Original Article
Received: May 28th, 2020; Accepted: December 23th, 2020; Published online: March 22th, 2021
Abstrak
Tujuan: Untuk mengetahui pola tingkah laku perkawinan alam pejantan sapi POdengan sapi Bali
pada sistem pembibitan menggunakan kandang kelompok “Model Litbangtan”.
Metode: Materi yang digunakan 63 ekor; 3 ekor pejantan sapi PO dan 60 ekor betina sapi Bali.
Penelitian didesain Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga perlakuan berdasarkan status
fisiologis sapi Bali; yaitu Perlakuan A: 20 ekor sapi dara, Perlakuan B: 10 ekor sapi dara dan 10 ekor
sapi induk dan Perlakuan C: 20 ekor sapi induk. Parameter yang diamati pola perilaku estrus, lama
waktu terjadinya estrus sampai kawin, fenomena yang terjadi selama kebuntingan dan proses
kelahiran serta angka kebuntingan.
Hasil: Intensitas estrus kategori +++ lebih tinggi dibandingkan + maupun ++ pada semua perlakuan.
Rataan terpendek jarak waktu terjadinya estrus sampai kawin terjadi pada Perlakuan A dengan
capaian angka kebuntingan 83,33%. Fenomena yang terjadi selama kebuntingan dan saat kelahiran
adalah abortus, distokia dan kematian pedet saat lahir. Abortus terjadi pada umur kebuntingan 4-6
bulan didominasi sapi dara; kejadian distokia seluruhnya dialami sapi dara.
Kesimpulan: Sapi yang estrus sebanyak 86,67% dengan ekspresi beragam mulai silent heat (+),
sedang (++) maupun nampak (+++). Sapi Bali yang menunjukkan perilaku normal pada rangkaian
aktivitas reproduksi (estrus dan kawin) sebanyak 42 ekor dengan jarak waktu terjadinya estrus
sampai kawin antara 0,67-14,75 jam. Angka kebuntingan 83,33%; fenomena yang terjadi selama
kebuntingan dan proses kelahiran meliputi abortus, pedet mati saat lahir dan distokia.
Kata Kunci: Sapi Peranakan Ongole dan Bali; Kawin alam; Angka kebuntingan
Abstract
Objective: To determine the natural mating behavior pattern of PO bulls with Bali cows in the cattle
breeding system using freestall housing of “Litbangtan Model”.
Methods: The materials were 63 livestock; 3 PO bulls and 60 Bali cows. The study was designed with
a randomized block design (RBD) with three treatments based on the physiological status of Bali
cows; namely Treatment A: 20 heifers, Treatment B: 10 heifers and 10 cows, and Treatment C: 20
cows. The parameters observed were the pattern of estrous behavior, the length of time from estrus
https://jurnal.uns.ac.id/lar/index 54
Efendy dan Firdaus (2021) Livest. Anim. Res. 19(1): 54-62
to mating, the phenomena that occurred during pregnancy and the birth process, and the pregnancy
rate.
Results: The estrous intensity in the +++ category was higher than + or ++ in all treatments.
The shortest average time interval between estrus and mating occurred in treatment A with
a pregnancy rate of 83.33%. The phenomena that occur during pregnancy and at birth are abortion,
dystocia and calf death at birth. Abortion occurs at 4-6 months of gestation, dominated by heifers;
the incidence of dystocia is entirely experienced by heifers.
Conclusion: Cows with estrus were 86.67% with various expressions starting from silent heat (+),
medium (++) and visible (+++). There are 42 Bali cows that show normal behavior in a series
of reproductive activities (estrus and mating) with a time interval estrus and mating between
0.67-14.75 hours. Pregnancy rate 83.33%; the phenomena that occur during pregnancy and childbirth
include abortion, calf death at birth and dystocia.
https://jurnal.uns.ac.id/lar/index | 55
Efendy dan Firdaus (2021) Livest. Anim. Res. 19(1): 54-62
56 | https://jurnal.uns.ac.id/lar/index
Efendy dan Firdaus (2021) Livest. Anim. Res. 19(1): 54-62
Tabel 2. Rataan bobot badan dan ukuran morfologi tubuh sapi Bali
Bobot badan Rataan ukuran morfologi tubuh (cm)
Perlakuan (kg) Tinggi badan Tinggi kemudi Panjang badan Lingkar dada
Rataan SD Rataan SD Rataan SD Rataan SD Rataan SD
A 183,25 28,46 111,56 4,79 113,00 5,29 108,94 6,31 140,61 8,05
B 181,79 28,11 106,76 3,80 109,53 4,16 103,26 4,67 138,50 9,93
C 186,34 30,74 105,56 4,53 108,19 3,99 104,34 4,78 142,75 10,19
Keterangan : SD = standar deviasi
https://jurnal.uns.ac.id/lar/index | 57
Efendy dan Firdaus (2021) Livest. Anim. Res. 19(1): 54-62
Tabel 4. Jarak waktu terjadinya estrus sampai kawin pada sapi Bali
Jumlah induk yang estrus dan Lama waktu estrus sampai kawin (menit)
Perlakuan
dikawini pejantan (ekor) Tercepat Terlama Rataan SD
A 9 40 225 141,50 76,26
B 15 45 724 240,67 181,18
C 18 75 885 372,29 257,89
Keterangan : SD = Standar deviasi
Tabel 6. Fenomena selama masa kebuntingan dan kejadian kelahiran pada sapi Bali yang
.dikawinkan dengan sapi PO
Fenomena masa kebuntingan dan kelahiran
Perlakuan
Normal (ekor) Abortus (ekor) Distokia (ekor) Pedet MSL
A 7 4 2 3
B 15 1 2 1
C 13 1 0 1
Jumlah (ekor) 35 6 4 5
Keterangan : MSL = mati saat lahir
hormon progesteron melebihi 7 ng/ml. Kadar lebih banyak dialami pada sapi-sapi dara
hormon progesteron sapi bunting diatas dibandingkan induk.
24 hari setelah kawin berkisar 7,39-20,78 Kejadian abortus dan mati saat lahir
ng/ml [9]. tidak berkorelasi terhadap status fisiologis
Berdasarkan data Tabel 6, angka ternak yang ditunjukkan dengan p-value
kebuntingan riil sapi Bali sebanyak 50 yang lebih besar dari 0,05. Hasil p-value uji
ekor. Dari jumlah tersebut sebanyak 70% phi and cramer’s V pada kejadian distokia
berhasil melahirkan secara normal. Fenomena sapi Bali sebesar 0,038 lebih kecil dari
yang terjadi selama masa kebuntingan level of significant (0,05) (Tabel 7); artinya
dan saat proses kelahiran adalah ada hubungan antara status fisiologis dengan
terjadinya abortus, distokia dan pedet mati kejadian distokia namun dengan kekuatan
saat lahir. Abortus terjadi pada umur hubungan relatif rendah yang ditunjukkan
kebuntingan yang bervariasi antara 4-6 dengan nilai Phi-Cramer Coefficient sebesar
bulan dan terbanyak berasal dari ternak 0,267 [6].
dengan status fisiologis sapi dara yaitu
sebanyak 4 (empat) ekor dan sisanya PEMBAHASAN
sapi induk. Kejadian distokia sebanyak 8% Rekording atau catatan produktivitas
dari jumlah sapi bunting dan semuanya seekor pejantan yang digunakan sebagai
dialami sapi dara (Perlakuan A dan B). pemacek menjadi penting karena dapat
Jumlah pedet yang mati saat lahir (stillbirth) mengidentifikasi kemampuan dalam
sebagian besar dialami sapi dara. Fenomena mengawini induk sapi dan menghasilkan
ini sejalan dengan pendapat Yulyanto kebuntingan; dengan kriteria yang digunakan
et al. [10] bahwa kegagalan kelahiran antara lain: (i) warna bulu dominan putih
58 | https://jurnal.uns.ac.id/lar/index
Efendy dan Firdaus (2021) Livest. Anim. Res. 19(1): 54-62
Tabel 7. Tabulasi silang variabel status fisiologis dengan fenomena selama kebuntingan dan proses
kelahiran
Gangguan Reproduksi
Status Fisiologis Positif Negatif Total Phi-Cramer Coefficient P-Value
Abortus
Dara 4 26 30
Induk 2 28 30
Total 6 54 60 0,111 0,389
Pedet mati saat lahir
Dara 4 26 30
Induk 1 29 30
Total 5 55 60 0,181 0,161
Distokia
Dara 4 26 30
Induk 0 30 30
Total 4 56 60 0,267 0,038
kecuali pada bagian kepala, leher dan lutut (LD) yang lebih tinggi pada umur yang
berwarna agak gelap, (ii) badan besar, relatif sama dibandingkan sapi Bali yang
gelambir longgar dan menggantung, serta (iii) berada di wilayah Lombok masing-masing
warna pada bulu mata, moncong dan rambut berukuran sebesar 105,27 cm; 106,73 cm dan
ekor berwarna hitam [11]. 133,00 cm.
Dalam kaitannya dengan fertilitas seekor Dibandingkan sapi yang memiliki
pejantan, menurut penelitian yang dilakukan intensitas estrus + dan ++; maka sapi dengan
Luthfi et al. [12] bahwa kemampuan intensitas estrus +++ cenderung menunjukkan
utama dari pejantan adalah memproduksi perilaku yang komplit dan mudah dikenali
semen dalam menentukan kesuburan yang sebagai sapi yang sedang estrus. Beberapa
didukung dengan kondisi baik pada beberapa perilaku yang ditimbulkan relatif seragam;
penilaian diantaranya volume, konsistensi, diantaranya keluar lendir pada bagian vulva,
motilitas serta persentase viabilitas dan adanya pembengkakan dan warna kemerahan
abnormalitas. pada bagian vulva serta sering menaiki sapi-
Berdasarkan penampilan eksterior sapi sapi lain [15].
Bali yang digunakan sebagai materi penelitian Menurut Kune dan Najamudin [16],
memiliki karakteristik warna bulu merah adanya perbedaan intensitas estrus pada
bata, terdapat warna putih berbentuk sapi tidak selalu disebabkan aspek genetik
oval pada bagian belakang pantat, serta melainkan faktor-faktor lainnya seperti
bulu rambut pada ujung ekor dan garis kondisi ternak, aktivitas kerja yang dilakukan
belut pada bagian punggung berwarna serta interaksi ternak. Sementara itu, adanya
hitam [13]. Kriteria di atas sesuai Keputusan warna kemerahan, pembengkakan serta
Menteri Pertanian Nomor: 325/Kpts/OT.140/ kondisi hangat pada vulva disebabkan
1/2010 tentang Penetapan Rumpun Sapi Bali tingginya hormon estrogen yang selanjutnya
[14]. memberi respon kepada adenohipofisa
Rataan bobot badan sapi Bali yang untuk memicu denyut jantung sehingga
digunakan dalam penelitian ini pada semua meningkatkan aliran darah melalui pembuluh
perlakuan relatif lebih tinggi dibandingkan darah menuju vulva [17].
sapi Bali pada penelitian yang dilakukan Faktor penentu kebuntingan pada sapi
Soekardono et al. [13] dengan mengambil potong adalah ketepatan waktu kawin
sampel sapi Bali di wilayah Pulau Lombok dihitung berdasarkan awal terjadinya estrus.
dan Sumbawa yaitu masing-masing memiliki Pada kawin alam di kandang kelompok
rataan bobot badan sebesar 157,00 kg dan “Model Litbangtan” eksistensi pejantan
172,93 kg. Demikian juga rataan tinggi gumba unggul yang mampu mengawini sejumlah
(TG), panjang badan (PB) dan lingkar dada ekor induk dalam kurun waktu tertentu
https://jurnal.uns.ac.id/lar/index | 59
Efendy dan Firdaus (2021) Livest. Anim. Res. 19(1): 54-62
60 | https://jurnal.uns.ac.id/lar/index
Efendy dan Firdaus (2021) Livest. Anim. Res. 19(1): 54-62
Angka kebuntingan sapi Bali sebesar 83,33%; Effect of the temperature-humidity index
namun demikian fenomena yang terjadi on body temperature and conception rate
selama masa kebuntingan dan proses of lactating dairy cows in Southwestern
kelahiran meliputi abortus, pedet mati saat Japan. J. Reprod. Dev. 57(4): 450-456. Doi:
lahir dan distokia. 10.1262/jrd.10-135T.
9. Pemayun, T. G. O., I. G. N. B. Trilaksana,
KONFLIK KEPENTINGAN and M. K. Budiasa. 2014. Waktu inseminasi
buatan yang tepat pada sapi Bali dan kadar
Tidak ada konflik kepentingan berkaitan progesterone pada sapi bunting. Jurnal
dengan anggaran atau dana maupun Veteriner. 15(3): 425-430.
penggunaan materi penelitian (ternak sapi, 10. Yulyanto, C. A., T. Susilawati, and M. N.
kandang, dan lain-lain) dalam penulisan Ihsan. 2014. Penampilan reproduksi sapi
naskah atau makalah ini. Peranakan Ongole (PO) dan sapi
Peranakan Limousine di Kecamatan
REFERENSI Sawoo Kabupaten Ponorogo dan
Kecamatan Tugu Kabupaten Trenggalek. J.
1. Sudirman. 2016. Pengaruh metode Ilmu-Ilmu Peternakan. 24(2): 49-57.
perkawinan terhadap keberhasilan 11. Direktorat Jenderal Peternakan dan
kebuntingan sapi Donggala di Kabupaten Kesehatan Hewan. 2011. Pedoman
Sigi. Jurnal Mitra Sains. 4(3): 22-27. Intensifikasi Kawin Alam. Direktorat
2. Iswoyo and P. Widiyaningrum. 2008. Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Performans reproduksi sapi Peranakan Hewan. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Simmental (Psm) hasil inseminasi buatan 12. Luthfi, M., T. Susilawati and N. Isnaini.
di Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah. 2015. Perbedaan kecepatan pubertas
J. Ilmu-Ilmu Peternakan. 11(3): 125-133. calon pejantan sapi PO yang dipelihara
Doi: 10.22437/jiip.v.11i3.744. pada kelompok sex yang berbeda. J.
3. Matondang, R. H., and S. Rusdiana. Ternak Tropika. 16(2): 07-15. Doi:
2013. Langkah-langkah strategis dalam 10.21776/ub.jtapro.2015.016.02.2.
mencapai swasembada daging sapi/kerbau 13. Soekardono, C. Arman, and L. M. Kasip.
2014. J. Litbang Pert. 32(3): 131-139. Doi: 2009. Identifikasi grade sapi Bali betina
10.21082/jp3.v32n3.2013. bibit dan koefisien reproduksi sapi
4. Depison. 2010. Performans anak hasil betina di Propinsi Nusa Tenggara Barat.
persilangan induk sapi Bali dengan Buletin Peternakan. 33(2): 74-80. Doi:
beberapa bangsa pejantan di Kabupaten 10.21059/buletinpeternak.v33i2.119.
Batanghari Provinsi Jambi. Jurnal Agripet. 14. Kementerian Pertanian. 2010. Keputusan
10(1): 37-41. Doi: 10.17969/agripet.v10i1. Menteri Pertanian No. 325/Kpts/OT.140/1/
636. 2010 tentang Penetapan Rumpun Sapi
5. Rasyid, A., J. Efendy and Mariyono. 2012. Bali. Direktur Perbibitan dan Produksi
Sistem Pembibitan Sapi Potong Dengan Ternak – Ditjen Peternakan dan Keswan.
Kandang Kelompok Model Litbangtan. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Penerbit IAARD Press. Badan Litbang 15. Hafizuddin, T. N. Siregar, M. Akmal, J.
Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta. Melia, Husnurrizal, and T. Armansyah.
6. Sugiyono and A. Susanto. 2015. Teori dan 2012. Perbandingan intensitas berahi
Aplikasi untuk Analisis Data Penelitian. sapi Aceh yang disinkronisasi dengan
Penerbit Alfabeta. Bandung. prostaglandin F2 alfa dan birahi alami.
7. Kune, P. and N. Solihati. 2007. Tampilan Jurnal Kedokteran Hewan. 6(2): 81-83. Doi:
birahi dan tingkat kesuburan sapi Bali 10.21157/j.ked.hewan.v6i2.296.
Timor yang diinseminasi. Jurnal Ilmu 16. Kune, P. and Najamudin. 2002. Respon
Ternak. 7(1): 1-5. Doi: 10.24198/jit.v7i1. estrus sapi potong akibat pemberian
2223. progesteron, prostaglandin F2α dan
8. Nabenishi, H., H. Ohta, T. Nishimoto, T. estradiol benzoat dalam kegiatan
Morita, K. Ashizawa, and Y. Tsuzuki. 2011. sinkronisasi estrus. Jurnal Agroland. 9(4):
https://jurnal.uns.ac.id/lar/index | 61
Efendy dan Firdaus (2021) Livest. Anim. Res. 19(1): 54-62
62 | https://jurnal.uns.ac.id/lar/index