻟﺸ‬apabila matahari digulung. Ditemukan dua belas


‫ﺕ‬
kali kata idza atau apabila dan jawaban dari idza itu: ‫ﺕ‬
 ‫ﺮ‬‫ﻀ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﺣ‬‫ ﻣ‬‫ﻧ ﹾﻔﺲ‬ ‫ﺖ‬
 ‫ﻤ‬‫ﻠ‬‫ﻋ‬
maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya .
Allah ingin menggambarkan apapun yang terjadi, jawabannya adalah
satu: setiap individu manusia akan tahu apa yang telah dia perbuat.
Kedua belas gambaran itu menjelaskan fenomena alam yang
berkenaan dengan langit, bumi, hewan jinak, binatang kecil, laut, neraka
dan surga. Khususnya yang berhubungan erat dengan kehidupan
manusia. Semua peristiwa itu dituangkan Allah dalam Alquran secara
halus dan detail serta teliti. Di sisi lain, keindahan alam terkadang
membuat manusia terlena, hingga ditemukan banyak manusia yang
terjerumus dan celaka dalam kehidupan dunia ini.
Kapan manusia menderita dalam kehidupan? Ketika ia tidak
beriman kepada Allah. Tidak beriman kepada Allah membuat dirinya
keluar dari tradisi dan aturan main alam raya. Bagi yang beriman
kepada Alah, alam ini menjadi pelajaran berharga untuk memupuk
imannya. Manusia ini sangat tergantung kepada akal pikiran. Karena itu
setiap manusia memiliki organ tubuh untuk berpikir. Hanya saja
terkadang sebagian manusia belum memanfaatkan akalnya secara
maksimal.
Manusia melihat alam raya yang indah ini dengan mata, tapi
penglihatan itu tidak mendatangkan keyakinan kepada Allah. Manusia
mencium dengan hidung, berbicara dengan lidah, jika ini semua sehat,
seharusnya anugerah itu semua akan berujung kepada syukur atas
anugerah Allah ini. Bayangkan, jika manusia terjangkit dengan satu
penyakit saja, maka suasana hidupnya tidak nyaman dan bahkan bisa
sangat menderita.
Manusia makan dengan gigi. Mengunyah, menggigit dan sering kali
tak memperdulikan hal itu. Karena yang penting baginya adalah makan
hanya untuk kenyang, titik. Ternyata fungsi gigi dan geraham itu sangat
hebat dalam proses pra pencernaan dalam tubuh. Bagian tubuh terasa
sakit semua jika gigi dan gerahamnya itu sakit.
Demikian juga dengan mata. Hal sekecil itulah hendaknya menjadi
perhatian bagi semua. Sehingga dia tidak menyalahi sunnah alam.
Kebiasaan perputaran dunia ini dapat dikaji pada diri individu manusia.
Manusia akan sadar jika ada kekuatan yang merenggut kenikmatan dari
organ tubuh tersebut. Katakanlah dengan terkena satu penyakit,
misalnya.

132
AT-TAKWÎR 81 JUZ 30

Jadi, hubungan fenomena alam dengan indra manusia sangat erat.


Hal itu dapat menjadi perenungan dalam diri setiap individu manusia.
Orang yang dekat dengan Allah adalah orang yang sangat peka terhadap
indera tubuhnya. Karena jika dia lemah dan menderita sesuatu, dia ingat
kepada Allah yang menciptakannya. Jika dia berobat, maka dia pun
tetap ingat bahwa bukan obat yang akan menyembuhkannya. Tetapi
Pencipta obat dan Pencipta dokter itulah penyembuh sesungguhnya.
Ketika manusia itu membantah dan mengingkari Allah yang
memelihara tubuhnya, cepat atau lambat ia akan merengek, mengharap
dan meminta kepada Allah. Dia berkata: “Ya Rabbi, ya Tuhanku, bantu
dan tolonglah hambaMu ini.” Contohnya, jika hujan turun tidak setetes
pun dapat ia tahan, dan tak dapat pula dia tambahi. Sebaliknya, jika
hujan itu tidak datang dalam waktu yang lama, baru manusia bertanya
kenapa hujan tidak turun. Seharusnya dia bertanya: “Apa yang telah
dikerjakan manusia, sehingga Allah memperlambat turunnya hujan.”
Ringkasnya, ketika terjadi kemarau panjang, tanah kekeringan,
binatang ternak mati, penyakit merajalela: barulah manusia teringat
kepada Allah dan menengadahkan tangan ke langit.
Jadi, indahnya nikmat Allah akan terasa bagi manusia yang mampu
merasakan urgensi nikmat itu dalam tubuhnya. Sebagai contoh: dalam
sebuah desa yang berpenduduk seribu orang, dua di antara mereka
adalah buta. Dua orang buta ini hanya bisa hidup jika bekerja sama
dengan yang sehat inderanya. Mereka berdua dapat hidup karena
kebersamaan dengan orang lain.
Dalam sebuah kenderaan, mesin hanya akan dapat berfungsi dengan
baik bukan karena supirnya yang hebat dan handal. Tetapi karena
keharmonisan berbagai pihak. Perakit mobil menatanya dengan seksama
dan teliti, sehingga dapat berjalan dengan lancar. Supirnya mengendarai
dengan baik, dan mesin dirawat secara berkala. Dengan keharmonisan
di antara pihak terkait ini, jadilah perjalanan yang membahagiakan.
Demikian juga halnya dengan akal manusia. Akal secara rasional
terkadang mampu untuk samnpai pada titik yang tidak baik itu
dikatakan sebagai suatu yang salah dan harus dihindari. Tapi terkadang
yang salah itu tetap dikerjakan, karena akal tidak digunakan secara
maksimal. Di sisi lain, manusia menilai benar atau salah karena
berdasarkan selera dan nafsu “suka atau tidak suka”. Itu menandakan
bahwa akal manusia itu walaupun luar biasa tapi tetap terbatas.
Untuk itu akal sehat dan cerdas perlu bimbingan dari Allah dengan
mengutus para rasul dan kitab suci-Nya. Tujuannya, agar akal sehat itu

133
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

secara harmonis, sadar dan mampu mencerna bahwa semua alam ini
datang dari Allah. Segala bentuk ajaran Allah dalam Alquran
mengajarkan bagaimana manusia berhubungan dengan alam itu secara
harmonis. Yang kenikmatan itu kembali untuk manusia sendiri.
Jika manusia melihat orang buta, sulit berjalan dengan tertatih-tatih
berulah manusia ingat dengan nikmat mata yang sehat. Syukur nikmat
akan datang bila mana manusia melihat seseorang tidak memiliki
nikmat itu. Banyak orang yang tidak dapat berjalan karena kakinya
sakit, barulah manusia mensyukuri nikmatnya punya kaki. Jadi
kekurangan pada diri orang lain, menjadi pelajaran berharga pada diri
manusia. Dalam pepatah Arab ada dikatakan: “Setiap kekurangan,
memberikan pelajaran.” Sebab dengan kekurangan dan kelemahan yang
ada, dapat menjadikan dirinya sukses untuk masa mendatang.
Setidaknya selamat di akhirat kelak.
Orang yang tak punya kaki, akibat kelamnya perang dunia akan
merasakan nikmatnya hidup ini jika ia melihat ada orang yang lebih
gawat dari dia. Yang senasib dalam perang itu, tetapi lebih cacat lagi.
Kekurangan pada dirinya satu sisi, akan mendatangkan kelebihan pada
aspek lain. Bagi orang buta, biasanya tak dapat melihat. Tetapi daya
ingatnya laksana rekaman kuatnya. Otaknya mampu merekam apa yang
ia dengar. Sebab mata yang tertutup kekuatannya, pindah ke organ
tubuh lain yang terkonsentrasi. Tetapi sekali lagi, kekuatan akal itu
sangat terbatas. Terkadang alam juga mampu mengajari manusia.
Contoh, ketika terjadi gempa bumi. Banyak hewan yang mengajari
manusia sebelum terjadi gempa itu. Yang paling duluan keluar dari
kandangnya adalah keledai. Karena keledai memiliki perasaan yang
sangat halus. Dia dapat merasakan bahaya yang akan datang. Bukti,
bahwa alam ini bukan milik perorangan. Tetapi milik Allah. Bukti
bahwa makhluk hidup saling memerlukan satu dengan yang lain.
Kelemahan manusia terlihat jelas, saat di belahan bumi terjadi
gempa, di daerah lain gunung meletus, atau angin puting beliung di
daerah lain. Semua itu tak mampu dikendalikan oleh manusia. Ini bukti
apa? Di balik kekuatan alam ini, ada kekuatan lain. Munculnya
kekuatan alam ini dengan berbagai fenomena, mengajak manusia untuk
kembali ke jalan Allah. Jalan yang hak.
Langit yang tersusun rapi, kelak akan hancur berantakan. Tidak lagi
kukuh; ia akan runtuh dan hancur. Akan datang kehancuran bagi langit
itu. Karena ia adalah makhluk. Akan terjadi perubahan-perubahan, dari
Allah yang menciptakannya.

134
AT-TAKWÎR 81 JUZ 30

 ‫ﺭ‬‫ ﻛﹸﻮ‬‫ﺲ‬‫ﻤ‬‫ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺍﻟﺸ‬apabila matahari digulung, alam keluar mengadakan


‫ﺕ‬
revolusi total. Pergolakan kehidupan yang mengejutkan dalam alam
semesta berikut segala isinya. ‫ﺕ‬
 ‫ﺭ‬‫ ﺍﻧﻜﹶﺪ‬‫ﺠﻮﻡ‬
‫ﺠ‬‫ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺍﻟﻨ‬‫ ﻭ‬apabila bintang-bintang
berjatuhan, dilanjutkan dengan sepuluh fanomena berikutnya. Sekali
lagi, semua fanomena ini mengajak manusia untuk kembali kepada
sesuatu yang tak berubah yaitu Allah. Selain Allah, semua akan
mengalami perubahan dan tidak ada yang abadi.
Jadi, perubahan yang terjadi pada langit ini menjadi masalah.
Masalah langit yang berubah ini, menjadi mukadimah surat. Kisah
bintang jatuh pertanda kiamat dan bintang tidak abadi menjadi penting
disebutkan di awal surat, karena pekerjaan yang dilakukan manusia
harus memiliki tujuan yang jelas dan pasti, di samping sarana dan cara
menggapai tujuan itu.
Manusia giat dan tekun dalam bekerja, jika ia memiliki tujuan dan
cita-cita yang besar. Seakan Allah berkata: “Jangan jadikan alam raya
ini termasuk matahari dan bintang sebagai tujuan hidup. Semuanya akan
hancur berantakan, dan mengalami perubahan.” Wajib bagi manusia
untuk mendekat diri kepada Allah, Tuhan kekal dan abadi. Dekatkan
gerakan dan perasaan kepada Allah yang tidak berubah. Kenapa?
Karena sesuatu yang tidak dapat mengatur dirinya sendiri, tidak akan
mungkin dapat mengatur dan membantu maksimal makhluk lainnya.
Kenapa surat itu dimulai dengan perubahan langit? Apa yang
manusia duga selama itu tersusun rapi, tak berubah, akan mengalami
perubahan. Manusia akan menoleh kepada awal kejadian dirinya masing
-masing. Agar menusia mengarah kepada Allah Pencipta alam yang
berubah-ubah ini. Dialah zat yang tidak berubah. Ini akan menjadikan
manusia berkata: “Yang mengubah ini semua, mengeluarkan alam dari
disiplin porosnya dan kebiasaannya, apa yang Dia inginkan?
Jawabannya, Allah menginginkan kebahagiaan bagi penghuni alam.
Caranya, dekat kepada Allah dengan ikuti aturan main-Nya.
Pendekatan itu adalah sebagai sarana menuju bahagia dunia akhirat
dan selamat dari siksa api neraka. Apakah sarana pendekatan itu?
Sebagaimana telah disebutkan tadi, dengan cara mengikuti aturan main
Allah yang tertuang di dalam manhaj-Nya. Manhaj itu tertuang di dalam
kitab suci Alquran dan Hadis melalui wahyu dari Allah Swt dengan
preantara malaikat kepada para rasul. Rasul dari manusia biasa, agar
disampaikan kepada manusia. Alangkah besarnya dan agungnya manhaj
itu (ajaran itu).

135
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Setelah itu Allah menjelaskan dua masalah besar, yang saling


paradoks. Padahal keduanya saling mendukung dan memiliki peran
yang penting. Yaitu kehendak hamba yang memilih. Dan kehendak
alam untuk manusia. Allah berfirman: “Tidaklah kalian berkehendak,
kecuali dengan kehendak Allah”.
 ‫ﺭ‬‫ ﻛﹸﻮ‬‫ﺲ‬‫ﻤ‬‫ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺍﻟﺸ‬apabila matahari digulung, yaitu terhenti cahaya dan
‫ﺕ‬
sinarnya. Tak mampu menerangi alam yang sebelumnya terang
benderang. Pada saat itu menjadi terhenti dan tak bersinar lagi.
Maknanya, terhenti fungsinya terhadap alam. Akhirnya cahaya dan
sinarnya tak ada lagi.‫ﺕ‬  ‫ﺭ‬‫ ﺍﻧﻜﹶﺪ‬‫ﺠﻮﻡ‬
‫ﺠ‬‫ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺍﻟﻨ‬‫ ﻭ‬dan apabila bintang-bintang
berjatuhan. Inkidar artinya adalah inshibab yaitu jatuh. Tugasnya
lamban dan berjatuhan. Sehingga tugasnya tak berjalan.
 ‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﺒﺎﻝﹸ ﺳ‬‫ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺍﻟﹾﺠﹺﺒ‬‫ ﻭ‬apabila gunung-gunung dihancurkan. Gunung yang
‫ﺕ‬
menjulang tinggi dan kukuh yang dengannya terjadi gerakan bumi, tidak
lagi bergerak dan kaku dan seterusnya
 ‫ﻋﻄﱢﻠﹶ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺸﺎ‬
‫ﺖ‬ ‫ﺸ‬‫ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ ﻭ‬apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan (tidak
diperdulikan), jika unta yang beranak dan menyusui, sebagai kekayaan
yang berharga bagi orang Arab saat itu, tidak lagi beranak dan
menyusui. Atau dapat diterjemahkan dengan awan kental yang akan
menurunkan hujan, tak lagi menurunkan hujan. Awan yang seharusnya
menurunkan hujan, tidak bertugas lagi untuk itu.
 ‫ﺮ‬‫ﺸ‬‫ ﺣ‬‫ﺣﻮﺵ‬‫ﺣ‬‫ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺍﻟﹾﻮ‬‫ ﻭ‬apabila binatang-binatang liar dikumpulkan, al-
‫ﺕ‬
Wuhusy adalah binatang yang tidak jinak. Maksud ayat ini adalah pada
saat itu binatang buas tidak mampu menjadi kelompok binatang liar
lagi. Akhirnya ia berkumpul dengan binatang yang jinak. Kenapa Allah
menciptakan hewan ada yang buas dan liar? Agar kita berpikir, siapa
yang membuat binatang itu jinak, dan siapa yang membuatnya liar. Itu
semua terjadi berkat kuasa Allah Swt.
 ‫ﺮ‬‫ﺠ‬‫ ﺳ‬‫ﺤﺎﺭ‬
‫ﺕ‬ ‫ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺍﻟﹾﺒﹺﺤ‬‫ ﻭ‬apabila lautan dipanaskan. Kalimat sujjirat dalam
bahasa terbagi kepada tiga makna. Sujirat berarti berapi yaitu menjadi
api. Sujjirat bermakna penuh dan sujjirat berarti berombak dan
berantakan. Tiga makna ini dalam bahasa Arab. Mana yang diinginkan
Allah? Yang tepat adalah menjadi berapi. Yaitu, kebalikan dari
kebiasaan air yang dingin berubah menjadi panas.
Dalam ayat lain dijumpai yang dekat dengan makna ini adalah ayat
yang berbunyi: jika laut itu memancar airnya. Maksudnya adalah laut

136
AT-TAKWÎR 81 JUZ 30

itu menjadi begitu mencekam dan menakutkan dengan pancaran air


yang begitu gemuruh dan kencang dan menelan setiap yang dilaluinya.
 ‫ﻠﹶ‬‫ ﺫﹶﺫﻧﺐﹴ ﻗﹸﺘ‬‫ ﺑﹺﺄﹶﻱ‬‫ﻠﹶﺖ‬‫ﺌ‬‫ﺓﹸ ﺳ‬‫ﺅﻭﺩ‬‫ﺅ‬‫ﻮ‬‫ﻭﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺍﻟﹾﻤ‬ apabila bayi-bayi perempuan yang
‫ﺖ‬
dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh .
Ungkapan ini indah sekali, seakan akan membunuh wanita itu
merupakan kebiasaan Arab. Padahal ini merupakan satu perbuatan keji
dan menjijikkan. Kenapa mereka membunuh? Karena tradisi “malu
punya anak perempuan”, sedangkan tradisi ini adalah hasil pikiran
masyarakat saat itu. Padahal, bayi perrempuan itu berasal dari ayah dan
ibu yang melahirkan. Ini darah dagingmu, bukan anak orang lain.
Bagaimana mungkin, ayah membunuh anak kandungnya sendiri?
Alasan pertama dari pembunuhan itu dengan demikian adalah tidak
menggunakan akal sehat.
Kedua, ini bukti dari kerasnya hati dan bekunya perasaan. Bayi
wanita tadi bertanya kepada bapaknya, kenapa aku dibunuh. Itu sebagai
penghinaan terhadap bapak. Kenapa anda berani membunuh anak tanpa
dosa yang dia lakukan?
 ‫ﺟ‬‫ﺯﻭ‬ ‫ﻔﹸﻔﻮﺱ‬‫ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺍﻟﻨ‬‫ ﻭ‬apabila ruh-ruh dipertemukan (dengan tubuh).
‫ﺖ‬
Perlu dipahami makna kata an-nafs supaya dipaham makna zuwwijat.
Nafs kata yang sulit diterjemahkan oleh para ahli filsafat sejak dahulu
kala, terkadang dimaknakan dengan ruh; terkadang diartikan dengan zat
yang paling kecil. Namun pendapat itu kurang bermakna. Hanya
Alquran yang mampu memberikan batasan makna itu.
Kata nafs dalam Alquran bermakna percampuran antara unsur ruh
dengan jasad. Nafs tidak bermakna sebelum bersatu ruh dengan materi
jasad. Sehingga kematian adalah berpisahnya ruh dengan jasad.
Sebagian ulama menerjemahkan makna zuwwijat itu dengan
bersatunya ruh dengan jasad setelah sebelumnya ruh dan jasad itu
berpisah. Kembalinya ruh ke jasadnya. Atau amal perbuatan akan
kembali ke orang yang mengamalkan perbuatan itu. Jadi tidak benar
pernyataan orang yang mengatakan bahwa perbuatan baik itu tak akan
kembali ke orang yang mengerjakannya.
 ‫ﺮ‬‫ﺸ‬‫ ﻧ‬‫ﻒ‬‫ﺤ‬‫ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺍﻟﺼ‬‫ ﻭ‬apabila catatan-catatan (amal perbuatan manusia)
‫ﺕ‬
dibuka. Nusyirat artinya adalah mathwiyat. Terlipat dan tersusun.
Apakah suhuf itu terlipat agar setiap orang mengambil buku catatannya.
Seakan-akan amal perbuatan kita itu seperti arsif yang tersusun rapi.
Sehingga kertas itu dapat kembali kepada pemiliknya sendiri. Sehingga

137
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

setiap orang dapat membaca amal perbuatannya di dunia.


 ‫ﻄﹶ‬‫ﻤﺎﺀ ﻛﹸﺸ‬‫ﻤ‬‫ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺍﻟﺴ‬‫ ﻭ‬apabila langit dilenyapkan. Langit tanpa tiang yang
‫ﺖ‬
kita lihat, tidak jelas mana atas dan bawahnya. Pada saat itu kita tidak
melihatnya lagi. Dunia tanpa langit. Sangat mengejutkan. Jika saat ini
manusia dapat melihat matahari, bintang dan laut yang indah, pada saat
kiamat semua hal itu tidak tampak lagi. Suasana saat itu seungguh aneh,
takut dan mencekam.
 ‫ﺮ‬‫ﻌ‬‫ ﺳ‬‫ﺤﻴﻢ‬
‫ﺕ‬ ‫ﺤ‬‫ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺍﻟﹾﺠ‬‫ ﻭ‬apabila neraka Jahim dinyalakan, saat itu neraka
menyala-nyala menunggu kedatangan manusia jahat penuh dosa.
 ‫ﻔﹶ‬‫ﻟ‬‫ﺔﹸ ﺃﹸﺯ‬‫ﻨ‬‫ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺍﻟﹾﺠ‬‫ ﻭ‬apabila surga didekatkan, surga saat itu dekat dengan
‫ﺖ‬
orang-orang yang akan memasukinya. Hingga di sini, proses awal yang
menakutkan setelah itu habislah gambaran yang menakutkan itu.
Kemudian gambaran manusia setiap orang melihat neraka dengan mata
telanjang secara terang-terangan.
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke
dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat
perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.
Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang
yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahîm, dan
sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan `ainul yaqin.
(QS at-Takatsur [102]: 1-7)
 ‫ﺮ‬‫ﻀ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﺣ‬‫ ﻣ‬‫ﻧ ﹾﻔﺲ‬ ‫ﺖ‬
‫ﺕ‬  ‫ﻤ‬‫ﻠ‬‫ ﻋ‬tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah
dikerjakannya. Nafs mengetahui bahwa apa yang telah dipersembahkan
untuknya. Seakan-akan nafs itulah yang hadir mempersembahkan.
Padahal nafs tak memiliki amal saat iini. Seakan-akan terjadi kerja sama
antara pelaku hakiki dan pelaku maknawi sejak di dunia ini.
Kemudian gambaran surat ini berpindah kepada maksud yang
kedua, dan gaya bahasa yang berbeda. Seakan-akan Allah ingin
mengatakan: “Jangan tertipu dengan tetapnya alam ini di hadapan kalian
dan susunan ketataannya. Pasti suatu saat akan terjadi perobahan. Akan
terjadi revolusi pada alam semesta. Semua yang kita miliki akan hilang.
Sehingga Allah menggambarkan peristiwa besar ini sebagai tujuan.
Setelah itu Allah ingin menggambarkan persiapan atau sarana yang
harus kita lalui. Yaitu manhaj ajaran Allah. Melalui malaikat sampai
kepada orang yang terpilih. Muhammad Saw.
Jadi, Allah setelah itu menyelesaikan masalah itu dengan suatu
gambaran baru:***

138
AT-TAKWÎR 81 JUZ 30

MUHAMMAD BUKANLAH GILA, MELAINKAN RASUL


YANG DITURUNKAN ALQURAN
(QS at-Takwir [81]: 15-25)
 dcba`_~}|{z
srqponm lkjihgfe
¢¡~}|{zyxwvut
 ®¬«ª©¨§¦¥¤£
Sungguh, aku bersumpah dengan bintang-bintang, yang beredar
dan terbenam, demi malam apabila telah hampir meninggalkan
gelapnya, dan demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing.
Sesungguhnya Alquran itu benar-benar firman (Allah yang
dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai
kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang
mempunyai 'Arsy, yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi
dipercaya. Temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang
yang gila. Sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di ufuk
yang terang. Dia (Muhammad) bukanlah orang yang bakhil untuk
menerangkan yang gaib. Alquran itu bukanlah Perkataan setan
yang terkutuk,
Jika pada penggalan pertama Allah menegaskan dengan gaya bahasa
syarat dan jabawannya atau “apabila” ... “maka”, maka pada bagain
kedua ini Allah menegaskan pentingnya manhaj atau aturan main Allah
dalam bentuk sumpah. Sumpah adalah akhir dari penegasan.
Secara ringkas, pada bagian kedua ini Allah menegaskan tentang
manhaj Allah yang dibawa oleh Jibril kepada Nabi Muhammad untuk
disampaikan kepada manusia. Agar manhaj ini berhasil secara vis dan
misinya, maka ia harus bersumber dari Allah. Allah perlu menegaskan
pentingnya mengikuti manhaj agar gerak hidup manusia teratur dan
kebahagiaan tercapai. Bahasa mudahnya, jika manusia beriman kepada
Allah sebagai Pencipta dan Pendidik, maka biarkan Dia menetapkan
aturan main, dan sebagai manusia laksanakan aturan main itu dengan
suka cita, agar bahagia.
Kesalahan di dunia ini terjadi, karena manusia menetapkan aturan
main untuk mereka sendiri yang bertentangan atau berseberangan
dengan aturan main Allah. Padahal tidak ada keistimewaan satu

139
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

manusia dengan manusia yang lain. Kalau pun ada yang pintar, ada
yang bijaksana, tetapi dalam banyak hal “jika bertentangan dengan
aturan Allah” yang mengemudinya pasti “selera” bukan akal sehat.
Karena aturan main Allah sangat sesuai dengan akal bijak manusia.
Bagian pertama dari surat ini yang menegaskan bahwa setiap
manusia pasti mengetahui catatan amalnya, maka pada penggalan kedua
ini Allah menegaskan untuk mengisi buku catatan dengan baik dan
benar, ikutilah manhaj Allah ini.
Allah berkata “aku tidak bersumpah” atau: “lâ uqsimu.” Secara
harfiyah terlihat jelas bahwa Allah tidak bersumpah. Tapi isi sumpah itu
ditemukan pada ayat 19. Sesungguhnya Alquran itu benar-benar firman
(Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril). Bagaimana ada isi
sumpah, tapi dimulai dengan ucapan “Aku tidak bersumpah.”
Dari kondisi di atas dapat dipahami dari kalimat “Aku tidak
bersumpah” adalah penegasan atas sumpah itu sendiri. Dalam
keseharian, jika ada keraguan dalam diri orang yang diajak berbicara,
maka pembicara bersumpah. Tujuannya, untuk menepis keraguan
dilakukan dengan sumpah. Contohnya, jika dokter ingin menegaskan
bahwa pasien dalam keadaan sehat, dia tidak saja tidak menulis resep
sedikitpun untuk pasien, tapi lebih dari itu dia berkata: “Demi Allah,
saya tidak menuliskan resep”. Ucapan ini sebagai bukti bahwa pasien
dalamn keadaan sehat bugar. Jika ditulis, walaupun sedikit, maka itu
masih ada bukti sakit di dalamnya.
Sumpah diucapkan dan terjadi untuk pengukuhan kebenaran.
Beginilah Allah bersumpah untuk menegaskan bahwa Alquran
bersumber dari Allah, yang disampaikan secara berantai melalui
malaikat Jibril dan Nabi Muhammad.
Para ulama sepakat makna khunnas adalah bintang dan planet yang
muncul pada porosnya, kemudian kembali ke porosnya lagi. Khunnas
arti sederhananya: keluar dan kembali. Disebut bintang dengan datang
dan pergi, karena bintang memiliki waktu untuk dapat dilihat. Bintang
itu sendiri tetap ada di langit sana. Namun sinar matahari yang terang
membuat sinar bintang yang kecil tak dapat dilihat. Sementara di malam
hari dalam suasana gelap, sinar bintang dapat dilihat dari bumi. Pepatah
Arab mengatakan: “Karena begitu jelasnya, hingga ia tersembunyi.”
Jadi indra manusia bukan segala sesuatu untuk mengetahui hakikat.
Terkadang manusia dapat melihat sesuatu dan terkadang tidak dapat
melihatnya. Tidak dapat dilihat bukan karena dia tidak ada, tapi karena
mata manusia tak dapat mencangkua objek yang ingin dilihat. Jika mata

140
AT-TAKWÎR 81 JUZ 30

manusia tidak mampu melihat dan menguasai objek benda, bagaimana


dia dapat melihat alam maknawi (akhirat)?
Contoh lain, menusia menemukan ruh pada setiap insan. Ruh yang
menguasai jasad, dengannya manusia dapat bergerak, hidup, merasa dst.
Demi Allah, bagaimana bentuk ruh itu? Apakah manusia dapat
mendengar suarannya? Apakah dapat menciumnya dan merasanya?
Apakah manusia dapat menyentuhnya? Manusia tidak dapat mengindra
ruh, tapi ruh itu ada.
Ruh itu merupakan satu bukti kecil dari kekuatan dan kekuasaan
Allah di balik alam raya ini. Allah yang mengatur semua itu. Manusia
tidak dapat melihat ruh. Jika sebagian makhluk yang ada tidak dapat
dilihat, bagaimanan Khaliknya? Allah tidak berbatas tempatnya. Inilah
pernyataan yang benar.
Setelah itu muncul ayat: ‫ﺲ‬  ‫ﻌ‬ ‫ﺴ‬
 ‫ﻋ‬ ‫ﻞﹺ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ‬‫ﻭﺍﻟﻠﱠﻴ‬‫ ﻭ‬demi malam apabila telah
hampir meninggalkan gelapnya. Begitu juga dengan risalah Allah dalam
keadaan timbul dan tenggelam. Dimulai dengan penerangan yang
dilakukan para nabi dan dai untuk mencerahkan dunia, proses dan
perjalanan waktu, ia pun mulai redup dan tenggelam. Ketika tak ada lagi
lampu-lampu petunjuknya, hilanglah risalah ilahi. Akhirnya kebodohan
terhadap agama melanda dunia. Seakan-akan malam menjadi gelap
gulita. Setelah itu akan muncul siang penuh cahaya.
Seakan-akan bintang dan planet, sebagai isyarat kepada risalah-
risalah langit yang kita ikut. “Bintang pergi dan datang” ini dapat
dipahami dalam arti denotasi nyata terindra, atau dalam bentuk konotasi
maknawi. Maksudnya, kegelapan malam terjadi di dunia ini secara
nyata dalam bentuk malam, atau dalam bentuk konotasi dalam wujud
kegelapan jahiliyah. Kemudian Islam datang: ‫ﺲ‬  ‫ﻨ ﱠﻔ‬‫ﺗ‬ ‫ﺢﹺ ﹺﺇ ﹶﺫﺫﺍ‬‫ﺒ‬‫ﻭﺍﻟﺼ‬‫ ﻭ‬demi subuh
apabila fajarnya mulai menyingsing.
Kata ‫ﺲ‬  ‫ﻌ‬ ‫ﺴ‬
 ‫ﻋ‬ merupakan kata yang penuh dengan ta’bir ungkapan.
Terdiri dari ‘as‘as yaitu berjalan di kegelapan. Siapapun berjalan di
kegelapan, maka dia berjalan tanpa arah dan petunjuk. Dia perlu
mengulurkan tangannya ke depan, agar tidak terbentur dengan benda di
depannya.
Allah tidak menyebutkan: “Malam yang membuat manusia
kegelapan.” Tapi Allah berkata: “Malam apabila gelap.” Perkataan ini
sangat menyentuh dan mendalam. Jika malam yang sudah gelap itu
ditambah lagi dengan kegelapan, maka ini adalah puncak kegelapan.

141
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Allah Swt memberikan perumpamaan malam yang sangat gelap itu


dengan: Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi
oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan;
gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan
tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya. (QS an-Nûr [24]: 40) Jika
tangan yang di depan mata saja tak terlihat, bagaimana yang lain.
Beginilah Allah ingin menggambarkan secara maknawi keadaan
kafir yang tidak beriman dalam kegelapan yang pekat. Setelah itu Allah
berfirman: ‫ﺲ‬  ‫ﻨ ﱠﻔ‬‫ﺗ‬ ‫ﺢﹺ ﹺﺇ ﹶﺫﺫﺍ‬‫ﺒ‬‫ﻭﺍﻟﺼ‬‫ ﻭ‬demi subuh apabila fajarnya mulai me-
nyingsing, Allah juga ingin menjadikan subuh itu bernafas hidup.
Seakan-akan subuh itu muncul dan menggelamkan malam dengan
kegelapannya.
Kata tanaffas mengisyaratkan bahwa di malam hari nafas manusia
tinggal satu dan dalam suasana sakarat. Kedatangan siang dan
munculnya cahaya memberikan nafas untuk manusia. Karbondioksida
keluar dari pohon dan tumbuhan di malam hari. Ini berbahaya bagi
manusia. Sedangkan pada subuh dan siang, ogsigen pun keluar dari
pohon dan tumbuh-tumbuhan. oksigen baik untuk pernafasan manusia.
Subuh itu berarti secara maknawi dengan subuh hidayah Islam. Subuh
kebaikan yang muncul dari para nabi yang membawa risalah Islam.
Seakan-akan nabi dengan manhaj Ilahi adalah pernafasan subuh bagi
semua manusia yang menyegarkan kehidupan dan kesehatan.
‫ﺳﺳﻮﻝﹴ ﻛﹶ ﹺﺮ ﹴﱘ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻮﻝﹸ‬ ‫ﻪ ﹶﻟ ﹶﻘ‬ ‫ﻧ‬‫ ﹺﺇ‬sesungguhnya Alquran itu benar-benar firman
(Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril). Yaitu manhaj yang
turun berupa Alquran untuk diteruskan kepada Rasulullah Saw. Kata
rasul atau utusan dalam ayat ini untuk malaikat Jibril. Sedangkan kata
rasul atau utusan dalam ayat: ma huwa biqauli syair/Alquran itu bukan
perkataan penyair, disematkan ke Nabi Muhammad.
Terkadang kejadian itu satu, tapi memiliki proses yang banyak.
Terkadang disematkan kejadian pada sumber utama. Terkadang
disematkan kepada perantara pertama, atau terkadang ke perantara
kedua. Kata rasul atau utusan pada ayat ini mengisyaratkan pada dua
perkara: pertama, rasul atau utusan dari jenis malaikat sebagai
perantara dalam tablig antara yang dikirim dan ke alamat yang
dikirimkan. Ini adalah Jibril. Kedua, rasul dari jenis manusia, yaitu Nabi
Muhammad. Dengan demikian, tidak ada masalah dalam hal penurunan
Alquran yang diturunkan Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad
untuk memberi hidayah kepada semua manusia.

142
AT-TAKWÎR 81 JUZ 30

Sedangkan kata karim pada ayat ini berarti mulia. Disebut malaikat
Jibril dengan karim, karena dia bekerja di atas dari prosedur yang telah
ditetapkan. Begitu juga dengan manusia. Orang yang melaksanakan
lebih darai kewajiban, disebut dengan mulia. Karim atau mulia, tidak
diartikan bahwa Jibril menambah sesuatu yang tidak dipinta. Tapi, lebih
bermakna bahwa Jibril menikmati pekerjaannya dan mencintainya.
‫ ﹴ‬‫ ﺃﹶﻣ‬‫ﻄﹶﻄﺎﻉﹴ ﹶﺛﻢ‬‫ﲔﹴ ﻣ‬‫ﻜ‬‫ﺵﹺ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺫﻱ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ ﺫ‬‫ﻋﻨﺪ‬‫ ﻋ‬‫ﺓ‬‫ﺫﻱ ﹸﻗﻮ‬‫( ﺫ‬1) yang mempunyai kekuatan, (2)
‫ﲔ‬
yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai 'Arsy,
(3) yang ditaati di sana (di alam malaikat) (4) lagi dipercaya. ‫ﺓ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﺫﺫﻱ ﹸﻗ‬
memiliki kekuatan. Kekuatan menurut ukuran Allah, bukan menurut
manusia.
Para ahli tafsir berbeda pendapat, apakah empat sifat di atas ini
merupakan sifat Jibril atau Muhammad? Kelompok yang pertama
berpendapat bahwa ini merupakan sifat Jibril. Kelompok kedua,
mengatakan ini sifat Nabi Muhammad, karena ayat ini sebagai atahf
atau kata sambung pada ayat berikutnya: ‫ﻥ‬ ‫ﻨﻨﻮ‬‫ﺠ‬  ‫ﻜﹸﻜﻢ ﺑﹺﻤ‬‫ﺣﺒ‬ ‫ﺻﺎ‬
‫ﻣﺎ ﺻ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬temanmu
(Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila. Ketiga, ini
adalah sifat kedunaya: Jibril dan Muhammad.
Yang terpenting bagi mukmin dari ayat ini adalah perasaan tenang
dan bahagia, karena manhaj yang datang dari Allah melalui para
perantara yang dipercaya dan terpercaya.
‫ﻥ‬ ‫ﻨﻨﻮ‬‫ﺠ‬
 ‫ﻜﹸﻜﻢ ﺑﹺﻤ‬‫ﺣﺒ‬ ‫ﺻﺎ‬
‫ﻣﺎ ﺻ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬temanmu itu bukanlah sekali-kali orang yang gila.
Kata teman di sini tertuju kepada Muhammad Saw. Alhasil, Jibril dan
Muhammad sebagai perantara manhaj Allah ke manusia memiliki
kelayakan yang wajib dipercaya.
Kata shahib mengandung makna seakan-akan hukum itu keluar dari
kalian manusia, sebelum keluar dari Allah, setelah diutus menjadi
Rasul. Dia tidak asing dari kalian. ‫ﻥ‬ ‫ﻨﻨﻮ‬‫ﺠ‬  ‫ ﺑﹺﻤ‬orang yang gila menafikan
semua sifat jahat dan akal yang tak waras.
‫ﻨﹺ ﹴ‬‫ﺐﹺ ﺑﹺﻀ‬‫ﻴ‬‫ﻠﹶﻠﻰ ﺍﻟﹾﻐ‬‫ ﻋ‬‫ﻮ‬‫ﻣﺎ ﻫ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬Dia (Muhammad) bukanlah seorang yang
‫ﲔ‬
bakhil untuk menerangkan yang gaib. Kata dhanin artinya tidak
menyembunyikan kehendak Allah. Apa yang dikatakan Allah, langsung
disampaikan Muhammad Saw. Jangan terlintas di benak seorangpun,
bahwa Muhammad itu mengarang ayat dari kehendak dirinya sendiri.
‫ﺒﹺ ﹺ‬‫ ﺑﹺﺑﺎﻵﻓﹸﻖﹺ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺭﺁﻩ‬‫ ﺭ‬‫ﻟﹶﻘﹶﺪ‬‫ ﻭ‬sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di
‫ﲔ‬

143
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

ufuk yang terang. Kita tahu bahwa Jibril datang ke Nabi Muhammad
dengan bentuk yang beraneka macam. Nabi Muhammad tidak melihat
Jibril dengan gambar hakiki, kecuali di dua tempat. Pertama, sekali di
Sidratil Muntaha. Kedua, di bumi. Dua peristiwa ini menjadi penting.
Agar Nabi Muhammad mengetahui Jibril sebagai prantara perantara dan
mediator untuk menerima wahyu. Melihat Jibril itu sendiri bukan
merupakan kehendak Nabi Muhammad. Tetapi ini kehendak Allah agar
Nabi Muhammad tenang dan yakin setelah melihat Jibril itu.
‫ﺭ ﹺﺟﺟﻴ ﹴﻢ‬ ‫ﻄﹶﻄﺎﻥ‬‫ﻴ‬‫ﻮ ﹺﻝ ﺷ‬ ‫ﻮ ﹺﺑ ﹶﻘ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ﻭ‬ Alquran itu bukanlah perkataan setan yang
terkutuk. Ucapan ini untuk menepis semua keraguan. Karena mungkin
saja terjadi, setan menyisipkan ayat palsu saat nabi membacanya. Ini
merupakan serangan terhadap setan. Sekali lagi, ucapan ini penegasan
dari Allah yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, Pencipta jin,
manusia dan setan. Isinya, Alquran itu tak mungkin dari setan.
Ketika celah untuk setan tidak ada, satu-satunya jalan wahyu adalah
jalan manhaj Allah. Yang disampaikan kepada seluruh manusia melalui
Muhammad dengan perantaraan Jibril. ***

(QS at-Takwir [81]: 26-29)


¿¾½¼»º¹¸¶µ´³²±°
ÈÇÆÅÄÃÂÁÀ
Maka ke manakah kamu akan pergi? Alquran itu tiada lain
hanyalah peringatan bagi semesta alam, (yaitu) bagi siapa di
antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Kamu tidak
dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.
Ke manakah kamu akan pergi? Ini pertanyaan dari Allah. Ke mana
kalian akan percaya? Mengikuti mazhab mana? Tidak ada jalan lain,
kecuali jalan yang diatur Allah.
 ‫ﻌﺎﻟﹶﻤ‬‫ ﻟﱢﻠﹾﻌ‬‫ﻛﹾﺮ‬‫ ﺇﹺﻻﱠ ﺫ‬‫ﻮ‬‫ ﺇﹺﻥﹾ ﻫ‬Alquran itu tiada lain hanyalah peringatan bagi
‫ﲔ‬
semesta alam. Kata dzikr seakan Allah memberikan peringatan, ketika
manusia mulai lalai. Sejak Nabi Adam hingga hari ini. Peringatan itu
terus berlaku. Peringatan bagi alam semesta. Ketika manusia lalai, maka
manusia itu perlu peringatan dan diingatkan itulah makna zikir.
Manhaj dari Allah itu sudah ada sejak Adam menjadi manusia

144
AT-TAKWÎR 81 JUZ 30

pertama. Adam telah menyampaikannya kepada anak dan cucunya.


Namun perjalanan waktu, manusia mulai lupa. Hingga, akhirnya Allah
mengutus sekali lagi rasul atau nabi berikutnya. Tujuannya, agar manhaj
kembali bersinar setelah sebelumnya meruedup. Bahkan manhaj Allah
itu sebenarnya sudah ada pada diri setiap individu manusia. Sebelum
mereka terlahir di bumi, Allah telah mengikat janji setia pada manhaj
dengan mereka. Lihat al-’Araf [7]: 172.
Iman adalah fitrah. Iman adalah awal dari kehidupan. Iman ini harus
diketok tular, sebagaimana ketrampilan hidup juga perlu ditularkan dari
nenek moyang terdahulu. Namun sayang, untuk agama selalu nomer
terakhir, setelah mengejar kebutuhan hidup. Ketika ditanya, kenapa roti
dimasukkan ke dalam oven dan beras harus ditanak? Jawabannya, ini
adalah ketrampilan turun temurun yang didapat sejak zaman nenek
moyang.
Terkesan, manhaj menghambat kehidupan manusia. Nafsu manusia
selalu ingin bebas tanpa ikatan. Agama mencegah kebebasan nafsu yang
merusak tatanan kehidupan. Ini adalah alasan mengapa agama itu
mudah dilupakan. Padahal, kebahagiaan manusia, saat dia dapat berpikir
cerdas menggunakan akal sehat dan menjauhkan diri dari nafsu angkara
murka yang membahayakan kehidupan ini.
‫ﻢ‬ ‫ﻘﻘﻴ‬ ‫ﺘ‬‫ﺴ‬
 ‫ ﺃﹶﺃﻥ ﻳ‬‫ﻣﻣﻨﻜﹸﻢ‬ ‫ﺷﺷﺎﺀ‬ ‫ﻤﻤﻦ‬ ‫ﻟ‬ (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau
menempuh jalan yang lurus. Peringatan di atas untuk orang yang
memiliki kehendak untuk bahagia sesungguhnya di dalam istiqamah dan
keteguhan pendiriran. Walaupun terlihat senang tanpa manhaj, tapi
sebenarnya manusia itu akan lelah, karena mereka menjauhkan diri dari
manhaj Allah. Kebahagiaan akan diraih dan disemai di dalam diri
manusia ketika dia beriman kepada Allah dan kitab sucinya Alquran.
Kenapa manusia terkadang lalai? Karena manusia meremehkan
Alquran. Seperti seorang bapak yang ingin menyekolahkan anaknya ke
perguruan tinggi. Kehendak orang tua dan kehendak anak harus kuat.
Dengan biaya yang harus dikeluarkan orang tua untuk menyekolahkan
anak. Si anak harus giat dalam membaca dan menghafal pelajarannya.
Jika tidak, maka kegagalan dalam belajar seringkali terjadi.
Sayangnya si ayah dan si anak hanya fokus pada selembar ijazah
dan keberhasilan intelektual atau materi. Si ayah tidak pernah
memerintahkan anaknya untuk salat dan belajar ilmu agama. Dia telah
mengambil dunia yang sementara dan sedikit ini, dengan meninggalkan
surga di akhirat yang kekal dan abadi. Meremehkan Alquran sebagai

145
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

solusi kehidupan tidak saja menderita di akhirat. Tapi dalam banyak


kasus, orang yang jauh dari Allah dan Alquran sudah terlebih dahulu
menderita di dunia.
Janag menduga peringatan atau zikir ini datang bagaikan magnet
yang akan menarik semua apa yang ada di depannya, suka atau tidak
suka. Tidak, hidayah Allah perlu diambil dengan kehendak penuh
dengan persiapan. Dia ingin kebaikan pada dirinya. Jika ada kehendak
dan kehendak, maka persiapan itu akan dibentangkan Alquran menuju
istiqamah.
Inilah beda antara pelaku dan penerima. Alquran satu, didengar oleh
siapapun dengan sepenuh hati. Dia bahagia dengan pesan-pesan
Alquran. Yang lain boleh jadi juga mendengar, tapi hanya masuk telinga
kanan, keluar telinga kiri. Orang yang hatinya telah tertutup akan
berkata: “Apa yang dikatakan Alquran tadi?” dengan nada mengejek
dan mencela. Lebih jelas lihat QS Muhammad 16.
Ketika mukmin mengkaji hakikat itu yang tertuang di dalam
Alquran, maka insya Allah, dia menemukan hakikat itu ada pada Islam.
Alquran tidak akan masuk ke otak manusia sembarangan, kecuali bagi
mereka yang membersihkan diri, dan ingin memahami hakikat sejati.
 ‫ﻌﺎﻟﹶﻤ‬‫ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﺏ‬‫ ﺭ‬‫ﺸﺎﺀ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬
‫ﲔ‬ ‫ﺸ‬‫ﺅﻭﻥﹶ ﺇﹺﻻﱠ ﺃﹶﺃﻥ ﻳ‬‫ﺸﺎﺅ‬
‫ﺸ‬‫ﻣﺎ ﺗ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬kamu tidak dapat menghendaki
(menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta
alam. Kehendak manusia itu sangat tergantung dengan kehendak Allah.
Kehendak manusia itu dikembalikan kepada kehendak Allah. Di satu
sisi manusia memliki hak pilih yang luas dan bebas, tapi di sisi lain dia
terikat dan tidak ada pilihan. Dia tidak bisa keluar dari keterikatan itu.
Manusia dapat memilih baju yang akan dibeli dan dipakainya, dia
dapat memilih tempat untuk membangun rumahnya dan dalam bentuk
tertentu, dan lainnya yang terkait dengan kebebesan memilih. Tapi
manusia tidak dapat memilih kapan matahari terbit dan kapan matahari
terbenam, manusia tidak dapat memilih jantungnya utnuk berdetak atau
tidak, darahnya mengalir atau dihentikan. Di sana ada banyak hal yang
terkait dengan ikhtiar dan banyak yang tidak terkait dengan ikhtiar.
Manusia bukan pemilik kehendak secara mutlak, tidak juga tidak
pemilik ikhtiar secara mutlak. Ketika manusia menyadari bahwa dirinya
terikat dengan kehendak diri pada satu sisi dan kebebasan di sisi yang
lain, maka dia akan menyadari bahwa di sana ada kekuatan maha
dahsyat di luar dirinya. Dialah Allah Tuhan Mahakuasa dan Maha
Berkehendak.

146
AT-TAKWÎR 81 JUZ 30

Allah memiliki sifat-sifat dan nama-nama yang mulia, setiap sifat


dan nama memiliki lapangan yang dijadikan objek atas nama dan sifat
itu. Dia Maha Pemaksa, Dia Maha Penyayang, Dia juga Mahaadil dan
bijaksana, Di luar itu semua Dia Mahaberkehendak.
Terkait dengan hidayah, Allah berkehendak memberi hidayah
kepada yang Dia kehendaki dan menyesatkan kepada siapa yang Dia
kehendaki (lihat QS an-Nahl [16]: 93). Dia tidak memberi hidayah
kepada orang yang zalim (lihat QS al-Baqarah [2]: 258) kepada orang
kafir (lihat QS al-Baqarah [2]: 264), dan kepada orang yang fasik (lihat
QS al-Maidah [5]: 108). Bahkan Allah menetapkan dan meniadakan
hidayah pada diri Nabi Muhammad. Pada satu ayat Allah berfirman:
“Sungguh kamu dapat memberi hidayah,” tapi di ayat lain: “Sungguh
kamu tidak dapat memberi hidayah.” (QS al-Qashash [28]: 56)
Dalam dalam Alquran, kata hidayah itu dapat dipahami dengan dua
makna. Makna pertama, hidayah secara umum dan mutlak menuju
kepada jalan kebaikan. Kedua, hidayah maunah atau bantuan Allah
terhadap kebaikan. Penjelasannya, secara umum, Allah telah memberi
hidayah dan petunjuk kepada seluruh manusia kepada Islam dan
beriman kepada Allah. Ini makna hidayah mutlak dan umum.
Sebagai contoh, kita pergi ke suatu kota. Di tengah jalan kita
mendapati ada persimpangan jalan dengan lima arah. Kita bertanya
kepada pak polisi lalu lintas. Mana jalan ke kota Fulan? Ia menjawab:
“Jalan ke kota itu, ini. Polisi telah memberi hidayah dan petunjuk agar
kita sampai ke kota dengan baik dan mudah. Setelah itu, apakah kita
menerima penjelasan polisi atau tidak, semua tergantung pada kita.
Jika kita berkata: “Terima kasih, Alhamdulillah.” Boleh jadi, polisi
tadi dengan senang hati menambah bantuan/maunah petunjuk itu
dengan berkata: “Setelah satu kilo meter di sana ternyata ada lubang
besar atau hambatan. Aku akan bersamamu agar kamu tidak tersesat.”
Di sini ada dua perbuatan: pertama menunjukkan secarra umum.
Ketika kita percaya dan berterima kasih kepadanya. Kita yakin ini
sebuah kenikmatan akan menolong kita, polisi dengan senang hati akan
turun tangan. Demikian juga Allah al-Haq dalam menunjukkan
kebaikan. Siapa yang yakin kepada-Nya akan mudah melaksanakan
kebaikan. Hanya tinggal manusia, mau menerima hidayah atau petunjuk
umum ini atau tidak? Jika bertahan pada kekafiran, kezaliman dan
kefasikan, maka Allah tidak akan membantunya untuk memberi hidayah
lanjutan. Jika memilih iman dengan senang hati, Allah memudahkan
jalan hidupnya.

147
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Jika anda katakan kepadanya: “Aku tidak percaya kepada engkau


polisi. Anda tak paham apapun.” Polisi akan berkata: “Ya syekh
pergilah.” Polisi akan meninggalkan kita. Kita akan tersesat sendiri.
Yang tidak mendengar uccapannya disebut: sesat. Jadi Allah memiliki
dua hidayah. Hidayah dilalah berlaku umum, untuk mukmin dan kafir.
Berikutnya hidayah maunah untuk mukmin semata.
Untuk itu kita memahami: ‫ﻢ‬ ‫ﻘﻘﻴ‬ ‫ﺘ‬‫ﺴ‬
 ‫ ﺃﹶﺃﻥ ﻳ‬‫ﻣﻣﻨﻜﹸﻢ‬ ‫ﺷﺷﺎﺀ‬ ‫ﻤﻤﻦ‬ ‫ﻟ‬ (yaitu) bagi siapa di
antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus, bermaksud bahwa
kehendak manusia diberikan dalam hal-hal yang bersifat ikhtiari.
Sebagai mukmin, kita memohon kepada Allah, agar kita diberi
hidayah ke jalan yang lurus. Dia memberikan taufik terhadap segala apa
yang kita kerjakan, dan apa yang kita tinggalkan.
Sampai jumpa lagi Insya Allah, sebagaimana yang diinginkan
Allah.***

148
AL-INFITHÂR 82 JUZ 30

SURAT 82
AL-INFITHÂR
(MAKKIYAH)

149
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

150
AL-INFITHÂR 82 JUZ 30

Kita sekarang bersama dengan surat al-Infithâr. Ini adalah surat


pendek yang menceritakan tentang kehancuran bumi sebagaimana telah
dibahas pada surat at-Takwîr. Bedanya, surat al-Infithâr membahas
dalam bentuk dan kondisi yang lain. Di sini, kehancuran bumi dikaitkan
dengan sentuhan yang menyentuh hati manusia yang sangat dalam yang
perlu direnungi sampai pada tahap seakan-akan peristiwa itu sedang
mencerca hati itu. Tujuannya sebagai pelajaran penting dan ancaman
agar dapat terhindar dari malapetaka pada hari itu.
Dalam surat ini kehancuran bumi hanya dibahas sedikit, sebaliknya
dalam surat at-Takwîr ia dibahas dalam penjabaran panjang dan lebar.
Walaupun terdapat perbedaan namun keadaan dua surat itu saling
melengkapi.
Surat al-Infithâr ini dapat dibagi kepada empat bagian. Bagian
pertama membahas tentang langit yang terbelah dan bintang-bintang
yang jatuh berserakan, dilanjutkan dengan lautan yang meledak dan
kuburan yang terbongkar ... semua ini terkait erat dengan pertanggung
jawaban jiwa manusia atas apa yang telah dia lakukan selama hidup di
dunia. Ini adalah hari yang mengerikan.
Bagian kedua dimulai kecaman terhadap jiwa manusia yang lalai.
Ini bertujuan sebagai peringatan dan ancaman atas kekufuran yang dia
lakukan, atau bagaimana dia tidak mengenal Tuhannya, tidak
mensyukuri atas setiap nikmat yang diperoleh, atau malah berani
melawan Tuhan. Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan
kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang
telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan
menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang, dalam bentuk apa saja yang
Dia kehendaki, Dia menyusun tubuh-mu.
Bagian ketiga, dipaparkan alasan dan sebab mengapa manusia
berani melawan Tuhan, yaitu: karena mereka berani mengingkari hari
kiamat, mendustakan perhitungan amal. Pengingkaran dan pendustaan
ini akan menimbulkan pengingkaran dan pendustaan lanjutan, seperti
mendustakan Tuhan dan mengingkari segala nikmat Tuhan yang telah
diperolehnya. Pengingkaran ini berdampak sangat buruk.
Bahkan kalian mendustakan hari pembalasan. Padahal
sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi
(pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan
-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada
dalam surga yang penuh kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang

151
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

yang durhaka benar-benar berada dalam neraka. Mereka masuk ke


dalamnya pada hari pembalasan. Dan mereka sekali-kali tidak dapat
keluar dari neraka itu.
Adapun bagian keempat menggambarkan tentang dahsyatnya
peristiwa hari kiamat. Pada waktu itu semua yang pernah dimiliki
manusia telah dilucuti dan hilang darinya. Hanya Allah berstatus
pemilik tunggal. Tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? Sekali
lagi, tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? (Yaitu) hari (ketika)
seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. Dan
segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah.
Secara umum surat ini berisikan tentang cuplikan-cuplikan peristiwa
yang menyentuh hati yang berkaitan antara amal dan balasannya yang
digambarkan dengan berbagai cuplikan.***

CELAAN TERHADAP MANUSIA YANG DURHAKA


(QS al-Infithar [82]: 1-5)
 LKJIHGFEDCBA
VUTSRQPONM
Apabila langit terbelah, dan apabila bintang-bintang jatuh
berserakan, dan apabila lautan dijadikan meluap, dan apabila
kuburan-kuburan dibongkar, maka tiap-tiap jiwa akan
mengetahui apa yang telah dikerjakan dan yang dilalaikannya.
 ‫ﻤﺎﺀ ﺍﻧﻔﹶﻄﹶﺮ‬‫ﻤ‬‫ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺍﻟﺴ‬apabila langit terbelah. Pada ayat ini disebutkan
‫ﺕ‬
bagian kisah dari kehancuran bumi. Terbelah langit juga disebutkan
pada surat lain, seperti pada surat ar-Rahmân, al-Hâqqah dan al-
Insyiqâq. Terbelah langit bagian dari hakikat pada hari kiamat. Maksud
dari terbelah langit secera detail sukar untuk diungkapkan, sebagaimana
kita juga sukar untuk mendefinisikan keadaan yang terjadi pada saat
terbelah langit itu. Namun satu hal yang tergambar di dalam benak kita
adalah peristiwa yang berubah secara dahsyat di mana aturan tata surya
berakhir.
 ‫ﺜﹶﺮ‬‫ ﺍﻧﺘ‬‫ﺐ‬‫ﻮﺍﻛ‬‫ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺍﻟﹾﻜﹶﻮ‬‫ ﻭ‬apabila bintang-bintang jatuh berserakan, ikut
‫ﺕ‬
andil dalam menyempurnakan kehancuran bumi. Bintang jatuh -hingga
berserakan- setelah sebelumnya berada pada posisinya masing-masing
di dalam tata surya. Bintang-bintang di langit terikat satu dengan yang

152
AL-INFITHÂR 82 JUZ 30

lain. Bila ia terjatuh pertanda kiamat, maka ia akan terlepas dari ikatan
yang kuat itu bagaikan butir tasbih yang terlepas dari ikatannya.
 ‫ﺮ‬‫ ﻓﹸﺠ‬‫ﺤﺎﺭ‬
‫ﺕ‬ ‫ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺍﻟﹾﺒﹺﺤ‬‫ ﻭ‬apabila lautan dijadikan meluap. Kata laut fujjirat
atau meledak dapat diartikan dengan penuhnya laut hingga meluap ke
daratan dan memenuhi aliran sungai. Boleh juga diartikan dengan
meledak air laut, karena air mengandung unsur oksigen dan hidrogen.
Dua partikel ini dapat menyebabkan ledakan bila unsur air itu berubah
menjadi gas. Peristiwa ini dapat dipahami dengan meledaknya bom
atom dan hidrogen pada hari ini. Ledakan yang diakibatkan oleh bom
ini sangat dahsyat, hingga ia begitu ditakutkan oleh penduduk bumi
pada saat ini. Atau ledakan laut dapat diartikan dengan suatu kondisi
yang tidak diketahui oleh manusia. Yang penting dari itu semua, bahwa
ia adalah persitiwa yang mengerikan yang belum pernah dirasakan oleh
manusia.
 ‫ﺮ‬‫ﺜ‬‫ﻌ‬‫ ﺑ‬‫ﺒﻮﺭ‬‫ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺍﻟﹾﻘﹸﺒ‬‫ ﻭ‬apabila kuburan-kuburan dibongkar, terbongkar
‫ﺕ‬
kuburan boleh jadi akibat sebab sebab yang ditimbulkan oleh peristiwa
sebelumnya, atau kuburan itu terbongkar dengan sendirinya setelah
penantian panjang. Pada saat itu keluar tubuh dari dalam nya untuk
dikembalikan menjadi manusia seutuhnya yang akan menerima balasan
atas amal yang telah dia lakukan.
Kondisi ini diperkuat dan didukung oleh pernyataan ayat setelahnya.
 ‫ﺮ‬‫ﺃﹶﺧ‬‫ ﻭ‬‫ﺖ‬‫ﻣ‬‫ﻣﺎ ﻗﹶﺪ‬‫ﺲ ﻣ‬
‫ﺕ‬  ‫ﻧ ﹾﻔ‬ ‫ﺖ‬
 ‫ﻤ‬‫ﻠ‬‫ ﻋ‬maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang
telah dikerjakan dan yang dilalaikannya.
Atau makna dari mâ qaddamat adalah apa yang telah dikerjakan,
dan mâ akharat apa yang tidak dikerjakan. Atau apa yang dikerjakan
hanya untuk meraih dunia semata, dan tidak mengerjakan apapun demi
akhirat. Satu yang penting dari beragam penafsiran ini adalah
penyesalan manusia karena tidak beramal untuk akhirat saat melihat
peristiwa hari kiamat.
Makna tiap-tiap jiwa akan mengetahui bukan hanya terbatas pada
pengetahuan ansih semata, tapi pengetahuan yang memiliki konsekuensi
logis dari apa yang telah diamalkan, saat melihat peristiwa yang
mengerikan itu. Tidak disebutkannya konsekuensi logis pada ayat ini
secara tekstual tentu saja lebih membekas dan berkesan bagi para
pembaca Alquran.***

153
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

(QS al-Infithar [82]: 6-12)


ba`_^]\[ZYXW
ponmlkjihgfedc
yxwvu tsrq
Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat
durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah
menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan
menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang, dalam bentuk apa saja
yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuh-mu. Bukan hanya
durhaka saja, bahkan kalian mendustakan hari pembalasan.
Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang
mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang
mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa
yang kamu kerjakan.
‫ ﺍﻟﹾﻜﹶ ﹺﺮ ﹺﱘ‬‫ﻚ‬‫ﺑ‬‫ ﺑﹺﺮ‬‫ﻙ‬‫ﻣﺎ ﻏﹶﺮ‬‫ﺴﺎﻥﹸ ﻣ‬
‫ﻬﺎ ﺍﻹِﻹﻧﺴ‬‫ﻬ‬‫ﻳﺎ ﺃﹶﻳ‬‫ ﻳ‬hai manusia, apakah yang telah
memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang
Maha Pemurah. Pada ayat ini Allah mengingatkan manusia yang terlena
dan lupa akan hari perhitungan, mengingatkan manusia yang tidak
mempersiapkan diri untuk menghadapi hari pembalasan, mengingatkan
mereka yang melarikan diri dari mempersiapkan bekal takwa. Semua itu
timbul karena satu alasan yaitu keangkuhan. Keangkuhan itulah yang
ditegur Allah dalam ayat yang kita kaji di atas.
Disebutkan kata “manusia” karena kata itu menginspirasikan bahwa
kemanusiaan manusia menyebabkannya tidak mungkin berlaku angkuh.
Tidak ada yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya kecuali
akal pikiran. Akal pikiran ini berfungsi untuk melihat, menganalisa,
berpikir dan menyimpulkan. Bila akal pikiran ini digunakan secara
benar tentu dia tidak akan angkuh, karena keangkuhan timbul saat
manusia lupa berpikir.
Manusia apabila ingin angkuh maka dia harus angkuh terhadap apa
yang dimilikinya secara mandiri. Apabila kepemilikan itu diperoleh
dalam bentuk hadiah atau pemberian dari Zat lain (Allah) maka dia
tidak wajar untuk angkuh. Bila dia hidup dan memiliki nyawa berasal
dari dirinya sendiri maka dia wajar untuk angkuh, tapi bila tidak satu
manusia pun yang dapat membuat nyawa dan memperpanjang

154
AL-INFITHÂR 82 JUZ 30

kehidupan maka dia tidak wajar untuk angkuh.


Ungkapan Alquran dengan kata “manusia” mengandung makna
peringatan yang artinya waspadalah bahwa sifat kemanusiaanmu tidak
layak membuatmu menjadi angkuh, walaupun demikian kamu masih
tetap angkuh. Kamu tetap angkuh terhadap Tuhanmu yang maha mulia.
Seandainya kamu angkuh terhadap Tuhan yang telah memberi tapi tidak
memuliakanmu maka hal itu masih dapat diterima akal sebagai
konsekuensi balasan dari apa yang dia lakukan terhadapmu. Tapi bila
Tuhanmu yang Maha Pemberi itu Mahamulia dan memuliakanmu, maka
apa alasan yang dapat kamu jadikan sebagai pembenaran untuk berlaku
angkuh!?
Ringkasnya, kamu angkuh tidak pada tempatnya, karena: (1) bukan
milikmu secara mandiri, (2) Tuhan yang memberi itu telah
memuliakanmu.
 ‫ﻟﹶ‬‫ﺪ‬‫ ﻓﹶﻌ‬‫ﻮﺍﻙ‬‫ﻮ‬‫ ﻓﹶﺴ‬‫ﻠﹶﻘﹶﻚ‬‫ﺬﻱ ﺧ‬‫ ﺍﻟﱠﺬ‬yang telah menciptakan kamu lalu
‫ﻚ‬
menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu
seimbang. Allah menyebutkan beberapa kemuliaan yang telah Dia
lakukan kepada manusia: penciptaan, penyempurnaan dalam bentuk
yang ideal dan profesional. Kemuliaan ini tidak dapat disangkal oleh
manusia saat dia menggunakan akal pikirannya, melihat postur
tubuhnya, melihat dirinya yang berbeda dari makhluk lain. Manusia
tidak berjalan di atas perutnya, tidak juga berjalan dengan menggunakan
empat kaki. Ia tidak berjalan dengan badan yang membungkuk ke
bawah, Allah menciptakan manusia tinggi tegap dengan dua kaki yang
menopang. Belum lagi bila manusia meneliti organ tubuh yang
dimilikinya, di mana para peneliti akan kagum setiap menemukan
keunikan di dalam organ tubuh itu.
 ‫ﻛﱠﺒ‬‫ﺷﺎﺀ ﺭ‬‫ﻣﺎ ﺷ‬‫ ﻣ‬‫ﺓ‬‫ﺻﻮﺭ‬
‫ﻚ‬ ‫ ﺻ‬‫ﻓﻲ ﺃﹶﻱ‬‫ ﻓ‬dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki,
Dia menyusun tubuh-mu. Allah ingin menegur dan memperingati
manusia dan merupakan hak Allah untuk menegur manusia, karena
teguran dan peringatan adalah bagian dari sarana pendidikan, Dia Tuhan
yang Maha Pemberi, Pendidik, Mengatur dan Menjaga, Dia telah
memberi yang terbaik kepada manusia, maka wajar Dia memberi
peringatan dan mendidik dengan berkata: “Hai manusia, apakah yang
telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang
Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan
kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang, dalam
bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuh-mu. Bukan

155
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

hanya durhaka saja.”


Kata ‫ ﹶﻛﻛﻼ‬bukan hanya itu saja’ bila kita temukan di dalam Alquran
maka pahamilah bahwa ia bermakna teguran dan peringatan atas perihal
yang tidak yang tidak layak untuk dilakukan. Prihal itu adalah
keangkuhan, maknanya tidak layak bagi manusia untuk angkuh
selamanya.
Tapi apakah yang ditegur itu sadar? Tidak, karena saat dia
diciptakan, saat dia mendapatkan rezeki, saat dia dapat mandiri, dia
merasa bahwa semuanya ini terjadi secara alami dan tidak melihat
secara kasat mata tangan Allah berada di balik itu semua. Dia pun
menjadi angkuh dan merasa hidup dan keberhasilan itu karena jerih
payahnya. Dia yakin siapa yang bekerja pasti mendapat. Dia melupakan
Tuhan sebagai Pencipta sebab keberhasilan itu. Kedurhakaan itu terjadi
sebab: Sekali-kali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampaui
batas, apabila melihat dirinya serba cukup. (QS al-‘Alaq [96]: 6-7)
Bukan hanya durhaka saja, ‫ﻦ‬ ‫ﺪﺪﻳ ﹺ‬ ‫ﺑﺑﻮ ﹶﻥ ﹺﺑﺑﺎﻟ‬‫ﺗ ﹶﻜ ﱢﺬ‬ ‫ﺑ ﹾﻞ‬ bahkan kalian
mendustakan hari pembalasan. Hari din/agama di sini maksudnya
adalah hari pembalasan. Setelah Allah menegur manusia untuk tidak
angkuh, maka pada ayat ini ditegaskan bahwa orang yang tidak beriman
kepada Allah, tidak menjadikan alam semesta menjadi pelajaran, maka
dia pasti akan tetap bertahan pada keangkuhan, dan segala teguran itu
menjadi tidak berguna.
Bila kita pahami kata bal/bahkan, maka kita akan pahami bahwa ada
satu hal yang tidak dinafikan dan yang lain ditetapkan. Artinya,
seharusnya dia meninggalkan sifat keangkuhan, tapi sifat itu tidak
ditinggalkan, dia malah melunjak dan melampaui batas dengan
mengingkari hari pembalasan.
Pada kata ini disebutkan “kalian mendustakan” dalam bentuk
majemuk, padahal sebelumnya “wahai manusia” dalam bentuk tunggal.
Bila kita teliti bahwa kata an-nâs/manusia menggunakan alif dan lam
yang bermakna istighrâq/masuk di dalamnya seluruh individu manusia.
Artinya, wahai seluruh manusia di antara kalian ada yang mendustakan
hari pembalasan. Pendustaan dîn/agama atau hari pembalasan dapat
ditafsirkan dengan meremehkan manhaj Allah, melupakannya, tidak
siap untuk menyambut hari kiamat, bahkan mereka berkeyakinan bahwa
hari pembalasan itu tidak ada. Bila mereka yakin hari pembalasan itu
benar niscaya mereka mempersiapkannya dengan semaksimal mungkin.

156
AL-INFITHÂR 82 JUZ 30

 ‫ﻈ‬‫ﺤﺎﻓ‬
‫ﲔ‬ ‫ ﻟﹶﺤ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﺇﹺﻥﱠ ﻋ‬‫ ﻭ‬padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-
malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu). Pada ayat ini Allah
menyebutkan alasan hari pembalasan itu ada dan pasti, karena setiap
detik amal perbuatan manusia dicatat oleh malaikat. Hari pembalasan
itu penting untuk membalas setiap perbuatan manusia. Agar amalan itu
jelas dan tidak kabur, maka ia harus ditulis di atas kertas. Tulisan di atas
kertas itu menjadi bukti otentik yang tidak dapat dipalsukan, karena
ucapan yang tidak tertulis sering kali dilupakan. Penulis amal manusia
itu dua malaikat yang walau pun gaib keduanya tetap bekerja maksimal.
Bila ditanya: “Di mana dua malaikat itu, bagaimana keduanya
menulis, dengan apa mereka menulis?” Jawabannya: “Inilah iman yang
percaya kepada yang gaib.” Beda antara adanya sesuatu dengan
mengindra sesuatu. Bukan merupakan bukti bahwa bila sesuatu itu tidak
terindra berarti sesuatu itu tidak ada. Betapa banyak sesuatu yang
dulunya tidak terindra kemudian diketahui dengan bantuan alat bantu
sehingga menjadi terindra, jadi dia itu ada tapi kita tidak dapat
mengindranya. Artinya, bukan bila sesuatu itu tidak terindra berarti
sesuatu itu tidak ada.
Lebih jauh lagi iman tidak terkait dengan masalah yang terindra,
masalah yang terindra tidak menjadi ruang lingkup iman. Saya tidak
mengatakan: “Saya beriman bahwa kamu sedang duduk di hadapanku.”
Iman sangat terkait dengan hal gaib. “Saya beriman, saya mengakui
keberadaan Allah, karena Dia gaib.”
Apa beda iman dengan yakin. Ali bin Abi Thalib menjawab:
“Bedanya hanya empat jari.”
“Bagaimana mungkin?” kata penanya.
“Mungkin, iman itu adalah percaya atas apa yang didengar oleh
telinga, dan yakin adalah percaya apa yang dilihat oleh mata. Jarak
antara telinga dan mata itu hanya empat jari.”
Untuk itu Ali berkata: “Bila terbuka hijab hari kiamat maka tidak
akan bertambah keyakinanku.”
‫ﻌ ﹸﻠﻠﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﺗ ﹾﻔ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ﻤﻤﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻌ ﹶﻠ‬ ‫ﻳ‬ {}‫ﲔ‬
 ‫ﺒﹺ‬‫ﻣﺎ ﻛﹶﻛﺎﺗ‬‫ﺮﺍﻣ‬‫ﺮ‬‫ ﻛ‬yang mulia (di sisi Allah) dan yang
mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang
kamu kerjakan. Janganlah kalian mengingkari hari pembalasan, karena
tiap-tiap dari kalian memiliki dua malaikat pencatat amal dan
merekamnya dengan baik. Malaikat itu juga bergelar kiram/mulia,
artinya para malaikat sangat senang untuk mencatat amal baik yang
dilakukan manusia dan sangat menderita saat mencatat amal buruk

157
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

mereka. Sifat mereka yang mulia ini sesuai dengan tugas mereka.
Di sisi lain merupakan rahmat Allah bahwa dia memproritaskan
kerja malaikat untuk menulis amal baik atas amal buruk, tujuannya
memberi kesempatan bagi manusia untuk menyesal dan bertaubat. Allah
ingin manusia dapat menghapus dosa-dosa yang pernah dilakukan
dengan memperbanyak amal baik.
Merupakan rahmat Allah juga setiap satu kebaikan akan dibalas
Allah sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat bahkan lebih. Bila hendak
melakukan dosa tapi tidak terlaksana maka terhitung sebagai satu
pahala. Bila melakukan dosa, maka dihitung sebagai satu dosa. Lihat
Hadis Riwayat Bukhari 6010 dan Muslim 187. ***

SEMUA PERBUATAN DICATAT DAN DIBALAS


(QS al-Infithar [82]: 13-19)
ihgfedcba`_~}|{z
yxwvutsrqponmlkj
 ¤£¢¡~}|{z
¥
Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar
berada dalam surga yang penuh kenikmatan,dan sesungguhnya
orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.
Mereka masuk ke dalamnya pada hari pembalasan. Dan mereka
sekali-kali tidak dapat keluar dari neraka itu. Tahukah kamu
apakah hari pembalasan itu? Sekali lagi, tahukah kamu apakah
hari pembalasan itu? (Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak
berdaya sedikit pun untuk menolong orang lain. Dan segala
urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah.
‫ﺤﻴ ﹴﻢ‬
‫ﺤ‬‫ﻔﻔﻲ ﺟ‬ ‫ ﹶﻟ‬‫ﺠﺎﺭ‬
‫ﺇﹺﻥﱠ ﺍﻟﹾﻔﹸﺠ‬‫ﻌﻌﻴ ﹴﻢ}{ ﻭ‬ ‫ﻧ‬ ‫ﻔﻔﻲ‬ ‫ﺭ ﹶﻟ‬ ‫ﺮﺍ‬‫ﺮ‬‫ ﺇﹺﻥﱠ ﺍﻷَﺑ‬sesungguhnya orang-orang yang
banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh
kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar
berada dalam neraka. Selama di sana ada catatan amal, maka di sana
ada yang beramal baik dan beramal buruk serta konsekuensi dari amal
tersebut berakhir di surga atau di neraka. Hal ini ditegaskan Allah
dengan menggunakan huruf penegas “sesungguhnya”.
Abrâr kata majemuk dari birr yang artinya orang yang banyak
berbakti artinya kebaikan dan bakti telah mendarah daging dan menjadi

158
AL-INFITHÂR 82 JUZ 30

sifat yang permanen dalam dirinya. Alquran telah membahas tentang


kretria orang yang berbakti secara global dan rinci. Secara global
Alquran menegaskan orang yang berbakti itu adalah orang yang
bertakwa, lihat al-Baqarah 189. Secara perinci lihat al-Baqarah 177.
Artinya bakti itu bukan sekedar simbol tapi dia adalah gabungan antara
simbol dan hakikat. Tidak pula kita mengatakan: “selama hakikatnya
telah tercapai maka simbol tidak perlu lagi.” Karena dalam kedua ayat
ini Allah menggabungkan antara hakikat dan simbol
Sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada
dalam neraka. Jahîm artinya lidah api yang membara. Fujar artinya
orang yang menutup perintah Allah dan melakukan larangannya.
Selama dia telah keluar dari perintah, Allah maka neraka adalah
konsekuensi logis secara lafaz dan makna.
Mereka masuk ke dalamnya pada hari pembalasan. ‫ﲔ‬  ‫ﺒﹺ‬‫ﻐﺎﺋ‬‫ﻬﺎ ﺑﹺﻐ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ ﻋ‬‫ﻢ‬‫ﻣﺎ ﻫ‬‫ﻣ‬‫ﻭ‬
mereka sekali-kali tidak dapat keluar dari neraka itu. Artinya mereka
tidak dapat lari saat dimasukkan, dan tidak dapat pula melarikan diri
saat berada di dalam, walaupun hanya sesaat. Ini adalah gambaran yang
bertolak belakang antara orang yang berbakti dan orang yang durhaka,
antara surga dan neraka.
Selama manusia mengingkari hari pembalasan dan akhirnya mereka
menemukan apa yang mereka ingkari selama di dunia, maka hal itu
sungguh sangat mengejutkan dan menyakitkan terlebih tak ada seorang
pun yang dapat menolong.
‫ﺪﺪﻳ ﹺﻦ‬ ‫ﻡ ﺍﻟ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ﻙ‬ ‫ﺭﺍ‬‫ﺭ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﺩ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? Kata
tahukah dipahami di sini bahwa di sana ada harapan bagi orang yang
mengingkari hari pembalasan untuk sadar.
‫ﺪﺪﻳ ﹺﻦ‬ ‫ﻡ ﺍﻟ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ﻙ‬ ‫ﺭﺍ‬‫ﺭ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﺩ‬‫ ﻣ‬‫ ﺛﹸﻢ‬sekali lagi, tahukah kamu apakah hari pembala-
san itu? Diulangi kalimat ini menjadi dua kali dengan disambung kata
‘kemudian’ menegaskan dua hal: pengetahuan secara berita dan
pegetahuan secara realita.
‫ﻪ‬ ‫ﻟ ﱠﻠ‬ ‫ﺬ‬ ‫ﺌ‬‫ﻣ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻭﻭﺍ َﻷ‬ ‫ﹰﺌﺌﺎ‬‫ﺷﻴ‬ ‫ﺲ‬
‫ﻨ ﹾﻔ ﹴ‬‫ﺲ ﱢﻟ‬
 ‫ﻧ ﹾﻔ‬ ‫ﻚ‬
 ‫ﻠ‬‫ﻤ‬‫ ﻻ ﺗ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫( ﻳ‬yaitu) hari (ketika) seseorang
tidak berdaya sedikit pun untuk menolong orang lain. Dan segala
urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah. Ini adalah keputusan akhir
dari kehidupan manusia. Kehidupan pada hari ini memiliki ciri.
Pertama, tidak seorang pun pada hari itu memiliki apapun. Kedua,
semua urusan dan kepemilikan hanya milik Allah. Walaupun di dunia
dan di akhirat semua kepemilikan hanya milik Allah, namun di dunia

159
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Allah memberikan sarana pikiran, kekuatan dan potensi untuk


berinteraksi dengan alam ini hingga manusia menduga bahwa diri dan
alamlah yang memiliki dan memberi. Contohnya, manusia menduga
awanlah yang menurunkan hujan, tanah yang menumbuhkan sawah
ladang. Mereka melupakan Allah sebagai pemilik hakiki. Sedangkan
mukmin melihat kepemilikan Allah dan kuasanya di balik itu semua.
Sementara di akhirat semua sarana telah lenyap, tinggallah Allah
sebagai pemilik tunggal. Tidak ada teman, saudara yang dapat
menyelamatkan. Semoga Allah menolong kita pada hari itu, hingga kita
berbahagia saat bertemu dengan-Nya dan menerima balasan baik yang
berlipat ganda. Karena Dia Maha kuasa dan segala puji bagi Allah seru
sekalian alam.***

160
AL-MUTHAFFIFÎN 83 JUZ 30

SURAT 83
AL-MUTHAFFIFÎN
(MAKKIYAH)

161
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

162
AL-MUTHAFFIFÎN 83 JUZ 30

ANCAMAN TERHADAP ORANG YANG CURANG


DALAM MENAKAR DAN MENIMBANG
(QS al-Muthaffifin [83]: 1-6)
 °¯®¬«ª©¨§¦
  ¼»º¹¸¶µ´³²±
½
ÆÅÄÃÂÁÀ¿¾
Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan
menimbang)! (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima
takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan, dan apabila
mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka
mengurangi. Tidakkah mereka itu mengira, bahwa sesungguhnya
mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu)
pada hari (ketika) semua orang bangkit menghadap Tuhan seluruh
alam.
Saya memuji-Mu wahai Tuhanku dan meminta pertolongan dari-Mu.
Salawat dan salam saya kepada sebaik-baik ciptaan-Mu sayyidina
Muhammad. Wa ba’du;
Kita akan membicarakan hal-hal penting yang terdapat dalam surat
al-Muthaffifîn dan kita katakan bahwa Allah Swt memulai surat ini
dengan berita bahwa celaka akan benar-benar menimpa sekelompok
manusia. Kelompok yang tidak dapat menyeimbangkan antara hak dan
kewajiban terhadap orang lain. Kerusakan hidup seluruhnya muncul dari
kehendak manusia yang kuat untuk mendapatkan seluruh haknya,
namun berusaha untuk mengurangi kewajibannya. Jika setiap orang
dengan posisinya sebagai apapun, baik itu dari orang yang berada di
puncak kekuasaan sampai penyapu jalan, melaksanakan ukuran ini
dengan seimbangan, tentu tidak akan ditemukan kerusakan di alam ini
selamanya.
Kita katakan bahwa Allah Swt meletakkan surat ini dalam urutan
mushaf selaras dengan surat yang ada sebelum dan sesudahnya. Allah
Swt memaparkan surat pengurangan timbangan dan takaran karena hal
ini mencakup fondasi kehidupan manusia.
Kemudian Allah Swt menyebutkan sebabnya, atau kondisi yang
mendorong mereka untuk berbuat zalim dan tidak adil, di samping
mereka tidak menyangka bahwa mereka akan menghadap Tuhan
mereka pada hari yang besar, karena merupakan tabiat orang yang

163
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

berakal untuk tidak mengambil manfaat sesaat, yang akhirnya disertai


keburukan yang lebih besar. Seharusnya, manusia menurut
pertimbangan orang alim berprinsip “Mengambil kebaikan yang lebih
lama masanya.”
Dalam hal ini Allah berfirman ‫ﻌﻌﻮﹸﺛﺛﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﺒ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻬﻬﻢ‬ ‫ﻧ‬‫ﻚ ﹶﺃ‬  ‫ ﺃﹸﺃﻭﻟﹶﺌ‬‫ﻳ ﹸﻈﻦ‬ ‫ ﹶﺃﺃﻻ‬tidakkah
orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan
dibangkitkan. Artinya bahwa prasangka sendiri cukup untuk
meninggalkan tempat prasangka ini, lalu bagaimana menurutmu jika hal
tersebut berbentuk keyakinan?
Kemudian Ia menjelaskan keistimewaan kondisi ini dengan firman-
Nya: ‫ﲔ‬  ‫ﻌﺎﻟﹶﻤ‬‫ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﺏ‬‫ﺮ‬‫ ﻟ‬‫ﻨﺎﺱ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﻘﹸﻘﻮﻡ‬‫ ﻳ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫( ﻳ‬yaitu) hari (ketika) manusia berdiri
menghadap Tuhan semesta alam? (83:6) Atau bahwasanya kerajaan dan
kebebasan berbuat hanyalah milik-Nya karena Allah Swt gaib dalam
dunia dan ada di balik sebab-sebabnya yang nyata. Akan tetapi di
akhirat tidak terdapat sebab-sebab. Di dunia kita menerima banyak hal
dengan sebab-sebabnya, akan tetapi di akhirat sebab-sebab itu akan
hancur. (Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain
dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di Padang Mahsyar)
berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha
Perkasa.
Yaitu hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?
Di sini terdapat pengalihan kepada sebab lain. Sebab ini yang membuat
mereka tidak menyangka adanya pertemuan pada hari tersebut dan
berdiri di hadapan Tuhan semesta alam. Padahal hati dengan fitrahnya
yang suci, bersih dan lurus sampai pada titik untuk mendapat petunjuk
dari Allah ke jalan yang benar. Akan tetapi terkadang hati terhalang dari
fitrahnya oleh pengaruh lingkungan dan pengaruh kebodohan. Ketika
manusia berada di hadapan syahwat, maka ia lupa atas berbagai ajaran.
Hal ini telah kita bicarakan sesuai dengan keterangan hadis yang
berbunyi: “Fitnah yang menimpa hati itu bagaikan tikar yang dibuat
sehelai demi sehelai. Bila hati melakukan kejahatan tertitiklah titik
hitam di hati itu. Bila hati mengingkari fitnah itu maka tertitik lah titik
putih. Hingga hati manusia itu menjadi dua: putih bersih bagaikan batu
shafa, pada saat itu segala fitnah tidak membahayaknnya selama langit
dan bumi masih ada. Yang lain menjadi hitam yang tidak mengenal
yang makruf dan tidak pula mencegah yang mungkar, kecuali apa yang
meresap pada hawa nafsunya.” (HR Muslim)

164
AL-MUTHAFFIFÎN 83 JUZ 30

‫ﺒﺒﻮ ﹶﻥ‬‫ﺴ‬
ِ ‫ﻜﹾ‬‫ﻧﻮﺍ ﻳ‬‫ﻣﺎ ﻛﹶﻛﺎﻧ‬‫ﻠﹶﻠﻰ ﻗﹸﻠﹸﻠﻮﺑﹺﻬﹺﻬﻢ ﻣ‬‫ﺭﺍﻥﹶ ﻋ‬‫ﻞﹾ ﺭ‬‫ ﻛﹶﻛﻼ ﺑ‬sekali-kali tidak (demikian),
sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.
(83: 14) Seakan-akan orang yang menutup hatinya dari cahaya Allah
Swt dan cahaya ajaran serta syariat-Nya sama dengan orang yang
menutup hatinya dari cahaya tersebut.
‫ﺑﺑﻮ ﹶﻥ‬‫ﺠﻮ‬
‫ﺠ‬‫ﺤ‬‫ ﻟﱠﻤ‬‫ﺬ‬‫ﺌ‬‫ﻣ‬‫ﻮ‬‫ ﻳ‬‫ﻬﹺﻢ‬‫ﺑ‬‫ﻋﻦ ﺭ‬‫ ﻋ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ ﻛﹶﻛﻼ ﺇﹺﻧ‬sekali-kali tidak, sesungguhnya
mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan
mereka. Hal tersebut terkadang menyakiti jiwa karena kebodohan.
Seakan-akan seseorang berkata: “Hal itu tidak mereka pedulikan karena
diri mereka yang bodoh.”
Ayat ini diteruskan dengan redaksi penuh siksaan dan hinaan atas
jiwa yang lalai. ‫ﺤﻴ ﹺﻢ‬ ‫ﺤ‬‫ﺼﺎﻟﹸﻟﻮﺍ ﺍﻟﹾﺠ‬
‫ ﻟﹶﺼ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ ﺇﹺﻧ‬‫ ﺛﹸﻢ‬kemudian, sesungguhnya mereka
benar-benar masuk neraka. Tampak Allah menyebutkan kepada mereka
sesuatu yang menakutkan bagi mereka, karena mereka telah terbiasa
berhubungan dengannya.
Allah kembali menyinggung masalah perbuatan menyakiti diri
sekali lagi ‫ﺑﺑﻮ ﹶﻥ‬‫ﻜ ﱢﺬ‬
‫ﺗ ﹶ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺘﺘﻢ ﹺﺑ‬‫ﺬﺬﻱ ﹸﻛﻛﻨ‬ ‫ﻫ ﹶﺬﺬﺍ ﺍﱠﻟ‬ ‫ﻳ ﹶﻘﻘﺎ ﹸﻝ‬ ‫ﻢ‬ ‫ ﹸﺛ‬kemudian, dikatakan (kepada
mereka): “Inilah azab yang dahulu selalu kamu dustakan.
Setelah dikemukakan di dalam surat yang lalu tentang katibiin dan
menyifati mereka sebagai hafadzah dan kiram dan seterusnya, di sini
Allah berbicara tentang kitab yang tertulis tersebut:

KEADAAN ORANG DURHAKA PADA HARI KIAMAT


(QS al-Muthaffifin [83]: 7-13)
PONMLKJIHGFEDCBA
_^]\[ZYXWVUTSRQ
hgfedcba`
Sekali-kali jangan curang, karena sesungguhnya kitab orang
yang durhaka tersimpan dalam sijjin. Tahukah, kamu apakah
sijjin itu? (Ialah) kitab yang bertulis. Kecelakaan yang besarlah
pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan, (yaitu) orang-
orang yang mendustakan hari pembalasan. Tidak ada yang
mendustakan hari pembalasan itu melainkan setiap orang yang
melampaui batas lagi berdosa, yang apabila dibacakan

165
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata: “Itu adalah dongengan


orang-orang yang dahulu.”
Pada ayat ini Allah berbicara tentang kaum durhaka, yang terkait
dengan buku catatan amal mereka. Sebagaimana kita sebutkan
sebelumnya bahwa pada surat sebelumnya dipaparkan tentang dua
pencatat amal, dan pada ayat ini disebutkan buku catatan itu sendiri.
Pada ayat ini diterangkan tentang makna dari sijin adalah sesuatu
yang tertulis, tapi hakikatnya tidak dapat diterima oleh akal manusia
biasa, karena belum pernah dilihat dan disaksikan. Seperti dikatakan:
“Apakah kamu mengenal ini!?” Dapat diartikan bahwa kamu belum
mengenalnya sampai saya menerangkannya.
Hal ini disampaikan dengan nada pertanyaan untuk mengisyaratkan
bahwa buku catatan di sijjîn itu suatu yang sangat detail dan agung. Ia
sangat abstrak atau gaib hingga sukar untuk dapat dicerna oleh akal
manusia. Manusia tidak akan mengetahuinya, kecuali Allah yang
memberitakannya.
Kata kallâ yang artinya sekali-kali jangan pada awal ayat utama di
atas berisikan tentang penolakan dan kecaman, yang terkait dengan
pesan sebelumnya. Pesannya menjadi bahwa mereka menduga tidak ada
kiamat, maka dugaan itu ditolak dan dikecam. Mereka yang menduga
kiamat tidak ada dapat disebut dengan durhaka. Karena orang durhaka
adalah orang yang menerobos batasan taklif yang ditetapkan, dan
merobek batasan ketaatan.
Kitab marqûm atau kitab yang tertulis. Menurut ulama memiliki
makna yang beragam. Raqam adalah salah satu cara untuk
mendokumentasikan segalanya. Ini bukti bahwa seluruh amal perbuatan
manusia tidak pernah hilang selamanya. Makna yang lain dari raqam
berarti nomor yang menjadi identitas dan tanda pengenal. Hingga saat
dilihat manusia, mereka langsung mengenal dan mengetahui bahwa ini
adalah buku catatan bagi para pendurhaka. Makna ketiga, raqam adalah
tertulis, artinya tidak ada sedikit pun kesalahan dalam penulisan.
Tidak pernah terbayangkan dalam diri manusia bahwa di dalam
buku catatan itu ada penambahan atau pengurangan. Jadi dapat
dipahami bahwa ia adalah buku catatan yang paling sempurna dan
sangat akurat. Para penulisnya telah disebutkan sebelumnya yaitu para
malaikat. Lihat QS Infithar [82] 10-12
Sijin berasal dari kata sijn/penjara. Seakan-akan buku catatan itu
terjaga rapi di dalam penjara yang sangat ketat penjagaannya secara

166
AL-MUTHAFFIFÎN 83 JUZ 30

eksternal. Secara internal buku catatan itu juga marqûm ditandai dengan
tanda, sehingga saat kamu melihatnya, maka secara spontan langsung
dikenal bahwa itu adalah buku orang durhaka. Ini adalah buku yang
berisi perbuatan yang memalukan dan mengerikan, manusia pasti
menghindar darinya. Apapun isinya, tatap saja buku ini bersegel dan
dijaga ketat luar dalam, hingga tidak dapat dibuka atau dirubah oleh
siapa pun atas apa yang telah tertulis di dalamnya.
 ‫ﻤ ﹶﻜﺬﱢﺑﹺ‬ ‫ﺬ ﱢﻟ ﹾﻠ‬ ‫ﺌ‬‫ﻣ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻳ ﹲﻞ‬‫ﻭ‬ kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-
‫ﲔ‬
orang yang mendustakan. Untuk kedua kalinya kata celaka diucapkan.
Namun untuk kali ini, pembicaraan dikhususkan bagi mereka yang
mendustakan agama. Para pendusta itu banyak. Berdusta adalah tidak
sesuai antara apa yang dikatakan dengan apa yang terjadi. Berdusta itu
banyak ragamnya. Puncak pendustaan adalah mengingkari hari kiamat.
Kita masih mungkin untuk mendustai bagian ari kehidupan dunia ini
dan tidak mempercayainya. Tapi, mengingkari hari kiamat itu adalah
masalah yang sulit.
‫ﺛﺛﻴ ﹴﻢ‬‫ ﺃﹶ‬‫ﺪ‬‫ﺘ‬‫ﻣﻌ‬ ‫ﻪ ﺇﹺﺇﻻ ﻛﹸ ﱡﻞ‬ ‫ ﹺﺑ‬‫ﻳ ﹶﻜﺬﱢﺏ‬ ‫ﻣﺎ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬tidak ada yang mendustakan hari
pembalasan itu melainkan setiap orang yang melampaui batas lagi
berdosa. Melampaui batas artinya berani melawan kebenaran. Hari
kiamat itu benar. Orang yang mendustakannya dinilai sebagai orang
yang melampai batas. Karena Allah telah mengatakannya dan
menjadikan bagian dari akidah, sementara dia melawannya. Dia dinilai
berdosa karena tidak beriman kepada hari kiamat. Membangkang
membuat dirinya bertambah hanyut dalam dosa. Hingga akhirnya dosa
melekat dalam dirinya. Âtsim adalah manusia yang terkadang
melakukan dosa. Adapun atsîm adalah pendosa yang menjadikan dosa
profesi hidupnya. Selama dia profesional dalam dosa, maka dosa itu
telah dilakukannya berkali-kali.
Manusia yang mendustakan hari kimat walaupun tanda-tanda yang
menunjukkan atas perihal itu telah banyak, dan peringatan itu benar,
tetap saja saat dia membacanya dia mengingkarinya. Manusia seperti ini
adalah sosok manusia yang tidak mampu menanggung beban taklif. Saat
dia merasa berat memikul taklif, maka dia mengingkarinya. Dengan
berkata: “Hari akhirat itu tidak ada.” Kita katakan kepadanya: “Hari
akhirat itu ada.” Namun dirinya lah yang menolak pengakuan itu.
 ‫ﻟ‬‫ﲑ ﺍ َﻷﻭ‬
‫ﲔ‬  ‫ﺳﺎﻃ‬‫ﻨﺎ ﻗﹶﻗﺎﻝﹶ ﺃﹶﺳ‬‫ﻨ‬‫ﻳﺎﺗ‬‫ ﺁﻳ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻠﹶﻠﻰ ﻋ‬‫ﺘ‬‫ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺗ‬yang apabila dibacakan kepadanya
ayat-ayat Kami, ia berkata: “Itu adalah dongengan orang-orang yang

167
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

dahulu”. Dongeng orang-orang yang dahulu dalam surat ini bagaikan


dongeng yang telah diucapkan orang-orang sebelum mereka. Mereka
berkata, “(Itu hanya) dongeng-dongeng orang-orang terdahulu, yang
diminta agar dituliskan, lalu dibacakanlah dongeng itu kepadanya
setiap pagi dan petang.” (QS al-Furqan [25]: 5)
Dongeng adalah cerita yang berisikan khayalan kosong. Ia fiksi dan
tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Ayat ini dapat dipahami, jika
para nenek moyang dahulu telah menolak para nabi dengan alasan apa
yang dibawa adalah dongeng, maka kami bukanlah manusia baru yang
menolak ajaran para nabi itu. Mereka pun menolak ajaran agama, yang
alasan sebenarnya terletak pada ketidak mampuan diri dalam memikul
beban taklif.***

(QS al-Muthaffifin [83]: 14-17)


zyxwvutsr qponmlkji
 fe  dcb a`_~}|{
g
Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya apa yang selalu mereka
usahakan itu menutupi hati mereka. Sekali-kali tidak,
Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari
(rahmat) Tuhan mereka. Kemudian, Sesungguhnya mereka benar-
benar masuk neraka. Kemudian, dikatakan (kepada mereka):
“Inilah azab yang dahulu selalu kami dustakan”.
Untuk kesekian kalinya Allah menyebutkan kalla/sekali-kali tidak.
Untuk meniadakan alasan mengapa mereka berpegang teguh pada posisi
yang salah: melampaui batas dan hanyut dalam dosa. Ditambah lagi
dengan tuduhan mereka bahwa kitab suci Allah itu adalah dongeng
terdahulu. Inilah alasan mengapa mereka lari dari kebenaran hari
kiamat. Mereka itu adalah kaum musyrik. Pemikiran mereka, kalau
mengimani hari kiamat dan siksanya adalah benar dan pasti, maka
mereka akan menjadi terikat, maka sebaiknya -menurut mereka- mereka
mengingkari hari kiamat. Agar bebas dan tak terikat.
Yang menyebabkan mereka mengambil kesimpulan seperti ini, tidak
ada kiamat, adalah kedurhakan yang mereka lakukan yang
menimbulkan titik hitam di hati.
Titik hitam ini sesuai dengan hadis Nabi kepada Huzaifah: “Fitnah
yang menimpa hati itu bagaikan tikar yang dibuat sehelai demi sehelai.
Bila hati melakukan kejahatan tertitiklah titik hitam di hati itu. Bila hati

168
AL-MUTHAFFIFÎN 83 JUZ 30

mengingkari fitnah itu maka tertitik lah titik putih. Hingga hati manusia
itu menjadi dua: putih bersih bagaikan batu shafa, pada saat itu segala
fitnah tidak membahayaknnya selama langit dan bumi masih ada. Yang
lain menjadi hitam yang tidak mengenal yang makruf dan tidak pula
mencegah yang mungkar, kecuali apa yang meresap pada hawa
nafsunya.” (HR Muslim)
Kita ketahui bersama bahwa tikar itu dibentuk dari sehelai batang
ilalang, Nabi Muhammad ingin menggambarkan fitnah kejahatan itu
datang menimpa hati manusia bagaikan batang ilalang yang dianyam
satu demi satu hingga menjadi tikar besar yang sempurna.
Hati kaum kafir telah ditutup dengan titik hitam. Semua itu akibat
dari apa yang telah mereka yakini dan lakukan. Banyak lupa merupakan
sebab pertama dari banyaknya bintik hitam di dalam hati. Mereka tidak
mampu melawan hawa nafsu, hingga akhirnya mengambil jalan pintas
dengan mengingkari keberadaan hari kiamat.
Kata mahjûb/tertutup yang datang setelah rân/bercak hitam, karena
hati telah tertutup terhadap Allah dengan kemaksiatan. Manusia yang
tidak mau menutup diri dari Allah tidak akan menutup hatinya. Barang
siapa yang menutup hatinya, maka dia akan tertutup untuk melihat
Allah. Hati adalah tempat bersemayam keimanan dan keyakinan. Saat
hati tertutup oleh dosa dan durhaka, maka dia akan menutup pemiliknya
dari melihat Allah.
Melihat Allah di akhirat bagi sebagian orang adalah masalah jiwa.
Artinya kalau tidak melihat Allah, maka ini tidak sempurna pada jiwa
yang damai, walau tidak sampai pada penyiksaan badan. Kita katakan
kepada orang kafir: “Benar, masalah nilai dan jiwa tidak menjadi
masalah yang penting dan prinsipil.” Kalau mereka memiliki rasa
kemuliaan, niscaya “Allah melilhat mereka” ini cukup alasan agar
mereka bertindak benar dan tidak melakukan kecerobohan dalam dosa
dan pengingkaran akhirat.
Jika mereka merasa “melihat Allah” tidak perlu dan bukan bagian
yang penting, hingga terjerumus dalam kekafiran dan dosa, maka
balasan yang setimpal untuk mereka adalah ‫ﻫ ﹶﺬﺬﺍ‬ ‫ﻝ‬‫ﻳ ﹶﻘﻘﺎ ﹸ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺤﻴ ﹺﻢ }{ ﹸﺛ‬
‫ﺤ‬‫ﺼﺎﻟﹸﻟﻮﺍ ﺍﻟﹾﺠ‬
‫ﻟﹶﺼ‬
‫ﺑﺑﻮ ﹶﻥ‬‫ﺗ ﹶﻜ ﱢﺬ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺘﺘﻢ ﹺﺑ‬‫ﺬﺬﻱ ﹸﻛﻛﻨ‬ ‫ ﺍﱠﻟ‬benar-benar masuk neraka. Kemudian, dikatakan
(kepada mereka): “Inilah azab yang dahulu selalu kami dustakan”.
Artinya mereka pasti tersiksa di neraka. Ini adalah siksa fisik materi
yang menyakitkan.
Dalam ayat yang terakhir di atas terlihat bahwa ayat itu berisikan

169
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

tentang penghinaan yang didasarkan pada sebab yang menyebabkan


mereka berada pada tempat yang demikian. Seperti siswa yang gagal
pada ujian akhir. Ayahnya berkata: “Kegagalan itu karena kamu
melalaikan pelajaran, atau karena kamu tidak berdisiplin dalam
pelajaran, atau kamu tidak mendengar penjelasan guru.” Jadi ini adalah
bagian dari penghinaan agar mereka menghadirkan sebab-sebab yang
menyebabkan mereka berada pada posisi itu. Posisi itu ada tiga:
pertama, tertutup dari Allah; kedua, mendekam di neraka; ketiga,
penghinaan.***

KEADAAN ORANG BERBAKTI PADA HARI KIAMAT


(QS al-Muthaffifin [83]: 18-21)
 srqponmlkjih
yxwvut
Sekali-kali tidak, sesungguhnya kitab orang-orang berbakti itu
(tersimpan) dalam `Illiyyin. Tahukah kamu apakah `Illiyyin itu?
(Yaitu) kitab yang bertulis, yang disaksikan oleh malaikat-
malaikat yang didekatkan (kepada Allah).
Pada penggalan ini, Allah menyebutkan kebalikannya. Dia
menyebutkan dengan buku catatan bagi mereka yang berbakti. Kata
illiyyin adalah kata yang mengisyaratkan kemuliaan dan tinggi berada di
bawah arasy Allah, di tempat khusus. Tinggi yang dalam bahasa
manusia memiliki makna yang banyak sesuai dengan konotasi bahasa
itu sendiri. Tetapi saat Allah berbicara maka kata tersebut dipahami
tinggi sesuai dengan Allah yang Mahatinggi. Karena lafaz bahasa
diletakkan sesuai benda atau pemahaman yang dimaksud ada dan
tersedia. Saat sesuatu itu tidak memiliki makna bagi kita, maka tidak
ada lafaz yang perlu untuk diungkapkan. Seakan Allah berkata: “Jangan
pahami kata illiyun dan sijjjin sebagaimana kita memahaminya dengan
bahasa manusia.”
Pada bagian ini ditemukan kata marqûm dan pada penggalan ayat
sebelumnya juga ditemukan kata marqûm. Tapi ini dua hal yang
berbeda. Sebalumnya marqûm terkait dengan catatan kejahatan, dan di
sini catatan akurat tentang kebaikan. Tidak mungkin sesuatu yang jahat
berpindah kepada yang lain. Jadi, walau satu lafaz, tapi maknanya
berbeda. Buku catatan yang buruk tidak pernah pemiliknya bersemangat

170
AL-MUTHAFFIFÎN 83 JUZ 30

untuk membaca isi dari catatan itu, karena semua isinya adalah
kejahatan. Adapun orang baik tidak ingin setiap kebaikan yang pernah
dilakukannya terlewatkan dalam catatan itu. Jadi, marqum dapat
diartikan dengan tidak mungkin terlewatkan satu pun. Pada kebaikan
berbeda maknanya dengan buku catatan keburukan. Bagi kaum kafir
dan durhaka ini adalah catatan kejahatan, bagi orang baik ini adalah
buku catatan kebahagiaan.
‫ﺑﺑﻮ ﹶﻥ‬‫ﺮ‬ ‫ﻤ ﹶﻘ‬ ‫ﻩ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺸ‬‫ ﻳ‬yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekat-
kan (kepada Allah. Kita katakan bahwa kesaksian malaikat yang
didekatkan karena mereka gembira dengan apa yang mereka lihat
berupa perbuatan-perbuatan manusia yang memilih taklif sejak di dunia
hingga di akhirat. malaikat merasa bahagia melihat mukmin bahagia
saat menerima buku catatan dan masuk ke dalam surga. Bagi malaikat,
semua peristiwa di akhirat layak yang menimpa mukmin layak untuk
dipuji. Inilah malaikat yang mendukung setiap kebaikan mukmin dari
dunia hingga surga.
Maha Suci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu), adalah
hamba-hamba yang dimuliakan, Mereka itu tidak mendahului-Nya
dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintahNya. (QS
al-Anbiyâ’ [21]: 26-27) dan penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,
keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-
Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
(QS at-Tahrîm [66]: 6)
Jadi bagi yang melaksanakan taklif, dan melaksanakan ibadah
dengan benar, maka segala perbuatan menjadi mudah dan selaras
dengan dirinya yang cinta kebaikan. Dia akan bahagia saat melihat
seseorang yang sejalan dengannya. Untuk itu seluruh tempat akan
sejalan dengan hamba Allah yang taat. Saat seorang hamba salat di satu
tempat, tempat itu selaras dengannya. Ia telah menggunakan tempat itu
untuk ibadah, bukan untuk maksiat.
Ali berkata: “Jika seorang hamba wafat, menangislah dua tempat:
satu tempat di langit dan satu tempat di bumi. Adapun tempat di bumi
adalah tempat dia salat, dan tempat di langit adalah tempat naik amal
ibadah.”
Nabi bersabda: “Posisi hamba yang paling dekat dengan Tuhannya
adalah saat dia sujud.” (HR Muslim)
Sebaliknya langit dan bumi tidak pernah menangis kepada kaum
Firaun. Lihat QS ad-Dukhân [44]: 28. Ini bukti bahwa langit dan bumi

171
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

dapat menangis atas kepergian mukmin yang taat.


Tangisan adalah bukti tertinggi dari warna perasaan yang hanya
dimiliki oleh manusia. Di sini Allah tidak saja menciptakan bumi dan
langit dapat bertasbih, tapi keduanya juga diciptakan dalam kondisi
memiliki perasaan hingga dapat menangis. Buktinya, keduanya tidak
menangis kepada kaum kafir. Bahkan keduanya senang, karena dapat
istirahat dari kejahatan mereka. Keduanya menagis atas mukmin yang
taat karena keduanya telah kehilangan keselarasan bersamanya dalam
ibadah.
Dapat juga diartikan makna disaksikan oleh malaikat-malaikat
yang didekatkan kepada Allah, bahwa para malaikat menjadi saksi atas
kebaikan mukmin yang taat. Kesaksian yang akan mendekatkannya
kepada Allah pada hari kiamat. Ini merupakan bukti tambahan setelah
sebelumnya terdapat bukti yang otentik.***

(QS al-Muthaffifin [83]: 22-28)


¨§¦¥¤£¢¡~}|{z
µ´³²±°¯®¬«ª©
ÁÀ¿¾½¼»º¹¸¶
Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam
kenikmatan yang besar (surga), mereka (duduk) di atas dipan-
dipan sambil memandang. Kamu dapat mengetahui dari wajah
mereka kesenangan mereka yang penuh kenikmatan. Mereka
diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya), laknya
adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang
berlomba-lomba. dan campuran khamar murni itu adalah dari
tasnim, (yaitu) mata air yang minum daripadanya orang-orang
yang didekatkan kepada Allah.
‫ﻌﻌﻴ ﹴﻢ‬ ‫ﻧ‬ ‫ﻔﻔﻲ‬ ‫ﺭ ﹶﻟ‬ ‫ﺮﺍ‬‫ﺮ‬‫ ﺇﹺﻥﱠ ﺍﻷَﺑ‬sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar
berada dalam kenikmatan yang besar (surga). An-Na’im adalah
kenikmatan yang diberikan kepada manusia. “mereka (duduk) di atas
dipan-dipan (araik) sambil memandang.” Kita katakan arâ`ik artinya
dipan yang memiliki kelambu.
‫ﻌﻌﻴ ﹺﻢ‬ ‫ﻨ‬‫ﺮ ﹶﺓ ﺍﻟ‬ ‫ﻀ‬
 ‫ﻧ‬ ‫ﻢ‬ ‫ ﹺﻬ‬‫ﺟﻮﻫ‬‫ﺟ‬‫ﻓﻓﻲ ﻭ‬ ‫ﻑ‬
 ‫ﺮﹺ‬‫ﻌ‬‫ ﺗ‬kamu dapat mengetahui dari wajah mereka
kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan. Wajah mereka

172
AL-MUTHAFFIFÎN 83 JUZ 30

berseri-seri karena mereka mengetahui bahwa mereka ada dalam


nikmat.
‫ﺘﺘﻮ ﹴﻡ‬‫ﺨ‬
 ‫ﺣﺣﻴ ﹴﻖ ﻣ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻣﻣﻦ‬ ‫ﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﺴ ﹶﻘ‬
 ‫ﻳ‬ mereka diberi minum dari khamar murni yang
dilak (tempatnya). Ar-Rahîq adalah minuman yang dituangkan ke dalam
gelas-gelas kosong, dan kata makhtûm adalah dalil atas penjagaan dan
pemeliharaannya. Ia bukan tutup biasa karena “laknya adalah kesturi.”
Jadi jelaslah pemaparan tentang transaksi yang merugikan bagi
orang-orang yang durhaka dan transaksi yang menguntungkan bagi
orang-orang yang berbakti. Setelah kedua transaksi ini jelas, maka
haruslah timbul perlombaan ‫ﺴﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﺴ‬‫ﻨﺎﻓ‬‫ﻨ‬‫ﺘ‬‫ﻨﺎﻓﹶﺲﹺ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻨ‬‫ﺘ‬‫ ﻓﹶﻠﹾﻴ‬‫ﻚ‬‫ﻓﻲ ﺫﹶﻟ‬‫ﻓ‬‫ ﻭ‬untuk yang
demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba. Al-munafisah artinya
yang mengalahkan sesuatu yang berharga.
Nâfastu fulânan artinya aku telah mengalahkan si Fulan atas sesuatu
yang berharga. Saya ingin mengalahkannya dan ia ingin mengalahkan
saya, maka setiap orang dari kita berusaha untuk meraih sesuatu yang
berharga tersebut. Atau ia adalah bentuk dari usaha diri dan usaha ini
memiliki tujuan. Tujuannya seperti mendapatkan sifat yang lebih baik,
untuk menyerupai mereka tanpa menimbulkan bahaya bagi orang lain.
Maka perlombaan yang saya lalui untuk meraih sesuatu yang hanya
dimiliki oleh orang-orang yang mulia tanpa menimbulkan bahaya bagi
orang lain. Dengan demikian munâfasah berbeda dengan dengki.
Contoh dengki; seseorang merasa marah dan emosi saat melihat orang
lain ada dalam kebaikan dan kebernuntungan. Lebih dari itu dia untuk
melenyapkan kebaikan dan keberuntungan yang ada pada pihak lain.
Namun, jika orang tersebut, bekerja keras dan tawakkal agar dapat
menjadi orang berhasil dan beruntung, seperti temannya yang sukses.
Ini namanya munafasah, berlomba dalam kebaikan.
Sama halnya seperti orang fakir yang melihat orang kaya. Jika
berharap agar dia dapat menjadi sepertinya, ini kebaikan. Tapi jika
berharap agar apa yang ada padanya hilang. Atau berharap agar apa
yang ada padanya lenyap dan beralih kepada orang fakir tersebut, ini
namanya iri dan dengki.
Keberadaanmu yang mengharapkan sesuatu tanpa bekerja untuk
sampai pada sesuatu adalah perbuatan orang-orang bodoh yang tidak
memiliki cita-cita. Bukan ini yang dimaksud dengan munafasah
(kompetisi). Kenapa? Karena kompetisi yang datang dalam Alquran
adalah kompetisi dalam sesuatu yang setiap peserta mungkin untuk
mendapatkan keuntungan tanpa kekurangan.

173
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Dalam kehidupan dunia yang terbatas dalam semangat perlombaan,


yang menang selalu sedikit. Akan ditemukan manusia banyak yang
kalah dan gagal dalam perlombaan. Artinya kebaikan duniawi yang
ingin diraih dan dikejar itu sangat terbatas. Bila satu orang jadi
pemenang pertama, maka yang lain tidak mungkin menjadi pemenang
pertama juga. Jika yang satu menang, maka yang kedua kalah, gagal dan
tidak mendapat keuntungan. Akan tetapi kompetisi yang dimaksud di
surga berbeda dengan di dunia. Kompetisi jika diniatkan untuk
mendapatkan surga, maka semua pesertanya adalah para pemenang dan
para juara. Jika niatnya karena Allah, semua pasti masuk ke dalam
surga. Bagianmu tidak mengurangi bagianku dan bagianku tidak
mengurangi bagianmu. Jadi itulah bentuk kompetisi yang paling mulia.
Dalam hal itulah hendaknya orang-orang berkompetisi. Yaitu
mukmin harus berambisi bagi meraih surga yang bernilai tinggi.
Mukmin tidak berkompetisi dalam hal-hal duniawi yang fana dan
sementara. Dunia yang akan meninggalkanmu atau kamu meninggalkan
dunia. Di surga, mukmin tidak meninggalkan surga, dan surga tidak
meninggalkan mukmin. Tampaknya inilah kompetisi yang pada
dasarnya “untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-
lomba.” (QS 83: 26)
Setelah itu Allah kembali kepada pembicaraan tentang minuman
dari khamar murni yang dilak (tempatnya) dan laknya adalah kesturi,
maka Ia berfirman: ‫ﹺﻨﻨﻴ ﹴﻢ‬‫ﺴ‬‫ﻣﻦ ﺗ‬‫ ﻣ‬‫ﺟﻪ‬
 ‫ﺰﺍ‬‫ﺰ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬campuran khamar murni itu adalah
dari tasnim. Campuran khamar murni ini juga disebutkan Alquran
karena telah menjadi tradisi bagi bangsa Arab. Orang-orang yang
mengonsumsi minuman terbagi dua. Pertama, minum untuk
menghilangkan kesadaran. Kedua, tidak ingin sampai hilang kesadaran.
Jenis yang kedua meminum minuman yang tidak murni dan
mencampurnya dengan sesuatu. Terkadang seseorang datang dan
meminta minuman murni namun pada kali lain ia mencampurnya
dengan sesuatu. Jadi tergantung pada kondisi jiwa, jika padanya masih
terdapat cita-cita, ia akan berkata: “Hari ini saya membangun hidup saya
dengan optimis, maka berilah minuman yang tidak memabukkan, atau
tuak dicampur air putih.” Sedangkan pada hari yang lain, di saat lagi
tidak memiliki semangat ia mengambil minuman yang memabukkan,
atau tuak murni.
Sisi uniknya, ketika Alquran menggambarkan peristiwa jamuan
minum di surga datang dalam bentuk “Campuran khamar murni itu

174
AL-MUTHAFFIFÎN 83 JUZ 30

adalah dari tasnim” (83:27) Tasnim adalah minuman terbaik di surga.


Artinya, jika minum khamar murni, maka penghuni surga tidak akan
mabuk. Jika khamar dicampur dengan tasnim, juga kelezatannya tidak
berkurang. Kedua bentuk minuman ini merupakan ganjaran baik, karena
tidak meminum khamar di dunia. Khamar di akhirat itu adalah
kenikmatan. Namanya sama, tapi seluruh esensi nikmat di akhiar
berbeda 100%.
Setelah itu Allah ingin menerangkan tentang tasnim: ‫ﻬﺎ‬‫ ﺑﹺﻬ‬‫ﺏ‬‫ﺮ‬‫ﺸ‬‫ﻨﺎ ﻳ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﻋ‬
‫ﺑﺑﻮ ﹶﻥ‬‫ﺮ‬ ‫ﻤ ﹶﻘ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬
(yaitu) mata air yang minum daripadanya orang-orang yang
didekatkan kepada Allah. Kata tasnim sebelumnya membuat kita
berkata: biasanya kata memancar dan mata air selalu identik dengan air
yang berasal dari bawah, sedangkan di sini datang dari atas. Mata air itu
sendiri tidak mengetahui bentuknya bagaimana ia datang? Karena yang
penting adalah bahwa surat ini menggambarkan hal-hal yang tidak
pernah kita saksikan bahkan kita bayangkan.
Selama kita memiliki kaidah: “Seorang pun tidak mengetahui apa
yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat)
yang menyedapkan pandangan mata”, maka ketika datang gambaran
akal tentangnya, kamu akan berkata: maka gambaran akal tersebut
merupakan dalil yang membedakannya. Gambaran akal tentang kaifiyat
dan bentuknya adalah dalil pembedaan. Atau bahwa maksud Allah
dengan firman-Nya: “(yaitu) mata air yang minum daripadanya orang-
orang yang didekatkan kepada Allah” adalah bahwa yang penting
bukanlah perbuatan minum itu sendiri karena kita tidak akan pernah
merasa haus setelah minum di akhirat, akan tetapi yang penting adalah
dapat merasakan kenikmatan.
Allah menyebutkan kata biha untuk memberikan pemahaman
taladdzuz kepada kita “(yaitu) mata air yang minum daripadanya orang
-orang yang didekatkan kepada Allah.” Setelah ia memberikan
gambaran ini dan gambaran kebalikannya, maka jelas bagi kita bahwa
arti yang sebenarnya adalah abstrak, karena ia tidak berhubungan
dengan makanan dan minuman dalam arti hakiki.***

175
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

EJEKAN TERHADAP MUKMIN DI DUNIA DAN


BALASANNYA DI AKHIRAT
(QS al-Muthaffifin []: 29-36)
 ÊÉÈÇÆÅÄÃÂ
ÖÕÔÓÒÑÐÏÎÍÌË
âáàßÞÝÜÛÚÙØ×
 DCBAéèçæåäã
KJIHGFE
Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang
menertawakan orang-orang yang beriman. Apabila orang-orang
yang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-
ngedipkan matanya. Apabila orang-orang yang berdosa itu
kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira.
Apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka
mengatakan: “Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-
orang yang sesat”, Padahal orang-orang yang berdosa itu tidak
dikirim untuk penjaga bagi orang-orang mukmin. Maka pada hari
ini, orang-orang yang beriman menertawakan kaum kafir, mereka
(duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Sesungguhnya
kaum kafir telah diberi ganjaran terhadap apa yang dahulu
mereka kerjakan.
Jika pada penggalan sebelumnya terkait dengan kecurangan
timbangan dan takaran atau segala sesuatu yang berbentuk fisik dan
materi, maka pada penggalan surat ini, Allah menyajikan tentang
masalah inmateri atau buka fisik. Tepatnya, kejahatan mulut yang
mencaci dan mencemoohkan. Kejahatan ini sangat menyakitkan hati
dan jiwa.
Kaum kafir menghina dan mencaci, karena merasa mereka adalah
orang yang kaya, pejabat, pemimpin dan penguasa serta majikan.
Biasanya orang seperti ini mudah mencemoohkan orang-orang yang
berada di bawahnya. Oleh sebab itu Allah ingin memberikan gambaran
ketika kaum kafir menertawakan mukminin, di akhirat akan berbalik;
mukmin akan menertawakan kafir.
Gambaran ini sudah cukup menghibur mukminin, karena Pemberi

176
AL-MUTHAFFIFÎN 83 JUZ 30

balasan telah berjanji dan telah menyebutkan: “Biarkan mereka berbuat


di dunia, kelak di akhirat akan mendapatkan balasan setimpal!”
Dalam QS 83: 29 di atas kata ajramû/pendosa dihadapkan dengan
kata amanû/beriman agar mukmin mengetahui bahwa kekafiran adalah
puncak dosa, atau pengkhianatan terbesar dalam sejarah umat manusia.
‫ﺤ ﹸﻜﻜﻮ ﹶﻥ‬
‫ﻀ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻨﻨﻮﺍ‬‫ﻣ‬ ‫ﻦ ﺁ‬ ‫ﺬﺬﻳ‬ ‫ﻦ ﺍﱠﻟ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻧﻧﻮ ﹾﺍ‬‫ﻣﻣﻮﺍ ﹶﻛﻛﺎ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﺬﺬﻳ‬ ‫ ﹺﺇ ﱠﻥ ﺍﱠﻟ‬sesungguhnya orang-orang
yang berdosa, adalah mereka yang dahulunya (di dunia) menertawakan
orang-orang yang beriman. Ayat ini mengandung dua makna: pertama,
kata kanû ini menunjukkan bahwa ejekan dan cemoohan pendosa di
dunia telah berakhir waktunya di akhirat. Kedua, kata kanû
menunjukkan masa lampau bagi suatu perbuatan yang tidak akan selalu
berkelanjutan. Jadi, makna ini adalah berita gembira bagi mukmin
karena cemoohan dan ejekan itu pasti berakhir. Lebih dari itu, kaum
kafir akan masuk ke dalam Islam berbondong-bondong.
Kedua, menyebutkan kata sedang menertawakan dalam bentuk
present tanse atau fi‘l mudhari’. Tujuannaya, Allah ingin menjelaskan
keburukan menertawakan orang itu dalam keadaan ketika ia terjadi. Jika
Allah berkata “telah menertawakan”, mungkin saja gambarannya akan
membingungkan. Kenapa tersiksa, sedangkan mereka telah bertaubat,
walaupun dahulu pernah menertawakan. Untuk redaksi selaras
digunakan kata “sedang”, sehingga artinya: mereka disiksa karena
mereka gemar dan terus menerus menertawakan orang.
Ayat yang senada dengan ayat ini, difirmankan pada ayat yang lain:
“Apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kepada Alquran yang
diturunkan Allah”, mereka berkata: “Kami hanya beriman kepada apa
yang diturunkan kepada kami.” Mereka kafir kepada Alquran yang
diturunkan sesudahnya, sedang Alquran itu adalah (Kitab) yang hak;
yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah: “Mengapa
kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah.”
Kaum yang diseru oleh Alquran belum melakukan pembunuhan
terhadap para nabi. Sebenarnya redaksi yang benar, “mengapa kamu
sekarang membunuh” atau “mengapa nenek moyangmu dahulu
membunuh”. Akan tetapi Allah berkata: “Mengapa kamu dahulu
membunuh” untuk menghadirkan gambaran buruk yang terjadi pada saat
mereka melemparkan tuduhan kepada para nabi dan lalu membunuhnya.
Jadi uslub Alquran di sini menggunakan kanû dan yadhhakûn untuk
memberikan dua pengertian kepada kita.
Kata tawa adalah pengaruh dari adanya perbedaan, pengaruh ini

177
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

tidak dibuat-buat karena jika kamu bertanya kepada orang-orang apa inti
dari tawa, tidak seorang pun yang dapat mengutarakannya. Anggota
tubuh mana yang membuat manusia tertawa? Tidak seorang pun yang
mengetahuinya. Jadi kita tidak tahu apa itu tawa? Juga apa unsur-unsur
pembentuknya? Tidak juga tahu anggota tubuh mana yang terpengaruh
olehnya? Tidak juga diketahui keadaan jiwa yang membuatmu tertawa?
Oleh sebab itu Allah Swt berkata; ini adalah keistimewaan-Ku
“bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis.”
Para cendikiawan selamanya tidak mungkin mengetahui anggota tubuh
mana yang membuat manusia dapat tertawa. Tawa dan tangis
merupakan ciri khusus manusia “dan bahwasanya Dialah yang
menjadikan orang tertawa dan menangis,” sebagaimana kematian dan
kehidupan, kekayaan dan kesejahteraan. dan bahwasanya Dia yang
memberikan kekayaan dan memberikan kecukupan.
Allah menyebutkan hal ini sebagai domain dan keistimewaan-Nya
untuk dijadikan dalil dan alasan bahwa ada banyak hal seperti ini yang
tidak mungkin bagi akal manusia untuk mengetahui hakikatnya.
Kata menertawakan pada ayat di atas adalah cemoohan terhadap
mukminin yang sudah menjadi tabiat dan kebiasaan. Kalau melakukan
kesalahan dan kejahatan tidak disengaja, maka hal itu dimaklumi.
Namun bila hal itu dilakukan secara sengaja, maka ini adalah dosa yang
hanya dapat diampuni dengan bertaubat.
‫ﺰﻭ ﹶﻥ‬‫ﺰ‬‫ﻐﺎﻣ‬‫ﻐ‬‫ﺘ‬‫ ﻳ‬‫ﺮﻭﺍﹾ ﺑﹺﻬﹺﻢ‬‫ﺮ‬‫ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﻣ‬‫ ﻭ‬apabila orang-orang yang beriman lalu di
hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. (83: 30)
Tawa mereka begitu lepas dan penuh rasa puas, di sisi lain mereka
mengejek dengan mengerdip-ngerdipkan mata. Tujuannya, agar orang
yang bersamanya tertawa, sedang orang yang diejek tidak mengetahui
dan tidak terasa sedang diejek.
Jadi seakan-akan gambaran tawa adalah ketika mereka duduk dalam
sebuah majelis khusus lalu kaum mukminin melintas di hadapan
mereka, mereka lalu mengerdip-ngerdipkan mata. Di sini para mufassir
berkata dhamir wa idzâ marru bihim kembali kepada fi’il pertama
“Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang
dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman.” (83:
29)
Artinya, Allah berkata bahwa orang yang menertawakan adalah
mereka yang berbuat dosa dan yang ditertawakan adalah mereka yang
beriman. Lalu siapa yang berlalu dalam ayat Waidza marru bihim?

178
AL-MUTHAFFIFÎN 83 JUZ 30

Sesuai dengan alur uslub tampaknya yang berlalu adalah orang-orang


yang berbuat dosa. Akan tetapi yang benar adalah bahwa yang melintas
adalah orang-orang mukmin meskipun alur uslub menunjukkan bahwa
yang tertawa adalah orang-orang yang berlalu atau melintas.
 ‫ﻬﹺ‬‫ﺒﻮﺍﹾ ﻓﹶﻜ‬‫ ﺍﻧﻘﹶﻠﹶﺒ‬‫ﻬﹺﻢ‬‫ﻠ‬‫ﺒﻮﺍﹾ ﺇﹺﻟﹶﻟﻰ ﺃﹶﻫ‬‫ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺍﻧﻘﹶﻠﹶﺒ‬‫ ﻭ‬apabila orang-orang berdosa itu
‫ﲔ‬
kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira.” (83:31)
Karena redaksi awal telah dimulai dengan kata orang ketiga, maka
redaksi di sini juga kembali kepada kata orang ketiga. Ayat QS 83:31
merupakan bukti dan alasan -sebagaimana yang disebutkan di awal
berkenaan dengan proses tawa- bahwa gembira adalah insting manusia.
Terkadang jiwa manusia sedikit tenang ketika melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan adab kesopanan, akan tetapi setelah ia benar-benar
melakukannya, ia akan menyesal dan berkata: “Seandainya aku tidak
melakukannya tentu hal ini tidak akan terjadi.”
Gambaran ayat di atas dapat diilustrasikan sebagai berikut: kaum
kafir kembali kepada keluarga mereka, dan mereka berkata: “Pada hari
ini kami telah bertemu dengan mukminin, kami mengejek mereka dan
menertawakan serta mencemoohkan mereka.” Sebenarnya mereka
sedang menjatuhkan harkat dan martabat mereka sebagai manusia
seutuhnya. Sebenarnya dari jiwa yang paling dalam, mereka merasa
menyesal mengejek orang, akan tetapi kematian hati nurani membuat
mereka pulang kepada keluarga mereka, dalam keadaan gembira.
“Apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka
kembali dengan gembira.” Dalam qiraat lain dibaca dengan fâkihîn yang
berarti mendapat kepuasan diri dan bahagia karena telah menertawakan
dan mengejek mukminin.
Ketika Allah Swt memaparkan gambaran kaum kafir dengan
menertawai mukmin atau mengejek dengan kerdipan mata ketika
melintas serta menemui keluarga dalam keadaan senang atas apa yang
telah mereka lakukan terhadap mukminin, Dia kemudian berkata kepada
mukminin sebagai hiburan bagi mereka: “Semua yang mereka lakukan
Aku lihat dan Aku dengar.”
Ketika mukminin mendengar itu dan mengetahui bahwa Allah
melihat segala sesuatu dan menghitungnya atas mereka. Di sisi lain,
Allah adalah Tuhan Penguasa segala sesuatu, di dunia dan di akhirat. Di
dunia, Dia mampu dan kuasa untuk menundukkan orang-orang yang
berbuat demikian. Di akhirat, Dia akan memberikan balasan kepada
siapapun setimpal dengan apa yang telah mereka lakukan. Mereka yang

179
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

memperolok-olok, menertawakan dan mengejek akan dibalas Allah di


dunia dan di akhirat.
Ejekan, cemoohan dan tawa mereka tidak akan berlangsung
selamanya, dan keadaan di dunia ini dapat saja berbalik dengan cepat.
Bahkan siapa pun yang menertawakan, mencemoohkan dan mengejek
orang lain, maka semua akan direkam dan tak pernah dilupakan. Lebih
dari itu apa yang dikerjakan akan kembali menimpa diri sendiri. Apa
yang ditanam akan dituai. Allah berkata: “Sesungguhnya kaum kafir
telah diberi ganjaran terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS
83:36) Tastwib artinya kembali. Segala yang telah dikerjakan akan
kembali manfaat dan mudaratnya bagi diri sendiri.
‫ﻀﺎﱡﻟﻟﻮ ﹶﻥ‬
‫ﺆﺆﻻﺀ ﻟﹶﻀ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻢ ﹶﻗﻗﺎﹸﻟﻟﻮﺍ ﹺﺇ ﱠﻥ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺭﹶﺃ‬ ‫ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ‬‫ ﻭ‬apabila mereka melihat orang-orang
mukmin, mereka mengatakan: “Sesungguhnya mereka itu benar-benar
orang-orang yang sesat.” (QS 83:32) Dhâlûn atau orang yang sesat itu
adalah orang yang keluar dari peraturan yang berlaku. Mukmin adalah
orang-orang sesat jika dinisbatkan kepada keadaan kaum kafir. Mukmin
menjadi sesat jika dilihat dari standar hukum mereka. Bukan dalam
hakikat petunjuk dan kesesatan.
 ‫ﻈ‬‫ﺣﺎﻓ‬‫ ﺣ‬‫ﻬﹺﻢ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻠﹸﻠﻮﺍ ﻋ‬‫ﺳ‬‫ﻣﺎ ﺃﹸﺭ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬padahal mereka itu tidak dikirim untuk penjaga.
‫ﲔ‬
(QS 83:33) Ayat ini mengandung dua makna: pertama, para pendosa
tidak dikirim untuk menjaga mukmin. Kedua, mukmin tidak dikirim
untuk penjaga kaum kafir. Kedua makna ini benar. Makna pertama
mengisyaratkan agar kafir tak usah memantau gerak gerik mukmin,
karena itu bukan tugas mereka. Kedua, mukmin tidak usah memantau
gerak gerik mereka karena mereka tidak beriman kepada Allah, dan
menilai dakwah Islam ini adalah kesesatan.
‫ﺤ ﹸﻜﻜﻮ ﹶﻥ‬‫ﻀ‬  ‫ﻳ‬ ‫ﻦ ﺍﹾﻟﻜﹸﻔﱠﻔﺎ ﹺﺭ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻨﻨﻮﹾﺍ‬‫ﻣ‬ ‫ﻦ ﺁ‬ ‫ﺬﺬﻳ‬ ‫ﻡ ﺍﱠﻟ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻴ‬‫ ﻓﹶﻓﺎﻟﹾ‬pada hari ini, orang-orang yang
beriman menertawakan kaum kafir. (QS 83:34) Kata pada hari ini
maksudnya adalah pada hari kiamat. Di mana seluruh manusia berdiri di
hadapan Tuhan seru sekalian alam. Hari itu adalah hari yang sangat
besar. Pada hari kiamat kelak, mukmin pasti akan menertawakan orang-
orang yang sebelumnya menertawakan mereka.
‫ﺮﻭ ﹶﻥ‬‫ﻳﻨﻈﹸﺮ‬‫ ﻳ‬‫ﻚ‬‫ﺭﺍﺋ‬‫ﻠﹶﻠﻰ ﺍﻟﹾﺄﹶﺭ‬‫ ﻋ‬mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil
memandang, (QS 83:35) jalan yang hina atau neraka sebagai tempat
siksaan bagi kafir. Pada satu sketsa, dibukakan pintu surga kepada kaum
kafir, lalu dikatakan kepada mereka: “Mari, mari, mari.” Namun saat
mereka mendekat, tiba-tiba datang seseorang menutup pintu tersebut.

180
AL-MUTHAFFIFÎN 83 JUZ 30

Keadaan ini membuat mukminin mengingatkan apa yang telah


dilakukan oleh orang-orang tersebut terhadap mereka.
Penggalan surat ini ditutup dengan: ‫ﻌ ﹸﻠﻠﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻳ ﹾﻔ‬ ‫ﻧﻧﻮﺍ‬‫ﻣﻣﺎ ﹶﻛﻛﺎ‬ ‫ﺭ‬ ‫ ﺍﹾﻟﻜﹸﻔﱠﻔﺎ‬‫ﺏ‬‫ﻞﹾ ﺛﹸﻮ‬‫ﻫ‬
sesungguhnya kaum kafir telah diberi ganjaran terhadap apa yang
dahulu mereka kerjakan. (QS 83:36) Berita ini seakan-akan terlihat
begitu jelasnya. Ini karena yang berfirman adalah Allah, Tuhan yang
mukmin yakini. Maka pembalasan adalah sesuatu yang harus diyakini
pula.
Dari semua yang telah kita paparkan dapat diperhatikan bahwa
Allah Swt ketika berbicara tentang kaum kafir, Ia berbicara dengan
menggunakan kata neraka dan berbicara tentang orang-orang mukmin
dengan kata surga. Dalam surat-surat makkiyah Ia berbicara bahwa Ia
akan memberi ganjaran pada hari pembalasan.
Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke
belakang. (QS al-Qamar [54]: 45) Allah telah berjanji kepada orang-
orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang
saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa
di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum
mereka berkuasa. (QS an-Nûr [24]: 55)
Dapat diperhatikan bahwa Alquran tidak berbicara kecuali tentang
akhirat dan nikmatnya. Hal ini karena Allah tidak ingin seorang mukmin
menerima ajaran Allah agar Dia menolong mukmin di dunia ini. Allah
ingin dengan janji surga itu agar mukmin berorintasi akhirat, dan
mengesampingkan dunia ini sebagai tujuan.
Oleh sebab itu dalam bai’at aqabah kaum Anshar berkata kepada
Nabi Muhammad: “Apa yang kami dapatkan jika kami mengerjakan
seperti yang kamu katakan?”
Nabi berkata: “Kalian akan mendapatkan surga.”
Nabi tidak mengatakan bahwa kalian akan mendapat kemenangan
dan pertolongan di dunia. Karena saat itu Nabi masih berada pada tahap
pendidikan prinsip bagi para relawan. Nabi tidak ingin jika dunia masuk
ke dalam perhitungan mereka selamanya, meskipun pada akhirnya Allah
pasti memenangkan mereka di dunia.
Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak yang
dapat kamu ambil, maka disegerakan-Nya harta rampasan ini untukmu
dan Dia menahan tangan manusia dari (membinasakan) mu (agar kamu
mensyukuri-Nya) dan agar hal itu menjadi bukti bagi orang-orang
mukmin dan agar Dia menunjuki kamu kepada jalan yang lurus. Dan

181
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

(telah menjanjikan pula kemenangan-kemenangan) yang lain (atas


negeri-negeri) yang kamu belum dapat menguasainya yang sungguh
Allah telah menentukan-Nya. Adalah Allah Mahakuasa atas segala
sesuatu. (QS al-Fath [48]: 20-21)
Benar Allah menyinggung kemenangan dunia ini, akan tetapi bukan
berarti inilah tujuan dan balasan yang sesungguhnya. Hal ini diucapkan
bertujuan agar cerita tentang dunia tidak masuk ke dalam mindset
mukminin dan tidak juga dalam perhitungannya.
Lalu mengapa pada beberapa ayat yang turun di Madinah pengertian
tentang kemenangan dunia dikaji dan dibahas? Karena akidah telah kuat
dan berlebih-lebihan dalam mencintai akhirat sehingga melupakan dunia
sama sekali. Sebagian sahabat menduga, bahwa Islam adalah anti dunia,
dan anti harta benda. Untuk itu pemikiran yang salah ini perlu
diluruskan dan ditempatkan pada posisi yang benar.
Sejak periode Madinah hingga saat ini, meraih kemenangan dunia
itu perlu agar mukminin dapat mengemban ajaran Allah ke seluruh
penjuru bumi, dan agar mereka dapat menjadi sebaik-baik umat yang
diutus kepada manusia.
Dengan demikian, mukmin perlu dididik bahwa akhirat adalah
tujuan dan dunia adalah sarana yang baik untuk meraih tujuan itu.
Ketika hal ini masuk ke dalam mindset dan pikiran mukmin, maka dia
akan kuat dan tidak terhina. Manusia menjadi lemah dan terhina, jika
dia membenci pada kematian dan hanya mencintai dunia. Oleh sebab itu
dikatakan apa itu wahn wahai Rasulullah? Wahn adalah mencintai dunia
dan membenci kematian.
Dengan pemaparan ini Allah Swt ingin menegaskan tujuan hidup
mukmin adalah akhirat; dan dunia adalah sarana yang baik untuk meraih
tujuan itu. Dengan demikian permintaan Allah agar mukmin menjadi
pemimpin yang kuat, tinggi dan mulia, dapat tercapai. Kemangan-
kemangan dan pertolongan-pertolongan Allah bukan merupakan balasan
dan ganjaran, karena dunia sudah didesain untuk meraih kemenangan
bagi mukmin. Kemenangan bertujuan agar mukmin menjadikan setiap
jengkal bumi Allah ini sebagai lahan dakwah yang subur. Umat Islam
adalah para pemimpin. Mereka adalah sebaik-baik umat yang diutus
kepada manusia. Dakwah bukan untuk mencapai tujuan dunia yang
bersifat pribadi. Apakah kaum kafir akan mendapat balasan atas apa
yang telah mereka lakukan.***

182
AL-INSYIQÂQ 84 JUZ 30

SURAT 84
AL-INSYIQÂQ
(MAKKIYAH)

183
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

184
AL-INSYIQÂQ 84 JUZ 30

Surat al-Insyqâq ini dimulai dari penggalan sketsa tentang


terbaliknya alam raya ini, yang telah dipaparkan secara rinci pada surat
at-Takwir dan surat al-Infithar, bahkan sebelumnya pada surat an-
Naba’. Tapi pada surat al-Insyqaq ini memiliki ciri khas tersendiri. Ciri
kepatuhan langit dan bumi kepada Allah. Kepatuhan yang penuh dengan
rasa tunduk dan hormat.
Kepatuhan langit dan bumi ini adalah pembuka jalan untuk merubah
mindset manusia agar patuh juga kepada Allah, sebagaimana langit dan
bumi. Agar manusia mau menempatkan rasa patuh kepada Allah di
dalam sanubarinya. Tetap mengingat Allah dalam suka dan duka.
Karena semuanya akan kembali kepada Allah.
Ketika sanubari manusia diisi dengan kepatuhan dan ketundukan
kepada Allah, sebagaimana langit dan bumi, maka konsekuensinya
adalah dia akan diberikan kitabnya dari sebelah kanannya. Perhitungan
akhirat menjadi mudah baginya.
Penggalan sketsa ketiga adalah gambaran alam saat ini yang
sebagian besar darinya, tidak tunduk pada kehendak manusia. Ditutup
surat ini dengan sketsa penggalan keempat. Pada penggalan ini
berisikan tentang keanehan yang dilakukan manusia yang tetap tidak
mau beriman. Serta akhir dari perjalanan kehidupan orang kafir di
nereka. Tetap saja masih ada kesempatan bagi mereka yang ingin
bertaubat dengan cara beriman dan beramal saleh.
Inilah surat yang memberikan hidayah bagi pembacanya. Nuansa
hidayah ini lebih terasa walau digambar dalam bentuk kehancuran alam
raya. Ringkasnya: dimulai dari kepatuhan langit bumi, ajakan kepada
sanubari manusia untuk patuh, menuju sketsa tentang hari perhitungan,
dan ditutup dengan gambaran dunia saat ini, yang tidak ada intervensi
manusia di dalamnya. Namun bagaimana ini semua tidak juga membuat
hati manusia beriman kepada Allah. Tapi itu tidak menjadi masalah bagi
Allah. Tetap saja, bagi yang kafir siksa yang pedih sebagai ancaman. Di
samping, pahala yang tidak ada putusnya bagi mereka yang beriman.
Semua yang dikisahkan itu dituang tidak lebih dari beberapa baris
saja di dalam Alquran. Ini bukti bahwa Alquran kitab suci yang maha
agung. Lebih dari itu, ia mudah dipahami, dan berbicara kepada hati
manusia dari Allah Tuhan yang Maha Mengetahui dan Maha
Berpengalaman.***

185
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

MUKMIN MENERIMA CATATAN DI SEBELAH KANAN


DAN AKAN MENERIMA PEMERIKSAAN YANG MUDAH
(QS al-Insyiqâq [84]: 1-6)
 WVUTSRQPONML
 `_^]\[ZYX
ihgfedcba
Apabila langit terbelah, dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah
semestinya langit itu patuh, dan apabila bumi diratakan, dan
memuntahkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong,
dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya bumi itu
patuh, (pada waktu itu manusia akan mengetahui akibat
perbuatannya). Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja
dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu
akan menemui-Nya.
Pada ayat ini kita menemukan kata syarat “apabila” di awal ayat.
“Apabila langit terbelah, dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah
semestinya langit itu patuh, dan apabila bumi diratakan, dan
memuntahkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong, dan
patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya bumi itu patuh, (pada
waktu itu manusia akan mengetahui akibat perbuatannya). Hai
manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh”.
Tapi, di sini tidak ada jawab/pesan dari kata “apabila”, seperti pesan
yang terdapat pada surat: “Apabila matahari digulung, dan apabila
bintang-bintang berjatuhan ... dst.” Kalimat: “maka tiap-tiap jiwa akan
mengetahui apa yang telah dikerjakannya” adalah isi pesan dari
“apabila”.
Begitu juga dalam surat al-Infithâr “Apabila langit terbelah, dan
apabila bintang-bintang jatuh berserakan, dan apabila lautan dijadikan
meluap, dan apabila kuburan-kuburan dibongkar”. Apa yang terjadi
“maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan
yang dilalaikannya”, adalah jawaban pesan dari apabila.
Di dalam QS 84: 1-6 tidak terdapat jawab/pesan bagi syarth/apabila
dan itu artinya bahwa ketika datang lebih dahulu surat-surat yang
mengandung jawab syarth, maka di sini jawab syarth dihapus karena
telah disebut pada lawannya. Hal ini disebutkan secara zhahir dalam
Alquran sehingga manusia dapat meneliti nash-nashnya dengan

186
AL-INSYIQÂQ 84 JUZ 30

seksama. Kita perhatikan misalnya “Manusia itu adalah umat yang satu.
(Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi...” sete-
lah itu Ia berfirman: untuk memberi keputusan di antara manusia
tentang perkara yang mereka perselisihkan.
Kemungkinan kamu akan berkata: “Selama mereka adalah umat
yang satu, maka bagaimana mungkin pada mereka terdapat
perselisihan”. Lalu mengapa para nabi akan datang untuk memutuskan
perkara yang mereka perselisihkan sedangkan kamu berkata bahwa
mereka adalah umat yang satu. Bukankah artinya akan menjadi seperti
ini? Kita katakan: ini adalah bukti bahwa kamu tidak membaca Alquran
secara keseluruhan. Janganlah kamu menghukumi sebuah nash kecuali
setelah mencari nash yang senada dengannya di dalam Alquran.
Terkadang sebuah nash bisa saja terhapus, karena sudah ada gantinya
pada nash yang lain.
“Manusia itu adalah umat yang satu, maka Allah mengutus para
nabi.” Dilanjutkan dengan “Allah mengutus para nabi,” tapi kalimat ini
tidak digabungkan pada kalimat sebelumnya. Ia digabungkan kepada
sesuatu yang telah terhapus dan tertutup, yaitu: setelah timbul
perselisihan. Kalimat “untuk memberi keputusan di antara manusia
tentang perkara yang mereka perselisihkan” menunjukkan “manusia itu
adalah umat yang satu,” lalu mereka berselisih. Oleh sebab itu Allah
mengutus nabi kepada mereka untuk memutuskan perkara mereka. Jadi
penghapusan suatu lafadz adalah boleh dan ini terjadi di sini.
Ketika Allah memberikan bentuk-bentuk terdahulu dari jawab
syarth sejenis dengan idzâ, idzâ kadzâ, wa idzâ kadzâ karena ini semua
dari keterbalikan yang terjadi pada hari kiamat. Jadi semua guncangan,
dan penghancuran di alam, gempa yang diciptakan Allah sebagai contoh
dan ilustrasi atas apa yang akan terjadi. Ketika Allah memberikan
contoh kepada kita dan membuat kita seakan-akan mengalaminya, maka
Dia membiarkan diri kita untuk datang dengan jawab atau pesan. Allah
senganja menyamarkan pesan itu agar jiwa kita leluasa menjelajahi
seluruh ide. Karena pembatasan ide dengan kenyataan yang baku hanya
membuat ide itu berada dalam satu bentuk. Sedangkan kesamaran
membuat setiap orang dapat berimajinasi untuk mengambil ilustrasi dan
gambaran yang sesuai dengan pola pikirnya.
Jadi pesan sumpah dari “apabila langit terbelah” hingga akhirnya
“dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya bumi itu patuh, ”
yang pertama adalah pada waktu itu manusia akan mengetahui akibat
perbuatannya. Pesan sumpah ini ditutup agar ia menjadi sesuatu yang

187
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

besar, karena penuh misteri.


Apapun ceritanya, pemikiran bahwa setiap individu manusia
bertanggung jawab atas perbuatannya adalah sistem alam yang telah ada
atau sesuatu yang terjadi ketika manusia dihadapkan kepada Allah. Ini
memperingatkan kita sebagai individu dan membuat pikiran kita
senantiasa selalu mawas diri. Atau yang kedua, isi pesan dari syart itu
adalah ‫ﺴﺎ ﹸﻥ‬ ‫ﻬﺎ ﺍﻹِﻹﻧﺴ‬‫ﻬ‬‫ﻳﺎ ﺃﹶﻳ‬‫ ﻳ‬itu sendiri. Atau yang ketiga, ‫ﻪ‬ ‫ﻤﻤﻴﹺﻨ‬ ‫ﻴ‬‫ﻪ ﹺﺑ‬ ‫ﺑ‬‫ﺘﺎ‬‫ﺘ‬‫ﻲ ﻛ‬ ‫ﺗ‬‫ﻦ ﺃﹸﺃﻭ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ﹶﻓﹶﺄ‬
adalah jawab.
 ‫ﺣﻘﱠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻬﺎ‬‫ﻬ‬‫ﺑ‬‫ﺮ‬‫ ﻟ‬‫ﺖ‬‫ﻧ‬‫ﺃﹶﺫ‬‫ ﻭ‬patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya
‫ﺖ‬
langit itu patuh. Apa yang terjadi? Ia mengambil seluruh bukunya. Ada-
pun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, terjadi
demikian padanya pemeriksaan dengan pemeriksaan yang mudah, dan
Dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan
gembira.
Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia
akan berteriak: “Celakalah aku”. Dia akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka). Sesungguhnya Dia dahulu (di dunia) bergem
bira di kalangan kaumnya (yang sama-sama kafir). Sesungguhnya Dia
menyangka bahwa Dia sekali-kali tidak akan kembali (kepada
Tuhannya). (Bukan demikian), yang benar, Sesungguhnya Tuhannya
selalu melihatnya
Dari penjabaran ayat di atas, ditemukan pesan dari sumpah dalam
dua sisi. Seakan-akan Dia berkata: “Patuh kepada Tuhannya, dan sudah
semestinya langit itu patuh”. Apabila ini terjadi, dan ini terjadi, seluruh
mukminin mengambil catatan mereka dengan tangan kanan mereka dan
mereka akan diperiksa dengan pemeriksaan yang ringan. Adapun
kelompok selain mereka mengambil catatan dari belakang punggung
mereka dan diperiksa dengan pemeriksaan yang keras.
Seakan-akan ketika ia terbagi dalam syarth lalu muncul berbagai
macam syarth darinya, dan setelah itu datang teguran yang dimula
dengan ‫ﺴﺎ ﹸﻥ‬ ‫ﻬﺎ ﺍﻹِﻹﻧﺴ‬‫ﻬ‬‫ﻳﺎ ﺃﹶﻳ‬‫ ﻳ‬hai manusia. Seperti kata insan dalam ayat lain yang
berbunyi: “Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu
(berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Manusia
adalah makhluk yang mulia dan sempurna. Kata insan di sini berarti
wahai makhluk yang memiliki bentuk paling sempurna, apabila Allah
memberikan kepadamu pikiran, gunakanlah itu untuk memahami makna
dan kreasi untuk berbuat baik. ‫ﻪ‬ ‫ﻗﻗﻴ‬ ‫ﻼ‬ ‫ ﹶ‬‫ﺣﺎ ﻓﹶﻤ‬‫ﺣ‬‫ﻚ ﹶﻛﺪ‬
 ‫ﺑ‬‫ ﺇﹺﻟﹶﻟﻰ ﺭ‬‫ﺡ‬‫ ﻛﹶﻛﺎﺩ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺎﻥﹸ ﺇﹺﻧ‬
‫ﻬﺎ ﺍﻹِﻹﻧﺴ‬‫ﻬ‬‫ﻳﺎ ﺃﹶﻳ‬‫ﻳ‬

188
AL-INSYIQÂQ 84 JUZ 30

hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-


sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.
Jadi “Apabila langit terbelah” sebagaimana sebelumnya kita
katakan “ingatlah hari ketika langit pecah belah mengeluarkan kabut
putih.” Bagaimana langit dapat terbelah? Dalam bentuk apa? Ini tidak
penting untuk kita ketahui, yang penting ia akan keluar dari apa yang
biasa kita lihat dan berakhir kepada masalah yang tidak biasa kita lihat,
karena seluruh alam keluar dari aturan yang telah ada.
Allah berfirman: “Apabila langit terbelah” setelah itu lihat
ungkapan ‫ﺖ‬  ‫ﺣﻘﱠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻬﺎ‬‫ﻬ‬‫ﺑ‬‫ﺮ‬‫ ﻟ‬‫ﺖ‬‫ﻧ‬‫ﺃﹶﺫ‬‫ ﻭ‬adzinat/patuh kepada Tuhannya, dan sudah
semestinya langit itu patuh. (QS 84: 2) untuk mematuhi proses
pembelahan yang dibutuhkan pertama sekali adalah udzun atau alat
pendengaran. Pendengaran itu ada dua macam; pertama, kamu
mendengar sedangkan kamu bebas setelah itu untuk menaati atau tidak.
Kedua, kamu mendengar akan tetapi kamu tidak memiliki pilihan untuk
tidak menaati. Pendengar yang memiliki pilihan dapat mengatakan:
“Kami dengar dan kami taati atau durhakai”. Akan tetapi pendengar
yang tidak memiliki pilihan tidak dapat berkata demikian.
Allah berfirman: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku
dengan suka hati atau terpaksa”. Keduanya menjawab: “Kami datang
dengan suka hati”. Ini pembicaraan tentang langit.
Kata adzinat di sini dapat diartikan dengan dua pengertian: pertama,
kata adzinat artinya mendengar. Mendengar hanya dapat dilakukan oleh
orang yang mendengar dan memiliki pilihan untuk menjawab atau tidak
menjawab? Ini adalah khusus bagi manusia. Sedangkan makhluk secara
umum terbagi dua: pertama, bagian yang terpaksa yaitu, semua alam
selain manusia. Kedua, manusia bagian yang memiliki pilihan. Jika
manusia mendengar maka dia dapat menaati dan tidak. Adapun
makhluk secdara umum yang tunduk tidak memiliki pilihan, pasti taat
dan tidak pernah berpikir untuk keluar dari apa yang diperintahkan,
walau hanya dengan sekedar mendengar. Jadi makna adzinat pertama
adalah mendengar dengan telinga yang dilakukan manusia.
Kedua, kata adzinat pada ayat di atas dapat diartikan dengan patuh.
Dengan hanya sekedar mendengar maka seluruh makhluk, -termasuk
langit- tidak memiliki pilihan dan sudah semestinya ia patuh. Kenapa?
Karena ia mendengar dari Allah, Tuhan yang Mahakuasa untuk
melaksanakan apa yang diinginkan darinya. Maka ketika Allah berkata
adzinat, dalam ayat ini dan terkait dengan makhluk, artinya yang lebih

189
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

tepat adalah patuh. Memang awalnya adzina artinya adalah mendengar


setelah itu ia mendengar lalu mentaati.
Selama yang mendengar adalah langit, maka langit tidak memiliki
pilihan untuk berbuat sesuatu. Ia berada di bawah kekuasaan dan
kehendak Allah untuk melaksanakan apa yang diinginkan. Bebitu juga,
jika adzinat dinisbatkan kepada bumi, artinya patuh kepada seluruh apa
yang diperintahkan Allah. Jika dikatakan terbelahlah, maka ia harus
membelah.
 ‫ﻣﺪ‬ ‫ﺽ‬
‫ﺕ‬  ‫ﺭ‬ َ‫ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺍﻷ‬‫ ﻭ‬apabila bumi muddat/diratakan. (QS 84: 2-3) Kata
muddat secara harfiyah artinya adalah mengupas kulit hewan
sembelihan -seperti domba- lalu dibersihkan untuk dapat digunakan
sebagai sejadah atau alas tempat duduk. Ketika mereka
membersihkannya maka yang pertama mereka lakukan adalah
menjemurnya di bawah terik matahari hingga kering. Kulit yang tadinya
mengembang akibat terkena air, kini menjadi kembali normal seperti
sedia kala. Keadaan ini disebut dengan muddat oleh tradisi Arab.
Seakan-akan Allah ingin berkata: “Gunung akan menjadi bulu yang
beterbangan, permukaan bumi yang tidak rata karena ada dataran tinggi
dan lembah, sekarang menjadi rata, bagaikan sejadah. Sebagaimana
firman Allah pada QS Thâhâ [20]: 106-107.
Bumi menjadi lebar dan meluas hingga semua makhluk dapat
berdiri di atasnya. Posisi berdiri bukan karena tempat yang sempit, tapi
berdiri terjadi karena tidak dapat istirahat dengan tenang karena ini
adalah waktu perhitungan.
 ‫ﻠﱠ‬‫ﺨ‬‫ﺗ‬‫ﻬﺎ ﻭ‬‫ﻓﻴﻬ‬‫ﻣﺎ ﻓ‬‫ ﻣ‬‫ﺃﹶﻟﹾﻘﹶﺖ‬‫ ﻭ‬memuntahkan apa yang ada di dalamnya dan
‫ﺖ‬
menjadi takhallat/kosong. (QS 84: 4) Bumi mengeluarkan apa yang ada
di dalam perutnya, seperti mayat-mayat yang keluar dari kubur atau
barang-barang tambang berharga dan lain sebagainya.
Kata “takhallat” berfungsi untuk menegaskan arti keberhati-hatian
penuh dalam perbuatan, seperti halnya ketika kamu datang kemudian
seseorang memeriksamu, tentu kamu akan mengeluarkan seluruh isi
sakumu. Begitu juga bumi yang patuh dan taat kepada perintah Allah
akan memuntahkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong. Ini
dilakukan sama seperti langit, di mana keduanya (langit dan bumi)
berstatus sebagai makhluk yang ‫ﺖ‬  ‫ﺣﻘﱠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻬﺎ‬‫ﻬ‬‫ﺑ‬‫ﺮ‬‫ ﻟ‬‫ﺖ‬‫ﻧ‬‫ﺃﹶﺫ‬‫ ﻭ‬patuh kepada
Tuhannya, dan sudah semestinya ia itu patuh. (QS 84: 5)

190
AL-INSYIQÂQ 84 JUZ 30

‫ﻪ‬ ‫ﻗﻗﻴ‬ ‫ﻤﻤﻼ‬ ‫ﺣﺣﺎ ﹶﻓ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻚ ﹶﻛ‬


 ‫ﺭﺑ‬ ‫ ﺇﹺﻟﹶﻟﻰ‬‫ﺡ‬‫ ﻛﹶﻛﺎﺩ‬‫ﻚ‬‫ﺴﺎﻥﹸ ﺇﹺﻧ‬
‫ﻬﺎ ﺍﻹِﻹﻧﺴ‬‫ﻬ‬‫ﻳﺎ ﺃﹶﻳ‬‫ ﻳ‬Hai manusia, sesungguhnya
kamu kâdihun/telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu,
maka pasti kamu akan menemui-Nya. (QS 84: 6) manusia adalah
makhluk yang mulia dan istimewa dilihat dari unsur pembentuknya dan
akhlak mulia sesuai dengan apa yang diberikan oleh Allah kepadanya
dibanding makhluk lain. Maka arti kâdihun di sini adalah bekerja
dengan sungguh-sungguh dalam sebuah perkara sehingga menimbulkan
pengaruh secara fisik di dalamnya. Misalnya orang yang melakukan
suatu pekerjaan dengan tangannya, memegang kapak, atau memegang
tali timba, atau mengangkat beban berat di atas pundaknya sehingga
menimbulkan kepal atau bekas memar yang disebabkan kerja itu. Atau
bekerja keras hingga mengeluarkan keringat, atau tidak mengeluarkan
keringat, tapi merasa letih pada jiwa dalam wujud kepenatan jiwa dan
raga. Semua ini yang disebut dengan al-kadh atau kerja keras.
Kerja keras membuat manusia lelah dalam kehidupan ini, dan ini
pasti berpengaruh pada jiwanya. Ketika Nabi Muhammad menjabat
tangan seorang sahabat yang kepalan, Nabi berkata: “Itu adalah tangan
yang disukai oleh Allah dan RasulNya.” Kenapa? Karena ini adalah
bukti bahwa ia telah bekerja keras untuk mendapatkan sesuap nasi yang
halal dengan keringatnya sendiri.
Makna pertama dari QS 84 ayat 6 adalah manusia baik mukmin
maupun kafir pasti bekerja keras dengan sungguh-sungguh untuk
menuju Tuhanmu. Artinya, manusia dari awal keberadaan hidupnya di
dunia hingga akhir hayatnya adalah perjalanan dengan kerja keras
menuju Allah. Akan tetapi bedakan antara orang yang bekerja keras
untuk mencari dunia dengan segala kenikmatannya dalam suatu
pekerjaan dan usaha; dan orang yang bekerja keras karena Allah untuk
mewujudkan cita-cita mulia sesuai dengan kehendak-Nya. Kedua-
duanya akan bekerja keras dan berusaha sungguh-sungguh. Manusia
pertama bekerja keras untuk mendapatkan dunia, sedangkan yang kedua
untuk mendapatkan akhirat dengan menahan syahwat, mengikuti
perintah ilahi. Kedua manusia pekerja ini pasti mengalami cobaan dan
rintangan. Bedanya, yang pertama bekerja keras demi dunia dan yang
kedua bekerja keras demi akhirat.
Makna kedua dari QS 84 ayat 6 ini dapat dipahami bahwa Allah
ingin memberikan gambaran bahwa manusia yang seharusnya hidup
berorientasi karena Allah dan untuk bertemu dengan-Nya. Karena
pertemuan dengan Allah itu pasti dan tidak diragukan lagi. Perjalanan

191
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

manusia dalam hidup ini porosnya adalah bertemu dengan Allah.


Karena kamu adalah para pekerja yang berusaha untuk bertemu Tuhan,
maka tentukan orientasi itu dengan benar dan betul, yaitu sesuaikanlah
pertemuan itu dengan kehendak Allah, maka kamu akan bertemu dalam
suasana nikmat dan penuh berkat. Tapi jika kamu ingin bertemu dengan
melawan segala manhaj, jangan salahkan jika pertemuan itu berisikan
siksaan dan penghinaan, naudzubillah.
Jadi, kembali kepada Tuhan adalah sesuatu yang pasti terjadi, baik
itu dengan kerja kerasmu di dunia untuk dun ia atau untuk akhirat.
Kedua-duanya ada dalam kerja keras yang melelahkan. Dalam surat al-
Balad disebutkan: ‫ﺪ‬ ‫ﺒ‬‫ﻓﻓﻲ ﹶﻛ‬ ‫ﺴﺎ ﹶﻥ‬
‫ﺴ‬
 ‫ﻨﺎ ﺍﻹِﻹﻧ‬‫ﻠﹶﻘﹾﻨ‬‫ﺪ ﺧ‬ ‫ ﹶﻟ ﹶﻘ‬sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia berada dalam susah payah. (QS al-Balad [90]: 4)
Susah payah berhubungan dengan orientasi dunia semata atau
berhubungan dengan orientasi akhirat.***

DURHAKA MENERIMA CATATAN AMALNYA DARI


BELAKANG DAN AKAN DIMASUKKAN KE NERAKA
(QS al-Insyiqaq [84]: 7-15)
utsrqponmlkj
dcba`_~ }|{zyxwv
 srqponmlkj ihgfe
zyxwvut
Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya,
maka Dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan
Dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman)
dengan gembira. Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya
dari belakang, maka Dia akan berteriak: “Celakalah aku”. Dan
Dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Sesungguhnya Dia dahulu (di dunia) bergembira di kalangan
kaumnya (yang sama-sama kafir). Sesungguhnya Dia menyangka
bahwa Dia sekali-kali tidak akan kembali (kepada Tuhannya).
(Bukan demikian), yang benar, Sesungguhnya Tuhannya selalu
melihatnya.

192
AL-INSYIQÂQ 84 JUZ 30

‫ﲑﺍ‬
‫ﺴِﲑ‬‫ﺑﺎ ﻳ‬‫ﺴﺎﺑ‬
‫ﺴ‬‫ ﺣ‬‫ﺐ‬‫ﺤﺎﺳ‬
‫ﺤ‬‫ ﻳ‬‫ﻑ‬‫ﻮ‬‫ ﻓﹶﺴ‬‫ﻤﻴﻨﹺﻪ‬‫ﻤ‬‫ ﺑﹺﻴ‬‫ﻪ‬‫ﺘﺎﺑ‬‫ﺘ‬‫ ﻛ‬‫ﺗﻲ‬‫ﻦ ﺃﹸﺃﻭ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ ﻓﹶﹶﺄ‬adapun orang yang
diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka Dia akan diperiksa
dengan pemeriksaan yang mudah. Artinya semua kita akan menghadapi
pemeriksaan. Ini adalah wujud suatu keadilan dan pemerataan, artinya
semua manusia akan diperiksa, tanpa pilih bulu. Karena tidak
seorangpun yang catatannya kosong. Pemeriksaan terdiri dari dua
bentuk: pertama, pemeriksaan untuk memaparkan kehinaan manusia.
Kedua, pemeriksaan untuk memaparkan kesalahan, akan tetapi Allah
telah mengampuninya.
Bagian pertama dari pemeriksaan ini disebut dengan pemeriksaan
yang mudah. Disebut mudah karena Allah memaparkan semua pahala
dan dosa. Ketika terlihat dosa yang banyak, Allah berkata: “Dosa yang
ini Aku maafkan, yang itu Aku ampuni, yang ini Aku terima taubatnya.”
Dalam hal ini Aisyah berkata: “Dipaparkan untuk dihapuskan dan
dimaafkan” itulah namanya pemeriksaan yang mudah.
Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya,
maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, ini adalah
kesenangan. Kesenangan ini berbeda dengan orang-orang berdosa itu
kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira. (QS al-
Muthaffifîn [83]: 31) Jadi mukmin di akhirat menemukan banyak sekali
kesenangan dan kebahagiaan. Kesenangan yang jauh berbeda dengan
kaum kafir yang senang melihat mukmin menderita di dunia.
‫ﻩ‬ ‫ ﹺﺮ‬‫ﺭﺍﺀ ﻇﹶﻬ‬‫ﺭ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﺘﺎﺑ‬‫ﺘ‬‫ ﻛ‬‫ﻲ‬‫ ﺃﹸﺃﻭﺗ‬‫ﻦ‬‫ﻣﺎ ﻣ‬‫ﺃﹶﻣ‬‫ ﻭ‬adapun orang yang diberikan kitabnya dari
belakang, dalam surat al-Haqqah disebutkan: ‫ﻪ‬ ‫ﻟ‬‫ﻤﺎ‬‫ﻤ‬‫ ﺑﹺﺸ‬dengan tangan
kirinya. (QS al-Hâqqah [69]: 25) Kedua ayat ini saling mendukung.
Buku itu diberikan dari belakang dengan tangan kiri. Pemberian buku
dari belakang mengindikasikan bahwa penerima malu terlihat wajahnya,
atau pemberi tidak ingin melihat wajah penerimanya.
‫ﺭﺍ‬‫ﺒﻮﺭ‬‫ﻋﻮ ﺛﹸﺒ‬‫ﻋ‬‫ﺪ‬‫ ﻳ‬‫ﻑ‬‫ﻮ‬‫ ﻓﹶﺴ‬maka dia akan berteriak: “Celakalah aku”. Kata ats-
tsubur artinya adalah kecelakaan. Makna ayat: “Wahai kecelakaan
datanglah, maka dia akan berteriak: “Celakalah aku”. Ini berarti waktu
kematian dan siksaan sesungguhnya telah tiba. Jika tiba saatnya, orang
kafir akan berkata: “Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah
tanah.” (QS an-Nabâ’ [78]: 40)
Kafir berkata demikian karena tidak kuat menyaksikan dahsyatnya
hari kiamat. Dia berteriak: “Celakalah aku”. Dia akan masuk ke dalam

193
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

api yang menyala-nyala (neraka). (QS 84: 11-12) Kafir berharap agar
dirinya punah dengan demikian dia akan terhindar dari siksaan. Tapi itu
mustahil dan tidak mungkin.
‫ﺭﺍ‬‫ﺮﻭﺭ‬‫ﺮ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬‫ﻪ‬‫ﻠ‬‫ﻓﻲ ﺃﹶﻫ‬‫ ﻛﹶﻛﺎﻥﹶ ﻓ‬‫ﻪ‬‫ ﺇﹺﻧ‬sesungguhnya dia dahulu (di dunia) bergembira
di kalangan kaumnya (yang sama-sama kafir). (QS 84: 13) Inilah alasan
utama mengapa mereka begitu menderita di neraka. Kafir lupa kepada
hari akhirat, hari pembalasan. Dia tidak mempersiapkan bekal menuju
akhirat, tidak juga menjadikan akhirat sebagai orientasi kehidupan.
‫ﺭ‬ ‫ﺤﻮ‬‫ﺤ‬‫ ﺃﹶﺃﻥ ﻟﱠﻟﻦ ﻳ‬‫ ﻇﹶﻦ‬‫ﻪ‬‫ ﹺﺇﻧ‬sesungguhnya dia yakin bahwa dia sekali-kali tidak
akan kembali. (QS 84: 14) kepada Tuhannya. Dia yakin seratus persen
bahwa dia tidak akan dibangkitkan dan diperiksa serta ditempatkan di
neraka. Kafir yang hidup senang di dunia sangat yakin bahwa dia akan
te ta p be rad a pa da ni kma t du ni a se lama -lama n ya . Te r n ya ta ,
kenyataannya tidak demikian. Kalaulah mereka tahu sedikit saja tentang
akhir dari perjalanan hidup, berupa kematian dan kebangkitan, niscaya
mereka akan mempersiapkan diri.
‫ﲑﺍ‬
‫ﲑ‬‫ﺼ‬‫ ﺑ‬‫ﻪ ﻛﹶﻛﺎﻥﹶ ﺑﹺﻪ‬ ‫ﺑ‬‫ﺭ‬ ‫ﺑ ﹶﻠﻠﻰ ﹺﺇﻥﱠ‬ (Bukan demikian), yang benar, sesungguhnya
Tuhannya selalu melihatnya. (QS 84: 15) Dugaan mereka bahwa
mereka tidak akan mati dan dibangkitkan untuk diperiksa adalah dugaan
yang salah. Hakikat sebenarnya, bahwa Allah Tuhan Maha Melihat
setiap tindak tanduk manusia, mengawasi dan memantau, Dia Maha
Mengetahui gerak gerik manusia. Dia juga akan menilai setiap kebaikan
dan keburakan untuk diberi penghargaan dan ganjaran yang setimpal.
Apa yang ditetapkan Allah akhirnya menjadi nyata. Apa yang
ditetapkan Allah dalam takdir-Nya menjadi nyata setelah sebelumnya
ada pada Ilmu-Nya. Apa yang dahulunya misteri, sekarang terbuka dan
nyata.
Gambaran yang bertolak belakang ini atau gambaran tentang
keluarga kafir yang senang melihat mukmin susah di dunia dan
berusaha dengan keras untuk membuat mukmin menderita di dunia,
berbeda sekali dengan mukmin yang senang bertemu dengan
keluarganya di akhirat. Bahagia tanpa menyusahkan orang lain. Semoga
Allah melindungi kita dan kalian dari tempat kembali yang buruk. Allah
adalah sebaik-baik teman dan tempat kembali.***

194
AL-INSYIQÂQ 84 JUZ 30

MANUSIA MENGALAMI PROSES KEHIDUPAN


TINGKAT DEMI TINGKAT
(QS al-Insyiqâq [84]: 16-25)
¨§¦¥¤£¢¡~}|{
¸¶µ´³²±°¯®¬«ª©
ÄÃÂÁÀ¿¾½¼»º¹
ÐÏÎÍÌËÊÉÈÇÆÅ
 ÒÑ
Ó
Sesungguhnya Aku bersumpah dengan cahaya merah di waktu
senja, dan dengan malam dan apa yang diselubunginya, dan
dengan bulan apabila jadi purnama. Sesungguhnya kamu melalui
tingkat demi tingkat (dalam kehidupan), mengapa mereka tidak
mau beriman? Apabila Alquran dibacakan kepada mereka,
mereka tidak bersujud. Bahkan kaum kafir itu mendustakan(nya).
Padahal Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan (dalam
hati mereka). Beri kabar gembiralah mereka dengan azab yang
pedih, tetapi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi
mereka pahala yang tidak putus-putusnya.
Alquran kembali dari petualangan besar dan mendalam dalam
sentuhan dan kesaksiannya kepada selayang pandang kehidupan yang
dihadapi setiap hari. Manusia terkadang lupa dari kuasa Allah di balik
takdir dan kuasa-Nya. Dia Mahakuasa dalam menetapkan keputusan dan
efek yang terjadi setelahnya.
Selayang pandang tentang alam semesta yang dilanjutkan dengan
sumpah atas nama-Nya bertujuan agar manusia mengarah pada kuasa
Allah di balik ciptaan-Nya. Pandangan yang menggabungkan antara
kekhusyukan yang hening dengan kuasa Allah yang dihormati. Semua
ini sesuai dengan kandungan surat ini dan kekuatannya dalam makna
yang khusus.
‫ﺸ ﹶﻔ ﹺﻖ‬
 ‫ ﺑﹺﺑﺎﻟ‬‫ ﻓﹶﻓﻼ ﺃﹸﻗﹾﺴِﻢ‬Aku bersumpah, demi mega. Kata syafaq adalah
cahaya merah yang terlihat di ufuk barat setelah matahari terbenam dan
berlangsung hingga waktu isya. Pada saat ini suasana sangat tenang.
Hati merasakan adanya salam perpisahan, untuk berhadapan dengan

195
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

malam yang menakutkan, dan kegelapan yang buas. Akhirnya


suasananya ditutup dengan kekhusyuan, takut, tersembunyi dan diam
dalam kelam.
‫ﻖ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ﻭ‬ ‫ ﹺﻞ‬‫ﻭﻭﺍﻟﻠﱠﻴ‬ malam serta segala yang dihimpunkannya. Malam apa
yang dikumpulkan dan apa yang dikandungnya dengan segala yang
meliputinya dan segala misterinya. Dengan perubahan ini, malam akan
mengumpulkan dan mengandung banyak hal, bahkan angan-angan
dapat pergi jauh saat malam tiba.
‫ﻖ‬ ‫ﺴ‬ ‫ﺮﹺ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺍﺗ‬‫ﻭﺍﻟﹾﻘﹶﻤ‬‫ ﻭ‬bulan apabila (penuh cahayanya) menjadi purna-ma.
Pemandangan yang teduh menarik dan mempesona. Ia adalah bulan di
malam-malam yang sempurna. Bulan yang menyinari bumi dengan
cahayanya yang lembut yang menginspirasikan kebisuan penuh makna.
Ia adalah suasana yang tersembunyi tapi memiliki arti penting.
Aku bersumpah demi cahaya merah pada waktu senja, demi malam
dan apa yang diselubunginya. Mega dan malam bertemu dalam
keanggunan, teduh, dan damai. Ini sentuhan alam yang indah
mempesona, penuh makna, dikutip Alquran dengan kutipan singkat agar
hati manusia dapat berbicara dengannya. Terkadang manusia lupa untuk
berbicara dan merenungkan alam semesta ini. Ditambah dengan sumpah
agar dapat menggugah hati dan perasaan manusia tentang keindahan dan
pesona alam yang berporos pada kuasa Allah di balik itu semua.
Namun, masih banyak manusia yang lalai dan lupa.
‫ﺒ ﹴﻖ‬‫ﻋﻋﻦ ﹶﻃ‬ ‫ﺒ ﹰﻘﻘﺎ‬‫ﻦ ﹶﻃ‬ ‫ﺒ‬‫ﺮ ﹶﻛ‬ ‫ﺘ‬‫ ﹶﻟ‬sungguh, akan kamu jalani tingkat demi tingkat
(dalam kehidupan). Maknanya agar manusia saling menolong dalam
kondisi bagaimana pun sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Manusia hidup tidak lepas dari fase-fase, satu fase menuju fase
berikutnya. Semua fase itu berjalan sesuai dengan kehendak Allah yang
mengarahkan mereka kepada jalan yang terakhir sesuai dengan apa yang
telah dilukiskannya. Kondisi dan fase manusia tidak jauh berbeda
dengan ufuk merah, malam yang terselubung, bulan yang purnama,
hingga akhirnya mereka bertemu dengan Allah, sebagaimana yang telah
disebutkan sebelumnya. Inilah urutan yang sesuai dari surat ini. Ia
berpindah dari satu ke satu dengan begitu lembut. Inilah keunikan
Alquran.
Pada cuplikan akhir ini dan sebelumnya ditemukan keanehan
terhadap orang yang tidak beriman. Bukankah telah terpampang
dihadapan mereka segala sarana yang mengantar mereka kepada iman.

196
AL-INSYIQÂQ 84 JUZ 30

‫ﺪﺪﻭ ﹶﻥ‬ ‫ﺠ‬


 ‫ﺴ‬‫ﺮﺮﺁ ﹸﻥ ﹶﻻ ﻳ‬ ‫ﻢ ﺍﹾﻟ ﹸﻘ‬ ‫ ﹺﻬ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﻗﹸﺮﹺﺉ‬‫ﻨﻮﻥﹶ ﻭ‬‫ﻨ‬‫ﻣ‬‫ﺆ‬‫ﻢ ﹶﻻ ﻳ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻤﺎ ﻟﹶ‬‫ ﻓﹶﻤ‬maka mengapa mereka tidak
mau beriman? Apabila Alquran dibacakan kepada mereka, mereka
tidak (mau) bersujud.
Benar, apa alasan manusia hingga mereka tidak beriman? Sarana
menghantar iman itu tersebar di setiap lini kehidupan. Di dalam diri
setiap manusia, di alam raya terdapat triliunan hidayah yang terus
mengetuk hati manusia setiap hari agar beriman. Ketukan iman itu terus
bertambah kuat, bertambah dalam berat dalam timbangan hakikat.
Hingga akhirnya hati dikepung. Seandainya saja manusia mau sedikit
melirik!? Padahal seluruh sarana itu terus saja memanggil dan mengajak
agar hati dan telinganya mengarah kepada iman.
Sungguh Alquran telah mengajak manusia kepada iman dengan
bahasa fitrah agar hati mereka terbuka untuk menerima iman, agar hati
dihiasi dengan rasa takwa, taat dan tunduk kepada Allah dengan cara
sujud. Sungguh sangat mengherankan keadaan kaum kafir, apa yang
mereka tunggu akhirnya hanyalah kehancuran.
‫ﺑﺑﻮ ﹶﻥ‬‫ﻳ ﹶﻜ ﱢﺬ‬ ‫ﺮﺮﻭ ﹾﺍ‬ ‫ﻦ ﹶﻛ ﹶﻔ‬ ‫ﺬﺬﻳ‬ ‫ﺑ ﹺﻞ ﺍﱠﻟ‬ bahkan kaum kafir itu mendustakan(nya). Kaum
kafir benar-benar telah mendustakan, bahkan tabiat, watak dan perangai
mereka adalah dusta.
‫ﻋﻋﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻳﻳﻮ‬ ‫ﻤﺎ‬‫ ﺑﹺﻤ‬‫ﻠﹶﻢ‬‫ ﺃﹶﻋ‬‫ﻭﻭﺍﻟ ﱠﻠﻪ‬ Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembu
nyikan. Allah Maha Mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Dia
mengetahui hingga yang terpendam di dalam sekalipun dari kejahatan,
kebusukan yang bermuara pada pendustaan ini.
Pembicaraan tentang kaum kafir berhenti sampai di sini, untuk
kemudian beralih kepada Nabi Muhammad ‫ﻟﻟﻴ ﹴﻢ‬‫ﺬﹶﺬﺍﺏﹴ ﺃﹶ‬‫ﻫﻢ ﺑﹺﻌ‬‫ﻫ‬‫ﺮ‬‫ﺸ‬‫ ﻓﹶﺒ‬maka
sampaikanlah kepada mereka (ancaman) azab yang pedih. Berikan
kabar gembira kepada mereka wahai Muhammad. Namun kabar
gembira itu sebenarnya tidak menggembirakan. Karena yang datang
adalah siksa yang pedih dan menghinakan.
Pada waktu yang sama dipaparkan apa yang telah lama ditunggu
oleh mukmin yang tidak pernah mengingkari janji Allah. Mereka
mempersiapkan diri dengan iman dan amal saleh. Saat paparan ini
datang, ia seakan-akan dispensasi dari akhir perjalanan kafir yang
mengingkari. ‫ﻥ‬ ‫ﻨﻨﻮ‬‫ﻤ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺮ‬ ‫ ﻏﹶﻴ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﺟ‬‫ﻢ‬‫ ﻟﹶﻬ‬‫ﺤﺎﺕ‬ ‫ﺤ‬‫ﺼﺎﻟ‬
‫ﻠﹸﻠﻮﺍﹾ ﺍﻟﺼ‬‫ﻋﻤ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻨﻮ ﹾﺍ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻦ ﺁ‬ ‫ﺬﺬﻳ‬ ‫ ﹺﺇ ﱠﻻ ﺍﱠﻟ‬kecuali orang-
orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka akan
mendapat pahala yang tidak putus-putusnya.

197
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Dalam istilah bahasa ia dikenal dengan dispensasi yang final.


Artinya, mukmin itu tidak akan masuk ke dalam neraka. Ia sebagai
penegas bahwa mukmin layak bahagia dalam arti yang sebenarnya.
Balasan tanpa batas adalah upah yang abadi tanpa terhenti di taman
bahagia yang permanen.
Dengan kondisi yang tegas dan singkat ini surat ini ditutup. Ia tetap
indah di hamparan alam semesta dan di dalam sanubari.***

198
AL-BURÛJ 85 JUZ 30

SURAT 85
AL-BURÛJ
(MAKKIYAH)

199
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

200
AL-BURÛJ 85 JUZ 30

Surat pendek ini berisikan tentang hakikat akidah, dan strategi


mencapai iman yang sejati. Iman adalah hal yang sangat prinsipil dalam
kehidupan. Dari iman terpancar kekuatan cahaya yang menyinari dunia.
Di balik surat al-Buruj ini juga tergambar makna dan hakikat langsung
dari teks-teks ayat yang terdapat di dalamnya. Hingga setiap ayat
bahkan setiap kata di dalamnya memiliki kekuatan yang dahsyat.
Tema penting dari kisah ini dapat dilihat dari kisah Ukhdud. Kisah
sekelompok mukmin yang terdahulu di dalam Islam. Menurut
periwayatan mereka adalah umat Nasrani yang bertauhid yangb diuji
oleh para penguasa zalim. Para penguasa ingin agar mukmin
menanggalkan iman dan kembali murtad dengan mengikuti agama lama
mereka. Mukmin menolak, siksapun bertindak. Mereka disiksa dengan
masuk ke dalam parit yang telah dinyalakan api di dalamnya.
Merekapun mati di dalam lubang parit yang berapi itu. Kematian
mereka disaksikan oleh para penguasa zalim dengan penuh bahagia dan
suka cita.

PENENTANG MUHAMMAD SAW AKAN HANCUR


SEBAGAIMANA YANG DIALAMI UMAT DAHULU
(QS al-Burûj [85]: 1-9)
LKJIHGFEDCBA
[ZYXWVUTSRQPONM
hgfedcba`_^]\
 srqponmlkji
t
Demi langit yang mempunyai gugusan bintang, dan hari yang
dijanjikan, dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. Binasa
dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang berapi
(dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di
sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka
perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Mereka tidak
menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-
orang mukmin itu beriman kepada Allah yang Mahaperkasa lagi
Maha Terpuji, yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; dan
Allah Maha menyaksikan segala sesuatu. Mereka tidak menyiksa
orang-orang mukmin itu melainkan karena mukmin itu beriman

201
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji yang


memiliki kerajaan langit dan bumi. Allah Maha Menyaksikan
segala sesuatu.
Pertemuan kita dalam pembahasan seputar surat al-Burûj sama
seperti surat lainnya dalam juz ini yaitu dimulai dengan sumpah ‫ﺎﺀ‬‫ﻤ‬‫ﺍﻟﺴ‬‫ﻭ‬
‫ﺝ‬
‫ﻭ ﹺ‬‫ﺒﺮ‬‫ﺕ ﺍﹾﻟ‬
 ‫ ﺫﹶﺍ‬demi langit yang mempunyai gugusan bintang. Sumpah atas
nama sesuatu yang nyata yaitu langit yang di dalamnya terdapat
gugusan bintang yang memiliki pengaruh dalam sistem alam dan hukum
eksistensi.
Sedangkan sumpah ‫ﺩ‬ ‫ﻮ‬‫ﻮﻋ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻮ ﹺﻡ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻴ‬‫ﺍﹾﻟ‬‫ ﻭ‬dan hari yang dijanjikan adalah
sumpah atas nama sesuatu yang masih gaib, maka Allah bersaksi
dengan keagungan-Nya di “langit yang mempunyai gugusan bintang”
yaitu sesuatu yang dapat disaksikan dan dengan sesuatu yang gaib:
Yaitu hari yang dijanjikan.
Kemudian Dia berkata: ‫ﺩ‬ ‫ﻮ‬‫ﺸﻬ‬  ‫ﻣ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭﺷ‬ yang menyaksikan dan yang
disaksikan. Setelah itu datang jawab sumpah untuk memberikan
gambaran kepada kita tentang peristiwa-pristiwa seputar keimanan
dengan kekufuran.
‫ﺩ‬ ‫ﻭ‬‫ﺧﺪ‬ ‫ﺏ ﺍ ُﻷ‬
 ‫ﺎ‬‫ﺻﺤ‬
 ‫ﺘ ﹶﻞ ﹶﺃ‬‫ ﹸﻗ‬binasa dan terlaknatlah orang-orang yang
membuat parit. Kemudian Allah menjelaskan dengan firmanNya: “yang
berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di
sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat
terhadap orang-orang yang beriman.”
Setelah itu Allah Swt ingin memberikan gambaran kepada kita
prinsip awal terjadinya peperangan antara keimanan dan kekufuran,
antara keimanan yang dicoba dengan kelemahannya dan kekufuran yang
mencoba dengan kezalimannya. Allah memaparkan gambaran
perseteruan ini untuk menerangkan kepada kita bahwa sikap mereka
yang berbuat aniaya terhadap orang-orang lemah dari kaum mukminin
adalah sikap yang tidak dapat diterima oleh fitrah maupun akal sehat.
Oleh sebab itu Allah berkata: “Perseteruan selalu terjadi antara dua
kekuatan, antara kebenaran dan kebatilan. Apabila yang terjadi adalah
demikian, maka perseteruan tersebut tidak akan berlangsung lama
karena yang batil akan selalu kalah. Adapun perseteruan antara dua
kebenaran itu tidak pernah terjadi karena tidak ada dua kebenaran yang
bertentangan dalam satu masalah.

202
AL-BURÛJ 85 JUZ 30

Adapun perseteruan antara dua kebatilan selalu dapat disaksikan


terus berlangsung dan tidak pernah habis, karena salah satu dari
kebatilan tidak diutamakan untuk ditolong Allah dari kebatilan yang
satunya lagi, sehingga perseteruan akan memakan memakan waktu yang
sangat panjang. Jadi, apabila kamu melihat peperangan yang panjang
antara dua kelompok dan tidak pernah berakhir, ketahuilah bahwa
perseteruan tersebut adalah antara dua kebatilan.
Inilah peperangan yang digambarkan Alquran, Allah
mengatakannya dengan jelas: ‫ﺪ‬ ‫ﻤﻤﻴ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﺰﹺﺰﻳﺰﹺ ﺍﻟﹾ‬‫ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﻨﻮﺍ ﺑﹺﺑﺎﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻨ‬‫ﻣ‬‫ﺆ‬‫ﻢ ﺇﹺﻻﱠ ﺃﹶﺃﻥ ﻳ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻨ‬‫ﻤﻮﺍ ﻣ‬‫ﻘﹶﻤ‬‫ﻣﺎ ﻧ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬dan
mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena
orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa
lagi Maha Terpuji. (QS 85:8)
‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻨ‬‫ﻤﻮﺍ ﻣ‬‫ﻘﹶﻤ‬‫ﻣﺎ ﻧ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬mereka tidak menyiksa artinya yang mereka benci dan
ingkari. Dalam ayat ini terlihat jelas alasan ujian, cobaan dan siksaan
yang mematikan dari para pembuat parit yang menyalakan api dan
melemparkan mukmin yang lemah ke dalamnya adalah iman. Dosa
mukmin adalah karena mukmin telah beriman kepada Allah yang Maha
Perkasa dan Maha Terpuji, sedangkan penguasa zalim sangat membenci
keimanan.
Apakah keimanan terhadap Yang Maha perkasa dan terpuji adalah
dosa dan kesalahan yang mereka ingkari atau mereka benci. Allah ingin
menggambarkan dasar dari kerusakan suatu bangsa secara keseluruhan.
Apabila manusia melihat kerusakan merajalela di satu kota atau
pemukiman, ketahuilah bahwa kerusakan tersebut bersumber dari
masalah ini. Masalah di mana kebaikan dibenci dan kejahatan
dilestarikan. Masalah di mana keimanan disingkirkan dan kekafiran
diagungkan.
Ketika sebuah kelompok menyiksa suatu kaum karena mereka
beriman kepada Allah, ini masalah besar. Seharusnya mereka tidak
menyiksa kaum tersebut akibat iman. Karena benci terjadi atas sifat
yang tercela. Iman itu bukan sifat tercela. Iman adalah sifat mulia.
Contohnya, kamu katakan: “Aku tidak membenci si Fulan kecuali
karena dia jahat dan kafir.” Ada sifat jahat dan kafir yang diingkari,
hingga dibenci. Akan tetapi jika orang berbuat baik dibenci ini adalah
musibah. Hal ini menandakan kerusakan akal orang yang menetapkan
hukum tersebut.
Kerusakan tertinggi dalam pemikirannya disebabkan bahwa ia
menganggap puncak kebaikan adalah kekafiran dan kemaksiatan. Ini

203
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

bukti dan dalil atas kerusakan sikap dan pribadi seseoarang. Alquran
mengisyaratkan bahwa jika mereka memperhatikan dengan seksama
sifat baik, akhlak mulia dan perbuatan luhur dari mukmin yang mereka
anggap menimbulkan fitnah dalam agama mereka, maka mereka tidak
akan menemukan sesuatu yang harus dibenci. Apa yang harus dibenci
dari mereka yang beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa dan Maha
terpuji. Dalam istilah bahasa ini disebut dengan al-ada’ al-bayani atau
penegasan pujian dengan sesuatu yang menyerupai celaan.
Ketika disebut ‫ﻮﺍ‬‫ﻧ ﹶﻘﻤ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭﻣ‬ kami tidak benci seakan-akan tidak ada pada
mereka sesuatu yang dapat dibenci. Kemudian setelah illa/kecuali
datang, kita menganggap bahwa akan datang sesuatu yang dibenci.
Akan tetapi jika yang datang setelahnya adalah sesuatu yang disukai,
maka itu artinya pegasan pujian dengan sesuatu yang menyerupai
celaan. Contoh lain, “Fulan tidak ada aib kecuali jika ia adalah orang
yang mulia.
Contoh lain dalam Alquran: “Katakanlah: “Hai Ahli kitab, apakah
kamu memandang kami salah, hanya lantaran kami beriman kepada
Allah.” (QS al-Maidah [5]: 59) Mengapa kalian membenci kami? Apa
yang telah kami lakukan? Kami tidak melakukan kecuali beriman
kepada Allah. Apakah kalian membenci kami hanya karena kami
beriman kepada Allah? Apakah kerusakan berasal dari tabiat kami atau
tabiat kalian?
Dalam ayat yang lain: “Mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-
Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-
Nya kepada mereka.” Mereka tidak mencela Allah dan Nabi
Muhammad kecuali karena limpahan anugerah yang diberikan. Ayat
lain: “Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan
tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa, akan tetapi mereka
mendengar ucapan salam.” Apakah mendengar ucapan salam adalah
salah satu bentuk perkataan yang sia-sia dan menimbulkan dosa? Tidak.
Di dalamnya tidak terdapat perkataan yang sia-sia dan menimbulkan
dosa, karena mendengar ucapan salam bukanlah suatu perkataan sia-sia
dan menimbulkan dosa. Ini namanya adalah penegasan pujian dengan
sesuatu yang menyerupai celaan.
Jika dilihat dari kisah ini, maka ditemukan Allah ingin menggam-
barkan ujian, cobaan dan musibah yang menimpa mukmin yang lemah
tidak ada alasan kecuali hanya iman kepada Allah. Selama mereka tidak
menemukan adanya kerusakan dalam perangai, tidak juga pada akhlak,

204
AL-BURÛJ 85 JUZ 30

apakah hanya karena keimanan mereka kepada Allah ini yang membuat
kalian resah? Ya. Kenapa? Karena penguasa zalim telah menikmati
kezaliman yang telah menjadi tradisi mereka. Atau ibadah penguasa ini
merasa terancam dengan datangnya penyembahan kepada Allah, Tuhan
Yang Esa. Seakan-akan kepindahan ibadah mukmin kepada Allah
adalah dosa dan kesalahan fatal, yang menyebabkan mereka dianggap
sebagai orang yang tidak berbuat baik.
Puncak kerusakan di bumi berasal dari para penguasa yang
dituhankan atau penguasa yang dipuja dan disembah meskipun mereka
berbuat fasik, kerusakan, sogok-menyogok dan mencuri. Semua tingkah
laku yang salag dapat dimaafkan selama masyarakat dan rakyat mau
menuhankan para penguasa tersebut. Selama penghambaan rakyat
kepada para penguasa tersebut berlangsung, maka orang-orang selain
mereka tidak mereka sukai, meskipun berbuat kebaikan dan berjalan
pada jalan yang lurus. Padahal gerakan oposisi ini adalah gerakan
penyeimbang yang baik, untuk menasihati dan meluruskan, jika salah.
Jadi ‫ﺪ‬ ‫ﻴ‬‫ﺤﻤ‬
 ‫ﻌﺰﹺﻳ ﹺﺰ ﺍ ﹾﻟ‬ ‫ﻪ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻮﺍ ﺑﹺﺎﻟﻠﱠ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﺆ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻢ ﹺﺇﻟﱠﺎ ﺃﹶﻥ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻨ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻮﺍ‬‫ﻧ ﹶﻘﻤ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭﻣ‬ mereka tidak menyiksa
orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu
beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji adalah
untuk menggambarkan bahwa mereka sendiri tidak menemukan adanya
suatu cela pada orang-orang mukmin yang lemah tersebut. Bahkan
akhlak mulia mukmin kepada seluruh alam seharusnya membuat
manusia menyukai mukmin, akan tetapi mereka benci, kenapa? Hanya
karena mereka mengarahkan keberagamaan mereka dari orang-orang
tersebut kepada Allah.
Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. Kata ‘azîz/perkasa
menunjukkan kepada Zat yang menang dan tidak dapat ditundukkan
atau dikalahkan. Sedangkan kata hamîd/terpuji menunjukkan bahwa
Allah adalah pemberi nikmat. Jadi, Allah memiliki dua sisi. Sisi
pengalahan bagi yang takut, dan sisi kebaikan bagi yang menginginkan.
Allah Yang Maha Perkasa dan mengalahkan semuanya. Dia pemilik
kekuasaan secara mutlak. Seluruh alam raya berada dalam genggaman-
Nya. Adapun sifat hamîd karena Dia adalah pemberi nikmat yang
mewajibkan pujian; dan pujian adalah sifat yang harus ada pada-Nya.
Jadi, yang mukmin imani adalah Tuhan yang Maha Perkasa, kuat dan
tidak dapat dikalahkan. Hamîd artinya adalah pemberi nikmat yang
tidak pernah habis dan pujian yang juga tidak pernah pudar. Dengan
akidah dan iman ini, mereka sampai kepada poros kekuatan hidup yang

205
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

hakiki. Hal ini menggambarkan dengan jelas kesalahan dan kebinasaan


penguasa zalim, dan akhir kebaikan bagi mukmin yang difitnah.
Ini adalah kalimat yang tidak dikatakan secara serampangan, tidak
dikatakan Diri sebagai Zat Yang Maha Perkasa tanpa bukti. Bukti
bahwa Allah itu Perkasa dan Terpuji adalah Dia Pemilik kerajaan langit
dan dunia. Selama Dia pemilik keduanya beserta isinya, maka
kekuasaanNya akan dapat disaksikan.
‫ﺪ‬ ‫ﺷﻬﹺﻴ‬ ‫ﻲ ٍﺀ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ ﹸﻛﻞﱢ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺍﻟﻠﱠ‬‫ﺽ ﻭ‬
‫ﺭ ﹺ‬ ‫ﺍ َﻷ‬‫ﺕ ﻭ‬
 ‫ﺍ‬‫ﺎﻭ‬‫ﻤ‬‫ﻚ ﺍﻟﺴ‬
 ‫ﻣ ﹾﻠ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻱ ﹶﻟ‬‫ ﺍﻟﱠﺬ‬yang mempunyai
kerajaan langit dan bumi dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.
Sebaiknya tertulis kata “Dia” sebagai ganti dari kata “Allah”, hingga
menjadi “Dia Maha Menyaksikan segala sesuatu.” Namun ketika
Alquran tertulis dengan kata “Allah” bukan kata “Dia” mengandung arti
yang sangat jelas dan sempurna. Kata “Allah” bukan “Dia” untuk
menepis segala keraguan siapa yang perkasa dan terpuji itu? Siapa
pemilik langit dan bumi iut?
Kata menyaksikan segala sesuatu ini sesuai dengan apa yang
disebutkan pada awal surat. Kenapa? Karena Ia berfirman: “sedang
mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang
yang beriman.” (QS 85: 7) Telah kita katakan bahwa kata syahid
memiliki makna ganda yaitu sesuatu yang tampak dan tidak ada
sesuatupun yang gaib tentangnya. Atau syahid bagi orang yang tidak
memiliki saksi dari orang-orang yang dizalimi. Yaitu jika kamu
menzalimi seseorang dan di sana tidak ada seorang saksi pun yang dapat
membuktikan bahwa kamu telah menzaliminya. Maka argumennya
hanya ada pada Allah, bahwa kamu telah berbuat zalim terhadapnya.
***

(QS al-Burûj [85]: 10-16)


ba`_~}|{zyxwvu
ponmlkjihgfedc
¡ ~}|{zyxwvutsrq
ª©¨§¦¥¤£¢
Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada
orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian

206
AL-BURÛJ 85 JUZ 30

mereka tidak bertaubat, Maka bagi mereka azab Jahannam dan


bagi mereka azab (neraka) yang membakar. Sesungguhnya orang
-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh
bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai;
Itulah keberuntungan yang besar. Sesungguhnya azab Tuhanmu
benar-benar keras.Sesungguhnya Dia-lah yang menciptakan
(makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali). Dia-
lah yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, yang
mempunyai 'Arsy, lagi Maha mulia, Mahakuasa berbuat apa yang
dikehendaki-Nya.
Setelah itu Allah Swt memaparkan balasan bagi kelompok yang
pertama, lalu Ia berkata: “Sesungguhnya orang-orang yang mendatang-
kan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan
kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab Jahannam
dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar.” (85: 10)
Di sini kita temukan pesan taubat sebagai bukti bahwa Allah Swt
ketika berintraksi kepada seluruh makhluk Dia berintraksi sebagai
Tuhan kepada makhluk-Nya. Artinya, sebagai Tuhan atau Rabb yang
mendidik dan mengayomi, Dia tetap menganjurkan taubat atas setiap
dosa dan kekafiran yang telah dilakukan. Ini bukti bahwa tidak terdapat
pada Allah sifat dendam kesumat, meski apa yang telah dilakukan oleh
kaum kafir terhadap mukmin. Jika kafir atau pendosa bertaubat, Allah
akan menerima taubat itu dengan menghapus dan memaafkan mereka
seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.
Tidak ada suatu maksiatpun yang meninggalkan bekas pada Allah,
ketika pelakunya bertaubat dan kembali kepada Allah. Kenapa? Karena
Allah tidak dipengaruhi oleh apapun. Akan tetapi Dia yang mempenga-
ruhi segala sesuatu. Jika demikian maka apa yang dapat dilakukan oleh
kekufuran kaum kafir terhadap Allah? Apakah kekuasaan-Nya
berkurang? Apakah dengan ketaatan mereka kekuasaan-Nya
bertambah? Ketaatan tidak menambah kerajaan dan kekuasaan Allah,
begitu juga dengan kemaksiatan tidak mengurangi kerajaan dan
kekuasaan Allah. Semua ketaatan dan kemaksiatan dinilai Allah sebagai
satu nilai atas perbuatan pelakunya, untuk menerima pahala atau balasan
yang setimpal.
Firman Allah di atas merupakan anjuran agar ketika seseorang
terjerumus dalam kekafiran dan dosa, segera bertaubat. Tobat menjadi
penting karena akan menghapus apa yang telah dilakukannya dan
berakhir. Bayangkan jika pelaku kekafiran dan dosa, tidak termaafkan,

207
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

maka dia akan menjadi penjahat yang sangat merusak di dunia ini. Tapi
saat mereka mendengar: “Yang melakukan kekafiran, dosa besar dan
kemaksiatan akan diampuni ketika bertaubat,” maka ini adalah
pengharapan dan pencerahan.
Allah tidak ingin mengusir mereka yang kafir dan berdosa, karena
kekafiran dan dosa atau kejahatannya. Dia tetap menyarankan kepada
mereka untuk bertaubat, sebagai bukti kasih sayang-Nya. Taubat
menghapus kesalah sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa hubungan
setiap makhluk dengan Tuhan mereka adalah hubungan kasih sayang,
bukan hubungan permusuhan.
Inilah teladan Allah, yang layak diteladani mukmin di dunia, dalam
melihat kejahatan yang menimpa dirinya. Umar bin Khattab berkata
kepada Pembunuh saudaranya yang telah masuk Islam: “Ini adalah
orang yang buas dan jahat?”
Dia berkata: “Apa yang dapat aku lakukan terhadapnya kini, Allah
telah memberinya hidayah untuk beriman, maka masalahnya telah
berakhir.”
‫ﺤ ﹺﺮﻳ ﹺﻖ‬
 ‫ﺏ ﺍﹾﻟ‬
 ‫ﻋﺬﹶﺍ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻭﹶﻟ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬﻨ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﺏ‬
 ‫ﻋﺬﹶﺍ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻮﺍ ﹶﻓ ﹶﻠ‬‫ﻮﺑ‬‫ﻳﺘ‬ ‫ﻢ‬ ‫ ﹶﻟ‬‫ﺕ ﹸﺛﻢ‬
 ‫ﺎ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﺆ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬‫ﲔ ﻭ‬
 ‫ﻣﹺﻨ‬ ‫ﺆ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻮﺍ ﺍﹾﻟ‬‫ﺘﻨ‬‫ﻦ ﹶﻓ‬ ‫ﻳ‬‫ﹺﺇﻥﱠ ﺍﻟﱠﺬ‬
bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang al-
harîq/membakar. Kata al-harîq adalah salah satu neraka. Allah ingin
menerangkan sekilas tentang neraka yang memiliki bahan bakar. Bentuk
neraka jahannam bukan seluruhnya api, di dalamnya terdapat azab
berupa hawa dingin yang amat sangat. Jadi mereka akan diazab dengan
kedua bentuk azab ini. Oleh sebab itu disertakan kalimat “maka bagi
mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang
membakar.”
Atau orang yang kafir terhadap Allah ada dua bentuk: kekufuran
yang tidak mengandung penganiyaan terhadap orang mukmin, apakah
ini akan mendapat balasan atau tidak? Tentu mendapat balasan.
Kemudian kekufuran yang mengandung penganiayaan terhadap
mukmin karena keimanan mereka. Apakah ia tidak akan mendapatkan
balasan yang setimpal atas hal ini? Tentu mendapat balasan. Apakah
sama orang yang kufur terhadap Allah saja dan tidak menganiaya orang
yang beriman, dengan orang kafir terhadap Allah yang selalu
menganiaya mukmin dalam agamanya. Tentu berbeda, siksanya.
Jadi, bagi mereka azab jahannam atas kekufuran mereka meskipun
tidak merugikan mukmin. Kemudian bagi mereka azab neraka yang
membakar karena mereka telah menganiaya mukmin. Artinya, siksa

208
AL-BURÛJ 85 JUZ 30

berlipat bagi mereka yang melakukan dua kesalahan: kekafiran dan


penyiksaan.
Begitu juga dengan mukmin yang beriman dan berjuang
mempertahankan Islam, hingga mengorbankan jiwa dan raga akan
mendapatkan pahala yang berlipat ganda.
‫ﲑ‬
 ‫ﺯ ﺍﹾﻟ ﹶﻜﹺﺒ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻚ ﺍﹾﻟ ﹶﻔ‬
 ‫ﻟ‬‫ﺭ ﹶﺫ‬ ‫ﺎ‬‫ﻧﻬ‬‫ﺎ ﺍ َﻷ‬‫ﺘﻬ‬‫ﺤ‬
 ‫ﺗ‬ ‫ﻦ‬‫ﺠﺮﹺﻱ ﻣ‬
 ‫ﺗ‬ ‫ﺕ‬
 ‫ﺎ‬‫ﺟﻨ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺕ ﹶﻟ‬
 ‫ﺎ‬‫ﻟﺤ‬‫ﺎ‬‫ﻤﻠﹸﻮﺍ ﺍﻟﺼ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻮﺍ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻦ ﺁ‬ ‫ﻳ‬‫ﹺﺇﻥﱠ ﺍﻟﱠﺬ‬
sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal
yang saleh bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-
sungai; itulah keberuntungan yang besar. (QS 85: 11) Pertama, selamat
dari neraka. Kedua, masuk ke dalam surga. Dengan kisah kontradiksi
antara mukmin dan kafir ini terlihatlah perbedaan yang begitu jelas.
Kembali kepada kisah Ashabul Ukhdud, maka Allah menjelaskan
bahwa mereka mati dan belum bertaubat. Ini merupakan sindiran bagi
manusia yang hidup sezaman dengan Rasulullah, dengan ucapan kepada
mereka: “Jika kalian menyiksa Nabi dan pengikutnya, seperti yang
dilakukan oleh penguasa zalim sebelumnya, maka ketahuilah bahwa jika
kalian telah bertaubat maka dosa kalian akan terhapus. Tapi, jika tidak
bertaubat, siksa Allah berlipat bagi kalian.”
Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada
orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka
tidak bertaubat, maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka
azab (neraka) yang membakar. (QS 85:10) Kemudian disebutkan
lawannya, sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal-amal yang saleh bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; itulah keberuntungan yang besar. (QS 85:11)
Keberuntungan adalah melakukan transaksi dengan modal yang
kecil dan mendapatkan hasil yang besar. Disebut dengan kata besar,
karena modal iman dan amal saleh di dunia yang sementara di dunia ini,
dibalas dengan nikmat surga tanpa batas di akhirat kekal dan abadi.
Keberuntungan bagi mukmin di akhirat menjadi dobel. Pertama,
ketika mereka dijauhkan dari api neraka. Kedua, masuk ke dalam surga.
Ini adalah kemeangan yang besar dan juga kekal. Setelah itu mukmin
mendapatkan fasilitas plus sesuai sesuai dengan cobaan. Ini adalah
kemenangan yang lebih besar. Allah berkata: “Keridhaan Allah adalah
lebih besar.”
Setelah itu Dia berkata: ‫ﺪ‬ ‫ﺪﺪﻳ‬ ‫ﺸ‬
 ‫ ﻟﹶ‬‫ﻚ‬‫ﺑ‬‫ ﺭ‬‫ﻄﹾﺶ‬‫ ﺇﹺﻥﱠ ﺑ‬sesungguhnya azab
Tuhanmu benar-benar keras. Masalahnya adalah masalah kesinambung-
an. Allah tidak hanya mengazab Ashab Ukhdud, akan tetapi siapa saja

209
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

yang kafir dan menyiksa mukmin karena keimannya, akan diazab


dengan keras. Batsyu artinya keras, pedih menyakitkan. Maksudnya,
penyiksaan dengan keras.
Pada ayat “azab Tuhanmu” ini ditemukan tiga target. Pertama,
terget karena melawan Rabb/Tuhan. Kedua, melawan ka/kamu wahai
Nabi Muhammad. Juga kepada pengikut Nabi. Ini adalah ancaman bagi
kafir yang sezaman dengan Rasul yang menyiksa mukmin dalam bentuk
celaan, siksaan pisik atau pembakaran atau pelemparan ke dalam suhu
yang sangat panas. Ketiga, kata batsyu/siksaan diberi sifat lasyadid/
sangat pedih. Untuk menerangkan kepada siapa saja, bahwa manusia
tidak akan mungkin melawan Allah. Tidak akan mungkin mengalahkan
Tuhan, bahkan mereka yang tersiksa dan menjerit kesakitan.
‫ﺪ‬ ‫ﻌﻌﻴ‬ ‫ﻳ‬‫ﻭ‬ ‫ﺉ‬
 ‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻳ‬‫ﻮ‬‫ ﻫ‬‫ﻪ‬‫ ﹺﺇﻧ‬sesungguhnya Dia-lah Yang menciptakan (makhluk)
dari permulaan dan menghidupkannya (kembali). Karena arti bathsyu
adalah siksaan dengan keras dan ini memerlukan kekuatan yang besar.
Disebut kekuatan besar, karena di sana tidak ada yang lebih kuat dari-
Nya, karena Dia-lah yang menciptakan dan yang mengembalikan.
Jika Allah yang menciptakan dan mengembalikan, maka tidak ada
yang berada di atas-Nya. Tidak ada seorangpun yang bersamanya dan
selama tidak ada yang menyerupai-Nya, maka siksaan-Nya adalah
siksaan yang tidak ada pertolongan. Apabila Allah menyiksa kafir dan
pendosa, maka tidak seorangpun yang dapat melindunginya. “Sedang
Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab) -
Nya, jika kamu mengetahui?” (QS al-Mu’minûn [26]: 88)
Allah yang menciptakan makhluk, menjadikan semuanya ada, dari
sebelumnya tiada. Dia juga mengembalikan semuanya kepada-Nya.
Atau Dia menciptakan perbuatan dan mengembalikannya. Atau Dia
kuasa untuk menurunkan siksa pedih atas orang-orang sebelum kamu
atau mengembalikan alam seluruhnya. Atau jika manusia melihat
kepada segala sesuatu yang mengandung unsur-unsur kehidupan, maka
akan ditemukan bahwa proses penciptaan dan pengembalian adalah
pengulangan.
Apakah air yang ada di alam ini bertambah atau berkurang dari hari
pertama Allah menciptakan alam? Ia tidak bertambah dan tidak
berkurang. Yang berkurang misalnya adalah seseorang yang minum
sekian liter air dalam hidupnya. Air tersebut akan menguap darinya,
sebagian keluar dalam bentuk air seni, keringat, ingus dan lain
sebagainya. Apabila sebagian air masih ada di dalam tubuh saat sese-

210
AL-BURÛJ 85 JUZ 30

orang mati, maka air tersebut akan menguap darinya dan kembali turun
dalam bentuk hujan.
Sama halnya dengan mawar yang cantik dan memiliki wangi dan
segar, akan tetapi hanya dengan memetiknya, maka kesegaran tersebut
dapat luntur dan menguap ke angkasa. Hanya yang mengambil
wujudnya yang dapat mengembalikannya kembali. Kemana perginya
wangi yang hilang tersebut? Jadi masalahnya adalah gerakan seluruh
yang ada adalah rotasi atau gerakan yang melingkar.
‫ﺩ‬ ‫ﺩﻭ‬‫ﺩ‬‫ ﺍﻟﹾﻮ‬‫ﻔﹸﻔﻮﺭ‬‫ ﺍﻟﹾﻐ‬‫ﻮ‬‫ﻫ‬‫ ﻭ‬Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penga-
sih. Allah Maha Pengampun orang-orang yang berdosa, Allah Maha
Pengasih terhadap orang-orang Ia cintai. Ini menjadi pembelajaran, agar
manusia meneladani dua sifat sebagai makhluk yang beriman kepada
Allah.
Jika ditemukan sifat dari sifat-sifat Allah yang mengandung
superlatif hendaklah dipahami sifat kemahaan itu sesuai dengan
hakekatnya, jika dinisbatkan kepada Allah Swt. Sifat superlatif terdapat
dalam makhluk yang baharu. Makhluk terkadang bersifat kuat dan
terkadang lemah, bahkan dapat menjadi amat kuat dan amat lemah.
Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa di dalamnya terdapat superlatif.
Tetapi ketika dikatakan bahwa Allah Swt adalah Maha Pengampun
atau kemahaan dalam ampunan, itu tidak berarti bahwa sifat tersebut
menguat dan melemah, tapi sifat tersebut adalah sifat sempurna yang
selalu ada pada Allah. Sifat superlatif itu ada dalam muta’alliq. Atau
dalam keadaan hamba di mana Allah mengampuni mereka. Allah Maha
Pengampun untuk seluruh hamba yang berdosa, atau Dia Maha
Pengampun untuk seorang yang memiliki dosa yang banyak. Semua ini
adalah muta’aliq dalam ampunan. Mengapa Allah memiliki sifat
kemahaan? Karena kekuatan yang ada di dalam Zat Allah, atau karena
banyaknya muta’alliq yang disebutkan di atas tadi.
Apabila mukmin melihat kata ghafûr, ghaffâr, syakûr, dan shabbûr,
maka diketahui bahwa ia tidak disebut superlatif jika dinisbatkan kepada
Allah Swt, akan tetapi superlatif jika dinisbatkan kepada muta’alliqnya.
Kata ghafur ditemukan dalam bentuk biasa, misalnya: ‫ﺐ‬ ‫ﺮﹺ ﺍﻟﺬﱠﺬﻧ ﹺ‬‫ﻏﹶﻏﺎﻓ‬
yang Mengampuni dosa, dan dalam bentuk superlatif: ‫ﺏ‬  ‫ﺗﺎ‬‫ﻤﻦ ﺗ‬‫ ﻟﱢﻤ‬‫ﻔﱠﻔﺎﺭ‬‫ﻧﻲ ﻟﹶﻐ‬‫ﺇﹺﻧ‬‫ﻭ‬
dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat.
Ghafur tampak dari materi ini terdapat tiga kata: ghâfir, ini adalah sifat
dasar, setelah itu ghaffâr lalu ghafûr. Di dalamnya tidak terdapat

211
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

pengulangan. Semua sifat ini dinisbatkan kepada muta’alliqnya.


Ghafara itu sendiri artinya menutup. Kemudian di sana ada yang
disebut dengan mughfir yaitu sesuatu yng dipakai oleh seorang
pemberani untuk melindungi kepala mereka dari serangan musuh. Maka
ghaffâr dapat diartikan sebagai ghafru atau menutupi dosa di mana tidak
dapat diketahui oleh hambanya. Dalam hal ini, Allah sangat membenci
orang yang membuka aib dan dosa orang lain. Terlebih orang tersbut
sengaja mencari dosa dan kesalahan orang lain untuk dibuka di depan
umum. Ini bukan akhlak mulia. Ini merendahkan derajat penggosip.
Setelah itu “ghafûr” sebagai penutup atas dosa. Untuk itu ditemukan
sesekali ghafara bagi satu dosa, atau ampunan atas dosa-dosa, atau
puncaknya adalah sangat mengampuni dosa yang menurut manusia tak
termaafkan. Selama dia beriman kepada Allah, dan tidak mati dalam
keadaan musyrik. Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui
batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari
rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.
Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penya
yang.” (QS az-Zumar [39]: 53)
Mengapa syirik tak diampuni? Agar tidak bertentangan dengan
firman Allah Swt “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu,
bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS an-Nisâ' [4]: 48) Sehingga satu
nash tidak bertentangan dengan nash yang lain. Kita katakan: dan juga
meskipun ayat ini tidak mengatakan demikian maka ia dipahami dari
kata “qul ya ibadi” atau katakan kepada hamba-Ku. Kata ibadi adalah
hamba yang ikhlas. Setelah itu “yang melampaui batas terhadap diri
mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.”
Di sini tertulis bahwa Allah mengampuni dosa, bukan mengempuni
kekafiran atau kemusyirikan. Ada perbedaan antara dosa dengan kafir
datu musyrik. Dosa itu dilakukan oleh mukmin, karena kesilapan atau
kelupaan. Adapun kafir dan musyrik dilakukan oleh bukan Islam. Jadi,
kafir dan syirik itu bukan dosa. Ia adalah bingkai di luar Islam.
Jadi al-gaffâr menutupi dosa-dosa yang banyak di dunia di mana
seorang hamba tidak menjadi malu dengan dosanya di hadapan
manusia. Atau gaffâr bagi orang yang benar-benar bertaubat. Adapun
setelah itu ghafûr yang terjadi di akhirat bagi balasan dosa-dosa. Atau
ghafûr bagi yang belum bertaubat, karena Allah Swt telah memaafkan
hamba-Nya.

212
AL-BURÛJ 85 JUZ 30

al-Wadud merupakan sifat superlatif. al-Wudd satu wajn (neraca)


dengan fa’ul yang berarti isim fa’il/subjek, atau isim maf’ûl/objek. Arti
wadûd dengan demikian adalah penyayang bagi orang yang disukai-Nya
atau dicintai oleh orang yang mencitainya. Ini jika sebagai subjek.
Adapun jika sebagai objek: arti wadûd adalah dicintai oleh orang yang
menyayanginNya. Jadi wadûd bisa sebagai subjek atau objek. Dalam
arti: kasih dan sayang itu terkadang datang dari Allah kepada hamba,
atau terkadang juga datang dari hamba kepada Allah.
‫ﺪ‬ ‫ﻤﺠﹺﻴ‬ ‫ﺵ ﺍﹾﻟ‬
‫ﺮ ﹺ‬ ‫ﻌ‬ ‫ ﺫﹸﻭ ﺍﹾﻟ‬yang mempunyai 'Arsy lagi Mahamulia. Kata al-
Arsy, al-Kursiy, al-Mizân, al-Lauh al-Mahfûdz adalah masalah yang
disebut dengan istilah sam’iyyah. Yaitu hal-hal yang dapat diketahui
hanya melalui pendengaran. Pendengaran dari orang yang dipercaya
kejujurannya dalam menyampaikan pesan dari Allah Swt. Setelah
mendengar pesan tersebut, tidak wajib bagi akalmu untuk mengetahui
bentuknya. Jangan dikatakan: “Apa itu Arsy”? Bagaimana bentuknya?
Allah pemilik Arsy. Titik, tidak penting bagi kita untuk mengetahui
bagaimana bentuk dan sifatnya? Ketika saya katakan ratu Inggris
memiliki singgasana. Mungkin kita belum pernah melihatnya. Akan
tetapi ketidak mampuan kita untuk mengetahui bentuk dan sifatnya
tidak menghalangi ia benar-benar memiliki singgasana. Jadi mengetahui
inti sesuatu atau sifat sesuatu tidak tergantung atas penegasan
keberadaan sesuatu tersebut.
Demikian halnya ketika Allah berkata: “Aku memiliki kursi”, maka
pahamilah ia sebagaimana Allah mengatakannya. Setelah itu biarkan
bentuk dan sifatnya terbentuk sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Kenapa? Karena kita harus memahami segala sesuatu yang dinisbatkan
kepada Allah sebagaimana ia disebutkan. Jika tidak, maka kita telah
menggambarkan keberadaan Allah tanpa tubuh, karena ia tidak
memiliki tubuh. Lalu bagaimana sesuatu yang ada dapat digambarkan
tidak memiliki tubuh? Jadi segala sifat adalah milik Allah, jika sifat
tersebut ada pada makhluk-Nya, maka berikanlah sifat hamba kepada
hamba. Dan berikan sifat pencipta sesuai dengan pencipta dalam
lingkup tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Dia.
Bukan ini satu-satunya yang membuat akal berhenti ketika
menggambarkannya. Akan tetapi dalam materi kehidupan dan dalam
keadaannya yang konkrit Ia memberikan kepada kita banyak hal yang
tidak dapat kita jelaskan intinya. Sebagaimana halnya listrik yang
sampai saat ini tidak diketahui intinya. Mereka bertanya: “Apa itu

213
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

listrik? Apakah ia ada atau tidak? Apakah ada pengaruhnya atau tidak?
Apakah kita dapat menghasilkannya atau tidak?
Kita tidak mengetahui hakikatnya. Tapi, kita mengetahui bahwa
listrik itu ada dan ia sangat bermanfaat bagi kehidupan.
Apabila akalmu berhenti untuk memikirkan hal ini, maka ketahuilah
bahwa berhentinya akalmu untuk berpikir tentang Allah adalah
jawabannya. Karena Dia adalah sesuatu yang tidak dapat digambarkan.
Selama Dia adalah sesuatu yang tidak dapat digambarkan, maka Dia
berada di atas standar pengetahuan. Apabila kita menemukan sesuatu
berada di atas standar pengetahuan kita, maka katakanlah: “Aku tidak
memiliki pengetahuan tentangnya.” Ketidakmampuan untuk mengetahui
adalah sebuah pengetahuan.
Yang mempunyai 'Arsy lagi Maha Mulia.” Kata majîd dalam bahasa
diambil dari wâsi’. Oleh sebab itu salah satu namaNya adalah al-majîd
atau Yang Mahaluas. Yaitu yang luas pemberian-Nya bagi seluruh
tuntutan keberadaan. Selama pemberian-Nya telah luas bagi setiap
tuntutan keberadaan, maka Dia menjadi besar. Bersumber dari keluasan
pemberiannya dan banyaknya pemberiannya, Dia menjadi Mulia dan
agung.
‫ﺪ‬ ‫ﻳﺮﹺﻳ‬ ‫ﺎ‬‫ﺎ ﹲﻝ ﻟﱢﻤ‬‫ ﹶﻓﻌ‬Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya. Tidak
seorangpun boleh mengatakan: “Bagaimana mungkin Allah bisa
membuat orang yang beriman kepada-Nya dapat disakiti oleh orang
kafir?” Apakah kemampuan kafir untuk menyakiti mukmin bukan
bagian dari kehendak Allah? Jawabannya, tentu saja tidak. Karena
semua yang ada di alam ini tidak lepas dari kehendak Allah. Tapi,
bagaimana mungkin kafir menang melawan mukmin!?
Kemenangan kafir atas mukmin adalah proses ujian yang akan
memurnikan siapa mukmin sejati dan siapa yang munafik. Atau, siapa
yang jujur dan siapa yang berbohong.
Oleh sebab itu kamu temukan bahwa permasalahan antara para rasul
dengan para musuh mereka selalu berkelanjutan. Tidak seorang
rasulpun begitu diutus, lalu menang, dan dapat menundukkan dunia.
Mereka harus menghadapi kerendahan akal manusia yang tidak terikat
dengan manhaj.
Sebagai contoh, kerajaan Sulaiman. Apakah kita pernah melihat
peperangan yang terjadi antara Sulaiman dan seseorang? Tentu tidak.
Karena Sulaiman memiliki kerajaan. Seakan-akan manusia ketika
disiksa dengan pedih karena tidak lagi memiliki kemampuan dan

214
AL-BURÛJ 85 JUZ 30

kekuasaan akan mudah untuk beriman dan menerima ajaran Rasul.


Hingga Ratu Balqis penguasa saja harus tunduk kepada Sulaiman
dengan berkata: “Aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah,
Tuhan semesta alam.” (QS an-Naml [27]: 44) selesai masalah.
Artinya, manusia akan dengan mudah terikat dengan manhaj Allah
jika rasul yang diutus seperti Sulaiman yang memiliki kekuatan dan
kekusaan yang luar biasa, hingga semua makhluk di bawah kontrolnya.
Allah dapat juga mengutus seorang rasul dari malaikat yang tidak
seorang pun dari mereka dapat berbuat durhaka. Karena mereka
mengetahui bahwa rasul malaikat yang diutus itu memiliki kekuatan
yang dapat menyiksa.
Akan tetapi rasul bukanlah seorang malaikat, padanya berlaku ujian.
Terkadang ujian ini membuat kafir menjadi tinggi, terkadang ujian itu
membuat mukmin unggul dan berada di depan. Begitulah kehidupan,
begitulah sejarah lampau dan prediksi mendatang. Kalah dan unggul itu
merupakan hikmah yang hanya diketahui oleh Allah. Tapi, satu catatan
penting, akhir dari perjuang akan dimenangkan oleh mukmin. Ini pasti.
Itu karena mukmin yang masuk Islam dengan prinsip agama ini
pasti ditolong Allah, dan tak terkalahkan, berakhir dengan mendapat
rampasan perang adalah mukmin yang lemah. Mukmin yang telah kalah
perang begitu melihat penderitaan di awal peperangan. Mukmin seperti
ini tidak memiliki pondasi kuat, dan dia bukan mukmin sejati.
Adapun mukmin yang masuk Islam dengan prinsip bahwa agama ini
perlu ditolong dan diperjuangkan. Sehingga dia siap untuk diuji, disiksa,
diusir dan dipenjarakan, serta dibunuh. Insya Allah, hatinya telah
terdidik, mentalnya telah membaja, semangatnya tetap yang terbaik.
Inilah pejuang agama. Inilah mengemban risalah, penerus nabi masa
depan. Dia telah siap mental untuk berkorban lahir batin.
Jadi, pembelajaran pertama dalam dakwah adalah mempersiapkan
peserta dakwah untuk dididik dalam kesulitan hidup dan kesederhanaan,
hingga menjadi manusia yang tangguh dan handal. Kita katakan bahwa
Islam pada periode Mekkah tidak dijanjikan kemenangan. Jika mereka
menang di Mekkah, maka timbul dugaan bahwa mereka menang karena
bentuan kepala suku Quraisy pada masa itu.
Proses dakwah harus berjalan sesuai dengan misi dan visi utamanya:
meneybarkan Islam karena Allah. Hingga ketika mukmin peserta Bai’at
Aqabah berkata kepada Rasulullah: “Apa bagian kami?”
Nabi tidak mengatakan: “Kalian menang atas musuh-musuh kalian
dan kalian masuk dengan menaklukkannya.” Akan tetapi beliau berkata:

215
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

“Bagi kalian surga.”


Nabi tidak menyebutkan kesenangan dunia karena saat itu mereka
dalam masa pendidikan. Namun bukan berarti bahwa kesusahan dakwah
terus berjalan sepanjang usia. Tidak, ini hanya proses. Agar jelas, mana
transaksi surga di akhirat; dan mana transaksi dunia. Ujian itu
sementara, dan Allah pasti berpihak kepada mukmin dan Dia pasti
menolong mereka. Dengan catatan penting, bahwa mereka memiliki
iman dan melaksanakan risalah itu.
Ketika kafir menang atas mukmin atau penguasa zalim menang
dalam menyiksa mukmin, Allah ingin menyisipkan satu pesan penting:
yaitu bagaimana menikmati musibah dan ancaman itu, karena mereka
bersama Allah. Kebersamaan Allah dalam segala hal itu yang
terpenting. Mukmin yang disiksa saat dapat keluar dari siksaan itu
dengan bahagia merupakan kemenangan sesungguhnya. Dia yakin, iman
membuat dia bahagia. Inilah hakikat kemenangan.
Jadi, di saat penguasa zalim merasa menang dan di atas mukmin,
pada saat yang bersamaan mukmin terzalimi merasa bahagia karena dia
bersama Allah. Dalam proses awal dakwah, para dai perlu memiliki
bekal mental yang kuat dan keyakinan yang utuh “Allah bersama
dirinya.” Saat merasa diri lemah, dan musuh kuat, jika mindset yang
dibangun adalah orientasi dunia, maka mundur ke belakang sudah pasti.
Karena kalau diteruskan kematian adalah kepastian. Tapi jika
“kebersamaan Allah dihadirkan dan kekuatan iman ditanamkan” maka
pengeorbanan ini tidak mengenal jalan sia-sia. Mukmin sudah menang
sebelum berangkat ke medan perang. Karena melawan ujian dari dalam
diri itu adalah ujian sebenarnya dan kemenangan sesungguhnya. Prang
internal yang terjadi di dalam jiwa ini jauh lebih menentukan: apakah
perjuang dan dakwah ini untuk meraih dunia atau panggilan iman!?
Jika dakwah karena panggilan iman, Allah pasti akan menolong.
Bukan sebagai anugerah, tapi sebagai misi yang harus diemban dalam
mengaharmoniskan dunia.***

(QS al-Burûj [85]: 17-22)


º¹¸¶µ´³²±°¯®¬«
ÈÇÆÅÄÃÂÁÀ¿¾½¼»
Sudahkah datang kepadamu berita kaum-kaum penentang, (Yaitu
kaum) Firaun dan (kaum) Tsamud? Sesungguhnya kaum kafir

216
AL-BURÛJ 85 JUZ 30

selalu mendustakan, padahal Allah mengepung mereka dari


belakang mereka. Bahkan yang didustakan mereka itu ialah
Alquran yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.
‫ﺩ‬ ‫ﻤﻮ‬‫ﺛﹶﻤ‬‫ﻥﹶ ﻭ‬‫ﻮ‬‫ﻋ‬‫ﺮ‬‫ ﻓ‬‫ﻨﻮﺩ‬‫ﻨ‬‫ﺪﻳﺚﹸ ﺍﻟﹾﺠ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﺗﺎﻙ‬‫ﻞﹾ ﺃﹶﺗ‬‫ ﻫ‬sudahkah datang kepadamu berita
kaum-kaum penentang, (Yaitu kaum) Firaun dan (kaum) Tsamud. Di
sini dapat dilihat bahwa kata hadîts atau berita menunjukkan bahwa
kisah Firaun dan Tsamud merupakan topik pembicaran yang selalu
hangat. Kisah itu bukan pembicaraan yang baru yang bersumber dari
kita. Ayat ini mengisyaratkan bahwa boleh jadi Nabi telah mengetahui
kisah ini, atau boleh jadi juga bahwa Nabi belum mengetahuinya. Jika
belum mengetahui, maka ini adalah informasi pertama yang dia dengar
langsung dari Allah. Jika berita itu bersumber dari Allah, maka berita itu
pasti.
Walaupun kaum kafir berusaha keras untuk menghambat laju
dakwah dan sinar Islam, tapi mereka tidak dapat membantah kebenaran
Alquran di antaranya tentang ayat yang dikaji ini. Mereka tidak
mendebat dan tidak pula membantah. Ini bukti bahwa sebagian mereka
telah mengetahui kisah ini melalui perjalanan bisnis mereka ke beberapa
kota. Mereka mengenal kota Madain Saleh dan lainnya. Dalam
perjalanan bisnis itu mereka melalui kota ini, maka wajar jika mereka
tahu kisah ini.
Setelah itu ia datang untuk menerangkan tentang bala tentara: yaitu
Firaun dan Tsamud. Kata Firaun dan Tsamud ditemukan dalam bentuk
mufrad atau tunggal. Tapi, dalam ayat ini maksudnya adalah kabilah,
komunitas, masyarakat Tsamud. Adapun untuk Firaun tetap dalam
bentuk mufrad atau tunggal, karena tidak semua masyarakat Firaun
mendukung kekuasaan dan kezaliman Firaun. Firaun yang menyatakan
dirinya sebagai tuhan. Untuk itu ayat tidak bertuliskan “kaum” Firaun.
Kemudian datang dengan kata junûd. arti junûd adalah tajnid yaitu
tentara. Dari kata jundiyah atau ketentaraan di dalamnya mengandung
segala unsur persiapan maksimal untuk mewujudkan persiapan
maksimal dalam bertempur. Jadi, makna kata junûd atau tentara pada
Firaun adalah penentangan dan pembangangan yang dilakukan oleh
Firaun dengan cara mengaku-ngaku sebagai tuhan.
Allah berfirman dalam ayat lain: “Apakah kamu tidak
memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum 'Aad?,
(yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang
tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-

217
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

negeri lain, dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di


lembah, dan kaum Firaun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang
banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka
berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu
menimpakan kepada mereka cemeti azab, sesungguhnya Tuhanmu
benar-benar mengawasi.” (QS al-Fajr [89]: 6-14) Setiap kali proses
kerusakan dilakukan di dunia ini, Allah mengawasi dan Maha
Mengetahui tentang itu.
Kaum kafir Quraiys juga telah melawan dan menentang dakwah
Nabi Muhammad, tapi mereka tidak sampai sejahat dan sekejam Firaun.
Peradaban Quraisy pun tidak sampai sehebat peradaban Tsamud. Jadi,
apa yang mereka timpakan dalam melawan dan menantang Nabi adalah
masalah yang kecil dan remeh.
‫ﺐ‬‫ﻳ ﹴ‬‫ﺗ ﹾﻜﺬ‬ ‫ﻲ‬‫ﻭﺍ ﻓ‬‫ﻦ ﹶﻛ ﹶﻔﺮ‬ ‫ﻳ‬‫ﺑ ﹺﻞ ﺍﻟﱠﺬ‬ sesungguhnya kaum kafir selalu mendustakan.
Mengapa mereka berbohong? Untuk membuat justifikasi bagi diri
mereka dalam melakukan hal-hal yang bertentangan. Karena mereka
memiliki hati nurani yang menolak untuk melakukan kerusakan.
Penolakan ini adalah justifikasi untuk menyederhanakan masalah hati
nurani yang ternodai. Hati yang suci pasti mendukung kebaikan, untuk
itu perlu ditolak mereka dengan alasan yang dibuat-buat.
‫ﺤﻴ ﹲ‬
‫ﻂ‬ ‫ﺤ‬‫ﻬﹺﻬﻢ ﻣ‬‫ﺭﺍﺋ‬‫ﺭ‬‫ﻣﻦ ﻭ‬‫ ﻣ‬‫ﻭﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﻭ‬padahal Allah mengepung mereka dari belakang
mereka. Disebutkan dari belakang mereka karena mereka memposisikan
Allah di belakang mereka. Allah berkata kepada mereka: “Kalian telah
membuat Allah di belakang. Sesuangguh Zat yang kalian buat berada di
belakang kalian mengetahui tentang kalian seutuhnya.” Karena apa yang
diduga bahwa kalian telah mengalahkan Allah dengan berkata: “Kami
sekali-kali tidak dapat dikalahkan.” (QS al-Wâq'iah [56]: 60) Pada
hakikatnya Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
 ‫ﻔﹸﻔﻮ‬‫ﺤ‬‫ﺡﹴ ﻣ‬‫ﻓﻲ ﻟﹶﻮ‬‫ ﻓ‬‫ﺠﻴﺪ‬
‫ﻅ‬ ‫ﺠﹺ‬‫ﺮﺁﻥﹲ ﻣ‬‫ ﻗﹸﺮ‬‫ﻮ‬‫ﻞﹾ ﻫ‬‫ ﺑ‬Bahkan yang didustakan mereka itu
ialah Alquran yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuz.
Puncak pendustaan dan pengingkaran yang mereka lakukan jatuh pada
Alquran. Alquran didustakan sebagai posisinya yang berasal dari Allah.
Apakah benar Alquran ini dari Allah? Ini pertanyaan yang terus
disampaikan dari sahulu hingga akhir zaman. Kedua, peingkaran
Alquran terkait dengan isi dan pesan yang disampaikannya. Contohnya,
Alquran tidak benar saat ia membolehkan poligami dan menyatakan
warisan laki-laki dan wanita sama dengan dua banding satu.

218
AL-BURÛJ 85 JUZ 30

Sebagai jawaban atas pengingkaran itu, katakanlah: “Alquran benar


dalam penyampaiannya, Muhammad benar atas apa yang
disampaikannya dari Allah. Alquran ini berbeda dari selainnya, dan
Allah adalah pelindung bagi keotentikan dan keorijinalannya yang
terekam di dalam Lauh Mahfuz.”
Mahfuz bukan sifat Alquran, mahfuz atau terjaga adalah sifat lauh.
Jika tempat Alquran adalah mahfuz dan terjaga, lalu bagaimana
menurutmu dengan Alquran itu sendiri.
Maka hendaklah Nabi Muhammad dan umat Islam setelahnya
bersabar atas pengingkaran mereka terhadapmu dan terhadap kitab suci
Alquran. Karena di dalam Lauh Mahfuz terdapat Alquran yang
diturunkan kepadamu. Alquran itu tidak tersentuh oleh penyimpangan;
baik ketika berada di Mala’ al-A’la tempat tertinggi, atau pun ketika ia
berada padamu. Kondisi Alquran senantiasa akan tetap seperti yang
diturunkan oleh Allah, tanpa pernah mengalami perubahan.***

219
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

220
ATH-THÂRIQ 86 JUZ 30

SURAT 86
ATH-THÂRIQ
(MAKKIYAH)

221
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

222
AL-BURÛJ 85 JUZ 30

Surat ath-Thâriq ini bagaikan ketukan-ketukan beruntun atas rasa.


Ketukan keras dan hentakan pedas serta tamparan pahit yang
membangunkan manusia yang lagi tidur. Ketukan, hentakan dan
tamparan yang terpokus pada satu titik: bangkitlah, bangunlah, lihatlah,
perhatikanlah, pikirkanlah, renungkanlah. Maka kamu akan menemukan
di sana ada Tuhan, di alam ini ada Pengatur, di kehidupan ini ada takdir.
Walaupun di sini ada ujian dan cobaan, tapi di sana ada balasan dan
ganjaran, serta di sana juga akan ditemukan siksa yang pedih, di
samping nikmat yang membahagiakan.
Surat ini gambaran jelas tentang perenungan itu. Dalam perenungan
itu ditemukan beberapa macam sketsa, yang dihiasi dengan instrumen
merdu dan lonceng indah serta membangkitkan makna-makna rohani.
Di antara sketsa itu adalah sketsa kedatangan bintang, cahayanya yang
menembus, pancaran air mani, kembali dan pergi. Di antara makna-
makna yang membangkitkan rohani adalah Pada hari dinampakkan
segala rahasia, maka sekali-kali tidak ada bagi manusia itu suatu
kekuatanpun dan tidak (pula) seorang penolong. (QS 86: 9-10)
Dipertegas dengan stresing poin yang sangat penting: sesungguhnya
Alquran itu benar-benar firman yang memisahkan antara yang hak dan
yang batil. Dan sekali-kali bukanlah Dia senda gurau. (QS 86: 13-14)
Serta ancaman bagi mereka yang tetap tidak mawas diri setelah
peringatan disampaikan: Sesungguhnya orang kafir itu merencanakan
tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya. Dan akupun membuat
rencana (pula) dengan sebenar-benarnya. Karena itu beri tangguhlah
kaum kafir itu Yaitu beri tangguhlah mereka itu barang sebentar.
Antara perenungan atas sketsa yang disaksikan dengan pesan penting
yang ingin disampaikan ditemukan keterkaitan yang begitu kuatnya. Ini
semua terlihat jelas pada pemaparan surat dalam keindahan untaian ayat
suci Alquran di dalam surat ini.***

TIAP MANUSIA ITU ADA YANG PENJAGANYA


(QS ath-Thariq [86]: 1-4)
 KJIHGFEDCBA
RQPON ML
Demi langit dan yang datang pada malam hari. Tahukah kamu
Apakah yang datang pada malam hari itu? (Yaitu) bintang yang

223
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

cahayanya menembus, tidak ada suatu jiwa pun (diri) melainkan


ada penjaganya.
Surat ath-Thâriq yaitu surat makkiyah merupakan salah satu dari
surat-surat pendek: “Demi langit dan yang datang pada malam hari,
tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?, (yaitu)
bintang yang cahayanya menembus, tidak ada suatu jiwapun (diri)
melainkan ada penjaganya.” Sebelumnya telah disebutkan banyak surat
yang mengandung penarik perhatian manusia kepada fenomena alam
dan kepada perubahannya dalam bentuk guncangan. Sebagaimana
firman Allah: “Apabila matahari digulung.” (QS at-Takwîr [81]: 1)
“Apabila langit terbelah.” (QS al-Infithâr [82]: 1)
Sebelumnya kita juga telah mendengar firman Allah “Demi langit
yang mempunyai gugusan bintang.” (QS al-Burûj [85]: 1) sebagai
sumpah. Di sini Allah berfirman: “Demi langit dan yang datang pada
malam hari, tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?,
(yaitu) bintang yang cahayanya menembus.” (86: 1-3)
Telah dijelaskan secara bahasa, bahwa langit adalah seluruh yang
berada di atasmu dan menaungimu. Langit memiliki bentuk yang
diciptakan oleh Allah sebagai atap bagi bumi seluruhnya. Ketika
berbicara tentang langit, para ilmuwan hanya melihatnya dari satu sisi
yaitu arah yang ada di atas. Setiap kali akal mereka mendapat petunjuk
kepada adanya sesuatu yang lebih tinggi, mereka menganggapnya
sebagai langit. Misalnya mereka menafsirkan pada abad sebelumnya
bahwa yang dimaksud dengan langit adalah tujuh planet yang ada di
sekitar matahari. Karena akal belum menemukan planet yang berjalan
seputar matahari lebih dari tujuh. Akan tetapi setelah itu ditemukan
planet lain hingga batallah penafisran mereka bahwa langit adalah
planet-planet yang beredar di sekeling matahari.
Pada kenyataannya, seluruh yang kita lihat berupa planet, bintang
dan falak berada di bawah langit dunia. Bagi setiap peneliti hendaklah
memperhatikan firman Allah Swt ketika berbicara tentang planet-planet
ini. Ia berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang
terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang.” Hendaklah kita ketahui
bahwa seluruh yang kita lihat berupa bintang-bintang, planet dan falak
berada di bawah langit dunia. Setelah itu tinggallah langit sebagai atap
yang terjaga sebagaimana yang dikehendaki Allah dalam
penciptaannya. Adapun dari apa ia diciptakan dan bagaimana ia
diciptakan adalah masalah yang tidak diminta oleh Allah Swt dari kita

224
ATH-THÂRIQ 86 JUZ 30

untuk diketahui, sebagaimana pengetahuan lainnya. Ketika Allah


menyebutkan langit, maka cukup yang tergambar di benak kita adalah
tujukan dari kata tersebut.
Setelah itu Allah berfirman: ‫ﻕ‬
‫ﺍﻟﻄﱠﺎ ﹺﺭ ﹺ‬‫ﺎﺀ ﻭ‬‫ﻤ‬‫ﺍﻟﺴ‬‫ ﻭ‬demi langit dan yang
datang pada malam hari. Allah memberikan kepada kita gambaran apa
yang tidak kita ketahui intinya akan tetapi dapat kita ketahui
pengaruhnya pada kehidupan kita. Diketahui bahwa langit beserta
bintang memiliki visi dan misi. Jadi tujuan dari hamba yang mukallaf
adalah untuk melihat pengaruh sesuatu ini dan tidak berniat untuk
mengetahui kaifiyatnya. Memanfaatkan banyak hal adalah sesuatu; dan
mengetahui komposisinya adalah sesuatu yang lain. Pemanfaatan
manusia terhadap seluruh apa yang ada di alam ini tidak menyebabkan
mereka harus mengetahui bagaimana ia diciptakan. Kita telah
menikmati matahari, kita telah menikmati angin dan air, meskipun kita
tidak mengetahui hakikat yang ada pada matahari, dan bagaimana ia
diciptakan.
Allah Swt menarik perhatian kita dengan firmanNya: “ath-Thariq”
atau yang datang pada malam hari kepada langit yang keberadaannya
sangat bermanfaat bagi manusia, kemudian menjelaskan kepada kita
bahwa ath-Thâriq ini adalah sesuatu untuk diketahui hanya dengan akal
manusia semata. Dia berfirman: “Tahukah kamu apakah yang datang
pada malam hari itu?”
Maksudnya, bahwa ath-thâriq tersebut tidak mungkin dijangkau dan
dikenal oleh akal pikiran manusia yang terbatas ini. Akan tetapi manusia
dapat mengetahui pengaruh atau efek dari keberadaan langit.
Allah memperkenalkan ath-thâriq dengan firman-Nya: “Yaitu
bintang yang cahayanya menembus.” Jadi pemberitahuan Allah tentang
ath-Thâriq adalah bintang yang cahayanya menembus hingga kita dapat
mengetahuinya.
Pertama, kata ath-Thâriq adalah isim fa’il dari Tharaqa, yang
artinya memukul dengan keras sehingga menimbulkan suara. Dari kata
ini juga diambil kata mithraqah al-haddâd (palu tukang besi) karena ia
menimbulkan suara. Darinya juga diambil kata thâriq yaitu jalan yang
kita lalui karena orang yang berjalan adalah orang yang menelursuri
jalan dengan kakinya. Setelah itu ditemukan kebiasaan secara bahasa
bahwa thâriq adalah orang atau manusia yang berjalan atau yang
menelusuri jalan. Kemudian ia beralih makna yaitu khusus bagi orang
yang berjalan di malam hari. Jadi padanya terdapat berbagai macam

225
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

peralihan makna.
Akhirnya ath-thâriq bermakna orang yang berjalan pada malam
hari. Karena malam mengandung kesunyian. Arti sunyi adalah gerakan
menjadi tenang dan tidak ada keributan. Ketika gerakan di alam menjadi
tenang dan keributan sirna, maka seluruh gerakan orang yang berjalan
akan lebih mudah didengar.
Orang yang berjalan di siang hari tidak dapat didengar gerak
langkahnya, karena gerakan alam di siang hari menimbulkan kebisingan
sehingga meredam suara orang yang berjalan di siang hari itu. Akan
tetapi dalam suasana tenang, orang yang berjalan dapat didengar.
Atau karena ketika orang yang berjalan pada malam hari, pintu
rumah selalu dalam keadaan tertutup, lalu dia mengetuknya untuk dapat
masuk. Sedangkan pada siang hari pintu sering terbuka. Jadi kata
tersebut beralih makna kepada ath-Thâriq (orang yang berjalan pada
malam hari).
Setelah itu terdapat peluasan makna yaitu setiap apa yang datang
kepada manusia baik itu berupa dugaan atau imajinasi, mereka
menyebutnya juga dengan thâriq. Oleh sebab itu mereka mengatakan:
saya berlindung kepada Allah dari prasangka yang datang. Prasangka
adalah sesuatu yang datang dengan keburukan sehingga menimbulkan
kerusakan pada manusia, padanya tidak terdapat masalah yang konkrit.
Oleh sebab itu mereka berkata: thâriq dapat saja tidak diberi izin dan
mungkin saja ditolak jika berbentuk materi. Akan tetapi jika immateri,
tidak dapat diketahui bagaimana ia dapat menyusup ke dalam dirimu.
Ini adalah rahasia berbagai jenis dari ath-Thâriq. Rahasia jenis ath-
thariq ini yang tidak dapat kamu tutupi dengan menutup pintu, atau
menolaknya ketika kamu melihatnya. Akan tetapi ia menyusup dengan
lembut ke dalam hatimu, ini yang disebut dengan thariqul hammi.
Bintang yang cahayanya menembus. Arti kata tsâqib adalah bahwa
cahaya bintang menembus kegelapan. Ini merupakan salah satu bukti
kekuasaan Allah di alam ini. Kenapa? Karena Allah Swt ingin
menjelaskan tentang pemeliharaan-Nya terhadap makhluk-Nya. Ketika
matahari mengirim sinarnya pada siang hari, manusia mulai sibuk
melakukan aktivitasnya dan mereka mengetahui apa yang mereka
terima. Apabila malam telah tiba membawa kegelapan menyelimuti
alam, terkadang manusia terpaksa berkerja atau berjalan pada malam
hari.
Allah Swt tidak melarang aktivitas jenis ini meskipun Dia telah

226
ATH-THÂRIQ 86 JUZ 30

menciptakan matahari. Oleh sebab itu, dalam ayat yang lain Dia
berfirman: “(Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dengan
bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk.” (QS an-Nahl [16]:
16)
kegelapan malam dapat ditembus oleh sinar bintang yang datang
adalah hal yang dapat disaksikan lalu ditergaskan bahwa ia adalah
thâriq. At-thâriq ditujukan bagi sesuatu yang konkret karena perubahan
arti terakhir bagi kata thariq adalah sesuatu yang datang kepadamu dari
jenis apa saja; baik itu prasangka, atau imajinasi atau sesuatu yang tidak
memiliki suara.
Ketika Allah berfirman: ‫ﺐ‬  ‫ﻗ‬ ‫ﻢ ﺍﻟﺜﱠﺎ‬ ‫ﺠ‬ ‫ ﺍﻟﻨ‬yaitu bintang yang cahayanya
menembus, menunjukkan bahwa sinar yang datang berasal dari bintang.
Jika sinar bintang tidak datang pada malam hari, maka kegelapannya
akan menyeluruh. Selama kegelapannya menyeluruh, maka gerakan
tidak akan dapat dilakukan dengan leluasa. Seakan-akan di sini Allah
berkata: “Bintang menembus malam dengan sinarnya, merupakan
bagian dari perlindungan Allah terhadap manusia.”
Allah memberikan sinar matahari pada siang hari, dan sinar bintang
pada malam hari, sehingga siapapun yang ingin melakukan aktivitas
kehidupan dapat melakukannya pada waktu siang dan malam.
Kita selalu mengatakan bahwa sumpah yang ada dalam Alquran
haruslah berhubungan dengan sesuatu yang disumpahkan yang
bertujuan sebagai penegasannya. Maka apa hubungan at-thariq yang
merupakan “bintang yang cahayanya menembus” dengan apa yang
disumpahkan oleh Allah Swt; ‫ﻆ‬ ‫ ﹲ‬‫ﺣﺎﻓ‬‫ﻬﺎ ﺣ‬‫ﻬ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻤﺎ ﻋ‬‫ﻔﹾﺲﹴ ﻟﱠﻤ‬‫ ﺇﹺﺇﻥ ﻛﹸﻞﱡ ﻧ‬tidak ada suatu
jiwapun (diri) melainkan ada penjaganya. Kata hâfidz di sini diambil
dari kata al-hifdzu yang berarti pemeliharaan dan penjagaan dari yang
menjaga terhadap yang dijaga. Atau datang dari hâfidz yang berarti
pengawas yang tidak ada sesuatupun yang luput darinya.
Apabila kita mengambil kata hâfidz dengan arti yang dijaga dan
dipelihara dengan pemeliharaan-Nya, kita temukan Allah Swt berkata
dalam ayat yang lain: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu
mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka
menjaganya atas perintah Allah.” (QS ar-Ra'ad [13]: 11) yaitu bahwa
penjagaan tersebut berasal dari perintah Allah.
Banyak peristiwa yang terjadi pada manusia yang tidak mungkin
ditolak dengan kekuatan atau kemampuannya. Dia berkata: “Ini adalah
masalah yang berat, saya tidak dapat mengatasinya, akal saya juga

227
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

buntu.” Itu artinya bahwa Allah Swt mewakilkan penjagaan manusia


kepada sesuatu yang memiliki kekuatan yang lebih darinya. Artinya
manusia memerlukan penjagaan. Terkadang manusia mengalami
kejadian atau peristiwa yang terjadi tiba-tiba. Jika tidak ada penjagaan
dari Allah Swt terhadap diri manusia, tentu peristiwa yang terjadi tiba-
tiba itu dapat membahayakan mereka.
Jadi firman Allah Swt: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang
selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka
menjaganya atas perintah Allah.” (QS ar-Ra'ad [13]: 11) Artinya, kamu
tidak dibiarkan terombang ambing sendirian di dunia ini. Di sana
terdapat banyak hal dan peristiwa yang berada di luar kemampuan dan
kekuatanmu. Jika seandainya Allah tidak memerintahkan bantuannya
untuk menjaga manusia dari apa yang tidak diketahui yang berada di
sekelilingnya, maka manusia akan mendapat bahaya. Jadi penjagaan di
sini adalah pemeliharaan bagi yang dijaga. Atau artinya di sini adalah
pengawasan dan pengetahuan atas seluruh yang terjadi terhadap yang
dilindungi.
Jadi ayat: “Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malai
kat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan
yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu)” (QS al-Infithâr [82]: 10-
11) menegaskan bahwa “tidak ada suatu jiwapun (diri) melainkan ada
penjaganya.”
Lamma mengandung banyak arti. Pertama, ‫ﻆ‬ ‫ ﹲ‬‫ﺣﺎﻓ‬‫ﻬﺎ ﺣ‬‫ﻬ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻤﺎ ﻋ‬‫ﻔﹾﺲﹴ ﻟﱠﻤ‬‫ﺇﹺﺇﻥ ﻛﹸﻞﱡ ﻧ‬
tidak ada suatu jiwapun (diri) melainkan ada penjaganya mengandung
arti penafian atau peniadaan. Kedua, mengandung arti illa ististnaiyyah
atau pengecualian. Artinya: tidak ada suatu jiwapun diri illa/melainkan
ada penjaganya, maka kata ini menjadi lurus. Karena nakirah dalam
alur nafyi menjadi umum sehingga gaya bahasanya sejalan. Akan tetapi
lihatlah bagaimana ia ditegaskan. Nakirah dalam siyaq nafyi kemudian
setelah itu datang kullu agar mengandung arti peliputan atau
pengetahuan dari dua cara. Yang pertama an-nakirah dalam siyaq nafyi.
Yang kedua peliputan dengan kata kullu. Artinya tidak satu jiwapun
yang menyangka bahwa dirinya terlepas dari pemeliharaan dan
pengawasan. Pengawasan ini adalah pengawasan Allah Swt atau
pengawasan apa yang diwakilkan oleh Allah kepada mereka untuk
menulis.
Kita temukan bahwa keterkaitan ayat ini dengan ayat sebelumnya
yang berbunyi “tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari

228
ATH-THÂRIQ 86 JUZ 30

itu?, (yaitu) bintang yang cahayanya menembus,” adalah keterkaitan


yang menarik, seakan-akan pemelihara dan pengawas mengetahui
segalanya, sebagaimana bintang yang sinarnya menembus kegelapan
dan menerobos keheningan. Ini sumpah bagaikan dalil atas sesuatu yang
disumpahkan atasnya.
Ketika Dia berkata: “tahukah kamu apakah yang datang pada
malam hari itu? (yaitu) bintang yang cahayanya menembus” yang
menembus kegelapan sehingga manusia dapat melihat banyak hal. Ini
sejalan dengan “tidak ada suatu jiwa pun (diri) melainkan ada
penjaganya.” Penjaga ini menembus seluruh rahasianya.
Oleh sebab itu akan datang di akhir “Pada hari dinampakkan segala
rahasia.” Jadi Allah Swt mengalihkan kita dari ayat kauniyah kepada
ayat nafsiyah. Ayat kauniyahnya terdapat pada ayat 1 sd 3, dan ayat 4
merupakan ayat nafsiyah. Ayat kauniyah adalah ayat-ayat yang terkait
dengan alam raya atau tanda-tanda kuasanya di alam raya. Sedangkan
ayat nafsiyah adalah ayat-ayat atau tanda-tanda kuasa Allah yang
terdapat pada diri manusia.
Di sini tampak bagi kita ketelitian penyampaian Alquran dalam
firman Allah ayat keempat. Karena pemberian yang pertama adalah bagi
kebaikan manusia. Selama sinar matahari di siang hari dan sinar bintang
menembus malam, agar manusia dapat melakukan aktivitas siang dan
malam untuk kebaikan mereka, maka tidak ada makan siang yang gratis.
Manusia juga perlu hidup untuk melakukan kebaikan sebagaimana alam
semesta telah melakukan itu. Allah telah memberi semua anugerah,
tidak berarti setelah itu, manusia dibebaskan hidup tanpa ikatan.
Pemeliharaan Allah terhadap manusia merupakan bukti manusia
memiliki misi bersama Allah.
Oleh sebab itu Dia mulai menjelaskan kepada manusia tugasnya
sebagai wakil Allah. Ini dimulai dari keterangan awal penciptaan
dirinya:***

229
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

ALLAH YANG KUASA MENCIPTAKAN MANUSIA,


KUASA PULA MEMBANGKITKANNYA
(QS ath-Thariq [86]: 5-10)
a`_^]\[ZYXWVUTS
rqponmlkjihgfedcb
Maka hendaklah manusia memperhatikan dari Apakah Dia
diciptakan? Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, yang
keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada
perempuan. Sesungguhnya Allah benar-benar Kuasa untuk
mengembalikannya (hidup sesudah mati). Pada hari
dinampakkan segala rahasia, maka sekali-kali tidak ada bagi
manusia itu suatu kekuatanpun dan tidak (pula) seorang
penolong.
Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia
diciptakan? Kemudian “Dia diciptakan dari air yang terpancar, yang
keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada. Sesungguhnya Allah
benar-benar kuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah
mati).” (86: 5-10) Ayat ini sesuai dengan sumpah Allah: “Demi langit
dan yang datang pada malam hari, tahukah kamu apakah yang datang
pada malam hari itu?, (yaitu) bintang yang cahayanya menembus.” (86:
1-3) Sesuai dengan firman Allah “tidak ada suatu jiwapun (diri)
melainkan ada penjaganya.” (86: 4)
Ayat yang sama, atau ayat ini “Maka hendaklah manusia memper-
hatikan dari apakah dia diciptakan?Dia diciptakan dari air yang
terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada,” (86:
5-7) sesuai dengan penjagaan dalam: “Sesungguhnya Allah benar-benar
kuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati).” (86: 8) Kapan?
“Pada hari dinampakkan segala rahasia, maka sekali-kali tidak ada
bagi manusia itu suatu kekuatanpun dan tidak (pula) seorang
penolong.” (86: 9-10)
‫ﻖ‬ ‫ﻠ‬ ‫ﺧ‬ ‫ﻣﻢ‬ ‫ﺎ ﹸﻥ‬‫ﻨ ﹸﻈ ﹺﺮ ﺍﹾﻟﺈﹺﻧﺴ‬‫ ﹶﻓ ﹾﻠﻴ‬maka hendaklah manusia memperhatikan dari
apakah dia diciptakan. (86: 5) Allah menciptakan manusia adalah
sesuatu yang tidak diragukan. Akan tetapi yang diminta dari manusia
adalah untuk melihat ke dalam proses unik dari penciptaan dirimu.
Allah berkata kepadanya: “Lihatlah wahai manusia awal dari bentukmu
yang sempurna di alam ini.”
Manusia dalam keseimbangan alam adalah khalifah atau wakil

230
ATH-THÂRIQ 86 JUZ 30

Allah untuk mengatur alam ini menjadi lebih baik. Seluruh jenis yang
ada di alam ini tunduk untuk melayani manusia, karena manusia
memiliki berbagai keistimewaan dan tanggung jawab.
Tumbuhan memiliki keistimewan dari benda dengan gerakan
pertumbuhannya. Hewan lebih istimewa dari tumbuhan karena ia
memiliki insting. Sedangkan manusia berbeda dari hewan dengan akal
pikiran. Jadi puncak tertinggi dari jenis-jenis tersebut adalah manusia, di
bawahnya hewan, tumbuhan dan terakhir benda.
Ia berfirman: “Wahai manusia yang berada pada posisi puncak
kesempurnaan, lihatlah dari apa kalian diciptakan!” Maka hendaklah
manusia melihat dari apa ia diciptakan.
Kata melihat di sini jika kamu dengar dari Alquran bukan berarti
sekedar melihat dengan mata, akan tetapi artinya adalah berpikir atau
gunakan akal dan pikiran. Karena berpikir adalah sepertiga dari
penglihatan. Seakan-akan artinya berpikirlah dan ambillah kesimpulan
berdasarkan fakta dan data melalui pengamatan. Pengamatan atas fakta
dan data akan membawa ilmuan sampai kepada kenyataan.
Setiap percobaan ilmiah dimulai dengan pengamatan atas fakta dan
data yang bertebar di alam ini. Fakta dan data diuji di laboraturium,
secara terus menerus dan berkesinambungan berdasarkan hipotesa yang
akan ditetapkan sebagai teori. Kemudian teori yang dibangun dicoba
untuk diperaktekkan dalam dunia nyata. Hingga teori ini dapat berdaya
guna dalam membangun pradaban manusia yang dikehendaki Allah.
Jadi dasar ilmu pengetahuan adalah penglihatan atau observasi
hingga memiliki wawasan yang luas dan tidak sempit. Selama manusia
tidak menciptakan dirinya dan tidak memberikan kepemimpinan ini
baginya dan tidak mendapatkannya dengan kekuatannya maka wajib
bagi dirinya untuk memahami kisah asal penciptaannya.
“Hendaklah manusia melihat” jadi apa yang dimaksud dengan
manusia di sini? Maksud redaksi ayat ini ditujukan kepada manusia
yang diciptakan dari air yang memancar, bukan kepada Nabi Adam
diciptakan dari tanah. Allah ingin memalingkan manusia selain Adam
kepada ungkapan tentang proses penciptaan diri mereka. Allah tidak
meminta mereka untuk melihat, kecuali jika di sana terdapat kebodohan.
Tidak terdapat kebodohan, kecuali jika manusia tidak menyaksikan hal
ini. Adapun Adam telah menyaksikan penciptaan dan penghembusan
napas dengan kekuasaan Allah. Artinya, Adam telah menyaksikan
proses penciptaan dirinya, sedangkan keturunannyanya tidak
mengetahui bagaimana Allah menciptakan ini. Jadi maksud manusia

231
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

pada ayat ini adalah seluruh manusia kecuali Adam dan Hawa.
Allah Swt mengatakan ‫ﻖ‬ ‫ﻓ ﹴ‬ ‫ﺍ‬‫ﺎﺀ ﺩ‬‫ﻦ ﻣ‬‫ﻖ ﻣ‬ ‫ﻠ‬ ‫ﺧ‬ Dia diciptakan dari air yang
terpancar. Maksud dari penciptaan pada ayat ini adalah menciptakan
dari ketiadaan atau dari nol. Maksud dari nol atau tiada ada dua:
pertama, nol dalam arti ketiadaan sama sekali atau kosong melompong.
Kedua, tercipta dari benda yang ada tapi benda itu tidak layak untuk
menjadikan manusia seutuhnya.
Jika dilihat misalnya kepada bahan yang darinya manusia
diciptakan, maka ditemukan sperma yang bertemu dengan ovum
sehingga muncullah sel. Setelah itu sel terbagi. Sel ini tidak memiliki
akal, pengetahuan dan kehendak, akan tetapi ketika ia mengalami
pembelahan, ini adalah sesuatu yang menakjubkan, Allah yang
menciptakannya memberi petunjuk jalan kepadanya.
Setelah sel terbagi, ditemukan sebagian sel membentuk untuk
membuat tulang, sebagian yang lain membentuk otot, sebagian lagi
membentuk urat. Yang bekerja membentuk tulang, tidak seluruhnya
membentuk tulang yang satu dan sejenis, karena tulang itu sendiri
memiliki jenis. Sel ini dapat membentuk bagian-bagian tulang yang
beragam: tulang yang kosong, tulang permukaan dan tulang dalam.
Pekerjaan yang tidak mungkin dapat terwujud kecuali apabila di
belakangnya terdapat Pengatur yang meletakkan segala sesuatu yang
berhubungan dengan instink ini pada rel-relnya sehingga dapat
menghasilkan misi yang dituju. Ia menjadi satu sel kemudian ini
menjadi tulang, dan ini menjadi alat pencernaan dan yang ini menjadi
alat pernafasan, dan ini menjadi urat. Semua ini berbahan dasar dari satu
satu.
Ini menunjukkan pada apa? Menunjukkan bahwa di belakang
manusia yang besar ini terdapat Allah sebagai kekuatan yang besar,
Tuhan yang memiliki kemampuan yang luar biasa, arsitektur ulung atau
Tuhan yang meletakkan dalam sel sarana kehidupan.
Ketika berbicara tentang proses penciptaan, Allah Swt mencabut
dan meralat pemikiran manusia yang salah bahwa penciptaannya harus
melalui sebab, yaitu lahirnya bayi harus melalui air yang memancar
yang keluar dari tulang sulbi dan tulang dada. Tidak, sebenarnya tidak
demikian, penciptaan dan kelahiran manusia terjadi karena Allah ingin
menciptakan dan membuat bayi itu lahir. Dia dapat saja menciptakan
manusia tanpa sebab, sebagaimana Dia menciptakan Adam.
Allah mengajarkan kepada kita bahwa sebab bukanlah yang menjadi

232
ATH-THÂRIQ 86 JUZ 30

kan, akan tetapi musabab atau Allah yang menjadikan. Ketika tidak ada
air yang memancar dari tulang sulbi dan dada, Allah telah menciptakan
bapak kalian Adam. Dia juga telah menciptakan dari satu tanpa ada
yang lain seperti proses penciptaan Hawa dan Isa. Jadi masalahnya
bukan seputar sebab. Karena sebab tidak berperan tanpa Allah.
Terkadang terdapat dua sebab secara bersamaan yang merupakan air
yang memancar dan keluar dari tulang sulbi dan tulang dada, akan tetapi
Allah Swt menghendaki tidak tercipta kelahiran bayi. Allah berfirman:
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan
apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan
kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki
kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua
jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya),
dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya
Dia Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.” (QS asy-Syûrâ [42]: 49)
Walaupun dua sebab berupa mani ayah dan ovum ibu ada dan telah
bertemu, namun tetap saja ditemukan sepasang manusia tidak memiliki
anak. Jadi, di balik sebab ada Allah yang menciptakan. Dia menjadikan
mandul siapa yang Dia kehendaki.

‫ﻓ ﹴﻖ‬ ‫ﺩﺩﺍ‬ ‫ﻣﺎﺀ‬‫ﻣﻣﻦ ﻣ‬ ‫ﻖ‬ ‫ﻠ‬ ‫ﺧ‬ ‫ﻖ‬ ‫ﻠ‬ ‫ﺧ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺴﺎ ﹸﻥ‬
‫ﺴ‬
 ‫ﻴﻴﻨ ﹸﻈ ﹺﺮ ﺍ ِﻹﻹﻧ‬‫ ﹶﻓﻠﹾ‬maka hendaklah manusia
memperhatikan dari apakah dia diciptakan?, Dia diciptakan dari air
yang terpancar. Setelah itu Allah menjelaskan sekali lagi tentang air
yang hina. Ketika manusia melihat kepada inti air, dia akan menemukan
bahwa padanya tidak terdapat kekuasaan, kehendak dan kebutuhan
untuk tercipta, akan tetapi kehendak Allah yang membuatnya
mengandung cikal-bakal manusia.
Hewan juga berasal dari air yang memancar dari tulang sulbi dan
tulang dada. Kenapa mengeluarkan hewan yang tidak memiliki akal
pikiran dan senantiasa berada pada posisi rendah sama dengan
mengeluarkan manusia dengan seluruh keistimewaannya yang tinggi?
Jadi masalahnya bukanlah pada air yang memancar, bukan tulang sulbi
atau tulang dada. Akan tetapi masalahnya adalah kehendak Pencipta
yang membentuk makhluk tersebut.
Menurut para ulama, janin yang ada dalam kandungan ibunya,
belum menjadi manusia kecuali setelah 120 hari. Rasulullah Saw
bersabda: “Seseorang dari kalian akan berada dalam kandungan ibunya
empat puluh hari sebagai nutfah kemudian menjadi ‘alaqah dalam

233
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

waktu yang sama lalu menjadi mudhghah dalam waktu yang sama,
kemudian datang malaikat kepadanya untuk meniupkan ruh kepadanya.
Ruh bukankah pertumbuhan, tapi ruh adalah kehidupan. Ruh
kehidupan muncul setelah 120 hari. Sedangkan pertumbuhannya telah
ada sxejak hari pertama. Contohnya, biji-bijian yang disebar di atas
tanah akan tumbuh. Ia tumbuh tapi belum hidup. Walaupun benih-binih
kehidupan ada padanya, hingga ia hidup dalam arti sebenarnya, baru ia
disebut dengan kehidupan.
Pada mani juga terdapat benih kehidupan. Setelah ia berada di
dalam ovum, datang padanya kehidupan secara nyata. Pada saat itu
Allah memberikan ruh kehidupan, melalui malaikat. Jadi, kata ruh
bukan yang darinya muncul pertumbuhan, tapi kata ruh darinya muncul
kehidupan.
Ketika hadis berbicara tentang penciptaan manusia maka kehidupan
ada padanya, dalam masa tersebut padanya tidak terdapat pembentukan
insaniy atau ruh insaniyah kecuali setelah umur ini. Oleh sebab itu ini
adalah dasar pandangan orang yang membolehkan aborsi sebelum masa
ini. Ia berkata karena padanya tidak terdapat kehidupan. Ia adalah
sesuatu yang tumbuh dapat menjadi manusia, akan tetapi belum
dianggap sebagai manusia yang hidup dengan ruh.
‫ﻓ ﹴﻖ‬ ‫ﺍ‬‫ﺎﺀ ﺩ‬‫ﻦ ﻣ‬‫ﻖ ﻣ‬ ‫ﻠ‬ ‫ﺧ‬ dia diciptakan dari air yang terpancar. Kata dari air
yang terpancar ini menyandarkan kata memancar kepada air yang
menunjukkan bahwa ia tidak dipancarkan dengan kehendakmu. Karena
ia tidak memiliki pilihan untuk mengeluarkan dan menahan air agar
tidak terpancar darinya. Maka seakan-akan memancar adalah
kekhususan yang ada pada air itu sendiri, ia keluar dengan kuat dan
keras di mana jika manusia dengan kehendaknya ingin menahannya ia
tidak akan mampu.
Oleh sebab itu Allah tidak mengatakannya madfuq (dipancarkan)
yang mengindikasikan hilangnya perbuatan. Kamu memiliki air yang
memancar yang menunjukkan bahwa padanya terdapat kekhususan.
Ketika seorang pria telah dewasa dan sampai pada puncak klimaks
seksual, air tersebut mengalahkannya di mana ia tidak dapat
menahannya secara mutlak. Jadi penisbatan memancar kepada air, ini
memberikan pemahaman kepada kita bahwa ia berada di luar kehendak
manusia.
‫ﺐ‬‫ﺋ ﹺ‬‫ﺍ‬‫ﺮ‬‫ﺍﻟﺘ‬‫ﺐ ﻭ‬
‫ ﹾﻠ ﹺ‬‫ﻴ ﹺﻦ ﺍﻟﺼ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻦ‬‫ﺝ ﻣ‬
 ‫ﺮ‬ ‫ﺨ‬
 ‫ﻳ‬ yang keluar dari antara tulang sulbi dan
tulang dada. Ia memberikan banyak dugaan bagi para peneliti bahwa

234
ATH-THÂRIQ 86 JUZ 30

nuthfah berasal dari mani pria dan air wanita yang keluar setelah terjadi
hubungan seksual. Sebenarnya tidak demikian. Air wanita dalam
hubungan seksual tidak ada andilnya dalam pembentukan manusia.
Wanita memiliki ovum atau sel telur yang ada dan berstatus sebagai
tempat pembuahan. Keberadaannya ada saat melakukan hubungan
seksual atau pun tidak. Ovum memiliki masa subur, maka ketika secara
takdir bertemu dengan air pria di masa itu, maka terjadilah proses
perttumbuhan.
Yang dimaksud dengan air adalah air yang memancar “yang keluar
dari antara tulang sulbi dan tulang dada” adalah air yang dihasilkan
dalam hubungan seksual oleh pria. Akan tetapi jika dinisbatkan kepada
wanita, maka maksudnya bukan air yang muncul pada saat melakukan
hubungan seksual akan tetapi air yang ada pada ovum itu sendiri baik
ketika ia mengalami hubungan seksual atau tidak.
Di sini muncul permasalahan, permasalahan ini muncul dari orang-
orang yang melakukan penyelidikan di dalam Alquran dan Hadis,
mereka melakukan penyelidikan untuk mencari titik lemah Alquran dan
Hadis, atau membenturkan Alquran dengan Hadis.
Niat mereka di awal adalah ingin mejatuhkan keagungan Hadis dan
membenturkannya dengan keabsahan Alquran. Tapi akhirnya mereka
salah dan kalah. Niat mau menghancurkan, malah yang terjadi
memperkuat dan mengukuhkan kebenaran Alquran dan Hadis, serta
kedauanya saling mendukung, bukan salaing berseberangan
sebagaimana yang mereka inginkan.
Hadis yang terkait dengan ayat di atas berbunyi: “Ketika ditanya
kepada Nabi Muhammad bagaimana bisa seorang anak menjadi laki-
laki atau perempuan?” Nabi Muhammad berkata: “Apabila air laki-laki
mendahului air perempuan, maka sang anak akan mengikuti jenis
bapaknya (laki-laki) dan apabila air perempuan mendahului air laki-laki,
maka sang anak akan mengikuti jenis ibunya (perempuan).
Para orientalis tersebut berkata: “Pertama, air wanita tidak memiliki
andil dalam proses ini. Air tersebut pada saat proses berasal dari tulang
sulbi laki-laki dan tulang dada. Agar mereka dapat mengatakan bahwa
hadis tidak sesuai dengan hakikat alamiyah dan ilmiyah. Kedua, dalam
hal penentuan jenis kelamin anak. Mereka mengatakan secara ilmiyah
telah ditetapkan bahwa air mani wanita adalah ovum, dan ovum tidak
memiliki andil dalam penentuan jenis kelamin laki-laki atau perempuan,
akan tetapi yang menentukannya adalah air mani laki-laki itu sendiri.
Menjawab persoalan yang disampaikan di atas berikut ini

235
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

catatannya: Pertama, hadis di atas berbunyi: “jika air laki-laki


mendahului air wanita.” Kesalahan utama dari para orinetalis adalah
pemahaman mereka bahwa gen penentu laki-laki berasal dari laki-laki
dan gen penentu perempuan berasal dari perempuan. Padahal kata
sabaqa (mendahului) dalam hadis memberikan jawaban kepada kita.
Kita pahami bahwa kata “mendahului” artinya adanya dua benda
yang salilng berlomba dan mengejar satu dengan yang lain. Dua benda
yang berlomba ini haruslah bertolak dari satu tempat dan menuju satu
tempat. Jadi harus dipahami arti kata sabaqa di sini bahwa gen laki-laki
atau perempuan berasal dari air mani laki-laki. Jika tidak demikian
bagaimana mungkin dapat dikatakan berlomba jika berasal dari dua arah
yang berlawanan. Jadi ia harus bertolak dari satu tempat.
Jika demikian maka yang dimaksud dengan gen penentu laki-laki
atau wanita adalah berasal dari laki-laki. Ini yang telah ditetapkan oleh
ilmu pengetahuan, ini juga disebutkan dalam Alquran dan begitu juga
keterangan dari hadis Nabi. Dari sperma laki-laki keluar jenis laki-laki
ataupun perempuan. Jadi jelaslah bahwa orientalis salah paham dalam
memahami hadis, dan niat mereka akhirnya mendukung keabsahan
hadis yang sejalan dengan semangat Alquran dan ilmiah.
Yang menyelamatkan kita dari kritikan para orientalis dalam
masalah ini adalah kata sabaqa atau idzâ ghalaba karena dalam sebuah
riwayat disebutkan idzâ ghalaba. Kita katakan selama dua sesuatu
saling mendahului maka tempat mulainya bukan dari dua tempat akan
tetapi harus dari satu tempat.
Jadi, dari penjelasan di atas dapat diambil dua kesimpulan. Pertama,
agar kita paham bahwa sebab bukanlah sesuatu yang utama dalam
proses penciptaan. Kedua, kita temukan bahwa Alquran berbicara
tentang ilmu genetika - ilmu yang membahas tentang segala hal yang
berhubungan dengan proses penciptaan manusia – meskipun tidak
secara eksplisit akan tetapi ia telah mengisyaratkannya sehingga
memberi kesempatan bagi akal untuk mengembangkannya.
Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia
diciptakan? Dia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari
antara tulang sulbi dan tulang dada. Setelah itu datang kalimat yang
penting Sesungguhnya Allah benar-benar kuasa untuk mengembali
kannya (hidup sesudah mati).
Selama Allah telah menetapkan keagungan dalam penciptaan dan
keagungan dalam hal bahwa Dia telah menciptakan manusia yang mulia
tersebut dengan seluruh bakat dan kemampuannya dari air yang hina. Itu

236
ATH-THÂRIQ 86 JUZ 30

artinya bahwa pemeliharaan ini berasal dari-Nya lalu apa kewajiban


manusia? Telah dikatakan sebelumnya bahwa apabila seluruh yang
diciptakan Allah adalah untuk manusia, tentu manusia juga memiliki
kewajiban terhadap-Nya. Sehingga ketika Allah meminta banyak hal
dari hamba, maka sesungguhnya Dia telah memberikan banyak hal dan
terus akan memberikan banyak hal.
Katak anl ah: “Di a tel ah menet apk an ata s diri -Ny a ka si h
sayang.” (QS al-An‘am [6]: 54) Artinya bahwa Allah telah mewajibkan
bagi diri-Nya untuk memberikan balasan terbaik dan maksimal bagi
seluruh manusia. Setelah Allah memuliakan manusia dari seluruh jenis
makhluk, dan membuat manusia sebagai pemilik bakat dan kemampuan
yang besar, kemudian manusia menganggap bahwa manusia dibiarkan
begitu saja, lepas tanpa ikatan, sehingga hidupnya menjadi sia-sia!?
Di sini dapat diperhatikan bahwa surat ini mengandung dua hal
penting. Pertama, penciptaan; dan kedua, pengembalian penghidupan
kembali. Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia
diciptakan? Dia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari
antara tulang sulbi dan tulang dada.
Setelah hidup, manusia melalui fase kehidupan di alam kubur yang
panjang; kemudian memindahkannya kepada kehidupan kedua di
akhirat. Seakan-akan fase kehidupan ini memiliki pesan untuk
menunjukkan pada manusia bahwa penciptaan dirinya sebagai manusia
di dunia itu bukan untuk hidup di sini semata. Tapi untuk kehidupan
abadi di akhirat kelak.
Seluruh fase kehidupan di dunia ini dengan demikian adalah fase
yang harus diisi sebagai perhitungan. Allah Swt menciptakan untuk
sebuah tujuan mulia, dengan catatan: bahwa kemuliaan itu dinilai dan
dijadikan alasan untuk hidup bahagia di akhirat.
Jadi melalui manhaj agama, Allah ingin memberikan kepada
manusia aturan main yang membahagiakan dunia akhirat. Karena jika
dunia ini dibiarkan berlangsung tanpa aturan, kehancuran adalah akhir
jalannya.
Allah mengutus para rasul dan nabi kepada manusia sebagai
pembawa manhaj. Yang beriman dan taat terhadap pesan-pesan yang
disampaikan oleh pembawa manhaj akan membuat kehidupan dirinya
lurus dan bahagia. Sedangkan yang menjauhkan diri dari manhaj, akan
rusak dan merusak kehidupan.
Allah Swt berfirman: “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan

237
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” Oleh sebab itu Ia


kemudian berfirman: “Bukankah dia dahulu setetes mani yang
ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal
darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya, lalu Allah
menjadikan daripadanya sepasang: laki laki dan perempuan.” (QS al-
Qiyâmah [75]: 36-39)
‫ﺮ‬ ‫ﺮﺍﺋ‬‫ﺮ‬‫ﻠﹶﻠﻰ ﺍﻟﺴ‬‫ﺒ‬‫ ﺗ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ ﻳ‬pada hari dinampakkan segala rahasia. Akhirat akan
mengeluarkan dan menginformasikan segala apa yang disembunyikan di
dalam dunia ini.
Adapun yang dimaksud dengan rahasia di sini adalah seluruh apa
yang disembunyikan oleh manusia. Jika seluruh masalah yang
disembunyikan oleh manusia saja akan dikeluarkan dan dibeberkan,
tentu masalah yang dilakukannya terang-terangan lebih utama untuk
dibuka. Akan tetapi ketika manusia menganggap bahwa dia telah
menyembunykannya dan hal-hal yang telah disembunyikannya akan
tertutup selamanya, kita katakan kepadanya tidak demikian, kamu tidak
dapat menyembunyikannya karena Allah Swt mengetahui rahasia yang
lebih tersembunyi.
“Sesungguhnya Allah benar-benar kuasa untuk mengembalikannya
(hidup sesudah mati). Pada hari dinampakkan segala rahasia.” Setelah
itu kata raj’ihi ini yang menjadi tempat keraguan bagi orang-orang yang
ada pada saat Alquran diturunkan. “Apakah (akan dibangkitkan juga)
apabila kami telah menjadi tulang-belulang yang hancur lumat?”
“apakah sesungguhnya kami benar-benar akan dibangkitkan kembali?.”
Lalu Allah menyebutkan setelah itu untuk menunjukkan keberadaan
Tuhan yang mengetahui keadaan mereka, sebagai dalil atas masalah ini
adalah masalah yang mudah, karena ini terjadi dalam penciptaan kalian.
Apa yang terjadi dalam penciptaanmu? Dia berfirman:***

ALQURAN PEMISAH ANTARA YANG HAK DAN BATIL


(QS ath-Thariq [86]: 11-17)
ba`_~}|{zyxwv uts
nmlkjihgf edc
Demi langit yang mengandung hujan, dan bumi yang mempunyai
tumbuh-tumbuhan, sesungguhnya Alquran itu benar-benar firman
yang memisahkan antara yang hak dan yang batil. Sekali-kali

238
ATH-THÂRIQ 86 JUZ 30

bukanlah ia senda gurau. Sesungguhnya orang kafir itu


merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya.
Akupun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya.
Karena itu beri tangguhlah kaum kafir itu. Yaitu beri tangguhlah
mereka itu barang sebentar.
‫ﺟ ﹺﻊ‬ ‫ﺕ ﺍﻟﺮ‬
 ‫ﺎﺀ ﺫﹶﺍ‬‫ﻤ‬‫ﺍﻟﺴ‬‫ ﻭ‬demi langit yang mengandung hujan, dan bumi ya
ng mempunyai tumbuh-tumbuhan. Yang dimaksud dengan ar-raj’u/
pulang adalah hujan. Disebut hujan dengan pulang dan pergi, karena
hujan itu berotasi di alam ini. Ia turun kemudian menguap kemudian,
dan turun kembali.
Dzâtu ar-raj‘u artinya mengambil peranannya dan muncul kembali.
Mengapa langit mengandung hujan? Karena langit tidak memberikan
manfaat bagi manusia kecuali jika turun hujan dari langit. Air hujan
yang turun dalam keadaan tawar perlu untuk diolah menjadi air minum
yang jatuh dipegunungan, dan berguna untuk pengairan. Proses turun
hujan ini berputar dan berotasi. Kata ar-raj‘u disebut juga di dalam
surat adz-Dzâriyât “innahu ‘ala raj‘ihî laqâdir” Sungguh Allah Maha
kuasa untuk mengembalikan mereka.
Demi (angin) yang menerbangkan debu dengan sekuat-kuatnya, dan
awan yang mengandung hujan, dan kapal-kapal yang berlayar dengan
mudah, dan (malaikat-malaikat) yang membagi-bagi urusan,
sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti benar, dan
sesungguhnya (hari) pembalasan pasti terjadi.
Allah menjelaskan tentang proses air yang berotasi: datang dan
pergi. Setelah itu Dia berkata bahwa manusia akan kembali kepada
Allah, sebagaimana air yang datang dan pulang. Mengapa Allah
menyebutkan proses air? Karena ini adalah proses rotasi yang terlilhat.
Juga untuk menjelaskan bahwa volume air yang ada di alam ini secara
keseluruhan tidak berkurang dan tidak bertambah.
Seluruh air yang tersimpan dalam tubuh manusia setelah ia mati
akan menguap dan kembali lagi sebagaimana semula. Jadi segelas air
yang diminum oleh seseorang mungkin saja diminum berulang-ulang
sebanyak jutaan kali. Setelah itu ia muncul dalam bentuk butiran-butiran
air yang jatuh setelah melewati proses penguapan. Setelah itu membeku
dan menjadi banyak lalu turun kemudian menguap untuk kedua kalinya.
‫ﻉ‬
‫ﺪ ﹺ‬ ‫ﺕ ﺍﻟﺼ‬
 ‫ﺽ ﺫﹶﺍ‬
‫ﺭ ﹺ‬ ‫ﺍ َﻷ‬‫ ﻭ‬bumi yang mempunyai tumbuh-tumbuhan. Bumi
terbelah dan tumbuhan pun muncul serta tumbuh. Ia persis seperti air

239
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

yang memancar dan masuk ke dalam rahim ibu, kemudian tumbuh dan
hidup. Jadi, kehidupan di alam ini adalah rentetan undang-undang dan
peraturan yang bergerak selaras. Undang-undang yang selaras ini diatur
oleh satu hukum. Hukum yang satu ini berlaku dalam setiap jenis wujud
dalam alam yang tinggi maupun alam yang rendah. Hukum satu itu
berbunyi Pencipta alam ini adalah Satu.
Jika pada kumpulan ayat sebelumnya Allah Swt berbicara tentang
air yang memancar yang keluar dari tulang sulbi dan tulang dada
sebagai awal dari proses kelahiran manusia. Maka di sini Allah
memaparkan penopang kehidupan yang prinsip yaitu turunnya hujan
yang membawa air kehidupan. Allah Tuhan yang menciptakan manusia,
Dia juga Tuhan yang memberikan segala fasilitas untuk kelangsungan
hidup manusia.
Setelah itu, Alquran memaparkan tentang alam raya dan jiwa
manusia, untuk memberikan kepada kita keselarasan yang bermuara
pada satu titik bahwa Tuhan yang menciptakan alam, Ia adalah Tuhan
Pencipta manusia. Lebih dari itu, Dia adalah Pewahyu Alquran. Selama
Dia adalah Pencipta alam semesta dan Pencipta jiwa manusia serta
Pewahyu Alquran, maka manusia yang cerdas harus mengambil ajaran
dari-Nya, dan harus sampai pada satu titik bahwa ajaran tersebut adalah
pemisah. Demi langit yang mengandung hujan, dan bumi yang
mempunyai tumbuh-tumbuhan.
Kembali kepada Alquran, ‫ﻞ‬ ‫ﺼﹲ‬
 ‫ﻮ ﹲﻝ ﹶﻓ‬ ‫ﻪ ﹶﻟ ﹶﻘ‬ ‫ ِﻧ‬sesungguhnya Alquran itu
benar-benar firman yang memisahkan antara yang hak dan yang bathil.
Qaulun fashl artinya seluruh masalah yang tersebut di dalam Alquran,
telah dijawab dengan tuntas oleh Alquran itu sendiri. Arti qaulun fashl
adalah munculnya pertentangan seputar banyak hal dari kedua belah
pihak yang bertikai dan keduanya menginginkan adanya seorang
pemisah antara mereka berdua dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Solusinya ada pada Alquran.
Selain solusi ada pada Alquran, solusi juga didapat pada diri Nbabi
Muhammad, dan kaum muslimin: “Supaya Rasul itu menjadi saksi atas
dirimu d an s upaya ka mu se mua menja di sa ksi atas segenap
manusia.” (QS al-Hajj [22]: 78)
Allah menjadikan umat Islam sebagai solusi atas permasalahan
manusia. Diutus Nabi Muhammad sebelumnya dengan membawa
Alquran agar keduanya dapat menjadi solusi dan saksi bagi manusia.
Untuk itu, dituntut dari kita semua agar dapat menjadi saksi bagi seluruh

240
ATH-THÂRIQ 86 JUZ 30

manusia di manapun dan kapanmu muslim berada.


Seakan-akan Allah Swt berfirman: “Nabi diutus pada masa jahiliah
dan kerusakan telah menyebar serta pertikaian dari dua belah pihak
telah memuncak tanpa solusi. Selama keduanya batil, Aku tidak
mendatangkan saksi bagi mereka dari dalam. Tapi Aku datangkan saksi
dari luar, yaitu kamu bersama Alquran.
‫ﺪﺪﺍ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺪ ﹶﻛ‬ ‫ﻛﻛﻴ‬ ‫ﻭﹶﺃ‬ ‫ﺪﺪﺍ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺪﺪﻭ ﹶﻥ ﹶﻛ‬ ‫ﻜﻜﻴ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻧ‬‫ ﹺﺇ‬sesungguhnya orang kafir itu merencana-
kan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya. Akupun membuat
rencana (pula) dengan sebenar-benarnya. (86: 15-16)
Di sini terdapat dua perbuatan: pertama, perbuatan tipu daya dari
mereka; dan kedua, tipu daya yang nisbahkan kepada Allah. Ketika
pembaca menemukan lafaz yang dinisbatkan Allah kepada diri-Nya dari
hal-hal yang pikiran pembaca tidak mampu untuk menisbatkannya
kepada Allah. Seperti: tipudaya Allah dan makar-Nya. “Dan merekapun
merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami
merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak menyadari. (QS an-
Naml [27]: 50) maka pahamilah bahwa hal ini dalam istilah Alquran
dikenal dengan musyakalah. Arti musyakalah adalah mendatangkan satu
lafaz yang mengandung sebuah arti. Tapi arti ini bukan pemberian lafaz
secara bahasa, akan tetapi ia datang karena keadaannya yang
disesuaikan dengan perbuatan makhluk.
Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka
barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas
(tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang
yang zalim. (QS asy-Syûrâ [42]: 40)
Apakah ketika kamu memberi ganjaran terhadap keburukan
seseorang, perbuatanmu tersebut dianggap sebagai keburukan? Tentu
tidak dianggap sebagai keburukan. Ketika kamu memberikan ganjaran
kepada orang yang berbuat buruk dengan sebuah hukuman akan
menjadi sebuah kebaikan. Ia disebut sebagai keburukan karena
pelaksanaannya dilakukan terhadap orang yang pertama. Maka Dia
berkata kepadanya: “Jika kamu telah berbuat buruk, maka ketika Kami
menghukummu karena perbuatan tersebut buruk.
Jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan
yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. (QS an-Nahl
[16]: 126) Ini disebut dengan musyâkalah.
Makar adalah strategi atau siasat yang dilakukan untuk menyakiti
musuh dari belakang, yang tidak mampu kamu lakukan secara frontal.

241
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Ini mengisyaratkan bahwa pelaku siasat adalah manusia lemah. Karena


jika dia berani dan memiliki kekuatan yang kuat, tentu dia tidak akan
melakukan siasat. Dia berani tampil untuk menghadapinya. Oleh sebab
itu selalu ditemukan orang lemah ketika mendapatkan kesempatan pasti
akan membalas dan menjadi zalim. Mengapa? Karena ini adalah
kesempatan satu-satunya. Akan tetapi ketika orang yang kuat memiliki
kesempatan, dia mampu untuk memaafkan dan berkata: “Ketika aku
menginginkannya pada suatu saat, aku dapat membalas dan melakukan
perhitungan dengannya.”
Ingatlah, ketika kaum kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya
terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau
membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan
Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas
tipu daya. Mengapa Allah sebaik-baik pembalas tipu daya? Karena
makar-Nya tidak dapat diketahui oleh seorangpun. Akan tetapi makar
mereka atas sebagian yang lain dapat diketahui Allah, dan selama telah
diketahuinya maka selesai masalah.
‫ﺪﺪﺍ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺪﺪﻭ ﹶﻥ ﹶﻛ‬ ‫ﻜﻜﻴ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻧ‬‫ ﹺﺇ‬sesungguhnya orang kafir itu merencanakan tipu
daya yang jahat dengan sebenar-benarnya, atau bagi dakwah. Selama
mereka tidak dapat berdiri di hadapan dakwah secara berhadapan
mereka mulai melakukan makar atau tipu daya dari balik tabir. Akan
tetapi makar mereka pasti diketahui oleh Allah. Selama demikian halnya
maka ini bukan makar. Kenapa? Karena makar Allah jauh lebih baik
dari makar manusia.
Ketika Allah berfirman: “sebaik-baik pembalas makar” (QS Ali
Imran [3]: 54) Tidak boleh kita katakan: “Allah Pembuat makar” tapi
pahami ketika Dia berkata demikian dengan kita tidak mengambil
darinya sebuah nama. Cukup berhenti pada apa yang disebutkan Allah
dalam Alquran. Artinya makar bukan salah satu dari nama-Nya. Akan
tetapi pahami ayat itu dengan peristiwa ketika Allah mengatakannya,
yang dalam Alquran disebut dengan musyakalah.
‫ﺪﺪﺍ‬ ‫ﻳ‬‫ﻭ‬‫ ﺭ‬‫ﻢ‬‫ﻬﹺﻠﹾﻬ‬‫ ﺃﹶﻣ‬‫ﺮﹺﺮﻳﻦ‬‫ﻞﹺ ﺍﻟﹾﻜﹶﻜﺎﻓ‬‫ﻬ‬‫ ﻓﹶﻤ‬Karena itu beri tangguhlah kaum kafir itu,
yaitu beri tangguhlah mereka itu barang sebentar. Ini adalah qiyas,
siapa yang melakukan penangguhan: Rasul atau Allah? Secara harfiyah
Nabi Muhammad yang melakukan penagguhan, tapi yang dimaksud dari
ayat ini adalah Allah. Ini merupakan kelembutan Allah kepada Nabi
Muhammad Saw dan berkata kepadanya: “Aku tidak mengutusmu
sebagai rasul kecuali Aku mendukungmu dengan sekuat tenaga. Adapun

242
ATH-THÂRIQ 86 JUZ 30

cobaan dan ujian yang terjadi dalam hidupmu dan hidup mukmin hanya
merupakan saringan untuk mencapai derajat mukmin sejati. Jika mereka
bersabar atas cobaan, maka mereka layak untuk menjadi dai bagi
dunia.”
‫ﺪﺪﺍ‬ ‫ﻳ‬‫ﻭ‬‫ ﺭ‬‫ﻢ‬‫ﻬﹺﻠﹾﻬ‬‫ ﺃﹶﻣ‬karena itu beri tangguhlah kaum kafir itu. Hal ini menan
dakan bahwa penagguhan tidak panjang. Apabila kita analisa sejarah
dakwah para nabi dan mukmin, maka kita temukan bahwa penangguhan
dengan kemenangan kafir itu tidak berlangsung lama. Penangguhan itu
perlu untuk memberikan pelajaran bagi para tentara dakwah agar tetap
teguh pendirian dan sabar atas segala penderitaan. Jika mereka telah
berhasil dalam menghadapi ujian dengan keteguhan dan kesabaran
maka masa penangguhan pun berakhir. Selanjutnya datang
“pertolongan dari Allah dan kemenangan dan manusia memasuki
agama Allah secara berbondong-bondong.” Sampai jumpa di surat
berikutnya.***

243
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

244
AL-‘ALÂ 87 JUZ 30

SURAT
AL-‘ALÂ 87
(MAKKIYAH)

245
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

246
AL-‘ALÂ 87 JUZ 30

Bila kita paparkan surat ini secara global ditemukan pertama kali
bahwa surat ini dinamakan al-A’lâ. Itu karena al-A’lâ merupakan satu
kondisi dari beberapa kondisi yang menyebabkan manusia harus
bertasbih kepada Allah.
Menurut riwayat Imam Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Daud,
Baihaqi bahwa saat ini merupakan surat musabbihat yang dicintai
Rasulullah. Maksud dari surat musabbihat ialah surat yang awal ayatnya
dimulai dengan sabbaha seperti ‫ﺽ‬ ‫ ﹺ‬‫ﻭﺍﻷَﺭ‬‫ ﻭ‬‫ﻮﺍﺕ‬‫ﻮ‬‫ﻤ‬‫ﻓﻲ ﺍﻟﺴ‬‫ﻣﺎ ﻓ‬‫ ﻣ‬‫ﻠﱠﻪ‬‫ ﻟ‬‫ﺢ‬‫ﺒ‬‫ ﺳ‬semua yang
berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih. (QS al-Hadîd [57]:
1)
Untuk itu Rasulullah selalu berusaha untuk tetap membacanya pada
setiap salat Jum’at dan salat dhuha dan Hari raya. Hingga walaupun
berkumpul jum’at dan hari raya, maka ia membacanya saat hari raya
dipagi hari dan membacanya waktu Zuhur di siang hari. Ini
menunjukkan bahwa Rasulullah merupakan ummy di tengah masyarakat
yang ummi, lalu mendapatkan wahyu iqra’ dari Zat yang tinggi (A’la) di
atas sana.
Sebagaiman diketahui bahwa Nabi Muhammad ummy tidak dapat
membaca dan menulis, maka ditemukan dalam surat ini firman Allah:
 ‫ﻘﹾﺮﹺﺋﹸ‬‫ﻨ‬‫ ﺳ‬Kami akan membacakan (Alquran) kepadamu (Muhammad) (QS
‫ﻚ‬
al-'A'la [87]: 6) dilanjutkan dengan ‫ﺴﻰ‬
‫ﺴ‬‫ﻨ‬‫ ﻓﹶﻼﹶ ﺗ‬maka kamu tidak akan lupa.
Sebagaimana diketahui Rasulullah bukanlah seorang yang terkenal
sebagai perawi kisah, atau perawi kitab suci, atau perawi syiir. Dia tidak
juga merupakan orang yang hapal keturunan sampai ke nenek moyang.
Ringkasnya, dia bukanlah seorang yang memiliki akal saat menerima
informasi dapat langsung direkam dan diungkapkan sebagaimana
adanya.
Ketika wahyu pertama turun dan memerintahkannya membaca,
maka diapun membaca dengan najm. Terkadang najm itu panjang
sampai 2/4 atau ¾, maka bagaimana dia dapat mengulanginya setelah
itu? Ia mendapat pesan Allah yang menyenangkan hatinya yaitu Kami
akan membacakan (Alquran) kepadamu (Muhammad) ini satu, dan
kedua adalah maka kamu tidak akan lupa yang merupakan kabar
gembira. Inilah satu kondisi dan alasan mengapa Nabi Muhammad
sangat mencintai surat ini.
Selanjutnya, setelah ayat dibacakan dan terekam di dalam otak yang
tidak pernah mengalami lupa, ayat tersebutpun ingin dipraktekkan agar

247
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

terlepas ungkapan manis dalam wujud tiori menjadi praktek tingkah


laku di tengah-tengah masyarakat. Pada saat ini ditemukan kesukaran
untuk menundukkan gerak kehidupanmu sesuai manhaj. Pada saat itulah
Allah berfirman: ‫ﺮﻯ‬‫ﺮ‬‫ﺴ‬‫ﻠﹾﻴ‬‫ ﻟ‬‫ﻙ‬‫ﺮ‬‫ﺴ‬‫ﻴ‬‫ﻧ‬‫ ﻭ‬Kami akan memberi kamu taufik kepada
jalan yang mudah, (87: 8) Maknanya, akan Kami mudahkan kepadamu
Muhammad segala urusan.
Ketika tiga hal ini sudah tercapai (dibacakan, tidak lupa dan
dimudahkan) maka apa yang tinggal kamu lupakan? Tentu kamu ingin
mentransper nur cahaya dan isyraq itu kepada orang lain. Pada saat itu,
jangan pernah menduga bahwa hati manusia semuanya telah terkunci
mati. Itu karena tidak ada zikir atau nasehat kecuali ia sendiri
bermanfaat. Kalaulah tidak seluruh nasehat bermanfaat, paling tidak
sebagiannya pasti bermanfaat.
Oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu
bermanfa'at, orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat
pelajaran, orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya. (Yaitu)
orang yang akan memasuki api yang besar (neraka). Kemudian dia
tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup. (87:9-13)
Setelah itu diulangi lagi kisah orang yang mau mendengar nasehat
‫ﻘـﻰ‬
‫ﺑﻘﹶـ‬‫ﻭﹶﺃ‬ ‫ﺮ‬ ‫ـ‬
‫ﻴﻴـ‬‫ﺮﺓﹸ ﺧ‬ ‫ﻭﺍﻵﺧ‬‫ﻴﺎ)(ﻭ‬‫ﻴ‬‫ﻧ‬‫ﻴﺎﺓﹶ ﺍﻟﺪ‬‫ﻴ‬‫ﺮﻭﻥﹶ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﺮ‬‫ﺛ‬‫ﺆ‬‫ﻞﹾ ﺗ‬‫ﺼ ﱠﻠﻠﻰ)(ﺑ‬
 ‫ﻪ ﹶﻓ‬ ‫ﺑ‬‫ﺭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺮ ﺍ‬ ‫ ﹶﺫ ﹶﻛ‬‫ﺰ ﱠﻛﻛﻰ)(ﻭ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺢ‬
 ‫ ﺃﹶﻓﹾﻠﹶ‬‫ﻗﹶﺪ‬
Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan
beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia salat. Tetapi kamu
(kaum kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat
adalah lebih baik dan lebih kekal. (87:14-17)
Kemudian ditutup surat ini dengan landasan umum. Bahwa apa
yang dilakukan mukmin dari ajaran pokok agama dan taklif, merupakan
hal yang sudah ada sejak azali. Maksudnya, ajaran pokok itu bukan
merupakan hal yang baru bagi kita. Telah datang sebelumnya pada masa
Ibrahim dan Musa. ‫ﻒ ﺍﻵﻭﹶﻟﻟﻰ‬
 ‫ﺤ‬‫ﻔﻔﻲ ﺍﻟﺼ‬ ‫ﻫ ﹶﺬﺬﺍ ﹶﻟ‬ ‫ ﹺﺇ ﱠﻥ‬sesungguhnya ini benar-benar
terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (87: 18) Inilah beberapa
kondisi yang menyebabkan Nabi Muhammad mencintai surat ini.***

248
AL-‘ALÂ 87 JUZ 30

BERTASBIH DAN MENYUCIKAN DIRI ADALAH


PANGKAL KEBERUNTUNGAN
(QS al-’Ala [87]: 1-5)
 {zyxwvutsrqpo
¤£¢¡~}|
Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tingi, yang menciptakan,
dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan
kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk, dan yang
menumbuhkan rumput-rumputan. Lalu dijadikan-Nya rumput-
rumput itu kering kehitam-hitaman.
Kita beralih kepada pemahaman surat secara menyeluruh. Kata ‫ﺢ‬  ‫ﺳﺒ‬
merupakan permintaan Allah kepada Rasulullah dan para pengikutnya
untuk bertasbih kepadaNya. Makna tasbih ialah tanzih. Makna tanzih
ialah mewujudkan sesuai dengan wujud yang tidak ada menyerupainya
dalam bentuk ataupun bilangan, yang menyebabkan praduga bahwa ada
yang menyerupai-Nya. Contohnya: manusia punya wujud dan Allah pun
punya wujud. Tapi wujud Allah berbeda dari wujud manusia. Itu karena
wujud manusia berasal dari nol/tiada.
Jadi sifat wujud Allah dan manusia merupakan satu bagian yang
berserikat, tapi kamu mensucikan Allah untuk menyerupai manusia.
Untuk itu, bila ada satu sifat dari makhluk Allah yang menyerupai sifat-
Nya, maka hal itu hanya merupakan persamaan dalam lafaz saja.
Katika ayat sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi (87:1)
turun, Rasulullah berkata: “Jadikanlah ia bacaan saat kamu sujud.”
Untuk itulah kita membaca disaat sujud ‫ﻰ‬  ‫ﻋﻋﻠ‬ ‫ﺭﹺﺑﺑﻰ ﺍﻵ‬ ‫ﺒﺤﹶﺎ ﹶﻥ‬‫ﺒ‬‫ﺳ‬
Kenapa Allah disucikan? Karena Allah bersifat Mahatinggi.
Maksudnya, manusia mensucikan Allah yang Mahatinggi untuk menye-
rupai zat yang rendah. Kata a’lâ bukan berarti ‘âli/tinggi. Itu karena ‘âli
merupakan sifat sebagian makhluk. Sebagaimana firman-Nya kepada
Iblis saat enggan sujud. Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud
kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu
menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk ‘âli/makhluk
yang (lebih) tinggi?” (QS Shâd [38]: 75)
Arti ‘âlin dalam ayat ini ialah malaikat tinggi yang tidak mengurusi
urusan Adam dan anak cucunya. Itu karena malaikat dibagi kepada dua

249
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

bagian besar. Pertama, malaikat yang mempunyai hubungan dengan


Adam; kedua, malaikat yang tidak mempunyai hubungan dengan Adam.
Tugasnya hanya menyembah Allah. Allah berkata kepada Iblis:
“Apakah kamu takabbur atau kamu menduga dirimu termasuk golongan
malaikat yang tinggi (‘âli)”. Jadi, ‘âlin untuk sebagian makhluk Allah
(malaikat), sedangkan a’lâ khusus untuk Allah.
Kenapa Allah bersifat a’lâ? Karena Dia telah menciptakan. Selama
Dia telah menciptakan, maka Dia tidak mungkin punah. Jadi, Allah
adalah Tuhan yang Mahatinggi dibandingkan makhluk ciptaan-Nya. Itu
karena makhluk merupakan reaksi dari kekuasaan Pencipta. Selama
makhluk tercipta berkat hasil reaksi dari kekuasaan Allah, maka
Pencipta itulah yang wajar disebut a’lâ/Mahatinggi.
‫ﻖ‬ ‫ﻠـ‬
‫ﺧﻠﹶـ‬ ‫ﺬﺬﻱ‬ ‫ ﺍﱠﻟ‬yang menciptakan, Allah tidak saja menciptakan makhluk
dari nol tapi ‫ﻮﻯ‬‫ﺴﻮ‬
 ‫ ﻓﹶ‬‫ﺧﻠﹶﻖ‬ menyempurnakan (penciptaan-Nya). Kata ‫ﻮﻯ‬‫ﺴﻮ‬
 ‫ﹶـ‬
‫ﻓﻓـ‬
ini dijabarkan Allah dalam firmanNya ‫ﺪﻯ‬‫ﺪ‬‫ ﻓﹶﻬ‬‫ﺭ‬‫ ﻗﹶﺪ‬yang menentukan kadar
(masing-masing) dan memberi petunjuk. Maksudnya Dia telah membuat
takdir jenis dan sepsis serta umur, setiap makhluk ciptaan-Nya. Lalu Dia
akan menunjukkan jalan kepada takdir yang telah ditetapkan itu. Kok
bisa?
Bila diperhatikan alam semesta akan ditemui keagungan Allah yang
di luar kemampuan akal manusia. Itu karena akal manusia sering
melakukan kesalahan akibat terpengaruh kepentingan internal, yaitu:
hawa nafsu. Tapi lihatlah alam semesta yang tidak memiliki pikiran,
niscaya di balik alam ditemukan keagungan Allah.
Tumbuh-tumbuhan contohnya, bijinya yang memiliki unsur tumbuh
-tumbuhan di dalamnya bila diletakkan di atas tanah yang subur lalu
disirami maka ia pun akan tumbuh dan berkembang. Begitulah takdir
Allah. Biji yang memiliki unsur tumbuh-tumbuhan itu pun akhirnya
menjadi tumbuh-tumbuhan dalam arti sebenarnya.
Bila dilihat proses tumbuhnya tumbuhan maka ditemukan dua
keping merekah saat diletakkan di atas tanah, lalu keluar cikal tumbuhan
dari atas dan akar dari bawah. Dua keping itu terus bertahan hingga akar
menguat dan dapat mengisap saripati makanan dari tanah. Untuk itu
ditemukan setiap akar bertambah kuat, bertambah tinggi pula kepingan
biji itu.
Menurut ilmuwan biologi: “Tumbuh-tumbuhan mengambil saripati
makanan di tanah melalui selang sebesar rambut yang sangat halus

250
AL-‘ALÂ 87 JUZ 30

sekali dan sempit. Kesempitan itu berguna agar saripati itu dapat naik ke
atas, sebab bila selang itu besar niscaya turunlah sari pati itu.”
Suatu hal yang menarik bahwa selang itu dapat memisahkan antara
unsur yang dibutuhkannya dari yang tidak dibutuhkannya. Hal itu sesuai
dengan firman Allah: “Di bumi ini terdapat bagian-bagian yang
berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon
korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air
yang sama.” (QS ar-Ra'ad [13]: 4)
Didatangkan dengan air karena ia pelarut bagi saripati makanan
setelah itu ‫ﻞ‬
‫ﹸـ ﹺ‬
‫ﻓـﻲ ﺍﻵﻛﻛـ‬
‫ـ‬‫ﺾ ﻓ‬
‫ ﹴ‬‫ﻌ‬‫ﻠﹶﻠﻰ ﺑ‬‫ﻬﺎ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ﻀ‬‫ﻌ‬‫ﻞﹸ ﺑ‬‫ﻔﹶﻀ‬‫ﻧ‬‫ ﻭ‬Kami melebihkan sebahagian
tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. (QS ar-
Ra'ad [13]: 4) itu karena selang rambut tadi dapat memilih saripati
makanan yang dibutuhkannya, dan meninggalkan sari pati makanan
yang tidak dibutuhkan.
Hal itu sesuai dengan yang menentukan kadar (masing-masing) dan
memberi petunjuk. Menurut ilmuwan biologi hal itu disebut dengan
“kemampuan memilih.” Siapa yang mengilhami tumbuh-tumbuhan
hingga dapat memilih sari pati makanan? Itulah takdir Allah yang
menunjukkan kepada seluruh makhluknya selain manusia.
Dalam tubuh manusia sendiri pun, di mana akal tidak dapat
intervensi di dalamnya ditemukan yang menentukan kadar (masing-
masing) dan memberi petunjuk. Contohnya, saaat tubuh manusia
berkembang ditemukan makanan yang masuk lebih banyak dari pada
ampas yang dikeluarkan. Makanan yang masuk ini berguna untuk
mengganti bahan bakar pemanas yang sudah berhenti bergerak. Lebih
dari itu makanan yang dikonsumsi berguna untuk membangun sel-sel
tubuh. Semua ini di luar intervensi manusia, dan dia sendiri tidak
mengetahui proses itu. Makanan tersebut membentuk lemak, tulang dan
daging, serta berproses di dalamnya. Di mana bila manusia tidak
mengonsumsi makanan mulailah ia menentukan kadar (masing-masing)
dan memberi petunjuk dengan cara mengambil lemak sebagai bahan
bakar cadangan.
Suatu hal yang menarik yang sampai sekarang masih dipelajari
ilmuwan bahwa lemak itu merupakan satu-satunya unsur tubuh yang
dapat berubah menjadi apa saja di dalam tubuh untuk menutupi
kebutuhan tubuh manusia. Saat lemak tubuh telah habis, tubuh pun akan
menjadikan tulang sebagai bahan bakar cadangan. Hal ini disinggung
Alquran melalu lisan Nabi Zakaria.

251
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

‫ﻨﻨﻲ‬‫ﻣ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻌ ﹾﻈ‬ ‫ﻦ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻧﻧﻲ‬‫ﺏ ﹺﺇ‬


 ‫ﺭ‬ ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah
dan kepalaku telah ditumbuhi uban. (QS Maryam [19]: 4) Maknanya,
bahan bakar cadangan terakhir yang dia memiliki telah hilang dan habis.
Untuk itu bangsa Arab klasik berkata: “Telah kita lalui tahun di mana
lemak mencair, daging hilang dan tulang menipis.”
Bila diteliti dunia hewan (fauna) akan ditemukan buku “Ilmu
mengajak kepada iman,” yang menggambarkan banyak hal seperti di
atas. Allah merahmati syekh Syaid Qutb yang menulis dalam tafsir
Zhilal satu bab secara lengkap tentang ungkapan Director Academi
Riset di New York saat menerangkan yang menentukan kadar (masing-
masing) dan memberi petunjuk. Ungkapan ini tidak saya ulangi di sini
agar pembaca dapat melihatnya langsung di dalam bukunya.
Ilmuwan berkata: “Bahwa ular berbentuk ikan merupakan satu
keajaiban alam yang terdapat di kolam dan di sungai kecil ataupun
besar. Tapi, ular ikan itu tidak berkembang biak dengan baik kecuali di
Barmuda. Setelah berkembang biak ia pun mati di Barmuda. Suatu hal
yang menarik bagaimana ia dapat menyeberangi ombak dan jarak yang
jauh pergi dan menuju ke Bermuda. Bagaimana pula ia bisa tahu bahwa
tempat yang dituju itu adalah sungai dan kolam di Eropa berbeda
dengan ikan ulat di sungai dan kolam di New York. Bagaimana bisa
anak ikan itu dapat kembali ke Barmuda dari Eropa dengan menempuh
jarak perjalanan yang jauh tanpa ke sasar. Begitu juga dengan ikan
salmon, lebah dan semut.
Bila diperhatikan lebah pekerja membangun sarangnya dengan
penuh semangat dan begitu detialnya. Terlihat simetris sarang tersebut
begitu akurat dan sama dari segal penjuru. Setiap lebah mengetahui
ruangnya masing-masing. Ruang pejantan memiliki ukuran tertentu,
sebagaimana ratu pun memiliki ukuran tertentu pula.
Dalam dunia semut kita temukan gotong royong yang abadi. Bila
kita letakkan kurma manis atau daging atau ikan, maka dalam beberapa
saat ditemukan beberapa semut. Dengan bahasa yang tidak diketahui
menusia beberapa semut itu pun akhirnya pergi meninggalkan apa yang
diletakkan tadi. Lalu ia datang lagi dengan membawa pasukan besar
untuk mengangkat barang tersebut. Untuk memastikan hal ini,
letakkanlah ¼ gram gula, lihatlah berapa banyak semut yang
menganggatnya. Lalu bandingkan pula bila diletakkan ½ gram gula,
pasti ditemukan yang mengangkatnya berjumlah 2x lipat dari pertama.
Jadi, peraturan yang menentukan kadar (masing-masing) dan

252
AL-‘ALÂ 87 JUZ 30

memberi petunjuk agar Tuhan dapat mengingatkan manusia yang


sombong. Itu karena akal pikiran manusia selalu menjauhkan dirinya
dari langit. Seakan-akan Dia berkata: “Akal pikiranmu lebih rendah dari
makhluk yang tak punya akal.” Lihatlah elang kekuatan matanya lebih
besar dari teleskop. Hud-hud yang makanannya bukan terdapat di atas
bumi, tapi dari bawah bumi. Bagaimana ia dapat mengetahui bahwa di
situ ada makanannya, lalu mematoknya dan memakannya.
Dia memeriksa burung-burung lalu berkata: “Mengapa aku tidak
melihat hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir. Sungguh aku
benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras, atau benar-
benar menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku
dengan alasan yang terang”. (QS an-Naml [27]: 20-21)
Ini ungkapan Sulaiman sebagai raja. Saat ia berstatus Nabi, dia pun
berkata: Atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika benar-benar
dia datang kepadaku dengan alasan yang terang”. (QS an-Naml [27]:
21) Raja bersifat adil, sedangkan Nabi selalu bijaksana. Tapi Hud-hud
datang dengan berita ratu yang menyembah matahari bukan Allah. itu
diungkapkannya karena berbeda dengan tabiatnya yang selalu bertasbih.
Apakah burung bertasbih, apakah gunung bertasbih seperti firman
Allah: Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata:
“Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan
kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini,
Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah
mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai
singgasana yang besar. (QS an-Naml [27]: 22-23)
Ya, burung dan gunung bertasbih. Bukan sekedar tasbih dilâlah, tapi
tasbih dalam arti sebenarnya. Aku mendapati dia dan kaumnya
menyembah matahari, selain Allah. (QS an-Naml [27]: 24)
Setelah itu, Allah datang dan menunjukkan kepada kita surat-surat
lainnya. Sayyidina Sulaiman dan Semut berkatalah seekor semut: Hai
semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak
diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menya
dari. (QS an-Naml [27]: 18) Kelangsungan hidup di sini adalah
pengajaran dari peraturan mengatur kelompok-kelompoknya maka dia
tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu
Lihatlah kemuliaan Sulaiman yang berdoa: “Ya Tuhanku, berilah aku
ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau
anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk
mengerjakan amal saleh yang Engkau ridai. (QS an-Naml [27]: 19)

253
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Jadi, arti syukur nikmat di sini bahwasanya Allahlah yang


mengajarkannya logika untuk mensyukuri segala sesuatu.
Burung hudhud berkata: “Aku mendapati dia dan kaumnya
menyembah matahari, selain Allah.” Artinya, burung Hudhud
mengetahui akad atau kontrak sebenarnya antara makhluk dengan Allah.
Makhluk seharusnya tidak bersujud kepada selain Allah. Kalau dia
mengerti permasalahan akad dan kontrak yang sebenarnya ini, maka
iman menjadi jelas, dan tasbih pun terucap, serta badanpun bersujud .
Untuk itu ketika mereka berkata: “Sesungguhnya kerikil bertasbih
pada tangan Rasulullah.” Kami berkata kepada mereka: “Kamu jangan
berkata seperti ini, tapi katakanlah: “Rasulullah mendengar tasbih
kerikil di tangannya.” Karena kerikil sebenarnya juga bertasbih di
tangan kafir. Jadi apa dia perbedaannya? Bedanya, Rasulullah Saw
mendengar tasbih kerikil, sedangkan kafir tidak mendengar.
Suatu ketika Nabi Muhammad keluar dan mendapatkan kaum yang
telah menambatkan binatang mereka, dan mereka terus berbincang
sedangkan binatang mereka berdiri. Nabi Muhammad berkata: “Jangan
jadikan binatang tungganganmu sebagai kursi lalu kamu duduk di
atasnya saat berbicara. Sesungguhnya mereka bertasbih kepada Allah
lebih banyak dari kamu.”
Nabi Muhammad mengajarkan manusia untuk tidak memandang
rendah seluruh binatang, tumbuhan dan benda. Seperti menjadikannya
kursi, karena ia bukan makhluk untuk melakukan hal ini. Ia memikul
beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepa
danya. Ketika manusia ingin duduk, istirahatkan juga binatang
tunggangannya.
Jadi kosmos secara keseluruhan, dengan segala jenis eksistensinya,
bertasbih kepada Allah Swt. Allah menaungi segala sesuatu dengan
sebagian kelebihan dankeistimewaan. Dia mendengar tasbih itu, dan dia
memahami bahasa tasbih tersebut.
Dengan demikian, sucikanlah nama Tuhanmu yang Mahatinggi,
dapat diartikan: “Wahai Muhammad, bertasbihlah bersama seluruh yang
ada di bumi dan di langit agar hidup harmonis bersama semua.” Allah
mengutus nabi Muhammad untuk mengembalikan keharmonisan
manusia bersama seluruh penghuni alam raya itu. Tidak wajar, jika
nikmat yang besar yang telah diberikan dan diciptakannya untuk
manusia berupa akal pikiran menyebabkan manusia berpaling dari
Tuhan. Akan tetapi hendaklah akal pikiran menjadikannya sebab untuk
mengajak diri agar beriman kepada Allah. Tujuanya, agar manusia tidak

254
AL-‘ALÂ 87 JUZ 30

berbenturan dengan seluruh isi kosmos itu, serta dia tidak merusak
irama tersebut.
Jadi semboyan yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan
-Nya) merupakan alasan penting kenapa Dia itu Tuhanmu Yang Maha
Tinggi. Zat Allah Yang Maha Tinggi ini menjadi alasan utama kenapa
manusia cerdas harus bertasbih untuknya.***

(QS al-A’la [87]: 6-13)


 ´³²±°¯®¬«ª©¨§¦¥
ÁÀ¿¾½¼»º¹¸¶µ
 ÏÎÍÌËÊÉÈÇÆÅÄÃÂ
Ð
Kami akan membacakan (Alquran) kepadamu (Muhammad)
sehingga engkau tidak akan lupa, kecuali jika Allah menghendaki.
Sungguh, Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi.
Dan Kami akan memudahkan bagimu ke jalan kemudahan
(mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat), oleh sebab itu
berikanlah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat, orang
yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran, dan orang-
orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya, (yaitu) orang yang
akan memasuki api yang besar (neraka), selanjutnya dia di sana
tidak mati dan tidak (pula) hidup.
Kami akan membacakan (Alquran) kepadamu (Muhammad) sehingga
engkau tidak akan lupa, kecuali jika Allah menghendaki. Maknanya
Allah berkehandak bahwa kamu tidak akan pernah lupa terhadap
Alquran. Nabi Muhammad pun tidak pernah melupakan Alquran sejak
ayat ini diturunkan. Nabi Muhammad tetap membacanya sebelum
malaikat Jibril habis membacanya, takut kalau ia nantinya lupa.
Ayat di atas dapat juga diartikan dengan Kami tetap menjaganya
untukmu hingga tidak satu ayatpun terlupakan. Dikatakan bahwa Jibril
turun setiap waktu untuk membacakan ayat suci Alquran kepada Nabi
Muhammad dan menerangkan apa-apa yang dinasakhkan/dihapus.
Itulah maksud dari makna kecuali jika Allah menghendaki. Artinya apa-
apa yang dikehendaki Allah untuk diangkat, dihapus, atau dinasakh.
Sungguh, Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi. Dapat
diartikan juga dengan pengertian Dia mengetahui apa yang diucapkan
secara nyata oleh imam dalam salat Subuh, Magrib, Isya serta Jumat.

255
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Apa yang dibaca secara rahasia atau pelan dalam salat Zuhur, Asar dan
salat sunat. Dapat juga diartikan mengetahui yang jahar/nyata dari
perbuatan manusia, dan apa yang tersembunyi dari perkataan dan niat
manusia.
‫ﺮﻯ‬‫ﺮ‬‫ﺴ‬‫ﻠﹾﻴ‬‫ ﻟ‬‫ﻙ‬‫ﺮ‬‫ﺴ‬‫ﻴ‬‫ﻧ‬‫ ﻭ‬Kami akan memudahkan bagimu ke jalan kemudahan
(mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat), Allah akan mempermudah
bagi mukmin untuk menghapal Alquran dan menyampaikan risalah
dakwah. Dapat juga diartikan dengan Allah akan terus menolong
mukmin dalam ketaatan. Atau, Allah akan memudahkan mukmin dalam
melakukan segala pekerjaan yang menghantarkan dirinya ke surga.
‫ﺮﻯ‬‫ ﺍﻟﺬﱢﻛﹾﺮ‬‫ﺖ‬‫ﻔﹶﻌ‬‫ ﹺﺇﺇﻥ ﻧ‬‫ ﻓﹶﺬﹶﻛﱢﺮ‬oleh sebab itu berikanlah peringatan, karena peri
ngatan itu bermanfaat. Ingatkan manusia dengan Alquran. Sebab
nasihat itu penting untuk disampaikan. Walaupun yang mengambil
nasihat dari Alquran itu hanya orang-orang yang takut kepada Allah.
Atau ajakan dakwah dan nasehat itu bermanfaat bagi hati yang cerdas
dan pro aktif.
‫ﺸﻰ‬ ‫ﺸ‬‫ﺨ‬‫ﻣﻦ ﻳ‬‫ ﻣ‬‫ﺬﱠﻛﱠﺮ‬‫ﻴ‬‫ ﺳ‬orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pela
jaran, Alquran menjadi sumber nasihat bagi manusia yang takut kepada
Allah dan berserah diri kepada-Nya. Atau maknanya, mukmin akan
mendengar nasihat, beriman dan beramal saleh selama dia takut kepada
siksa Allah.
‫ﺷ ﹶﻘﻘﻰ‬ ‫ﻬﻬﺎ ﺍ َﻷ‬ ‫ﺒ‬‫ﺠﻨ‬
 ‫ﺘ‬‫ َﻳ‬orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya. Mak
na nya, kafir terkadang menjauh dari nasehat yang disampaikan oleh
Nabi Muhammad dan mukmin. Atau orang-orang yang sakit hati dan
menderita saat melihat Islam jaya, akan menjuahkan diri dari Alquran
dan Islam. Karena menurut ilmu Allah, orang seperti ini pasti berada di
neraka. Seperti Walid, Abu Jahal dan orang-orang seperti mereka.
‫ﺮﻯ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﻟﹾﻜﹸﺒ‬‫ﻨﺎﺭ‬‫ﻠﹶﻠﻰ ﺍﻟﻨ‬‫ﺼ‬‫ﺬﻱ ﻳ‬‫( ﺍﻟﱠﺬ‬yaitu) orang yang akan memasuki api yang be
sar (neraka). Pada hari kiamat nanti mereka akan masuk ke dalam api
neraka. Api yang besar, karena api dunia sebesar apapun ia tetap saja
dinilai dengan api yang kecil. Dari Anas bin Malik Nabi bersabda: “Api
di dunia ini 1 dari 70 bagian dari api neraka.” (HR Ibnu Majah)
Ulama berkata: “Tanda-tanda orang tersiksa dan menderita ada
sembilan: 1. banyak makan 2. banyak minum, 3. banyak tidur, 4.
berterusan dalam dosa, 5. Ghibah, 6. keras hati, 7. banyak dosa, 8. lupa
mati, 9. lupa berada di hadapan Allah. Orang seperti ini layak masuk ke

256
AL-‘ALÂ 87 JUZ 30

dalam neraka.
‫ﻴﻴﻰ‬‫ﺤ‬
 ‫ﻭﻻ ﻳ‬‫ﻬﺎ ﻭ‬‫ﻓﻴﻬ‬‫ ﻓ‬‫ﻤﻮﺕ‬‫ﻤ‬‫ ﻻ ﻳ‬‫ ﺛﹸﻢ‬selanjutnya dia di sana tidak mati dan tidak
(pula) hidup. Mereka tidak mati di dalam api neraka, hingga dapat
istirahat dari siksaannya. Tidak juga hidup yang dapat memberi
manfaat. Quthbi berkata: “Inilah siksaan bagi orang yang hampir mati,
tapi tak mati-mati.” ***

(QS al-A’la [87]: 14-19)


EDCBAÚÙØ×ÖÕÔÓÒÑ
 ONMLKJIHGF
SRQP
Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri
(dengan beriman), dan Dia ingat nama Tuhannya, lalu Dia salat.
tetapi kamu (kaum kafir) memilih kehidupan duniawi. sedang
kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.
Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam Kitab-Kitab yang
dahulu, (yaitu) Kitab-Kitab Ibrahim dan Musa
Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan
beriman). Ayat ini adalah perintah terkait dengan akidah dan kesucian
hati. Dia ingat nama Tuhannya adalah pesan yang terkait dengan ikrar
lisan serta maka salatlah adalah pesan yang terkait perilaku gerak dalam
hidup.
Telah dibahas sebelumnya bahwa di balik salat berkumpullah seluruh
bentuk ibadah ritual dan perilaku dalam komunitas Islam. Kemudian
telah dibahas juga bahwa beban umat Islam yang telah dibebankan
Allah sesuai untuk mereka dengan asas akidah yang sama sejak masa
Nabi Adam as. Bahkan Allah Swt juga mengiringi setiup umat dengan
mengutus rasul-Nya untuk mengingatkan orang-orang yang lalai.
Kita mengatakan bahwasanya isyarat seperti itu terdapat dalam
firman Allah Swt: ‫ﺳﻰ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﻣﻣﻮ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻫﻫﻴ‬ ‫ﺮﺮﺍ‬ ‫ﺑ‬‫ ﺇﹺ‬‫ﻒ‬‫ﺤ‬‫ ﺍﻷُﻷﻭﻟﹶﻟﻰ ﺻ‬‫ﻒ‬‫ﺤ‬‫ﻔﻲ ﺍﻟﺼ‬‫ﻫ ﹶﺬﺬﺍ ﻟﹶﻔ‬ ‫ﹺﺇ ﱠﻥ‬
sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu,
kitab Ibrahim dan Musa. (87: 18-19)
Kitab-kitab terdahulu tidak hanya terbatas kepada Kitab suci Ibrahim
dan Musa, akan tetapi di sana ditemukan juga kitab suci yang

257
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

diturunkan Allah kepada para rasul lainnya. Allah menurunkan kitab


suci kepada Nabi Syis, dan kepada Nabi Idris, dan Nabi Ibrahim dan
diturunkan kepada Nabi Musa. Artinya di sana ditemukan kitab suci
selain kitab-kitab yang dikatakan Allah, seperti: Taurat, Injil, Alquran
dan Zabur.
Ketika Allah Swt berfirman: Sesungguhnya ini benar-benar terdapat
dalam kitab-kitab yang dahulu, kitab Ibrahim dan Musa memastikan
hakikat kontrak atau akad yang tidak pernah berubah dari sejak zaman
Nabi Adam hingga akhir zaman. Jika pun ada perubahan, maka
perubahan itu hanya terjadi pada sebagian syariat. Perubahan syariat
karena syariat turun dengan semangat akulturasi atau penyesuaian
hukum dengan lingkungan di mana ia berada. Syariat itu pun jika harus
berbeda, maka letak perberbedaan hanya jatuh pada kadarnya saja. Itu
bagian dari harmonisasi kehidupan manusia dan bagaian dari alunan
lagu kehidupan. Lain halnya dengan akad iman, yang bertumpu pada
hubungan sepiritual antara Allah dan makhluk-Nya. Pada posisi ini
semua nabi dan ajaran samawi bersekutu untuk bersatu dalam bingkai:
“Tiada tuhan selain Allah.”
Sebagaimana yang telah datang dalam kitab hadis, bahwa Abu Dzar
ra bertanya kepada Rasulullah Saw: “Ya Rasulullah, apa isi dari kitab
suci terdahulu, kitab Ibrahim dan Musa?”
Rasulullah menjawab: “Bahwa dalam kitab suci untuk Nabi Ibrahim
terdapat di dalamnya peribahasa, peringatan dan pelajaran. Seperti:
“wahai raja yang tirani, saya tidak mengutusmu menjadi raja untuk
mengumpulkan kekayaan dunia, dengan setandar banyak kurang
banyak, tapi saya mengutusmu untuk membela nasib kaum lemah yang
terzalimi. Aku tidak akan menolak doa orang terzalimi, walaupun dia
kafir. ...”
Abu Dzar bertanya lagi: “Apa pula isi dari kitab suci Nabi Musa?”
Nabi menjawab: “Semuanya berisikan inspirasi ... Contohnya: Aku
heran dengan orang yang percaya bahwa kematian itu pasti, namun dia
tetap hidup bergembira dalam kemaksiatan. Aku heran dengan orang
yang percaya bahwa api neraka itu pasti, namun dia tetap hidup tertawa
dalam kekafiran. Aku heran dengan orang yang percaya bahwa takdir
itu pasti, namun dia tetap menjauh dari Allah. Aku heran dengan orang
yang menyaksikan dunia bersama penghuninya hancur berantakan,
namun dia tetap hidup damai dalam kemusyrikan. Aku heran dengan
orang yang percaya bahwa pemeriksaan itu pasti, namun dia tetap tidak
mau beramal saleh.” (HR Ibn Hibban)

258
AL-‘ALÂ 87 JUZ 30

Itu artinya bahwa kitab suci tersebut berhubungan dengan keesaan


Allah dan akhlak mulia dengan semangat inspirasi dan motivasi bagi
umatnya. Artinya, pesan-pesan yang berhubungan dengan ritual ibadah
tidak banyak mendapatkan ruang dan tempat. Pesan utama yang perlu
ditegaskan dalam kitab suci adalah keesaan Allah dan pengaruhnya
dalam kehidupan nyata yang tercermin lewat prilaku mulia.
Kita lihat sekali lagi bagaimana kitab suci berisikan tentang iman dan
pengaruhnya bagi perilaku mulia dalam kehidupan. Masih di dalam
hadis yang sama, Nabi Muhammad bersabda tentang pesan-pesan lain
yang tertuang di dalam kitab suci Nabi Inrahim: “Atas orang yang
berakal yang belum berubah akalnya (gila) hendaklah membagi 24 jam
dalam kehidupannya menjadi empat bagian: Pertama, bagian untuk
munajat kepada Rabbnya. Kedua, bagian untuk introspeksi diri. Ketiga,
berpikir tentang anugerah Allah untuk dioptimalkan dan didayagunakan
dengan baik dan benar. Keempat, bagian untuk memenuhi kebutuhan
makan dan minumnya. Ditambahkan bagi manusia cerdas dan berakal
hendaklah membagi kehidupan ini untuk tiga perkara: Pertama, sebagai
bekal untuk perjalanan akhirat. Kedua, hidup sedarhana. Ketiga,
menikmati rezeki halal anugera Allah.
Artinya inilah dia manhaj iman yang wajib dipedomani mukmin.
Manhaj iman yang tertuang dalam seluruh kitab suci dalam porsi yang
begitu banyak itu bertujuan untuk menjadikan iman sebagai landasan
utama dalam kehidupan. Atau agar dapat keluar dengan selamat dari
jebakan tetapi kamu (kaum kafir) memilih kehidupan duniawi.
Untuk itu sebagian orang-orang soleh ketika ditanya tentang
manhajnya dalam hidup, dia berkata: “Saya mengetahui bahwa saya
tidak lepas dari penglihatan Allah walau seditikpun, maka saya malu
untuk berbuat maksiat.”
Kalau seseorang yakin bahwa Allah melihat kepadanya setiap detik,
pasti dia akan malu untuk jatuh ke dalam kemaksiatan. Karena
pandangan Allah akan terus tertuju padanya. Jika tidak malu, coba bawa
kepadaku ayah atau ibumu saat kamu melanggar satu larangan,
sedangkan mata dan penglihatannya tertuju padamu.
Untuk itu Allah berfirman dalam hadist Qudsi: “Jika kamu meyakini
bahwa Aku tidak melihat kamu, maka kesalahannya terdapat di iman
kamu, dan jika kamu meyakini bahwa Aku melihat kamu, maka kamu
tidak menjadikanku lebih sepele dari orang-orang yang melihat ke
kamu.”
Jika mukmin meyakini bahwa Allah melihatnya, bagaimana dia

259
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

melakukan dosa? Apakah mukmin melanggar apa yang dilarangnya dan


Allah tidak melihatnya!? Dia berkata: “Tidak.” Jadi mengapa Allah
dijadikan lebih sepele dari ciptaannya?
Jika mukmin meyakini bahwa Allah tidak melihat dirinya, maka
kesalahan terdapat pada iman mukmin. Jika mukmin meyakini bahwa
Allah melihat dirinya, maka mukmin pasti tidak menjadikan Dia lebih
sepele dari orang-orang yang melihat kepada dirinya.
Seorang lelaki berkata: “Saya tahu bahwa saya tidak lepas dari
penglihatan Allah dari segi pandangan, maka saya akan malu untuk
berbuat maksiat kepadanya. Saya tahu bahwa bagiku rezeki yang tidak
akan melebihiku, dan Allah telah menjaminnya untukku, maka saya
puas dengannya. Saya tahu bahwa bagiku agama yang tidak
dilaksanakan dariku selain aku maka aku akan mengamalkannya. Saya
mengetahui bahwa bagiku waktu yang terus mengejarku, maka saya
bersegera beriman dan beramal saleh.
Ketika Hatim ditanya tentang manhaj, dia berkata: “Jadikanlah
ketaatan kamu kepada Zat yang tidak memerlukannya. Jadikan terima
kasih kamu kepada Zat yang tidak memutuskan nikmatnya dari kamu.
Jadikan kepatuhan kamu kepada Zat yang tidak keluar dari
kepemilikannya dan kekuasaannya.”
Jadi dalam kitab suci yang terdahulu ditemukan pesan-pesan
keimanan yang menjadikan manusia selalu ingat dengan Allah. Akhir
dari pesan itu adalah optimis dan syukur dalam hidup. Kami jelaskan
yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa
yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira
terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. (QS al-Hadîd [57]: 23)
Akhirnya, satu kata yang harus diucapkan bahwa mukmin perlu
memperbanyak zikir dan mengingat Allah Swt, di mana dan kapanpun
dia berada. Kecuali di kamar mandi. Untuk itu Nabi Muhammad
mengajarkan kita cara agar berdoa ketika keluar dari kamar mandi
dengan menyebut: ‫ﲑ‬  ‫ﺼ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻚ‬‫ﺇﹺﻟﹶﻴ‬‫ﻨﺎ ﻭ‬‫ﻨ‬‫ﺑ‬‫ ﺭ‬‫ﻚ‬‫ﺮﺍﻧ‬‫ ﻏﹸﻔﹾﺮ‬ampunilah kami ya Tuhan kami
dan kepada Engkaulah tempat kembali. (QS al-Baqarah [2]: 285)
Mengapa doanya berisikan mohon ampun dan minta maaf? Karena
pada waktu di dalam kamar mandi, mukmin tidak menyebut nama
Allah. Kemudian dia berkata: “Wahai Tuhanku, maafkan saya pada
waktu di dalam kamar mandi tidak menyebut nama-Mu.”
Atau makna lain di waktu itu dia masuk ke dalam kamar mandi, dia
tidak boleh menyebutkan nama Allah, sehingga dia memohon maaf dan

260
AL-‘ALÂ 87 JUZ 30

berkata: “Segala puji bagi Allah yang menjauhkan yang tercela dariku
dan maafkan aku.”
Bayangkan jika seseorang begitu kebelet dan ingin buang hajat tapi
tidak mendapatkan tempat untuk buang hajat. Tentu dia akan merasa
kesulitan. Bayangkan bagaimana jika manusia tidak dapat buang hajat,
tentu ini sangat berbahaya dan menderita. Untuk itu syukur adalah
ucapan logis saat dapat buang hajat.
Terkait dengan buang hajat, ditemukan dialog yang terjadi antara Ibn
as-Samak dengan al-Mahdi Khalifah atau raja pada masa itu. Ibn as-
Samak berkata kepadanya: “Wahai Amirul Mu’minin kalau terhalang
dari kamu secangkir air, berapa akan kamu beli dengan tahtamu?
Dia menjawab: “Setengah dari tahtaku”
Dia berkata: “Jika kamu ingin mengeluarkannya, tapi dia tidak dapat
keluar, berapa harga yang kamu bayar untuk dapat mengeluarkannya?”
Dia menjawab: “Seluruh tahtaku.”
Dia berkata: “Sesungguhnya tahta ini bernilai dengan segelas
minuman yang pantas di abaikan. Lebih dari itu, tahta ini sama dengan
nilai air seni yang dapat keluar dari tubuh manusia. Bagaimana kita
membangkakan kerajaan yang nilainya tidak lebih dari air seni yang
keluar.”
Dengan demikian, ketika mukmin berkata: ‫ﻚ‬  ‫ﺮﺍﻧ‬‫ ﻏﹸﻔﹾﺮ‬ampunilah kami ya
Tuhan kami, dapat diartikan dengan dua hal: pertama, bahwa mohon
ampun dipinta atas segala kelalaian yang terjadi, saat lupa mengingatmu
di dalam kamar mandi. Kedua, karena Engkau telah memberikan nikmat
makanan yang begitu baik, dan keluar dari tubuhpun mudah, tapi saya
belum mensyukuri nikmat ini dengan maksimal, untuk itu ampunilah
saya, ya Allah.***

261
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

262
AL-GHÂSYIYAH 88 JUZ 30

SURAT 88
AL-GHÂSYIYAH
(MAKKIYAH)

263
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

264
AL-GHÂSYIYAH 88 JUZ 30

Hubungan surat ini dengan surat sebelumnya ditemukan bahwa


surat al-A’la membahas tentang penderitaan dan tentang orang yang
bersuci diri. ‫ﺼ ﱠﻠﻠﻰ‬
 ‫ﻪ ﹶﻓ‬ ‫ﺑ‬‫ﺭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺮ ﺍ‬ ‫ ﹶﺫ ﹶﻛ‬‫ﺰ ﱠﻛﻛﻰ ﻭ‬ ‫ﻣﻣﻦ ﺗ‬ ‫ﺢ‬
 ‫ﺪ ﺃﹶﻓﹾﻠﹶ‬ ‫ ﹶﻗ‬kemudian dia tidak mati di
dalamnya dan tidak (pula) hidup. Sesungguhnya beruntunglah orang
yang membersihkan diri (dengan beriman), (QS al-'A'la [87]: 13-14)
dan tentang penderitaan ‫ﻴﻴﻰ‬‫ﺤ‬  ‫ﻻﹶ ﻳ‬‫ﻬﺎ ﻭ‬‫ﻓﻴﻬ‬‫ ﻓ‬‫ﻤﻮﺕ‬‫ﻤ‬‫ ﻻﹶ ﻳ‬‫ﺮﻯ ﺛﹸﻢ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﻟﹾﻜﹸﺒ‬‫ﻨﺎﺭ‬‫ﺼ ﹶﻠﻠﻰ ﺍﻟﻨ‬
 ‫ﻳ‬ ‫ﺬﺬﻱ‬ ‫( ﺍﱠﻟ‬yaitu)
orang yang akan memasuki api yang besar (neraka). Kemudian dia
tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup. (QS al-'A'la [87]: 12-13)
Seakan Ia berbicara tentang iman dan apa yang dilihatnya dari pahala,
dan Ia juga berbicara tentang orang kafir dan apa yang dilihatnya dari
azab Allah. Begitu juga dengan surat al-Ghasyiah berisikan tentang
penjelasan ini ‫ﻌ ﹲﺔ‬ ‫ﺷ‬
 ‫ﺧﺧﺎ‬ ‫ﺬ‬ ‫ﺌ‬‫ﻣ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻩ‬ ‫ﺟﺟﻮ‬ ‫ﻭ‬ banyak muka pada hari itu tunduk terhina,
dan ‫ﻤ ﹲﺔ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻧﻧﺎ‬ ‫ﺬ‬ ‫ﺌ‬‫ﻣ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻩ‬ ‫ﺟﻮ‬
‫ﺟ‬ ‫ﻭ‬ banyak muka pada hari itu berseri-seri. (QS al-
Ghâsyiyah [88]: 2&8)
Begitu juga dengan munasabah kedua, dalam al-A’la disebutkan
tentang peringatan: ‫ﺮﻯ‬‫ ﺍﻟﺬﱢﻛﹾﺮ‬‫ﺖ‬‫ﻔﹶﻌ‬‫ ﺇﹺﻥﹾ ﻧ‬‫ ﻓﹶﺬﹶﻛﱢﺮ‬oleh sebab itu berikanlah
peringatan karena peringatan itu bermanfaat. (87:9) lalu dalam surat al
-Ghasyiah disebutkan tentang batasan peringatan itu ‫ﺮ‬ ‫ﻣ ﹶﺬﻛﱢ‬ ‫ﺖ‬  ‫ﻤﺎ ﺃﹶﺃﻧ‬‫ﻤ‬‫ ﺇﹺﻧ‬‫ﻓﹶﺬﹶﻛﱢﺮ‬
‫ ﹴﺮ‬‫ﻄ‬‫ﻴ‬‫ﺼ‬‫ﻬﹺﻬﻢ ﺑﹺﻤ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺖ‬‫ ﻟﱠﺴ‬maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu
hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang
berkuasa atas mereka, (88:21-22) Ini merupakan penyederhanaan dari
beban berat dakwah yang dipikul nabi dengan senang hati, maka
(apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati
sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada
keterangan ini (Alquran). (QS al-Kahfi [18]: 6). Di sini disebutkan
tugas nabi memberi peringatan tidak lebih.
Munasabah yang lain, dalam surat sebelumnya ‫ﺰ ﱠﻛﻛﻰ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻦ‬  ‫ﻣ‬ ‫ﺢ‬
 ‫ ﺃﹶﻓﹾﻠﹶ‬‫ﻗﹶﺪ‬
Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan
beriman), (QS al-'A'la [87]: 14) yaitu orang yang membersihkan
akidahnya. Kata tazkiyah artinya tathhîr/pensucian dan namâ’/tumbuh
berkembang. ‫ﻪ‬ ‫ﺑ‬‫ﺭ‬ ‫ﺳﻢ‬
 ‫ﺮ ﺍ‬ ‫ﺫﹶﻛﹶ‬‫ ﻭ‬dia ingat nama Tuhannya: merupakan manhaj
qaul (manhaj yang diucapkan) dan ‫ﺼ ﱠﻠﻠﻰ‬
 ‫ ﹶﻓ‬merupakan manhaj amal/gerak.
Seakan-akan surat al-A’lâ memaparkan ringkasan manhaj Islam, yang
terdiri dari iman, perkataan dan perbuatan. Lalu surat al-Ghasyiah

265
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

membahas tentang manhaj yang dibuat manusia sendiri untuk


mengarungi lautan kehidupan.
Bila diperhatikan aturan main manusia secara umum, hingga non
muslim sekalipun, ditemukan bahwa semua aturan dibuat untuk
mencapai tujuan tertentu. Tujuan aturan main dalam hidup itu harus
dapat mengganti segala jerih payah yang telah dikeluarkan. Jikalau saja
kerja itu hanya membuahkan hasil yang seimbang dengan jerih payah
yang dikeluarkan niscaya orang bijak tidak mau melaksanakannya.
Karena orang normal akan meminta nilai tambah lebih dari jerih payah
yang dikeluarkannya. Inilah yang disebut dengan sukses. Bagaimana
pula jika seorang yang telah bekerja maksimal namun masuk neraka!?
Tentu ini namanya gagal dan paling rugi. Inilah manhaj yang dibuat
oleh manusia, yang sangat berbahaya dan menyengsarakan.
Dalam kaitan ini Allah berfirman: ‫ﻴ ﹰﺔ‬‫ﻣ‬ ‫ﺣﺎ‬
‫ﺣ‬ ‫ﺭﺭﺍ‬ ‫ﻧﺎ‬‫ﻠﹶﻠﻰ ﻧ‬‫ﺼ‬‫ﺔﹲ ﺗ‬‫ﺒ‬‫ﻧﺎﺻ‬‫ﻣ ﹶﻠﺔﹲ ﻧ‬ ‫ﻋﻋﺎ‬ bekerja
keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka), (QS
al-Ghâsyiyah [88]: 3-4) Maksudnya hindarilah perbuatan yang dibangun
atas aturan main yang bukan saja mambuat kamu tidak memetik hasil
dari jerih payah, tapi lebih dari itu yang membuat kamu mendapat mara
bahaya, yaitu azab api neraka. Bila ini bekerja hanya untuk menyiksa
diri maka cara berpikirnya telah salah.
Dalam kehidupan, bila seseorang pekerja dan pulang tanpa dan tidak
menghasilkan sesuatu, itu saja sudah dianggap gagal. Apalagi bila dia
mengalami kerugian dan bangkrut. Seakan-akan dalam ayat ini agama
datang untuk menjadikan gerak kehidupan memiliki tujuan hakiki, yaitu
meraih kesuksesan dunia dan akhirat.
Jadi surat al-Ghasyiah berisikan tentang paparan tujuan-tujuan itu
semua. Surat ini memaparkan tujuan dari pelaksanaan syariat yang
tertuang Allah dalam surat al-A’lâ.***

266
AL-GHÂSYIYAH 88 JUZ 30

KEADAAN PENGHUNI NERAKA DAN SURGA


(QS al-Ghâyiyah [88]: 1-7)
_^]\[ZYXWVUT
ponmlkjihgfedcba`
vutsrq
Sudahkah sampai kepadamu berita tentang hari Kiamat?
Pada hari banyak wajah yang tertunduk terhina, bekerja keras
lagi kepayahan, mereka memasuki api yang sangat panas
(neraka), diberi minum dari sumber yang sangat panas. Tidak
ada makanan bagi mereka selain dari pohon yang berduri, yang
tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar.
Surat ini dimulai dengan sudahkah sampai kepadamu berita tentang
hari Kiamat? Sebaiknya diketahui terlebih dahulu subjek, objek dan isi
pertanyaan di atas. Subjek dari ayat ini adalah Allah Swt. Allah sendiri
suci dari mohon penjelasan dalam bentuk pertanyaan agar paham. Itu
karena asal pertanyaan ialah mohon penjelasan dari hal-hal yang belum
diketahui. Dalam hal ini surat bukan untuk mencari tahu informasi, tapi
untuk penegasan dari apa yang dipertanyakan. Maksud penegasan dalam
bentuk tanya ialah: ketika seseorang bertanya tentang sesuatu, maka
jawabannya pasti sesuai dengan kehendak penanya guna penegasan isi
pesan pertanyaan itu sendiri. Seperti ‫ﻙ‬  ‫ﺭ‬‫ﺪ‬‫ ﺻ‬‫ ﻟﹶﻚ‬‫ﺡ‬‫ﺮ‬‫ﺸ‬‫ ﻧ‬‫ ﺃﹶﻟﹶﻢ‬bukankah Kami
telah melapangkan untukmu dadamu? (QS Insyirâh [94]: 1) Apakah
Allah perlu jawaban bahwa ia telah membelah dada Muhammad? Tentu
tidak. Jadi, pertanyaan di sini bukan untuk bertanya, tapi untuk
penegasan dengan cara mengaku apa yang telah dibuat Allah terhadap
dirinya.
Jadi, ‫ﺔ‬ ‫ﻴ‬‫ﺷ‬
 ‫ﻐﻐﺎ‬ ‫ﺚ ﺍﹾﻟ‬
‫ﺪﻳ ﹸ‬‫ﺪ‬‫ﻙ ﺣ‬ ‫ﺗﺎ‬‫ﻞﹾ ﺃﹶﺗ‬‫ ﻫ‬sudahkah sampai kepadamu berita tentang
hari Kiamat? merupakan bentuk penegasan atau bentuk pengagungan
atas informasi yang disebutkan itu? Maksudnya, apakah tidak datang
berita ini dan itu? Seakan-akan kabar itu amat penting untuk diketahui
manusia. Seakan-akan sudahkah sampai kepadamu berita tentang hari
Kiamat? Memberi rasa betapa berita itu sangat penting yang harus
diperhatikan oleh seluruh anggota tubuh untuk mencari tahu
jawabannya.

267
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Terkadang pertanyaan disampaikan bukan untuk pencari tahuan atau


penegasan, tapi sebagai wujud lemah lembut dan kasih sayang terhadap
orang yang ditanya. Seperti, dialog antara Musa dengan Tuhannya:
“Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?” (QS Thâhâ [20]: 17)
Jadi pertanyaan disebutkan memiliki tujuan yang banyak. Di sini
saat Nabi Muhammad mendengar Tuhannya berbicara dengannya
sudahkah sampai kepadamu berita tentang hari Kiamat? Dipahamilah
bahwa al-Ghasyiah merupakan sesuatu peristiwa besar yang harus
diperhatikan oleh seluruh anggota tubuh agar memperoleh jawaban dari
Allah. Setelah ayat itu kita pun menemukan jawabannya langsung yaitu
‫ﻌ ﹲﺔ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﺧﺧﺎ‬ ‫ﺬ‬ ‫ﺌ‬‫ﻣ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻩ‬ ‫ﺟﺟﻮ‬ ‫ﻭ‬ pada hari banyak wajah yang tertunduk terhina. (88:2)
Kata khâsyi’ah/tertunduk artinya suasana seram yang menyelimuti
seluruh tubuh manusia hingga tidak dapat keluar darinya. Suasana
seram ini datang kepadanya dari seluruh penjuru, muka, belakang, kiri
kanan dan atas bawah. Seperti firman Allah: ‫ﺵ‬ ‫ﻮﺍ ﹴ‬‫ ﻏﹶﻮ‬‫ﻬﹺﻢ‬‫ﻗ‬‫ﻣﻦ ﻓﹶﻮ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬di atas
mereka ada selimut (api neraka). (QS al-A’râf [7]: 41) dan dalam kisah
Musa dengan Firaun: Kemudian Firaun dengan bala tentaranya
m e nge ja r m e reka , teta pi me rek a di gu lu ng o m b ak la ut ya n g
menenggelamkan mereka. (QS Thâhâ [20]: 78) atau, apabila mereka
digulung ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah
dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya. Tetapi ketika Allah
menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap
menempuh jalan yang lurus.) (QS Luqmân [31]: 32) maknanya
gelombang laut datang kepadanya dari segala penjuru. Atau (keadaan
kaum kafir) seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh
gelombang demi gelombang, di atasnya ada (lagi) awan gelap. Itulah
gelap gulita yang berlapis-lapis. Apabila dia mengeluarkan tangannya
hampir tidak dapat melihatnya. (QS an-Nûr [24]: 40) Lihat kedetilan
ungkapan ayat ini. Manusia tentu tahu posisi tangannya, namun bila
manusia tidak mengetahui lagi di mana letak tangannya, tentu ini
merupakan kondisi yang menyeramkan: Barangsiapa tidak diberi
cahaya (petunjuk) oleh Allah, maka dia tidak mempunyai cahaya sedikit
pun. (QS an-Nûr [24]: 40) Jadi, materi khâsyi‘ah/tertunduk pada ayat di
atas semuanya menunjukkan tentang suasana seram yang menyelimuti
jalan keluar untuk lari darinya.
Kata khâsyi‘ah/tertunduk dalam Alquran selain terdapat dalam surat
ini, terdapat juga dalam surat Yusuf. Apakah mereka merasa aman dari
kedatangan siksa Allah yang meliputi mereka, atau kedatangan kiamat

268
AL-GHÂSYIYAH 88 JUZ 30

kepada mereka secara mendadak, sedang mereka tidak menyadarinya?


(QS Yûsuf [12]: 107) Sedangkan dalam bentuk kata kerja banyak sekali
ditemukan di antaranya sebagaimana diterangkan pada ayat di atas.
Sudahkah sampai kepadamu berita tentang hari Kiamat ?
Menunjukkan suatu peristiwa besar, yang harus diperhatikan Rasulullah,
karena redaksi itu ditujukan padanya. Untuk itu dalam sebuah kitab
hadis dikisahkan Rasulullah berjalan dan mendengar perempuan
membaca sudahkah sampai kepadamu berita tentang hari Kiamat? Dia
pun mendengarnya lalu berkata: “Benar, ia telah datang kepada-Ku.”
Apa yang datang? Yang datang, banyak muka pada hari itu tunduk
terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas
(neraka), diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas.
Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri,
tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar. (88:2-7)
Kata khâsyi’ah merupakan bentuk wajah yang khusus.
Kekhusyukan di sini bukan atas dasar ikhtiar, sebagaimana kita lakukan
di dunia ini, tapi ia merupakan kekhusyukan terpaksa dalam bentuk
kehinaan. Di dunia ini manusia dapat memilih untuk khusyuk dan taat
atau tidak, namun di akhirat tidak ada lagi pilihan untuk tidak khusyuk.
Kenapa? Karena sarana untuk mewujudkan ikhtiar telah dicabut.
Suatu hal yang menarik, ketika Allah berbicara tentang
ibâdurrahman, Ia berfirman: “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha
Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan
rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka
mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS al-Furqân [25]: 63)
Sifat ibâdurrahman itu semuanya baik itu karena gerak hidup
mereka disesuaikan dengan manhaj Allah. Semua makhluk adalah abîd,
tapi ibâd adalah orang yang melakukan seluruh perbuatan ikhtiarnya
sesuai dengan manhaj Allah. tapi dalam Alquran Allah berfirman: ‫ﻢ‬ ‫ﺘ‬‫ﻧ‬‫َﺀﺃﹶ‬
‫ﺆ ﹶﻻ ِﺀ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺩﺩﻱ‬ ‫ﺒﺎ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻢ‬‫ﻠﹶﻠﹾﺘ‬‫ ﺃﹶﺿ‬apakah kamu yang menyesatkan hamba-hamba-Ku itu,
(QS al-Furqân [25]: 17) kenapa kata ibâd ini ditujukan kepada orang
kafir? Itu karena di akhirat semua manusia berstatus ibâd karena tidak
punya ikhtiar.
‫ﻌ ﹲﺔ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﺧﺧﺎ‬ ‫ﺬ‬ ‫ﺌ‬‫ﻣ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻩ‬ ‫ﺟﺟﻮ‬ ‫ﻭ‬ pada hari banyak wajah yang tertunduk terhina.
Wajah yang dulunya enggan tunduk dan khusyuk kepada Allah kini
secara terpaksa harus khusyuk, tunduk dan terhina. Dari raut wajah itu
terlihat penyesalan dan kekecewaan yang mendalam. Itu karena usaha

269
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

dan hasil yang dilakukan untuk diri, anak dan keluarga, untuk meraih
pangkat dan kedudukan ditemukan sia-sia di akhirat. Tidak saja dia
dapat masuk surga, bahkan lebih dari itu dia dijebloskan ke dalam api
neraka. Jadi, usaha yang dilakukannya itu merupakan perbuatan bodoh.
Orang yang bijak tidak mau melakukan perbuatan yang sia-sia.
Dalam kaitan ini Allah berfirman: “Kami hadapi segala amal yang
mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang
beterbangan.” (QS al-Furqân [25]: 23) Kenapa? Itu karena mereka
melakukan sesuatu di dunia dan tidak sedikit pun di dalam sanubarinya
Allah. Setiap manusia bekerja dan meminta hasil kerjanya dari orang
yang memberi upah. Selama kamu bekerja untuk mendapat upah
duniawi, maka bagaimana mungkin di akhirat mereka meminta upah
pahala dari Allah? Selama kamu berbuat untuk dikatakan begini dan
telah dikatakan, maka lunaslah sudah upah kerja itu.
Orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah
seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang
berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikit pun
dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). (QS Ibrâhîm [14]: 18)
Kerja orang kafir itu diumpamakan dengan fatamorgana di tanah
yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi
bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Di
dapatinya (ketetapan) Allah di sisinya. (QS an-Nûr [24]: 39)
Lihat betapa terkejutnya kafir yang terungkap dalam ‫ﻩ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻨـ‬ ‫ـ‬‫ﻋﻨ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺪ ﺍﻟ ﱠﻠ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻭ‬
didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya. Itu karena perbuatan mereka
habis begitu saja bagaikan fatamorgana. Mereka dikejutkan dengan
keberadaan Allah. Di sini Allahlah satu-satunya yang dapat memberi
pahala dan upah. Selama kafir memperoleh kegagalan, maka bagaimana
mereka meminta kepada Allah? Jika mereka meminta minum, niscaya
mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan wajah. (QS al-Kahfi [18]: 29)
Jadi didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, secara terpaksa harus
diakui dan dalam kondisi yang sudah kejepit. Itu karena semua
perbuatan kafir sia-sia, dan bahkan dia pun masuk neraka. Allah
menerangkan kedunguan manusia dalam bergerak dan bekerja hingga
tidak mencapai tujuan yang dapat membayar jerih payah yang telah
dikeluarkan.
‫ﺔ‬ ‫ﻴ‬‫ﻴ ﹴﻦ َﺀﺀﺍﹺﻧ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺴ ﹶﻘﻘﻰ‬
 ‫ﺗ‬ ‫ﻴ ﹰﺔ‬‫ﻣ‬ ‫ﺣﺣﺎ‬ ‫ﺭﺭﺍ‬ ‫ﻧﺎ‬‫ ﹶﻠﻠﻰ ﻧ‬‫ﺗﺼ‬ ‫ﺒ ﹲﺔ‬‫ﺻ‬
 ‫ﻧﻧﺎ‬ ‫ﻣ ﹶﻠ ﹲﺔ‬ ‫ﻋﻋﺎ‬ bekerja keras lagi kepayah
an, memasuki api yang sangat panas (neraka), diberi minum (dengan

270
AL-GHÂSYIYAH 88 JUZ 30

air) dari sumber yang sangat panas. (88: 3-5) Dua bentuk kobaran api
yang panas. Pertama, api yang panas membakar tubuh. Kedua,
tenggorokkan yang panas kehausan, dan butuh air untuk didinginkan.
Namun disuguhkanlah air yang panas. Lihat QS al-Kahfi [18]: 29.
Begitu juga saat minta makan: ‫ﺮﹺﺮﻳ ﹴﻊ‬‫ ﺿ‬‫ﻣﻦ‬ ‫ﻻ‬
‫ﻡ ﹺﺇ ﹶ‬ ‫ﻌﻌﺎ‬ ‫ﻢ ﹶﻃ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺲ ﹶﻟ‬
 ‫ﻴ‬ ‫ ﹶﻟ‬mereka tiada
memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri, (88: 6) Kata ‫ﺿ ﹺﺮﺮﻳ ﹴﻊ‬

menurut istilah Arab ialah ‫ﲔ‬ ‫ ﹴ‬‫ﻠ‬‫ﺴ‬‫ ﻏ‬‫ﻦ‬‫ ﺇﹺﻻﹶ ﻣ‬‫ﻌﺎﻡ‬‫ﻭ ﹶﻻ ﹶﻃﻌ‬ tiada (pula) makanan
sedikit pun (baginya) kecuali dari darah dan nanah. (QS al-Hâqqah
[69]: 36) Sebagian lain mengatakan bahwa ia adalah pohon duri, bila
telah matang dan mengering ia pun menjadi racun mematikan. Pohon ini
menjadi santapan unta saat masih hijau. Di lain surat disebutkan
sesungguhnya pohon zaqqum itu, makanan orang yang banyak berdosa.
(QS ad-Dukhân [44]: 43)
Dari tiga ayat ini ditemukan berbagai bentuk azab: ghislin, dhari’
dan zaqqum. Kata ghislin merupakan cairan panas besi yang
ditumpahkan ke tubuh kaum kafir. Sedangkan zaqqum pohon duri. Jadi,
tingkatan azab disesuaikan dengan ghasyiah itu sendiri. Untuk itu Allah
memulai pembicaraan kisah kaum kafir dalam ayat al-Ghasyiah ini
dengan ‫ﻌ ﹲﺔ‬ ‫ﺷ‬
 ‫ﺧﺧﺎ‬ ‫ﺬ‬ ‫ﺌ‬‫ﻣ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻩ‬ ‫ﺟﺟﻮ‬ ‫ﻭ‬ banyak muka pada hari itu tunduk terhina,
(88:2). Itu karena hal ini sesuai dengan kata ghasyiah itu sendiri. Itu
karena makna ghasyiah adalah rasa seram yang menyelimuti manusia
yang tidak diperoleh tempat untuk keluar darinya. Hingga ayat
selanjutnya sesuai dengan gambaran yang menakutkan menimpa kafir.
Ketika Allah menggambarkan suatu bentuk siksa dan azab, Dia
menggambarkannya sesuai dengan akal umat manusia yang
mendengarnya. Bukan berarti itu merupakan hakikat sebenarnya. Itu
karena lafaz bahasa sesuai pemahaman makna orang yang
mendengarnya. Sebagai contoh, tuan rumah di pedesaan berkata kepada
tamunya: “Ayo kita sarapan”. Kata sarapan untuk di pedesaan biasanya
terdiri dari susu dan kurma. Bila kamu datang ke kota kata sarapan
berbeda pula pemahamannya. Kalau hal itu dikatakan oleh seorang
menteri pemerintah, maka sarapan itu berbeda pula menunya. Jadi, satu
kata dapat dipahami maknanya sesuai dengan pemahaman lingkungan
yang dia hidup di dalamnya.
Ketika Allah memaparkan azab atau nikmat di akhirat, Ia tidak
memaparkan hakikat azab atau nikmat. Ia memaparkan hakikat azab

271
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

dalam gambaran dan bahasa kita. Itu karena bahasa digunakan lafaz/
ungkapan sebuah kata. Sebenarnya gambaran surga ialah apa yang tidak
dapat dilihat mata, didengar telinga, tidak juga pernah terbayang oleh
sanubari. Ia digambarkan dalam lafaz manusia hanya sekedar
memudahkan pemahaman manusia.
Untuk itu ketika mengisahkan nikmat surga Allah Swt berfirman:
‫ﺘ ﹸﻘﻘﻮ ﹶﻥ‬‫ﻤ‬ ‫ﺪ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺘﺘﻲ‬‫ﺔ ﺍﱠﻟ‬ ‫ﻨ‬‫ﺠ‬
 ‫ﻣﹶﺜ ﹸﻞ ﺍﹾﻟ‬ (apakah) perumpamaan (penghuni) surga yang
dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa, (QS Muhammad [47]:
15) dengan menggunakan kata matsal/perumpamaan. Allah mengung-
kapkan nikmat dalam kapasitas dapat dirasakan nikmat itu oleh
pendengar yang hidup di suatu tempat. Seperti lingkungan Arab yang
panas selalu mendambakan minuman, Alquran menggambarkan nikmat
itu dengan perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada
mereka yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air
yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang
tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar (arak) yang lezat
rasanya bagi peminumnya. (QS Muhammad [47]: 15)
Ketika Allah berfirman: “Banyak muka pada hari itu tunduk
terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas
(neraka), diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas.
Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri,
yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar,” (88:3-
7) bukan berarti itu merupakan azab yang sebenarnya. Ia sekedar
gambaran yang bagi pendengarnya hal itu merupakan puncak azab dari
yang diketahuinya.***

(QS al-Gahsyiyah [88]: 8-16)


 a
 `_~}|{zyxw
 nmlkjihgfedcb
wvutsrqpo
Pada hari itu banyak (pula) wajah yang berseri-seri, merasa
senang karena usahanya, (mereka) dalam surga yang tinggi. Di
sana (kamu) tidak mendengar perkataan yang tidak berguna. Di
sana ada mata air yang mengalir. Di sana ada takhta-takhta yang
ditinggikan, dan gelas-gelas yang tersedia (di dekatnya), dan

272
AL-GHÂSYIYAH 88 JUZ 30

bantal-bantal sandaran yang tersusun, dan permadani-permadani


yang terhampar.
Setelah itu Allah menggambarkan kisah sebaliknya pada hari itu
banyak (pula) wajah yang berseri-seri. Bandingkan perbedaan antara
raut muka yang di dalamnya tergambar rasa hina dina penuh penyesalan
dan takut azab dengan pada hari itu banyak (pula) wajah yang berseri-
seri. Raut muka berseri diterangkan Allah dengan berseri karena
bahagia. Kata berseri karena bahagia diungkapkan kepada sesuatu yang
tidak dapat disifati kecuali bila kamu melihat seseorang bahagia karena
berada dalam nikmat. Raut mukanya bercahaya dan punya daya tarik
karena hidup penuh kerelaan, tenteram, aman, damai dan sejahtera.
‫ﻴ ﹲﺔ‬‫ﺿ‬
 ‫ﺭﺭﺍ‬ ‫ﻬﺎ‬‫ﻴﹺﻬ‬‫ﻌ‬‫ﺴ‬‫ ﻟ‬merasa senang karena usahanya, (88:9) kebalikan dari
‫ﻴ ﹰﺔ‬‫ﻣ‬ ‫ﺣﺣﺎ‬ ‫ﺭﺭﺍ‬ ‫ﻧﺎ‬‫ﻠﹶﻠﻰ ﻧ‬‫ﺼ‬‫ﺔﹲ ﺗ‬‫ﺒ‬‫ﻧﺎﺻ‬‫ﻠﹶﺔﹲ ﻧ‬‫ﻋﺎﻣ‬‫ ﻋ‬bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api
yang sangat panas (neraka). Seakan-akan tatkala dia melihat hasil akhir
dari gerak hidupnya dia pun gembira dan rela.
‫ﺔ‬ ‫ﻴ‬‫ﻟ‬‫ﻋﺎ‬‫ ﻋ‬‫ﺔ‬‫ﺟﻨ‬ ‫ﻓﻓﻲ‬ dalam surga yang tinggi, (88:10) Kata ‘âliyah
menunjukkan tempat yang tinggi. Atau dapat juga diartikan kedudukan
yang mulia. Kedua-duanya benar.
‫ﻴ ﹰﺔ‬‫ﻏ‬ ‫ﻬﺎ ﹶﻻ‬‫ﻓﻴﻬ‬‫ ﻓ‬‫ﻊ‬‫ﻤ‬‫ﺴ‬‫ ﻻﹶ ﺗ‬tidak kamu dengar di dalamnya perkataan yang
tidak berguna. Kalau diperhatikan sumber kegelisahan, keguncangan,
ketakutan, keputusasaan, kesusahan, dan peperangan semuanya berasal
dari perkataan yang tidak berguna dalam akidah, pemikiran, dan dalam
kehidupan. Jadi, mengikuti hal yang tidak berguna dalam gerak
kehidupan sering merusak kehidupan itu sendiri.
Tidak kamu dengar di dalamnya perkataan yang tidak berguna.
Maknanya: tenteram, damai, tenang. Sebaliknya bila muncul perkataan
yang tidak berguna, maka timbullah ketakutan dan kegelisahan. Untuk
itu dalam menggambarkan kepribadian mukmin sejati Allah berfirman:
‫ﺿﻮ ﹶﻥ‬
‫ﺿ‬
 ‫ ﹺﺮ‬‫ﻣﻌ‬ ‫ﻐ ﹺﻮ‬ ‫ﻋ ﹺﻦ ﺍﻟ ﱠﻠ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺬﺬﻳ‬ ‫ﻭﻭﺍﱠﻟ‬ ()‫ﻌﻌﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﺧﺧﺎ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺗ ﹺﻬ‬‫ﻼ‬
‫ ﹶ‬‫ﻓﻲ ﺻ‬‫ﻢ ﻓ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺬﺬﻳ‬ ‫ﻨﻨﻮ ﹶﻥ ﺍﱠﻟ‬‫ﻣ‬ ‫ﺆ‬ ‫ﻤ‬ ‫ ﺍﹾﻟ‬‫ ﺃﹶﻓﹾﻠﹶﺢ‬‫ﻗﹶﺪ‬
sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-
orang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang-orang yang
menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.
(QS al-Mu’minûn [23]: 1-3)
Kata tidak kamu dengar di dalamnya perkataan yang tidak berguna.
Menunjukkan bahwa manusia tidak mendengar di dalamnya perkataan
yang tidak berguna di sana. Bila di dunia manusia bebas untuk laghww/

273
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

senda gurau sesuai dengan sunnatullah, namun di akhirat manusia


langsung diatur Allah, hingga tidak ditemukan di dalamnya senda gurau.
Di dunia manusia melakukan perbuatan yang tidak berguna agar
tercapai apa yang diinginkannya tanpa susah payah. Sedangkan di
akhirat, hanya sekedar terdetik apa yang diinginkan di dalam hati apa
yang diinginkan itu langsung ada. Maknanya, kamu makan, minum dan
menikmati segala fasilitas hanya sekedar hal tersebut terdetik di dalam
hati, ia pun langsung tersedia, hingga kamu tidak harus bersusah payah
kerja untuk mencapainya. Untuk itu senda gurau atau perbuatan yang
tidak berguna tidak terjadi. Karena mukmin tidak akan pernah
merampas hak penghuni surga, dan penghuni surga pun tidak akan
pernah merampas hak mukmin yang lain, walaupun itu dalam bentuk
sindiran saja.
Jadi ‫ﻴ ﹰﺔ‬‫ﻏ‬ ‫ﻻ‬ ‫ﻬﺎ ﹶ‬‫ﻓﻴﻬ‬‫ ﻓ‬‫ﻊ‬‫ﻤ‬‫ﺴ‬‫ ﻻﹶ ﺗ‬tidak kamu dengar di dalamnya perkataan yang
tidak berguna, maknanya keamanan paripurna. Selama keamanan
menyeluruh terjamin, maka terciptalah kedamaian dan ketenangan. Bila
mereka bersenda gurau, maka hal itu dilakukan tanpa menyakitkan hati
dan telinga orang lain. Inilah kelebihan hidup di akhirat.
‫ﻳ ﹲﺔ‬‫ﺟﺎ ﹺﺭ‬‫ ﺟ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﻬﺎ ﻋ‬‫ﻓﻴﻬ‬‫ ﻓ‬di dalamnya ada mata air yang mengalir. Kata jâriyah
dalam istilah bangsa Arab suatu air yang sudah berlebih. Itu karena
bangsa Arab yang hidup di padang pasir bila memiliki sumur hal itu
sudahlah cukup baginya, dan bila menemui mata air yang mengalir hal
itu sudah berlebih dari kehidupan yang ada. Karena selain untuk
kebutuhan, air itu sendiri dapat dinikmati oleh mata, sebagai
pemandangan yang indah.
Saat air terbatas manusia akan menggunakannya sebaik mungkin
agar cukup untuk minum, wudu dan mandi. Tapi saat air itu mengalir
hati pun senang dan tenteram, karena sumber kehidupan tersedia. Untuk
itu bila seseorang ingin hidup damai dan bahagia di istana, maka dia
akan menyediakan air secukupnya dengan membangun kolam, saluran
air bahkan sungai kecil buatan.
‫ﻋ ﹲﺔ‬ ‫ﺮ ﹸﻓﻓﻮ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺮ‬‫ﻬﺎ ﺳ‬‫ﻓﻴﻬ‬‫ ﻓ‬di dalamnya ada takhta-takhta yang ditinggikan,
cuplikan ringan ini tidak dapat dinikmati kecuali oleh bangsa Arab yang
hidup di padang pasir yang terkadang tidur di atas pasir atau di atas
pohon atau di atas gunung, yang terkadang diserang binatang atau
disakiti serangga. Maka saat tempat tidur itu ditinggikan dan diletakkan
di atasnya tikar, maka hal ini merupakan puncak kenikmatan.

274
AL-GHÂSYIYAH 88 JUZ 30

‫ﻋ ﹲﺔ‬ ‫ﺿﻮ‬
‫ﺿ‬
 ‫ﻮ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺏ‬
 ‫ﻮﻮﺍ‬ ‫ﻭﹶﺃ ﹾﻛ‬ gelas-gelas yang terletak (di dekatnya). Maknanya
tersedia untuk minum, tanpa harus dipinta, seperti seseorang: “Berikan
aku segelas air.”
‫ﺒﹸﺜﺜﻮﹶﺛ ﹲﺔ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﺭﺭﺍﹺﺑ‬ ‫ﺯ‬ ‫ ﻭ‬permadani-permadani yang terhampar. Yaitu permadani
lembut yang terbentang agar kita dapat hidup senang. Setiap permadani
memiliki rasa nikmat tersendiri. Bila hal ini menggunakan standar
bangsa Arab, maka hal itu merupakan puncak kenikmatan. Itu karena
bangsa Arab setelah membangun rumah cukup diisi dengan permadani
yang dibentangkan ditambah dengan beberapa bantal. Itu semua
merupakan kenikmatan. Jadi, standar nikmat dan kelezatan itu sendiri
tergantung logika orang yang mendengarnya. Ia bukan merupakan
batasan dari hakikat kenikmatan itu sendiri, tapi lebih tepatnya sebagai
usaha pendekatan pemahaman dari hakikat sebenarnya saja dan tidak
lebih. ***

ANJURAN MEMPERHATIKAN ALAM SEMESTA


(QS al-Gahsyiyah [88]: 17-26)
¥¤£¢¡~}|{zyx
²±°¯® ¬«ª©¨§¦
¿¾½¼»º¹¸¶µ´³
ÌËÊÉÈÇÆÅÄÃÂÁÀ
Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia
diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Gunung-
gunung bagaimana ia ditegakkan? Bumi bagaimana ia
dihamparkan? Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya
kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah
orang yang berkuasa atas mereka, tetapi orang yang berpaling
dan kafir, maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang
besar. Sesungguhnya kepada Kamilah kembali mereka, kemudian
sesungguhnya kewajiban Kamilah menghisab mereka.
Kita berpindah ke dalam dunia nyata di dunia ini, dari sebelumnya
dibahas tentang dunia gaib di akhirat kelak. Dunia nyata ini pun masih
mengambil logika dan sudut pandang bangsa Arab. Di mana mereka

275
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

pada saat itu sangat tergantung dengan unta. Kenapa? Itu karena bangsa
Arab terbiasa untuk bepergian. Unta ini telah meringankan beban
mereka. Bayangkan kalau semua barang diletakkan di atas pundak
manusia. Maka tidak dapat seorang pun yang menolong untuk
membawa beban berat itu terkecuali unta.
Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia
diciptakan. Bagaimana ia diciptakan dari sisi makannya, dari segi
struktur tubuhnya. Saat manusia melihat unta berjalan di daerah yang
tidak rata ditemukan dia dapat berjalan stabil seakan-akan kakinya
seperti per, hingga penumpang di atas pundaknya tidak merasakan
keguncangan berarti. Di samping itu ia pun dapat berjalan walaupun
sulit dan banyak rintangan.
Saat ia berjalan di daerah berdebu ditemukan matanya tidak
merasakan pedih dan sakit, begitu juga telinganya tidak merasa tuli. Itu
karena struktur tubuhnya telah didesain sedemikian rupa untuk alam
tandus, berpasir dan berdebu. Lebih dari itu ia merupakan hewan yang
paling sabar menahan haus saat berjalan di padang pasir. Bayangkan, ia
dapat tidak minum saat berjalan di gurun pasir selama 8 hari. Dalam
bahasa lain ia dapat minum untuk kebutuhan 8 hari perjalanan. Begitu
juga dengan makan. Ini semua merupakan karunai dan kehendak Allah.
Di samping itu, unta yang besar itu dapat dipandu oleh anak kecil,
agar kamu tidak berkata bahwa hal itu dapat kamu lakukan karena
kehendakmu semata.
Lihat juga bagaimana kekuatannya. Ia merupakan hewan satu-
satunya yang dapat mengangkat barang dalam keadaan duduk lalu
berdiri. Ia juga merupakan satu-satunya hewan yang dapat diminum
susunya, dimakan dagingnya, diambil kulitnya untuk baju.
Setelah unta, masyarakat Arab yang hidup di padang pasir
menemukan di depannya langit dan bumi serta pegunungan, tidak ada
yang lain. Empat hal ini merupakan sumber kehidupan masyarakat
Arab. Saat Allah Swt mengungkapkan dalam surat ini:
 ‫ﺤ‬‫ﻄ‬‫ ﺳ‬‫ﻒ‬‫ﺽﹺ ﻛﹶﻴ‬‫ﺇﹺﻟﹶﻟﻰ ﺍﻷَﺭ‬‫ ﻭ‬‫ﺖ‬‫ﺒ‬‫ﺼ‬‫ ﻧ‬‫ﻒ‬‫ﺒﺒﺎﻝﹺ ﻛﹶﻴ‬‫ﺇﹺﻟﹶﻟﻰ ﺍﻟﹾﺠﹺ‬‫ ﻭ‬‫ﺖ‬‫ﻌ‬‫ﻓ‬‫ ﺭ‬‫ﻒ‬‫ﻤﺎﺀِ ﻛﹶﻴ‬‫ﻤ‬‫ﺇﹺﻟﹶﻟﻰ ﺍﻟﺴ‬‫ ﻭ‬langit,
‫ﺖ‬
bagaimana ia ditinggikan? Gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?
Bumi bagaimana ia dihamparkan? (88: 17-20) Manusia pun harus
merenungi dan memikirkannya. Manusia harus merenungi kehidupan
ini agar hidup sekali ini menjadi hidup yang berarti. Tiap sesuatu di
alam ini tidak diciptakan secara sia-sia. Tapi semuanya penuh hikmah
dan tak lepas dari kuasa dan kehendak Allah.

276
AN-NABA’ 78 JUZ 30

‫ﺮ‬ ‫ﻣ ﹶﺬﻛﱢ‬ ‫ﺖ‬


 ‫ﻤﺎ ﺃﹶﻧ‬‫ﻤ‬‫ ﺇﹺﻧ‬‫ ﻓﹶﺬﹶﻛﱢﺮ‬berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu
hanyalah orang yang memberi peringatan. Di lain ayat disebutkan ‫ﺮ‬ ‫ﹶﻓ ﹶﺬﻛﱢ‬
‫ﺮﻯ‬‫ ﺍﻟﺬﱢﻛﹾﺮ‬‫ﺖ‬‫ﻔﹶﻌ‬‫ ﺇﹺﻥﹾ ﻧ‬oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan
itu bermanfaat. (QS al-'A'la [87]: 9) Itu disebutkan agar seseorang dapat
menanggung beban tuduhan. Seakan-akan ia berkata kepadanya: “Tidak
menjadi curahan perhatianmu bila mereka tidak bersuci diri. Itu karena
tugasmu hanya mengingatkan saja.” Ini merupakan bentuk kemudahan.
‫ ﹴﺮ‬‫ﻄ‬‫ﻴ‬‫ﺴ‬‫ ﺑﹺﻤ‬‫ﻬﹺﻢ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺖ‬‫ ﻟﹶﺴ‬Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka,
(88:22) kamu bukanlah pemaksa. Dalam ayat lain disebutkan ‫ﺖ‬
 ‫ﻣﺎ ﺃﹶﻧ‬‫ﻣ‬‫ﻭ‬
‫ﺒﺎﺭ‬‫ﺒ‬‫ ﺑﹺﺠ‬‫ﻬﹺﻢ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬kamu sekali-kali bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka,
(QS Qaf [50]: 45) hingga kamu tidak bisa dapat memaksa agamamu
kepada mereka. Kenapa? Kalaulah Allah menginginkan agama turun
secara terpaksa dianut dari langit, niscaya Dia mampu menerapkannya,
hingga tidak satu orang pun yang dapat keluar dari paksaan itu. Dia
mampu membuat manusia patuh bagaikan malaikat, atau bagaikan
seluruh makhluk hidup yang tidak memiliki ikhtiar. Tapi, masalahnya
berbeda. Ia ingin agar kita menghadap-Nya secara ikhtiar dan suka cita.
‫ ﹴﺮ‬‫ﻄ‬‫ﻴ‬‫ﺴ‬‫ ﺑﹺﻤ‬‫ﻬﹺﻢ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺖ‬‫ ﻟﹶﺴ‬tertulis sebenarnya ‫ ﻣﺼﻴﻂ‬ditulis dengan ‫ ﺹ‬dan ‫ ﺱ‬itu
karena Alquran merupakan kalam Allah, sedangkan Nabi Muhammad
hanya menyampaikan apa yang diinginkan-Nya. Para pembangkang
manhaj Islam berkata: “Selama engkau tidak dapat memaksa kami ya
sudah,”
Dijawab: “Tidak, karena kamu semua akan kembali kepada Allah.”
‫ﺮ‬ ‫ ﺍﻷَﻛﹾﺒ‬‫ﺬﹶﺬﺍﺏ‬‫ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺑﻪ‬‫ﻌ ﱢﺬ‬ ‫ﻴ‬‫ﺮ ﹶﻓ‬ ‫ﻭ ﹶﻛ ﹶﻔ‬ ‫ﻮﱠﻟﻟﻰ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ ﹺﺇ ﹶﻻ‬tetapi orang yang berpaling dan
kafir, maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang besar.
Sesungguhnya kepada Kamilah kembali mereka. (88: 23-24) Aku tidak
menciptakan kamu agar kamu dapat lepas dari Ku!
‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻳﺎﺑ‬‫ﻨﺎ ﺇﹺﻳ‬‫ﻨ‬‫ ﺇﹺﻥﱠ ﺇﹺﻟﹶﻴ‬sesungguhnya kepada Kamilah kembali mereka. (88:25)
Selama manusia semua kembali kepada Allah, maka Allah biarkan yang
beriman untuk beriman dan kafir untuk kafir. Tugas Nabi dan dai
sekedar mengingatkan manusia saja. Karena akhirnya Allahlah yang
membalas hasil perbuatan itu ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺴﺎﺑ‬ ‫ﺴ‬‫ﻨﺎ ﺣ‬‫ﻨ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﺇﹺﻥﱠ ﻋ‬‫ ﺛﹸﻢ‬kemudian sesungguhnya
kewajiban Kamilah menghisab mereka. (88:26)***

277
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

278
AL-FAJR 89 JUZ 30

SURAT 89
AL-FAJR
(MAKKIYAH)

279
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

280
AL-FAJR 89 JUZ 30

Kita telah selesai dari pembahasan surat al-Ghasyiah, di mana Allah


memulainya dengan pertanyaan yang mengandung kerinduan ingin
tahu: ‫ﺔ‬ ‫ﻴ‬‫ﺷ‬
 ‫ﻐﻐﺎ‬ ‫ﺚ ﺍﹾﻟ‬‫ﺪﻳ ﹸ‬‫ﺪ‬‫ﻙ ﺣ‬ ‫ﺗﺎ‬‫ﻞﹾ ﺃﹶﺗ‬‫ ﻫ‬sudah datangkah kepadamu berita tentang hari
pembalasan? (QS al-Ghâsyiyah [88]: 1) Untuk mempersiapkan akal
pikiran manusia dalam menyambut pertanyaan yang mengagungkan itu.
Kemudian Allah menjelaskan tentang fenomena pertama dari Ghâsyiah
yang memutar balikkan standarisasi yang dibuat manusia. Akhirnya
orang yang berbuat dan terjun ke dunia hitam dan bathil akan dinantikan
oleh azab. Sebaliknya, ‫ﻴ ﹲﺔ‬‫ﺿ‬  ‫ﺭﺭﺍ‬ ‫ﻬﺎ‬‫ﻴﹺﻬ‬‫ﻌ‬‫ﺴ‬‫ﻤ ﹲﺔ)(ﻟ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻧﻧﺎ‬ ‫ﺬ‬ ‫ﺌ‬‫ﻣ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻩ‬ ‫ﺟﺟﻮ‬ ‫ﻭ‬ banyak muka pada
hari itu berseri-seri, merasa senang karena usahanya.(QS al-Ghâsyiyah
[88]: 8-9)
Ketika Allah menyiarkan gambaran gaib tentang hari kiamat, Dia
menyiarkannya hingga manusia mau melaksanakan manhaj-Nya dalam
kehidupan ini, bagaikan seorang pedagang melaksanakan bisnisnya agar
meraih laba. Pekerjaan ketika dikiaskan dengan perdagangan
sebenarnya dikiaskan untuk menjual lebih banyak dari apa yang dibeli,
memanfaatkan fasilitas lebih banyak dari yang diusahakan. Kalau tidak,
maka transaksi itu disebut transaksi yang merugi.
Ketika Allah mengurut daftar isi Alquran ditulislah setelah surat al-
Ghasyiah surat al-Fajr. Sebelum menutup surat al-Ghasyiah Allah
menulis ayat dengan gaya al-qasr (pengkhususan) dalam Alquran al-
Karim: ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺴﺎﺑ‬ ‫ﺴ‬‫ﻨﺎ ﺣ‬‫ﻨ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﺇﹺﻥﱠ ﻋ‬‫ﻢ)(ﺛﹸﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻳﺎﺑ‬‫ﻨﺎ ﺇﹺﻳ‬‫ﻨ‬‫ ﺇﹺﻥﱠ ﺇﹺﻟﹶﻴ‬sesungguhnya kepada Kamilah
kembali mereka, kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah
menghisab mereka. (QS al-Ghâsyiyah [88]: 25-26) Dia tidak
mengatakan: ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻳﺎﺑ‬‫ﻨﺎ ﺇﹺﻳ‬‫ﻨ‬‫ ﺇﹺﻟﹶﻴ‬atau ‫ﻨﻨﺎ‬‫ﻴ‬ ‫ﻋ ﹶﻠ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺴﺎﺑ‬ ‫ﺴ‬‫ ﹺﺇ ﱠﻥ ﺣ‬karena gaya seperti ini masih
mungkin untuk ditambah beberapa kalimat seperti: iyabahum alaina
sghairuna. Namun saat jar majrur diletakkan pada posisi di awal
kalimat, maka artinya tidak ada tempat kembali kecuali kepada Kami.
Selama segala sesuatu bersumber dari Allah yang tidak ada serikat
bagi-Nya, maka tempat kembalipun hanya kepada-Nya tanpa serikat.
Untuk itu, saat Allah menjanjikan kepada pelaku kebaikan nikmat dan
pelaku kejahatan bencana, maknanya bahwa janji dan ancaman itu pasti
terjadi. Karena yang mengucap janji adalah Zat yang paling kuasa, yang
merupakan sumber dan tempat kembali.***

281
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

MEREKA YANG MENENTANG NABI MUHAMMAD SAW


PASTI BINASA SEPERTI UMAT TERDAHULU
(QS al-Fajr [89]: 1-5)
 HGFEDCBA
SRQPONMLKJI
Demi fajar, dan malam yang sepuluh, dan yang genap dan yang
ganjil, dan malam bila berlalu. Pada yang demikian itu terdapat
sumpah (yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal.
Selanjutnya disusul dengan firman-Nya: “Demi fajar, dan malam
yang sepuluh, dan yang genap dan yang ganjil.” (QS al-Fajr [89]: 1-3)
Surat ini dimulai dengan sumpah. Di mana Allah bersumpah dengan
fajar, malam yang sepuluh, dan yang genap dan yang ganjil. Apa pesan
sumpah yang diinginkan Allah? Telah disebutkan bahwa Allah
bersumpah sesuka-Nya dan atas apa yang disukai-Nya. Sedangkan
makhluk tidak boleh bersumpah kecuali atas nama-Nya. Kita sebutkan
juga bahwa sumpah selalu datang untuk menekankan pesan yang
dibawa. Makna penekanan pesan yang dibawa bahwa Allah memiliki
alasan dalam sumpah bahwa pesan sumpah yang dibawanya pasti
terlaksana.
Asal kata al-fajr ialah sesuatu yang terpecah luas. Untuk itu
dikatakan ‫ ﻓﺠﺮﺕ ﺍﻟﺸﺊ‬yang artinya saya pecahkan ia dengan pecahan
yang luas. Saat sinar matahari tertutup akibat gelapnya malam, maka
fajar memecah kegelapan malam itu. Untuk itulah fajar disebut dengan
pemecah. Untuk itu juga orang yang keluar dari manhaj Allah disebut
dengan fâjir.
Fajar merupakan proses dari perpindahan malam kepada permulaan
siang. Dari peristiwa ini terjadilah ketidakstabilan gerak kehidupan. Ini
membuktikan bahwa dalam kehidupan banyak peristiwa, dan peristiwa
itu selalu berubah-ubah. Peristiwa yang berubah itu pasti ada Zat yang
mengatur.
Kata fajar menunjukkan kepada kita bahwa dunia telah keluar dari
kediaman malam menuju gerak kehidupan siang. Gerak kehidupan ini
membutuhkan sinar agar dapat menerangi kita atas hal yang harus
dikerjakan. Jadi firman Allah al-fajr merupakan sumpah dari satu dari
sekian malam menuju cahaya siang yang terang benderang untuk
menerangi manusia dalam gerak kehidupan.

282
AL-FAJR 89 JUZ 30

‫ﺘﺘﻰ‬‫ﺸ‬
 ‫ ﻟﹶ‬‫ﻴ ﹸﻜﻢ‬‫ﻌ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﻧﹶﺜﺜﻰ ﹺﺇ ﱠﻥ‬‫ﻭﻭﺍﻵ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻖ ﺍﻟ ﱠﺬ ﹶﻛ‬ ‫ﺧ ﹶﻠ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺠ ﱠﻠﻠﻰ‬
 ‫ﺗ‬ ‫ﻬﺎﺭﹺ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ‬‫ﻬ‬‫ﻭﺍﻟﻨ‬‫ﺸﻰ ﻭ‬
‫ﺸ‬‫ﻐ‬‫ﻞﹺ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﻳ‬‫ﻭﺍﻟﻠﱠﻴ‬‫ ﻭ‬demi
malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang
benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan, sesungguhnya
usaha kamu memang berbeda-beda. (QS al-Layl [92]: 1-4) Seolah-olah
Allah memberikan perbedaan dalam dunia ini, agar tiap bagian dapat
melaksanakan peran masing-masing. Perbedaan bukan dalam arti
kontradiksi atau perlawanan, tapi perbedaan dalam arti memberikan
kesempurnaan dalam kehidupan.
Fajar datang menyingsing untuk melaksanakan tugas mulia. Begitu
juga malam datang untuk melaksanakan kehidupan. Bukan merupakan
kemaslahatan bagi kehidupan ini dan manusia bila malam terus saja
berlangsung tanpa siang, atau siang terus saja menyebar sinarnya. Tiap
segala sesuatu di dunia ini memiliki misi yang harus dilaksanakannya.
Kalaulah dunia ini hanya satu warna saja, niscaya tidak ada kesempatan
waktu untuk melaksanakan gerak atau diam dalam kehidupan ini.
Untuk itu Allah memberikan perumpamaan dalam Alquran:
katakanlah: “Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu
malam itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain
Allah yang akan mendatangkan sinar terang kepadamu? Maka apakah
kamu tidak mendengar?” (QS al-Qashash [28]: 71)
Kebalikannya. Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku, jika Allah
menjadikan untukmu siang itu terus menerus sampai hari kiamat,
siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam
kepadamu yang kamu beristirahat padanya? Maka apakah kamu tidak
memperhatikan?” (QS al-Qashash [28]: 72)
Manusia harus melihat variasi kehidupan bukan dari sudut
kontradiksi, tapi dari sudut saling melengkapi. Makna saling
melengkapi, bahwa yang ini memiliki satu peran dan yang itu juga
memiliki satu peran. Kalau yang ini terus berjalan tanpa yang itu, maka
kehidupan tidak stabil, begitu juga jika yang itu terus berjalan tanpa
yang ini, maka kehidupan tidak berjalan baik.
Sebelum surat al-Fajr terdapat surat al-Ghasyiah. Arti dari al-
Ghasyiah ialah penutup di mana seseorang tidak menemukan jalan
keluar. Lalu datang pelengkapnya yaitu al-Fajr sebagai pembuka tirai
penutup itu. Jadi, terdapat hubungan dari kedua nama surat tersebut
dalam bentuk pelengkap.
Al-Fajr yang dijadikan bahan sumpah bagi Allah bukan sekedar
terbitnya sinar yang menghalau gelap malam, tapi ia merupakan fajar

283
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

yang terkait dengan perintah ibadah dan salat. Di mana manusia


memulai hari kehidupannya dengan menghadap Tuhan dalam bentuk
salat, berserah diri di hadapan-Nya dan memohon pertolongan-Nya.
Sesuai dengan pemahaman ayat setelahnya.
Ibadah yang dilakukan pada waktu subuh merupakan ibadah yang
penting, karena ia pembuka gerak kehidupan dengan menghadap kepada
Pencipta kehidupan ini dan kepada Zat yang telah mewajibkan manusia
untuk melaksanakan gerak kehidupan ini.
Fajr merupakan waktu yang dilalui manusia di saat mereka sedang
berada pada puncak kenikmatan tidur. Maka salat Fajar merupakan
rukun khusus yang mengeluarkan manusia dari kenikmatan tidur atau
istirahat dan berdiam diri untuk bergerak menyambut harinya dengan
menghadap Tuhan. Jadi, fajar itu bisa dimaksudkan dengan waktu yang
memisahkan malam dengan siang, atau ibadah yang dilakukan pada
waktu itu.
Setelah itu, ‫ ﹴﺮ‬‫ﺸ‬‫ﻴﺎﻝﹴ ﻋ‬‫ﻟﹶﻴ‬‫ ﻭ‬malam yang sepuluh. (89:2) Para mufassir
berbeda pendapat tentang makna ayat ini. Sebagian mereka berpendapat
bahwa maksud ayat ini ialah 10 Muharram, sebagian yang lain
berpendapat bahwa ia adalah 10 Zulhijah, yang lain berpendapat bahwa
ia adalah 10 terakhir bulan Ramadhan. Namun, pendapat yang paling
benar berdasarkan hadis Jabir ialah 10 Zulhijah. Kenapa? Karena 10
Zulhijah merupakan untuk penyempurnaan manusia dari pelaksanaan
manhaj Allah, yaitu: haji. Seakan-akan pada hari 10 Zulhijah ini Islam
seseorang telah sempurna rukunnya.
‫ ﹺﺮ‬‫ﺗ‬‫ﻭﺍﻟﹾﻮ‬‫ﻔﹾﻊﹺ ﻭ‬‫ﻭﺍﻟﺸ‬‫ ﻭ‬yang genap dan yang ganjil. (89:3) Kata syafa’ artinya
genap, sedangkan witr artinya ganjil. Ketika Rasulullah menafsirkan
sesuatu, maka tidak ada tempat bagi akal untuk intervensi. Dalam ayat
ini dikatakan: “Salat itu baik dalam bentuk genap atau ganjil. Yang
ganjil seperti Maghrib, witir.” Jadi, Allah memulai surat ini dengan
beberapa sumpah. Setiap sumpah merupakan warna dari warna gerak
taklif yang datang untuk mengatur gerak kehidupan mukmin terhadap
Allah.
‫ ﹺﺮ‬‫ﺗ‬‫ﻭﺍﻟﹾﻮ‬‫ﻔﹾﻊﹺ ﻭ‬‫ﻭﺍﻟﺸ‬‫ﺮﹴ ﻭ‬‫ﺸ‬‫ﻴﺎﻝﹴ ﻋ‬‫ﻟﹶﻴ‬‫ﺮﹺ ﻭ‬‫ﻭﺍﻟﹾﻔﹶﺠ‬‫ ﻭ‬demi fajar, dan malam yang sepuluh, dan
yang genap dan yang ganjil, (QS al-Fajr [89]: 1-3) Apakah mungkin
kita mengambil pesan sumpah dari ayat terakhir surat sebelumnya?
Yaitu: ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺴﺎﺑ‬ ‫ﺴ‬‫ﻨﺎ ﺣ‬‫ﻨ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﺇﹺﻥﱠ ﻋ‬‫ ﺛﹸﻢ‬kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah
menghisab mereka. (QS al-Ghâsyiyah [88]: 26) Kalau diambil pesan

284
AL-FAJR 89 JUZ 30

dari ayat itu maka itulah jawabannya. Atau kita ambil pesan sumpah
dari ayat sesudahnya? Tapi, tidak ada pesan pada ayat itu.
‫ﺠﺮ‬
‫ﺠ‬‫ﺬﻱ ﺣ‬‫ﺬ‬‫ ﻟ‬‫ﻢ‬‫ ﻗﹶﺴ‬‫ﻚ‬‫ﻓﻲ ﺫﹶﻟ‬‫ﻞﹾ ﻓ‬‫ ﻫ‬pada yang demikian itu terdapat sumpah
(yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal. Merupakan perta
nyaan yang berisikan penegasan (istifhâm taqriry). Maksudnya, manusia
bertanya kepada orang yang diajak bicara, dan tidak dijawab kecuali
dengan kata “ya” sebagai suatu bentuk berita yang pasti. Karena begitu
terjamin informasi dari Allah, maka Dia tidak menyampaikan berita,
tapi menyampaikan pertanyaan. Itu karena Dia sangat yakin atas
kemampuan akal pikiran manusia, hingga manusia tidak menjawab
kecuali sesuai dengan karedor yang diinginkan-Nya. Jadi, ketika
ditanya: pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima)
oleh orang-orang yang berakal. Jawabannya pasti “ya”.
Sumpah yang disampaikan ini hanya disampaikan bagi orang yang
berakal. Jadi, kita dapat mengambil pesan yang ingin disampaikan dari
sumpah terdapat dalam pertanyaan yang berisikan penegasan.
Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima)
oleh orang-orang yang berakal. Bila direnungi gaya bahasa ini,
ditemukan bahwa ketika Allah menutup sumpah dengan ‫ ﹺﺮ‬‫ﺴ‬‫ﻞﹺ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﻳ‬‫ﻭﺍﻟﻠﱠﻴ‬‫ ﻭ‬dan
malam bila berlalu. Apakah malam itu berjalan, atau seseorang berjalan
di malam hari? Jawabannya: malam ialah waktu untuk perjalanan Isra’.
Tapi, kenapa Allah menyebutkan malam datang dan pergi. ‫ﺲ‬  ‫ﻨ ﱠﻔ‬‫ﺗ‬ ‫ﺢﹺ ﹺﺇ ﹶﺫﺫﺍ‬‫ﺒ‬‫ﻭﺍﻟﺼ‬‫ﻭ‬
dan demi subuh apabila bernafas, (QS at-Takwir [81]: 18) dan malam
berjalan. Apakah pagi itu bernapas, ataukah manusia yang bernapas di
pagi hari?
Ketika Allah menyebutkan hal yang bersifat maknawi atau hal yang
terkait dengan kehidupan janganlah ditafsirkan dengan standar yang
dimiliki manusia. Karena kehidupan dunia hewan sesuai dengan aturan
main hewan, kehidupan tumbuh-tumbuhan sesuai dengan aturan main
tumbuh-tumbuhan, begitu juga dengan benda. Maka ketika Allah
berfirman: ‫ ﹺﺮ‬‫ﺴ‬‫ﻞﹺ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﻳ‬‫ﻭﺍﻟﻠﱠﻴ‬‫ ﻭ‬dan malam bila berlalu. Dilanjutkan dengan ‫ﻞ‬ ‫ ﹾ‬‫ﻫ‬
‫ ﹴﺮ‬‫ﺠ‬‫ﺬﻱ ﺣ‬‫ﺬ‬‫ ﻟ‬‫ﻢ‬‫ ﻗﹶﺴ‬‫ﻚ‬‫ﻓﻲ ﺫﹶﻟ‬‫ ﻓ‬pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang
dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal. Kita hanya dapat
menjawab: Benar ya Tuhanku bahwa terdapat sumpah (yang dapat
diterima) oleh orang-orang yang berakal.
Kenapa Allah mengatakan: hijr artinya akal? Karena hijr

285
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

mengekangmu dari sesuatu, sebagaimana akal mengikatmu dari sesuatu.


Seakan-akan tujuan akal bukan membebaskan gerak kehidupan, tapi
mengikat kebebasan, yang pada akhirnya akan mencapai apa yang
diinginkan darimu, berupa manfaat yang besar bila dilaksanakan.
Untuk itu ditemukan dalam setiap sesuatu terdapat naluri yang alami
dan naluri yang tidak alami. Hewan, contohnya, memiliki naluri alami
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, ia tidak akan mengambil
sesuatu yang lebih dari porsinya. Contohnya, hewan tidak makan lebih
dari sekedar kenyang. Sedangkan manusia terkadang walaupun sudah
kenyang masih tetap makan bila disuguhi makanan. Tabiat terakhir
seperti ini disebut naluri tidak alami.
Contoh lain, hewan memiliki naluri untuk melangsungkan
kehidupan atau hubungan seksual dalam batas naluri yang alami.
Artinya, ia tidak akan melakukannya di luar kebutuhan biologis saja.
Begitu diketahui betina telah hamil, maka tidak seekor jantan
mendekatinya. Karena ia mengetahui betina itu hamil dengan cara
mencium bau tubuhnya. Tapi manusia tetap melakukan hubungan
seksual walaupun sang istri telah hamil. Inilah naluri di luar alami yang
tidak dilakukan hewan, karena manusia tidak melakukannya untuk
mendapatkan keturunan tapi untuk mencapai kepuasan seks.
Namun sayangnya manusia selalu saja menzalimi hewan dengan
mengatakan “syahwat hewan”, yang sebenarnya tidak dilakukan oleh
hewan apapun. Sebenarnya hewan lebih pantas mengatakan tingkah
laku manusia yang melampaui batas naluri dengan “syahwat manusia.”
Itu karena manusialah yang selalu melampaui batas bukan hewan.
Jadi, apa tugas akal pikiran? Ia ditugaskan untuk mengekang dan
mengarahkan naluri yang tidak alami untuk mengikuti manhaj Allah. Itu
karena hewan tidak memiliki ikhtiar, sedangkan manusia diciptakan
dengan kemampuan ikhtiar, atau akal dapat memilih beberapa alternatif.
Akal berkata: “Jangan berlebih-lebihan dalam menggunakan naluri,
karena akal dan taklif diciptakan untuk memuliakan naluri itu.” Itu
karena naluri memiliki tugas, tugas ini kalau tidak diinginkan Allah,
niscaya ia tidak akan diciptakan-Nya. Naluri seksual diciptakan untuk
meneruskan kehidupan, naluri makan untuk melangsungkan kehidupan.
Naluri akal bukan diciptakan untuk mencari tahu kesalahan dan
membuka aurat atau kemaluan orang lain. Naluri cinta harta diciptakan
bukan untuk menjadi tirani. Jadi, setiap naluri mempunyai misi sebagai
alasan penciptaan. Tugas manhaj untuk mengingatkan manusia atas
batasan naluri itu, hingga tidak melampaui batas.

286
AL-FAJR 89 JUZ 30

Jadi kata hijr maksudnya membatasimu dalam gerak. Begitu juga


kata akal maksudnya ‘aqluk mengekangmu dari perbuatan tercela.
Begitu juga nuhâ nama lain dari akal yang bertujuan untuk nahâka atau
melarangmu dari perbuatan tertentu. Jadi, setiap kata yang bermaksud
“akal” dalam bahasa Arab seperti hijr, akal, nuha semuanya bertujuan
untuk mengekang. Akal bukan alasan untuk membuat manusia bebas
bergerak, karena itu berbeda dengan pesan dari dinamakan akal itu akal.
Seakan-akan Allah berfirman: Bila kamu sekalian memiliki sumpah-
sumpah ini, maka ditemukan di dalamnya sesuatu alasan yang
memuaskan sumpah: ‫ ﹴﺮ‬‫ﺠ‬‫ﺬﻱ ﺣ‬‫ﺬ‬‫ ﻟ‬‫ﻢ‬‫ ﻗﹶﺴ‬‫ﻚ‬‫ﻓﻲ ﺫﹶﻟ‬‫ﻞﹾ ﻓ‬‫ ﻫ‬pada yang demikian itu
terdapat sumpah yang dapat diterima oleh orang-orang yang
berakal.***

(QS al-Fajr [89]: 6-14)


cba`_^]\[ZYXWVUT
ponmlkjihgfed
|{zyxwvutsrq
ba`_~}
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat
terhadap kaum 'Ad? (Yaitu) penduduk Iram yang mempunyai
Bangunan-bangunan yang tinggi, Yang belum pernah dibangun
(suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain, dan kaum Tsamud
yang memotong batu-batu besar di lembah, dan kaum Firaun
yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang
berbuat sewenang-wenang dalam negeri. Lalu mereka berbuat
banyak kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu
menimpakan kepada mereka cemeti azab. Sesungguhnya
Tuhanmu benar-benar mengawasi.
‫ﺩ‬ ‫ﻌﺎ‬‫ ﺑﹺﻌ‬‫ﻚ‬‫ﺑ‬‫ﻞﹶ ﺭ‬‫ ﻓﹶﻌ‬‫ﻒ‬‫ ﻛﹶﻴ‬‫ﺮ‬‫ ﺗ‬‫ ﺃﹶﻟﹶﻢ‬apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana
Tuhanmu berbuat terhadap kaum 'Ad? (89:6) Sebagaimana Allah
bicarakan tentang al-Ghasyiah dan seluk beluknya yang menakutkan
dan membuat pucat raut wajah manusia, mungkin sebagian orang
menduga bahwa azab tersebut hanya akan diperoleh di akhirat, atau
boleh jadi ada orang yang tidak percaya dengan hari pembalasan di

287
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

akhirat, hingga dia melakukan tindakan kezaliman. Namun tidak


demikian sebenarnya, terkadang Allah mempercepat azab hingga dapat
dijadikan pelajaran bagi manusia saat dia hidup dan melihat azab itu di
dunia ini.
Sebagian informasi yang disebutkan ayat ini telah diketahui manusia
dalam bentuk sejarah atau kisah yang terkenal. Bangsa yang memiliki
peradaban tinggi dan kemampuan luar biasa ... dst lalu kemudian hancur
tanpa bekas.
Untuk itu, ketika Alquran membahasnya selalu disebutkan dengan
‫ ﹶﻞ‬‫ ﻓﹶﻌ‬‫ﻒ‬‫ ﻛﹶﻴ‬‫ﺮ‬‫ ﺗ‬‫ ﺃﹶﻟﹶﻢ‬apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana. Kata alam
tara pertama kali ditujukan kepada Rasulullah, lalu redaksi itu disebar
luaskan dan diberlakukan kepada setiap mukmin yang membacanya.
Alam tara merupakan sejarah yang telah diketahui nabi dan orang-orang
yang hidup saat ayat itu turun. Kalau belum diketahui dan tersebar luas,
niscaya mereka akan berkata: “Kami tidak mengetahui kisah itu.” Jadi,
Allah tidak mengatakan ‫ﻚ‬  ‫ﺑ‬‫ﻞﹶ ﺭ‬‫ ﻓﹶﻌ‬‫ﻒ‬‫ ﻛﹶﻴ‬‫ﺮ‬‫ ﺗ‬‫ ﺃﹶﻟﹶﻢ‬apakah kamu tidak memper
hatikan bagaimana Tuhanmu berbuat kecuali tentang sesuatu yang telah
diketahui bersama.
Pembuktian secara realita terhadap orang yang melanggar manhaj
Allah menunjukkan kepada manusia untuk mempercayai apa yang
belum terjadi di dunia ini. Itu karena Allah telah menginformasikannya.
Jadi, orang yang melanggar manhaj langit akan memperoleh satu bentuk
pembalasan di akhirat. Agar orang berpikir mengerti bahwa Allah di
dunia ini juga mempunyai kuasa untuk menghukum orang yang
melanggar agar menjadi pelajaran bagi orang yang melihatnya.
Sebagian ulama berkata: alam tara artinya alam ta’lam/apakah
kamu tidak mengetahui. Kenapa Allah menetapkan alam ta’lam dengan
alam tara? Itu karena bila kamu mengetahui sesuatu yang ditetapkan
Allah dengan alam tara/melihat maka itu merupakan penetapan dari-
Nya untukmu, yaitu ketahuilah bahwa keyakinanmu terhadapnya harus
berdasarkan keyakinan mata bukan keyakinan telinga. Itu karena yang
mengatakannya Allah. Lebih dari itu, kabar yang disampaikan Allah
harus lebih diyakini dari penglihatan mata itu sendiri. Mata terkadang
dapat menipu, sedangkan Tuhan tidak pernah berdusta. Jadi, setiap
informasi yang perlu ditekankan Allah selalu disampaikan dengan alam
tara.
Contoh lain, tidakkah kamu tara/perhatikan, bahwa sesungguhnya
Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi?

288
AL-FAJR 89 JUZ 30

(QS al-Mujâdalah [58]: 7) Manusia tidak melihat makhluk yang sujud di


langit dan di bumi. Tapi karena Allah yang berkata, maka kita pun
mengambil ungkapan itu sebagai kebenaran mutlak. Seakan-akan hal itu
terlihat bukan sekedar terdengar. Jadi, kabar dari Allah merupakan hal
gaib yang haruus diyakini sampai pada derajat kamu melihatnya.
Karena tidak ada bersama mata kata “di mana.”
‫ﺩ‬ ‫ﻓﻲ ﺍﻟﹾﺒﹺﻼﹶ‬‫ﻬﺎ ﻓ‬‫ﺜﹾﻠﹸﻬ‬‫ ﻣ‬‫ﻠﹶﻖ‬‫ﺨ‬‫ ﻳ‬‫ﺘﻲ ﻟﹶﻢ‬‫ ﺍﻟﱠﺘ‬yang belum pernah dibangun di negeri. (89:
8) Allah menghadirkan di hadapan kita gambar yang membekas. Selama
peradaban mereka belum pernah ada di negeri itu, maka ini merupakan
negara maju pertama di dunia.
‫ﺩ‬ ‫ﻮﺍ‬‫ ﺑﹺﺑﺎﻟﹾﻮ‬‫ﺮ‬‫ﺨ‬‫ﺑﻮﺍ ﺍﻟﺼ‬‫ﺟﺎﺑ‬‫ ﺟ‬‫ﺬﻳﻦ‬‫ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻤﻮﺩ‬‫ﺛﹶﻤ‬‫ ﻭ‬dan kaum Tsamud yang memotong batu-
batu besar di lembah. (89: 9) Maknanya membelah batu dengan alat
belah untuk dijadikan sebagai tempat tinggal atau patung.
Setelah itu disebutkan bahwa yang salah dari mereka bukan karena
mereka telah membangun peradaban dan mendirikan bangunan yang
tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-
negeri lain, (89:7-8) juga tidak seperti kaum Tsamud yang memotong
batu-batu besar di lembah, (89: 9) juga tidak Firaun yang mempunyai
pasak-pasak (tentara yang banyak). (89: 10) Kehancuran menimpa
mereka karena kezaliman yang disebabkan oleh keangkuahan atas
kemajuan dan keberhasilan di dalam dunia materi.
‫ﺩ‬ ‫ﻓﻲ ﺍﻟﹾﺒﹺﻼﹶ‬‫ﻮﺍ ﻓ‬‫ﻮ‬‫ ﻃﹶﻐ‬‫ﺬﻳﻦ‬‫ ﺍﻟﱠﺬ‬yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri.
(89:11) Ayat ini mengindikasikan berusahalah sekuat tenaga untuk
meraih duniamu, bukalah rahasia alam untuk mencapai kenyamanan,
selama hal itu halal. Tapi jangan jadikan usahamu meraih dunia ini
sebagai satu tujuan dan kezalimanmu. Karena kezaliman ini
menimbulkan kerusakan. Bila ini terjadi, Allah tidak akan berdiam diri.
Dia akan membiarkanmu berbuat sesuka hati, hingga tiba waktunya Dia
pun akan menjatuhkan siksa sekonyong-konyong. Kenapa? Agar Dia
dapat memberikan gambaran kepada dunia, bahwa Dia selalu memantau
dan tidak seorang pun yang dapat lepas dari Tuhan.
Jadi, ayat ini memaparkan tentang kemajuan peradaban dahulu.
Sebagian dari peradaban tersebut masih dapat disaksikan. Suatu hal
yang menarik, dari peradaban yang telah mereka capai, akal pikiran
manusia saat ini masih tidak mampu untuk membuka tabir apa yang
pernah mereka capai. Mereka masih bingung bagaimana pyramida dapat
dibangun? Bagaimana batu dapat naik sedemikian tinggi, dan

289
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

meletakkannya dalam bentuk kerucut. Bagaimana pula mereka dapat


memummi mayat? Ini semua misteri bagi manusia modern. Bila hal ini
telah terjadi ribuan tahun yang lalu, dapat dibayangkan bagaimana
tingginya peradaban mereka yang sebenarnya, bila tidak terjadi
guncangan besar yang diinginkan Allah itu.
‘Ad adalah kaum yang tinggal di gua. ‫ﻑ‬  ‫ﻘﹶﻘﺎ‬‫ ﺑﹺﺑﺎﻷَﺣ‬‫ﻣﻪ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﺭ ﹶﻗ‬ ‫ﺬﹶ‬‫ ﺇﹺﺫﹾ ﺃﹶﻧ‬‫ﻋﺎﺩ‬‫ﺧﺎ ﻋ‬‫ ﺃﹶﺧ‬‫ﻭﺍ ﹾﺫﻛﹸﺮ‬‫ﻭ‬
ingatlah (Hud) saudara kaum `Ad yaitu ketika dia memberi peringatan
kepada kaumnya di al-Ahqâf. (QS al-Ahqâf [46]: 21)
Sampai sekarang bekas peninggalan mereka masih belum dapat
dilihat. Ia diperkirakan berada di Selatan Semenanjung Arab, tepatnya:
antara Aden dan Hadra Maut. Sedangkan Tsamud di daerah Madain
Shaleh dapat diketahui sebagian peradaban mereka. Ditemukan
bagaimana mereka memahat gunung batu dan mengukir patung di sana.
Begitu juga dengan bangunan Firaun dapat kita saksikan sampai
sekarang. Jadi, yang tidak diketahui sampai sekarang ialah kisah ‘Ad,
kecuali apa yang disampaikan Alquran. Boleh jadi ‘Ad merupakan kota
yang di kelilingi gurun pasir, yang pada saat terjadi topan pasir
tenggelamlah seluruh kota itu. Ditambah lagi dengan perjalanan waktu
hingga tanda-tanda peradapan itu pun makin tertutup dan misteri.
Makna ‫ﺩ‬ ‫ﻤﺎ‬‫ﻤ‬‫ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ ﺫﹶﺫﺍﺕ‬yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi,
boleh jadi bangunan yang memiliki pasak tiang yang tinggi,
sebagaimana pendapat para sejarawan, atau boleh jadi ia merupakan
keagungan yang tertanam di dalam pikiran orang yang hidup saat
Alquran diturunkan, yang informasinya mereka peroleh dari nenek
moyang mereka. Tapi yang pasti, apa yang disampaikan Allah adalah
benar sesuai dengan apa yang terlihat dari sisa peninggalan ataupun dari
apa yang tersembunyi darinya.
‫ﺩ‬ ‫ﻓﻲ ﺍﻟﹾﺒﹺﻼﹶ‬‫ﻮﺍ ﻓ‬‫ﻮ‬‫ ﻃﹶﻐ‬‫ﺬﻳﻦ‬‫ ﺍﻟﱠﺬ‬yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu
mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu, karena itu
Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab. (89:11) Ketika
Allah mengucapkan sesuatu, maka Dia mengucapkan kata tersebut
dengan begitu detail dan sesuai pada tempatnya. Kata thaghaw di sini
melampaui batas. Sedangkan fasâd mengeluarkan sesuatu yang layak
dan baik dari tempatnya. Karena, sesuatu itu terkadang sudah layak dan
baik dengan sendirinya, dan tidak diminta darimu kecuali satu, yaitu:
jangan ganggu yang baik itu hingga merusaknya. Kalau mau lebih,
maka yang sudah baik itu diusahakan untuk lebih baik. Jadi, yang

290
AL-FAJR 89 JUZ 30

dipinta ada dua: kalau bisa tingkatkan kebaikan yang ada, atau minimal,
tinggalkan yang baik itu tetap baik dengan jangan dirusak.
Sedangkan kata thaqhaw artinya melampaui batas dari takaran yang
ditetapkan. Makna takaran yang ditetapkan dapat dilihat dalam pepatah
Arab hakku dan hakmu, atau, tidak mungkin ada percikan kalau tidak
ada gesekan. Sedangkan arti melampaui batas kamu ingin bergerak
berseberangan. Maksud bergerak berseberangan ialah yang seharusnya
yang kuat membantu yang lemah, yang kaya membantu yang miskin,
yang pandai mengajari yang bodoh, sesuai gerak iman; malah dia
berbuat sebaliknya, yang lemah berbuat untuk membantu yang kuat,
seperti: dengan cara tidak memberinya gaji dan haknya yang wajar,
untuk menambah kekayaan orang kaya dan memiskinkan orang yang
telah miskin.
Allah telah melebihkan sebagian dari kamu atas sebagian yang lain
pada rezeki yang dikurniakanNya; dalam pada itu, orang-orang yang
diberi kelebihan itu tidak mau memberikan sebagian dari kelebihan
hartanya kepada hamba-hamba mereka, supaya orang-orang itu dapat
sama mempunyai harta.(QS an-Nahl [16]: 71)
Kata thughyan/sewenang-wenang bukan berarti menelantarkan
sesuatu begitu saja, tapi kamu berusaha untuk memeras dari orang yang
lebih lemah darimu. Membiarkan orang yang miskin itu dengan
kemiskinannya dengan cara tidak menzalimi tapi tidak juga dibantu
adalah kesalahan, apalagi menzaliminya. Artinya, thughyan/sewenang-
wenang merupakan kesalahan yang berlipat ganda. Karena,
menelantarkannya dalam kemiskinan saja sudah merupakan satu
kesalahan, maka bagaimana pula bila kamu memeras tenaga orang
lemah untuk menambah kekayaan dan kekuatanmu? Tentu ini kesalahan
besar, atau kezaliman kuadrat.
‫ﺩ‬ ‫ﺴﺎ‬
‫ﻬﺎ ﺍﻟﹾﻔﹶﺴ‬‫ﻓﻴﻬ‬‫ﺮﻭﺍ ﻓ‬‫ ﻓﹶﺄﹶﻛﹾﺜﹶﺮ‬lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri
itu. Ketika kondisi sudah sedemikian rupa, tentu sangat wajar bila langit
turun tangan. Kapan langit tidak turun tangan? Bila ditemukam manusia
yang di dalam jiwanya masih ditemukan filter untuk mencegah
kejahatan itu. Jiwa itu dalam istilah agama disebut nafsu lawwamah.
Maksudnya, berbuat sesuatu kesalahan tapi hati dan jiwanya menolak.
Dalam kondisi ini dia masih mempunyai filter. Atau filter itu masih
terdapat di tengah-tengah masyarakat. Tepatnya di saat individu
masyarakat telah terusak nafsu ammarah bissuu’i, maka ditemukan
anggota masyarakat mencegahnya. Bila tidak ditemukan nafsu

291
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

lawwamah atau filter dalam individu dan tidak ada juga filter
masyarakat, maka pada saat itu langit harus terun tangan.
Bila diperhatikan seluruh risalah sebelum Muhammad ditemukan
bahwa mereka semua tidak dipinta untuk mendidik orang yang keluar
dari ajaran agama. Bila ditemukan suatu masyarakat telah melanggar
manhaj, maka langit pun turun tangan, dalam bentuk topan yang
menenggelamkan, atau gempa yang menghancurkan. Hal itu terus
berlangsung hingga datang Islam. Itu karena Allah telah mengutus
Muhammad yang meliputi ajaran-ajaran agama sebelumnya.
Lebih dari itu, pengikutnya dipercayakan untuk mendidik orang-
orang yang menyeleweng dari manhaj. Ciri ini tidak pernah hilang di
tengah-tengah muslim. Artinya, akan tetap ada orang yang
berkepribadian baik di tengah umat Islam. Boleh jadi akan ditemukan
orang yang zalim, tapi akan tetap ditemukan juga dari umat Muhammad
yang tidak terganggu atas orang yang melanggar perintah Allah.
Inilah ciri Islam, dan demikian Kami telah menjadikan kamu (umat
Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
(perbuatan) kamu. (QS al-Baqarah [2]: 143) Jadi, langit akan turun
tangan selama telah terjadi kezaliman dan tidak ditemukan filter yang
mencegahnya, baik secara individu ataupun masyarakat.
Setelah itu ‫ﺩ‬ ‫ﺻﺎ‬
‫ﺻ‬‫ﺮ‬‫ ﻟﹶﺒﹺﺒﺎﻟﹾﻤ‬‫ﻚ‬‫ﺑ‬‫ ﺇﹺﻥﱠ ﺭ‬sesungguhnya Tuhanmu benar-benar
mengawasi. (89:14) Makna yarshudu ialah selalu mengawasi. Jangan
pernah berpikir bahwa kamu dapat lepas dari pantauan Allah. Itu karena
kamu tidak lepas dari ciptaan Allah dan sarana serta prasarana yang juga
merupakan ciptaan-Nya. Setiap gerak yang melanggar manhaj akan
diketahui dan diperhitungkan-Nya, baik dipercepat pembalasannya di
dunia atau pun ditunda sampai di akhirat kelak.
Setelah itu Allah berbicara tentang kesalahan standar manusia dalam
menerima perintah Tuhan. Dia berfirman: “Kamu mengambil standar itu
terbalik. Aku memperbaiki standar itu. Bila kamu telah memiliki standar
yang benar, maka gerak hidupmu dapat berjalan di atas rel petunjuk.”
Penyebab gerak hidup manusia tidak berjalan sesuai hidayah, adalah
kesalahan dalam menjadikan alat timbang kehidupan.***

292
AL-FAJR 89 JUZ 30

KEKAYAAN DAN KEMISKINAN ADALAH UJIAN


TUHAN BAGI HAMBA-HAMBANYA
(QS al-Fajr [89]: 15-20)
 nmlkjihgfedc
~}|{zyxwvutsrqpo
¨§¦¥¤£¢¡
²±°¯®¬«ª©
Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia
dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka Dia akan
berkata: “Tuhanku telah memuliakanku.” Adapun bila Tuhannya
mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka Dia berkata:
“Tuhanku menghinakanku.” Sekali-kali tidak (demikian),
sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak
saling mengajak memberi makan orang miskin, dan kamu
memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang
halal dan yang batil), dan kamu mencintai harta benda dengan
kecintaan yang berlebihan.
Tentang dua bentuk kehidupan. Pertama, orang yang mendapat
kelapangan rezeki menduga bahwa itu merupakan tanda bahwa Allah
telah memuliakanya. Kedua, orang yang rezekinya sempit menduga
bahwa Allah telah menghinanya. Standar ini salah dan bercampur aduk
antara ujian dan hasil ujian. Ujian itu sesuatu dan hasil ujian itu sesuatu
yang lain. Allah memberi kekayaan dan kemiskinan adalah ujian. Nilai
kemuliaan diperoleh bila lulus dalam ujian itu. untuk itu Allah
menyebutkan kata ibtalahu/mengujinya dalam adapun manusia apabila
Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan,
(89:14) dan adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi
rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku.” (89:15) Jadi
keduanya bukan merupakan nilai tapi cobaan dan ujian.
Yang benar bahwa harta itu punya hak yang harus dikeluarkan
dengan memberi makan anak yatim dan menyantuni fakir miskin. Sekali
-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim,
dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin. (89:17-
18) Dengan demikian, memiliki harta bukan hasil ujian berupa
kemuliaan, tapi harta itu sendiri merupakan ujian untuk melihat apa

293
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

yang kamu lakukan. Kamu memakan harta pusaka dengan cara


mencampur baurkan (yang halal dan yang batil), dan kamu mencintai
harta benda dengan kecintaan yang berlebihan. (89:19-20)
Makan harta warisan maksudnya harta warisan itu hanya diambil
oleh orang yang kuat saja atau lelaki, dan tidak memberikannya kepada
yang berhak dari pihak yang lemah, seperti perempuan. Kalau harta itu
bersumber dari yang haram bagaimana mungkin ia dapat dikatakan
Allah memuliakannya? Tidak, harta merupakan ujian.
Begitu juga orang yang tidak memperoleh harta, jangan menduga
bahwa hal itu penghinaan. Kenapa? Itu karena bila manusia mendapat
harta namun tidak disalurkan sesuai jalur, maka dia akan disiksa di
akhirat, dan di dunia hidupnya menderita.
Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang
Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa
kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah
buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan
kelak di lehernya di hari kiamat. (QS 'Ali 'Imrân [3]: 180)
Orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada
mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari
dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar
dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu
dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan
untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang
kamu simpan itu.” (QS at-Tawbah [9]: 34-35)
Tidak diberikan-Nya harta kepadamu bukan penghinaan, tapi
mencegahmu masuk neraka, karena kamu punya alasan, yaitu: tidak
memiliki harta. Ketika tidak memiliki harta hingga tidak masuk neraka
apakah berarti kita gagal dalam ujian? Tentu tidak, jadi tidak memiliki
harta bukan penghinaan, tapi satu kehormatan.
Setelah itu Allah memberikan gambaran kehidupan, di mana
ditemukan banyak orang kaya yang tidak memposisikan diri pada
tempatnya. Dia memperoleh dan mengeluarkan harta tidak pada
tempatnya. Ketika kita yakini hal itu, kitapun berkata: “Memiliki harta
bukan kemuliaan, tidak memiliki harta bukan penghinaan. Tapi
keduanya merupakan ujian dan cobaan. Barang siapa yang mensyukuri
nikmat Allah lulus dalam ujian. Barang siapa yang sabar atas
kemiskinan maka dia pun lulus dalam ujian.”***

294
AL-FAJR 89 JUZ 30

PENYESALAN MANUSIA YANG TENGGELAM DALAM


KEHIDUPAN DUNIAWI DI AKHIRAT
(QS al-Fajr [89]: 21-26)
À¿¾½¼»º¹¸¶µ´³
ËÊÉÈÇÆÅÄÃÂÁ
 KJIHGFEDCBA
PONML
Jangan sekali-kali bersikap demikian! (Sebenarnya) apabila bumi
(dihancurkan segala yang ada di atasnya dan) diratakan serata-
ratanya. (Perintah) Tuhanmu pun datang, sedang malaikat
berbaris-baris (siap sedia menjalankan perintah). Serta
diperlihatkan neraka Jahannam pada hari itu, (maka) pada saat
itu manusia akan ingat (hendak berlaku baik), dan bagaimana
ingatan itu akan berguna lagi kepadanya? Dia akan berkata:
“Alangkah baiknya kalau aku dahulu sediakan amal-amal baik
untuk hidupku (di sini)!”Maka pada hari itu tiada sesiapapun
yang dapat menyiksa seperti azab (yang ditimpakan oleh) Allah.
Tiada sesiapapun yang dapat mengikat serta membelenggu
seperti ikatan dan belenggu-Nya.
Sampai di sini terbuka kedok mereka yang tercela, setelah
sebelumnya dipaparkan pola pikir mereka yang salah dalam memahami
ujian saat diberi atau tidak diberi. Pada ayat di atas digambarkan
ancaman yang sangat mengerikan pada hari pembalasan dan hakikatnya,
setelah sebelumnya disampaikan tentang ujian dan hasilnya.
‫ﻛﺎ‬‫ﺩﻛ‬ ‫ﻛﺎ‬‫ﻛ‬‫ ﺩ‬‫ﺽ‬‫ ﺍﻷَﺭ‬‫ﻛﱠﺖ‬‫ ﻛﹶﻠﱠﻠﺎ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺩ‬jangan sekali-kali bersikap demikian!
(Sebenarnya) apabila bumi (dihancurkan segala yang ada di atasnya
dan) diratakan serata-ratanya. Bumi dihancurkan segala yang ada di
atas dan diratakan serata-ratanya adalah salah satu tanda dari revolusi
dunia yang terjadi pada hari kiamat.
‫ﻔﺎ‬‫ﺻﻔ‬
 ‫ﻔﻔﺎ‬ ‫ﺻ‬
 ‫ﻚ‬  ‫ﻤ ﹶﻠ‬ ‫ﻭﻭﺍﹾﻟ‬ ‫ﻚ‬
 ‫ﺑ‬‫ﺟﺎﺀ ﺭ‬‫ﺟ‬‫( ﻭ‬perintah) Tuhanmu pun datang, sedang
malaikat berbaris-baris (siap sedia menjalankan perintah). Adapun
kedatangan Allah dan para malaikat bersifat gaib, manusia tidak
mengetahui hakikatnya selama dia masih berada di bumi. Tapi dia dapat
merasakan di balik ungkapan ini adanya suasana keagungan.

295
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

‫ﻢ‬ ‫ﻨ‬‫ﻬ‬ ‫ ﺑﹺﺠ‬‫ﺬ‬‫ﺌ‬‫ﻣ‬‫ﻮ‬‫ﺟﹺﺟﻲﺀَ ﻳ‬‫ ﻭ‬serta diperlihatkan neraka Jahannam pada hari itu.
Kedatangan neraka Jahanam juga mengisyaratkan kepada keperkasaan
yang mengerikan. Manusia mengambil jarak untuk dekat dengannya.
Kedekatan kaum yang disiksa dengan neraka sudah cukup sebagai
bentuk siksaan. Adapun hakikat apa yang akan terjadi dan bagaimana,
maka itu semua adalah gaib, hanya Allah yang mengetahuinya.
Yang dapat digambarkan di balik ayat-ayat ini adalah gambaran yang
sangat mengerikan. Gambaran yang merobek hati, dan membelalakkan
mata. Pada saat itu bumi hancur dan rata, Allah Yang Mahaperkasa
muncul dan menguasai hukum dan menetapkan keputusan, para
malaikat berbaris, kemudian neraka Jahannam datang dengan
menggelegak satu dengan yang lain.
‫ﺴﺎ ﹸﻥ‬‫ ﺍﻹِﻹﻧﺴ‬‫ﺬﹶﻛﱠﺮ‬‫ﺘ‬‫ ﻳ‬‫ﺬ‬‫ﺌ‬‫ﻣ‬‫ﻮ‬‫ ﻳ‬pada saat itu manusia akan ingat (hendak berlaku
baik). Manusia yang lupa hikmat di balik cobaan: diberi rezeki dan
dihambat rezeki, yang memakan harta warisan, dan sangat mencintai
harta, tapi tidak menyayangi anak yatim, dan tidak memerintahkan
memberi makan fakir miskin, lebih dari itu merusak dan melampai
batas. Pada hari ini dia ingat akan kebenaran dan terkejut atas apa yang
dia lihat. Tapi semuanya telah terlambat.
‫ﺮﻯ‬‫ ﺍﻟﺬﱢﻛﹾﺮ‬‫ﻧﻧﻰ ﻟﹶﻪ‬‫ﻭﹶﺃ‬ bagaimana ingatan itu akan berguna lagi kepadanya?
Masa peringatan itu telah berlalu, dia tidak akan pernah datang lagi. Di
sini tempat pembalasan. Pada saat ini yang ada hanyalah penyesalan
yang sangat mendalam, karena kesempatan untuk berbuat telah hilang.
Saat manusia melihat hakikat ini, Dia akan berkata: “Alangkah
baiknya kalau aku dahulu sediakan amal-amal baik untuk hidupku (di
sini)!” Seandainya dulu saya dapat berbuat baik di dunia, tempat di
mana persiapan dan tabungan amal dilakukan. Seandainya. Ini adalah
angan-angan yang memperlihatkan kerugian yang besar. Ini adalah
penyesalan tertinggi dari yang dimiliki manusia di akhirat.
‫ﺪ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﻪ ﹶﺃ‬ ‫ﺑ‬‫ﻋ ﹶﺬﺬﺍ‬ ‫ﺏ‬
 ‫ﻌ ﱢﺬ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺬ ﻻ‬ ‫ﺌ‬‫ﻣ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻴ‬‫ ﹶﻓ‬maka pada hari itu tiada sesiapapun yang
dapat menyiksa seperti azab (yang ditimpakan oleh) Allah. Ini adalah
perjalanan selanjutnya setelah penyesalan tiada akhir dan tiada guna.
‫ﺪ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﻪ ﹶﺃ‬ ‫ﻭﹶﺛﺛﺎ ﹶﻗ‬ ‫ﻖ‬ ‫ﺛ‬‫ﻳﻳﻮ‬ ‫ﻭﻭﻻ‬ tiada sesiapapun yang dapat mengikat serta
membelenggu seperti ikatan dan belenggu-Nya. Allah adalah Tuhan
yang Mahakuasa dan perkasa. Dia dapat menyiksa dengan azab-Nya
yang dahsyat dan membelenggu dengan belenggu yang kuat.

296
AL-FAJR 89 JUZ 30

Siksa dan belenggu Allah, banyak ditemukan secara rinci di dalam


Alquran dalam menggambarkan hakikat hari kiamat. Adapun di sini
kedua hal itu cukup Allah paparkan secara global, tanpa dapat
diumpamakan dan dibandingkan dengan siksa dan belenggu yang
dilakukan manusia.
Ayat ini sesuai dengan kebalikan apa yang telah disampaikan surat
ini sebelumnya dari kejahatan dan kedurhakaan kaum Ad, Tsamud dan
Firaun. Kejahatan mereka di bumi, yang tercakup di dalamnya
penyiksaan dan pembelengguan yang mereka lakukan, maka di sini
kembali Allah ingatkan kepada Nabi Muhammad dan mukminin bahwa
mereka yang menyiksa dan membelenggu akan disiksa dan dibelenggu.
Namun apa yang mereka lakukan dan Allah lakukan sangat jauh
berbeda. Apa yang dilakukan manusia sangat hina dan tidak sebanding
dengan apa yang dilakukan Allah Tuhan Mahakuasa. Biarlah para
penindas itu melakukan siksaan dan pembelengguan sesuka hati, kelak
mereka akan disiksa dan dibelenggu dengan siksaan dan
pembelengguan yang tidak dapat digambarkan dan diprediksi.***

PENGHARGAAN ALLAH TERHADAP MUKMIN


(QS al-Fajr [89]: 27-30)
 ZYXWVUTSRQ
a`_^]\[
(Setelah menerangkan akibat orang-orang yang tidak
menghiraukan akhirat, Tuhan menyatakan bahwa orang-orang
yang beriman dan beramal soleh akan disambut dengan kata-
kata): “Wahai orang yang mempunyai jiwa yang sentiasa tenang
tetap dengan kepercayaan dan bawaan baiknya! - “Kembalilah
kepada Tuhanmu dengan keadaan engkau berpuas hati (dengan
segala nikmat yang diberikan) lagi diridai (di sisi Tuhanmu) ! -
“Serta masuklah engkau dalam kumpulan hamba-hambaku yang
berbahagia” dan “masuklah ke dalam surgaKu!”
Di tengah-tengah rasa takut, di tengah-tengah gambaran tentang
siksaan dan pembelengguan, yang semua ini menggambarkan tentang
gambaran yang tak terbayangkan, tiba-tiba jiwa yang tenang dipanggil
dengan panggilan: “Wahai orang yang mempunyai jiwa yang sentiasa
tenang tetap dengan kepercayaan dan bawaan baiknya! - “Kembalilah
kepada Tuhanmu dengan keadaan kamu berpuas hati (dengan segala

297
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

nikmat yang diberikan) lagi diridai (di sisi Tuhanmu)! - “Serta masuklah
engkau dalam kumpulan hamba-hambaku yang berbahagia. Dan
masuklah ke dalam surga-Ku!”
Kedekatan mukmin dengan Allah terbukti begitu jelas hingga Allah
memanggilnya dengan yâ ayyatuha. Atau kata wahai ini merupakan
ungkapan untuk menghormati mukmin yang taat. Lebih dari itu, Allah
memanggilnya dengan nafs muthmainnah atau jiwa yang tenang.
Kemudian dalam suasana yang begitu mengerikan: siksaan dan
belenggu, muncul harapan dan panggilan “Dan masuklah ke dalam
surgaKu!” Artinya kembalilah kepada sumbermu setelah pengasingan
di bumi atau setelah meninggalkan pangkuan ... kembali kepada Allah
di mana telah terjalin hubungan antara kamu dengan Tuhanmu.
‫ﻴ ﹰﺔ‬‫ﺿ‬
 ‫ﺮ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻴ ﹰﺔ‬‫ﺿ‬
 ‫ﺭﺭﺍ‬ dengan keadaan engkau berpuas hati (dengan segala nik-
mat yang diberikan) lagi diridai (di sisi Tuhanmu)! Panggilan ilahi ini
telah memenuhi seluruh angkasa dengan perasaan rela dan puas hati.
‫ﺩﻱ‬‫ﺒﺎﺩ‬‫ﺒ‬‫ﻓﻲ ﻋ‬‫ﻠﻲ ﻓ‬‫ﻠ‬‫ﺧ‬‫ ﻓﹶﻓﺎﺩ‬serta masuklah engkau dalam kumpulan hamba-
hambaku yang berbahagia. Bahagia bersama Allah, tenang di dalam
jalan-Nya, dan damai bersama takdir-Nya. Bahagia di saat suka dan
duka, di dalam lapang dan terhimpit, di saat tidak memiliki dan
berlimpah. Kebahagiaan yang tidak tergoyahkan. Kedamaian yang tiada
penyimpangan. Ketenangan yang tidak lari dari kesusahan dan
kepedihan. Ketahuilah baginya adalah surga yang sangat memuaskan
hati. Surga itu melirik mukmin yang taat di sela-sela ayat ini. Ditambah
lagi dengan pemantauan Allah Yang Maha Pengasih yang Mahaperkasa
dan Maha terhormat.
Semoga Allah memberikan kepada kita panggilan kebahagiaan ini
saat kita dipanggil nantinya. Semoga Allah memberikan kepada kita
surga dan apa-apa saja yang mendekatkan kita kepadanya dari perkataan
dan perbuatan. Semoga kita terhindar dari siksa neraka dan apa saja
yang mendekatkannya dari perkataan dan perbuatan. Amin.***

298
AL-BALAD 90, JUZ 30

SURAT 90
AL-BALAD
(MAKKIYAH)

299
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

300
AL-BALAD 90, JUZ 30

Surat al-Balad ini secara umum berisikan tentang ajakan kepada hati
manusia untuk beriman, bertakwa, sadar dan merenungi pesan-pesan
Alquran, diselingi dengan berbagai warna perjalanan dan petualangan,
warna-warni yang beragam yang menyatu menjadi satu alunan musik
yang merdu.
Surat yang pendek ini berisikan tentang prinsip dasar dalam
kehidupan manusia yang bercorak motivasi dan sentuhan lembut, yang
sangat sukar untuk dituliskan oleh makhluk dalam ungkapan singkat
tapi tepat dan padat selain kita temukan di dalam Alquran ini. Gaya
bahasanya yang khas yang sangat menyentuh hati manusia bila dihayati
dengan penuh makna.

HIDUP MANUSIA PENUH DENGAN PERJUANGAN


(QS al-Balad [90]: 1-20)
 onmlkjihgfedcb
 |{zyxwvutsrqp
kjihgfedcba`_~}
 vutsrqponml
 ¦¥¤£¢¡~}|{zyxw
¶µ´³²±°¯®¬«ª©¨§
ÃÂÁÀ¿¾½¼»º¹¸
ÊÉÈÇÆÅÄ
Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Mekkah), dan kamu
(Muhammad) bertempat di kota Mekkah ini, dan demi bapak dan
anaknya. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada
dalam susah payah. Apakah manusia itu menyangka bahwa sekali
-kali tiada seorangpun yang berkuasa atasnya? Dia mengatakan:
“Aku telah menghabiskan harta yang banyak”. Apakah dia
menyangka bahwa tiada seorangpun yang melihatnya? Bukankah
Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua
buah bibir. Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Maka

301
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan


yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalan yang
mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari
perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada)
anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang
sangat fakir. Dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling
berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih
sayang. Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan
itu) adalah golongan kanan. orang-orang yang kafir kepada ayat-
ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri. Mereka berada
dalam neraka yang ditutup rapat.
Surat ini dimulai dengan sumpah terhadap sesuatu yang besar,
sumpah terhadap hakikat hidup manusia yang pasti.
Maksud kata al-balad atau kota dalam ayat ini adalah Mekkah, atau
Bait al-Haram atau rumah yang pertama kali dibangun Allah untuk
manusia. Tujuannya sebagai tempat kembali yang aman dan
menenteramkan. Mekkah merupakan tempat di mana manusia dapat
beristirahat dari peperangan, permusuhan dan pertikaian dengan
statusnya sebagai daerah genjatan senjata yang abadi. Di daerah ini,
semua manusia sepakat untuk damai di antara satu dengan yang lain.
Sebagaimana Mekkah adalah mulia dan terhormat, maka burung dan
pepohonan di daerah ini pun mendapat berkah dari status kemuliaannya.
Keduanya menjadi haram untuk diburu dan ditebang. Mekkah adalah
rumah Ibrahim dan anaknya Ismail.
Pada ayat kedua, Allah memuliakan nabinya Muhammad dengan
menyebutkan dirinya dan menyebutkan tempat berdiam dirinya di kota
ini. Dengan sebutan keberadaan dirinya di kota ini menjadi tambah
sempurna kemuliaan kota itu. Ini merupakan penegasan yang memiliki
makna yang dalam atas kemuliaan tempat itu. Di sisi lain, kaum kafir
melanggar semua bentuk kemuliaan, keagungan yang tersemat pada
kota Mekkah ini. Mereka menyiksa nabi dan umat Islam.
Ketika Allah bersumpah dengan nama kota Mekkah dan Nabi
Muhammad sebagai salah satu orang yang berdiam di dalamnya, maka
pada saat itu Dia sedang mencabut kemuliaan kota itu yang selama ini
dikendalikan oleh kaum musyrik untuk diserahkan kepada Nabi
Muhammad. Pengakuan musyrikin sebagai benteng Mekkah dan
keturunan Ismail dan menganut ajaran Ibrahim bertolak belakang
dengan tindak tanduk yang mereka lakukan.

302
AL-BALAD 90, JUZ 30

‫ﺪ‬ ‫ﹶﻟ‬‫ﻣﺎ ﻭ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﺪ‬‫ﻭﺍﻟ‬‫ﻭ‬‫ ﻭ‬demi bapak dan anaknya dalam ayat ketiga dari surat ini
dapat ditafsirkan secara beragam. Pertama, dapat diartikan dengan
Ibrahim dengan anaknya Ismail, atau dengan Ismail dengan anak
keturunannya suku Quraiys. Maknanya, kota Mekkah dan Nabi Ibrahim
atau Ismail yang pernah menetap di kota ini. Kedua, dapat diartikan
dengan makna bapak dan anaknya secara umum dan universal. Dengan
demikian tafsir ayat ini menjadi perhatikan bagaimana proses
penciptaan manusia yang terjadi melalui kelahiran.
Berdasarkan Tafsir Muhammad Abduh dapat kita baca bagaimana
keagungan ciptaan Allah dalam proses kelahiran manusia. Perhatikan,
bagaimana perubahan yang dialami ibu hamil dan cabang bayi yang ada
di dalam rahimnya. Bagaimana proses perkembangan bayi di dalam
rahim ibu, dari sperma, alaqah, menjadi segumpal daging ... dst. Hal itu
juga dapat kita lihat bagaimana benih pohon yang kecil dengan akar
yang mungil menembus tanah yang keras untuk mencari saripati
makanan, berkembang dan berproses menjadi pohon yang besar
memiliki cabang dan ranting untuk kemudian siap melahirkan buah dan
biji yang akan menjadi bibit pohon sebagai generasi penerus. Beginilah
kehidupan yang berproses secara indah dan alami. Bila dunia flora ini
dijadikan acuan untuk merenungi dunia fauna dan manusia, maka proses
kejadian binatang dan manusia lebih rumit dan lebih dahsyat lagi.
Dalam perjalanan kehidupan selanjutnya kita pun menemukan
bagaimana manusia mengalami masa-masa susah untuk mendidik dan
menjaga diri, anak dan keturunannya.
Setelah Allah Swt bersumpah atas nama kota Mekkah, Nabi
Muhammad dan bapak serta anaknya, maka pesan dari sumpah itu
adalah ‫ﺪ‬ ‫ﺒ‬‫ﻓﻓﻲ ﹶﻛ‬ ‫ﺴﺎ ﹶﻥ‬
‫ﺴ‬
 ‫ﻨﺎ ﺍﻹِﻹﻧ‬‫ﻠﹶﻘﹾﻨ‬‫ﺪ ﺧ‬ ‫ ﹶﻟ ﹶﻘ‬sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia berada dalam susah payah. Makna susah payah adalah
manusia di dunia ini harus siap membanting tulang, bekerja maksimal
dengan mengeluarkan segala kemampuan yang dia miliki. Sebagaimana
pesan Allah pada ayat yang lain. Lihat QS al-Insyiqaq [84]: 6.
Sejak dari berstatus menjadi bagian dari sperma, manusia telah
hidup bersusah payah, dia mulai bertarung dengan jutaan sel-sel yang
berada di antara sperma yang keluar itu untuk mencari indung telur agar
dapat tetap hidup dan bertahan, sementara jutaan sel lainnya akan mati
dan terbuang. Dia tetap hidup bersusah payah di dalam rahim ibu hingga
keluar menjadi bayi di dunia fana ini. Pada saat keluar tidak harus
berjalan mulus tanpa masalah, hampir saja bayi mungil itu mati karena

303
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

tercekik saat keluar dari lubang rahim.


Setelah lahir ke bumi, hidup bertambah susah dan payah. Pada saat
itu dia harus bernafas dengan menghirup oksigen. Pada saat itu untuk
pertama kali dia membuka mulut dan jantungnya pun mulai berdetak
dibarengi dengan teriakan dan tangisan sebagai tanda kesusahan hidup
segera dimulai. Pencernaan dan peredaran darah pun mulai bekerja
dengan kondisi yang berbeda dengan apa yang pernah dialaminya saat
di dalam rahim. Pada saat itu, dia mulai merasakan susahnya
mengeluarkan feses dari pencernaannya. Setiap langkah selanjutnya
adalah kesusahan. Setiap gerak adalah kesusahan. Saat belajar
merangkak terdapat kesusahan, saat belajar berjalan terdapat kesusahan,
saat belajar berlari terdapat kesusahan. Saat belajar membaca
kesusahan, saat belajar menggunakan akal pikiran terdapat kesusahan,
dan setiap memasuki dunia baru terdapat kesusahan.
Hidup manusia kemudian bercabang sesuai dengan profesi masing-
masing. Sebagian bersusah payah dalam mengerahkan seluruh otot dan
tenaga yang dimilikinya, yang lain bersusah payah mengerahkan seluruh
akal pikirannya, yang lain dengan seluruh jiwa raganya. Sebagian
bersusah payah untuk mengumpulkan miliaran rupiah dan yang lain
bersusah payah untuk mengais sesuap nasi. Ini bersusah payah untuk
berjuang di jalan Allah, yang lain bersusah payah berjuang
melampiaskan nafsu seksnya. Ini bersusah payah mempertahankan
akidah dan menyebarkan dakwah, yang lain bersusah payah
menyesatkan manusia dari jalan yang benar. Yang ini bersusah payah
menggapai surga, yang lain bersusah payah meraih neraka. Hingga
akhirnya, mereka kembali bertemu dengan Tuhan mereka. Pada saat itu
akan ditemukan puncak kesusahan bagi kaum kafir dan durhaka yang
malang di neraka, dan di saat itu ditemukan juga puncak istirahat bagi
mukmin di surga.
Susah payah merupakan ciri kehidupan manusia di bumi ini.
Bentuk dari susah payah ini beragam sesuai dengan bentuk dan sebab-
sebabnya. Namun yang pasti dari keberagaman itu pada akhirnya
bermuara pada kesusahan. Manusia yang paling merugi adalah manusia
yang mengalami hidup susah di dunia ini dan berakhir dengan hidup
lebih susah di akhirat. Manusia yang paling beruntung adalah manusia
yang bersusah payah mencapai rida Allah dan berakhir dengan
kebahagiaan di bawah naungan rahmat-Nya.
Dalam kehidupan dunia ini ditemukan juga balasan bagi setiap kerja
yang dilakukan, manusia yang bekerja dalam mencari kemuliaan

304
AL-BALAD 90, JUZ 30

berbeda dengan manusia yang bekerja di dunia hitam yang hina.


Manusia yang berjuang di jalan Allah tidak akan sama dengan manusia
yang berjuang untuk melampiaskan nafsu berahinya.
Setelah Allah menggambarkan hakikat tabiat manusia pada ayat-
ayat berikut ini Allah mengajak akal pikiran manusia untuk berdiskusi
agar pola pikir yang selama ini menjadi dasar tindakannya dapat
ditempatkan pada poros yang sebenarnya.
‫ﺪ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﻪ ﹶﺃ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﻋ ﹶﻠ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻳ ﹾﻘﺪ‬ ‫ﺐ ﹶﺃﺃﻥ ﱠﻟﻟﻦ‬
 ‫ﺴ‬‫ﺤ‬‫ ﺃﹶﻳ‬apakah dia menyangka bahwa tiada seorang
pun yang melihatnya? Manusia yang diciptakan dalam keadaan susah
payah ini dan tidak pernah terlepas dari kesusahan, terkadang lupa pada
hakikat dirinya sendiri, hingga dia tertipu dengan kekuatan,
kemampuan, kekuasaan dan kenikmatan yang bersumber dari Allah itu.
Dia bertingkah seakan-akan apa yang diperbuatnya tidak diperhitungkan
di akhirat kelak. Dia berpikir tidak ada Zat yang mampu untuk
menghitung segala amal dan tindakan yang dia lakukan, hingga dia
bersikap arogan, merampas dan menzalimi orang lain, kufur dan
durhaka tanpa ada rasa takut atau risih sedikit pun kepada Allah. Inilah
sifat manusia yang hatinya telah kosong dari keimanan walaupun dia
berstatus muslim.
‫ﺪﺪﺍ‬ ‫ﺒ‬‫ﻣﺎﻻ ﻟﱡ‬‫ ﻣ‬‫ﻠﹶﻜﹾﺖ‬‫ﻳﻘﹸﻘﻮﻝﹸ ﺃﹶﻫ‬ dia mengatakan: “Aku telah menghabiskan harta
yang banyak.” Ketika manusia diajak untuk bersedekah dan berinfak;
dia dengan serta merta berkata: “Saya telah banyak berinfak dan telah
banyak berderma.”
‫ﺪ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﻩ ﹶﺃ‬ ‫ﺮ‬ ‫ ﻳ‬‫ﺐ ﹶﺃﺃﻥ ﻟﱠﻢ‬  ‫ﺴ‬‫ﺤ‬‫ ﺃﹶﻳ‬apakah dia menyangka bahwa tiada seorang pun
yang melihatnya? Dia lupa bahwa mata Allah melihat, pengetahuan-
Nya meliputi segala sesuatu. Dia melihat siapa dan apa yang telah
diinfakkan, tapi manusia ini lupa hakikat itu semua, dia menduga bahwa
Allah tidak melihatnya.
Di hadapan keangkuhan ini manusia merasa dirinya memiliki
kekuatan penuh. Di hadapan tumpukan harta yang dia telah kumpulkan,
dia merasa -sedikit yang telah dia keluarkan- layak berstatus dermawan.
Dia lupa bagaimana Alquran telah menggambarkan bahwa Allah telah
banyak memberi kepadanya. Dimulai dari menciptakan dirinya di dalam
rahim ibu, melahirkan dan memberikan kemampuan hingga mampu
mencari harta dan menduduki jabatan dan meraih kekuasaan. Semua
nikmat-nikmat itu tidak pernah dia syukuri dan tidak pernah dia lakukan
kewajiban atasnya.

305
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

‫ﻳ ﹺﻦ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺠ‬


 ‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﻨﺎﻩ‬‫ﻨ‬‫ﻳ‬‫ﺪ‬‫ﻫ‬‫ﻴ ﹺﻦ }{ ﻭ‬ ‫ﺘ‬‫ﺷ ﹶﻔ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻧﻧﺎ‬‫ﺴﺎ‬
‫ﺴ‬‫ﻟ‬‫ﻴ ﹺﻦ }{ ﻭ‬ ‫ﻨ‬‫ﻴ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻌﻌﻞ ﱠﻟ‬ ‫ﺠ‬
 ‫ ﻧ‬‫ ﺃﹶﻟﹶﻢ‬bukankah Kami telah
memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir. Kami
telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Manusia selalu sombong
dengan kekuatan yang dia miliki, sementara dia lupa bahwa Allah
pemberi seluruh nikmat dan kekuatan yang dia miliki. Lebih dahsyat
lagi, dia tidak pernah bersyukur dan tidak pernah bersujud, padahal
indra yang telah diberikan Allah seharusnya mengarahkannya kepada
hidayah dan iman.
Allah telah menciptakan dua mata dengan bentuk yang sangat indah
dan detail, dengannya manusia dapat melihat. Allah telah menciptakan
lidah dan dua bibir sehingga dia menjadi istimewa dari makhluk
lainnya, dengan bicara yang dilakukannya. Lebih jauh lagi, Dia
memberikan akal pikiran, hingga pembicaraan yang keluar itu menjadi
logis dan dapat dipahami dengan benar oleh pihak pendengar. Akal
pikiran itu juga berfungsi untuk menentukan jalan hidup ini: ke arah
yang baik atau yang buruk, hidayah atau kesesatan, benar atau salah.
Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Pilih salah satu dari
keduanya. Karena tabiat manusia memiliki potensi untuk meraih kedua-
dua jalan ini. Ini merupakan kehendak Allah. Dengan kedua potensi ini
manusia akan mudah atau dapat meraih apa yang dia cita-citakan.
Dengan ayat ini jelaslah bagaimana hakikat tabiat manusia,
sebagaimana ini juga dapat mencerminkan tentang teori ilmu jiwa dalam
Alquran. Ayat ini bersamaan dengan ayat-ayat senada lainnya, seperti:
Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Dia mengilhamkan
kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh beruntung
orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang
mengotorinya. (QS asy-Syams [91]: 7-10)
Sebenarnya kedua-dua potensi ini mengarahkan manusia ke jalan
hidayah Allah. Kedua mata seharusnya diarahkan untuk melihat tanda-
tanda kebesaran Allah di alam raya ini hingga mengokohkan iman yang
ada di dalam hati. Lisan dan kedua bibirnya merupakan sarana
komunikasi yang paling efektif untuk mencerahkan jiwa manusia
dengan kalimat tauhid dan dakwah yang bijaksana. Pepatah
mengatakan: “Lidah manusia itu lebih tajam dari pedang.” Karena
kekuatan lidah, seseorang dapat terjerumus ke dalam neraka,
sebagaimana kekuatan lidah juga dapat menyelamatkan manusia dari
neraka.
Muaz bertanya kepada nabi Muhammad: “Wahai Nabi Muhammad

306
AL-BALAD 90, JUZ 30

kabarkan kepadaku perkara-perkara yang membuatkan masuk ke dalam


surga dan jauh dari neraka.”
Nabi menjawab: “Kamu telah bertanya tentang sesuatu yang besar
tapi mudah bagi orang-orang yang dimudahkan Allah. Perkara-perkara
itu adalah menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya, mendirikan
salat, membayar zakat, puasa Ramadhan dan menunaikan ibadah haji.”
Nabi bertanya: “Maukah kamu saya sampaikan pintu-pintu
kebaikan? Puasa itu perisai, sedekah itu menghapuskan dosa, dan salat
yang dilakukan di malam hari. L a m b u n g m e r e k a j a u h d a r i t e m p a t
tidurnya, mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh
harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan
kepada mereka. Maka tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyi-
kan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan
hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.(QS Sajdah
[32]: 16-17)
Nabi berkata lagi: “Apakah kamu mau saya sampaikan puncak
amalan adalah Islam, tiangnya adalah salat, akarnya adalah jihad.”
Nabi menambahkan: “Maukah kamu saya sampaikan raja dari
semua itu?”
Muaz berkata: “Mau wahai nabi.”
Nabi mengambil lidahnya dan berkata: “Hati-hati dengan lidah ini.”
Muaz berkata: “Wahai Nabi, apakah kami disiksa karena ucapan
yang dilakukan lidah kami?”
Nabi menjawab: “Benar, manusia ditenggelamkan mukanya ke
dalam api neraka tidak lebih karena lisannya.”
Di sisi lain, Allah telah memberikan petunjuk untuk mengetahui
kebaikan dan keburukan, jalan menuju surga dan neraka, dan Dia
menolong dan memudahkan kedua jalan itu.
Semua nikmat yang ada ini seharusnya menghantar manusia untuk
dapat membantu manusia yang sukar jalan hidupnya, agar dia dapat
mencapai surga. Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia
menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalan
yang mendaki lagi sukar itu? Yaitu melepaskan budak dari perbudakan,
atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang
ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir. Dia
termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk
bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. Mereka (orang-
orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan.
Membantu manusia itu sendiri adalah tindakan yang sukar, kecuali

307
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

orang yang hidupnya telah mendarah daging dengan iman, hingga dia
ditolong oleh iman itu. Tindakan sukar ini yang selalu menghalangi
dirinya dengan surga. Bila dia rela menjalani jalan sukar itu niscaya dia
akan sampai ke surga. Jalan menuju surga yang agung itu tidak selalu
mudah, namun dapat tetap dilakukan dengan semangat karena adanya
visi, misi yang jelas dan motivasi yang tinggi.
‫ﺒ ﹸﺔ‬‫ﻌ ﹶﻘ‬ ‫ﻣﻣﺎ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻙ‬ ‫ﺭﺍ‬‫ﺭ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﺩ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar
itu? Pertanyaan ini bukan ingin memperbesar kondisi jalan mendaki lagi
sukar, tapi tujuannya untuk mengagungkan usaha setiap mukmin yang
mau menempuh jalan mendaki lagi sukar ini. Usaha yang agung dan
mulia ini memerlukan pengorbanan dan kerja maksimal. Setiap langkah
kesukaran yang ditempuh, setiap itu pula terlihat buah pengganti dari
amal yang telah diusahakan. Tidak ada usaha dan kerja sia-sia di mata
Allah.
Allah memulai menerangkan jalan sukar itu dengan kondisi krisis di
Mekkah yang perlu penanganan dengan serius dan cepat, yaitu
membebaskan perbudakan, memberi pangan kepada rakyat miskin di
tengah-tengah orang kaya yang selalu mengisap darah daging manusia
tak berdaya, dari kondisi khusus ini jalan sukar kembali didengungkan,
tapi kali ini untuk kondisi universal, kapan dan di mana saja, yaitu: dia
termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk
bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.
‫ﺔ‬ ‫ﺒ‬‫ﺭ ﹶﻗ‬ ‫ ﻓﹶﻚ‬melepaskan budak dari perbudakan. Saat ayat ini diturunkan
kondisi umat Islam di Mekkah sangat lemah dan terisolir. Tidak ada
negara yang dapat melindungi hak-hak mereka sebagai warga negara.
Pada saat itu perbudakan telah menyebar di semenanjung Arab, dan
dunia secara umum. Para budak diperlakukan sangat tidak manusiawi.
Ketika sebagian budak seperti Ammar bin Yasir dan keluarganya, Bilal
bin Rabah, Suhaib masuk Islam, siksa dan penindasan yang dilakukan
kaum kafir terhadap mereka bertambah pedih. Islam memberi jalan
keluar dengan cara memotivasi mukmin untuk memerdekakan mereka
dari majikan yang kejam. Abu Bakar adalah pelopor kebaikan dalam
menyambut ajakan ini. Dia melakukannya dengan penuh keyakinan
kepada Allah, tenang dan bahagia. Saat Abu Bakar ditanya oleh
ayahnya, dia menjawab: “Saya melakukan itu karena Allah.”
Atau memberi makan pada hari kelaparan,(kepada) anak yatim
yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir .

308
AL-BALAD 90, JUZ 30

Kelaparan dan kekurangan pangan adalah kondisi di mana iman sedang


diuji. Iman orang kaya untuk mau berderma, iman orang miskin untuk
tidak dipertaruhkan hanya untuk meraih sesuap nasi.
Kondisi anak yatim akan menjadi terlantar dan selanjutnya dapat
merusak tatanan sosial masyarakat yang liar, untuk itu perlu peran
keluarga besar yang mengayomi anggota keluarga yang lain, terutama
bila ayah atau ibunya telah tiada. Alquran sendiri telah banyak sekali
menasihati manusia untuk mencurahkan perhatian kepada anak yatim,
ini membuktikan bahwa kondisi yatim selalu tidak memihak mereka,
wasiat pengayoman terhadap yatim terus didengungkan sampai pada
surat-surat Madaniyah, di antaranya di dalam surat an-Nisa dan al-
Baqarah.
Memberi makan kepada orang miskin yang mengkais-kais matrabah
-atau makanan yang telah bercampur dengan pasir atau debu- adalah
prioritas kerja mukmin. Matrabah itu sendiri berasal dari kata turâb
yang artinya debu atau pasir. Ini mengisyaratkan bahwa kemiskinan
orang tersebut telah sampai pada puncaknya.
Tsumma/kemudian pada, tsumma/dan dia termasuk orang-orang
yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan
untuk berkasih sayang, bermakna kemuliaan dan ketinggian derajat.
Sabar sangat dibutuhkan dalam mempertahankan iman secara
umum; dalam keadaan susah, sabar lebih diperlukan lagi. Tausiyah
untuk tetap sabar memiliki urgensi yang tidak kalah penting dengan
urgensi sabar itu sendiri, dan di dalam tausiyah itu sendiri diperlukan
kesabaran. Dengan urgensi yang saling terkait satu sama lain, maka
saling menopang antar sesama mukmin. Antar mukmin saling
menasehati untuk tetap sabar atas beban sukar yang sama-sama
dihadapi, saling menasehati agar semua tetap bertahan dan tidak goyah,
tentu saja ini tidak sekedar sabar dalam tingkatan individu, tapi sabar
secara kolektif.
Begitu juga halnya dengan saling menasehati untuk tetap saling
merahmati. Tausiyah, pesan dan saran untuk merahmati mengisyaratkan
bahwa pelakunya bukan saja berstatus penyayang tapi sebagai pelopor
cinta kasih, sehingga dia senang bila orang lain juga menjadi penyayang
sebagaimana dirinya. Dia ingin agar sifat kasih sayang menjadi simbol
mukmin secara individu dan jemaah. Sebagai simbol yang dikenal oleh
dunia. Semua mukmin bersatu untuk mewujudkan simbol kasih ini.
Makna semua mukmin bersatu padu dalam mewujudkan simbol
kasih sayang ini adalah makna yang selalu didengung-dengungkan oleh

309
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Alquran dan hadis karena dia adalah inti agama. Islam adalah agama
komunitas, manhaj umat, dengan mengakui hak-hak individu yang ada
di dalamnya, dan perhitungan amal individu begitu jelas.
‫ﺔ‬ ‫ﻨ‬‫ﻤ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﻤ‬ ‫ ﺍﹾﻟ‬‫ﺤﺎﺏ‬
‫ﺤ‬‫ ﺃﹶﺻ‬‫ﻚ‬‫ﻟﹶﺌ‬‫ ﺃﹸﻭ‬mereka (orang-orang yang beriman dan saling
berpesan itu) adalah golongan kanan. Mereka yang menempuh jalan
mendaki dan sukar ini sebagaimana yang disifatkan oleh Alquran dan
didefinisikan dengan golongan kanan, atau dalam ayat yang lain disubut
dengan golongan yang bahagia dan beruntung, kedua makna ini terkait.
‫ﺔ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﹶﺄ‬‫ﺸ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺤﺎﺏ‬ ‫ﺤ‬‫ ﺃﹶﺻ‬‫ﻢ‬‫ﻨﺎ ﻫ‬‫ﻨ‬‫ﻳﺎﺗ‬‫ﺮﻭﺍ ﺑﹺﺑﺂﻳ‬‫ ﻛﹶﻔﹶﺮ‬‫ﺬﺬﻳﻦ‬ ‫ﻭﻭﺍﱠﻟ‬ orang-orang yang kafir kepada
ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri. Dalam ayat ini Allah
tidak menerangkan panjang lebar tentang sifat-sifat golongan kiri, Dia
cukup menyifati mereka dengan orang-orang yang kafir dengan ayat-
ayat Kami. Karena kekufuran adalah puncak dosa dan mencakup semua
kesalahan. Tidak ada kebaikan yang menyertai kaum kafir. Tidak ada
keburukan kecuali di dalamnya terdapat kekafiran. Allah tidak perlu
menyebutkan golongan kiri adalah golongan orang-orang yang tidak
mau membebaskan budak, tidak mau memberi makan, dan mereka
kufur terhadap ayat-ayat Kami. Karena kekafiran tidak akan
menimbulkan manfaat positif, walaupun mereka telah melakukan bakti
amal sosial seperti contoh di atas.
Golongan yang pesimis ini adalah golongan kiri, golongan tercela,
semua pengertian ini saling terkait. Mereka yang pesimis ini tidak
memiliki motivasi untuk melewati jalan sukar, sehingga hidupnya
tercela dan tetap di neraka.
‫ﺪ ﹲﺓ‬ ‫ﺻ‬ ‫ﺆ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻧﻧﺎ‬ ‫ﻢ‬ ‫ ﹺﻬ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat.
Pintu-pintu neraka tertutup rapat hingga mereka terpenjara di dalamnya
dan tidak dapat keluar. Atau makna rapat di sini adalah mereka tetap
bertahan di neraka dan berinteraksi dengannya. Kedua makna ini terkait.
Inilah hakikat kehidupan umat manusia dalam pandangan keimanan.
Alquran telah menggambarkan hakikat ini dalam surat yang pendek
namun begitu jelas dan lugas. Inilah kelebihan dan mukjizat Alquran
yang luar biasa.
Kita bermohon kepada Allah semoga Dia memberi petunjuk dan
kecerdasan iman kepada kita, dan dapat mencegah diri kita dari
kemaksiatan, medekatkan kita ke surga serta menjauhkan kita dari
neraka. Dia Mahakuasa untuk melakukan itu dan segala puji bagi
Allah.***

310
ASY-SYAMS 91, JUZ 30

SURAT 91
ASY-SYAMS
(MAKKIYAH)

311
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

312
ASY-SYAMS 91, JUZ 30

Surat asy-Syams yang singkat ini memiliki qafiyah yang satu,


dengan nada musik yang indah. Sejak awal surat ini berisikan tentang
sentuhan kalbu untuk menyaksikan keagungan ciptaan Allah di alam
raya ini. Keagungan alam ini seakan-akan bingkai yang mengelilingi
pesan utama dari surat ini yaitu hakikat manusia, dan potensi diri yang
dimilikinya, serta peran manusia dalam menggali potensi tersebut,
ditutup dengan akhir perjalanan dari konsekwensi gali potensi itu.
Surat ini juga berisikan tentang kisah kaum Tsamud, pengingkaran
yang mereka lakukan terhadap rasul dengan membunuh unta serta akhir
perjalanan akibat pengingkaran yang mereka lakukan. Ini merupakan
contoh perjalanan hidup manusia yang tidak mau menggali potensi
positif yang ada pada dirinya dan menggembangkannya. Kaum ini
contoh umat yang hanya menggali potensi negatif den bangga
dengannya.

MANUSIA DIILHAMI ALLAH JALAN BURUK DAN BAIK


(QS asy-Syams [91]: 1-15)
NMLKJIHGFEDCBA
[ZYXWVUTSRQPO
hgfedcba`_^]\
tsrqponmlkji
}|{zyxwvu
edcba`_~
Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila
mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam
apabila menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi
serta penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang
yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya. (Kaum) Tsamud telah mendustakan
(rasulnya) karena mereka melampaui batas, ketika bangkit orang
yang paling celaka di antara mereka, lalu Rasul Allah (Saleh)

313
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

berkata kepada mereka: (Biarkanlah) unta Allah dan


minumannya”. Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih
unta itu, maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan
dosa mereka, lalu Allah menyama-ratakan mereka (dengan
tanah). Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu.
Allah bersumpah dengan kekuasaan-Nya yang terlihat di alam raya
ini, sebagaimana Dia bersumpah dengan jiwa manusia yang memiliki
potensi positif dan negatif. Konsekuensi dari sumpah ini adalah Dia
mencabut potensi dari seluruh alam raya ini untuk direnugi oleh hati
yang beriman agar tumbuh satu potensi yang utuh dan kokoh, yaitu
iman dan mengarahkan seluruh jiwa ke arah potensi yang positif.
Alam semesta bila direnungi akan menyatu dengan jiwa manusia
yang paling dalam untuk hanyut dalam pengakuan fitrah bahwa tiada
Tuhan selain Allah. Alam dan jiwa akan saling membuktikan,
menegaskan bahwa potensi positif itu perlu dikembang tumbuhkan.
Untuk itu Alquran di berbagai surat dan ayat sering mengajak hati
untuk menyaksikan alam semesta dengan berbagai redaksi. Terkadang
redaksi perintah itu bersifat tegas dan langsung, terkadang bersifat
sentuhan lembut sebagaimana kita temukan dalam surat yang kita kaji
kali ini. Dalam surat ini hampir semua ayat mengajak hati kita untuk
berbicara dengan alam semesta, dan meresponsnya secara positif. Hati
kita diharapkan dapat berkomunikasi dengan bahasa alam yang saling
merespons dan bermunajat kepada Allah.
‫ﻫﺎ‬‫ﺤﺎﻫ‬
‫ﺤ‬‫ﺿ‬‫ﺲﹺ ﻭ‬‫ﻤ‬‫ﻭﺍﻟﺸ‬‫ ﻭ‬demi matahari dan cahayanya di pagi hari. Pada ayat
ini ditemukan Allah bersumpah dengan matahari secara umum dan
waktu dhuha secara khusus. Waktu dhuha disebutkan secara khusus
karena pagi atau dhuha adalah waktu yang paling indah. Di daerah yang
menganut musim panas dan dingin seperti Kairo. Pada waktu pagi di
musim dingin udara hangat sangat diharapkan untuk memulai kerja
dengan semangat. Sementara di musim panas, sinar matahari yang redup
memberi motivasi kerja sebelum datang panas yang menyengat di siang
hari. Matahari di waktu dhuha adalah matahari yang paling indah.
Penafsir lain berpendapat bahwa dhuha yang dimaksud dalam ayat
ini adalah waktu siang yang terbentang dari pagi sampai sore. Tapi, saya
tidak melihat perpindahan makna ini sebagai sesuatu yang urgen, malah
saya melihat pemahaman dhuha dengan waktu di pagi hari lebih tepat
dan mengena, sesuai dengan kondisi yang indah pada saat pagi.

314
ASY-SYAMS 91, JUZ 30

‫ﻫﺎ‬‫ﺗﻼﻫ‬‫ﺮﹺ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺗ‬‫ﻭﺍﻟﹾﻘﹶﻤ‬‫ ﻭ‬bulan apabila mengiringinya. Maksudnya, bulan


apabila mengiringi kepergian matahari. Bulan dengan cahayanya yang
lembut, indah, bersih. Antara bulan dan hati manusia terdapat cinta lama
yang begitu mendalam dan berkesan, akarnya menghujam sampai ke
dalam hati yang paling dalam. Cinta itu akan muncul dan bangkit dalam
setiap kondisi dan keadaan. Keadaan ini tumbuh dan berkembang
karena bulan tetap bertasbih kepada Khalik, dan hati yang suci selalu
mendengarkan suara tasbih itu dalam cahaya bulan yang indah. Hati
yang suci terkadang bertasbih bersama dengan cahaya bulan di malam
hari yang sunyi. Tasbih yang membersihkan seluruh karat hati, dan
membangkitkan kembali jiwa cinta kepada Ilahi.
‫ﻫﺎ‬‫ﺟﻼﻫ‬‫ﻬﺎﺭﹺ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺟ‬‫ﻬ‬‫ﻭﺍﻟﻨ‬‫ ﻭ‬siang apabila menampakkannya. Ayat ini menegaskan
bahwa ayat pertama dari surat ini yang berisikan tentang dhuha adalah
pagi, bukan waktu siang. Kata ganti ha/nya dalam ayat ini kembali
kepada matahari yang terdapat pada ayat pertama. Tapi, terkadang bila
kita renungi kata ganti ini dapat juga diarahkan kepada kulit bumi yang
terbentang, karena siang akan menampakkan semua yang ada di
permukaan kulit bumi dan membentangkannya secara jelas. Siang bagi
kehidupan manusia memiliki fungsi yang begitu jelas, namun karena
rutinitas fungsi yang begitu jelas ini sering terlupakan, maka ayat suci
Alquran ini mengingatkan kembali apa yang pernah dilupakan itu, guna
menjadi renungan akan kuasa Allah di balik tanda-tanda alam ini.
‫ﻫﺎ‬‫ﺸﺎﻫ‬
‫ﺸ‬‫ﻐ‬‫ﻞﹺ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﻳ‬‫ﻭﺍﻟﻠﱠﻴ‬‫ ﻭ‬malam apabila menutupinya. Ini merupakan contoh
kekuasaan Allah yang lain. Menutup lalu menampakkan. Malam
bagaikan selimut yang menutup dan menyembunyikannya. Malam
memiliki fungsi yang tidak kalah pentingnya dibandingkan siang.
‫ﻫﺎ‬‫ﻨﺎﻫ‬‫ﻨ‬‫ﻣﺎ ﺑ‬‫ﻣ‬‫ﻤﺎﺀ ﻭ‬‫ﻤ‬‫ﻭﺍﻟﺴ‬‫ ﻭ‬langit serta pembinaannya. Pada ayat ini Allah
bersumpah dengan nama langit serta pembinaannya. Saat disebut kata
langit, maka kita memahaminya dengan segala sesuatu yang ada di atas
kita. Ia bagaikan atap kubah yang dihiasi dengan bintang-bintang yang
bersinar dan berkelap-kelip. Adapun hakikat langit, kita tidak dapat
mengetahuinya secara pasti. Kondisi langit yang saling menopang satu
sama lain yang begitu kokoh dan tidak goyah sangat layak bila disifati
dengan bangunan yang kuat dan padu. Adapun bagaimana kondisi
langit, bagaikan bangunan yang kuat dan padu, siapa yang menyangga
langit-langit itu hingga tidak runtuh, maka kita tidak tahu sama sekali.
Semua yang kita dengar adalah teori-teori yang masih mungkin

315
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

diperdebatkan. Namun satu yang pasti, bahwa di balik itu semua ada
tangan Allah.
Sungguh, Allah yang menahan langit dan bumi agar tidak lenyap; dan
jika keduanya akan lenyap tidak ada seorang pun yang mampu
menahannya selain Allah. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha
Pengampun. (QS Fâthir [35]: 41) Inilah ilmu yakin yang dapat dijadikan
pedoman.
‫ﻫﺎ‬‫ﺤﺎﻫ‬
‫ﻣﺎ ﻃﹶﺤ‬‫ﻣ‬‫ﺽﹺ ﻭ‬‫ﻭﺍﻷَﺭ‬‫ ﻭ‬bumi serta penghamparannya. Allah juga bersum-
pah atas nama bumi dan hamparannya. Terhamparnya bumi adalah satu
hakikat yang nyata untuk menyatakan bahwa bumi itu bulat.
Terhamparnya bumi menyebabkan manusia dan seluruh makhluk bumi
dapat layak hidup di atasnya. Kelayakan ini tidak lepas dari kekuasaan
dan kehendak Allah. Secara nyata kita dapat melihat bila saja satu
bagian dari planet ini menyimpang dari peredarannya, maka bumi
sebagai tempat kita menetap akan berjalan tidak sesuai dengan baik.
Terhamparnya bumi dapat kita lihat pada QS an-Nâzi’ât [79]: 30-31.
Allah yang membuat bumi terhampar, dan Allah juga yang
menyebabkan air ada dan ternak dapat hidup di bumi ini. Bila kita
renungi hamparan bumi dan mengingat kuasa Allah di balik itu semua,
tentu hati ini akan mengakui keagungan Allah sebagai Pencipta alam.
Setelah sumpah atas nama alam semesta dengan apa yang terkait
dengannya, maka pada ayat berikut ini Allah bersumpah atas nama jiwa
manusia. Dikaitkan jiwa dengan alam merupakan kesatuan pesan
kepada manusia untuk menggunakan jiwa dan hati sebaik mungkin agar
selaras dengan alam dalam bertasbih kepada Allah.
Jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,
sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
Empat ayat ini ditambah dengan ayat pada surat al-Insân [76]: 3,
surat as-Shâd [38]: 71-72, al-Muddatsir [74]: 38 dan ar-Ra’ad [13]: 11
menampilkan perspektif Islam tentang hakikat manusia beserta
kriterianya.
Manusia adalah makhluk yang memiliki potensi ganda dan
kemampuan ganda serta tujuan ganda. Yang kita maksud dengan ganda
adalah walaupun dia makhluk yang diciptakan dengan tanah, dan
ditiupkan ruh Allah ke dalamnya, tapi dia memiliki potensi yang sama
kuat untuk melakukan tindakan positif atau tindakan negatif, kebaikan

316
ASY-SYAMS 91, JUZ 30

atau keburukan, mengikuti petunjuk atau kesesatan. Manusia dalam hal


ini dapat membedakan mana baik dan mana buruk, sebagaimana dia
mampu untuk melakukan kebaikan dan keburukan. Kemampuan ini
bersemayam di dalam diri manusia. Alquran terkadang
mengungkapkannya dengan istilah ilham, sesuai dengan ayat kita saat
ini, atau dengan istilah hidayah, lihat QS al-Balad [90]: 10.
Kata ilham atau hidayah dalam ayat ini lebih sesuai bila
diterjemahkan dengan potensi. Memang bukan manusia yang
menciptakan potensi, potensi itu diciptakan Allah di dalam jiwa
manusia, sehingga dia dapat menggunakannya sesuai dengan hidayah
atau selera.
Di samping potensi yang terdapat di dalam diri setiap individu
manusia, maka pada ayat ini juga diterangkan konsekuensi dari setiap
tindakan yang dikeluarkan dari potensi itu. Barang siapa yang
menggunakan potensi positif untuk menyucikan jiwa, melaksanakan
kebaikan dan berusaha untuk melawan potensi negatif, maka dia
beruntung. Barang siapa yang mengikuti petensi negatif maka dia telah
merugi. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
Tujuan dari disebutkannya konsekuensi ini agar benih-benih
kebaikan dapat tumbuh subur di bumi ini. Di sisi lain, untuk
menegaskan bahwa setiap tindakan tidak lepas dari konsekuensinya.
Merupakan rahmat Allah yang mulia, Dia tidak meninggalkan
manusia hidup berdasarkan pada potensi diri yang dimilikinya semata,
tapi Dia menolong setiap langkah kaki manusia kepada jalan yang benar
dengan risalah Ilahi agar timbangan dan penilaian itu tetap dapat dilihat
secara jernih dan benar. Agar iman tetap menjadi anutan, hidayah
menjadi jalan hingga dapat melihat kebenaran dengan gambar yang
sebenarnya. Dengan risalah Allah jalan menjadi begitu jelas tanpa ada
keraguan, hingga hidup yang sekali ini dapat diarahkan kepada arah
yang sebenarnya yaitu meraih rida-Nya.
Gambaran di atas ini merupakan satu bentuk kehendak Allah pada
diri manusia, setiap apa yang terjadi di lingkaran itu semua pada
hakikatnya tidak pernah lepas dari kehendak dan kuasa Allah juga.
Perspektif ini pada puncaknya menetapkan beberapa hakikat yang
bernilai tinggi dalam pendidikan Islam. Pertama, mengangkat derajat
kemanusiaan manusia. Pada saat manusia dapat melakukan kejahatan,
tapi dia malah melakukan kebaikan, tentu saja kondisi ini, manusia
adalah makhluk yang mulia. Manusia memiliki ikhtiar di dalam bingkai

317
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

kehendak Allah, di mana dia bebas memilih yang baik di saat dia dapat
saja memilih yang buruk. Pilihan baik ini merupakan cerminan dari ruh
yang ditiupkan Allah pada diri manusia dan diciptakan mereka dengan
tangan-Nya. Kebaikan yang dilakukan manusia merupakan
keistimewaan mereka dibandingkan seluruh makhluk di alam ini
termasuk malaikat.
Kedua, Setiap potensi yang dimiliki manusia memiliki konsekuensi
logis. Semua konsekuensi yang diterima tidak pernah lepas dari pilihan
terhadap potensi ganda yang dimilikinya di bawah kehendak Allah.
Sebagaimana telah kita terangkan sebelumnya. Dia yakin benar bahwa
kekuasaan Allah tidak pernah lepas dari tindak tanduknya, tapi di sisi
lain dia sangat paham bahwa dirinya tidak akan berubah, kalau dia tidak
merubahnya sendiri. Lihat QS ar-Ra’ad [13]: 11.
Ketiga, menyadarkan manusia untuk rujuk kepada timbangan Tuhan
yang stabil. Agar dia tetap yakin bahwa jiwanya tidak mendustainya.
Tujuannya, agar dia tidak terjerembab ke jurang kehancuran, dan agar
dia tetap berada dekat dengan Allah, mendapatkan petunjuk dari
hidayah-Nya, mendapatkan sinar yang menerangi hingga akhir
perjalanan.
Bila demikian adanya, manusia akan sampai pada pensucian jiwa
dengan cahaya Tuhan hingga bersinar terang.***

318
AL-LAYL 92, JUZ 30

SURAT 92
AL-LAYL
(MAKKIYAH)

319
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

320
AL-LAYL 92, JUZ 30

Surat al-Layl ini adalah surat yang menjelaskan tentang hakikat


kerja dan konsekuansinya berupa balasan dan ganjaran. Hakikat kerja
dan konsekuwensinya itu adalah sesungguhnya usaha kamu memang
berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan
Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik
(surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.
Adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup,serta
mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan
baginya (jalan) yang sukar.
Konsekuensi itu tidak hanya terbatas di dunia tapi juga merambat
hingga ke akhirat. Maka Kami memperingatkan kamu dengan neraka
yang menyala-nyala. Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang
yang paling celaka, yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari
iman). Kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu,
yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya.
Sebagaimana kehidupan manusia ini memiliki dua warna, maka
Allah memulai ayat ini juga dengan dua warna alam yang berbeda.
Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila
terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan.***

USAHA MANUSIA YANG TERPENTING IALAH


MENCARI KEREDAAN ALLAH
(QS al-Layl [92]: 1-11)
 rqponmlkjihgf
 ~}|{zyxwvuts
 ª©¨§¦¥¤£¢¡
µ´³²±°¯®¬«
Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila
terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan,
sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. Adapun orang
yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan
membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami
kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Adapun orang
-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan
pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya

321
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

(jalan) yang sukar. Hartanya tidak bermanfaat baginya apabila


ia telah binasa.
Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila
terang benderang. Allah bersumpah dengan dua warna alam: malam
dan siang, kedua warna ini memiliki ciri khas yang kontras dan dapat
kita saksikan. Malam saat menutupi permukaan bumi maka ia akan
menyembunyikannya. Siang saat menampakkan bumi maka ia
memperjelas segala sesuatu yang tadinya remang. Keduanya kondisi
alam yang sangat bertolak belakang, yang terjadi akibat revolusi dan
rotasi bumi. Akibat dari peredaran bumi ini pada matahari dan diri
sendiri serta beredarnya bulan mengelilingi bumi terjadilah kondisi yang
berbeda dan muncul konsekuensi dari perbedaan kondisi ini.
‫ﻭﻭﺍ ُﻷﻷﻧﹶﺜﺜﻰ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻖ ﺍﻟﺬﱠﻛﹶ‬ ‫ﺧ ﹶﻠ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ﻭ‬ penciptaan laki-laki dan perempuan. Kemudian
Allah bersumpah dengan makhluknya yang berlainan jenis kelamin: laki
-laki dan perempuan. Kondisi manusia yang terdiri dari laki-laki dan
perempuan ini sebagai kondisi penyempurna dari kondisi sebelumnya.
Siang dan malam dua fenomena yang dapat membangkitkan
kesadaran manusia untuk merenung dan memikirkan siapa pencipta di
balik keindahan dan keunikan alam ini. Jiwa manusia pasti akan
berkesan dengan berpindahnya alam dari malam ke siang dan dari siang
ke malam, malam yang menyelimuti dan siang yang menampakkan.
Fanomena ini akan memberi perenungan dan pembelajaran akan
rahasia di balik alam, di mana manusia tidak mampu untuk
melakukannya, manusia yakin bahwa di balik peristiwa ini ada Zat yang
Mahakuasa yang dapat menggerakkan matahari, bumi dan bulan serta
planet lainnya. Di sana ada Zat yang mampu merubah malam menjadi
siang dan siang menjadi malam dengan penuh disiplin yang detail. Bukti
bahwa Zat itu tidak menciptakan segala sesuatu secara cuma-cuma.
Walaupun kaum atheis mengingkari keberadaan Tuhan pencipta
alam dengan berusaha menafikan peran tuhan di dalam penciptaan ini,
tapi tetap saja hati manusia tidak dapat dibohongi. Dia tetap merenugi
siapa pencipta alam ini, dia akan mengamati perubahan dan
peredarannya, dari perenungan dan pengamatan ini tumbuh satu
kesimpulan bahwa di sana ada Pencipta. Akhirnya, hati akan mengakui
keberadaan Tuhan walaupun hawa nafsu mencoba untuk menafikannya.
Begitu juga dengan penciptaan laki-laki dan perempuan. Manusia
diciptakan dari sperma yang menempel di rahim ibu dan menyatu
dengan ovum, walau pun dari dua hal yang berbeda: sperma dan ovum

322
AL-LAYL 92, JUZ 30

tapi tetap saja di sana ada kuasa Tuhan yang menetapkan ini akan
menjadi bayi laki-laki dan ini manjadi bayi perempuan.
Proses bayi tabung tidak dapat memastikan bahwa bayi yang akan
lahir dari proses itu akan pasti seperti apa yang diinginkan untuk
menjadi bayi ini laki-laki atau yang itu perempuan. Tidak ada istilah
kebetulan dalam penciptaan manusia. Kalau pun disebut kebetulan, tapi
kebetulan itu memiliki aturan dan tata cara sehingga tidak mungkin ia
terjadi secara kebetulan murni. Bila demikian halnya, maka manusia
terlahir sebagai laki-laki atau perempuan berkat kuasa Allah yang
memiliki hikmat di balik kelahiran itu.
Sifat laki-laki dan perempuan tidak saja dimiliki oleh manusia,
semua makhluk hidup termasuk di dalamnya hewan dan tumbuh-
tumbuhan bahkan benda memiliki unsur laki-laki dan perempuan atau
jantan dan betina atau positif dan negatif. Ini merupakan keagungan
ciptaan Tuhan.
Ini merupakan fenomena alam yang dapat disaksikan oleh manusia,
dan ini merupakan hakikat manusia di mana Allah bersumpah atas
keagungan penciptaan itu, dan keindahan bentuk itu. Kedua hal ini
fenomena siang malam dan laki-laki perempuan menjadi bingkai untuk
menjelaskan hakikat amal dan balasannya di dunia dan di akhirat.
Allah bersumpah dengan fenomena alam yang kontras dan
penciptaan manusia yang berbeda jenis untuk menegaskan bahwa
profesi manusia itu bermacam ragam, hingga balasan dari setiap profesi
itu pun beragam. Yang baik tidak akan sama dengan yang buruk, yang
mendapat hidayah tidak sama dengan yang memilih kesesatan. Yang
reformis tidak sama dengan perusak, tidak sama antara dermawan yang
takwa dengan orang yang pelit dan angkuh. Tidak sama antara yang
jujur dan menenteramkan dengan pendusta dan menakutkan. Setiap
yang mengikut pada satu jalan dia akan sampai pada tujuan itu serta
meraih konsekuensinya.
‫ﺘﺘﻰ‬‫ﺸ‬
 ‫ ﻟﹶ‬‫ﻴ ﹸﻜﻢ‬‫ﻌ‬ ‫ﺳ‬ ‫ ﹺﺇ ﱠﻥ‬sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda.
Berbeda dalam hakikat, berbeda dalam visi dan misi, berbeda dalam
motivasi, hingga berbeda pula dalam hasil. Manusia memiliki karakter
yang berbeda satu sama lain, berbeda sumber pendapatannya, berbeda
sudut pandangnya, berbeda pula sudut perhatiannya, hingga seakan-
akan tiap individu manusia itu hidup di alam yang khusus di planet yang
khusus baginya.
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan

323
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka


Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun
orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan
pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya
(jalan) yang sukar.
Semua yang kita sebutkan sebelumnya adalah hakikat, dan pada
ayat di atas juga hakikat. Semua hakikat yang tertuang pada ayat sebe-
lumnya bersifat umum dan global hingga dikhususkan dan dirincikan
menjadi dua bagian besar. Dua bagian yang saling berseberangan.
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan
bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga),
dengan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup,
serta mendustakan pahala yang terbaik.
Barang siapa yang telah memberi jiwa dan hartanya dan takut
terhadap murka Tuhan serta azab-Nya, dia yakin dengan akidah ini saat
disampaikan kepadanya maka dia akan mendapatkan husna/kebaikan
terbaik dan menjadi ciri khas bagi dirinya. Sebaliknya, barang siapa
yang bakhil untuk mengorbankan diri dan hartanya, dan enggan
mendekatkan diri kepada Allah untuk meraih petunjuk dan hidayah-
Nya, lebih jauh lagi malah mendustakannya dan mendustakan akhirat
maka dia akan menyesal selamanya.
Inilah dua tipe umat manusia yang selalu ditemui dalam hidup
bermasyarakat. Setiap manusia memiliki hati dan jiwa, hingga setiap
dari mereka akan berbeda usaha, cara dan tujuan untuk mencapai hidup
ini. Begitu juga dari usaha yang berbeda-beda ini timbul dua bagian
besar, di mana setiap bagian darinya memiliki jalan dan cara menggapai
jalan tersebut.
Bagi orang dermawan dan bertakwa serta mengakui surga di akhirat,
dia akan mengerahkan sekuat tenaga untuk meraih hadayah Allah dan
kesucian jiwa, hingga dia berhak mendapat kemudahan dan pertolongan
dari Allah. Dia akan dimudahkan Allah hingga mencapai apa yang
dicita-citakannya. Dia hidup di dunia ini dengan kemudahan, hingga
kemudahan itu melimpah kepada orang-orang yang berada di
sekitarnya. Mudah dalam melangkah, mudah dalam berjalan, mudah
dalam menyelesaikan setiap masalah. Dia mendapat keberkatan di setiap
partikel bahkan keseluruhan pekerjaan yang dia lakukan. Dia akan
mendapatkan jalan yang mudah bersama Rasulullah yang telah
dijanjikan Tuhan kepadanya. ‫ﺮﻯ‬‫ﺮ‬‫ﺴ‬‫ﻠﹾﻴ‬‫ ﻟ‬‫ﻩ‬‫ﺮ‬‫ﺴ‬‫ﻴ‬‫ﻨ‬‫ ﻓﹶﺴ‬Kami kelak akan

324
AL-LAYL 92, JUZ 30

menyiapkan baginya jalan yang mudah.


Barang siapa yang enggan mengorbankan jiwa dan hartanya, dan
tidak memerlukan Tuhan serta mendustakan dakwah para rasul hingga
pada puncaknya dia gemar berbuat rusak, hingga Allah mempersusah
jalan kebaikan baginya. Atau Allah memudahkan jalan kesukaran,
memberkatinya untuk terus terjerumus dalam bisikan nafsu dan godaan
birahi. Dia tidak dapat lagi berpikir sehat dan wajar. Setiap jalan
kebaikan yang dilalui selalu sukar dan berat. Dia menduga bahwa dia
sedang berjalan di jalan yang membuatnya bahagia, padahal sebenarnya
dia lagi menuju jalan menderita, karena menjauh dari Allah dan tidak
mendapat rida-Nya. Bila demikian adanya, maka tiada guna harta yang
dia kumpulkan dan tiada guna kemandirian tanpa bernaung di bawah
rida Allah.
‫ﺩﻯ‬‫ﺩ‬‫ﺮ‬‫ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺗ‬‫ﻣﺎﻟﹸﻪ‬‫ ﻣ‬‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ﻨﹺﻨﻲ ﻋ‬‫ﻐ‬‫ﻣﺎ ﻳ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia
telah binasa. Dimudahkan jalan untuk melakukan kemaksiatan dan
kekufuran merupakan kemudahan menuju kesulitan. Bila dia berhasil di
dunia ini dan selamat, tapi apakah dia bahagia di neraka? Tentu dia
menderita dan sangat susah.
Demikianlah berakhir penggalan pertama dari surat al-Layl ini,
terlihat jelas dua jalan yang akan dilalui manusia yang pasti ada di
setiap masa dan waktu. Kedua jalan ini bagaikan dua pasukan yang
memiliki dua bendera yang memiliki corak dan warna yang beragam.
Setiap manusia bekerja dan berusaha, dan Allah memudahkan jalan
usahanya itu, baik menuju kebaikan atau kejahatan. ***

(QS al-Layl [92]: 12-21)


 ÃÂÁÀ¿¾½¼»º¹¸¶
 LKJIHGFEDCBA
 XWVUTSRQPONM
a`_^]\[ZY
Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk, dan
sesungguhnya kepunyaan Kamilah akhirat dan dunia. Maka Kami
memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala. Tidak
ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka,

325
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman). Dan


kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu,
yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk
membersihkannya, padahal tidak ada seorangpun memberikan
suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia
memberikan itu semata-mata) karena mencari keridaan
Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar
mendapat kepuasan.
Penggalan kedua dari surat ini mengisahkan tentang akhir dari
perjalanan setiap pasukan. Terbuka lebar akhir perjalanan bagi orang
yang dimudahkan Allah untuk berjalan pada jalan kebaikan, dan
dipersukar Allah pasukan yang lain untuk berjalan pada jalan kebaikan.
Setiap orang akan mendapat balasan yang adil dan bijaksana. Itu pasti
terjadi dan nyata. Keadilan Allah terlihat jelas pada waktu itu karena
jauh-jauh hari Dia telah menjelaskan kepada manusia hidayah yang
harus ditempuh dan Dia juga telah memperingati bahaya neraka yang
harus dihindari.
‫ﺪﻯ‬‫ﺪ‬‫ﻨﺎ ﻟﹶﻠﹾﻬ‬‫ﻨ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﺇﹺﻥﱠ ﻋ‬sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk.
Allah telah mewajibkan bagi Zat-Nya –sebagai wujud karunia dan
rahmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya- untuk memberikan hidayah
kepada jiwa dan kesadaran manusia, yaitu dengan mengutus para rasul
dan menurunkan kitab suci, hingga tidak ada alasan bagi seseorang
setelah itu. Ini bukti bahwa Tuhan tidak pernah menzalimi manusia, saat
Dia menghukum mereka.
‫ﻭﻭﺍ ُﻷﻷﻭﹶﻟﻟﻰ‬ ‫ﺮ ﹶﺓ‬ ‫ﺧ‬ ‫ﻨﺎ ﹶﻟﻟﻶ‬‫ﺇﹺﻥﱠ ﻟﹶﻨ‬‫ ﻭ‬sesungguhnya kepunyaan Kamilah akhirat dan
dunia. Sentuhan kedua ialah penegasan yang absolut bahwa Penguasa
dan Pemilik yang hakiki di dunia dan akhirat adalah Allah. Tidak ada
tempat bagi orang yang ingin menjauhkan diri dari Allah.
‫ﺗ ﹶﻠ ﱠﻈﻈﻰ‬ ‫ﺭﺭﺍ‬ ‫ﻧﺎ‬‫ ﻧ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﺗ‬‫ ﻓﹶﺄﹶﺄﻧﺬﹶﺭ‬Kami memperingatkan kamu dengan neraka yang
menyala-nyala. Setelah Allah menjelaskan bahwa kewajiban Zat-Nya
untuk memberi hidayah bagi manusia, bahwa Dia Pemilik hakiki di
dunia dan di akhirat, sebagai penyempurna Dia mengingatkan bahaya
neraka bila melakukan kedurhakaan dan kemaksiatan.
Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling
celaka. Paling celaka dari seluruh makhluk yang pernah hidup. Tidak
ada makhluk yang paling celaka melebihi manusia yang masuk ke
dalam neraka!?

326
AL-LAYL 92, JUZ 30

Kemudian Allah menjelaskan siapa orang yang paling celaka itu.


Y a ng men du st ak an (ke ben a ra n) d an be r pali ng ( da r i i m an ) .
Mendustakan dakwah Islam dan berpaling dari hidayah dan petunjuk
Tuhan.
‫ﺗ ﹶﻘﻘﻰ‬‫ﻬﺎ ﺍ َﻷ‬‫ﻬ‬‫ﺒ‬‫ﻨ‬‫ﺠ‬‫ﻴ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari
neraka itu. Ini adalah golongan yang paling berbahagia, lawan dari
golongan yang paling celaka dan menderita. Selanjutnya Allah
menegaskan siapa golongan yang berbahagia itu.
‫ﺰ ﱠﻛﻛﻰ‬ ‫ﺘ‬‫ﻳ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻣﺎﹶﻟ‬‫ﺗﺗﻲ ﻣ‬‫ﺆ‬‫ﺬﻱ ﻳ‬‫ ﺍﻟﱠﺬ‬yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk
membersihkannya. Orang yang mengeluarkan hartanya agar menjadi
bersih, bukan untuk riya dan pamer, atau sombong dan angkuh. Dia
berinfak bukan untuk mengharap balas dan ucapan syukur dari orang
lain, tapi semata-mata mengharapkan rida Allah.
Padahal tidak ada seorangpun memberikan suatu nikmat
kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-
mata) karena mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi. Apa yang
dinantikan oleh orang yang bertakwa ini? Apa yang diharapkan orang
yang berinfak yang mengharapkan rida Allah? Alquran menceritakan
balasan yang unik dan manarik bagi mereka semua. Unik karena tidak
biasa, menarik karena luar biasa.
‫ﺿﻰ‬
‫ﺿ‬  ‫ﺮ‬ ‫ ﻳ‬‫ﻑ‬‫ﻮ‬‫ﻟﹶﺴ‬‫ ﻭ‬kelak dia benar-benar mendapat kepuasan. Balasan itu
adalah keridaan yang merasuk ke dalam hati mukmin yang bertakwa.
Rida yang meragi jiwanya hingga merasuk ke dalam seluruh sendi dan
raganya. Rida yang memancarkan semangat dan gairah hidup.
Bukankah ini balasan yang unik dan menarik. Bukankah ini balasan
yang luar biasa!?
Kelak dia benar-benar mendapat kepuasan. Orang yang beriman
dan bertakwa serta berderma akan rida dengan ketetapan agama, rida
terhadap Tuhannya, rida terhadap takdir, rida terhadap apa yang
didapatnya, rida di saat susah dan di saat lapang, rida di saat kaya dan di
saat miskin, rida di saat mudah dan di saat sukar, di saat bencana dan
bahagia, rida dan tidak ada rasa gelisah, rida tidak ada rasa terhimpit,
rida tidak tergesa-gesa, rida tidak mengeluh, rida tidak menghindar dari
realita dan kenyataan, rida dengan berani menyongsong masa depan dan
meraih harapan serta tujuan.
Rida adalah balasan tertinggi dari balasan dan ganjaran yang ada.
Balasan yang layak diterima dari orang yang berani mengorbankan jiwa

327
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

dan hartanya, bagi orang yang mau berderma, bagi orang yang berbuat
hanya mengharapkan rida Allah.
Balasan ini tidak akan diberi kecuali hanya Allah yang mampu
memberinya, Dia meletakkan rasa rida itu di dalam hati orang yang
ikhlas beramal hanya untuk-Nya, hingga dalam setiap amal itu tidak ada
yang terlihat di mata hatinya kecuali Allah.
Kelak dia benar-benar mendapat kepuasan. Rida terkadang harus
dibayar dengan harga yang mahal. Terkadang harus memberi segala apa
yang dimiliki untuk diberikan. Ini suatu yang mengagetkan dan
mengejutkan, tapi modal yang besar ini akan meraih untung yang besar
pula. Semoga kita diberikan Allah hati yang rida, dan kita mendapatkan
rida dari-Nya.
Ya Allah, kami telah rida kepada-Mu, maka ridailah kami, dan
jadikan kami orang-orang yang rida kepada-Mu, wahai Zat yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang.***

328
ADH-DHUHÂ 93, JUZ 30

SURAT 93
ADH-DHUHÂ
(MAKKIYAH)

329
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

330
ADH-DHUHÂ 93, JUZ 30

Sekarang pembaca bersama surat adh-Dhuha. Surat ini dengan tema,


ungkapan dan peristiwa yang tertuang di dalamnya -dalam suasana
kelam dan cerah- merupakan sentuhan kasih dan penggalan rahmat,
bongkahan cinta, yang menghapus duka lara. Kisah ini berakhir dengan
rela, optimis dan semangat. Ditambah dengan keyakinan penuh,
ketenagan dan kedamaian.
Surat ini semua bercerita tentang kehidupan Nabi Muhammad.
Semuanya bercerita tentang pengayoman dari Allah, Tuhannya. Sebagai
wujud hiburan dan pelipur lara serta obat penenang jiwa. Sekali lagi ini
merupakan sentuhan kasih dan penggalan rahmat, serta bongkahan cinta
dari Allah bagi jiwa yang letih.
Ditemukan dalam banyak riwayat bahwa ada masa di mana wahyu
terputus sesaat, hingga kaum musyrik berkata: “Tuhan Muhammad telah
meninggalkan dirinya.” Maka turunlah ayat ini untuk menegaskan
bahwa Allah tidak pernah meninggalkan diri Nabi Muhammad. Ada
beberapa alasan yang menegaskan bahwa Allah tidak pernah
menelantarkan Nabi Muhammad: Pertama, Allah melindunginya saat dia
berstatus seorang yatim. Kedua, Dia memberikan petunjuk saat Nabi Mu-
hammad bingung. Ketiga, Dia memberikan kecukupan saat mendapati-
nya sebagai seorang yang kekurangan. Ini semua telah terlihat jelas
dalam jejak kehidupan dirinya.
Allah tidak pernah menelantarkan Nabi Muhammad. Karunia Allah
tidaka akan pernah terputus baginya. Ini terlihat nyata. Lebih dari itu,
ada karunia yang lebih besar dan lebih sempurna, yaitu karunia di akhi-
rat. Puncak dari segala nikmat itu adalah kerelaan Allah.
Surat ini telah melukiskan tentang perjalanan hidup Nabi
Muhammad dengan ungkapan yang sangat baik, ditambah dengan
lukisan dhuha dan waktu malam yang sunyi, agar kelembutan, kasih
sayang dan cinta dapat dilukis dengan jelas dan terang.
Kelembutan, kasih sayang dan cinta yang merasuk di relung-relung
kisah yang menggugah dalam ungkapan yang lembut, telah
digambarkan dalam dhuha dan malam yang sunyi, agar perernungan
dapat dilakukan dengan baik dan benar: masa kecil yang yatim, bingung
tanpa petunjuk, kemiskinan yang mencekam; semuanya sirna dengan
datangnya waktu dhuha. Lukisan kehidupan yang rumit dan penuh
pengorbanan, tapi berujung dengan kebahagiaan. Sungguh merupakan
lukisan yang apik dan saling melengkapi, hingga terlihat sempurna.
Keindahan lukisan ini untuk menegaskan bahwa di sana ada Allah.

331
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

BEBERAPA NIKMAT YANG DIANUGERAHKAN


KEPADA NABI MUHAMMAD SAW
(QS adh-Dhuhâ [93]: 1-5)
ponmlkjihgfedcb
xwvutsrq
Demi waktu du¥± (ketika matahari naik sepenggalah), dan demi
malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tidak meninggalkan engkau
(Muhammad) dan tidak (pula) membencimu, dan sungguh, yang
kemudian itu lebih baik bagimu dari yang permulaan. Dan sung-
guh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu,
sehingga engkau menjadi puas.
‫ﺠﻰ‬
‫ﺠ‬‫ﻞﹺ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺳ‬‫ﻭﺍﻟﻠﱠﻴ‬‫ﺤﻰ ﻭ‬
‫ﺤ‬‫ﻭﺍﻟﻀ‬‫ ﻭ‬demi waktu dhuha (ketika matahari naik sepeng
galah), dan demi malam apabila telah sunyi. Allah bersumpah dengan
dua waktu ini agar terikat dengan kondisi alam dengan perasaan jiwa.
Agar masuk ke dalam jiwa manusia ke alam semesta yang indah dan
menawan ini. Interaksi dengan segala sesuatu yang hidup. Agar hati itu
tetap hidup dalam kedamaian dengan alam ini, tidak liar dan buas.
Surat ini sendiri mencerminkan kedamaian. Damai adalah tujuan dari
surat ini, seakan-akan Allah mewahyukan kepada Rasul-Nya sejak awal
surat bahwa Dia telah melimpahkan kedamaian pada alam semesta,
maka kemudian Muhammad tidak perlu merasa asing dan takut.
‫ﻣﻣﺎ ﹶﻗ ﹶﻠﻠﻰ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻚ‬
 ‫ﺑ‬‫ ﺭ‬‫ﻚ‬‫ﻋ‬‫ﺩ‬‫ﻣﺎ ﻭ‬‫ ﻣ‬Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muham-
mad) dan tidak (pula) membencimu. Setalah pemaparan kondisi alam
yang begitu damai, datang ayat ini dalam bentuk penegasan, bahwa
Tuhanmu tidak pernah meninggalkanmu, sebagaimana dugaan orang-
orang yang menginginkan hatimu sakit. Dia adalah Tuhanmu yang
mendidik. Kamu adalah hambanya yang dinisbahkan kepada-Nya. Dia
pasti melindungi, mendidik dan menjagamu. Pemberian-Nya melimpah
di dunia ini. Di akhirat kelak kamu mendapatkan suatu yang terbaik dan
lebih baik dari apa yang ada di dunia.
‫ﻦ ﺍ ُﻷﻷﻭﹶﻟﻟﻰ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻚ‬  ‫ﺮ ﱠﻟ‬ ‫ﺧﻴ‬ ‫ﺮ ﹸﺓ‬ ‫ﻟﹶﻟﻶﺧ‬‫ ﻭ‬sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagi
mu dari yang permulaan. Kebaikan di awal dan di akhir. Dia
menyimpan untukmu apa-apa yang diridai dari taufik dalam doamu. Dia
menyingkirkan setiap rintangan di jalanmu. Dia pasti memenangkan
manhajmu, mengunggulkan kebenaran risalahmu. Walaupun ditemukan

332
ADH-DHUHÂ 93, JUZ 30

perkataan yang selalu mengusik hatimu, tapi tetaplah optimis.


Walaupun Nabi Muhammad menghadapi cacian, cobaan, penolakan
serta tipu daya, tetaplah fokus pada kerja dakwah dalam meraih rida-
Nya.
‫ﺿﻰ‬‫ﺿ‬
 ‫ﺮ‬ ‫ ﻓﹶﺘ‬‫ﻚ‬‫ﺑ‬‫ ﺭ‬‫ﻄﻴﻚ‬‫ﻄ‬‫ﻌ‬‫ ﻳ‬‫ﻑ‬‫ﻮ‬‫ﻟﹶﺴ‬‫ ﻭ‬sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberi-kan
karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas. Ayat ini
memutar kembali memori Rasulullah Saw bagaimana Allah tetap
bersamanya sejak langkah awal dakwah Islam, bahkan jauh sebelum itu.
Tujuannya agar hatinya tetap yakin bagaimana Allah berbuat yang
terbaik untuk dirinya. Bagaimana Allah begitu cinta kepadanya.
Bagaimana Allah melimpahkan kucuran nikmat untuknya, hingga
akhirnya ia dapat menikmati cinta dan kasih sayang Allah. Ini adalah
puncak nikmat yang selalu harus dikenang dalam ingatan yang
terbaik.***

(QS ad-Dhuha [93]: 6-11)


 a`_~}|{zy
 jihgfedcb
tsrqponmlk
Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia
melindungi(mu), dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bin-
gung,) lalu Dia memberikan petunjuk, dan Dia mendapatimu se-
bagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecuku-
pan. Maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku sewe-
nang-wenang. Terhadap orang yang meminta-minta janganlah eng-
kau menghardik(nya). Terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah eng-
kau nyatakan (dengan bersyukur).
Alquran berkata kepada para musuh Islam: “Kenapa kamu merasa
aneh melihat Muhammad memperoleh wahyu kemudian wahyu pun
terputus? Apakah makna terputusnya wahyu bahwa ia tidak pernah
datang lagi? Ini merupakan pengambilan kesimpulan yang salah. Saya
berikan sebuah perumpamaan yang selalu dirasakan oleh setiap
manusia. ‫ﺠﻰ‬‫ﺠ‬‫ﻞﹺ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺳ‬‫ﻭﺍﻟﻠﱠﻴ‬‫ﺤﻰ)(ﻭ‬
‫ﺤ‬‫ﻭﻭﺍﻟﻀ‬ demi waktu matahari sepenggalahan
naik, Demi waktu matahari sepenggalahan naik. Apakah tugas manusia

333
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

di waktu dhuhda dan malam? Tugas manusia diwaktu dhuha adalah


bekerja sedangkan tugas malam untuk istirahat.
Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan
untukmu malam itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan
selain Allah yang akan mendatangkan sinar terang kepadamu? Maka
apakah kamu tidak mendengar?” (QS al-Qashash [28]: 71)
Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan
untukmu siang itu terus menerus, dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan
untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu
dan supaya kamu mencari sebagian dari karunia-Nya (pada siang
hari). (QS al-Qashash [28]: 72-73)
Jadi dalam kehidupan ini terdapat usaha dan jerih payah, di samping
istirahat. Saat kita istirahat, apakah maknanya kita tidak dapat bergerak
lagi? Istirahat dari beraktivitas merupakan persiapan untuk aktivitas
selanjutnya.
Malam saat datang, kamu pun istirahat dan berdiam diri. Bukan
artinya bahwa kamu telah membunuh gerak kehidupan. Kamu hanyalah
sekedar mengambil masa penyelarasan dari gerak kehidupan sebagai
persiapan untuk gerak selanjutnya.
Apakah setelah datang malam akan berlangsung lama tiada henti;
atau datang setelah malam, waktu siang? Begitu juga dengan wahyu.
Wahyu pertama datang serasa berat bagi Nabi Muhammad, maka perlu
beberapa saat untuk memberikan masa istirahat bagi Nabi Muhammad.
Masa istirahat bukanlah masa akhir dari sesuatu tugas, tapi dia masa
untuk memberikan masa segar pada gerak berikutnya.
Waktu dhuha untuk membanting tulang dan berusaha, sedangkan
malam untuk istirahat. Bukan berarti setelah datang malam siang tak
pernah datang lagi. Jadi, demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan
demi malam ketika sunyi, Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada
(pula) benci kepadamu. Sumpah yang diucapkan itu sungguh sesuai.
Begitu juga sumpah-sumpah yang lain yang terdapat dalam Alquran.
Untuk itu ditemukan dalam Alquran ‫ﺪ‬ ‫ﺒ ﹶﻠ‬‫ﺬﹶﺬﺍ ﺍﻟﹾ‬‫ﻞﱞ ﺑﹺﻬ‬‫ ﺣ‬‫ﺖ‬‫ﺃﹶﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﻠﹶﺪ‬‫ﺬﹶﺬﺍ ﺍﻟﹾﺒ‬‫ ﺑﹺﻬ‬‫ﺴﻢ‬
ِ ‫ﻻﹶ ﺃﹸﻗﹾ‬
Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Mekah), dan kamu
(Muhammad) bertempat di kota Mekah ini. (QS al-Balad [90]: 1-2) Ia
menafikan sumpah. Kenapa? Karena bangsa Arab sangat paham dengan
esensi ayat itu. Saat saya tidak bersumpah atas sesuatu, maknanya
sangat jelas, bahwa hal itu sudah jelas dan tidak butuh dikuatkan dengan
sumpah. Kalaupun butuh terhadap sumpah, niscaya saya bersumpah

334
ADH-DHUHÂ 93, JUZ 30

dengan ini. Ketika saya tidak bersumpah maka saya tidak membutuhkan
untuk bersumpah. Untuk itu peniadaan atas suatu tuduhan merupakan
tuduhan itu sendiri.
Sebagai contoh: seorang merasa dirinya sakit pergi ke dokter, lalu
dokter menulis resep. Arti menulis resep bahwa orang itu sakit. Atau
dokter berkata: “Kamu tidak sakit jadi tidak perlu beli obat.” Begitu
juga di sini, karena semuanya cukup jelas, maka tidak dibutuhkan lagi
sumpah. Ketika seseorang cukup sehat, maka ia tidak perlu obat.
Dalam surat utama ini ditemukan rahasia yang sungguh menarik,
yaitu: satu sumpah disertai dengan sembilan tanda. Sumpah yang satu
ialah demi waktu matahari sepenggalahan naik, demi malam yang sunyi
sedangkan jawaban dari sumpah, Tuhanmu tiada meninggalkan kamu
dan tiada (pula) benci kepadamu, dan sesungguhnya akhir itu lebih baik
bagimu dari permulaan. Kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya
kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas. (QS 93: 3-5).
Di sini ditemukan 3 ayat. Ketika ayat ini merupakan keputusan
Allah, bertendensi murka kepada kaum kafir. Tuhanmu tiada
meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu maknanya yang
akan datang jauh lebih baik dari yang telah pergi. Kelak Tuhanmu pasti
memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.
Tidak terbatas sampai di sini saja, tapi ada tiga perkara setiap
perkara berisikan dalil. Pertama, Bukankah Dia mendapatimu sebagai
seorang yatim, lalu Dia melindungi(mu). (QS 93: 6) Saat itu Nabi
Muhammad belum berstatus rasul dan status lainnya, tapi Allah tidak
pernah meninggalkanmu. Maka bila akhirnya kamu diutus sebagai
Rasul bagaimana mungkin kamu ditelantarkannya? Ini merupakan
penekanan atas firmanNya: Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan
tiada (pula) benci kepadamu.
Kedua, ialah Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu
Dia memberikan petunjuk, yang berdampak pada sesungguhnya akhir
itu lebih baik bagimu dari permulaan. Karena hidayah yang terbaik
adalah keridaan.
Ketiga, ialah: Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan,
lalu Dia memberikan kecukupan, yang berdampak pada kelak Tuhanmu
pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi
puas.
Selama engkau tidak pernah ditelantarkan Tuhanmu, buktinya yang
paling akurat terjadi saat engkau yatim yang diselamatkan, maka Allah

335
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

berfirman ‫ﺮ‬ ‫ﻘﹾﻬ‬‫ ﻓﹶﻼﹶ ﺗ‬‫ﺘﻴﻢ‬‫ﺘ‬‫ﻣﺎ ﺍﻟﹾﻴ‬‫ ﻓﹶﺄﹶﻣ‬adapun terhadap anak yatim maka janganlah
kamu berlaku sewenang-wenang.
Ini merupakan permintaan, seakan-akan ketiga ayat tadi diurut
seperti ini. Ayat pertama berdampak pada ayat ke dua, ayat kedua
berdampak pada ayat ketiga. Letakkanlah di bawah ayat pertama ayat
keempat, kelima dan keenam, dilanjutkan dengan tujuh, delapan dan
sembilan, ditemukan yang pertama datang dari Allah dibuktikan dengan
dalil serta dilanjutkan dengan permintaan. Dia mendapatimu sebagai
seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk selama mendapat
hidayah terhadap orang yang minta-minta maka janganlah kamu
menghardiknya. Selama Dia mendapatimu sebagai seorang yang
kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan, maka terhadap nikmat
Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan
bersyukur). (QS 93: 11) Seakan-akan nikmat akan terus terkucur, yang
diminta darimu untuk menuturkannya agar musuh Islam murka.***

336
ASY-SYARH 94, JUZ 30

SURAT 94
ASY-SYARH
(MAKKIYAH)

337
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

338
ASY-SYARH 94, JUZ 30

Surat ini turun setelah surat adh-dhuhâ, seakan-akan ia


penyempurna baginya. Di dalam surat ini ditemukan panggilan Maha
Kasih kepada sang kekasih. Di dalamnya terdapat pesan perlindungan
dan pengayoman. Di dalam surat ini ditemukan juga kabar gembira
berupa kemudahan dan bantuan. Di dalamnya juga ditemukan rahasia
bahwa hidup ini mudah selama memiliki pegangan hidup yang kokoh.
Surat ini memberi pesan bahwa jiwa nabi Muhammad merasa
tertekan terkait dalam urusan dakwah yang diembannya, dan rintangan
yang di hadapainya. Surat ini mengesankan bahwa ambisi nabi agar
semua beriman menyebabkan dia menanggung beban di luar batas
kemampuannya. Dia memerlukan pencerahan dan arahan serta
pertolongan, maka datanglah panggilan kasih ini dan kisah yang
harmonis ini.

PERINTAH ALLAH KEPADA NABI MUHAMMAD AGAR


TERUS BERJUANG DENGAN IKHLAS DAN TAWAKAL
(QS asy-Syarh [94]: 1-8)
¢¡~}|{zyxwvu
´³²±°¯®¬«ª©¨§¦¥¤£
º¹¸¶µ
Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?, Kami
telah menghilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan
punggungmu? Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka
apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah
dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada
Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.
Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? Bukankah
Kami telah melapangkan dadamu dalam mengemban risalah dakwah,
dan Kami memudahkan segala urusanmu, sehingga dakwah menjadi
perkara yang dicintai dan dapat berjalan pada relnya. Lebih jauh lagi
Kami memperlihatkan jalan hingga kamu terlihat akhir yang
membahagiakan.
Periksa dadamu, tidakkah kamu menemukan kelapangan dan

339
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

keceriaan serta kebahagiaan. Bersiap-siap untuk menikmati indahnya


pemberian ini. Katakan, tidakkah kamu akan menikmati setiap beban
dakwah yang dihadapi, ada rasa kebahagiaan di setiap keletihan,
kemudahan di balik kesusahan, dan kerelaan di balik kegagalan.
‫ﻙ‬ ‫ﺮ‬‫ ﻇﹶﻬ‬‫ﺬﻱ ﺃﹶﺃﻧﻘﹶﺾ‬‫ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻙ‬‫ﺭ‬‫ ﻭﹺﺯ‬‫ﻋﻨﻚ‬‫ﻨﺎ ﻋ‬‫ﻨ‬‫ﻌ‬‫ﺿ‬‫ﻭ‬‫ ﻭ‬Kami telah menghilangkan daripada
mu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Kami telah
melenyapkan beban yang telah memberatkan punggungmu hingga
hampir mematahkan tulang-tulangmu. Kami melenyapkan penderitaan
dan Kami gantikan dengan melapangkan dadamu. Itu semua karena
kamu menikmati perjalanan dakwah dan menjadikannya bagian dari
jiwa ragamu. Berkat wahyu yang menjelaskan visi hidup yang
sebenarnya membuat kamu dapat menjalani hidup ini dengan mudah.
‫ﻙ‬ ‫ﻛﹾﺮ‬‫ ﺫ‬‫ﻨﺎ ﻟﹶﻚ‬‫ﻨ‬‫ﻓﹶﻌ‬‫ﺭ‬‫ ﻭ‬Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu. Kami
meninggikan namamu di hadapan para penghuni langit. Kami
meninggikan namamu di bumi, Kami meninggikan namamu di seluruh
kehidupan. Kami meninggikan namamu bergandingan dengan nama
Allah, setiap disebut “Tiada tuhan selain Allah” ... dilanjutkan dengan
“Muhammad utusan Allah.” Tiada ketinggian melebihi ketinggian ini.
Tidak ada kedudukan yang lebih dari kedudukan ini. Tempat ini hanya
dikhususkan untuk Nabi Muhammad, bukan yang lain.
Kami meninggikan namamu di Lauh Mahfudz. Saat Allah telah
menetapkan perjalanan hidup manusia di bumi, ditemukan jutaan bibir
mengucap namamu yang mulia, bersalawat dan bersalaman karena cinta
yang mendalam kepadamu.
Kami meninggikan namamu karena kamu adalah utusan-Ku. Saat
kamu menjadi utusan pada saat itu namamu tinggi. Ketinggian dan
kemuliaan itu tidak didapat oleh manusia manapun, maka tidak akan ada
beban, kepenatan dan kesusahan dalam melaksanakan dakwah. Bila
ditemukan sedikit beban, kesusahan, maka Allah tidak segan-segan
untuk melenyapkan dan memudahkannya.
‫ﺮﺍ‬‫ﺮ‬‫ﺴ‬‫ﺮﹺ ﻳ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﻊ‬‫ﺮﺍ }{ ﺇﹺﻥﱠ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺴ‬‫ﺮﹺ ﻳ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﻊ‬‫ ﻓﹶﺈﹺﻥﱠ ﻣ‬Karena sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan. Setiap kesulitan pasti akan dibarengi dengan kemudahan.
Hal itu telah terbukti dalam kehidupanmu. Saat beban dakwah
menerpamu, dadamu Kami lapangkan, hingga beban itu menjadi ringan.
Kemudahan pasti menyertai setiap kesulitan.
Saat satu ungkapan diulangi sampai dua kali mengisyaratkan bahwa

340
ASY-SYARH 94, JUZ 30

hal itu sebagai bentuk penekanan atau stresing yang perlu direnungi dan
peristiwa yang terjadi benar adanya. Artinya, yakinlah bahwa
pertolongan Allah itu ada dan pasti. Di sisi lain, besar kesulitan
mengisyaratkan bahwa pekerjaan itu suatu yang agung dan mulia.
 ‫ ﻓﹶﻓﺎﻧﺼ‬‫ﻏﹾﺖ‬‫ ﻓﹶﺈﹺﺫﹶﺫﺍ ﻓﹶﺮ‬maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu
‫ﺐ‬
urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Bila
sesudah kesulitan ada kemudahan, maka cari sarana menuju kemudahan
itu. Bila telah selesai satu misi yang terkait dengan alam atau dengan
manusia atau dalam urusan dunia ini, maka hadapkan sepenuh hatimu
kepada Zat yang layak untuk disembah dengan beribadah, bermunajat
dan berserah diri.
 ‫ﻏﹶ‬‫ ﻓﹶﻓﺎﺭ‬‫ﻚ‬‫ﺑ‬‫ﺇﹺﻟﹶﻟﻰ ﺭ‬‫ ﻭ‬hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu
‫ﺐ‬
berharap. Hanya karena Allah orientasi kerja muslim yang beriman
dalam hidup ini. Tidak ada niat lain di balik itu, walau pun itu terkait
dengan dakwah yang mengajak manusia menuju jalan kebahagiaan di
dunia dan akhirat. Dalam perjalanan hidup manusia memerlukan bekal.
Lillah atau karena Allah adalah bekal. Bila dalam jihad diperlukan
senjata, “lillah” adalah senjata. Bila lillah dijadikan bekal dan senjata
niscaya dalam hidup ini akan ditemukan kemudahan sesudah kesulitan,
kelapangan sesudah kesempitan.
Surat ini berakhir sama seperti berakhirnya surat adh-Dhuhâ. Ia
meninggalkan dua bekas dan perasaan yang mendalam di dalam jiwa.
Pertama, bekas atau perasaan keagungan cinta dan kasih Allah kepada
Nabi Muhammad yang dicintai-Nya. Kedua, bekas atau perasaan cinta
kasih dalam diri Muhammad yang dengan suka cita berdakwah
mengajak manusia ke jalan yang benar. Ini adalah dakwah, ini adalah
amanat yang berat. Walau pun berat tetap saja menjadi ringan karena
panjaran sinar Ilahi yang mengaitkan kelemahan dengan kekuatan-Nya,
kefanaan dengan kekekalan-Nya dan ketiadaan dengan keabadiaan-Nya.
Kita memohon kepada Allah yang Maha Tinggi agar dilapangkan
hati kita, dimudahkan urusan kita, dimuliakan nama kita di dunia dan di
akhirat, dan diberikan kelezatan ibadah di dunia dan kelezatan nikmat di
akhirat. Dia Maha Kuasa dan Pelindung kita, amin.***

341
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

342
AT-TÎN 95, JUZ 30

SURAT 95
AT-TÎ N
(MAKKIYAH)

343
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

344
AT-TÎN 95, JUZ 30

Hakikat utama yang dibentangkan oleh surat at-Tîn ini adalah


hakikat fitrah yang lurus yang difitrahkan Allah kepada manusia. Tabiat
fitrah yang luruh ini sejalan dengan tabiat fitrah iman. Fitrah bersama
iman berjalan selaras untuk mencapai kesempurnaan. Manusia akan
hancur dan hina bila menyimpang dari fitrah dan kelurusan iman.
Pada surat ini Allah bersumpah dengan tin, zaitun, gunug Thur Sina
dan Negeri Mekah. Sumpah sebagaimana yang telah kita temukan pada
surat-surat sebelumnya adalah bagian dari perkara yang tidak dapat
dipisahkan dari pesan yang disumpah setelahnya. Bahan yang disumpah
dan pesan yang disumpah saling terkait dengan ikatan yang sangat kuat,
keduanya saling menyokong, hingga menjadi satu kesatuan yang utuh.

MANUSIA DICIPTAKAN DALAM BENTUK YANG


SEBAIK-BAIKNYA
(QS at-Tîn [95]: 1-8)
 JIHGFEDCBA
 VUTSRQPONMLK
 `_^]\[ZYXW
jihgfedcba
Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan
demi kota (Mekah) ini yang aman, sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-
rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada
putus-putusnya. Maka apakah yang menyebabkan kamu
mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-
keterangan) itu? Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?
Bukit Sinai adalah bukit tempat Nabi Musa dipanggil oleh Allah
dari sisi sampingnya. Kota aman adalah Mekah di mana di dalamnya
terletak Masjidil Haram. Kaitan kedua perkara ini dengan iman sangat
jelas.
Adapun tin dan zaitun tidak terlihat jelas kaitannya dengan iman.
Terdapat banyak penafsiran seputar makna tin dan zaitun. Ada yang

345
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

berpendapat bahwa tin adalah bukit di dekat kota Damaskus. Pendapat


lain, tin adalah pohon tempat Adam dan istrinya berlindung dan
menjadikan daunnya sebagai penutup aurat di surga. Peristiwa ini terjadi
sebelum Adam turun ke bumi. Pendapat lain mengatakan tin adalah
pohon di mana kapal nabi Nuh mendarat.
Adapun makna zaitun adalah bukit yang terletak di dekat Baitul
Makdis. Pendapat lain mengatakan zaitun adalah Baitul Makdis itu
sendiri. Pendapat lain mengatakan zaitun adalah ranting pohon yang
digigit burung merpati yang mengisyaratkan kepada Nabi Nuh bahwa
badai topan telah reda dan daratan telah terlihat dan tumbuh tumbuhan
di atasnya. Ada juga yang berpendapat bahwa tin dan zaitun adalah
buah yang sering kita makan, tidak ada pesan tersembunyi di balik
kedua kata itu, atau ia memiliki pesan tersembunyi di balik tumbuh
keduanya di atas bumi.
Kata zaitun sendiri telah dua kali disebutkan di dalam Alquran
sebelum ayat ini. Tepatnya dalam QS al-Mu’minûn [23]: 20 dan ‘Abasa
[80]: 29. Adapun tin, ayat ini adalah ayat pertama dan satu-satunya yang
menyebutkan kata tin.
Karena keterbatasan ayat-ayat pendukung maka kita tidak dapat
memastikan maknanya kecuali ia terkait erat dengan tempat yang
memiliki kaitan sejarah dan agama, sesuai dengan kaitan ayat
sesudahnya (Bukit Sinai dan kota Aman). Atau ia terkait dengan
manusia yang diciptakan dengan bentuk dan rupa yang sebaik-baiknya.
Atau ia berada di surga sebagai cikal bakal kehidupan. Agar lebih
mengarah dan terfokus kedua makna ini ada baiknya bila ia dikaitkan
dengan pesan ayat yang ada di dalamnya. Artinya, tin dan zaitun terkait
dengan kekautan iman yang dibangun oleh Nabi Nuh dan Nabi Isa.
Iman yang menyelamatkan dan iman yang menumbuhkan.
 ‫ﻠ‬‫ﺳﺎﻓ‬‫ﻔﹶﻞﹶ ﺳ‬‫ ﺃﹶﺳ‬‫ﻧﺎﻩ‬‫ﻧ‬‫ﺩ‬‫ﺩ‬‫ ﺭ‬‫ﺗ ﹾﻘ ﹺﻮ ﹴﱘ }{ ﺛﹸﻢ‬ ‫ﺴ ﹺﻦ‬
‫ﲔ‬  ‫ﺣ‬ ‫ﻓﻓﻲ ﹶﺃ‬ ‫ﺴﺎ ﹶﻥ‬
‫ﺴ‬
 ‫ﻨﺎ ﺍﻹِﻹﻧ‬‫ﻠﹶﻘﹾﻨ‬‫ﺪ ﺧ‬ ‫ ﹶﻟ ﹶﻘ‬sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya
(neraka), hakikat internal dari surat ini adalah ayat ini.
Dalam ayat ini terlihat jelas bantuan Allah dengan menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Walaupun Dia telah
menciptakan segala sesuatu dalam bentuk terbaik, tapi manusia adalah
makhluk ciptaan yang terbaik dari yang terbaik.
Dikhususkan manusia sebagai makhluk terbaik dari yang terbaik
bukti perhatian serius Allah kepadanya. Allah tetap menolong dan

346
AT-TÎN 95, JUZ 30

membantu manusia walau pun dia telah menyimpang dari fitrah dan
ajaran Islam yang benar, karena dia memiliki peran penting di bumi ini.
Pertolongan Allah terhadap manusia dapat dilihat dari bentuk tubuh
manusia yang begitu rumit dan menawan, atau dari bentuk akal pikiran
yang membadakannya dengan makhluk lain, atau dari bentuk jiwa yang
bersemayam di dalamnya. Manusia yang mulia dan unik ini akan jatuh
dan terhina bila menyimpang dari fitrah dan iman. Ini bukti bahwa
tubuh manusia dapat menjadi sumber dan penyebab hingga manusia
terhina dan rendah. Bahkan lebih rendah dari hewan, dan hewan lebih
mulia dari manusia.
Sebaliknya, unsur rohani dapat menyebabkan manusia menjadi
makhluk yang agung, bahkan ia dapat lebih mulia daripada para
malaikat. Sebagaimana yang terjadi pada peristiwa mikraj. Saat Jibril
berada pada satu maqam, Nabi Muhammad naik menuju maqam yang
lebih tinggi.
‫ﻥ‬ ‫ﻨﻨﻮ‬‫ﻤ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺮ‬ ‫ ﻏﹶﻴ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﺟ‬‫ﻢ‬‫ ﻓﹶﻠﹶﻬ‬‫ﺤﺎﺕ‬ ‫ﺤ‬‫ﺼﺎﻟ‬
‫ﻤﻠﹸﻠﻮﺍ ﺍﻟﺼ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻨﻨﻮﺍ‬‫ﻣ‬ ‫ﻦ ﺁ‬ ‫ﺬﺬﻳ‬ ‫ ﹺﺇﺇﻻ ﺍﱠﻟ‬kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala
yang tiada putus-putusnya. Iman dan amal saleh adalah kiat agar
manusia tetap bertahan dalam fitrah, dalam rohani yang bersih menuju
kemuliaan yang sempurna, hingga mencapai kesempuranaan yang abadi
di surga yang kekal.
Kebalikannya, orang yang memilih kesesatan akan jatuh terhina ke
neraka jahannam, tempat di mana kemanusiaannya telah dilucuti dan
harga dirinya telah sirna. Surga dan neraka adalah dua konsekuensi logis
dari kehidupan manusia, agar menjadi batu pijakan dan tolak ukur
kesuksesan manusia di dunia. Tidak ada kata sukses bila berakhir di
neraka, dan tidak ada kata gagal bila berakhir di surga.
‫ﺪﺪﻳ ﹺﻦ‬ ‫ﺪ ﹺﺑﺑﺎﻟ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻚ‬
 ‫ﻳ ﹶﻜﺬﱢﺑ‬ ‫ﻤﻤﺎ‬ ‫ ﹶﻓ‬maka apakah yang menyebabkan kamu mendusta
kan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu?
Bagaimana manusia dapat mendustakan hari pembalasan setelah
mengetahui hakikat ini. Setelah dia mengetahui nilai iman dalam
kehidupan, setelah mengetahui akhir perjalanan kaum kafir dan orang
yang tidak berpegang teguh nilai-nilai agama.
 ‫ﻤ‬‫ﺤﺎﻛ‬
‫ﲔ‬ ‫ﻜﹶﻢﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﺑﹺﺄﹶﺣ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺲ‬‫ ﺃﹶﻟﹶﻴ‬bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?
Bukankah Allah Maha adil saat Dia menetapkan aturan main dan
keputusan seperti ini!? Atau bukankah ini merupakan bukti
kebijaksanaan Allah yang tinggi dalam menempatkan mukmin di surga

347
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

dan kafir di neraka!? Keadilan itu jelas dan kebijaksanaan itu nyata.
Kita memohon kepada Allah agar Dia menjadikan kita termasuk
orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan agar Dia memberi
pahala kepada kita tanpa terputus, karena Dia Maha Kuasa.***

348
AL-‘ALAQ 96, JUZ 30

SURAT 96
AL-‘ALAQ
(MAKKIYAH)

349
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

350
AL-‘ALAQ 96, JUZ 30

Surat al-‘Alaq adalah surat yang pertama kali turun secara mutlak.
Aisyah berkata: “Ketika Nabi Muhammad menyendiri di Gua Hira,
malaikat Jibril mendatanginya dan berkata: “Bacalah!”
Dia berkata: “Saya tidak dapat membaca.”
Nabi Muhammad mengisahkan bahwa pada saat itu, malaikat Jibril
memeluknya dengan erat lalu melepaskannya, lalu berkata: “Bacalah!”
Nabi Muhammad berkata: “Saya tidak dapat membaca.”
Nabi Muhammad mengisahkan bahwa pada saat itu, untuk kedua
kalinya malaikat Jibril memeluknya dengan erat lalu melepaskannya,
lalu berkata: “Bacalah!”
Nabi Muhammad berkata: “Saya tidak dapat membaca.”
Nabi Muhammad mengisahkan bahwa pada saat itu untuk ketiga
kalinya malaikat Jibril memeluknya dengan erat lalu melepaskannya,
lalu berkata: “Bacalah! dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar
(manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya.” (HR Bukhari)

TULIS BACA ADALAH KUNCI ILMU PENGETAHUAN


(QS al-’Alaq [96]: 1-5)
yxwvutsrqponmlk
cba`_~}|{z
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah,
dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia)
dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia
apa yang tidak diketahuinya.
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan .
Allah memerintahkan rasul-Nya untuk membaca, tapi tidak membaca
tulisan manusia, karena membaca tulisan manusia memerlukan proses
belajar hingga trampil membaca. Untuk itu dalam kesempatan itu Allah
menegaskan: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan.
Bila segala sesuatu memiliki sebab hingga terjadi dan tercipta,
seperti: manusia lahir dari ibu dan bapaknya. Ibu dan bapak lahir dari

351
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

ibu dan bapaknya pula (nenek-kakek), ibu bapak lahir dari ibu bapaknya
(eyang dan opung) dan seterusnya, hingga sampai pada penciptaan
manusia pertama, siapa yang menciptakannya tanpa sebab?
Muhammad kamu dapat membaca tidak seperti manusia membaca
yang harus melalui proses belajar membaca dari orang lain. Kamu dapat
membaca tanpa sebab dan tanpa proses. Kamu dapat membaca karena
kehendak Allah Pencipta sebab akibat, yang tidak memerlukan sebab
dalam menciptakan sesuatu.
‫ﻋ ﹶﻠ ﹴﻖ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺴﺎ ﹶﻥ‬ ‫ﺴ‬
 ‫ﻖ ﺍ ِﻹﻹﻧ‬ ‫ﺧ ﹶﻠ‬ Dia telah menciptakan manusia dari ‘alaqah/
benda yang tergantung. ‘Alaq atau benda yang tergantung adalah awal
proses penciptaan manusia dari sisi reproduksi. Adapun penciptaan
manusia pertama kali secara mutlak berasal dari tanah. Terciptanya
manusia pertama dari tanah bukti kesempurnaan kekuasaan Allah.
Tepatnya, ketika Dia mengungkapkan dari tanah ini, maka perkara itu
sesuai dengan logika manusia. Tidak ada satu manusia pun yang pernah
menyaksikan proses penciptaan manusia dari tanah. Semua pesan itu
dapat diakui keabsahannya, karena ia bersumber dari Allah.
Proses penciptaan itu sendiri tidak dapat dikaji melalui ilmu
eksperimental. Aku tidak menghadirkan mereka untuk menyaksikan pen-
ciptaan langit dan bumi dan tidak (pula) penciptaan diri mereka sendiri;
dan Aku tidak menjadikan orang yang menyesatkan itu sebagai penolong.
(QS al-Kahfi [18]: 51) Sedangkan penciptaan manusia dari benda yang
tergantung maka hal itu dapat diuji keabsahannya secara eksperimen di
laboratorium. Di situ terlihat jelas mani berubah menjadi ‘alaqah ... dst.
‫ﻡ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻚ ﺍ َﻷﻛﹾ‬  ‫ﺑ‬‫ﺭ‬‫ﺃﹾ ﻭ‬‫ ﺍﻗﹾﺮ‬bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Pada
ayat ini Allah berkata: “Maha Pemurah” dalam bentuk superlatif, ini
mengisyaratkan kepada dua perkara: pertama, karîm; dan kedua, akram.
Karim artinya orang yang mulia karena mengajarkan kamu membaca,
sementara akram Maha Mulia adalah Allah yang mengajarkan manusia
tanpa sebab.
‫ﻢ‬ ‫ﻌ ﹶﻠ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻣﺎ ﹶﻟ‬‫ﺴﺎ ﹶﻥ ﻣ‬
‫ ﺍﻹِﻹﻧﺴ‬‫ﻋﻠﱠﻢ‬ Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya. Maksud kata “manusia” di sini dapat ditafsirkan menjadi
dua penafsiran. Pertama, berlaku untuk manusia secara umum; kedua,
berlaku khusus kepada Adam sebagai manusia pertama.
Allah mengajar seluruh manusia, karena Dia yang memberi sarana
ilmu pengetahuan sehingga ilmu dapat diserap oleh manusia. Dia yang
menciptakan akal pikiran untuk berpikir dan menghapal. Dia

352
AL-‘ALAQ 96, JUZ 30

menciptakan panca indra untuk melihat, membaca, mendengar, dan


merasa.
Di sisi lain seluruh manusia yang ada pada saat ini mendapatkan
ilmu pengetahuan dari eksperimen yang dilakukan oleh mereka
berdasarkan pada eksperimen yang telah ada sebelumnya. Orang
sebelumnya mendapatkannya dari orang sebelumnya lagi, hal ini
mengerucut hingga sampai kepada manusia pertama, Adam. Siapa yang
mengajarkan Adam? Jawabannya tentu Allah.
Perkara yang sama dapat dilihat jelas dalam pelajaran Ilmu Ukur.
Teori 80 atau 70 dibuktikan berdasarkan penemuan baru dan ditopang
dengan dalil sebelumnya, dan dalil sebelumnya dibuktikan dengan dalil
sebelumnya lagi, hingga mengerucut kepada dalil pertama. Dalil
pertama ini bersifat aksioma. Ketika Allah mengajarkan kepada manusia
apa-apa yang belum diketahui oleh mereka, Dia meninggalkan dasar-
dasar ilmu pengetahuan yang bersifat aksioma. Aksioma adalah ilmu
yang telah dan dapat diterima oleh seluruh manusia tanpa harus
memutar otak lagi.
Ilmu pengetahuan itu agar sampai kepada generasi berikutnya maka
ia harus diperdengarkan. Kalau seseorang tidak dapat mendengar, maka
dia tidak akan dapat mengikuti dan menyerap ilmu pengetahuan. Untuk
itu dalam Alquran kita sering menemukan kata “tuli” dilanjutkan
dengan kata “bisu”. Artinya, bahasa adalah repetation mengikuti. Apa
yang didengar oleh telinga, diikuti dan diucapkan oleh lisan.
Dengan demikian Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya adalah mengajarkan seluruh manusia atau mengajar Adam.
Bila kita pahami manusia dalam pengertian “Adam” maka maksudnya:
‫ﻢ‬ ‫ﺘ‬‫ﺆﺆﻻﺀ ﹺﺇﺇﻥ ﹸﻛﻛﻨ‬ ‫ﻫﻫـ‬ ‫ﻤﻤﺎﺀ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺔ ﹶﻓﻘﹶﻘﺎﻝﹶ ﺃﹶﺃﻧﹺﺒﹸﺌﺌﻮﹺﻧﻧﻲ ﹺﺑﹶﺄ‬ ‫ﺋ ﹶﻜ‬‫ﻼ‬
‫ ﹶ‬‫ﻠﹶﻠﻰ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﺿ‬‫ﺮ‬‫ ﻋ‬‫ﻬﺎ ﺛﹸﻢ‬‫ﻤﺎﺀ ﻛﹸﻠﱠﻬ‬‫ﻤ‬‫ﻡ ﺍﻷَﺳ‬ ‫ﺩ‬ ‫ ﺁ‬‫ﻋﻠﱠﻢ‬ ‫ﻭ‬
 ‫ﻗ‬‫ﺻﺎﺩ‬
‫ﲔ‬ ‫ﺻ‬Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya,
kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman,
“Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang
benar!” (QS al-Baqarah [2]: 31)

353
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

MANUSIA MENJADI JAHAT KARENA MERASA CUKUP


(QS al-’Alaq [96]: 6-19)
  ponmlkjihgfed
q
  ~}|{zyxwvutsr

 °¯®¬«ª©¨§¦¥¤£¢¡
¿¾½¼»º¹¸¶µ´³²±
ÉÈÇÆÅÄÃÂÁÀ
Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui
batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. Sesungguhnya
hanya kepada Tuhanmulah kembali (mu). Bagaimana
pendapatmu tentang orang yang melarang, seorang hamba ketika
dia mengerjakan shalat, bagaimana pendapatmu jika orang yang
melarang itu berada di atas kebenaran, atau dia menyuruh
bertakwa (kepada Allah)? Bagaimana pendapatmu jika orang
yang melarang itu mendustakan dan berpaling? Tidakkah dia
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala
perbuatannya? Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti
(berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya, (yaitu)
ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka. Maka biarlah
dia memanggil golongannya (untuk menolongnya), kelak Kami
akan memanggil malaikat Zabaniyah, sekali-kali jangan,
janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah
(dirimu kepada Tuhan),
Kata kallâ di dalam Alquran terdapat tiga puluh tiga kali. Kata ini
tidak ditemukan di pertengahan awal dari Alquran. Ia mulai ditemukan
pada surat Maryam dan seterusnya. Kata ‘kallâ/sekali kali tidak’
berpungsi untuk meniadakan pernyataan sebelumnya. Bila kata ‘kallâ’
tidak ada pernyataan sebelumnya untuk ditiadakan, maka kata ‘kallâ’
dapat diartikan dengan haqqan/benar. Arti kalimat di atas adalah ‘benar,
manusia itu melampaui batas.’ Hakikat yang perlu diperjelas adalah
manusia benar-benar melampaui batas saat dia merasa cukup.
Atau kata kallâ pada ayat di atas dapat diartikan dengan ‘sekali-kali
tidak’ bila merujuk pada ayat-ayat sebelumnya yang berbunyi: Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah
Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan
354
AL-‘ALAQ 96, JUZ 30

kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.


Penafsirannya adalah, bahwa nikmat di atas seharusnya dibalas dangan
syukur dan ketaatan kepada Allah, namun manusia tidak melakukan itu.
Dia tidak bersyukur, bahkan membalas air susu dengan air tuba.
Ayat di atas mengisyaratkan juga bahwa ilmu pengetahuan
terkadang membuat pemiliknya menjadi lupa diri dan angkuh, hingga
menyimpang dari kebenaran. Bertambah ilmu pengetahuan manusia,
bertambah pula pembangkangannya kepada Allah. Dahulu kala saat
manusia menderita kelangkaan air, maka mereka berdoa bahkan
melakukan salat mohon hujan yang dikenal dengan salat istisqa’.
Sekarang, saat air di rumah tidak mengalir, maka manusia tidak berdoa
kepada Allah, dan tidak sedikit pun akalnya teringat dengan-Nya. Dia
akan menghubungi Perusahaan Air Minum agar dapat segera diperbaiki
tower penampungan air atau pipa yang tersumbat di rumahnya. Padahal
PAM adalah sarana, dan Allah adalah Pencipta air hingga layak
dikonsumsi.
Inilah tabiat manusia, yang selalu angkuh bila merasa dirinya cukup
dan mampu. Allah selalu mengingatkan manusia agar tidak terkecoh
dengan arogansi ilmu pengetahuan, dengan menyadarkan kita bahwa di
balik semua sebab dan keberhasilan ada Penyebab, yaitu Allah. Inilah
yang diucapkan Nabi Sulaiman: Sungguh, Kami telah memberikan ilmu
kepada Daud dan Sulaiman; dan keduanya berkata, “Segala puji bagi
Allah yang melebihkan kami dari banyak hamba-hamba-Nya yang beri-
man.” (QS an-Naml [27]: 15)
Kemudian dia berdoa:
‫ﻩ‬ ‫ﺿﺎ‬
‫ﺿ‬
 ‫ﺮ‬ ‫ﺤﺎ ﺗ‬
‫ﺤ‬‫ﺻﺎﻟ‬
‫ﻞﹶ ﺻ‬‫ﻤ‬‫ﺃﹶﻥﹾ ﺃﹶﻋ‬‫ ﻭ‬‫ﻱ‬‫ﺪ‬‫ﻭﺍﻟ‬‫ﻠﹶﻠﻰ ﻭ‬‫ﻭﻋ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﻋ ﹶﻠ‬ ‫ﺖ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻧ‬‫ﺘﺘﻲ ﹶﺃ‬‫ﻚ ﺍﱠﻟ‬
 ‫ﺘ‬‫ﻤ‬‫ ﹺﻧﻌ‬‫ﻜﹸﺮ‬‫ﻋﹺﻨﻨﻲ ﹶﺃﻥﹾ ﺃﹶﺷ‬ ‫ ﹺﺯ‬‫ ﺃﹶﻭ‬‫ﺏ‬‫ﺭ‬
 ‫ﺤ‬‫ﺼﺎﻟ‬
‫ﲔ‬ ‫ ﺍﻟﺼ‬‫ﻙ‬‫ﺒﺎﺩ‬‫ﺒ‬‫ﻓﻲ ﻋ‬‫ ﻓ‬‫ﻚ‬‫ﺘ‬‫ﻤ‬‫ﺣ‬‫ﻠﹾﻨﹺﻨﻲ ﺑﹺﺮ‬‫ﺧ‬‫ﻭﺃﹶﺩ‬
“Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri
nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada
kedua orang tuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau
ridai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan
hamba-hamba-Mu yang saleh.” (QS an-Naml [27]: 19)
Nabi Sulaiman tidak terperdaya dengan ilmu dan kekayaan yang dia
miliki. Padahal Nabi Sulaiman telah memiliki dan meraih apa yang
tidak pernah diraih oleh manusia. Dia memiliki kekuatan, kekayaan,
kerajaan dan pengetahuan serta kekuasaan yang tidak dimiliki oleh
orang lain. Dia dapat menundukkan jin, dapat menundukkan angin,

355
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

mengetahui bahasa burung, bahkan dapat berdialog dengannya. Ini


merupakan anugerah yang besar. Walau demikian dia tidak angkuh dan
tertipu, dengan apa yang dia miliki. Dia bertambah dekat dengan Allah,
dan mensyukuri segala nikmat-Nya.
Manusia yang tertipu dan lupa diri saat meraih kesuksesan akan
angkuh dan sombong dengan berkata: “Apa yang saya raih berkat ilmu
pengetahuanku, berkat kecerdasanku.” Sebagaimana Karun berkata:
“Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang
ada padaku.” Tidakkah dia tahu, bahwa Allah telah membinasakan
umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak
mengumpulkan harta? Dan orang-orang yang berdosa itu tidak perlu
ditanya tentang dosa-dosa mereka. (QS al-Qashash [28]:78)
Manusia sebenarnya tidak layak untuk angkuh dan sombong
terhadap sesama manusia, apalagi terhadap Allah. Kalau manusia
berpikir jernih, maka dia akan mengetahui bahwa cepat atau lambat
semua manusia akan kembali kepada-Nya. Bila manusia dapat menipu
orang lain, maka dia tidak akan mau pernah menipu dirinya sendiri. Dia
sadar dan mengetahui secara pasti, bahwa hidup ini akan berakhir dan
kembali kepada Tuhan untuk diperhitungkan segala perbuatan.
Keyakinan untuk kembali kepada Tuhan tidak saja terbatas pada
keyakinan bahwa kematian itu pasti, tapi dalam kehidupan sehari-hari,
di saat segala sarana dan usaha sudah tidak lagi berhasil untuk meraih
satu keberhasilan dan melenyapkan malapetaka, maka manusia akan
bermunajat, berdoa dan bermohon kepada Allah agar dilenyapkan
malapetaka dan diraih kesuksesan. Lihat QS Yûnûs [10]: 12, az-Zumar
[39]: 8, 49 dan 50.
Inilah tabiat manusia. Saat terjepit dia kembali berdoa, bermohon
kepada Allah. Tidak saja di saat dia dalam kesendirian, terkadang doa
dilakukan secara berjamaah atau di antara khalayak ramai. Dia tidak
malu bila dilihat orang bahwa dia memohon kemudahan dari Allah. Hal
ini dapat dilihat pada QS an-Nahl [16]: 53 dan 54, al-Isrâ [17]: 67 dan ar
-Rûm [31]: 33-34. Jadi ayat utama yang kita kaji ini dapat dipahami
secara kebalikannya, yaitu: bila manusia memerlukan sesuatu perkara,
maka sirnalah segala bentuk keangkuhan dan kesombongan.
Bila kita mengkaji sejarah peradaban manusia, maka kita akan
menemukan bahwa sebab utama kehancuran satu peradaban adalah
kekafiran, kezaliman, keangkuhan dan kesombongan. Lihat kisah Ad,
Iram, Firaun dalam QS al-Fajr [89]: 6-13. Lihat juga kisah Saba pada
QS Saba [34]: 5-17.

356
AL-‘ALAQ 96, JUZ 30

Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali (mu). Sehebat


apapun manusia, semuanya akan kembali kepada Allah. Jangan pernah
berpikir bahwa kita luput dari pantauan Allah, karena kekayaanmu, dan
karena kamu tidak memerlukan-Nya. Kita mau tidak mau akan kembali
kepada Allah di dunia ini, karena kehidupan tidak bersifat datar. Pasti di
dunia ini ada masa-masa sulit sehingga kita pasti memerlukan-Nya. Bila
di dunia tidak, maka ketika mati kita semua pasti kembali kepada-Nya.
Di akhirat, manusia tidak dapat lari dan tidak dapat lepas dari Allah.
Selama manusia diciptakan Allah, maka dia akan kembali kepada-Nya.
Pada saat itu, rasanya tidak ada kenikmatan dunia bila berakhir di
neraka, dan tidak ada kepenatan dunia bila berakhir di surga. Bila
demikian, mari kita renungi, untuk apa kita kafir, sombong dan angkuh
bila berakhir di neraka?
‫ﺻ ﱠﻠﻠﻰ‬
 ‫ﺪﺍ ﹺﺇ ﹶﺫﺫﺍ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻬﻰ }{ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ﺬﻱ ﻳ‬‫ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﺖ‬‫ﺃﹶﻳ‬‫ ﺃﹶﺭ‬bagaimana pendapatmu tentang orang
yang melarang, seorang hamba ketika dia mengerjakan salat. Kata
‘araaita/bagaimana pendapatmu’ mengisyaratkan bahwa pernyataan
setelahnya bukan permasalahan biasa, tapi satu perkara yang tidak
masuk akal dan aneh. Datangnya ayat ini setelah ayat sebelumnya yang
berisikan tentang keangkuhan dan kekufuran manusia mengisyaratkan
keselarasan antara keduanya atau ayat ini tahapan berikutnya setelah
tangga sebelumnya.
Artinya, selayaknya manusia bersyukur dan taat kepada Allah, bila
tidak dapat bersyukur dan taat, maka hal itu dinyatakan kufur dan
angkuh. Ini merupakan satu dosa. Bila dia melarang orang lain untuk
salat, maka ini adalah bentuk dari kekufuran dan keangkuhan yang lebih
tinggi lagi. Jadi, ada tiga tahapan. Pertama, tidak taat dan tetap durhaka
serta kufur. Kedua, tidak mau salat dan tidak mau menyembah Allah.
Ketiga, melarang orang lain untuk salat dan menyembah Allah.
Dalam ayat ini disebutkan kata yanha/sedang melarang padahal saat
ayat ini dituliskan peristiwa itu telah terjadi, maka sewajarnya ditulis
naha/telah melarang, namun hal itu tidak dilakukan Allah. Karena Dia
ingin agar peristiwa itu terus terekam di dalam benak setiap orang yang
membaca Alquran, seakan-akan peristiwa itu sedang berlangsung, dan
kejahatan itu tetap diingat.
Tepatnya kisah itu diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

357
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

‫ﻪ‬ ‫ﺘ‬‫ﻳ‬‫ﹶﺃ‬‫ ﺭ‬‫ﻦ‬‫ﺰﻯ ﻟﹶﺌ‬‫ﺰ‬‫ﻭﺍﻟﹾﻌ‬‫ ﻭ‬‫ﻭﺍﻟﻠﱠﻠﺎﺕ‬‫ﻢ ﹶﻓ ﹶﻘﻘﺎ ﹶﻝ ﻭ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻧ‬ ‫ﻘﻘﻴ ﹶﻞ‬ ‫ﻢ ﹶﻗﻗﺎ ﹶﻝ ﹶﻓ‬ ‫ ﹺﺮ ﹸﻛ‬‫ ﺃﹶﻇﹾﻬ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﻪ ﺑ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻭﺟ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺤ‬
 ‫ﻣ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻌﻔﱢ‬ ‫ﻳ‬ ‫ ﹾﻞ‬‫ﻫ‬
‫ﻪ‬ ‫ﺳﺳﻮ ﹶﻝ ﺍﻟ ﱠﻠ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺗﺗﻰ‬‫ﺮﺍﺏﹺ ﻗﹶﻗﺎ ﹶﻝ ﻓﹶﹶﺄ‬‫ﺮ‬‫ﻓﻓﻲ ﺍﻟﺘ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻭﺟ‬ ‫ﺮ ﱠﻥ‬ ‫ﻋ ﱢﻔ‬ ‫ﻭ ُﻷ‬ ‫ﻪ ﹶﺃ‬ ‫ﺘ‬‫ﺒ‬‫ﺭ ﹶﻗ‬ ‫ﻋ ﹶﻠﻠﻰ‬ ‫ ﻟﹶﺄﹶﻃﹶﹶﺄ ﱠﻥ‬‫ﻚ‬‫ﻞﹸ ﺫﹶﻟ‬‫ﻔﹾﻌ‬‫ﻳ‬
‫ﻮ‬ ‫ﻫ‬‫ ﺇﹺﻟﱠﻟﺎ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻤﺎ ﻓﹶﺠﹺﺌﹶ‬‫ ﻗﹶﻗﺎﻝﹶ ﻓﹶﻤ‬‫ﻪ‬‫ﺘ‬‫ﻗﹶﺒ‬‫ﻠﹶﻠﻰ ﺭ‬‫ﻄﹶﺄﹶ ﻋ‬‫ﻴ‬‫ ﻟ‬‫ﻢ‬‫ﻋ‬‫ﻠﱢﻠﻲ ﺯ‬‫ﺼ‬‫ ﻳ‬‫ﻮ‬‫ﻫ‬‫ ﻭ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻴﻪ‬ ‫ﻠﹶ‬‫ﻪ ﻋ‬ ‫ﺻ ﱠﻠﻠﻰ ﺍﻟ ﱠﻠ‬

‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺪ ﹰﻗﻗﺎ‬ ‫ﻨ‬ ‫ﺨ‬
 ‫ ﻟﹶ‬‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﺑ‬‫ﻨﹺﻨﻲ ﻭ‬‫ﻴ‬‫ﻚ ﹶﻓ ﹶﻘﻘﺎ ﹶﻝ ﹺﺇ ﱠﻥ ﺑ‬
 ‫ﻣﺎ ﹶﻟ‬‫ﻪ ﻣ‬ ‫ﻘﻴ ﹶﻞ ﹶﻟ‬‫ ﻗﹶﻗﺎﻝﹶ ﻓﹶﻘ‬‫ﻪ‬‫ﻳ‬‫ﺪ‬‫ﻘﻘﻲ ﺑﹺﻴ‬ ‫ﺘ‬‫ﻳ‬‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺒ‬‫ﻘ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻋ ﹶﻠﻠﻰ‬ ‫ﺺ‬
 ‫ﻨ ﹸﻜ‬ ‫ﻳ‬
‫ﻪ‬ ‫ﺘ‬ ‫ﺘ ﹶﻄ ﹶﻔ‬‫ﺧ‬ ‫ﻨﻨﻲ ﻻ‬‫ﻣ‬ ‫ﻧﻧﺎ‬‫ﺩ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻢ ﹶﻟ‬ ‫ﺳ ﱠﻠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﻋ ﹶﻠ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺻ ﱠﻠﻠﻰ ﺍﻟ ﱠﻠ‬
 ‫ﻪ‬ ‫ﺳﺳﻮ ﹸﻝ ﺍﻟ ﱠﻠ‬ ‫ﺭ‬ ‫ ﹰﺔ ﹶﻓ ﹶﻘﻘﺎ ﹶﻝ‬‫ﻨﹺﺤ‬‫ﺃﹶﺟ‬‫ﻮﻻ ﻭ‬‫ﻮ‬‫ﻫ‬‫ﻧﺎﺭﹴ ﻭ‬‫ﻧ‬
‫ﻮﻮﺍ‬ ‫ﻀ‬
 ‫ﻋ‬ ‫ﻮﻮﺍ‬ ‫ﻀ‬
 ‫ﻋ‬ ‫ﺋ ﹶﻜ ﹸﺔ‬‫ﻤﻤﻼ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬
Abu Jahal berkata: “Jika saya melihat Muhammad sedang salat,
sungguh saya akan memijak lehernya. Saya akan benar-benar
menyungkurkan wajahnya ke tanah.”
Saat Nabi Muhammad salat, dia pun melakukan apa yang telah dia
ucapkan. Namun saat dia hendak melakukannya dia melemah di atas
kedua lututnya dan menahan badannya dengan kedua tangannya. Ketika
ada yang bertanya kepadanya: “Apa yang terjadi pada dirinya?”
Dia berkata: “Saya melihat antara diriku dan diri Muhammad
terdapat parit dari api yang berkobar dan melahap apa saja.”
Rasulullah berkata: “Kalau dia mendekatiku, niscaya tubuhnya akan
hancur berkeping-keping dicabik oleh para malaikat.” (HR Muslim)
Walau pun ayat ini diungkapkan terkait dengan peristiwa Abu Jahal
dan Nabi Muhammad, tapi pesan yang ada di dalamnya berlaku umum
dan universal. Setiap individu yang menghambat atau melarang orang
lain untuk salat atau menyibukkan orang lain hingga tidak salat, maka
dia termasuk dalam kategori ayat ini. Seakan-akan surat ini
menggambarkan segala bentuk kejahatan yang dilakukan hingga orang
lain tidak salat. Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa kita akan
menemukan manusia yang setipe dengan Abu Jahal yang gemar
melarang orang lain untuk salat.
Menarik untuk kita renungi kisah Ali bin Abu Thalib terkait dengan
ayat ini. Pada satu hari dia melihat sekelompok orang salat sebelum
salat sunat hari raya. Perbuatan ini bertentangan dengan sunah dan
tradisi Nabi Muhammad. Berkata sebagian sahabat: “Wahai Ali,
mengapa perkara itu tidak dilarang?”
Ali berkata: “Saya tidak berani melarang mereka salat, namun saya
hanya dapat berkata: “Bahwa salat itu tidak dilakukan oleh Nabi
Muhammad, saya takut termasuk dalam lingkaran orang-orang yang
melarang orang lain salat.”

358
AL-‘ALAQ 96, JUZ 30

‫ﻮﱠﻟﻟﻰ‬ ‫ﺗ‬‫ﻭ‬ ‫ﺏ‬


 ‫ﺖ ﹺﺇﺇﻥ ﹶﻛﺬﱠ‬
 ‫ﺃﹶﻳ‬‫ﻮﻯ }{ﺃﹶﺭ‬‫ﺘﻘﹾﻮ‬‫ ﺑﹺﺑﺎﻟ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﻣ‬‫ﺪﻯ }{ﺃﹶﻭ‬‫ﺪ‬‫ﻠﹶﻠﻰ ﺍﻟﹾﻬ‬‫ ﺇﹺﺇﻥ ﻛﹶﻛﺎﻥﹶ ﻋ‬‫ﺖ‬‫ﺃﹶﻳ‬‫ ﺃﹶﺭ‬bagaimana
pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran,
atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)? Bagaimana pendapatmu
jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling?
Penggalan ayat ini adalah kebalikan dari ayat sebelumnya. Bila ayat
sebelumnya mengisahkan tentang Abu Jahal yang melarang, maka pada
ayat ini berisikan tentang sifat Nabi Muhammad yang dilarang salat
oleh Abu Jahal. Diulanginya kata araiata/bagaimana pendapatmu
karena peristiwa ini juga aneh.
Pendapat kedua, bahwa penggalan ayat di atas berlaku untuk Abu
Jahal, termasuk kata “Bagaimana pendapatmu jika orang yang
melarang itu berada di atas kebenaran, atau dia menyuruh bertakwa
(kepada Allah)?” Alasannya, karena Abu Jahal memiliki dua kondisi,
kondisi rill dan nyata; yang kedua, kondisi praduga dan seandainya.
Artinya, seandainya Abu Jahal bertakwa dan berada dalam kebenaran.
Tentu hal ini adalah aneh dan tidak mungkin.
‫ﺮﻯ‬‫ﺮ‬‫ ﻳ‬‫ ﺑﹺﹶﺄﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻠﹶﻢ‬‫ﻌ‬‫ ﻳ‬‫ ﺃﹶﻟﹶﻢ‬tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya
Allah melihat segala perbuatannya? Selama Allah melihat dan menjadi
saksi atas segala perbuatan, maka tidak perlu lagi alat bukti dan saksi.
Kalau pun ada saksi dan alat bukti, maka keduanya hanya sekedar
pelengkap dan penguat semata. Mereka berkata kepada kulit mereka,
“Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” (Kulit) mereka menjawab,
“Yang menjadikan kami dapat berbicara adalah Allah, yang (juga)
menjadikan segala sesuatu dapat berbicara, dan Dialah yang menciptakan
kamu yang pertama kali dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan.” (QS
Fushshilat [42]: 21)
‫ﺔ‬ ‫ﻴ‬‫ﺻ‬ ‫ﻨﻨﺎ‬‫ﻌﺎ ﺑﹺﺑﺎﻟ‬‫ﻔﹶﻌ‬‫ﺴ‬‫ ﻟﹶﻨ‬‫ﻪ‬‫ﻳﻨﺘ‬‫ ﻳ‬‫ﺌﻦ ﻟﱠﻢ‬‫ﺮﻯ }{ﻛﹶﻛﻼ ﻟﹶﺌ‬‫ﺮ‬‫ ﻳ‬‫ ﺑﹺﹶﺄﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻠﹶﻢ‬‫ﻌ‬‫ ﻳ‬‫ ﺃﹶﻟﹶﻢ‬ketahuilah, sungguh jika
dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-
ubunnya. Ini merupakan pesan ancaman bagi setiap kaum kafir.
Ancaman ini pasti terjadi, karena bila ia tidak terjadi, maka akan timbul
keraguan manusia terhadap keabsahan Alquran. Kata nâshiyah/ubun-
ubun adalah tengah kepala yang merupakan tongkak penopang bagi
manusia. Disebutkan Kami tarik ubun-ubunnya merupakan kata
penghinaan, karena tidak ada yang ditarik ubun-ubun kecuali hewan.
Ubun-ubun adalah puncak kemuliaan manusia.
‫ﺔ‬ ‫ﻃﹶﺌ‬ ‫ﺧﺧﺎ‬ ‫ﺔ‬ ‫ﺑ‬‫ﺫ‬ ‫ ﻛﹶﻛﺎ‬‫ﺔ‬‫ﻴ‬‫ﻧﺎﺻ‬‫( ﻧ‬yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi
durhaka. Walaupun ubun-ubun adalah tempat kemuliaan manusia, tapi

359
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

ubun-ubun yang tidak digunakan secara benar dapat mencelakakan


pemiliknya. Ia tidak lain menjadi alat mendustakan dan durhaka.
‫ﻳﻳﻪ‬‫ﺩ‬ ‫ﻧﺎ‬‫ ﻧ‬‫ﻉ‬‫ﺪ‬‫ ﻓﹶﻠﹾﻴ‬maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk
menolongnya). Abu Jahal pernah berkata kepada Rasulullah: “Apakah
kamu berani melawan saya. Tidak ada yang lebih banyak pengikutnya
melebihi saya,” maka Allah menjawab dengan menurunkan ayat di atas.
‫ﻴ ﹶﺔ‬‫ﺑﺎﹺﻧ‬‫ﺑ‬‫ ﺍﻟﺰ‬‫ﻉ‬‫ﺪ‬‫ﻨ‬‫ ﺳ‬kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah.
Zabaniyah adalah malaikat di neraka yang kasar lagi keras. Semoga
Allah menjauhkan kita darinya.
 ‫ﺮﹺ‬‫ﻭﺍﻗﹾﺘ‬‫ ﻭ‬‫ﺪ‬‫ﺠ‬‫ﻭﺍﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻌ‬‫ﻄ‬‫ ﻛﹶﻛﻼ ﻻ ﺗ‬sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh
‫ﺏ‬
kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan ) .
Kalimat ini sebagai sanggahan dari permintaan Abu Jahal yang meminta
agar manusia tidak melaksanakan salat. Salat adalah ibadah untuk
mendekatkan diri hamba kepada Allah. Maka, bandingkan, dengan
kelompok mana kita mau berpihak: salat atau tidak salat; Abu Jahal atau
Muhammad.
Sujud adalah gerakan salat yang paling dekat dengan Allah. Nabi
Muhammad bersabda:
‫ﻋﻋﺎ َﺀ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺮﺮﻭﺍ ﺍﻟ‬ ‫ ﻓﹶﺄﹶﻛﹾﺜ‬، ‫ﺳﺎﺟﹺﺪ‬‫ ﺳ‬‫ﻮ‬‫ﻫ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﺭﺑ‬ ‫ﻦ‬‫ﺪ ﻣ‬ ‫ﺒ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻳ ﹸﻜﻜﻮ ﹸﻥ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ﺏ‬
 ‫ﺃﹶﻗﹾﺮ‬
Gerakan yang paling dekat antara hamba dengan Tuhannya adalah
pada saat dia sujud. (HR Muslim, Abu Daud dan Nasai)
Salat itu sendiri diperintahkan saat Nabi Muhammad mikraj dan
mendekat kepada Allah. Ini adalah saat Nabi Muhammad paling dekat
dengan-Nya, untuk itu merupakan satu penghormatan bila umatnya
dapat merasakan kedekatan yang paling dekat dengan Tuhan dengan
mensyariatkan sujud.
Inilah fadilah salat. Fadilah, kemuliaan dan karunia yang hanya
didapat oleh umat terpilih. Umat yang mulia dari sekalian umat. Semoga
Allah memberikan kepada kita taufik atas apa yang kita ingin dan cita-
citakan. Semoga Allah memberikan kedekatan diri kita dengan-Nya dan
dengan surga-Nya, dan memberikan kita kesempatan untuk terus
beramal agar kita tetap dapat dekat dengan-Nya dan surga-Nya. Amin,
segala puji bagi Allah.***

360
AL-QADR 97, JUZ 30

SURAT 97
AL-QADR
(MAKKIYAH)

361
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

362
AL-QADR 97, JUZ 30

Surat al-Qadr berbicara tentang malam yang dijanjikan dan telah


ditulis di Lauh Mahfudz sebagai hari yang membahagiakan dan
menyenangkan. Malam bersatunya antara bumi dengan penghuni langit.
Malam dimulainya turun Alquran kepada hati Nabi Muhammad. Malam
yang penuh dengan peristiwa penting yang belum pernah disaksikan
bumi keagungannya, keagungan di luar batas logika manusia dan besar
pengaruhnya bagi manusia.
Ayat yang tersusun di dalam Alquran tidak diatur berdasarkan pada
turunnya ayat. Ayat Alquran diturunkan berdasarkan dengan peristiwa-
peristiwa yang terjadi. Kaitan yang erat antara ayat yang turun dengan
peristiwa yang terjadi adalah kaitan yang logis. Saat peristiwa terjadi,
turunlah ayat yang menetapkan hukum tertentu. Tujuannya, agar hukum
menjadi lebih terhujam. Bila ayat turun tidak terkait dengan peristiwa,
boleh jadi mudah terlupakan.
Satu yang perlu diingat bahwa Alquran sebelum diturunkan kepada
Nabi Muhammad, ia telah ada di Lauh Mahfudz lengkap 30 juz, maka
Alquran yang ditulis berdasarkan daftar isi yang ada tidak bertentangan
dengan urutan turunnya ayat. Jadi, di sana terdapat dua kaitan, kaitan
antar urutan ayat-ayat yang diturunkan dan kaitan antar urutan daftar isi.
Bila kita melihat kaitan antara surat al-Qadar setelah surat al-‘Alaq
maka pada surat al-‘Alaq ditemukan perintah untuk membaca, tapi tidak
ditemukan apa yang dibaca. Sedangkan pada surat al-Qadar diterangkan
apa yang dibaca itu, yaitu Alquran yang diturunkan pada malam Qadar.
Untuk itu surat al-Qadar tidak ditulis apa yang diturunkan secara nyata,
tetapi dalam bentuk dhamir/kata ganti ketiga (hu/ia), karena apa yang
diturunkan itu sudah dikenal dan diketahui, sebagaimana juga pada surat
al-‘Alaq tidak disebutkan apa yang dibaca karena ia juga sudah jelas dan
diketahui.

KEMULIAAN LAILATUL QADR


(QS al-Qadr [97]: 1-5)
 LKJIHGFEDCBA
ZYXWVUTSRQPONM
cba`_^]\[
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada malam
kemuliaan. Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam

363
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun
malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya
untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan
sampai terbit fajar.
Pada surat ini Allah memulai dengan “Kami”, bila kita kaji Alquran
maka kita akan menemukan bahwa gaya bahasa Alquran dalam
menyifati Allah terkadang dalam bentuk tunggal dan terkadang dalam
bentuk jamak sesuai dengan kondisi keadaan. Saat sedang
mengungkapkan proses penciptaan, maka di dalamnya diperlukan ilmu
pengetahuan, kebijaksanaan, kekuasaan, keinginan dan sifat-sifat
lainnya. Semua sifat ini menyebabkan Allah mengungkapkan diri-Nya
dengan “Kami yang agung”. Sedangkan pada saat diri-Nya hendak
mengungkapkan zat dan keesaan-Nya, maka Dia mengungkapkannya
dengan “Aku”. Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka
sembahlah Aku dan laksanakanlah salat untuk mengingat Aku. (QS
Thâhâ [20]: 14)
Pada ayat ini Allah tidak berkata “sembahlah Kami”. Bila diteliti
Alquran, maka kita akan menemukan bahwa bentuk tunggal bagi Allah
berlaku untuk menegaskan keesaan Uluhiyah dan keesaan peribadatan.
Yang disembah adalah Tuhan Yang Maha Esa. Bentuk jamak
disebutkan saat menunjukkan keagungan penciptaan dan kemuliaan
pemberiannya. Pada saat itu Dia berkata: “Kami menciptakan ..., Kami
menetapkan ..., atau Kami menurunkan ...”
Bentuk kata nazala terkait dengan Alquran digambarkan dengan
berbagai bentuk. Terkadang dalam kata nazala, seperti: ‘bi al-haqqi
nazala’, Dan Kami turunkan (Alquran) itu dengan sebenarnya dan
(Alquran) itu turun dengan (membawa) kebenaran. Dan Kami mengutus
engkau (Muhammad), hanya sebagai pembawa berita gembira dan
pemberi peringatan. (QS al-Isrâ’ [17]: 105)
Terkadang dalam kata nazzala, seperti: ‘nazzala al-furqân’,
Mahasuci Allah yang telah menurunkan Furq±n (Alquran) kepada hamba-
Nya (Muhammad), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh
alam (jin dan manusia). (QS al-Furqân [25]:1)
Terkadang dalam kata anzala, seperti: anzala al-kitâb, Allah yang
menurunkan Kitab (Alquran) dengan (membawa) kebenaran dan neraca
(keadilan). Dan tahukah kamu, boleh jadi hari Kiamat itu sudah dekat?
(QS asy-Syûrâ [42]: 17) terkadang dalam kata unzila, seperti: ‘unzila
ilaika’. Dan mereka yang beriman kepada (Alquran) yang diturunkan
kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan se-

364
AL-QADR 97, JUZ 30

belum engkau,) dan mereka yakin akan adanya akhirat. (QS al-
Baqarah [2]: 4)
Kata nazala/turun di dalam Alquran terkadang terkait dengan
Alquran (Lihat QS al-Isrâ’[17]: 105) dan terkadang terkait dengan
Malaikat Jibril (Lihat QS asy-Syu‘arâ’ [26]: 193-194). Artinya,
terkadang Alquran itu turun langsung dari Allah, dan terkadang Alquran
itu turun melalui malaikat Jibril. Kedua makna itu adalah satu, artinya:
Alquran yang turun melalui Jibril itu bersumber dari Allah.
Kata nazzala yang terdapat pada QS Âli Imrân [3]: 1-3, al-Isrâ [17]:
105 dan 106 mengisyaratkan bahwa Alquran itu turun bertahap. Ia tidak
turun sekaligus. Perkara ini dipertegas lagi dengan permintaan kaum
kafir agar Alquran diturunkan sekaligus sebagaimana kitab suci
sebelumnya. Lihat QS al-Isrâ [17]:107.
Sebagaimana kata nazala maka kata nazzala juga mengalami hal
yang sama, terkadang kata nazzala dikaitkan dengan Jibril: Katakanlah
(Muhammad), “Barangsiapa menjadi musuh Jibril, maka (ketahuilah)
bahwa dialah yang telah menurunkan (Alquran) ke dalam hatimu den-
gan izin Allah, membenarkan apa (kitab-kitab) yang terdahulu, dan
menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang beriman.” (QS
al-Baqarah [2]: 97)
Terkadang dikaitkan dengan Allah: Dia menurunkan Kitab
(Alquran) kepadamu (Muhammad) yang mengandung kebenaran, mem-
benarkan (kitab-kitab) sebelumnya, dan menurunkan Taurat dan Injil,
(QS Âli Imran [3]: 3). Artinya, Alquran itu bersumber dari Allah dan
diturunkan dengan perantara Jibril. Jibril tidak menurunkan Alquran
dari dirinya. Bila dia menurunkan, maka hal itu berdasarkan perintah
Allah. Hal seperti ini sering kita temukan di dalam Alquran.
Saat Allah memerintahkan pena untuk menulis Alquran di Lauh
Mahfudz maka muncullah ia dari alam gaib mutlak menjadi nyata di
alam nyata bagi lembaran dan tetap gaib bagi Jibril. Saat Alquran
diturunkan secara bertahap kepada Jibril maka muncullah ia dari alam
gaib menjadi nyata bagi Jibril dan tetap gaib bagi Nabi Muhammad.
Saat Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Jibril, maka
ia menjadi nyata bagi Muhammad dan masih gaib bagi umat manusia.
Saat Nabi Muhammad menyampaikannya kepada manusia maka ia
menjadi nyata secara mutlak dan sempurna. Jadi, pada awalnya Alquran
itu gaib dan tidak ada yang mengetahui kecuali Allah. Ketika Alquran
menggunakan kata anzala maka maksudnya adalah diturunkan Alquran
untuk pertama kali dari Allah ke Lauh Mahfudz atau dari alam gaib

365
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

mutlak menjadi nyata di alam nyata.


Yang menjadi pusat perhatian di sini adalah sambutan hangat dari
manusia terhadap apa yang diturunkan Allah. Dia menyambut seakan-
akan Allah menurunkan langsung kepada dirinya. Seakan-akan dia
mendengar firman-Nya secara langsung, hingga konsentrasi penuh dan
melupakan yang lain.
Untuk itu saat mendengar Alquran manusia harus dapat menggambil
manfaat darinya dan menjadikannya sebagai panduan hidup. Imam
Ja’far berkata: “Saya heran dengan orang yang takut, tapi tidak kembali
kepada firman Allah: “Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami
dan Dia sebaik-baik pelindung.” (QS Âli ‘Imrân [3]: 173) Karena saya
mendengar Allah berfirman setelah itu: Maka mereka kembali dengan
nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak ditimpa suatu
bencana dan mereka mengikuti keridaan Allah. Allah mempunyai ka-
runia yang besar. (QS Âli ‘Imrân [3]: 174) Artinya, orang yang
berlindung kepada Allah tidak takut menjalani hidup ini.
Imam Ja’far melanjutkan: “Saya heran dengan orang yang ditipu
tapi tidak kembali kepada firman Allah: “Aku menyerahkan urusanku
kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-
Nya.” (QS Ghâfir [40]: 44), karena saya mendengar Allah berkata
setelah itu: Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka,
sedangkan Firaun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang sangat buruk.
(QS Ghâfir [40]: 45)
Artinya, Imam Ja’far telah menjadikan apa yang dia dengar dari
firman Allah sebagai pedoman hidup. Bahkan dia seakan-akan
mendengar pesan itu langsung dari Allah.
Makna malam qadar menarik untuk dikaji. Allah telah
menerangkan kepada kita melalui Nabi Muhammad bahwa Dia telah
menciptakan masa dan tempat, kemudian Dia memuliakan sebagai masa
atas masa yang lain, dan satu tempat atas tempat yang lain. Dia juga
memuliakan sebagaian manusia dari manusia yang lain.
Contohnya, Dia memuliakan malaikat Jibril di antara para malaikat.
Lihat QS al-Hajj [22]: 75. Dia memuliakan dan memilih Adam, Nuh,
keluarga Ibrahim, keluarga Imran dari seluruh manusia. Lihat QS Âli
‘Imrân [3]: 33. Memuliakan Nabi Muhammad dari seluruh manusia.
Lihat QS al-‘Arâf [7]: 144. Memuliakan Maryam dari seluruh wanita.
Lihat QS Âli ‘Imrân [3]: 42.
Ketika Allah memuliakan, mengagungkan dan memuji satu malam,
karena pada malam itu Alquran diturunkan. Bukan, karena malam itu

366
AL-QADR 97, JUZ 30

mulia, sehingga Allah menurunkan Alquran pada saat itu.


Qadar itu sendiri mengandung sedikitnya dua makna. Pertama,
makna qadar dalam arti mulia, agung atau tinggi ... dst dari makna-
makna yang mengandung kemuliaan. Makna kedua, adalah taqdir/
ditetapkan.
Dipilih malam bukan siang juga perlu dikaji. Malam merupakan
waktu yang tenang dan damai. Siang adalah waktu gerak dan ramai.
Gerak di siang hari mengarahkan berbagai potensi manusia untuk
berbagai kegiatan yang harus dilakukan. Adapun pada saat malam
manusia telah tenang hingga dapat menerima perintah dengan baik.
Alquran menegaskan: Sungguh, bangun malam itu lebih kuat
(mengisi jiwa); dan (bacaan pada waktu itu) lebih berkesan. (QS Al-
Muzammil [73]: 6). Membaca Alquran pada waktu malam adalah lebih
baik dan tepat, karena di keheningan malam manusia siap merenung dan
mengkaji diri serta mencari tahu untuk mencapai tujuan hidupnya.
Untuk itu waktu turun selalu dikaitkan dengan waktu malam.
Salat Tahajut yang mulia dan memuliakan manusia juga
diperintahkan untuk dilakukan pada malam hari. Di samping malam
dapat digunakan untuk merenung dan mengkaji diri, pada waktu malam
manusia terhindar dari sifat takabur dan sombong. Pada saat malam
tidak ada yang melihat kecuali Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-
taman (surga) dan mata air, mereka mengambil apa yang diberikan Tu-
han kepada mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia)
adalah orang-orang yang berbuat baik; mereka sedikit sekali tidur pada
waktu malam; dan pada akhir malam mereka memohon ampunan
(kepada Allah). (QS adz-Dzâriyât [51]: 15-18)
‫ ﹺﺭ‬‫ﻠﹶﺔﹸ ﺍﻟﹾﻘﹶﺪ‬‫ﻣﺎ ﻟﹶﻴ‬‫ ﻣ‬‫ﺭﺍﻙ‬‫ﺭ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﺩ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Kata
adrâka/tahukah kamu bermakna bahwa sesuatu itu di luar jangkauan
pengetahuan manusia. Ayat ini mengisyaratkan, kalau kita tidak tahu,
maka Allah akan memberi tahu. Pada awalnya sesuatu itu dalam hal ini
malam qadar adalah sesuatu yang tidak diketahui dan tidak dimengerti,
walau pun secara bahasa malam qadar adalah malam mulia, tapi hakikat
malam itu menjadi mulia tidak diketahui secara pasti, karena di
dalamnya banyak terdapat keagungan, misteri, pancaran sinar dan
cahaya ilahi yang tidak dapat deiungkapkan hanya dengan lafaz dan
makna. Makna lafaz yang ada dalam ayat ini harus dipahami
berdasarkan kehendak Allah yang berkata-kata kepada kita. Bila ini

367
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

dilakukan, maka kita akan mendapat pemahaman yang lebih dari


sekedar makna lafaz-lafaz yang ada.
‫ ﹴﺮ‬‫ﻬ‬‫ ﺷ‬‫ ﺃﹶﻟﹾﻒ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﺭﹺ ﺧ‬‫ﻠﹶﺔﹸ ﺍﻟﹾﻘﹶﺪ‬‫ ﻟﹶﻴ‬malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu
bulan. Di antara mereka ada yang memahami seribu bulan dengan bulan
yang dipahami secara umum oleh manusia. Yaitu bulan yang terdiri dari
beberapa hari dan minggu. Menurut pendapat ini seribu bulan itu sama
dengan delapan puluh tiga bulan. Peristiwa malam qadar itu terjadi pada
malam Ramadan, sesuai dengan ayat: Bulan Ramadan adalah (bulan)
yang di dalamnya diturunkan Alquran, sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang benar dan yang batil). (QS al-Baqarah [2]: 185)
Kata ‘seribu’ di dalam Alquran dapat dipahami dengan pemahaman
bangsa Arab pada waktu itu, yang menyatakan bahwa seribu adalah
bilangan paling maksimal yang mereka kenal. Buktinya, sungguh, eng-
kau (Muhammad) akan mendapati mereka (orang-orang Yahudi),
manusia yang paling tamak akan kehidupan (dunia), bahkan (lebih
tamak) dari orang-orang musyrik.) Masing-masing dari mereka,
ingin diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu tidak akan
menjauhkan mereka dari azab. Dan Allah Maha Melihat apa yang
mereka kerjakan. (QS al-Baqarah [2]: 96)
Riwayat yang mengisahkan tentang malam qadar lebih baik dari
seribu bulan banyak ditemukan di dalam kitab hadis dan tafsir, di
antaranya:
Nabi mengisahkan tentang seorang lelaki dari Bani Israel yang
memakai baju besi untuk berjuang di jalan Allah selama seribu bulan.
Mendengar berita itu, terkagum-kagumlah kaum muslimin, maka Allah
menurunkan: Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran)
pada malam kemuliaan. Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?
Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan ... yang dijadikan
oleh lelaki Bani Israel itu untuk berjuang di jalan Allah.
Mujahid meriwayatkan bahwa di kalangan umat Bani Israel terdapat
seorang lelaki yang tiap hari salat malam sampai subuh dan berjihad di
jalan Allah di siang hari sampai sore. Dia melakukan itu selama seribu
bulan, maka Allah menurunkan ayat utama ini yang menyatakan bahwa
malam qadar ini lebih baik dari seribu bulan salat dan jihad di jalan
Allah.
Riwayat lain menyatakan bahwa sebagian umat Bani Israel
beribadah selama delapan puluh tahun, kemudian semangat mereka

368
AL-QADR 97, JUZ 30

mengendor. Riwayat lain mengatakan bahwa umat dari Bani Israel tidak
disebut sebagai abid/taat beribadah kecuali bila dia telah beribadah
selama delapan puluh tahun, dan tidak pernah melakukan kemaksiatan
selama itu.
Seakan-akan riwayat-riwayat ini sedang memuliakan Bani Israel,
maka Jibril menurunkan ayat ini untuk memuliakan Nabi Muhammad
dan umatnya. Isi surat ini adalah amal 1 hari senilai dengan seribu
bulan. Bahkan bila dilakukan kebaikan dengan penuh khusuk dan
mengharap rida Allah akan dihapus segala dosa yang telah lalu. Seakan-
akan satu malam itu lebih mulia dari ibadah yang dilakukan selama
delapan puluh tahun lebih.
‫ ﹴﺮ‬‫ﻣﻦ ﻛﹸﻞﱢ ﺃﹶﻣ‬‫ ﹺﻬﻬﻢ ﻣ‬‫ﺑ‬‫ ﺭ‬‫ﻬﺎ ﺑﹺﺈﹺﺫﹾﻥ‬‫ﻓﻴﻬ‬‫ ﻓ‬‫ﺮﻭﺡ‬‫ﻭﺍﻟﺮ‬‫ﺋ ﹶﻜ ﹸﺔ ﻭ‬‫ﻤ ﹶﻠﻠﺎ‬ ‫ﺰ ﹸﻝ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻨ‬‫ ﺗ‬pada malam itu turun
malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk
mengatur segala urusan. Kata “dan” dalam ilmu tata bahasa berarti ada
yang disambung dan antara penyambung dan disambung terdapat
perbedaan, atau yang kedua (penyambung) mengkhususkan kata
sebelumnya (disambung), atau yang kedua menjadikannya bersifat lebih
umum. Contohnya, Ya Tuhanku, ampunilah aku, ibu bapakku, dan siapa
pun yang memasuki rumahku dengan beriman dan semua orang yang beri-
man laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi
orang-orang yang zalim itu selain kehancuran.” (QS Nûh [71]: 28) Kata
‘dan’ pada kalimat ‘ibu dan mukmin’ pada ayat ini bermakna bahwa ibu
bagian dari mukmin dan dia menjadi lebih khusus dari mukmin secara
umum.
Begitu juga halnya dengan ayat yang kita kaji. Para malaikat turun
ke bumi, lebih dikhususkan lagi malaikat yang bernama Ruh. Malaikat
itu terdiri dari dua bagian, malaikat yang mengatur urusan manusia,
inilah para malaikat yang diperintahkan Allah untuk sujud di hadapan
Adam, dan malaikat Alin yang khusus memuji Allah. Untuk itu saat
Allah bertanya kepada Iblis yang enggan sujud, Dia berkata: “Kenapa
kamu tidak sujud, apakah kamu sombong atau kamu termasuk dari
malaikat Alin?”
Kata ruh pada ayat di atas dapat dipahami dengan dua makna.
Pertama, malaikat yang menjaga manusia; kedua, Jibril yang disebut
dengan Ruh Amin, sebagaimana firman Allah: Yang dibawa turun oleh
Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), (QS asy-Syu’arâ’ [26]:193) Kedua-dua makna
ini dapat diterima, karena redaksi ayat mencakup kedua makna itu.
Dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan . Kata

369
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

‘urusan’ dapat dimengerti dengan dua makna. Pertama, urusan dalam


mengatur alam semesta ini, seperti urusan yang terkait dengan rezeki,
takaran turun hujan yang menyuburkan bumi, urusan yang terkait
dengan peperangan, kematian dan segala gerak sendi kehidupan. Setiap
malaikat memiliki tugas dan fungsi yang berkaitan langsung dengan
penduduk bumi.
Pendapat kedua, makna urusan adalah takdir yang ditetapkan Allah,
seperti takdir jumlah orang yang mati pada tahun ini, takdir jumlah
malapetaka, takdir jumlah bayi yang lahir, jumlah kematian, kesuburan,
kegersangan ... dll. Di antara takdir ini ada yang baik dan ada yang
buruk.
‫ ﹺﺮ‬‫ﻄﹾﻠﹶﻊﹺ ﺍﻟﹾﻔﹶﺠ‬‫ﺘﻰ ﻣ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻡ‬ ‫ﺳﺳﻼ‬ malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit
fajar. Kita katakan: “Malapetaka yang menimpa, bencana yang
menghantam dan takdir buruk yang menerpa, semua itu bagi mukmin
adalah baik dan mensejahterakan.”
Terkadang manusia melihat perang adalah buruk dan kejahatan.
Tapi menurut Allah di dalam QS al-Baqarah 251 ia adalah bagian dari
kedamaian dan kesejahteraan dunia. Kalau Allah tidak membela pihak
yang benar untuk menyatakan perlawanan terhadap kezaliman maka
tidak akan terwujud perdamaian. Untuk itu perang adalah sisi lain
mewujudkan perdamaian.
Begitu juga dengan malapetaka dan bencana, jangan berpikir bahwa
ini menyebabkan kesengsaraan dan menjauhkan bangsa dan rakyat dari
kesejahteraan. Apa makna salam/damai dan sejehtera? Maknanya
adalah bahwa kita damai dan sejahtera hidup bersama Allah,
menjalankan syariat dan menjauhi maksiat. Damai dan sejahtera hidup
berdampingan bersama masyarakat dan tetangga, dan damai serta
sejahtera bersama diri sendiri.
Bagaimana mungkin kemarau dan peceklik disebut damai dan
sejahtera? Jawabannya, dengan kemarau dan peceklik membuat
manusia tidak saling menzalimi diri dan masyarakat. Atau dengan
bencana itu manusia tidak durhaka atau bahkan lebih dekat kepada
Allah. Bukankah ini salam, damai dan sejahtera!? Inilah timbangan
salam yang sebenarnya.
Nilailah sesuatu berdasarkan hikmat dan kehendak Allah. Dia tidak
berkehendak kecuali, agar mukmin tetap hidup bersama-Nya, memohon
perlindungan serta bertawakal sepenuhnya. Untuk itu Allah berfirman:
Katakanlah (Muhammad), “Wahai Tuhan pemilik kekuasaan,

370
AL-QADR 97, JUZ 30

Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki,


dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki.
Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hina-
kan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala
kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS Âli
‘Imrân [3]: 26)
Diangkat menjadi pemimpin adalah baik dalam kaca mata manusia.
Sedangkan dicopot menurut manusia tidak baik. Dimuliakan adalah baik
dalam kaca mata manusia, tetapi dihinakan adalah tidak baik dalam kaca
mata manusia. Tapi, bagi mukmin yang beriman kepada Allah keempat
peristiwa itu adalah baik. Selama itu takdir dari Allah, maka itu baik dan
layak dipuji.
Saad bin Abi Waqqas berkata kepada Nabi Muhammad:
‫ ﹺﺭ‬‫ﻠﹶﻠﻰ ﻗﹶﺪ‬‫ﻨﺎﺱ ﻋ‬‫ﻠﹶﻠﻰ ﺍﻟﻨ‬‫ﺘ‬‫ﺜﹶﺜﻞ ﻳﺒ‬‫ﺜﹶﺜﻞ ﻓﹶﻓﺎﻷَﻣ‬‫ ﺍﻷَﻣ‬‫ﺤﻮ ﹶﻥ ﹸﺛﻢ‬
‫ﺤ‬‫ﺼﺎﻟ‬
‫ﻭﺍﻟﺼ‬‫ﻴﺎﺀ ﻭ‬‫ﺒﹺﻴ‬‫ﻼ ًﺀ ﻗﺎﻝ“ ﺍﻷَﻧ‬
‫ ﹶ‬‫ﻨﺎﺱ ﺃﹶﺃﺷﺪ ﺑ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺃﹶﻱ‬:
‫ﻨـﻪ‬
‫ﻨَـ‬‫ﻴﻴﺒـ‬ ‫ﺼ‬
 ‫ ﹶﻞ ﻟﻴ‬‫ﺟ‬‫ﻭﹺﺇﻥﱠ ﺍﻟﺮ‬ ‫ﻼﺅﻩ‬
‫ﻼﹶ‬‫ ﺑ‬‫ﺿﻌﻒ‬
‫ﺩﻳﻨﻪ ﺿ‬‫ ﺩ‬‫ﻒ‬‫ﺿﻌ‬
 ‫ﻣﻣﻦ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻼﺅﻩ‬
‫ﻼ‬
‫ ﹶ‬‫ ﺑ‬‫ﺘﺪ‬‫ﺷ‬ ‫ﻳﻳﻨﻪ ﺍ‬‫ﺩ‬ ‫ﺨﻦ‬
‫ ﺛﺨ‬‫ﻦ‬‫ﹺﻨﻬﹺﻬﻢ ﻓﹶﻤ‬‫ﻳ‬‫ﺩ‬
‫ﻴﹶﺌﺌﺔ‬ ‫ﻄ‬ ‫ﺧ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﻋ ﹶﻠ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ﺱ‬
‫ﻨﺎ ﹺ‬َ‫ﻓﻲ ﺍﻟﻨ‬‫ﺸﻲ ﻓ‬
‫ﺸ‬‫ﻤ‬‫ ﻳ‬‫ﱴ‬‫ﻼﺀ ﺣ‬
‫ﻼﹶ‬‫ﺍﻟﺒ‬
“Siapa orang yang paling banyak mendapatkan cobaan?”
Nabi Muhammad menjawab: “Para nabi, orang-orang saleh, orang
-orang yang mendekati derajat kenabian dan kesalehan. Manusia akan
dicoba berdasarkan keteguhan agamanya. Bila dia teguh, maka cobaan
semakin kuat. Bila dia lemah, maka cobaan pun ringan. Manusia tetap
dicoba hingga dia berjalan di bumi tanpa pernah melakukan
kesalahan.” (HR Ahmad)
Para malaikat terus saja mengucap salam kepada mukminin. Itu
karena ucapan salam merupakan usaha untuk memuliakan manusia dan
menghormati mereka, karena mereka berpegang teguh dengan Alquran
yang diturunkan, beribadah di malam mulia yang lebih baik dari seribu
bulan. Di antara sesama sahabat akan selalu bersalaman di dalam
kesempatan yang membahagiakan sebagai wujud restu dan ikut andil
bahagia di saat yang lain berbahagia.
Diriwayatkan bahwa para malaikat akan turun ke bumi untuk
mengetuk setiap rumah muslim dan mengucapkan salam atas mereka.
Walaupun kita tidak mengetahui dan menyadarinya.
Kita bermohon kepada Allah agar kita termasuk dari golongan yang
mendapatkan salam, kedamian dan kesejahteraan di dalam menjalankan
syariat agama dan di dalam kehidupan ini, serta di akhirat kelak, karena
Dia Maha Kuasa dan Pelindung kita. Amin.***

371
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

372
AL-BAYYINAH 98, JUZ 30

SURAT 98
AL-BAYYINAH
(MAKKIYAH)

373
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

374
AL-BAYYINAH 98, JUZ 30

Surat al-Bayyinah memaparkan beberapa hakikat sejarah dan


keimanan dengan gaya bahasa laporan yang mengasyikkan. Hakikat
pertama, bahwa pengutusan Nabi Muhammad adalah satu keharusan
agar kaum kafir dari Ahli Kitab dan musyrik berubah dari kesesatan dan
perbedaan kepada iman dan takwa. Orang-orang kafir yakni ahli kitab
dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan
meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang
n y at a, (y ait u ) se o r ang Ra s ul da r i All a h (M u h am m a d) y a ng
membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Alquran), di
dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus.
Hakikat kedua, bahwa Ahli Kitab tidak berbeda pendapat di dalam
agama mereka akibat kebodohan yang mereka anut, tapi karena
pengetahuan yang mereka miliki. Tidaklah berpecah belah orang-orang
yang didatangkan Alkitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang
kepada mereka bukti yang nyata.
Hakikat ketiga, bahwa asal agama samawi itu satu, dasar-dasar
peribadatannya jelas dan mudah, sehingga tidak menyebabkan
permusuhan dan perbedaan. Padahal mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka
mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah
agama yang lurus.
Hakikat keempat, kaum kafir yang tetap berada dalam kekufuran
setelah mengetahui kebenaran Islam adalah sejahat-jahat manusia.
Sedangkan orang yang beriman dan beramal saleh adalah sebaik-baik
manusia. Tentu saja balasan bagi kedua belah pihak sangat berbeda dan
bertolak belakang.
Sesungguhnya orang kafir yakni ahli Kitab dan orang musyrik (akan
masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu
adalah seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.
Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga Adn yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Allah rida terhadap mereka dan merekapun rida kepadaNya. Yang
demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.
Keempat-empat hakikat ini memiliki nilai yang tinggi dalam
mengetahui peran akidah Islam, dan risalah Muhammad serta gambaran
keimanan yang benar. Berikut ini penjelasannya.***

375
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

AHLI KITAB BERPECAH BELAH MENGHADAPI


MUHAMMAD SAW SEDANG AJARAN YANG
DIBAWANYA ADALAH WAJAR
(QS al-Bayyinah [98]: 1-8)
onmlkjihgfed
}|{z yxwvutsrqp
kjihgfedcba`_~
xwvutsrqponml
§¦¥¤ £¢¡~} |{zy
´³²±°¯®¬«ª©¨
JIHGFEDCBA¸¶µ
XWVUTSRQPONMLK
Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik
(mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan
(agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata,
(yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan
lembaran-lembaran yang disucikan (Alquran), di dalamnya
terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus. Tidaklah berpecah belah
orang-orang yang didatangkan Alkitab (kepada mereka)
melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata.
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.
Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-
orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal
di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di
sisi Tuhan mereka ialah surga `Adn yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah

376
AL-BAYYINAH 98, JUZ 30

rida terhadap mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Yang


demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada
Tuhannya.
Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik
(mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya)
sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. Bumi sangat
memerlukan risalah baru, akibat kerusakan telah menyebar di berbagai
belahan bumi yang tidak dapat diharapkan perbaikannya lagi, kecuali
dengan mengutus rasul baru, gerakan baru dan manhaj baru.
Pada saat itu kekafiran telah menerpa penduduk bumi. Tidak
terkecuali dengan Ahli Kitab yang telah dikenal sebagai bagian dari
agama samawi. Ahli Kitab menjadi kafir akibat perubahan mendasar
dari akidah tauhid menjadi trinitas, sementara di semenanjung Arab dan
di luarnya kemusyrikan telah merajalela. Keadaan ini tidak akan
berubah kecuali dengan mengutus risalah baru dari seorang rasul yang
dapat menjelaskan keimanan yang murni tanpa campuran kekufuran dan
kemusyrikan.
‫ﺮ ﹰﺓ‬ ‫ﻄﹶﻬ‬‫ﻔﹰﻔﺎ ﻣ‬‫ﺤ‬‫ﻠﹸﻠﻮ ﺻ‬‫ﺘ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺳﺳﻮ ﹲﻝ‬ ‫ﺭ‬ (yaitu) seorang Rasul dari Allah
(Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan
(Alquran), atau disucikan dari segala bentuk kemusyrikan dan
kekafiran.
‫ﻤ ﹲﺔ‬ ‫ﻴ‬‫ﺐ ﹶﻗ‬  ‫ﺘ‬‫ﻬﺎ ﹸﻛ‬‫ﻓﻴﻬ‬‫ ﻓ‬di dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus.
Maksud kutub/kitab-kitab pada ayat ini adalah judul-judul atau
pembahasan-pembahasan di dalam Alquran yang bernilai tinggi.
Seperti, pembahasan tentang thaharah, salat, takdir, hari kiamat dll.
Kedatangan risalah Islam tepat pada waktunya, begitu juga
kedatangan Nabi Muhammad yang membawa kitab suci Alquran.
Adapun bukti sejauhmana pentingnya kedatangan Islam di bumi ini,
dapat dilihat dan dibaca buku “Apa yang dirugikan dunia bila Muslimin
hancur”.
Pada bab awal pasal pertama tertulis, pada abad keenam dan ketujuh
Masehi merupakan sejarah kemunduran dunia. Bila sebelumnya umat
manusia dalam masa kegelapan, maka pada masa ini adalah puncaknya.
Pada masa ini, manusia telah melupakan Tuhan, melupakan diri dan
tujuan hidup, telah hilang kecerdasan dan kekuatan untuk membedakan
antara yang baik dan buruk. Pada masa itu pesan-pesan yang dibawa
oleh para nabi telah sirna, kalaupun masih ada sinarnya, maka ia sangat

377
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

redup, tidak dapat menyinari kecuali untuk beberapa gelintir saja. Pada
saat itu agamawan telah menarik diri dari kehidupan dunia, untuk
bersemedi di balik gereja dan persemedian. Adapun agamawan yang
dapat bertahan melawan kehidupan dunia dengan bernegoisasi atas para
penguasa, maka mereka akan menopang segala kejahatan dan arogansi
penguasa, mereka juga ikut menikmati memakan harta manusia secara
batil dan haram.
Pada masa itu agama-agama besar menjadi ajang perebutan bagi
para munafik dan pendosa, hingga hilanglah visi utama dari agama.
Hingga kalau para nabi sebagai pembawa agama dibangkitkan kembali
dan diperkenalkan dengannya agama ini, maka mereka tidak akan
mengenalnya. Peradaban dan kebudayaan pada masa itu berada dalam
panggung kesembrautan, rusak dan berantakan. Dunia tanpa masa
depan, manusia hidup tanpa moral dan kebaikan, serta tanpa agama
samawi yang sebenarnya.
Inilah gambaran dunia sebelum diutus Nabi Muhammad. Kondisi ini
sendiri telah digambarkan Alquran dalam berbagai tempat. Di antara
gambaran Alquran tentang umat Yahudi dan Nasrani yang bercokol
dapat dilihat pada: Orang-orang Yahudi berkata, “Uzair putra Allah,”
dan orang-orang Nasrani berkata, “Al-Masih putra Allah.” Itulah uca-
pan yang keluar dari mulut mereka. Mereka meniru ucapan orang-
orang kafir yang terdahulu. Allah melaknat mereka; bagaimana mereka
sampai berpaling? (QS at-Tawbah [9]: 30) dan, orang Yahudi berkata,
“Orang Nasrani itu tidak memiliki sesuatu (pegangan),” dan orang-
orang Nasrani (juga) berkata, “Orang-orang Yahudi tidak memiliki
sesuatu (pegangan),” padahal mereka membaca Kitab. Demikian pula
orang-orang yang tidak berilmu, berkata seperti ucapan mereka itu.
Maka Allah akan mengadili mereka pada hari Kiamat, tentang apa
yang mereka perselisihkan. (QS al-Baqarah [2]: 113)
Gambaran Alquran tentang kejahatan umat Yahudi dapat dilihat di
antaranya pada: orang-orang Yahudi berkata, “Tangan Allah ter-
belenggu.” Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan
merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan
itu, padahal kedua tangan Allah terbuka; Dia memberi rezeki sebagai-
mana Dia kehendaki. (Alquran) yang diturunkan kepadamu dari Tu-
hanmu itu pasti akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi ke-
banyakan mereka. Kami timbulkan permusuhan dan kebencian di
antara mereka sampai hari Kiamat. Setiap mereka menyalakan api
peperangan, Allah memadamkannya. Mereka berusaha (menimbulkan)

378
AL-BAYYINAH 98, JUZ 30

kerusakan di bumi. Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat


kerusakan. (QS al-Mâidah [5]: 64).
Gambaran Alquran tentang kebejatan Nasrani: Sungguh, telah kafir
orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah itu dialah Almasih pu-
tra Maryam.” Padahal Almasih (sendiri) berkata, “Wahai Bani Israil!
Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu.” Sesungguhnya barangsiapa
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh, Allah
mengharamkan surga baginya, dan tempatnya ialah neraka. Tidak ada
seorang penolong pun bagi orang-orang zalim itu. Sungguh, telah kafir
orang-orang yang mengatakan, bahwa Allah adalah salah satu dari
yang tiga, padahal tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Tu-
han Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka kata-
kan, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa azab
yang pedih. (QS al-Mâidah [5]: 17- 72 dan 73). Gambaran Alquran
tentang kaum musyrikin lihat QS al-Kâfirun [109]:1-6.
Secara umum pada saat itu tidak ada satu umat yang berdiri di atas
pilar moral dan akhlak mulia, tidak ada juga satu pemerintahan yang
berdiri di atas keadilan dan kasih sayang, tidak ada pula kepemimpinan
yang berdiri di atas kaki ilmu dan bijaksana, serta tidak ada agama yang
berasas pada ajaran nabi yang sebenarnya.
Merupakan rahmat Allah, Dia mengutus seorang rasul yang
membaca kitab yang suci, bernilai dan penuh makna. Kaum kafir yang
terdiri dari musyrikin, ahli kitab tidak akan berubah dari kejahatan itu
kecuali dengan diutusnya nabi penyelamat.
Saat Allah memaparkan surat al-Bayyinah ini, Dia menjelaskan
bahwa kaum kafir, khususnya Ahli Kitab tidak berbeda dan berpecah
belah akibat kebodohan atau kesulitan dalam memahami agama, tapi
mereka berpecah belah karena pengetahuan yang mereka miliki.
‫ﻨ ﹸﺔ‬‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ﻢ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺟﺎﺀﺗ‬‫ﻣﺎ ﺟ‬‫ ﻣ‬‫ﺪ‬‫ﻌ‬‫ﻣﻣﻦ ﺑ‬ ‫ﺏ ﹺﺇﺇﻻ‬
 ‫ﺘﺎ‬‫ﺘ‬‫ﺗﻮﺍ ﺍﻟﹾﻜ‬‫ ﺃﹸﺃﻭﺗ‬‫ﺬﺬﻳﻦ‬ ‫ﻕ ﺍﱠﻟ‬
 ‫ﻔﹶﺮ‬‫ﻣﺎ ﺗ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬tidaklah berpecah belah
orang-orang yang didatangkan Alkitab (kepada mereka) melainkan
sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata. Perpecahan yang
dialami oleh Ahli Kitab pertama kali ialah pada masa Umat Yahudi
yang hidup sebelum zaman Nabi Isa. Umat ini telah berpecah belah
menjadi beberapa aliran dan golongan. Padahal rasul mereka Nabi Musa
dan kitab suci mereka Taurat. Pada saat itu mereka terpecah ke dalam
lima kelompok besar. Saduqi, Firisi, Asiyi, Ekstrim dan Samiri. Tiap
kelompok memiliki ciri dan aliran tersendiri. Kemudian perpecahan di
antara Yahudi dan Nasrani, padahal Nabi Isa adalah satu dari nabi-nabi
Bani Israel dan nabi terakhir dari mereka. Nabi Isa diutus untuk

379
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

menyempurnakan kitab suci Taurat, walau pun demikian telah terjadi


perbedaan dan perpecahan antara Yahudi dan Nasrani sampai pada taraf
dendam kesumat. Sejarah telah mencatat bagaimana dendam kesumat
ini telah membuat bulu roma merinding.
Di antara kisah itu, di tahun 610 M, di Antokhia terjadi perang
antara umat Yahudi dengan umat Nasrani, Foks mengirim Ephnosius
sebagai panglima perang untuk menumpas pemberontakan dengan
membunuh semua manusia, baik dengan cara menebas lehernya dengan
pedang, mencekik, menenggelamkan di sungai atau lautan, atau
membakar hidup-hidup, atau melemparkannya ke segerombolan
binatang buas. Ini perang yang terjadi antara umat Yahudi dan Nasrani.
Kisra, raja Parsia juga mengutus tentaranya ke negara Syam dan
Mesir serta Palestina untuk menghancurkan seluruh gereja di sana.
Seluruh umat Nasrani dibunuh. Peperangan di antara umat Nasrani ini
dibantu oleh umat Yahudi untuk mempercepat penghancuran seluruh
gereja di sana.
Perpecahan dan perbedaan antara umat Nasrani sendiri pun akhirnya
terjadi, padahal kitab suci dan nabi mereka satu. Mereka berselisih
paham seputar akidah, tepatnya tentang hakikat Nabi Isa, dari sisi lahut
dan nasut, atau dari sisi kemanusiaan dan ketuhanannya, hakikat ibunda
Maria, dan hakikat trinitas. Hal ini ditegaskan Allah dalam QS al-
Maidah 17 dan 72, 73 serta 116.
Perpecahan yang paling runcing terjadi antara Nasrani Syam dan
kerajaan Romawi dengan Nasrani Mesir, atau antara Malkaniyah
dengan Manufusiyah. Malkaniyah berkeyakinan bahwa Nabi Isa
memeliki dua hakikat: ketuhanan dan kemanusiaan, sementara
Manufusiah berkeyakinan bahwa Nabi Isa hanya memiliki hakikat
ketuhanan, yang menghapus hakikat kemanusiaannya. Perpecahan ini
memuncak pada abad keenam dan ketujuh, hingga tergambar seakan-
akan keduanya dua agama yang tidak dapat dipersatukan. Kedua-dua
kelompok mengatakan bahwa kelompok yang lain salah.
Hireklius (610-641 M), tepatnya setelah kemenangannya melawan
Parsia tahun 638 M, berusaha untuk mengumpulkan semua pendapat
gereja dan menjadikannya satu pendapat. Pendapat yang ditetapkan ini
tidak boleh diperdebatkan lagi, tapi ternyata keputusannya bukan untuk
menyelesaikan apakah Isa memiliki satu hakikat atau dua hakikat, dia
malah menegaskan bahwa Isa adalah Tuhan. Hireklius ngotot untuk
menyebarkan ajaran baru ini kepada seluruh kelompok yang ada dengan
berbagai cara, tapi gereja Qibti tetap menolak ajaran ini. Mereka tidak

380
AL-BAYYINAH 98, JUZ 30

bertanggung jawab dengan penyimpangan sesat yang dilakukan, mereka


tetap berpegang teguh dengan akidah mereka yang lama. Hal ini
menyebabkan terjadi perang di Mesir yang berjalan sampai sepuluh
tahun. Penduduk Mesir disiksa bahkan dibunuh dengan cara
ditenggelamkan hidup-hidup, atau dibakar sebagai obor penerang jalan.
Semua ini dilakukan oleh Ahli Kitab sesudah datang kepada mereka
bukti yang nyata. Mereka tidak bodoh tentang akidah yang benar, tapi
hawa nafsu dan ambisi pribadi telah membutakan mata hati, sehingga
agama yang aslinya begitu jelas, dan akidah yang aslinya begitu mudah,
menjadi buram dan sulit.
‫ﻚ‬
 ‫ﺫﹶﻟ‬‫ﻛﹶﻛﺎﺓﹶ ﻭ‬‫ﺗﻮﺍ ﺍﻟﺰ‬‫ﺗ‬‫ﺆ‬‫ﻳ‬‫ﺼﻼﺓﹶ ﻭ‬
‫ﻤﻮﺍ ﺍﻟﺼ‬‫ﻘﻴﻤ‬‫ﻘ‬‫ﻳ‬‫ﻨﻔﹶﻔﺎﺀ ﻭ‬‫ﺣ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺪﺪﻳ‬ ‫ﻪ ﺍﻟ‬ ‫ﲔ ﹶﻟ‬
‫ﺼ‬ ‫ﻠ‬ ‫ﺨ‬
 ‫ﻣ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺪﺪﻭﺍ ﺍﻟ ﱠﻠ‬ ‫ﺒ‬‫ﻌ‬ ‫ﻴ‬‫ﻟ‬ ‫ﺮﻭﺍ ﺇﹺﺇﻻ‬‫ﺮ‬‫ﻣﺎ ﺃﹸﻣ‬‫ﻣ‬‫ﻭ‬
‫ﺔ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻴ‬‫ﺍﹾﻟ ﹶﻘ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺩﺩﻳ‬
padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.
Inilah asas agama Allah secara umum dan mutlak. (1) Menyembah
Allah yang Maha Esa, (2) mengikhlaskan seluruh ibadah untuk-Nya, (3)
menjauhkan segala bentuk kemusyrikan, (4) mendirikan salat dan (5)
membayar zakat.
Akidah itu terhujam di dalam jiwa, dan diimplementasikan dalam
bentuk ibadah kepada Allah secara ril dan nyata, di antaranya dengan
salat dan zakat. Perkara ini pernah diterapkan untuk Ahli Kitab dan
umat-umat nabi sebelumnya, karena agama Allah itu satu, dengan
akidah yang satu. Inilah agama yang mudah dan jelas, tidak ada
kesulitan dan keburaman di dalamnya. Akidah yang tidak mengajak
pada perpecahan dan perselisihan, karena sangat mudah dan sangat
jelas.
Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang
musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya.
Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-
baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga `Adn
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan merekapun rida
kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut
kepada Tuhannya.
Nabi Muhammad adalah rasul terakhir, dan Islam adalah agama

381
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

terakhir. Para rasul diutus berbarengan dengan kerusakan yang terjadi di


bumi, agar manusia kembali kepada rel kebenaran. Setiap rasul diutus
tumbuh kembali kesempatan untuk perbaikan, agar orang yang tersesat
dapat kembali ke jalan yang benar.
Allah berkehendak menutup gugusan agama para rasul dengan
Islam yang sempurna. Kesempatan beragama telah dipertegas dengan
datangnya kesempatan terakhir ini, bila manusia beriman maka dia
berjaya, bila dia kufur maka dia celaka. Kakafiran adalah bukti puncak
kejahatan, sementara iman adalah bukti puncak kebaikan.
‫ﺮ‬ ‫ﻢ ﺷ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻚ‬
 ‫ﻟﹶﺌ‬‫ﻬﺎ ﺃﹸﻭ‬‫ﻓﻴﻬ‬‫ ﻓ‬‫ﺪﻳﻦ‬‫ﺪ‬‫ﺧﺎﻟ‬‫ ﺧ‬‫ﻢ‬‫ﻨ‬‫ﻬ‬‫ﻧﺎﺭﹺ ﺟ‬‫ﻓﻲ ﻧ‬‫ ﻓ‬‫ﲔ‬‫ﺮﹺﻛ‬‫ﺸ‬‫ﻭﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺘﺎﺏﹺ ﻭ‬‫ﺘ‬‫ﻞﹺ ﺍﻟﹾﻜ‬‫ ﺃﹶﻫ‬‫ﻦ‬‫ﺮﻭﺍ ﻣ‬‫ﻦ ﹶﻛﻔﹶﺮ‬ ‫ﺬﺬﻳ‬ ‫ﹺﺇ ﱠﻥ ﺍﱠﻟ‬
‫ﺔ‬ ‫ﻳ‬‫ ﹺﺮ‬‫ ﺍﻟﹾﺒ‬sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang
musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya.
Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. Ini adalah keputusan final
yang tidak dapat diganggu gugat. Walau pun sebagian kaum kafir
memiliki perkerjaan yang bermanfaat bagi dunia dan manusia, memiliki
akhlak mulia, memiliki disiplin yang tinggi ... tapi selama tidak beriman
kepada Allah dan ajaran Muhammad maka tidak ada guna semua itu.
‫ﺔ‬ ‫ﻳ‬‫ ﹺﺮ‬‫ ﺍﻟﹾﺒ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻢ‬‫ ﻫ‬‫ﻚ‬‫ﻟﹶﺌ‬‫ ﺃﹸﻭ‬‫ﺤﺎﺕ‬
‫ﺤ‬‫ﺼﺎﻟ‬
‫ﻤﻠﹸﻠﻮﺍ ﺍﻟﺼ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻨﻨﻮﺍ‬‫ﻣ‬ ‫ﻦ ﺁ‬ ‫ﺬﺬﻳ‬ ‫ ﹺﺇ ﱠﻥ ﺍﱠﻟ‬sesungguhnya orang-
orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah
sebaik-baik makhluk. Ini adalah keputusan final juga, yang tidak dapat
diganggu gugat. Dengan syarat yang begitu jelas, yaitu: iman, bukan
Islam KTP. Iman yang tidak saja diucapkan oleh lidah, tapi iman yang
menghujam di jiwa dan berpengaruh dalam realita kehidupan sehari-
hari. Buktinya, orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
saleh. Saleh adalah setiap amal baik yang diperintahkan Allah, dari
ibadah, akhlak, amal dan muamalat.
‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻨ‬‫ ﻋ‬‫ﻲ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ ‫ﺿ‬
 ‫ﺭ‬ ‫ﺪﺪﺍ‬ ‫ﺑ‬‫ﻬﺎ ﺃﹶ‬‫ﻓﻴﻬ‬‫ ﻓ‬‫ﺪﻳﻦ‬‫ﺪ‬‫ﺧﺎﻟ‬‫ ﺧ‬‫ﻬﺎﺭ‬‫ﻬ‬‫ﻬﺎ ﺍﻷَﻧ‬‫ﻬ‬‫ﺘ‬‫ﺤ‬‫ﻣﻦ ﺗ‬‫ﺮﹺﺮﻱ ﻣ‬‫ﺠ‬‫ ﺗ‬‫ﻥ‬‫ﺪ‬‫ ﻋ‬‫ﻨﺎﺕ‬‫ﻨ‬‫ ﺟ‬‫ﻬﹺﻢ‬‫ﺑ‬‫ ﺭ‬‫ﻋﻨﺪ‬‫ ﻋ‬‫ﻢ‬‫ﻫ‬‫ﺰﺍﺅ‬‫ﺰ‬‫ﺟ‬
‫ﻪ‬ ‫ﺑ‬‫ﺭ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﺸ‬
 ‫ﻦ ﺧ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻟ‬ ‫ﻚ‬
 ‫ ﺫﹶﻟ‬‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ﺿﻮﺍ ﻋ‬
‫ﺿ‬‫ﺭ‬‫ ﻭ‬balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah
surga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan merekapun
rida kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang
takut kepada Tuhannya. Surga adalah tempat manusia yang kekal dan
abadi, tempat damai yang jauh dari kegelisahan, tempat yang penuh
dengan kenikmatan bagaikan air sungai yang mengalir di bawahnya
tiada henti.
Kenikmatan itu terus bertambah hingga pada puncak kenikmatan itu

382
AL-BAYYINAH 98, JUZ 30

adalah Allah rida terhadap mereka dan merekapun rida kepadaNya.


Rida dari Allah adalah puncak dari segala nikmat. Keridaan Allah tentu
dibalas oleh mukmin dengan keridaan yang ada di dalam hati mereka.
Rida terhadap nikmat yang didapat, rida terhadap hubungan baik yang
terjalin antara dia dengan Tuhan-Nya, rida karena menemukan rasa
damai dan tentram. Ungkapan Allah rida terhadap mereka dan
merekapun rida kepadaNya adalah ungkapan bahagia yang tidak dapat
digambarkan.
Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada
Tuhannya. Ini merupakan penegasan terakhir. Penegasan yang
menegaskan bahwa semua itu terletak pada hubungan hati kita dengan
Allah, hubungan rasa takut dan segan kepada Allah, rasa takut yang
menyebabkan manusia melakukan setiap kebaikan dan menghindar dari
segala kejahatan, rasa takut yang membuat manusia kerdil dan telanjang
di hadapan Allah yang Maha Esa lagi Perkasa, rasa takut yang
menyebabkan mukmin ikhlas beribadah, jauh dari unsur syirik dan riya.
Inilah empat hakikat yang tergambar di dalam surat yang pendek ini.
Empat hakikat ini digambarkan Alquran dengan gaya bahasa yang khas
dan begitu mengena di hati setiap pembacanya.
Kita bermohon kepada Allah agar kita dapat menjadi rida dalam
setiap urusan yang kita lakukan, dan mendapat rida-Nya serta meridai
kita, karena Dia sangat mampu untuk melakukan itu dan Maha kuasa,
amin.***

383
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

384
AL-ZILZALAH 99, JUZ 30

SURAT 99
AL-ZILZALAH
(MAKKIYAH)

385
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

386
AL-ZILZALAH 99, JUZ 30

Surat Zilzalah yang pendek ini bila dibaca dengan baik akan dapat
menggetarkan hati manusia yang lengah. Getaran yang menyatu di
antara nama surat, isi dan realita yang terlihat oleh hati. Getaran hebat
yang menggempakan bumi beserta manusia yang ada di atasnya, baru
saja mereka tersadar dan siuman, tiba-tiba mereka sudah dihadapkan
dengan hisab/perhitungan amal, timbangan dan balasan dari amal yang
telah dilakukan.
Inilah ringkasan dari surat ini, ia merupakan aroma kiamat yang
begitu dahsyat.

DI HARI BERBANGKIT MANUSIA MELIHAT BALASAN


PERBUATANNYA BIARPUN SEBESAR DZARRAH
(QS al-Zilzalah [99]: 1-8)
 a`_^]\[ZY
nmlkjihgfedcb
 vutsrqpo
 }|{zyxw
dcba`_~
Apabila bumi diguncangkan dengan guncangannya (yang
dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang
dikandung) nya, dan manusia bertanya: “Mengapa bumi (jadi
begini)?”, pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena
sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian
itu) kepadanya. Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya
dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan
kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barang siapa yang
mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan
melihat (balasan) nya. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan
seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.
Apabila bumi diguncangkan dengan guncangannya (yang dahsyat),
dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung) nya.
Ini adalah gambaran hari kiamat. Pada hari itu bumi bergoyang dengan
dahsyatnya, gempa dengan hebatnya, termuntahkan seluruh apa yang
ada di dalamnya, keluar seluruh tubuh dan barang tambang yang

387
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

terdapat di dalamnya, seakan-akan tubuhnya menjadi ringan setelah


seluruh beban berat keluar darinya.
Ini adalah gambaran yang menggoyangkan setiap orang yang
mendengar ayat ini dari bawah kakinya, yang pada saat ini masih tetap
kokoh. Ayat ini menggambarkan dan mengilustrasikan kepada mereka
dan kita seakan-akan kita goyang akibat guncangan gempa bumi yang
dahsyat. Gambaran yang mencopotkan jantung akibat goyangan yang
tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Inilah gambaran Alquran yang
menimbulkan pengaruh begitu hebat bagi gendang telinga yang
mendengarnya saat mendengar lafaz ayat Alquran yang dahsyat ini.
Pengaruh lafaz Alquran ini kian membekas saat ia menggambarkan
manusia yang melihat kejadian itu berkata-kata. Reaksi manusia itu
menambah jelas betapa hebatnya gambaran kiamat yang diungkapkan
dalam ayat ini.
‫ﻬﺎ‬‫ﻣﺎ ﻟﹶﻬ‬‫ﺴﺎﻥﹸ ﻣ‬‫ﻗﹶﻗﺎﻝﹶ ﺍﻹِﻹﻧﺴ‬‫ ﻭ‬manusia bertanya: “Mengapa bumi (jadi begini)?”
Ini pertanyaan yang dilontarkan oleh manusia karena begitu terkejut dan
kaget. Dia lagi menghadapi sesuatu yang tidak dia ketahui, peristiwa
yang tidak bisa dihadapinya secara sabar dan diam berpanggu tangan ...
mengapa!? Apa yang menyebabkan bumi berguncang begitu dahsyat?
Seakan-akan bumi ini goyang hingga kemiringan dadanya dan
menghantam dirinya, dengan kemiringan seperti ini, dia berusaha untuk
meraih sesuatu agar dapat tetap tegak berdiri, padahal pada saat ini
semua yang ada di hadapannya berlalu begitu saja tanpa dapat diraih
untuk dijadikan pegangan guna bertahan.
Dalam kehidupan ini manusia pernah melihat gempa dan gunung api
meletus, pada waktu itu kita menemukan kepunahan dan kehancuran di
sana sini, suasana porak poranda, tapi suasana gempa pada hari kiamat
begitu dahsyat dan tidak pernah ada peristiwa sebelumnya yang
menyerupainya. Ini peristiwa baru yang sungguh luar biasa dan tidak
pernah berbayangkan oleh manusia, karena baru terjadi pertama kali dan
untuk terakhir kali.
‫ﻬﺎ‬‫ﺣﻰ ﻟﹶﻬ‬‫ﺣ‬‫ ﺃﹶﻭ‬‫ﻚ‬‫ﺑ‬‫ﻫﺎ }{ ﺑﹺﺄﹶﻥﱠ ﺭ‬‫ﻫ‬‫ﺒﺎﺭ‬‫ﺒ‬‫ﺙﹸ ﺃﹶﺧ‬‫ﺪ‬‫ﺤ‬‫ ﺗ‬‫ﺬ‬‫ﺌ‬‫ﻣ‬‫ﻮ‬‫ ﻳ‬pada hari itu bumi menceritakan
beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang
sedemikian itu) kepadanya. Pada hari peristiwa gempa ini terjadi dan
suasana manusia pada saat itu begitu mencekam, pada saat itu bumi
menceritakan apa yang sedang terjadi, ia menggambarkan bahwa apa
yang terjadi ini tidak lepas dari perintah Allah kepada dirinya. Allah
memerintahkan agar ia berguncang, gempa, mengeluarkan seluruh isi di

388
AL-ZILZALAH 99, JUZ 30

dalam perutnya. ia melaksanakan seluruh perintah tersebut.


‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻤﺎﻟﹶ‬‫ﻤ‬‫ﻭﺍ ﺃﹶﻋ‬‫ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﺗﺎ ﻟﱢﻴ‬‫ﺘﺎﺗ‬‫ﺘ‬‫ ﺃﹶﺷ‬‫ﻨﺎﺱ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺭ‬‫ﺪ‬‫ﺼ‬‫ﺬ ﻳ‬ ‫ﺌ‬‫ﻣ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ pada hari itu manusia ke luar dari
kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan
kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Saat manusia begitu
terkejut dengan keadaan dan situasi yang ada, saat dia masih bertanya-
tanya: apa yang terjadi ... apa yang terjadi, tiba-tiba dia dikejutkan
dengan peristiwa hisab, timbangan dan balasan ... di dalam peristiwa itu
juga tergambar sepintas bagaimana manusia dibangkitkan dari kubur.
Saat manusia dibangkitkan dari kubur, Alquran menggambarkannya
bagaikan belalang yang beterbangan di seluruh penjuru bumi, lihat QS
al-Insyiqaq [84]: 2. Peristiwa ini juga belum pernah terjadi sebelumnya.
Peristiwa di mana seluruh makhluk, terutama manusia dari seluruh
generasi dibangkitkan bersama-sama, di sini dan sana. Semuanya sibuk
dengan urusan masing-masing, lihat QS ‘Abasa [80]: 37. Ini peristiwa
yang tidak dapat disifatkan dengan bahasa manusia. Peristiwa yang
menegangkan, menakutkan dan mencekam. Semua lafaz-lafaz ini tidak
dapat menggambarkan peristiwa yang itu sesungguhnya, kecuali hanya
sekedar menghantar khayalan manusia ke arah itu saja.
Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan yang
bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan)
pekerjaan mereka. Mereka pergi menuju tempat amal ibadah mereka
dipertanggung jawabkan. Yang kafir dan tidak maksimal akan
menyesal, di mana tidak ada guna lagi penyesalan. Hanya dengan
melihat kondisi nilai amal yang tidak layak saja mereka sudah malu dan
menyesal. Terlebih mereka melihat perhitungan pada hari itu begitu
detail dan teliti. Ia tidak meninggalkan satu atom pun dari amal yang
dilakukan kecuali dihitung.
‫ﻩ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺮﺍ ﻳ‬‫ﺮ‬‫ ﺷ‬‫ﺓ‬‫ﺜﹾﻘﹶﻘﺎﻝﹶ ﺫﹶﺭ‬‫ﻞﹾ ﻣ‬‫ﻤ‬‫ﻌ‬‫ﻣﻦ ﻳ‬‫ﻣ‬‫ﻩ }{ﻭ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺮﺍ ﻳ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﺓ‬‫ﺜﹾﻘﹶﻘﺎﻝﹶ ﺫﹶﺭ‬‫ﻞﹾ ﻣ‬‫ﻤ‬‫ﻌ‬‫ﻤﻦ ﻳ‬‫ ﻓﹶﻤ‬barang siapa yang
mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat
(balasan) nya. barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat
dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula. Dzarrah
menurut para mufasir adalah nyamuk, yang lain mengatakan debu yang
beterbangan yang terlihat di saat matahari menyinarinya. Adapun sain
modern mengatakan bahwa atom adalah benda terkecil yang tidak dapat
dilihat oleh mata telanjang, tidak juga dapat dilihat oleh mikroskop. Ia
adalah benda yang hanya dapat dilihat oleh hati kecil para ulama.
Atom yang kecil ini atau sejenisnya, sama ada ia baik atau buruk,
akan hadir dan dilihat oleh pemiliknya serta akan menerima

389
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

konsekuensi dari amalan itu.


Pada saat itu dan menjadi pelajaran bagi kita untuk tidak pernah
menganggap remeh dengan pekerjaan walaupun ia terlihat kecil dan
sederhana, sama ada ia perbuatan baik ataupun buruk. Jangan pernah
berpikir: “Ini pekerjaan kecil, tidak diperhitungkan Allah.” Yakinlah
bahwa setiap amal memiliki nilai di sisi Allah, karena timbangan-Nya
begitu detail dan akurat.
Timbangan yang dimiliki Allah tidak ada bandingannya dan belum
pernah ada di dunia ini. Timbangan itu hanya ada di dalam hati
mukmin. Hati yang sensitif dengan setiap amal ibadah yang dia lakukan,
sama ada ia merupakan sebesar atom kebaikan atau keburukan. Di sisi
lain, kita menemukan di bumi ini, hati yang tidak ada rasa takut sedikit
pun saat melakukan kejahatan dan maksiat walau sebesar gunung dan
pulau, ia tidak terpengaruh sedikit pun saat melakukan kebaikan. Inilah
hati yang mati di bumi, dan akan siap dipanggang pada hari kiamat
kelak.
Kita memohon kepada Allah yang Maha tinggi dan Maha Kuasa
agar memberikan kepada kita hati yang bersih yang takut melakukan
dosa kecil, karena Dia Maha kuasa untuk melakukan ini. Amin.***

390
AL-‘ÂDIYÂT 100, JUZ 30

SURAT 100
AL-‘ÂDIYÂT
(MAKKIYAH)

391
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

392
AL-‘ÂDIYÂT 100, JUZ 30

Redaksi surat ini berjalan begitu cepat kilat dan berkesan.


Perpindahan dari satu ayat kepada ayat berikutnya begitu cepat hingga
tidak terasa kita sudah berada di penghujung ayat dengan kesan lafaz
dan konten yang masih segar di ingatan.
Ayat ini dimulai dari kisah kuda perang yang lari menyerang dengan
tiba-tiba di waktu pagi hingga debu beterbangan di sana sini. Ia masuk
dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh, mencabik dan
mencerai beraikan kumpulan itu.
Selanjutnya kisah tentang jiwa yang kikir kedekut dan di akhiri
dengan kisah kebangkitan manusia dari alam kubur dan terkuak seluruh
rahasia yang selama ini terpendam di dalam jiwa. Semua cuplikan kisah
itu: peperangan dengan kuda, kekikiran, kebangkitan dari kubur ... akan
berlari menuju garis finish, yaitu: bertemu Allah.
Hentakan alunan musik dalam bait ayat-ayat ini begitu kental dan
terasa. Ia sesuai dengan hentakan kaki kuda yang berlari, sesuai juga
dengan detak jantung manusia kikir yang sebenarnya tidak tega dengan
kondisi sekitar, sesuai dengan cuaca dunia yang lagi porak poranda
akibat manusia bangkit dan beterbangan dari alam kuburnya. Seakan-
akan bingkai adalah bagian dari gambar dan gambar bagian dari
bingkai. Kedua-duanya menyatu dalam kisah yang indah.

MANUSIA MENJADI KIKIR KARENA TAMAKNYA


KEPADA HARTA
(QS al-Âdiyat [100]: 1-11)
qponmlkjihgfe
~}|{zyxwvutsr
BA¯®¬«ª©¨§¦¥¤£¢¡
KJIHGFEDC
Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-
engah,dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku
kakinya),dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu
pagi,maka ia menerbangkan debu, dan menyerbu ke tengah-
tengah kumpulan musuh, sesungguhnya manusia itu sangat
ingkar tidak berterima kasih kepada Tuhannya, dan
sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya,

393
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada


harta. Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan
apa yang ada di dalam kubur, dan dilahirkan apa yang ada di
dalam dada, sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha
Mengetahui keadaan mereka.
Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah,
dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya), dan
kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi. Pada ayat ini
Allah bersumpah atas nama kuda perang. Dia mensifati kondisi kuda itu
dari satu tahap ke tahap berikutnya, di mulai dari gerakannya, hentakan
larinya, deru suaranya yang khas saat lari, hingga debu yang
beterbangan di sekitarnya yang memecah kesunyian subuh untuk
mengejutkan pasukan musuh, hingga gambaran bagaimana pertempuran
yang berbaur dengan debu hingga menyebabkan suasana kacau dan
hiruk pikuk.
‫ﺎ‬‫ﻤﻌ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻦ ﹺﺑ‬ ‫ﺳ ﹾﻄ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﺎ }{ ﹶﻓ‬‫ﻧ ﹾﻘﻌ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺮ ﹶﻥ ﹺﺑ‬ ‫ ﹶﻓﹶﺄﹶﺛ‬maka ia menerbangkan debu, dan menyer
bu ke tengah-tengah kumpulan musuh. Ini merupakan langkah-langkah
perang yang indah terdengar oleh pencinta Alquran untuk pertama
kalinya. Sumpah dengan nama kuda perang dalam bingkai ini
mengisyaratakan bahwa mukminin mencintai dan merestui gerakan
jihad ini, setelah sebelumnya Allah menetapkan jihad sebagai nilai
mulia dan sangat diperhatikannya.
Sumpah Allah dengan pesan sumpah itu sangat terkait erat,
sebagaimana yang pernah kita sebutkan. Kuda perang yang dijadikan
sebagai nama sumpah dan jiwa manusia yang disumpahi sangat terkait.
Artinya, bahwa jiwa manusia bila hilang dari dorongan iman, satu
hakikat yang menjadi inti permasalahan Alquran dan menjadi motivator
utama untuk semangat juang, akan menjadi orang yang sangat mencintai
hawa nafsu diri sendiri, dan berat untuk berjuang dan membantu orang
lain, apalagi berterima kasih kepada Tuhan.
‫ﺪ‬ ‫ﺸﻬﹺﻴ‬  ‫ﻚ ﹶﻟ‬  ‫ﻟ‬‫ﻋﻠﹶﻰ ﹶﺫ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻭﹺﺇﻧ‬ {} ‫ﺩ‬ ‫ﻮ‬‫ﻪ ﹶﻟ ﹶﻜﻨ‬ ‫ﺮﺑ‬ ‫ﻟ‬ ‫ﺎ ﹶﻥ‬‫ ﹺﺇﻥﱠ ﺍﻹِﻧﺴ‬sesungguhnya manusia itu
sang at in gkar tidak b erteri ma ka sih kepad a T uhan nya, dan
sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya.
Manusia sering ingkar kepada Tuhannya dan tidak berterima kasih atas
segala nikmat yang telah diberikan-Nya. Keingkaran itu terlihat nyata
dalam segala lini kehidupan, dari tindak tanduk dan dari ucapan lidah.
Manusia dalam kondisi itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, dan boleh

394
AL-‘ÂDIYÂT 100, JUZ 30

jadi dia juga akan menjadi saksi atas keingkaran yang dilakukan di
dunia pada saat hari kiamat kelak. Sesungguhnya manusia itu
menyaksikan (sendiri) keingkarannya. Pada hari kiamat ini seluruh
anggota tubuh bersaksi untuk diri sendiri tanpa ada bentahan dan
perdebatan dari pihak manapun.
‫ﺪ‬ ‫ﻳ‬‫ﺸﺪ‬
 ‫ﻴ ﹺﺮ ﹶﻟ‬ ‫ﺨ‬
 ‫ ﺍﹾﻟ‬‫ﺤﺐ‬
 ‫ﻟ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻭﹺﺇﻧ‬ sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya
kepada harta. Manusia sangat mencintai dirinya sendiri, dampak dari
itu, ia sangat mencintai harta yang berbentuk materi, pangkat,
kenikmatan hidup di dunia. Inilah fitrah manusia. Inilah tabiatnya,
selama dia tidak bergaul dengan iman. Bila dia beriman, maka
berubahlah sudut pandang, mindset, penilaian dia terhadap diri dan
harta. Dia akan berubah dari sifat orang ingkar menjadi orang yang tahu
diri dan berterima kasih atas segala karunia Allah. Sebagaimana sifat
kikir dan bakhil berubah menjadi dermawan dan kasih sayang. Pada saat
itu, dia akan menampakkan nilai kemanusiaannya yang sebenar-
benarnya yang sebenarnya harus dia perjuangkan dan pertahankan. Dia
yakin nilai kemanusiaan dan ketuhanan ini lebih mulia dari harta,
jabatan dan pangkat serta nikmat dunia.
Manusia tanpa iman bagaikan hewan hina dan kerdil, hina tabiatnya
dan kerdil visinya. Walau pun dia memiliki ambisi yang besar, mulia
tujuan, selama masih berorintasi bumi dan terikat dengan gravitasinya,
terpenjara dengan kenikmatannya, maka dia tidak akan dapat terangkat
mulia ke langit menuju ketinggian yang lebih dari bumi, lebih dahsyat
dari kehidupan dunia, satu alam yang kekal dan abadi, karena kembali
kepada Allah yang abadi, kepada akhirat yang tiada batas.
Pada akhir surat ini, Allah menutup kiat agar manusia terhindar dari
sifat kikir dan kedekut, dan kiat agar terhindar dari ambisi diri untuk
merangkul dunia beserta seluruh isinya. Kiat itu dengan memaparkan
dan merubah sudut pandang bahwa dunia ini sementara. Di sana ada
masa kebangkitan dari kubur, alam mahsyar, perhitungan dan
timbangan, hingga orientasi hidup berubah.
‫ﻭ ﹺﺭ‬‫ﺪ‬‫ﻲ ﺍﻟﺼ‬‫ﺎ ﻓ‬‫ ﹶﻞ ﻣ‬‫ﺣﺼ‬ ‫ﻭ‬ {9} ‫ﻮ ﹺﺭ‬‫ﻲ ﺍﹾﻟ ﹸﻘﺒ‬‫ﺎ ﻓ‬‫ﺮ ﻣ‬ ‫ﺜ‬‫ﻌ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻢ ﹺﺇﺫﹶﺍ‬ ‫ﻌ ﹶﻠ‬ ‫ﻳ‬ ‫ ﹶﺃﻓﹶﻼ‬maka apakah dia tidak
mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur, dan
dilahirkan apa yang ada di dalam dada. Ini adalah gambar yang
menakutkan. Bila manusia dibangkitkan dan terkuak apa yang selama
ini terpendam di dalam dada, dan diduga tidak ada seorang pun yang
tahu. Tentu ini suasana yang tidak mengenakkan, bila tidak dipersiapkan
dengan baik dan benar, agar ianya menjadi tempat yang enak dan

395
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

nyaman.
Cukuplah kedua-dua peristiwa ini menjadi pesan untuk merubah
sikap dari kikir menjadi dermawan, dari cinta dunia menjadi
mempersiapkan akhirat.
Semua kisah ini akan berakhir kepada-Nya. ‫ﲑ‬ ‫ﺨﹺﺒ‬
 ‫ﺬ ﻟﱠ‬ ‫ﺌ‬‫ﻣ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻢ ﹺﺑ ﹺﻬ‬‫ﻬ‬‫ﺭﺑ‬ ‫ﹺﺇﻥﱠ‬
sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan
mereka. Semua akan kembali kepada Tuhan. Dia Maha Pengalaman dan
Maha Mengetahui tentang segala rahasia, dan segala keadaan makhluk-
Nya. Dia Maha Mengatahui, kapan dan di mana saja, namun pada masa
ini pengetahuan Dia tentang mereka berbeda, karena pada saat ini
pengetahuan itu menjadi alat bukti untuk dihitung dan dibalas. Inilah
yang menyebabkan suasana pada hari itu berbeda dengan hari-hari
lainnya.
Kita memohon kepada Allah yang Maha Tinggi, Maha Kuasa agar
Dia menjaga kita dari hari itu, semoga Allah memberi kepada kita hati
yang bersih dari segala dosa, karena Dia sangat kuasa dan mampu.
Amin. ***

396
AL-QÂR‘AH 101, JUZ 30

SURAT 101
AL-QÂRI‘AH
(MAKKIYAH)

397
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

398
AL-QÂR‘AH 101, JUZ 30

Aku bersyukur kepada Allah dan meminta pertolongan kepada-Nya


serta salawat dan salam kami sampaikan kepada junjungan nabi besar
Muhammad Saw, para keluarganya dan sahabatnya.
Satu yang menjadi judul kita yaitu surat al-Qariah. Judul dengan isi
dan pengertian dari surat ini tidak bertentangan, yaitu untuk
memperlihatkan lembaran catatan perbuatan mereka, begitu juga tidak
berseberangan dengan ketetapan Allah pada kedua surat ini (al-Qariah
& at-Takâtsur) hanya tentang neraca yang berbeda sepertinya
mempunyai tahapan yang banyak dalam hisab?
Tahapan pertama bahwa manusia akan bangkit, maka beterbangan
lembaran catatan, lalu mereka mengambilnya, kemudian setelah itu
menyaksikan apa yang mereka perbuat, meyakini akan masuk hisab
dalam hisab Allah. Hisab di sini bukanlah ganjaran akan tetapi
penghukuman saja, kemudian melalui tahapan yang lain, barulah datang
neraca sepertinya tahapan-tahapan itu sebagai kesaksian manusia atas
lembaran perbuatannya. Setelah itu ujian Allah dan hisab-Nya.
Kemudian neraca dan terakhir adalah ganjaran imbalan.***

ORANG YANG BERAT DAN YANG RINGAN


PERBUATANNYA DI HARI KIAMAT
(QS al-Qâri‘ah [101]: 1-5)
 UTSRQPONML
 [ZYXWV
 ` _  ^  ]  \
Hari Kiamat. Apakah hari kiamat itu? Tahukah kamu Apakah
hari kiamat itu? Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai
yang bertebaran, dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang
dihambur-hamburkan.
Surat ini mempunyai perbedaan dalam neraca, tahapan ketiga, Allah
Swt mengulangi kata al-qâriah dalam surat ini sampai tiga kali ‫ﻣﺎ‬‫ﻋ ﹸﺔ ﻣ‬ ‫ﺍﻟﹾﻘﹶﻘﺎ ﹺﺭ‬
‫ﻋ ﹸﺔ‬ ‫ﻣﺎ ﺍﻟﹾﻘﹶﻘﺎ ﹺﺭ‬‫ ﻣ‬‫ﺭﺍﻙ‬‫ﺭ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﺩ‬‫ﻣ‬‫ﺔﹸ ﻭ‬‫ ﺍﻟﹾﻘﹶﻘﺎﺭﹺﻋ‬yang pertama al-qâriah sepertinya ada kesamaran
yang membuat manusia bertanya apa al-Qariah itu, kemudian yang
kedua ‫ ﻣﺎﺍﻟﻘﺎﺭﻋﺔ‬Allah ingin memberitahukan suatu hal yang penting
(belum jelas maksudnya) yang membuat manusia bertanya-tanya.

399
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Ketiga pertanyaan itu memerlukan jawaban, tapi belum terjawab ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ﻭ‬
‫ﻋ ﹸﺔ‬ ‫ﻣﺎ ﺍﻟﹾﻘﹶﻘﺎ ﹺﺭ‬‫ ﻣ‬‫ﺭﺍﻙ‬‫ﺭ‬‫ ﺃﹶﺩ‬tahukah kamu apakah hari Kiamat itu? (QS al-'Qâriah
[101]: 3) berarti belum ada yang bisa menjawab. Jadi al-Qariah pertama
adalah abstrak; kedua, ketakutan dalam kesamar-samaran; dan ketiga,
dijelaskan bahwa ia sesuatu di luar jangkauan bahasa dan akal manusia.
Pertanyaan dari al-Qariah dikarenakan belum ada yang bisa
menjelaskan dari kesamaran itu tinggallah masalah ini mengerikan.
Bagaimana hal ini bisa terjadi sedangkan al-Qariah asal katanya
berasal dari bahasa Arab yang menjadi bahasa percakapan, bangsa Arab
berkomunikasi dengan bahasa mereka sendiri, memakainya/mendaya
gunakan kata-katanya sesuai dengan kosakatanya, maka bagaimana
Allah mendatangkan lafaz ini yang belum ada batasan artinya sampai
pada suatu kondisi kita menanyakan kata itu, padahal kita menanyakan
kata itu tapi belum mendapat jawabannya? Memang bahasa adalah suatu
kata yang menyampaikan tentang maksudnya. asas dari percakapan itu
dimengerti oleh keduanya, si Pembicara dan si Pendengar.
‫ﻋ ﹸﺔ‬ ‫ ﺍﻟﹾﻘﹶﻘﺎ ﹺﺭ‬hari Kiamat, lafaz dari lafaz bahasa/terminologi. Selama ia
merupakan lafaz terminologi maka artinya diketahui. Karena asas dari
bahasa dialog adalah pemahaman: Seakan-akan Allah ingin
menunjukkan makna istilah ini berbeda dari makna secara bahasa
kenapa? Karena kata yang diungkapkan manusia untuk menyampaikan
pesan mereka memiliki makna bahasa yang dipahami di samping itu
juga ia berguna untuk menyampaikan makna istilah, hingga kata
tersebut memiliki makna yang luas dari sebelumnya sempit dan terbatas.
Sebagai contoh, kata al-hajj/haji menurut bahasa artinya al-qasd/
tujuan, sedangkan menurut istilah Islam ialah berkunjung ke
Baitulharam dalam waktu yang tertentu. Jadi, syariat telah membatasi
kita yang dimaksud dengan tujuan dan waktu tertentu. Bila diucapkan
Islam di bangun atas lima perkara dan di antaranya haji, maka yang
dimaksud haji di sini haji menurut istilah. Seakan-akan kata haji sirna
menurut bahasa untuk menunjukkan makna kata itu. Begitu juga arti
Nahwu dan Fikih menurut istilah dan menurut bahasa.
Jadi, kata al-qâri‘ah bukanlah dipahami secara bahasa, karena kata
al-qâri‘ah menurut bahasa ialah sesuatu yang keras terbentur dengan
sesuatu yang keras sehingga menimbulkan suara keras. Tapi, maksud al-
qâri‘ah sesuatu yang tidak diketahui (un known) yang sesuai dengan
makna keinginan Allah. Seakan-akan kata al-qâri‘ah berpindah dari

400
AL-QÂR‘AH 101, JUZ 30

makna secara bahasa untuk menunaikan tugasnya dalam makna baru.


Makna baru ini gaib/abstrak bagi kita.
Bila kamu memahami al-qâri‘ah menurut bahasa maka kamu belum
memahaminya sesuai kehendak Allah. Untuk itu perlu ditanya karena ia
unknown. Maka perlu di baca ‫ﻋ ﹸﺔ‬ ‫ﻣﺎ ﺍﻟﹾﻘﹶﻘﺎ ﹺﺭ‬‫ ﻣ‬apakah hari Kiamat itu? ‫ﻙ‬
 ‫ﺭﺍ‬‫ﺭ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﺩ‬‫ﻣ‬‫ﻭ‬
‫ﻋ ﹸﺔ‬ ‫ﻣﺎ ﺍﻟﹾﻘﹶﻘﺎ ﹺﺭ‬‫ ﻣ‬tahukah kamu apakah hari Kiamat itu? Seakan-akan makna
istilah dan al-qâriah. Ini adalah hari kiamat yang sangat abstrak yang
tidak dapat dijabarkan dengan jelas. Karena bahasa yang ditetapkan
manusia harus diketahui terlebih dahulu maknanya baru diberi kata-kata
yang sesuai dengannya. Jadi, peristiwa kiamat atau hal gaib tidak
mungkin ditetapkan manusia.
Ketika Allah berbicara dengan kita yang terlihat dengan hal gaib
yang belum terpikir diberilah kita walaupun dengan bahasa yang kita
gunakan, maka hal itu sesuai dengan kegaibannya dan tidak akan
terjangkau oleh akal pikiran kita.
Untuk itu, ketika Dia berbicara tentang surga digunakan kata
matsal/perumpamaan. ‫ﺘ ﹸﻘﻘﻮ ﹶﻥ‬‫ﻤ‬ ‫ﺪ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺘﺘﻲ‬‫ﺔ ﺍﱠﻟ‬ ‫ﻨ‬‫ﺠ‬  ‫ﻣﹶﺜ ﹸﻞ ﺍﹾﻟ‬ (apakah) perumpamaan
(penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa.
(QS Muhammad [47]: 15) Kata matsal perumpamaan bukanlah surga
dalam arti sebenarnya. Kenapa? karena surga merupakan hal gaib,
sebagaimana sabda Rasul: “Surga itu tidak pernah terllihat oleh mara,
terdengar oleh telinga dan tidak pernah terbetik di dalam hati.”
Ketika surga itu tidak mungkin dilihat mata, boleh jadi ia didengar
telinga. Itu karena jangkauan telinga lebih luas. Lebih dari itu, apa yang
di bayangkan dalam hati lebih luas jangkauannya dari mata dan telinga.
Maka, ketika tiga sarana itu tidak dapat menggambarkan hal gaib,
berarti Allah hanya memberikan perumpamaan saja untuk mendekatkan
gambaran sesuatu.
Perumpamaan bukanlah hakikat sesuatu. Untuk itu Allah berfirman
‫ﻤ ﹸﻠﻠﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻧﻧﻮﺍ‬‫ﻤﺎ ﹶﻛﻛﺎ‬‫ﺰﺍﺀً ﺑﹺﻤ‬‫ﺰ‬‫ﻦﹴ ﺟ‬‫ﻴ‬‫ ﺃﹶﻋ‬‫ﺓ‬‫ ﻗﹸﺮ‬‫ﻣﻦ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ ﻟﹶ‬‫ﻔﻲ‬ ‫ﺧ‬ ‫ﻣﻣﺎ ﹸﺃ‬ ‫ﺲ‬  ‫ﻧ ﹾﻔ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻌ ﹶﻠ‬ ‫ﺗ‬ ‫ ﹶﻓﻓﻼ‬seorang pun tidak
mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-
macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan
terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS Sajdah [32]: 17)
Sebagai contoh konkret, Allah menggambarkan arak atau minuman
tuak yang memabukkan di akhirat dengan “tidak menimbulkan rasa
mabuk”. Diketahui bahwa arak dunia berbahaya, karena merusak akal
pikiran. Hal ini disebutkan sebagai wujud pesan kebahagiaan di balik

401
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

surga, dalam bentuk perumpamaan saja, karena hakikat nikmat arak di


surga lebih dari itu. Ditambah dengan “nikmat bagi peminumnya.” Arak
dunia tidak ada unsur nikmat sedikit pun, malah membuat orang yang
minum arak menderita dan sengsara. Ini berbeda dengan orang minum
juice mangga atau jeruk. Orang yang meminum arak akan menuangnya
dengan tergesa-gesa ke dalam mulut agar memperkecil rasa pahit dan
getir yang dialaminya. Jadi ketika disebutkan arak di akhirat, tidak saja
ia membuang unsur negatif dari arak dunia, tapi ia juga menambah
unsur positif darinya.
Selain ayat, (apakah) perumpamaan (penghuni) surga yang
dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada
sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-
sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari
khamar (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai
dari madu yang disaring. (QS Muhammad [47]: 15) Allah juga
berfirman: ‫ﻬﺎ‬‫ﺸﺎﺑﹺﻬ‬ ‫ﺸ‬‫ﺘ‬‫ ﻣ‬‫ﺗﻮﺍ ﺑﹺﻪ‬‫ﺃﹸﺗ‬‫ﻞﹸ ﻭ‬‫ ﻗﹶﺒ‬‫ﻦ‬‫ﻨﺎ ﻣ‬‫ﺯﹺﻗﹾﻨ‬‫ﺬﻱ ﺭ‬‫ﻫ ﹶﺬﺬﺍ ﺍﱠﻟﺬ‬ ‫ﻗﹰﻗﺎ ﻗﹶﻗﺎﹸﻟﻟﻮﺍ‬‫ ﺭﹺﺯ‬‫ﺓ‬‫ﺮ‬‫ ﺛﹶﻤ‬‫ﻦ‬‫ﻬﺎ ﻣ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ ﹺﺯ ﹸﻗﻗﻮﺍ ﻣ‬‫ﻤﺎ ﺭ‬‫ﻛﹸﻠﱠﻤ‬
setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka
mengatakan: “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” (QS
al-Baqarah [2]: 25)
Kata ‫ﻬﺎ‬‫ﺸﺎﺑﹺﻬ‬ ‫ﺸ‬‫ﺘ‬‫ ﻣ‬menyerupai disebutkan untuk sesuatu yang biasa di
dengar manusia. Bila yang disebutkan itu sesuatu yang baru dan masih
asing walaupun enak mungkin kamu ragu untuk memakannya. Tapi,
kalau disebut pisang, apel yang telah kamu ketahui, niscaya kamu
senang memakannya. Jadi ketika Allah memaparkan hal gaib yang tidak
dapat digambarkan dengan kata, harus digambarkan dengan kata yang
mendekatinya. Dengan catatan, bahwa kata itu bukanlah bertugas untuk
mendefinisikan sesuatu.
‫ﻋ ﹸﺔ‬ ‫ﻣﺎ ﺍﻟﹾﻘﹶﻘﺎ ﹺﺭ‬‫ ﻣ‬‫ﺭﺍﻙ‬‫ﺭ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﺩ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬tahukah kamu apakah hari Kiamat itu? merupakan
fiil madhi/past tense, boleh jadi ia tidak tahu pada masa lalu dan
sekarang menjadi tahu. Tapi, karena di ayat lain tertulis ‫ ﻭﻣﺎ ﻳﺪﺭﻳﻚ‬dalam
bentuk fi‘il mudhari’ atau present tense, maka hal itu meniadakan
ketidaktahuan manusia tentang kiamat sejak dulu, sekarang dan akan
datang. Dalam Alquran kata ma adrak ditemukan tertulis sebanyak 13
kali dan yudrika sebanyak 3 kali.
Kata ‫ﺒﺎ‬‫ﻜﻮﻥﹸ ﻗﹶﺮﹺﺮﻳﺒ‬
‫ﻜﹸ‬‫ﺔﹶ ﺗ‬‫ﺴﺎﻋ‬
‫ﻞﱠ ﺍﻟﺴ‬‫ ﻟﹶﻌ‬‫ﺭﹺﺭﻳﻚ‬‫ﺪ‬‫ﻣﺎ ﻳ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬tahukah kamu (hai Muhammad),
boleh jadi hari berbangkit itu sudah dekat waktunya. (QS al-Ahzâb

402
AL-QÂR‘AH 101, JUZ 30

[33]: 63) ‫ﺐ‬


 ‫ﺔﹶ ﻗﹶﺮﹺﺮﻳ‬‫ﺴﺎﻋ‬
‫ﻞﱠ ﺍﻟﺴ‬‫ ﻟﹶﻌ‬‫ﺭﹺﺭﻳﻚ‬‫ﺪ‬‫ﻣﺎ ﻳ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat
itu (sudah) dekat? (QS asy-Syûrâ [42]: 17) ‫ﺰ ﱠﻛﻛﻰ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻌ ﱠﻠ‬ ‫ﻚ ﹶﻟ‬
 ‫ ﹺﺭﺭﻳ‬‫ﺪ‬‫ﻣﺎ ﻳ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬tahukah
kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa).
Kata ‫ ﺃﺩﺭﺍﻙ‬dimulai dari surat al-Hâqqah: ‫ﻣﺎ‬‫ ﻣ‬‫ﺭﺍﻙ‬‫ﺭ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﺩ‬‫ﻣ‬‫ﺤﺎ ﱠﻗ ﹸﺔ)(ﻭ‬ ‫ﺤ‬
 ‫ﻣﺎ ﺍﻟﹾ‬‫ﺤﺎ ﱠﻗ ﹸﺔ)(ﻣ‬
‫ﺤ‬
 ‫ﺍﻟﹾ‬
‫ﺤﺎ ﱠﻗ ﹸﺔ‬
‫ﺤ‬
 ‫ﺍﻟﹾ‬ hari kiamat, apakah hari kiamat itu? Tahukah kamu apakah hari
kiamat itu? (QS al-Hâqqah [69]: 1-3) Seperti ayat yang di kaji ini ‫ﻋ ﹸﺔ‬ ‫ﺍﻟﹾﻘﹶﻘﺎ ﹺﺭ‬
‫ﻋ ﹸﺔ‬ ‫ﻣﺎ ﺍﻟﹾﻘﹶﻘﺎ ﹺﺭ‬‫ ﻣ‬‫ﺭﺍﻙ‬‫ﺭ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﺩ‬‫ﻣ‬‫ﺔﹸ ﻭ‬‫ﻣﺎ ﺍﻟﹾﻘﹶﻘﺎﺭﹺﻋ‬‫ ﻣ‬hari Kiamat, apakah hari Kiamat itu? Tahukah
kamu apakah hari Kiamat itu? (QS al-Qâri‘ah [101]; 1-3) Kemudian
dalam surat al-Muddatsir ‫ﺭ‬ ‫ﺬﹶ‬‫ﻻﹶ ﺗ‬‫ﻘﻲ ﻭ‬‫ﻘ‬‫ﺒ‬‫ﻻ ﺗ‬
‫ﺮ ﹶ‬ ‫ﻘﹶ‬‫ﻣﺎ ﺳ‬‫ ﻣ‬‫ﺭﺍﻙ‬‫ﺭ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﺩ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﺳﻘﹶﺮ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻠﻠﻴ‬ ‫ﺻ‬ ‫ﺳﹸﺄ‬ Aku akan
memasukkannya ke dalam (neraka) Saqar. Tahukah kamu apa (neraka)
Saqar itu? Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan. (QS al-
Muddatsir [74]: 26-28)
Kemudian dalam surat al-Mursalât ‫ﻞ‬ ‫ ﹺ‬‫ﻡ ﺍﻟﹾﻔﹶﺼ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻣﺎ‬‫ ﻣ‬‫ﺭﺍﻙ‬‫ﺭ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﺩ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬tahukah kamu
apakah hari keputusan itu? (QS al-Mursalât [77]: 14) Kemudian dalam
surat al-Infithar ‫ﻦ‬
‫ﺪﺪﻳ ﹺ‬ ‫ﻡ ﺍﻟ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ﻙ‬ ‫ﺭﺍ‬‫ﺭ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﺩ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬tahukah kamu apakah hari
pembalasan itu? (QS al-Infithâr [82]: 17) Dilanjutkan dengan ‫ﻙ‬
 ‫ﺭﺍ‬‫ﺭ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﺩ‬‫ ﻣ‬‫ﺛﹸﻢ‬
‫ﺪﺪﻳﻦ‬ ‫ﻡ ﺍﻟ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ sekali lagi, tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? (QS al
-Infithâr [82]: 18)
Kemudian dalam surat Muthaffifîn ‫ﲔ‬  ‫ﺠ‬‫ﻣﺎ ﺳ‬‫ ﻣ‬‫ﺭﺍﻙ‬‫ﺭ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﺩ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬tahukah, kamu
apakah sijjin itu? (QS al-Muthaffifîn [83]: 8) masih dalam surat yang
sama ‫ﻴﻴﻮ ﹶﻥ‬‫ﻋ ﱢﻠ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ﻙ‬
 ‫ﺭﺍ‬‫ﺭ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﺩ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬tahukah kamu apakah `Illiyyin itu? (QS al-
Muthaffifin [83]: 19) Setelah itu datang surat at-Thâriq ‫ﻕ‬  ‫ﻣﺎ ﺍﻟﻄﱠﻄﺎﺭﹺ‬‫ ﻣ‬‫ﺭﺍﻙ‬‫ﺭ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﺩ‬‫ﻣ‬‫ﻭ‬
tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu? (QS at-Thâriq
[86]: 2)
Dalam surat al-Balad ‫ﺒ ﹸﺔ‬‫ﻌ ﹶﻘ‬ ‫ﻣﻣﺎ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻙ‬  ‫ﺭﺍ‬‫ﺭ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﺩ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬tahukah kamu apakah jalan
yang mendaki lagi sukar itu? (QS al-Balad [90]: 12) Dalam surat al-
Qadr ‫ ﹺﺭ‬‫ﻠﹶﺔﹸ ﺍﻟﹾﻘﹶﺪ‬‫ﻣﺎ ﻟﹶﻴ‬‫ ﻣ‬‫ﺭﺍﻙ‬‫ﺭ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﺩ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?
(QS al-Qadr [97]: 2) Dalam surat kita ini ‫ﻋ ﹸﺔ‬ ‫ﻣﺎ ﺍﻟﹾﻘﹶﻘﺎ ﹺﺭ‬‫ ﻣ‬‫ﺭﺍﻙ‬‫ﺭ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﺩ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬tahukah kamu
apakah hari Kiamat itu? (QS al-Qâri‘ah [101]; 3) lalu diulangi lagi ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ﻭ‬

403
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬‫ﻫ‬ ‫ﻣﺎ‬‫ ﻣ‬‫ﺭﺍﻙ‬‫ﺭ‬‫ ﺃﹶﺩ‬tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (QS al-Qâri‘ah
[101]; 10) Ditutup dengan surat hamazah ‫ﻤ ﹸﺔ‬ ‫ﺤ ﹶﻄ‬
 ‫ﻣﺎ ﺍﻟﹾ‬‫ ﻣ‬‫ﺭﺍﻙ‬‫ﺭ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﺩ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬tahukah kamu
apa Huthamah itu? (QS al-Humazah [104]: 5)
Dalam 13 ayat yang terdapat kata adrak. Kata itu menunjukkan
bahwa sesuatu yang disebutkan setelahnya jangan dipahami secara
bahasa. Karena semua itu terkait dengan hal gaib. Allah
menyampaikannya sesuai dengan bahasa kita. Itu bertujuan untuk
perumpamaan atau pendekatan.
Masalah adrak dan yudrik dengan menggunakan fiil madhi dan
mudhari, yang terkait dengan masa lalu dan akan datang, hanya terkait
dengan manusia. Telah dikatakan bahwa kehidupan adalah kegiatan
yang terkait antara manusia dengan waktu dan tempat. Manusia tidak
mengetahui hal-hal yang terkait pada masa dulu dan yang akan datang.
Sebagaimana dia juga tidak mengetahui yang terjadi saat ini bila
berbeda tempat. Inilah pengetahuan manusia yang sangat terbatas. Tapi,
bagi Allah, waktu dan tempat merupakan makhluknya. Ilmu-Nya
bersifat azaly dan qadim. Ilmu itu sudah ada sebelum waktu dan tempat
diciptakan. Selama ilmu-Nya zatnya, waktu dan tempat merupakan
ciptaan-Nya, maka tidak mungkin zat yang mendahului waktu dan
tempat dipengaruhi oleh keduanya yang datang menyusul kemudian.
Jadi, ketika Allah berkata wa mâ adraka, maknanya batasan waktu
telah ditembus, karena waktu masa lalu, sekarang dan akan datang
hanya berlaku bagi manusia, sedangkan bagi Allah semuanya sama.
Jadi, ketika Allah mengatakan wa mâ adraka menunjukkan bahwa tidak
ada seorang pun yang mengetahuinya selamanya.
Kalimat tanya yang diucapkan Allah menunjukkan bahwa al-Qariah
itu merupakan peristiwa besar. Ia dipertanyakan untuk mendidik
manusia akan rasa gentar dan takut terhadapnya. Di samping mendidik
mereka untuk mempersiapkan diri dengan matang. Kalau gaya bahasa
ini ditulis manusia maka kita akan melewatinya begitu saja. Tapi, saat
engkau membaca Alquran yang mulia ia pun mempengaruhi jiwamu,
hingga bahkan membuatmu menangis. Ketika ditanya kenapa kamu
menangis saat membaca? Karena Alquran tidak saja menyentuh akal
pikiran, tapi ia juga menyentuh hati dan seluruh sanubari kita. Jadi,
Allah saat dialog dengan makhluk ia tidak menggunakan lafaz, tapi
lebih dari itu. Bahkan Alquran dapat menggugah pembacanya,
walaupun ia belum mengetahui hakikat-Nya.

404
AL-QÂR‘AH 101, JUZ 30

 ‫ﺜﹸﺜﻮ‬‫ﺒ‬‫ﺮﺍﺵﹺ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ ﻛﹶﻛﺎﻟﹾﻔﹶﺮ‬‫ﻨﺎﺱ‬‫ﻜﹸﻜﻮﻥﹸ ﺍﻟﻨ‬‫ ﻳ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ ﻳ‬pada hari itu manusia seperti anai-anai
‫ﺙ‬
yang bertebaran. (QS al-Qâriah [101]; 4) Manusia bagaikan anai-anai,
manusia yang merupakan makhluk agung di bumi ini diumpamakan
dengan sesuai yang paling hina. Anai-anai merupakan sesuatu yang
beterbangan di sekitar senar lampu yang bila tersentuh lampu ia pun
mati. Inilah anai-anai. Kata ‫ﺙ‬  ‫ﺜﹸﺜﻮ‬‫ﺒ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬yang bertebaran artinya ‫ﺍﳌﻨﺘﺸﺮ‬
tersebar secara acak tanpa petunjuk.
Pada hari itu manusia seperti anai-anai yang bertebaran. Ayat ini
juga menunjukkan kondisi yang bercampur aduk. Pada saat itu telah
ditemukan satu kelompok yang menempati tempat tertentu. Tapi,
semuanya telah berbaur. Selama telah bercampur maka tiada guna
nasab, kedudukan dan keagungan. Semuanya telah sirna, karena pada
saat itu terjadi musibah besar. Selain Alquran, hadis juga
memperumpamakan manusia dengan anai-anai. Nabi bersabda:
“Perumpamaanku dan kamu sekalian bagaikan seorang yang
menghidupkan api maka datanglah lalat dan anai-anai mengitari di
seputar perapian itu. Saya ingin menyelamatkan kamu sekalian dari
terbakar api, tapi kamu malah mencercaku dan dengan senang hati
pula kamu menyelupkan diri ke dalam api itu. Kamu semua merasa
kagum dengan cahaya ini, tapi kamu tidak mengetahui akibat buruk
darinya.” Inilah gambaran detail hadis atas taklif Islam.
‫ﻔﹸﻔﻮ ﹺ‬‫ﻨ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻬ‬‫ﺒﺎﻝﹸ ﻛﹶﻛﺎﻟﹾﻌ‬‫ﻜﹸﻜﻮﻥﹸ ﺍﻟﹾﺠﹺﺒ‬‫ﺗ‬‫ ﻭ‬dan gunung-gunung seperti bulu yang
‫ﺵ‬
dihambur-hamburkan. (QS al-'Qâriah [101]: 5) Setelah mengumpa-
makan manusia dengan anai-anai, Allah mengumpamakan gunung
seperti bulu yang dihambur-hamburkan. Gunung yang merupakan benda
yang paling solid lagi kokoh berubah menjadi bulu yang paling ringan
lagi berhamburan. Kata ‫ﻦ‬ ‫ﻬ ﹺ‬ ‫ ﺍﹶﻟﹾﻌ‬artinya ‫ ﺍﻟﺼﻮﻑ‬bulu domba. Agar mudah
dipintal dan diolah menjadi kain wol, bulu domba yang terkait harus di
pisah-pisahkan hingga tiada kaitan dengan yang lain.
Bulu domba yang dimaksud bukanlah satu warna, tapi beraneka
warna, hingga sesuai dengan kondisi gunung yang beraneka warna ‫ﻦ‬  ‫ﻣ‬ ‫ﻭ‬
‫ﺩ‬ ‫ﺳﻮ‬‫ ﺳ‬‫ﺮﺍﺑﹺﺑﻴﺐ‬‫ﻏﹶﺮ‬‫ﻬﺎ ﻭ‬‫ﻬ‬‫ﻮﺍﻧ‬‫ ﺃﹶﻟﹾﻮ‬‫ﻒ‬‫ﻠ‬‫ﺘ‬‫ﺨ‬‫ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ﺣ‬‫ﺾ ﻭ‬
 ‫ ﺑﹺﺑﻴ‬‫ﺩ‬‫ﺪ‬‫ﺒﺎﻝﹺ ﺟ‬‫ ﺍﻟﹾﺠﹺﺒ‬dan di antara gunung-gunung
itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya
dan ada (pula) yang hitam pekat. (QS Fâthir [35]: 27)***

405
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

(QS al-Qâri‘ah [101]: 6-11)


 jihgfedcba
 rqponmlk
zyxwvuts
Adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka
Dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Adapun orang-
orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat
kembalinya adalah neraka Hawiyah. Tahukah kamu Apakah
neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas.
‫ﻪ‬ ‫ﻨ‬‫ﻮﺍﺯﹺﺯﻳ‬‫ﻮ‬‫ ﻣ‬‫ ﺛﹶﻘﹸﻠﹶﺖ‬‫ﻦ‬‫ﻣﺎ ﻣ‬‫ ﻓﹶﺄﹶﻣ‬adapun orang-orang yang berat timbangan (kebai
kan) nya. Ini membicarakan tentang periodisasi kiamat. Periode
pertama, kita melihat hasil perbuatan kita. Kedua, Allah
menginformasikan efek perbuatan itu. Periode ketiga, hisab yang
merupakan balasan. Hisab itu perkataan Allah: “Apakah kamu telah
melakukan ini.” Kamu menjawab: “Ya”.
Kata mizan atau timbangan, merupakan alat untuk mengukur dan
menetapkan hak dalam hal materi. Sebagian ulama berkata: “Apakah ia
timbangan seperti timbangan dunia yang memiliki dua telapak dan satu
lidah. Jumhur ulama sepakat bahwa timbangan di akhirat sesuai
kedudukannya dengan bentuk ini.
Apakah pekerjaan atau amal itu merupakan hal materi hingga dapat
ditimbang? Tentu tidak, tapi hal itu tidak berarti Allah tidak kuasa untuk
menciptakan hal maknawi memiliki barat. Karena Allah telah
mengumpamakan kematian yang menakutkan yang merupakan hal
maknawi dengan: “Kemudian datang kematian dalam bentuk domba
lalu disembelih.” Jadi, hal-hal maknawi terkadang dapat berwujud
dalam bentuk benda yang memiliki berat. Seluruh maknawi yang kita
kerjakan dan amal-amal berubah menjadi benda yang berbentuk dan
memiliki berat.
Setelah timbangan itu memerlukan dua telapak untuk dihitung satu
tempat di satu telapak, dan yang lain di telapak kedua. Pekerjaan
timbangan itu tidak dilakukan dua kali, di mana perbuatan baik
ditimbang dengan suatu benda. Tidak, tapi pekerjaan itu hanya
dilakukan satu kali, yaitu: meletakkan perbuatan baik di saat telapak dan
perbuatan jahat di telapak yang lain. Kenapa? Karena yang dibutuhkan

406
AL-QÂR‘AH 101, JUZ 30

perselisihan berat amal baik atas amal buruk, untuk mengetahui amal
baik berapa kilo dan amal buruk berapa kilo.
Ketika disebut tentang proses timbangan dalam ayat ini hanya
tertulis “berat” dan “ringan”. Sedangkan proses timbangan itu ada tiga:
Pertama, kalau tidak yang ini berat yang ini ringan; kedua, yang ini
ringan yang itu berat; ketiga, timbangan keduanya sama. Ayat ini
menyebutkan berat dan ringan namun tidak menyebutkan bila sama
berat. Namun dalam surat al-A’râf diterangkan bila kondisi timbangan
sama berat.
Di antara keduanya (penghuni surga dan neraka) ada batas; dan di
atas A`raf itu ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua
golongan itu dengan tanda-tanda mereka. Mereka menyeru penduduk
surga: “Salamun `alaikum”. Mereka belum lagi memasukinya, sedang
mereka ingin segera (memasukinya). (QS al-A'râf [7]: 46) Kenapa?
Karena ada satu pernyataan: “Bahwa rahmat Allah mendahului murka-
Nya.” Bila terjadi kesamaan, maka rahmat dan kasih Tuhan turun
tangan hingga timbangan itu menjadi berat kepada kebaikan.
Jadi, ada yang berat timbangannya secara realita, ada juga yang
berat karena dikatrol, ditambah dengan yang ringan, maka kondisi
timbangan menjadi tiga: pertama, berat secara realita; kedua, berat
dikatrol dan ketiga, ringan. Artinya, yang sama dialihkan menjadi berat,
berkat rahmat Allah.
Tentang proses timbangan, Imam Ali pernah ditanya: “Seberapa
lama waktu yang diperlukan bagi Allah untuk menghitung seluruh amal
manusia?” “Apakah dihitungnya sekali waktu?
Ia menjawab: “Benar, sebagaimana Ia telah memberi mereka rezeki
sekali waktu.”
Ia tidak disibukkan oleh pemberian rezeki kepada satu orang hingga
melupakan rezeki orang lain, karena manusia akan disebut sibuk bila
kekuatannya terbatas. Sedangkan baik kekuatan yang tidak terbatas
dalam waktu yang sama ia dapat melakukan banyak hal yang tak
terbatas.
Kalaulah timbangan itu berbentuk materi, tentu itu memerlukan
proses, yaitu: merubah hal maknawi menjadi materi. Kenapa tidak
sebaiknya timbangan itu saja yang diubah menjadi maknawi, agar lebih
cepat prosesnya dan lebih adil?
Di jawab: “Lihat, mana yang lebih teliti dan lebih adil? Bila
timbangan dalam bentuk maknawi, dia tidak bisa dilepaskan dari
pengaruh jiwa, sedangkan bila timbangannya berbentuk materi, maka ia

407
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

tidak pernah malu untuk menetapkan yang hak. Seakan-akan kebenaran


itu mutlak itu terdapat pada benda mati yang tidak dapat berbasa-basi
dan tidak memiliki perasaan, hingga dapat menetapkan sesuatu itu
dengan detail.
Sebagai contoh, bila kita menimbang barang bernilai, seperti emas,
maka kita menimbangnya pada timbangan emas yang sensitif. Kenapa?
Karena timbangan sensitif ini selisih satu mili gram (mg) saja dapat
terlihat jelas, namun ketika kita menimbang jeruk, garam atau terung,
selisih satu gram itu tidak dipermasalahkan. Bahkan untuk mencapai
nilai yang lebih akurat, tidak saja dibutuhkan timbangan sensitif itu tapi
perlu lemari kaca sehingga pengaruh berat udara dapat tercegah.
Jawaban kedua kalaulah timbangan itu maknawi, kenapa Allah
dalam ayat ini digunakan kata “timbangan” yang identik dengan materi?
Itu karena timbangan alat ukur yang paling akurat. Untuk itu hakim saat
bersidang diletakkan di atas kepalanya timbangan. Apakah pada saat itu
ia menimbang hal yang maknawi. Tapi ia diingatkan untuk berlaku
seperti timbangan benda mati yang tidak memiliki perasaan untuk
mencapai keadilan.
Hal ini tidaklah mudah bagi manusia. Untuk itu orang yang
memahami hakikat ini enggan untuk menjadi hakim. Bukan karena dia
tidak dapat memutuskan hukum, tapi karena dia tidak dapat lepas dari
unsur perasaan. Karena perasaan itu pasti akan mempengaruhi
keputusannya. Untuk itu seorang hakim berkata kepada khalifah: “Ya
khalifah copotkan diriku dari pekerjaan hakim ini.”
Khalifah berkata: “Kenapa? Apakah kami temukan orang yang lebih
adil dari mu?”
Ia menjawab: “Wahai Amirul mukminin, tersebar di kalangan
masyarakat bahwa saya menyukai kurma. Saat saya di rumah seseorang
pengetuk pintu keluarlah pembantuku lalu dia menghadapku dengan
sepiring kurma, pada saat itu kurma mulai panen. Saat saya melihat
kurma, saya bertanya kepada pembantunya: “Siapa yang menghadiah-
kannya?”
Dia menjawab: “Seorang lelaki.
Dia berkata: “Sebutkan ciri-cirinya!”
Dia menjawab: “Begini...begini.”
Dia berkata: “Balikkan kurma ini untuknya..!”
Kenapa dikembalikan? karena dia mengetahui bahwa lelaki itu
memiliki masalah hukum yang belum diputuskannya. Hakim itu tahu
bagaimana lelaki itu mencuri hatinya. Saat pagi, di mana sidang digelar,

408
AL-QÂR‘AH 101, JUZ 30

masuklah lelaki itu dan pihak tergugat hakim itu pun berkata: “Demi
Allah, ya Amirul mukminin, kedua orang ini tidak sama pandanganku
terhadap mereka, walaupun saya telah mengembalikan sepiring
kurmanya. Bagaimana pula halnya bila saya mengambil kurma itu!?”
Yang terpenting dari kisah ini, bahwa kedetailan dalam hukum
sangat sukar diterapkan, selama hakim memiliki perasaan. Jadi, ketika
timbangan tidak memiliki perasaan, maka keadilan itu pasti terjamin.
Satu hal yang ditakuti dalam memutuskan hukum ialah perasaan hakim,
alasan argumentatif, hingga Rasulullah bersabda: “Aku adalah manusia,
dan kamu sekalian mengadu kepadaku, boleh jadi seseorang lebih dapat
mengeluarkan argumentasinya, hingga aku memenangkannya. Maka
diputuskan kamu menang, tapi dalam hatimu, kamu telah merampas hak
saudaramu, maka jangan ambil keputusan itu, karena itu merupakan
penggalan dari api neraka.”
‫ﻪ‬ ‫ﻨ‬‫ﻮﺍﺯﹺﺯﻳ‬‫ﻮ‬‫ ﻣ‬‫ ﺛﹶﻘﹸﻠﹶﺖ‬‫ﻦ‬‫ﻣﺎ ﻣ‬‫ ﻓﹶﺄﹶﻣ‬adapun orang-orang yang berat timbangan
(kebaikan) nya. Bila dipahami bahwa timbangan yang dimaksud adalah
keadilan dan kebenaran, atau maknanya adalah timbangan dalam wujud
materi yang terlihat sehari-hari, keduanya benar. Kalau ia berwujud
materi kita pun memiliki alasan, kalau maksudnya timbangan maknawi
berupa kebenaran dan keadilan, maka kita pun paham. Mengapa Allah
ungkapkan keduanya dalam kata “timbangan”. Itu karena hawa nafsu
yang menimbulkan perasaan, dari perasaan timbul sikap keberpihakan.
Timbangan adalah besi yang tidak berperasaan hingga tiap orang dapat
mengambil haknya.
‫ﺔ‬ ‫ﻴ‬‫ﺿ‬
 ‫ﺭﺭﺍ‬ ‫ﺔ‬‫ﻋﻴﺸ‬‫ﻓﻲ ﻋ‬‫ ﻓ‬‫ﻮ‬‫ ﻓﹶﻬ‬maka dia berada dalam kehidupan yang
memuaskan. (QS al-Qâriah [101]: 7) Kata ‘isyah atau kehidupan
keadaan di mana manusia hidup, di dalam istana yang dihuni, nikmat
yang dinikmati atau pakaian yang dikenakan. Ini semua kehidupan.
Semua barang dan fasilitas ini tidak dapat disebutkan bahwa ia puas
atau radhiyah terhadap kita, karena ia benda mati yang tidak memiliki
perasaan, hingga dapat puas. Tapi, kitalah yang puas terhadap benda-
benda kehidupan ini. Sebagai contoh, rumah yang ditempati tidak
mungkin ia puas terhadap saya, tapi sayalah yang puas terhadap rumah
itu.
Untuk itu ulama mengatakan bahwa kata puas yang tertulis dalam
bentuk subjek bukan objek itu maksudnya adalah sebagai objek atau
memuaskan atau mardhiyah. Seperti firman Allah: ‫ﻨﺎ‬‫ﻠﹾﻨ‬‫ﺟﻌ‬  ‫ﺮ َﺀﺀﺍ ﹶﻥ‬ ‫ﺕ ﺍﹾﻟ ﹸﻘ‬
 ‫ﺃﹾ‬‫ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﻗﹶﺮ‬‫ﻭ‬

409
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

‫ﺭﺍ‬‫ﺘﻮﺭ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ﺑﺎ ﻣ‬‫ﺠﺎﺑ‬
‫ﺠ‬‫ ﺣ‬‫ﺓ‬‫ﺮ‬‫ﻨﻮﻥﹶ ﺑﹺﺑﺎﻵﺧ‬‫ﻨ‬‫ﻣ‬‫ﺆ‬‫ ﻻﹶ ﻳ‬‫ﺬﻳﻦ‬‫ﻦ ﺍﱠﻟﺬ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺑ‬‫ﻭ‬ ‫ﻚ‬
 ‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ ﺑ‬apabila kamu membaca Alquran
niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak
beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup. (QS al-
Isrâ’ [17]: 45)
Apakah tirai itu ‫ﺭﺍ‬‫ﺘﻮﺭ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬benda yang ditutupi atau ia ‫ ﺳﺎﺗﺮ‬sebagai alat
penutup. Tirai ialah ‫ ﺳﺎﺗﺮ‬alat penutup. Untuk itu ulama mengatakan
‫ﺭﺍ‬‫ﺘﻮﺭ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬di sini maksudnya adalah ‫ﺳﺎﺗﺮ‬.
Timbul pertanyaan: “Mengapa Allah menggunakan kata radhiyah
dan mastur? Jawabannya: “Dalam tirai ada dikenal dengan penutup
rangkap. Benar bahwa tirai itu sebagai alat yang harus ditutupi (mastûr).
Jadi ketika disebutkan hijab mastur, tirai tersebut sudah sampai pada
taraf menutup dirinya sendiri. Jadi, selama ia tertutup maka ia
merupakan penutup rangkap.
Begitu juga dengan ‘isyah radhiyah bila ditafsirkan bahwa dia
adalah kehidupan yang diridai (mardhiah) benar, atau dapat juga
ditafsirkan bahwa kehidupan itu sendiri yang rela (radhiah) terhadap
kita. Apa tanda kerelaan? Fulan rela terhadap sesuatu bendanya, bahwa
ia mencintai sesuatu itu. Selama mencintainya, maka ia akan selalu
bersama dan menyertainya. Jadi, maksud ‘isyah radhiyah nikmat itu
kekal bersama mereka, dan tidak pernah terlepas karena ia rela dan
memuaskan. Jadi, bukan manusia saja yang rela dan puas, tapi surga
beserta nikmatnya pun puas dan rela.
Ayat di atas ini merupakan nikmat super dan abadi, di mana ia tidak
saja berstatus memuaskan, tapi ia juga puas dan setia menyertai.
Bila disebutkan bahwa nikmat itu berupa benda mati dan tidak dapat
berpikir, tapi sebenarnya dalam ilmu Allah ia berpikir bahkan terkadang
mereka cerdas. Seperti: ‫ﻩ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺤ‬  ‫ ﺑﹺ‬‫ﺢ‬‫ﺒ‬‫ﺴ‬‫ﺀٍ ﺇﹺﻻﱠ ﻳ‬‫ﺷﻲ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻭﹺﺇ ﹾﻥ‬ tidak ada suatu pun
melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, (QS al-Isrâ’[17]: 44)
Tapi, siapa yang dapat memahami bahasa makhluk dan berbicara
dengannya? Jawabannya: Tuhan yang menciptakannya. Untuk itu ia
berkata: ‫ﲔ‬
 ‫ﻌ‬‫ﻨﺎ ﻃﹶﻃﺎﺋ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﺘﺎ ﺃﹶﺗ‬‫ ﻗﹶﻗﺎﻟﹶﺘ‬keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka
hati.” (QS al-Fushshilat [41]: 11) Semut berkata: “Masuklah ke dalam
sarang-sarang kamu sekalian.” Hud-hud berkata: “Aku datang dari
negeri Saba dengan berita yang yakin.” Artinya, binatang pun punya
aturan, mereka dapat bicara dan memiliki bahasa. Hanya saja manusia
yang memahaminya minim dan terbatas.

410
AL-QÂR‘AH 101, JUZ 30

Telah disebutkan bahwa benda, hewan dan tumbuh-tumbuhan itu


bukan saja hidup, berakal, berbahasa dan berkeyakinan, tapi terkadang
ia dapat menyerupai manusia yaitu memiliki perasaan. Mereka dapat
mencintai, marah, benci. Buktinya ‫ﻬﻮ ﹶﻥ‬‫ﺗﻔﹾﻘﹶﻬ‬ ‫ﻻ‬
‫ﻦ ﹶ‬ ‫ﻜ‬ ‫ﻭﹶﻟ‬ ‫ﻩ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺤ‬
 ‫ﺢ ﹺﺑ‬
 ‫ﺒ‬‫ﺴ‬‫ﻲﺀٍ ﺇﹺﻻﱠ ﻳ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻭﹺﺇ ﹾﻥ‬
‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺒﹺﺒﻴﺤ‬‫ﺴ‬‫ﺗ‬
tidak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya,
tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. (QS al-Isrâ’ [17]:
44) Maknanya pemahaman bahasa. Orang yang diberi tahu bahasa
burung, seperti Nabi Sulaiman, akhirnya mampu memahami, lebih dari
itu bukan bahasa saja yang dia kuasai, tapi juga mengenal perasaan.
Untuk itu ketika Allah berfirman tentang kaum Firaun, Dia
mengatakan bahwa langit dan bumi tidak menangis atas kepergian
Firaun. Apakah langit dan bumi itu menangis? Tangis tidak lepas dari
unsur perasaan. Ayat ini menunjukkan adanya perasaan dalam diri
langit dan bumi.
Juga menunjukkan semua makhluk memiliki perasaan. Mereka rela
dan puas (râdhiah) atas pahala yang diberikan kepada penghuni surga.
Mereka melakukan itu atas pilihan sendiri dan bukan terpaksa atau
ditundukkan. Mereka senang dan puas karena manusia melaksanakan
manhaj Allah sebagaimana diinginkan-Nya. Manusia saat itu
merupakan saudara mereka seagama. Saat manusia menghuni sura
mereka pun rela. Jadi, apakah kerelaan itu dalam arti hakikat atau
majaz? Tentu hakikat.
Dalam ayat ‫ﺔ‬ ‫ﻴ‬‫ﺿ‬
 ‫ﺭﺭﺍ‬ ‫ﺔ‬‫ﻋﻴﺸ‬‫ﻓﻲ ﻋ‬‫ ﻓ‬‫ﻮ‬‫ﻪ)(ﻓﹶﻬ‬ ‫ﻨ‬‫ﻮﺍﺯﹺﺯﻳ‬‫ﻮ‬‫ ﻣ‬‫ ﺛﹶﻘﹸﻠﹶﺖ‬‫ﻦ‬‫ﻣﺎ ﻣ‬‫ ﻓﹶﺄﹶﻣ‬dan adapun orang-
orang yang berat timbangan (kebaikan) nya, maka dia berada dalam
kehidupan yang memuaskan. (QS al-'Qâriah [101]; 6-7) Menunjukkan
bahwa kegelisahan di dunia sering dialami, seperti: hilangnya nikmat,
musnah benda dan harta, atau lenyap orang yang dicintai, tapi semua itu
tidak akan terjadi di akhirat. Karena kenikmatan di akhirat akan selalu
menyertai dan rela kepadanya. Lebih dari itu nikmat itu tidak pernah
akan sirna dan tetap hidup bersamamu dengan suka cita.
Nikmat di dunia terkait dengan hal-hal yang nikmat dan sedap, dan
terkait erat dengan sejauh mana kita dapat mengikuti manhaj Allah yang
mengikat kebebasan kita. Namun di akhirat kamu memperoleh nikmat
dalam bentuk kebebasan mutlak. Nikmat segera datang, hanya ketika
kamu masih memikirkannya. Jika nikmat itu datang, ia pun kekal dan
abadi bersamamu. Lebih dari itu, ia juga tetap mencintaimu dan ingin
tetap bersama. Karena bukti kerelaan seseorang ia akan senang berlama-

411
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

lama denganmu.
Untuk itu para pengikut Imam Ali saat mendengar bahwa langit dan
bumi tidak menangis atas kepergian Firaun, mereka berkata: “Apakah
langit dan bumi dapat menangis?”
Dia menjawab: “Ia, ia menangis, bahagia dan tertawa. Selama Allah
menafikan tangisan langit dan bumi atas kepergian keluarga Firaun,
maknanya ia menangis atas kepergian selain mereka.”
Dilanjutkan: “Bila seorang anak Adam meninggal maka
menangislah dua tempat. Di langit dan di bumi. Tempat di langit ialah
tempat naiknya amal ibadah. Ia bersedih karena amal itu tidak datang
lagi. Di bumi, tempat ia salat, karena ia mencintai dan merindukannya.
Bila ia wafat, maka menangislah tempat sujud itu.”
Jadi ketika dikatakan ’isyah radhiyah menenteramkan hati kita
bahwa nikmat di akhirat berbeda dengan nikmat dunia. Nikmat akhirat
rela kepada kita.
Setelah itu datang kebalikannya: ‫ﻳ ﹲﺔ‬‫ﻫﺎ ﹺﻭ‬‫ ﻫ‬‫ﻣﻪ‬ ‫ ﹶﻓﹸﺄ‬maka tempat kembalinya
adalah neraka Hawiyah. (QS al-Qâriah [101]: 9) Artinya ummu adalah
tempak kembali. Hawiyah dijabarkan dengan ‫ﻴ ﹲﺔ‬‫ﻣ‬ ‫ﺣﺎ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻧﺎ‬‫ﻪ)(ﻧ‬ ‫ﻴ‬‫ﻫ‬ ‫ﻣﺎ‬‫ ﻣ‬‫ﺭﺍﻙ‬‫ﺭ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﺩ‬‫ﻣ‬‫ﻭ‬
tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat
panas. (QS al-Qâriah [101]: 10-11)
Kata ma adrak dalam ‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬‫ﻫ‬ ‫ﻣﺎ‬‫ ﻣ‬‫ﺭﺍﻙ‬‫ﺭ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﺩ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬telah dibahas di awal surat al-
Qâriah [101]; 1-3. Pertanyaan dan perubahan arti ini bertujuan untuk
mendobrak dari arti yang sebenarnya, hingga tidak dipahami uslub
Alquran seperti makna bahasa yang ada. Karena kamu paham arti al-
qariah dan Hawiyah secara bahasa, tapi kedua-duanya tidak dapat
dipahami secara bahasa. Ia hanya dapat dipahami dalam makna yang
lain. Untuk itu di sini diulangi lagi dengan ‫ﻳ ﹲﺔ‬‫ﻫﺎ ﹺﻭ‬‫ ﻫ‬‫ﻣﻪ‬ ‫ ﹶﻓﹸﺄ‬maka tempat
kembalinya adalah neraka Hawiyah, maknanya pahamilah maka tempat
kembalinya adalah neraka Hawiyah dalam konteks al-Qariah. Yaitu
pertanyaan dan perubahan arti bukan dalam istilah yang dikehendaki
Allah.
‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬‫ﻫ‬ ‫ﻣﺎ‬‫ ﻣ‬‫ﺭﺍﻙ‬‫ﺭ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﺩ‬‫ﻣ‬‫ﻳ ﹲﺔ)(ﻭ‬‫ﻫﺎ ﹺﻭ‬‫ ﻫ‬‫ﻣﻪ‬ ‫ ﹶﻓﹸﺄ‬maka tempat kembalinya adalah neraka
Hawiyah. tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (QS al-Qâriah
[101]: 9-10) Dijawab dengan ‫ﻴ ﹲﺔ‬‫ﻣ‬ ‫ﺣﺎ‬
‫ﺣ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻧﺎ‬‫( ﻧ‬Yaitu) api yang sangat panas
merupakan uslub yang agung, yang tertuang dalam uslub ambisi penuh
harap, lalu dijawab dengan jawaban yang membuat orang putus asa

412
AL-QÂR‘AH 101, JUZ 30

sambil tercengang. Uslub seperti ini banyak ditemukan dalam Alquran.


Contohnya: Saat Allah berfirman: “berilah kabar gembira” seakan-
akan Allah akan mengampuni mereka. Hal itu dapat saja terjadi. Karena
kabar gembira terjadi untuk hal-hal yang baik dan positif, hingga hati
pun berbunga-bunga. Namun ungkapan selanjutnya menyakitkan dan
membuat putus asa. Yaitu ‫ﻟﻟﻴ ﹴﻢ‬‫ﺬﹶﺬﺍﺏﹴ ﺃﹶ‬‫ ﺑﹺﻌ‬‫ﻢ‬‫ﻫ‬‫ﺮ‬‫ﺸ‬‫ ﻓﹶﺒ‬maka gembirakanlah mereka
bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih. (QS Ali 'Imrân [3]: 21)
Contoh lain: ‫ﻐﺎﺛﹸﺛﻮﺍ‬‫ﻐ‬‫ﻐﻴﺜﹸﺜﻮﺍ ﻳ‬‫ﻐ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ﺇﹺﻥﹾ ﻳ‬‫ ﻭ‬jika mereka meminta minum, niscaya
mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih, (QS
al-Kahfi [18]: 29) Seseorang saat minta tolong dari penderitaan
bertujuan agar berkurang rasa sakit yang dideritanya. Namun Allah
melanjutkan dengan ‫ﻞ‬ ‫ ﹺ‬‫ﻬ‬‫ﻤﺎﺀٍ ﻛﹶﻛﺎﻟﹾﻤ‬‫ ﺑﹺﻤ‬dengan air seperti besi yang mendidih
yang menghanguskan muka yang memupuskan harapan. Kalaulah tidak
diberi harapan dari awal maka hal itu biasa. Namun, saat dibuka pintu
harapan dengan kabar gembira dan datangnya pertolongan lalu ditutup
dengan “kabar gembira akan azab yang pedih” dan “pertolongan dengan
air yang membakar”, maka hal ini sangat menyakitkan.
Dalam ayat yang dikaji ini juga ditemukan, saat Allah berfirman: ‫ﻪ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﹶﻓﹸﺄ‬
arti harfiyahnya adalah maka ibunya. Ibu dalam kehidupan sumber
kelembutan dan kasih sayang serta penuh perasaan. Ia sumber
pertolongan. Saat dikatakan ‫ﻪ‬ ‫ﻣ‬ ‫ ﹶﻓﹸﺄ‬ibunya, manusia akan merasa datangnya
kasih sayang dan kelembutan. Namun saat diteruskan ‫ﻳ ﹲﺔ‬‫ﻫﺎ ﹺﻭ‬‫ ﻫ‬adalah
neraka Hawiyah pupuslah harapan. Jadi, dimulai dengan pemberian
harapan lalu ditutup dengan keputus asaan.
Bila diteliti ayat ini ditemukan bahwa api memeluk orang yang
disiksa, sebagaimana ibu memeluk sang bayi. Itu karena orang yang
berdosa tidak menjaga nikmat Allah yang diumpamakan dalam bentuk
sosok ibu yang santun, penuh kasih sayang. Sayang ibu dibalas dengan
air tuba, maka ia pun diingatkan kembali dengan ‫ﻪ‬ ‫ﻣ‬ ‫ ﹶﻓﹸﺄ‬ibunya sebagai
ungkapan nikmat. Namun karena dilupakan datanglah Hawiyah yang
memeluknya, ditambah dengan “Apakah ada tambahan” kata api
neraka. Jadi, ungkapan Alquran merupakan ungkapan detail yang
merasuk ke relung hati sanubari manusia.
Kalau diteliti dua tindakan berseberangan dalam ayat ini dapat
disimpulkan bahwa mukmin akan memperoleh dua nikmat. Pertama,

413
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

nikmat dia mendapat rida dari Allah. Kedua, nikmat selamat dari azab
akibat melanggar manhaj Allah. Begitu juga azab yang menimpa kafir
ada dua: pertama, disiksa di neraka; kedua, tidak dapat masuk ke dalam
surga yang penuh nikmat.
Tindakan bersebrangan ini (taqâbul) banyak ditemukan dalam
Alquran, seperti: Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah me
reka yang dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang
beriman. Apabila orang-orang yang beriman lalu di hadapan mereka,
mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. apabila orang-orang
berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira.
Apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengatakan:
“Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat”,
padahal orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk penjaga bagi
orang-orang mu'min. (QS al-Muthaffifin [83]: 29-33)
Tindakan berseberangan ialah: ‫ﻋ ﹶﻠﻠﻰ‬ ()‫ﻜﻮ ﹶﻥ‬
‫ﺤ ﹸﻜ‬
‫ﻀ‬
 ‫ﻳ‬ ‫ﻦ ﺍ ﹾﻟﻜﹸﻔﱠﻔﺎ ﹺﺭ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻨﻨﻮﺍ‬‫ﻣ‬ ‫ﻦ َﺀﺀﺍ‬ ‫ﺬﺬﻳ‬ ‫ﻡ ﺍﱠﻟ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻴ‬‫ﻓﹶﻓﺎﻟﹾ‬
‫ﻌ ﹸﻠﻠﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻳ ﹾﻔ‬ ‫ﻧﻧﻮﺍ‬‫ﻣﻣﺎ ﹶﻛﻛﺎ‬ ‫ﺭ‬ ‫ ﺍﹾﻟﻜﹸﻔﱠﻔﺎ‬‫ﺏ‬‫ﻞﹾ ﺛﹸﻮ‬‫ﺮﻭ ﹶﻥ)(ﻫ‬‫ﻈﹸﺮ‬‫ﻨ‬‫ ﻳ‬‫ﻚ‬‫ﺭﺍﺋ‬‫ ﺍﻷَﺭ‬maka pada hari ini, orang-orang
yang beriman menertawakan orang-orang kafir, mereka (duduk) di atas
dipan-dipan sambil memandang. Sesungguhnya orang-orang kafir telah
diberi ganjaran terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS al-
Muthaffifin [83]: 34-35)
Bila hari kiamat pasti akan datang sifat-sifat yang diinginkan Allah,
bila manusia akan dihadapkan dengan amal perbuatan yang pernah di
lakukan di atas timbangan yang penuh teliti lagi adil, untuk selanjutnya
memperoleh ganjaran, yang mukmin masuk surga yang penuh nikmat
serta kafir masuk neraka Hawiyah, maka orang yang berakal akan
beramal agar mendapatkan keridaan Allah dan tidak menyibukkan
dirinya dengan hal-hal yang tidak berguna, apalagi menghambat dirinya
untuk memperoleh nikmat abadi.***

414
AT-TAKÂTSUR 102, JUZ 30

SURAT 102
AT-TAKÂTSUR
(MAKKIYAH)

415
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

416
AT-TAKÂTSUR 102, JUZ 30

Surat yang pendek ini berisikan tentang peringatan kepada orang-


orang yang lalai dengan hari akhirat. Surat ini mengingatkan tentang
pentingnya iman kepada Allah dan mengetahui secara yakin sebelum
melihat keberadaan-Nya di akhirat kelak, sebelum kita ditanya tentang
segala nikmat yang telah diberikan-Nya.***

ANCAMAN ALLAH TERHADAP ORANG-ORANG YANG


LALAI DAN BERMEGAH-MEGAHAN
(QS at-Takâtsur [102]: 1-2)
a`_~}|{
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk
ke dalam kubur.
Setelah surat al-Qâri‘ah datanglah firman Allah: bermegah-
megahan telah melalaikan kamu. Dari hal apa kita dilupakan? Tentang
timbangan dan akhir perjalanan kita di akhirat. Manusia melupakan
amal yang menyebabkan timbangannya berat. Ia telah lupa, hingga
timbangannya menjadi ringan. Itulah kebodohan dan kedunguan yang
diperingatkan Allah atas manusia yang hidup di bumi. Agar dia
mencapai manfaat untuk pribadinya, maka dia diharap untuk tidak
terlena, dan sebaliknya dia harus waspada dan tetap terjaga.
Alquran mengemukakan makna dari sebagian peristiwa ini, dan
membuatkan sesuai dengan realita yang ada. Artinya, Alquran bukan
hanya berisikan teori semata, tapi ia memaparkan beberapa peristiwa
yang sesuai dengan apa yang diharapkan dalam pembaharuan itu,
hingga para sejarahwan dan mufasirun mengkisahkan kepada kita
bahwa apa yang dikisahkan Alquran benar-benar terjadi. Pada zaman
dahulu masyarakat Arab dari keturunan Abdu Manaf dan Sahal telah
berlomba-lomba untuk saling memperbanyak takâtsur.
Kata takâtsur berasal dari timbangan tafâ‘ala/saling melakukan, di
mana antara subjek dan objek saling melakukan tindakan. Contohnya,
Zaid dan Amru saling berserikat. Di mana keduanya bertindak sebagai
subjek dan objek. Begitu juga dengan takâtsur, ia tidak dikatakan
seseorang saling berlomba dalam memperbanyak dengan Fulan, kecuali
si Fulan juga melakukan hal yang sama. Dia berlomba memperbanyak
harta dan bersaing denganmu.
‫ﺮ‬ ‫ﻜﹶﻜﺎﺛﹸ‬‫ ﺍﻟﺘ‬‫ﻬﺎﻛﹸﻢ‬‫ ﺃﹶﻟﹾﻬ‬bermegah-megahan telah melalaikan kamu maknanya
hal itu terjadi dari kamu sekalian. Tiap orang darimu berlomba

417
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

memperbanyak untuk mengalahkan orang lain.


Kata takâtsur memiliki dua arti pertama, kamu memiliki rezeki dan
seseorang berusaha untuk berlomba denganmu, dengan berkata:
“Hartaku lebih banyak dari hartamu, anakku lebih banyak dari anakmu.
Nenek moyangku lebih agung dari nenek moyangmu.” Maknanya,
kamu mengaku bahwa kamu memiliki lebih banyak. Kedua, Kamu
berusaha sekuat tenaga untuk menjadi manusia yang memiliki banyak
dari orang lain.
Dari arti pertama dapat disimpulkan bahwa takâtsur itu sudah ada
dan telah dimiliki, sedangkan pada arti kedua seseorang sedang
berusaha untuk meraih takâtsur tersebut. Orang yang membangga-
banggakan atas apa yang telah dimilikinya itulah yang identik untuk arti
pertama. Adapun orang yang berusaha sekuat tenaga dalam hidupnya
untuk memperbanyak dari orang lain, inilah yang identik dengan arti
kedua. Karena tidak ada ikatan makna satu atau dua dalam ungkapan
maka ia berlaku secara umum.
Apa arti alhâ/lalai? Lalai ialah adanya sesuatu yang menguasai
pkiran menasia, hingga dia melakukan sesuatu yang tidak dipinta dari
seharusnya melakukan hal-hal penting yang diminta, hingga seluruh
tenaganya terkuras untuk hal yang tidak penting itu.
Kata lahw/lalai mendekati kata la‘ab/bermain. Sesungguhnya
kehidupan dunia hanyalah la‘ib/permainan dan lahw/senda gurau. (QS
Muhammad [47]: 38) Karena permainan menyibukkan diri dengan
sesuatu yang sia–sia dan melupakan hal yang penting. Namun yang lain
membedakan antara keduanya. Kenapa? Karena Allah dalam kitab
sucinya Alquran selalu mendahului kata la‘ab/bermain dari kata lahw/
bersenda gurau, seperti ayat di atas kecuali Dan tiadalah kehidupan
dunia ini melainkan lahw/senda gurau dan la‘ib/main-main. Dan
sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka
mengetahui. (QS al-Ankabût [29]; 64)
Artinya, manusia hidup dalam beberapa tahapan. Tahapan sebelum
baligh, yaitu tahapan tidak ada taklif di dalamnya. Maka ketika dia
bermain dia tidak meninggalkan hal yang dipinta untuk melakukan hal
yang tidak pinta. Sedangkan lahw meninggalkan hal yang dipinta untuk
menyibukkan diri dengan hal yang tidak dipinta. Manusia memulai
masa hidupnya dengan bermain karena tidak ada taktif kewajiban,
kemudian saat dewasa di mana sudah terdapat taklif dan tetap bermain,
maka terjadilah lahw.

418
AT-TAKÂTSUR 102, JUZ 30

Untuk itu Alquran tidak berkata ala‘ibtum tapi alhâkum, kenapa?


Karena bermain merupakan kebiasaan yang terjadi di luar kawasan
taktif. Sedangkan senda gurau dan lalai terjadi di kawasan taktif.
Seorang mukallaf terkadang memiliki waktu mudah untuk bermain, tapi
dengan syarat jangan sampai melupakan (lahw) taklif. Ia merupakan
sarana menghibur jiwa untuk sedikit mengistirahatkan manusia. Untuk
itu Allah membolehkan kita untuk bermain pada hari raya, dan
Rasulullah pada suatu hari melihat dari masjid orang Habsyah bermain.
Di hari raya yang lain Abu Bakar masuk ke dalam rumah
Rasulullah dan menemukan dua orang jariyah sedangkan bernyanyi, ia
pun berkata-kata: “Apakah seruling syaitan terdapat di dalam rumah
Rasulullah?”
Nabi menjawab: “Biarkan mereka berdua, ya Abu Bakar. Karena
keduanya dalam suasana hari raya.”
Jadi, dalam Islam, bermain tidak dilarang. Kalau saja bermain itu
dilarang, niscaya manusia tidak dapat bermain sedikitpun.
Ayat bermegah-megahan telah melalaikan kamu mengisahkan Bani
Abdu Manaf yang berlomba-lomba dalam kemegahan melawan Bani
Sahal. Bani Sahal terpojokkan dalam adu argumentasi kemegahan itu,
sehingga di antara mereka ada yang berkata: “Demi Allah, bahwa orang
-orang yang telah mati dari kami lebih hebat dan banyak.” Artinya,
mereka telah berlomba dalam memperbanyak dalam hal kehidupan
sampai menyangkut orang yang telah mati juga.
‫ﺮ‬ ‫ﻘﹶﻘﺎﺑﹺ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻢ‬‫ﺗ‬‫ﺭ‬‫ﺘﻰ ﺯ‬‫ﺘ‬‫ ﺣ‬‫ﻜﹶﻜﺎﺛﹸﺮ‬‫ ﺍﻟﺘ‬‫ﻬﺎﻛﹸﻢ‬‫ ﺃﹶﻟﹾﻬ‬bermegah-megahan telah melalaikan
kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Apakah mereka telah
menziarahi kubur dalam arti sebenarnya? Maksudnya, apakah mereka
berlomba-lomba dalam berbangga hati dengan hal yang hidup, ketika
kalah mereka lalu berbangga hati dengan orang yang telah mati?
Dengan mengatakan: “Siapa dulu orang di dalam kubur ini yang telah
berjasa itu. Dia adalah kaum kami.”
Atau makna kedua mereka telah lalai sampai derajat kamu
dikejutkan dengan kematianmu. Atau, kamu sibuk setiap saat sampai
ajal menjemput. Kedua arti itu benar. Karena pelajaran dipetik dari
keumuman redaksi, bukan karena kekhususan sebab.
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke
dalam kubur. Baik berlomba-lomba dalam hal memperbanyak dengan
mengaitkan orang yang telah mati, atau berlomba-lomba hingga
kematian datang menjeput, maka setelah itu saat mereka terbangun

419
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

mereka tidak dapat lagi berbuat apa-apa.


Saat mendengar ayat ini seorang Arab menerimanya dengan
mencari rahasia dari ungkapan yang ada, dalam hal ini di temukan kata
“ziarah”. Bila dipahami dalam konteks pertama, di mana mereka
berlomba-lomba dalam memperbanyak untuk berbangga hati hingga
menyangkut orang yang telah mati, maka hal itu terjadi dalam waktu
yang singkat. Atau selama waktu ziarah (berkunjung).
Bila dipahami dalam konteks kedua, di mana berlomba untuk
memperbanyak harta sampai ajal tiba, maka kuburan merupakan tempat
ziarah, masa transit. Seakan-akan kematian bukan akhir kehidupan. Tapi
ia merupakan satu periode yang setelahnya ada periode lain. Di mana
kamu dibangkitkan dan dihidupkan untuk kedua kalinya.
Tenggang waktu (durasi) kamu di alam kubur hanya sesaat, seperti
kamu berziarah (berkunjung) karena orang yang berkunjung tidak
pernah berniat untuk tinggal di situ berlama-lama.
Yang membuat manusia lupa ialah lalainya ia akan akhir perjalanan
hidupnya. Karena, kalau manusia diperlihatkan balasan atas amal
perbuatannya di bumi ini dan ada kenikmatan yang dilarang, lalu
dikatakan: “Nikmatilah kenikmatan ini, lalu kau kubakar dengan api
yang telah menyala ini keseluruh tubuhmu.” Niscaya tidak di temukan
satu orang pun yang mau dan berani menikmati kenikmatan untuk di
bakar tubuhnya dengan api. Namun kenapa bila Allah berkata: “Jika
kamu melakukan ini dan itu niscaya kamu masuk neraka, “Sebagian
manusia tidak mengubrisnya? Apa beda antara gambaran pertama dan
kedua? Itu karena gambaran pertama tampak di depan mata, dan akan
menyiksa kehidupan sedetik setelah usai kenikmatan. Sedangkan
gambaran kedua, kenikmatan dapat dirasakan saat ini, sanksinya akan
datang jauh di akhirat. Jadi selama ia gaib dan terjadi di akhirat, maka
manusia sangat mungkin melupakannya.
Jadi yang menyebabkan manusia lalai melaksanakan kewajiban
ialah ganjaran yang tertunda. Jika saja ganjaran itu tergambar di dalam
jiwa dan dapat dilihat, niscaya tidak seorang pun yang akan melakukan
maksiat selamanya. Keyakinan akan hari pembalasan, bila hilang di
dalam jiwa menyebabkan pemiliknya cenderung untuk melakukan
maksiat dan mengikuti hawa nafsu. Sebaliknya, bila keyakinan akan
hari pembalasan mengakar di hati sanubari niscaya tidak mungkin
seseorang melakukan maksiat.
Untuk itu ketika Rasulullah bertanya kepada Harisah dengan
sabdanya: “Bagaimana keadaan pagimu?”

420
AT-TAKÂTSUR 102, JUZ 30

Dia menjawab: “Pagi ini saya merasa benar-benar beriman kepada


Allah.”
Nabi berkata: “Setiap sesuatu memiliki hakikat, apa hakikat
keimananmu?”
Dia menjawab: “Saya lepaskan diriku dari dunia, hingga sama di
hadapanku antara emas dan pasir.”
Datangkanlah orang yang melihat sama antara emas dan pasir, maka
orang itu telah yakin dengan sebenar-benar yakin akan hari pembalasan.
Harisah melanjutkan: “Seakan-akan saya melihat penghuni surga berada
dalam kenikmatan, dan penghuni neraka di azab di dalam api neraka.”
Selama dia merasakan hal ini, apakah dia dapat melalaikan manhaj
Allah? Tentu dia tidak mungkin melalaikan sedikit pun.
Untuk itu Rasulullah mengkisahkan kita hadis ini, itu karena semua
manusia yakin bahwa dia akan mati. Kenapa? Karena saya dan seluruh
kita pasti mati. Dari sensus yang ada, tidak ditemukan seorang manusia
yang selamat dari mati. Beginilah kehidupan.
Bila kita yakin akan mati, kenapa kita lupa akan apa yang terjadi
setelah kematian? Untuk itu disebutkan: “Saya tidak melihat satu
keyakinan pasti yang diragukan manusia lebih dari kematian.” Benar
bahwa kematian adalah pasti. Tapi kepastian itu sering diragukan
manusia. Kalaulah manusia tidak ragu akan kematian, niscaya dia akan
selalu mengingat mati. Jadi, Allah dalam ayat ini ingin menekankan
makna ini.***

(QS at-Takâtsur [102]: 3-8)


nmlkjih gfedcb
xwvutsrqpo
~}|{zy
Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat
perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan
mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan
pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat
neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan
melihatnya dengan `ainul yaqin, kemudian kamu pasti akan
ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-
megahkan di dunia itu).

421
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Pengetahuan yang disampaikan seorang pendidik tidak lepas dari


tiga bentuk. Pertama, diinformasikan tentang sesuatu, hingga ia terekam
di dalam akal pikiran dalam bentuk teori dan ilmu pengetahuan. Arti
teori atau ilmu pengetahuan ialah bahwa sesuatu yang hakikat itu terjadi
j a u h d a r i m u . K e ya k i n a n m u t e r k a i t e r a t d e n ga n o r a n g ya n g
menyampaikannya. Setelah itu berpindahlah ia menjadi suatu keyakinan
yang bukan sekedar teoritis, tapi keyakinan karena kamu melihat di
depan mata kepalamu sendiri. Inilah bentuk kedua, yaitu keyakinan ain
(mata). Sedangkan bentuk ketiga, disebut dengan haqqul yakin, yaitu
keyakinan karena sudah dirasakan apa yang diinformasikan dan dilihat.
Inilah puncak pengetahuan.
Sebagai contoh, datang seseorang dari satu daerah dan berkata:
“Aku telah mengunjungi negara ini dan menemukan buah besar
semangka, dengan warna jeruk, dan rasa apel serta harumnya seperti
pisang.” Buah yang aneh. Karena orangnya dapat dipercaya maka
informasi itupun terekam di akal pikiran dalam bentuk teori. Ketika
kamu dikejutkan dengan informasi ini keluarlah buah itu saat kamu
berkunjung ke rumahnya. Pada saat itu berpindahlah informasi teori
kepada keyakinan yang terlihat. Ketika buah itu dibelah oleh sebilah
pisau dan diberikan kepada setiap pengunjung sebagian, lalu dimakan,
berpindahlah informasi itu dari sekedar yakin terlihat (ainul yakin)
kepada haqqul yakin atau yakin karena sudah dirasakan.
Jadi manusia selalu melalaikan tentang nilai pembalasan atas setiap
perbuatan dalam bentuk surga dan neraka. Untuk itu Allah memberikan
obat untuk mengobati penyakit lupa ini dengan berkata: ‫ﻤﻤﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻌ ﹶﻠ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻑ‬  ‫ﺳﻮ‬ ‫ﻼ‬
‫ﹶﻛ ﱠ‬
janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu
itu). (QS at-Takatsur [102]: 3)
Kata kalla/sekali-kali tidak, merupakan ungkapan peringatan keras.
Maksudnya, sebenarnya perbuatan lupa yang dilakukan itu bukan
merupakan perbuatan orang yang berpikir. Ia bukan perbuatan orang
yang berbuat sesuatu dengan memikirkan hasil perbuatan tercela. Maka
saat disebutkan kalla dipahami bahwa lupa yang kamu lakukan itu
sangat tercela. Perbuatan itu tidak mendapat restu dari Allah.
Yang kamu ragukan tentang kematian itu walaupun diperingatkan
tetap tidak diacuhkan maka disebutlah ‫ﻤﻤﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻌ ﹶﻠ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻑ‬  ‫ﺳﻮ‬ ‫ﻼ‬‫ ﹶﻛ ﱠ‬janganlah begitu,
kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu). Saat itu
keyakinan masih dalam taraf teori (ilmu yakin). Karena pada saat
manusia dikuburkan dia baru meyakini akan adanya surga dan neraka,

422
AT-TAKÂTSUR 102, JUZ 30

namun belum dilihat dan belum pula masuk ke dalamnya.


Kemudian saat dia melewati shirât terlihatlah surga dan neraka.
Pada saat itu berubahlah ilmu yakin menjadi ainul yakin. Keyakinan
karena memang hal itu sudah terlihat di depan mata. Lalu, saat penghuni
surga masuk surga dan penghuni neraka masuk ke neraka, berubahlah ia
menjadi haqqul yakin. Keyakinan karena memang sudah dirasakan.
Jadi, ayat ini menceritakan tiga proses tentang keberadaan surga dan
neraka serta hari pembalasan. Tapi hal itu semua merupakan keyakinan
secara teori (ilmu yakin). Namun, ketika kita mempercayai firman Allah
bahwa ia bukan sekedar ilmu teori maka saat itu kita sudah berpindah
dan sampai kepada ilmu yang sebenar-benarnya. Sedangkan orang yang
tidak mempercayainya maka datanglah dua masa berikutnya. Allah
berfirman: kalla/sekali-kali tidak, seakan-akan apa yang akan dialami
oleh orang yang tidak yakin ini. Untuk itu orang itu perlu dicerca dan
diperingatkan. Selanjutnya Allah berfirman: ‫ﻤﻤﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻌ ﹶﻠ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻑ‬
 ‫ﺳﻮ‬ ‫ﻼ‬
‫ ﹶﻛ ﱠ‬janganlah
begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu).
Berpindahlah pada priode selanjutnya yaitu ilmu yakin. Tidak sampai di
situ saja, kamu tidak saja melihat apa neraka wahai kafir karena kamu
pasti akan merasakannya dan mencapai haqqul yakin.
Kata sawfa dalam ayat perlu, bukan sawfa pada ayat selanjutnya.
Karena di antara keduanya ada priodesasi. Yang pertama ‫ﻤﻤﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻌ ﹶﻠ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻑ‬  ‫ﺳﻮ‬
bahwa masa itu akan kamu ketahui setelah kamu mati. Kemudian
setelah jelang beberapa lama sesuai dengan makna ‫ﻢ‬ ‫ ﹸﺛ‬kemudian, untuk
menunjukkan masa yang lama, datanglah ‫ﻤﻤﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻌ ﹶﻠ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻑ‬
 ‫ﺳﻮ‬ kedua. Jadi ‫ﻑ‬
 ‫ﻮ‬‫ﺳ‬
‫ﻤﻤﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻌ ﹶﻠ‬ ‫ﺗ‬ kedua, merupakan kondisi pada saat itu ketika kamu melihatnya.
Di mana pada saat itu kamu pasti mengetahuinya.***

423
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

424
AL-‘ASHR 103, JUZ 30

SURAT 103
AL-‘ASHR
(MAKKIYAH)

425
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

426
AL-‘ASHR 103, JUZ 30

Kita baru saja selesai merenungi bersama surat at-Takatsur. Surat itu
ditutup dengan menyadarkan manusia bahwa mengejar dunia, dan
menjadikannya sebagai tujuan hidup dan segala sesuatu di dunia ini
adalah salah. Allah mengarahkan kepada kita bahwa perlombaan atau
target keberhasilan itu adalah dalam kebaikan dan mengejar akhirat.
Surat at-Takatsur ditutup dengan kemudian kamu akan ditanya pada
hari itu, tentang segala nikmat (yang kamu telah menikmatinya)!
Kenikmatan yang dikejar manusia dan menjadi target kesuksesan di
mata manusia akan ditanya dan dipertanggung jawabkan di akhirat.
Pertanyaan itu terdiri dari beberapa proses. Pertama, dihisab/dihitung;
kedua, ditimbang; ketiga, ditempatkan sesuai timbangan. Perlu disadari
oleh manusia bahwa target hidup tidak ditempatkan kecuali pada
perolehan kebaikan di dunia dan setelah di dunia. Target hidup adalah
memperberat timbangan amal kebaikan saat manusia bertemu dengan
Allah. Pada saat itu pertanyaan yang dilontarkan terhadap nikmat-
nikmat yang telah diperoleh tidak dalam keadaan terhina, tapi dalam
keadaan mulia dan bahagia.
Allah telah menetapkan jalan yang lurus, jalan yang paling cepat
untuk mencapai dua titik yang berseberangan. Bila manusia ingin
sampai kepada Allah, maka hendaklah dia mengikuti manhaj Allah dan
jalan-Nya hingga mengantarnya kepada tujuan itu.
Setelah penjelasan jalan di atas Allah menegaskan bahwa kehidupan
manusia tidak pernah lepas dari dua keadaan: beruntung, berhasil dan
sukses; atau rugi, gagal dan kecewa. Pada ayat berikut Allah
memaparkan jalan atau manhaj yang menghantar manusia kepada
keberuntungan, keberhasilan dan kesuksesan.
Telah kita sebutkan sebelumnya, bahwa ketika Allah hendak
bersumpah, maka Dia bersumpah dengan apa yang dikehendaki-Nya
dan atas apa yang dikehendaki-Nya. Dia bersumpah karena Dia sangat
mengetahui atas apa dan siapa yang telah Dia ciptakan dan rahasia di
balik penciptaan itu. Hanya Allah yang dapat bersumpah atas apa yang
Dia kehendaki, sedangkan manusia tidak mengetahui keagungan sesuatu
dan rahasia di balik sesuatu, karena kebodohan manusia tentang apa-apa
yang ada di sekitar dia.
Sumpah itu diucapkan Allah dalam dua bingkai utama. Pertama,
dalam wujud penetapan, seperti: Demi masa; kedua, penafian, seperti:
Aku tidak bersumpah dengan negeri ini. (QS al-Balad [90]: 1-2) Atau
QS al-Qiyâmah [75]: 1, al-Wâqi‘ah [56]: 75-76. Walaupun sumpah
diucapkan dalam bentuk penafian atau penetapan, namun tujuannya

427
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

satu, yaitu penegasan akan pentingnya hal yang dijadikan objek sumpah
itu.
Sumpah dilakukan terhadap sesuatu hal yang masih samar, agar
menjadi jelas. Adapun sumpah terhadap sesuatu yang sudah jelas
dilakukan agar objek sumpah itu tetap diperhatikan dan jangan pernah
dilupakan. Contohnya, orang yang pergi ke rumah sakit. Terkadang
manusia ke sana karena merasa sakit, lalu dokter memberinya resep.
Terkadang manusia yang sehat juga ke rumah sakit untuk mengecek
kesehatannya.

AMAT RUGILAH MANUSIA YANG TIDAK


MEMANFAATKAN WAKTUNYA UNTUK BERBAKTI
(QS al-’Ashr [103]: 1-3)
KJIHGFEDCBA
QPONML
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada
dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
Dalam ayat ini sumpahnya adalah masa, dan objeknya adalah
manusia merugi kecuali beriman dan beramal saleh serta saling
menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Apa kaitan masa dengan
objek yang disumpah? Kaitannya tidak lepas dari waktu dan masa, serta
pentingnya mengoptimalkan waktu yang ada. Waktu adalah penyebab
manusia rugi dan untung.
Kata ashr itu sendiri bila diucapkan secara umum, maka maknanya
adalah waktu salat Asar. Inilah yang tergambar di benak manusia saat
disebutkan kata Asar. Makna asar terkadang berpindah dari makna
khusus yaitu waktu antara zuhur dan magrib saja, kepada makna
“waktu” yang berlangsung sehari semalam yang tidak lepas dari
kewajiban salat di dalamnya. Karena setiap waktu yang berlangsung
disebut juga dalam bahasa Arab dengan istilah “Asar”.
Asar dengan demikian dapat diartikan dengan “salat” pada waktu
itu, atau Asar adalah “waktu” untuk salat, atau “masa” yang terdiri dari
siang dan malam, atau terdiri dari beberapa minggu, beberapa bulan,
tapi waktu itu terkait erat dengan sebuah peristiwa tertentu, berikut

428
AL-‘ASHR 103, JUZ 30

dengan peradabannya. Contohnya kita menyebutkan ashr/masa


jahiliyah, atau masa kebodohan, masa kebangkitan, masa Umawiyah,
masa peradaban. Jadi, kata ashr dapat dipahami dengan tiga makna di
atas.
Dalam ayat ini, atas nama makna yang mana Allah bersumpah? Bila
dipahami dengan makna pertama, yaitu: salat Asar, maka ulama
memahaminya pentingnya salat Asar berdasarkan firman Allah: Peli-
haralah semua salat dan salat wusta. Laksanakanlah (salat) karena
Allah dengan khusyuk. (QS al-Baqarah [2]: 238)
Lebih jauh ke dalam ternyata ulama berbeda pendapat tentang
makna salat wustha ini. Apakah ia salat Asar, Magrib, Isya, Subuh
ataukah Zuhur? Pembahasan yang mendalam dalam hal ini adalah
makna salat wustha adalah seluruh salat yang lima itu.
Alasannya tidak disebut sesuatu itu wustha/di tengah kecuali bila ia
berada pada dua posisi yang berseberangan. Bila ditinjau dari mula
pensyariatan salat yaitu Zuhur, maka salat yang berada di tengah adalah
Magrib. Alasan lain, Magrib adalah salat yang berjumlah tiga rakaat. Ia
adalah bilangan pertengahan antara dua (Subuh) dengan empat (Zuhur,
Asar dan Isya).
Pendapat yang memahami salat wustha adalah salat Isya, karena ia
berada di antara dua salat yang tidak boleh diqasr (Magrib dan Subuh).
Pendapat yang memahami salat wustha adalah salat Subuh, karena
ia berada di tengah antara dua salat malam (Magrib dan Isya) dengan
dua salat siang (Zuhur dan Magrib).
Pendapat yang memahami salat wustha adalah salat Zuhur, karena
siang adalah puncak kerja manusia. Zuhur adalah lambang dari
pertengahan hari.
Pendapat yang memahami salat wustha adalah Asar berdasarkan
pada hadis Nabi Muhammad saat perang Khandak. Mereka telah
memblokir kita hingga kita tidak dapat melaksanakan salat wustha
hingga matahari tenggelam. Kita doakan semoga Allah memenuhi
kuburan atau rumah atau perut mereka dengan api. (HR Bukhari) Alasan
lain, Asar adalah pertengahan antara salat Subuh dan Zuhur dengan
Magrib dan Isya.
Dari pemahaman ini dapat ditarik kesimpulan bahwa Allah
menyamarkan satu istilah demi terwujudnya satu faedah. Dengan
penyamaran ini manusia akan bersemangat untuk meraih faedah di
setiap salat. Seakan-akan ketika Allah menyatakan jagalah salat-salat
yang ditetapkan dan salat wustha, maka dapat dipahami dengan lakukan

429
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

salat lima waktu dengan penuh semangat, terutama salat wustha yang
dipahami juga dengan salat lima waktu itu, agar lebih semangat.
Begitu juga ketika Allah menyamarkan kapan masa lailatul qadr
pada saat bulan Ramadhan, di sepuluh hari terakhir, tujuannya agar
setiap muslim bersemangat untuk melakukan salat malam sepanjang
malam. Ketika Allah menyembunyikan masa dikabulkan doa pada hari
Jumat bertujuan agar mukmin bersemangat untuk menjaga setiap detik
di hari jumat dengan mengisinya berbagai bentuk ibadah. Dari ketiga-
tiga contoh ini semakin jelas bahwa disamarkannya masa atau istilah
satu syariat dalam Islam demi satu faedah yang mulia dan agung.
Pemahaman kedua dari makna asar yaitu waktu sore. Kenapa waktu
sore begitu penting bagi Allah hingga dijadikan sarana sumpah?
Jawabannya, terkadang manusia sangat sibuk bekerja hingga dia ingin
menuntaskannya hingga menjelang magrib bahkan malam. Waktu asar
adalah waktu di mana manusia mengevaluasi hasil kerja hariannya dari
pagi hingga sore. Apakah kerjanya sudah maksimal dan mendatangkan
manfaat? Atau dia hanya membuang-buang waktu dengan melakukan
hal yang tidak berguna!?
Selama waktu asar atau sore dijadikan sebagai waktu evaluasi kerja
harian, maka Allah berfirman: “Demi waktu sore”, berbahagialah
manusia yang telah meraih manfaat dari waktu yang telah berlalu, dan
bersedihlah serta menyesallah bagi manusia yang selalu membuang-
buang waktu.
Pemahaman ketika dari asar adalah masa yang terdiri dari 24 jam.
Atau asar itu waktu sore (waktu akhir di siang hari) dan subuh (waktu
akhir di malam hari), maka jadikanlah waktu sore dan subuh sebagai
waktu evaluasi atas apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum
dikerjakan.
Pemahaman terakhir dari asar adalah masa dari kehidupan manusia.
Masa kehidupan manusia itu bersifat pasang surut. Ada masa permulaan
dan ada pula masa kepunahan. Satu peradaban bangkit, berkembang,
maju dan berjaya, kemudian hancur dan punah. Tegaknya satu
peradaban mengisyaratkan bahwa dia memiliki sendi-sendi kehidupan.
Kemudian kepunahan dan kehancurannya mencerminkan bahwa ia
memiliki unsur-unsur kepunahan. Kalaulah peradaban itu berdiri dan
terus berkembang, tentu dia tidak akan pernah berakhir. Kenapa satu
masa peradaban itu hancur dan punah?
Karena sendi-sendi kehidupan dapat terus dipertahankan dan
diperjuangkan. Namun perjalanan waktu, manusia melupakan sendi-

430
AL-‘ASHR 103, JUZ 30

sendi kehidupan itu, maka muncullah unsur-unsur kepunahan.


Pada ayat ini seakan-akan Allah ingin mengingatkan kepada
manusia tentang satu prinsip kehidupan dengan berkaca dari sejarah
kehidupan manusia, hingga relevansi prinsip itu menghujam di dalam
jiwa. Satu peradaban tidak akan berjaya kecuali dia beriman, beramal
saleh, dan saling menasihati dalam kebenaran dan kebaikan.
Iman adalah akidah dan keyakinan. Iman tidak saja cukup dengan
ucapan, tapi harus dibarengi dengan amal dan diterjemahkan dalam
perbuatan. Iman tanpa amal adalah ucapan tanpa makna. Bila iman
diterjemahkan dalam perbuatan, maka pelakunya akan menghadapi
berbagai rintangan dan hambatan. Untuk itu dia memerlukan kepada
dua perkara. Saling menasihati kepada pemilik akidah untuk tetap
berada pada jalur yang benar. Jadikanlah kebenaran sebagai target
kehidupan ini, hingga setiap individu gemar menasihati saudaranya
tentang kebenaran. Tapi, apakah semangat untuk tetap berada pada rel
kebenaran dan mengajak manusia untuk tetap berada pada rel itu tanpa
menghadapi halangan dan rintangan? Tidak, dia pasti menghadapi
rintangan. Akan terjadi pertempuran antara pasukan kebaikan yang
menopang sendi-sendi kebenaran, berhadapan dengan pasukan
kejahatan yang tidak menginginkan kebenaran. Untuk itu perlu nasihat
agar tetap bersabar.
Dari pemahaman di atas dapat dimengerti bahwa prinsip
keberhasilan itu adalah akidah yang diterjemahkan dari keimanan yang
mendalam, dituangkan dalam bentuk amal, kemudian pesan kebenaran
agar akidah tetap terhujam, bila menghadapi rintangan, tetaplah
bersabar. Setiap gerak kehidupan yang tidak berasakan pada prinsip ini,
maka akan berakhir dengan kerugian. Bila manusia memimpin satu
komunitas pekerja tanpa akidah yang benar, niscaya akan berakhir
dengan kehancuran. Jadi, bila ingin sukses bangunlah setiap tindak
dengan iman, amal, nasihat kebenaran dan kesabaran.
Dengan empat pemahaman makna asar di atas (salat, waktu asar,
waktu sore dan subuh, atau masa) maka Allah telah menempatkan
alasan-alasan yang logis dalam pentingnya asar itu. Seakan-akan Dia
berkata: “Tunjukkan pemahaman asar mana pun, pasti semuanya
menopang empat prinsip yang menyebabkan manusia sukses dan
berjaya, sebagaimana yang akan Aku paparkan berikut ini.”
‫ﺴ ﹴﺮ‬
 ‫ﺧ‬ ‫ﻲ‬‫ﺎ ﹶﻥ ﹶﻟﻔ‬‫ ﹺﺇﻥﱠ ﺍﻹِﻧﺴ‬sesungguhnya manusia itu benar-benar berada
dalam kerugian. Dalam Alquran kita menemukan bagaimana Allah

431
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

memaparkan kisah-kisah masa lalu yang semuanya tertumpu pada


hilangnya prinsip-prinsip kejayaan hingga mereka semua punah dan
binasa. Contohnya, bangsa Firaun, kaum Nuh, Ad, Tsamud. Dalam
kisah Saba’.
Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di
tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di
sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki
yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya.
(Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan
Yang Maha Pengampun”. Tetapi mereka berpaling, maka Kami
datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua
kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang
berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah
Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan
Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya
kepada orang-orang yang sangat kafir. (QS Saba’ [34]: 15-17)
Ayat ini menjelaskan bagaimana satu bangsa berkembang dan maju
hingga semua orang melirik kepadanya, namun berakhir dengan
kehancuran. Apa sebabnya? Karena ia tidak memiliki sendi keabadian
dan kekekalan, yaitu sendi keimanan, amal sesuai dengan iman, serta
nasihat-menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.
Lihat juga masa kejayaan Firaun. Bukti peninggalan sejarahnya
masih dapat kita saksikan hingga detik ini. Lihat juga peradaban Ad dan
Tsamud pada QS al-Fajr [89]: 6-13. Artinya, lihat sejarah dan renungi
setiap peristiwa, maka semua itu akan sampai pada satu kesimpulan,
bahwa kehancuran satu bangsa dan peradaban, karena tidak memiliki
prinsip hidup.
Saat melihat sejarah Islam, kita pun menemukan hal yang sama.
Masa kejayaan dan ditutup dengan masa kehancuran dan kepunahan,
kenapa? Padahal muslim beriman kepada Allah, beriman kepada kitab
suci, para nabi dan para malaikat. Mereka juga beriman kepada takdir
dan hari kiamat. Walau pun demikian mereka mengalami kepunahan,
dan dijajah oleh bangsa asing, kenapa?
Jawabannya, walaupun kita memiliki akidah, tapi kita tidak
memiliki sendi kedua, yaitu beramal sesuai dengan akidah yang
dimiliki. Kalau pun sendi amal ada dan dilaksanakan, tapi kita selalu
berkiblat kepada syahwat dan dunia, hingga terlontar dari rel kebenaran,
atau melenceng dari jalurnya. Atau kalau pun kita tetap dapat bertahan
memegang teguh kebenaran dan saling menasihati dalam kebenaran,

432
AL-‘ASHR 103, JUZ 30

hanya saja saat menghadapi tantangan dan rintangan, kita selalu kurang
sabar dan cepat menyerah, atau bahkan sering marah. Hingga runtuhlah
semua semangat, dan pasrah dengan keadaan yang ada. Keadaan yang
telah diseting oleh para musuh, keadaan yang telah direkayasa para
penjajah.
Seandainya seluruh sendi keberhasilan ini tetap prima di kalangan
muslimin, niscaya mereka tidak pernah akan berstatus merugi. Bila
merasa hidup merugi, yakinlah bahwa akidah telah melemah atau
bahkan hilang, atau akidah belum diterjemahkan dalam aplikasi dan
amal nyata, atau amal saat dilakukan menyimpang dari kebenaran
dengan mengikut godaan syahwat; atau saat rintangan menghambat,
mereka tidak bersikap sabar. Baca sejarah, lihat setiap peristiwa, niscaya
pesan di balik itu tetap sesuai dengan prinsip keberhasilan.
‫ﺒ ﹺﺮ‬ ‫ﺍ ﺑﹺﺎﻟﺼ‬‫ﺻﻮ‬
 ‫ﺍ‬‫ﺗﻮ‬‫ﻭ‬ ‫ﺤﻖ‬
 ‫ﺍ ﺑﹺﺎﹾﻟ‬‫ﺻﻮ‬
 ‫ﺍ‬‫ﺗﻮ‬‫ﻭ‬ ‫ﺕ‬
 ‫ﺎ‬‫ﻟﺤ‬‫ﺎ‬‫ﻤﻠﹸﻮﺍ ﺍﻟﺼ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻮﺍ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻦ ﺁ‬ ‫ﻳ‬‫ ﺇﹺﻻ ﺍﻟﱠﺬ‬kecuali orang-
orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat
menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran.
Bila kita menemukan kata dispensasi/pengecualian, maka kita
pahami yang dikecualikan itu berjumlah lebih sedikit dari jumlah
seluruhnya. Tapi pada ayat ini disebutkan kata ‘insân/manusia’ bersifat
umum dan dikecualikan dengan mukminin. Bagaimana kata yang
bersifat tunggal dikecualikan dengan kata yang bersifat jamak (amanû)?
Jawabannya, bahwa kata “insân” tidak terbatas pada konotasi tunggal.
Tapi ia dapat diartikan dengan “setiap individu manusia”, karena huruf
alif lam pada kata insan sehingga menjadi al-insan, dipahami dengan
istighrâq/mencakup seluruh individu yang ada di dalamnya. Untuk itu,
kita dapat memahami ayat itu dengan “setiap individu manusia akan
merugi kecuali orang-orang yang telah beriman ...” Jumlah individu
manusia lebih banyak dari mukminin. Artinya, manusia itu ada yang
rugi dan ada yang beruntung. Yang beruntung adalah mukminin, dan
yang rugi adalah yang kafir.
Iman merupakan akidah yang telah meragi di dalam jiwa sehingga
menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ia merupakan ikatan
yang mengikat hati dan tidak pernah keluar darinya selamanya. Akidah
itu sendiri berasal dari kata ‘aqd yang berarti ikatan. Akidah tidak
terletak di otak hingga dipikirkan. Segala sesuatu apabila masih berada
di otak, maka ia masih bisa didiskusikan, untuk selanjutnya diterima
atau ditolak.

433
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Akidah bukan pula sesuatu yang dapat diindra dan dirasa. Segala
sesuatu yang dapat diindra tidak disebut akidah. Kita tidak mengatakan:
“Saya yakin dan percaya bahwa kamu ada di depanku. Saya berkata dan
kalian mendengar.” Tidak juga disebut sebagai akidah bila saya berkata:
“Saya percaya bahwa lampu itu menyala.” Akidah sangat terkait erat
dengan sesuatu yang gaib.
Bila akidah terkait dengan perkara gaib, maka puncak akidah adalah
kayakinan akan keberadaan Allah. Allah gaib. Keyakinan kepada
malaikat-Nya, dan mereka adalah gaib. Percaya kepada kitab suci dan
para nabi, mereka juga gaib. Walau pun kitab suci dapat dilihat dan
jejak rasul masih terasa, namun tetap saja ia dikatakan dengan gaib.
Alasannya, karena kita tidak mengetahui bagaimana wahyu itu
diturunkan, kita juga tidak pernah bertemu dengan para nabi dan rasul.
Jadi, syarat keyakinan yang pertama adalah gaib.
Inilah beda muslim dan kafir. Kafir menginginkan segala sesuatu itu
terlihat dan nyata. Padahal yang terlihat tidak memerlukan keimanan.
Karena kita sama dengan yang lain, sama-sama melihat. Kalau
keimanan terkiat erat dengan perkara yang terlihat, maka sama status
antara muslim dan kafir. Perkara yang membedakan mukmin dengan
kafir adalah bahwa mukmin percaya kepada yang gaib.
Bukan berarti segala sesuatu yang tidak terlihat dan terindra itu
tidak ada. Lihat ruh atau nyawa yang ada pada diri manusia. Ia ada tapi
tidak dapat dilihat, diraba, dirasa, didengar. Dengan ruh, terjadi
kehidupan, bila ruh dicabut berubahlah wujud manusia menjadi tubuh
yang kaku, lalu menjadi tanah. Kita tidak dapat mengindra ruh, tapi kita
percaya bahwa ruh itu ada. Jadi, manusia mempercayai sesuatu yang
gaib yang ada pada dirinya.
Bila dikatakan bahwa manusia memiliki Tuhan yang memiliki
kehendak, dan tidak dapat dilihat, maka jangan merasa aneh dan heran,
karena perkara seperti ini ada juga terdapat di dalam diri manusia itu
sendiri. Bila manusia tidak mampu untuk menggapai hakikat makna ruh
yang terdapat di dalam dirinya yang merupakan bagian dari ciptaan
Allah, maka bagaimana pula dengan Allah yang hakikat-Nya tidak
dapat diindra. Bertambah gaib sesuatu bertambah agung lah dia. Bila
sesuatu itu tidak gaib, maka dia tidak layak dijadikan Tuhan.
Merupakan keagungan Tuhan bila Dia itu gaib.
Beda antara sesuatu itu ada dengan sesuatu itu diindra. Tidak berarti
bila sesuatu itu tidak diindra berarti ia tidak ada. Selain ruh yang ada
pada jiwa, kita juga menemukan mikroba. Ia sudah ada sejak alam ini

434
AL-‘ASHR 103, JUZ 30

diciptakan, namun manusia baru mengetahui keberadaannya saat


ilmuwan menemukan mikroskop atau alat yang dapat melihat benda-
benda yang sangat kecil. Sebelum mikroskop ditemukan apakah
mikroba ada atau tidak ada. Tentu dia ada, walaupun manusia tidak
dapat mengindranya. Jadi, banyak hal yang ada di alam ini tapi manusia
tidak dapat melihatnya, dan ia itu ada.
Bila Allah berkata bahwa di alam ini ada makhluk yang lebih halus
dari manusia yaitu jin dan lebih halus dari jin yaitu malaikat, dan
makhluk-makhluk itu tidak dapat diindra, maka kita sebagai mukmin
tetap percaya dan yakin. Karena di dalam kehidupan ini pun banyak
yang ada, tapi kita tidak mengetahuinya.
Asas dan dasar dari akidah adalah beriman kepada Allah. Bila
mukmin beriman kepada Allah, maka segala yang Dia ucapkan juga
akan diyakininya. Dia percaya bahwa malaikat itu ada, karena Allah
yang berkata. Dia percaya kepada jin, karena Allah yang berkata.
Percaya kepada para nabi, karena Allah yang berkata. Semua yang
dikatakan Allah termasuk di dalamnya perkara gaib, akan diyakini
mukmin, karena dia percaya kepada Allah.
Keyakinan dan keimanan kepada Allah menimbulkan kekuatan yang
dahsyat. Orang yang beriman kepada Allah tidak akan melemah dalam
mengharungi kehidupan, karena dia tidak mengharunginya berdasarkan
kepada kekuatan yang ada pada dirinya, tapi berdasarkan kepada
kekuatan Allah yang telah menciptakannya. Saat kondisi di mana dia
tidak sanggup untuk melawan, maka dia tidak melemah, karena di sana
ada Tuhan yang melindungi, maha Pengasih dan Penyayang. Tuhan
yang Mahakuasa yang tidak dapat dikalahkan dengan apapun.
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan
jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak
disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya
Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksana-
kan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap se-
suatu. (QS ath-Thalaq [65]: 2-3)
Keimanan kepada Allah menyebabkan pemiliknya menjadi orang
yang kaya. Tidak ada iman adalah kemiskinan. Keimanan kepada Allah
menenteramkan hati, karena semua makhluk ciptaan-Nya tunduk dan
berkhidmat untuk kita.
Dari pemahaman ini timbul dua manhaj. Pertama, kita semua
hamba Allah, hingga tidak layak antar sesama hamba untuk saling
angkuh. Selama yang lain bukan hamba kita, maka mereka juga bebas

435
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

berbuat, sebagaimana kita babas. Kedua, tidak boleh antar manusia


untuk saling menghina, akibat keangkuhan diri. Jangan pula menilai
manusia lain sebagai kompetitor yang akan merampas rezeki kita. Tapi
lihatlah setiap manusia dengan kaca mata saudara yang akan membantu
kehidupan kita. Saudara yang menginginkan kebaikan untuk diri kita.
Karena sesama mukmin beriman pada satu manhaj.
Manhaj itu berkata:
‫ﻮﺍ‬‫ﻭﻛﹸﻮﻧ‬ ،‫ﻌﺾﹴ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻀ ﹸﻜ‬
 ‫ﻌ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻊ‬ ‫ﻳﺒﹺﻴ‬ ‫ﻻ‬‫ ﻭ‬،‫ﻭﺍ‬‫ﺑﺮ‬‫ﺍ‬‫ﺗﺪ‬ ‫ﻻ‬‫ ﻭ‬،‫ﻮﺍ‬‫ﺟﺸ‬ ‫ﺎ‬‫ﺗﻨ‬ ‫ﻻ‬‫ ﻭ‬،‫ﻮﺍ‬‫ﺎ ﹶﻏﻀ‬‫ﺗﺒ‬ ‫ﻻ‬‫ ﻭ‬،‫ﻭﺍ‬‫ﺳﺪ‬ ‫ﺎ‬‫ﺗﺤ‬ ‫ﻻ‬
‫ﲑ‬
‫ﺸ‬
 ‫ﻳ‬ - ‫ﻨﺎ‬‫ﻫ‬ ‫ﺎ‬‫ﻯ ﻫ‬‫ ﹾﻘﻮ‬‫ ﺍﻟﺘ‬،‫ﺮﻩ‬ ‫ﻘ‬ ‫ﺤ‬
 ‫ﻳ‬ ‫ﻻ‬‫ ﻭ‬،‫ﺨ ﹸﺬﹸﻟﻪ‬
 ‫ﻳ‬ ‫ﻻ‬‫ﻪ ﻭ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻠ‬ ‫ﻳ ﹾﻈ‬ ‫ ﻻ‬،‫ﻠﻢﹺ‬ ‫ﺴ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﻮ ﺍﹾﻟ‬‫ﻢ ﹶﺃﺧ‬ ‫ﻠ‬ ‫ﺴ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ ﺍﹾﻟ‬،‫ﺎ‬‫ﺍﻧ‬‫ﺧﻮ‬ ‫ﻪ ﹺﺇ‬ ‫ﺩ ﺍﻟﻠﱠ‬ ‫ﺎ‬‫ﻋﺒ‬
‫ـﻠﹶـﻰ‬‫ﻠ ﹺﻢ ﻋ‬ ‫ﺴ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ ﹸﻛ ﱡﻞ ﺍﹾﻟ‬،‫ﻠﻢ‬ ‫ﺴ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﻩ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺎ‬‫ﺮ ﹶﺃﺧ‬ ‫ﻘ‬ ‫ﺤ‬
 ‫ﻳ‬ ‫ ﹶﺃ ﹾﻥ‬‫ﺮ‬‫ﻦ ﺍﻟﺸ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺉ‬
‫ﻣ ﹺﺮ ﹴ‬ ‫ﺐ ﺍ‬
‫ﺴ ﹺ‬
‫ﺤ‬
 ‫ ﹺﺑ‬- ‫ﺕ‬
 ‫ﺍ‬‫ﻣﺮ‬ ‫ﺙ‬
‫ﻩ ﺛﹶﻼ ﹶ‬ ‫ﺪ ﹺﺭ‬ ‫ﺻ‬
 ‫ﹺﺇﻟﹶﻰ‬
‫ﻪ‬ ‫ﺿ‬
 ‫ﺮ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺎﹸﻟ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻡ‬ ‫ﺍ‬‫ﺣﺮ‬ ‫ﻠ ﹺﻢ‬ ‫ﺴ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬
“Jangan saling dengki, jangan saling iri, jangan saling marah,
jangan saling menjatuhkan, jangan pula seseorang membeli barang
yang berstatus dalam proses jual beli bagi yang lain. Tapi, jadilah
hamba Allah yang saling bersaudara. Muslim yang satu dengan muslim
yang lain tidak boleh menzaliminya, mengucilkannya, menghinakannya.
Takwa itu terletak di sini –sambil mengarahkan kepada dadanya
sebanyak tiga kali-. Cukuplah kejahatan muslim bila dia menghina
saudaranya muslim. Setiap muslim atas muslim yang lain haram,
darahnya, hartanya dan kehormatannya. (HR Bukhari)
Dalam hadis lain, Nabi Muhammad sallahu ‘alaihi wasallam
berpesan: ‫ﻀﺎ‬
‫ﻌﻀ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻀ‬
 ‫ﻌ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺸ‬
 ‫ﻳ‬ ‫ﻥ‬ ‫ﻴﻴﺎ‬‫ﻨ‬ ‫ﺒ‬‫ﻠ ﹺﻢ ﻛﹶﻛﺎ ﹾﻟ‬ ‫ﺴ‬‫ﻠﹾﻤ‬‫ﻢ ﻟ‬ ‫ﻠ‬ ‫ﺴ‬
 ‫ ﺍﻟﹾﻤ‬mukmin satu dengan mukmin
yang lain, bagaikan satu bangunan yang saling menopang satu dengan
yang lain.
Walaupun jumlah manusia itu banyak, tapi tidak berarti bahwa
mereka itu semua akan menyusahkan hidup kita, tidak. Tapi, jadikan
banyak manusia, menjadi banyak kawan yang akan memudahkan jalan
hidup. Saat teman atau manusia mendapat nikmat, saat dia yakin bahwa
semua nikmat bersumber dari Allah Pemberi nikmat, maka sebagai
teman dan manusia yang cerdas akan bersikap ‘syukur’ atas nikmat
yang diterima kawan atau manusia lain. Dia akan berdoa untuk kebaikan
nikmat itu bagi pemiliknya. Dia tidak iri, tidak dengki dan tidak pula
dendam. Karena kesyukuran itu akan membuat nikmat itu mengalir
kepada dirinya. Jadi, iman kepada Allah membuat mukmin menjalankan
kehidupan ini dengan penuh optimis. Dia bangga menjadi mukmin, dan
dia tidak pesimis dalam menghadapi setiap gelombang kehidupan.

436
AL-‘ASHR 103, JUZ 30

Bangga menjadi mukmin, mengarahkan mukmin untuk mengambil


produk hukum yang bersumber dari Tuhan yang dia imani. Bagaimana
bisa negara yang berpenduduk mayoritas muslim mau diatur tata cara
kehidupan berbangsa dan bernegara oleh negara asing yang tidak
beriman kepada Allah.
Allah telah menjadikan manusia makhluk mulia, dan bagaimana
muslim dapat menerima teori yang telah merendahkan derajat manusia
dengan menyatakan bahwa nenek moyang manusia adalah kera.
Bagaimana status yang telah dimuliakan Allah, kemudian dihinakan
oleh diri manusia itu sendiri!?
Menjadi mukmin berarti apa yang ada pada lahirnya itulah yang ada
pada batinnya. Tidak ada rahasia, dan tidak ada yang ditutup-tutupi.
Karena dia tidak saja berinteraksi dengan manusia yang mungkin dapat
dia bohongi, tapi dia berinteraksi dengan Allah yang Maha Mengetahui,
yang tidak ada satu pun yang tersembunyi dari-Nya. Selama demikian
perlakuan mukmin, maka semua manusia akan diperlakukannya sama.
Mereka bukan harus dijadikan sebagai front yang harus dilawan, tapi
sebagai teman dan mitra.
Selama mukmin beriman kepada Allah yang telah menciptakan,
maka dia tidak menjadikan dunia sebagai segala sesuatu di dalam hidup
ini. Barang siapa yang target hidupnya hanya dunia semata, niscaya dia
akan lebih buas dari hewan. Dia tidak segan-segan menzalimi orang
lain, merampas segalanya, menghisap keringat bahkan darah orang lain,
bahkan tidak mau patuh dengan peraturan yang dibuat oleh Allah,
apalagi peraturan buatan manusia. Dia ingin hidup berdasarkan hawa
nafsunya. Yang tergambar di dalam benaknya, hanya dunia, dunia dan
dunia.
Bagi mukmin yang beriman kepada Allah, akan yakin bahwa dunia
hanya jembatan menuju akhirat yang kekal. Dunia bukan tempat meraih
upah atas apa yang dikerjakan dan diamalkan. Bila demikian
pemahamannya, maka bila diberi bencana dia tidak akan sedih, kenapa?
Karena dunia bukanlah akhir. Tiadalah kehidupan dunia ini melainkan
senda gurau dan main-main. Sesungguhnya akhirat itulah yang
sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. (QS al-‘Ankabut
[29]: 64)
Keimanan mukmin menetapkan bahwa ketaatannya tidak
menambah apa-apa dari kejayaan dan kekuasaan Allah. Kebalikannya,
kekufuran kaum kafir tidak akan mengurangi sedikit pun kemuliaan dan
kerajaan-Nya. Semua amal baik yang dilakukan mukmin, manfaat

437
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

kebaikan itu akan dipetik oleh mukmin itu sendiri. Di sisi lain dia akan
mendapatkan pahala dan ganjaran, sebagai karunia dari Allah.
Dengan keimanan ini, sirnalah pemikiran bahwa kita hidup
sendirian di bumi ini, dan muncullah pemahaman yang mendalam
bahwa kita hidup bersama Allah. Dalam kehidupan sering didengar
ungkapan hikmah: “Bahwa anak yang memiliki ayah, tidak akan merasa
susah dalam mengarungi kehidupan.” Dia tidak akan pernah berpikir
untuk membeli suatu barang atau makanan, apakah barang atau
makanan itu murah atau mahal, karena yang membayar dan
memikirkannya adalah ayahnya. Bila manusia yang memiliki ayah saja
tidak merasa cemas dalam mengarungi kehidupan, bagaimana pula
dengan mukmin yang memiliki Tuhan dan hidup bersama-Nya!? Jadi,
ini adalah modal besar sehingga mukmin tidak takut dalam menjalani
kehidupan apalagi cemas.
Di sisi lain, dia akan melihat setiap bencana dan cobaan sebagai satu
ujian atau seleksi untuk meningkatkan derajatnya. Karena Allah tidak
pernah menguji kecuali kepada orang yang dia cintai. Yang paling dia
cintai adalah para nabi, dan mereka adalah orang yang paling banyak
diuji.
Nabi Muhammad bersabda:
‫ﻼ ِﺀ‬
‫ ﹶ‬‫ ﻋﻈﻢﹺ ﺍﻟﹾﺒ‬‫ﻊ‬‫ﺰﺰﺍ ِﺀ ﻣ‬ ‫ ﺍﻟﹾﺠ‬‫ﻈﹶﻢ‬‫ﺇﹺﻥﹼ ﻋ‬, ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻼ‬
‫ ﹶ‬‫ﺘ‬‫ﻮﻣﺎﹰ ﺍﺑ‬‫ ﻗﹶﻮ‬‫ﺐ‬‫ﺇﹺﻥﹼ ﺍﷲ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺃﹶﺣ‬‫ﻭ‬, ‫ﺿﻰ‬
‫ﺿ‬
 ‫ﺮ‬ ‫ﻪ ﺍﻟ‬ ‫ﻲ ﹶﻓ ﹶﻠ‬ ‫ﺿ‬
 ‫ﺭ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﹶﻓ‬
‫ ﹸ‬‫ﺨ‬‫ ﺍﻟﺴ‬‫ﻂﹶ ﻓﹶﻠﹶﻪ‬‫ﺨ‬‫ ﺳ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬‫ﻭ‬
‫ﻂ‬
“Sesungguhnya besar pahala disesuaikan dengan besar ujian.
Sesungguhnya Allah bila mencintai seseorang, maka Dia akan
mengujinya. Barang siapa yang rida atas ujian itu, maka Dia akan
mendapat rida Allah, dan barang siapa yang membencinya, dia akan
mendapat kebencian-Nya. (HR Tirmizi)
Hadis ini mengisyaratkan bahwa bencana dan ujian yang menimpa
mukmin adalah kebaikan bagi mukmin itu sendiri. Mukmin yang diuji
dan mendapat bencana adalah mukmin yang dicintai Allah, bila dia
bersabar atau bahkan bersyukur. Nabi Muhammad bersabda: “Sungguh
aneh perkara mukmin, semua yang menimpanya adalah baik. Bila dia
mendapat kelapangan, maka dia bersyukur, dan itu adalah baik. Bila
mendapat kesempitan, maka dia bersabar, dan itu adalah baik baginya.
(HR Muslim)
Keimanan adalah suatu perkara yang membuat hidup mukmin tetap
optimis dan semangat. Ketika mukmin merasa lemah, maka dia yakin
bersama Allah, dia akan menjadi kuat. Janganlah kamu bersikap lemah,

438
AL-‘ASHR 103, JUZ 30

dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-


orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang
beriman. (QS Âli Imrân [3]: 139)
Contohnya, saat kaum Musa merasa terkepung oleh keberadaan
Laut Merah di hadapan mereka dan pasukan Firaun di belakang mereka,
Nabi Musa berkata: “Tidak, sesungguhnya saya bersama Tuhan yang
akan memberi arahan.” Lihat QS asy-Syuarâ’ [26]: 61-63. Kaum Musa
benar bila berkaca berdasarkan logika manusia semata, atau berdasarkan
hukum sebab akibat, tapi Musa bersandar kepada Pemilik sebab akibat,
yang mengarahkan kepadanya untuk memukul tongkat ke laut, hingga
air laut terpecah menjadi dua bagian bagaikan gunung yang kokoh.
Inilah modal keyakinan hidup yang tumbuh dari keimanan. Modal ini
menumbuhkan sikap optimis dan semangat juang yang tinggi.
Kekuatan iman tidak akan ampuh dan mujarab kalau tidak diikat di
dalam jiwa dan menjadi satu akidah atau ikatan yang kuat, menyatu dan
mendarah daging. Ia tidak naik ke logika untuk didiskusikan. Bila
didiskusikan maka ia bukan akidah namanya, tapi masih bersifat
pemikiran yang bisa didiskusikan, diterima ataupun ditolak. Kekuatan
iman itu bukan pula sekedar ilmu pengetahuan, yang dikenal tapi tidak
merasuk ke jiwa, karena kaum kafir sendiri mengenal dan mengetahui
keberadaan Allah, tapi karena tidak meyakininya maka mereka tetap
disebut dengan kafir. Lihat QS az-Zukhruf 87, dan Luqman 25. Mereka
mengenal Allah tapi tidak beriman. Apa guna mengenal kalau tidak
beriman?
Asas yang paling dasar dari rahasia kesuksesan adalah iman. Untuk
itu Allah tidak pernah memaksakan keimanan, sebagaimana kesuksesan
tidak pernah dipaksakan. Allah ingin akidah dan iman itu muncul dari
kesadaran manusia itu sendiri. Kalau Allah ingin seluruh manusia
tunduk, maka Dia mampu memaksa mereka untuk tunduk, tapi Dia
tidak melakukannya sebagaimana yang dilakukannya kepada alam ini,
karena Dia ingin hati yang taat, walau pun mereka dapat membangkang.
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). (QS al-Baqarah
[2]: 256) Kenapa tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam?
Karena keimanan dan Islam itu jelas tidak perlu dipaksakan.
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
(QS al-Baqarah [2]: 256)
Iman harus diraih dengan penuh cinta kasih, rida dan berasaskan
keinginan sendiri, karena imam membahagiakan, pintu sukses,
menimbulkan sikap optimis dan gairah hidup. Bila iman telah diraih,

439
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

yakinlah bahwa iman bukan tujuan akhir, ia adalah sarana menuju amal
saleh. Keimanan mukmin kepada Allah yang Mahakuat, menyebabkan
mukmin bekerja kuat dan menyandarkan hasil kerja kepada-Nya.
Keimanan mukmin kepada Allah yang Maha Pengasih, menyebabkan
dia tidak segan-segan menyebar rasa kasih sayang di alam ini, dst.
Dengan demikian, kita telah berpindah dari dasar pertama (iman)
menuju dasar kedua (amal saleh). Amal saleh adalah perbuatan yang
dipinta Allah dari manusia. Perbuatan ini terkadang tidak mendatangkan
faedah secara cepat dan instan. Perbuatan ini disebut dengan ibadah.
Selain ibadah, ditemukan muamalat, ia adalah peraturan yang diatur
untuk mengatur kehidupan manusia, sebagai individu yang terkiat
dengan urusan diri sendiri, keluarga, masyarakat, berbangsa dan
bernegara. Kata lain dari muamalat adalah disiplin. Kalau prinsip
keimanan tidak ada niscaya kehidupan manusia akan berjalan tanpa
disiplin.
Beda antara ibadah dan muamalat, ibadah adalah syariat yang
diperintahkan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Muamalat adalah hasil pemikiran manusia, hanya saja syariat
mendukung produk hasil pemikiran itu jika baik, dan menolak produk
hasil pemikiran jika buruk, bila samar diarahkan kepada jalan yang
benar. Untuk itu Islam terkadang mengadopsi hukum Arab jahiliyah,
bila dari hukum itu terlihat ada kebaikan bagi umat manusia. Bila salah,
maka hukum itu dilarang untuk diterpakan, dan bila dapat direvisi,
Islam pun merevisinya.
Ibadah dalam arti yang sempit tidak ada campur tangan manusia di
dalamnya. Dia hanya berdasarkan kepada perintah Allah agar hamba
dapat dekat kepada-Nya. Untuk itu para ulama berkata: “Asal dari
ibadah adalah pelarangan, hingga datang perintah dari Allah dalam
wujud syariat.” Manusia tidak boleh menyembah Allah dengan cara dan
gayanya yang tidak diperintahkan, kecuali dalam wujud amalan sunat.
Bila diperintahkan salat lima waktu, maka dia tidak menambahnya
menjadi enam, kecuali salat sunat yang telah diatur. Bila diperintahkan
zakat 2.5% setiap tahun, maka dia boleh menambahnya sebagai wujud
sedekah dan infak. Bila diperintahkan haji sekali seumur hidup, maka
dia boleh melaksanakan haji sunat setiap tahun. Bila diperintahkan
puasa wajib di bulan Ramadhan, maka dia boleh menambahnya dengan
puasa senin Kamis serta puasa 3 hari setiap bulan Arab.
Amalan-amalan yang terkait dengan ibadah ini menjadi saleh atau
layak, bila ia berdasarkan kehendak Zat yang memerintahkan, sebagai

440
AL-‘ASHR 103, JUZ 30

sarana mendekatkan diri kepada-Nya. Begitu juga dengan amalan-


amalan yang terkait dengan muamalat akan menjadi saleh bila
bersumber dari Allah. Lihat peraturan Allah tentang individu manusia,
aturan rumah tangga, peraturan kemasyarakatan, undang-undang tata
negara dan ekonomi serta politik kemudian bandingkan dengan
peraturan produk umat manusia, maka kita akan menemukan peraturan
Allah tetap lebih baik.
Contohnya, masyarakat Barat melarang talak cerai karena ia identik
dengan Islam, tapi apa yang terjadi sekarang? Mereka
membolehkannya, karena terkadang kondisi rumah tangga tidak dapat
diselesaikan kecuali dengan cara membolehkan perceraian. Poligami
yang mereka benci, sekarang mulai mereka bahas, karena mereka
menemukan bahwa kebejatan moral dapat timbul akibat pelarangan
poligami.
Beda muslim dengan bukan muslim dalam beribadah dan
bermuamalah, bahwa muslim melaksanakan amal yang terkait dengan
dua perkara ini berdasarkan perintah Allah. Dia beramal karena Allah
telah memerintahkan, dia meninggalkan satu amalan karena Allah
melarangnya. Walaupun kemudian ditemukan hikmat di balik amalan
itu. Dia melaksanakan amalan karena dia yakin bahwa Allah yang
memerintahkan dan melarang adalah Tuhan yang Mahabijaksana. Dia
beramal karena dia mengetahui bahwa dunia bukan segala sesuatu.
Setelah iman diraih dan amal saleh dilakukan terkadang timbul
godaan yang membuat jiwa terlena dan lupa, apalagi manhaj Allah
terkadang mengekang kebebasan syahwat, sehingga mukmin
memerlukan mukmin yang lain untuk saling mengingatkan agar tetap
konsisten dalam iman dan amal saleh.
Perhatikan kata tawâshau/saling bertausiyah, kata ini bermakna
bahwa setiap individu mukmin berstatus pemberi dan penerima wasiat
dalam waktu yang sama. Tausiyah maknanya adalah memberikan
nasihat dan bantuan dari pemberi kepada penerima agar tetap bertahan
pada prinsip iman dan amal yang telah ditetapkan Allah.
Alasannya, bahwa menasihati dalam kebenaran merupakan prinsip
ketiga dari prinsip-prinsip dakwah yang sukses. Prinsip selalu
menghambat gerak manusia, sementara manusia ingin bergerak bebas
dalam mencapai ambisi pribadinya, selama prinsip datang untuk
mengatur gerak manusia hingga menjadi satu taklif/beban, maka taklif
itu adalah satu bentuk beban.
Telah kita katakan: “Yang meringankan melaksanakan taklif atau

441
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

beban adalah reward yang menanti. Jangan melihat beratnya taklif


semata, tapi lihat juga tujuan dan akhir dari taklif itu. Bila terbayang
tujuan yang mulia dan manis di hadapan taklif, niscaya tujuan itu lebih
layak dikejar daripada mengeluh di hadapan beratnya hambatan taklif
itu.”
Kesalahan fatal dari setiap manusia yang ingin sukses adalah
mengeluh di perjalanan menuju kesuksesan. Bila dia membayangkan
visi dan tujuan dari perjalanan taklif niscaya semua beban itu menjadi
ringan, karena dia dapat membandingkan beban kecil di hadapan
kesuksesan yang besar.
Selama taklif itu beban, maka lupa manusia selalu ada di setiap
taklif. Tidak semua hal yang pasti dan diyakini dapat diterima manusia
dengan mudah, betapa banyak pesan-pesan yang telah diyakini
kebenarannya disampaikan namun konsekuensi jiwa untuk mengikuti
pesan itu belum ada dan belum tersadarkan. Jadi, keyakinan bukanlah
segala sesuatu, tapi keyakinan harus diwujudkan dan dihadirkan di
depan pelupuk mata agar tidak terlupakan.
Manhaj rabbani yang mengikat gerak manusia saat dilupakan dan
terlupakan dimulai dari hal-hal yang kecil dan sepele. Bila jiwa terus
terlena dan mengikuti nafsu yang meninak bobokkan ini maka yang
kecil itu mulai bertambah besar sedikit demi sedikit. Ada kelupaan
kedua, ketiga, keempat dan akhirnya hati yang putih menjadi hitam
tertutup bercak-bercak hitam dan kecil yang tiap hari menempel di hati.
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka
usahakan itu menutup hati mereka. (QS al-Muthaffifin [83]: 14)
Nabi menjelaskan ayat ini di dalam hadisnya: “Bahwa amanat
menempel di akar hati manusia, kemudian turun Alquran sehingga
mereka mengetahui apa pesan-pesan Alquran dan mengetahui apa pesan
-pesan hadis, kemudian manusia lalai dan lupa hingga amanat di dalam
hatinya itu tercabut dan meninggalkan bekas hitam sebesar luka bakar
akibat korek api, kemudian dia lupa untuk kedua kalinya, maka di hati
itu timbul bekas hitam sebesar batu jumrah. Sehingga pada akhirnya kita
akan menemukan tidak ada orang yang menjalankan sikap amanah saat
bertransaksi, hingga bila dikatakan bahwa di Bani Fulan ada seorang
yang jujur, maka orang akan berkomentar: “Alangkah beruntungnya,
alangkah cerdasnya dan alangkah kukuhnya dia.”
Dari hadis ini dapat dipahami bahwa lenyapnya amanah di dalam
jiwa terjadi karena kelengahan dan kelalaian yang kecil, disusul dengan
lupa kedua, hingga hati yang putih menjadi hitam pekat. Ini lebih

442
AL-‘ASHR 103, JUZ 30

dipertegas oleh Huzaifah: “Fitnah dan cobaan yang menempel di hati itu
bagaikan tikar yang diancam sehelai demi sehelai, hingga hati itu
menjadi dua warna: putih bagaikan batu bukit Saha yang tidak akan
goyah setiap cobaan menerpa, dan yang lain hitam pekat yang tidak
dapat lagi mengingkari kemungkaran kecuali hanyut di dalamnya.”
Kita dapat menyaksikan dalam hidup ini bahwa orang yang
melepaskan diri dari ikatan manhaj tidak dimulai secara total dan
menyeluruh, tapi dimulai secara bertahap sedikit demi sedikit, hingga
menjauh dari kebenaran dan akhirnya hanyut dalam kemungkaran.
Untuk itu perlu kesadaran untuk saling menasihati dalam kebenaran.
Kita harus menasihati manusia, bila kita melihat manusia yang telah
mulai menyimpang walau dalam hal yang kecil dan sepele.
Alquran menyebutkan dengan istilah tausiyah bukan perintah,
karena tausiyah mengandung unsur nasihat dari orang yang mencintai
kepada orang yang dicintai. Kita tidak akan menasihati orang kecuali
orang itu kita cintai, dan dia yakin bahwa kamu juga mencintainya.
Kecintaan itu beragam antar satu manusia dengan lainnya, ada kecintaan
berdasarkan kepentingan dunia, ada juga yang berdasarkan kepentingan
agama.
Saat mendengar tausiayah, maka kita akan menemukan puncak
kebenaran adalah manhaj Allah. Kebenaran itu banyak dan beragam,
tapi puncaknya hanya satu yaitu manhaj Allah. Tausiyah dan nasihat
atau saran itu banyak dan beragam, kita sering mendengar nasihat atau
saran bahkan kiat bagaimana agar seseorang berhasil dalam perkebunan,
perdagangan, relasi dengan manusia atau dalam menghafal, tapi
puncaknya tetap pada mengikuti manhaj Allah. Manhaj-Nya adalah
puncak kesuksesan dan kebenaran.
Untuk itu Nabi Ibrahim dan Yakub berwasiat kepada anak-anaknya
agar tidak mati kecuali dalam keadaan iman. Ibrahim telah mewasiatkan
ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yaqub. (Ibrahim
berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama
ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama
Islam”. (QS al-Baqarah [2]: 132)
Wasiat tidak terlepas dari waktu, dan waktu bagi manusia itu sangat
banyak, namun bila wasiat diucapkan saat mendekati kematian, maka
pesan yang akan disampaikan haruslah sesuatu yang sangat penting. Hal
ini dapat dilihat di dalam Alquran betapa besar harapan Nabi Yakub
agar anak-anaknya tetap beriman hingga dia harus bertanya di akhir
hayatnya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” (QS al-Baqarah

443
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

[2]: 133) Anak-anaknya menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu


dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan
Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (QS al-
Baqarah [2]: 133)
Tausiah, nasihat atau pesan terpenting itu adalah berpegang teguh
pada manhaj Allah, dapat dilihat juga pesan Lukman kepada anak-
anaknya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah)
sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman
yang besar”. (QS Luqmân [31]: 13)
Tausiyah, nasihat dan saran itu memiliki peran yang sangat penting.
Hal ini menjadi salah satu dasar pemerintahan Khulafaurrasyidin saat
menjadi pemimpin. Menjadi pemimpin terkadang membuat diri lupa
karena anggur wibawa yang memabukkan hingga berbuat dan
mengambil keputusan tidak sesuai dengan manhaj Allah dan hati nurani.
Pada saat ini, rakyat yang taat memberi masukan kepada pemimpin,
walaupun dia khalifah dan sahabat nabi. Nasihat dari rakyat bukti bahwa
mereka mencintai pemimpinnya. Pemimpin yang cerdas adalah
pemimpin yang menerima setiap kritikan membangun dari rakyatnya
dengan senang hati dan lapang dada. Pemimpin yang cerdas adalah
pemimpin yang memutar roda pemerintahannya berdasarkan manhaj
Allah, bila dia berada pada rel itu maka rakyat akan mendukungnya
sepenuh hati, bila dia mulai menyimpang maka rakyat tidak segan untuk
mengingatkannya.
Abu Bakar saat menjabat berkata: “Sekarang saya memimpin kalian,
dan bukanlah aku yang terbaik dari kalian. Bila saya berada dalam
kebaikan, dukunglah saya; bila saya berada dalam kesalahan, ingatkan
saya. Taatlah peraturan ku selama saya mentaati peraturan Allah dan
rasul-Nya. Bila saya telah mendurhakai Allah dan Rasul maka kalian
tidak harus patuh terhadapku.”
Pemimpin yang cerdas adalah pemimpin yang menjadikan manhaj
Allah sebagai panglima, dan bukan pemujaan terhadap kewibawaan
pemimpin.
Umar juga melakukan yang sama. Dia takut kewibawaan pemimpin
menyebabkan rakyat takut menasihatinya, hingga dia berkata kepada
Muhammad bin Muslimah: “Hai Muhammad, bagaimana kamu melihat
pemerintahanku?”
Dia menjawab: “Saya melihat pemerintahanmu sebagaimana yang
saya harapkan, dan sebagaimana rakyat melihat kebaikan ada pada
pemimpinnya. Gemar memakmurkan rakyat, empati dan adil dalam

444
AL-‘ASHR 103, JUZ 30

pembagian, bila kamu menyeleweng, kami rakyatmu tidak segan-segan


meluruskannya, sebagaimana anak panah yang diluruskan dengan
rautan.”
Umar berkata: “Alhamdulillah, puji Tuhan yang telah menjadikan
saya pemimpin di tengah-tengah rakyat yang bila saya salah mereka
meluruskanku.”
Dengan prinsip-prinsip ini dua khalifah ini menjadi orang yang peka
terhadap perasaan rakyatnya, dia tidak menjadikan wibawa
kepemimpinan sebagai panglima, tapi menjadikan kritikan rakyat
sebagai masukan berharga demi kemakmuran bersama. Untuk itu setiap
pemimpin harus kuat menerima nasihat. Kenapa? Karena nasihat itu
datang dari pemilik negara, yaitu rakyat. Bila pemimpin menolak segala
bentuk nasihat dan masukan, niscaya kepemimpinannya akan dinilai
dengan tinta merah.
Suatu yang aneh bahwa penindasan masih tetap dilakukan oleh
sebagain pemimpin di saat rakyatnya melakukan manhaj Allah, namun
satu yang menenangkan bahwa para pemimpin yang zalim dan diktator
tidak akan dapat bisa melawan Allah dan keluar dari kehendak-Nya.
Untuk itu di samping pesan dan nasihat untuk tetap dalam manhaj Allah
adalah pesan dan nasihat untuk tetap bersabar.
Dengan sabar, segala penindasan akan menjadi ringan. Selama
prinsip hidup berpegang teguh pada manhaj Allah dan mengikuti segala
konsekuensinya dari bentuk amal saleh dalam arti yang luas mencakup
nilai-nilai ibadah mahdah dan sosial kemasyarakatan, dengan terus
menasihati dalam kebenaran dan tidak melemah di hadapan penindasan
dengan cara tetap sabar dan mengajak untuk tetap sabar, maka kita pasti
termasuk orang yang beruntung di dunia dan di akhirat. Melupakan satu
dari empat prinsip ini akan menyebabkan kita termasuk orang-orang
yang sangat rugi, nauzubillah min dzalik.
Manhaj Islam yang benar harus dibingkai dengan saling menasihati
dengan kebenaran agar tetap terjaga kemurnian kebenaran itu dan tidak
pernah terlupakan, ditambah dengan saling menasihati dalam kesabaran
hingga iman tidak runtuh di hadapan penindasan dan penyiksaan.
Selama keempat pilar ini bertahan dengan baik, selama itu pula Islam
bertahan dan berjaya.
Bila kita membaca sejarah Islam, maka kita akan menemukan
bahwa Islam pernah mengalami pasang surut, tergantung sekuat dan
selemah apa mukmin berpegang kepada empat tali ini. Ketika empat tali
ini saling menyatu dan bersatu, maka Islam dan mukmin berjaya dan

445
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

beruntung, bila tali-tali itu mulai dilepaskan dari genggaman maka


seperti yang kita lihat saat ini, Islam menjadi asing di rumahnya sendiri.
Seakan-akan Allah berkata: “Sejarah adalah bukti yang paling kuat
atas kebenaran surat ini.” Sejarah manusia akan terbagi menjadi dua
golongan: beruntung dan merugi. Yang beruntung adalah sejarah
manusia yang memegang empat tali atau pilar ini: iman, amal saleh,
nasihat dalam kebenaran dan kesabaran. Yang merugi adalah sejarah
manusia yang bila diteliti dan diamati tidak lepas pada hilangnya empat
tali dan pilar itu.
Kita memohon kepada Allah agar Dia dapat mengarahkan kita
kepada kebaikan iman, amal saleh dan menjadikan kita orang yang
gemar untuk saling nasihat menasihati dalam kebenaran dan
kesabaran.***

446
AL-HUMAZAH 104, JUZ 30

SURAT 104
AL-HUMAZAH
(MAKKIYAH)

447
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

448
AL-HUMAZAH 104, JUZ 30

Surat ini merupakan cuplikan dari kehidupan masyarakat Mekah


saat dakwah dimulia. Cuplikan ini terus saja berulang dalam kehidupan
umat manusia. Ini adalah cuplikan tentang jiwa yang kerdil, yang
menilai kesuksesan hanya pada keberhasilan mengumpulkan materi
sebanyak-banyaknya. Dia melihat bahwa keberhasilan moral, etika dan
bakat seseorang tidak ada arti dalam hidup ini. Dia melihat barang siapa
yang telah memiliki harta berarti dia telah mulia dan mampu membeli
manusia.
Pada puncaknya dia melihat bahwa materi dan harta adalah Tuhan
yang Maha kuasa, dia mampu melakukan dan membeli apa saja, hingga
dia menduga bahwa harta dapat menyelamatkannya dari kematian dan
membuatnya dapat hidup kekal selama-lamanya. Menurutnya, harta
dapat menyelamatkannya dari perhitungan di hari kiamat kelak, dan
dapat menghindarkan dirinya dari neraka dan memasukkannya ke surga.
Manusia yang memiliki pola pikir seperti ini otomatis akan menjadi
orang yang sombong, mudah meremehkan dan menganggap hina orang
lain. Dia mengupat dengan lisan, atau dengan isyarat atau dengan
gerakan mencibir.
Inilah gambaran manusia yang hina dan kerdil, saat dirinya lepas
dari keindahan iman dan telanjang dari keridaan Allah. Islam membenci
cuplikan kehidupan manusia seperti ini, karena Islam adalah agama
yang menjunjung tinggi nilai moral dan akhlak. Islam melarang
penghinaan dan merendahkan martabat orang lain, dalam berbagai ayat
suci dan hadis nabi, hanya saja dalam surat ini pelarangan itu begitu
mengesankan dan mendalam, karena penghinaan terhadap orang yang
melakukannya begitu dahsyat, hingga masuk ke dalam neraka wail.***

AMAT CELAKALAH PENIMBUN HARTA YANG TIDAK


MENAFKAHKANNYA DI JALAN ALLAH
(QS al-Humazah [104]: 1-9)
]\[ZYXWVUTSR
kjihgfedcba`_^
 xwvutsrqponml
|{zy

449
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang


mengumpulkan harta dan menghitung-hitung, dia mengira bahwa
hartanya itu dapat mengekalkannya, sekali-kali tidak!
Sesungguhnya Dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam
Huthamah. Tahukah kamu apa Huthamah itu? (Yaitu) api (yang
disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke
hati. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka, (sedang
mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.
Surat ini memberikan kepada kita gambaran nilai yang biasa
terdapat dalam fenomena kehidupan yaitu nilai harta dan ia ingin
memberikan kepada kita gambaran bahwa pemilik harta menganggap
orang yang tidak memiliki harta berada pada derajat yang rendah.
Pandangan ini yang diingini oleh Allah Swt agar kita perhatikan, maka
Allah Swt berfirman: “wail.”
Kata wail ini terkadang diucapkan manusia dalam bentuk pengertian
harfiah. Setelah digunakan secara pengertian harfiah, maka harus ada
juga pengertian secara istilah. Pengertian bahasa yang ditetapkan oleh
Tuhan kita bukanlah pengertian bahasa seperti yang kita pahami.
Sebagaimana yang telah kita katakan dalam al-qâri‘ah di dalamnya
terdapat pengertian secara bahasa atau harfiah sedangkan pengertian
yang lain adalah secara istilah.
Oleh sebab itu ketika Allah datang untuk mengambilku dari
pengertian bahasa dari kebiasaan lisan menuju pengertian istilah yang
ada pada-Nya, Dia berkata: ‫ﻙ‬  ‫ﺭﺍ‬‫ﺭ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﺩ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬tahukah kamu. Artinya, semoga
kamu dapat mengerti dan mengetahui bahwa - al-qâri‘ah atau al-
hâqqah atau al-huthahamah- memiliki makna yang berbeda secara
bahasa yang ada pada manusia, dengan makna istilah menurut Allah.
Oleh sebab itu, sebagian manusia mengartikan wail sebagai sebuah
tempat di neraka yang merupakan lembah yang paling mengerikan.
Ketika Allah Swt berjanji untuk merealisasikan apa yang telah
dijanjikannya, maka manusia wajib menghadirkan gambaran bahwa ia
benar-benar terjadi. Yang membuat manusia tidak dapat merealisasikan
apa yang telah dia janjikan ada tiga masalah:
Pertama, bahwa orang yang mengancam terkadang tidak dapat
menjamin bahwa ia akan senantiasa dapat merealisasikan apa yang
dijanjikan. Kedua, bahwa ia tidak dapat senantiasa memiliki kekuatan
yang diancamkan kepadanya. Ketiga, ditemukan manusia yang lebih
kujat dan lebih hebat dari pada dirinya hingga dia undur diri untuk

450
AL-HUMAZAH 104, JUZ 30

mewujudkan ancaman itu.


Akan tetapi jika Allah berkata “wail”, maka ia telah mengancam dan
mampu untuk melaksanakan apa yang dikatakannya, sedangkan
manusia tidak dapat luput dari tangan dankuasa-Nya.
Artinya bahwa wail adalah ancaman, artinya juga bahwa Allah
mampu untuk melaksanakan apa yang dijanjikan. Di sisi lain, ancaman
abadi sesuai dengan kemampuan Allah yang abadi dan tak terkalahkan.
Ketiga, ancaman itu tidak dapat dielakkan, karena tidak ada satu
manusia pun yang luput dari kuasa dan pantauan Allah. Tampaknya
masalah ini benar-benar serius. Wail tidak saja siksa yang mutlak dan
absolut, tetapi lebih dari itu, ia adalah azab khusus dari Allah, Tuhan
Yang Mahakuasa dan Mahakuat, tak terkalahkan. Maka ancaman wail
ini harus dipahami dalam bingkai kekuasaan Allah yang tak terbatas
sehingga memberikan rasa takut di dalam jiwa terhadapnya.
‫ﺓ‬ ‫ﺰ‬ ‫ ﻟﱡﻤ‬‫ﺓ‬‫ﺰ‬‫ﻤ‬‫ﻞﹲ ﻟﱢﻜﹸﻞﱢ ﻫ‬‫ﻳ‬‫ ﻭ‬kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela.
Struktur fi‘ilnya adalah sesuatu yang berada pada wajn fi’ilnya.
Dikatakan misalnya, fulan dhahkah/lucu terkadang huruf tengahnya
adalah fath dan terkadang sukun. Adapun yang pertama artinya adalah
tawa yang bersumber dari si Fulan atas orang lain. Sedangkan yang
kedua sumber tawa adalah berasal dari orang lain atasnya. Demikian
halnya dengan humazah dan lumazah akan tetapi perbuatan itu banyak
bersumber darinya yang diungkapkan secara hiperbola dengan
kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela.
Apa itu humazah? Artinya adalah orang yang mencela orang lain,
baik itu dari segi fisik maupun status sosial mereka atau mencela
tindakan mereka. Adapun lumazah artinya adalah melakukan sesuatu
yang mengandung ejekan, bisa dengan lisan, atau isyarat mata dan
gerakan-gerakan yang berulang-ulang. Jadi humazah dan lumazah
adalah celaan yang menyakitkan hati manusia.
Sedangkan ghamaz adalah perbuatan buruk terhadap orang lain baik
dengan menggunakan matanya, lisan maupun gerakan. Seperti ketika
seseorang berjalan, maka datang orang di belakangnya mengikuti
caranya berjalan sebagai ejekan terhadapnya. Jadi, seseorang dapat
mengejek dengan menggunakan lisan ataupun alis matanya. Ini yang
disebut dengan humazah lumazah.
Allah ingin memberikan argumen atau mencoba mencari-cari alasan
kenapa seseorang tega untuk mencela orang lain? Apakah karena
merasa bahwa dirinya berbeda dengan manusia secara umum. Atau

451
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

boleh jadi karena dia memiliki harta yang berlebih dari biasa.
‫ﻩ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻋﺪ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻣﻣﺎ ﹰﻻ‬ ‫ﻊ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﺬﺬﻱ‬ ‫ﺓ ﺍﱠﻟ‬ ‫ﺰ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺓ ﱡﻟ‬ ‫ﺰ‬ ‫ﻤ‬‫ﻳ ﹲﻞ ﱢﻟ ﹸﻜﻞﱢ ﻫ‬‫ﻭ‬ kecelakaanlah bagi setiap
pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-
hitung. Arti wa ‘addadahu adalah menghitungnya. Seluruh waktunya
terasa tenang ketika menghitung-hitung hartanya sebagaimana yang
dilakukan oleh orang-orang yang bakhil. Ketika dia memiliki harta, dia
lalu mengurung diri di dalam kamar untuk menghitung-hitung hartanya.
Atau ‘addadahu artinya membuat harta sebagai persiapannya dalam
segala hal.
Apakah lakon di dalam peristiwa ini terkait pada individu tertentu
atau ini berlaku umum dan universal? Atau apakah ayat ini terkait
dengan peristiwa dilakukan oleh Akhnas bin Suraiq atau orang lain?
Jawabannya, karena lafaznya umum, maka ia berlaku secara umum dan
universal. Karena jika Allah ingin berbicara tentang seseorang secara
khusus, maka Dia dapat saja menyebutkan nama dan sifat orang
tersebut. Ketika berbicara tentang seseorang secara khusus Dia berkata:
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan
binasa”. (QS al-Masad [111]: 1)
Jadi, di sana terdapat masalah yang menjadi kaitan hukumnya
adalah sifat atau nama seseorang. Apa beda keduanya? Pertama, atau
yang terakit dengan sifat, maka kisah itu berlaku dan sesuai dengan
siapapun orangnya, selama dia memiliki sifat yang tertera di dalam ayat
itu. Masalah siksaan wail –contohnya dalam ayat ini– tidak terikat pada
individu dan nama tertentu, tapi ia berlaku umum. Adapun kedua, atas
dasar nama individu tertentu yang memiliki sifat yang berhak ada
padanya, sebagaimana yang terdapat dalam kisah Abu Lahab dalam
surat al-Masad. Jadi ancaman wail dalam ayat ini datang kepada setiap
orang yang miliki sifat dengan sifat humazah dan lumazah meskipun
bukan orang, bukan Akhnas bin Suraiq yang disebutkan dalam kisah
yang terkait dengan ayat itu.
Contoh lain, ketika Alquran memaparkan kisah Ashabul Kahfi, para
ulama membahas hal ini dengan seksama dan berkata: “Siapa nama-
nama mereka?” Sebagian mereka membahas pula berapa jumlah mereka
sebenarnya. Sedangkan yang lainnya membahas masa keberadaan
mereka atau tempat kediaman mereka. Ada juga yang mencari tahu
nama anjing yang turut serta. Mereka meneliti kisah ini begitu dalam
hingga keluar dari tuntutan nash atau lari dari pesan Alquran yang
diturunkan sebagai inspirasi atau hidayah bagi manusia. Kenapa?

452
AL-HUMAZAH 104, JUZ 30

Karena jika kisah disebutkan lengkap dengan nama-nama, masa dan


tempat mereka, maka ini akan merusak inspirasi atau wisdom atau
hidayah dari sebuah kisah. Kenapa? Karena Allah memaparkan kisah
kepada kita hanya sebagai contoh. Artinya, pesan inspirasi dari kisah
Ashabul Kahfi adalah kekuatan iman yang perlu diperjuangkan dan
dipertahankan. Artinya, meskipun jumlah mereka sedikit akan tetapi
tidak menghalangi mereka untuk berdiri tegak berdakwah mengajak
menusia merubah sikap dari kebatilan menuju pada kebenaran. Dengan
nama apa, berapa jumlah, kapan dan di mana.
Orang yang ingin membatasi pemahaman kisah dengan penetapan
individu, waktu atau tempat akan merusak tujuan kisah dari Allah.
Kisah dalam Alquran bersifat inspiratif, motivatif dan di dalamnya
banyak terdapat wisdom yang perlu digali menuju kebahagiaan hidup.
Kisah dalam Alquran sebagai tuntunan iman yang tidak memperdulikan
nama, tempat dan waktu.
Jika seandainya Allah menyebutkan nama sekelompok orang, bisa
saja bangsa Arab saat itu berkata sebagai apologize: “Orang-orang
tersebut memiliki tabiat dan kebiasaan khusus, jadi selain mereka tidak
dapat melakukan pekerjaan mereka.” Jika Allah menyebutkan
waktunya, mereka akan berkata: “Keadaan masa itu memungkinkan
mereka untuk berbuat demikian.” Jika Allah menyebutkan tempat,
mereka berkata: “Tempat ini khusus dan hanya ada pada masa itu,”
mereka mungkin terus berkata dan mencari-cari alasan untuk
menghindar dari inti kisah inspiratif itu.
Terkadang penetapan individu, jumlah, tempat dan masa dapat
merusak tujuan kisah. Akan tetapi ketika di dalam kisah disebutkan
kaitan atau intisarinya saja yaitu tuntunan iman dengan jumlah
berapapun dan siapapun namanya, di mana pun dan kapanpun, maka ini
akan menumbuhkan semangat iman kepada Allah. Jika iman sudah
melekat, Allah dengan suka cita akan menambahkan petunjuk kepada
mereka dan mengikat hati mereka. Ini yang menjadi tujuan kisah “dan
Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri lalu
mereka berkata: “Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami
sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau
demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari
kebenaran”. Ini yang disebut dengan washfu (keterangan).
Apabila kamu melihat kisah yang memiliki sebab turun, maka
janganlah kamu menganggap bahwa sebablah yang membuat ayat itu

453
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

turun. Akan tetapi sebab adalah sarana untuk mempertajam prinsip.


Sebagaimana terjadinya kejadian yang bersifat individual dalam
peristiwa, sebenarnya memiliki semangat universal dan umum.
Jika ayat ini turun dikarenakan kasus individu, lalu bagaimana
mungkin Allah datang menggeneralisasikannya dengan mengatakan:
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat.” Ini artinya, masalah yang
berawal dari individu tertentu beralih kepada siapa saja yang secara
umum memiliki sifat yang suka mencela.
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang
mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia mengira bahwa
hartanya itu dapat mengekalkannya. Dia menganggap bahwa hartanya
tersebut akan memberikan kekekalan yang panjang padanya.
Pemahaman seperti ini menjauhkannya dari kenyataan hidup. Tidak
seorangpun yakin bahwa dia akan kekal hidup di dunia ini. Setiap orang
dari kita meyakini bahwa pada suatu saat kita pasti mati. Kemungkinan
arti ‫ﻩ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺧ ﹶﻠ‬
 ‫ﻪ ﹶﺃ‬ ‫ﻣﻣﺎﹶﻟ‬ ‫ﺐ ﹶﺃ ﱠﻥ‬ ‫ﺴ‬
 ‫ﺤ‬‫ ﻳ‬dia mengira bahwa hartanya itu dapat
mengekalkannya yaitu bahwa dia sampai pada kekuatan yang dapat
membeli segalanya, termasuk kekekalan harta yang telah dimilikinya.
Dia dapat melakukan apa saja agar harta tersebut abadi tidak berubah.
Padahal harta itu bersifat berubah, tidak kekal. Harta dapat datang dan
pergi.
Selama dia mengira bahwa hartanya kekal dan akan mengekalkan
hidupnya, maka perkiraan ini atau mindset ini telah merusak hati nurani.
Kenapa? Karena sifat gemar menggumpulkan harta membuat hati
manusia jauh dari sifat empati melihat manusia yang susah dan
menderita. Gemar mengumpulkan harta membuat menusia menjadi
begitu bakhil kedekut dan tidak dapat berderma walau satu sen.
Sebaliknya, selama dia menganggap harta itu baharu, ia datang dan
pergi. Harta bukan suatu yang abadi, tidak juga kekal. Ini membuat
manusia menjadi penguasa atas harta dan tidak dikuasai oleh harta. Dia
dapat mempergunakan harta sesuai dengan keperluannya, memberi dan
membantu. Inilah pungsi harta yang sesungguhnya, sebagai sarana
bukan tujuan.
Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya, akan tetapi
Allah berkata: ‫ﻼ‬ ‫ ﻛﹶ ﱠ‬sekali-kali tidak! Sebagai penolakan atas anggapan
bahwa harta akan kekal dan mengekalkan. Manusia dihadapkan pada
dua kenyataan yang tidak dapat dipungkiri yaitu hartanya kekal tetapi ia

454
AL-HUMAZAH 104, JUZ 30

tidak, atau ia kekal sedangkan hartanya tidak. Hartanya meninggalkan


dia, karena dicuri, dirampok atau disedekahkan. Atau dia meninggalkan
harta karena kematian. Jadi dua keadaan ini ada dalam kehidupan
manusia sehingga membuatnya tidak dapat menjamin kebahagiaan
abadi lewat pintu harta, maka Allah berfirman kalla (sekali-kali tidak).
Kemudian Allah memaparkan akhir yang sesuai dengan awal.
Karena Dia berkata di sana terdapat wail, dan wail telah kita pahami
dengan istilah Allah sebagai Tuhan yang Mahakuasa untuk dapat
menjalankan ancaman-Nya, dan hamba-Nya tidak luput dari hal
tersebut. Dia berkata: ‫ﺔ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺤ ﹶﻄ‬  ‫ﻓﻓﻲ ﺍﻟﹾ‬ ‫ﺒ ﹶﺬ ﱠﻥ‬‫ﻴﻴﻨ‬‫ﻼ ﹶﻟ‬
‫ ﹶﻛ ﱠ‬sekali-kali tidak! Sesungguhnya
dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah.
Arti kata nabdzu, pertama sekali kata ini diungkapkan sebagai
penghinaan dan ejekan. Ini menjadi respons alamiah atas awal surat
“humazah lumazah” penghinaan dan ejekan. Selama manusia menghina
dan mengejek, maka balasan yang setimpal dari wujud yang sama dapat
dilakukan. Hinaan dan ejekan datang pada awal surat dibalas dengan
lemparan yang menghinakan.
‫ﺒ ﹶﺬ ﱠﻥ‬‫ﻴﻴﻨ‬‫ﻼ ﹶﻟ‬ ‫ ﹶﻛ ﱠ‬sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan
dilemparkan dan pelemparan tersebut adalah ke dalam huthamah.
Huthamah ini adalah awal dari apa yang diwahyukan seperti humazah.
Kita katakan humazah yang datang darinya adalah yang banyak.
Huthamah artinya adalah bahwa ia hancur dan penghancurannya sangat
kuat. Ini sesuai dengan pengumpulan. ‫ﻩ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻋﺪ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻻ‬ ‫ﻣﻣﺎ ﹰ‬ ‫ﻊ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﺬﺬﻱ‬ ‫ ﺍﱠﻟ‬yang
mengumpulkan harta dan menghitung hitungnya. Masalahnya bukan
pada pengumpulan harta, akan tetapi pada menghina dan mencela, serta
menjadikan harta sebagai tujuan hidup, hingga melupakan Allah. Jadi
layunbadzanna selaras dengan humadzah lumadzah dan selanjutnya
huthamah selaras dengan jam’u.
‫ﻤ ﹸﺔ‬ ‫ﺤ ﹶﻄ‬
 ‫ﻣﺎ ﺍﻟﹾ‬‫ ﻣ‬‫ﺭﺍﻙ‬‫ﺭ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﺩ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﺔ‬‫ﻄﹶﻤ‬‫ﻓﻲ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﺒﺬﹶﻥﱠ ﻓ‬‫ﻴﻨ‬‫ ﻛﹶﻼﱠ ﻟﹶﻴ‬sekali-kali tidak! Sesungguhnya
dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah
kamu apa Huthamah itu?” Janganlah kamu menyangka bahwa
huthamah ini adalah sesuatu yang mengancurkan sesuatu yang lain?
Tidak. Ini adalah pemahaman dari sisi bahasa semata, akan tetapi secara
istilah huthamah lebih dari itu. ‫ﺪ ﹸﺓ‬ ‫ﻤﻤﻮ ﹶﻗ‬ ‫ﻪ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺭ ﺍﻟ ﱠﻠ‬ ‫ﻧﺎ‬‫( ﻧ‬yaitu) api (yang
disediakan) Allah yang dinyalakan. Bukan api secara umum, bukan api
karena minyak atau api hamba atau api si fulan dan fulan. Akan tetapi

455
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

ini adalah api yang khusus, api Allah “nar Allah”. Jika sesuatu
disandarkan kepada Allah, maka ia menjadi amat sangat besar, sesuai
dengan kebesaran dan kekuasaan Allah. Jika seorang anak dipukul oleh
kawannya, atau oleh ayah dari kawannya, atau petinju kelas berat dunia,
maka pukulan siapa yang paling menyiksa? Begitulah, jika segala
sesuatu disematkan kepada Allah, maka ia menjadi besar dan dahsyat.
Ini adalah dalil bahwa rerdaksi ayat disesuaikan dengan bentuk siksaan
bagi manusia yang gemar menghina dan mencela.
Ketika Rasulullah Saw mendoakan Ali bin Abi Jahal, atas hinaan
dan siksaan yang dilakukan keluarga Abu Jahal terhadap Islam dan
dirinya, Nabi berdoa dan berkata: “Ia telah dimakan oleh salah seekor
anjing Allah.”
Nabi berkata anak Abu Jahal akan dimakan anjing Allah, tapi
kenyataannya dia dimakan oleh binatang buas yang lebih dahsyat dari
anjing. Sahabat bertanya: “Wahai Nabi apa maksud dari salah seekor
anjing Allah?”
Beliau berkata bahwa ini adalah idhafah atau sesuatu yang
disematkan kepada Allah. Nabi berkata: “Ya. salah sekor anjing Allah.”
Ini dapat dipahami bahwa binatang buas adalah anjing jika dinisbahkan
kepada Allah.
Apabila Allah berfirman: “Yaitu api (yang disediakan) Allah yang
dinyalakan. Selama api yang disediakan itu bersumber dari Allah, atau
api itu milik Allah, maka tidak seorang pun dari makhluk Allah yang
dapat menghalanginya. Karena api di dunia yang dibuat oleh seseorang
dapat dipadamkan oleh orang yang lebih kuat darinya. Sedangkan nar
Allah tidak dapat dipadamkan oleh seorang pun dan tidak ada seorang
pun yang dapat menolong orang yang diazab.
‫ﺪ ﹸﺓ‬ ‫ﻤﻤﻮ ﹶﻗ‬ ‫ﻪ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺭ ﺍﻟ ﱠﻠ‬ ‫ﻧﺎ‬‫( ﻧ‬yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan
kenapa Allah harus menyampaikan api itu menyala, bukankah pada
hakekatnya api memang menyala? Ini untuk mempertegas bahwa api
tersebut benar-benar menyala dan dahsyat hingga dapat membakar
sampai ke hati.
Lihat ungkapan ‫ﺓ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺌ‬‫ﻷ ﹾﻓ‬ َ ‫ﻋ ﹶﻠﻠﻰ ﺍ‬ ‫ﻊ‬ ‫ﻠ‬ ‫ﺗ ﱠﻄ‬ ‫ﺘﺘﻲ‬‫ ﺍﱠﻟ‬yang (membakar) sampai ke hati,
artinya bahwa ia senantiasa menyala hingga sampai pada intinya atau
hatinya, kenapa ke hati? Maka seakan-akan api diistimewakan untuk
menjadi balasan yang istimewa hingga sampai ke hati. Jika dahulu,
ejekan dan hinaan penghina dan pencela sampai pada tahap
menyakitkan hati, melemahkan semangat, membunuh karakter, potensi

456
AL-HUMAZAH 104, JUZ 30

dan kemampuan diri, maka balasan membakar ke dalam hati, adalah


balasan yang setimpal dan sesuai.
‫ﺪ ﹲﺓ‬ ‫ﺻ‬
 ‫ﺆ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻴ ﹺﻬﻬﻢ‬ ‫ﻋ ﹶﻠ‬ ‫ﻬﺎ‬‫ﻬ‬‫ ﺇﹺﻧ‬sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka, yaitu
tidak ada pikiran untuk melarikan diri. ‫ﺓ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻤﺪ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻓﻓﻲ‬ (sedang mereka itu)
diikat pada tiang-tiang yang panjang. Jadi nâr Allah menyala-nyala dan
tabiatnya membakar sampai ke hati yaitu menyala-nyala. (Sedang
mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang maka tidak ada tempat
menghindar. Artinya tidak dapat melarikan diri darinya dan tidak dapat
luput darinya selamanya. Ini adalah balasan yang diterima oleh orang
yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya.
Semoga Allah Swt melindungi kita dan memlihara kita dan
menjauhkan kita dari sifat ini sehingga kita dapat menjadi ahli rahmat,
kecintaan, keridaan dan surga-Nya.***

457
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

458
AL-FÎ L 105 JUZ 30

SURAT 105
AL-FÎL
(MAKKIYAH)

459
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

460
AL-FÎ L 105 JUZ 30

Telah dibahas sebelum surat ini seputar surat al-Humazah. Telah


diterangkan bahwa ia mencakup seluruh sifat tercela, dan dibahas juga
tentang ganjaran yang sesuai akibat perbuatan sifat tercela ini. Ayat itu
sendiri dibuka dengan ganjaran pedih, yaitu: wail/celakalah. Maka bagi
yang melakukan sifat tercela itu pasti akan masuk neraka wail. Itu
karena, ketika Allah mengancam, pasti ancaman itu terlaksana. Ketika
Allah berkata wail/celakalah, maka kecelakaan yang akan menimpa
mereka sesuai dengan kekuasaan Allah.
Ayat ini berisikan tentang azab yang gaib, yang akan disaksikan
pada hari kiamat. Ketika Allah mengkisahkan kepada kita tentang
peristiwa gaib yang kemudian kisah itu terjadi, maka kita dapat
menerima kisah itu dalam konteks “berita”. Berita adalah suatu
informasi yang terkadang terlaksana (benar) dan terkadang tidak (dusta).
Maka Allah pun memperlihatkan azab dan dendamnya kepada sebagian
kaum kafir di dunia yang nyata ini, untuk menerangkan bahwa Zat yang
mampu melaksanakan apa yang dijanjikannya di dunia, maka kuasa
untuk melaksanakan apa yang dijanjikannya di akhirat.
Inilah hubungan antara surat al-Humazah dengan surat al-Fil.
Hubungan itu ringkasnya: Zat yang menjanjikan azab pada surat al-
Humazah di akhirat telah pasti mampu melaksanakan apa yang
dijanjikannya, sebagaimana Ia telah menurunkan azab di dunia yang
dapat kita rasakan ini.***

AZAB ALLAH KEPADA TENTARA BERGAJAH YANG


AKAN MENGHANCURKAN KAKBAH
(QS al-Fil [105]: 1-5)
jih gfedcba`_~}
tsrqponmlk
xwvu
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah
bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia telah
menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) itu
sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang
berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu
(berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka
seperti daun-daun yang dimakan (ulat).

461
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Ini merupakan peristiwa yang terlaksana. Seakan-akan Allah


mengkisahkan janji gaib yang dijanjikannya itu pasti dapat
dilaksanakannya. Buktinya, Dia mampu melaksanakan sesuatu yang di
luar jangkauan manusia. Alam dan hukum kausalitas tidak dapat
melakukannya, tapi bagi Allah tidak ada yang mustahil. Peristiwa yang
kasat mata itu ialah peristiwa tentara bergajah.
Kata alam tara apakah ancaman Allah di akhirat tidak terlaksana,
sedangkan Allah telah merealisasikan janjinya di dunia nyata ini !? Jadi,
yang mampu menghancurkan tentara bergajah tanpa hukum kausalitas
atau interfensi manusia, tidak lain adalah Zat yang mau menurunkan
azab di akhirat. Inilah kaitan kedua surat itu.
Ayat ini dimulai dengan ‫ﻢ‬ ‫ ﹶﺃﹶﻟ‬dengan susunan huruf ‫ﺃ‬, ‫ ﻝ‬dan ‫ﻡ‬.
Namun dalam surat al-Baqarah tulisan yang sama ini dibaca berbeda.
Dalam al-Baqarah dibaca ‫ ﻣﻴﻢ‬،‫ ﻻﻡ‬،‫ ﺃﻟﻴﻒ‬sedangkan di sini dibaca ‫ﻢ‬ ‫ ﹶﺃﹶﻟ‬dan
tulisan keduanya sama. Ini membuktikan bahwa Alquran dibaca secara
tauqifiyah. Itu karena tidak setiap terlihat ‫ ﺃ‬dan ‫ ﻝ‬dan ‫ ﻡ‬dibaca alif, lam
dan mim, tidak juga dibaca alam, tapi semua tergantung situasi, dalam
surat al-Baqarah dibaca sebagai huruf muqattaah, dan di sini dibaca
alam.
Jika diperhatikan dalam Alquran, ditemukan keistimewaan dari
beberapa sisi. Pertama, dalam menyentuhnya. Ketika kamu membaca
buku apa saja, maka tidak disyaratkan untuk bersuci terlebih dahulu.
Sedangkan Alquran sebagai kitab suci disyaratkan ketika menyentuhnya
dalam keadaan suci dan berwudu. Kenapa? Untuk mendidik rasa
penghargaan atas kitab itu. Seakan-akan ia bukan sembarangan kitab
yang dapat dibaca orang.
Kedua, ia berbeda dalam sebagian bentuk tulisannya dari aturan
penulisan yang baku. Baik tulisan gaya Alquran ataupun gaya imlak.
Walaupun hal itu tidak semua. Contohnya, ditemukan ‫ﻪ‬ ‫ﺴ ﹺﻢ ﺍﻟ ﱠﻠ‬ ‫ ﹺﺑ‬tanpa ‫ﺃ‬
(alif) antara ‫ ﺏ‬dengan ‫ ﺱ‬tapi, jika dilihat surat pertama turun ditemukan
 ‫ﺑ‬‫ﻢﹺ ﺭ‬‫ﺃﹾ ﺑﹺﺑﺎﺳ‬‫ ﺍﻗﹾﺮ‬bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu (QS al-'Alaq
‫ﻚ‬
[96]: 1) dengan menggunakan‫( ﺃ‬alif). Apa beda ‫ﺴ ﹺﻢ‬
 ‫ ﹺﺑ‬di sini dengan ‫ﺳ ﹺﻢ‬ ‫ ﹺﺑﺑﺎ‬di
sana?
Orang yang mengatakan bahwa bangsa Arab pada masa itu tidak
memiliki kaedah penulisan yang baku, hingga mereka menulis sesuai

462
AL-FÎ L 105 JUZ 30

dengan kesepakatan saja, kita katakan: “Kalaulah mereka salah dalam


menghapus alif, kenapa di sini mereka tuliskan.” Jadi, tulisan mereka di
sini dengan kaedah imla’ ‫ﻚ‬  ‫ﺑ‬‫ﻢﹺ ﺭ‬‫ﺃﹾ ﺑﹺﺑﺎﺳ‬‫ ﺍﻗﹾﺮ‬dan di sini tanpa alif ‫ﺴ ﹺﻢ‬
 ‫ﹺﺑ‬
menunjukkan hal itu adalah tauqif.
Siapa yang menetapkan tauqif itu? Alquran diperoleh Rasulullah
dari Jibril, lalu ia sampaikan kepada para penulis. “Tulislah begini...”
Jadi ia berasal dari Allah, Jibril lalu Rasul.
Kata‫ﺮ‬ ‫ ﺗ‬‫ ﺃﹶﻟﹶﻢ‬apakah tidak kamu melihat. Setiap termuat dalam Alquran
artinya ‫ ﺃﱂ ﺗﻌﻠﻢ‬apakah tidak kamu ketahui. Tapi kenapa dihilangkan kata
kamu ketahui dan diganti dengan kamu lihat? Karena sarana ilmu yang
pertama ialah panca indra.
Dalam firman ‫ﻚ‬  ‫ﺑ‬‫ﻞﹶ ﺭ‬‫ ﻓﹶﻌ‬merupakan jawaban Tuhanmu telah bertindak,
merupakan jawaban atas tuduhan kelompok rasionalis yang melihat
af’âl/perbuatan Tuhan dalam kaca mata manusia. Mereka akan menata
segala sesuatu yang tidak sesuai dengan logika dan aturan main manusia
untuk disesuaikan dengan aturan dan logika mereka.
Pada awal kebangkitan kita mengenal tokoh dari aliran ini, seperti:
Jamaludin al-Afghani, Syekh Muhammad Abduh. Mereka menuduh
Islam yang penuh dengan gaib. Hal ini selalu menghambat pikiran
manusia, terutama para pemikir materialisme, yang menginginkan suatu
hal yang pasti dan konkrit, bagaikan matematika yang mengatakan 1+1=
2, dengan mengenyampingkan risalah dari Zat yang mengirimnya, yaitu
Allah. Mereka berkeinginan menjabarkan segala sesuatu sesuai dengan
aturan main manusia, atau alam semesta, maka ketika terjadi peristiwa
seperti ini, Syekh Muhammad Abduh langsung mentakwilkan burung
ababil itu sebagai mikroba (virus) cacar yang mematikan. Kenapa? Itu
karena mereka tidak dapat menerima burung dapat membawa batu yang
mematikan.
Saya jawab: “Apakah kamu mempelajari nubuat itu, sebagai sesuatu
yang absolut dan bersumber dari Allah. Jangan lupa hal yang begitu
prinsip dalam agama ini. Terlebih saat akal pikiran manusia tidak dapat
mencapai hal samiyat tersebut, maka akal pikiranmu bukanlah alasan
untuk mencari solusi. Kalaulah akal itu sebagai alasan, maka akal siapa
yang dapat dijadikan alasan? Akalmu, akalku atau akal siapa? Apa itu
akal yang dapat menilai benar atau salah nubuat? Akal kita berbeda
dalam menilai satu hal.”

463
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Selama Allah berkata: “Saya yang melakukan itu, maka yang


berlaku adalah peraturan-Ku, dan manusia tidak dapat campur tangan
dalam hal ini.”
Ketika kaum rasionalis mencoba menafsirkannya hijarah/batu
dengan mikroba atau nyamuk Gambia yang menyebabkan malaria yang
mematikan, maka ini adalah sebab musabab kematian biasa. Apakah
mereka ingin menjauhi kekuatan langit dalam bencana dahsyat yang
menimpa tentara bergajah?
Kaum rasionalis telah melangkah terlalu jauh. Ketika mereka
melihat bangsa Barat atau musuh Islam menuduh Islam dengan sesuatu,
dan mereka berusaha sekuat tenaga untuk menepis tuduhan itu. Ketika
mereka menepis hal itu rupanya ambisi mereka menjerumuskan mereka
kepada kesalahan yang fatal.
Seperti muslimin yang menumpas imperialisme di India dan Sudan.
Revolusi Mahdi di Sudan dan revolusi di India yang mengumumkan
jihad hingga semua kaum muslim berperang. Tiba-tiba timbul rasa
sempit akibat pemikiran jihad dari Barat dan kaum rasionalis ini, hingga
merekapun menyebarkan isu untuk mendiskriditkan Islam bahwa Islam
tersebar dengan pedang dan permusuhan.
Untuk menjawab hal ini amat mudah. Bagaimana Islam dapat
tersebar dengan pedang? Apakah seluruh daerah yang dimasuki Islam
itu melalui pedang? Yakinlah, manusia tidak akan menjadi muslim jika
hanya dengan hunusan pedang. Jadi, tuduhan itu dibantah dari akarnya.
Apakah Muhammad membawa pedang dan berkata: “Islamkah
kamu?” Keberadaan Nabi Muhammad di Mekkah pada awal dakwah
adalah lemah dan para pengikutnya juga terdiri dari kaum yang lemah.
Di dalam dakwah Islam tidak mengizinkan penggunaan pedang kecuali
untuk mencegah permusuhan dan tindakan melampaui batas hingga
melanggar hak orang lain. Maka ketika umat Islam mendengar
pernyataan orientalis cukuplah ia menjawab: “Inilah Islam, pedang tidak
digunakan kecuali untuk mempertahankan diri.”
Cukuplah bagi kita meletakkan Islam dalam satu posisi. Yaitu, bila
ada orang atau kaum menyerang kita, kita pun menyerangnya. Kalau
tidak diserang, kita pun tak dibenarkan untuk menyerang.
Mereka juga mengatakan bahwa dalam Islam ditemukan sirah atau
sejarah Nabi yang penuh dengan hal gaib, yang tidak dapat diterima
akal pikiran, seperti ini dan itu. Maka, datanglah kaum rasionalis
berkata: “Tidak, ini tidak pernah terjadi, yang benar penafsirannya
begini menurut akal.” Apa yang mereka inginkan sebenarnya adalah

464
AL-FÎ L 105 JUZ 30

ingin menjauhkan Islam dari ikatan yang terkait dengan alam gaib, atau
menjauhkan kehidupan Rasulullah dari mukjizat dan menjadikannya
manusia biasa.
Contohnya, kita temukan Hasan Haikal dalam buku sirah yang
ditulisnya berkata: “Akan saya kesampingkan seluruh mukjizat yang
telah Muhammad raih dari unsur gaib, kelenik dan aneh-aneh. Saya
akan menjadikannya sebagai sosok manusia brilian.”
Mereka sangat paham bahwa umat Islam akan bangga sekali ketika
Nabi Muhammad ditempatkan pada tokoh manusia nomor satu di dunia.
Muhammad sang brilian. Sebenarnya, ini adalah jebakan yang
menjerumuskan. Sebagai seorang muslim, kita tidak menginginkan
Muhammad hanya berstatus sebagai pemimpin dunia yang sangat
berpengarus, sang cerdas dan brilian pengubah wajah dunia. Ini baik
dan dapat dicontoh, tapi yang utama dan pertama, perlu untuk
ditetapkan adalah “Bahwa Muhammad adalah rasul utusan dari Allah.”
Ini gelar yang cukup dan sudah melebihi segalanya. Kenapa? Karena
saat dikatakan ia sang pemimpin, sang brilian maka kamu telah
memberinya ruang lingkup manusiawi saja. Tapi saat kukatakan bahwa
ia adalah Rasulullah (utusan Allah), artinya dia telah memperoleh
fasilitas kemampuan yang bersumber dari Allah. Jadi, kemampuannya
melebihi sang brilian. Cukuplah bagi mukmin untuk mengatakan bahwa
Muhammad seorang rasul, tanpa sifat embel-embel lainnya.
Kembali kepada kisah utama. Muhammad Abduh mengatakan
bahwa batu burung ababil itu adalah mikroba dan seterusnya. Kita
diskusikan. Pertanyaan pertama; “Apakah peristiwa ini telah termuat
secara histories atau tidak?”
Jawabannya: “Telah termuat.”
Kapan peristiwa ini terjadi?
Terjadi pada tahun gajah, yaitu: Tahun Rasulullah dilahirkan.
Setelah beberapa lama dari Rasulullah diutus menjadi Nabi?
Setelah 40 tahun. Saat Alquran diturunkan ditemukan manusia yang
telah berumur 50, 60, 70, 80, 90, 100, dan 120 tahun. Kita ambil saja
yang berumur 60 tahun, telah berapa generasi yang dia berikan? Tentu,
dia telah melahirkan generasi yang banyak, seakan-akan saat Rasulullah
menerima surat ini dan membacanya di tengah-tengah masyarakat yang
mengkufurinya dan berambisi untuk mendustainya. Kalaulah mereka
mengetahui dan mendapat celah untuk mendustai Alquran, niscaya
mereka tidak akan menyembunyikannya. Mungkin saja orang yang
berusia 20 s/d 40 dapat dibohongi, tapi kalau berita Alquran itu salah

465
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

bagaimana posisinya di depan orang yang berusia 50 tahun ke atas?


Tidak ada seorangpun yang berani membantah isi Alquran tentang itu.
Ini menunjukkan bahwa peristiwa itu terjadi sesuai dengan rekaman
Alquran.
Lalu apakah masyarakat Arab mengetahui mikroba? Tidak, karena
mikroba baru ditemukan oleh Pastuer abad ke 17. Mereka mengetahui
bahwa burung dalam artian burung, ababil dalam artian ababil, dan batu
dalam artian batu. Jadi, selama tidak ada yang mendustai kisah, itu
merupakan bukti kuat bahwa apa yang terjadi pada tahun gajah itulah
tertuang dengan sebenarnya dalam Alquran.
Ini satu, yang kedua: ketika batu burung ababil itu ditakwilkan
dengan mikroba, maka ia telah mengklasifikasikannya dalam aturan
main alam semesta, bukan aturan main kekuatan gaib. Lalu, mikroba itu
sebagaimana diketahui memiliki masa infeksi. Bukan sekedar terjangkit
lalu mematikan manusia seketika itu. Masa terinfeksi itu terkadang
cukup panjang. Dapat berjalan seminggu baru manusia yang terjangkit
itu meninggal. Setelah meninggal mulai membusuk lalu berubah
bangkai seperti daun yang dimakan ulat. Kalaulah demikian halnya,
maka proses itu dapat berjalan satu bulan. Hal ini tidaklah sesuai dengan
keterangan ayat yang menunjukkan peristiwa itu terjadi begitu cepat
dengan menggunakan huruf fa/maka, dalam ‫ﻝ‬ ‫ﻣ ﹾﺄ ﹸﻛﻛﻮ ﹴ‬ ‫ﻒ‬
 ‫ﻌﺼ‬ ‫ﻢ ﹶﻛ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻌﻠﹶ‬ ‫ﺠ‬
 ‫ ﻓﹶ‬lalu Dia
menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).
Huruf fa/maka dalam tata bahasa Arab berguna untuk tertib dan
langsung. Adapun tsumma/kemudian berguna untuk tertib dan berjarak
waktu. Seperti firman Allah: tsumma/kemudian Dia mematikannya fa/
lalu memasukkannya ke dalam kubur, (QS Abasa [80]: 21) Artinya
begitu mati langsung dikuburkan dan kemudian setelah waktu yang
berjarak merekapun dibangkitkan lagi. Jadi, kata fa/maka, dalam surat
ini menunjukkan peristiwa itu terjadi langsung dan begitu cepat. Selama
terjadi tanpa jarak waktu maka aturan main mikroba yang mereka buat
tidak berlaku.
Kemudian apa jenis mikroba yang menimpa khusus para musuh dan
tidak menimpa satu orangpun dari penduduk Makkah? Tentu saja, itu
bukan mikroba. Atau itu mikroba yang terkendali? Tentu saja hal itu
tidak masuk akal menurut mereka. Jadi, apa yang mereka takwil dengan
mikroba itulah yang sebenarnya tidak masuk akal.
Paham dan argumentasi yang disampaikan oleh Muhammad Abduh,
sebanarnya tidak diperdulikan oleh Syekh Sya’rawi. Tapi apa yang

466
AL-FÎ L 105 JUZ 30

Muhammad Abduh dan komunitasnya nyatakan bahwa Muhammad


bukan rasul utusan Allah tapi manusia brilian, dan peristiwa yang aneh
tidak mungkin terjadi, inilah yang dibantah oleh Syekh Sya’rawi. Itu
karena permasalahan akidah tidak dapat diambil hanya buntutnya saja.
Maksudnya, mukmin tidak akan beriman dan beribadah sebelum dia
yakin benar kepada ajaran yang dibawa oleh Muhammad. Sebagai
muslim, Sya’rawi beriman secara paripurna, dalam arti:
“Saya beriman kepada Allah, dan Muhammad lalu mengambil
seluruh ajaran Islam. Bukan sebaliknya. Jadi, asalnya adalah beriman
kepada Allah secara logika, beriman kepada Rasulullah, lalu beriman
kepada apa yang disampaikan rasul tersebut. Ketika menemukan sesuatu
di luar jangkauan akal, maka keimananku dapat menerimanya, hingga
saya pun tidak meremehkan akalku. Jadi tugas akalku hanyalah
membenarkan apakah itu bersumber dari Allah tidak? Bila dari Allah
maka saya akan mempercayainya 100 %.”
Allah memberikan permisalan dalam penemuan kasat mata hingga
dapat menyakini yang abstrak. Dalam penemuan kasat mata itu Allah
tidak membukakan tabirnya sekaligus, tapi bertahap, kenapa? Agar kita
sadar bahwa kekuatan akal tidaklah layak untuk mengetahui seluruh
hakekat sekaligus, tapi ada masa kebodohan. Selama kita telah
menetapkan masa kebodohan pada masa lalu dan sekarang menjadi
pintar, maka akal adalah penjara yang mengekang. Kalau ia tidak
terkekang niscaya ia dapat mengetahui seluruh rahasia alam, secara
mutlak sekaligus saat manusia berakal itu lahir.
Ayat selanjutnya:‫ﻞ‬ ‫ﻠﻴ ﹴ‬‫ﻠ‬‫ﻀ‬‫ﻓﻲ ﺗ‬‫ ﻓ‬‫ﻢ‬‫ﻫ‬‫ﺪ‬‫ ﹾﻞ ﹶﻛﻴ‬‫ﻌ‬‫ﺠ‬‫ ﻳ‬‫ ﺃﹶﻟﹶﻢ‬bukankah Dia telah
menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka`bah) itu sia-
sia?, (QS al-Fîl [105]: 2) Kata ‫ﻴﻴﺪ‬ ‫ ﹶﻛ‬artinya tipu daya. Cara menghadapi
musuh ada dua cara: Pertama, menghadapinya berhadapan secara
jantan; kedua, melawannya dari belakang dengan tipu daya. Seorang
tidak akan melakukan tipu daya kecuali bila dia merasa bahwa dirinya
tidak mampu melawan musuh secara jantan. Jadi, tipu daya terjadi bila
sebagian orang menganggap bahwa musuhnya lebih kuat danlebih hebat
dari dirinya. Tipu daya itu sendiri sebenarnya bukti nyata bahwa diri
berada pada posisi yang lemah dan tidak mampu. Bertambah lemah
seseorang, bertambah tinggi tipu daya yang dibuat dan
direkayasakannya. Untuk itu Allah mensifati tipu daya setan lemah, dan
tipu daya wanita itu besar.
Sesungguhnya kayda/tipu daya mereka (wanita) itu besar. (Yusuf

467
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

[12]: ) dan sesungguhnya kayda/tipu daya setan itu adalah lemah. (QS
an-Nisâ [4]: 76)
Tipu daya wanita itu besar merupakan bukti bahwa wanita itu lemah
untuk melawan secara berhadapan. Itu karena hanya orang yang tidak
percaya dirilah dan tidak memiliki keberanian yang melakukan tipu
daya. Bila makhluk lemah ini mendapat kesempatan walaupun kecil
maka dia tidak melepaskannya hingga memusnahkan musuhnya.
Sedangkan orang yang kuat akan berkata: “Biarkan dia pergi sekarang,
karena bila dia menyakitiku lagi, aku dapat membalasnya kapan saja.”
Orang lemah kalau ada kesempatan maka dia akan membunuh.
‫ﻠﻴ ﹴﻞ‬‫ﻠ‬‫ﻀ‬‫ﻓﻲ ﺗ‬‫ ﻓ‬‫ﻢ‬‫ﻫ‬‫ﺪ‬‫ ﹾﻞ ﹶﻛﻴ‬‫ﻌ‬‫ﺠ‬‫ ﻳ‬‫ ﺃﹶﻟﹶﻢ‬bukankah Dia telah menjadikan tipu daya
mereka (untuk menghancurkan Ka`bah) itu sia-sia? (QS 105: 2) Tipu
daya selamanya dilakukan secara bersembunyi. Tapi tipu daya yang
dilakukan kaum kafir itu hanya dapat disembunyikam atas kaum
mukmin saja. Sedangkan Allah tidak ada yang dapat disembunyikan
hambanya. Jadi, akhirnya tipu daya terhadap mukmin itu bukanlah tipu
daya yang dapat ditutupi dan disembunyikan, karena Allah akan
membuka kedok mereka dan mempermalukannya di hadapan mukmin.
Tipu daya mereka akhirnya sia-sia, karena tidak sampai pada tujuan dan
tidak pula memperolah hasil apa-apa. Kenapa? Karena tipu daya kafir
itu bukan saja menyerang mukmin, tapi melawan Zat yang Mahakuasa.
Untuk itu ketika kita mendengar ‫ﺪﺪﺍ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺪ ﹶﻛ‬ ‫ﻛﻛﻴ‬ ‫ﻭﹶﺃ‬ ‫ﺪﺪﺍ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺪﺪﻭ ﹶﻥ ﹶﻛ‬ ‫ﻜﻴ‬ ‫ﻜ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻧ‬‫ﹺﺇ‬
sesungguhnya orang kafir itu merencanakan tipu daya yang jahat
dengan sebenar-benarnya. Aku pun membuat rencana (pula) dengan
sebenar-benarnya. (QS ath-Thâriq [86]: 15-16) Jangan menduga bahwa
umat Islam yang di hadapanmu itu lemah, karena sebenarnya mereka
sedang melawan Allah yang Maha Kuat, Tuhan yang pasti berada pada
pihak mukmin. Jadi, selama Allah yang melakukan tipu daya, maka tipu
dayanya pasti terlaksana. Sedangkan tipu daya kaum kafir sia-sia tidak
sampai pada tujuan.
‫ﺑﺎﺑﹺﺑﻴ ﹶﻞ‬‫ﺮﺍ ﺃﹶﺑ‬‫ﺮ‬‫ ﻃﹶﻴ‬‫ﻬﹺﻢ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻞﹶ ﻋ‬‫ﺳ‬‫ﺃﹶﺭ‬‫ ﻭ‬Dia mengirimkan kepada mereka burung yang
berbondong-bondong, (QS 105: 3) Kata ababil berasal dari kata ‫ﺃﺑﻴﻞ‬
yang merupakan kata majemuk yang tidak memiliki kata tunggal.
Maksud burungAbabil dalam ayat ini adalah sekelompok burung. Kisah
ini telah terekam dalam sejarah.
‫ﺠﻴ ﹴﻞ‬
‫ﺠ‬‫ ﺳ‬‫ﻦ‬‫ﺓ ﻣ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺠﺎ‬
‫ﺠ‬‫ ﺑﹺﺤ‬‫ﻣﻴﻬﹺﻢ‬‫ﻣ‬‫ﺮ‬‫ ﺗ‬yang melempari mereka dengan batu (berasal)

468
AL-FÎ L 105 JUZ 30

dari tanah yang terbakar. (QS 105: 4) Sebagaimana telah diriwayatkan


bahwa burung ini benar-benar telah melemparkan batu.
‫ﻣ ﹾﺄ ﹸﻛﻛﻮ ﹴﻝ‬ ‫ﻒ‬
 ‫ﻌﺼ‬ ‫ﻢ ﹶﻛ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻠﹶ‬‫ﺠﻌ‬
 ‫ ﻓﹶ‬lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun
yang dimakan (ulat). (QS 105: 5) Kata ‫ﻒ‬‫ﺼ‬‫ ﻋ‬adalah sampul atau kulit
yang di dalamnya terdapat biji. Bila biji dimakan, maka bisa
digambarkan ‫ﻒ‬  ‫ﺼ‬‫ ﻋ‬ini seperti jerami. Seakan-akan tubuh mereka
bercampur jerami saat dimakan. ***

469
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

470
QURAISY 106 JUZ 30

SURAT 106
QURAISY
(MAKKIYAH)

471
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

472
QURAISY 106 JUZ 30

Setelah dibahas surat al-Fil ditemukan menurut susunan daftar isi


surat Quraisy. Bukan merupakan yang baku bahwa surat Quraisy ini
turun setelah surat al-Fil. Itu karena tata letak surat menurut daftar isi
Alquran sekarang bukanlah runtutan surat yang turun kepada Nabi
Muhammad. Jadi, terkadang turun surat setelah surat surat lain, namun
penempatannya dalam daftar isi Alquran berbeda. Kenapa? Karena
Alquran kalam Allah yang Qadim, ia memiliki desain akhir di sisi
Tuhan yang berbeda dengan peristiwa serta kondisi dakwah yang ada.
Tapi, Alquran di Lauh al-Mahfuz telah tersusun rapi sesuai dengan
daftar isi. Untuk itu disebutkan bahwa Alquran memiliki dua dasar
urutan surat. Pertama, penulisan urutan surat berdasarkan turunnya
surat; kedua, berdasarkan daftar isi Alquran yang baku dari Lauh al-
Mahfuz.
Hal itu logis dan masuk akal, buktinya; ketika seseorang ingin
membangun sebuah villa yang terdiri dari ruang tamu, beberapa ruang
tidur, dapur berikut aksesoris dan pernak-perniknya, tapi bahan yang
akan dibeli tidak harus didatangkan sesuai urutan bangunan. Boleh saja
kamu berjalan dan menemukan kebutuhan bangunan dapur yang bagus,
lalu kamu beli, dan tata ruang tamu yang terlihat dibangunan depan villa
malah dibeli terakhir kali. Jadi, kedatangan sesuatu, dan sebab
kedatangannya, bukanlah merupakan proses akhir dari sebuah disain.
Alquran mengambil disain akhir sesuai apa yang tergambar di Lauh
Mahfuz, sedangkan turunnya Alquran secara bertahap dan tidak urut itu
semua sesuai dengan peristiwa yang terjadi.***

KEMAKMURAN DAN KETENTERAMAN SEHARUSNYA


MENJADIKAN ORANG BERBAKTI KEPADA ALLAH
(QS Quraisy [106]: 1-4)
 HGFEDCBA
 MLKJI
UTSRQPON
Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan
mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka
hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini
(Ka'bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk
menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.

473
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Dalam daftar isi surat Quraisy diletakkan setelah surat Fil. Ketika
ditemukan huruf jâr dalam awal awal surat ‫ﺶ‬ ‫ﻳ ﹴ‬ ‫ﺮ‬ ‫ ﻗﹸ‬‫ ﻹِﻹﻳﻼﹶﻑ‬karena kebiasaan
orang-orang Quraisy. (QS 106: 1) Maka ditemukan kaitan ayat pertama
ini dengan ayat terakhir surat al-Fil, yaitu: ketika Allah memusnahkan
tentara bergajah dan menjadikannya bercerai berai bagaikan daun yang
makan, maka orang Quraisy haruslah bersyukur. Kenapa? Karena
kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian
pada musim dingin dan musim panas. (QS 106: 1-2) tidak akan
terlaksana, kalau Allah menelantarkan rumah-Nya untuk dihancurkan
Abrahah.
Kaum Quraisy dapat melakukan kebiasaan perjalanan itu terkait erat
dengan wibawa Ka’bah di semenanjung Arab. Ka’bah merupakan
tempat tawaf seluruh bangsa Arab dari segala penjuru negeri. Selama
bangsa Arab melaksanakan haji ke Ka’bah, maka tidak mungkin mereka
mengganggu kafilah dagang yang berasal dari Ka’bah ini (suku
Quraisy) menuju Selatan ke Syam atau ke Utara yaitu Yaman. Bila
mereka ganggu, mereka pasti akan dibalas ketika pergi haji ke Mekkah.
Jadi, keberadaan mereka di sekitar Ka’bah itulah yang menjaga
wibawa mereka di Jazirah. Jika Ka’bah dihancurkan, sebagaimana
keinginan Abrahah, niscaya hilanglah wibawa itu. Bila wibawa hilang,
apa yang terjadi? Sedangkan mereka tinggal di lembah batu yang tiada
tumbuh-tumbuh. Semua hidup mereka tergantung dengan perdagangan
musim dingin dan panas.
Jika jatuh wibawa Ka’bah hancurlah wibawa Quraisy. Kabilah di
selatan dan utara akan berani kepada mereka. Dampaknya mereka tidak
menjalankan perdagangan. Dari sini ditemukan munasabah (hubungan
surat) keduanya, yaitu; ketika Allah menghancurkan tentara bergajah,
tujuannya agar mereka dapat melakukan perjalanan ke utara dan selatan
di musim dingin dan panas.
Tapi apakah benar bahwa Allah mencegah perusakan Abrahah
terhadap Ka’bah karena kebiasaan orang-orang Quraisy. (QS 106: 1)
Dalam kata lain, bahwa huruf lam dalam kata ‫ﻑ‬  ‫ ﻹِﻹﻳﻼﹶ‬merupakan lam
âqibah. Maksudnya, selamatnya Ka’bah dari penghancuran Abraham
berdampak pada kekalnya kewibawaan Quraisy, yang menjamin rezeki
dan keamanan mereka. Bukan itu, tapi sebenarnya Allah melakukan itu
bukan untuk mereka (suku Quraisy) tapi untuk Ka’bah itu sendiri.
Untuk itu di akhir surat Quraisy tertulis: ‫ﺖ‬ ‫ﻴ‬‫ﺬﹶﺬﺍ ﺍﻟﹾﺒ‬‫ ﻫ‬‫ﺏ‬‫ﺪﻭﺍ ﺭ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻌ‬‫ ﻓﹶﻠﹾﻴ‬maka

474
QURAISY 106 JUZ 30

hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka`bah). (QS


106: 3) Itu karena mereka berhutang budi kepada Tuhan yang telah
menjaga Ka’bah, hingga mereka terbiasa untuk mengadakan perjalanan
musim dingin dan panas. Dari perjalanan ini mereka pun selamat dari
bahaya kelaparan dan ketakutan.
Jadi karena kebiasaan orang-orang Quraisy, terkait dengan
bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Ia
juga terkait dengan akhir surat maka hendaklah mereka menyembah
Tuhan Pemilik rumah ini (Ka`bah). Yang telah memberi makanan
kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka
dari ketakutan. Jadi, karena kebiasaan orang-orang Quraisy, berada
pada dua posisi.
Pertama, dorongan dari dalam, yang merupakan akibat. Kedua,
permintaan dari Allah. Selama Allah telah memberikan unsur-unsur
kebaikan, hingga mereka terbiasa jalan di musim dingin dan panas,
menjamin sengsara kelaparan dan rasa ketakutan, maka paling tidak
mereka mengucapkan rasa syukur atas dua nikmat utama ini (kenyang
dan aman).
Bagaimana cara mengungkapkan syukur itu? maka hendaklah
mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka`bah). Yang telah
memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan
mengamankan mereka dari ketakutan.
Bila dilihat pada ayat: ‫ﻑ‬
 ‫ﻮ‬‫ﻦ ﺧ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻨ‬‫ﻭ َﺀﺀﺍﻣ‬ ‫ﻉ‬
‫ﺟﻮ ﹴ‬‫ﻦ ﺟ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻌﻤ‬ ‫ ﹶﺃ ﹾﻃ‬yang telah
memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan
mengamankan mereka dari ketakutan, ditemukan bahwa kebutuhan
dasar atau primer umat manusia itu adalah pangan untuk menjamin
kelangsungan hidup, dan rasa aman atas segala hal yang menakutkan.
Dari mana timbul rasa takut? Takut itu bisa timbul akibat hilangnya
nikmat atau akibat datangnya musibah.
Selama Allah telah menjamin pangan, hal itu bertujuan agar
manusia tidak kelaparan. Selama Allah telah menjamin rasa aman
hingga manusia hidup tidak takut, maka terwujudlah apa yang dikatakan
Rasulullah: “Maukah kamu aku kabarkan tentang dunia mukmin.”
Mereka menjawab: “Ya, ya Rasulullah.”
Ia bersabda: “Barang siapa yang memiliki badan yang sehat, aman
dalam perjalanannya, dan ia cukup pangan; maka seakan-akan ia telah
memiliki dunia dengan segala kegemerlapannya.”
Jadi, garis kebahagiaan manusia terletak dalam dua hal yakni: cukup

475
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

pangan hingga terhindar dari rasa lapar, dan rasa aman hingga terhindar
dari rasa takut.
Bila ditarik garis jauh kebelakang ditemukan dua hal inilah yang
dipinta Ibrahim dalam doanya: ‫ﻨﺎ‬‫ﻨ‬‫ﺪ ﺀَﺀﺍﻣ‬ ‫ﺒ ﹶﻠ‬‫ﺬﹶﺬﺍ ﺍﻟﹾ‬‫ﻞﹾ ﻫ‬‫ﻌ‬‫ ﺍﺟ‬‫ﺏ‬‫ ﺭ‬Ya Tuhanku,
jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, (QS Ibrahîm [14]: 35)
ini terkait dengan rasa takut: ‫ﺕ‬
 ‫ﺮﺍ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﻟﺜﱠﻤ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻠﹶﻪ‬‫ ﺃﹶﻫ‬‫ﻕ‬‫ﺯ‬‫ﻭﺍﺭ‬‫ ﻭ‬dan berikanlah rezeki
dari buah-buahan kepada penduduknya. (QS al-Baqarah [2]: 126) Ini
terkait dengan pangan yang menghilangkan rasa lapar. Itu karena
mereka hidup di lembah batu yang tidak ada tumbuhan sedikit pun.
Ketika Allah meruntut permintaan untuk menyembah-Nya dampak
atas anugerah-Nya kepada mereka hingga dapat berniaga dimusim
panas dan dingin, maka hal itu sangat logis. Kenapa? Karena tujuan
utama dari tinggalnya mereka di daerah itu adalah untuk melaksanakan
salat.
Jadi maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini
(Ka`bah), merupakan tafsir dari ‫ﻼ ﹶﺓ‬ ‫ ﹶ‬‫ﻤﻤﻮﺍ ﺍﻟﺼ‬ ‫ﻗﻗﻴ‬ ‫ ﹶﺃ‬dirikanlah salat. Apa itu
ibadah? Ibadah memiliki arti yang banyak. Pertama, ibadah artinya ‫ﻣﻌﺮﻓﺔ‬
‫ ﺍﳊﻖ‬mengetahui Zat yang Maha Benar. Selama kamu mengetahui Allah,
maka kamu wajib mentaati perintahnya. Jadi orang yang menafsirkan
ibadah dengan makrifat, karena makrifat sarana untuk menerima taklif
ilahi atas hamba-Nya.
Kedua, berpendapat bahwa ibadah artinya khudû’/kepatuhan.
Karena ditemukan orang yang memiliki makrifat tapi tidak patuh. Ada
orang yang mengenal Allah tapi tidak mau patuh kepada-Nya.
Kelompok pertama menafsirkan ayat: ‫ﻥ‬ ‫ﺪﺪﻭ‬ ‫ﺒ‬‫ﻌ‬ ‫ﻴ‬‫ﻟ‬ ‫ﻻ‬
‫ﺲ ﹺﺇ ﱠ‬
 ‫ﻧ‬‫ﻭﻭﺍ ِﻹ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺠ‬
‫ﺖ ﺍﹾﻟ ﹺ‬
 ‫ﺧ ﹶﻠ ﹾﻘ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ﻭ‬
dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku. (QS adz-Dzâriyât [51]: 56) menyembah dengan cara
‫ ﻟﻴﻌﺮﻓﻮﻥ‬untuk mengetahui. Tapi, apakah manusia diciptakan hanya untuk
mengetahui?
Kedua, menafsirkan ‫ﻥ‬ ‫ﺪﺪﻭ‬ ‫ﺒ‬‫ﻌ‬ ‫ﻴ‬‫ﻟ‬ ‫ﻻ‬
‫ ﹺﺇ ﱠ‬supaya mereka menyembah-Ku
dengan cara patuh dan mengikuti manhaj. Namun ditemukan ada orang
yang diciptakan Allah, tapi tidak mengenalnya, atau tidak mau patuh
kepada-Nya? Jadi unsur penciptaan manusia itu tidak sesuai dengan
misinya. Bagaimana pula jika hal demikian terjadi? Jawabannya, bila
kamu membahas satu ayat maka sertakan juga ayat lain yang

476
QURAISY 106 JUZ 30

menyerupainya. Apakah dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia


melainkan supaya mereka menyembah-Ku, datang terpisah atau ada ayat
lain terkait seperti, mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang
Maha Esa. (QS at-Tawbah [9]:31) Jadi, ibadah itu artinya kepatuhan
dan ketaatan yang sesuai dengan keinginan manhaj. Kalaulah ibadah
dapat terjadi secara otomatis begitu manusia diciptakan, maka kita tidak
memerlukan rasul; atau manusia tidak butuh dia.
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku, kecuali kuperintahkan mereka untuk beribadah melalui
perintah, di antara mereka ada yang taat, ada juga yang jahat.
Bila dilihat kata ibadah dalam ayat: maka hendaklah mereka
beribadah/menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka`bah), maknanya,
karena sebab ibadah itulah Ibrahim dan keturunannya datang ke lemah
tanpa pohon. Sebab utama dari datangnya Ibrahim dan keturunannya ke
situ untuk melaksanakan salat. Jadi, salat merupakan poros utama dalam
ibadah.
Ibadah itu sendiri memiliki makna yang luas, menengah dan makna
dalam artian sempit. Makna sempit dari ibadah adalah makrifat. Makna
menengah darinya adalah segala syiar yang mendekatkan manusia
dengan Tuhannya. Seperti: salat, puasa, zakat, haji sedangkan kegiatan
hidup lainnya dalam istilah fiqh disebut dengan muamalat. Muamalat itu
sendiri bagian dari manhaj Allah. Bila dipatuhi manhaj muamalat itu
berarti kita juga sudah dinilai beribadah. Ini sekedar pembagian bab
dalam buku Fiqh, yang mereka sebut dengan bab ibadah dan bab
muamalat. Ibadah menurut mereka perkara yang disyariatkan Allah
untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Sedangkan muamalah segala
sesuatu yang mengatur kehidupan masyarakat.
Namun, bila ditinjau dari hakikat sebenarnya, maka ditemukan
bahwa segala sesuatu, baik ibadah dalam makna ini, atau tatanan yang
mengatur hubungan antara masyarakat, keluarga, negara, ekonomi, etika
semuanya itu merupakan ibadah dalam artian yang luas.
Bila ibadah dalam maka hendaklah mereka ibadah/menyembah
Tuhan Pemilik rumah ini (Ka`bah), artinya di sini ialah liyukimusholata
itu karena salat merupakan makna ibadah dalam kaca mata fiqh. Bila
ditambah dengan muamalat, maka ia menjadi ibadah dalam artian luas.
Yaitu; tunduk terhadap manhaj Allah, bukan manhaj manusia. Hanya
saja manhaj Allah itu dua bagian.
Pertama, bagian yang diwajibkan Allah semata, tanpa ada intervensi
di dalamnya, seperti; salat. Artinya, tidak boleh mendekatkan diri

477
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

kepada Allah melalui salat tambahan di luar ketentuannya. Itu karena


Dia yang telah menetapkannya.
Kedua, yang terkait dengan manhaj muamalat yang diberikan
kebebasan bagi manusia untuk mencari jalan terbaik, lalu diaturlah tata
tertib sesuai dengan lingkungan, masa dan masyarakat dalam bingkai
tatanan umum.
Ada perbedaan antara fiqh ibadah dan fiqh muamalat. Ibadah ialah
ruang di mana tiada tempat bagi manusia untuk menetapkan aturan main
bagi manusia lain. Sedangkan muamalat adalah ruang di mana manusia
memiliki hak untuk mengaturnya. Maka ditemukanlah manusia,
mukmin atau kafir, membuat aturan main dalam keluarga, negara
ekonomi dan etika.
Ibadah merupakan ruang yang tidak ditemukan kecuali dalam
manhaj agama. Bila dilihat dari sisi ini maka ditemukan salat
menempati posisi penting dalam ibadah ataupun muamalat. Posisi
penting dalam ibadah ataupun muamalat, kenapa? Itu karena dalam
muamalat Islam, baik dalam lingkungan kecil (keluarga) ataupun besar
(negara) harus ditata dengan menempatkan seorang imam atau
pemimpin untuk melaksanakan hukum, memberantas kezaliman,
menegakkan hudud. Jika diperhatikan, ditemukanlah bahwa imam
merupakan bendera dari muamalat. Kenapa? Karena imam dalam
muamalat bagaikan salat yang berstatus tiang agama.
Bila dilihat cara penyampaian taklif, semuanya dilakukan melalui
wahyu kecuali salat. Ia menjadi istimewa karena disampaikan Allah
secara langsung. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa
pemimpin dengan yang dipimpin bila terkait pekerjaan rutin cukup
baginya menulis pesan di atas nota. Bila pekerjaan itu penting maka dia
menyampaikannya melalui telepon. Namun, bila pekerjaan itu sangat
penting diapun meminta yang dipimpin untuk datang menghadap. Inilah
pesan langsung. Selama dia disampaikan secara langsung, maka dia
merupakan suatu hal yang sangat penting.
Salat yang diwajibkan merupakan keberuntungan Rasulullah dalam
memenuhi panggilan Tuhan. Selama dia beruntung karena dapat dekat
dengan Allah, maka keberuntungan itu juga berimbas kepada umatnya.
Ketika Allah berfirman kepada Muhammad. ‫ﺏ‬  ‫ﺮﹺ‬‫ﻭﺍﻗﹾﺘ‬‫ ﻭ‬‫ﺪ‬‫ﺠ‬‫ﻭﺍﺳ‬‫ ﻭ‬sujudlah dan
dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan), (QS al-'A'la [87]: 19).
Sebagaimana Rasulullah mendekatkan dirinya kepada Allah pada
malam mi’raj, begitu juga umatnya mendekatkan diri kepada Allah

478
QURAISY 106 JUZ 30

melalui salatnya. Jadi, salat memiliki tempat istimewa dari rukun Islam
yang lain.
Jika melihat rukun Islam yang lima, maka ditemukan semuanya
tercermin dalam salat, kenapa? Itu karena syahadat yang diminta untuk
diucapkan sekali seumur hidup, ditemukan diucapkan dalam setiap
salat. Jadi, rukun pertama yang hanya wajib diucapkan sekali seumur
hidup, dalam setiap salat hal itu berulang kali diucapkan.
Zakat merupakan rukun Islam yang berkaitan dengan harta. Bila
sudah mencapai nishab, sebagian harta harus dikeluarkan untuk fakir
miskin. Harta yang diperoleh itu hasil dari kerja. Dalam Islam di antara
cara memperoleh harta yang sah harus dengan bekerja. Selama harus
bekerja, maka diperlukan waktu.
Dalam salat seseorang tidak mengorbankan harta, tapi ia
mengorbankan sumber utama yang mendapatkan harta, yaitu: waktu.
Kamu mengorbankan setengah jam untuk salat asar dan seterusnya.
Bila zakat mengorbankan buah usaha, yaitu harta, maka salat
mengorbankan waktu yang merupakan sumber utama dari kerja. Jadi,
salat ini zakat dalam bentuk apa? Tentu, ia terkait dalam bentuk yang
lebih mulia. Zakat harta yang bila kita miliki 100 maka dikeluarkan
hanya 2,5 namun dalam salat waktu itu hilang dan tidak menghasilkan
apa-apa karena digunakan untuknya. Maka, dalam salat terdapat zakat
yang paling mulia.
Dalam puasa juga terdapat salat. Kenapa? Itu karena puasa
mencegah manusia dari melakukan dua syahwat: perut dan kemaluan.
Begitu juga dalam salat, seorang yang melakukan salat dilarang
melakukan dua aktivitas syahwat tersebut, bahkan lebih. Dalam salat
ditemukan sebagian hal yang dibolehkan (mubah) untuk dilakukan
dalam puasa, tapi dilarang. Dalam puasa seseorang boleh berjalan,
berbicara dan tertawa, hal ini semua dilarang dalam salat. Jadi salat
merupakan puasa dalam arti yang lebih luas.
Begitu juga dengan haji, setiap kali kamu melaksanakan salat, maka
tergambar dibenakmu Ka’bah yang merupakan kiblat. Dalam salat
terdapat unsur haji yang abadi. Dengan demikian dalam salat tercakup
rukun Islam empat lainnya.
Bila ditinjau dari sisi tatanan pergaulan di masyarakat, maka
ditemukan saat muazzin mengumandangkan azan seluruh manusia yang
saleh, wara’ atau taat akan memenuhi panggilan Tuhan, dengan
meninggalkan seluruh aktivitas. Saat itu ditemukan nuansa baru, di
mana pemimpin yang tinggi berada di samping satpam atau pelayan.

479
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Hilanglah unsur kesombongan, kecongkaan dan kasta. Semuanya sama


di hadapan Tuhan mereka saat beribadah. Saat hal ini terjadi berulang
kali menipislah jurang keangkuhan yang timbul akibat kasta. Jadi
landasan kemasyarakatan yang ideal bila dibangun atas dasar
persamaan. Selama persamaan diagungkan, maka tidak ada kemuliaan
seseorang atas orang lain kecuali takwa. Bila ini terwujud, hidup
tentramlah masyarakat tersebut. Selama tidak ada rasa sombong,
congkak dan takabbur, jadilah masyarakat itu hidup harmonis.
Setelah itu ditemukan seseorang maju ke dapan untuk menjadi
imam. Seorang yang menjadi imam ini tidak dengan serta merta ke
dapan langsung jadi imam, tapi ia terlebih dahulu harus telah memenuhi
syarat. Puncak dari syarat itu, orang yang menjadi makmumnya harus
rela kepadanya. Jadi, imamah dalam salat mengerjakan kita bagaimana
menjadi imam/pemimpin dalam pemerintahan.
‫ﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻪ ﻛﹶﻛﺎﺭ‬ ‫ﻢ ﹶﻟ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻣﺎ‬‫ﻮﻣ‬ ‫ﻼ ﹶﺃﺃﻡ ﹶﻗ‬
‫ ﹰ‬‫ﺟ‬‫ﷲ ﺭ‬
ُ ‫ﻦ ﺍ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﹶﻟ‬
Allah melaknat lelaki yang mengimami suatu kaum, padahal kaum
itu benci terhadapnya.
Setelah itu dicarilah orang yang paling hapal Alquran, bila
ditemukan ada beberapa orang dengan kwalitas sama. Dicarilah orang
yang paling paham hadis Nabi, bila kualitasnya sama. Carilah siapa di
antara mereka yang duluan masuk Islam. Jadi syarat imam masjid ini
pada dasarnya juga merupakan syarat pemilikan pemimpin muslim.
Saat imam telah diterima keberadaannya, maka iapun dapat
mengeluarkan perintah: “Saf dirapatkan dan luruskan.” Setelah itu tidak
dibenarkan seseorang bertakbir sebelum imam bertakbir. Bila sujud
tidak seorangpun bangkit kecuali setelah ia mengangkat kepalanya. Ini
merupakan wujud dari ketaatan dan kepatuhan. Selama imam itu orang
yang diridai, maka kita harus mematuhi dan mengikutnya.
Nabi bersabda: “Posisikan orang yang telah bermimpi dan dapat
melarang di belakang imam.” Ini bukanlah penghormatan bagi orang
yang telah termimpi dan dapat melarang, tapi untuk mengoreksi bila
imam salah dalam membaca ayat, atau untuk menggantikan posisi imam
saat dia harus meninggalkan salat. Ini mewahyukan kita tentang strategi
politik secara umum, bahwa seorang pemimpin tidak boleh didekati
kecuali oleh orang yang dapat melarang. Bila pemimpin hendak lari dari
manhaj Allah, diapun berkata: “Luruslah.”
Nabi Muhammad salat, setelah dua rakaat mengucap salam. Seorang
sahabat pemberani berkata: “Apakah kamu mengqasar salat atau lupa?”

480
QURAISY 106 JUZ 30

Sahabat yang lain berkata: “Benar, kamu baru salat dua rakaat.”
Maka bangkitlah Nabi meneruskan dua rakaat lagi.”
Imam yang berwibawa semua gerak geriknya akan diikuti, dan tidak
ada yang berani mendahuluinya kecuali orang yang telah bermimpi dan
berani melarang. Hingga manhaj Allah berjalan dan taat membabi buta
untuk pemimpin dapat tercegah.
Untuk itu bila dilihat ayat-ayat suci Alquran ditemukan perintah taat
terkadang berbunyi. ‫ﻝ‬ ‫ﺳﺳﻮ ﹶ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻌﻌﻮﺍ ﺍﻟ‬ ‫ﻃﻃﻴ‬ ‫ﻭﹶﺃ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻌﻌﻮﺍ ﺍﻟ ﱠﻠ‬ ‫ﻃﻃﻴ‬ ‫ ﹶﺃ‬hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), terkadang ‫ﻪ‬ ‫ﻌﻌﻮﺍ ﺍﻟ ﱠﻠ‬ ‫ﻃﻃﻴ‬ ‫ﹶﺃ‬
‫ﺳﺳﻮ ﹶﻝ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻭﻭﺍﻟ‬ taatlah kamu kepada Allah dan Rasul, ketiga ‫ﺳﺳﻮ ﹶﻝ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻌﻌﻮﺍ ﺍﻟ‬ ‫ﻃﻃﻴ‬ ‫ ﹶﺃ‬taatlah
kepada Rasul saja.
Bila kita berjalan jauh sedikit menelusuri ayat ditemukan juga ‫ﻟﻟﻲ‬‫ﻭﹸﺃﺃﻭ‬
‫ﻢ‬ ‫ﻨ ﹸﻜ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻣ ﹺﺮ‬ ‫ ﺍ َﻷ‬dan ulil amri di antara kamu. (QS an-Nisâ' [4]: 59) Ayat ini
tidak berbunyi: taatlah kamu kepada ulil amri di antara kamu. Itu
mengindikasikan bahwa taat kepada pemimpin tidak berdiri sendiri.
Tapi taat kepadanya terkandung dalam taat kepada Allah dan Rasul.
Bila dia menyeleweng dari perintah Allah dan Rasul, maka dia tidak
pantas untuk dipatuhi. Jadi, patuh kepada pemimpin dalam bingkai
patuh kepada Allah dan patuh kepada Rasul.
Di sini salat memberikan kepada kita proses kepemimpinan secara
umum, yang merupakan gambaran dari salat masyarakat, bila mereka
melaksanakan manhaj Allah. untuk itu setiap khalifah dari Khulafaur
Rasyidin berkata: “Patuhilah aku selama aku mematuhi Allah untukmu.
Bila aku mendurhakainya, tidak perlu ada kepatuhanmu bagiku.”
Seakan-akan salat yang merupakan sarana bagi makmum untuk
mengikuti imam dan tidak melawan gerak dan diamnya, bukanlah
berarti dia harus diikuti 100%. Tidak, dia hanya diikuti dalam bingkai
mengikuti aturan main Allah, bila dia menyeleweng perlu diingatkan
orang yang berakal. Kenapa? Karena orang yang berakal ini dapat
membandingkan antara sesuatu yang diridai Allah dan diridai manusia.
Jadi, salat dalam artian luas mencakup semua taklif dari awal hingga
akhir. Untuk itu bersabda kepada suatu kaum. “Baju agama akan copot
satu persatu, pertama kali ia copot dari semua itu adalah hukum, dan
yang terakhir adalah salat.” Maknanya, manusia pertama kali akan
melanggar manhaj Allah, dengan melaksanakan apa yang bukan
diturunkannya dan yang terakhir kali dia langgar dari ciri Islam adalah

481
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

salat. Jika salat ditinggalkan pertanda manusia ini tidak berciri Islam.
Bila dilihat dari hakikat salat, maka ditemukan bahwa ia merupakan
kebutuhan utama dalam hidup kita. Kenapa? Karena problem yang
dihadapi dalam hidup bermasyarakat amatlah beragam. Ditemukan dari
mereka bila mendapat banyak masalah, dia pun mencari penyelesaian
pintas. Terkadang dapat diatasi dan terkadang tidak dapat. Jadi kenapa
Rasulullah saat mendapat masalah di luar jangkauannya segera
melaksanakan salat? Karena yang dapat menyelesaikan hanya Allah
yang tidak pernah lemah.
Sebagian manusia menggunakan minuman keras untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Sebenarnya arak hanya dapat
melupakan masalah sesaat, tapi ia tidak dapat menyelesaikan masalah.
Sedangkan Allah menciptakan manusia berakal agar berani menghadapi
masalah bukan untuk lari dari masalah. Untuk itu selama kita memiliki
Tuhan, maka kita tahu kepada siapa kita harus meminta tolong. Itu
karena Allah adalah Tuhan pencipta dan kita adalah makhluk
ciptaanNya.
Pernah kukatakan: “Bagaimana bila suatu karya diperiksa satu hari
5x, apakah ditemukan cacat dalam hasil karya tersebut?” Kamu
merupakan hasil karya Tuhanmu, bila kamu menghadap-Nya 5x satu
hari niscaya hidupmu akan damai dan tentram. Kenapa bila sebelum
salat menghadapi masalah, namun setelah salat hatimu damai? Apakah
Allah telah melakukan operasi pada dirimu? Tidak, tapi Zat yang
menciptakanmu maha tahu akan dirimu. Dia dapat menciptakan
keselarasan yang menyebabkan hatimu damai. Itu karena masalah yang
dihadapi selalu bersifat gaib dan Allah pun gaib. Yang gaib hanya dapat
diatasi dengan gaib juga. Untuk itu setiap ada masalah di luar
jangkauanmu segeralah salat.
Dalam salat juga ditemukan keistimewaan yang tidak ditemukan
dalam seremonial lain. Itu karena waktu pertemuan dengan Tuhanmu itu
ditetapkan oleh kamu sendiri. Sedangkan kalau seseorang ingin bertemu
pembesar, presiden ataupun raja harus pertama kali membuat surat
permohonan audensi, asisten pembesar itu akan melihat isi surat ini,
apakah layak untuk diacckan atau tidak. Bila acc harus ditentukan
terlebih dahulu topik pembicaraannya, dan dibatasi waktunya serta
tempat. Inilah aturan seremonial manusia. Tapi, kamu bila hendak
bertemu dengan Tuhan Yang Maha Mulia tidak perlu semua aturan
main itu. Semua itu tergantung kamu, kamulah yang menentukan waktu

482
QURAISY 106 JUZ 30

dan tempat serta topik pembicaraan.


Jadi kehambaan yang kamu serahkan di hadapan Allah dengan
penuh iman dan patuh, akhirnya menjadi penguasa. Kamulah penguasa
yang berkuasa untuk menentukan di mana bertemu dengan Allah. Bila
ingin bertemu dengannya sekarang, maka cukuplah mengangkat kedua
tangan, “Allahu Akbar,” secara otomatis kamu pun berada dikeharibaan-
Nya.
Allah berfirman dalam hadis Kudsi tentang kunci kekuasaan
bertemu di tanganmu dengan: “Siapa yang menginagt-Ku di dalam
dirinya, Aku akan mengingat dan menyebut namanya di komunitas
lebih baik darinya.”
Suatu hal yang aneh di dunia manusia. Di mana manusia tidak
melakukan ibadah yang layak untuk zat yang mulia (Allah). Sebaliknya
mereka melakukan permainan duniawi dengan sungguh-sungguh.
Seperti permainan sepak bola, ketika ditentukan bahwa pertandingannya
akan diadakan pada jam sekian. Tiap orang telah menentukan waktunya
untuk dapat hadir sebelum pertandingan itu dimulai. Sungguh ironi,
kenapa mereka tidak menetapkan waktu untuk melaksanakan salat di
awal waktu?
Setelah itu ditemukan begitu patuhnya semua terhadap wasit dan
peraturan yang ada. Saat wasit meniupkan peluit barulah permainan pun
dapat dimulai. Kita temukan juga, betapa pemain bermain dengan
sungguh-sungguh, aturan main yang dibuat oleh manusia itu sendiri
begitu dipatuhi dan dihormati. Tidak pernah ditemukan pemain yang
dapat melawan wasit. Semuanya dapat diselesaikan hanya dengan
meniupkan pluit. Kenapa muslim tidak bersungguh-sungguh dalam
ibadahnya, sebagaimana dia bersungguh-sungguh dalam bermain bola?
Kenapa muslim tidak menghormati manhaj dan berusaha untuk
menghormati aturan main bola?
Nabi bersabda: “Istirahatkanlah hati satu atau dua jam, karena hati
bila dipaksa dapat buta.” Umat Islam berolah raga untuk menambah
gairah hidup. Club yang berlatih bersungguh-sungguh dan sabar dalam
latihan, bekerja sama antar sesama, serta mematuhi aturan jadwal...
tujuan akhirnya adalah meraih kemenangan, dan mencapai hakikat dari
oleh raga itu sendiri. Apa hakikat olah raga itu? Itulah yang disebut
dengan sportifitas, bila menang tidak sombong, dan bila kalah tidak
pesimis. Begitulah kita diharap untuk mengarungi hidup.
‫ﻤﺎ‬‫ﺣﻮﺍ ﺑﹺﻤ‬‫ﺣ‬‫ﻔﹾﺮ‬‫ﻻﹶ ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ﺗﻜﹸﻢ‬‫ﻣﺎ ﻓﹶﻓﺎ‬‫ﻠﹶﻠﻰ ﻣ‬‫ﻮﺍ ﻋ‬‫ﻮ‬‫ﺄﹾﺳ‬‫ﻲ ﹶﻻ ﺗ‬ ‫ﻟ ﹶﻜ‬ (Kami jelaskan yang demikian itu)

483
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu,
dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-
Nya kepadamu. (QS al-Hadîd [57]: 23) Inilah mukmin yang benar.
Kita temukan olah raga yang kita lakukan, sebagian orang
menjadikannya tujuan, bukan sarana. Olah raga sebenarnya sarana
untuk menyehatkan dan menyegarkan badan, dan tidak sewajarnya
sarana itu berubah menjadi tujuan. Tujuan diciptakan manusia di dunia
ini untuk beribadah kepada Allah. Inilah tujuan yang harus menjadi titik
perhatian kita semua. Kalau tidak, niscaya jadilah permainan itu sesuatu
yang serius, dan yang serius itu permainan. ***

484
AL-M‘ÛN 107 JUZ 30

SURAT 107
AL-M‘ÛN
(MAKKIYAH)

485
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

486
AL-M‘ÛN 107 JUZ 30

Surat ini turun guna menjelaskan manhaj Islam. Islam bukan


sekedar akidah yang diyakini saja, bukan pernyataan yang diungkapkan
saja, tapi ia manhaj bagi gerak kehidupan. Hakikat akidah itu adalah
membahagiakan seluruh makhluk dan menjadikannya rahmat bagi alam
semesta.
Islam bukan sekedar seremonial dan simbol, seremonial dan simbol
tidak ada gunanya selama tidak dilakukan ikhlas karena Allah.
Keikhlasan itu berpengaruh di dalam jiwa yang berdampak pada amal
saleh yang bermuara pada kemakmuran bumi dan kebahagiaan manusia.
Islam bukan agama parsial yang dilakukan oleh umatnya apa yang
mereka sukai dan meninggalkan apa yang tidak mereka sukai. Islam
adalah agama satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, ibadah saling
terkait dengan iman, dilakukan untuk saling menopang antara individu
dan masyarakat, berpengaruh ibadah itu pada sendi kehidupan sosial,
dengan terwujudnya kebaikan.
Terkadang muslim telah melakukan salat, telah juga melakukan
rukun Islam yang lain, tapi hakikat iman masih jauh dari dirinya, karena
hakikat iman itu memiliki tanda dan ciri-ciri; bila tanda dan ciri ini tidak
ada, maka iman itu tidak ada. Iman adalah kepercayaan di dalam jiwa,
terwujud dalam amal saleh. Selama tidak ada amal saleh, maka iman itu
masih dipertanyakan.

BEBERAPA SIFAT MENDUSTAKAN AGAMA


(QS al-Mâ‘ûn [107]: 1-7)
^]\[ZYXWV
 hgfedcba`_
 r
 qponmlkji
uts
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang
yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi
Makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang
yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, dan
orang-orang yang berbuat ria dan enggan (menolong dengan)
barang berguna.

487
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Untuk itu Allah berfirman: ‫ﻦ‬ ‫ﺪﺪﻳ ﹺ‬ ‫ﺏ ﹺﺑﺑﺎﻟ‬


 ‫ﻳ ﹶﻜﺬﱢ‬ ‫ﺬﺬﻱ‬ ‫ﺖ ﺍﱠﻟ‬
 ‫ﺃﹶﻳ‬‫ ﺃﹶﺭ‬tahukah kamu
(orang) yang mendustakan agama? Kata tahukah kamu dapat dipahami
dengan dua pengertian. Pertama, dalam arti yang sebenarnya,
maksudnya tahukah kamu wahai Muhammad tentang kisah Abu Jahal
yang memukul anak yatim dan mematahkan tangannya, atau kisah Abu
Sofyan saat dia musyrik yang mencaci maki anak yatim, atau kisah Ash
bin Wail, Umar bin ‘Aidz?
Atau makna tahukah kamu hanya sekedar pertanyaan dalam bentuk
berita. Artinya, sebenarnya apa yang disampaikan pada ayat itu adalah
berita, namun agar terjadi interaksi antara Penyampai (Allah) dengan
pendengar, maka disampaikan dalam bentuk dialog.
Saat mendengar kalimat tahukah kamu (orang) yang mendustakan
agama? Kata tahukah kamu tergambar di benak kita sosok individu
yang tidak beriman dan tidak pernah mengamalkan rukun Islam, tapi
Allah ingin menegaskan bahwa tidak harus orang yang mendustakan
agama itu adalah orang mendustakan dasar-dasar iman dan Islam, tapi
boleh jadi mereka berislam tapi tidak menjalankannya sesuai dengan
iman, atau percaya secara lisan dan seremonial tapi tidak di hati.
Manusia mudah mengucapkan dengan lisan, tapi melaksanakan apa
yang diucapkan bukan perkara yang mudah. Betapa banyak muslim
yang mengaku beriman, tapi tindak tanduknya tidak mencerminkan
keimanan yang dia imani.
Di sini, Allah memberi gambaran bagi kita tentang orang yang
mendustai agama dengan: ‫ﻢ‬ ‫ﺘﺘﻴ‬‫ ﺍﻟﹾﻴ‬‫ﻉ‬‫ﺪ‬‫ﺬﻱ ﻳ‬‫ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻚ‬‫ ﻓﹶﺬﹶﻟ‬itulah orang yang
menghardik anak yatim. Seakan-akan orang yang tidak mengakses
ajaran agama dalam bentuk amal, seakan-akan dia telah mendustai
agama. Jadi, agama adalah manhaj atau aturan bagi gerak kehidupan.
Menelantarkan apalagi menghardik anak yatim merupakan
gambaran buruk dalam masyarakat manapun, hingga walaupun dia tidak
beragama. Karena anak yatim adalah anak yang telah ditinggal mati
ayahnya, dan masih kecil, ketika dia ditelantarkan atau tidak terpenuhi
kebutuhan primernya, maka itu sudah dianggap menelantarkan.
Gambaran menyedihkan ini walaupun kalau seandainya tidak ditentang
oleh manhaj samawi, ia pasti gambaran yang dibenci oleh manusia atas
dasar prikemanusiaan.
Allah telah menciptakan makhluk dan manusia, maka Dia pasti
menjamin kehidupan mereka. Allah berkata kepada orang yang
membantu anak yatim dan orang miskin bahwa kamu telah memberi

488
AL-M‘ÛN 107 JUZ 30

pinjaman kepada Allah. Kenapa? Karena Allah berfirman: “Siapakah


yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah).” (QS al-Baqarah [2]: 245)
Barang siapa yang memberi bantuan kepada anak yatim dan orang
miskin maka dia telah memberi pinjaman kepada Allah.
Manusia ingin hidup bahagia, dia juga ingin anak dan cucunya
hidup bahagia. Dia mau membanting tulang, mengeluarkan keringat,
darah asal anak-anaknya bahagia dan terjamin masa depannya. Allah
menegaskan bila kamu ingin jamin yang absolut, kuat dan pasti bagi
masa depan anak cucumu, bantulah anak yatim yang lemah secara fisik
dan materi. Bila kamu melakukan itu yakinlah bahwa Allah akan
menjamin masa depan anak cucumu, karena Allah adalah Maha Kuat
dan Maha Melindungi, tempat meminta. Kamu akan melihat kenyataan
itu pada diri anak cucumu tanpa kamu perkirakan dan duga.
Contohnya dalam kisah Nabi Musa dan Khidir. Khidir membangun
tembok yang sudah miring di saat kaum kampung itu tidak mau
memberi mereka berdua makanan dan minuman. Alasan Khidir adalah
bahwa tembok yang dibangun itu di bawahnya menyimpan harta anak
yatim dari warisan dari orang tua yang saleh. Adapun dinding rumah itu
adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya
ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah
seorang yang saleh. (QS al-Kahfi [18]: 82)
Selama kita sebagai orang tua telah menjadi saleh maka Allah akan
melindungi anak dan cucu kita saat mereka memerlukan pertolongan.
Akan ada pertolongan Allah yang tidak mereka duga dan sangka.
Allah memilih gambaran orang yang mendustai agama tidak
terbatas hanya pada itulah orang yang menghardik anak yatim, tapi
dilanjutkan dengan ‫ﲔ‬ ‫ ﹺ‬‫ﻜ‬‫ﺴ‬‫ﻌﺎﻡﹺ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻠﹶﻠﻰ ﻃﹶﻌ‬‫ ﻋ‬‫ﺾ‬‫ﺤ‬‫ﻻﹶ ﻳ‬‫ ﻭ‬dan tidak menganjurkan
memberi makan orang miskin.
Ayat ini menerangkan bahwa orang yang tidak menganjurkan
memberi makan orang miskin dikategorikan sebagai pendusta agama.
Kenapa? Karena terkadang manusia memiliki pengaruh, sedangkan dia
tidak memiliki apa-apa, maka selama memiliki pengaruh walaupun tak
punya, paling tidak dia menggunakan lidahnya untuk mengajak manusia
kepada kebaikan dan mengajak yang mampu membantu fakir miskin.
Ketidak adaan harta dan materi bukan berarti seorang mukmin lepas
tanggung jawab atas kemiskinan yang diderita oleh masyarakat di
sekitar dirinya.

489
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Seorang mukmin yang hakiki akan menaruh empati atas pendiritaan


yang diderita oleh orang lain. Empati itu tidak saja harus berupa bantuan
materi, tapi juga dapat dilakukan dengan tenaga, bahkan ucapan
belasungkawa dan perasaan jiwa yang turut prihatin. Contohnya, Tiada
dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas
orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh
apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas
kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk
menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang, dan tiada (pula dosa) atas orang-
orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi
mereka kendaraan, lalu kamu berkata: “Aku tidak memperoleh
kendaraan untuk membawamu”, lalu mereka kembali, sedang mata
mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak
memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan. (QS at-Tawbah [9]: 91-
92)
Ayat ini menjelaskan pada saat jiwa dan raga tidak dapat diberikan
maka perasaan prihatin tetap ditunjukkan. Jadi kemiskinan harus
dientaskan karena kemauan kuat dari segala lini: ekomomi, sosial
kemasyarakatan dan empati.
‫ﻫﻫﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﺳﺳﺎ‬ ‫ﻢ‬ ‫ ﹺﻬ‬‫ﻼﹶﺗ‬‫ ﺻ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻢ‬‫ ﻫ‬‫ﺬﻳﻦ‬‫( ﺍﻟﱠﺬ‬yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya.
Salat ialah kepasrahan hamba di depan Tuhannya. Pada saat itu tidak
wajar bila dia disibukkan dengan makhluk, sementara dia di depan
Tuhan. Barang siapa yang berbuat demikian, berarti dia telah melupakan
kedudukan salatnya, melupakan kepasrahan di depan Tuhannya.
Ada beda antara salat secara seremonial dengan salat secara hakiki.
Kalau salat dilakukan secara hakiki maka dia tidak akan mungkin lupa,
karena manusia dapat melakukan salat secara seremonial tapi
hakikatnya tidak. Untuk itu Nabi Muhammad berkata kepada orang
yang sedang salat: ‫ﻞ‬ ‫ﺼﱢ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻢ‬ ‫ ﹶﻟ‬‫ﻚ‬‫ﻞﱢ ﻓﹶﺈﹺﻧ‬‫ ﻓﹶﺼ‬‫ ﻗﹸﻢ‬salat yang benar, karena kamu tadi
belum salat. (HR Ahmad)
Jangan sibukkan diri kepada selain Allah pada waktu yang
dikhususkan untuk-Nya sebagai Pencipta, karena kita tidak lebih hanya
menggunakan satu jam untuk salat lima kali dalam sehari; dan dua
puluh tiga jam selebihnya dapat digunakan untuk berhadapan dengan
makhluk hasil ciptaan-Nya. Apakah layak waktu yang hanya satu jam
ini yang dikhususkan untuk Pencipa juga dimasukkan hal yang terkait
dengan makhluk!? Tentu tidak layak. Orang yang melakukan hal ini,

490
AL-M‘ÛN 107 JUZ 30

berarti telah kehilangan kekuatan iman.


Di sisi lain, Allah tidak berkata fi/di dalam salat tapi berkata ‘an/
terhadap salat. Karena lupa bilangan dalam salat sering terjadi. Untuk
itu sebagian ulama berkata: “Alhamdulillah, yang telah berkata: “‘An/
terhadap salat,” bukan “fi/di dalam salat.” Kalaulah Dia berkata: “fi/di
dalam salat,” maka masuk neraka waillah kita semua.
Tidak mungkin seorang muslim apa lagi yang awam melakukan
salat, dan dia tidak pernah lupa dalam bilangan rakaatnya, atau
melamun atau mengingat hal lain. Setan pasti datang menggoda dan
membisikkan hal-hal penting dalam hidupnya agar hilang konsentrasi.
Karena setan berjanji akan menggoda orang yang berada pada jalan
yang lurus, lihat QS al-A’raf [7]: 16, kecuali mereka yang telah sampai
pada derajat ikhlas, lihat QS Shad ayat 83.
Setan akan menggoda dan mengganggu orang yang sedang salat,
gemar membantu anak yatim dan fakir miskin, karena mereka berada
pada jalan yang lurus. Adapun mereka yang telah melenceng dan sesat,
maka setan tidak perlu lagi mengganggu dan menggoda mereka.
Jadi, makna (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya ialah tidak
salat. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa salat sebaiknya
harus khusyuk dengan penuh kepasrahan, karena hanya satu jam dalam
sehari. Namun bila tidak khusyuk, maka dia tidak otomatis akan masuk
ke dalam neraka.
Yang lebih dahsyat lagi kesalahan manusia, jika menjadikan salat
itu sebagai satu yang dibanggakan (ria) di depan manusia. Mereka ini
adalah orang yang salat secara seremonial tapi pada hakikatnya tidak
salat. ‫ﺮﺮﺍ ُﺀﺀﻭ ﹶﻥ‬ ‫ ﻳ‬‫ﻢ‬‫ﻦ ﻫ‬  ‫ﺬﺬﻳ‬ ‫ ﺍﱠﻟ‬orang-orang yang berbuat ria. Arti ria adalah kamu
berbuat untuk dilihat makhluk. Sedangkan ru’yah mu’tabarah dalam
syariat ialah engkau melihat Allah saat Dia memerintahkanmu, dan Dia
tidak pernah melihatmu dalam melakukan perbuatan yang dilarang-Nya.
Orang yang salat karena ria, maka pahalanya akan diberikan oleh
orang yang diperlihatkannya. Kita katakan: “Selama orang berbuat
untuk seseorang, agar dipuji dan disanjung, maka dia telah memperoleh
balasannya.”
Ketika dia bertemu Tuhan di akhirat dikatakan kepadanya: “Kamu
berbuat agar disebut-sebut, dan telah disebut-sebut.” Selesailah
transaksi.
‫ﻋﻋﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻤﻤﺎ‬ ‫ﻌﻌﻮ ﹶﻥ ﺍﻟﹾ‬ ‫ﻨ‬‫ﻤ‬ ‫ﻳ‬‫ﻭ‬ dan enggan (menolong dengan) barang berguna. Ini
merupakan prilaku yang tercela juga, karena dia telah menilai barang itu

491
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

sudah tidak layak pakai, sehingga sebenarnya ia tidak dinilai sebagai


orang yang telah berinfak atau bersedekah atau orang yang telah
mengelurkan hartanya.
Orang yang bersedekah sebaiknya dilakukan dengan barang berguna
untuk orang yang membutuhkan. Kalau manusia berpikir cerdas, maka
dia akan sampai pada kesimpulan bahwa harta yang baik yang dia
sedekahkan adalah hartanya yang hakiki, yang dia kirimkan melalui
tangan orang yang memerlukan, dan akan dia terima kembali di surga
nanti.
Bila kita melihat pada isi surat ini maka ditemukan prinsip dasar
dari perekonomian yang tertumpu pada solidaritas. Darinya tumbuh tata
cara kehidupan yang harmonis dan setara, kerana di dalamnya terdapat
unsur kasih sayang yang bersumber saat seseorang melaksanakan salat,
saat seseorang dekat dengan Tuhan. Bila salat dan solidaritas ekonomi
masyarakat berimbang, maka bahagialah masyarakat itu, karena telah
aman dan tidak lapar berkat Allah. Maka hendaklah mereka menyembah
Tuhan Pemilik rumah ini (Ka`bah). Yang telah memberi makanan
kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka
dari ketakutan. (QS Quraysh [106]: 3-4)
Kita memohon kepada Allah semoga Dia melindungi kita, dan
menjauhkan dari diri kita sifat-sifat tercela ini, agar kita berhak
mendapatkan rahmat dan cinta serta rida-Nya.***

492
AL-KAUTSAR 108 JUZ 30

SURAT 108
AL-KAUTSAR
(MAKKIYAH)

493
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

494
AL-KAUTSAR 108 JUZ 30

Setelah itu datang surat yang menerangkan sifat kontradiksi dengan


surat sebelumnya. Surat sebelum ini (al-Mâ‘ûn) berisi tentang kekikiran,
surat selanjutnya (al-Kautsar) berisikan tentang kedermawanan.
Kedermawanan dari siapa? Dari Allah. Dan apa yang diderma-Nya?”
Banyak sekali. Semua yang termasuk dalam kategori pemberian.***

SALAT DAN BERKORBAN TANDA BERSYUKUR


KEPADA NIKMAT ALLAH
(QS al-Kautsar [108]: 1-3)
 }
 |{zyxwv
ba`_~
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang
banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu; dan
berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu
Dialah yang terputus.
‫ﺮ‬ ‫ﺛﹶ‬‫ ﺍﻟﹾﻜﹶﻮ‬‫ﻨﺎﻙ‬‫ﻨ‬‫ﻄﹶﻴ‬‫ﻧﺎ ﺃﹶﻋ‬‫ ﺇﹺﻧ‬sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nik
mat yang banyak. Selama Allah yang memberi, maka manusia yang
terkait dengan-Nya dialah yang diberi. Hingga manusia tidak disibukkan
oleh nikmat dengan melupakan Sang pemberi nikmat. Apa tanda-
tandanya? Hendaklah dia salat untuk Tuhan-Nya. Tanda kedua,
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadanya, maka hendaklah dia
berbuat baik untuk sesama.
‫ﺮ‬ ‫ﺘ‬‫ ﺍﻷَﺑ‬‫ﻮ‬‫ ﻫ‬‫ﺷﺎﻧﹺﺌﹶﻚ‬‫ ﺇﹺﻥﱠ ﺷ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ﻭﺍﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﻚ‬‫ﺑ‬‫ﺮ‬‫ﺼﻞﱢ ﻟ‬
 ‫ ﹶﻓ‬maka dirikanlah salat karena Tuhan
mu dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci ka
mu dialah yang terputus.
Surat ini sesuai dengan surat sebelumnya. kesesuaian itu ialah
bahwa para musuh rasul ketika wafat anak lelaki nabi berkata:
“Sesungguhnya Muhammad telah terputus.” Seakan-akan mereka
mengetahui bahwa kelangsungan keturunan, hidup dan usaha hanya
dapat dilakukan anak lelaki dan melupakan kemampuan wanita.
Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang
terputus. Para musuh Islam menduga bila Muhammad telah dikarunia
banyak hal, mereka pun akan mendapatkan hal yang sama. Rupanya
tidak, bahkan Allah berkata: “Sesungguhnya yang memusuhimu adalah
yang terputus.”

495
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Telah kita terangkan kebenaran ungkapan ini, dan di sini kita ulangi
lagi: Bahwa orang yang membenci Muhammad ditemukan anaknya
masuk Islam. Mereka lebih mencintai Muhammad daripada orang
tuanya. Mereka juga melupakan sang ayah, dengan mengakui risalahnya
dan ikut salat bersamanya.
Jadi mereka itulah sebenarnya yang terputus. Begitu juga dengan
perbuatan maksiat yang mereka pahami akan mengukir memori indah
untuk mereka, ternyata malah membahayakan mereka. ***

Selama di sana ada manhaj yang dilakukan rasul hingga pemberian


Tuhan yang melimpah turun. Pemberian itu tercurah sejak hidup di
dunia ini hingga di akhirat. Ia tidak terbatas pada sungai al-Kautsar yang
akan ditemukan nanti di surga. Karena al-Kautsar juga berarti kenabian,
hikmah dan Alquran. Iman juga al-Kautsar, begitu juga dengan Islam.
Semua itu masuk dalam kategori al-Kautsar. Seakan-akan al-Kautsar
yang disebut dengan sungai di surga merupakan bagian dari arti Kautsar
yang luas yang diberikan Allah untuk nabi-Nya.
‫ﺮ‬ ‫ﺘ‬‫ ﺍﻷَﺑ‬‫ﻮ‬‫ ﻫ‬‫ﺷﺎﻧﹺﺌﹶﻚ‬‫ ﺇﹺﻥﱠ ﺷ‬sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu
dialah yang terputus. Di sini terdapat dua kubu: Muhammad dan para
sahabatnya berlawan dengan para musuhnya. Allah berkata agar
dipisahkan hubungan antar dua kubu ini, karena keduanya tidak
mungkin akan bertemu.
Datangnya surat Kâfirûn setelah surat al-Kautsar bertugas untuk
memutuskan hubungan yang tidak mungkin diharapkan untuk terjalin
kembali.
‫ﺪ‬ ‫ﺒ‬‫ﻋ‬ ‫ﻣﺎ ﹶﺃ‬‫ﺪﺪﻭ ﹶﻥ ﻣ‬ ‫ﻋﺎﹺﺑ‬‫ ﻋ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ﻻﹶ ﺃﹶﻧ‬‫ﺪﺪﻭ ﹶﻥ)(ﻭ‬ ‫ﺒ‬‫ﻌ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺒ‬‫ﻋ‬ ‫ﺮﻭ ﹶﻥ)( ﹶﻻ ﹶﺃ‬‫ﺮ‬‫ﻬﺎ ﺍﻟﹾﻜﹶﻜﺎﻓ‬‫ﻬ‬‫ﻳﺎﺃﹶﻳ‬‫ ﻗﹸﻞﹾ ﻳ‬katakanlah: “Hai
orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah. Kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Jadi
pemutusan hubungan untuk selama-lamanya.
Diulangi: aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan
kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah, dengan: dan aku tidak
pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak
pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah, untuk
memberi penekanan bahwa sekarang saya tidak akan menyembah apa
yang kamu sembah, begitu juga untuk masa yang akan datang. Jadi
kondisi itu menyatakan kapan dan di manapun tidak ada negoisasi iman
dengan kafir. Karena terkadang boleh jadi datang masa di mana kita
akan rujuk dan menjalin hubungan kembali. Namun dengan

496
AL-KAUTSAR 108 JUZ 30

pengulangan kalimat itu menandaskan bahwa kita sekarang dan untuk


masa akan datang tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Tidak
ada harapan yang dapat dinanti hingga hubungan itu dapat dijalin
kembali.
Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku. Kalimat ini
mengindikasikan adanya dua kubu. Muhammad dan pengikutnya yang
memiliki agama Islam. Para musuh dan pengikutnya yang memiliki
agama selain Islam. Allah berfirman: “Jangan kamu menduga bahwa
bagimu agamamu dan bagiku agamaku, sampai di situ, tapi sebenarnya
tersirat di dalamnya bahwa agama Muhammadlah yang menang,
sedangkan agamamu akan terusir dari semenanjung Arab.”
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan
kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong,
maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun
kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat. (QS an-
Nashar [110]: 1-3)
Setelah itu datanglah surat: ‫ﺐ‬  ‫ﺗ‬‫ﺐﹴ ﻭ‬‫ﺪﺍ ﺃﹶﺑﹺﺑﻲ ﻟﹶﻬ‬‫ﺪ‬‫ ﻳ‬‫ﺖ‬‫ﺒ‬‫ ﺗ‬binasalah kedua
tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. (QS al-Lahab
[111]: 1) Kata ‫ﺖ‬
 ‫ﺒ‬‫ ﺗ‬artinya terputus dan celaka. Ini juga mengindikasikan
adanya: ‫ﺮ‬ ‫ﺘ‬‫ ﺍﻷَﺑ‬‫ﻮ‬‫ ﻫ‬‫ﺷﺎﻧﹺﺌﹶﻚ‬
‫ ﺇﹺﻥﱠ ﺷ‬sesungguhnya orang-orang yang membenci
kamu dialah yang terputus. (QS al-Kautsar [108]: 3)
Seakan-akan Allah telah memberi hanya dengan ‫ﺢ‬  ‫ﻭﺍﻟﹾﻔﹶﺘ‬‫ ﻭ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺮ‬‫ﺼ‬‫ﺟﺎﺀَ ﻧ‬‫ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺟ‬
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan datang
‫ﺮ‬ ‫ﺘ‬‫“ ﺍﻷَﺑ‬terputus” dalam bentuk yang sangat keras, yaitu: dalam
terputusnya hubungan kerabat dekat rasul, yaitu pamannya Abu Lahab.
Maka seakan-akan binasalah kedua tangan Abu Lahab dan
sesungguhnya dia akan binasa. (QS al-Lahab [111]: 1) bersebrangan
dengan apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.
Atau apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan sama
statusnya sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang
banyak. Sedangkan, binasalah kedua tangan Abu Lahab dan
sesungguhnya dia akan binasa sama dengan sesungguhnya orang-orang
yang membenci kamu dialah yang terputus.
Bila diperhatikan surat al-Kafirûn yang berbunyi: ‫ﻦ‬ ‫ﺩﻳ ﹺ‬‫ ﺩ‬‫ﻲ‬‫ﻟ‬‫ ﻭ‬‫ﻨ ﹸﻜﻢ‬‫ﺩﻳ‬‫ ﺩ‬‫ﻟﹶﻜﹸﻢ‬
untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku, maka ia terkait

497
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

dengan surat al-Ikhlâs. Apa kaitan keduanya? Karena ‫ﺮﻭ ﹶﻥ‬‫ﺮ‬‫ﻜﺎﻓ‬


‫ﻬﺎ ﺍﻟﹾﻜﹶ‬‫ﻬ‬‫ﻳﺎﺃﹶﻳ‬‫ﻗﹸﻞﹾ ﻳ‬
katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, merupakan negatif dan ‫ﻮ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻗﹸﻞﹾ‬
‫ﺪ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﻪ ﹶﺃ‬ ‫ ﺍﻟ ﱠﻠ‬katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha Esa, merupakan positif.
Tauhid merupakan kesatuan antara negatif dan positif. Meniadakan
ketuhanan kepada selain Allah dan menetapkan ketuhanan hanya milik
Allah.
Begitu juga ‫ ﻻﺇﻟﻪ‬tiada Tuhan dan setelah itu dilanjutkan dengan ‫ﺇﻻ ﺍﷲ‬
kecuali Allah. Seakan-akan kalimat tauhid itu berisi peniadaan dan
penetapan atau negatif dan positif. Penetapan tidak datang sebelum
peniadaan. Karena asalnya ialah meniadakan bahaya setelah itu
mendatangkan manfaat. Karena mencegah bahaya lebih diutamakan dari
pada meraih maslahat.
Bila diteliti pada positif dan negatif, maka ditemukan hal itu berlaku
dalam setiap lini kehidupan, hingga dunia materi sekalipun. Dalam
aliran listrik contohnya ditemukan positif dan negatif. Bila keduanya
negatif lampu pasti tidak akan menyala, begitu juga bila keduanya
positif, maka harus ada positif dan negatif. Maka surat al-Kafirun
merupakan unsur negatif sedangkan al-Ikhlas unsur positif.
Untuk itu, dalam salat sunatnya Nabi Muhammad membaca al-
Kafirûn pada rakaat pertama dan al-Ikhlas pada rakaat kedua. Baik sunat
Fajar, Dhuha dan sunat Magrib atau pada salat Magrib hari Jumat, dan
subuh hari hendak musafir. Ini semua mengindikasikan bahwa surat al-
Kafirûn dan surat al-Ikhlas keduanya merupakan hakikat tauhid murni.
Di mulai dari peniadaan tuhan selain Allah dilanjutkan dengan
penetapan ketuhanan bagi Allah Swt.
Juga terdapat munasabah antara ‫ﺐ‬  ‫ﺗ‬‫ﺐﹴ ﻭ‬‫ﺪﺍ ﺃﹶﺑﹺﺑﻲ ﻟﹶﻬ‬‫ﺪ‬‫ ﻳ‬‫ﺖ‬‫ﺒ‬‫ ﺗ‬binasalah kedua
tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa dengan surat al-
Ikhlâsh yang datang sesudahnya. Bagaimana? Jawabannya: Ketika
Allah berfirman: “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan
sesungguhnya dia akan binasa.” Ini merupakan doa. Dan biasanya
dipanjatkan oleh seorang hamba kepada Allah yang mengabulkan doa.
Tapi bagaimana bila doa itu diajarkan-Nya untuk dipinta kepada-Nya?
Saya berdoa kepada Allah agar Abu Lahab celaka. Bila Allah yang
mengajarkanku apakah doa itu dikabulkan-Nya atau tidak? Pasti
dikabulkannya. Jadi, binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesung-
guhnya dia akan binasa. Merupakan doa dan telah dipanjatkan serta

498
AL-KAUTSAR 108 JUZ 30

telah pula terealisasi.


Sebagai wujud penekanan makna ini disusullah surat al-Masad
dengan al-Ikhlâsh, untuk satu misi, yaitu: bahwa Allah yang Esa itu
Dialah yang mengucapkan kecelakaan itu, tidak ada serikat baginya.
Jadi surat al-Ikhlâsh yang datang setelah al-Masad untuk menunjukkan
bahwa keputusan Allah tidak dapat diganggu gugat. Karena tidak ada
tuhan selain Allah.
‫ﺮ‬ ‫ﺤ‬‫ﻭﺍﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﻚ‬‫ﺑ‬‫ﺮ‬‫ﻞﱢ ﻟ‬‫ ﻓﹶﺼ‬maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan
berkorbanlah. Kalimat setelah fa (maka) merupakan dampak kalimat
sebelumnya. Jadi yang diminta setelah kata “maka” ialah salat dan
berkorban. Adapun sebelum “maka” Allah telah memberikan kepada
Nabi-Nya al-Kautsar. Telah disebutkan bahwa kautsar adalah kebaikan
yang besar ditinjau dari segala lini kehidupan: dunia dan akhirat.
Pemberian selamanya terwujud dari Zat pemberi.
Jadi di sana terdapat pemberi nikmat yaitu Allah dan nikmat itu
sendiri. Selama pemberi itu Allah, maka Muhammad yang menerima
pemberian itu wajib salat kepada Tuhannya untuk selama-lamanya.
Salat ialah kepasrahan manusia di hadapan Tuhan. Jadi ‫ﻞ‬ ‫ﺼﱢ‬
 ‫ ﹶﻓ‬merupakan
pelaksanaan hak dari yang memberi, di samping berkorban. Itu karena
Allah telah memberikan banyak hal kepadanya.
Setelah itu Allah berfirman:‫ﺮ‬ ‫ﺘ‬‫ ﺍﻷَﺑ‬‫ﻮ‬‫ ﻫ‬‫ﺷﺎﻧﹺﺌﹶﻚ‬
‫ ﺇﹺﻥﱠ ﺷ‬sesungguhnya orang-
orang yang membenci kamu dialah yang terputus. Kata ‫ﻚ‬
 ‫ﺷﺎﻧﹺﺌﹶ‬‫ ﺷ‬artinya
yang membencimu. Sedangkan kata ‫ﺮ‬ ‫ﺘ‬‫ ﺍﻷَﺑ‬artinya terputus. Surat ini turun
untuk mereposisi timbangan manusia dalam menilai sesuatu. Dalam
penilaian manusia bahwa anak lelaki merupakan generasi penerus yang
mengingatkan manusia setelah matinya. Selama manusia memiliki anak
lelaki maka namanya akan disandang anaknya. Nama tersebut tetap
diingat walau sang ayah telah meninggal.
Inilah penilaian manusia dalam mengenang kehidupan. Adapun
penilaian Allah dalam mengenang kehidupan sangat berbeda dengan itu.
Ia menandaskan bahwa manusia mati meninggalkan nama bukan
meninggalkan keturunan, pangkat ataupun jasad. Jika ditinjau dari sudut
ini maka Nabi Muhammad bukanlah orang yang terputus. Kenapa?
Karena setelah wafat namanya disebut terus oleh para pengikutnya,
pengaruh masih terasa di hati mereka hingga saat ini, namanya juga
diabadikan dalam azan yang dikumandangkan setiap salat, namanya

499
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

disebut bergandengan dengan nama Tuhannya. Namanya juga disebut


saat diambil hadisnya sebagai dalil. Maka orang seperti ini tidak
mungkin dikatakan abtar atau terputus.
Sebenarnya yang terputus itu adalah orang yang memusuhi nabi.
Buatlah seseorang telah memberi kesan baik selama hidupnya di dunia
ini. Tapi, kesan itu hanya sampai di dunia saja. Adapun diri Rasul kesan
tidak terbatas sampai di dunia, tapi meluas sampai ke akhirat.
Nabi Muhammad tidaklah abtar atau terputus. Kenapa? Karena
kamu menginginkan anak keturunanmu mengangkat dan menghidupkan
kembali namamu, namun mereka itu adalah orang yang berdiri sendiri
setelah wafatmu. Dia bukan kamu dan kamu bukan dia.
Nabi Muhammad dikenang sampai di akhirat sedangkan kamu tidak
dikenang, kalaupun dikenang, maka kenangan itu negatif. Lebih dari itu
Muhammad bukan dikenang oleh orang yang hidup setelahnya saja, tapi
di akhirat nanti ia juga dikenang oleh orang yang hidup sebelumnya
untuk meminta syafaat darinya. Karena pada saat itu tidak ada orang
yang lebih layak memberi syafaat kecuali Nabi Muhammad. Ringkas
cerita, para musuh menduga, ketika anak lelaki rasul wafat, maka
jadilah ia abtar atau terputus.
Apa tanggapan Allah? Ia berfirman:‫ﺮ‬ ‫ﺛﹶ‬‫ ﺍﻟﹾﻜﹶﻮ‬‫ﻨﺎﻙ‬‫ﻨ‬‫ﻄﹶﻴ‬‫ﻧﺎ ﺃﹶﻋ‬‫ ﺇﹺﻧ‬sesungguhnya
Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Atau kamu
bukan abtar atau terputus. Apakah cukup bagi Allah menepis dugaan
musuh rasul itu saja. Tidak, di samping menepis rasul bukan abtar,
Tuhan menetapkan bahwa Dia telah memberikan kepadanya al-kautsar.
Barang siapa yang telah diberi al-kautsar maka ia bukan abtar. Dalam
ayat ini cukup bagi Allah untuk membantah mereka dengan pertanyaan
positif yang bertentangan dengan apa yang mereka duga.
Lebih dari itu, Allah membalikkan pernyataan itu dengan
mengatakan, sebenarnya orang yang abtar itu ialah orang yang
memusuhimu. Jadi, dalam ayat ini terdapat dua hal. Pertama, di
tiadakan dari diri Rasul sifat abtar, dengan menetapkan bahwa dia telah
diberikan al-kautsar. Kedua, dugaan abtar yang mereka berikan kepada
rasul, sebenarnya sesuai untuk diri mereka sendiri.
‫ﺮ‬ ‫ﺘ‬‫ ﺍﻷَﺑ‬‫ﻮ‬‫ ﻫ‬‫ﺷﺎﻧﹺﺌﹶﻚ‬‫ ﺇﹺﻥﱠ ﺷ‬sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu
dialah yang terputus. (QS 108: 3) Kenapa mereka membenci Nabi?
Mereka bukan membenci manhaj yang dibawa Nabi. Ketika terjadi
dialog atas tuduhan Alquran itu syiir, sihir dan hipnotis mereka
mengakui bahwa Alquran itu benar sebagai kitab suci. Yang membuat

500
AL-KAUTSAR 108 JUZ 30

mereka tidak respek pada Alquran, karena ia diturunkan kepada Nabi


Muhamamd. Jika Alquran turun kepada salah satu dari golongan mereka
mungkin mereka akan menerimanya.
‫ﻈﻈﻴ ﹴﻢ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻴ ﹺﻦ‬ ‫ﺘ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬ ‫ ﺍﻟﹾﻘﹶ‬‫ﻣﻦ‬ ‫ ﹴﻞ‬‫ﺟ‬‫ﻠﹶﻠﻰ ﺭ‬‫ﺮﺀﺍﻥﹸ ﻋ‬‫ﺬﹶﺬﺍ ﺍﻟﹾﻘﹸﺮ‬‫ﺰ ﹶﻝ ﻫ‬ ‫ﻮ ﹶﻻ ﻧ‬ ‫ﻗﹶﻗﺎﻟﹸﻟﻮﺍ ﹶﻟ‬‫ ﻭ‬dan mereka berkata:
“Mengapa Alquran ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari
salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini? (QS az-Zukhrûf [43]: 31)
Jadi sumber permasalahan bukan dari Alquran, bukan pula pada
manhaj yang ada di dalamnya. Tapi permasalahan itu karena Alquran itu
turun kepada Muhammad. Jadi sumber marah mereka adalah
Muhammad. Mereka juga mengatakan: ‫ﻨﺎ‬‫ﻨ‬‫ﺿ‬‫ ﺃﹶﺭ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻄﱠﻒ‬‫ﺨ‬‫ﺘ‬‫ ﻧ‬‫ﻚ‬‫ﻌ‬‫ﺪﻯ ﻣ‬‫ﺪ‬‫ﺒﹺﻊﹺ ﺍﻟﹾﻬ‬‫ﺘ‬‫ﹺﺇ ﹾﻥ ﻧ‬
Jika kami mengikuti petunjuk bersama kamu, niscaya kami akan diusir
dari negeri kami. (QS al-Qashash [28]: 57)
Jadi, mereka yakin bahwa apa yang dibawa Muhammad adalah
petunjuk. Selama mereka meyakininya kenapa tidak menerimanya?
Ditemukan kontradiksi sifat mereka. Jadi, sumber permusuhan itu
adalah diri Muhammad. Timbul pertanyaan lagi: Apakah diri
Muhammad dibenci sebelum menjadi Rasul? Tidak, sejarahnya bersama
mereka menepis itu semua. Kenapa? Karena mereka telah menyebutnya
dengan al-amîn atau terpercaya. Kamu mempercayainya walaupun
kamu mendustai agama yang dibawanya. Tidak ada yang dapat
dipercayai di antara kamu melebihi Muhammad. Jadi diri Muhammad
dapat diterima di kalangan kamu. Namun mengapa kamu membencinya,
sedangkan dia jujur, atau kenapa harus membenci Alquran padahal ia
kitab suci. Jadi, ketidak konsistenan itu timbul karena iri dan dengki.
‫ﺮ‬ ‫ﺘ‬‫ ﺍﻷَﺑ‬‫ﻮ‬‫ ﻫ‬‫ﺷﺎﻧﹺﺌﹶﻚ‬‫ ﺇﹺﻥﱠ ﺷ‬sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu
dialah yang terputus. (QS 108: 3) Ditemukan Allah menepis mereka
dengan apa yang telah mereka katakan, kenapa? Mereka menduga
bahwa mereka akan dikenang dengan anak lelaki ketika mereka lahir.
Tapi dugaan mereka salah. Sebab di antara anak mereka ada yang
beriman kepada Muhammad dan akan mengingat baik nama
Muhammad dan melupakan nama kalian. Seperti Khalid tidak
membanggakan Khattab. Begitu juga Ikrimah dengan ayahnya yang
bernama Abu Jahal. Mereka semua membanggakan Rasulullah, seakan-
akan ia adalah ayah mereka, sedangkan ayah mereka seakan-akan bukan
dari keturunan mereka, dan tidak terlintas dalam sejarah hidup mereka.
Lihat kisah Ikrimah bin Abu Jahal dalam peristiwa Yarmuk yang
berperang bersama Khalid bin Walid. Setelah ia ditusuk musuh dengan

501
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

tusukan yang begitu parah ia menemui Khalid dan berkata: “Ya Khalid,
inikah kematian yang ridai Rasulullah atas diriku?” Seakan-akan tidak
terbayang dalam dirinya kecuali keridaan Muhammad. Di mana
ayahnya? Di mana kenangan ayahnya? Tidak ada. Jadi merekalah yang
terputus, hingga silsilah keturunan yang dibanggakan pun tak mengakui
mereka.
al-Abtar atau terputus akan terus menjadi identitas seseorang selama
ia ‫ﻚ‬
 ‫ﺷﺎﻧﹺﺌﹶ‬‫ ﺇﹺﻥﱠ ﺷ‬membencimu. Ketika mereka tidak lagi membenci maka ia
tidak lagi abtar. Jadi, bagaimana tentang orang yang ketika ayat ini
turun dia membenci Rasul tapi kemudian dia masuk Islam dan
mencintainya? Jawabnya: identitas akan terus berlanjut selama
membenci, bila tidak maka tidak. Artinya, selama kebencian itu telah
hilang maka al-batr pun hilang.
Hanya saja zahir teks itu mengindikasikan bahwa orang yang
membenci Nabi akan mati dalam keadaan kafir. Untuk itu ditemukan
orang seperti mereka: al-Aswad bin Abd al-Muthalib, Umayyah bin
Khalaf, al-Ashy bin Wâil, al-Walid bin Muqhirah, semuanya mati dan
belum masuk Islam. Jadi, orang yang membencimu telah tertulis untuk
abtar dan tidak mendapatkan hidayah Islam.
Jadi ada abtar di dunia, di akhirat, dan washl di dunia dan di akhirat.
Selama ada dua sifat yang berbeda, maka di sana ada dua kelompok.
Kedua kelompok ini tidak akan menyatukan kedua yasng berbeda. Baik
dari segi akidah, syariah, cara ibadah, dan landasan hidup. Ini dari satu
sisi. Dari sisi kedua datanglah surat:***

502
AL-KÂFIRÛN 109 JUZ 30

SURAT 109
AL-KÂFIRÛN
(MAKKIYAH)

503
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

504
AL-KÂFIRÛN 109 JUZ 30

Surat al-Kâfirûn mengkaji tentang inti dari ketauhidan. Kaum Arab


pada masa Nabi tidak meniadakan ketuhanan Allah, tapi mereka tidak
mengenal hakikat Allah yang disifati-Nya sebagai Tuhan tempat
meminta. Untuk itu mereka melakukan kekafiran dan tidak menyembah
Allah sebagaimana layaknya Tuhan untuk disembah. Lebih jauh lagi,
mereka menyekutukan Allah dengan patung dan berhala yang
merupakan lambang dari para orang berjasa dan pemimpin, atau
lambang dari para malaikat yang membantu kelangsungan hidup
mereka.
Mereka menduga bahwa malaikat adalah anak gadis Allah, atau
antara Tuhan dengan jin ada hubungan, atau mereka melupakan
lambang ini dan menjadikannya sebagai Tuhan. Dalam kondisi itu atau
pun ini mereka menjadikan patung atau berhala sebagai sarana untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Inilah yang dituangkan Allah dalam
Alquran saat mengisahkan tentang kakafiran Quraisy: “Kami tidak
menyembah mereka kecuali sebagai sarana untuk mendekatkan diri
kepada Allah.” (QS az-Zumar [39]: 3)
Alquran juga mengisahkan bahwa kaum kafir mengakui alam ini
telah diciptakan oleh Allah, Dia pencipta langit, bumi dan menundukkan
matahari dan bulan, menurunkan hujan dari langit. “Ketika mereka
ditanya siapa yang menciptakan langit dan bumi, menundukkan
matahari dan bulan? Nisacaya mereka akan berkata: “Allah”. (QS al-
’Ankabut [29]: 61) Lihat juga ayat 63 dari surat yang sama.
Lebih dari itu, dalam sumpah bangsa Arab selalu menyebutkan:
“Demi Allah”, atau “dengan nama Allah”. Begitu juga dalam doa
mereka selalu dimulai dengan “Allahumma” atau Ya Allah.
Tapi, walaupun mereka beriman kepada Allah sebagai Tuhan, tetap
saja kemusyrikan yang mereka lakukan merusak ibadah mereka.
Sebagaimana tradisi dan kebiasaan mereka telah merusak kemurnian
Tuhan. Mereka memberi hak khusus kepada Tuhan, atas setiap hasil
panen dan ternak yang mereka raih. Bahkan mereka juga memberi hak
Tuhan atas anak yang mereka dapat, puncaknya mereka tidak segan
menyembelih anak laki-laki sebagai wujud pengorbanan kepada Tuhan.
Lihat surat al-An’am [6]: 136-140.
Mereka menduga, bahwa mereka telah melaksanakan tradisi Nabi
Ibrahim, sebagai agama nenek moyang mereka. Lebih dari itu, mereka
menduga bahwa agama mereka lebih baik daripada agama Yahudi dan
Nasrani yang mereka temui di semenanjung Arab. Itu karena, umat
Yahudi berkata: “Uzair adalah anak Allah.” atau Nasrani berkata: “Isa

505
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

adalah anak Allah.”Sementara mereka mengatakan: “Malaikat atau jin


adalah kerabat Allah.” Alasan mereka bahwa malaikat atau jin jauh
lebih layak untuk dekat dengan Allah dibandingkan dengan Uzair atau
Isa. Tapi dalam bingkai Islam, semua ini adalah syirik, dan syirik yang
satu dengan yang lain adalah sama, tidak ada yang terbaik dan terburuk.
Saat Nabi Muhammad berkata: “Bahwa Islam adalah penerus agama
Ibrahim.” Kaum kafir Quraisy berkata: “Kami berada di jalan agama
Ibrahim.” Jadi tidak ada alasan untuk meninggalkan agama nenek
moyang ini dan mengikuti Muhammad dengan agama barunya.
Dalam waktu yang lain, mereka mencari win-win solution yang
membuat Nabi Muhammad senang dan mereka juga bahagia. Mereka
menawarkan agar Nabi Muhammad dan pengikutnya mau sujud di
hadapan Tuhan berhala mereka dengan balasan mereka juga akan sujud
kepada Allah. Dengan catatan, jangan menghina Tuhan mereka, dan
Nabi Muhammad juga diberi kesempatan untuk bernegoisasi atas apa
yang dikehendakinya.
Ini terjadi kerena kesalahan mindset mereka, pengakuan mereka
terhadap Allah dengan menyembah berhala itulah puncak kesalahan itu.
Dengan dugaan, bahwa jarak antara mereka dengan Muhammad itu
dekat, hingga dapat dirapatkan, atau dibagi negeri ini menjadi dua
bagian untuk bertemu di tangah jalan dengan tarik ulur di antara
keduanya.
Untuk memutuskan apa yang mereka pikirkan dari mindset yang
salah itu, dan memutuskan mata rantai yang bervirus, serta kata akhir
dari ibadah kepada Allah dan ibadah kepada selain-Nya, turunlah surat
ini untuk menjelaskan manhaj, gambaran Allah, dan jalan yang perlu
ditempuh.
Dengan keputusan ini, atau dengan pernyataan sikap ini, atau bahkan
dengan pengulangan redaksi yang ada di dalamnya berakhirlah
negoisasi tanpa win-win solution. Nabi Muhammad tetap dalam
pendirian bahwa Islam tidak sama dengan kemusyrikan; tauhid yang
diajaknya berbeda sekali dengan kemusyrikan. Keputusan ini telah
memutus harapan persamaan dan tiada ruang damai di dalam akidah.
Islam tetap sebagai agama yang benar, dan Allah adalah Tuhan Yang
esa.

506
AL-KÂFIRÛN 109 JUZ 30

TIDAK ADA TOLERANSI DALAM HAL KEIMANAN DAN


PERIBADATAN
(QS al-Kâfirûn [109]: 1-6)
 IHGFEDCBA
 UTSRQPONMLKJ
`_^]\[ZYXWV
Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan
menyembah apa yang kamu sembah. Kamu bukan penyembah
Tuhan yang aku sembah. Aku tidak pernah menjadi penyembah
apa yang kamu sembah. Kamu tidak pernah (pula) menjadi
penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan
untukkulah, agamaku”.
Surat ini datang untuk mengungkapkan makna yang dalam istilah
diplomasi “pemutusan hubungan” artinya tidak ada titik untuk saling
memahami. Hanya saja pemutusan hubungan dalam dunia diplomasi
tidak konsisten, karena boleh jadi saat ini putus, karena ada kendala
untuk dipertemukan, tapi pada saat yang lain, ditemukan kondisi yang
memungkinkan untuk saling memahami, kenapa?
Karena ketika manusia menetapkan pemutusan hubungan, hal itu
terjadi akibat kondisi yang saat itu tidak dapat ditemukan titik saling
kesepahaman. Tapi pada waktu lain hal itu mungkin saja terjadi. Jadi
kondisi manusia itu selalu berubah. Perubahan kondisi manusia tidak
dapat dicegah. Manusia tidak tahu apa yang akan terjadi pada hari
kemudian. Pemikiran mereka juga terbatas, karena tidak mengetahui apa
yang terjadi di hari nanti.
Dalam surat al-Kafirun, dialog muslim-kafir bukan berasal dari diri
manusia semata, tapi ia berasal dari diri Muhammad yang diutus Allah.
Sedangkan Allah tidak pernah berubah. Ketika Dia menegaskan tentang
landasan akidah Islam yang tidak mungkin pernah akan dirubah, hingga
tidak mungkin ada saling kesepahaman walau pun di hari nanti. Seakan-
akan tema untuk saling memahami sudah merupakan harga mati untuk
diselesaikan pada hari itu untuk selamanya: hari ini dan masa depan.
Tiada yang tertinggal kecuali datangnya surat untuk menegaskan hal
itu. Untuk itu surat ini berisikan ayat yang diulang-ulang. ‫ﺮﻭ ﹶﻥ‬‫ﺮ‬‫ﻜﺎﻓ‬
‫ﻬﺎ ﺍﻟﹾﻜﹶ‬‫ﻬ‬‫ﻳﺎﺃﹶﻳ‬‫ﻗﹸﻞﹾ ﻳ‬

507
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

‫ﺪﺪﻭ ﹶﻥ‬ ‫ﺒ‬‫ﻌ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺒ‬‫ﻋ‬ ‫ ﹶﻻ ﹶﺃ‬katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan
menyembah apa yang kamu sembah. (QS al-Kâfirûn [109]: 1-2) tidak
untuk sekarang, tidak juga untuk masa depan. Maka untuk apa
berunding.
Isi perundingan yang mereka inginkan: Muhammad menyembah
tuhan kami beberapa lama, lalu kami menyembah Tuhannya beberapa
lama juga. Maknanya waktu penyembahan dibagi dua, sebagian untuk
tuhan mereka dan sebagian lagi untuk Tuhan Muhammad. Muhammad
akan sujud di depan patung dan memujanya, dan kami pun akan sujud di
depan Tuhannya.
Tata cara pelaksanaannya bisa dengan dua cara: pertama, dari segi
waktu. Kami menyembah Tuhanmu beberapa lama, kemudian kamu
menyembah tuhan kami beberapa lama. Kedua, dari segi ibadah,
artinya; kami menyembah Tuhanmu dan kamu menyembah tuhan kami
dalam waktu yang bersamaan.
Latar belakang masalah terletak pada ibadah itu sendiri. Sedangkan
ia merupakan landasan keyakinan bagi penganut. Ia bukanlah syariat
yang dapat dihapus/naskh. Ia tidak dapat dirubah oleh akal pikiran.
Karena hak penetapan syariat ibadah hanya ditentukan Allah. Dia
adalah Tuhan yang Esa, tidak memiliki sekutu. Ini telah disepakati sejak
turunnya Adam hingga risalah para rasul habis.
Jadi bukan terletak pada permasalahan yang dapat disesuaikan
dengan kondisi. Ini permasalahan yang tidak akan pernah berubah,
walau kondisi telah berubah.
Kemudian untuk apa perundingan ini? Mari kita diskusikan. Apakah
aku menyembah Allah atas dasar penetapan dari diriku atau berdasarkan
manhaj Allah? Dari Allah. Sedangkan mereka menyembah patung atas
dasar aturan yang mereka tetapkan sendiri. Jadi, diriku (Muhammad)
tidak punya andil dalam hal ini, sedangkan dirimu punya.
Juga, apakah sebelum diutus aku pernah menyembah tuhanmu,
hingga kamu begitu antusias mengajakku untuk menyembah tuhanmu?
Sebelum diutus menjadi rasul saja saya tidak pernah menyembah
tuhanmu, maka bagaimana pula kamu berambisi mengajak saya untuk
menyembahnya setelah menjadi rasul?
Jadi, menjadikan peribadatan ini sebagai topik perundingan,
merupakan kerjaan dungu. Perselisihan ini bukan terjadi antara saya
dengan kamu, tapi antara kamu dengan Allah. Saya sekedar menyampai
kan risalah. Jadi, bila ingin berunding, berundinglah dengan Allah.

508
AL-KÂFIRÛN 109 JUZ 30

Kamu memiliki otoritas untuk merubah dan mengatur, karena kamu


menganggap aturan lama itu salah hingga harus berubah. Tapi dalam
Islam aturan peribadatan itu datangnya bukan dari saya, saya hanya
penyampai, dan tidak memiliki hak intervensi dalam hal ini.
Untuk itu ditemukan Alquran tetap berambisi untuk menuliskan
pesannya dengan ‫ﻞ‬ ‫ ﻗﹸ ﹾ‬katakanlah. Bila kamu mengatakan kepada
seseorang: “Katakanlah kepada si Fulan bahwa Fulin akan
mengunjungimu.” Bila utusan itu pergi, apakah dia akan berkata:
“Katakanlah bahwa Fulin akan mengunjungimu,” atau apakah dia hanya
menyampaikan isi pesan itu saja? Tentu dia akan berkata isi pesan itu
tanpa berkata perintah pesan itu atau “katakanlah.”
‫ﺮﻭ ﹶﻥ‬‫ﺮ‬‫ﻬﺎ ﺍﻟﹾﻜﹶﻜﺎﻓ‬‫ﻬ‬‫ﻳﺎﺃﹶﻳ‬‫ ﻗﹸﻞﹾ ﻳ‬katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir. Allah
berfirman kepada rasulnya qul/katakanlah, bila Rasul tidak berkata qul/
katakanlah, dan langsung berkata: ‫ﺪﺪﻭ ﹶﻥ‬ ‫ﺒ‬‫ﻌ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺒ‬‫ﻋ‬ ‫ﻻ ﹶﺃ‬
‫ﺮﺮﻭ ﹶﻥ ﹶ‬ ‫ﻓ‬ ‫ﻬﺎ ﺍﹾﻟ ﹶﻜﻜﺎ‬‫ﻬ‬‫ﻳﺎﺃﹶﻳ‬‫ ﻳ‬hai orang-
orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah,
maka hal itu tidak boleh, karena merupakan teks dalam Alquran kata
qul/katakanlah, hingga para pendengar paham bahwa itu bukan hak
Muhammad. Ini menegaskan bahwa Muhammad tidak punya hak untuk
berunding dengan kaum kafir dalam hal akidah, atau berdiskusi untuk
merubahnya. Karena hal ini mutlak milik Allah, dan tidak ada intervensi
akal di dalam akidah.
Bila para penyembah berhala memiliki hak intervensi akal terhadap
apa yang disembah, maka Muhammad tidak memiliki hal itu, dia
hanyalah seorang penyampai. Untuk itu setiap ayat yang dimulai dengan
qul/katakanlah akan tetap tertulis qul dalam teksnya. Itu merupakan
bukti bahwa dia penyampai pesan risalah saja, tanpa ada hak intervensi
akal.
Ungkapan qul/katakanlah mengindikasikan bahwa saya penyampai
risalah saja, tidak lebih. Kemudian perundingan itu dari sisi lain cacat.
Apa kecacatan itu? Kamu mengakui ketuhanan Tuhanku, sedangkan
saya tidak mengakui ketuhanan patungmu. Bila ditanya siapa yang
menciptakanmu? Maka kamu akan menjawab: “Allah.” siapa yang
menciptakan langit dan bumi? Jawabmu: “Allah.” Jadi kamu beriman
dan mengakui keberadaan Allah, sedangkan saya tidak mengakui dan
beriman terhadap tuhanmu. Maka di sini tidak ditemukan titik
kesepahaman, maka bagaimana kita dapat berunding? Bagaimana kita
sepakat?

509
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Untuk itu Allah berfirman kepada Muhammad: ‫ﺮﻭ ﹶﻥ‬‫ﺮ‬‫ﻜﺎﻓ‬ ‫ﻬﺎ ﺍﻟﹾﻜﹶ‬‫ﻬ‬‫ﻳﺎﺃﹶﻳ‬‫ﻗﹸﻞﹾ ﻳ‬
katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir. Bila kata yâ ayyuha/wahai,
diucapkan maka ia mengindikasikan dua hal: pertama, sebagai ungkap
an penghormatan; kedua, ungkapan penghinaan. Itu karena yâ ayyuha/
wahai sebagai ungkapan panggil untuk orang yang jauh memiliki dua
makna. Pertama, jauh dari tempat yang suci seperti: ‫ﺮﻭ ﹶﻥ‬‫ﺮ‬‫ﻜﺎﻓ‬ ‫ﻬﺎ ﺍﻟﹾﻜﹶ‬‫ﻬ‬‫ﻳﺎﺃﹶﻳ‬‫ ﻳ‬sebagai
ungkapan penghinaan. Kedua, jauh tinggi di atas sebagai orang
terhormat yang wajar dipuji, seperti ‫ﻝ‬ ‫ﺳﺳﻮ ﹸ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻬﺎ ﺍﻟ‬‫ﻬ‬‫ﻳﺎﺃﹶﻳ‬‫ ﻳ‬wahai Rasulullah.
Di samping itu nabi juga menyatakan pemutusan hubungan, tidak
perlu lagi perundingan dan saling memahami antara mukmin dan kafir,
ketika dia berkata: ‫ﺮﻭ ﹶﻥ‬‫ﺮ‬‫ﻜﺎﻓ‬
‫ﻬﺎ ﺍﻟﹾﻜﹶ‬‫ﻬ‬‫ﻳﺎﺃﹶﻳ‬‫ ﻳ‬karena kata yâ ayyuha/wahai merupakan
peringatan bagi akal pikiran untuk tidak lupa akan hal yang akan
diucapkan. Hingga orang dipanggil itu pun berpaling untuk mendengar
semua pesan dan lebih dari itu ia dicap dengan stempel kafir, dan
diperlakukan dengan redaksi yang hina.
Allah berfirman: ‫ﺮﻭ ﹶﻥ‬‫ﺮ‬‫ﻜﺎﻓ‬ ‫ﻬﺎ ﺍﻟﹾﻜﹶ‬‫ﻬ‬‫ﻳﺎﺃﹶﻳ‬‫ ﻳ‬bukan ‫ﻭﻭﺍ‬ ‫ ﻛﹶﻔﹶﺮ‬‫ﻳﻦ‬‫ﺬ‬ ‫ﻬﺎ ﺍﻟﱠ‬‫ﻬ‬‫ﻳﺎﺃﹶﻳ‬‫ ﻳ‬itu karena mereka
dulunya bukanlah mukmin kemudian kafir, tapi sifat kafir telah melekat
pada diri mereka. Sejak dulu mereka telah kafir.
Arti kafara/kafir ialah satara/menutupi. Seakan-akan ada sesuatu
yang tanpak lalu ditutupi. Seakan-akan kafir itu bukanlah suatu yang
asli dalam diri manusia, tapi ia datang dan menghinggapinya. Jadi orang
kafir itu pada dasarnya adalah beriman kepada Allah, lalu datanglah
kekufuran, hingga merekapun menjadi kafir.
Apa yang mereka tutupi? Jawabnya: Iman kepada Allah. Seakan-
akan iman kepada Tuhan adalah fitrah manusia. Juga, karena Adam
telah menerima pesan dari Allah dan beriman kepada-Nya secara fitrah
manusia. Berdasarkan bukti dan dilengkapi dengan dalil. Namun
sayang, anak cucunya dihinggapi kelupaan oleh tradisi lingkungan.
Untuk itu Allah perlu mengingatkan kita saat lupa akan perjanjian
yang pertama kali diucapkan. (Ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini
Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat
kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”, atau agar

510
AL-KÂFIRÛN 109 JUZ 30

kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah


mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-
anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. (QS al-A'râf [7]: 172-
173)
Manhaj Ilahi ialah apa-apa yang diterima dari Allah. Ketika Allah
menciptakan makhluk, Dia berkata kepada Adam. Dia membantu lidah
Adam untuk berbicara, matanya untuk melihat, hidungnya untuk
mencium, dan hatinya untuk berkeyakinan, serta membantu hidupnya
untuk mengatur geraknya. Tinggallah satu hal, yaitu: mengajarkan
kepadanya nama-nama semua ini, setelah itu dikatakan ‫ﺪﻯ‬‫ﺪ‬‫ﻨﻨﻲ ﻫ‬‫ﻣ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻜ‬
‫ﻨ ﹸ‬‫ﻴ‬‫ﺗ‬‫ﻳ ﹾﺄ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ﻓﹶﹺﺈ‬
kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu. (QS al-Baqarah [2]: 38)
Sewajarnya ketika Adam mendapatkan manhaj dari Allah, dia
menyampaikannya kepada anak cucunya, dan seterusnya. Tapi,
bagaimana manhaj bisa pudar? Kapan itu terjadi? Manhaj memudar
akibat lupa, hal itu terjadi sejak priode pertama dari masa lupa itu
timbul. Kenapa pula lupa itu bisa datang? Itu karena manhaj Allah
mengatur gerak manusia dan mengikatnya, baik mengikat gerak ataupun
mengikat hawa nafsu. Setiap ikatan tugasnya cepat dilupakan manusia.
Hari ini ia bisa melupakan sebagian, dan bisa membenci sebagian yang
lain. Setelah itu lupa berkesinambungan, hingga hatipun berkarat.
Disebutkan dari Huzaifah bin al-Yaman, aku mendengar Rasulullah
bersabda: “Bila amanat turun ke dalam relung hati seseorang dan
dibekali dengan Alquran, maka mereka mengetahui Alquran dan
mengetahui hadis.”
Lalu Nabi bersabda tentang dicabutnya amanat dengan: “Seseorang
lelaki tidur lalu amanat pun dicabut dari hatinya, dan tinggallah
pengaruh amanat itu seperti bekas luka bakar dikulit.”
Kemudian dia tidur lalu amanat pun dicabut dari hatinya, tinggallah
bekasnya seperti bekas bisul yang melepuh, yang dapat digulingkan
oleh kakinya. Dia melihatnya terputus, dan tidak terikat dengan lainnya.
Kemudian Rasulullah mengambil kerikil dan digulingkan atas kakinya.
Huzaifah berkata: “Pada saat ini manusia mencari tapi tidak
ditemukan orang yang dapat menjalankan amanat hingga dikatakan
bahwa di Bani Fulan ada seorang yang jujur.”
Ini mengindikasikan bahwa amanat sudah mencapai titik nadir atau
barang langka. Dan ini mengindikasikan bahwa barometer prilaku sudah
berubah.
Hadis lain berbunyi: “Fitnah itu menyerang hati bagaikan orang

511
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

menganyam tikar. Bila hati itu menyambut fitnah itu tercaplah titik
hitam di hatinya. Bila hati itu menolaknya tercaplah titik putih di
hatinya. Hingga hati itu terbagi dua. Putih seperti bukit safa yang tidak
membahayakannya fitnah selama langit dan bumi masih ada. Dan yang
lain hitam seperti cangkir jubung yang miring, tidak dapat mengetahui
yang makruf dan tidak pula menolak yang mungkar. Ia mengisahkan
bahwa di antara kedua hatimu itu terdapat pintu yang hampir pecah.”
Jadi, asal kehidupan umat manusia itu beriman, baik secara fitrah
ataupun bukti. Dalilnya, apa-apa yang telah disampaikan Adam kepada
anak cucunya. Namun lupa bila datang, agama pun menjadi tidak
berarti.
Hanya saja lupa bila menghinggap individu dapat diingatkan oleh
individu lain dalam suatu masyarakat. Untuk itu amar makruf dan nahi
mungkar perlu disebarkan untuk mengingatkan mereka yang lupa dan
lalai. ‫ﲔ‬  ‫ﻨﹺ‬‫ﻣ‬‫ﺆ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻨﻔﹶﻊ‬ ‫ﺮﻯ ﺗ‬‫ ﻓﹶﹺﺈﻥﱠ ﺍﻟﺬﱢﻛﹾﺮ‬‫ﺫﹶﻛﱢﺮ‬‫ ﻭ‬dan tetaplah memberi peringatan,
karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang
beriman. (QS adz-Dzâriyât [51]: 55) Bila kerusakan telah menyebar dan
tidak ditemukan dalam masyarakat orang yang amar makruf dan nahi
mungkar, bagaimana kondisi ini? Pasti langit perlu turun tangan untuk
membuka babak baru dengan rasul yang baru, plus mukjizat yang baru
pula.
Jadi, lupa itu datang dahulu, lalu dibarengi dengan taklid orang tua
yang sesat, plus mengenyampingkan manhaj. Untuk itu bila hari kiamat
kelak Allah menepis semua alasan mereka dengan firmanNya: (Kami
lakukan yan g de mikian itu) aga r di ha ri k iamat ka mu ti dak
mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang
yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”, atau agar kamu tidak
mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah
mempersekutukan Tuhan sejak dahulu. (QS al-‘Arâf [7]: 172-173)
Jadi kata‫ﺮ‬ ‫ ﹶﻛ ﹶﻘ‬dalam ‫ﺮﻭ ﹶﻥ‬‫ﺮ‬‫ﻜﺎﻓ‬ ‫ﻬﺎ ﺍﻟﹾﻜﹶ‬‫ﻬ‬‫ﻳﺎﺃﹶﻳ‬‫ ﻗﹸﻞﹾ ﻳ‬yang berarti ‫ﺮ‬ ‫ﺳﺘ‬ menutupi,
membuktikan bahwa asal fitrah manusia itu ialah beriman kepada Allah,
lalu datanglah kekufuran menghinggap. Selama kufur yang datang.
Jadilah mereka orang yang merubah manhaj.
‫ﺪﺪﻭ ﹶﻥ‬ ‫ﺒ‬‫ﻌ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺒ‬‫ﻋ‬ ‫ﺮﻭ ﹶﻥ)( ﹶﻻ ﹶﺃ‬‫ﺮ‬‫ﻬﺎ ﺍﻟﹾﻜﹶﻜﺎﻓ‬‫ﻬ‬‫ﻳﺎﺃﹶﻳ‬‫ ﻗﹸﻞﹾ ﻳ‬katakanlah: “Hai orang-orang yang
kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. (QS al-
Kâfirûn [109]: 1-2) Jadi tidak ada tempat untuk saling memahami atau
tawar menawar, kenapa? Karena manhajmu dalam ketuhanan berbeda

512
AL-KÂFIRÛN 109 JUZ 30

dengan manhajku. Plus saya berbuat itu bukan atas dasar kehendakku,
sedangkan kamu melakukannya sesuai dengan keinginanmu. Aku tidak
pernah melakukan kemusyrikan, sedangkan kamu menyembah tuhanku
dengan berkata: “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya
mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.
(Qs az-Zumar [39]: 3) Jadi jurang pemisah antara kita cukup dalam.
Maka, kita tidak perlu untuk bertemu di tengah jalan, selamanya.
‫ﻢ‬ ‫ﺗ‬‫ﺪ‬ ‫ﺒ‬‫ﻋ‬ ‫ﻣﺎ‬‫ﺪ ﻣ‬ ‫ﻋﺎﹺﺑ‬‫ﻧﺎ ﻋ‬‫ﻻﹶ ﺃﹶﻧ‬‫ﺪ)(ﻭ‬ ‫ﺒ‬‫ﻋ‬ ‫ﻣﺎ ﹶﺃ‬‫ﺪﺪﻭ ﹶﻥ ﻣ‬ ‫ﻋﺎﹺﺑ‬‫ ﻋ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ﻻﹶ ﺃﹶﻧ‬‫ﺪﺪﻭ ﹶﻥ)(ﻭ‬ ‫ﺒ‬‫ﻌ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺒ‬‫ﻋ‬ ‫ﺮﻭ ﹶﻥ)( ﹶﻻ ﹶﺃ‬‫ﺮ‬‫ﻬﺎ ﺍﻟﹾﻜﹶﻜﺎﻓ‬‫ﻬ‬‫ﻳﺎﺃﹶﻳ‬‫ﻗﹸﻞﹾ ﻳ‬
katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah
apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku
sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu
sembah.” Maknanya perundingan ini tidak ada gunanya untuk dimulai.
Karena mulainya perundingan bila terdapat kondisi yang berubah.
Sedangkan dalam masalah akidah tidak pernah mengalami perubahan.
Kenapa? Karena manhaj Allah tetap berisikan tauhid. Jadi posisiku hari
ini, merupakan posisiku untuk selamanya. Selama hal ini telah
diputuskan, maka bagimu landasan pikiranmu, dan bagiku landasan
pikiranku.
Alquran ketika berbicara, tidak mungkin peristiwa kehidupan dapat
membatalkannya, bagaimana? Karena setelah itu mereka masuk ke
dalam agama Allah berbondong-bondong. Jadi datangnya Alquran surat
ini: ‫ﺢ‬
 ‫ﻭﺍﻟﹾﻔﹶﺘ‬‫ ﻭ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺮ‬‫ﺼ‬‫ﺟﺎﺀَ ﻧ‬‫ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺟ‬apabila telah datang pertolongan Allah dan
kemenangan, (QS an-Nashar [110]: 1) mengindikasikan bahwa
permasalahan bagiku agamaku dan bagimu agamamu tidak berlangsung
lama. Itu semua akan berakhir dengan kemenangan di pihakku. Agama
yang dianut di daerah Semenanjung Arab akhirnya hanya satu, yaitu:
Islam. Jadi semuanya bersatu untuk Allah.
Hubungan surat an-Nashr dengan al-Kâfirûn untuk menerangkan
bahwa QS al-Kâfirûn [109]: 2-5 hanya terjadi saat perundingan
dilaksanakan saja. Adapun kelangsungan kafir yang bertuhan dan
penyembahnya yang eksis tidak akan terjadi, karena setelah itu orang
akan masuk ke dalam Islam berbondong-bondong.
Sejarah hidup mendukung pernyataan ini. Untuk itulah kita lihat
kaitan yang begitu erat antara keduanya, walaupun surat an-Nashr tidak
turun setelah surat al-Kafirûn.***

513
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

514
AN-NASHR 110 JUZ 30

SURAT 110
AN-NASHR
(MAKKIYAH)

515
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

516
AN-NASHR 110 JUZ 30

PERTOLONGAN DAN KEMENANGAN ITU DATANGNYA


DARI ALLAH, MAKA PUJILAH DIA
(QS an-Nashr [110]: 1-3)
 fedcba
 nmlkjihg
wvutsrqpo
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan
kamu Lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-
bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan
mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Penerima taubat.
Bila dilihat ayat pertama dan kedua ditemukan bahwa hal itu
merupakan tanda dari tanda-tanda kenabian. Maksudnya, bahwa Allah
menginformasikan kepada nabinya berita gembira di saat susah; atau
kabar bahagia di saat sempit; atau info optimis di saat mukmin tidak
melihat secercah harapan untuk menang atas kaum kafir.
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Seakan-
akan Allah mengumandangkan berita gaib bahwa kemenangan pasti
akan datang, tanpa sedikit pun keraguan. Bila kemenangan datang ayat:
‫ﺑﺎ‬‫ﻮﺍﺑ‬‫ﻮ‬‫ ﻛﹶﻛﺎﻥﹶ ﺗ‬‫ﻧﻪ‬‫ﻩ ﹺﺇ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻐﻔ‬ ‫ﺘ‬‫ﺳ‬ ‫ﻭﻭﺍ‬ ‫ﻚ‬
 ‫ﺑ‬‫ ﺭ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ ﹺﺑﺤ‬‫ﺢ‬‫ﺒ‬‫ ﻓﹶﺴ‬maka bertasbihlah dengan memuji
Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah
Maha Penerima taubat.
Informasi ini terkait dengan peristiwa yang akan terjadi, di masa
mendatang. Dalam Alquran informasi tentang hal gaib banyak
ditemukan. Hal gaib itu ada tiga, gaib dari segi tempat, gaib dari segi
masa lalu, dan gaib dari segi masa depan.
Gaib dari segi tempat. Bila terjadi suatu peristiwa saat ini di tempat
lain, maka hal itu merupakan gaib bagimu. Apa yang menyebabkan ia
gaib? Tidak lain adalah perbedaan tempat. Selain itu gaib juga terkait
dengan waktu lalu dan akan datang. Gaib itu hanya berlaku bagi
manusia. Bagi Allah tidak ada istilah gaib. Jadi, tidak ada tempat yang
gaib bagi Allah, tidak ada masa lalu dan masa depan yang gaib bagi-
Nya.
Untuk itu ditemukan Alquran ketika memaparkan hal gaib yang
terkait dengan masa lalu di mana Rasul tidak mengetahuinya dengan

517
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

berkata: ‫ﻄ ﹸﻠﻠﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﺒ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺏ ﺍﹾﻟ‬


 ‫ﺗﺎ‬‫ﺗ‬‫ ﺇﹺﺫﹰﺫﺍ ﻻﹶﺭ‬‫ﻤﻴﻨﹺﻚ‬‫ﻤ‬‫ ﺑﹺﻴ‬‫ﻄﱡﻪ‬‫ﺨ‬‫ﻭ ﹶﻻ ﺗ‬ ‫ﺏ‬
‫ﺘﺎ ﹴ‬‫ﺘ‬‫ ﻛ‬‫ﻦ‬‫ﻪ ﻣ‬ ‫ﻠ‬ ‫ﺒ‬ ‫ﻦ ﹶﻗ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺘ ﹸﻠﻠﻮ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﺖ‬ ‫ﻣﺎ ﻛﹸﻨ‬‫ﻭﻣ‬ dan
kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Alquran) sesuatu Kitab pun
dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu;
andai kata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah
orang yang mengingkari (mu). (QS al-Ankabût [29]: 48) Maknanya
kamu tidak pernah membaca buku apapun, tidak pula pernah
mendengarnya dari orang lain, hingga datanglah berita kepadamu yang
menembus masa lalu.
Peristiwa itu telah terjadi dan telah pula dilupakan. Selama engkau
tidak pernah membaca maka hal itu merupakan informasi dari Allah
yang terkait dengan peristiwa masa lalu. Setiap kata wa mâ kunta dalam
Alquran dapat dipahami dalam konteks seperti ini.
Seperti: wa mâ kunta/dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi
yang sebelah barat ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa,
dan tiada pula kamu termasuk orang-orang yang menyaksikan. Tetapi
Kami telah mengadakan beberapa generasi, dan berlalulah atas mereka
masa yang panjang, dan tiadalah kamu tinggal bersama-sama
penduduk Mad-yan dengan membacakan ayat-ayat Kami kepada
mereka, tetapi Kami telah mengutus rasul-rasul. (QS al-Qashash [28]:
44-45)
Wa mâ kunta/kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka
melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa di
antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan kamu tidak hadir
di sisi mereka ketika mereka bersengketa. (QS Ali 'Imran [3]: 44)
Wa mâ kunta/kamu tidak berada pada sisi mereka, ketika mereka
memutuskan rencananya (untuk memasukkan Yusuf ke dalam sumur)
dan mereka sedang mengatur tipu daya. (QS Yûsuf [12]: 102)
Setelah itu kita berpindah pada tempat, ditemukan juga Allah telah
menembus tempat ini, seperti: ‫ﻬﻮﺍ‬‫ﻬ‬‫ﻤﺎ ﻧ‬‫ﻤ‬‫ﺩﻭﻥﹶ ﻟ‬‫ﻌﻮﺩ‬‫ﻌ‬‫ ﻳ‬‫ﻮﻯ ﺛﹸﻢ‬‫ﻮ‬‫ﺠ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﻨ‬‫ﻬﻮﺍ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ﻦ ﻧ‬  ‫ﺬﺬﻳ‬ ‫ﺮ ﹺﺇﹶﻟﻟﻰ ﺍﱠﻟ‬ ‫ ﺗ‬‫ﺃﹶﻟﹶﻢ‬
‫ﻪ‬ ‫ﻨ‬ ‫ﻋ‬
apakah tiada kamu perhatikan orang-orang yang telah dilarang
mengadakan pembicaraan rahasia, kemudian mereka kembali (menger
jakan) larangan itu. (QS al-Mujâdalah [58]: 8) Makna ‫ﻮﻯ‬‫ﻮ‬‫ﺠ‬‫ ﺍﻟﻨ‬ialah
menyampaikan rahasia kepada orang lain. Yatanâjauna/mereka
mengadakan pembicaraan rahasia untuk berbuat dosa, permusuhan dan
durhaka kepada Rasul. Apabila mereka datang kepadamu, mereka
mengucapkan salam kepadamu dengan memberi salam yang bukan
sebagai yang ditentukan Allah untukmu. Mereka mengatakan pada diri

518
AN-NASHR 110 JUZ 30

mereka sendiri, (QS al-Mujâdalah [58]: 8) Dari yang seharusnya kaum


kafir mengucapkan: “Salam ‘alaikum,” mereka mengatakan: “Saam
‘alaikum/celakalah bagi kamu sekalian.” Kata mereka lagi: “Kalaulah
benar dia seorang nabi, niscaya Tuhan kita akan menginformasikan apa
yang kita ucapkan ini.
Jadi peristiwa itu terjadi pada saat itu, namun ia terpisah tempat dan
tersembunyi darinya, namun Allah menginformasikan hal itu kepadanya
dengan ungkapan-Nya: ‫ﻝ‬ ‫ﻧ ﹸﻘﻘﻮ ﹸ‬ ‫ﻤﻤﺎ‬ ‫ﻪ ﹺﺑ‬ ‫ﻨﻨﺎ ﺍﻟ ﱠﻠ‬‫ﺑ‬‫ﻌ ﱢﺬ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻮ ﹶﻻ‬ ‫ﻢ ﹶﻟ‬ ‫ﺴ ﹺﻬ‬
ِ ‫ﻔﹸ‬‫ﻓﻓﻲ ﺃﹶﻧ‬ ‫ﻳ ﹸﻘﻘﻮﹸﻟﻟﻮ ﹶﻥ‬‫ﻭ‬ mereka
mengatakan pada diri mereka sendiri: “Mengapa Allah tiada menyiksa
kita disebabkan apa yang kita katakan itu?” (QS al-Mujâdalah [58]: 8)
Jadi, ayat ini menembus tirai tempat yang terjadi saat itu.
Tinggallah penembus tirai masa depan. Masa depan adalah sesuatu
yang tidak dapat diprediksi manusia. Kenapa? Karena peristiwa itu
selalu terkait dengan beberapa hal, di antaranya: ia perlu kepada pelaku,
objek, sebab dan kemampuan untuk melaksanakannya. Sebagai contoh:
“Besok, saya akan pergi ke rumah Fulan untuk berbicara suatu hal.” Di
sini, saya sebagai pelaku, ke rumah Fulan sebagai objek, berbicara itu
sebab kepergian, dan pergi itu sendiri membutuhkan kemampuan untuk
melakukannya.
Kita katakan: “Wahai manusia, apa yang kamu miliki dari perangkat
ini hingga kamu dapat melaksanakannya?” Kamu tidak memiliki dirimu
sendiri, hingga kamu dapat hidup hingga esok hari. Anggaplah kamu
dapat hidup sampai besok tapi kamu tidak dapat menjamin kehidupan
Fulan hingga dapat bertemu dengannya. Anggaplah kamu berdua tetap
hidup, tapi alasan untuk berbicara suatu hal saat bertemu mungkin saja
tidak tercapai. Anggaplah semuanya ada, tapi mungkinkah kamu
mempunyai kekuatan untuk pergi ke sana, karena boleh jadi ditemukan
faktor-faktor yang menghambat hal itu.
Untuk itu kita dianjurkan Allah bila berjanji untuk hari esok dengan
firman-Nya: ‫ﻪ‬ ‫ﺸﺎ َﺀ ﺍﻟﱠﻠ‬
‫ﺸ‬
 ‫ﺪﺪﺍ)(ﹺﺇ ﱠﻻ ﹶﺃﻥﹾ ﻳ‬ ‫ﻚ ﹶﻏ‬  ‫ﻞﹲ ﺫﹶﻟ‬‫ﻧﻲ ﻓﹶﻓﺎﻋ‬‫ﺀٍ ﺇﹺﻧ‬‫ﻲ‬‫ﺸ‬‫ ﻟ‬‫ﻘﹸﻘﻮﻟﹶﻦ‬‫ﻻﹶ ﺗ‬‫ ﻭ‬jangan sekali-
kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: “Sesungguhnya aku akan
mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut): “Insya Allah”.
(QS al-Kahfi [18]: 23-24) selama kecuali (dengan menyebut): “Insya-
Allah” berarti kamu telah menyerahkan segala urusan kepada Zat yang
memiliki urusan ini. Hingga, bila kamu tidak mampu melaksanakannya,
maka kamu tidak dicap sebagai pendusta. Ingatlah kepada Tuhanmu
jika kamu lupa dan katakanlah: “Mudah-mudahan Tuhanku akan
memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada

519
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

ini”. (QS al-Kahfi [18]: 24)


Ini terkait pada peristiwa masa depan. Masa depan itu pada
hakikatnya hanyalah milik Allah sang pemilik masa depan. Sedangkan
masa depan itu sendiri tidak dapat menguasai diri untuk memutuskan
peristiwa yang terjadi saat itu. Untuk itu ketika kita mendengar Allah
berfirman: ‫ﻩ‬ ‫ﺠ ﹸﻠﻠﻮ‬
‫ ﹺ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ ﻓﹶﻼﹶ ﺗ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺮ‬‫ﺗﻰ ﺃﹶﻣ‬‫ ﺃﹶﺗ‬telah pasti datangnya ketetapan Allah
maka janganlah kamu meminta agar disegerakan (datang) nya. (QS an-
Nahl [16]: 1) Kata ‫ﺗﺗﻰ‬‫ ﹶﺃ‬telah datang adalah fiil madhi/past tense
sedangkan ‫ﻩ‬ ‫ﺠ ﹸﻠﻠﻮ‬
‫ ﹺ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ ﻓﹶﻼﹶ ﺗ‬jangan tergesa-gesa adalah fiil mudhari’/present
tense, lalu bagaimana ini diletakkan dengan fiil madhi? Jawabannya,
selama Allah yang berkata ‫ﺗﺗﻰ‬‫ ﹶﺃ‬telah datang, maka dia pasti datang
karena tidak ada istilah masa depan bagi-Nya.
Begitu juga halnya dengan wahyu untuk Nabi Muhammad di mana
Allah mewahyukan kepada Nabinya di saat dakwah Islam penuh dengan
siksaan yang menimpa dai dan pengikutnya, atau bahkan mereka
mengalami embargo, di mana orang lain tidak boleh berniaga dengan
mereka, pada saat itu tidak ditemukan sedikitpun secercah harapan akan
kondisi yang akan berubah menuju kebaikan, Dia berfirman pada QS an
-Nashar [110]: 1-3.
Nabi Muhammad tidak mungkin berkehendak untuk mengadu nasib
dengan dakwah Islam yang tidak jelas finalnya. Tentu dia tidak berani
berspekulasi untuk berkata: ‫ﺢ‬  ‫ﻭﺍﻟﹾﻔﹶﺘ‬‫ ﻭ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺮ‬‫ﺼ‬‫ﺟﺎﺀَ ﻧ‬‫ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺟ‬apabila telah datang
pertolongan Allah dan kemenangan. Bila kemudian hal itu terjadi.
Namun karena dia tidak mengatakan suatu pernyataan, kecuali dia yakin
benar bahwa ia merupakan wahyu Allah. Dia yakin benar bahwa Zat
yang mengatakan hal itu berkuasa untuk menciptakan peristiwa sesuai
dengan yang dikatakannya, dan tidak mungkin ada kekuatan lain yang
dapat menghambat kehendak-Nya.
Bila Rasulullah berkata, Allah berfirman: “Apabila telah datang
pertolongan Allah dan kemenangan,” maka pernyataan itu langsung
menjadi Alquran yang dibaca, Alquran yang dinilai ibadah bila
membacanya, seakan-akan ia merekam pernyataan itu dalam hatinya,
dan sesuatu tidak mungkin direkam dalam dirinya bila hal itu tidak
terjadi dalam realita. Kalau tidak, tentu dia telah menghancurkan
seluruh bagian dakwah berikut dainya (dirinya sendiri).
Seperti ungkapan Umar: “Saya dulu tidak tahu maksud ‫ﻊ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺠ‬  ‫ ﺍﻟﹾ‬‫ﻡ‬‫ﺰ‬‫ﻬ‬‫ﻴ‬‫ﺳ‬

520
AN-NASHR 110 JUZ 30

‫ﺮ‬ ‫ﺑ‬‫ﻟﱡﻟﻮﻥﹶ ﺍﻟﺪ‬‫ﻮ‬‫ﻳ‬‫ ﻭ‬golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur
ke belakang. (QS al-Qamar [54]: 45) hingga datang perang Badar, di
mana Rasulullah berkata: “Golongan itu pasti akan dikalahkan dan
mereka akan mundur ke belakang.” (QS al-Qamar [54]: 45) Benar,
inilah makna yang dimaksud. Karena ‫ﻡ‬ ‫ﺰ‬ ‫ﻬ‬‫ﻴ‬‫ ﺳ‬mengandung peristiwa di
masa depan. Jadi, Zat yang berkata itu Dialah yang mampu
menundukkan segala sesuatu sesuai dengan hikmah-Nya. Ini merupakan
wahyu yang terkait dengan masa depan.
Begitu juga halnya dengan hijrah ke Madinah, di mana kondisi
mereka saat itu berada pada dua posisi yang berat: beriman kepada
ajaran agama dan ujian berat yang akan dihadapi. Di samping itu bangsa
Arab tidak lepas hidup dari senjata, hingga mereka berangan-angan, bila
suatu saat dapat hidup aman dan tentram tanpa senjata. Pada saat itulah
turun firman Allah:
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-
sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia
telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan
sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-
Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman
sentausa. (QS an-Nûr [24]: 55)
Jadi, suasana dan kondisi yang ada tidak dapat mengatur ketentuan
Allah. Benar, inilah realita. Sarana dan kondisi saat itu tidak mendukung
apa yang diucapkan Allah. Tapi ketika Allah berkata: “Selama Aku
yang berkata, dan Aku yang menjanjikan, maka semua itu menjadi pasti.
Niscaya nanti akan Aku jadikan kamu menjadi khalifah atau penguasa
di bumi, walaupun pada saat ini kamu masih lemah.”
Dakwah pada saat itu tidak memiliki masa depan yang cerah, atau
dakwah pada masa itu tidak ada titik jaya sedikitpun. Tidak juga
dakwah pada saat itu menampakkan titik kemajuan yang bertahap
hingga dapat diprediksi sekian tahun kemudian ia jaya. Tidak, tidak ada
tanda-tanda untuk itu, tapi Allah berkata kepada mereka tentang
peristiwa yang akan terjadi.
Di samping itu ditemukan juga fenomena lain yang terkait dengan
wahyu untuk masa depan. Pada saat itu para sahabat sangat merisaukan
keamanan Rasulullah, mereka silih berganti menjaga diri Rasul. Pada
suatu saat Rasul meminta mereka untuk tidak lagi menjaganya.

521
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Tepatnya ketika Allah berfirman: ‫ﺱ‬ ‫ﻨﺎ ﹺ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻚ‬‫ﻤ‬‫ﺼ‬‫ﻌ‬‫ ﻳ‬‫ﻭﻭﺍﻟﻠﱠﻪ‬ Allah memelihara
kamu dari (gangguan) manusia. (QS al-Mâidah [5]: 67)
Seorang wanita Belgia saat membaca ayat ini berikut sirah Rasul
berkata: “Manusia ini, kalaupun dapat menipu seluruh manusia, tapi dia
tidak mungkin akan mendustai dirinya.”
Jiwa raganya adalah harga yang paling mahal dalam hidup ini.
Kalau dia dapat mendustai manusia apakah dia mampu mendustai
dirinya dan berkata Aku dilindungi Allah, hingga para pengawal itu
pergi, lalu ia pun dibunuh? Tentu apa yang diucapkannya ini benar
turun dari Zat yang mampu melindungi manusia. Dan itulah yang
terjadi.
Dalam dua pertempuran terkenal ditemukan sosok Nabi yang
pemberani. Sebagai contoh dalam perang Uhud, dia telah membuka
identitas dirinya di hadapan manusia dengan bersabda: “Kepadaku
wahai hamba Allah 3x.” Saat itu dia sendiri berdiri menghadapi musuh.
Begitu juga pada perang Hunain, ketika umat Islam terlena dengan
jumlah besar mereka, hingga terjadilah apa yang terjadi. Nabi
Muhammad naik ke atas untanya sedangkan Abbas memegang tali
kekangnya untuk menghalang unta yang pergi menghadapi musuh, yang
akan mengancam keselamatan Nabi. Tapi, Rasulullah meninggalkan
unta dan berdiri maju di hadapan musuh. Tidak saja sampai di situ,
lihatlah kepada keyakinannya bahwa Allah melindunginya. Dia pun
berkata: “Sayalah Nabi.”
Seakan-akan dia berkata: “Hai orang yang tak tahu, akulah
Muhammad yang engkau cari,” Ia menyatakan eksistensi dirinya dan
posisinya. Itu semua dilakukannya tidak lain karena keyakinannya yang
penuh terhadap Allah yang telah berkata pada QS al-Mâidah [5]: 67 di
atas.
Surat yang sedang dibahas ini merupakan bukti dari tanda kenabian.
Karena ‫ﺟﺎ َﺀ‬ ‫ﺟ‬ ‫ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ‬maknanya bahwa ayat itu telah turun sebelum peristiwa
terjadi. Surat ini memiliki arti zahir dan batin atau ia memiliki arti yang
tersurat dan tersirat.
 ‫ﻭﺍﻟﹾﻔﹶﺘ‬‫ ﻭ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺮ‬‫ﺼ‬‫ﺟﺎﺀَ ﻧ‬‫ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺟ‬apabila telah datang pertolongan Allah dan
‫ﺢ‬
kemenangan. Kedatangan kemenangan dan pembukaan, memerlukan
dua hal yaitu tasbih dan tahmid ‫ﻚ‬  ‫ﺑ‬‫ ﺭ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ ﺑﹺﺤ‬‫ﺢ‬‫ﺒ‬‫ ﻓﹶﺴ‬maka bertasbihlah dengan
memuji Tuhanmu. Dan istighfar serta taubat ‫ﺑﺎ‬‫ﻮﺍﺑ‬‫ﻮ‬‫ ﻛﹶﻛﺎﻥﹶ ﺗ‬‫ﻧﻪ‬‫ﻩ ﹺﺇ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻐﻔ‬ ‫ﺘ‬‫ﺳ‬
 ‫ﻭﻭﺍ‬ dan

522
AN-NASHR 110 JUZ 30

mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha


Penerima taubat. (QS an-Nashar [110]: 3)
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Kata an-
nashr atau kemenangan menunjukkan adanya dua pasukan yang bertikai
salah satunya meraih kemenangan. Sedangkan al-fath/pembukaan
adalah masuknya orang ke dalam agama tanpa pertikaian. Menurut ayat
ini, kedua hal ini nashr dan fath akan datang. Dilanjutkan lagi, bahwa
mereka tidak saja masuk Islam tanpa perang, tapi mereka juga rela
terhadap peristiwa yang terjadi, jika mereka berontak dan mengadakan
perlawanan, umat Islampun siap dan mampu mengadakan perlawanan.
Jadi akan datang an-nashr dan al-fath. An-Nashr menunjukkan kesiapan
tempur dan kekuatan lengkap plus dukungan penuh dari Allah,
sedangkan al-fath masuknya agama dengan cara damai tanpa perang.
Untuk itu bila dilihat perjalanan dakwah Islam ditemukan
perkembangannya begitu pesat di dunia ini. Hal ini tidak pernah dialami
oleh penyebaran misi agama manapun. Hanya dengan setengah abad ia
telah tersebar dari Timur ke Barat. Ini sungguh fantastis. Itu karena
manusia sangat paham bahwa Islam lebih senang tersebar dengan cara
al-fath yang direspons secara positif oleh masyarakat setempat.
Maksudnya, kondisi masyarakat pada saat itu sedang rusak, dan mereka
sangat mengharapkan agama dari pihak mukmin yang dapat
menyelamatkan mereka dari unsur kejahatan. Bila hal ini terjadi, pasti al
-fath tercapai.
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.
Mayoritas kabilah Arab menanti peperangan antara Quraisy dengan
Rasulullah. Mereka berkata: “Biarkanlah dia dengan kaumnya.” Bila dia
menang dalam melawan mereka, maka dia berada di pihak yang benar.
Tapi bila dia kalah, maka sampai di sinilah riwayat hidupnya. Mereka
semua berdiri pada posisi netral.
Saat mereka mengetahui bahwa berperang dengan Quraisy, dan
Quraisy sebelumnya telah berperang -walaupun bukan dengan
Muhammad- dengan tentara bergajah. Di mana Allah memenangkan
mereka atas Abrahah. Dia menghancurkan tentara bergajah. Hingga
mereka berkata: “Mereka, kalau tidak dapat menolong diri sendiri, maka
langit akan menolong mereka. Karena pengalaman mereka dengan
Baitullah telah membuktikan hal itu.”
Mereka berkata lagi: “Kita lihat saja nanti, saat Quraisy berperang
melawan Muhammad, apakah Allah menolong mereka?” Jadi, bila
ditemukan satu dari pihak yang berperang itu dibantu Allah maka pihak

523
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

itulah yang benar dan pihak lain yang kalah berada di pihak yang salah.
Itulah kondisi kabilah Arab yang menunggu peperangan antara
Rasulullah dan Quraisy. Maka saat terjadi Fathu Makkah, mereka pun
yakin bahwa Muhammad berada di pihak yang benar, hingga masuklah
mereka dalam Islam berbondong-bondong yang sebelumnya mereka
hanya masuk satu persatu. Itulah namanya an-nashr dan al-fath.
 ‫ﺑ‬‫ ﺭ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ ﺑﹺﺤ‬‫ﺢ‬‫ﺒ‬‫ ﻓﹶﺴ‬maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu. (QS an-
‫ﻚ‬
Nashar [110]: 1-3) Terdapat hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dari
Aisyah berkata: “Bahwa Rasulullah pada akhir hayatnya selalu
mengucapkan ‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬ ‫ ﹺﺇﹶﻟ‬‫ﺗﻮﺏ‬‫ﺃﹶﺗ‬‫ ﺍﷲ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﻔ‬‫ﻐ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﹶﺳ‬‫ﻩ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺑﹺﺤ‬‫ﺤﺎ ﹶﻥ ﺍﷲ ﻭ‬
‫ﺤ‬‫ﺒ‬‫ ﺳ‬Ia mengatakan itu
sebagai penyesuaian atas ungkapannya: “Bahwa Tuhanku telah
mewahyukan kepadaku bahwa aku akan melihat tanda pada umatku dan
memerintahkanku bila telah melihatnya untuk bertasbih, tahmid dan
istighfar karena Dia Maha Penerima Taubat. Aku pun telah melihatnya.
Lalu dia membaca apabila telah datang pertolongan Allah dan
kemenangan.
Di sini ditemukan permintaan maka bertasbihlah dengan memuji
Tuhanmu. Arti tasbih ialah tanzîh/pensucian . Arti tanzîh/ialah
mensucikan Allah dari sifat-sifat yang mustahil, dan menyerupai
makhluk. Sedangkan hamida/memuji terkait dengan sifat Allah yang
sempurna yang telah memberikan banyak karunia. Jadi, dalam ayat ini
terdapat unsur negatif dan sifat-sifat mustahil dan positif dalam bentuk
pujian. Bentuk negatif datang dalam bentuk subhana sedangkan positif
datang dalam bentuk hamd/pujian.
Ketika dikatakan maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu,
apakah mashdar hamd/ ini merujuk kepada fâil atau kepada mafûl atau
apakah artinya pujilah Allah sebagai pelaku atau pujilah Allah sebagai
Zat yang patut di puji.
Arti bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu jadilah kamu pemuji
Allah sebagai Zat yang wajib dipuji dengan pujian yang bukan berasal
dari ungkapan makhluk. Kenapa? Karena pujian terhadap Zat yang
dipuji harus sesuai dengan kesempurnaan sifat yang dipuji itu. Lalu,
siapa di antara manusia yang dapat mengetahui kesempurnaan Allah?
Siapa di antara manusia yang dapat mengungkapkan pujian yang sesuai
dengan keagungan Allah? Tidak seorang pun. Jadi, merupakan rahmat
Allah terhadap hamba-Nya dengan mengajarkan mereka tata cara
memuji diri-Nya. Dia berfirman kepada mereka, katakanlah: “Alhamdu
lillah.” Selama Allah telah mengajarkan kata cara memuji, maka Dialah

524
AN-NASHR 110 JUZ 30

yang menjamin kelayakan pujian untuk diri-Nya. Karena pujian itu


bersumber dari-Nya dan bukan dari redaksi kita.
Kalaulah pujian itu diserahkan kepada makhluk, bagaimana halnya
dengan yang tidak mampu merangkai kata-kata pujian? Sedangkan Dia
adalah Tuhan bagi semua makhluk. Jadi, ketika Allah memberi tahu tata
cara memuji-Nya itu merupakan satu wujud kasih sayang-Nya terhadap
kita semua.
Jadi, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu maknanya pujian
yang bersumber dari Tuhanmu. Untuk itu Rasulullah bersabda:
 ِ‫ﻔﹾﺴ‬‫ﻠﹶﻠﻰ ﻧ‬‫ ﻋ‬‫ﺖ‬‫ﻴ‬‫ﻤﺎ ﺃﹶﺛﹾﻨ‬‫ ﻛﹶﻤ‬‫ﺖ‬‫ ﺃﹶﻧ‬‫ﻚ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻨﻨﺎﺀً ﻋ‬‫ﺼﻰ ﺛﹶ‬
‫ﻚ‬ ‫ﺼ‬
 ‫ﺣ‬ ‫ﻚ ﹶﻻ ﹸﺃ‬
 ‫ﻨ‬‫ﺤ‬
 ‫ﺒ‬‫ﺳ‬
Atau bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu jadilah kamu seorang
pemuji kepadaNya, bertasbihlah dengan tasbih yang dibarengi dengan
pujian. Dalam kata lain, berikanlah tasbih untuk menafikan sifat
mustahil bagi Allah dan berikanlah tahmid untuk menetapkan syukur
kepadaNya.
‫ﺑﺎ‬‫ﻮﺍﺑ‬‫ﻮ‬‫ ﻛﹶﻛﺎﻥﹶ ﺗ‬‫ﻧﻪ‬‫ﻩ ﹺﺇ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻐﻔ‬ ‫ﺘ‬‫ﺳ‬ ‫ﻭﻭﺍ‬ sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.
Beristighfar merupakan perintah wajar, tapi alasan karena Allah Maha
penerima taubat tidaklah sejalan. Yang sejalan itu ialah: “Bertaubatlah
karena Ia Maha Penerima Taubat” atau “beristighfarlah karena ia Maha
Pengampun.”
Dijawab, gaya ini merupakan gaya tertib al-faidah. Apa tertib al-
faidah itu? Yaitu: menyebutkan dua unsur, lalu disebutkan satu unsur di
awal dan dihapus pada kedua, lalu datang unsur kedua, dihapus di awal,
lalu disebut pada posisi kedua.
Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang
telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan
(segolongan) yang lain kafir. (QS Âli 'Imrân [3]: 13) redaksi ayat ini
tidak sempurna. Karena yang selaras itu ialah bila satu peperangan di
jalan Allah, maka yang lain berperang di jalan setan, atau bila satu pihak
kafir maka pihak lain mukmin. Dengan disebutkan ayat seperti di atas,
terhapuslah mukminah lawan dari kafirah sebagaimana terhapus fi sabil
syaitan/jalan setan lawan dari fi sabilillah/jalan Allah.
Kembali ke ayat utama, di mana seakan-akan Allah berfirman:
‫ﺭﺍ‬‫ ﻛﹶﻛﺎﻥﹶ ﻏﹶﻔﱠﻔﺎﺭ‬‫ﻪ‬‫ﻢ ﹺﺇﻧ‬ ‫ﺑ ﹸﻜ‬‫ﺭ‬ ‫ﺮﻭﺍ‬‫ﺮ‬‫ﻔ‬‫ﻐ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﺳ‬mohonlah ampun kepada Tuhanmu,
sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. (QS Nûh [71]: 10)
‫ﺑﺎ‬‫ﻮﺍﺑ‬‫ﻮ‬‫ ﻛﹶﻛﺎﻥﹶ ﺗ‬‫ﻧﻪ‬‫ﻪ ﹺﺇ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺐ ﹶﺃﹶﻟ‬  ‫ﺗ‬‫ ﻭ‬dihapuskannya ‫ﺭﺍ‬‫ ﻏﹶﻔﱠﻔﺎﺭ‬dan ‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬ ‫ ﹶﺃﹶﻟ‬‫ﺐ‬‫ﺗ‬‫ ﻭ‬merupakan
kehendak Allah untuk mendidik nalar hamba-Nya dengan redaksi

525
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

singkat itu.
Bukti dari redaksi singkat itu, hadis yang diriwayatkan Aisyah yang
berkata: Bahwa Rasulullah saw di akhir hayatnya selalu mengucapkan
‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬ ‫ ﹺﺇﹶﻟ‬‫ﺗﻮﺏ‬‫ﺃﹶﺗ‬‫ ﺍﷲ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﻔ‬‫ﻐ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﹶﺳ‬‫ﻩ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺑﹺﺤ‬‫ﺤﺎ ﹶﻥ ﺍﷲ ﻭ‬
‫ﺤ‬‫ﺒ‬‫ ﺳ‬selama Nabi berkata: ‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬ ‫ ﹺﺇﹶﻟ‬‫ﺗﻮﺏ‬‫ﺃﹶﺗ‬‫ ﺍﷲ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﻔ‬‫ﻐ‬‫ﺘ‬‫ﺍﹶﺳ‬
maka ditemukan dua hal yang berbeda: istighfar dan taubat.
Taubat artinya aliyab atau kembali, sedangkan istighfar ialah mohon
ampun karena manusia telah melakukan dosa. Jadi istighfar akibat dosa
yang telah dilakukan, sedangkan taubat adalah kembali ke jalan Allah
dengan berusaha untuk tidak terjerumus ke dalam dosa lagi setelah itu.
Apa kaitan antara permintaan setelah fa yaitu ‫ﻚ‬  ‫ﺑ‬‫ ﺭ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ ﺑﹺﺤ‬‫ﺢ‬‫ﺒ‬‫ ﻓﹶﺴ‬dengan
sebelumnya ‫ﺟﺎ‬ ‫ﻮﻮﺍﺟ‬ ‫ﻪ ﹶﺃ ﹾﻓ‬ ‫ﺩﺩﻳ ﹺﻦ ﺍﻟ ﱠﻠ‬ ‫ﻓﻓﻲ‬ ‫ﺧ ﹸﻠﻠﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺱ‬
 ‫ﻨﺎ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺖ‬‫ﺃﹶﻳ‬‫ﺭ‬‫ﺢ)(ﻭ‬
 ‫ﻭﺍﻟﹾﻔﹶﺘ‬‫ ﻭ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺮ‬‫ﺼ‬‫ﺟﺎﺀَ ﻧ‬‫ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺟ‬
apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu
lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong.
Jawabannya: mukmin mempunyai pedoman hidup dalam bekerja di
bumi ini. Dia tidak melihat segala sarana itu baru di hadapannya, tapi ia
merupakan unsur-unsur yang telah ada diciptakan Allah.
Sebagai contoh dalam perkebunan, bibit telah ada berkat ciptaan
Allah, tanah itupun ciptaan Allah, air juga ciptaan Allah. Begitu juga
dengan tenaga seluruhnya diciptakan Allah. Jadi bila diteliti maka
pekerjaan dia tidak lebih hanya merangkai unsur-unsur yang ada. Ketika
dia melaksanakan tugas, dia tidak lupa Zat yang telah menundukkan
segala pekerjaan tidak lepas dari dua unsur, pelaku dan sarana
pendukung. Terkadang pelaku ada, tapi sarana pendukung tidak ada.
Untuk itu ketika memulai pekerjaan ucapkanlah: “Bismillah.” Dengan
nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Maknanya, saya bekerja bukan semata-mata berdasarkan
kekuatanku, bukan berdasarkan ilmu dan apa yang ada padaku. Tapi
semua itu berkat Allah yang telah menundukkan semua ini padaku.
Inilah pedoman hidup mukmin. Bila meraih kesuksesan dia tiada
menganggap kesuksesan itu berkat kepintarannya atau kepandaiannya
tapi dia akan berkata: “Alhamdulillah”. Bila berhasil dia pun berkata:
“Ma sya’a Allah, la halaula wa la quwata illah billah.” Pada saat itu
setiap mukmin akan tetap terkait dengan Tuhannya. Baik saat dimulai
pekerjaan ataupun saat menuai hasil. Tiap kegagalan yang menimpa
manusia tidak lain karena kesalahannya sendiri. Jadi, mulailah setiap
pekerjaan dengan Bismillah, dan ucapkahlah Alhamdulillah setiap
selesai pekerjaan, dan barengilah hasil itu dengan: “Ma sya’a Allah, la

526
AN-NASHR 110 JUZ 30

halaula wa la quwata illah billah.” Inilah manhaj muslim.


Terkadang lupa menghampiri manusia hingga menganggap
keberhasilan yang diraih berkat dirinya. Tidak, istighfarlah kepada
Tuhan dari segala praduga ini. Sebagaimana praduga Abu Bakar pada
perang Hunain yang merasa menang akibat jumlah basar.
Jadi, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah
ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.
(QS 110: 3) Maknanya janganlah kamu berpraduga bahwa kamu telah
melakukan sesuatu. Tapi, yakinlah bahwa Dia pelaku sebenarnya.
Tujuan dari itu semua, tidak lain kecuali memuliakanmu. Adapun posisi
kita tidak lebih, bahwa Allah telah menjadikanmu seorang yang layak
untuk terjadinya suatu kebaikan dari tanganmu, walaupun kamu sendiri
sebenarnya tidak berbuat baik.
Sebagai contoh, saat kamu berperang dan membunuh kafir, maka
katakanlah kamu tidak membunuh kafir tapi pedanglah yang
memenggal lehernya. Jadi, pedang bukan kamu yang bunuh. Begitu
juga dengan kita, kita adalah alat di tangan Allah, seperti pedang di
tangan manusia. Maka, jangan katakan kamu yang membunuh dengan
melupakan pedang. Tapi katakanlah, Tuhanlah yang telah membunuh
dengan perantaraanku. Itu karena, kita adalah alat di tangan-Nya.
Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka,
akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang
melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (QS
al-Anfâl [8]: 17) Kita alat di tangan Allah.
Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan
(perantaraan) tangan-tanganmu. (QS at-Tawbah [10]: 14) Jadi, saat
terjadi kemenangan, jangan pernah berkata bahwa itu karena
perbuatanku. Beristighfarlah kepada Allah dari praduga seperti ini.
Atau seseorang harus beristighfar karena menduga salah terhadap
Allah dengan berkata: “Kenapa Tuhan lama sekali menolong kita,
bukankah kita berada pada posisi yang benar.” Kenapa kita rela dengan
kehinaan yang menimpa agama kita.” Untuk itu dalam perjanjian
Hudaibiyah, Abu Bakar mengingatkan Umar bin Khattab bahwa yang
melakukan perjanjian itu adalah Muhammad sebagai utusan Allah.
Posisi Umar sangat wajar untuk cemburu atas Islam dan Nabinya yang
diremehkan kaum kafir.
Adapun Abu Bakar mengingatkannya: “Jangan lupa bahwa Nabi
Muhammad itu adalah utusan Allah, agar dapat menahan emosi.”
Nabi berkata: “Bukankah telah aku katakan kepadamu bahwa kita

527
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

akan masuk Masjidil haram dengan tahallul baik potong botak atau
dipotong pendek. Bukankah aku tidak pernah mengatakan bahwa hal itu
terjadi tahun ini?”
Selain Umar ditemukan juga Ali bin Abi Thalib sebagai penulis
perjanjian memberontak atas isi kesepakatan yang merendahkan derajat
Nabi. Maka Suhail bin Amr mengingatkannya: “Celakalah kamu,
kalaulah kami beriman bahwa dia Rasulullah niscaya selesailah
masalah.” Apakah saat ini kamu sedang berdakwah atau sedang menulis
perjanjian. Kalau sedang menulis perjanjian tulislah. Inilah yang
disepakati Muhammad bin Abdullah.
Jadi istighfar dapat terjadi akibat beberapa alasan. Boleh jadi karena
kamu merasa memiliki andil dalam meraih kemenangan, atau istighfar
karena kamu telah menduga dengan hal-hal yang tidak layak bagi Allah.
Seperti ungkapanmu: “Kapan pertolongan Allah datang?” Seakan-akan
kamu menduga Allah memperlambat pertolongan-Nya, dan kamu ingin
mempercepat takdir Tuhan, padahal segala sesuatu memiliki disiplin.
Maka beristighfarlah dari praduga ini, karena kemenangan pasti datang.
Berisitighfarlah dari hal-hal yang mengurangi keyakinanmu terhadap
Allah.
Bila kamu melihat redaksi ayat ini ditujukan kepada Muhammad,
maka ketahuilah bahwa tujuan redaksi itu sebenarnya diarahkan kepada
umatnya. Sebagai contoh lain disebutkan dalam Alquran:
Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti
(keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, dan ikutilah apa
yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS al-Ahzâb [33]: 1-2)
Allah berbicara kepada nabi-Nya tapi arahannya ditujukan kepada
umatnya. Karena kalau kepadanya maka tertulis ta’mal bukan ta’malun.
Jadi ditujukan kepada rasul sedang maksudnya adalah umatnya.
Di samping perintah istighfar dari membanggakan diri, atau
menduga yang tidak wajar terhadap Allah, di sana ditemukan juga
istighfar sebagai suatu magam kemuliaan tersendiri. Seperti firman
Allah: Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah
mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan
mengerjakan amalan-amalan yang saleh, tsumma/kemudian mereka
tetap bertakwa dan beriman, tsumma/kemudian mereka (tetap juga)
bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang

528
AN-NASHR 110 JUZ 30

yang berbuat kebajikan. (QS al-Mâidah [6]: 93)


Kata tsumma/kemudian menunjukkan adanya tingkatan kemuliaan.
Seakan-akan mukmin selalu berusaha untuk mencapai nilai tangga
mikro yang lebih tinggi. Seakan-akan ia berdosa karena tidak meraih
derajat tertinggi. Inilah namanya istighfar magam. Untuk itu dikatakan:
Kebaikan menurut orang awam adalah kesalahan menurut khawash.
Setelah dipahami makna an-nashr, al-fath, at-tasbîh, at-tahmid dan
istighfar serta sirat dari surat ini. Itu karena Alquran membutuhkan
renungan mendalam sebagaimana firmanNya: “Tidakkah kamu
tadabbur Alquran.” (QS Muhammad: 24) Makna tadabbar ialah jangan
lihat yang tersurat saja tapi lihat juga yang tersirat dan terkandung,
dengan cara menggalinya dari berbagai sisi, bukan satu sisi saja.
Untuk itu Ibnu Masud berkata: “Galilah Alquran,” maknanya
galilah segala uslubnya agar terkuak dan terungkap segala sesuatu,
sebagaimana kita menggali bumi untuk meraih harta karun di dalamnya.
Adapun makna tersirat dari ayat ini, bahwa ajal Nabi Muhammad
telah mendekati sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas. Ketika Allah
berfirman: “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,”
maknanya ajalmu telah tiba. Kenapa? Karena misi Nabi Muhammad
telah selesai. Selama telah mencapai kemenangan, sempurnalah tugas
Rasul, dan bertemunya dia dengan Tuhan lebih baik dari pada hidup
lama di dunia ini.
Inilah yang terjadi. Setelah turun ayat ini Rasulullah mendekati
Fatimah dan membisikkannya dua hal, bisikan pertama membuatnya
menangis sedangkan bisikan kedua membuatnya tertawa. Ummu
Salamah menanyakan prihal tangis dan tawa Fatimah saat Nabi telah
wafat. Dia pun menjawab: “Dia membisikkan bahwa firman apabila
telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Bukti bahwa ajalnya
sudah dekat, sedangkan bisikan kedua bahwa akulah orang pertama dari
ahli bait yang menemuinya di surga, aku pun tersenyum.”
Ungkapan bahwa “Ia akan menemuinya menunjukkan bahwa
kematian bukan akhir perjalanan manusia. Tapi begitu manusia mati di
sana ditemukan banyak pertemuan, baik di alam kubur ataupun hari
kiamat. Semoga kita dapat bertemu dengan kekasih kita baik yang telah
mendahului kita, dan merindukan Tuhan kita.
Semoga Allah memberi taufik dan segala yang telah kita kerjakan
dan semoga kita tetap memuliakannya dengan bismillah dan
menutupnya dengan al-hamdulillah dalam bingkai “tiada usaha dan
kekuatan kecuali dari Allah.” ***

529
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

530
AL-LAHAB 111 JUZ 30

SURAT 111
AL-LAHAB
(MAKKIYAH)

531
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

532
AL-LAHAB 111 JUZ 30

Telah dibahas pada surat sebelumnya bahwa ketika Allah


menggambarkan perihal dakwah dan para musuhnya. Ia menegaskan
sarana saling memahami antara yang hak dan batil tidak mungkin
terjalin. Sesuai dengan semangat surat al-Kafirun.
Pemutusan ini sesuai dengan kondisi dakwah. Di mana minoritas
muslim di Mekkah selalu menjadi bahan penindasan. Para musuh selalu
menguji mereka agar berpaling dari menyembah Allah. Tapi Allah
berkeinginan penindasan dan ujian itu tidak berlangsung lama, karena
nantinya akan ditemukan dua pasukan: pasukan membela kebenaran,
dan pasukan membela kebatilan. Bahkan lebih dari itu, agama Islam
pada akhirnya akan menguasai Jazirah Arab. Untuk itu Alquran perlu
merekam masa depan yang gemilang bagi agama ini, dibarengi dengan
masa duka yang menyedihkan yang terjadi di periode awal
kedatangannya.
Begitulah Allah yang Mahakuasa lagi Maha Mengetahui, yang
menembus batas ruang dan waktu, baik waktu lalu, sekarang ataupun
masa depan. Dia memaparkan kepada rasulnya sampel dari
pengungkapan kondisi kafir dan munafik, berikut kerja mereka. Bila
Rasulullah telah mengatakan tentang apa yang menimpa diri mereka,
mereka pun akhirnya yakin bahwa yang dibawa Muhammad merupakan
agama yang benar, yang diturunkan Allah. Dialah yang telah
menyampaikan berita itu kepada Rasulnya tentang diri mereka.
Sebagaimana Alquran juga telah memaparkan peristiwa lalu yang
tidak dapat diketahui dengan pasti karena telah berlangsung begitu
lama. Maka dalam setiap akhir kisah zaman lalu itu selalu dibubuhi
dengan wa mâ kunta seperti: wa mâ kunta/kamu tidak pernah membaca
sebelumnya (Alquran) sesuatu Kitab pun dan kamu tidak (pernah)
menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andai kata (kamu pernah
membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari
(mu). (QS al-Ankabût [29]: 48)
Wa mâ kunta/tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi yang
sebelah barat ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa, dan
tiada pula kamu termasuk orang-orang yang menyaksikan. (QS al-
Qashash [28]: 44)
Wa mâ kunta/tiadalah kamu tinggal bersama-sama penduduk Mad-
yan (QS al-Qashash [28]: 45)
Wa mâ kunta/padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika
mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa
di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Kamu tidak hadir di

533
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

sisi mereka ketika mereka bersengketa. (QS Âli 'Imrân [3]: 44)
Setelah itu datang dalam penutup surat al-Kafirûn untuk menebus
tabir masa depan. Telah disebutkan bahwa masa depan, sekarang dan
masa lalu itu hanya berlaku untuk manusia. Sedangkan bagi Allah tidak
ada masa lalu, sekarang dan akan datang. Karena semua permasalahan
di alam semesta ini sesuai dengan apa yang telah Dia ketahui sejak
azali. Apa yang diketahuinya tidak akan pernah berbeda dengan realita.
Jadi, ketika Dia berbicara tentang masa depan, Dia berbicara tentang
peristiwa yang pasti terjadi.
Surat al-Masad adalah bagian dari perjalanan yang menembus tabir
masa depan. Tepatnya, ketika Dia berbicara tentang pemberian al-
Kautsar, dan yang membenci Muhammad dialah yang terputus. Ia telah
memberikan kepada kita al-Kautsar di dunia, yaitu: ‫ﺢ‬ ‫ﻭﺍﻟﹾﻔﹶﺘ‬‫ ﻭ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺮ‬‫ﺼ‬‫ﺟﺎﺀَ ﻧ‬‫ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺟ‬
apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. (QS an-
Nashar [110]: 1) maka Diapun harus memberikan kepada kita contoh
orang yang terputus akibat memusuhi Rasulullah. Haruslah contoh
tersebut merupakan orang yang menghambat dakwah Nabi sejak awal
hingga akhir hidupnya. Allah memilih penghambat itu dari keluarga
dekat Nabi, yaitu: pamannya, Abu Lahab.
Jadi dalam masalah ini dapat ditarik banyak pesan. Di antara pesan
tersebut bahwa agama Islam bukanlah agama berdasarkan keturunan,
bukan pula karena hubungan darah, bukan agama berdasarkan fanatisme
kesukuan atau nasionalisme, tapi ia merupakan agama bagi orang yang
mengikuti Rasulullah.
Nabi Muhammad berkata: “Salman al-Farisy adalah keluargaku.”
Telah disebutkan bahwa kenabian para Nabi berpindah berdasarkan
hubungan dakwah, bukan berdasarkan hubungan keturunan,
sebagaimana kisah Nabi Nuh dan anaknya.
Ketika terjadi gap/jurang antara Bilal dan Abu Zar, akibat ungkapan
Abu Zar kepada Bilal: “Hai Ibnu Saudâ’ (anak hitam), yang
menimbulkan kemarahan Nabi Muhammad dan bersabda: “Dhaf ash-
shâ’ (tiga kali) mengapa kamu tega menghina dirinya dan ibunya,
sesungguhnya di dalam dirimu masih terdapat bekas jahiliyah.”
Akhirnya Abu Zar pun menghadap Bilal dan menjatuhkan lehernya
di lantai dan bersumpah untuk tidak mengangkatnya hingga dipijak
Bilal. Setelah itu Rasulullah berkata: “Tidak ada keistimewaan antara
anak kulit hitam atas anak kulit putih kecuali takwa dan amal saleh.
Kalaulah non Arab datang kepadaku dengan amal saleh dan kamu

534
AL-LAHAB 111 JUZ 30

datang kepadaku tanpa amal, maka mereka lebih pantas untuk dekat
dengan Muhammad dari pada kamu sekalian.”
Kembali kepada kisah utama. Allah menyebutkan tentang pamannya
yang bernama Abu Lahab untuk dimuat dalam Alquran dan didoakan
agar celaka, hancur dan binasa. Sedangkan Alquran itu tetap dibaca, dan
dinilai beribadah dalam membacanya, dan terus dibaca hingga akhirat
nanti. Allah memilih musuh bebuyutan Nabi yang diabadikan Alquran
orang yang berada dari keluarga dekatnya, untuk menerangkan bahwa
agama ini bukan agama milik keturunan dan sejenisnya.***

TUKANG FITNAH PASTI AKAN CELAKA


(QS al-Lahab [111]: 1-5)
dcba`_~}|{zyx
 mlkjihgfe
srqpon
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan Sesungguhnya Dia akan
binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa
yang ia usahakan. Kelak Dia akan masuk ke dalam api yang
bergejolak. (Begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar yang di
lehernya ada tali dari sabut.
Allah menyebutkan hal ini untuk memberikan kita gambaran yang
menembus tabir masa depan. Pemberitaan tentang peristiwa di masa
depan tidak lepas dengan kaitan kekuasaan dan ilmu. Apa beda kuasa
dan ilmu di masa depan? Hal yang berkaitan dengan kuasa misalnya:
Kamu mampu mengatur makan seseorang hanya roti dan keju saja
untuk esok hari, karena kamu menyimpan makanan selain itu di tempat
yang kuncinya bersama anda, yang tidak dapat dimasuki orang. Maka
kamu dapat berkata ia tidak akan makan esok hari kecuali roti dan keju.
Kenapa kamu berani mengatakan itu? Karena kamu telah mengatur hal
itu sedemikian rupa. Ini kabar masa depan yang terkait dengan
kekuasaan.
Adapun yang terkait dengan ilmu, misalnya: Kamu meninggalkan
seseorang itu dengan makanan yang banyak, namun kamu dapat
mengatakan bahwa di antara hidangan yang banyak itu ia pasti akan
makan roti. Kamu mengatakan hal itu bukan karena berdasarkan kuasa

535
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

tapi berdasarkan ilmu yang di dapat dari hasil pengamatanmu


terhadapnya selama ini. Jadi, bila hal itu dilakukan atas dasar ikhtiar,
maka ilmulah yang terkait dalam penentuan masa depan. Sedangkan
bila tidak ada ikhtiar, yang terkait adalah kekuasaan dalam penentuan
masa depan.
Dalam ayat ini Allah menggambarkan bagaimana Dia menembus
tabir masa depan. Telah kita ketahui bersama bahwa musuh Rasulullah
tetap bertahan beberapa lama dalam memusuhi Nabi, kemudian hati
mereka lembut lalu datang kepada Nabi untuk masuk Islam. Contohnya,
Umar bin Khattab pergi untuk membunuh Rasulullah, namun ia pulang
ke rumah dalam keadaan muslim. Begitu juga dengan Khalid bin Walid
dan Amr bin Ash. Jadi, pendahuluan-pendahuluan yang ada
menunjukkan bahwa mayoritas orang yang menyiksa Rasulullah
akhirnya masuk Islam, namun bagaimana Allah dapat memilih satu
orang di antara mereka dan menetapkan bahwa dia tidak akan masuk
Islam, sebagaimana yang lainnya.
Allah berfirman tentang: ‫ﺐ‬ ‫ ﹴ‬‫ ﻟﹶﻬ‬‫ﺭﺍ ﺫﹶﺫﺍﺕ‬‫ﻧﺎﺭ‬‫ﻠﹶﻠﻰ ﻧ‬‫ﺼ‬‫ﻴ‬‫ ﺳ‬kelak dia akan masuk ke
dalam api yang bergejolak. (QS al-Lahab [111]: 3) seakan-akan Allah
mendispensasikan dia dari lainnya, dengan berkata: “Orang ini tidak
akan masuk Islam.” Allah juga berfirman: ‫ﺐ‬ ‫ﻄﹶ ﹺ‬‫ﻤﺎﻟﹶﺔﹶ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻤ‬‫ ﺣ‬‫ﻪ‬‫ﺃﹶﺗ‬‫ﺮ‬‫ﻭﺍﻣ‬‫( ﻭ‬begitu
pula) istrinya, pembawa kayu bakar. (QS al-Lahab [111]: 4) selama dia
dibakar di api neraka, maka ini mengindikasikan bahwa dia dan istrinya
tidak akan beriman.
Apakah Nabi Muhammad berbicara serampangan tentang Abu
Lahab, karena banyak orang seperti Abu Lahab yang akhirnya beriman?
Kalaulah seandainya Abu Lahab cerdik, niscaya dia membantah
ungkapan Alquran ini dengan mengucap syahadat. Namun karena
Rasulullah bukanlah orang yang mengucapkan itu, melainkan dia
sekedar penyampai dari Allah yang Maha Mengetahui sejak azali akhir
perjalanan Abu Lahab.
Jadi firman Allah: ‫ﺐ‬  ‫ﺗ‬‫ﺐﹴ ﻭ‬‫ﺪﺍ ﺃﹶﺑﹺﺑﻲ ﻟﹶﻬ‬‫ﺪ‬‫ ﻳ‬‫ﺖ‬‫ﺒ‬‫ ﺗ‬binasalah kedua tangan Abu
Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. (QS al-Lahab [111]: 1)
merupakan penembus tabir masa depan dalam tingkah laku manusia
yang memiliki ikhtiar.
Abu Lahab adalah orang pertama yang menentang dakwah Islam
sejak dimulainya, tepatnya, ketika Allah berfirman kepada Rasulnya:
 ‫ﺑﹺ‬‫ ﺍﻷَﻗﹾﺮ‬‫ﻚ‬‫ﺗ‬‫ﲑ‬‫ﺸ‬‫ ﻋ‬‫ﺭ‬‫ﺬ‬‫ﺃﹶﻧ‬‫ ﻭ‬dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu
‫ﲔ‬

536
AL-LAHAB 111 JUZ 30

yang terdekat, (QS asy-Syu'arâ' [26]: 214) Muhammad pun berdiri


antara Safa dan Marwa lalu berkata: “Wahai para sahabatku, Ya Bani
Abdul Muthalib, Wahai Bani Hasyim ...”
Ketika masyarakat berkumpul Muhammad berkata: “Bagaimana
pendapatmu kalau saya sampaikan bahwa di balik bukit ini terdapat
musuhmu, apakah kamu mempercayaiku?
Mereka menjawab: “Ya, kami tidak pernah menemukan kamu dusta
walaupun sedikit.”
Dia berkata: ‫ﺪ‬ ‫ﺪﺪﻳ‬ ‫ﺷ‬
 ‫ﺏ‬
‫ﺬﹶﺬﺍ ﹴ‬‫ ﻋ‬‫ﻱ‬‫ﺪ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ ﺑ‬‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﺬﻳﺮ‬‫ﺬ‬‫ ﺇﹺﻻﱠ ﻧ‬‫ﻫﻮ‬ ‫ ﹺﺇ ﹾﻥ‬dia tidak lain
hanyalah pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab
yang keras. (QS Saba' [34]: 46)
Abu Lahab pun berkata: “Celakalah kamu wahai Muhammad,
apakah hanya untuk ini kami dikumpulkan?”
Begitu juga dalam dakwah Rasulullah kepada kabilah Arab
sebagaimana yang diriwayatkan Rabiah bin Iyath al-Jabaly ketika ia
bersama ayahnya: “Saya melihat Rasulullah mengajak kabilah Arab
untuk masuk Islam, sedangkan di belakangnya terdapat seorang lelaki
tinggi lagi berwibawa. Ketika Rasul sampai pada suatu kabilah diapun
berkata: “Wahai Bani Fulan.” Saya adalah utusan Allah kepadamu
sekalian. Saya memerintahkanmu untuk menyembah Allah dan tidak
mensyirikkannya dengan sesuatu dan tetap menolongku dan
melindungiku hingga terlaksana semua pesan Allah.”
Ketika dia selesai menyampaikan pesan ini, berkatalah orang yang
ada dibelakangnya: “Hai Bani Fulan, orang ini datang untuk
mengalihkan kamu sekalian dari Latta dan Uzza, dan sekutumu dari jin
Bani Malik bin Akhnas, maka janganlah kamu sekalian mendengar
ucapannya, dan jangan pula mau mengikutinya.”
Aku bertanya kepada ayahku: “Siapa orang itu?”
Dia menjawab: “Ia adalah Abdu Uzay (Abu Lahab).”
Sejak awal dakwah terang-terangan ditemukan Abu Lahab berdiri
menentang Rasulullah. Ketika Muhammad menyebarkan dakwah
kabilah, diapun memerintahkannya. Seakan-akan dia terus mengintai
gerak-gerik Rasul. Dia tidak saja sampai pada taraf memusuhi, tapi juga
berusaha untuk menutup segala pintu gerak Nabi.
Begitu juga terhadap fanatisme Bani Hasyim. Saat itu Bani Hasyim
berkumpul di sekitar Abu Thalib untuk menjamin Nabi Muhammad,
setelah itu terjadilah pemblokiran masyarakat terhadap Bani Hasyim.
Hanya Abu Lahab sendirilah dari keturunan Bani Hasyim yang

537
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

menyeleweng dari kaumnya dan bergabung dengan kaum Quraisy.


Dalam hal kefanatisannya Abu Lahab tetap memusuhi Rasulullah.
Hal itu tidak sampai di situ saja, istrinyapun mengambil bagian.
Maka Allah tidak mungkin untuk tidak merekam seluruh peristiwa ini.
Kemudian sebagaimana telah kita sebutkan Allah pun membuka tabir
masa depan, bahwa dia dan istrinya tidak akan memperoleh cahaya
Islam.
 ‫ﺗ‬‫ﺐﹴ ﻭ‬‫ﺪﺍ ﺃﹶﺑﹺﺑﻲ ﻟﹶﻬ‬‫ﺪ‬‫ ﻳ‬‫ﺖ‬‫ﺒ‬‫ ﺗ‬binasalah kedua tangan Abu Lahab dan
‫ﺐ‬
sesungguhnya dia akan binasa. Kata ‫ﺐ‬  ‫ ﺗ‬artinya qath‘/terputus, halak/
hancur, dan bawar/celaka. Ketika Allah mengungkapkan kata kedua
tangan maksudnya adalah seluruh tubuh. Disebutkan tangan, karena
kegiatan sebagian besar dilakukan oleh tangan. Dalam Alquran
disebutkan “Demikian itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.
Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-Nya.” (QS al-
Anfâl [8]: 51)
Apakah kita diberi ganjaran di akhirat kelak sesuai dengan apa yang
diperbuat tangan kita saja? Tidak, tapi juga berdasarkan apa yang
dilakukan kaki, lidah, mata. Tapi karena mayoritas kegiatan dilakukan
tangan, maka diungkapkanlah tangan sebagai wakil yang lain.
Ketika Allah berfirman: ‫ﺪﺪﺍ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺖ‬‫ﺒ‬‫ ﺗ‬binasalah kedua tangan.
Sebelumnya Abu Lahab telah berdoa. Tanpa diragukan ketika dia
berdoa, diapun tahu siapa yang memenuhi doa itu. Kalau seandainya dia
mampu mencelakai Nabi Muhammad niscaya dia lakukan. Jadi, secara
fitrah Abu Lahab tahu bahwa dia tidak berkuasa mencelakai
Muhammad. Lisannya pun mengucapkan doa mengharap kepada yang
Kuasa. Jadi, ini juga merupakan bukti bahwa dia telah mendustai
dirinya, hingga terjadi pertentangan di dalam jiwa.
Selanjutnya ketika Abu Lahab berdoa: “Celakalah engkau
Muhammad, apakah hanya untuk ini kamu mengumpulkan kami?”
Timbul pertanyaan, apakah Allah mengabulkan doa itu? Tentu tidak.
Doanya hanya menjadi senda gurau. Tetapi ketika Allah berkata:
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan
binasa,” (QS al-Lahab [111]: 1) maka kecelakaan itu pasti terjadi dan
menimpa diri Abu Lahab. Karena, Zat yang memiliki kemampuan untuk
mencelakai, Dialah yang telah berkata di dalam QS al-Lahab [111]: 1.
Bila kita membaca ayat itu berarti kita berdoa kepada Allah agar
mencelakainya, sedangkan bila Allah yang mengatakannya berarti itu

538
AL-LAHAB 111 JUZ 30

merupakan ketetapan dariNya yang pasti terlaksana. Maka, jangan


dipahami binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia
akan binasa, merupakan doa yang dapat dikabulkan atau tidak. Tapi,
pahamilah bahwa itu merupakan keputusan dan ketetapan dariNya serta
pasti terlaksana.
Ini semua terjadi di dunia. Untuk itu ditemukan sosok Abu Lahab,
walaupun memiliki kedudukan yang mulia, namun di saat mendekati
kematian tidak ditemukan seorang penduduk Mekkah yang melayat
kematiannya. Ia telah menderita penyakit menular yang apabila
seseorang mendekatinya, otomatis ia pun terjangkit. Wajar bila mereka
lari dan menjauh darinya. Abu Lahab mati akibat penyakit bisul
menular, dan tidak seorang pun mendekatinya setelah kematiannya
selama tiga hari, hingga hampir membusuk. Mereka tidak mau menutup
jasadnya, takut tertular. Dan untuk menyiasatinya mereka mengorek
lubang lalu mengambil galah dari kayu, lalu digelindingkanlah tubuhnya
dari kejauhan, hingga masuk ke dalam lobang. Untuk dikuburkan, para
pelayat melempar kuburan itu dengan batu hingga tertutup. Hingga
dalam kematian pun di mana setiap orang seharusnya membantu
mengangkat jenazahnya, tidak ditemukan orang yang mau melakukan
itu. Bahkan kuburannya diperlakukan kayak pelemparan jumrah.
Abu Lahab memiliki dua orang anak lelaki: Utaybah dan Atabah.
Rasul memiliki dua orang anak perempuan: Ruqaiyyah dan Ummu
Kalsum. Diadakan tunangan atas kedua anak Rasul dengan anak Abu
Lahab ini. Tatkala Rasulullah berdakwah secara jahr, Abu Lahab tidak
lupa untuk berkata kepada kedua anaknya: “Kamu berdua bukan anakku
jika tidak menthalak kedua anak Muhammad.”
Atabah yang punya sopan santun menceraikan Ruqayyah dengan
cara baik-baik, sedangkan Utaybah berkata: “Demi Allah saya tidak
akan menceraikannya kecuali setelah menyakitinya.”
Dia pun mendatangi Nabi dan berkata: “Saya kembalikan anakmu
dan Diaku cerai.” Kemudian diapun meludah di muka Rasulullah.
Nabi berkata: “Semoga engkau dimakan anjing dari anjing-anjing
Allah.” Pada saat ini Abu Thalib, paman Nabi, ada di situ.
Dalam suasana itu, terjadi perjalanan Quraisy menuju kota Syam,
dalam rombongan itu terdapat Abu Lahab dan anaknya. Ketika sampai
pada suatu daerah untuk beristirahat, berkata penduduk kampung,
“bahwa daerah ini daerah berbahaya karena banyak binatang buas.”
Abu Lahab pun waspada lalu berkata: “Wahai kaum Quraisy,
lindungilah aku dari dikabulkannya doa Muhammad.”

539
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Maka mereka pun membawa unta-unta mereka dan


mendudukkannya dalam posisi melingkar dan menjadikan penginapan
mereka di tengahnya. Namun binatang buas tetap menciumnya hingga
sampai mendekati Utaybah dan memakannya.
Dikomentari, saat Rasulullah berkata: “Semoga engkau di makan
anjing dari anjing-anjing Allah.”
Anjing itu ditetapkan sebagai milik siapa? Milik Allah. Maka
selama anjing yang sedikit dinisbatkan kepada Allah jadilah ia banyak,
dan jadilah ia buas. Benar, terjadilah apa yang dikatakan Nabi
Muhammad.
 ‫ﻣﺎ ﻛﹶﺴ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﻣﺎﻟﹸﻪ‬‫ ﻣ‬‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ﻨﻰ ﻋ‬‫ﻣﺎ ﺃﹶﻏﹾﻨ‬‫ ﻣ‬tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya
‫ﺐ‬
dan apa yang ia usahakan. (QS 111: 2) Itu karena Abu Lahab pernah
berkata: “Demi Allah, bila apa yang dikatakan anak saudaraku itu benar,
niscaya saya akan menebus diriku darinya dengan harta dan anakku.
Maka Allah pun menjawab atau ucapannya ini, bahwa Ia tidak
membutuhkan harta dan hasil usahanya.
Para ulama membedakan antara ‫ﻪ‬ ‫ﻣﻣﺎﹸﻟ‬ hartanya dan ‫ﺐ‬  ‫ﻣﺎ ﻛﹶﺴ‬‫ ﻣ‬apa yang
dihasilkannya. Kata kasaba merupakan hasil harta yang diolah, berupa
laba. Seperti, seorang yang memiliki kebun lalu berbuah, hewan lalu
beranak. Inilah kasaba/hasil. Jadi, hartanya yaitu apa-apa yang diwa
riskan, sedangkan kasaba hasil dari jerih payah.
Sekelompok ulama lain berkata: “Tidak, yang benar apa yang
dihasilkan adalah anak. Dasarnya, ucapan Rasulullah: “Sesungguhnya
hasil usaha seorang lelaki yang paling baik ialah memakan dari hasil
usaha tangan dan kasbuhu.”
Adapun kasbuhu adalah anaknya. Artinya, manusia ketika memakan
dari hasil anaknya berarti ia juga memakan hasil dari jerih payah
dirinya.
QS al-Lahab [111]: 2 maknanya harta dan anak. Sebagian ulama
berkata: “Bahwa Abu Lahab menjadikan Rasulullah sebagai tangan,
sebagaimana dia juga mengutip di sisi Quraisy tangan.”
Adapun tangan yang kutitipkan di sisi Rasulullah, maka dia akan
menolongku, bila Muhammad berada dalam posisi benar dan menang.
Adapun tangan yang kutitipkan di sisi Quraisy ia bermanfaat bila
Quraisy menang.”
Kisah Abu Lahab ini terjadi di dunia. Ketika Allah menjadikan
manusia untuk memahami dunia dari hal-hal yang dirasakannya. Yang
dulunya masih berstatus masa depan, maka nanti akan menjadi masa

540
AL-LAHAB 111 JUZ 30

kini. Yang sekarang menjadi masa kini nanti menjadi masa lalu. Jadi,
setiap peristiwa yang akan terjadi itu berstatus masa depan, kemudian
menjadi peristiwa yang sedang terjadi, lalu menjadi kisah masa lalu.
Istri Abu Lahab telah kita ketahui bernama Arwâ, yaitu saudari Abu
Sufyan bin Harb. Jadi nama lengkapnya Arwâ bin Harb bin Umayyah.
Dia seorang terpandang di kaumnya, karena berstatus istri dari orang
terpandang, Abu Lahab; dan saudari dari Abu Sufyan.
Sirah telah mengisahkan kepada kita bahwa Arwâ mempunyai peran
dalam menyakiti Nabi. Ini menunjukkan bahwa perempuan yang
bertugas di balik tabir telah ikut andil dalam menyakiti Rasulullah. Jadi
menyakiti Nabi itu tidak saja terbatas pada lelaki, tapi juga wanita.
Kenapa? Karena wanita mengambil posisi atas kebesaran nama orang
tuanya dan nama suaminya. Maka, bila ada manusia datang bertujuan
untuk menghancurkan nama besar ini, tentu saja ia campur tangan untuk
memberantasnya.
Kalimat, istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali
dari sabut, (QS 111: 4-5) adalah hakikat bukan majaz, menurut
sebagian ulama. Benar, bahwa dia pernah membawa kayu bakar dan
melemparkannya kepada Muhammad. Itu karena keluarga Abu Lahab
bertetangga dengan Nabi Muhammad.
Yang lain berpendapat, bahwa ini bukan sekedar kayu bakar. Karena
membawa kayu bakar bukanlah sesuatu yang menyakitkan. Jadi, kayu
bakar itu dari bentuk lain, bukan kayu bakar biasa. Yaitu, kayu bakar
berduri. Dia membawanya untuk menyakiti Nabi. Ini usaha yang
terlihat.
Namun sebagian Mufassir berkata: “Ini adalah majaz. Abu Lahab
sangat terkenal dengan perangai buruk yang tidak terlihat oleh mata,
yaitu: kegemarannya untuk mengadu domba di antara manusia. Itu
karena kebiasaan kayu bakar identik dengan api.” Jadi maksud kayu
bakar ialah sarana membakar permusuhan di antara manusia. Jadi, adu
domba yang disebar di antara manusia, seakan-akan kayu bakar.
Kesimpulannya, bahwa tidak ada halangan, bila kayu bakar itu
memang suatu yang hakiki dan terjadi secara realita, atau ia dalam arti
majaz dan kinayah, yaitu “semangat adu domba.”
‫ﺪ‬ ‫ﺴ‬
 ‫ ﻣ‬‫ﻣﻦ‬ ‫ ﹲﻞ‬‫ﺒ‬‫ﻫﺎ ﺣ‬‫ﻫ‬‫ﻓﻓﻲ ﺟﹺﺟﻴﺪ‬ yang di lehernya ada tali dari sabut. (QS 111: 5)
Kata ‫ﺪ‬ ‫ﺟﻴ‬
‫ ﹺﺟ‬dalam istilah bahasa, ia selalu berkonotasi baik dan positif.
Namun di sini leher yang seharusnya untuk tempat perhiasan, malah
digunakan untuk tali dari sabut. Biasanya di leher seorang wanita beban

541
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

dan tanggung jawab untuk mengayomi keluarga, tapi Allah


menggambarkan leher dalam tali dari sabut.
Agar selaras dengan bentuk gambaran dalam surat ini maka
diberilah gelar panggilan dengan Abu Lahab, nama dia sebenarnya Abul
Uzay, tapi ia memiliki kulit muka yang merah seperti lidah bara api,
maka dia pun dipanggil oleh bangsa Arab dengan Abu Lahab. Gelar
panggilan itu berkaitan dengan azab.
Untuk itu ditemukan ‫ﺐ‬ ‫ﺗ‬‫ﺐﹴ ﻭ‬‫ﺪﺍ ﺃﹶﺑﹺﺑﻲ ﻟﹶﻬ‬‫ﺪ‬‫ ﻳ‬‫ﺖ‬‫ﺒ‬‫ ﺗ‬binasalah kedua tangan Abu
Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Maka nama identik dengan
api neraka, seakan-akan dia kayu bakar. Kata ‫ ﺗﺐ‬artinya pemutusan
dengan keras. Dengan demikian, setiap lafaz dan kata dalam ayat suci
Alquran memiliki keselarasan dalam penempatan dan pemaknaannya.
Penempatan yang sesuai sehingga menambah keindahan dan pemaknaan
yang tepat menambah kejelasan gambaran peristiwa yang dimaksud.
Selama gambaran kecelakaan yang menimpa Abu Lahab telah
terjadi, maka gambaran kedua di neraka tentang akan dibakar dia
dengan api yang menyala pasti juga akan terlaksana. Itulah alasan,
mengapa Allah memberi gambaran dengan sesuatu peristiwa yang dapat
diindra dan disaksikan agar dapat menerima satu pesan yang akan
diperoleh nanti di hari kiamat yang saat ini masih bersifat gaib.***

542
AL-IKHLÂSH 112 JUZ 30

SURAT 112
AL-IKHLÂSH
(MAKKIYAH)

543
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

544
AL-IKHLÂSH 112 JUZ 30

Allah menerangkan dalam surat al-Ikhlâsh terdapat unsur kedua dari


arahan unsur ibadah kepada Allah. Untuk itu Nabi sangat bersemangat
untuk menggandengkannya bersama surat al-Kafirun dalam bacaan salat
sunat fajr, dhuha, rawatib magrib dan malam Jumat.
Hal itu karena keduanya merupakan gabungan antara negatif dan
positif. Telah diterangkan sebelumnya bahwa kalimat Tauhid itu sendiri
berdiri dari positif dan negatif. Lâ ilâha adalah negatif, dan illâ Allah
a d a la h p o s i ti f . U n t u k i t u s e b a gi a n s u fi b e rd o a u n t u k da p at
mempertahankan hidup mereka hingga ke luar dari ruang negatif.
Makna keluar dari ruang negatif, ia takut Allah mencabut nyawanya,
sedangkan ia sedang mengucap lâ ilâha/tiada Tuhan, lalu mati. Mereka
berdoa agar dapat masuk ke ruang positif, yaitu illâ Allah/kecuali Allah.
Kenapa demikian? Jawabannya: karena orang yang mengilustrasikan
adanya serikat bagi Allah dialah yang meniadakan tuhan. Orang yang di
dalam hatinya tuhan selain Allah dialah yang meniadakan ketuhanan
Allah. sedangkan orang yang mengesakannya tidak akan tergambar
dibenaknya kemusyrikan lalu ditiadakan.
Sebagian sufi juga berkata: “Peniadaan aib atas orang yang tidak
punya aib adalah aib.” Bila dikatakan: Lâ ilâha illâ Allâh seakan-seakan
hatimu telah disibukkan dengan gambaran penetapan syerikat itu, dan
hati itu tidak suka bila kemusyrikan ini bersatu dengan Allah. Bila
dikatakan: Lâ ilâha illâ Allâh, maka kamu telah meniadakan aib kepada
Zat yang tidak punya aib. Bagaimana seorang berkata: “Saya tidak
melihatnya minum arak.” Ucapanmu meniadakan minum arak
merupakan aib dan cela baginya. Karena ia sempat diduga meminum
arak. Atau ungkapanmu: “Tidak ku ketahui Fulan kecuali ia tidak
minum arak.” Kamu menetapkan bahwa kamu bersaksi untuknya, walau
kamu meniadakan darinya minum arak, tapi kamu menjadikannya pusat
dakwaan hingga manusia menduga bahwa ia peminum arak, lalu kamu
tepis dugaan itu.
Surat ini memiliki banyak nama. Menurut ulama ia disebut dengan
surat al-Ikhlâsh, al-Asâs, al-Imân, al-Barâ’ah, at-Tajrid, at-Tanfîr, at-
Tauhid, al-Mubriah, al-Ma’rifah, al-Maûzah, al-Muqasyqasyah, al-
Jamâl, Nur Alquran. Semua surat ini menjadi bagian topik pembicaraan
dalam ayat-ayatnya.
Ketika dinamakan surat al-Ikhlâsh, apa al-Ikhlâsh itu? al-Ikhlâsh
ialah di sana terdapat perkara yang bercampur aduk lalu dimurnikan
sebagian darinya. Seakan-akan kemusyrikan dalam ketuhanan
merupakan masalah yang bercampur aduk yang perlu dimurnikan. Surat

545
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

ini ingin memurnikan Tuhan yang hak dari Tuhan yang batil.
al-Ikhlâsh ketika tertanam di dalam hati, manusia akan mengarahkan
semua hasratnya kepada Zat yang bila tercapai, ia tidak minta imbalan
dari yang lain. Untuk itu Allah berfirman dalam hadis Qudsi: “al-
Ikhlâsh satu rahasia dari rahasia-rahasiaku yang kutitipkan di hati
orang yang kucintai, hingga malaikat pun tidak mengetahuinya, hingga
ia menulis apa adanya. Tidak juga setan tahu, hingga ia merusaknya.”
Semua keikhlasan hamba tertanam di relung hati, dan ia dimurnikan
oleh pemikiran tauhid, tanpa ada kemusyirikan sekecil apa pun.
Kerusakan mayoritas abîd dalam agama sebelum Islam, karena tertipu
oleh hukum kausalita (asbâb), dan menduga bahwa ia memiliki
kekuatan, dengan melupakan bahwa di balik asbâb ada Musabbib asbâb
(Pencipta hukum kausalita).
Jika seorang mukmin melihat hukum kausalita sebagai pelaku, maka
ia tidak ikhlash kepada Allah. Sebab bisa saja ada tapi hasil belum tentu
ada bersamanya, buktinya: sebab-sebab yang mendatangkan hasil panen
telah dilalui, tapi rupanya sawah tidak juga panen. Itu karena Allah
Pencipta sebab, yang dilepaskannya bagi alam semesta, namun bisa
dibatalkannya bila Dia berkehendak.
Jadi puncak ikhlash ialah tidak melihat kepada asbâb (hukum
kausalita) walaupun ia ciptaan Allah, agar dapat memurnikan hati dan
ikhlash kepada-Nya. Jadi, surat al-Ikhlâsh menerangkan akidah yang
murni, akidah yang bergelora di dalam hati, yaitu: “Bahwa Dia Tuhan
yang Esa.” Inilah akidah yang dapat menafsirkan rahasia kehidupan.
Surat al-Ikhlâsh disebut dengan surat al-Asas/pondasi karena nabi
pernah bersabda bahwa langit yang tujuh dan bumi yang tujuh telah
dibangun di atas pondasi qul huwa Allah ahad. Alasannya, kalaulah di
langit dan bumi terdapat Tuhan selain Allah niscaya alam ini rusak.
Surat ini juga disebutkan dengan surat al-Iman karena iman berasal
dari materi aman, amanah, amin dan ma’mun, semua makna itu
mengarah pada ketenangan jiwa. Ketenangan jiwa itu di atas dari logika
akal pikiran yang masih dalam status pencarian antara menerima atau
menolak. Surat iman artinya ketenangan jiwa dalam menyembah Allah
yang dapat memberi manfaat dan mudarat, sehingga akal pikiran tidak
lagi memperdebatkan Allah sebagai Tuhan yang layak disembah atau
tidak?
Surat ini disebut dengan surat al-Baraah/lepas diri, karena kita
melepaskan diri kita dari ikatan api neraka atau melepaskan diri dari
segala bentuk kemusyrikan.

546
AL-LAHAB 111 JUZ 30

ARTI KEESAAN TUHAN


(QS al-Ikhlâsh [112]: 1-4)
MLKJIHGFEDCBA
SRQPON
Katakanlah: “Dialah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan
yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak
dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang
setara dengan Dia.”
Setelah dibahas unsur-unsur bagian surat ini, ditemukan ia dimulai
dari (1) kata qul/katakanlah, setelah itu (2) kata ganti untuk orang ketiga
‫ ﻫﻮ‬Dia, (3) disusul dengan lafaz jalâlah Allah, sesudahnya (4) ahad/Esa,
(5) ash-Shamad/Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya
segala sesuatu. (6) Lam yalid/Dia tiada beranak. (7) Walam yûlad/Dia
tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, ditutup dengan (8) ‫ﻪ‬ ‫ﻦ ﹶﻟ‬
 ‫ﻳ ﹸﻜ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻭﹶﻟ‬
‫ﺪ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﹶﺃ‬ ‫ﻮﻮﺍ‬ ‫ﹸﻛ ﹸﻔ‬
dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia. Jadi
terdapat delapan unsur.
Qul/katakanlah, sebagaimana telah dibahas sebelumnya, dalam
dialog sehari-hari, tidak disebutkan, tapi cukuplah bagi penerima pesan
untuk menyampaikan isi pesan. Contohnya, ketika engkau
memerintahkanku untuk pergi ke Fulan dan katakan kepadanya, maka
saya tidak berkata: “Katakanlah ini dan itu.” Tapi cukup bagiku
menyampaikan isi pesan. Jadi cukuplah bagiku untuk mengatakan isi
pesan tanpa perintah pesan tersebut. Tapi redaksi Alquran beda: ‫ﻬﺎ‬‫ﻬ‬‫ﻳﺎﺃﹶﻳ‬‫ﻗﹸﻞﹾ ﻳ‬
‫ﺮﻭ ﹶﻥ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﻟﹾﻜﹶﻜﺎﻓ‬katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, seakan-akan Rasul
tidak punya andil sedikit pun dalam hal itu, maka janganlah kamu wahai
kafir mencelaku. Tugasku (Muhammad) hanya menerima kalam
(ucapan) dari Allah. untuk itu aku katakan kepadamu apa-apa yang
diperintahkan kepadaku yaitu: “Katakanlah ...”
Kata qul/katakanlah menjadi bukti bahwa Nabi hanya menerima
Alquran, ia tidak berhak merobah redaksinya (lafaz) dengan
menyampaikan dalam bentuk makna (kontekstual). Alquran bukan
seperti hadis yang dapat diriwayatkan menurut pesan (makna). Maka
ditemukan dalam Alquran kata qul/katakanlah, karena Allah
memerintahkan demikian.

547
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Dalam qul/katakanlah keagungan Alquran, contohnya; Ketika Allah


berfirman kepada Nabi Muhammad:
• ‫ﺴِ ﹺﺮ‬‫ﻴ‬‫ﻭﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺮﹺ ﻭ‬‫ﻤ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺄﹶﻟﹸﻟﻮﻧ‬‫ﺴ‬‫ ﻳ‬mereka bertanya kepadamu tentang
khamar dan judi. (QS al-Baqarah [2]: 219)
• ‫ﺔ‬ ‫ﻫ ﱠﻠ‬ ‫ﻷ‬
َ ‫ﻋ ﹺﻦ ﺍ‬ ‫ﻚ‬  ‫ﻧ‬‫ﹶﺄﹸﻟﻟﻮ‬‫ﺴ‬‫ ﻳ‬mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit.
(QS al-Baqarah [2]: 182)
• ‫ﺾ‬‫ﺤﻴ ﹺ‬ ‫ﺤ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺄﹶﻟﹸﻟﻮﻧ‬‫ﺴ‬‫ﻳ‬‫ ﻭ‬mereka bertanya kepadamu tentang haidh. (QS
al-Baqarah [2]: 222)
• ‫ﻥ‬‫ﻔ ﹸﻘﻘﻮ ﹶ‬ ‫ﻨ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻣﺎ ﹶﺫﺫﺍ‬‫ ﻣ‬‫ﻚ‬‫ﺄﹶﻟﹸﻟﻮﻧ‬‫ﺴ‬‫ ﻳ‬mereka bertanya kepadamu tentang apa yang
mereka nafkahkan. (QS al-Baqarah [2]: 215)
• ‫ﻮ‬ ‫ﻌ ﹾﻔ‬ ‫ﻞ ﺍ ﹾﻟ‬ ‫ﻔ ﹸﻘﻘﻮﻥﹶ ﻗﹸ ﹺ‬ ‫ﻨ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻣﺎ ﹶﺫﺫﺍ‬‫ ﻣ‬‫ﻚ‬‫ﺄﹶﻟﹸﻟﻮﻧ‬‫ﺴ‬‫ﻳ‬‫ ﻭ‬dan mereka bertanya kepadamu apa
yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari
keperluan.” (QS al-Baqarah [2]: 219)
• ‫ﺞ‬ ‫ﻭﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻨﺎﺱﹺ ﻭ‬‫ﻟﻠﻨ‬‫ ﻟ‬‫ﻗﻴﺖ‬‫ﻮﺍﻗ‬‫ﻮ‬‫ ﻣ‬‫ﻲ‬‫ ﻗﹸﻞﹾ ﻫ‬‫ﻠﱠﺔ‬‫ﻋﻦﹺ ﺍﻷَﻫ‬ ‫ﻚ‬  ‫ﺄﹶﻟﹸﻟﻮﻧ‬‫ﺴ‬‫ ﻳ‬mereka bertanya kepadamu
tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-
tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” (QS al-
Baqarah [2]: 189)
Seakan-akan hal ini bukan merupakan tempat ijtihad manusia. Dia
yang berkehendak mengatakan demikian. Kalau ditanya: “Kenapa?”
Jawabnya: “Kamipun tak tahu.” ‫ﻔ ﹸﻘﻘﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻨ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻣﺎ ﹶﺫﺫﺍ‬‫ ﻣ‬‫ﻚ‬‫ﺄﹶﻟﹸﻟﻮﻧ‬‫ﺴ‬‫ ﻳ‬mereka bertanya
kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. (QS al-Baqarah [2]:
215) sekali dijawab dengan ‫ﻮ‬ ‫ﻌ ﹾﻔ‬ ‫ﻞ ﺍﹾﻟ‬ ‫ ﻗﹸ ﹺ‬katakanlah: “Yang lebih dari
keperluan.” Di lain tempat dikatakan:‫ﻦ‬
‫ﻳ ﹺ‬‫ﺪ‬ ‫ﻟ‬‫ﻮﻮﺍ‬ ‫ﻠ ﹾﻠ‬ ‫ﺮﹴ ﹶﻓ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻣﻦ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺘ‬‫ﻧ ﹶﻔ ﹾﻘ‬‫ﻣﻣﺎ ﹶﺃ‬ ‫ ﻗﹸ ﹾﻞ‬jawablah:
“Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-
bapak, (QS al-Baqarah [2]: 215)
Jadi, Rasul melaksanakan perintah Tuhan dengan mengatakan: qul/
katakanlah, dan menyempaikan isi pesan.
Suatu yang menarik, bila diperhatikan: ‫ﻝ‬ ‫ﺒﺒﺎ ﹺ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﹾﺠﹺ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺄﹶﻟﹸﻟﻮﻧ‬‫ﺴ‬‫ﻳ‬‫ ﻭ‬dan mereka
bertanya kepadamu tentang gunung-gunung, (QS Thaha [20]: 105) ‫ﻞ‬
‫ﻓﹶﻘﹸ ﹾ‬
‫ﻔﹰﻔﺎ‬‫ﺴ‬‫ﺑﻲ ﻧ‬‫ﺑ‬‫ﻬﺎ ﺭ‬‫ﺴِﻔﹸﻬ‬‫ﻨ‬‫ ﻳ‬maka katakanlah: “Tuhanku akan menghancurkannya (di
hari kiamat) sehancur-hancurnya, (QS Thaha [20]: 105) di mana qul
tertulis dengan tambahan fa/maka, sedangkan lainnya, langsung, tanpa

548
AL-IKHLÂSH 112 JUZ 30

fa/maka. Jawaban yang bila tanpa fa/maka, artinya: di sana ada soal
yang diajukan kepada rasul, lalu Allah langsung menjawabnya. Bila
dengan fa/maka, di sana ada soal yang akan ditanyakan yang pada
waktu itu belum ditanya, maka jawablah dengan ini. Jadi, seakan-akan
fa/maka menunjukkan soal itu belum diajukan, tapi telah diketahui
Allah, maka bila ditanya katakanlah atau faqul.
Dalam Alquran juga ditemukan satu ayat yang berbeda dengan
redaksi umum ‫ﻚ‬ ‫ﺄﹶﻟﹸﻟﻮﻧ‬‫ﺴ‬‫ﻳ‬‫ ﻭ‬dan ‫ﻗﻞ‬. Di mana pada ayat ini tanpa ditemukan
pul/katakanlah. ‫ﺐ‬
 ‫ﻧﻲ ﻗﹶﺮﹺﺮﻳ‬‫ﻨﻲ ﻓﹶﺈﹺﻧ‬‫ﻨ‬‫ﺩﻱ ﻋ‬‫ﺒﺎﺩ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﺄﹶﻟﹶﻚ‬‫ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺳ‬‫ ﻭ‬dan apabila hamba-hamba-
Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku
adalah dekat. (QS al-Baqarah [2]: 186) Allah tidak mengatakan: ‫ﻧﻧﻲ‬‫ﻓﹶﹺﺈ‬
 ‫ ﻗﹶﺮﹺﺮﻳ‬bahwasanya Aku adalah dekat. Itu karena masalah ibadah tidak
‫ﺐ‬
membutuhkan prantara, seakan-akan saat mereka bertanya: ‫ﻚ‬
 ‫ﺄﹶﻟﹶ‬‫ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺳ‬‫ﻭ‬
‫ﻨﻨﻲ‬‫ﻋ‬ ‫ﺩﺩﻱ‬ ‫ﺒﺎ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang
Aku, jawablah: ‫ﺐ‬  ‫ﻧﻲ ﻗﹶﺮﹺﺮﻳ‬‫ ﻓﹶﺈﹺﻧ‬bahwasanya Aku adalah dekat. Itu karena
hubungan hamba dengan Tuhannya harus dilakukan secara langsung
tanpa perantara.
Unsur kedua huwa dalam kalimat ‫ﺪ‬ ‫ﺣ‬  ‫ﻪ ﹶﺃ‬ ‫ﻮ ﺍﻟ ﱠﻠ‬ ‫ﻫ‬ ‫ ﹸﻗ ﹾﻞ‬katakanlah: “Dialah
Allah, Yang Maha Esa, (QS al-Ikhlâsh [112]: 1). Kata huwa/Dia dalam
ilmu nahu merupakan kata ganti orang ketiga. Kata ganti itu ada tiga,
untuk orang pertama; ‫ ﺃﻧﺎ‬aku, dan ‫ ﳓﻦ‬kami, orang kedua; ‫ﺖ‬  ‫ﻧ‬‫ ﺃﹶ‬kamu, ‫ﻢ‬ ‫ﺘ‬‫ﻧ‬‫ﹶﺃ‬
kalian; sedangkan orang ketiga; ‫ﻮ‬ ‫ﻫ‬ dia, dan ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ mereka.
Kata ganti pertama (aku) dan kata ganti kedua (kamu) statusnya
diketahui. Sedangkan kata ganti ketiga (dia) statusnya tidak jelas
(mubham), maka ketika kata ganti ketiga (dia) disebutkan dalam nahwu
Arab harus ada marja (rujukannya) sebagai contoh: ‫ﺃﻧﺎ ﻟﻘﻴﺖ ﻓﻼﻧﺎ ﺑﺎﻷﻣﺲ ﻭﻗﺎﻝ‬
‫ ﻟﻪ ﻫﻮ ﻛﺬﺍ ﻛﺬﺍ‬saya ketemu Fulan kemarin, dan kukatakan kepada dia ini
dan itu. Dia di sini kembali atau merujuk kepada Fulan. Jadi setiap kata
ganti orang ketiga harus ada marja tempat kembali dan merujuk.
Tapi ketika dikatakan ‫ﻮ‬ ‫ﻫ‬ ‫ ﻗﹸﻞﹾ‬katakanlah Dia, tidak ditemukan marja,
seakan-akan bila disebutkan kata huwa/dia, dalam Alquran yang tidak
ada marja, maka marjanya tidak lain adalah Allah. Seakan-akan

549
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

marjanya adalah iman dan keyakinan bahwa Allah itu ada (maujûd).
Makna ‫ ﺍﷲ‬‫ﻮ‬‫ ﻫ‬Dialah Allah, seakan-akan yang benar-benar ada dan
memiliki hakikat penuh hanya Allah. Ketika dikatakan: “Dia satu-
satunya.” Maka wajib bagi kita untuk menyingkirkan zat lain di
samping-Nya. Ini artinya, bahwa Zat Allah itu Zat yang paling dikenal
dari seluruh zat yang ada.
Disebutkan juga bahwa Allah itu gaib, tapi Dia gaib yang memiliki
pengaruh yang dapat dilihat. Kenapa gaib? Karena Allah adalah nur/
cahaya. Cahaya dapat digunakan untuk melihat sesuatu, tetapi ia sendiri
tidak dapat dilihat, hingga datang cahaya yang lebih kuat barulah dapat
dilihat. Namun tidak ada cahaya yang lebih kuat dari Zat-Nya. Jadi,
dapat dipahami kenapa tidak dapat melihat Allah. Kalaulah tuhan dapat
dilihat, maka dia tidak cocok untuk disebut tuhan. Karena melihat itu
merupakan bentuk dari pembatasan. Contohnya, bila kamu membahas
latihan ilmu ukur dan mengatakan latihan ini dapat dijawab dengan
benar, artinya: dapat dijawab bahwa ia berada dalam pembatasan. Tapi,
selama ia tidak dapat dijawab, maka ia tidak dapat dibatasi.
Kalaulah Allah dapat dilihat, maka jadilah Allah yang sebelumnya
berkuasa, menjadi zat yang dikuasai. Untuk menjaga hakikat kekuasaan-
Nya, Dia harus tidak dapat dilihat. Kegaibannya merupakan rahasia
keagungan-Nya. Kenapa? Karena, kalau Allah memiliki Zat yang dapat
dilihat, maka Dia tidak pantas jadi tuhan.
Untuk itu dikatakan: “Tidak dapat melihat sesuatu adalah melihat
sesuatu, atau tidak mengetahui sesuatu adalah mengetahui sesuatu itu.”
Bagaimana? Ditanya kepada siswa A yang telah mempelajari 100 teori
tentang teori 200, maka dia akan menjawab: “Saya tidak mampu
menjawabnya.” Kenapa? “Karena saya belum memperlajarinya.”
Apakah siswa itu dapat diketegorikan pintar? Tentu, dia dikategorikan
pintar. Kalau ditanya soal yang sama kepada siswa B yang bodoh dia
akan berusaha menjawabnya, dan jawaban itu pasti salah. Dengan
demikian, tidak mengetahui suatu pengetahuan adalah pengetahuan.
Orang yang meyakini bahwa Allah tidak dapat dilihat, apakah dia
memahami hakikat Tuhan atau tidak? Tentu, dia paham, sedangkan
barang siapa yang berusaha mencari dan melihat Tuhan, maka dia tidak
paham tentang Tuhan.
Jadi kata huwa/dia, kata ganti ketiga yang menunjukkan bahwa
hakikat Allah tidak terlihat. Yang terlihat hanyalah hasil ciptaan-Nya.
Tidak terlihatnya Allah bukti atas keagungan-Nya.

550
AL-IKHLÂSH 112 JUZ 30

Ulama nahwu berpendapat bahwa kata ganti huwa/Dia selalu berada


di belakang setelah kata yang digantikan, namun pada surat ini kata Dia
berada di depan dan penggantinya di belakang: Allah. Kata huwa/Dia
ketika ditujukan kepada Allah, maka Dia tidak pernah punah dalam
benak dan pikiran setiap mukmin, untuk itu kata ganti ini tidak layak
disebut kata ganti untuk ketiga, tapi kata ganti hal, kisah, atau keadaan.
Maksud kata ganti hal, kisah dan keadaan adalah bahwa hal/kondisi,
kisah dan keadaan yang hakiki adalah Allah itu satu. Kondisi, kisah dan
keadaan ini telah diketahui oleh mereka yang tahu dan telah dilupakan
oleh mereka yang lupa. Kita yakini atau tidak kita yakini, Allah itu tetap
satu. Barang siapa yang yakin dan beriman maka dia telah sesuai dan
selaras dengan kebenaran, dan dia berhak mendapat balasan surga.
Barang siapa yang tidak mengimaninya, Allah tetap saja esa dan tidak
ada yang kurang dari Zat-Nya.
Jadi, Allah itu esa, inilah yang ditegaskan oleh ayat, Allah telah
bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Dia. Selama Allah telah bersaksi
bahwa tiada tuhan kecuali Dia, yang merupakan kesaksian Zat atas Zat-
Nya sendiri, maka kesaksian manusia tidak akan menambah ketetapan
dan kekokohan kesaksian ini, kecuali bahwa apa yang disaksikan itu
selaras dan sesuai dengan kesaksian Allah. Inilah yang disebut dengan
kata ganti kondisi, keadaan atau kisah.
Telah kita jelaskan sebelumnya bahwa Allah adalah nama bagi
Wajib Wujud, wajib keberadaannya. Nama saat menunjukkan zat yang
dinamakan tidak memiliki makna kecuali untuk menunjukkan zat itu
semata. Bila nama itu memiliki sifat maka sifat itu menempel pada zat
yang dinamakan. Bila dikatakan Allah itu Esa, Dia Mahakuasa, maka
seakan-akan sifat mendatangi zat, dan sifat memberi gambaran tentang
nama itu.
Penamaan tidak dapat diketahui melalui akal pikiran. Akal pikiran
boleh jadi mengetahui bahwa di balik alam raya ini ada Pencipta, ada
Pengatur, namun pengetahuan itu tidak sampai pada satu titik siapa
nama Pencipta dan Pengatur itu. Karena nama adalah peletakan, maka
perlu ada orang yang menyampaikan dan memberi tahu bahwa Pencipta
alam ini bernama Allah, orang yang menyampaikan ini adalah para
rasul.
Selama Allah sendiri yang telah menempatkan nama bagi dirinya
sendiri, maka nama itu wajib bagi zatnya dan berdiri sendiri bagaikan
zat. Keberadaan nama berbeda dengan sifat. Buktinya, Allah memiliki
banyak sifat, seperti: hidup, kuasa, bijaksana, namun Dia memiliki satu

551
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

nama. Di sisi lain, sifat boleh jadi diberikan kepada selain Allah,
sementara nama “Allah” tidak diberikan kecuali hanya untuk diri-Nya
sendiri.
Nama Allah sendiri merupakan bagian dari mukjizat. Untuk itu Allah
berkata: “Adakah kamu mengetahui selain Zat-Nya yang bernama
Allah?” Tidak ada nama makhluk di dunia ini yang bernama Allah.
Manusia boleh membuat banyak nama, baik manusia itu beriman
ataupun kafir, walau demikian tidak ada yang berani memberi nama
untuk anak atau benda yang diciptakan dengan nama “Allah” atau
“Tuhan” atau “God”.
Kenapa ini dapat terjadi? Ada dua kemungkinan. Pertama, Allah
telah membuat mereka tidak mampu hingga tidak pernah berpikir untuk
melakukan itu. Kedua, mereka berkeinginan untuk membuat itu tapi
dilemahkan Allah.
Lebih jauh lagi bahwa makna atau nama terlebih dahulu ada di dalam
benak kemudian dibuat oleh manusia. Nama tidak dipatenkan kecuali
benda atau zat itu telah ada terlebih dahulu di dalam akal pikiran. Untuk
itu saat menggambarkan surga dan neraka Allah tidak menyebutkan
hakikat surga dan neraka, karena hal itu tidak dapat dijangkau oleh
mata, tidak pernah terdengar oleh telinga dan tidak pernah terbayang
oleh akal pikiran. Apa yang disebutkan Alquran tentang surga dan
neraka hanya sekedar ilustrasi, perumpamaan yang mendekatkan kepada
pemahaman, itu saja.
Mengenai lafaz dari nama “Allah” berdasarkan keterangan di atas
dapat dipahami bahwa nama itu sudah diperkenalkan Allah sejak dari
manusia pertama. Manusia pertama menyampaikannya kepada anak
cucunya, anak cucu menyampaikan kepada keturunan berikutnya dan
seterusnya hingga saat ini.
Orang yang berkata: “bahwa Allah itu tidak ada,” maka sebenarnya
dia sendiri telah menetapkan keberadaan Allah, karena Allah sebagai
mubtada atau asas yang telah ditetapkan di dalam benak manusia,
kemudian datang khabar atau berita yang menafikan sesuatu yang
sebenarnya telah diakui sebagai asas tadi.
Di sisi lain, sifat-sifat Allah yang berjumlah sembilan puluh sembilan
itu berpindah menjadi nama-nama-Nya yang mulia (al-Asmâ’ al-Husna)
bagaimana ini dapat terjadi? Jawabannya, karena seluruh sifat itu
berstatus permanen pada zat Allah dan temporal pada diri makhluk. Bila
disebut kaya, maka kekayaan yang mutlak dan permanen hanya milik
Allah, kekuasaan yang mutlak dan permanan hanya milik Allah, maka

552
AL-IKHLÂSH 112 JUZ 30

kemutlakan dan permanennya sifat ini berpindahlah ia dari status sifat


menjadi nama. Nama bersifat permanen dan mutlak, sementara sifat
berstatus temporal dan sementara.
Nama-nama yang bersumber dari sifat itu sendiri terbagi dua: sifat
zat dan sifat perbuatan. Sifat zat adalah sifat yang tidak ada
kebalikannya, sementara sifat perbuatan adalah sifat yang memiliki
kebaliakannya. Contohnya, Allah memiliki sifat zat Hayy/Maha hidup,
Dia memiliki sifat perbuatan Muhyi/Maha Menghidupkan dan Mumit/
Maha Mematikan. Allah memiliki sifat Hayy/Maha Hidup dan tidak
memiliki sifat kebalikannya yaitu mayyit/Maha mati. Bila ada sifat yang
tidak memiliki kebalikannya, maka ia adalah sifat zat.
Dalam surat al-Ikhlâsh ini, saat Allah menyebutkan nama-Nya yaitu
Allah dan memberikan sifat atas nama itu dengan ahad/esa, shamad/
tempat berlindung, tidak beranak dan diperanakkan, maka sifat-sifat itu
muncul karena sebelumnya telah terjadi penyimpangan atas gambaran
yang diberikan manusia tentang Allah. Ada yang menyifati bahwa Allah
itu tidak esa, Allah itu tidak dapat menolong, Allah itu memiliki
pasangan, dan Dia memiliki anak. Untuk itu melalui surat ini Allah
mengoreksi kesalahan persepsi tersebut.
Ahad berbeda dengan wahid. Ahad/satu bagian terkait erat dengan
komponen perangkat parsial yang dimiliki, Allah itu ahad tidak terdiri
dari komponen dan perangkat, sementara wahid/satu artinya Allah itu
tidak istnain/dua, tiga dan seterusnya.
Hal ini menjadi jelas saat kita melihat agama Kristen yang telah
diselewengkan dari jati diri sebenarnya, mereka berkata: “Allah itu
adalah Tuhan bapa, di samping ada Tuhan anak dan Roh Kudus. Tuhan
yang esa ini terdiri dari tiga oknum: Bapa, anak dan Roh Kudus. Tiga
oknum itu adalah Tuhan yang Esa.” Jadi, Allah dalam Islam tidak
beranak dan tidak diperanakkan merupakan penegasan akan keesaan
mutlak.
Pernyataan bahwa Allah dalam Islam “lam yalid/tidak beranak,”
muncul karena pernyataan bahwa Allah yang esa dalam Kristen itu
terdiri dari tiga oknum, yang dapat dipahami bahwa Allah yang Esa itu
adalah beranak.
Keberadaan anak itu sendiri menimbulkan pemahaman bahwa bapa
dan anak adalah dua sosok yang berbeda. Di samping itu, kelahiran anak
itu sendiri sebagai tempat bergantung. Dalam dunia kemasyarakatan,
manusia memerlukan anak dan keturunan agar dirinya tetap dikenang,
agar anak tersebut dapat membantunya di saat dia telah tua dan anaknya

553
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

telah dewasa. Apakah Tuhan begitu tua sehingga dia memerlukan


anaknya?
Kata shamad/bergantung yang terletak di tengah-tengah, antara ahad
dan lam yalid, berfungsi sebagai penegas bahwa keesaan Allah atau
ahadiayah-Nya terletak pada tidak beranak dan tidak diperanakkan,
hubungan antara keesaan dan beranak adalah hubungan ketergantungan
yang terdapat dalam shamad/tempat bergantung. Selama dia tidak dapat
dijadikan tempat bergantung, maka dia memerlukan anak, dan itu
artinya, bahwa dia tidak esa.
Atau kata shamad sebagai penjelasan atas kata ahad/esa. Selama Dia
itu ahad maka Dia pasti menjadi tempat bergantung. Selama Dia ahad
pasti Dia tidak beranak dan diperanakkan. Selama Dia ahad pasti Dia
tidak memiliki sekutu.
Kata shamad/bergantung itu sendiri berasal dari shamada yang
artinya kuat. Ia berasal dari kantong kulit yang berisi penuh dan padat,
karena dahulu kala saat seseorang hendak mengangkat barang yang
berat dengan kayu, maka dia menyediakan satu kantong atau bundelan
padat agar dapat meringankan beban sebelah saat diangkat. Dari kata
shamad ini ditemukan kalimat rajulun shamad, yang artinya laki-laki itu
kuat, karena dia dapat melawan kesulitan dan kesukaran. Kata shamad
dipilih Allah dalam ayat ini karena Dia sebagai tempat bergantung
segala orang yang memerlukan, karena Dia Mahakuat.
Ketergantungan manusia terhadap Allah itu dapat dibagi dua.
Pertama, ketergantungan secara paksa dan ketergantungan secara suka
cita. Semua manusia memiliki ketergantungan secara paksa terhadap
Allah. Dia masih tetap memberikan seluruh manusia jantung untuk
berdetak, anggota tubuh untuk membantu menyukseskan kerjanya,
udara untuk dihirup, alam sebagai SDA, dan lainnya dari
ketergentungan manusia yang tidak dapat dielakkan.
Adapun ketergantungan secara suka cita adalah ketergantungan
untuk memilih apa yang sesuai dengan kehendak Allah di saat dia bisa
memilih untuk berseberangan dengan kehendak-Nya. Dia bergantung
untuk menyerahkan yang terbaik dalam hidup ini sesuai dengan
kehendak-Nya.
Ketergantungan secara paksa dapat dilihat saat manusia telah lanjut
usia atau saat mengalami sakit, dia secara terpaksa pasti berdoa
mengharap kesembuhan diri, terlebih saat seluruh perobatan dan dokter
tidak mampu menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Atau saat
tenggelam di laut, suka tidak suka spot ketuhanannya muncul, dia

554
AL-IKHLÂSH 112 JUZ 30

menjerit: “Ya Tuhan, tolong selamatkan aku.”


Bila demikian adanya, wajar bila setiap manusia bergantung kepada-
Nya dalam setiap pilihan yang dapat dia pilih, dengan cara memilih
yang terbaik. Kita tahu bahwa tidak ada yang wujud secara hakikat
kecuali keberadaan dan wujud-Nya. Tidak ada perbuatan yang hakiki
kecuali hakikat dari perbuatan-Nya. Bila kita ingin mencapai
kesempurnaan akidah, memahami hakikat hidup ini, maka kita wajib
untuk beriman bahwa tidak ada perbuatan yang hakiki kecuali Allah.
Selama Allah itu esa, maka tidak ada tempat kembali kecuali kepada
diri-Nya. Dia tempat bergantung, tidak beranak dan tidak diperanakkan
serta tidak memiliki sekutu. Kita semua sama di hadapan rahmat Allah,
hingga Dia mengajarkan kepada kita bagaimana harus mohon
perlindungan dari kejahatan setan. Untuk itu kita temukan surat
berikutnya yang mengajarkan kepada kita tata cara mohon perlindungan
itu.***

555
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

556
AL-- FALAQ 113 JUZ 30

SURAT 113
AL-FALAQ
(MAKKIYAH)

557
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

558
AL-- FALAQ 113 JUZ 30

ALLAH PELINDUNG DARI SEGALA KEJAHATAN


(QS al-Falaq [113] 1-5)
 ]\[ZYXWVUT
hgfedcba`_^
onmlkji
Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai
subuh,dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam
apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita
tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari
kejahatan pendengki bila ia dengki.”
‫ﺏ ﺍﹾﻟ ﹶﻔ ﹶﻠ ﹺﻖ‬
 ‫ﺮ‬ ‫ﻋﻮﺫﹸ ﺑﹺ‬‫ ﻗﹸﻞﹾ ﺃﹶﻋ‬katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan yang
menguasai subuh, (QS al-Falaq [113]: 1) Kata 'aûdzu/berlindung
membutuhkan tempat berlindung, dan perlindungan dari. ‫ﻋﻮ ﹸﺫ‬‫ ﻗﹸﻞﹾ ﺃﹶﻋ‬artinya
saya berlindung kepada Allah. ‫ﻖ‬ ‫ﺏ ﺍﹾﻟ ﹶﻔ ﹶﻠ ﹺ‬
 ‫ﺮ‬ ‫ﻋﻮﺫﹸ ﺑﹺ‬‫ ﻗﹸﻞﹾ ﺃﹶﻋ‬katakanlah: “Aku
berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh, (QS al-Falaq [113]:
1) sebagai Zat yang menganjurkan kita untuk berlindung.
Kondisi membuktikan bahwa kita tidak akan dapat berlindung
kecuali kepada-Nya. Kenapa? Karena Dia adalah Tuhan yang
menguasai subuh.
Kata falq adalah subuh. Subuh merupakan puncak sinar; dan sinar
merupakan puncak hidayah. Arti lain dari falq ialah apa-apa yang ke
luar dari kehidupan. Baik falq dalam arti subuh ataupun bibit. Selama
Tuhan yang telah menciptakan cahaya agar dapat berjalan dengan
petunjuk, dan Tuhan pula yang menciptakan sesuatu dari tidak ada,
maka wajib bagi kita untuk berlindung kepada-Nya.
‫ﻖ‬ ‫ﺧ ﹶﻠ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ()‫ﺏ ﺍﹾﻟ ﹶﻔ ﹶﻠ ﹺﻖ‬
 ‫ﺮ‬ ‫ﻋﻮﺫﹸ ﺑﹺ‬‫ ﻗﹸﻞﹾ ﺃﹶﻋ‬katakanlah: “Aku berlindung kepada
Tuhan yang menguasai subuh, dari kejahatan makhluk-Nya. Ini tidak
berarti bahwa Allah menciptakan sebagian makhluk-Nya bersifat jahat
secara permanen. Tapi di dalam diri manusia terdapat unsur jahat
ataupun unsur baik.
Selanjutnya, bila dilihat dunia hewan yang dijinakkan Allah dan
hewan yang masih dibiarkannya hidup buas, semuanya punya hikmah
dan berkhidmat bagi manusia. Unta yang besar dapat ditunggangi dan

559
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

dituntun oleh balita atau anak kecil. Sedangkan ular yang kecil ketika
dilihat lelaki dewasa ia akan lari ketakutan. Kenapa ini terjadi? Seakan-
akan Allah menyadarkan kita bahwa penjinakkan itu terjadi bukan atas
kuasa manusia atau keahliannya. Buktinya mengapa binatang yang
besar dapat dijinakkan sedangkan yang kecil tidak dapat. Seakan-akan
ketidak disiplinan ini ada hikmahnya. Di antara hikmahnya agar
manusia sadar bahwa di sana ada kuasa Allah yang menciptakan ini.
‫ﻟ ﹸﻜﻜﻮ ﹶﻥ‬‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ﻬﺎ‬‫ ﻟﹶﻬ‬‫ﻢ‬‫ﻣﺎ ﻓﹶﻬ‬‫ﻌﺎﻣ‬‫ﻌ‬‫ﻨﺎ ﺃﹶﻧ‬‫ﺪﻳﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺃﹶﻳ‬‫ﻠﹶﺖ‬‫ﻋﻤ‬ ‫ﻤﺎ‬‫ﻣﻤ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻨﺎ ﻟﹶ‬‫ﻠﹶﻘﹾﻨ‬‫ﻧﺎ ﺧ‬‫ﻭﺍ ﺃﹶﻧ‬‫ﻭ‬‫ﺮ‬‫ ﻳ‬‫ﻟﹶﻢ‬‫ ﺃﹶﻭ‬dan apakah mereka
tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang
ternak untuk mereka yaitu sebagian dari apa yang telah Kami ciptakan
dengan kekuasaan Kami sendiri, lalu mereka menguasainya? (QS Yâsîn
[36]: 71)
Menurut ulama kata sambung fa/maka, di sini tidak sesuai, kenapa?
Karena kepemilikan tidak langsung didapat ketika Allah menciptakan
binatang itu, tapi harus ada proses penjinakkan. Artinya, kepemilikan
terjadi berkat penjinakan, bukan karena penciptaan. Kalau hanya karena
penciptaan, maka semua hewan yang diciptakan dapat dijinakkan, tapi
realitanya berbeda. Jadi Allah membiarkan sebagian binatang buas tidak
dapat dijinakan, sebagai bukti bahwa penjinakan itu bukan semata-mata
terjadi atas dasar kecerdasan manusia.
Plus di dalamnya terdapat juga banyak faedah seperti; ular yang
buas itu, ditemukan faedahnya dengan mengambil bisa untuk
penyembuh penyakit yang mematikan. Artinya, di dalam binatang yang
buas ini pun terdapat kebaikan. Jadi, kapan ia dikatakan jahat? Bila
diciptakan tidak sesuai dengan garis yang diciptakan. Kenapa pula Dia
menciptakan tidak sesuai dengan garis yang telah diciptakan?
Permasalahannya tidak selalu demikian, tapi Allah Mahatinggi, hingga
manusia yang ditundukkan alam untuknya tidak menduga bahwa dia
tidak membutuhkan Tuhan, sehingga dapat tidur nyenyak, atau jalan di
tempat yang berbahaya. Dia akan takut bila digigit ular yang kecil lagi
mematikan, hingga selalu berdoa: “Ya Tuhan lindungilah aku.” Karena,
kekuatannya tidak mampu (terbatas) untuk melindungi dirinya.
Jadi ini semua merupakan renungan dan ikatan bagi manusia. Setiap
unsur yang menakutkan yang timbul menyebabkan manusia akan selalu
terkait kepada penciptanya. Bila ingin berlindung dari ini semua
katakanlah: ‫ﻖ‬  ‫ﺧ ﹶﻠ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ()‫ﺏ ﺍﹾﻟ ﹶﻔ ﹶﻠ ﹺﻖ‬  ‫ﺮ‬ ‫ﻋﻮﺫﹸ ﺑﹺ‬‫ ﻗﹸﻞﹾ ﺃﹶﻋ‬katakanlah: “Aku berlindung
kepada Tuhan Yang Menguasai subuh, dari kejahatan makhluk-Nya.

560
AL-- FALAQ 113 JUZ 30

Ini terkait dengan makhluk yang diciptakan Allah. Ayat selanjutnya


datang pengkhususan setelah sebelumnya bersifat umum, guna
menambah keistimewaan. ‫ﺐ‬  ‫ﻗﹶ‬‫ﻖﹴ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﻭ‬‫ ﻏﹶﻏﺎﺳ‬‫ﺮ‬‫ ﺷ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬‫ﻖ)(ﻭ‬ ‫ﺧ ﹶﻠ‬ ‫ﻣﻣﺎ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ dari
kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap
gulita. (QS al-Falaq [113]: 2-3)
Kata ghâsyiq ialah malam yang telah larut. Adapun makna waqab
ialah gelap gulita, mulailah manusia berani melakukan tindakan jahat,
binatang buaspun mulai ke luar, serangga mematikan pun bangun.
Malam yang gelap membuat pelaku merasa aman dari penglihatan
manusia, sedangkan siang hari semuanya terbuka dan jelas.
Kata ghâsyiq/malam dan waqab/gulita, telah dijelaskan bahwa
setiap lafaz mempunyai sejarah dan fase. Asal dari ghâsyiq atau malam
adalah redup, sedangkan asal dari kata waqab pembuat lobang di
pegunungan sebagai wadah penampung air bila turun hujan. Hujan itu
pun tidak dapat ditampung kecuali lebat sekali, dan lebatnya hujan
terjadi setelah terkumpulnya awan yang pekat. Inilah kegelapan di siang
hari. Kalau kegelapan di malam hari itu biasa. Adapun kegelapan di
siang hari itulah yang unik.
Malam yang gelap gulita itu dgambarkan dengan kegelapan yang
menyelimuti seluruh alam, bagaikan air hujan lebat yang turun
memenuhi wadah yang telah disediakan sebagai tempat penampungan
air di pegunungan. Kegelapan siang terjadi akibat awan pekat yang
menutupi sinar matahari, dari sinilah diambil kata dasar waqab/pembuat
lobang menjadi waqab/gelap gulita.
Selanjutnya: ‫ﺪ‬ ‫ﻌ ﹶﻘ‬ ‫ﻓﻓﻲ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺕ‬
 ‫ﻔﱠﻔﺎﺛﹶﺛﺎ‬‫ﺮ ﺍﻟﻨ‬ ‫ﻦ ﺷ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻭ‬ dan dari kejahatan wanita-wanita
tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul. Kata ‫ﺕ‬  ‫ﻔﱠﻔﺎﺛﹶﺛﺎ‬‫ﺍﻟﻨ‬
menggunakan alif dan ta di akhir, seakan-akan menunjukkan untuk
muannast (perempuan), maka para mufassir menafsirkannya dengan
‫ ﺳﺎﺣﺮﺍﺕ‬para sihir wanita, kenapa? Apakah tidak ada ‫ ﺳﺎﺣﺮﻭﻥ‬para sihir
pria? Sebagian mufassir mengatakan: “Berlindung kepada para tukang
sihir, baik lelaki ataupun perempuan.” Demikianlah penafsiran ‫ﺕ‬  ‫ﻔﱠﻔﺎﺛﹶﺛﺎ‬‫ﺍﻟﻨ‬
mengambil dua pendapat, bisa khusus untuk tukang sihir perempuan,
atau bersifat umum: perempuan dan lelaki.
‫ﺪ‬ ‫ﺴ‬
 ‫ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺣ‬‫ﺪ‬‫ﺣﺎﺳ‬‫ ﺣ‬‫ﺮ‬‫ ﺷ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬dari kejahatan orang yang dengki apabila ia
dengki. (QS al-Falaq [113]: 5) Ada dua poin penting yang dikomentari
penganut paham rasionalisme. Mereka berkata: “Bagaimana dikatakan

561
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

ada sihir dan ada dengki?” Mereka mengingkari sihir, kenapa? Karena
tidak dapat diterima akal. Mereka mengingkari dengki, karena tidak
dapat diterima akal juga.
Paham rasionalisme ini sebenarnya memiliki niat baik. Paham ini
muncul pada awal abad modern ini, yang akhirnya menarik kita menuju
ke masa kebangkitan dan dunia ilmu pengetahuan. Ini dimulai dari
Timur Arab melalui Barat. Akal manusia tergila-gila dengan paham
rasionalisme itu. Selanjutnya pemikiran ini merambah ke dalam akidah
Islam, khususnya yang berkaitan dengan hal gaib. Para penganut paham
rasionalisme mencoba mendekati masalah gaib yang tidak sesuai
dengan logika ilmu eksperimen dan realita. Maka, akhirnya merekapun
mentakwilkan. Seakan-akan mereka ingin semua permasalahan agama
dapat dimasukkan ke dalam eksperimen.
Kalau gaib ini masuk ke dalam dunia eksperimen, maka kita tidak
membutuhkan rasul dan iman kepada Allah. Karena semua dapat
dituntaskan oleh akal pikiran, atau dunia eksperimen dapat
menjawabnya. Seperti; telah kita katakan: “Apakah di sana ada listrik
Rusia, atau listrik Amerika.” Tidak, tidak ada listrik Rusia atau
Amerika. Setiap hal yang masuk dunia eksperimen atau masuk dunia
ilmu laboraturium yang netral, maka tidak ditemukan di sana perbedaan.
Bila kamu menginginkan semuanya berjalan netral seperti ini, maka
jawabnya agama tidak diperlukan di dunia ini. Tapi, bila kamu ingin
beragama dan beriman kepada Tuhan yang kuasa, Dia memiliki
segalanya, maka akalmu tidak akan dapat menjadi hujjah atas apa yang
diciptakan-Nya.
Terkadang Dia menciptakan sesuatu yang kamu tidak
mengetahuinya. Akal sendiri akan menentramkan jiwamu akan
kebenaran hal gaib ini. Karena banyak hal di dunia ini yang tidak dapat
di indra dan dibawa ke laboraturium untuk diuji coba, lalu dipaksakan
mereka untuk diterima akal dan masuk dunia uji coba.
Bila dikisahkan sepuluh atau dua puluh abad yang lalu bahwa di
dunia ini terdapat mikroba yang besarnya sekecil ini, mampu melakukan
ini, niscaya tidak seorangpun percaya. Kenapa tidak dinyatakan bahwa
mikroba pada zaman dulu gaib dan sekarang sudah dapat dilihat. Ini
merupakan sarana bagi mukmin bahwa akal pikirannya bukanlah hujjah
dan tolak ukur atas keberadaan sesuatu, karena sesuatu itu dapat dilihat,
dan bukan pula tidak dapat diyakini keberadaan sesuatu hanya karena
sesuatu itu tidak dapat dilihat.

562
AL-- FALAQ 113 JUZ 30

Tidak, tapi jadilah orang yang berpikir logis dengan akal pikiranmu.
Karena sekarang kamu dapat melihat sesuatu yang dulunya tidak dapat
dilihat. Kenapa hal yang demikian telah dijadikan tolak ukur dalam
menilai. Banyak hal yang dulunya tersimpan dan tersembunyi, dengan
berputarnya waktu menjadi terungkap dan dapat dilihat. Kenapa hal ini
tidak dijadikan bahan renungan yang berkata: “Wahai manusia, akalmu
bukanlah barometer untuk menilai segala sesuatu!” Akalmu itu terbatas,
ia dapat memahami sesuatu sebatas kemampuannya. Selalu terungkap
misteri baru di dunia ini, membuktikan bahwa akal bukanlah segalanya.
Lebih lanjut bila ditelusuri hakekat akal, maka tugasnya tidak lain
hanya meyakini apa yang terjadi. Apakah semua itu dicetuskan Allah
atau tidak? Puncak yang diyakini oleh akal bukanlah peristiwa ini, tapi
puncaknya ialah yakin dan beriman kepada Allah sebagai Tuhan yang
Kuasa dan Maha Berkehendak.
Juga, apakah Allah telah berkata tentang hal itu atau tidak? Bila
Allah yang telah mengatakannya, ambillah pernyataannya itu, lalu
telitilah ia, niscaya akal pikiranmu akan mendapat petunjuk untuk
mengungkap sebagia misteri.
Semua misteri di alam ini terbagi kepada dua bagian: Pertama, gaib
(misteri) nisbi yang tertutup dari pandanganmu, kedua, gaib mutlak.
Gaibnya suatu benda itu tidaklah bersifat mutlak. Kenapa? Karena
untuk mengungkapkan hasil penemuan final dibutuhkan pendahuluan-
pendahuluan yang harus dilalui oleh para peneliti, dan ilmuan.
Buktinya, apakah para peneliti itu telah menemukan hasil penelitiannya
dari A sampai Z. Apakah dia menelitinya secara bertahap, dari A ke B,
kemudian dilanjutkan oleh peneliti kedua dari B ke C dan peneliti ketiga
dari C ke D dan seterusnya. Dari rangkaian ini kamu dapat melihat
begaimana suatu yang tertutup berkat pendahuluan-pendahuluan itu
berhasil ditemukan. Maka dapat dikatakan: bahwa hasil penelitian itu
bukan merupakan gaib (misteri) yang mutlak, tapi gaib bagimu (nisbi).
Untuk itu ketika Allah memaparkan epermaslahan ini secara
tekhnis, Ia berfirman dalam ayat kursi:
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia
Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak
mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di
bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya.
Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang
mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah
melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan

563
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah
Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS al-Baqarah [2]: 255)
Kata ‫ﺤﻴ ﹸﻄﻄﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﺤ‬
 ‫ ﻳ‬mereka mengetahui. Kata ini dinisbahkan kepada
manusia, tapi itu tidak lepas dari izin Allah. Seakan-akan setiap misteri
akan terungkap setelah melalui pendahuluan. Tapi ketika Allah
berkehendak, maka ditemukan misteri ini muncul dengan sendirinya
tanpa disengaja. Betapa banyak hasil penelitian yang muncul akibat
ketidak sengajaan atau kesalahan teknis. Seakan-akan itu karena, Allah
ingin memunculkan misteri ini, walaupun tanpa penelitian pendahuluan.
Jadi, yang misteri (gaib) dari kata ini memiliki pendahuluan di alam
ini, yang dengan akal pikiran misteri itu dapat terkuak. Bagian kedua
dari misteri ialah misteri mutlak, yaitu suatu misteri yang tidak
ditemukan pendahuluan untuk sampai kepadanya. Inilah yang disebut
Allah dengan: ‫ﻝ‬ ‫ﺳﺳﻮ ﹴ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻀﻰ‬ ‫ﻀ‬
 ‫ﺗ‬‫ﺭ‬ ‫ﻣ ﹺﻦ ﺍ‬ ‫ﺪﺪﺍ)(ﹺﺇ ﱠﻻ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﻪ ﹶﺃ‬ ‫ﻴﹺﺒ‬ ‫ﻋ ﹶﻠﻠﻰ ﹶﻏ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻈﹾﻬﹺ‬‫ﺐﹺ ﻓﹶﻼﹶ ﻳ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﻟﹾﻐ‬‫ﻢ‬‫ﻋﺎﻟ‬‫ ﻋ‬Dia
adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak
memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu. Kecuali
kepada rasul yang diridai-Nya, (QS al-Jin [72]: 26)
Seakan-akan misteri ini tidak memiliki pendahuluan untuk
menggapainya. Selama tidak ada pendahuluan yang dapat dijadikan
acuan, maka manusia tidak memiliki kemampuan untuk menggapainya.
‫ﺪﺪﺍ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﻪ ﹶﺃ‬ ‫ﻴﹺﺒ‬ ‫ﻋ ﹶﻠﻠﻰ ﹶﻏ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻈﹾﻬﹺ‬‫ﺐﹺ ﻓﹶﻼﹶ ﻳ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﻟﹾﻐ‬‫ﻢ‬‫ﻋﺎﻟ‬‫( ﻋ‬Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang
gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang
ghaib itu. (QS al-Jin [72]: 26)
Kata‫ﺮ‬ ‫ﻈﹾﻬﹺ‬‫ ﻳ‬menunjukkan bahwa hal itu hanya dapat dilakukanNya,
sedangkan manusia tidak ada usaha pendahuluan untuk mencapainya.
Dialah yang mengarunia manusia pendahuluan itu.
Kembali kepada pembahasan utama. Sebagian manusia mengatakan
bahwa sihir itu tidak memiliki hakikat. Dijawab: “Ya syekh, seakan-
akan kamu menentang realita, dan menentang teks Alquran. Janganlah
akalmu menentang teks itu. Karena tidak dibenarkan seseorang
berijtihad terhadap teks selamanya. Tapi, gunakanlah akalmu untuk
mendekatkan sesuatu dengan namanya, yang disebut dengan ilmu al-
Yarzukhi, yaitu ilmu yang mengutip dari sini sebagian dan dari sini
sebagian, lalu diadakan pendekatan antara bagian-bagian itu.
Mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa
kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu
mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan

564
AL-- FALAQ 113 JUZ 30

sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). (QS al-
Baqarah [2]: 102) Dari teks ini terbukti bahwa di sana ada hakekat yang
namanya sihir. Ia bukan berasal dari usaha manusia, tapi dari makhluk
yang di atas. Mereka inilah yang mengajarkan kepada manusia. Lalu
tersebarlah sihir ini di antara manusia.
Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang
diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan
Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang
pun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan
(bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari
dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat
menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Mereka itu (ahli
sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun
kecuali dengan izin Allah. Mereka mempelajari sesuatu yang memberi
mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya
mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab
Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat dan
amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau
mereka mengetahui. (QS al-Baqarah [2]: 102)
Kata ‫ﻩ‬ ‫ﺮﺍ‬‫ﺮ‬‫ﺘ‬‫ﻤﻦﹺ ﺍﺷ‬ ‫ ﻟﹶ‬menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu. Seakan-
akan ditemukan dalam sihir transaksi. Transaksi ini bukan merupakan
usaha manusia, tapi kerjaan makhluk di atas.
Kenapa? Karena Allah ingin kita memalingkan pandangan pada
problem, bahwa jin walaupun lebih ringan dan lebih kuat dari manusia,
tapi Allah ingin menetapkan bahwa unsur makhluk itu bukanlah penentu
segalanya. Buktinya Allah mampu menundukkan kekuasaan kepada
yang rendah untuk menundukkan yang tinggi unsurnya. Jadi, bukan
unsur yang menentukan. Walaupun unsur dapat berjalan sesuai
sunnatullah, kalau Allah berkeinginan agar yang rendah menundukkan
yang tinggi, maka sunnatullah itu tidak berlaku, dan kehendak Allahlah
yang terlaksana.
Jin lebih ringan dan kuat dari manusia, itu karena tabiat jin tercipta
dari api, sedangkan manusia dari tanah. Api mengandung unsur ringan
dan halus, sedangkan tanah mengandung unsur padat dan tebal.
Buktinya, ketika didatangkan sebuat apel dibalik tembok, maka kita
manusia yang tercipta dari tanah tidak dapat memakannya, sedangkan
api bila diletakkan dibalik tembok ditemukan pengaruhnya pada apel
tersebut. Jadi selama jin diciptakan dari unsur api, ia dapat bereaksi
seperti apel yang ringan dan halus itu.

565
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Untuk itu dalam kisah Nabi Sulaiman, ketika dia berkata: ‫ﺗﺗﻴﹺﻨﻨﻲ‬‫ﺄﹾ‬‫ ﻳ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﺃﹶﻳ‬
 ‫ﻤ‬‫ﻠ‬‫ﺴ‬‫ﺗﻮﻧﹺﻧﻲ ﻣ‬‫ﺄﹾﺗ‬‫ﻞﹶ ﺃﹶﻥﹾ ﻳ‬‫ﻬﺎ ﻗﹶﺒ‬‫ﻬ‬‫ﺷ‬‫ﺮ‬‫ ﺑﹺﻌ‬siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup
‫ﲔ‬
membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku
sebagai orang-orang yang berserah diri.” (QS an-Naml [27]: 38)
Apakah manusia biasa dapat memenuhi permintaan Sulaiman? Tidak,
mereka semua terdiam. Siapa yang dapat memenuhi permintaan itu?
Bukan jin biasa juga, tapi jin Ifrid yang paling pintar. Seakan-akan jin
juga mengandung unsur pintar dan bodoh. Persis, seperti manusia. Yang
memenuhi panggilan itu bukan manusia biasa atau manusia pintar,
bukan pula jin biasa, tapi jin yang maha pintar.
Berkata ifrid dari golongan jin, karena ifrid dapat
melaksanakannya. ‫ﲔ‬  ‫ﻤ‬‫ﻠ‬‫ﺴ‬‫ﺗﻮﻧﹺﻧﻲ ﻣ‬‫ﺄﹾﺗ‬‫ﻞﹶ ﺃﹶﻥﹾ ﻳ‬‫ﻬﺎ ﻗﹶﺒ‬‫ﻬ‬‫ﺷ‬‫ﺮ‬‫ﺗﻴﻨﹺﻨﻲ ﺑﹺﻌ‬‫ﺄﹾﺗ‬‫ ﻳ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ ﺃﹶﻳ‬siapakah di antara
kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku
sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah
diri. (QS an-Naml [27]: 38) seakan-akan Sulaiman telah mendapat
khabar bahwa Balqis dan rombongannya telah meninggalkan Yaman
sedang menuju istana Sulaiman. Maka, Sulaiman meminta untuk
memindahkan istana Balqis sebelum Balqis sampai. Hanya jin Ifrid
yang mampu melaksanakannya. Ketika Ifrid berbicara maka ia pun
berbicara sesuai dengan kemampuannya.
Berkata Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: “Aku akan datang
kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu
berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat
untuk membawanya lagi dapat dipercaya.” Berdiri dari tempat duduk
itu memakan waktu dua atau tiga jam. Itulah biasanya lama manusia
mengobrol sebelum akhirnya beranjak dari tempat duduk. Inilah waktu
yang dibutuhkan Ifrid untuk memindahkan istana.
Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: “Aku akan
membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.”
Seorang yang menguasai kitab suci dapat melakukan itu lebih cepat lagi
dari usaha jin Ifrit. Akhirnya jin tidak dapat berbuat kecerdikan ini
berdasarkan kemampuannya, dan berkat kehendak Allah maka seorang
yang mempunyai ilmu dari Alkitab dapat berbuat. Itulah Allah yang
dapat memberikan kepada yang rendah (manusia) kekuatan hingga
dapat melampaui jin.
Begitu juga dengan sihir. Apakah jin itu cerdik? Jawabnya: “Tidak”.
Saya dapat menjadikan manusia untuk menundukkan jin. Untuk itu

566
AL-- FALAQ 113 JUZ 30

malaikat turun untuk berkata kepada manusia: “Bahwa segala sesuatu


tidak lepas begitu saja dapat berjalan sesuai dengan undang-undangnya,
karena Zat yang menciptakannya dapat memberikan keistimewaan
kepada makhluk yang rendah. Seperti kisah Adam dan malaikat.
Malaikat makhluk mulia, sedangkan Adam dari tanah. Namun Allah
memerintahkan malaikat untuk bertanya kepada Adam, setelah
sebelumnya Allah mengajari Adam.
Jadi Allah telah memberikan kepada Zat yang rendah (Adam)
sesuatu yang tidak diberikannya kepada Zat yang tinggi. Inilah
kebebasan Allah, dan keagunganNya. Kalaulah setiap sesuatu diatur
sesuai dengan unsur ciptaannya, maka tidak ada gunanya Tuhan. Untuk
itu Allah katakan: Benar, unsur dapat berjalan sesuai dengan sebab yang
biasa, tapi bila Aku berkehendak, Aku dapat memberi kepada zat yang
rendah kemampuan lebih dari zat yang tinggi.
Berdasarkan surat al-Baqarah di atas proses perpindahan sihir itu
dimulai dari dua malaikat yang mengajarkan ilmu itu kepada jin, lalu jin
mengajarinya kepada manusia. Dari sini terlihat unsur saling
membutuhkan yang dalam istilah sekarang disebut dengan pemerataan
kesempatan.
Saya manusia, kamu manusia dan dia manusia. Apakah kita tahu,
kenapa saya dapat menjadi beradab ditengah masyarakat? Itu karena
kesempatan kita sama. Ketika saya memukul seseorang berdasarkan
kekuatannya, maka orang yang lebih kuat dariku akan datang untuk
membalas pukulan dengan pukulan yang lebih kuat lagi. Jadi, saya tetap
beradab atas orang yang lebih rendah dariku, agar orang yang lebih
tinggi dariku dapat beradab terhadapku. Buktinya, seseorang akan
menjadi Firaun, karena tidak ada seorang pun yang mencegahnya. Jadi,
keseimbangan dapat timbul di tengah masyarakat akibat adanya
pemerataan kesempatan.
Kita akan hidup tenang bila tidak ada di antara kita yang tidak
memiliki senjata. Tapi, bila ada di antara kita yang menggunakan
kekuatannya dengan senjata, kitapun akan mencoba saling memahami
dengannya secara spontan. Itu karena ia menjadi orang yang super di
antara kita. Tapi, kalau ia tahu bahwa saya juga memiliki senjata, pasti
iapun akan berlaku sopan terhadapku. Jadi, pemerataan kesempatan
itulah yang membuat keseimbangan di tengah masyarakat. Sebaliknya,
ketika tidak ada pemerataan kesempatan ditengah masyarakat niscaya
yang kuat akan menindas yang lemah.

567
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Manusia dengan hakekat unsur kejadiannya (tanah) membuat dia


dapat hidup dengan manusia lain yang sejenis dengannya. Jin dengan
hakekat unsur yang lebih haluspun demikian. Benar, Allah mampu
memberikan kepada manusia kekuasaan untuk menaklukkan jin, hingga
manusia lebih kuat darinya. Tapi, itu bukanlah merupakan
kemashlahatanmu, kenapa? Karena hal itu menyebabkan kamu merasa
super dengan kekuatan ekstra melebihi manusia lainnya. Akhirnya,
rusaklah tatanan pemerataan kesempatan.
Telah pula kita sebutkan, manusia dapat menyetir dirinya saat
menerima amanat, tapi saat pelaksanaan amanat itu ia tidak dapat
mengendalikan dirinya. Seorang berkata: “Aku beli senjata untuk
melindungi diri dari serangan pencuri.” Ini diucapkan saat menerima
amanat. Tapi, saat senjata itu berada ditangan kamupun susah
mengendalikannya. Ketika terjadi kemarahan dengan serta merta senjata
itu pun dikeluarkan.
Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang
diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan
Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang
pun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya fitnah/cobaan
(bagimu), (QS al-Baqarah [2]: 102) Kenapa sihir itu fitnah atau cobaan?
Benar, kita mampu mengajarimu sihir. Tapi, ketika kamu telah pintar, ia
akan membuatmu super. Inilah fitnah dan cobaan itu. Pada saat kamu
merasa super, ia akan menyeretmu untuk berbuat zalim dan kejahatan.
Kamu berkata: “Ajarkan aku sihir, aku tidak akan menggunakannya
kecuali untuk kebaikan.” Kita jawab: Tidakkah kamu berpikir ketika
kamu mempelajari kekuatan sihir ini kamu dapat melakukan apa saja,
sehingga menyeleweng dari garis yang telah ditentukan Allah.”
Untuk itu ditemukan orang yang menekuni sihir, bentuk dan
warnanya menyerupai bentuk Ifrit, kondisi hidup mereka miskin.
Walaupun ia bekerja tapi kondisi hidupnya tetap miskin, hingga
terkadang mereka tidak punya baju untuk dipakai. Ketika mati tidak ada
harta warisan dirumahnya, anak-anaknya menjadi bahan cercaan. Itu
karena ia mengerti betul saat menerima kekuatan sihir ini iapun harus
membalas pemberian itu dengan setimpal pula, walaupun
konsekwensinya sungguh berat.
Untuk itu Alquran mengingatkan kita, dengan ayatnya “Dan
bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta
perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu
menambah bagi mereka dosa dan kesalahan,” (QS al-Jin [72]: 6) jangan

568
AL-- FALAQ 113 JUZ 30

pernah berpikir, saat mengambil kesempatan besar ini kamu dapat


menguasai apa saja, tidak. Kamu akan melampaui batas, dan setelah itu
kamu tidak akan mendapatkan apa-apa.
Jadi, tidak ada hambatan bagi Allah untuk memberikan kepada
sebagian manusia beberapa keistimewaan. Di antara keistimewaan itu
menundukkan jin, hingga jin itu dapat berubah bentuk menjadi wanita
yang cantik, atau menjadi muka monyet. Hal ini dapat saja terjadi,
karena jin dapat merubah bentuk, sesuai dengan mantra yang dibacakan
manusia.
Dalam hadis disebutkan: “Jin menampakkan wujudnya kepadaku,
hingga aku ingin mengikatnya ditiang masjid untuk dilihat anak-anak
dikota Madinah.”
Benar, selama jin berbentuk ke luar dari bentuk asalnya, maka
bentuk yang ia serupai itu akan mengatur dirinya. Maksudnya, kalau ia
menyerupai keledai atau manusia, lalu ditembak dengan senjata, iapun
akan mati. Ini merupakan jaminan Allah bagi kita atas jin. Kalau tidak,
niscaya jin dan setan akan menghancur lantakkan dunia ini semuanya,
dan menjadikan hidup kita terombang-ambing.
Jadi, jin paham betul, ketika ia menyerupai bentuk yang
menakutkan, maka bentuk itu bisa mematikannya. Kalau manusia itu
cerdik bahwa jin yang menakutinya akan terpengaruh dengan wujud
samarannya itu, maka ketimbang ia lari ketakutan, sebaiknya ia
mengambil senjata atau pedang lalu memukul jin ini, hingga tewaslah
ia. Wujud penyerupaan yang mengatur hidup jin inilah merupakan
wujud dari kasih Tuhan kepada manusia atas perlakuan jin.
Untuk itu jin dinamakan dengan ‫ﺱ‬ ‫ﻨﺎ ﹺ‬‫ﻨ‬‫ ﺍﻟﹾﺨ‬orang yang melakukan tipu
daya. ‫ﺱ‬ ‫ﻨﺎ ﹺ‬‫ﻨ‬‫ﻮﺍﺱﹺ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ﻮ‬‫ﺳ‬‫ ﺍﻟﹾﻮ‬dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa
bersembunyi. Itu karena jin akan takut dan lari terhadap orang yang
waspadai dan sebaliknya, akan muncul terhadap orang yang lengah. Itu
karena hukum penyerupaan ini akan diatur oleh unsur apapun. Ia bahkan
sanggup memberi kepada zat yang rendah keistimewaan dan kekuatan.
Setelah diberikannya Ia berkata: “Kekuatan sihir yang kamu ambil itu
adalah fitnah.” Bila digunakan maka kamu akan menjadi tirani yang
melampaui batas. Jadi dari sini tidak mustahil bila sihir itu ada di dunia
ini.
Tapi apakah sihir itu mempunyai hakikat? Jawabnya: Inilah yang
perlu dibahas. Sebenarnya sihir tidak mempengaruhi hakikat sesuatu.
Hal ini telah dijelaskan dalam kisah Nabi Musa. Nabi Musa memiliki

569
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

mukjizat dari jenis sihir itu, karena masyarakat Firaun terkenal dengan
sihir. Dalam hal itu Alquran menjelaskannya ‫ﺱ‬ ‫ﻨﺎ ﹺ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﺮﻭﺍ ﺃﹶﻋ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ ﺳ‬mereka
menyulap mata orang. (QS al-A'râf [7]: 116). Seakan-akan sihir itu
Alquran mengelabui mata orang yang melihat, sedangkan hakekat yang
dilihat itu tetap, dan tidak berubah. ‫ﻌﻌﻰ‬ ‫ﺴ‬  ‫ﻬﺎ ﺗ‬‫ﻬ‬‫ ﺃﹶﻧ‬‫ﻢ‬‫ﺮﹺﻫ‬‫ﺤ‬‫ ﺳ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻪ‬‫ﻞﹸ ﺇﹺﻟﹶﻴ‬‫ﻴ‬‫ﺨ‬‫ ﻳ‬terbayang
kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka .
(QS Thâhâ [20]: 66) Buktinya ketika Allah mengajarkan Musa
menggunakan tongkatnya yang berubah menjadi ular, Musa ketakutan.
‫ﺳﺳﻰ‬ ‫ﻣﻣﻮ‬ ‫ﺧﺧﻴ ﹶﻔ ﹰﺔ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺴ‬
ِ ‫ﻧ ﹾﻔ‬ ‫ﻓﻓﻲ‬ ‫ﺲ‬
 ‫ﺟ‬ ‫ﻭ‬ ‫ ﹶﻓﹶﺄ‬maka Musa merasa takut dalam hatinya. (QS
Thâhâ [20]: 67) Kenapa? Ketika Musa melemparkan tongkatnya,
sebenarnya Allah tidak mengajarkan kepadanya sihir, tapi mengajarkan
proses berubahnya sesuatu dari hakikatnya semula. Yang berubah pada
saat itu ialah tongkat menjadi ular. Sedangkan tukang sihir tidak pernah
berubah tongkatnya menjadi sihir. Tongkat tetap dengan hakikatnya,
sedangkan orang yang melihat seakan-akan ia berubah menjadi ular.
Jadi maka Musa merasa takut dalam hatinya. (QS Thâhâ [20]: 67)
Ketika Allah menyebutkan maka Musa merasa takut dalam hatinya.
maka itu benar-benar berubah menjadi ular. Kalau tidak berubah
niscaya Musa tidak takut. Untuk itu ketika para sihir mengikuti ajaran
Musa? Itu karena mereka mengetahui bahwa hal itu di luar kemampuan
Musa dan bukanlah sihir. Jika, Musa sihir mereka sebenarnya ahli
dibidang sihir itu. Para sihir tetap melihat sesuatu sesuai dengan
hakikatnya, adapun yang terjadi pada Musa, tongkat itu benar-benar
berubah menjadi ular. Jadi, itu bukanlah atas kemampuannya, tapi atas
kuasa Tuhan Musa.‫ﺳﻰ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﻣﻣﻮ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺭﺭﻭ ﹶﻥ‬ ‫ﻫﺎ‬‫ ﻫ‬‫ﺏ‬‫ﻨﺎ ﺑﹺﺮ‬‫ﻨ‬‫ ﻗﹶﻗﺎﻟﹸﻟﻮﺍ ﺀَﺀﺍﻣ‬seraya berkata: “Kami telah
percaya kepada Tuhan Harun dan Musa”. (QS Thâhâ [20]: 70)
Mereka beralih dengan begitu drastisnya. Tapi, kenapa para sihir
tidak berkata seperti Firaun.‫ﺮ‬ ‫ﺤ‬‫ ﺍﻟﺴ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻠﱠﻤ‬‫ﺬﻱ ﻋ‬‫ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻛﹸﻢ‬‫ ﻟﹶﻜﹶﺒﹺﲑ‬‫ﻪ‬‫ ﺇﹺﻧ‬sesungguhnya dia
benar-benar pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu. (QS as-
Syu'arâ' [26]: 49) Itu karena peristiwa itu diluar cara yang mereka alami.
Maka, ketika yakin itu bukan sihir, mereka pun yakin bahwa di sana
pasti ada kekuatan (Tuhan) yang dapat merubah itu.
Jadi sihir hanya mengelabui mata saja. Pengelabuan itu memberikan
kita sesuatu yang berubah dari aslinya. Tapi, bila diteliti dengan
seksama maka hakekat sesuatu itu tidak berubah.
Problema lain yang perlu dibahas, bahwa Rasul pernah disihir oleh

570
AL-- FALAQ 113 JUZ 30

Labid bin al-‘Asham. Kisah ini ditulis dalam hadis Bukhari. Sebuah
buku yang tak perlu diragukan keabsahannya. Maka, para rasionalis
berkata: “Tidak mungkin Nabi Muhammad dapat disihir orang. Hadis
ini diragukan keabsahan dan kebenarannya.” Dijawab, kita meragukan
bila hal itu bertentangan dengan tabiat akal. Karena terkait dengan akal,
sedangkan sihir sepanjang sejarah tidak pernah terkait dengan akal, ia
merupakan pengaruh dari kekuatan luar. Untuk itu Aisyah berkata:
“Hingga mata kita dikelabui bahwa ia telah merubah sesuatu padahal
tidak.” Selama dikelabui, maka pada hakikatnya belum terjadi.
Kenapa permasalahan ini timbul? Itu karena tipu daya kaum kafir
dua bentuk. Pertama, tipu daya yang kita ketahui. Ini hanya dilakukan
oleh penjahat dan berani dalam melawanmu. Kedua, tersembunyi. Ini
hanya dilakukan musuh yang lemah dengan makar.
Untuk tipu daya kedua ini Allah berkata: Sarana (kekuatan manusia)
yang mampu dijadikan untuk digunakan dalam menyakiti Muhammad,
tidak dapat dilakukan, dan tidak pula berhasil memenangkan mereka.
Bila sarana yang mereka gunakan sihir (kekuatan luar) maka Aku dapat
mengatakan hal itu kepada utusanku. Dan bila Nabi dapat selamat dari
sihir itu, tentu hal ini akan mempermalukan mereka. Bila mereka
dipermalukan, tentu hal itu akan berbekas. Kalau tidak, mereka akan
berkata: “Kami belum menyihirnya.” Tapi kalau sudah disihir, lalu sihir
itu dapat ditangkal, maka ini mempermalukan mereka. Jadi, tidak ada
cela dalam proses sihir itu.
Tinggallah satu masalah lagi, yaitu: dengki ‫ﺪ‬ ‫ﺴ‬
 ‫ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺣ‬‫ﺪ‬‫ﺣﺎﺳ‬‫ ﺣ‬‫ﺮ‬‫ ﺷ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬dan
dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki. (QS al-Falaq
[113]: 5) Dengki ialah angan-angan kalau seseorang yang mendapat
nikmat itu mengalami musibah. Apakah dengki itu terkait dengan mata?
Tidak. Buktinya orang buta juga memiliki sifat dengki. jadi, dari mana
datangnya dengki itu? Dengki itu merupakan tabiat yang diberikan
Allah kepada setiap manusia. Ia bagaikan senjata. Ketika Allah
memberikan seorang senjata laras panjang atau pedang apakah ia dapat
menahan diri untuk tidak menggunakannya seenaknya terhadap orang
lain. Apa yang menyebabkan manusia tidak menggunakan senjata
seenaknya? Itu karena mereka memiliki keimanan terhadap manhaj.
Jadi manusia hingga dalam kesempatan memiliki barang, tetap
memiliki tabiat untuk menyerang orang bahkan membunuhnya,
sebagaimana dengan setiap orang yang memiliki sifat dengki. Namun
ditemukan ada manusia yang menggunakannya dan ada juga yang tidak.

571
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Maka jangan dikatakan: “Bahwa dengki itu telah diberikan Allah, maka
salahkanlah Allah.” Buktinya, seseorang telah diberikan segala fasilitas
untuk berbuat semena-mena, tapi ia tidak melakukan tindakan semena-
mena itu. Dan yang lain diberikan, lalu iapun berbuat semena-mena.
Jadi apakah dengki yang terjadi itu terkait dengan kehendak manusia
atau paksaan dari Allah? Tentunya ia berasal dari kehendak manusia
dan bukan paksaan dari Allah, Allah hanya menyiapkan tabiat manusia
yang cenderung dengki. Maka, karena ia berasal dari kehendak manusia
dari situlah turunnya taklif.
Orang yang dengki bukti bahwa imannya lemah. Karena kalau
imannya kuat dan memahami semua pemberian berasal dari Allah
niscaya dia tidak akan dengki. Karena orang yang dengki berarti orang
yang tidak puas terhadap Allah dan menentang keputusan-Nya. Jadi,
manhaj Islam yang prinsipil mencegah manusia untuk dengki.
Jadi orang yang dengki itu harus punya sasaran yang didengki.
Untuk itu dipinta dari kita, ketika melihat nikmat yang kita atau orang
lain dapat, mengucapkan: ‫ﻮﺓﹶ ﺇﹺﻻﱠ ﺑﹺﺑﺎﷲ‬ ‫ﻻ ﹸﻗ‬
‫ﺷﺷﺎ َﺀ ﺍﷲ ﹶ‬ ‫ﻢﹺ ﺍﷲ ﻣﹶﺎ‬‫ﺑﹺﺴ‬
Ketika ini dikatakan setiap dapat nikmat, maka yang memperoleh
nikmat tidak akan mendapat mara bahaya. Juga manusia lain yang
melihat nikmat yang didapat orang lain, yang berangan-angan dalam
dirinya, bila nikmat itu musnah wajib mengucapkan itu untuk mencegah
senjata makan tuan. Itu karena benci memiliki dua hakikat: Pertama,
tabiat manusia yang cenderung benci terhadap nikmat. Kedua, kehendak
manusia yang berkeinginan untuk membahayakan orang lain.
Sebagaimana yang telah diterangkan tadi, Tuhan memberikan kepada
setiap manusia tabiat untuk cenderung membenci sebagai cobaan dan
ujian. Bila dengki dapat di atasi berarti lulus, kalau tidak, berarti gagal.
Selama Allah telah mengajarkan kita untuk memohon perlindungan
dari hal-hal seperti ini, pastilah hal ini memiliki sifat jahat dan
berbahaya, baik dipahami ataupun tidak.
Adapun orang yang mengingkarinya akan berkata: “Tidak.” ‫ﺮ‬ ‫ﻦ ﺷ‬  ‫ﻣ‬ ‫ﻭ‬
‫ﺪ‬ ‫ﺴ‬
 ‫ ﺇﹺﺫﹶﺫﺍ ﺣ‬‫ﺪ‬‫ﺣﺎﺳ‬‫ ﺣ‬dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki. (QS al
-Falaq [113]: 5) Kejahatannya muncul bila ia dengki dan melakukan
tipu daya agar nikmat itu hilang darimu.
‫ﺪ‬ ‫ﻌ ﹶﻘ‬ ‫ﻓﻓﻲ ﺍ ﹾﻟ‬ ‫ﺕ‬
 ‫ﻔﱠﻔﺎﺛﹶﺛﺎ‬‫ﺮ ﺍﻟﻨ‬ ‫ﻦ ﺷ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻭ‬ dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir
yang menghembus pada buhul-buhul, (QS al-Falaq [113]: 4) Arti ‫ﺪ‬ ‫ﻌ ﹶﻘ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬

572
AL-- FALAQ 113 JUZ 30

sesuatu yang terikat. Mereka menyihir untuk memisahkan ikatan


perkawinan agar bercerai atau dengan cara adu domba, menyebarkan
fitnah? Menurut saya, setelah diteliti bukan itu maksudnya. Tidak ada
dari tiap manusia kecuali dikelilingi oleh hal-hal seperti ini. Selama
Allah telah mengajarkan kita untuk memohon perlindungan dari hal itu
maka artinya bahwa ia sesuatu yang halus, tersembunyi dan lembut. Dia
berada di luar jangkauan kita. Untuk itu kamu tidak memiliki tempat
berlindung kecuali kepada Allah.
Selama Allah berfirman: ‫ﻖ‬ ‫ﺏ ﺍﹾﻟ ﹶﻔ ﹶﻠ ﹺ‬
 ‫ﺮ‬ ‫ﻋﻮﺫﹸ ﺑﹺ‬‫ ﻗﹸﻞﹾ ﺃﹶﻋ‬katakanlah: “Aku
berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh, (QS al-Falaq [113]:
1) dan ‫ﺱ‬ ‫ﻨﺎ ﹺ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺏ‬‫ﻋﻮﺫﹸ ﺑﹺﺮ‬‫ ﻗﹸﻞﹾ ﺃﹶﻋ‬katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan
(yang memelihara dan menguasai) manusia. (QS an-Nâs [114]: 1) maka
maknanya bahwa permasalahan itu tidak dapat di atasi kecuali oleh
Tuhan, kalaulah ia terkait dengan materi, mana mungkin sebagian
manusia dapat membantu untuk mencegahnya. Adapun yang diajarkan
Allah di sini, bahwa ia tidak mungkin ada yang dapat mencegahnya
kecuali Allah.
Kita memohon kepada Allah agar surat al-Ikhlâsh ini bermanfaat
bagi kita, dan agar terlindung dengan kekuatan
‫ﺏ ﺍﹾﻟ ﹶﻔ ﹶﻠ ﹺﻖ‬
 ‫ﺮ‬ ‫ﻋﻮﺫﹸ ﺑﹺ‬‫ ﻗﹸﻞﹾ ﺃﹶﻋ‬katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang
Menguasai subuh, (QS al-Falaq [113]: 1) serta tercegah dari kejahatan
jiwa dan setan dengan bacaan:‫ﺱ‬ ‫ﻨﺎ ﹺ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺏ‬‫ﻋﻮﺫﹸ ﺑﹺﺮ‬‫ ﻗﹸﻞﹾ ﺃﹶﻋ‬katakanlah: “Aku
berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai)
manusia.” (QS an-Nâs [114]: 1)***

573
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

574
AN-NÂS 114 JUZ 30

SURAT 114
AN-NÂS
(MAKKIYAH)

575
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

576
AN-NÂS 114 JUZ 30

Kita sekarang bersama surat an-Nâs, pada kali ini mohon


perlindungan ditujukan kepada Pengatur manusia, Pemilik manusia, dan
Tuhan manusia . Adapun perlindungan itu diminta dari godaan setan
yang membisikkan ke dalam hati manusia dari jenis jin dan manusia.***

ALLAH PELINDUNG DARI KEJAHATAN BISIKAN


SYAITAN DAN MANUSIA
(QS an-Nâs [114]: 1-6)
 zyxwvutsrqp
cba`_~}|{
ihgfed
Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara
dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia Dari
kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang
membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. dari
(golongan) jin dan manusia.
Selama ia terus menerus mengganggu dan menggoda, artinya: ia
ingin mengeluarkanku dari manhaj. Selama dia ingin mengeluarkanku
dari manhaj sedangkan aku diwajibkan (mukallaf), dan Tuhan
memberikanku ikhtiar (hak pilih), dan memberikanku iradah
(kehendak), serta memberi balasan setiap amal iradi, bukan amal
iththirari, maka bila aku patuh pada bisikan tersembunyi, aku sendirilah
yang rugi.
Dari itu surat an-Nas berisikan tentang perlindungan manusia dari
godaan luar, sedangkan surat al-Falaq merupakan perlindungan
manusia dari godaan dalam. Baik “dalam” dalam arti ruang lingkup
hisab dan taklif.
Mohon perlindungan kepada Pengatur manusia, Pemilik dan Tuhan
akan menghadirkan kepada kita sifat-sifat Allah yang akan melindungi
kita dari kejahatan secara umum, dan dari godaan setan secara khusus.
Rabb/Pengatur adalah Pendidik, Pengarah, Pelindung dan Penjaga.
Malik/Pemilik adalah raja yang bijaksana dan mengatur semuanya, Ilah/
Tuhan adalah Penguasa yang absolut. Sifat-sifat ini merupakan jaminan
bahwa perlindungan dari kejahatan setan dapat terlaksana dengan baik.
Itu karena manusia tidak mampu untuk melawan setan yang tidak
terlihat.

577
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

Allah adalah Pengatur segala sesuatu, Pemilik segala sesuatu, Tuhan


segala sesuatu, namun dikhususkan penyebutan manusia di sini agar kita
merasa lebih dekat kepada Allah saat memohon perlindungan.
Dengan rahmat Allah, Dia mengarahkan Nabi Muhammad dan
umatnya untuk mohon perlindungan kepada-Nya dari segala bisikan
setan, dengan cara menghadirkan pemahaman dan makna yang utuh atas
segala sifat Allah yang mulia. Manusia tidak dapat mencegah mesuknya
bisikan itu kecuali dengan berlindung dan memohon pertolongan
kepada Allah. Dia akan menolong kita tanpa kita sadari.
‫ﺱ‬
‫ﺎ ﹺ‬‫ﺨﻨ‬
 ‫ﺱ ﺍﹾﻟ‬
‫ﺍ ﹺ‬‫ﺳﻮ‬ ‫ﻮ‬ ‫ ﺍﹾﻟ‬‫ﺷﺮ‬ ‫ﻦ‬‫ ﻣ‬dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa
bersembunyi. Waswâs adalah bisikan, khannâs artinya adalah
tersembunyi. Ayat ini menerangkan bisikan yang dilakukan secara
umum dari makhluk Tuhan. Kemudian ayat berikutnya merinci siapa
makhluk penggoda itu.
‫ﺱ‬
‫ﺎ ﹺ‬‫ﻭ ﺍﻟﻨ‬ ‫ﺔ‬ ‫ﺠﻨ‬
‫ﻦ ﺍﹾﻟ ﹺ‬ ‫ﻣ‬ {} ‫ﺱ‬
‫ﺎ ﹺ‬‫ﻭ ﹺﺭ ﺍﻟﻨ‬‫ﺻﺪ‬
 ‫ﻲ‬‫ﺱ ﻓ‬
 ‫ﺳ ﹺﻮ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻱ‬‫ ﺍﻟﱠﺬ‬yang membisikkan
(kejahatan) ke dalam dada manusia. dari (golongan) jin dan manusia.
Ayat ini selain menerangkan makhluk penggoda, yaitu: jin dan manusia,
ia juga menerangkan bagaimana godaan itu dilakukan, yaitu: dengan
cara membisikkan ke dalam dada manusia. Tujuannya agar manusia
waspada.
Manusia tidak mengetahui bagaimana terjadinya proses bisikan
yang dilakukan oleh jin, namun kita dapat merasakan akibat dan
dampak dari godaan itu dalam kehidupan nyata. Kita mengetahui
pertempuran antara Adam dan Iblis. Iblis telah mengumumkan perang
terhadap makhluk yang telah mengusik keangkuhan dan kesombongan
serta kedengkiannya. Iblis memohon kepada Allah agar dia diberi
kesempatan untuk menggoda manusia. Permintaan itu dipenuhi Allah
dengan hikmat. Karena Dia tidak akan meninggalkan manusia tanpa
bekal, dan Dia menjadikan iman sebagai perisai, dan doa sebagai
senjata, dan istiazah sebagai pelindung. Bila kemudian, manusia
melupakan bekal, perisai dan pelindungnya maka dia sendiri yang harus
dicela.
Nabi Muhammad bersabda:
.‫ﺲ‬
 ‫ﻨ‬‫ﺧ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺮ ﺍﻟﻠﱠ‬ ‫ ﹶﻓﹺﺈﺫﹶﺍ ﹶﺫ ﹶﻛ‬،‫ﻮﺱ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻭ ﹶﻏ ﹶﻔ ﹶﻞ‬ ‫ﻰ‬‫ﺳﻬ‬ ‫ ﹶﻓﹺﺈﺫﹶﺍ‬،‫ﺩﻡ‬ ‫ﺑ ﹺﻦ ﺁ‬‫ﺐ ﺍ‬
‫ﻋﻠﹶﻰ ﹶﻗ ﹾﻠ ﹺ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺛ‬‫ﺎ‬‫ﻄﹶﺎ ﹸﻥ ﺟ‬‫ﻴ‬‫ﺍﻟﺸ‬
Setan itu menetap di dalam hati anak Adam, bila disebutkan nama
Allah diapun menghilang, bila lupa disebutkan diapun menggoda. (Ibn
Abi Syibah)

578
AN-NÂS 114 JUZ 30

Adapun godaan setan dapat kita ketahui dan rasakan. Godaan ini
lebih dahsyat dari godaan setan. Teman buruk akan menyebarkan visur
kejahatan ke dalam jiwa dan akal pikiran manusia tanpa bisa ditolak
sedikitpun. Terlebih bila, dia melihat bahwa teman itu adalah seorang
yang akrab dan arahannya harus diikuti seratus persen tanpa filter.
Begitu juga dengan pembisik kekuasaan hingga dia membiarkan
setiap kejahatan dan kezaliman serta perampasan hak yang dilakukan
oleh penguasa. Atau pengadu domba yang menghiasi lidahnya dengan
madu beracun, hingga seakan-akan bisikan sesat darinya adalah nasihat
tanpa diragukan keabsahannya. Atau penjual berahi yang membuka
pintu pornografi agar jiwa tenggelam di dalam kemaksiatan yang tidak
dapat dicegah kecuali bermohon kepada Allah.
Banyak sekali profesi bisikan kekufuran dan kejahatan yang
dilakukan oleh manusia yang masuk dari jendela hati yang kosong.
Manusia seperti ini lebih berbahaya dari pada jin.
Inilah hakikat peperangan dan tata cara penyebaran kejahatan, baik
yang dilakukan oleh jin dalam hal ini setan secara langsung, atau
melalui kaki tangannya berupa manusia. Satu hal yang pasti bahwa
manusia tidak harus merasa kalah dalam peperangan ini, karena
Pengatur, Pemilk dan Tuhannya menguasai seluruh makhluk. Bila
kemudian Dia mengizinkan setan untuk berperang melawan manusia,
tapi tetap saja tali komando ada pada Zat-Nya. Dia menetapkan bahwa
bisikan itu tidak dilakukan kecuali kepada orang yang lupa kepada
Pengatur, Pemilik dan Tuhannya. Adapun bagi orang yang tetap
mengingat Allah berada dalam keselamatan dari bisikan kejahatan itu.
Sebaiknya, manusia melalui surat ini untuk bersandar pada kekuatan
iman kepada Allah yang tidak ada kekuatan melebihi kekuatan-Nya,
kepada hakikat yang tidak ada hakikat kecuali Dia, bersandar kepada
Pengatur, Pemilik dan Tuhan. Inilah gambaran peperangan yang terus
terjadi antara kebaikan dan keburukan, sebagaimana ini adalah
gambaran yang paling baik bagaimana cara melindungi hati dari
kekalahan dengan meningkatkan keyakinan dan kepercayaan diri dalam
melangkah maju menghadapi kehidupan.
Segala puji bagi Allah, hanya kepada-Nya kita berlindung.***

TAMAT

579
TAFSIR SYA’RAWI JUZ 30

580

Anda mungkin juga menyukai