Anda di halaman 1dari 10

Hukum Sholat Jumat Bersamaan Dengan Hari Raya

1. Pendahuluan
Seperti kita ketahui, terkadang hari raya Idul Fitri atau Idul Adha jatuh pada hari Jumat.
Misalnya saja yang terjadi pada tahun (2009), Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah 1430 H akan
jatuh pada hari Jumat 27 Nopember 2009. Demikian juga idul Fitri 1431 H sekarang juga jatuh
pada hari jumat. Di sinilah mungkin di antara kita ada yang bertanya, apakah sholat Jumat masih
diwajibkan pada hari raya? Apakah kalau seseorang sudah sholat Ied berarti boleh tidak sholat
Jumat? Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan semacam itu dengan melakukan penelusuran
pendapat ulama, dalil-dalilnya, dan pentarjihan (mengambil yang terkuat) dari dalil-dalil
tersebut.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum shalat Jumat yang jatuh bertepatan dengan hari
raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Dalam kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al
A`immah karya Imam Ad Dimasyqi, disebutkan bahwa :
“Apabila hari raya bertepatan dengan hari Jumat, maka menurut pendapat Imam Asy Syafi’i
yang shahih, bahwa shalat Jumat tidak gugur dari penduduk kampung yang mengerjakan shalat
Jumat. Adapun bagi orang yang datang dari kampung lain, gugur Jumatnya. Demikian menurut
pendapat Imam Asy Syafi’i yang shahih. Maka jika mereka telah shalat hari raya, boleh bagi
mereka terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, bagi
penduduk kampung wajib shalat Jumat. Menurut Imam Ahmad, tidak wajib shalat Jumat baik
bagi orang yang datang maupun orang yang ditempati shalat Jumat. Kewajiban shalat Jumat
gugur sebab mengerjakan shalat hari raya. Tetapi mereka wajib shalat zhuhur. Menurut ‘Atha`,
zhuhur dan Jumat gugur bersama-sama pada hari itu. Maka tidak ada shalat sesudah shalat
hari raya selain shalat Ashar.”
Ad Dimasyqi tidak menampilkan pendapat Imam Malik. Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul
Mujtahid menyatakan pendapat Imam Malik sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah.
Disebutkannya bahwa,“Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat,”Jika berkumpul hari raya
dan Jumat, maka mukallaf dituntut untuk melaksanakannya semuanya….”
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa dalam masalah ini terdapat 4 (empat) pendapat :
Pertama, shalat Jumat tidak gugur dari penduduk kota (ahlul amshaar / ahlul madinah) yang di
tempat mereka diselenggarakan shalat Jumat. Sedang bagi orang yang datang dari kampung atau
padang gurun (ahlul badaawi / ahlul ‘aaliyah), yang di tempatnya itu tidak dilaksanakan shalat
Jumat, gugur kewajiban shalat Jumatnya. Jadi jika mereka –yakni orang yang datang dari
kampung — telah shalat hari raya, boleh mereka terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat.
Inilah pendapat Imam Syafi’i. Ini pula pendapat Utsman dan Umar bin Abdul Aziz.
Kedua, shalat Jumat wajib tetap ditunaikan, baik oleh penduduk kota yang ditempati shalat
Jumat maupun oleh penduduk yang datang dari kampung. Ini pendapat Imam Abu Hanifah dan
Imam Malik. Jadi, shalat Jumat tetap wajib dan tidak gugur dengan ditunaikannya shalat hari
raya.
Ketiga, tidak wajib shalat Jumat baik bagi orang yang datang maupun bagi orang yang ditempati
shalat Jumat. Tetapi mereka wajib shalat zhuhur. Demikian pendapat Imam Ahmad.
Keempat, zhuhur dan Jumat gugur sama-sama gugur kewajibannya pada hari itu. Jadi setelah
shalat hari raya, tak ada lagi shalat sesudahnya selain shalat Ashar. Demikian pendapat ‘Atha`
bin Abi Rabbah. Dikatakan, ini juga pendapat Ibnu Zubayr dan ‘Ali.
2.Pendapat Yang Rajih
Kami mendapatkan kesimpulan, bahwa pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat Imam
Ahmad bin Hanbal, rahimahullah. Rincian hukumnya adalah sebagai berikut:
Hukum Pertama, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya -yang jatuh bertepatan dengan
hari Jumat- gugurlah kewajiban atasnya untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh
melaksanakan shalat Jumat dan boleh juga tidak.
Hukum Kedua, bagi mereka yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut, lebih utama dan
disunnahkan tetap melaksanakan shalat Jumat.
Hukum Ketiga, jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut memilih untuk tidak
menunaikan shalat Jumat, wajib melaksanakan shalat zhuhur, tidak boleh meninggalkan zhuhur.
Hukum Keempat, mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib
atasnya untuk menunaikan shalat Jumat, tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat
Jumat.
Keterangan mengenai masing-masing hukum tersebut akan diuraikan pada poin berikutnya,
Insya Allah.
2.1. Keterangan Hukum Pertama
Mengenai gugurnya kewajiban shalat Jumat bagi mereka yang sudah melaksanakan shalat hari
raya, dalilnya adalah hadits-hadits Nabi SAW yang shahih, antara lain yang diriwayatkan dari
Zayd bin Arqam RA bahwa dia berkata :
‫َص َّلى اْلِع يَد ُثَّم َر َّخ َص ِفي اْلُج ُم َعِة َفَقاَل َم ْن َشاَء َأْن ُيَص ِّلَي َفْلُيَص ِّل‬
“Nabi SAW melaksanakan shalat Ied (pada suatu hari Jumat) kemudian beliau memberikan
rukhshah (kemudahan/keringanan) dalam shalat Jumat. Kemudian Nabi berkata,’Barangsiapa
yang berkehendak (shalat Jumat), hendaklah dia shalat.” (HR. Al Khamsah, kecuali At
Tirmidzi. Hadits ini menurut Ibnu Khuzaimah, shahih).
Diriwayatkan dari Abu Hurayrah RA bahwa Nabi SAW bersabda :
‫َقْد اْج َتَم َع ِفي َيْو ِم ُك ْم َهَذ ا ِع يَداِن َفَم ْن َشاَء َأْج َز َأُه ِم ْن اْلُج ُم َعِة َو ِإَّنا ُم َج ِّم ُعوَن‬
“Sungguh telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Maka barangsiapa berkehendak
(shalat hari raya), cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi. Dan
sesungguhnya kami akan mengerjakan Jumat.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al Hakim
juga meriwayatkan hadits ini dari sanad Abu Shalih, dan dalam isnadnya terdapat Baqiyah bin
Walid, yang diperselisihkan ulama. Imam Ad Daruquthni menilai, hadits ini shahih. Ulama
hadits lain menilainya hadits mursal).
Hadits-hadits ini merupakan dalil bahwa shalat Jumat setelah shalat hari raya, menjadi rukhshah.
Yakni, maksudnya shalat Jumat boleh dikerjakan dan boleh tidak. Pada hadits Zayd bin Arqam
di atas (hadits pertama) Nabi SAW bersabda “tsumma rakhkhasha fi al jumu’ati” (kemudian
Nabi memberikan rukhshash dalam [shalat] Jumat). Ini menunjukkan bahwa setelah shalat hari
raya ditunaikan, shalat hari raya menjadi rukhshah (kemudahan/keringanan).
Menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, rukhshah adalah hukum yang disyariatkan untuk
meringankan hukum azimah (hukum asal) karena adanya suatu udzur (halangan), disertai
tetapnya hukum azimah namun hamba tidak diharuskan mengerjakan rukshshah itu.
Jadi shalat Jumat pada saat hari raya, menjadi rukhshah, karena terdapat udzur berupa
pelaksanaan shalat hari raya. Namun karena rukhshah itu tidak menghilangkan azimah sama
sekali, maka shalat Jumat masih tetap disyariatkan, sehingga boleh dikerjakan dan boleh pula
tidak dikerjakan.
Hal ini diperkuat dan diperjelas dengan sabda Nabi dalam kelanjutan hadits Zayd bin Arqam di
atas “man syaa-a an yushalliya falyushalli” (barangsiapa yang berkehendak [shalat Jumat],
hendaklah dia shalat). Ini adalah manthuq (ungkapan tersurat) hadits. Mafhum mukhalafah
(ungkapan tersirat) dari hadits itu -dalam hal ini berupa mafhum syarat, karena ada lafazh “man”
sebagai syarat- adalah “barangsiapa yang tidak berkehendak shalat Jumat, maka tidak perlu
shalat Jumat.”
Kesimpulannya, orang yang telah menjalankan shalat hari raya, gugurlah kewajiban atasnya
untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh menunaikan shalat Jumat dan boleh juga tidak.
Mungkin ada pertanyaan, apakah gugurnya shalat Jumat ini hanya untuk penduduk
kampung/desa (ahlul badaawi / ahlul ‘aaliyah) –yang di tempat mereka tidak diselenggarakan
shalat Jumat– sedang bagi penduduk kota (ahlul amshaar / ahlul madinah) —-yang di tempat
mereka diselenggarakan shalat Jumat– tetap wajib shalat Jumat ?
Yang lebih tepat menurut kami, gugurnya kewajiban shalat Jumat ini berlaku secara umum, baik
untuk penduduk kampung/desa maupun penduduk kota. Yang demikian itu karena nash-nash
hadits di atas bersifat umum, yaitu dengan adanya lafahz “man” (barangsiapa/siapa saja) yang
mengandung arti umum, baik ia penduduk kampung maupun penduduk kota. Dan lafazh umum
tetap dalam keumumannya selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkannya. Dalam hal ini
tidak ada dalil yang mengkhususkan (takhsis) keumumannya, maka tetaplah lafazh “man” dalam
hadits-hadits di atas berlaku secara umum. (Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, 2/273)
2.2.Keterangan Hukum Kedua
Bagi mereka yang sudah shalat hari raya, mana yang lebih utama (afdhal), menunaikan shalat
Jumat ataukah meninggalkannya ? Pada dasarnya, antara azimah (hukum asal) dan rukhshah
kedudukannya setara, tak ada yang lebih utama daripada yang lain, kecuali terdapat nash yang
menjelaskan keutamaan salah satunya, baik keutamaan azimah maupun rukhshah.
Namun dalam hal ini terdapat nash yang menunjukkan keutamaan shalat Jumat daripada
meninggalkannya. Pada hadits Abu Hurayrah RA (hadits kedua) terdapat sabda Nabi “innaa
mujammi’uun” (Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jumat).
Ini menunjukkan bahwa meskipun Nabi SAW menjadikan shalat Jumat sebagai rukhshah, yakni
boleh dikerjakan dan boleh tidak, akan tetapi Nabi Muhammad SAW faktanya tetap
mengerjakan shalat Jumat. Hanya saja perbuatan Nabi SAW ini tidak wajib, sebab Nabi SAW
sendiri telah membolehkan untuk tidak shalat Jumat. Jadi, perbuatan Nabi SAW itu sifatnya
sunnah, tidak wajib.
2.3.Keterangan Hukum Ketiga
Jika orang yang sudah shalat hari raya memilih untuk meninggalkan shalat Jumat, wajibkah ia
shalat zhuhur ? Jawabannya, dia wajib shalat zhuhur, tidak boleh meninggalkannya.
Wajibnya shalat zhuhur itu, dikarenakan nash-nash hadits yang telah disebut di atas, hanya
menggugurkan kewajiban shalat Jumat, tidak mencakup pengguguran kewajiban zhuhur.
Padahal, kewajiban shalat zhuhur adalah kewajiban asal (al fadhu al ashli), sedang shalat Jumat
adalah hukum pengganti (badal), bagi shalat zhuhur itu. Maka jika hukum pengganti (badal) -
yaitu shalat Jumat- tidak dilaksanakan, kembalilah tuntutan syara’ kepada hukum asalnya, yaitu
shalat zhuhur. Yang demikian itu adalah mengamalkan Istish-hab, yaitu kaidah hukum untuk
menetapkan berlakunya hukum asal, selama tidak terdapat dalil yang mengecualikan atau
mengubah berlakunya hukum asal.
Dengan demikian, jika seseorang sudah shalat hari raya lalu memilih untuk meninggalkan shalat
Jumat, maka ia wajib melaksanakan shalat zhuhur.
2.4. Keterangan Hukum Keempat
Mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk tetap
menunaikan shalat Jumat. Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat. Dengan
kata lain, rukhshah untuk meninggalkan shalat Jumat ini khusus untuk mereka yang sudah
melaksanakan shalat hari raya. Mereka yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak mendapat
rukhshah, sehingga konsekuensinya tetap wajib hukumnya shalat Jumat.
Dalilnya adalah hadits Abu Hurayrah (hadits kedua) dimana Nabi SAW bersabda “fa man syaa-
a, ajza-a-hu ‘anil jumu’ati” (Maka barangsiapa yang berkehendak [shalat hari raya], cukuplah
baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi). Ini adalah manthuq hadits. Mafhum
mukhalafahnya, yakni orang yang tak melaksanakan shalat hari raya, ia tetap dituntut
menjalankan shalat Jumat.
Imam Ash Shan’ani dalam Subulus Salam ketika memberi syarah (penjelasan) terhadap hadits di
atas berkata : “Hadits tersebut adalah dalil bahwa shalat Jumat -setelah ditunaikannya shalat hari
raya– menjadi rukhshah. Boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Tetapi (rukhshah) itu khusus
bagi orang yang menunaikan shalat Ied, tidak mencakup orang yang tidak menjalankan shalat
Ied.” (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/112)
Jadi, orang yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak termasuk yang dikecualikan dari
keumuman nash yang mewajibkan shalat Jumat. Yang dikecualikan dari keumuman nash itu
adalah yang telah shalat hari raya. Maka dari itu, orang yang tidak shalat hari raya, tetap wajib
atasnya shalat Jumat.
3.Meninjau Pendapat Lain
3.1.Pendapat Imam Syafi’i
Pada dasarnya, Imam Syafii tetap mewajibkan shalat Jumat yang jatuh bertepatan pada hari raya.
Namun beliau menetapkan kewajiban tersebut hanya berlaku bagi penduduk kota (ahlul
madinah/ahlul amshaar). Adapun penduduk desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul
badawi) yang datang ke kota untuk shalat Ied (dan shalat Jumat), sementara di tempatnya tidak
diselenggarakan shalat Jumat, maka mereka boleh tidak mengerjakan shalat Jumat.
Sebenarnya Imam Syafi’i berpendapat seperti itu karena menurut beliau, hadits-hadits yang
menerangkan gugurnya kewajiban shalat Jumat pada hari raya bukanlah hadits-hadits shahih.
Sehingga beliau pun tidak mengamalkannya. Inilah dasar pendapat Imam Syafi’i. Menanggapi
pendapat Imam Syafi’i tersebut, Imam Ash Shan’ani dalam Subulus Salam berkata : “Asy
Syafi’i dan segolongan ulama berpendapat bahwa shalat Jumat tidak menjadi rukhshah. Mereka
berargumen bahwa dalil kewajiban shalat Jumat bersifat umum untuk semua hari (baik hari raya
maupun bukan). Sedang apa yang disebut dalam hadits-hadits dan atsar-atsar (yang menjadikan
shalat Jumat sebagai rukhshah) tidaklah cukup kuat untuk menjadi takhsis (pengecualian)
kewajiban shalat Jumat, sebab sanad-sanad hadits itu telah diperselisihkan oleh ulama. Saya (Ash
Shan’ani) berkata,’Hadits Zayd bin Arqam telah dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah…maka
hadits tersebut dapat menjadi takhsis (pengecualian)…” (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/112).
Dengan demikian, jelaslah bahwa Imam Syafi’i tidak menilai hadits Zayd bin Arqam tersebut
sebagai hadits shahih, sehingga beliau tidak menjadikannya sebagai takhsis yang menggugurkan
kewajiban shalat Jumat. Beliau kemudian berpegang kepada keumuman nash yang mewajibkan
shalat Jumat pada semua hari (QS Al Jumu’ah ayat 9), baik hari raya maupun bukan. Tapi, Imam
Ash Shan’ani menyatakan, bahwa hadits Zayd bin Arqam adalah shahih menurut Ibnu
Khuzaimah.
Dalam hal ini patut kiranya ditegaskan, bahwa penolakan Imam Syafi’i terhadap hadits Zayd bin
Arqam tidaklah mencegah kita untuk menerima hadits tersebut. Penolakan Imam Syafi’i
terhadap hadits Zayd bin Arqam itu tidak berarti hadits tersebut –secara mutlak– tertolak
(mardud). Sebab sudah menjadi suatu kewajaran dalam penilaian hadits, bahwa sebuah hadits
bisa saja diterima oleh sebagian muhaddits, sedang muhaddits lain menolaknya. Dalam kaitan ini
Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyah Juz I berkata : “…(kita
tidak boleh cepat-cepat menolak suatu hadits) hanya karena seorang ahli hadits tidak
menerimanya, karena ada kemungkinan hadits itu diterima oleh ahli hadits yang lain. Kita juga
tidak boleh menolak suatu hadits karena para ahli hadits menolaknya, karena ada kemungkinan
hadits itu digunakan hujjah oleh para imam atau umumnya para fuqaha… ”
Maka dari itu, kendatipun hadits Zayd bin Arqam ditolak oleh Imam Syafi’i, tidak berarti kita
tidak boleh menggunakan hadits tersebut sebagai dalil syar’i. Sebab faktanya ada ahli hadits lain
yang menilainya sebagai hadits shahih, yakni Imam Ibnu Khuzaimah, sebagaimana penjelasan
Imam Ash Shan’ani. Jadi, beristidlal dengan hadits Zayd bin Arqam tersebut tetap dibenarkan,
sehingga hukum yang didasarkan pada hadits tersebut adalah tetap berstatus hukum syar’i.
3.2.Pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah
Imam Malik dan Abu Hanifah tetap mewajibkan shalat Jumat, baik bagi penduduk kota (ahlul
madinah/ahlul amshaar), maupun penduduk desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul
badawi). Ibnu Rusyd menjelaskan argumentasi kedua Imam tersebut : “Imam Malik dan Abu
Hanifah berkata, ‘Shalat hari raya adalah sunnah, sedang shalat Jumat adalah fardhu, dan salah
satunya tidak dapat menggantikan yang lainnya. Inilah yang menjadi prinsip asal (al ashlu)
dalam masalah ini, kecuali jika terdapat ketetapan syara’, maka wajib merujuk kepadanya…”
Dari keterangan itu, nampak bahwa Imam Malik dan Abu Hanifah juga tidak menerima hadits-
hadits yang menerangkan gugurnya shalat Jumat pada hari raya. Konsekuensinya, beliau berdua
kemudian berpegang pada hukum asal masing-masing, yakni kesunnahan shalat Ied dan
kewajiban shalat Jumat. Dasar pendapat mereka sebenarnya sama dengan pendapat Imam
Syafi’i.
Namun demikian, beliau berdua memberikan perkecualian, bahwa hukum asal tersebut dapat
berubah, jika terdapat dalil syar’i yang menerangkannya.
Atas dasar itu, karena terdapat hadits Zayd bin Arqam (yang shahih menurut Ibnu Khuzaimah)
atau hadits Abu Hurayrah RA (yang shahih menurut Ad Daruquthni), maka sesungguhnya
hadits-hadits tersebut dapat menjadi takhsis hukum asal shalat Jumat, yakni yang semula wajib
kemudian menjadi rukhshah (tidak wajib).
Dengan demikian, yang berlaku kemudian adalah hukum setelah ditakhsis, bukan hukum
asalnya, yakni bahwa shalat Jumat itu menjadi rukhshah bagi mereka yang menunaikan shalat
hari raya, dan statusnya menjadi tidak wajib. Inilah pendapat yang lebih tepat.
3.3.Pendapat ‘Atha bin Abi Rabah
‘Atha bin Abi Rabbah berpendapat bahwa jika hari Jumat bertepatan dengan hari raya, maka
shalat Jumat dan zhuhur gugur semuanya. Tidak wajib shalat apa pun pada hari itu setelah shalat
hari raya melainkan shalat ‘Ashar.
Imam Ash’ani menjelaskan bahwa pendapat ‘Atha` tersebut didasarkan pada 3 (tiga) alasan,
yaitu :
Pertama, berdasarkan perbuatan sahabat Ibnu Zubayr RA sebagaimana diriwayatkan Imam Abu
Dawud, bahwasanya :
‫ِع يَداِن اْج َتَم َعا ِفي َيْو ٍم َو اِحٍد َفَج َم َعُهَم ا َج ِم يًعا َفَص اَّل ُهَم ا َر ْك َعَتْيِن ُبْك َر ًة َلْم َيِز ْد َع َلْيِهَم ا َح َّتى َص َّلى اْلَعْص َر‬
“Dua hari raya (hari raya dan hari Jumat) telah berkumpul pada satu hari yang sama. Lalu dia
(Ibnu Zubayr) mengumpulkan keduanya dan melakukan shalat untuk keduanya sebanyak dua
rakaat pada pagi hari. Dia tidak menambah atas dua rakaat itu sampai dia mengerjakan shalat
Ashar.” (HR Abu Dawud).
Kedua, shalat Jumat adalah hukum asal (al ashl) pada hari Jumat, sedang shalat zhuhur adalah
hukum pengganti (al badal) bagi shalat Jumat. Maka dari itu, jika hukum asal telah gugur,
otomatis gugur pulalah hukum penggantinya.
Ketiga, yang zhahir dari hadits Zayd bin Arqam, bahwa Rasul SAW telah memberi rukhshah
pada shalat Jumat. Namun Rasul SAW tidak memerintahkan untuk shalat zhuhur bagi orang
yang tidak melaksanakan shalat Jumat.
Demikianlah alasan pendapat ‘Atha` bin Abi Rabbah. Imam Ash Shan’ani tidak menerima
pendapat tersebut dan telah membantahnya. Menurut beliau, bahwa setelah shalat hari raya Ibnu
Zubayr tidak keluar dari rumahnya untuk shalat Jumat di masjid, tidaklah dapat dipastikan bahwa
Ibnu Zubayr tidak shalat zhuhur. Sebab ada kemungkinan (ihtimal) bahwa Ibnu Zubayr shalat
zhuhur di rumahnya. Yang dapat dipastikan, kata Imam Ash Shan’ani, shalat yang tidak
dikerjakan Ibnu Zubayr itu adalah shalat Jumat, bukannya shalat zhuhur.
Untuk alasan kedua dan ketiga, Imam Ash Shan’ani menerangkan bahwa tidaklah benar bahwa
shalat Jumat adalah hukum asal (al ashl) sedang shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al
badal). Yang benar, justru sebaliknya, yaitu shalat zhuhur adalah hukum asal, sedang shalat
Jumat merupakan penggantinya. Sebab, kewajiban shalat zhuhur ditetapkan lebih dahulu
daripada shalat Jumat. Shalat zhuhur ditetapkan kewajibannya pada malam Isra’ Mi’raj, sedang
kewajiban shalat Jumat ditetapkan lebih belakangan waktunya (muta`akhkhir). Maka yang benar,
shalat zhuhur adalah hukum asal, sedang shalat Jumat adalah penggantinya. Jadi jika shalat
Jumat tidak dilaksanakan, maka wajiblah kembali pada hukum asal, yakni mengerjakan shalat
zhuhur. (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/112)
4.Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jika hari raya bertepatan dengan hari
Jumat, hukumnya adalah sebagai berikut :
Pertama, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya (Ied), gugurlah kewajiban shalat
Jumat atasnya. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat dan boleh juga tidak. Namun, disunnahkan
baginya tetap melaksanakan shalat Jumat.
Kedua, jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut memilih untuk tidak
menunaikan shalat Jumat, wajib atasnya melaksanakan shalat zhuhur. Tidak boleh dia
meninggalkan zhuhur.
Ketiga, adapun orang yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya
shalat Jumat. Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat. Tidak boleh pula dia
melaksanakan shalat zhuhur.
Demikianlah hasil pentarjihan kami untuk masalah ini sesuai dalil-dalil syar’i yang ada. Wallahu
a’lam.
===
*M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI, adalah Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia dan pengasuh
Pondok Pesantren Hamfara Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh. Cetakan Kedua. Beirut : Darul
Bayariq. 417 hal.
Abu Abdillah As-Sa’dun, Ijtima’ Al-I’dayni, (Riyadh : t.p.), t.t. 12 hal.
Abu Hafsh Ar-Rahmani, Tsalatsu Masa`il Fiqhiyyah, (t.t.p. : t.p.), t.t. 33 hal.
Ad Dimasyqi, Muhammad bin Abdurrahman Asy Syafi’i. 1993. Rohmatul Ummah (Rahmatul
Ummah Fi Ikhtilafil A`immah). Terjemahan oleh Sarmin Syukur dan Luluk Rodliyah. Cetakan
Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 554 hal.
Ash Shan’ani, Muhammad bin Ismail Al Kahlani. Tanpa Tahun. Subulus Salam. Juz II. Bandung
: Maktabah Dahlan. 224 hal.
Ash Shiddieqi, T.M. Hasbi. 1981. Koleksi Hadits Hukum (Al Ahkamun Nabawiyah). Jilid IV.
Cetakan Kedua. Bandung : PT. Alma’arif. 379 hal.
An Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah. Juz Ketiga (Ushul Fiqh). Cetakan
Kedua. Al Quds : Min Mansyurat Hizb Al Tahrir. 492 hal.
———-. 1994. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah. Juz Pertama. Cetakan Keempat. Beirut : Darul
Ummah. 407 hal.
Ibnu Khalil, ‘Atha`. 2000. Taisir Al Wushul Ila Al Ushul. Cetakan Ketiga. Beirut : Darul
Ummah. 310 hal.
Ibnu Rusyd. 1995. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Juz I. Beirut : Daarul Fikr. 399
hal.
Raghib, Ali. 1991. Ahkamush Shalat. Cetakan Pertama. Beirut : Daar An Nahdhah Al
Islamiyah.132 hal.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah (Fiqhus Sunnah). Jilid 2. Cetakan Ketujuhbelas. Terjemahan
oleh Mahyuddin Syaf. Bandung : PT. Al Ma’arif. 229 hal
Syirbasyi, Ahmad. 1987. Himpunan Fatwa (Yas`alunaka fi Ad Din wa Al Hayah). Terjemahan
oleh Husein Bahreisj. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 598 hal,
KH. M. Shiddiq Al-Jawi, http://hizbut-tahrir.or.id/2010/09/08/hukum-sholat-jumat-pada-hari-
raya-idul-fitri-adha/

Bila Hari ‘Ied Jatuh pada Hari Jum’at


Okt 20, 2012Muhammad Abduh Tuasikal, MScShalat23
Di antara keistimewaan Idul Adha tahun ini (2012) akan bertepatan dengan hari Jum’at. Ini
menunjukkan bertemunya dua hari utama, yang sama-sama hari ‘ied. Banyak yang menanyakan
bagaimana jika Hari Raya atau Idul Adha jatuh pada hari Jum’at, apakah shalat Jum’atnya gugur
karena telah melaksanakan shalat ‘ied?
Mudah-mudahan penjelasan berikut dapat menjawab hal ini.[1]
Apabila hari raya Idul Fithri atau Idul Adha bertepatan dengan hari Jum’at, apakah shalat Jum’at
menjadi gugur karena telah melaksanakan shalat ‘ied? Untuk masalah ini para ulama memiliki
dua pendapat.
Pendapat Pertama: Orang yang melaksanakan shalat ‘ied tetap wajib melaksanakan shalat
Jum’at.
Inilah pendapat kebanyakan pakar fikih. Akan tetapi ulama Syafi’iyah menggugurkan kewajiban
ini bagi orang yang nomaden (al bawadiy). Dalil dari pendapat ini adalah:
Pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala,
‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا ِإَذ ا ُنوِدَي ِللَّصالِة ِم ْن َيْو ِم اْلُج ُمَعِة َفاْس َع ْو ا ِإَلى ِذ ْك ِر ِهَّللا َو َذ ُروا اْلَبْيَع‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari
Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al
Jumu’ah: 9)
Kedua: Dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Jum’at. Di antara sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
‫َم ْن َتَر َك َثَالَث ُج َم ٍع َتَهاُو ًنا ِبَها َطَبَع ُهَّللا َع َلى َقْلِبِه‬
“Barangsiapa meninggalkan tiga shalat Jum’at, maka Allah akan mengunci pintu
hatinya.”[2] Ancaman keras seperti ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu wajib.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
‫اْلُج ُمَع ُة َح ٌّق َو اِج ٌب َع َلى ُك ِّل ُم ْس ِلٍم ِفى َج َم اَعٍة ِإَّال َأْر َبَع ًة َع ْبٌد َم ْم ُلوٌك َأِو اْمَر َأٌة َأْو َص ِبٌّى َأْو َم ِريٌض‬
“Shalat Jum’at merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim dengan berjama’ah kecuali
empat golongan: [1] budak, [2] wanita, [3] anak kecil, dan [4] orang yang sakit.”[3]
Ketiga: Karena shalat Jum’at dan shalat ‘ied adalah dua shalat yang sama-sama wajib (sebagian
ulama berpendapat bahwa shalat ‘ied itu wajib), maka shalat Jum’at dan shalat ‘ied tidak bisa
menggugurkan satu dan lainnya sebagaimana shalat Zhuhur dan shalat ‘Ied.
Keempat: Keringanan meninggalkan shalat Jum’at bagi yang telah melaksanakan shalat ‘ied
adalah khusus untuk ahlul bawadiy (orang yang nomaden seperti suku Badui). Dalilnya adalah,
‫ َفَص َّلى َقْبَل اْلُخ ْطَبِة ُثَّم َخ َطَب َفَقاَل َيا َأُّيَها الَّناُس ِإَّن َهَذ ا َيْو ٌم َق ِد‬، ‫َقاَل َأُبو ُع َبْيٍد ُثَّم َش ِهْدُت َم َع ُع ْثَم اَن ْبِن َع َّفاَن َفَك اَن َذ ِلَك َيْو َم اْلُج ُمَعِة‬
‫ َو َم ْن َأَح َّب َأْن َيْر ِج َع َفَقْد َأِذ ْنُت َلُه‬، ‫ َفَم ْن َأَح َّب َأْن َيْنَتِظَر اْلُج ُمَع َة ِم ْن َأْهِل اْلَع َو اِلى َفْلَيْنَتِظ ْر‬، ‫اْج َتَم َع َلُك ْم ِفيِه ِع يَداِن‬
“Abu ‘Ubaid berkata bahwa beliau pernah bersama ‘Utsman bin ‘Affan dan hari tersebut adalah
hari Jum’at. Kemudian beliau shalat ‘ied sebelum khutbah. Lalu beliau berkhutbah dan berkata,
“Wahai sekalian manusia. Sesungguhnya ini adalah hari di mana terkumpul dua hari raya (dua
hari ‘ied). Siapa saja dari yang nomaden (tidak menetap) ingin menunggu shalat Jum’at, maka
silakan. Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan.”[4]
Pendapat Kedua: Bagi orang yang telah menghadiri shalat ‘Ied boleh tidak menghadiri shalat
Jum’at. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at agar orang-
orang yang punya keinginan menunaikan shalat Jum’at bisa hadir, begitu pula orang yang tidak
shalat ‘ied bisa turut hadir.
Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari
‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Az Zubair. Dalil dari pendapat ini
adalah:
Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah
menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,
‫ َق اَل َفَكْي َف َص َنَع َق اَل َص َّلى اْلِع يَد ُثَّم َر َّخ َص ِفى‬. ‫ ِع يَد ْيِن اْج َتَم َع ا ِفى َي ْو ٍم َق اَل َنَعْم‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َأَش ِهْدَت َم َع َر ُسوِل ِهَّللا‬
.» ‫اْلُج ُمَعِة َفَقاَل « َم ْن َش اَء َأْن ُيَص ِّلَى َفْلُيَص ِّل‬
“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan
dua ‘ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”,
jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau
melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab
Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka
silakan.”[5]
Asy Syaukani dalam As Sailul Jaror (1/304) mengatakan bahwa hadits ini memiliki syahid
(riwayat penguat). An Nawawi dalam Al Majmu’ (4/492) mengatakan bahwa sanad hadits
ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). ‘Abdul Haq Asy Syubaili dalam Al Ahkam Ash
Shugro (321) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. ‘Ali Al Madini dalam Al
Istidzkar (2/373) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen).
Syaikh Al Albani dalam Al Ajwibah An Nafi’ah (49) mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[6] Intinya, hadits ini bisa digunakan sebagai hujjah atau dalil.
Kedua: Dari ‘Atho’, ia berkata, “Ibnu Az Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari Jum’at
pernah shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu shalat Jum’at Ibnu
Az Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thoif.
Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas.
Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan sunnah (ajaran Nabi)
[ashobas sunnah].”[7] Jika sahabat mengatakan ashobas sunnah(menjalankan sunnah), itu
berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi.
Diceritakan pula bahwa ‘Umar bin Al Khottob melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu
Az Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair. Begitu pula
‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat ‘ied maka ia
boleh tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak diketahui ada pendapat sahabat lain yang
menyelisihi pendapat mereka-mereka ini.[8]
Kesimpulan:
 Boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat ‘ied untuk tidak menghadiri shalat
Jum’at sebagaimana berbagai riwayat pendukung dari para sahabat dan tidak diketahui ada
sahabat lain yang menyelisihi pendapat ini.
 Pendapat kedua yang menyatakan boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat ‘ied
tidak menghadiri shalat Jum’at, ini bisa dihukumi marfu’ (perkataan Nabi) karena dikatakan
“ashobas sunnah (ia telah mengikuti ajaran Nabi)”. Perkataan semacam ini dihukumi marfu’
(sama dengan perkataan Nabi), sehingga pendapat kedua dinilai lebih tepat.
 Mengatakan bahwa riwayat yang menjelaskan pemberian keringanan tidak shalat jum’at
adalah khusus untuk orang yang nomaden seperti orang badui (yang tidak dihukumi wajib shalat
Jum’at), maka ini adalah terlalu memaksa-maksakan dalil. Lantas apa faedahnya ‘Utsman
mengatakan, “Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan”? Begitu
pula Ibnu Az Zubair bukanlah orang yang nomaden, namun ia mengambil keringanan tidak
shalat Jum’at, termasuk pula ‘Umar bin Khottob yang melakukan hal yang sama.
 Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jum’at supaya orang yang
ingin menghadiri shalat Jum’at atau yang tidak shalat ‘ied bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini
adalah anjuran untuk membaca surat Al A’laa dan Al Ghosiyah jika hari ‘ied bertemu dengan
hari Jum’at pada shalat ‘ied dan shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ َيْقَر ُأ ِفى اْلِع يَد ْيِن َوِفى اْلُج ُمَعِة ِب (َس ِّبِح اْس َم َر ِّبَك اَألْعَلى) َو (َهْل َأَتاَك َحِد يُث اْلَغاِش َيِة) َق اَل‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َك اَن َر ُسوُل ِهَّللا‬
‫َو ِإَذ ا اْج َتَم َع اْلِع يُد َو اْلُج ُمَع ُة ِفى َيْو ٍم َو اِحٍد َيْقَر ُأ ِبِهَم ا َأْيًضا ِفى الَّص َالَتْيِن‬.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam dua ‘ied dan dalam shalat
Jum’at “sabbihisma robbikal a’la” dan “hal ataka haditsul ghosiyah”.” An Nu’man bin Basyir
mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua
surat tersebut di masing-masing shalat.[9]
Hadits ini juga menunjukkan dianjurkannya membaca surat Al A’laa dan Al Ghosiyah ketika
hari ‘ied bertetapan dengan hari Jum’at dan dibaca di masing-masing shalat (shalat ‘ied dan
shalat Jum’at).
 Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jum’at dan telah menghadiri shalat ‘ied, maka
wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur sebagaimana dijelaskan pada hadits yang
sifatnya umum. Hadits tersebut menjelaskan bahwa bagi yang tidak menghadiri shalat Jum’at,
maka sebagai gantinya, ia menunaikan shalat Zhuhur (4 raka’at).[10]
Semoga apa yang kami sajikan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Segala puji bagi Allah yang
dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


Artikel http://rumaysho.com
Diselesaikan di Panggang, Gunung Kidul, 28 Dzulqo’dah 1430 H.

[1] Pembahasan kali ini kami olah dari Shahih Fiqih Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/594-596, Al
Maktabah At Taufiqiyah.
[2] HR. Abu Daud no. 1052, dari Abul Ja’di Adh Dhomri. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini hasan shahih.
[3] HR. Abu Daud no. 1067, dari Thariq bin Syihab. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih.
[4] HR. Bukhari no. 5572.
[5] HR. Abu Daud no. 1070, Ibnu Majah no. 1310.
[6] Dinukil dari http://dorar.net
[7] HR. Abu Daud no. 1071. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/596, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[9] HR. Muslim no. 878.
[10] Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 8/182-183, pertanyaan
kelima dari Fatwa no. 2358, Mawqi’ Al Ifta.

Anda mungkin juga menyukai