BULETIN ILMIAH
MINERAL DAN ENERGI
Banyak manfaat dari media tulis “MINDAGI”,
yaitu sebagai media komunikasi dan informasi MINDAGI
yang bersifat keilmuan, sedangkan manfaat lain Vol. 1 No. 1 – Januari 2011
dari lembaga adalah media promosi. Seperti yang
dikatakan tadi, tidaklah mudah membangunnya SUSUNAN REDAKSI
tanpa adanya dukungan yang bersifat sarana dan
prasarana standar yang diperlukan, demikian Pelindung:
halnya kondisi redaksi “MINDAGI” pada saat Dr. Ir. H. Sugiatmo Kasmungin
memulai. Walaupun demikian, terbitan lanjutan
ini dapat juga dilakukan, hal ini karena adanya Penasehat
bantuan dan dorongan dari Prodi dan Fakultas. Ir. Hidartan, MS.
Harapan redaksi untuk dapat mempersiapkan Ir. Abdurrahman Asseggaf MT
terbitan rutin yang akan datang secepatnya sarana Ir. Denny Suwanda Djohor MS
dan prasarana yang standar terpenuhi. Dan Dr. Dra. MER Hanny Djuanita
selanjutnya redaksi mengharapkan bantuan dari Ir. M. Ali Jambak, MS
para penyumbang makalah dapat memberikannya
dalam bentuk makalah yang diketik dalam format Editor
MS Word. Dewan Riset
Fakultas Teknologi Kebumian & Energi
Demikian pengantar redaksi kali ini kritik dan
saran untuk perbaikan dan kemajuan buletin Penanggung Jawab/ Pimpinan Redaksi
ini sangat diharapkan dan kami tunggu di meja Ir. Agus Guntoro, MSi., PhD.
redaksi.
Tim Penilai Naskah
Ir. Dewi Syavitri P MSc. PhD (T.Geologi)
Pimpinan Redaksi
Dr. Ir. Hj. Ratnayu Sitoresmi MT. (T.Perminyakan)
Dr. Pantjanita N. Hartami, ST., MT (T.Pertambangan)
Redaktur Pelaksana
Ir. Arista Muhartanto, MT.
Administrasi
Widodo
Alamat Redaksi/Penerbit:
Prodi Teknik Geologi
Fakultas Teknologi Kebumian & Energi
Universitas Trisakti
Gedung D – Lantai 2
Jl. Kyai Tapa No.1 Grogol Jakarta 11440
Telpon: 021-5663232 pes. 8515 & 8507
Fax: 021-25565637
E-mail: arista_geousakti@yahoo.com
atau
arista_m@trisakti.ac.id
BULETIN ILMIAH
MINERAL DAN ENERGI
MINDAGI
Vol. 1 No.1 Januari 2011
DAFTAR ISI
Daftar Isi
Ragam keunikan Gua Gong dan Gua Tabuhan di Pacitan Barat, Jawa Timur ......................................27
Mud and casing redesign of Banjarpanji-1 Well (The case of mud extrusion at Porong-
Sidoarjo oil field, East Java, Indonesia) .........................................................................................................41
Diagenetic effects on reservoir properties in a carbonate debris deposit: case study in the
berai limestone, “m” field, Makassar Strait, Indonesia...............................................................................49
Gambar 1. Lokasi Cekungan di Indonesia yang dikelompokkan berdasarkan volume sumber dayanya
oleh Howes dan Tisnajaya 1995 (di dalam Doust dan Noble 2008).
Pasifik-Pilipina, meskipun pembahasan detail evolusi Arc dan bagian tengah meliputi Sulawesi bagian tengah
tektoniknya ada perbedaan. Kerangka tektonik utara timur. Posisi tatanan tektonik Indonesia dapat
Indonesia secara umum dikelompokkan menjadi dilihat pada Gambar 2 dari Doust dan Sumner (2007).
2 kelompok utama yaitu bagian barat yang sering Berdasarkan umur struktur utama maka tatanan
dikenal dengan Sundaland dan bagian timur. Pada kerangka tektonik Indonesia bagian tengah dapat
perkembangan terakhir di Pertemuan Ilmiah IAGI 2008, dibedakan dari Indonesia Timur dan barat, berada pada
IAGI-BPMIGAS, meskipun belum dipublikasikan warna kuning, Late K-accretionary. Struktur-struktur
namun telah diperkenalkan, dalam presentasi, oleh ahli di Sundaland (bagian barat) berumur Miosen Akhir
geologi Indonesia Benyamin dan Asikin, kemungkinan sampai Oligosen, sebagaian di Sumatera dan Jawa
Indonesia menjadi 3 bagian kerangka tektonik, ketiga berumur Miosen Tengah sampai Resen, Indonesia
bagian kerangka tektonik tersebut adalah Sundaland di Timur berkembang struktur-struktur berumur Jura
bagian barat, bagian timur meliputi Papua dan Banda sampai Kapur awal dan dilanjutkan pada Miosen
M. Burhannudinnur
Tengah sampai Resen, di bagian tengah terlihat umur Pembahasan rekonstruksi evolusi tektonik
struktur Kapur akhir sampai eosen dilanjutkan Miosen Indonesia dibahas dengan baik oleh Daly, et al (1991)
Tengah sampai Resen. dan Hall (1996, 1997). Daly et al (1991) memulai
Berbicara cekungan di Indonesia tidak bisa lepas rekonstruksi dari Kapur Akhir, 70 Ma (juta tahun lalu)
dari cekungan Tersier di Indonesia. Cekungan Tersier sedangkan Hall (1996, 1997) memulai dari Awal Eosen,
lebih dominan dibanding cekungan berumur lebih tua. 50 Ma. Meskipun rekonstruksi keduanya mempunyai
Cekungan Tersier sampai sekarang masih mempunyai perbedaan namun hampir semua penulis, Hamilton
produksi lebih tinggi dibanding lainnya (Gambar 2). 1979; Tapponier et al. 1986; Daly et al. 1991; Hall 1996,
Dominasi itu semakin kelihatan di Sundaland, sehingga 1997, berpendapat bahwa selama Cenozoic Sundaland
dapat dikatakan bahwa Sundaland adalah penghasil dikelilingi oleh zone subduksi yang aktif. Hal itu
migas tertinggi di Indonesia. terjadi oleh didesaknya (pecahnya) antara tumbukan
Middle
Indonesia ?
Gambar 2. Posisi Cekungan Sedimen Tersier Asia Tenggara, jenis kerak dan kenampakan elemen tektonik utama serta kenampakan
struktur utama beserta umurnya (Doust, 2007)
India berumur Eosen ke arah barat daya dan tumbukan Indonesia. Pergerakan ke utara Benua Australia lebih
berumur Miosen yang dominasi arahnya ke timur dan berperan dalam evolusi tektonik di Indonesia. Untuk
tenggara, yang kemudian membentuk mosaik busur selanjutnya evolusi tektonik akan banyak merefer
kepulauan yang komplek, kerak samudera yang kecil hasil rekonstruksi Hall (1996, 1997). Gambar 3 adalah
dan mikro-kontinen ubahan dari Australia. Kehadiran tatanan tektonik sekarang dari Hall 1997, dengan
pengaruh kerak Benua Australia di bagian timur pengkodean warna serta posisi pulau-pulau utama di
Indonesia menunjukkan bahwa tumbukan dengan Indonesia. Gambar 4 dan 5 menunjukkan rekonstruksi
Benua Australia mempunyai aspek yang sangat tektonik lempeng Asia Tenggara dan sekitarnya
penting dalam evolusi tektonik di Indonesia Timur dari Hall (1997). Gambar tersebut menggambarkan
(Hall, 1996), dan lekukan Eurasia hasil tumbukan rekonstruksi evolusi tektonik lempeng regional atau
dengan India memberikan peran lebih sedikit pada bisa disebut juga sebagai geodinamik tektonik lempeng
perkembangan tektonik di Asia Tenggara dalam hal ini regional yang membentuk tatanan tektonik di Indonesia
EURASIA 40oN
South China
INDIA
PHILIPINE
Indochina SEA 20oN
PLATE
Sunda Shelf
PACIFIC
PLATE
Sumatra Borneo
Papua
Sulawesi
INDIAN
Java
PLATE
AUSTRALIA
20oS
New
Zeland
40oS
Gambar 3. Tatanan tektonik sekarang reginal Asia Tenggara dan Pasifik barat daya. Garis putih merupakan anomali magnetik. Garis
merah merupakan pemerakaran yang aktif. Garis putih bergerigi adalah zone subduksi. Garis putih tebal merupakan zone sesar geser.
Lempeng Pasifik warna hijau-cyan. Area dengan warna hijau muda busur didominasi oleh ofiolit dan tersusun oleh material akresi
terbentuk pada pinggir lempeng Cenozoic. Area dengan warna cyan adalah busur bawah laut, titik panas hasil dari volkanik, dan
oceanic plataeu (dataran tinggi samudera). Kuning muda adalah laut di pinggir kerak benua Eurasia. Isian warna ungu tua dan muda
mewakili laut di pinggir kerak benua Australia
M. Burhannudinnur
Pada Oligosen Tengah, 30 Ma India menyodok
Eurasia menyebabkan Indochina keluar seperti
Gambar 4. Evolusi tektonik Sundaland dari akhir Esoen Awal 50 Ma (a) sampai Miosen Awal (d) merupakan zone subduksi, rifting (a,b,c) dan rotasi
berlawanan arah jarum jam (d); Bagian timur Indonesia, passive margin hasil rifting Jura awal menjadi tumbukan di akhir Eosen Awal sampai akhirnya
terjadi tumbukan tepi Benua Australia dan bagian timur Papua Nugini pada Miosen Awal (d).
Gambar 5. Miosen Tengah sampai sekarang Sundaland merupakan zone subduksi (a - d). Bagian Timur sejak Miosen Tengah sampai Pliosen terjadi
perubahan tatanan tektonik yang sangat aktif. Salah satunya merapatnya terrane Papua Nugini ke Papua Nugini yang terus bergerak ke barat sehingga
fragmen Sula dan Tukang besi bergabung membentuk Pulau Sulawesi
M. Burhannudinnur
terotasi searah jarum jam melalui pergerakan sesar- Indonesia Barat, sejak terbentuknya pada 50 Ma,
sesar utamanya. Laut China Selatan mulai terbuka sampai resen berada di lempeng benua yaitu pinggir
kemungkinan membentuk cekungan-cekungan kerak yang berasosiasi dengan subduksi. Dapat
di pinggir Indochina. Pada awal Miosen, 20 Ma, dikatakan bahwa cekungan Indonesia Barat terletak
tumbukan antara pinggir utara Kerak Australia dan di tatanan tektonik yang relatif hampir sama dengan
mikro kontinen Kepala Burung Papua terjadi sekitar kisaran umur relatif sama, Tersier. Indonesia Timur
25 Ma, Ontong Java sampai ke Melanesia trench, kedua mempunyai evolusi dan tatanan tektonik yang
peristiwa ini mengakibatkan pengaturan kembali batas- berbeda cekungannya, berkembang dari tengah Benua
batas kerak yang sudah ada. Subduksi Laut Solomon Australia sebagai rift di tengah benua, kemudian
mulai di pinggir timur Papua Nugini menghasilkan terjadi pemekaran yang merubah cekungan menjadi
Busur Maramuni. Pingir utara Australia menjadi sesar di pinggir benua sebagi passive margin. Tektonik yang
geser mengiri seiring dengan rotasi searah jarum jam aktif merubah konfigurasi dan pergerakan lempeng,
Laut Pilipina dan Kerak Caroline. Pergerakan cabang sebagai akibatnya ada lempeng yang habis ada lempeng
Sesar Sorong mengantarkan tumbukan fragmen Benua yang baru, sehingga cekungannya berubah terutama
Australia membentuk Sulawesi. Hal ini menyebabkan cekungan yang ada di pinggir lempeng. Perubahan
rotasi berlawanan jarum jam dari Kalimantan, Jawa cekungan ini karena proses perubahan tektonik yang
dan Sumatra serta fragmen yang berhubungan dengan melibatkan percampuran kerak benua dan kerak
Sundaland, mengeliminir pergerakan sebelumnya di samudera dengan mekanisme subduksi, pemekaran,
Laut China Selatan. Sistem sesar di Sumatra mulai collison, docking micro continent.
timbul pada Miosen, kemungkinan mengakibatkan
mulainya inversi di cekungan-cekungan di area Evolusi Tektonik Stratigrafi
Sumatra.
Salah satu model evolusi tektonik stratigrafi Asia
Pada Miosen Akhir (10 Ma) terrane Papua
Tenggara hasil dari pengintegrasian data stratigrafi
Nugini yang terbentuk di Busur Carloine Selatan
dari berbagai cekungan utama dengan evolusi tektonik
merapat ke Papua Nugini mengakibatkan sistem sesar
dikemukanan oleh Longley (1997). Empat fase evolusi
geser mengiri terus bergerak ke barat. Pergerakan ke
tektonik Asia Tenggara dikemukan sebagai berikut :
barat ini mengantarkan fragmen Sula dan Tukang
besi bergabung membentuk Pulau Sulawesi oleh 1. Stage-I (50-43.5 Ma) pada saat dimana tumbukan
pergerakan Sesar Sorong dan menyebabkan rotasinya India-Eurasia bernuka dan bersamaan dengan
lengan timur dan utara sulawesi seperti sekarang ini. proses subduksi di bawah Eurasia selatan.
Rangkaian peristiwa ini kemungkinan membentuk Tumbukan (collision) kerak benua telah
Cekungan Tomori merubah cekungan yang sudah menyebabkan sebuah perlambatan laju pemerakan
pernah ada dari Australia. Rotasi Kalimantan sudah (spreading) di Samudera India menurunkan
selesai namun sistem sesar di busur depan Sumatra kecepatan konvergensi sepanjang sistem busur
mulai bergerak sebagai akibat pemekaran baru di Laut subduksi Sunda dan mengakibatkan fase ekstensi
Andaman. Kepala Burung Papua bergerak relatif ke di area-area busur depan (fore arc) dan busur
utara sepanjang sesar geser di ujung Cekungan Aru, belakang (back arc). Cekungan rift yang terisolasi
yang memodifikasi cekungan-cekungan di Kepala di busur depan dan wilayah Jawa Timur telah
Burung seperti Bintuni, Salawati. Kerak Benua berumur terisi oleh endapan transgresi diteruskan endapan
Mesozoik di utara Timor telah tereliminasi di ujung laut terbuka oleh karena cekungan-cekungan ini
timur pemberhentian Palung Jawa oleh pergerakan ke merupakan rendahan atau lembah di ujung Kraton
utara Benua Australia yang membawa pinggir Australia Sunda, sedangkan Laut pada Eosen Tengah tidak
ke dalam palung sebagai busur volkanik inner Banda. bisa menembus ke dalam cekungan rift di busur
Proses tersebut terus berlanjut hingga membentuk belakang di Kraton Sunda seperti Sumatra dan
tatanan tektonik Indonesia seperti saat ini. Jawa Barat utara yang terisi oleh sekuen endapan
Evolusi tektonik telah mengontrol dan fluvial-lakustrin.
mempengaruhi terbentuknya cekungan. Di Indonesia 2. Stage-II (43.5-32 Ma) telah dipicu oleh penghentian
terdapat dua kelompok utama yaitu Indonesia Barat subduksi saumdera dibawah zona tumbukan
(Sundaland) dan Indonesia Timur. Cekungan di India-Eurasia. Hal ini mengunci sistem pemekaran
M. Burhannudinnur
endapan berumur Kuarter. Endapan Kuarter dari sudut dengan endapan deltaik Formasi Keutapang, Minas,
petroleum sistem bukan endapan yang menjadi habitat Muara Enim, Cisubuh. Pada fase ini Cekungan Jawa
migas, namun mempunyai arti penting dalam evolusi Timur bagian utara terlihat tersusun oleh endapan
tektonik stratigrafi. neritik dan laut terbuka, hal ini merupakan gejala lokal
Evolusi tektonik stratigrafi ini lebih banyak megacu di Cekungan ini.
kepada evolusi tektonik Sundaland dan cekungan- Penampang stratigrafi dari Bintuni dan Salawati
cekungan Tersier, namun demikian Doust dan Noble sebagai Cekungan yang sudah terbukti sebagai
2008 berusaha untuk mengaplikasikan ke Indonesia penghasil migas dan penampanag stratigrafi dari
Timur dengan penempatan waktu yang berbeda. Timor, Seram dan Tanimbar dari Cekungan yang
Ringkasan evolusi tektonik stratigrafi Indonesia oleh pernah dieksplorasi namun belum mempunyai arti
Duoust dan Noble (2008) dapat dilihat di Gambar ekonomi, mewakili Indonesia Timur dapat dilihat di
6. Fase evolusi tektonik stratigrafi Indonesia sesuai Gambar 8. Pendekatan oleh Doust dan Noble (2008)
dengan tahapan evolusi tektonik stratigrafi Asia untuk Indonesia Timur dengan mendefinisikan sebagi
Tenggara yang dikemukakan oleh Longley (1997), fase tenang (quiscene) sangat panjang setelah periode
terutama di Indonesia Barat. Namun demikian evolusi synrift (Gambar 8) di Pra Tersier merefer ke Cekungan
tektonik stratigrafi Asia Tenggara oleh Longley (1997) Bintuni-Salawati-Bula. Jika dibandingkan antara
belum membahas tektonik stratigrafi Indonesia Timur, Stratigrafi Cekungan Bintuni-Salawati-Bula dan Timor-
sehinga tidak bisa dilakukan perbandingan. Seram-Tanimbar sangat berbeda. Pada Perm-Cretaceous
Apabila evolusi tektonik stratigrafi Indonesia Cekungan Bintuni-Salawati–Bula didominasi endapan
yang ada dihubungkan dengan evolusi tektonik dari synrift fluvio-deltaic, sedangkan di Cekungan Timor-
Hall, 1997 mempunyai kecocokan. Sundaland pada Seram-Tanimbar sudah terusun oleh endapan laut
Eosen, 50 Ma (Gambar 4.a.) sampai oligosen tengah, dari laut dalam sampai shelf, kemungkinan sudah fase
30 Ma (Gambar 4.b) di bagian utara Sumatera, awal post rift. Fase post rift (quescene) sangat lama di
sebelah utara Sumatera dan sebelah utara Java terjadi Indonesia Timur menjadi tidak sesuai dengan evolusi
periode rifting, merupakan fase pertama dari tektonik tektonik sangat dinamis di Indonesia Timur pada
stratigrafi. Endapan pada periode ini adalah endapan Tersier.
darat dan atau selang seling dengan endapan transisi Evolusi tektonik stratigrafi di Indonesia Timur
pada cekungan-cekungan graben dan half graben sangat berbeda dengan di Sundaland. Evolusi tektonik
yang terpisah-pisah berarah tegak lurus dengan stratigrafi Indonesia Timur melibatkan sekuen sedimen
arah riftingnya. Gambar 7 menunjukan penampang yang lebih tua, Pre-Tersier, Permian sampai Kapur
stratigrafi dari cekungan di Sundaland dari Sumatra, berasal dari bentukan potongan-potongan Pinggir
Jawa dan Kalimantan, menunjukan bahwa Formasi Benua Australia yang masuk kedalam zone tumbukan
seperti Formasi Talangakar, Lahat, Lematang, sistem Busur banda di Indonesia Timur pada Tersier
Manggalla telah dikenal sebagai endapan-endapan tengah dan akhir. Indonesia Timur memerlukan model
darat-transisi, endapan synrift. Sedangkan fase evolusi tektonik stratigrafi tersendiri untuk menjelaskan
kedua, synrift akhir diwakili oleh endapan-endapan evolusi cekungannya. Untuk endapan Tersier di Indo-
neritik, laut terbuka sampai endapan laut dalam pada nesia Timur, walaupun lingkungan pengendapan dan
cekungan yang lebih luas hasil penggabungan dari perkembangan litofasiesnya dapat dikenali, namun
beberapa half graben. Endapan-endapan batugamping demikian perkembangan cekungan syn-rift sampai post-
berada di tinggian-tinggian horst di akhir fase kedua rift Tersier tidak dapat langsung diterapkan seperti di
ini, mulai terjadi rotasi berlawanan arah jarum jam di Sundaland.
Sumatra, Jawa dan Borneo pada 20 Ma, Awal Miosen.
Fase evolusi tektonik ketiga, postrif awal, ditandai
dengan Tektonik yang stabil dengan endapan-endapan KLASIFIKASI CEKUNGAN TEKTONIK
transgressi seperti Formasi Baong, Petani, Air Benakat
Klasifikasi cekungan berdasarkan tektonik lempeng
dan Ngrayong. Gejala lokal terjadi di cekungan Jawa
telah banyak dikembangkan oleh banyak penulis.
barat Utara dimana fase ketiga masih terisi endapan
Morgan (1968), Le Pichon (1968), Isak et al (1968),
laut terbuka sampai neritik yaitu Formasi Parigi dan
Dickinson (1974) dan lain-lainnya telah memberikan
Cibulakan. Fase keempat, akhir post rift ditandai
M. Burhannudinnur
11
Evolusi tektonik dalam klasifikasi jenis cekungan tektonik Indonesia
Gambar 7. Penampang stratigrafi Sumatra, Jawa dan Kalimantan (modifikasi dari Doust dan Noble, 2008)
12
Gambar 8. Penampang stratigrafi bagian timur Indonesia A. Modifikasi dari Doust dan Noble, 2008, legenda lihat Gambar 7. B. diambil dari Charlton, 2004.
M. Burhannudinnur
13
pemahaman dasar tentang pengelompokan tatanan Klasifikasi Kingston et al. (1983) mempertimbangkan
tektonik cekungan yang mengunakan elemen dasar juga perubahan vertikal pengisian sedimen di dalam
dari batas lempeng di konsep tektonik lempeng, cekungan. Satu hal yang menjadi kelebihan klasfikasi ini
seperti tumbukan (convergent), pemekaran (divergent), adalah bahwa cekungan yang komplek bisa dijelaskan
pergeseran (transform). Beberapa klasifikasi cekungan dengan rangkaian cekungan sederhana dengan evolusi
berdasarkan tektonik lempeng telah ditulis antara tektonik stratigrafinya beserta tektonik pengubahnya.
lain Klemme (1980), Bally dan Snalson (1980) yang Cekungan sedimen dengan sejarah yang kompleks
dimodifikasi oleh John (1984), Stoneley (1981), biasanya akan dibagi menjadi beberapa siklus (cycle) atau
Kingston et al. (1983), Helwig (1985). stage atau fase. Kingston et al. (1983) mengelompokkan
Tatanan tektonik cekungan yang timbul dari tiga cekungan melalui unit dasar yang disebut siklus. Satu
batas lempeng dan fitur-fitur ikutannya telah menjadi siklus mewakili sedimen yang terendapkan dalam satu
dasar untuk klasifikasi cekungan (Klemme, 1980; episode tektonik. Terkadang satu cekungan hanya
Stoneley, 1981) yang kelihatan menawarkan kerangka mempunyai satu siklus pengendapan atau satu siklus
klasifikasi obyektif dan komprehensif. Namun tektonik terkadang lebih dari satu siklus. Disebut
demikian penggunaan pengelompokan tektonik untuk sebagai cekungan sederhana, jika hanya mempunyai
cekungan kadang mengesampingkan perubahan variasi satu siklus pengendapan/tektonik dan Cekungan
dan kekomplekan evolusi tektonik stratigrafinya, atau cekungan polyhistory basin atau mudahnya disebut
terkadang satu rangkaian cekungan yang panjang dengan cekungan rumit (complex basin), jika mempunyai
berassosiasi dengan subduksi dianggap sebagai satu lebih dari satu siklus pengendapan/tektonik. Pada
jenis cekungan dengan asal usul yang sama. Klasifikasi prakteknya penyebutan siklus akan mewakili cekungan
Klemme (1980) terlihat tidak konsisten dari sudut yang sederhana. Cekungan sederhana atau rumit
tektonik lempeng dengan dimasukannya delta sebagai dapat diklasifikasikan dengan menganalisa sejarah
salah satu klasifikasi cekungan, dan kerak samudera geologinya dalam konteks tektonik lempeng. Unsur-
tidak dipertimbangkan sebagai pembentuk cekungan. unsur penting dalam analisa sejarah tektonik adalah
Bally dan Snalson (1980), John (1984) memberikan sekuen pengendapan, bentukan cekungan tektonik
pendekatan yang lebih lengkap dengan memasukan dan modifikasi cekungan tektonik. Klasifikasi untuk
parameter tektonik cekungan yang lebih luas, cekungan sederhana atau untuk mengenali keberadan
memasukan parameter mekanikal, termal, litologi siklus di polyhistory basin dapat menggunakan diagram
penyusun. Klasifikasi Bally telah dicoba diterapkan klasifikasi seperti di Gambar 9.
namun terlihat bahwa penerapan lebih applikatif di Elemen utama pertama dalam klasifikasi
pinggir benua dengan skala yang luas. Stoneley (1981) cekungan ini adalah sekuen pengendapan. Sebuah
menawarkan klasifikasi dengan mempertimbangkan siklus dedifinisikan sebagai pengendapan sedimen
posisi tektonik, bentuk dan mekanikal cekungan serta selama satu periode tektonik. Unit stratigrafi terkecil
kreteria modifikasi yaitu pre-basin litosfir, geometri (minimum) yang dapat disebut sebuah siklus harus
dan peristiwa post-basin. Klasifikasi ini terkesan sangat diwjudkan dengan perkembangan cekungan yang
terpadu namun belum menjawab bagaimana sebuah signifikan, bisa dalam ketebalan sedimen atau jangka
cekungan dapat berubah secara vertikal sesuai evolusi waktu geologi. Asumsi ini memberikan kemudahan
tektonik stratigrafinya. Unsur sediment fan dan erosional untuk menyederhanakan unit-unit tipis endapan lereng
membuat penerapan klasifikasi ini sedikit campur atau endapan yang membaji, yang kemungkinan
aduk dengan terminologi sedimentologi. Klasifikasi terbentuknya memerlukan waktu yang lama, menjadi
Kingston etal. (1983) menawarkan klasifikasi cekungan beberapa siklus saja atau sebaliknya memisahkan
yang lebih terbuka dan dapat menjawab perubahan endapan prograding yang tebal menjadi unit stratigrafi
cekungan akibat evolusi tektonik stratigrafi. Klasifikasi yang lebih mudah dikenali. Gambar 10 menunjukan
ini menawarkan penamaan dalam skala luas dan hubungan stage pengendapan dan siklus tektonik.
luwes sampai ke dalam skala sub basin untuk keperluan Satu siklus pengendapan diwakili oleh tiga stage
lebih detail, sehingga terkesan rumit. Pemakaian pengendapan yang dicirikan stage pertama wegde base,
istilah baru yang terdengar asing seperti fracture, sag stage kedua wedge middle dan stage ketiga wedge top, tiga
memungkinkan untuk lebih mengakomodasi istilah stage ini mewakili tiga elemen dari satu wegde transgresi-
mekanikal cekungan yang lebih dasar seperti rift, flexure. regresi yang utama. Tiga stage dari satu siklus dapat
didekati sebagai berikut : endapan darat dari lidah pengendapan darat yang
1. Stage 1 dari siklus berhubungan dengan wegde base tidak melebihi 50 % dari total endapan.
dari endapan darat. Hal ini yang paling utama 3. Stage 3 adalah wegde top endapan darat dan
meliputi endapan dataran banjir, lagoon, dan berasosiasi dengan ketidakselarasan regional.
endapan pantai, jika dapat dipisahkan. Tipe batuan Secara litologi serupa dengan stage 1 lebih dari 50%
biasanya konglomerat darat, batupasir dan serpih. endapan darat konglomerat, batupasir, serpih, red
Batuan lainnya yang khas namun jarang dijumpai beds, batubara, batugamping air tawar, dan sedikit
adalah red beds, batubara, endapan volkanik, dan endapan evaporit. Ketidakselarasan di bagian atas
batugamping air tawar. Jika endapan wegde base ini setelah pembajian atas termasuk dalam stage ini.
tebal dan lebih dari setengahnya endapan darat,
Deskripsi stage pengendapan harus mulai dari
dapat dikelompokan sebagai stage 1.
pusat siklus pengendapan di dalam Cekungan atau
2. Stage 2 endapan laut wegde middle. Jenis batuan dari bagian yang paling tebal dari wegde pada cekungan
yang umum dijumpai disini adalah serpih laut, yang membuka ke arah laut terbuka. Penampang
batugamping dan batupasir. Semua garam yang untuk konsep wegde dapat dilihat di Gambar 10A,
masif termasuk di stage ini, secara teori endapan hal ini menjadi bukti bagian cekungan yang dipelajari
evaporit yang tebal secara umum menunjukkan sangat jauh updip, setelah pembajian endapan laut,
sebagai endapan laut atau minimal mengering di garis c, terlihat hanya dua stage endapan darat yang
pinggir laut atau ujung laut. Endapan evaporit yang bisa dikenali yaitu 3 dan 1, sebaliknya dengan gambar
masif mengindikasikan pengendapan di interior yang sama di bagian jauh downdip, garis a, hanya stage
basin. Batuan lain yang kadang dijumpai adalah 2 wedge laut yang bisa dideskripsi.
endapan volkanik, batubara laut, endapan flysh Elemen utama kedua dalam klasifikasi Kingston
dan turbidit lainnya, napal laut dalam dan endapan et al. (1983) adalah tektonik pembentuk cekungan
pelagik. Pada stage 2 ini kemungkinan mengandung yang mempunyai tiga parameter yaitu pertama,
M. Burhannudinnur 15
Gambar 10. Hubungan antara stage dan siklus dari pengendapan wedge. (A) Transgresi wedge base (stage 1), wedge middle
(stage 2), dan regresi wedge top dengan ketidakselarasn di bagian atasnya (stage 3). Garis putus-putus di tengah-tengah
merupakan batas stage. (B) Pengendaman wedge dimana stage 3 dan sebagian stage 2 terpotong oleh ketidakselarasan
jenis dan komposisi kerak dibawah cekungan, benua mempunyai lebih dari satu siklus bisa didekati dengan
atau samudera, jika ada intermediate biasanya bisa polyhistory basin dan jika sudah mengalami modifikasi
dipecahkan dengan berbagai cara; kedua, tipe tektonik atau struktur dapat didekati secara terpisah.
pergerakan kerak pembentuk cekungan yaitu divergen Elemen ketiga adalah tektonik pengubah cekungan.
dan konvergen. Pergerakan kerak transform tidak Cekungan atau siklus yang terbentuk baik single atau
dipertimbangkan dalam klasifikasi Kingston et al. polyhistory kemungkinan berubah di perjalanan evolusi
(1983) karena pergerakan transform yang sempurna tektonik. Ada tiga jenis tektonik pengubah cekungan
saling menyamping sangat jarang membentuk yaitu episodic wrench (L), adjacent (wrendh) foldbelt (FB)
cekungan. Konvergen dengan sudut kecil terlihat dan complete folding dari sebuah cekungan (FB3) yang
sebagai wrench atau foldbelts dan divergen dengan merupakan formasi foldbelt.
sudut kecil terlihat sebagai sesar normal atau saging. Episodic wrench (L) mewakili arti yang luas dari
Parameter ketiga adalah posisi cekungan di kerak (di pergerakan lateral tidak berhubungan dengan asal
dalam atau di pinggir kerak) dan struktur utama yang cekungan atau siklus. Episodic wrench terjadi oleh
terlibat dalam cekungan (sagging, normal faulting, berbagai hal dan dijumpai di dalam cekungan disemua
atau wrench). Kombinasi ketiga parameter secara kemungkin umur termasuk basement. Pergerakan itu
teoritis memberikan 10 model cekungan sederhana. bisa berasal dari zone lemah yang berumur lebih tua
Dua diantaranya yaitu OTA dan OF tidak dibahas yang bergerak secara periodik atau episodik merespon
dalam konteks model yang praktis karena kedua tidak pergerakan lempeng. Pergerakan lempeng diwujudkan
dipertimbangkan sebagai cekungan yang prospek oleh tumbukan lempeng, rotasi, fragmentasi atau
migas, jadi hanya 8 siklus secara teoritis dan 8 siklus subduksi. Foldbelts disebabkan oleh konvergen
model praktis. Kedelapan siklus/cekungan sederhana dari dua atau lebih lempeng. Area cekungan yang
terdiri dari 4 katagori utama dan 4 kategori minor terperangkap dalam konvergen bisa semuanya terlipat
ditinjau dari sudut eksplorasi migas, secara umum atau sebagaian terlipat. Cekungan yang tidak terlipat
migas terbentuk di empat siklus mayor di kerak benua. semuanya tidak termasuk dalam foldbelt tetapi wrench
Keempat siklus mayor adalah interior sag (IS), interior foldbelt, sedangkan yang terlipat semuanya disebut
fracture (IF), margin sag (MS), wrench (LL), sedangkan formasi foldbelt (FB3). Adjacent (wrendh) foldbelt biasanya
yang minor adalah trench (T), trench associated (TA), terletak dibatas cekungan yang relatif tidak terlipat
oceanic sag (SG) dan oceanic wrench (OSLL). Sebagai dan berkurang dengan jaraknya, dinotasikan sebagai
gambar keempat siklus mayor dapat dilihat di Gambar FB. Efek dari variasi perbedaan intensitas pergerakan
11 s/d Gambar 14. lateral L dan variasi foldbelt dipinggir cekungan
Sebagain besar cekungan mempunyai lebih dari digambarkan di Gambar 15. Beberapa hal yang perlu
satu siklus ditambah perubahan peristiwa-peristiwa digarisbawahi berhubungan dengan L dan FB adalah
tektonik atau struktur penngubah. Cekungan yang pertama pengaruh tektonik pengubah bervariasi,
Gambar 11. Perkembangan cekungan interior sag (IS) (Kingston et al., 1983)
Gambar 12. Perkembangan cekungan interior fracture (IF) (Kingston et al., 1983)
M. Burhannudinnur 17
Gambar 13. Perkembangan cekungan margin sag (MS) (Kingston et al., 1983)
Gambar 15.Variasi perkembangan tektonik pengubah cekungan untuk episodic wrench (L)
adjacent (wrench) foldbelt (FB) dan foldbelt (FB3) (Kingston et al., 1983)
M. Burhannudinnur 19
A
B
Gambar 16. Contoh Penggunaan pada cekungan polyhistory. A. Cekungan divergen yang terubah oleh tektonik
wrench dan foldbelt. B. Contoh dari Semenanjung Persi (Kingston et al., 1983)
Gambar 17. A. Ringkasan tektonik stratigrafi diambil dari Doust dan Noble (2008), penentuan stage dan penentuan tipe cekungan
menurut Kingston et al. (1983), Cekungan Sumatera Utara adalah La/LL321. B. Skematik Cekungan Sumatera Utara (Doust dan
Sumner 2007). C. Penampang geologi memotong Sumatera, posisi potongan lihat inset.
M. Burhannudinnur 21
Cekungan Jawa Timur Utara memperlihatkan lengkap Cekungan Salawati dapat dikelompokan
gejala perkembangan cekungan LL yang lain. Setelah sebagai Lf/FBd/ MS32/FBc/MS321?/FBc?/MS2?,
siklus wrench dengan stage lengkap (LL321) ditandai yaitu cekungan marginal sag yang mengalami wrench
dengan pengangkatan cekungan dan erosi di pinggir foldbelt, sehingga membentuk lipatan di pinggir
cekungan, dilanjutkan adjacent foldbelt di pinggir selatan cekungan, di akhir pembentukan terjadi adjancent
cekungan menyebabkan gejala enchelon fold ? (FBd), wrench yang sangat kuat, sehingga foldbelt semakin kuat
pada akhirnya endapan darat Kuarter (LL1) mulai Gambar 19.
menutup cekungan ini (Gambar 18). Penamaan cekungan akan semakin kompleks,
Cekungan Salawati mewakili dari Indonesia Timur jika evolusi tektonik tektoniknya tidak sederhana,
mempunyai cekungan yang sangat tua dari Permian sebagai contoh untuk Sulawesi sekitar Tomori ke
sampai Pliosen. Namun demikian, data-data Tersier timur (Gambar 20). Pada awalnya evolusi tektonik
jauh lebih lengkap dibanding data-data batuan berumur dari Australia merupakan rifting di kerak benua
lebih tua. Rekonstruksi sejarah geologi terbatas juga di dapat dikelompokkan sebagai interior fracture dengan
Tersier. Cekungan Tersier Salawati bertipe Lf/FBd/ kemungkinan mempunyai stage 1 s/d 3 dari sekuen
MS32/FBc, batuan lebih tua kemungkinan diendapkan pengendapan (IF321) sebagai siklus 1, siklus kedua
pada tipe cekungan MS321?/FBc?/MS2? Secara pada passive margin atau margin sag kemungkinan stage
Gambar 18. Penentuan jenis cekungan untuk Cekungan Jawa Timur Utara, LL1/FBd/LL321
2 berkembang karena jauh dari tepi cekungan sebelah baru IF dan MS berada di atas cekungan yang lain.
(MS2). Siklus ini terjadi sampai Miosen Awal, berlanjut Penentuan jenis cekungan dengan klasifikasi
dengan fase tumbukan dengan posisi di pinggir kerak Kingston et al. (1983) dapat secara mudah dilakukan
berupa subduksi menghasilkan endapan berasosiasi di cekungan sederhana maupun cekungan kompleks.
dengan trench (TA). Setelah periode tumbukan kerak Cekungan kompleks dapat didekati dengan polyhistory.
benua atau fase kompressi terjadi episodic wrench dan Penentuan cekungan secara rinci dapat melihat evolusi
wrench foldbelt yang merubah tatanan tektonik, terjadi tektonik di cekungan tersebut. Sebagai contoh Jawa dan
pengangakatan, erosional, wrench sehingga merubah Sumatra, meskipun sama-sama dikelompokan dalam
posisi dan jenis cekungan. Cekungan berubah menjadi cekungan wrench (LL) namun evolusi tektoniknya
Fbe/Lf/TA/MS2 di bagian barat, LL1(?)/FBc/MS2/ sangat lain dan dapat terekam dalam penamaan jenis
La/IF321 di bagian tengah dan terdapat cekungan cekungan (Gambar 17 dan 18).
M. Burhannudinnur 23
Gambar 20. Penentuan jenis cekungan untuk Cekungan Tomori di Sulawesi
Perbedaan evolusi tektonik Cekungan Indonesia dalam satu sistem petroleum. Stage 1 yang lebih dari 50%
Timur dan Cekungan Indonesia Barat dapat endapan transisi dan darat, fluvio deltaik dan endapan
didefinisikan dengan baik oleh penentuan dan transisi lain, sangat mungkin sebagai batuan induk dan
penamaan dengan klasifikasi ini. Cekungan Indonesia potensi reservoir yang terbatas. Stage 2 lebih endapan
Barat dimulai dari jenis wrench (LL), dan trench lebih ke arah laut memungkinan kehadiran reservoir
associated (TA) dengan tektonik pengubah cekungan dan batuan penutup yang lebih luas. Stage 3 hampir
adjacent wrench (L) dan wrench foldbelt (FB). Cekungan sama dengan stage 1 dengan umur yang lebih muda.
Indonesia Timur dimulai dari interior fracture (IS) atau Dalam konteks ekplorasi migas kehadiran stage secara
margin sag (MS) yang mengalami adjacent wrench (L) lengkap akan menurunkan tingkat ketidakpastian.
dan wrench foldbelt (FB) atau berubah lebih kompleks
menjadi LL, TA atau menjadi cekungan baru IF seperti KESIMPULAN
yang terjadi di Cekungan Tomori (Gambar 20). Evolusi
cekungan tektonik Cekungan Tomori sangat kompleks, Evolusi tektonik telah mengontrol dan
dari MS e IF dan LL, disebabkan oleh perubahan batas mempengaruhi jenis cekungan. Di Indonesia terdapat
lempeng yang sangat dinamis, beda halnya dengan dua kelompok utama, yaitu Indonesia Barat (Sundaland)
Cekungan Salawati yang cenderung mempertahankan dan Indonesia Timur. Cekungan di Indonesia Barat
kehadiran MS. Hal dapat dijadikan titik awal untuk terletak di tatanan tektonik yang secara umur relatif
pendefinisikan tatanan tektonik Indonesia Tengah sama, yaitu pinggir kerak yang berasosoaisi subduksi.
secara rinci melalui pendekatan penentuan jenis Jenis Cekungan yang berkembang adalah cekungan
cekungan tektonik. wrench (LL), atau trench associated (TA) berumur
Kehadiran tektonik pengubah cekungan L dan FB Tersier. Perbedaan masing-masing cekungan ada pada
(FB3) memberi gambaran tektonik yang terjadi setelah evolusi tektonik cekungan yang dapat digambarkan
cekungan terbentuk. Hal ini sangat penting dalam dengan tektonik pengubah cekungan (L, FB dan FB3).
interpretasi sistem petroleum di cekungan yang ada. Indonesia Timur mempunyai evolusi dan tatanan
Ketidakpastian migrasi minyak dan gas bumi menjadi tektonik yang berbeda. Cekungannya dimulai dari
lebih tinggi ketika intensitas L, FB dan FB3 sangat tengah ke pingir Benua Australia dimulai oleh rifting di
tinggi. tengah benua menjadi passive margin (interior fracture,
Kelengkapan sekuen pengendapan stage 1 s/d IS ke margin sag, MS) berumur lebih tua dari Tersier.
stage 3 di satu siklus bermanfaat untuk memprediksi Cekungan di Indonesia Timur bisa berada di kerak
kehadiran batuan induk, reservoir dan batuan penutup benua atau samudera yang kemudian berubah, karena
M. Burhannudinnur 25
Howes, J.V.C., Tisnawijaya, S., 1995. Indonesian Characteristicsof the fractured carbonate reservoir
petroleum systems, reserves additions and exploration of the Oseil field, Seram Island, Indonesia. In:
efficiency. In: Proceedings of Industrial Petroleum Proceedings of Industrial Petroleum Association 28th
Association 24th Annual Convention, October 1995, Annual Conference, 241-251 (IPA01-G-101), vol.1,
IPA95-1.0-040, pp. 1–17. pp. 439–456.
Indonesian Petroleum Association, 1989a. Indonesia— Noble, R.A., et al., 1997. Petroleum systems of Northwest
Oil and Gas Fields Atlas, vol. I, North Sumatra and Java, Indonesia. In: Howes, J.V.C., Noble, R.A.
Natuna (Eds.), Proceedings of International Conference
Indonesian Petroleum Association, 1989b. Indonesia— on Petroleum Systems of SE Asia and Australasia.
Oil and Gas Fields Atlas, vol. IV, Java. Indonesian Petroleum Association, pp. 585–600.
Indonesian Petroleum Association, 1991b. Indonesia— Noble, R.A., Jessup, D.M., Djumlati, B.D., 2000.
Oil and Gas FieldsAtlas, vol. V, Kalimantan. Petroleum system of the Senoro-1 discovery, East
Sulawesi, Indonesia. AAPG International Meeting,
Indonesian Petroleum Association, 1998. Indonesia—Oil
Bali, Indonesia, October 2000 (Abstract).
and Gas FieldsAtlas, vol. VI, Eastern Indonesia.
Norvick, M. S., 1979, The tectonic history of the Banda
John, B.S., Bally, A.W., Klemme, H.D., 1984, Sedimentary
Arcs, eastern Indonesia: a review, J. geol. Soc. London,
Province of the World-Hydrocarbon Productive and
Vol. 136,pp. 519-527
Nonproductive, In: Foster, N.H., Beaumont, E.A.,
(Eds.), Geologic Basin I, Classification, Modeling Peters, K.E., et al., 1999. Geochemistry of crude oils
and Predictive Stratigraphy, AAPG Treatise of from eastern Indonesia. AAPG Bulletin 83 (12),
Petroleum Geology, Reprint Series, No. 1, p. 147-181. 1927–1942.
Katili, J.A., 1980, Geotectonic of Indonesia, a Modern View, R. E. King, H. D. Klemme, R. H. Dott, Sr., and A. A,
1980, Directorate General of Mines, Jakarta Meyerhoff,1970b, World’s giant oil and gas fields,
geologic factors affecting their formation, and basin
Kingston, D.R., Dishroon, C.P., Williams, P.A., 1983.
classification, part II, Factors affecting formation of
Global basin classification system. AAPG Bulletin 67
giant oil and gas fields, and basin classification, in
(12), 2175–2193.
Geology of giant petroleum fields: AAPG Memoir 14,
Kingston, D.R., Dishroon, C.P., Williams, P.A., 1983. p. 528-555.
Hydrocarbon Plays and Global Basin Classification.
Satyana, A.H., Nugroho, D., Surantoko, I., 1999. Tectonic
AAPG Bulletin 67 (12), 2194–2198.
controls on the hydrocarbon habitats of the Barito,
Klemme, H.D., 1980, Types of Petroliferus Basins, In: Kutei and Tarakan basins, Eastern Kalimantan,
Foster, N.H., Beaumont, E.A., (Eds.), Geologic Indonesia: major dissimilarities in adjoining basins.
Basin I, Classification, Modeling and Predictive Journal of Asian Earth Sciences 17, 99–122.
Stratigraphy, AAPG Treatise of Petroleum Geology,
Shaw, J.H., Hook, S.C., Sitohang, E.P., 1997. Extensional
Reprint Series, No. 1, p. 87-101.
fault-bendfolding and synrift deposition: an example
Klemme, and T. Shabad, 1970, World’s giant oil and gas from the Central Sumatra Basin, Indonesia. AAPG
fields, geologic factors affecting their formation, and Bulletin 81 (3), 367–379.
basin classification. Part1, giant oil and gas fields, in
Stoneley, R., 1981, Petroleum : the Sedimentary Basins,
Geology of giant petroleum fields:AAPG Memoir 14,
In: Foster, N.H., Beaumont, E.A., (Eds.), Geologic
p. 502-528.
Basin I, Classification, Modeling and Predictive
Longley, I.M., 1997. The tectonostratigraphic evolution Stratigraphy, AAPG Treatise of Petroleum Geology,
of SE Asia. In: Fraser, A.J., et al. (Eds.), Petroleum Reprint Series, No. 1, p. 102-122.
Geology of Southeast Asia. Geological Society Special
Ten Haven, H.L., Schiefelbein, C., 1995. The
Publication, vol. 126, pp. 311–339. (Abstract)
petroleum systems of Indonesia. In: Proceedings
McClay, K., Dooley, T., Ferguson, A., Poblet, J., 2000. of 24th Industrial Petroleum Association Annual
Tectonic evolution of the Sanga Sanga Block, Convention, IPA95-1.3-013, pp. 443–458.
Mahakam Delta, Kalimantan, Indonesia. AAPG
Tapponier, P., Peltzer, G. & Armijo, R. 1986. On the
Bulletin 84 (6), 765–786.
mechanics of the collision between India and Asia.
Moss, S. J., Carter, A., Baker, S., Hurford, A.J., 1998, In: Coward, M.P. & Reis, A.C. (eds) Collision Tectonics.
A Late Oligocene tectono-volcanic event in East Geological Society, London, Special Publications
Kalimantan and the implications for tectonics and
Wakita, K., 2000, Cretaceaous accretionary-collison
sedimentation in Borneo, Journal of the Geological
complexex in Central Indonesia (in Sutre zone of
Society, London, Vol. 155, pp. 177–192.
East and Southeast Asia), Journal of Asian Earth
Nilandaroe, N., Mogg, W., Barraclough, R., 2001. Sciences, 18 (6) (Abstract).
Abstrak
Bentang alam kawasan kars menawarkan keindahan, keunikan,
dan kelangkaan yang mempunyai nilai jual tinggi, sehingga dapat
dimanfaatkan untuk sektor pariwisata. Kawasan kars, diantaranya
: di Pacitan-Trenggalek (Jawa Timur) menyuguhkan beragam jenis
dan dimensi unsur-unsur bentang alam, serta fenomena kars yang
menawan.
Beberapa hal yang menjadi keunikan segmen kars Pacitan Barat,
diantaranya : tidak mempunyai batugamping yang umurnya lebih
tua dari Neogen; genanglaut pada Miosen Tengah menyebabkan
keadaannya memungkinkan bagi pertumbuhan batugamping Neogen
secara maksimum; dan proses karstifikasi yang dimulai pada permulaan
Zaman Kuarter. Batugamping yang tersingkap di Pacitan Barat terdiri
dari fasies klastik yang bersifat tufaan dikenal sebagai Formasi Oyo dan
fasies terumbu dikenal sebagai Formasi Wonosari. Pesona keunikan
gua-gua di Pacitan Barat dapat dijumpai di Gua Gong dan Gua
Tabuhan.
Gua Gong dikenal memiliki keindahan speleotem dengan
aneka jenis stalaktit berbangun kerucut dan pipa menghiasi atap
gua, setempat membentuk kelurusan bersama-sama dengan lapisan
CaCO3 tipis yang membentuk bangun, seperti tirai (stalaktit melembar)
serta bentukan drapery lainnya. menutupi seluruh dinding gua. Bentuk
stalakmit yang tumbuh semakin tinggi bersatu dengan stalaktit
membentuk kolom. Kolom itupun akhirnya dilapisi oleh endapan
hasil penghabluran-ulang kalsium karbonat, sehingga berkembang,
seperti bentukan flowstone yang berlapis-lapis dan bertingkat-tingkat.
Speleotem-speleotem tersebut diberi nama nilai spiritual yang ada,
yakni Selo Jengger Bumi, Selo Paku Buwono dan Selo Bantaran Angin
adalah gabungan bentuk stalakmit dan flowstone yang masih aktif.
Gua Tabuhan memiliki speleotem yang sebagian besar sudah
tidak aktif berkembang, stalaktit bercampur dengan rock-pendant
(sisa-sisa batugamping yang membentuk tonjolan di atap gua).
Nilai jual Gua Tabuhan terletak pada nilai keunikan dan kelangkaan
speleotem yang ada. Beberapa stalaktit di dalam Gua Tabuhan, jika
dipukul akan mengeluarkan nada instrumen gamelan tertentu yang
dipadukan dengan suara gendang yang mengiringi pesinden, di dalam
kegelapan gua tercipta alunan gamelan yang mempesona. Selain itu,
Gua Tabuhan memiliki nilai sejarah yang dipercaya oleh masyarakat
sebagai petilasan tempat bertapanya Sentot Prawirodirjo pada jaman
perang Diponegoro, tahun 1825 – 1830 yang lalu. Gua Tabuhan dari
segi kepurbakalaan memiliki nilai arkeologi yang cukup tinggi dengan
dilindunginya gua tersebut oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
berdasarkan UU No 5 tahun 1992, dimana pernah ditemukan sisa-sisa
tulang vertebrata dan peralatan batu dari hasil penggalian di dasar gua
oleh van Heekeren pada tahun 1955.
28 Ragam Keunikan Gua Gong dan Gua Tabuhan di Pacitan Barat, Jawa Timur
Gambar 1. Lokasi wilayah Kabupaten
Pacitan di Propinsi Jawa Timur yang mudah
dicapai, baik dari Yogyakarta, Jawa Tengah;
maupun Jawa Timur sendiri (Samodra,
2005)
Bandar menghubungkan Pacitan dengan wilayah Geomorfologi Kawasan Kars Pacitan Barat
Kabupaten Ponorogo. Kawasan kars yang berkembang di Pacitan Barat
merupakan rangkaian bentang alam yang luas, yang
Keterkaitan Kondisi Geologi berkembang pada batugamping berumur Neogen.
terhadap Pembentukan Kars di Kars di segmen daerah Pacitan Barat merupakan
Pacitan Barat ujung paling timur dari kars Gunung Sewu. Secara
Kondisi geologi yang mengontrol pembentukan geologi, batugamping Neogen yang menyusunnya
batugamping di Pacitan bagian Barat mencakup aspek mengisi daerah rendahan tektonik. Secara morfologi,
geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi. bentang alam kars yang berkembang pada batugamping
30 Ragam Keunikan Gua Gong dan Gua Tabuhan di Pacitan Barat, Jawa Timur
endapan-ulang kalsium karbonat, sehingga yang diperkirakan menerus hingga Samudera Hindia, sesar
ditemukan di lapangan adalah tonjolan-tonjolan kecil ini juga mengendalikan arah aliran S.Cokel yang keluar
yang lurus memanjang ke arah tertentu dan membentuk melalui sistem sifon gua
pola.
Di Pacitan Barat setidaknya dapat diamati Genesa Kars di Pacitan Barat
adanya beberapa sistem sesar besar yang masing- Kars di Pacitan Barat memiliki arti geologi penting,
masing berarah timurlaut-baratdaya, baratlaut-tenggara di mana fenomena ekso- dan endokars tidak dapat lepas
dan utara-selatan, yakni : (1) Sesar Punung merupakan dari tataan geologinya (litologi, stratigrafi, struktur).
sistem sesar berarah baratlaut-tenggara yang berjenis Kegiatan identifikasi gejala geologi diproyeksikan
geser menganan diikuti menurun (oblique fault); (2) tidak hanya terbatas pada batugamping saja, tetapi juga
Sesar Watulawang merupakan sesar turun berarah batuan-dasar dan batuan-penutup yang masing-masing
hampir utara-selatan yang ditunjukkan oleh gawir mengalasi dan menutupi batugamping.
terjal setinggi 75 - 100 m yang membatasi sebaran Berkaitan dengan aspek litologi, batugamping
batugamping Neogen di Pacitan Barat dengan penyusun kars di segmen daerah Pacitan Barat dapat
Dataran Pacitan yang luas di sebelah timurnya, dan berlainan. Perbedaan itu terletak pada sifat fisik batuan
(3) Sesar Gondang yang berarah timurlaut-baratdaya (ketahanannya terhadap pelapukan, pengikisan dap
32 Ragam Keunikan Gua Gong dan Gua Tabuhan di Pacitan Barat, Jawa Timur
memberi kenampakan lebih menonjol daripada daerah Deskripsi Gua dan Potensi
sekitarnya. Bioherma seperti itu bentuknya tidak umberdaya Mineral di Pacitan Barat
teratur (contoh di daerah Dadapan-Widoro bagian
utara: Sartono, 1960; Samodra, 2005). Gua Gong
Sebagaimana diketahui, proses karstifikasi Gua Gong di Desa Bomo Kec. Donorojo merupakan
dipengaruhi oleh banyak faktor. Di antaranya adalah sebuah “kubah raksasa” berarah barat-timur yang
tebal lapisan batugamping, banyak sedikitnya rongga, mempunyai panjang sekitar 100 m, lebar 15 - 40 m dan
celah dan kekar (retakan) pada batuan, jumlah tinggi 20 - 30 m. Dari mulut gua, kubah dihubungkan
curah hujan, letak kawasan yang nisbi lebih tinggi oleh lorong rendah sepanjang 30 m yang dipenuhi
dibanding daerah sekitarnya, ada tidaknya sungai oleh stalaktit pada bagian atap dan bawah gua.
permukaan yang berfungsi sebagai muka-airtanah Gua Gong dikenal memiliki keindahan
setempat, serta kerapatan vegetasi penutup. speleotem, yang jenis dan ukurannya beragam.
Faktor lain yang tidak boleh dilupakan adalah Aneka jenis stalaktit berbangun kerucut dan pipa
waktu yang tersedia bagi proses pelarutan. Proses menghiasi atap gua (Foto 5), setempat membentuk
pengangkatan yang terjadi pada permulaan Zaman kelurusan bersama-sama dengan lapisan CaCO3
Kuarter (Plistosen) menyebabkan seluruh batugamping tipis yang membentuk bangun, seperti tirai (stalaktit
di Pacitan Barat yang berumur Miosen Tengah- melembar) serta bentukan drapery lainnya (Foto 6).
Pliosen terangkat ke permukaan. Setelah berada di Heliktit-heliktit kecil yang menghiasi permukaan
atas permukaan laut, batugamping akan mengalami stalaktit dijumpai di beberapa tempat. Flowstone
karstifikasi, membentuk gejala minor-karst yang dikenal dengan gurdam-gurdam kecil di dasarnya berkembang
dengan lapies (karren). hampir menutupi seluruh dinding gua.
Lubang-lubang pelarutan dapat berbangun Aneka bentuk stalakmit setinggi 1 - 5 m tersebar
membundar, atau memanjang searah dengan aliran air, di dasar gua, sebagian yang tumbuh semakin tinggi
sebelum akhirnya Baling menyatu membentuk sistem bersatu dengan stalaktit membentuk kolom.
rongga yang lebih besar. Kolom itupun akhirnya dilapisi oleh endapan hasil
Foto 5. Aneka jenis stalaktit dan stalakmit berbangun kerucut dan pipa
menghiasi lantai dan atap Gua Gong dan nampak pula keduanya yang telah
dan hampir menyatu membentuk pilar
34 Ragam Keunikan Gua Gong dan Gua Tabuhan di Pacitan Barat, Jawa Timur
mulut Gua Tabuhan bercampur dengan rock-pendant, yang berkembang di sebagian dinding utara dan
yaitu sisa-sisa batugamping yang membentuk tonjolan selatan di ruang pertama disebabkan oleh rembesan
di atap gua. Deretan stalaktit yang berarah timurlaut- air yang ke luar dari retakan batuan (Foto 11).
baratdaya dan baratlaut-tenggara berhubungan dengan Gejala endokars ini merupakan tempat masuknya
retakan di atap gua. sungai permukaan yang mengalir pada sebuah lembah
Dasar gua ditutupi oleh sedimen yang cukup tebal, kecil di bawah tempat peturasan Gua Tabuhan.
sehingga jumlah stalakmitnya sangat kurang. Tetesan Sungai bawah tanah ini tidak lama kemudian ke luar
air yang ke luar dari ujung-ujung stalaktit setempat lagi melalui mulut Gua Sungai Banjar.
membentuk protostalakmit di lantai gua. Flowstone
Nilai jual Gua Gong terletak pada keindahan Prawirodirjo pada jaman perang Diponegoro, tahun
speleotem di dalamnya; sementara Gua Tabuhan menjual 1825 – 1830 yang lalu (Foto 13). Hingga sekarang gua
nilai keunikan dan kelangkaan speleotem yang ada. yang telah dikembangkan menjadi obyek wisata itu
Beberapa stalaktit di dalam Gua Tabuhan jika dipukul masih sering dikunjungi orang-orang tertentu.
akan mengeluarkan nada instrumen gamelan tertentu Sebelum menjadi gua fosil, Gua Tabuhan
(Foto 12). Dipadukan dengan suara gendang yang merupakan sebuah lorong sungai bawah tanah yang
mengiringi pesinden, di dalam kegelapan gua tercipta alirannya mengikuti sistem retakan batugamping
alunan gamelan yang mempesona. yang berarah barat-timur. Pengangkatan pada
Beberapa gejala ekso- dan endokars di daerah permulaan Kuarter menyebabkan lorong menjadi
Pacitan Barat sudah lama dikenal sebagai tempat- kering, karena ditinggalkan oleh sungai bawah
tempat yang memiliki nilai spiritual yang berkaitan tanah yang bergerak mencari muka airtanah baru yang
dengan kepercayaan tertentu. Nilai itu masih letaknya lebih dalam. Di dalam lorong Gua Tabuhan
dilestarikan hingga sekarang. Sebuah rongga kenampakan diperlihatkan oleh adanya antara batas
berukuran 1 x 1 m dan tinggi kurang dari 1 m di ujung ketidakselarasan batuan yang berumur tua (Tersier)
ruangan kedua di dalam Gua Tabuhan dipercaya oleh dan muda (Kuarter) (Foto 14).
masyarakat sebagai petilasan tempat bertapanya Sentot
36 Ragam Keunikan Gua Gong dan Gua Tabuhan di Pacitan Barat, Jawa Timur
Beberapa gua di kars Pacitan Barat memiliki nilai Potensi Gua-gua di Pacitan Barat
arkeologi, karena di dalamnya ditemukan berbagai jenis Sumberdaya Mineral
artefak batu hasil kebudayaan manusia Neolitikum.
Di Gua Tabuhan, penggalian tanah di dasar gua oleh van Batugamping merupakan salah satu
Heekeren pada tahun 1955 menemukan sisa-sisa tulang jenis sumberdaya mineral yang kegunaan
vertebrata dan peralatan batu, yang membuktikan dan manfaatnya di bidang industri sangat
jika gua pernah dihuni oleh manusia prasejarah. Oleh banyak. Mutu dan jumlah cadangannya masih
karenanya keberadaan Gua Tabuhan ditinjau dari membutuhkan kajian-lanjut. Batugamping dapat
segi kepurbakalaan, memiliki nilai arkeologi yang dimanfaatkan mulai dari kegunaannya sebagai
cukup tinggi terbukti dengan dilindunginya gua tersebut bahan bangunan dan fondasi hingga industri
oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional berdasarkan peleburan baja.
UU No 5 tahun 1992 .
Di kars Pacitan Barat, misal di sekitar industri semen belum memanfaatkan cadangan
Punung, Donorojo, Jlubang dan di beberapa tersebut, barangkali memang secara kimiawi
tempat lainnya, penduduk setempat menggali batugampingnya tidak memenuhi persyaratan
batugamping untuk diolah menjadi kapur tohor. yang dibutuhkan.
Kalsit untuk keperluan industri kaca pernah Endapan fosfat guano hasil reaksi antara
ditambang secara kecil-kecilan, tetapi sekarang kotoran kelelawar, seriti dan walet dengan
sudah ditinggalkan. Cadangan kalsit yang batugamping yang terdapat di dalam gua memang
berupa lensa-lensa kecil di dalam batugamping mempunyai nilai ekonomi. Kandungan P2O5-nya
jumlahnya memang tidak banyak, sedangkan memungkinkan endapan tersebut dimanfaatkan
cadangan total batugamping di kars Pacitan untuk pupuk. Fosfat guano yang mengisi rongga
Barat diperkirakan lebih dari ratusan juta ton, dan celah batugamping umumnya mempunyai
mengingat singkapannya yang cukup luas dan kandungan P2O5 lebih tinggi, karena endapan
tebal rata-ratanya yang lebih dari 100 m. Jika tersebut sudah mengalami pengayaan, karena
38 Ragam Keunikan Gua Gong dan Gua Tabuhan di Pacitan Barat, Jawa Timur
proses pengendapan-ulang (redeposition). pantai kars (Pantai Klayar, Pantai Watukarung
Dibanding batugamping fosfatan, yang merupakan dan Pantai Srau) sektor pariwisata merupakan
hasil fosfatisasi,ketika batugamping masih berada pemasok terbesar ketiga, sekitar 12% dari PAD
di bawah permukaan laut, kandungan P2O5 pada keseluruhan Kabupaten Pacitan (Samodra, 2005).
fosfat guano memang kecil, yaitu kurang dari 4%. Pada tahun 2000 saja, pendapatan dari
Gua Tabuhan dan Gua Gong saja mencapai
Parawisata Rp.346.605.750 atau melebihi target 1 tahun
Kegiatan dan usaha pariwisata di kawasan PAD dan 1 tahun PAK sebesar 107,3% (Dinas
kars Pacitan Barat memanfaatkan unsur estetika Parawisata Kab. Pacitan, 2001), tetapi tanpa
(keindahan), keunikan dan kelangkaan yang disadari daya dukung gua menjadi terlampaui,
dimiliki oleh gejala ekso- dan endokars yang ada. sehingga keindahan lingkungan gua mengalami
Sebagai suatu bentangalam, proses pembentukan penurunan secara cepat. Dalam waktu yang tidak
kars tidak dapat lepas dari keadaan geologi lama lagi gua akan kehilangan nilai ekonominya.
batugamping sepanjang ruang dan waktu yang
tersedia. Di masa mendatang kemasan itu dapat
dikembangkan, yaitu dalam rangka penganeka- Kesimpulan DAN SARAN
ragaman jenis objek wisata.
a. Batugamping di Pacitan Barat merupakan
Sentuhan aspek keindahan, keunikan dan bagian dari fisiografi Peg. Selatan Jawa Timur,
kelangkaan obyek wisata alam kars di Pacitan yang menerus ke timur hingga Blambangan
Barat saat ini terbatas pada apa yang dimiliki memiliki karakteristik, yakni : (1) merupakan
oleh gua dan pantai. Dari puluhan gejala ekso- bongkah batuan-dasar yang menurun, sehingga
dan endokars yang terinventarisir, hanya beberapa membentuk suatu rendahan (low), batas sebelah
saja yang layak dikembangkan. Jika pada saat timur dari rendahan itu adalah sesar berarah
ini Gua Gong dan Gua Tabuhan saja mampu timurlaut-baratdaya (Sesar Grendulu) dan umur
memberikan pemasukan yang berarti bagi batuan dasar adalah Oligo-Miosen; (2) tidak
pemerintah kabupaten. Pendapatan dari dua gua mempunyai batugamping yang umurnya lebih tua
itu selalu meningkat dari tahun ke tahun. Jika saja dari Neogen; (3) tonjolan batuan dasar, berupa
gua-gua berpotensi lainnya juga dikembangkan, terobosan andesit hanya tersingkap setempat, yaitu
maka pendapatan dari sektor pariwisata sudah di pinggiran barat Teluk Pacitan; (4) genanglaut
barang tentu menjadi lebih besar lagi. pada Miosen Tengah menyebabkan terbentuknya
Nilai jual Gua Gong terletak pada laut yang luas, yang keadaannya memungkinkan
keindahan speleotem di dalamnya; sementara Gua bagi pertumbuhan batugamping Neogen secara
Tabuhan menjual nilai keunikan dan kelangkaan maksimum; dan (5) proses karstifikasi yang
speleotem yang ada. Beberapa stalaktit di dalam dimulai pada permulaan Zaman Kuarter, ketika
Gua Tabuhan, jika dipukul akan mengeluarkan batugamping sudah terangkat di permukaan laut,
nada instrumen gamelan tertentu. Dipadukan dapat berlangsung optimal.
dengan suara gendang yang mengiringi pesinden, b. Perian singkat keadaan fisik dan biofisik gejala
di dalam kegelapan gua tercipta alunan gamelan endokars pada gua yang dikunjungi, yakni :
yang mempesona.
• Gua Tabuhan : sistem perguaan-mendatar
Gua Tabuhan yang pada tahun 2000 dikunjungi tempat masuknya sungai musiman di dekat
oleh 66.082 wisatawan umum, empat kali lipat objek wisata gua, sungai bawah tanah ke luar
dari jumlah pengunjung pada tahun 1997, atau Gua lagi melalui mulut Gua Sungai Banjar
Gong yang didatangi oleh 64.220 pengunjung
• Gua Gong : sistem perguaan-mendatar fosil
pada tahun 1997 dan meningkat menjadi
bermulut lebar, panjang 105 m, hiasan
200.016 wisatawan pada tahun 2000 merupakan
speleotem dan rock-pendant, tetesan air
aset wisata yang menggiurkan dari sisi pendapatan
perkolasi, tempat penggalian arkeologi,
daerah. Digabungkan dengan objek wisata
Pustaka
40 Ragam Keunikan Gua Gong dan Gua Tabuhan di Pacitan Barat, Jawa Timur
Mud and casing redesign of Dosen Tetap, Prodi T. Geologi
Abctract
Mud extrusion has happened while drilling Banjarpanji-1
well causing huge mud flooding on the surface that has drowned
residential and industrial areas. Over-pressured, reactive and
swelling shales were the cause of pipe-stuck and mud blow-out.
Although potential problems had been identified prior to the
drilling, it was continued open-holy from the 3580 ft. Analysis
showed that casing was not set between 3580 until total depth of
9297 ft, where over-pressured zones and hazardous shales were
clearly spotted at 3000 – 6500 ft depth. Redesign of mud weight
and casing diameter suggests and recommends the well should
have been drilled using 10.2, 13.1, 15.0, 15.4, and 14.7 ppg mud
and 20, 16, 13-3/8, 11-3/4, and 10-5/8 inches casing diameter
for the depth of 0-2000, 2000-3500, 3500-6500, 6500-8500, and
8500-total depth ft respectively. This recommendation could be
used for future wells drilled in the area.
Keywords:
mud extrusion, over-pressured zones, swelling shales, mud weight,
casing diameter
Mud and Casing Redesign of Banjarpanji-1 Well (The Case of Mud Extrusion at
42 Porong-sidoarjo Oil Field, East Java, Indonesia)
Figure 1. Stratigraphy and Hydrocarbon Occurrences of North East Java Basin (courtesy of Lapindo Brantas, 2006)1)
called Kujung formation, a reef and carbonate build-up sandstones of the Pucangan and Kalibeng formations.
believed to contain abundant gas reserves. The well was Log and seismic data at this interval (4000-6500 ft)
initially drilled to test hydrocarbon accumulation in Early showed overpressured zones.
Miocene Banjarpanji-Porong-Banjarsari Carbonate Although they had planned the drilling as such
Build-up Structure. Figure 1 shows the stratigraphy and shown in Figure 2, for unknown reasons they run the
hydrocarbon occurrences of East Java Area 1), especially drilling activity different from the plan. Figure 4 shows
of the northern part called North-East Java Basin. chronology of the drilling activities prior to the “mud
Notice the existence of massive shale and sandstone blow-out” that occurred as the drilling reached 9297 ft
layers above the Kujung formation. These are probably 1)
. One of the very obvious fact is that there is no casing
highly plastic and under-compacted shale, controlled set at between 3580 ft to the last depth which is 9297
by rapid sedimentation and slow dewatering process ft, a depth too risky without casing whatsoever. As of
causing an overpressure condition. The company had identified in their prognosis, in this zone there was a
planned drilling as shown in Figure 2 1). Notice that potential of over-pressured zones as well as reactive
the casing was planned to be set fully from the surface and swelling shale problems. Even so, they continued
to the depth of the structure top of approximately drilling open-holy based on the judgment that previous
8500 ft. Potential problems and difficulties have been open-hole well drilled nearby called Porong-1 had no
identified and planned for the contingency. Among the real significant problems.
problems potentially exposed were shallow gas blow-
out, overpressure zones, reactive shales, loss circulation,
kicks, and H2S explosion. As the drilling progresses, rock Mud and Casing Redesign
formations and sedimentary layers encountered was
It is necessary to review available data before working
revealed in Figure 3 1). It can be seen here that there are
on the redesign of mud and casing for the Banjarpanji-
two dominant formations composing shale and volcanic
1 well. Assessment to the log and seismic data shows
Untung Sumotarto 43
Banjar Panji
PLAN & SCHEMATIC Oct 05 ANTICIPATED DRILLING PROBLEMS AND MITIGATION PLANS
FORMATION CASING HOLE/CASING ANTICIPATED
LITHOLOGY EVALUATION SCHEMATIC SIZE DRILLING FLUID MAJOR ACTIVITY PROBLEMS ALTERNATIVES AND MITIGATION PLANS
RIG & EQPT PRE-TEST TEST RUN RIG EQUIPMENT
RKB: PREPARATIONS TEST ALL SAFETY EQUIPMENT OFF-LINE AS MUCH AS PRACTICABLE
MATERIAL INVENTORY SUFFICIENT INVENTORY OF BULK MATERIAL BEFORE SPUD
PREMIX SPUD AND SUFFICIENT KILL MUD
Mudlogging Hole: 26" FW Native Gel mud DRILL TO SET LOW LEAK OFF SHOE SET 20" CASING SHOE ON COMPETENT SHALE ON 'B' SD EQUIVALENT
MW ppg 8.6 - 9.0 SURFACE CSG SITE G&G TO PICK DEPTH. CRITICAL TO ENSURE DEEP ENOUGH FOR INTEGRITY
20" csg, 106.5# Visc sec/qt 30 - 40
K-55, Big Omega YP lb/100ft2 5 - 10 SHALLOW GAS DRILL PILOT AS TEST HOLE FOR SHALLOW GAS
Wireline: Flow rate gpm >1000 READY TO DISPLACE WITH KILL MUD ON EMERGENCY
LATE PLIOCENE 610' GR-Res-MAC Drill 8-1/2" pilot to Add bentonite for visc as reqd CRITICAL PHASE
(Optl on 8-1/2" pilot) B' sd equivalent Maximize hole cleaning ANNULAR GAS FLOW LIGHT WEIGHT RIGHT ANGLE SET CEMENT SLURRY
CLAY AND GUMBO PROPER CEMENT PLACEMENT TECHNIQUE
SANDSTONES
1,200 ft
ELOT 12.5 ppg
EARLY LATE PLIOCENE 2167' Mudlogging Hole: 17 x 20" 5% KCl - PHPA mud DRILL INTO DRILL TO TRANSITION TO O/P DRILLING AND G&G WORK CLOSELY ON PORE PRESS PREDICTION
TRANSITION TO OVER PROPER DRILLING AND G&G SUPERVISION
MW ppg 9 - 10.5 PRESS
SAND SHALE SEQUENCE Wireline: 16" liner, 75# Visc sec/qt 40 - 60 DRILLING USING NEAR BIT REAMER PROPER PROCEDURES AND GOOD DRILLING PRACTICE
GUMBO GR-Res K-55, Big Omega PV cP 15 - 20
Density Drill to start of OP YP lb/100ft2 10 - 15 CRITICAL PHASE HIGHLY REACTIVE SHALE
MAINTAIN MUD WEIGHT AND MUD PROPERTIES
Neutron Por. KT 10 bls, 0.4 ppg FL cc/30 m <10
Sonic LGS % vol <10 ANNULAR GAS FLOW LIGHT WEIGHT RIGHT ANGLE SET CEMENT SLURRY
TOP OF TRANSITION 3100' Flow rate gpm >1000 PROPER CEMENT PLACEMENT TECHNIQUE
Mud and Casing Redesign of Banjarpanji-1 Well (The Case of Mud Extrusion at
3500 ft Temp deg F 150
VERTICAL WELL
44
possible over-pressured zones in the depth from 3000 however incompliance of whatever reasons is
ft to 6500 ft. Figure 5 shows various log records of the not tolerated. In the case of Banjarpanji-1 well,
Banjarpanji-1 well. The over-pressured zones could be although the problems have been well identified,
clearly spotted right away. It is for this reason that the ignorance drillers and operators had caused
mud and casing redesign should be done carefully using accidents, hazards, and immeasurable losses.
petroleum engineering standard practices. c. The redesign of mud weight and casing diameters
Knowledge of how pore pressure and fracture shows a suggested design of 10.2, 13.1, 15.0, 15.4,
gradients are likely to change with depth is fundamental and 14.7 ppg mud and 20, 16, 13-3/8, 11-3/4,
to a safe casing design 5). According to general practices and 9-5/8 inches casing diameter for the depth
and rules in petroleum drilling engineering, mud of 0-2000, 2000-3500, 3500-6500, 6500-8500, and
weight is designed not to exceed fracture pressure but 8500-total depth ft respectively.
no less than pore pressure 6). Therefore, two important
d. It is suggested and recommended to apply strict
data needed for designing mud are pore and fracture
procedures while drilling in the area, because the
pressure data available from the well. Figure 6 shows
lesson learned has to be paid very costly.
records of various data including pore pressure and
leak-off test (LOT) 1). This and other source of fracture References
pressure data 2) are then used to redesign the mud
1. Istadi, B., LUSI – Mud Volcano in the Making (Case:
weight and casing set. Table 1 shows pressure data and
Banjarpanji-1 Exploration Drilling), presented at
calculation of the mud design. Figure 7 shows pore
Agency for the Assessment and Application
pressure, fracture pressure, and mud weight curves in
of Technology (BPPT) meeting and hearing,
between the two pressure curves.
September 6th, 2006, Jakarta, Indonesia.
Using the mud design principles, Figure 7 shows five
mud weights from the surface as noted in the legend. Those 2. Rubiandini, R., Pembelajaran Dari Erupsi Lumpur
are 10.2, 13.1, 15.0, 15.4, and 14.7 ppg for the depth of di Sekitar Lokasi Sumur Banjarpanji-1, presented
0-2000, 2000-3500, 3500-6500, 6500-8500, and 8500-total at Indonesian Association of Geologists (IAGI)
depth ft respectively. Further, the casing length and diameter meeting and hearing, September 27th, 2006,
could be designed according to the change of mud design. Jakarta, Indonesia
Based on the analysis shown in the picture, the change of 3. Guntoro, A., LUSI Enigma In The Porong Area,
casing diameters could be set at the above interval too, i.e. Sidoarjo From Geological Point Of View, presented
0-2000, 2000-3500, 3500-6500, 6500-8500, and 8500-total in Petroleum & Geological Experts’ meeting and
depth ft, using 20, 16, 13-3/8, 11-3/4, and 9-5/8 inches hearing at Trisakti University, September 12th,
respectively. Figure 8 shows comparison of prognosis, 2006, Jakarta, Indonesia
actual, and redesign casing position of Banjarpanji-1 well. 4. Sudarman, S., Lumpur Panas Porong: Mekanisme
This redesign procedure is suggested and recommended Semburan dan Usulan Solusi, presented at Agency
for the next well drilled in the area. for the Assessment and Application of Technology
(BPPT) meeting and hearing, September 12th,
2006, Jakarta, Indonesia.
Conclussions and Recommendation Devereux, S., Practical Well Planning and Drilling Manual,
With the above analysis and for the sake of save PennWell Publ.Co., 1998, Tulsa, Oklahoma
drilling practices, it can be concluded and recommended 74101, USA, 518 pp.
the followings: Bourgoyne Jr., A.T., Millheim, K.K., Chenevert, M.E.,
a. Attentions and strict procedures in drilling operations & Young Jr., F.S., Applied Drilling Engineering, SPE
should be paid and obeyed by operators. Over- Textbook Series, Vol.2, 1986, 502 pp.
pressured zones are very common and blow-out
and related problems could be avoided unless of the
carelessness of the men working behind the rig. SI Metric Conversion Factors
b. Prognosis and drilling plan are not to be ignored. ft x 3.048* E-01=m
Although the company has planned a safe drilling, in. x 2.54* E+00=cm
Untung Sumotarto 45
Figure 3. Formations and
sedimentary layers encountered
in Banjarpanji-1 well (courtesy of
Lapindo Brantas, 2006)1)
• Set 13 3/8” casing at 3585 with LOT, 16.4 ppg EMW. 30” Conductor
• Drill to the prognosed top of Kujung at 8500ft, but carbonate was 20”Casing
not encountered. Drill ahead to 8750 ft and run logs
• Based on VSP, 3 possible top of Kujung depths, i.e: 8800 ft, 9400 16”Liner
ft or 9600 ft.
13 3/8” Casing
• After re-assessment on Hole Conditions and Kick Tolerance,
DSS allowed drill only to maximum depth of 9400 ft. Pack
• Continue drilling to 9283 ft, circulate for samples, no indication
4241’ kick
Kujung formation encountered. Continue drill to 9297 ft, total
loss circulation.
• Pump spot LCM, had full returns, well static. Decided to POOH to
run open ended to set cement plug, log and set 9-5/8” casing.
Figure 4. Drilling Chronology of Banjarpanji-1 Well Prior to Mud Extrusion (courtesy of Lapindo Brantas, 2006)1).
Mud and Casing Redesign of Banjarpanji-1 Well (The Case of Mud Extrusion at
46 Porong-sidoarjo Oil Field, East Java, Indonesia)
Figure 5.Various log records of Banjarpanji-1 well showing over-pressured zones (courtesy of Lapindo Brantas, 2006)1)
ppg equivalent
7 9 11 13 15 17
0
1000 8,6
Actual LOT; 13
8,6
2000 9,3
Actual LOT; 14,5
10
3000 11
LOT
WNT-2
7000 2 per. Mov. Avg. (LOT)
14,6
9000 14
10000 14
11000
Untung Sumotarto 47
Pressure Chart and Mud Design of Banjarpanji-1 Well
9000
8000
7000
6000
Pressure (psi)
5000
4000
Pore Pressure
Leak-Off Test
3000
Fracture Pressure
Mud I: 10.2 ppg
2000
Mud II: 13.1 ppg
Mud III: 15.0 ppg
1000 Mud IV: 15.4 ppg
Mud V: 14.7 ppg
0
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
5000
5500
6000
6500
7000
7500
8000
8500
9000
9500
10000
Depth (ft)
Figure 7. Pore Pressure, LOT, Fracture Pressure, and Mud Design of Banjarpanji-1 well
Mud and Casing Redesign of Banjarpanji-1 Well (The Case of Mud Extrusion at
48 Porong-sidoarjo Oil Field, East Java, Indonesia)
Diagenetic effects on reservoir Graduate from Geology Departement
properties in a carbonate debris Energy and Earth Technology Faculty,
deposit: case study in the berai Trisakti University
Strait, indonesia
Chrisna Asmiati Tanos
Abstract
After the drilling of four wells that successfully found gas,
an unexpected dry well (NW-1) was encountered on what was
thought to be the same trend in the “M” field, Paternoster Platform,
Southeast Kalimantan – Indonesia. The “M” field is developed
in carbonate slope debris reservoirs with gas accumulations
within the Oligocene - Early Miocene Berai limestone (primary
objective). The dry NW-1 well was a surprise as a previous study
indicated that this was a favourable location to drill and the
wireline from the well indicated a similar carbonate host.
This study has shown that the Berai limestone has a
complex depositional and stratigraphic framework and that it
has experienced a multistage diagenetic and tectonic evolution.
In order to reduce the risk in any future exploration drilling, this
integrated study was done, using data from all the existing wells in
the “M” Field, including the NW-1 well. This study incorporated
all cores and developed a new understanding of the controls on
the reservoir development based on the integration of petrogra
phy, stable isotope, and wireline log data.
The dry NW-1 well was cemented earlier in its burial due to
pervasive marine cementation, as evidence by the integration of
thin section and isotopic data. In contrast, another well (M-4),
containing a siginificant gas accumulation, experienced a longer
diagenetic history a phase of later deeper burial leaching that
significantly enhanced the reservoir quality of the Berai limestone
in this well.
This study defines a previously unrecognized non-meteoric
origin for porosity development in down-slope Miocene carbonates.
This creates a“greenfields” opportunity for exploration in similar
settings locally and elsewhere in Indonesia and the Southeast
Asia.
Keywords: Carbonate diagenesis, Carbonate debris, Stable isotope
Figure 2. North to South correlation of Berai limestone within the “M” Field. It shows that the correlation cannot be carried from
M-4 to NW-1 well because of the different gamma ray character
Figure 5. A depositional environment model for the “M” Field; It shows the relative position of the wells and the relative
reservoir quality in a planar view (A) and cross section (B).
Geologist
2)
Irfan Marwanza1) dan Awan Widodo2)
Abstrak
Endapan mangaan di Kapa-kapa (Halmahera Utara) umumnya
terbentuk dalam lingkungan batuan vulkanik (tuff) setempat dalam
gamping.Secara genesa terdapat dua tipe endapan mangaan di kawasan
ini yaitu endapan mangaan primer (hidrotermal) dan endapan sekunder
(sedimenter).Endapan mangaan primer terbentuk pada daerah selatan
daerah penyelidikan (Gunung Nanas, Parimonge). Endapan mangaan
Sekunder, terbentuk di utara daerah penyelidikan (Parimonge dan
Bobiri), Hasil analisis laboratorium menunjukkan kadar mangaan di
kawasan ini rata-rata memiliki Mn total rata-ratanya antara 30-50%.
Di lapangan tidak ditemukan bijih mangaan yang Genesa keterdapatannya dapat dikatakan sebagai
masif. Keterdapatan mangaan sangat jarang dijumpai tipe cebakan primer yang terbentuk syngenetik dengan
dan hanya mengelompok setempat-setempat. perangkap batuan itu sendiri.Keterdapatan cebakan
mangaan di daerah ini, jika dilihat bentuk cebakan
Foto 2.Mangaan “wad” yang mengisi rekahan pada batugamping di daerah penyelidikan
yang tidak menerus, berupa kantong-kantong pengisi terbentuk pada daerah selatan daerah penyelidikan
rongga dalam batuan tufa, breksi dan batugamping. (Gunung Nanas, Parimonge) (Foto 1)
Di beberapa tempat, endapan mangaan dengan tipe b. Endapan sekunder. Tipe endapan ini terbentuk di
cebakan primer yang terbentuk akibat proses hidrothermal utara daerah penyelidikan (Parimonge dan Bobiri),
mengalami pelapukan dan erosi dan tercucikan yang memperlihatkan morfologi yang lebih rendah.
kemudian akan terbawa oleh air permukaan dan Endapan mangaan hanya dijumpai setempat atau
mengendap pada daerah yang lebih stabil (cekungan), hal melensa tidak dalam bentuk lapisan mangaan
ini yang menyebabkan mangaan di daerah penyelidikan (Foto 2).
hanya dijumpai setempat atau melensa tidak dalam
bentuk lapisan mangaan dan ketebalannya susah diamati.
Genesa keterdapatannya seperti ini dapat dikatakan Kesimpulan
sebagai tipe cebakan sekunder.
Mangaan di daerah Kapa-Kapa (Halmahera
Interpretasi Model Pengendapan Mangaan Utara ) terbagi menjadi 2 (dua) tipe, yaitu endapan
mangaan primer dan endapan mangaan sekunder.
Endapan mangaan di daerah penyelidikan secara
Endapan mangaan primer terbentuk, karena proses
genesa dapat dikelompokan menjadi dua tipe/jenis
hidrothermal yang berada pada daerah selatan daerah
endapan, tipe primer dan tipe sekunder.
penyelidikan, morfologi berupa perbukitan, sedangkan
a. Endapan mangaan primer. Kenampakan endapan mangaan sekunder terbentuk di daerah utara daerah
secara megaskopis menunjukan mangaan memiliki penyelidikan di daerah morfologi lembah, akibat dari
kontak dengan silika atau batuan terkersikan. Pada sedimentasi mangaan primer. Berdasarkan analisis
bagian atas lingkungan ini ditutupi oleh endapan laboratorium (yang sudah ada), yaitu sebesar 40%-
mangaan sekunder yang berada dalam batuan tufa 50%, mangaan di daerah penyelidikan menunjukan
dan batugamping, serta breksi. Tipe endapan ini kadar/kualitas yang cukup baik.
pada suatu pinggiran paparan. Adanya A. diendapkan di Zona Kendeng yang selalu mengandung
beccaria, Haplophragmoides, Molluska dan Balanus bahan volkanik. Di Zona Rembang endapan paparan
mendukung assumsi ini. Di daerah Jombang yang khas, adalah endapan laut dangkal dengan batuan
dan Mojokerto formasi ini bersilang jari dengan karbonat (gamping) atau karbonatan, Yang juga khas
Formasi Lidah. adalah banyak ditemukan batugamping terumbu
sepanjang zaman, Kaenozoikum, sehingga menarik
Zona Rembang (gambar 5) perhatian para pencari minyak bumi. Menarik pula
Seperti telah diutarakan satuan batuan yang adalah adanya urutan sedimentasi mulai dari Oligosen
diendapkan di Zona Rembang berbeda jauh dengan yang hingga Pleistosen yang menerus. Secara singkat
Sangiran dimana sisipan lempung kuningnya 425 m. Di Kendeng Tengah ketebalan F. Pucangan
mengandung molluska marine, Ostrea, Pecton dan adalah sebagai berikut : Mantingan (61,3 m),
Strombus. Di atasnya ditemukan lapisan diatomea Ngawi (106 m), Kedung Brubus (300 m), G.
setebal 1 meter. Sebaliknya lempung hitamnya Pandan (334 m). Di Kendeng Timur ketebalan F.
mengandung moluska air tawar, seperti Vivipara, Pucangan juga bervariasi misalnya di Kertosono
Melonia Corbicula dan Unio yang menunjukkan (350 m), Jombang (405 m), Mojokerto (480 m)
facies limnik di kubah tersebut. dan di Sidoarjo (270 m). (Gmb. 5).
Formasi Pucangan mempunyai penyebaran Umur dari F. Pucangan juga bervariasi. Di
yang luas di Zona Kendeng. Di Kendeng Barat, Kendeng Timur di penampang Jatirubah - G.
di Bringinan F. Pucangan mempunyai ketebalan Guwo (tipe section) bagian bawah dari formasi
sekitar 100 m, sedangkan di Kubah Onto sekitar ini yang berfacies marine berumur Pliosen Akhir
molluska laut. Lempung biru ini juga dijumpai menunjukkan umur Pliosen atas - Pleiotosen atas
di antiklin Guyangan dan Kedungwaru sampai (N21 - N23). Demikian pula di Nglebur Ledok,
dengan Ploso di timur G. Pucangan. Di sini Banyuurip, K. Sempurna, Manjung dan Sumur
lempung birunya mengandung molluska laut, Tobo - berdasarkan kandungan fosilnya unsur dari
Echinoid dan Balamus serta foraminifera kecil. F. Lidah adalah Pliosen Atas - Pleistosen atas.
Di sumur Tobo bagian bawah dari formasi Berdasarkan atas perbandingan foram
ini disebut Anggota Tambakromo terdiri dari benthos dengan foram plankton diambil
lempung biru, tidak berlapis, sedangkan bagian kesimpulan diendapkan di lautan yang agak
atasnya disebut Anggota Turi yang terdiri dari terlindung dengan kedalaman antara 100 - 200 m
perselingan antara lempung biru dengan napal dan berangsur menjadi dangkal ke arah atas - Di
dan batupasir. Napalnya mengandung Gr. tosaensis bagian atas kedalamannya ditafsirkan antara 20 -
dan Gr. truncatulinoides (Pringgoprawiro, 1979) 50 meter.
80
terumbu (A. Klitik). Pendangkalan berlanjut, sehingga ditempati oleh sedimen terestris, berupa endapan lahar,
terbentuklah lempung hitam, kadang napalan yang tufa batupasir dan breksi volkanik (F. Pucangan). Pada
kaya akan moluska dan Balanus (F. Sonde) mulai dari Pleistosen Tengah, terbentuk endapan sungai teranyam
desa Trinil (Ngawi) di barat hingga Jombang di timur. yang luas penyebarannya, diwakili oleh endapan
Regresi Pliosen berlanjut terus hingga Zaman Kuarter, batupasir silang siur (F. Kabuh). Pada Pleistosen
sehingga Jalur Kendeng muncul di atas permukaan Akhir, kegiatan volkanisme meningkat menghasilkan
pada Zaman Pleistosen. Di Jalur Rembang, sebaliknya endapan breksi volkanik dan lahar (F. Notopuro).
regresi baru terjadi pada akhir Jenjang Pliosen, dimana Pada akhir dari Pleistosen, ada peningkatan dan
blok Rembang dan Kompleks Muria, akhirnya muncul erosi, serta terjadinya undak-undak (teras) di jalur ini.
pada permukaan Pleistosen. Kondisi lingkungan memungkinkan kehidupan yang
kondusif bagi fauna vertebrata yang menghuni daerah
Jalur Rembang yang berawa dan berhutan lebat, sehingga banyak
Pada permulaan jenjang ini terjadi pengangkatan dijumpai fosil vertebrata di undak sungai ini.
disebabkan oleh Orogenese. Pliosen – Pleistosen,
di Jawa Timur Utara banyak daerah yang telah
Kesimpulan
muncul pada permulaan Pleistosen. G. Muria dan
G. Butak yang telah muncul pada permulaan Pliosen 1. Dua cekungan pengendapan dapat dibedakan di
meningkatkan aktivitas volkaniknya dan hasil erupsinya Jawa Timur Utara yang berbeda menyolok, baik
dimuntahkan ke Dalaman Pati (Pati Deep), sehingga dalam sifat litologinya maupun sifat lingkungan
dalaman semakin dangkal dan terbentuklah endapan pengendapannya, yaitu Cekungan pengendapan
litoral hingga paralis. Blok Rembang juga terangkat Kendeng dan Cekungan Rembang.
dan menyambung hingga Tinggian Tuban. Meskipun 2. Pada akhir Pliosen terjadi pengangkatan di Jawa
demikian, daerah antara Tuban hingga Pacitan masih Timur Utara mengakibatkan Jalur Kendeng
merupakan laut dangkal yang memungkinkan adanya terangkat sejak Pleistosen Bawah, sehingga terjadi
pertumbuhan terumbu. pengendapan terestris berupa lahar, tufa, breksi
Di Depresi Randublatung, laut yang masih volkanik di hampir seluruh jalur Kendeng.
menggenangi daerah ini perlahan mulai mundur ke 3. Blok Rembang juga terangkat pada Pleistosen Awal
arah Selat Madura. Terjadi pengendapan sedimen namun masih ada laut dangkal yang memisahkan
litoral hingga paralis terdiri dari lempung hitam Jalur Rembang dari Jalur Kendeng.
kebiruan dari F. Lidah. Hal ini menunjukkan adanya 4. Depresi Randublatung perlahan-lahan terangkat
suasana laut hitam di tengah cekungan. pada Pleistosen Tengah dan akhirnya batugamping
Meskipun demikian, di tepi depresi tadi, masih Sonder tidak berkembang lagi dan akhirnya ditutupi
memungkinkan tumbuhnya terumbu setempat (A. oleh lempung hitam kebiruan dari F. Lidah. Akhirnya
Dander) dan sepanjang tepi Selatan Antiklin Kawengan seluruh depresi terangkat pada Pleistosen Akhir.
(Anggota Malo). Sementara itu, pendangkalan jalur 5. Zaman es di Indonesia kurang begitu terasa, namun
ini berlangsung terus hingga Pleistosen Tengah, dan ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Indonesia
akhirnya terumbu-terumbu tersebut akhirnya terbenam juga terpengaruh zaman es tersebut.
bersama dengan lempung biru dari F. Lidah. Namun
demikian, hubungan dengan laut terbuka masih terjadi,
dibuktikan dengan adanya foram plangton di F. Lidah.
Pustaka
Pada Pleistosen atas seluruh depresi ini terangkat di
atas permukaan laut. Dwi Martono, 1981, Geologi dan stratigrafi daerah
Winong dan sekitarnya, Kabupaten Pati, Jawa
Jalur Kendeng Tengah : Thesis sarjana, Fak. Teknik Geologi,
Seluruh Jalur Kendeng terangkat pada Jenjang UPN, Yogyakarta.
Pleistosen. Sebetulnya, pengangkatan ini sudah Effendi, E., 1977, Geologi dan stratigrafi daerah G.
berlangsung sejak Pliosen Akhir. Sepanjang daratan Atasangin dan sekitarnya, Kabupaten Bojonegoro
Kendeng mulai dari Surakarta hingga Jombang : Thesis sarjana, Dept. Teknik Geologi, ITB.,
Bandung.