Anda di halaman 1dari 86

PENGANTAR REDAKSI ISSN 1411 – 6906

BULETIN ILMIAH
MINERAL DAN ENERGI
Banyak manfaat dari media tulis “MINDAGI”,
yaitu sebagai media komunikasi dan informasi MINDAGI
yang bersifat keilmuan, sedangkan manfaat lain Vol. 1 No. 1 – Januari 2011
dari lembaga adalah media promosi. Seperti yang
dikatakan tadi, tidaklah mudah membangunnya SUSUNAN REDAKSI
tanpa adanya dukungan yang bersifat sarana dan
prasarana standar yang diperlukan, demikian Pelindung:
halnya kondisi redaksi “MINDAGI” pada saat Dr. Ir. H. Sugiatmo Kasmungin
memulai. Walaupun demikian, terbitan lanjutan
ini dapat juga dilakukan, hal ini karena adanya Penasehat
bantuan dan dorongan dari Prodi dan Fakultas. Ir. Hidartan, MS.
Harapan redaksi untuk dapat mempersiapkan Ir. Abdurrahman Asseggaf MT
terbitan rutin yang akan datang secepatnya sarana Ir. Denny Suwanda Djohor MS
dan prasarana yang standar terpenuhi. Dan Dr. Dra. MER Hanny Djuanita
selanjutnya redaksi mengharapkan bantuan dari Ir. M. Ali Jambak, MS
para penyumbang makalah dapat memberikannya
dalam bentuk makalah yang diketik dalam format Editor
MS Word. Dewan Riset
Fakultas Teknologi Kebumian & Energi
Demikian pengantar redaksi kali ini kritik dan
saran untuk perbaikan dan kemajuan buletin Penanggung Jawab/ Pimpinan Redaksi
ini sangat diharapkan dan kami tunggu di meja Ir. Agus Guntoro, MSi., PhD.
redaksi.
Tim Penilai Naskah
Ir. Dewi Syavitri P MSc. PhD (T.Geologi)
Pimpinan Redaksi
Dr. Ir. Hj. Ratnayu Sitoresmi MT. (T.Perminyakan)
Dr. Pantjanita N. Hartami, ST., MT (T.Pertambangan)

Redaktur Pelaksana
Ir. Arista Muhartanto, MT.

Administrasi
Widodo

Alamat Redaksi/Penerbit:
Prodi Teknik Geologi
Fakultas Teknologi Kebumian & Energi
Universitas Trisakti
Gedung D – Lantai 2
Jl. Kyai Tapa No.1 Grogol Jakarta 11440
Telpon: 021-5663232 pes. 8515 & 8507
Fax: 021-25565637
E-mail: arista_geousakti@yahoo.com
atau
arista_m@trisakti.ac.id
BULETIN ILMIAH
MINERAL DAN ENERGI

MINDAGI
Vol. 1 No.1 Januari 2011

DAFTAR ISI

Daftar Isi

Evolusi tektonik dalam klasifikasi jenis cekungan tektonik Indonesia .................................................... 1

Ragam keunikan Gua Gong dan Gua Tabuhan di Pacitan Barat, Jawa Timur ......................................27

Mud and casing redesign of Banjarpanji-1 Well (The case of mud extrusion at Porong-
Sidoarjo oil field, East Java, Indonesia) .........................................................................................................41

Diagenetic effects on reservoir properties in a carbonate debris deposit: case study in the
berai limestone, “m” field, Makassar Strait, Indonesia...............................................................................49

Studi endapan mangaan di daerah Kapa-kapa, Halmahera Utara, Maluku Utara.................................57

Paleogeografi endapan kuarter Jawa Timur Utara.....................................................................................65


Evolusi tektonik dalam Mahasiswa S3 PascaSarjana Ilmu Geologi,

klasifikasi jenis cekungan


FITB, Institut Teknologi Bandung dan
Dosen Tetap, Prodi T. Geologi

tektonik Indonesia Fakultas Teknologi Kebumian & Energi,


USAKTI
M. Burhannudinnur
Gedung D, Lt. 2, Jl. Kyai Tapa No.1,
Grogol, Jakarta 11440
Abstrak
Evolusi tektonik menghasilkan tatanan tektonik yang memberikan
kerangka sejarah geologi yang dituangkan kedalam evolusi tektonik
stratigrafi atau kronostratigrafi. Tatanan tektonik Indonesia tergambar
jelas bahwa bagian barat dan bagian timur Indonesia sangat berbeda,
pemikiran adanya tatanan tektonik transisi di bagian tengah menjadi
sebuah wacana yang positif. Penggunaan tatanan tektonik sebagai dasar
dalam klasifikasi cekungan Indonesia adalah suatu keharusan karena
cekungan di Indonesia sangat dikontrol oleh tektonik. Pemahaman
gerak lateral tektonik lempeng beserta kekhasan batas-batas lempeng,
dan kemampuan tektonik dalam membentuk dan merubah cekungan
serta sekuen pengisian sedimen menjadi kaidah dasar dalam memahami
cekungan dan pengklasifikasian cekungan.
Klasifikasi cekungan yang dipakai di cekungan Indonesia harus
dapat menjelaskan perubahan tektonik dicekungan dan akan sangat
bermanfaat jika klasifikasi dapat diterapkan dengan mudah dan
sederhana pada semua tatanan tektonik Indonesia dari yang sederhana
sampai yang kompleks baik secara evolusi tektonik stratigrafi secara
vertikal ataupun kerangka tektoniknya. Pada akhirnya perlu disadari
bahwa pemilihan kajian evolusi tektonik dan tektonik stratigrafi
yang berbeda akan menghasilkan jenis cekungan yang berbeda
pula. Rekonstruksi tektonik Asia Tenggara oleh Hall (1997) dan
klasifikasi cekungan Kingston et al. (1983) dapat diaplikasikan untuk
pengelompokan cekungan di Indonesia.
Penerapan klasiftikasi Kingston et al. (1983) di Indonesia
membantu mempermudah memasukan parameter tektonik stratigrafi
dan siklus pengendapan secara konsisten sehingga jenis cekungan dapat
lebih mudah dikelompokan dari sudut tektoniknya. Perbedaan tatanan
tektonik di Indonesia Barat dan Indonesia Timur dapat diakomodasi
oleh klasifikasi ini dan dengan mudah dikenali dari kode penamaan
cekungan. Cekungan atau siklus margin sag (MS) dan atau interior
sag (IS), interior fracture (IF) biasanya menunjukkan jenis ckungan di
Indonesia Timur. Siklus yang dimulai dengan wrench (LL) atau trench
associated (TA) akan berasosiasi dengan tatanan tektonik Indonesia
Barat. Klasifikasi ini dapat diterapkan pada cekungan sederhana
sampai yang kompleks atau polyhistory. Dalam satu pengelompokan
basin yang sama, misalnya busur belakang Jawa dan Sumatra berjenis
LL, akan mempunyai polihystory yang berbeda. Dengan demikian
pengelompokan secara polyhistory bersamaan dengan unsur tektonik
perubah cekungan (FB, L dan FB3) di masing-masing cekungan
memberikan gambaran perubahan tektonik yang berbeda dan khas
disetiap cekungan. Dalam kepentingan kajian ekspslorasi migas
klasifikasi ini sangat membantu dalam memahami siklus pengendapan
yang diwakili stage 1, stage 2 dan stage 3. Kelengkapan stage sekuen
pengendapan akan memberikan kemudahan dalam menganalisa
parameter akumulasi hidrokarbon.

MINDAGI Vol. 1 No.1Januari 2011 


PENDAHULUAN sesuai? Jawaban pertanyaaan itu akan membawa ke
pembahasan detail tentang aspek pembentuk cekungan.
Pengetahuan evolusi teknonik didahului dengan
Cekungan perlu didefinisikan dan dikelompokkan
pengertian evolusi cekungan yang mengandalkan
untuk dikaji dengan baik dan kemudian digunakan
konsep-geosinklin yang kemudian di akhir tahun 1960-
sebagai pembanding untuk memahai cekungan
an secara cepat berkembang konsep tektonik lempeng.
sejenis yang belum dipahami. Dari sudut pandang
Tektonik lempeng di Indonesia telah banyak ditulis oleh
perkembangan eksplorasi migas dan data, cekungan
para ahli kebumian. Penulis yang fonumental tentang
yang mempunyai data relatif lengkap dan dipahami
geologi regional dan tektonik di era teori tektonik
lebih baik akan digunakan sebagai langkah awal,
lempeng adalah Hamilton, (1979), Katili (1980), Dally
analogi, untuk cekungan yang belum dieksplorasi.
et.al (1991) dan Hall, (1996, 1997). Penulis-penulis
Klasifikasi cekungan yang sesuai akan sangat
tersebut berusaha membahas tektonik dan rekonstruksi
tergantung dari konsep yang dipakai dan tujuan yang
tektonik Indonesia dan Asia Tenggara. Katili (1980)
akan dicapai.
membahas tektonik Indonesia, Hamilton (1979)
Klasifikasi cekungan sudah dibahas dari sebelum
membahas tentang tektonik wilayah Indonesia beserta
tektonik lempeng berkembang. Sebut saja klasifikasi Kay,
peta teknoniknya, sedangkan Dally et.al (1991),
1951(di dalam Helwig, 1985) yang mengelompokkan
Hall (1996, 1997) melakukan rekonstruksi tektonik
cekungan berdasarkan bentuk dan asal usul batuan
Cenosoik Asia Tenggara yang melibatkan Wilayah
di dalam cekungan yang dikembangkan dalam
Indonesia dan sekitarnya. Terlepas dari masih adanya
teori geosinklin. Klasifikasi cekungan berdasarkan
pro dan kontrak untuk detail rekonstruksi teknonik,
tektonik lempeng telah banyak dikembangkan oleh
Hall telah mampu memberikan gambaran animasi
ahli kebumian. Dickinson (1974) menyebutkan
rekonstruksi tektonik yang mudah dicerna untuk Asia
bahwa ahli kebumian seperti Morgan (1968), Le
Tenggara termasuk Indonesia. Rekonstruksi ini telah
Pichon (1968), Isak et al (1968), telah memberikan
dipergunakan oleh kalangan akademi dan industri
pemahaman dasar tentang pengelompokan tatanan
migas.
tektonik cekungan yang mengunakan elemen dasar
Cekungan (basin) adalah secara topografi atau
dari batas lempeng di konsep tektonik lempeng,
batimetri sebuah rendahan (depresi), namun secara
seperti tumbukan (convergent), pemekaran (divergent),
geologi mempunyai arti yang lebih signifikan yaitu
pergeseran (transform). Pemahaman pergerakan lateral
tempat terbentuknya suksesi batuan sedimen yang tebal
dari tektonik lempeng yang mengakibatkan pergerakan
(Dickinson, 1974), kemudian sering dikenal sebagai
vertikal untuk membentuk cekungan akan memberikan
cekungan sedimen. Cekungan awalnya merupakan
kerangka berfikir yang benar untuk mendefiniskan
definisi induktif dari konsep geosinklin, namun
jenis cekungan dan klasifikasinya. Beberapa klasifikasi
penggunaan konsep tektonik lempeng menjadikan
cekungan berdasarkan tektonik lempeng telah ditulis
definisi basin menjadi deduktif (Dickinson , 1974).
antara lain klasifikasi Klemme (1980), Bally dan
Cekungan mempunyai skala yang sangat bervariasi
Snalson (1980) yang dimodifikasi oleh John (1984),
dari cekungan samudera sampai cekungan-cekungan
Kingston et al. (1983), Helwig (1985).
kecil. Ahli geologi secara umum membatasi bahwa
Pada perkembangannya klasifikasi dan
terminologi cekungan adalah rendahan berskala
pendefinisan cekungan tidak bisa dipisahkan dengan
regional (100 km lebih) dengan deformasi kerak yang
perkembangan eksplorasi migas dengan sistem
signifikan dan terisi endapan (Helwig, 1985). Cekungan
petroleum-nya. Hal ini sangat logis karena sumbangsih
dibatasi lebih lanjut dengan rendahan dengan batas
pembelajaran cekungan sangat dibutuhkan di dunia
yang diketahui, tebal endapan mulai 1-3 km dengan
migas dan juga data-data lebih lengkap di industri
luas ratusan kilometer. Agar supaya konsisten dengan
migas. Penyebaran cekungan di Asia Tenggara terutama
konsep tektonik lempeng dan berdasarkan beberapa
cekungan Tersier banyak dibahas salah satunya oleh
definisi tersebut maka cekungan mempunyai arti yang
Doust dan Sumner (2007). Penyebaran cekungan dari
sangat khas dari sudut tektonik / deformasi kerak,
Thailand, Malaysia, Indonesia Barat dan Indonesia
sehingga penyebutan cekungan adalah sama dengan
bagian timur. Lokasi cekungan di Indonesia telah
menyebut cekungan tektonik.
banyak dipublikasikan baik oleh penulis perorangan
Perlukah jenis cekungan ditentukan dan
ataupun lembaga, sebagai contoh Peta Cekungan
diklasifikasikan? Apa dasar klasifikasi cekungan yang

 Evolusi tektonik dalam klasifikasi jenis cekungan tektonik Indonesia


Indonesia oleh IAGI, IPA, atau Drijen Migas. KERANGKA TEKTONIK DAN EVOLUSI
Pembahasan peta penyebaran cekungan yang terakhir EKTONIK
dibahas oleh IAGI dan BPMIGAS tahun 2008 namun Kerangka tektonik Indonesia telah banyak
belum dipublikasikan. Peta penyebaran cekungan dibahas, antara lain : oleh Hamilton (1979), Daly et al
Indonesia dibuat oleh Howes dan Tisnawijaya (1995) (1991), Hall (1996,1997). Semua penulis menunjukkan
dan dimodifikasi oleh Doust et al (2008) memberikan bahwa Cekungan di Indonesia secara tektonik terletak
gambaran ringkas sistem migas di Indonesia dengan di pertemuan kerak benua Eurasia, kerak Indian,
pendekatan praktis, mengelompokkan berdasarkan kerak Australia (kerak Indian-Australia) dan kerak
besaran sumber daya cekungan (Gambar 1).

Gambar 1. Lokasi Cekungan di Indonesia yang dikelompokkan berdasarkan volume sumber dayanya
oleh Howes dan Tisnajaya 1995 (di dalam Doust dan Noble 2008).

Pasifik-Pilipina, meskipun pembahasan detail evolusi Arc dan bagian tengah meliputi Sulawesi bagian tengah
tektoniknya ada perbedaan. Kerangka tektonik utara timur. Posisi tatanan tektonik Indonesia dapat
Indonesia secara umum dikelompokkan menjadi dilihat pada Gambar 2 dari Doust dan Sumner (2007).
2 kelompok utama yaitu bagian barat yang sering Berdasarkan umur struktur utama maka tatanan
dikenal dengan Sundaland dan bagian timur. Pada kerangka tektonik Indonesia bagian tengah dapat
perkembangan terakhir di Pertemuan Ilmiah IAGI 2008, dibedakan dari Indonesia Timur dan barat, berada pada
IAGI-BPMIGAS, meskipun belum dipublikasikan warna kuning, Late K-accretionary. Struktur-struktur
namun telah diperkenalkan, dalam presentasi, oleh ahli di Sundaland (bagian barat) berumur Miosen Akhir
geologi Indonesia Benyamin dan Asikin, kemungkinan sampai Oligosen, sebagaian di Sumatera dan Jawa
Indonesia menjadi 3 bagian kerangka tektonik, ketiga berumur Miosen Tengah sampai Resen, Indonesia
bagian kerangka tektonik tersebut adalah Sundaland di Timur berkembang struktur-struktur berumur Jura
bagian barat, bagian timur meliputi Papua dan Banda sampai Kapur awal dan dilanjutkan pada Miosen

M. Burhannudinnur 
Tengah sampai Resen, di bagian tengah terlihat umur Pembahasan rekonstruksi evolusi tektonik
struktur Kapur akhir sampai eosen dilanjutkan Miosen Indonesia dibahas dengan baik oleh Daly, et al (1991)
Tengah sampai Resen. dan Hall (1996, 1997). Daly et al (1991) memulai
Berbicara cekungan di Indonesia tidak bisa lepas rekonstruksi dari Kapur Akhir, 70 Ma (juta tahun lalu)
dari cekungan Tersier di Indonesia. Cekungan Tersier sedangkan Hall (1996, 1997) memulai dari Awal Eosen,
lebih dominan dibanding cekungan berumur lebih tua. 50 Ma. Meskipun rekonstruksi keduanya mempunyai
Cekungan Tersier sampai sekarang masih mempunyai perbedaan namun hampir semua penulis, Hamilton
produksi lebih tinggi dibanding lainnya (Gambar 2). 1979; Tapponier et al. 1986; Daly et al. 1991; Hall 1996,
Dominasi itu semakin kelihatan di Sundaland, sehingga 1997, berpendapat bahwa selama Cenozoic Sundaland
dapat dikatakan bahwa Sundaland adalah penghasil dikelilingi oleh zone subduksi yang aktif. Hal itu
migas tertinggi di Indonesia. terjadi oleh didesaknya (pecahnya) antara tumbukan

Middle
Indonesia ?

Gambar 2. Posisi Cekungan Sedimen Tersier Asia Tenggara, jenis kerak dan kenampakan elemen tektonik utama serta kenampakan
struktur utama beserta umurnya (Doust, 2007)

India berumur Eosen ke arah barat daya dan tumbukan Indonesia. Pergerakan ke utara Benua Australia lebih
berumur Miosen yang dominasi arahnya ke timur dan berperan dalam evolusi tektonik di Indonesia. Untuk
tenggara, yang kemudian membentuk mosaik busur selanjutnya evolusi tektonik akan banyak merefer
kepulauan yang komplek, kerak samudera yang kecil hasil rekonstruksi Hall (1996, 1997). Gambar 3 adalah
dan mikro-kontinen ubahan dari Australia. Kehadiran tatanan tektonik sekarang dari Hall 1997, dengan
pengaruh kerak Benua Australia di bagian timur pengkodean warna serta posisi pulau-pulau utama di
Indonesia menunjukkan bahwa tumbukan dengan Indonesia. Gambar 4 dan 5 menunjukkan rekonstruksi
Benua Australia mempunyai aspek yang sangat tektonik lempeng Asia Tenggara dan sekitarnya
penting dalam evolusi tektonik di Indonesia Timur dari Hall (1997). Gambar tersebut menggambarkan
(Hall, 1996), dan lekukan Eurasia hasil tumbukan rekonstruksi evolusi tektonik lempeng regional atau
dengan India memberikan peran lebih sedikit pada bisa disebut juga sebagai geodinamik tektonik lempeng
perkembangan tektonik di Asia Tenggara dalam hal ini regional yang membentuk tatanan tektonik di Indonesia

 Evolusi tektonik dalam klasifikasi jenis cekungan tektonik Indonesia


yang selanjutnya digunakan sebagai kerangka evolusi Sumatra dan Jawa bagian utara, Jawa bagian Timur.
cekungan. Rifting ini membentuk cekungan tektonik seperti
Pada akhir Eosen Awal, 50 Ma dapat dilihat posisi Cekungan Sumatra Utara, Tengah, Selatan, Natuna,
lempeng-lempeng India, Australia, Pasifik, Eurasia- Jawa Barat Utara, Jawa Timur Utara.
Sundaland. Zone subduksi antara Lempeng Indian dan Pada Eosen Tengah atau 40 Ma India dan
Eurasia berada melingkar melewati pinggir Sumatra, Australia menjadi satu lempeng. Pemekaran terjadi
Java, Sulawesi Barat. Australia dikelilingi passive margin di tengah-tengah Selat Makasar di bagian utara, Laut
yang terbentuk pada Jura Akhir. Mikro kontinen Kepala Celebes dan Cekungan Pilipina Barat memisahkan
Burung Papua diatas kerak samudera terpisah dengan Kalimantan dan Sulawesi. Pemekaran ini membentuk
Australia. Benua Australia dan busur kepulauan telah cekungan-cekungan di Timur Kalimantan seperti
membentuk ofiolit di pingir utara Papua Nugini dan di Cekungan Kutai, Tarakan. Rifting terjadi di Sumatra,
Kaledonia Baru. Lokasi pemekaran antara kerak India Laut China selatan bagian selatan dan Jawa Timur
dan Australia. Lokal lokal rifting terjadi di Sumatra, bagian utara. Dalam waktu yang hampir sama terjadi

EURASIA 40oN
South China

INDIA
PHILIPINE
Indochina SEA 20oN
PLATE

Sunda Shelf
PACIFIC
PLATE
Sumatra Borneo
Papua
Sulawesi
INDIAN
Java
PLATE

AUSTRALIA
20oS

New
Zeland

40oS

90oE 120oE 150oE 60oS


ANTARTICA

Gambar 3. Tatanan tektonik sekarang reginal Asia Tenggara dan Pasifik barat daya. Garis putih merupakan anomali magnetik. Garis
merah merupakan pemerakaran yang aktif. Garis putih bergerigi adalah zone subduksi. Garis putih tebal merupakan zone sesar geser.
Lempeng Pasifik warna hijau-cyan. Area dengan warna hijau muda busur didominasi oleh ofiolit dan tersusun oleh material akresi
terbentuk pada pinggir lempeng Cenozoic. Area dengan warna cyan adalah busur bawah laut, titik panas hasil dari volkanik, dan
oceanic plataeu (dataran tinggi samudera). Kuning muda adalah laut di pinggir kerak benua Eurasia. Isian warna ungu tua dan muda
mewakili laut di pinggir kerak benua Australia

M. Burhannudinnur 
Pada Oligosen Tengah, 30 Ma India menyodok
Eurasia menyebabkan Indochina keluar seperti

Evolusi tektonik dalam klasifikasi jenis cekungan tektonik Indonesia


juga pemekaran Laut Caroline memisahkan bagian
selatan dan utara.

Gambar 4. Evolusi tektonik Sundaland dari akhir Esoen Awal 50 Ma (a) sampai Miosen Awal (d) merupakan zone subduksi, rifting (a,b,c) dan rotasi
berlawanan arah jarum jam (d); Bagian timur Indonesia, passive margin hasil rifting Jura awal menjadi tumbukan di akhir Eosen Awal sampai akhirnya
terjadi tumbukan tepi Benua Australia dan bagian timur Papua Nugini pada Miosen Awal (d).


Gambar 5. Miosen Tengah sampai sekarang Sundaland merupakan zone subduksi (a - d). Bagian Timur sejak Miosen Tengah sampai Pliosen terjadi
perubahan tatanan tektonik yang sangat aktif. Salah satunya merapatnya terrane Papua Nugini ke Papua Nugini yang terus bergerak ke barat sehingga
fragmen Sula dan Tukang besi bergabung membentuk Pulau Sulawesi

M. Burhannudinnur

terotasi searah jarum jam melalui pergerakan sesar- Indonesia Barat, sejak terbentuknya pada 50 Ma,
sesar utamanya. Laut China Selatan mulai terbuka sampai resen berada di lempeng benua yaitu pinggir
kemungkinan membentuk cekungan-cekungan kerak yang berasosiasi dengan subduksi. Dapat
di pinggir Indochina. Pada awal Miosen, 20 Ma, dikatakan bahwa cekungan Indonesia Barat terletak
tumbukan antara pinggir utara Kerak Australia dan di tatanan tektonik yang relatif hampir sama dengan
mikro kontinen Kepala Burung Papua terjadi sekitar kisaran umur relatif sama, Tersier. Indonesia Timur
25 Ma, Ontong Java sampai ke Melanesia trench, kedua mempunyai evolusi dan tatanan tektonik yang
peristiwa ini mengakibatkan pengaturan kembali batas- berbeda cekungannya, berkembang dari tengah Benua
batas kerak yang sudah ada. Subduksi Laut Solomon Australia sebagai rift di tengah benua, kemudian
mulai di pinggir timur Papua Nugini menghasilkan terjadi pemekaran yang merubah cekungan menjadi
Busur Maramuni. Pingir utara Australia menjadi sesar di pinggir benua sebagi passive margin. Tektonik yang
geser mengiri seiring dengan rotasi searah jarum jam aktif merubah konfigurasi dan pergerakan lempeng,
Laut Pilipina dan Kerak Caroline. Pergerakan cabang sebagai akibatnya ada lempeng yang habis ada lempeng
Sesar Sorong mengantarkan tumbukan fragmen Benua yang baru, sehingga cekungannya berubah terutama
Australia membentuk Sulawesi. Hal ini menyebabkan cekungan yang ada di pinggir lempeng. Perubahan
rotasi berlawanan jarum jam dari Kalimantan, Jawa cekungan ini karena proses perubahan tektonik yang
dan Sumatra serta fragmen yang berhubungan dengan melibatkan percampuran kerak benua dan kerak
Sundaland, mengeliminir pergerakan sebelumnya di samudera dengan mekanisme subduksi, pemekaran,
Laut China Selatan. Sistem sesar di Sumatra mulai collison, docking micro continent.
timbul pada Miosen, kemungkinan mengakibatkan
mulainya inversi di cekungan-cekungan di area Evolusi Tektonik Stratigrafi
Sumatra.
Salah satu model evolusi tektonik stratigrafi Asia
Pada Miosen Akhir (10 Ma) terrane Papua
Tenggara hasil dari pengintegrasian data stratigrafi
Nugini yang terbentuk di Busur Carloine Selatan
dari berbagai cekungan utama dengan evolusi tektonik
merapat ke Papua Nugini mengakibatkan sistem sesar
dikemukanan oleh Longley (1997). Empat fase evolusi
geser mengiri terus bergerak ke barat. Pergerakan ke
tektonik Asia Tenggara dikemukan sebagai berikut :
barat ini mengantarkan fragmen Sula dan Tukang
besi bergabung membentuk Pulau Sulawesi oleh 1. Stage-I (50-43.5 Ma) pada saat dimana tumbukan
pergerakan Sesar Sorong dan menyebabkan rotasinya India-Eurasia bernuka dan bersamaan dengan
lengan timur dan utara sulawesi seperti sekarang ini. proses subduksi di bawah Eurasia selatan.
Rangkaian peristiwa ini kemungkinan membentuk Tumbukan (collision) kerak benua telah
Cekungan Tomori merubah cekungan yang sudah menyebabkan sebuah perlambatan laju pemerakan
pernah ada dari Australia. Rotasi Kalimantan sudah (spreading) di Samudera India menurunkan
selesai namun sistem sesar di busur depan Sumatra kecepatan konvergensi sepanjang sistem busur
mulai bergerak sebagai akibat pemekaran baru di Laut subduksi Sunda dan mengakibatkan fase ekstensi
Andaman. Kepala Burung Papua bergerak relatif ke di area-area busur depan (fore arc) dan busur
utara sepanjang sesar geser di ujung Cekungan Aru, belakang (back arc). Cekungan rift yang terisolasi
yang memodifikasi cekungan-cekungan di Kepala di busur depan dan wilayah Jawa Timur telah
Burung seperti Bintuni, Salawati. Kerak Benua berumur terisi oleh endapan transgresi diteruskan endapan
Mesozoik di utara Timor telah tereliminasi di ujung laut terbuka oleh karena cekungan-cekungan ini
timur pemberhentian Palung Jawa oleh pergerakan ke merupakan rendahan atau lembah di ujung Kraton
utara Benua Australia yang membawa pinggir Australia Sunda, sedangkan Laut pada Eosen Tengah tidak
ke dalam palung sebagai busur volkanik inner Banda. bisa menembus ke dalam cekungan rift di busur
Proses tersebut terus berlanjut hingga membentuk belakang di Kraton Sunda seperti Sumatra dan
tatanan tektonik Indonesia seperti saat ini. Jawa Barat utara yang terisi oleh sekuen endapan
Evolusi tektonik telah mengontrol dan fluvial-lakustrin.
mempengaruhi terbentuknya cekungan. Di Indonesia 2. Stage-II (43.5-32 Ma) telah dipicu oleh penghentian
terdapat dua kelompok utama yaitu Indonesia Barat subduksi saumdera dibawah zona tumbukan
(Sundaland) dan Indonesia Timur. Cekungan di India-Eurasia. Hal ini mengunci sistem pemekaran

 Evolusi tektonik dalam klasifikasi jenis cekungan tektonik Indonesia


di Samudera India dan telah menyebabkan diinterpretasikan bersamaan dengan permulaan
pengaturan kembali lempeng-lempeng utama di pemampatan di Tibet melalui rotasi blok dan
India, Samudera Pacifik dan Selatan. Pengaturan ekstrusi lateral sepanjang sesar geser. Tumbukan
kembali lempeng di Samudera India telah utama, adalah hasil yang tidak bisa dihindarkan
melambatkan laju konvergensi namun sekali lagi terutama akibat konfigurasi yang sudah mapan
sepanjang Busur Sunda menghasilkan fase kedua oleh pengaturan kembali kerak pada 43.5 Ma,
peretakan (rifting) dan endapan-endapan cekungan tahap ini terjadi menyeluruh di area Borneo barat
rift. Pengaturan kembali lempeng di Samudera utara, Sulawesi dan Timor dan bersamaan dengan
Pasifik telah mengakibatkan ekstensi di Laut China rotasinya Sumatra dan ekstrusi yang berhubungan
Selatan dan pengendapan sekuen fluvial-lakustrin dengan pensesaran wrench di Malaysia dan Natuna
dalam cekungan rift yang terisolasi, sedangkan di barat dan Cekungan Bac Bo atau Yinggehai telah
area Kalimantan Timur sebuah sistem retakan menghasilkan inversi struktur yang luas dan
yang tidak sempurna (a failed rift system) di Selat pengisian cekungan dengan sekuen yang sangat
Makasar mengakibatkan cekungan-cekungan rift bervariasi. Eustasi yang tinggi di Miosen Tengah
yang terisolasi telah diisi dengan sekuen delta menandakan periode maksimum dari transgresi
dan laut yang tertutup oleh melamparnya shale laut di atas Sundaland dan pengendapan yang
endapan post-rift. Tumbukan besar yang pertama luas shale laut. Hal ini telah diikuti oleh dominasi
dari blok Luconia Shoals dengan sebuah sistem sekuen regresif yang disebabkan oleh turunnya
subduksi sepanjang pinggir Borneo Barat Utara eustasi pada 5 dan 10 Ma.
mengakibatkan pengendapan sekuen deltaa di Pembahasan evolusi tektonik stratigrafi Indonesia
Balingian. telah banyak ditulis, salah satu yang terbaru adalah
3. Stage-III (32-21 Ma) adalah bersamaan dengan evolusi tektonik stratigrafi yang dikemukakan oleh
fase pertama pemekaran di Laut China Selatan Doust dan Sumner 2007, Doust dan Noble 2008. Tiga
dimasa dimana seluruh area bagian selatan benua fase evolusi tektonik dari Doust dan Sumner 2007 di
yang terpisahkan oleh satu patahan bergeser dan area Asia Tenggara telah didetailkan untuk Indonesia
bergabung menjadi Laut China Selatan. Tanjung menjadi empat fase utama evolusi tektonik stratigrafi
Thailand mengalami rotasi searah Jarum Jam oleh Doust dan Noble 2008 yaitu :
dengan pusat perputaran di kepala Tanjung 1. Synrift awal (biasanya Eosen sampai Oligosen)
Thailand. Rotasi blok ini membentuk Cekungan berhubungan dengan periode bentukan rift
Malay didalamnya terendapkan sekuen fluvial- graben dan diikuti periode penurunan yang
lakustrin yang cukup besar. Rotasi ini juga maksimum. Seringkali pengendapan dibatasi awal
telah menghasilkan sebuah fase penurunan pembentukan half graben.
laju konvergensi dan inversi di sepanjang Busur
2. Synrift akhir (Oligisen akhir sampai Miosen Awal)
Sunda sebagai akhir rifting di cekungan-cekungan
pada periode ini penurunan dalam graben semakin
yang terkait. Pengisian endapan selanjutnya di
berkurang, saat beberapa individu rift bergabung
cekungan-cekungan ini terekam sebagai endapan
menjadi satu membentuk lowland yang luas yang
transgresi laut yang diinterpretasikan sebagaian
terisi oleh endapan paralic.
karena eustasi dan sebagaian yang lain karena
subsidence berhubungan dengan permulaan fase 3. Postrift awal (biasanya Awal sampai Miosen
post rift thermal sag. Lain halnya di Kalimantan Tengah) merupakan periode tektonik yang stabil
Timur diendapkan sekuen karbonat dan endapan (tenang) diikuti oleh endapan-endapan transgresi
laut yang luas, di Laut China Selatan terjadi yang menutup topografi graben yang horst yang
lingkungan laut yang menutup endapan transgresif ada.
delta dengan endapan laut dan endapan karbonat 4. Postrift akhir (biasanya Miosen Tengah sampai
pada posisi lebih distal. Pliosen) berhubungan dengan periode inversi
4. Stage-IV (21-0 Ma) telah diawali oleh berhentinya dan perlipatan, sepanjang periode ini terbentuk
fase pertama pemekaran di Laut China Selatan endapan regressi delta.
yang disebabkan oleh subduksi Blok Baram Setelah akhir postrift diikuti dengan sebuah periode
dengan Borneou barat Utara. Peristiwa ini transgresi akhir yang dicirikan dengan endapan-

M. Burhannudinnur 
endapan berumur Kuarter. Endapan Kuarter dari sudut dengan endapan deltaik Formasi Keutapang, Minas,
petroleum sistem bukan endapan yang menjadi habitat Muara Enim, Cisubuh. Pada fase ini Cekungan Jawa
migas, namun mempunyai arti penting dalam evolusi Timur bagian utara terlihat tersusun oleh endapan
tektonik stratigrafi. neritik dan laut terbuka, hal ini merupakan gejala lokal
Evolusi tektonik stratigrafi ini lebih banyak megacu di Cekungan ini.
kepada evolusi tektonik Sundaland dan cekungan- Penampang stratigrafi dari Bintuni dan Salawati
cekungan Tersier, namun demikian Doust dan Noble sebagai Cekungan yang sudah terbukti sebagai
2008 berusaha untuk mengaplikasikan ke Indonesia penghasil migas dan penampanag stratigrafi dari
Timur dengan penempatan waktu yang berbeda. Timor, Seram dan Tanimbar dari Cekungan yang
Ringkasan evolusi tektonik stratigrafi Indonesia oleh pernah dieksplorasi namun belum mempunyai arti
Duoust dan Noble (2008) dapat dilihat di Gambar ekonomi, mewakili Indonesia Timur dapat dilihat di
6. Fase evolusi tektonik stratigrafi Indonesia sesuai Gambar 8. Pendekatan oleh Doust dan Noble (2008)
dengan tahapan evolusi tektonik stratigrafi Asia untuk Indonesia Timur dengan mendefinisikan sebagi
Tenggara yang dikemukakan oleh Longley (1997), fase tenang (quiscene) sangat panjang setelah periode
terutama di Indonesia Barat. Namun demikian evolusi synrift (Gambar 8) di Pra Tersier merefer ke Cekungan
tektonik stratigrafi Asia Tenggara oleh Longley (1997) Bintuni-Salawati-Bula. Jika dibandingkan antara
belum membahas tektonik stratigrafi Indonesia Timur, Stratigrafi Cekungan Bintuni-Salawati-Bula dan Timor-
sehinga tidak bisa dilakukan perbandingan. Seram-Tanimbar sangat berbeda. Pada Perm-Cretaceous
Apabila evolusi tektonik stratigrafi Indonesia Cekungan Bintuni-Salawati–Bula didominasi endapan
yang ada dihubungkan dengan evolusi tektonik dari synrift fluvio-deltaic, sedangkan di Cekungan Timor-
Hall, 1997 mempunyai kecocokan. Sundaland pada Seram-Tanimbar sudah terusun oleh endapan laut
Eosen, 50 Ma (Gambar 4.a.) sampai oligosen tengah, dari laut dalam sampai shelf, kemungkinan sudah fase
30 Ma (Gambar 4.b) di bagian utara Sumatera, awal post rift. Fase post rift (quescene) sangat lama di
sebelah utara Sumatera dan sebelah utara Java terjadi Indonesia Timur menjadi tidak sesuai dengan evolusi
periode rifting, merupakan fase pertama dari tektonik tektonik sangat dinamis di Indonesia Timur pada
stratigrafi. Endapan pada periode ini adalah endapan Tersier.
darat dan atau selang seling dengan endapan transisi Evolusi tektonik stratigrafi di Indonesia Timur
pada cekungan-cekungan graben dan half graben sangat berbeda dengan di Sundaland. Evolusi tektonik
yang terpisah-pisah berarah tegak lurus dengan stratigrafi Indonesia Timur melibatkan sekuen sedimen
arah riftingnya. Gambar 7 menunjukan penampang yang lebih tua, Pre-Tersier, Permian sampai Kapur
stratigrafi dari cekungan di Sundaland dari Sumatra, berasal dari bentukan potongan-potongan Pinggir
Jawa dan Kalimantan, menunjukan bahwa Formasi Benua Australia yang masuk kedalam zone tumbukan
seperti Formasi Talangakar, Lahat, Lematang, sistem Busur banda di Indonesia Timur pada Tersier
Manggalla telah dikenal sebagai endapan-endapan tengah dan akhir. Indonesia Timur memerlukan model
darat-transisi, endapan synrift. Sedangkan fase evolusi tektonik stratigrafi tersendiri untuk menjelaskan
kedua, synrift akhir diwakili oleh endapan-endapan evolusi cekungannya. Untuk endapan Tersier di Indo-
neritik, laut terbuka sampai endapan laut dalam pada nesia Timur, walaupun lingkungan pengendapan dan
cekungan yang lebih luas hasil penggabungan dari perkembangan litofasiesnya dapat dikenali, namun
beberapa half graben. Endapan-endapan batugamping demikian perkembangan cekungan syn-rift sampai post-
berada di tinggian-tinggian horst di akhir fase kedua rift Tersier tidak dapat langsung diterapkan seperti di
ini, mulai terjadi rotasi berlawanan arah jarum jam di Sundaland.
Sumatra, Jawa dan Borneo pada 20 Ma, Awal Miosen.
Fase evolusi tektonik ketiga, postrif awal, ditandai
dengan Tektonik yang stabil dengan endapan-endapan KLASIFIKASI CEKUNGAN TEKTONIK
transgressi seperti Formasi Baong, Petani, Air Benakat
Klasifikasi cekungan berdasarkan tektonik lempeng
dan Ngrayong. Gejala lokal terjadi di cekungan Jawa
telah banyak dikembangkan oleh banyak penulis.
barat Utara dimana fase ketiga masih terisi endapan
Morgan (1968), Le Pichon (1968), Isak et al (1968),
laut terbuka sampai neritik yaitu Formasi Parigi dan
Dickinson (1974) dan lain-lainnya telah memberikan
Cibulakan. Fase keempat, akhir post rift ditandai

10 Evolusi tektonik dalam klasifikasi jenis cekungan tektonik Indonesia


Gambar 6. Ringkasan kronostratigrafi dari cekungan-cekungan penghasil minyak di Indonesia (Doust dan Noble 2008)

M. Burhannudinnur
11
Evolusi tektonik dalam klasifikasi jenis cekungan tektonik Indonesia
Gambar 7. Penampang stratigrafi Sumatra, Jawa dan Kalimantan (modifikasi dari Doust dan Noble, 2008)

12
Gambar 8. Penampang stratigrafi bagian timur Indonesia A. Modifikasi dari Doust dan Noble, 2008, legenda lihat Gambar 7. B. diambil dari Charlton, 2004.

M. Burhannudinnur
13
pemahaman dasar tentang pengelompokan tatanan Klasifikasi Kingston et al. (1983) mempertimbangkan
tektonik cekungan yang mengunakan elemen dasar juga perubahan vertikal pengisian sedimen di dalam
dari batas lempeng di konsep tektonik lempeng, cekungan. Satu hal yang menjadi kelebihan klasfikasi ini
seperti tumbukan (convergent), pemekaran (divergent), adalah bahwa cekungan yang komplek bisa dijelaskan
pergeseran (transform). Beberapa klasifikasi cekungan dengan rangkaian cekungan sederhana dengan evolusi
berdasarkan tektonik lempeng telah ditulis antara tektonik stratigrafinya beserta tektonik pengubahnya.
lain Klemme (1980), Bally dan Snalson (1980) yang Cekungan sedimen dengan sejarah yang kompleks
dimodifikasi oleh John (1984), Stoneley (1981), biasanya akan dibagi menjadi beberapa siklus (cycle) atau
Kingston et al. (1983), Helwig (1985). stage atau fase. Kingston et al. (1983) mengelompokkan
Tatanan tektonik cekungan yang timbul dari tiga cekungan melalui unit dasar yang disebut siklus. Satu
batas lempeng dan fitur-fitur ikutannya telah menjadi siklus mewakili sedimen yang terendapkan dalam satu
dasar untuk klasifikasi cekungan (Klemme, 1980; episode tektonik. Terkadang satu cekungan hanya
Stoneley, 1981) yang kelihatan menawarkan kerangka mempunyai satu siklus pengendapan atau satu siklus
klasifikasi obyektif dan komprehensif. Namun tektonik terkadang lebih dari satu siklus. Disebut
demikian penggunaan pengelompokan tektonik untuk sebagai cekungan sederhana, jika hanya mempunyai
cekungan kadang mengesampingkan perubahan variasi satu siklus pengendapan/tektonik dan Cekungan
dan kekomplekan evolusi tektonik stratigrafinya, atau cekungan polyhistory basin atau mudahnya disebut
terkadang satu rangkaian cekungan yang panjang dengan cekungan rumit (complex basin), jika mempunyai
berassosiasi dengan subduksi dianggap sebagai satu lebih dari satu siklus pengendapan/tektonik. Pada
jenis cekungan dengan asal usul yang sama. Klasifikasi prakteknya penyebutan siklus akan mewakili cekungan
Klemme (1980) terlihat tidak konsisten dari sudut yang sederhana. Cekungan sederhana atau rumit
tektonik lempeng dengan dimasukannya delta sebagai dapat diklasifikasikan dengan menganalisa sejarah
salah satu klasifikasi cekungan, dan kerak samudera geologinya dalam konteks tektonik lempeng. Unsur-
tidak dipertimbangkan sebagai pembentuk cekungan. unsur penting dalam analisa sejarah tektonik adalah
Bally dan Snalson (1980), John (1984) memberikan sekuen pengendapan, bentukan cekungan tektonik
pendekatan yang lebih lengkap dengan memasukan dan modifikasi cekungan tektonik. Klasifikasi untuk
parameter tektonik cekungan yang lebih luas, cekungan sederhana atau untuk mengenali keberadan
memasukan parameter mekanikal, termal, litologi siklus di polyhistory basin dapat menggunakan diagram
penyusun. Klasifikasi Bally telah dicoba diterapkan klasifikasi seperti di Gambar 9.
namun terlihat bahwa penerapan lebih applikatif di Elemen utama pertama dalam klasifikasi
pinggir benua dengan skala yang luas. Stoneley (1981) cekungan ini adalah sekuen pengendapan. Sebuah
menawarkan klasifikasi dengan mempertimbangkan siklus dedifinisikan sebagai pengendapan sedimen
posisi tektonik, bentuk dan mekanikal cekungan serta selama satu periode tektonik. Unit stratigrafi terkecil
kreteria modifikasi yaitu pre-basin litosfir, geometri (minimum) yang dapat disebut sebuah siklus harus
dan peristiwa post-basin. Klasifikasi ini terkesan sangat diwjudkan dengan perkembangan cekungan yang
terpadu namun belum menjawab bagaimana sebuah signifikan, bisa dalam ketebalan sedimen atau jangka
cekungan dapat berubah secara vertikal sesuai evolusi waktu geologi. Asumsi ini memberikan kemudahan
tektonik stratigrafinya. Unsur sediment fan dan erosional untuk menyederhanakan unit-unit tipis endapan lereng
membuat penerapan klasifikasi ini sedikit campur atau endapan yang membaji, yang kemungkinan
aduk dengan terminologi sedimentologi. Klasifikasi terbentuknya memerlukan waktu yang lama, menjadi
Kingston etal. (1983) menawarkan klasifikasi cekungan beberapa siklus saja atau sebaliknya memisahkan
yang lebih terbuka dan dapat menjawab perubahan endapan prograding yang tebal menjadi unit stratigrafi
cekungan akibat evolusi tektonik stratigrafi. Klasifikasi yang lebih mudah dikenali. Gambar 10 menunjukan
ini menawarkan penamaan dalam skala luas dan hubungan stage pengendapan dan siklus tektonik.
luwes sampai ke dalam skala sub basin untuk keperluan Satu siklus pengendapan diwakili oleh tiga stage
lebih detail, sehingga terkesan rumit. Pemakaian pengendapan yang dicirikan stage pertama wegde base,
istilah baru yang terdengar asing seperti fracture, sag stage kedua wedge middle dan stage ketiga wedge top, tiga
memungkinkan untuk lebih mengakomodasi istilah stage ini mewakili tiga elemen dari satu wegde transgresi-
mekanikal cekungan yang lebih dasar seperti rift, flexure. regresi yang utama. Tiga stage dari satu siklus dapat

14 Evolusi tektonik dalam klasifikasi jenis cekungan tektonik Indonesia


Gambar 9. Kunci untuk pengenalan cekungan atau siklus dalam bentukan cekungan tektonik. Kingston et al. (1983)

didekati sebagai berikut : endapan darat dari lidah pengendapan darat yang
1. Stage 1 dari siklus berhubungan dengan wegde base tidak melebihi 50 % dari total endapan.
dari endapan darat. Hal ini yang paling utama 3. Stage 3 adalah wegde top endapan darat dan
meliputi endapan dataran banjir, lagoon, dan berasosiasi dengan ketidakselarasan regional.
endapan pantai, jika dapat dipisahkan. Tipe batuan Secara litologi serupa dengan stage 1 lebih dari 50%
biasanya konglomerat darat, batupasir dan serpih. endapan darat konglomerat, batupasir, serpih, red
Batuan lainnya yang khas namun jarang dijumpai beds, batubara, batugamping air tawar, dan sedikit
adalah red beds, batubara, endapan volkanik, dan endapan evaporit. Ketidakselarasan di bagian atas
batugamping air tawar. Jika endapan wegde base ini setelah pembajian atas termasuk dalam stage ini.
tebal dan lebih dari setengahnya endapan darat,
Deskripsi stage pengendapan harus mulai dari
dapat dikelompokan sebagai stage 1.
pusat siklus pengendapan di dalam Cekungan atau
2. Stage 2 endapan laut wegde middle. Jenis batuan dari bagian yang paling tebal dari wegde pada cekungan
yang umum dijumpai disini adalah serpih laut, yang membuka ke arah laut terbuka. Penampang
batugamping dan batupasir. Semua garam yang untuk konsep wegde dapat dilihat di Gambar 10A,
masif termasuk di stage ini, secara teori endapan hal ini menjadi bukti bagian cekungan yang dipelajari
evaporit yang tebal secara umum menunjukkan sangat jauh updip, setelah pembajian endapan laut,
sebagai endapan laut atau minimal mengering di garis c, terlihat hanya dua stage endapan darat yang
pinggir laut atau ujung laut. Endapan evaporit yang bisa dikenali yaitu 3 dan 1, sebaliknya dengan gambar
masif mengindikasikan pengendapan di interior yang sama di bagian jauh downdip, garis a, hanya stage
basin. Batuan lain yang kadang dijumpai adalah 2 wedge laut yang bisa dideskripsi.
endapan volkanik, batubara laut, endapan flysh Elemen utama kedua dalam klasifikasi Kingston
dan turbidit lainnya, napal laut dalam dan endapan et al. (1983) adalah tektonik pembentuk cekungan
pelagik. Pada stage 2 ini kemungkinan mengandung yang mempunyai tiga parameter yaitu pertama,

M. Burhannudinnur 15
Gambar 10. Hubungan antara stage dan siklus dari pengendapan wedge. (A) Transgresi wedge base (stage 1), wedge middle
(stage 2), dan regresi wedge top dengan ketidakselarasn di bagian atasnya (stage 3). Garis putus-putus di tengah-tengah
merupakan batas stage. (B) Pengendaman wedge dimana stage 3 dan sebagian stage 2 terpotong oleh ketidakselarasan

jenis dan komposisi kerak dibawah cekungan, benua mempunyai lebih dari satu siklus bisa didekati dengan
atau samudera, jika ada intermediate biasanya bisa polyhistory basin dan jika sudah mengalami modifikasi
dipecahkan dengan berbagai cara; kedua, tipe tektonik atau struktur dapat didekati secara terpisah.
pergerakan kerak pembentuk cekungan yaitu divergen Elemen ketiga adalah tektonik pengubah cekungan.
dan konvergen. Pergerakan kerak transform tidak Cekungan atau siklus yang terbentuk baik single atau
dipertimbangkan dalam klasifikasi Kingston et al. polyhistory kemungkinan berubah di perjalanan evolusi
(1983) karena pergerakan transform yang sempurna tektonik. Ada tiga jenis tektonik pengubah cekungan
saling menyamping sangat jarang membentuk yaitu episodic wrench (L), adjacent (wrendh) foldbelt (FB)
cekungan. Konvergen dengan sudut kecil terlihat dan complete folding dari sebuah cekungan (FB3) yang
sebagai wrench atau foldbelts dan divergen dengan merupakan formasi foldbelt.
sudut kecil terlihat sebagai sesar normal atau saging. Episodic wrench (L) mewakili arti yang luas dari
Parameter ketiga adalah posisi cekungan di kerak (di pergerakan lateral tidak berhubungan dengan asal
dalam atau di pinggir kerak) dan struktur utama yang cekungan atau siklus. Episodic wrench terjadi oleh
terlibat dalam cekungan (sagging, normal faulting, berbagai hal dan dijumpai di dalam cekungan disemua
atau wrench). Kombinasi ketiga parameter secara kemungkin umur termasuk basement. Pergerakan itu
teoritis memberikan 10 model cekungan sederhana. bisa berasal dari zone lemah yang berumur lebih tua
Dua diantaranya yaitu OTA dan OF tidak dibahas yang bergerak secara periodik atau episodik merespon
dalam konteks model yang praktis karena kedua tidak pergerakan lempeng. Pergerakan lempeng diwujudkan
dipertimbangkan sebagai cekungan yang prospek oleh tumbukan lempeng, rotasi, fragmentasi atau
migas, jadi hanya 8 siklus secara teoritis dan 8 siklus subduksi. Foldbelts disebabkan oleh konvergen
model praktis. Kedelapan siklus/cekungan sederhana dari dua atau lebih lempeng. Area cekungan yang
terdiri dari 4 katagori utama dan 4 kategori minor terperangkap dalam konvergen bisa semuanya terlipat
ditinjau dari sudut eksplorasi migas, secara umum atau sebagaian terlipat. Cekungan yang tidak terlipat
migas terbentuk di empat siklus mayor di kerak benua. semuanya tidak termasuk dalam foldbelt tetapi wrench
Keempat siklus mayor adalah interior sag (IS), interior foldbelt, sedangkan yang terlipat semuanya disebut
fracture (IF), margin sag (MS), wrench (LL), sedangkan formasi foldbelt (FB3). Adjacent (wrendh) foldbelt biasanya
yang minor adalah trench (T), trench associated (TA), terletak dibatas cekungan yang relatif tidak terlipat
oceanic sag (SG) dan oceanic wrench (OSLL). Sebagai dan berkurang dengan jaraknya, dinotasikan sebagai
gambar keempat siklus mayor dapat dilihat di Gambar FB. Efek dari variasi perbedaan intensitas pergerakan
11 s/d Gambar 14. lateral L dan variasi foldbelt dipinggir cekungan
Sebagain besar cekungan mempunyai lebih dari digambarkan di Gambar 15. Beberapa hal yang perlu
satu siklus ditambah perubahan peristiwa-peristiwa digarisbawahi berhubungan dengan L dan FB adalah
tektonik atau struktur penngubah. Cekungan yang pertama pengaruh tektonik pengubah bervariasi,

16 Evolusi tektonik dalam klasifikasi jenis cekungan tektonik Indonesia


cekungan sudah terbentuk terlebih dahulu oleh proses Foldbelts (FB3) mewakili suture, dimana lempeng
yang lain; kedua, episodic wrech (L) dapat berubah pernah atau sedang mengalami tumbukan. Tumbukan
menjadi wrench foldbelt (FB) sepanjang zonanya, karena menghasilkan kompressi dan pergerakan shear yang
tingginya derajat/tingkat pergeserannya. Beberapa menyebabkan batuan terlipat dan tergeserkan. Jika
foldbelt disebabkan oleh pergerakan pergeseran atau batuan ultra mafik, serpentinit, rijang, volcanic flysh dan
konvergen dengan sudut yang rendah; ketiga, modifikasi sedimen laut dijumpai di foldbelt, diasumsikan bahwa
ini lebih melihat perubahan kepada cekungan bukan kerak saumdera telah dihancurkan oleh subduksi atau
melihat proses wrench dan folbelt-nya. Sebagai contoh tumbukan lempeng dan foldbelt suture merubah semua
pergerakan wrench mungkin sangat intensif secara lokal yang tertinggal hanya sisa sisa lempeng samodera.
namun tidak merubah seluruh cekungan. Enam jenis foldbelts (FB3) ditunjukkan di Gambar 15,

Gambar 11. Perkembangan cekungan interior sag (IS) (Kingston et al., 1983)

Gambar 12. Perkembangan cekungan interior fracture (IF) (Kingston et al., 1983)

M. Burhannudinnur 17
Gambar 13. Perkembangan cekungan margin sag (MS) (Kingston et al., 1983)

Gambar 14. Perkembangan cekungan wrench (LL) (Kingston et al., 1983)

18 Evolusi tektonik dalam klasifikasi jenis cekungan tektonik Indonesia


model keenam dari enam model disebut unknown yang akan dievaluasi. Evolusi tektonik stratigrafi dapat
model untuk mengakomodasi, jika di alam masih berupa rekonstruksi back steaping sejarah geologi,
ada cekungan yang belum bisa diakomodasi dengan kronostratigrafi. Semakin detail dan akurat data akan
klasifikasi ini. Tiga dari enam yaitu FB3B, FB3F dab menghasilkan pengelompokan yang lebih teliti.
L3FB telah diketahui memproduksikan migas. Untuk memahami klasifkasi cekungan tektonik
Penggunaan klasifikasi Kingston et al. (1983) pada dapat didekati dengan menerapkan klasifikasi Kingston
cekungan polyhistory dan cekungan yang sudah terubah et al. (1983) mengambil empat contoh dari cekungan
oleh tektonik memakai pendekatan siklus termuda dan yang berbeda. Sumatra dan Jawa mewakili jenis
tektonik yang merubah paling akhir dituliskan pada cekungan yang sama, yaitu cekungan busur belakang
posisi yang pertama. Contoh : siklus 1 adalah interior atau Kingston et al. (1983) mengklasifikasikan sebagai
fracture, siklus 2 interior sag, kemudian tertutup oleh wrench (LL) dan trench associated (TA) (Gambar 14).
siklus ketiga MS dan cekungan mengalami uplift hingga Sumatra sebagai berikut trench (T) di bagian selatan,
tilting menjadi asimetri maka jenis cekungan adalah: Cekungan Mentawai (TA), Cekungan Sumatra (LL)
Le/MS321/IS321/IF321. Contoh lain penggunaan dan Cekungan Malay (LL). Apakan Jawa dan Sumatra
klasifikasi ini dapat dilihat di Gambar 16. dengan klasifikasi yang sama mempunyai polyhitory
yang sama? Dua cekungan ini akan didefinikan jenis
Penentuan Jenis Cekungan Tektonik cekungan secara lebih detail berdasarkan tektonik
Langkah pertama yang diperlukan dalam stratigrafinya untuk menjawab pertanyaan tersebut.
klasifikasi cekungan tektonik adalah peta tatanan Contoh yang kedua dan ketiga berasal dari Indonesia
tektonik dan evolusi tektonik stratigrafi dari cekungan Timur, yaitu Cekungan Salawati dan Tomori. Cekungan

Gambar 15.Variasi perkembangan tektonik pengubah cekungan untuk episodic wrench (L)
adjacent (wrench) foldbelt (FB) dan foldbelt (FB3) (Kingston et al., 1983)

M. Burhannudinnur 19
A

B
Gambar 16. Contoh Penggunaan pada cekungan polyhistory. A. Cekungan divergen yang terubah oleh tektonik
wrench dan foldbelt. B. Contoh dari Semenanjung Persi (Kingston et al., 1983)

20 Evolusi tektonik dalam klasifikasi jenis cekungan tektonik Indonesia


ini memberikan gambaran bagaimana klasifikasi kelompok konvergen akibat wrench (LL) dengan stage
polyhistory dapat menjawab pengaruh evolusi tektonik sekuen pengendapan yang lengkap (LL321) cekungan
dalam perubahan jenis cekungan. Keempat contoh terbentuk pada saat rifting Sumatra pada Eocene-
ini dapat memberikan beberapa kunci perbedaan Oligosen (Gambar 4), yang mengalami episodic
penamaan jenis cekungan-cekungan di Indonesia Barat wrench (La) yang lemah dan tidak sampai mengubah
dan Indonesia Timur. konfigurasi cekungan. Stage 1 kemungkinan besar
Cekungan Sumatera Utara berdasarkan evolusi sebagai source rock dan reservoar, stage 2 sebagai reservoir
tektonik stratigrafi dari Doust (2008), maka dapat dan seal. Adanya episodic wrench kemungkinan akan
dikelompokan ke cekungan wrench merupakan mempengaruhi secondary migrasi.
berjenis La/LL321 (Gambar 17). Cekungan dalam

Gambar 17. A. Ringkasan tektonik stratigrafi diambil dari Doust dan Noble (2008), penentuan stage dan penentuan tipe cekungan
menurut Kingston et al. (1983), Cekungan Sumatera Utara adalah La/LL321. B. Skematik Cekungan Sumatera Utara (Doust dan
Sumner 2007). C. Penampang geologi memotong Sumatera, posisi potongan lihat inset.

M. Burhannudinnur 21
Cekungan Jawa Timur Utara memperlihatkan lengkap Cekungan Salawati dapat dikelompokan
gejala perkembangan cekungan LL yang lain. Setelah sebagai Lf/FBd/ MS32/FBc/MS321?/FBc?/MS2?,
siklus wrench dengan stage lengkap (LL321) ditandai yaitu cekungan marginal sag yang mengalami wrench
dengan pengangkatan cekungan dan erosi di pinggir foldbelt, sehingga membentuk lipatan di pinggir
cekungan, dilanjutkan adjacent foldbelt di pinggir selatan cekungan, di akhir pembentukan terjadi adjancent
cekungan menyebabkan gejala enchelon fold ? (FBd), wrench yang sangat kuat, sehingga foldbelt semakin kuat
pada akhirnya endapan darat Kuarter (LL1) mulai Gambar 19.
menutup cekungan ini (Gambar 18). Penamaan cekungan akan semakin kompleks,
Cekungan Salawati mewakili dari Indonesia Timur jika evolusi tektonik tektoniknya tidak sederhana,
mempunyai cekungan yang sangat tua dari Permian sebagai contoh untuk Sulawesi sekitar Tomori ke
sampai Pliosen. Namun demikian, data-data Tersier timur (Gambar 20). Pada awalnya evolusi tektonik
jauh lebih lengkap dibanding data-data batuan berumur dari Australia merupakan rifting di kerak benua
lebih tua. Rekonstruksi sejarah geologi terbatas juga di dapat dikelompokkan sebagai interior fracture dengan
Tersier. Cekungan Tersier Salawati bertipe Lf/FBd/ kemungkinan mempunyai stage 1 s/d 3 dari sekuen
MS32/FBc, batuan lebih tua kemungkinan diendapkan pengendapan (IF321) sebagai siklus 1, siklus kedua
pada tipe cekungan MS321?/FBc?/MS2? Secara pada passive margin atau margin sag kemungkinan stage

Gambar 18. Penentuan jenis cekungan untuk Cekungan Jawa Timur Utara, LL1/FBd/LL321

22 Evolusi tektonik dalam klasifikasi jenis cekungan tektonik Indonesia


Gambar 19. Penentuan jenis cekungan untuk Cekungan Salawati di Papua

2 berkembang karena jauh dari tepi cekungan sebelah baru IF dan MS berada di atas cekungan yang lain.
(MS2). Siklus ini terjadi sampai Miosen Awal, berlanjut Penentuan jenis cekungan dengan klasifikasi
dengan fase tumbukan dengan posisi di pinggir kerak Kingston et al. (1983) dapat secara mudah dilakukan
berupa subduksi menghasilkan endapan berasosiasi di cekungan sederhana maupun cekungan kompleks.
dengan trench (TA). Setelah periode tumbukan kerak Cekungan kompleks dapat didekati dengan polyhistory.
benua atau fase kompressi terjadi episodic wrench dan Penentuan cekungan secara rinci dapat melihat evolusi
wrench foldbelt yang merubah tatanan tektonik, terjadi tektonik di cekungan tersebut. Sebagai contoh Jawa dan
pengangakatan, erosional, wrench sehingga merubah Sumatra, meskipun sama-sama dikelompokan dalam
posisi dan jenis cekungan. Cekungan berubah menjadi cekungan wrench (LL) namun evolusi tektoniknya
Fbe/Lf/TA/MS2 di bagian barat, LL1(?)/FBc/MS2/ sangat lain dan dapat terekam dalam penamaan jenis
La/IF321 di bagian tengah dan terdapat cekungan cekungan (Gambar 17 dan 18).

M. Burhannudinnur 23
Gambar 20. Penentuan jenis cekungan untuk Cekungan Tomori di Sulawesi

Perbedaan evolusi tektonik Cekungan Indonesia dalam satu sistem petroleum. Stage 1 yang lebih dari 50%
Timur dan Cekungan Indonesia Barat dapat endapan transisi dan darat, fluvio deltaik dan endapan
didefinisikan dengan baik oleh penentuan dan transisi lain, sangat mungkin sebagai batuan induk dan
penamaan dengan klasifikasi ini. Cekungan Indonesia potensi reservoir yang terbatas. Stage 2 lebih endapan
Barat dimulai dari jenis wrench (LL), dan trench lebih ke arah laut memungkinan kehadiran reservoir
associated (TA) dengan tektonik pengubah cekungan dan batuan penutup yang lebih luas. Stage 3 hampir
adjacent wrench (L) dan wrench foldbelt (FB). Cekungan sama dengan stage 1 dengan umur yang lebih muda.
Indonesia Timur dimulai dari interior fracture (IS) atau Dalam konteks ekplorasi migas kehadiran stage secara
margin sag (MS) yang mengalami adjacent wrench (L) lengkap akan menurunkan tingkat ketidakpastian.
dan wrench foldbelt (FB) atau berubah lebih kompleks
menjadi LL, TA atau menjadi cekungan baru IF seperti KESIMPULAN
yang terjadi di Cekungan Tomori (Gambar 20). Evolusi
cekungan tektonik Cekungan Tomori sangat kompleks, Evolusi tektonik telah mengontrol dan
dari MS e IF dan LL, disebabkan oleh perubahan batas mempengaruhi jenis cekungan. Di Indonesia terdapat
lempeng yang sangat dinamis, beda halnya dengan dua kelompok utama, yaitu Indonesia Barat (Sundaland)
Cekungan Salawati yang cenderung mempertahankan dan Indonesia Timur. Cekungan di Indonesia Barat
kehadiran MS. Hal dapat dijadikan titik awal untuk terletak di tatanan tektonik yang secara umur relatif
pendefinisikan tatanan tektonik Indonesia Tengah sama, yaitu pinggir kerak yang berasosoaisi subduksi.
secara rinci melalui pendekatan penentuan jenis Jenis Cekungan yang berkembang adalah cekungan
cekungan tektonik. wrench (LL), atau trench associated (TA) berumur
Kehadiran tektonik pengubah cekungan L dan FB Tersier. Perbedaan masing-masing cekungan ada pada
(FB3) memberi gambaran tektonik yang terjadi setelah evolusi tektonik cekungan yang dapat digambarkan
cekungan terbentuk. Hal ini sangat penting dalam dengan tektonik pengubah cekungan (L, FB dan FB3).
interpretasi sistem petroleum di cekungan yang ada. Indonesia Timur mempunyai evolusi dan tatanan
Ketidakpastian migrasi minyak dan gas bumi menjadi tektonik yang berbeda. Cekungannya dimulai dari
lebih tinggi ketika intensitas L, FB dan FB3 sangat tengah ke pingir Benua Australia dimulai oleh rifting di
tinggi. tengah benua menjadi passive margin (interior fracture,
Kelengkapan sekuen pengendapan stage 1 s/d IS ke margin sag, MS) berumur lebih tua dari Tersier.
stage 3 di satu siklus bermanfaat untuk memprediksi Cekungan di Indonesia Timur bisa berada di kerak
kehadiran batuan induk, reservoir dan batuan penutup benua atau samudera yang kemudian berubah, karena

24 Evolusi tektonik dalam klasifikasi jenis cekungan tektonik Indonesia


proses perubahan tektonik. Tektonik aktif mulai Darman, H., Hasan Sidi, F., 2000. An Outline of the Geology
Miosen telah merubah jenis cekungan yang melibatkan of Indonesia. Indonesian Association of Geologists,
percampuran kerak benua dan kerak samudera dengan 192pp.
mekanisme subduksi, pemekaran, collison, docking Davies, I.C., 1990. Geological and exploration review of
micro-continent. Jenis cekungan berubah dari MS/IF the Tomori PSC, Eastern Indonesia. In: Proceedings of
Industrial Petroleum Association 19th Annual Convention
menjadi LL, TA, IF atau foldbelt.
(IPA 90-223), pp. 41–67.
Pembahasan evolusi tektonik stratigrafi dengan
Dickinson, W.R., 1974(?), Plate Tectonic and
mengacu periode rifting masih dapat dipakai dengan
Sedimenatation,, In: Foster, N.H., Beaumont, E.A.,
koridor evolusi tektonik lempeng, meskipun tidak (Eds.), Geologic Basin I, Classification, Modeling
disarankan sebagai dasar penamaan cekungan. and Predictive Stratigraphy, AAPG Treatise of
Klasifikasi Kingston et al. (1983) dapat digunakan Petroleum Geology, Reprint Series, No. 1, p. 387-413.
dalam pengklasifikasian cekungan di Indonesia dengan Doust, H., 1999. Commonality of Petroleum Systems in
mengacu tatanan tektonik lempeng dan evolusi tektonik Southeast Asia Tertiary basins (ABS). AAPG Bulletin
stratigrafinya. Penerapan klasifikasi Kingston et al. 84 (9), 1419.
(1983) akan memberikan gambaran secara langsung Doust, H., 2003. Petroleum systems and plays in their
evolusi cekungan yang mengacu pada evolusi basin history context: a means to assist in the
tektonostratigtrafinya. Aplikasi klasifikasi ini perbedaan identification of new opportunities. First Break 21 (9
tatanan tektonik di Indonesia Barat yang dimulai September), (Abstract)
dengan LL dan TA mudah dibedakan dengan tektonik Doust, H., Lijmbach, G., 1997. Charge constraints on the
Indosensia Timur yang dimulai dengan MS atau IF. hydrocarbon habitat and development of hydrocarbon
Cekungan Tomori mempunyai evolusi cekungan systems in Southeast Asia Tertiary basins. In:
Howes, J.V.C., Noble, R.A. (Eds.), Proceedings of
tektonik yang kompleks jauh berbeda dengan evolusi
International Conference on Petroleum Systems
cekungan tektonik di Cekungan Salawati. Perbedaan of SE Asia and Australasia, Indonesian Petroleum
ini dapat digunakan sebagai iventarisasi awal adanya Association, pp. 115-126
tatanan tektonik Indonesia Tengah. Doust, H., Sumner, H.S., 2007. Petroleum systems in rift
basins – acollective approach in Southeast Asian
PUSTAKA basins, Petroleum Geoscience 13 (2), 127–144.
Doust, H., Noble, R.A., 2008. Petroleum systems of
Audley-Charles, M.G., Carter, D.J., Barber, A.J., Norvick, Indonesia, Marine and Petroleum Geology, 25, 103–
M.S., Tjokrosapoetro, S. 1979, Reinterpretation of 129
the geology of Seram: implications for the Banda Fraser, S.I., , Fraser, A.J., Lentini, M.R., Gawthorpe,
Arcs and northern Australia, J. geol. Soc. London, Vol. R.L., 2007, Return to rifts – the next wave: fresh
136, pp. 547-568, insights into the petroleum geology of global rift
Bally, A.W., Snelson, S, 1980, Realms of Subsidence, basins, Petroleum Geoscience, Vol. 13, pp. 99–104
In: Foster, N.H., Beaumont, E.A., (Eds.), Geologic Hamilton, W., 1979, Tectonics of the Indonesia Region, United
Basin I, Classification, Modeling and Predictive States Geological Survey Proffesional Paper, 1078.
Stratigraphy, AAPG Treatise of Petroleum Geology,
Reprint Series, No. 1, p. 1-86. Hall, R., 1996. Reconstructing Cenozoic SE Asia. In:
Hall, R., Blundell, D.J., (Eds.), Tectonic Evolution
Bishop, M.G., 2000a. South Sumatra Basin Province, of Southeast Asia, Geological Society Special
Indonesia: the Lahat/Talang Akar–Cenozoic total Publication, vol. 1026, pp. 153-184.
petroleum system. USGS Open-File Report 99-50S.
Hall, R., 1997. Cenozoic Tectonics of SE Asia and
Bishop, M.G., 2000b. Petroleum systems of the Northwest Australasia. In: Howes, J.V.C., Noble, R.A.
Java Province, Java and offshore Southeast Sumatra, (Eds.), Proceedings of International Conference
Indonesia. USGS Open-File Report 99-50R. on Petroleum Systems of SE Asia and Australasia.
Charlton, T.R., 2004. The petroleum potential of inversion Indonesian Petroleum Association, pp. 47-62.
anticlines in the Banda Arc, AAPG Bulletin 88 (5), Helwig, J.A., 1985, Origin and Classification of Sedeimentary
565–585. Basins,, In: Foster, N.H., Beaumont, E.A., (Eds.),
Daly, M.C., Cooper, M.A., Wilson, I., Smith D.G., Geologic Basin I, Classification, Modeling and
Hooper, B.G.D., 1991, Cenozoic plate tectonics and Predictive Stratigraphy, AAPG Treatise of Petroleum
basin evolution in Indonesia, Marine and Petroleum Geology, Reprint Series, No. 1, p. 182-193.
Geology, Vol 8, February

M. Burhannudinnur 25
Howes, J.V.C., Tisnawijaya, S., 1995. Indonesian Characteristicsof the fractured carbonate reservoir
petroleum systems, reserves additions and exploration of the Oseil field, Seram Island, Indonesia. In:
efficiency. In: Proceedings of Industrial Petroleum Proceedings of Industrial Petroleum Association 28th
Association 24th Annual Convention, October 1995, Annual Conference, 241-251 (IPA01-G-101), vol.1,
IPA95-1.0-040, pp. 1–17. pp. 439–456.
Indonesian Petroleum Association, 1989a. Indonesia— Noble, R.A., et al., 1997. Petroleum systems of Northwest
Oil and Gas Fields Atlas, vol. I, North Sumatra and Java, Indonesia. In: Howes, J.V.C., Noble, R.A.
Natuna (Eds.), Proceedings of International Conference
Indonesian Petroleum Association, 1989b. Indonesia— on Petroleum Systems of SE Asia and Australasia.
Oil and Gas Fields Atlas, vol. IV, Java. Indonesian Petroleum Association, pp. 585–600.
Indonesian Petroleum Association, 1991b. Indonesia— Noble, R.A., Jessup, D.M., Djumlati, B.D., 2000.
Oil and Gas FieldsAtlas, vol. V, Kalimantan. Petroleum system of the Senoro-1 discovery, East
Sulawesi, Indonesia. AAPG International Meeting,
Indonesian Petroleum Association, 1998. Indonesia—Oil
Bali, Indonesia, October 2000 (Abstract).
and Gas FieldsAtlas, vol. VI, Eastern Indonesia.
Norvick, M. S., 1979, The tectonic history of the Banda
John, B.S., Bally, A.W., Klemme, H.D., 1984, Sedimentary
Arcs, eastern Indonesia: a review, J. geol. Soc. London,
Province of the World-Hydrocarbon Productive and
Vol. 136,pp. 519-527
Nonproductive, In: Foster, N.H., Beaumont, E.A.,
(Eds.), Geologic Basin I, Classification, Modeling Peters, K.E., et al., 1999. Geochemistry of crude oils
and Predictive Stratigraphy, AAPG Treatise of from eastern Indonesia. AAPG Bulletin 83 (12),
Petroleum Geology, Reprint Series, No. 1, p. 147-181. 1927–1942.
Katili, J.A., 1980, Geotectonic of Indonesia, a Modern View, R. E. King, H. D. Klemme, R. H. Dott, Sr., and A. A,
1980, Directorate General of Mines, Jakarta Meyerhoff,1970b, World’s giant oil and gas fields,
geologic factors affecting their formation, and basin
Kingston, D.R., Dishroon, C.P., Williams, P.A., 1983.
classification, part II, Factors affecting formation of
Global basin classification system. AAPG Bulletin 67
giant oil and gas fields, and basin classification, in
(12), 2175–2193.
Geology of giant petroleum fields: AAPG Memoir 14,
Kingston, D.R., Dishroon, C.P., Williams, P.A., 1983. p. 528-555.
Hydrocarbon Plays and Global Basin Classification.
Satyana, A.H., Nugroho, D., Surantoko, I., 1999. Tectonic
AAPG Bulletin 67 (12), 2194–2198.
controls on the hydrocarbon habitats of the Barito,
Klemme, H.D., 1980, Types of Petroliferus Basins, In: Kutei and Tarakan basins, Eastern Kalimantan,
Foster, N.H., Beaumont, E.A., (Eds.), Geologic Indonesia: major dissimilarities in adjoining basins.
Basin I, Classification, Modeling and Predictive Journal of Asian Earth Sciences 17, 99–122.
Stratigraphy, AAPG Treatise of Petroleum Geology,
Shaw, J.H., Hook, S.C., Sitohang, E.P., 1997. Extensional
Reprint Series, No. 1, p. 87-101.
fault-bendfolding and synrift deposition: an example
Klemme, and T. Shabad, 1970, World’s giant oil and gas from the Central Sumatra Basin, Indonesia. AAPG
fields, geologic factors affecting their formation, and Bulletin 81 (3), 367–379.
basin classification. Part1, giant oil and gas fields, in
Stoneley, R., 1981, Petroleum : the Sedimentary Basins,
Geology of giant petroleum fields:AAPG Memoir 14,
In: Foster, N.H., Beaumont, E.A., (Eds.), Geologic
p. 502-528.
Basin I, Classification, Modeling and Predictive
Longley, I.M., 1997. The tectonostratigraphic evolution Stratigraphy, AAPG Treatise of Petroleum Geology,
of SE Asia. In: Fraser, A.J., et al. (Eds.), Petroleum Reprint Series, No. 1, p. 102-122.
Geology of Southeast Asia. Geological Society Special
Ten Haven, H.L., Schiefelbein, C., 1995. The
Publication, vol. 126, pp. 311–339. (Abstract)
petroleum systems of Indonesia. In: Proceedings
McClay, K., Dooley, T., Ferguson, A., Poblet, J., 2000. of 24th Industrial Petroleum Association Annual
Tectonic evolution of the Sanga Sanga Block, Convention, IPA95-1.3-013, pp. 443–458.
Mahakam Delta, Kalimantan, Indonesia. AAPG
Tapponier, P., Peltzer, G. & Armijo, R. 1986. On the
Bulletin 84 (6), 765–786.
mechanics of the collision between India and Asia.
Moss, S. J., Carter, A., Baker, S., Hurford, A.J., 1998, In: Coward, M.P. & Reis, A.C. (eds) Collision Tectonics.
A Late Oligocene tectono-volcanic event in East Geological Society, London, Special Publications
Kalimantan and the implications for tectonics and
Wakita, K., 2000, Cretaceaous accretionary-collison
sedimentation in Borneo, Journal of the Geological
complexex in Central Indonesia (in Sutre zone of
Society, London, Vol. 155, pp. 177–192.
East and Southeast Asia), Journal of Asian Earth
Nilandaroe, N., Mogg, W., Barraclough, R., 2001. Sciences, 18 (6) (Abstract).

26 Evolusi tektonik dalam klasifikasi jenis cekungan tektonik Indonesia


Ragam keunikan Gua Gong Dosen Tetap, Prodi T. Geologi

dan Gua Tabuhan di Pacitan Fakultas Teknologi Kebumian & Energi,


Usakti
Barat, Jawa Timur Gedung D, Lt. 2, Jl. Kyai Tapa No.1,
Hidartan dan Arista Muhartanto Grogol, Jakarta 11440

Abstrak
Bentang alam kawasan kars menawarkan keindahan, keunikan,
dan kelangkaan yang mempunyai nilai jual tinggi, sehingga dapat
dimanfaatkan untuk sektor pariwisata. Kawasan kars, diantaranya
: di Pacitan-Trenggalek (Jawa Timur) menyuguhkan beragam jenis
dan dimensi unsur-unsur bentang alam, serta fenomena kars yang
menawan.
Beberapa hal yang menjadi keunikan segmen kars Pacitan Barat,
diantaranya : tidak mempunyai batugamping yang umurnya lebih
tua dari Neogen; genanglaut pada Miosen Tengah menyebabkan
keadaannya memungkinkan bagi pertumbuhan batugamping Neogen
secara maksimum; dan proses karstifikasi yang dimulai pada permulaan
Zaman Kuarter. Batugamping yang tersingkap di Pacitan Barat terdiri
dari fasies klastik yang bersifat tufaan dikenal sebagai Formasi Oyo dan
fasies terumbu dikenal sebagai Formasi Wonosari. Pesona keunikan
gua-gua di Pacitan Barat dapat dijumpai di Gua Gong dan Gua
Tabuhan.
Gua Gong dikenal memiliki keindahan speleotem dengan
aneka jenis stalaktit berbangun kerucut dan pipa menghiasi atap
gua, setempat membentuk kelurusan bersama-sama dengan lapisan
CaCO3 tipis yang membentuk bangun, seperti tirai (stalaktit melembar)
serta bentukan drapery lainnya. menutupi seluruh dinding gua. Bentuk
stalakmit yang tumbuh semakin tinggi bersatu dengan stalaktit
membentuk kolom. Kolom itupun akhirnya dilapisi oleh endapan
hasil penghabluran-­ulang kalsium karbonat, sehingga berkembang,
seperti bentukan flowstone yang berlapis-lapis dan bertingkat-tingkat.
Speleotem-speleotem tersebut diberi nama nilai spiritual yang ada,
yakni Selo Jengger Bumi, Selo Paku Buwono dan Selo Bantaran Angin
adalah gabungan bentuk stalakmit dan flowstone yang masih aktif.
Gua Tabuhan memiliki speleotem yang sebagian besar sudah
tidak aktif berkembang, stalaktit bercampur dengan rock-pendant
(sisa-sisa batugamping yang membentuk tonjolan di atap gua).
Nilai jual Gua Tabuhan terletak pada nilai keunikan dan kelangkaan
speleotem yang ada. Beberapa stalaktit di dalam Gua Tabuhan, jika
dipukul akan mengeluarkan nada instrumen gamelan tertentu yang
dipadukan dengan suara gendang yang mengiringi pesinden, di dalam
kegelapan gua tercipta alunan gamelan yang mempesona. Selain itu,
Gua Tabuhan memiliki nilai sejarah yang dipercaya oleh masyarakat
sebagai petilasan tempat bertapanya Sentot Prawirodirjo pada jaman
perang Diponegoro, tahun 1825 – 1830 yang lalu. Gua Tabuhan dari
segi kepurbakalaan memiliki nilai arkeologi yang cukup tinggi dengan
dilindunginya gua tersebut oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
berdasarkan UU No 5 tahun 1992, dimana pernah ditemukan sisa-sisa
tulang vertebrata dan peralatan batu dari hasil penggalian di dasar gua
oleh van Heekeren pada tahun 1955.

MINDAGI Vol. 1 No.1Januari 2011 27


Pendahuluan selatan Yogyakarta adalah kawasan kars Gunung Sewu,
sedangkan batugamping yang seumur, yang terdapat di
Latar Belakang
sebelah timur teluk, bukan bagian dari Gunung Sewu.
Kawasan kars, terbentuk oleh peristiwa geologi, Batugamping di Pacitan Timur ini merupakan bagian
yakni pengangkatan batugamping dari dasar laut dari fisiografi Pegunungan Selatan Jawa Timur, yang
menjadi daratan, dan dilanjutkan dengan proses menerus ke timur hingga Blambangan. Beberapa hal
karstifikasi selama jutaan tahun, yang menghasilkan yang menjadi keunikan segmen kars Pacitan Barat,
lingkungan geologi kawasan kars menjadi unik dan diantaranya:
spesifik, serta memuat kehidupan hayati yang eksotik
a. Tidak mempunyai batugamping yang umurnya
dengan segala keragaman potensinya. Karena itu,
lebih tua dari Neogen, yang secara regional
betapa penting memberikan proteksi konservasi pada
merupakan bagian dari stratigrafi batuan dasar.
pelestarian kawasan kars, mutlak dilakukan. Sebab,
ketika potensi alam itu terlanjur rusak, mustahil b. Genanglaut pada Miosen Tengah menyebabkan
itu dapat diperbaiki kembali. Terlebih lagi, potensi terbentuknya laut yang luas, yang keadaannya
kawasan kars di Indonesia ini ikut ditetapkan menjadi memungkinkan bagi pertumbuhan batugamping
cagar alam warisan dunia (world heritage site). Neogen secara maksimum.
Menurut peneliti Pusat Penelitian dan c. Proses karstifikasi yang dimulai pada permulaan
Pengembangan Geologi (P3G) Badan Penelitian dan Zaman Kuarter, ketika batugamping sudah
Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral terangkat di permukaan laut, dapat berlangsung
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, optimal, karena semua persyaratan karstifikasi
bentang alam kawasan kars bukan hanya menawarkan terpenuhi.
keindahan, keunikan, dan kelangkaan yang mempunyai Penelitian mengenai pesona keunikan gua-gua
nilai jual tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan untuk di Pacitan Barat dimaksudkan untuk mengetahui
sektor pariwisata. Kawasan kars Sukabumi Selatan berbagai potensi, inventarisasi berbagai gejala ekso-
(Jawa Barat, Gombong Selatan (Jawa Tengah), Gunung dan endokars yang terdapat pada gua-gua tersebut,
Sewu (Yogyakarta dan Jawa Timur), Pacitan-Trenggalek khususnya Gua Gong dan Gua Tabuhan.
(Jawa Timur), Malang Selatan, dan Blambangan (Jawa
Timur), semuanya menyuguhkan beragam jenis dan Lokasi Penelitian dan Kesampaian Daerah
dimensi unsur-unsur bentang alam, serta fenomena kars
lainnya yang menawan. Bentangalam pegunungan di Daerah penelitian terletak di Kabupaten Pacitan
Pacitan bagian utara merupakan bagian dari rangkaian yang luasnya 1.342,42 km2 dibatasi oleh garis koordinat
Pematang Kambengan yang di daerah Jawa Tengah 7,55° - 8,17° LS dan 110,55° - 111,25° BT (Gambar
membujur berarah barat-timur, sementara bukit-bukit 1). Sebelah baratnya berbatasan dengan Kabupaten
batugamping di bagian selatan adalah merupakan Wonogiri (Jawa Tengah), sebelah utaranya dengan
ujung timur dari kawasan kars yang sangat luas, kars Kabupaten Ponorogo, di timur dengan Kabupaten
Gunung Sewu. Kawasan kars Gunung Sewu ini, Trenggalek, dan bagian selatannya dibatasi oleh
yang dimulai dari Parangtritis (Kabupaten Bantul) Samudera Hindia.
di selatan Yogyakarta, memanjang ke timur melalui Kabupaten Pacitan mudah dicapai dari arah
Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Wonogiri mana saja, baik dari Yogyakarta, Jawa Tengah,
hingga Teluk Pacitan. maupun dari Jawa Timur sendiri, Pacitan terhubung
Teluk Pacitan yang berbangun setengah lingkaran dengan Yogyakarta, melalui jalan lintas selatan yang
merupakan batas antara daerah Pacitan Barat dan memotong kawasan kars Gunung Sewu melalui
Pacitan Timur (Samodra, 2005). Kedua kawasan itu Wonosari, Pracimantoro, dan Donorojo. Di Donorojo,
memiliki sejarah pembentukan yang agak berbeda. jalan tersebut bercabang ke arah Wonogiri dan
Teluk itu menjadi batas penyebaran batugamping Surakarta. Dari Donorojo, jalan propinsi ke Pacitan
Neogen yang menempati stratigrafi bagian atas wilayah melalui Punung dan Pringkuku, jalan propinsi Pacitan-
Pegunungan Selatan di Jawa Timur. Di sebelah barat Ponorogo yang membelah bagian tengah wilayah
teluk, sebaran batugamping yang memanjang ke barat ke arah utara melalui Arjosari dan Tegalombo. Di
di sepanjang pantai selatan hingga Pantai Parangtritis di bagian utara ini, jalan yang melalui Nawangan dan

28 Ragam Keunikan Gua Gong dan Gua Tabuhan di Pacitan Barat, Jawa Timur
Gambar 1. Lokasi wilayah Kabupaten
Pacitan di Propinsi Jawa Timur yang mudah
dicapai, baik dari Yogyakarta, Jawa Tengah;
maupun Jawa Timur sendiri (Samodra,
2005)

Gambar 2. Lokasi Gua yang terdapat di di


daerah Pacitan Barat (Samodra, 2005)

Bandar menghubungkan Pacitan dengan wilayah Geomorfologi Kawasan Kars Pacitan Barat
Kabupaten Ponorogo. Kawasan kars yang berkembang di Pacitan Barat
merupakan rangkaian bentang alam yang luas, yang
Keterkaitan Kondisi Geologi berkembang pada batugamping berumur Neogen.
terhadap Pembentukan Kars di Kars di segmen daerah Pacitan Barat merupakan
Pacitan Barat ujung paling timur dari kars Gunung Sewu. Secara
Kondisi geologi yang mengontrol pembentukan geologi, batugamping Neogen yang menyusunnya
batugamping di Pacitan bagian Barat mencakup aspek mengisi daerah rendahan tektonik. Secara morfologi,
geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi. bentang alam kars yang berkembang pada batugamping

Hidartan dan Arista Muhartanto 29


klastik tufaan dan batugamping terumbu hampir terumbu adalah Formasi Wonosari (Formasi Punung,
sama, tetapi meskipun demikian, karstifikasi yang Sartono 1964).
dialami oleh batugamping klastik tufaan Formasi Formasi Oyo dan Wonosari berhubungan secara
Oyo lebih banyak membentuk gejala minor-kars, menjemari, meskipun Formasi Oyo mempunyai
seperti lapies atau karren. Hal itu dipengaruhi oleh sifat letak stratigrafi nisbi lebih rendah dibanding
batugampingnya yang nisbi lebih lunak, sedangkan Formasi Wonosari. Kedua satuan batugamping
batugamping fasies terumbu Formasi Wonosari yang yang menampakkan gejala kars ini dialasi langsung
sifatnya lebih kompak dan keras akan menghasilkan oleh himpunan batuan berumur Miosen Tengah dan
bentangalam kars yang lebih nyata (major-karst features). batuan berumur Oligo-Miosen.
Bentang alam kars-luar batugamping terumbu dicirikan Batugamping yang tersingkap luas di sebelah barat
dan dikuasai oleh bukit-bukit tunggal dan rangkaian Teluk Pacitan, antara lain:
pematang pebukitan. Kelurusan pematang bukit a. Lebih banyak berkembang sebagai fasies terumbu,
batugamping ke arah tertentu ditafsirkan berkaitan daripada fasies klastik.
dengan struktur geologi (sesar).
b. Litoginya bersifat pejal, kompak, keras, setempat
Sebagai suatu bentang alam, morfologi kars terbagi
terkekarkan dan tersesarkan.
menjadi kars-luar (exokarst) dan kars­-dalam (endokars).
Kars-luar, yang kurang begitu menarik perhatian orang, c. Runtunannya cukup tebal (lebih dari 300 m), karena
antara lain berupa bentukan bukit dan lembah, telaga, segmen Pacitan Barat merupakan daerah rendahan,
sungai kars ­permukaan, mata air dan hilangnya sungai yang letak batuan dasarnya dalam.
permukaan karena masuk ke dalam lapisan batuan, Formasi Oyo; satuan stratigrafi ini terdiri dari
sedangkan gejala kars-dalam, yang lebih banyak batupasir gampingan,batupasir tufaan, batulanau
dikenal orang, adalah gua dan sungai bawah tanah di gampingan, batugamping tufan dan napal pasiran tufaan
dalamnya. (Foto 1 dan 2). Satuan ini menindih Formasi Nampol
Gejala karstifikasi yang berkaitan dengan di bawahnya secara genanglaut, sedang bagian atasnya
pelarutan oleh air menyebabkan sungai memiliki menjemari dengan satuan batugamping terumbu.
peran penting di dalam mengukir bentang alam kars. Batugamping itu tersingkap luas di Pacitan Barat,
Berdasarkan keadaannya, sungai di Pacitan Barat antara Pringkuku dan Donorojo. Umumnya membentuk
dibedakan menjadi: morfologi perbukitan rendah, dengan bukit-bukitnya
a. Sungai permukaan berpola meranting yang arah yang berpuncak melengkung. Satuan yang tersingkap
alirannya dipengaruhi oleh kedudukan lapisan di pantai selatan Pacitan Barat membentuk tebing
atau kekar, sebelum akhirnya masuk ke dalam tanah terjal setinggi 30 - 50 m.
melalui sistem rucutan yang ada. Sungai jenis Formasi Wonosari; terdiri dari batugamping
ini lebih banyak berkembang pada batugamping terumbu, batugamping berlapis dan batugamping
fasies klastik (misal: di daerah Donorojo, Punung konglomeratan, bersisipan batugamping pasiran dan
dan Pringkuku). napal (Foto 3 dan 4). Sisipan batugamping tufaan
b. Sungai bawah tanah yang mengalir melalui berlapis yang berkembang di bagian bawah Formasi
sistem lorong gua atau saluran bawah tanah yang Wonosari, yang semakin ke atas dikuasai sepenuhnya
rumit, dan lebih banyak berkembang pada oleh fasies terumbu, menunjukkan jika ke arah lateral
batugamping fasies terumbu (misal di daerah satuan ini menjemari dengan Formasi Oyo. Meskipun
Pringkuku - Donorojo bagian selatan). posisi stratigrafi Formasi Oyo nisbi lebih rendah
dibanding Formasi Wonosari, hubungan menjemari
di antara kedua satuan batuan dapat diamati di banyak
Stratigrafi Kawasan Kars Pacitan Barat
tempat. Secara litologi, Formasi Wonosari menyusun
Berdasarkan ciri fisik dan posisi stratigrafinya, sebagian besar segmen kars di Pacitan Barat.
batugamping yang tersingkap di Pacitan Barat
dibedakan menjadi dua fasies, yaitu fasies klastik dan Struktur Geologi Kawasan Kars Pacitan Barat
fasies terumbu. Fasies klastik yang bersifat tufaan
Struktur kekar dan sesar di daerah batugamping
dikenal sebagai Formasi Oyo, sedangkan yang berfasies
agak sulit dilacak, karena sifat batuannya yang mudah
larut. Kekar-kekar terbuka akan segera diisi oleh

30 Ragam Keunikan Gua Gong dan Gua Tabuhan di Pacitan Barat, Jawa Timur
endapan-ulang kalsium karbonat, sehingga yang diperkirakan menerus hingga Samudera Hindia, sesar
ditemukan di lapangan adalah tonjolan-tonjolan kecil ini juga mengendalikan arah aliran S.Cokel yang keluar
yang lurus memanjang ke arah tertentu dan membentuk melalui sistem sifon gua
pola.
Di Pacitan Barat setidaknya dapat diamati Genesa Kars di Pacitan Barat
adanya beberapa sistem sesar besar yang masing- Kars di Pacitan Barat memiliki arti geologi penting,
masing berarah timurlaut-baratdaya, baratlaut-tenggara di mana fenomena ekso- dan endokars tidak dapat lepas
dan utara-selatan, yakni : (1) Sesar Punung merupakan dari tataan geologinya (litologi, stratigrafi, struktur).
sistem sesar berarah baratlaut-tenggara yang berjenis Kegiatan identifikasi gejala geologi diproyeksikan
geser menganan diikuti menurun (oblique fault); (2) tidak hanya terbatas pada batugamping saja, tetapi juga
Sesar Watulawang merupakan sesar turun berarah batuan-dasar dan batuan-penutup yang masing-masing
hampir utara-selatan yang ditunjukkan oleh gawir mengalasi dan menutupi batugamping.
terjal setinggi 75 - 100 m yang membatasi sebaran Berkaitan dengan aspek litologi, batugamping
batugamping Neogen di Pacitan Barat dengan penyusun kars di segmen daerah Pacitan Barat dapat
Dataran Pacitan yang luas di sebelah timurnya, dan berlainan. Perbedaan itu terletak pada sifat fisik batuan
(3) Sesar Gondang yang berarah timurlaut-baratdaya (ketahanannya terhadap pelapukan, pengikisan dap

Foto 1. Singkapan batugamping pasiran berlapis


Formasi Oyo yang terkekarkan (Samodra, 2005)

Foto 2. Perselingan batugamping pasiran dan


batupasir tufaan gampingan yang menyusun
Formasi Oyo (Samodra, 2005)

Hidartan dan Arista Muhartanto 31


pelarutan, kandungan fosil, banyak sedikitnya kekar Ketika terumbu masih berada di bawah
atau retakan, dan susunan kimiawinya (batugamping permukaan laut, agitasi ombak di permukaan akan
atau batugamping dolomitan). menghancurkan sebagian lereng terumbu, yang
Meskipun bukit-bukit batugamping di Pacitan kemudian diendapkan di bagian depan (fore reef) dan
Barat dikuasai oleh bangun kerucut, bangun bukitnya belakang (back reef) pada suatu kompleks terumbu,
tidak seragam. Bukit berbangun kerucut ideal, akhirnya akan terbentuk seri batugamping klastik
umumnya disusun oleh batugamping terumbu dengan yang mempunyai ukuran butiran beragam, dari halus
struktur biohermanya yang khas. Batugamping jenis ini, (batulumpur, napal) hingga kasar dan sangat kasar
yang menguasai kars Pacitan Barat bagian selatan, (grainstone, kalsirudit).
banyak mengandung koral, ganggang dan organisme Di kars Pacitan Barat bagian utara, sering
penyusun terumbu lainnya, sedangkan di bagian dijumpai inti terumbu pejal yang singkapannya
utara, dengan bukit-bukit tunggal yang sebarannya dikelilingi oleh batugamping berlapis. Proses
membatasi dataran dolina, lebih banyak disusun denudasi sepanjang ruang dan waktu geologi yang
oleh batugamping berlapis. Batuan itu bersifat tufan tersedia akan memindahkan lapisan klastik yang tidak
dan lunak, sehingga lebih mudah larut dibanding tahan terhadap pelapukan dan erosi menjauhi lereng.
batugamping terumbu yang keras dan pejal. Akhirnya yang tersisa adalah inti bioherma, yang

Foto 3. Singkapan batugamping terumbu Formasi


Wonosari yang bersifat pejal dan banyak
mengandung koral (Samodra, 2005)

Foto 4. Potret dekat batugamping Formasi


Wonosari yang mengalami proses karstifkasi.
(Samodra, 2005)

32 Ragam Keunikan Gua Gong dan Gua Tabuhan di Pacitan Barat, Jawa Timur
memberi kenampakan lebih menonjol daripada daerah Deskripsi Gua dan Potensi
sekitarnya. Bioherma seperti itu bentuknya tidak umberdaya Mineral di Pacitan Barat
teratur (contoh di daerah Dadapan-Widoro bagian
utara: Sartono, 1960; Samodra, 2005). Gua Gong
Sebagaimana diketahui, proses karstifikasi Gua Gong di Desa Bomo Kec. Donorojo merupakan
dipengaruhi oleh banyak faktor. Di antaranya adalah sebuah “kubah raksasa” berarah barat-timur yang
tebal lapisan batugamping, banyak sedikitnya rongga, mempunyai panjang sekitar 100 m, lebar 15 - 40 m dan
celah dan kekar (retakan) pada batuan, jumlah tinggi 20 - 30 m. Dari mulut gua, kubah dihubungkan
curah hujan, letak kawasan yang nisbi lebih tinggi oleh lorong rendah sepanjang 30 m yang dipenuhi
dibanding daerah sekitarnya, ada tidaknya sungai oleh stalaktit pada bagian atap dan bawah gua.
permukaan yang berfungsi sebagai muka-airtanah Gua Gong dikenal memiliki keindahan
setempat, serta kerapatan vegetasi penutup. speleotem, yang jenis dan ukurannya beragam.
Faktor lain yang tidak boleh dilupakan adalah Aneka jenis stalaktit berbangun kerucut dan pipa
waktu yang tersedia bagi proses pelarutan. Proses menghiasi atap gua (Foto 5), setempat membentuk
pengangkatan yang terjadi pada permulaan Zaman kelurusan bersama-sama dengan lapisan CaCO3
Kuarter (Plistosen) menyebabkan seluruh batugamping tipis yang membentuk bangun, seperti tirai (stalaktit
di Pacitan Barat yang berumur Miosen Tengah- melembar) serta bentukan drapery lainnya (Foto 6).
Pliosen terangkat ke permukaan. Setelah berada di Heliktit-heliktit kecil yang menghiasi permukaan
atas permukaan laut, batugamping akan mengalami stalaktit dijumpai di beberapa tempat. Flowstone
karstifikasi, membentuk gejala minor-karst yang dikenal dengan gurdam-­gurdam kecil di dasarnya berkembang
dengan lapies (karren). hampir menutupi seluruh dinding gua.
Lubang-lubang pelarutan dapat berbangun Aneka bentuk stalakmit setinggi 1 - 5 m tersebar
membundar, atau memanjang searah dengan aliran air, di dasar gua, sebagian yang tumbuh semakin tinggi
sebelum akhirnya Baling menyatu membentuk sistem bersatu dengan stalaktit membentuk kolom.
rongga yang lebih besar. Kolom itupun akhirnya dilapisi oleh endapan hasil

Foto 5. Aneka jenis stalaktit dan stalakmit berbangun kerucut dan pipa
menghiasi lantai dan atap Gua Gong dan nampak pula keduanya yang telah
dan hampir menyatu membentuk pilar

Hidartan dan Arista Muhartanto 33


Foto 6. Aneka jenis stalaktit berbentuk kerucut dan berbangun tirai
(stalaktit melembar)

penghabluran-­ulang kalsium karbonat, sehingga berarah baratlaut­-tenggara, yang setempat


berkembang, seperti bentukan flowstone yang berlapis- ditunjukkan oleh deretan stalaktit. Pengangkatan
lapis dan bertingkat-tingkat (Foto 7 dan 8). itu juga mengakibatkan tersingkapnya mulut gua,
Air perkolasi dan air rembesan dari atap gua sementara ruangan kubah yang ada masih tetap berada
yang terkumpul di beberapa bagian di dasar gua di kedalaman sekitar 25 m di bawah permukaan tanah.
membentuk genangan-genangan kecil. Beberapa mata Rembasan air yang jumlahnya tidak sama, terutama
air yang dikenal sebagai sendang membentuk telaga- pada musim penghujan, mempengaruhi pembentukan
telaga permanen, yang tidak pernah kering sepanjang flowstone yang bangunnya bertingkat-tingkat.
tahun. Bagi penduduk setempat, kehadiran telaga- Pembentukan kolom yang tingginya mencapai belasan
telaga permanen tersebut menjadi penting, karena meter menunjukkan tingginya pengendapan CaCO3
merupakan sumber air yang dapat dimanfaatkan jenuh yang terlarut dalam air perkolasi. Flowstone aktif
selama permulaan musim kemarau. yang menutupi kolom mendasari anggapan banyaknya
Speleotem-speleotem tersebut diberi nama sesuai air, yang kandungan kalsium karbonatnya menghablur
imajinasi dan nilai spiritual yang ada. Selo Jengger secara cepat.
Bumi, Selo Paku Buwono dan Selo Bantaran Angin adalah
gabungan bentuk stalakmit dan flowstone yang masih Gua Tabuhan
aktif; sebuah celah di antara stalakmit dan flowstone Gua Tabuhan di Desa Wareng Kec. Donorojo yang
diberi nama Selo Gerbang; Selo Citro Cipto Agung, merupakan gua fosil mempunyai panjang 105 m, berarah
nama untuk sebuah kolom besar yang pinggirannya barat - timur. Mulut Gua Tabuhan yang melengkung
dibatasi oleh kolom-kolom kecil memanjang yang lebar dan tinggi, dan stalaktit di atap gua bercampur
indah (Foto 9). Selo Adi Citro Buwono merupakan dengan rock-pendant (Foto 10). Di dalamnya terdapat
kumpulan flowstone dengan gurdam­-gurdam kecil dua ruangan besar : ruangan pertama mempunyai tinggi
di bawahnya, atau Selo Susuh Angin untuk memberi antara 3-15 m, berukuran 4 x 15 m, sedangkan ruang
nama sekumpulan stalakmit besar yang terdapat di kedua yang ukurannya hampir sama mempunyai
antara beberapa kolom. tinggi hanya 1,5-3 m. Ruang kedua berakhir pada
Pengangkatan pada permulaan Zaman Kuarter sebuah lubang kecil yang dasarnya tertutup tanah.
selain menyebabkan lorong Gua Gong menjadi Speleotem yang sebagian besar sudah tidak aktif
kering juga menyebabkan terjadinya peretakan berkembang di sepanjang lorong gua. Stalaktit di

34 Ragam Keunikan Gua Gong dan Gua Tabuhan di Pacitan Barat, Jawa Timur
mulut Gua Tabuhan bercampur dengan rock-pendant, yang berkembang di sebagian dinding utara dan
yaitu sisa-sisa batugamping yang membentuk tonjolan selatan di ruang pertama disebabkan oleh rembesan
di atap gua. Deretan stalaktit yang berarah timurlaut- air yang ke luar dari retakan batuan (Foto 11).
baratdaya dan baratlaut-tenggara berhubungan dengan Gejala endokars ini merupakan tempat masuknya
retakan di atap gua. sungai permukaan yang mengalir pada sebuah lembah
Dasar gua ditutupi oleh sedimen yang cukup tebal, kecil di bawah tempat peturasan Gua Tabuhan.
sehingga jumlah stalakmitnya sangat kurang. Tetesan Sungai bawah tanah ini tidak lama kemudian ke luar
air yang ke luar dari ujung-­ujung stalaktit setempat lagi melalui mulut Gua Sungai Banjar.
membentuk proto­stalakmit di lantai gua. Flowstone

Foto 7. Bentuk stalakmit setinggi 5 – 6 m terdapat di dasar gua,


sebagian yang tumbuh semakin tinggi bersatu dengan stalaktit
membentuk kolom yang dilapisi endapan hasil penghabluran-¬ulang
kalsium karbonat, sehingga berkembang, seperti bentukan flowstone
yang berlapis-lapis dan bertingkat-tingkat

Foto 8. Stalakmit setinggi 5 - 8 m tersebar di dasar


gua berbentuk seperti flowstone yang berlapis-lapis dan
bertingkat-tingkat

Hidartan dan Arista Muhartanto 35


Foto 9. Speleotem-speleotem yang memiliki
nilai spiritual, yakni Selo Citro Cipto Agung yang
merupakan nama untuk sebuah kolom besar yang
pinggirannya dibatasi oleh kolom-kolom kecil
memanjang yang indah

Foto 10. Mulut Gua Tabuhan yang melengkung lebar


dan tinggi

Nilai jual Gua Gong terletak pada keindahan Prawirodirjo pada jaman perang Diponegoro, tahun
speleotem di dalamnya; sementara Gua Tabuhan menjual 1825 – 1830 yang lalu (Foto 13). Hingga sekarang gua
nilai keunikan dan kelangkaan speleotem yang ada. yang telah dikembangkan menjadi obyek wisata itu
Beberapa stalaktit di dalam Gua Tabuhan jika dipukul masih sering dikunjungi orang-orang tertentu.
akan mengeluarkan nada instrumen gamelan tertentu Sebelum menjadi gua fosil, Gua Tabuhan
(Foto 12). Dipadukan dengan suara gendang yang merupakan sebuah lorong sungai bawah tanah yang
mengiringi pesinden, di dalam kegelapan gua tercipta alirannya mengikuti sistem retakan batugamping
alunan gamelan yang mempesona. yang berarah barat-timur. Pengangkatan pada
Beberapa gejala ekso- dan endokars di daerah permulaan Kuarter menyebabkan lorong menjadi
Pacitan Barat sudah lama dikenal sebagai tempat- kering, karena ditinggalkan oleh sungai bawah
tempat yang memiliki nilai spiritual yang berkaitan tanah yang bergerak mencari muka airtanah baru yang
dengan kepercayaan tertentu. Nilai itu masih letaknya lebih dalam. Di dalam lorong Gua Tabuhan
dilestarikan hingga sekarang. Sebuah rongga kenampakan diperlihatkan oleh adanya antara batas
berukuran 1 x 1 m dan tinggi kurang dari 1 m di ujung ketidakselarasan batuan yang berumur tua (Tersier)
ruangan kedua di dalam Gua Tabuhan dipercaya oleh dan muda (Kuarter) (Foto 14).
masyarakat sebagai petilasan tempat bertapanya Sentot

36 Ragam Keunikan Gua Gong dan Gua Tabuhan di Pacitan Barat, Jawa Timur
Beberapa gua di kars Pacitan Barat memiliki nilai Potensi Gua-gua di Pacitan Barat
arkeologi, karena di dalamnya ditemukan berbagai jenis Sumberdaya Mineral
artefak batu hasil kebudayaan manusia Neolitikum.
Di Gua Tabuhan, penggalian tanah di dasar gua oleh van Batugamping merupakan salah satu
Heekeren pada tahun 1955 menemukan sisa-sisa tulang jenis sumberdaya mineral yang kegunaan
vertebrata dan peralatan batu, yang membuktikan dan manfaatnya di bidang industri sangat
jika gua pernah dihuni oleh manusia prasejarah. Oleh banyak. Mutu dan jumlah cadangannya masih
karenanya keberadaan Gua Tabuhan ditinjau dari membutuhkan kajian-lanjut. Batugamping dapat
segi kepurbakalaan, memiliki nilai arkeologi yang dimanfaatkan mulai dari kegunaannya sebagai
cukup tinggi terbukti dengan dilindunginya gua tersebut bahan bangunan dan fondasi hingga industri
oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional berdasarkan peleburan baja.
UU No 5 tahun 1992 .

Foto 11. Flowstone yang berkembang di


sebagian dinding utara dan selatan di ruang
pertama

Foto 12. Stalaktit di dalam Gua Tabuhan jika


dipukul akan mengeluarkan nada instrumen
gamelan tertentu

Hidartan dan Arista Muhartanto 37


Foto 13. Salah satu rongga di dalam Gua
Tabuhan yang dipercaya sebagai bekas
pertapaan Sentot Prawirodirjo

Foto 14. Batas ketidakselarasan batuan yang


berumur tua (Tersier) dan muda (Kuarter)
yang dijumpai di dalam lorong Gua Tabuhan

Di kars Pacitan Barat, misal di sekitar industri semen belum memanfaatkan cadangan
Punung, Donorojo, Jlubang dan di beberapa tersebut, barangkali memang secara kimiawi
tempat lainnya, penduduk setempat menggali batugampingnya tidak memenuhi persyaratan
batugamping untuk diolah menjadi kapur tohor. yang dibutuhkan.
Kalsit untuk keperluan industri kaca pernah Endapan fosfat guano hasil reaksi antara
ditambang secara kecil-kecilan, tetapi sekarang kotoran kelelawar, seriti dan walet dengan
sudah ditinggalkan. Cadangan kalsit yang batugamping yang terdapat di dalam gua memang
berupa lensa-lensa kecil di dalam batugamping mempunyai nilai ekonomi. Kandungan P2O5-nya
jumlahnya memang tidak banyak, sedangkan memungkinkan endapan tersebut dimanfaatkan
cadangan total batugamping di kars Pacitan untuk pupuk. Fosfat guano yang mengisi rongga
Barat diperkirakan lebih dari ratusan juta ton, dan celah batugamping umumnya mempunyai
mengingat singkapannya yang cukup luas dan kandungan P2O5 lebih tinggi, karena endapan
tebal rata-ratanya yang lebih dari 100 m. Jika tersebut sudah mengalami pengayaan, karena

38 Ragam Keunikan Gua Gong dan Gua Tabuhan di Pacitan Barat, Jawa Timur
proses pengendapan-ulang (redeposition). pantai kars (Pantai Klayar, Pantai Watukarung
Dibanding batugamping fosfatan, yang merupakan dan Pantai Srau) sektor pariwisata merupakan
hasil fosfatisasi,ketika batugamping masih berada pemasok terbesar ketiga, sekitar 12% dari PAD
di bawah permukaan laut, kandungan P2O5 pada keseluruhan Kabupaten Pacitan (Samodra, 2005).
fosfat guano memang kecil, yaitu kurang dari 4%. Pada tahun 2000 saja, pendapatan dari
Gua Tabuhan dan Gua Gong saja mencapai
Parawisata Rp.346.605.750 atau melebihi target 1 tahun
Kegiatan dan usaha pariwisata di kawasan PAD dan 1 tahun PAK sebesar 107,3% (Dinas
kars Pacitan Barat memanfaatkan unsur estetika Parawisata Kab. Pacitan, 2001), tetapi tanpa
(keindahan), keunikan dan kelangkaan yang disadari daya dukung gua menjadi terlampaui,
dimiliki oleh gejala ekso- dan endokars yang ada. sehingga keindahan lingkungan gua mengalami
Sebagai suatu bentangalam, proses pembentukan penurunan secara cepat. Dalam waktu yang tidak
kars tidak dapat lepas dari keadaan geologi lama lagi gua akan kehilangan nilai ekonominya.
batugamping sepanjang ruang dan waktu yang
tersedia. Di masa mendatang kemasan itu dapat
dikembangkan, yaitu dalam rangka penganeka- Kesimpulan DAN SARAN
ragaman jenis objek wisata.
a. Batugamping di Pacitan Barat merupakan
Sentuhan aspek keindahan, keunikan dan bagian dari fisiografi Peg. Selatan Jawa Timur,
kelangkaan obyek wisata alam kars di Pacitan yang menerus ke timur hingga Blambangan
Barat saat ini terbatas pada apa yang dimiliki memiliki karakteristik, yakni : (1) merupakan
oleh gua dan pantai. Dari puluhan gejala ekso­- bongkah batuan-dasar yang menurun, sehingga
dan endokars yang terinventarisir, hanya beberapa membentuk suatu rendahan (low), batas sebelah
saja yang layak dikembangkan. Jika pada saat timur dari rendahan itu adalah sesar berarah
ini Gua Gong dan Gua Tabuhan saja mampu timurlaut-baratdaya (Sesar Grendulu) dan umur
memberikan pemasukan yang berarti bagi batuan dasar adalah Oligo-Miosen; (2) tidak
pemerintah kabupaten. Pendapatan dari dua gua mempunyai batugamping yang umurnya lebih tua
itu selalu meningkat dari tahun ke tahun. Jika saja dari Neogen; (3) tonjolan batuan dasar, berupa
gua-gua berpotensi lainnya juga dikembangkan, terobosan andesit hanya tersingkap setempat, yaitu
maka pendapatan dari sektor pariwisata sudah di pinggiran barat Teluk Pacitan; (4) genanglaut
barang tentu menjadi lebih besar lagi. pada Miosen Tengah menyebabkan terbentuknya
Nilai jual Gua Gong terletak pada laut yang luas, yang keadaannya memungkinkan
keindahan speleotem di dalamnya; sementara Gua bagi pertumbuhan batugamping Neogen secara
Tabuhan menjual nilai keunikan dan kelangkaan maksimum; dan (5) proses karstifikasi yang
speleotem yang ada. Beberapa stalaktit di dalam dimulai pada permulaan Zaman Kuarter, ketika
Gua Tabuhan, jika dipukul akan mengeluarkan batugamping sudah terangkat di permukaan laut,
nada instrumen gamelan tertentu. Dipadukan dapat berlangsung optimal.
dengan suara gendang yang mengiringi pesinden, b. Perian singkat keadaan fisik dan biofisik gejala
di dalam kegelapan gua tercipta alunan gamelan endokars pada gua yang dikunjungi, yakni :
yang mempesona.
• Gua Tabuhan : sistem perguaan-mendatar
Gua Tabuhan yang pada tahun 2000 dikunjungi tempat masuknya sungai musiman di dekat
oleh 66.082 wisatawan umum, empat kali lipat objek wisata gua, sungai bawah tanah ke luar
dari jumlah pengunjung pada tahun 1997, atau Gua lagi melalui mulut Gua Sungai Banjar
Gong yang didatangi oleh 64.220 pengunjung
• Gua Gong : sistem perguaan-mendatar fosil
pada tahun 1997 dan meningkat menjadi
bermulut lebar, panjang 105 m, hiasan
200.016 wisatawan pada tahun 2000 merupakan
speleotem dan rock-pendant, tetesan air
aset wisata yang menggiurkan dari sisi pendapatan
perkolasi, tempat penggalian arkeologi,
daerah. Digabungkan dengan objek wisata

Hidartan dan Arista Muhartanto 39


memiliki nilai sosio-budaya ________, 1999, Kumpulan Makalah, Lokakarya
Berkaitan dengan kegiatan di masa mendatang, Kawasan Kars “Pengelolaan Sumberdaya Kars
disarankan sebagai hal-hal sebagai berikut : Berwawasan Lingkungan”, Kantor Menteri
a. Kegiatan dan usaha industri parawisata di Negara Lingkungan Hidup & Himpunan Kegiatan
kawasan kars memanfaatkan unsur estetika, Speleologi Indonesia.
keunikan dan kelangkaan yang dimiliki oleh IUCN, 1997, International Union Conservation of
gejala ekso- dan endokars yang ada. Sebagai suatu Nature – The World Conservation Union
bentang alam, proses pembentukan kars tidak Kantor MENLH & Yayasan Jatidiri, 1998, Kajian
lepas dari perkembangan geologi batugamping Pola Pengelolaan Wilayah Kars untuk Pelestarian
sepanjang ruang dan waktu yang tersedia. Lingkungan & Pengembangan Regional dan
Di masa mendatang, model kemasan itulah Daerah.
yang diproyeksikan dapat menjadi acuan bagi
penciptaan dan penganekagaman obyek wisata
berbasis pada alam (geowisata). Obyek wisata
alam yang dipadukan dengan lingkungan hidup di
sekitarnya (ekowisata) juga mempunyai prospek
yang baik di masa mendatang. Obyek wisata alam
kars andalan di Pacitan Barat masih terbatas pada
gua dan pantai.
b. Melakukan inventarisasi dan identifikasi lanjutan
yang diproyeksikan terhadap klasifikasi kawasan
kars dan keanekaragaman hayati (flora dan fauna)
lanjutan.

Pustaka

Samodra H., 2000. Pemberdayaan Penduduk Setempat


di Dalam Rencana Pengelolaan Sumberdaya Alam
Hayati dan Nirhayati Kawasan Karst. Makalah
Seminar: Perlindungan Penghuni Kawasan
Karst Masa Lalu, Masa Kini dan Masa Datang
Terhadap Penurunan Fungsi Lingkungan; PSL-
LEMLIT UNS dan KMNLH, di Surakarta 11
November 2000.
Samodra H., 2005. Potensi Sumberdaya Alam
Kabupaten Pacitan Bagian Barat, Jawa Timur;
P3G Badan Geologi Dept. ESDM, 76 hal.
KMN KLH, 1990. Kualitas Lingkungan di Indonesia
1990. Jakarta: KMNKLH.
Sutikno dan Eko Haryono, 2000. Perlindungan Fungsi
Kawasan Karst. Makalah Seminar: Perlindungan
Penghuni Kawasan Karst Masa Lalu, Masa Kini
dan Masa Datang Terhadap Penurunan Fungsi
Kualitas Lingkungan, oleh : PSL-LEMLIT UNS
dan KMNLH, di Surakarta II November 2000.
________, 1996, Kumpulan Makalah Simposium
Nasional II Lingkungan Kars, Jakarta.

40 Ragam Keunikan Gua Gong dan Gua Tabuhan di Pacitan Barat, Jawa Timur
Mud and casing redesign of Dosen Tetap, Prodi T. Geologi

Banjarpanji-1 well Fakultas Teknologi Kebumian & Energi,


Usakti
(The case of mud extrusion Gedung D, Lt. 2, Jl. Kyai Tapa No.1,

at Porong-sidoarjo oil field, Grogol, Jakarta 11440

East Java, Indonesia)


Untung Sumotarto

Abctract
Mud extrusion has happened while drilling Banjarpanji-1
well causing huge mud flooding on the surface that has drowned
residential and industrial areas. Over-pressured, reactive and
swelling shales were the cause of pipe-stuck and mud blow-out.
Although potential problems had been identified prior to the
drilling, it was continued open-holy from the 3580 ft. Analysis
showed that casing was not set between 3580 until total depth of
9297 ft, where over-pressured zones and hazardous shales were
clearly spotted at 3000 – 6500 ft depth. Redesign of mud weight
and casing diameter suggests and recommends the well should
have been drilled using 10.2, 13.1, 15.0, 15.4, and 14.7 ppg mud
and 20, 16, 13-3/8, 11-3/4, and 10-5/8 inches casing diameter
for the depth of 0-2000, 2000-3500, 3500-6500, 6500-8500, and
8500-total depth ft respectively. This recommendation could be
used for future wells drilled in the area.
Keywords:
mud extrusion, over-pressured zones, swelling shales, mud weight,
casing diameter

MINDAGI Vol. 1 No.1Januari 2011 41


Introduction and kick from Carbonate, a target that was set for the
Banjarpanji-1 well. The mud also contains Chloride
On the 29th of May 2006, while the Banjarpanji-1
amounting of 14000 ppm. Hydrocarbon gas bubble
exploration well was being drilled, mud extrusion from
exploding with the mud burst was mainly composed
the depth was all of sudden burst through a fissure
of CH4 with other additional components such as
of 150 meters south-west of the well-center. The well
CO2 and N2. Mud temperature at surface steam was
was drilled to look for hydrocarbon accumulation in a
measured at 2120 F (1000 C), mixing with near surface
formation of Porong-Sidoarjo oil field on North East
water is assumed 1).
Java Basin. The burst could be flowing through the
Judging from the above facts, hypothesis to what
well-hole if it was not previously closed and BOP-ed.
really happened were surfaced. Some experts had
Few days later two other mud extrusion centers were
in opinion that this problem was an “underground
formed 150 m and 500 m to the north-east direction
blow-out” 2). This was based on the technical and
of the well, although they only survived for less than
engineering facts and happenings prior to the accident.
two weeks. Until October 2006 the problem, however,
Mistakes and errors during the plan and execution of
has developed. The ground surface around the center
the drilling into the over-pressured zones had caused
has experienced subsidence and the mud flow center
the blow-out, purely petroleum engineering problem.
has become a crater of at least 30-m wide. The mud
Others said that this was an indication that a mud
extrusion has not been able to be terminated, throwing
volcano was in the making 3). This opinion was based
from approximately 50,000 m3 mixed of mud and water
on the characters and existence of such phenomena
at the beginning of the event until 126,000 to 150,000
around the area. Mud volcanoes were found nearby
m3 of those material in November 2006. The mud
the Banjarpanji-1 well such as in areas of Gunung
flood has drowned more than four villages forcing the
Anyar, Kalang Anyar, Bangkalan, Tuban (East Java),
residents to evacuate their houses, sinking factories and
Purwodadi and Sangiran (Central Java). Third opinion
other buildings. The problem has even become worse,
thinks that this was a geothermal phenomenon 4). The
where some of the houses and buildings were cracked
mud and water high temperature and existence of
caused by the subsidence. The nearby residents have
hydrothermal mineral alteration had made the opinion
been calling for national disaster since the problem has
to connect the explosion as of geothermal occurrences.
not been solved by the next four months.
It has somehow a relationship to the volcanic activities
of Arjuno and Welirang volcanoes located 25 km to
the south-west of Banjarpanji-1 well.
The Hypothetical Phenomena
Apart from what phenomena has happened in this
The mud extrusion was observed to be caused by area, it has left to the experts working in this area. This
the presence high pressure formations underneath the paper will discuss engineering and technical aspects
oil field. The seal of the well by BOP would probably of the drilling activity. Although the company has
have triggered the mud to flow out off the well hole. planned and executed the drilling, however the drilling
It was flowing through fractures and faults around was failed to control the potential problems that have
the well that were possibly reactivated by the drilling been identified early on. This paper will review the data
and/or other activities near the well that had produced and provides alternative opinion to the mud and casing
vibrations or soil instability. design of the Banjarpanji-1 well. The recommendation
Attention was so far paid to the material expelled and lesson learned here could at least be taken into
from the fissure. The main component of the mud was account for the next wells drilled in the area.
30% solid and 70% water. The solid was identified
to come from not only drilling mud pumped into the
well but also mainly and lately comes from the rock The Banjarpanji-1 Well Problems
formations. Initial burst contains H2S amounted to 35
Banjarpanji-1 well is located at Porong oil field,
ppm but disappeared or significantly reduced on the
in Sidoarjo area approximately 60-70 km south east
second day. Although the concentration was gradually
of Surabaya, East Java. The well was drilled by a
reduced for a long time but currently some amount is
company looking for gas reserve in particular at the so-
still detected. H2S was encountered when drilling into

Mud and Casing Redesign of Banjarpanji-1 Well (The Case of Mud Extrusion at
42 Porong-sidoarjo Oil Field, East Java, Indonesia)
Figure 1. Stratigraphy and Hydrocarbon Occurrences of North East Java Basin (courtesy of Lapindo Brantas, 2006)1)

called Kujung formation, a reef and carbonate build-up sandstones of the Pucangan and Kalibeng formations.
believed to contain abundant gas reserves. The well was Log and seismic data at this interval (4000-6500 ft)
initially drilled to test hydrocarbon accumulation in Early showed overpressured zones.
Miocene Banjarpanji-Porong-Banjarsari Carbonate Although they had planned the drilling as such
Build-up Structure. Figure 1 shows the stratigraphy and shown in Figure 2, for unknown reasons they run the
hydrocarbon occurrences of East Java Area 1), especially drilling activity different from the plan. Figure 4 shows
of the northern part called North-East Java Basin. chronology of the drilling activities prior to the “mud
Notice the existence of massive shale and sandstone blow-out” that occurred as the drilling reached 9297 ft
layers above the Kujung formation. These are probably 1)
. One of the very obvious fact is that there is no casing
highly plastic and under-compacted shale, controlled set at between 3580 ft to the last depth which is 9297
by rapid sedimentation and slow dewatering process ft, a depth too risky without casing whatsoever. As of
causing an overpressure condition. The company had identified in their prognosis, in this zone there was a
planned drilling as shown in Figure 2 1). Notice that potential of over-pressured zones as well as reactive
the casing was planned to be set fully from the surface and swelling shale problems. Even so, they continued
to the depth of the structure top of approximately drilling open-holy based on the judgment that previous
8500 ft. Potential problems and difficulties have been open-hole well drilled nearby called Porong-1 had no
identified and planned for the contingency. Among the real significant problems.
problems potentially exposed were shallow gas blow-
out, overpressure zones, reactive shales, loss circulation,
kicks, and H2S explosion. As the drilling progresses, rock Mud and Casing Redesign
formations and sedimentary layers encountered was
It is necessary to review available data before working
revealed in Figure 3 1). It can be seen here that there are
on the redesign of mud and casing for the Banjarpanji-
two dominant formations composing shale and volcanic
1 well. Assessment to the log and seismic data shows

Untung Sumotarto 43
Banjar Panji
PLAN & SCHEMATIC Oct 05 ANTICIPATED DRILLING PROBLEMS AND MITIGATION PLANS
FORMATION CASING HOLE/CASING ANTICIPATED
LITHOLOGY EVALUATION SCHEMATIC SIZE DRILLING FLUID MAJOR ACTIVITY PROBLEMS ALTERNATIVES AND MITIGATION PLANS
RIG & EQPT PRE-TEST TEST RUN RIG EQUIPMENT
RKB: PREPARATIONS TEST ALL SAFETY EQUIPMENT OFF-LINE AS MUCH AS PRACTICABLE
MATERIAL INVENTORY SUFFICIENT INVENTORY OF BULK MATERIAL BEFORE SPUD
PREMIX SPUD AND SUFFICIENT KILL MUD
Mudlogging Hole: 26" FW Native Gel mud DRILL TO SET LOW LEAK OFF SHOE SET 20" CASING SHOE ON COMPETENT SHALE ON 'B' SD EQUIVALENT
MW ppg 8.6 - 9.0 SURFACE CSG SITE G&G TO PICK DEPTH. CRITICAL TO ENSURE DEEP ENOUGH FOR INTEGRITY
20" csg, 106.5# Visc sec/qt 30 - 40
K-55, Big Omega YP lb/100ft2 5 - 10 SHALLOW GAS DRILL PILOT AS TEST HOLE FOR SHALLOW GAS
Wireline: Flow rate gpm >1000 READY TO DISPLACE WITH KILL MUD ON EMERGENCY
LATE PLIOCENE 610' GR-Res-MAC Drill 8-1/2" pilot to Add bentonite for visc as reqd CRITICAL PHASE
(Optl on 8-1/2" pilot) B' sd equivalent Maximize hole cleaning ANNULAR GAS FLOW LIGHT WEIGHT RIGHT ANGLE SET CEMENT SLURRY
CLAY AND GUMBO PROPER CEMENT PLACEMENT TECHNIQUE
SANDSTONES
1,200 ft
ELOT 12.5 ppg
EARLY LATE PLIOCENE 2167' Mudlogging Hole: 17 x 20" 5% KCl - PHPA mud DRILL INTO DRILL TO TRANSITION TO O/P DRILLING AND G&G WORK CLOSELY ON PORE PRESS PREDICTION
TRANSITION TO OVER PROPER DRILLING AND G&G SUPERVISION
MW ppg 9 - 10.5 PRESS
SAND SHALE SEQUENCE Wireline: 16" liner, 75# Visc sec/qt 40 - 60 DRILLING USING NEAR BIT REAMER PROPER PROCEDURES AND GOOD DRILLING PRACTICE
GUMBO GR-Res K-55, Big Omega PV cP 15 - 20
Density Drill to start of OP YP lb/100ft2 10 - 15 CRITICAL PHASE HIGHLY REACTIVE SHALE
MAINTAIN MUD WEIGHT AND MUD PROPERTIES
Neutron Por. KT 10 bls, 0.4 ppg FL cc/30 m <10
Sonic LGS % vol <10 ANNULAR GAS FLOW LIGHT WEIGHT RIGHT ANGLE SET CEMENT SLURRY
TOP OF TRANSITION 3100' Flow rate gpm >1000 PROPER CEMENT PLACEMENT TECHNIQUE

Mud and Casing Redesign of Banjarpanji-1 Well (The Case of Mud Extrusion at
3500 ft Temp deg F 150
VERTICAL WELL

ELOT 14.0 ppg


Mudlogging Hole: 14.5 x 17" 7% KCl - PHPA mud RAPID PRESSURE TRANSITION OBTAIN ACCURATE MUD LOGGER PRESSURE PREDICTION
INTRA LATE PLIOCENE 3649' Wireline: DRILL DEEP INTO O/P
GR-Res 13-3/8" csg spec drift MW ppg 11 - 13 HOLE INSTABILITY DRILL OUT WITH SUFFICIENT MUD WEIGHT IN STRESSED SHALE
Density 72#, C-95, Mod Butt Visc sec/qt 40 - 60 MAINTAIN PROPER MUD WEIGHT AND MUD PROPERTIES
Neutron Por. PV cP 15 - 20 IMPORTANT TO KEEP HOLE FULL AT ALL TIME
Sonic YP lb/100ft2 10 - 15
FL cc/30 m <10 DRILLING USING BIT REAMER MONITOR HOLE CONDITION, GOOD HOLE CLEANING
MDT optional Drilling in O/P LGS % vol <10
STEEP TRANSITION TO O/P KT 10 bls, 0.4 ppg Flow rate gpm >1000 OBTAIN HIGH LEAK OFF PRESSURE PUSH SHOE AS DEEP AS SAFELY POSSIBLE.
Temp deg F 160
4,500 ft
ELOT 15.0 ppg
Mudlogging Hole: 12-1/4"x14" 7% KCl-PHPA to KCl - Polymer DRILLING IN THE OVER PRESSURE PROPER DRILLING AND G&G SUPERVISION.
OBTAIN ACCURATE MUD LOGGER PRESSURE PREDICTION, PERFORM SIT
INTRA PLIOCENE CARB 5498' Wireline: 11-3/4" liner, 60# MW ppg 13 - 14.5 DRILL DEEP INTO O/P
GR-Res N-80, AB ST-L Visc sec/qt 40 - 60 SECONDARY CARBONATE PAYZONE POSSIBLE LOSS ZONE
Density Spec Drift PV cP 15 - 20 ANNULAR GAS FLOW LIGHT WEIGHT RIGHT ANGLE SET CEMENT SLURRY
Neutron Por. YP lb/100ft2 10 - 15
OVER PRESSURE ZONE Sonic Drilling in O/P FL cc/30 m <10 CONTINGENCY 11-3/4" LINER MAY DROP 11-3/4" LINER IF HOLE IS FAVORABLE
KT 10 bls, 0.4 ppg LGS % vol <10
MDT optional Flow rate gpm 900
6,500 ft Temp deg F 190
ELOT 16.0 ppg

Porong-sidoarjo Oil Field, East Java, Indonesia)


EARLY PLIOCENE 7614' Mudlogging 10-5/8"x12-1/4" KCl - Polymer mud DRILL INTO TOP OF UNCERTAINTY CARB TOP AND FACIES PROPER DRILLING AND G&G SUPERVISION. DO SEISMIC LOOK AHEAD
Casing: 9.5/8" CARBONATE SET SHOE IN CARBONATE SECTION TO CASED OFF SHALE SECTION
Wireline: MW ppg 13 - 15
GR-Res Visc sec/qt 40 - 60 DRILLING IN THE OVER PRESSURE PROPER DRILLING AND G&G SUPERVISION.
BD SAND 8124' Density PV cP 15 - 20 OBTAIN ACCURATE MUD LOGGER PRESSURE PREDICTION, PERFORM SIT
Neutron Por. Drill into carbonate YP lb/100ft2 20 - 25 CRITICAL PHASE
Sonic KT 10 bls, 0.4 ppg FL cc/30 m <10 KICK AND LOST CIRCULATION IMPORTANT TO KEEP HOLE FULL AT ALL TIME. HAVE A CONTINGENCY PLAN
LGS % vol <10 MAINTAIN PROPER MUD WEIGHT AND PROPERTIES
MDT optional Flow rate gpm 800
8500 ft em p deg F 240
ELOT 17.0 ppg
Mudlogging Hole: 8.1/2" KCl - Polymer mud DRILLING CARBONATE REEF EXPECT AND READY FOR LOSS OR KICK AT CARBONATE TOP
MIOCENE REEFAL CARBONATE Optional 7" liner and DRILLING
TOP AROUND 8,376' Wireline: 6" hole contingency MW ppg 13 - 14.5 CARBONATE TO TD
GR-Res Visc sec/qt 40 - 60 KICK AND LOST CIRCULATION IMPORTANT TO KEEP HOLE FULL AT ALL TIME. HAVE A CONTINGENCY PLAN
Density PV cP 15 - 20 MAINTAIN PROPER MUD WEIGHT AND PROPERTIES
Neutron Por. Drill in carbonate YP lb/100ft2 20 - 25
KUJUNG FORMATION Sonic KT 10 bls, 0.4 ppg FL cc/30 m <10 CRITICAL PHASE H2S GAS H2S CONTINGENCY PLAN
(Platform Express) LGS % vol <10 GAS BUSTER AND DEGASSER MUST BE OPERATIONAL
Numar Flow rate gpm 700
MDT Temp deg F Est 300
SWC Maximize hole cleaning
Velocity Survey
10,000 ft
Designed: Approved:
Date: Date:
Figure 2. Drilling Plan, Anticipated Drilling Problems and Mitigation Plan of Banjarpanji-1 well (courtesy of Lapindo Brantas, 2006)1)

44
possible over-pressured zones in the depth from 3000 however incompliance of whatever reasons is
ft to 6500 ft. Figure 5 shows various log records of the not tolerated. In the case of Banjarpanji-1 well,
Banjarpanji-1 well. The over-pressured zones could be although the problems have been well identified,
clearly spotted right away. It is for this reason that the ignorance drillers and operators had caused
mud and casing redesign should be done carefully using accidents, hazards, and immeasurable losses.
petroleum engineering standard practices. c. The redesign of mud weight and casing diameters
Knowledge of how pore pressure and fracture shows a suggested design of 10.2, 13.1, 15.0, 15.4,
gradients are likely to change with depth is fundamental and 14.7 ppg mud and 20, 16, 13-3/8, 11-3/4,
to a safe casing design 5). According to general practices and 9-5/8 inches casing diameter for the depth
and rules in petroleum drilling engineering, mud of 0-2000, 2000-3500, 3500-6500, 6500-8500, and
weight is designed not to exceed fracture pressure but 8500-total depth ft respectively.
no less than pore pressure 6). Therefore, two important
d. It is suggested and recommended to apply strict
data needed for designing mud are pore and fracture
procedures while drilling in the area, because the
pressure data available from the well. Figure 6 shows
lesson learned has to be paid very costly.
records of various data including pore pressure and
leak-off test (LOT) 1). This and other source of fracture References
pressure data 2) are then used to redesign the mud
1. Istadi, B., LUSI – Mud Volcano in the Making (Case:
weight and casing set. Table 1 shows pressure data and
Banjarpanji-1 Exploration Drilling), presented at
calculation of the mud design. Figure 7 shows pore
Agency for the Assessment and Application
pressure, fracture pressure, and mud weight curves in
of Technology (BPPT) meeting and hearing,
between the two pressure curves.
September 6th, 2006, Jakarta, Indonesia.
Using the mud design principles, Figure 7 shows five
mud weights from the surface as noted in the legend. Those 2. Rubiandini, R., Pembelajaran Dari Erupsi Lumpur
are 10.2, 13.1, 15.0, 15.4, and 14.7 ppg for the depth of di Sekitar Lokasi Sumur Banjarpanji-1, presented
0-2000, 2000-3500, 3500-6500, 6500-8500, and 8500-total at Indonesian Association of Geologists (IAGI)
depth ft respectively. Further, the casing length and diameter meeting and hearing, September 27th, 2006,
could be designed according to the change of mud design. Jakarta, Indonesia
Based on the analysis shown in the picture, the change of 3. Guntoro, A., LUSI Enigma In The Porong Area,
casing diameters could be set at the above interval too, i.e. Sidoarjo From Geological Point Of View, presented
0-2000, 2000-3500, 3500-6500, 6500-8500, and 8500-total in Petroleum & Geological Experts’ meeting and
depth ft, using 20, 16, 13-3/8, 11-3/4, and 9-5/8 inches hearing at Trisakti University, September 12th,
respectively. Figure 8 shows comparison of prognosis, 2006, Jakarta, Indonesia
actual, and redesign casing position of Banjarpanji-1 well. 4. Sudarman, S., Lumpur Panas Porong: Mekanisme
This redesign procedure is suggested and recommended Semburan dan Usulan Solusi, presented at Agency
for the next well drilled in the area. for the Assessment and Application of Technology
(BPPT) meeting and hearing, September 12th,
2006, Jakarta, Indonesia.
Conclussions and Recommendation Devereux, S., Practical Well Planning and Drilling Manual,
With the above analysis and for the sake of save PennWell Publ.Co., 1998, Tulsa, Oklahoma
drilling practices, it can be concluded and recommended 74101, USA, 518 pp.
the followings: Bourgoyne Jr., A.T., Millheim, K.K., Chenevert, M.E.,
a. Attentions and strict procedures in drilling operations & Young Jr., F.S., Applied Drilling Engineering, SPE
should be paid and obeyed by operators. Over- Textbook Series, Vol.2, 1986, 502 pp.
pressured zones are very common and blow-out
and related problems could be avoided unless of the
carelessness of the men working behind the rig. SI Metric Conversion Factors
b. Prognosis and drilling plan are not to be ignored. ft x 3.048* E-01=m
Although the company has planned a safe drilling, in. x 2.54* E+00=cm

Untung Sumotarto 45
Figure 3. Formations and
sedimentary layers encountered
in Banjarpanji-1 well (courtesy of
Lapindo Brantas, 2006)1)

Drilling Chronology prior to Mud extrusion


12-1/4” Hole Section

• Set 13 3/8” casing at 3585 with LOT, 16.4 ppg EMW. 30” Conductor

• Drill to the prognosed top of Kujung at 8500ft, but carbonate was 20”Casing
not encountered. Drill ahead to 8750 ft and run logs

• Based on VSP, 3 possible top of Kujung depths, i.e: 8800 ft, 9400 16”Liner
ft or 9600 ft.
13 3/8” Casing
• After re-assessment on Hole Conditions and Kick Tolerance,
DSS allowed drill only to maximum depth of 9400 ft. Pack
• Continue drilling to 9283 ft, circulate for samples, no indication
4241’ kick
Kujung formation encountered. Continue drill to 9297 ft, total
loss circulation.

• Pump spot LCM, had full returns, well static. Decided to POOH to
run open ended to set cement plug, log and set 9-5/8” casing.

• Continue POH to 4241 ft, attempt to circulate, well kick, shut-in


th
well, hole packed off and bit stuck. Attempt to fish (Sunday 28
noon)
Present TD
• Mud extrusion observed (Monday 29th 5.30 am) 9297 ft
Kujung Fm.

Figure 4. Drilling Chronology of Banjarpanji-1 Well Prior to Mud Extrusion (courtesy of Lapindo Brantas, 2006)1).

Mud and Casing Redesign of Banjarpanji-1 Well (The Case of Mud Extrusion at
46 Porong-sidoarjo Oil Field, East Java, Indonesia)
Figure 5.Various log records of Banjarpanji-1 well showing over-pressured zones (courtesy of Lapindo Brantas, 2006)1)

Figure 6. Pore pressure and LOT data


Pore Pressure Prediction of Banjarpanji-1 well (courtesy of
Lapindo Brantas, 2006)1)

ppg equivalent
7 9 11 13 15 17
0

1000 8,6
Actual LOT; 13
8,6

2000 9,3
Actual LOT; 14,5
10

3000 11

12,5 Actual LOT; 16,4


4000 13,6
Depth (ft ss)

Est pore Press


5000 14

LOT

6000 Actual LOT 14,3

WNT-2
7000 2 per. Mov. Avg. (LOT)
14,6

2 per. Mov. Avg. (Est pore


8000 15

9000 14

10000 14

11000

Untung Sumotarto 47
Pressure Chart and Mud Design of Banjarpanji-1 Well
9000

8000

7000

6000
Pressure (psi)

5000

4000
Pore Pressure
Leak-Off Test
3000
Fracture Pressure
Mud I: 10.2 ppg
2000
Mud II: 13.1 ppg
Mud III: 15.0 ppg
1000 Mud IV: 15.4 ppg
Mud V: 14.7 ppg
0
0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

4500

5000

5500

6000

6500

7000

7500

8000

8500

9000

9500

10000
Depth (ft)

Figure 7. Pore Pressure, LOT, Fracture Pressure, and Mud Design of Banjarpanji-1 well

Mud and Casing Redesign of Banjarpanji-1 Well (The Case of Mud Extrusion at
48 Porong-sidoarjo Oil Field, East Java, Indonesia)
Diagenetic effects on reservoir Graduate from Geology Departement
properties in a carbonate debris Energy and Earth Technology Faculty,
deposit: case study in the berai Trisakti University

limestone, “M” Field, Makassar Email: chrisna_asmiati@yahoo.com

Strait, indonesia
Chrisna Asmiati Tanos

Abstract
After the drilling of four wells that successfully found gas,
an unexpected dry well (NW-1) was encountered on what was
thought to be the same trend in the “M” field, Paternoster Platform,
South­east Kalimantan – Indonesia. The “M” field is developed
in carbonate slope debris reservoirs with gas accumulations
within the Oligocene - Early Miocene Berai limestone (primary
objective). The dry NW-1 well was a surprise as a previous study
indicated that this was a favourable location to drill and the
wireline from the well indicated a similar carbonate host.
This study has shown that the Berai limestone has a
complex depositional and stratigraphic frame­work and that it
has experienced a multistage diagenetic and tectonic evolution.
In order to reduce the risk in any future exploration drilling, this
integrated study was done, using data from all the existing wells in
the “M” Field, including the NW-1 well. This study incorporated
all cores and developed a new understanding of the controls on
the reservoir development based on the integration of petrogra­
phy, stable isotope, and wireline log data.
The dry NW-1 well was cemented earlier in its burial due to
pervasive marine cementation, as evi­dence by the integration of
thin section and isotopic data. In contrast, another well (M-4),
containing a siginificant gas accumulation, experienced a longer
diagenetic history a phase of later deeper burial leaching that
significantly enhanced the reservoir quality of the Berai limestone
in this well.
This study defines a previously unrecognized non-meteoric
origin for porosity development in down-slope Miocene carbonates.
This creates a“greenfields” opportunity for exploration in similar
settings locally and elsewhere in Indonesia and the Southeast
Asia.
Keywords: Carbonate diagenesis, Carbonate debris, Stable isotope

MINDAGI Vol. 1 No.1Januari 2011 49


Introduction tectonic evolution. Therefore, the specific objective for
this study is to look for, if any, a relationship between
Carbonate reservoirs hold around 60% of the
diagenesis with the reservoir quality.
world’s hydrocarbon reserves and account for 40%
of total production (Chopra et. al., 2005).Diagenetic
Methodology
overprints in carbonates can completely change the
pore structure and mineralogy. In its more extreme The study was based on the digital dataset
degrees, diagenesis can change mineralogy from supplied by Pearl Energy and my own study, logging
aragonite/calcite to dolomite and completely dissolve and sampling of cores. A suite of conventional wireline
original grains to form pores while the original pore logs was available for all wells. Stratigraphic units were
space becomes filled with cement to form a completely analyzed petrographically and geochemically using
inverted porosity distribution compared to the originally core material col­lected by me from the M-4 and the
deposited sedi­ment (Eberli et. al., 2003). NW-1 well that includes the best recovery interval in of
The “M” Field is situated in the Paternoster the Berai carbonate. A total of 102 ft of conventional
Platform, Southeast Kalimantan/Borneo in water core from 3 wells, M-3, M-4 and NW-1 wells, in the
depths of around 200 ft (Figure 1). “M”Field were redescribed. Core plug measurement
The study aims to explain why one of the wells data, which was only available for M-4 and NW-1
(NW-1) in the Berai carbonate is dry com­pared to other wells, was used to know the porosity and permeability
four gas discovery wells within the Berai carbonate value.
reservoir that is the “M” Field. Detailed thin section petrography provided
This study has shown that the Berai limestone has the backbone of this study and, to date, 44 sections
a complex depositional and stratigraphic frame­work have been examined by me. These were impregnated
and that it has experienced a multistage diagenetic and with a high temperature blue-dye impregnated

Figure 1. Location of the study area;


Inset shows the relative position of the
“M” field within this simplified regional
geological map

Diagenetic Effects On Reservoir Properties In A Carbonate Debris Deposit:


50 Case Study In The Berai Limestone, “M” Field, Makassar Strait, Indonesia
epoxy and stained with a standard alizarin-red S Results
and potassium ferricyanide solution for carbonate
Wireline Log Character
mineral identification. All thin sections were observed
in transmitted light optical microscopy. The main The gamma ray log response shows the carbonate
cementing phases and porosity types were described, section is present in all 5 wells, but, the character of the
and their abundance was visually esti­mated; the gamma ray log clearly differs in M-2 well compared to
dissolution events were detected and the diagenetic nearby wells to the southeast and the northwest.
sequence was reconstructed. The Berai carbonate section within the M-2 well has
Stable carbon (δ13C) and oxygen (δ18O) isotopes a different association of lithology which is more an
were measured on 86 selected carbonate samples intercalation of carbonate with shale whilst the other
from the conventional core from three wells (M-3, 4 wells show a blocky gamma ray pattern, implying a
M-4 and NW-1 wells). Stable isotope analyses were much more consistent, cleaner limestone of about 5 -
carried out on three sets of samples: carbonate matrix, 30 API (Figure 2).
limestone lithoclasts, and a calcite filled veins that had
been handpicked using a dentist’s drill and extracted Conventional Cores
as rock powder from the conventional cores. The From the conventional cores combined with
isotope analysis was run using the facilities of Monash petrography observation, five lithofacies group was
University, Melbourne. The stable carbon and oxygen able to be identified and classified in both M-4 and NW-
isotope result use a ‰Vienna Pee Dee Belemnite 1 wells. The different lithofacies association between
(VPDB) scale. Coplen, 1988 published 18
the standard the 2 wells is there a more reefal association lithofacies
conversion18 equation which is δ O (VSMOW) = within the NW-1 well, which clearly differs from the
1.03091 *δ O (VPDB) + 30.91 which is used to convert other 2 cored wells (M-3 and M-4). The M-3 and M-
the stable oxygen result from ‰ VSMOW to ‰

Figure 2. North to South correlation of Berai limestone within the “M” Field. It shows that the correlation cannot be carried from
M-4 to NW-1 well because of the different gamma ray character

Chrisna Asmiati Tanos 51


4 well consists of more mud and benthic forams with marine cement as shown in figure 3, which clearly
some placktonic forams than the NW-1 well. differs from the M-4 well.
Petrographic observation also helped to identify Stable carbon and oxygen isotope result confirms
a different diagenetic cement association between the the thin section observation, which indicates the longer
M-4 and NW-1 wells. The NW-1 well has a pervasive diagenetic overprints present in the M-4 well whilst the
NW-1 well shows a shorter time (figure 4).

Figure 3. Photomicrographs showing the lithofacies,


porosity and cement types found in the NW-1 well;
A&B. Parallel and crossed nicols view of the bladed
marine cement, C&D. Parallel & crossed nicols view
of the marine cement, which shows the extensive
development of multigenerational marine cement.
LF: larger benthic forams, Co: coral, Ca: calcite, Iso:
Isopachous fibrous cement, Bl: bladed cement,Vu:
vuggy, LM: lime mud. The scale bar is 1 mm.

Figure 4. Stable carbon and


oxygen isotope plots within the
conventional core intervals for
M-3, M-4 and NW-1 wells: A.
The plot shows the distribution
of the stable carbon and oxygen
isotope data for the three
wells, B. Modified Hudson’s plot
(isotope compilation plot) by
Nelson 1996 as a reference for
this study, C. The interpretation
of stable isotope data plot; the
arrow is an indication of the
burial trendline.

Diagenetic Effects On Reservoir Properties In A Carbonate Debris Deposit:


52 Case Study In The Berai Limestone, “M” Field, Makassar Strait, Indonesia
Spectral gamma log within the core interval was deposited in a deeper water setting, less subject to the
availabe for only the M-4 well. From the analysis, early pore fluid cross flows that drive early marine
the gamma log signature has a poor correlation with cementation.
the core-derived lithofacies. Therefore, the lithofacies The diagenetic process which drove economic
derived from the core was not able to be applied to all levels of porosity in the relatively-tight gas play reservoir
the non-cored interval for all wells. in M-4 was deep burial leaching. It began in the lower
Likewise, the neutron and density log character parts of the shallow burial realm and continued well
illustrates the same poor correlation while trying to into the deep burial realm.
ditribute the core-derived lithofacies to the other well The different origins of the clast biota between
that do not have core. these two wells may imply that their clasts were
transported from geographically separate platforms. A
summary of this new interpretation of the depositional
Discussion environment for the “M” Field region is shown in
figure 5.
The evidence preserved of an early now replaced
Table 1 and 2 are a summary of the Miocene
widespread aragonite cement type is abundant bladed
carbonate characteristics within the region (Indonesia
calcite cement as shown in figure 3. It is abundant in
and throughout Southeast Asia) compared with those
the NW-1 well, less so in the M-4. Within the M-4 well
in the study area. These two tables indicates there is
a longer, and probably deeper set of ongoing burial
a new play opportunity for future exploration target
diagenetic overprint events took place (as evidence
within a debris flow set carbonate deposits.
by the isotopic signatures), compared to the shorter
This deeper water setting for the deposition of the
and probably shallower marine-cement dominated
host reservoir is so far unique in Miocene carbonate
diagenetic span preserved in the NW-1 well (figure 4).
reservoirs in Indonesia and Southeast Asia and so, as
Unlike NW-1, these marine cement textures are
mentioned earlier, defines a new play opportunity in
relatively rare in M-4, implying a different early burial
Indonesia and throughout the SE Asian region.
setting; perhaps indicating the sediments in M-4 were

Figure 5. A depositional environment model for the “M” Field; It shows the relative position of the wells and the relative
reservoir quality in a planar view (A) and cross section (B).

Chrisna Asmiati Tanos 53


Conclusion This new model of a non-meteoric origin for
porosity development in down-slope Miocene car­
The diagenetic overprint in the Berai carbonate
bonates creates a “greenfields” opportunity for
section occurred across a shorter time frame within the
exploration in similar settings locally and elsewhere
NW-1 well than within the M-4 well. The early occlusion
in Indonesia. By knowing that there are several other
of porosity in NW-1 explains this di-fference, while the
producing fields in Southeast Asia, where the better
longer and deeper burial diagenetic overprint in the M-
reservoir intervals are a response to deep burial
4 well explains why gas is present in this well but not the
leaching, strengthens the likelihood of undiscovered
NW-1 well. The NW-1 well is significantly different in
hydrocarbons across the region. What is not known
terms of the lithofacies and diagenetic overprint phases
from the other regions of such burial-diagenetic related
especially its narrower burial diagenetic band (as seen
platform production is that the same set of deep burial
in its isotopic character). Its shallower depositional
processes can create reservoir quality in appropriate
setting (compared to M4) explains its low porosity and
traps in deeper water carbonate debris aprons located
permeability character. Porosity and permeability were
some distance away from crestal positions (the typical
lost in early diagenesis in this well due to pervasive
seismically defined targets) in the Miocene carbonate
marine cementation, porosity was never regained in
platform of SE Asia.
this well during its deeper burial.
In contrast the M4 well was deposited as
rudstones in a muddier deeper setting than NW-1 and
Recommendation
probably was sourced from a muddier deeper platform
compared to NW-1. It never experienced the pervasive 1. Future core and core plug work should utilise
early marine cementation seen in NW-1. It still retained stable isotope analyses as a standard tool in order
sufficient remnant permeability on entering the deeper to better define a complete diagenetic history
burial environment to allow later dissolution and the within the carbonate section.
enhancement of reservoir quality in its Oligocene - 2. 2) The integration of core, stable isotope,
Miocene Berai limestone section. petrographic, and wireline logs offers a better

Table 1. Summary of characteristics of Miocene carbonate in Indonesia

Diagenetic Effects On Reservoir Properties In A Carbonate Debris Deposit:


54 Case Study In The Berai Limestone, “M” Field, Makassar Strait, Indonesia
method of reservoir understanding and prediction. Fournier, F., and J. Borgomano, 2007, Geological
Even so, it would be even better to include the significance of seismic reflections and imaging
seismic data and so generate a more comprehensive of the reservoir architecture in the Malampaya
regional result. gas field (Philippines): American Association of
Petroleum Geologists Bulletin, v. 91, p. 235-258.
Nelson, C. S., and A. M. Smith, 1996, Stable oxygen
Acknowledgement and carbon isotope compositional fields for skel­
The writer would like to thank her supervisor, Dr. etal and diagenetic components in New Zealand
John K. Warren, for all the supports and comments in Cenozoic non tropical carbonate sediments and
the preparation of the manuscript. limestones: a synthesis and review: New Zealand
She would also like to thank Pearl Energy for the Journal of Geology and Geophysics, v. 39, p. 93-
use of their data. Many thanks to Angus Ferguson and 107.
Julie Kupecz of Pearl Energy for all the support and Park, R. K., A. Matter, and P. C. Tonkin, 1995, Porosity
as­sistance. evolution in the Batu Raja carbonates of the Sunda
Basin - Windows of opportunity: Proceedings of
the Indonesian Petroleum Association - Twenty
References Fourth Annual Convention, October 1995, p. 211-
235.
Coplen, T. B., 1988, Normalization of oxygen and Pireno, G. E., C. Cook, D. Yuliong, and S. Lestari,
hydrogen isotope data: Chemical Geology - 2009, Berai carbonate debris flow as reservoir in
Isotope Geoscience section, v. 72, p. 293-297. the Ruby Field, Sebuku Block, Makassar Straits:
Chopra, S., N. Chemingui, and R. D. Miller, 2005, An A new exploration play in Indonesia: Pro­ceedings
introduction to this special section carbonates: of the Indonesian Petroleum Association -
The Leading Edge, v. 24, p. 488-489. 33rdAnnual Convention, October 2009, 19 pp.
Eberli, G. P., F. S. Anselmetti, C. Betzler, J. H. Van Pireno, G. E., and D. N. Darussalam, 2010, Petroleum
Konijnenburg, and D. Bernoulli, 2004, Chapter 10: system overview of the Sebuku Block and the
Carbonate platform to basin transitions on seismic surrounding area: Potential as a new oil and gas
data and in outcrops: Great Bahama Bank and the province in South Makassar Basin, Makassar
Maiella Platform margin, Italy, in G. P. Eberli, J. Straits: Proceedings of the Indonesian Petroleum
L. Masaferro, and J. F. Sarg, eds., Seismic imaging Association - 34th Annual Conven­tion, October
of carbonate reservoirs and systems, American 2010, 16 pp.
Association of Petroleum Geologists Memoir 81,
p. 207– 250.

Chrisna Asmiati Tanos 55


Table 2. Summary of characteristics of Miocene carbonate in Southeast Asia

Diagenetic Effects On Reservoir Properties In A Carbonate Debris Deposit:


56 Case Study In The Berai Limestone, “M” Field, Makassar Strait, Indonesia
Studi endapan mangaan 1)
Dosen Tetap, Prodi T. Pertambangan

di daerah Kapa-kapa, Fakultas Teknologi Kebumian & Energi,


Usakti
Halmahera Utara, Maluku Gedung D, Lt. 3, Jl. Kyai Tapa No.1,

Utara Grogol, Jakarta 11440

Geologist
2)
Irfan Marwanza1) dan Awan Widodo2)

Abstrak
Endapan mangaan di Kapa-kapa (Halmahera Utara) umumnya
terbentuk dalam lingkungan batuan vulkanik (tuff) setempat dalam
gamping.Secara genesa terdapat dua tipe endapan mangaan di kawasan
ini yaitu endapan mangaan primer (hidrotermal) dan endapan sekunder
(sedimenter).Endapan mangaan primer terbentuk pada daerah selatan
daerah penyelidikan (Gunung Nanas, Parimonge). Endapan mangaan
Sekunder, terbentuk di utara daerah penyelidikan (Parimonge dan
Bobiri), Hasil analisis laboratorium menunjukkan kadar mangaan di
kawasan ini rata-rata memiliki Mn total rata-ratanya antara 30-50%.

MINDAGI Vol. 1 No.1Januari 2011 57


Pendahuluan Mn2+--------> Mn3+ + c E0=1,51
Mn (OH)2 + OH- ---------> Mn (OH)3 + e E0 = -0,40
Mangaan di Indonesia pertama kali ditemukan
E0 adalah Potensial oksidasi (dalam volt)
di jawa pada tahun 1854 berdasarkan Geologi Survey
report Koolhoeven, Desember, 1836, yaitu di daerah
Hal ini menunjukan makin besar pH-nya maka
Kliripan, Daerah Istimewa Yogyakarta, selanjutnya
semakin negative (kecil) harga potensial oksidasinya,dan
daerah Karangnunggal, Tasikmalaya, Jawa Barat, tetapi
makin besar pH-nya, maka akan semakin besar pula
pengusahaannya baru dimulai pada tahun 1893 di
kemungkinan bereaksi membentuk oksidasi logam.
daerah Karangnunggal dimulai pada awal tahun 1938.
Endapan bijih mangaan dapat ditentukan dengan
Dewasa ini bijih mangaan 70% sampai 95%
baik di lapangan dengan cara mengetahui tingkat
digunakan sebagai bahan campuran pengeras baja,
penghamburannya atau penyebarannya, biasanya
dan sisanya digunakan dalam industri pembuatan
dalam bentuk nodule dari batuan ubahan pada lapisan
batubaterai, industri film, industri kimia dan farmasi
batuan bagian bawah dari endapan rawa, danau, dan
serta industri korek api, sedangkan bahan-bahan kimia
endapan laut tertutup maupun laut dalam yaitu dalam
dari unsur Mn digunakan dalam industri pembuatan
perairan yang tenang (Batemen, 1981).
pupuk, pembuatan gelas, tinta, varnish, obat-obatan,
Endapan bijih mangaan dapat ditemukan di alam
dan lain-lain.
dalam bentuk mineral murni maupun wad. Mineral
Pada jarak 10 hingga 20 km dari permukaan bumi,
wad adalah jenis yang dihasilkan dari endapan residu
komposisi bumi dapat dibagi menjadi tiga elemen, yaitu
mineral-mineral atau batuan yang mengandung oksida
mayor elemen, terdiri dari >1% penyusun terbesar kerak
mangaan yang kemudian terendapkan dan membentuk
bumi antara lain O, Si, Al, Fe, Ca, Na, K dan Mg, minor
suatu lapisan, lensa, serta, atau serpih mangaan yang
elemen terdiri dari 0,1 - % meliputi Ti, Ni, P dan Mn,
mengisi rekahan.Terdapat sekitar 100 jenis mineral yang
dan yang terakhir adalah unsure-unsur jarang (rare
mengandung unsur mangaan, tetapi hanyabeberapa
element) dengan jumlah 0,1 % yaitu Au, dan U.
saja kandungan mangaannya dapat diperhitungkan.
Endapan mangaan secara genesa dapat
Dasar Teori Pembentukan Mangaan dikelompokan menjadi dua tipe/jenis endapan, tipe
primer dan tipe sekunder. Endapan tipe primer terbentuk
Mangaan dapat ditemukan di alam dalam bentuk karena proses hidrotermal, sedangkan endapan tipe
bijih tunggal (native metal) maupun dalam bijih sekunder terbentuk karena proses sedimentasi.
campuran (complex metal).Di alam bijih mangaan
a. Endapan mangaan primer, Endapan mangaan
jarang dijumpai dalam bentuk logam unggal (native
primer terjadi karena proses hidrotermal dicirikan
metal).Umumnya berasosiasi dengan bijih besi sebagai
ditemukannya batu rhodokosit/rhodosit, batuan
endapan residu dan mineral barit sebagai mineral
ubahan akibat “thermal effect”atau karena
oksida sekunder.Terdapat dalam batuan sedimen,
“replacement process” oleh fluida hidrothermal
metamorf, maupun dalam batuan beku.
pada batuan samping sehingga terbentuk bijih
Unsur Mn dalam larutan magma ditemukan dalam
mangaan pada batuan yang dilaluinya saat terjadi
bentuk ion Mn2+, hadir bersama-sama dengan ion Fe2+
presipitasi. Proses presipitasi terjadi pada fluida/
dan Ca2+, karena ion Mn lebih bersifat elektronegatif,
cairan mengandung mangaan jenuh sehingga
makan ion Mn jarang ditemukan sebagai pengganti
pembentukan bijih membawa kadar yang tinggi. B.
ion Fe dan Ca. Unsur mangaan di lapangan jarang
ditemukan dalam bentuk Kristal mineral yang stabil. b. Endapan Sekunder, Proses pembentukan endapan
Hal ini disebabkan oleh nilai potensial oksdasi Mn ini sangat di dominasi oleh media air permukaan,
yang berubah-ubah dalam lingkungan perairan dan serta dipengaruhi juga oleh morfologi daerah
unsure Mn lebih bersifat oksidator.Unsur mangaan penyelidikan.
mempunyai nomor atom 25 dan berat atom 55 dengan Menurut Park (1956), endapan bijih mangaan
tingkat oksidasi 7,6,4,3, dan 2. Dalam sistem periodik dibagi dalam 5 (lima) tipe pembentukan, yaitu :
menempati periodke-4 dan golongan VIII B. dapat
1. Endapan Hidrotermal
membentuk ion Mn2+, Mn3+, dan Mn4+

58 Studi Endapan Mangaan di Daerah Kapa-kapa, Halmahera Utara, Maluku Utara


2. Endapan sedimen, baik bersama-sama maupun aktifitas gunungapi, ditemukan di beberapa lokasi di
tanpa affiliasi vulkanik seluruh belahan dunia. Contoh-contoh endapan ini
3. Endapan yang berasosiasi dengan aliran lava ditemukan di Rusia. Endapan sedimen dalam jumlah
bawah laut kecil ditemukan di eropa Timur, membentang dari
Italia, Swiss,dan Swedia. Di belahan barat tepatnya
4. Endapan Metamorfosa
di Artillery Peak, Arizona, dan endapan yang
5. Endapan Laterit dan Akumulasi Residual ditemukan di British Guiana tergolong konsentasi
Berikut ini akan dijelaskan mengenai ke-5 tipe residu yang terdapat disepanjang singkapan hancuran
pembentukan endapan mangaan tersebut : phylilite (weathered phyllite) yang mengandung minefal
mangaan tipe sedimen. Sebagian dari endapan ini
Endapan Hidrotermal bercampur dengan lempung, sebagian diantaranya
berasal dari aktifitas gunungapi, misalnya tuf dan
Pada tipe endapan hidrotermal, rekahan (fracture)
hancuran material-material gunungapi lainnya
tersusun secara teratur, mengandung kuarsa, rhodochrosit,
(volcanic debris).
dan rhodonite, tetapi pada umumnya hanya mengandung
sedikit mineral-mineral mangaan serta mineral sulfida b. Endapan sedimen yang berkorelasi dengan hasil
dari logam-logam lain. Bijih endapan ini tingkat aktifitas gunungapi. Beberapa endapan mangaan
konsentrasinya rndah, kecuali pada zona yang teroksidasi. membentuk lapisan bersama tuf dan kebanyakan
Tingkat konsentrasi bijih yang rendah dapat ditingkatkan berkorelasi dengan tuf kemerah-merahan atau
nilai konsentrasinya melalui proses pengkonsentrasian kehijau-hijauan serta sedimen klasik hasil aktifitas
kemudian dipanaskan untuk menghilangkan kandungan gunungapi. Tipe endapan ini ditemukan di
karbondioksida dan zat uap lainnya. beberapa lokasi di Kuba, antara lain yang terkenal
Saat zat cair panas yang mengandung mangaan adalah ; lokasi endapan El Cristo, Charcho
mencapai permukaan, kandungan mineralnya Redondo, Taratana. Perbedaan antara endapan
bercampur ke dalam endapan sedimen.Mangaan mangaan tipe sedimen hasil aktifitas gunungapi
oksida dari endapan hidrotermal bersuhu rendah dan bukan hasil aktifitas gunungapi sedemikian
bercampur dengan endapan sedimen.Sumber mata air tipis perbedaannya, di beberapa lokasi endapan di
panas (hot spring) juga diketahui dapat mengendapkan dunia kedua tipe endapan ini sukar dibedakan dan
mangaan oksida pada permukaan daratan.Ciri yang nyaris serupa namun tak sama.
cukup menarik dari beberapa endapan mangaan yang
dibentuk pada endapan sumber mata air panas adalah Endapan yang Berasosiasi dengan Aliran Lava
ditemukannya sedikit mineral tungsten dan unsure- Bawah Laut
unsur lain dalam mangaan oksida.Mangaan sulfide Endapan mangaan silikat dan oksida umumnya
ditemukan dalam jumlah yang kecil di beberapa berkorelasi dengan basalt dan andesit dasar laut,
endapan hidrotermal.Mangaan sulfide merupakan terutama lapisan berbentuk bantal (pillow flows).
mineral jenis tertentu yang sukar diidentifikasi Biasanya endapan ini berskala kecil dan tidak bernilai
dalam penyelidikan lapangan.Pada lingkungan dekat ekonomis, dan berupa lapisan yang sejajar dengan
permukaan (near-surface environtment), mangaan perlipatan batuan penutup, meskipun di beberapa
sulfide dengan segera teroksidasi. lokasi endapan-endapan ini memperlihatkan sayatan
silang dan menunjukkan fenomena pergantian
Endapan Sedimen atau perubahan.Endapan mangaan ini umumnya
Tipe endapan ini dibagi 2 (dua) yaitu : a. endapan berkorelasi dengan akumulasi batugamping, argillite,
sedimen yang tidak berkorelasi dengan hasil aktifitas dan debris gunungapi seta lapisan lava bantal. Jika
gunungapi, b. endapan sedimen yang berkorelasi aktifitas gunungapi terus berlanjut selama proses ini,
dengan hasil aktifitas gunungapi. maka batugamping dan mangaan akan bercampur
dengan partikel-partikel debu gunungapi dan debris
a. Endapan sedimen yang tidak berkorelasi dengan
lainnya.
hasil aktifitas gunungapi, adalah endapan sedimen
Beberapa endapan tipe ini berkorelasi dengan
yang terbentuk tanpa kotrelasi langsung dengan
rijang dan sedimen yang kaya besi meskipun sebagian
proses pembentukan magma (igneous process) atau

Irfan Marwanza dan Awan Widodo 59


besar berupa lempung yang terbentuk dari patikel lainnya, alabandite berasal dari sulfur yang terbentuk
material gunungapi dasar laut yang berstruktur halus. selama intrusi dike terjadi.
Mineral bijih ini terutama mangaandung hausmanit, Endapan residual mangaan terendapkan dari
yang terbentuk sefara local, dimana oksigen terdapat hasil pelapukan batuan silikat, mangaaniferous atau
dalam jumlah terbatas dan jumlah silica berlimpah. karbonatan. Diakibatkan oleh proses disintegrasi
Pada sebagian endapan mangaan silikat-hausmanit mekanik dan penguraian secara kimia. Kedua proses
dijumpai campuran berupa rijang. tersebut dapat terjadi bersama-sama, secara sendiri-
sendiri ataupun bergantian. Mineral-mineral yang
Endapan Metamofosa tidak stabil akan terendapkan lebih dulu atau unsur-
Endapan mangaan metamorfosa memiliki unsur kimianya mengalami penguraian yang dikenal
aneka jenis, tergantung dari karakter asal batuan, dengan chemical decay, yaitu bagian yang terlarut
intensitas metamorfosanya, dan unsure-unsur yang (soluble) mengalami pelarutan dan tertransportasi
ditambahkandan disubstraksikan.Pada beberapa (mengalami pencucian), sedangkan bagian yang tak
daerah, perlapisan sedimen mangaan telah terproses terlarut (unsoluble) terakumulasi atau terendapakan
ulang oleh air panas dan merupakan derajat dan membentuk akumulasi endapan residual.
metamorfosa tingkat rendah yang berkorelasi dengan Endapan residual umumnya terakumulasi
aktifitas gunungapi dan aktifitas magma lainnya. pada daerah yang tida begitu luas, tetapi bila proses
Endapan-endapan tersebut dapat ditemukan residual ini berlangsung menerus sampai terakumulasi
di daerah Meniominee, Michigan dan Penokee, maksimal, maka akan manghasilkan endapan yang
Wisconsin, dimana mineral hausmanit dan mineral penting dan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi .
mangaan lainnya telah ditambang.Bijih-bijih mangaan Mangaan laterit pada umumnya terdapat di daerah
ini tergolong sebagai tipe hidrotermal, namun bijih-bijih tropik, tapi jarang yang bernilai ekonomis. Mangaan
ini juga merupakan bahan penyusun dari besi, dimana laterit terbentuk dengan beberapa cara, namun yang
bijih-bijih ini tercuci dan terendapkan ulang oleh zat umum terjadi mangaan ini berasal dari besi yang kaya
cair panas yang bersirkulasi. Sifat fisik dan kimia dari akan laterit. Komposisi yang diharapkan, tergantung
managn dan besi, meskipun sama, sebenarnya cukup pada mangaan dan besi yang terdapat di dalam lapisan
berbeda sehingga selama proses metamorfosa atau batuan asal.Laterit pada umumnya melimpah di
pelapukannya, kedua material tersebut cenderung daerah yang bertopografi dewasa dengan relief yang
terpisah. relatif rendah.

Endapan Laterit dan Akumulasi Residual


Geologi Regional
Semua batuan yang mengandung mangaan yang
tersingkap telah diolah ulang melalui proses pelapukan. Pada kala Eosen- Oligosen Awal, di Halmahera
Karena mangaan cenderung terkonsentrasi dalam kegiatan tektonik sedang berlangsung kemudian
singkapan, setiap batuan yang mengandung jumlah diikuti kegiatan gunung api (T. Apandi dan D. Sudana,
mangaan yang memadai dapat membentuk material 1986). Sesar naik akibat tektonik terjadi pada
residu yang bernilai ekonomis.Namun demikian, ada jaman Eosen-Oligosen, menyebabkan terbentuknya
beberapa batuan yang berupa akumulasi bijih teroksida sesar normal di daerah penyelidikan berarah timur-
dan sebagian besar berupa gondite atau batuan karbonat barat (sesar timur-barat), Akibat adanya pengangkatan,
garnet yang ditemukan di wilayah India, Brazil, dan mengakibatkan adanya hancuran/longsoran/erosi
Afrika Barat. dari batuan yang lebih tua (ultrabasa, gabro, basalt)
Salah satu contoh gondite yang baik yang telah membentuk satuan breksi, bersamaan dengan itu terjadi
mengalami proses pelapukan adalah queluzite , yang kegiatan gunung api yang mengendapkan tuff dengan
diketahui secara local, telah ditambang di Morro da sisipan lava, dan terbentuk pula satuan batugamping.
Mina, dekat Lafaiete, State of Minas Cerais, Brazil. Pada kala Pliosen terjadi kegiatan tektonik
Di daerah ini, garnet-karbonat dipotong oleh dikedan di tengah-tengah laut Maluku yang menyebabkan
fracture. Srempatt vein terisi oleh rhodochrosite dan terbentuknya Punggungan Talaud dan Maya (Satiaya,
rhodonite, dan mineral-mineral lainnya. Pyrit dan sulfide A, 2007), akibat tertonik ini di daerah penelitain

60 Studi Endapan Mangaan di Daerah Kapa-kapa, Halmahera Utara, Maluku Utara


terbentuk sesar tenggara-baratlaut. Pada kala ini terjadi Struktur geologi di daerah penyelidikan terdiri
intrusi andesit di daerah penyelidikan. dari struktur yang terbentuk seiring pembentukan
Tektonik terakhir terjadi pada jaman Holosen batuan (struktur geologi primer) seperti kekar, struktur
berupa pengangkatan terumbu (T. Apandi dan D. sedimen, dan sebagainya, juga struktur geologi yang
Sudana, 1986). terbentuk lama setelah batuan terbentuk (struktur
geologi sekunder) seperti: kekar, pelipatan, sesar, dan
Geologi Daerah Penyelidikan sebagainya.
Geologi daerah penyelidikan disusun oleh tiga
formasi, mulai dari yang paling tua, yaitu Formasi Pembentukan Mangaan
Bacan (Tomb) berumur Oligosen Akhir – Miosen Di Halmahera Utara
Akhir, yang merupakan batuan gunung api (volcanic
Lahan cebakan mangaan di daerah Kapa-kapa-
rock) berupa breksi dan lava bersusunan andesit dan
Halmahera menempati morfologi perbukitan dan
basalt dan Formasi Weda (Tmpw) yang berumur
lembah.
Miosen Tengah – Pliosen, tersusun oleh batupasir,
Pada lintasan-lintasan penyelidikan dijumpai
batulanau, napal, batugamping dan konglomerat serta
sebaran sekelompok “float” mangaan berukuran
Aluvium berupa kerikil, pasir, lumpur dan bongkah.
kerikil, hingga berukuran lebih dari 10 cm menyebar
Selain itu di bahagian barat terdapat Formasi Tutuli
pipih, mengelompok terdiri dari mangaan sekunder.
(Tomt) berupa batupasir dan batugamping yang
Mineral mangaan tidak nampak dengan jelas apa
berumur Miosen, secara stratigrafi menjemari dengan
sebagai pirolusit atau psilomelan, tetapi hitam sebagai
Formasi Bacan.
wad dalam lapukan mengisi rekahan (gambar 1).
Stratigrafi daerah penyelidikan dapat
dikelompokkan menjadi 5 (lima) satuan batuan
Mineralisasi
berdasarkan perbedaan karakteristik litologinya, yaitu
satuan breksi, satuan batugamping klastik, satuan tuff Dalam tubuh bijih mangaan di daerah Kapa-kapa-
sisipan lava, satuan batugamping terumbu dan satuan Halmahera berkembang berupa lensa-lensa atau semacam
aluvial. Data litologi didasarkan pada pengamatan percabangan cebakan mangaan pada batuan tufa,
lapangan, batas pelamparannya dilakukan secara batugamping dan breksi yang bertindak sebagai batuan
ekstrapolasi berdasarkan prinsip-prinsip geologi yang induk tempat terperangkapnya bijih mangaan tersebut,
ada. sehingga dalam kasus ini ketiga batuan ini sebagai “hosted
rock”, tempat kedudukan cebakan mangaan.

Gambar 1.Skema Pembentukan Mangaan Hydothermal (epithermal)

Irfan Marwanza dan Awan Widodo 61


Selain itu di diluar area daerah penyelidikan Urat-urat kuarsa ini ada yang terjadi secara berulang kali
terdapat urat-urat kuarsa dengan mineralisasi logam- “multiphase”, vuggy, colloform, berlapis hingga masif.
logam dasar dan logam mulia terbentuk pada zona sesar.

Foto 1.Mangaan berbentuk “float “ pada jalan setapak di daerah penyelidikan.

Di lapangan tidak ditemukan bijih mangaan yang Genesa keterdapatannya dapat dikatakan sebagai
masif. Keterdapatan mangaan sangat jarang dijumpai tipe cebakan primer yang terbentuk syngenetik dengan
dan hanya mengelompok setempat-setempat. perangkap batuan itu sendiri.Keterdapatan cebakan
mangaan di daerah ini, jika dilihat bentuk cebakan

Foto 2.Mangaan “wad” yang mengisi rekahan pada batugamping di daerah penyelidikan

62 Studi Endapan Mangaan di Daerah Kapa-kapa, Halmahera Utara, Maluku Utara


Foto 3. Foto keberadaan mangaan sebagai sisipan dalam satuan breksi di dalam salah satu lubang tes pit

yang tidak menerus, berupa kantong-kantong pengisi terbentuk pada daerah selatan daerah penyelidikan
rongga dalam batuan tufa, breksi dan batugamping. (Gunung Nanas, Parimonge) (Foto 1)
Di beberapa tempat, endapan mangaan dengan tipe b. Endapan sekunder. Tipe endapan ini terbentuk di
cebakan primer yang terbentuk akibat proses hidrothermal utara daerah penyelidikan (Parimonge dan Bobiri),
mengalami pelapukan dan erosi dan tercucikan yang memperlihatkan morfologi yang lebih rendah.
kemudian akan terbawa oleh air permukaan dan Endapan mangaan hanya dijumpai setempat atau
mengendap pada daerah yang lebih stabil (cekungan), hal melensa tidak dalam bentuk lapisan mangaan
ini yang menyebabkan mangaan di daerah penyelidikan (Foto 2).
hanya dijumpai setempat atau melensa tidak dalam
bentuk lapisan mangaan dan ketebalannya susah diamati.
Genesa keterdapatannya seperti ini dapat dikatakan Kesimpulan
sebagai tipe cebakan sekunder.
Mangaan di daerah Kapa-Kapa (Halmahera
Interpretasi Model Pengendapan Mangaan Utara ) terbagi menjadi 2 (dua) tipe, yaitu endapan
mangaan primer dan endapan mangaan sekunder.
Endapan mangaan di daerah penyelidikan secara
Endapan mangaan primer terbentuk, karena proses
genesa dapat dikelompokan menjadi dua tipe/jenis
hidrothermal yang berada pada daerah selatan daerah
endapan, tipe primer dan tipe sekunder.
penyelidikan, morfologi berupa perbukitan, sedangkan
a. Endapan mangaan primer. Kenampakan endapan mangaan sekunder terbentuk di daerah utara daerah
secara megaskopis menunjukan mangaan memiliki penyelidikan di daerah morfologi lembah, akibat dari
kontak dengan silika atau batuan terkersikan. Pada sedimentasi mangaan primer. Berdasarkan analisis
bagian atas lingkungan ini ditutupi oleh endapan laboratorium (yang sudah ada), yaitu sebesar 40%-
mangaan sekunder yang berada dalam batuan tufa 50%, mangaan di daerah penyelidikan menunjukan
dan batugamping, serta breksi. Tipe endapan ini kadar/kualitas yang cukup baik.

Irfan Marwanza dan Awan Widodo 63


Pustaka

Katili & Tjia, H.D, 1980 Geotectonic of Indonesia, a


modern view, Department of Geology, Bandung
Institute of Technology.
Kendarsi & Marjono, 1969, Bahan-bahan galian
di daerah Provinsi Maluku, Dinas Eksplorasi,
Direktorat Geologi, Bandung.
Rachmat, M. J., 1955, Peninjauan Cebakan Bijih
Mangaan di P. Doi, Urusan Geologi Ekonomi,
Djawatan Geologi, Bandung
Supriatna, S.., 1980, Geologi Lembar Morotai,
Maluku Utara Skala 1:250.000, Pusat Pelenitian
dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Van Bemmelen, R.W., 1949, The Geology of Indonesia.
Vol. IA, 1st Edition. Govt.Printing office, The
Hague, pp 104-136

64 Studi Endapan Mangaan di Daerah Kapa-kapa, Halmahera Utara, Maluku Utara


Paleogeografi endapan Guru Besar dan 2)Dosen Tetap, Prodi T.
1)

Kuarter Jawa Timur Utara


Geologi

Fakultas Teknologi Kebumian & Energi,


Harsono Pringgoprawiro1) dan Dewi Syavitri2) USAKTI

Gedung D, Lt. 2, Jl. Kyai Tapa No.1,


Grogol, Jakarta 11440
Abstrak
Batuan Kuarter di pulau Jawa mempunyai penyebaran yang luas
di Jawa Timur Utara. Terutama di Zona Rembang dan Zona Kendeng.
Kedua zona tersebut memiliki sifat litologi dan lingkungan pengendapan
yang berbeda. Pada umumnya endapan Kuarter merupakan endapan
terestris berupa lahar, tufa bereaksi vulkanik, terutama di jalur
kendeng. Penentuan umur endapan Kuarter masih merupakan suatu
masalah, terutama bagi endapan Kuarter yang bersifat terestris, dimana
fosil – fosil laut tidak hadir. Penentuan umur disini didasarkan atas
hadirnya fosil – fosil Vertebrata. Zaman es pada kala Pleistosin kurang
begitu terasa, namun, ada tanda – tanda yang menunjukan bahwa
Indonesia juga terpengaruh oleh jaman es tersebut. Paleogeografi
endapan Kuarter di Jawa Timur Utara dapat disusun berdasarkan atas
penyebaran litologi dan lingkungan pengendapannya.

MINDAGI Vol. 1 No.1Januari 2011 65


Gambar 1. Peta Lokasi Daerah Penelitian

Gambar 2. Peta Tectono-Stratigrafi (Van Bemmelen, 1949)

Pendahuluan Kuarter mempunyai penyebaran yang luas yang


sebagian besar terdiri atas sedimen continental, terristris
Batuan Kuarter di Pulau Jawa akhir-akhir ini
yang berfacies beraneka ragam mulai dari facies
menjadi penting dan menarik banyak perhatian orang
littoral, paralis, delta, lacustrine fluviatil hingga limnis.
terutama mengenai Paleogeografinya bagi Kuarter
Sedimen lautnya diwakili oleh endapan laut dangkal,
paleo-archeologi. Di Jawa Timur (gambar 1), endapan

66 Paleogeografi Endapan Kuarter Jawa Timur Utara


lagoon dan pantai. Perlu diketahui bahwa selama zaman Pleistosen
Mengenai penentuan umur dari endapan Kuarter, sebagian besar dari bumi kita ditutupi oleh lapisan
kadangkala masih menimbulkan masalah. Bagi es yang tebal terutama di Benua Eropa dan Benua
Endapan Kuarter yang berfacies marine, penentuan Asia bagian utara. Zaman es ini juga disebut Zaman
umurnya tidak bermasalah selama endapan tersebut Dilluvium. Banyak fauna dan flora musnah, karena
masih mengandung fosil foraminifera plankton. suhu dingin ini. Sisanya bermigrasi ke daerah-daerah
Namun, bagi endapan yang berfacies darat, masih yang relatip hangat, antara lain ke Indonesia. Di antara
menyisakan masalah yang hingga kini masih belum fauna vertebrata yang bermigrasi adalah Mastodon,
terselesaikan secara tuntas. Para ahli paleontologi Stegodon, Elephas. Hippopotamus dan lain sebagainya.
menggunakan sisa -sisa fosil vertebrata untuk Zaman Es (Glasial) dapat dibagi menjadi 4 jenjang,
penentuan umur yang banyak ditemukan. Lain ahli yaitu Gunz, Mindel, Riss dan Wurm. Di antara jenjang
menggunakan fosil polen, spora, moluska, diatom atau tersebut di atas terdapat 3 jenjang Inter-Glacial dan 1
dengan menggunakan metoda fission track dan paleo- jenjang Post-Glacial.
magnetik stratigrafi untuk mengatasi masalah ini.
Cekungan Jawa Timur Utara, dimana sebagian Tatanan Geologi
besar endapan Kuarter tersingkap berada di antara
pantai Laut Jawa diutaranya, dan sederetan gunung Dari segi tektonik lempeng, Jawa Timur dapat
api berarah barat - timur di sebelah selatannya. Van dibagi berturut-turut dari selatan ke utara menjadi
Bemmelen (1949) dan de Genevraye (1972) membagi a) Palung Jawa, b) Zona penyusupan (subduction), c)
Cekungan Jawa Timur Utara menjadi sejumlah Cekungan Depan Busur (Fore Arch Basin), d) Busur
satuan tectono-physiography (Gambar 2) Empat satuan Volkanik, e) Back Arch Basin (Fold Thrust Belt), f)
dapat dibedakan, yaitu : (1) Zona Kendang, (2) Depresi Cekungan Retro Arch, g) Paparan Sunda (gambar 3).
Randublatung, (3) Zona Rembang dan (4) Paparan Daerah penelitian mencakup busur volkanik,
Laut Jawa (gambar 2). fold arch basin, cekungan retro arch dan paparan sunda.

Gambar 3. Penampang Skematik yang melelui Cekungan Jawa Timur Utara

Harsono Pringgoprawiro dan Dewi Syavitri 67


Busur volkanik ditempati oleh serentetan gunung api, merupakan ciri khas dari busur ini. Khas untuk jalur
antara lain Gunung Lawu, Gunung Wilis, Gunung ini adalah terdapatnya endapan turbidit dan endapan
Semer, Gunung Kelud dan lain sebagainya yang masih laut dalam (Formasi Kerek dan Formasi Kalibeng).
aktif. Endapan volkanik yang khas untuk jalur ini Tebal keseluruhan sedimen di Zone Kendeng ini
berupa lava, breksi volkanik, lahar dan piroklastika diperkirakan ada beberapa ribu meter. Sumber dari
lainnya. Jalur lipatan anjakan berbatasan langsung bahan volkanik ini berasal dari busur volkanik yang
dengan busur volkanik, dan hanya dipisahkan oleh berada di selatannya. Persentase bahan vulkaniknya
zona aluvial Ngawi yang sempit. Zone lipatan anjakan meningkat terutama pada endapan Pleistosen (Formasi
ini ditempati sebagian besar oleh Zona Kendeng yang Pucangan, Formasi Kabuh dan Formasi Notopuro.
terdiri dari rangkaian pegunungan lipatan dengan jurus Di sebelah utara, jalur lipatan anjakan dipisahkan
Timur - Barat. Lipatan yang asimetris maupun anjakan- oleh sesar turun yang panjang dari cekungan retro-arch
anjakan yang mengarah ke utara banyak dijumpai dan yang dalam hal ini diwakili oleh Depresi Randublatung

Gambar 4. Stratigrafi Mandala Kendeng

68 Paleogeografi Endapan Kuarter Jawa Timur Utara


dan Zona Rembang. Sesar tersebut dapat diikuti laminasi konvolut dan lain sebagainya), seperti
sepanjang kurang lebih 100 km dengan arah Timur - yang dapat diamati sepanjang Bengawan Solo
Barat. (Utara Ngawi), sekitar Gunung Pandan, Gunung
Sedimen dari cekungan retro-arch (Zona Rembang) Atas Angin dan Soko. Bagian atas dari formasi
terutama terdiri dari endapan laut dangkal yang ini berkembang sebagai facies volkanik yang juga
berumur Miosen akhir hingga Plestosen. Sesar-sesar memperlihatkan facies turbidit (Formasi Atas
normal banyak ditemukan di daerah tersebut. Berbeda Angin) Formasi Kalibeng mempunyai penyebaran
dengan endapan jalur lipatan anjakan (Zona Kendeng) yang luas di Zona Kendeng, mulai dari Gundih
yang selalu mengandung bahan volkanik, jalur hingga daerah Mojokerto di timur.
retro-arch, sebaliknya bebas dari endapan volkanik, Ketebalan Formasi Kalibeng berbeda-beda.
sebaliknya banyak mengandung batu karbonat atau Di sekitar Gundih tebalnya 634 m, sedangkan di
karbonatan dan boleh dikata bebas dari bahan volkanik Sumbergolah mencapai 858 m. Kandungan foram
klastis tersebut. planktonnya menunjukkan umur Miosen Akhir
hingga Pliosen Bawah (N17 - N19) dari Blow 1969.
Ciri khas dari formasi ini adalah kandungan
Stratigrafi Umum
foram plankton yang melimpah. Perbandingan
Zona Kendeng (gambar 4) plangton dan benthos dapat mencapai 70% - 80%.
Rasio yang demikian menunjukkan laut terbuka
• Formasi Pelang (Pringgoprawiro, 1983)
jauh dari pantai dan diendapkan pada zona
Batuan yang tertua di zona ini diwakili bathyal pada kedalaman 200 - 500 m.
oleh Formasi Pelang yang terutama terdiri dari Ke arah Zona Rembang, F. Kalibeng diduga
napal dan lempung setebal 125 m. Makin ke atas berubah facies dengan F. Ledok yang terdiri dari
diselingi oleh batugamping bioklastik mengandung batugamping pasiran dan F. Mundu yang terdiri
Spiroclypeus dan Lepidocyclina yang menunjukkan dari napal, napal pasiran dengan foram plankton
umur Miosen Awal. Kandungan foram plangton yang melimpah.
merujuk pada umur N8 - N9 Blow (1969).
F. Pelang diendapkan pada lingkungan laut • Formasi Sonde (Pringgoprawiro, 1983)
terbuka, jauh dari pantai pada zona bathyal (1000 Di bagian bawah formasi ini terdiri dari
- 2000 m). batugamping berwarna putih, lunak, mengandung
foram besar maupun foram plankton, molluska
• Formasi Kerek. (Pringgoprawiro, 1983)
dan koral (Anggota Klitik). Di bagian atas
Formasi ini merupakan endapan turbidit dan ditempati oleh napal pasiran mengandung foram
terdiri dari perulangan dari napal, napal lempungan kecil dan molluska lempung hitam dan cangkang
dan batupasir tufa yang banyak mengandung moluska dan sisipan batupasir yang mengandung
struktur sedimen. Tebal dari formasi ini diduga Balanus.
sekitar 1000 meter dan satuan ini berkembang Di Kendeng Barat F. Sonde terletak tidak
baik di Kendeng Barat dan Kendeng Tengah dari selaras dibawah F. Pucangan, sebaliknya di
Purwodadi hingga G. Pandan .Umurnya adalah Kendeng timur terletak selaras dibawah F.
Miosen Tengah hingga Miosen Atas (Zone N13 Pucangan. Ini menunjukkan adanya pengangkatan
- N18, Blow ’69). Banyak dijumpainya struktur di Kendeng Barat dan Tengah.
sedimen pada hampir seluruh lapisan formasi Formasi Sonde tersebar sepanjang sayap
ini menunjukkan bahwa satuan ini merupakan selatan antiklenorium Kendeng dan kemudian
endapan turbidite distal, jauh dari pantai. dapat diikuti sepanjang jalur yang sempit hingga
• Formasi Kalibeng (H. Pringgoprawiro 1983) Mojokerto di timur. Tebalnya berkisar antara 100
Pada umumnya, terdiri dari urut-urutan napal hijau hingga 400 m. Dengan ditemukannya Globorotalia
dan napal lempungan yang monoton dan banyak tosaensis Pulleniatina obliqueloculata, maka umur
mengandung fosil Globigerina dan foraminifera dari formasi ini adalah Pliosen (N19 - N21).
plangton lainnya. Di Kendeng tengah, formasi ini Analisis mikropaleontologi menunjukkan
memperlihatkan struktur turbidit (crossbedding,) bahwa seluruh formasi ini diendapkan pada
lingkungan yang dangkal, tidak jauh dari pantai

Harsono Pringgoprawiro dan Dewi Syavitri 69


Gambar 5. Stratigrafi Mandala Rembang

pada suatu pinggiran paparan. Adanya A. diendapkan di Zona Kendeng yang selalu mengandung
beccaria, Haplophragmoides, Molluska dan Balanus bahan volkanik. Di Zona Rembang endapan paparan
mendukung assumsi ini. Di daerah Jombang yang khas, adalah endapan laut dangkal dengan batuan
dan Mojokerto formasi ini bersilang jari dengan karbonat (gamping) atau karbonatan, Yang juga khas
Formasi Lidah. adalah banyak ditemukan batugamping terumbu
sepanjang zaman, Kaenozoikum, sehingga menarik
Zona Rembang (gambar 5) perhatian para pencari minyak bumi. Menarik pula
Seperti telah diutarakan satuan batuan yang adalah adanya urutan sedimentasi mulai dari Oligosen
diendapkan di Zona Rembang berbeda jauh dengan yang hingga Pleistosen yang menerus. Secara singkat

70 Paleogeografi Endapan Kuarter Jawa Timur Utara


stratigrafi Tersier Zona Rembang adalah sebagai timur. Di Manjung dan Bentaor ketebalannya
berikut : (dari tua ke muda) hanya sekitar 54 m saja. Umur dari formasi ini
berdasarkan foram besar adalah Tf. bawah hingga
• Formasi Kujung (Pringgprawiro, 1983)
Tf. atas atau bagian bawah dari Miosen Akhir.
Terdiri dari lempung dengan sisipan batugamping Berdasarkan rasio P/B yang hanya berkisar antara
bioklastik. Lempungnya mengandung banyak 30% hingga 40%, F. Bulu diduga diendapkan pada
foram plangton yang menunjukkan laut terbuka paparan dangkal dengan kedalaman sekitar 50 m
dengan kedalaman 200 - 500 meter (P/B ratio hingga 100 m (zone neritik tengah), lautan jernih
= 60% - 70%). Juga hadirnya foraminifera kecil dengan iklim panas. Formasi Bulu menipis ke
mendukung pendapat tersebut . Umur : Oligosen arah timur dan akhirnya menghilang di sekitar
Atas atau P10 - N1 (Pringgoprawiro, 1983) - Kearah Ngrejeng - Banyubang.
selatan (Zona Kendeng) formasi ini diduga
bersilang jari dengan Formasi Pelang. • Formasi Wonocolo yang terletak selaras di atas F.
Bulu tercirikan oleh endapan napal hingga napal
• Formasi Prupuh. Keseluruhannya terdiri atas lempungan berwarna abu-abu dan kaya akan
batugamping bioklastik, mengandung baik foram foram plangton. Sisipan batugamping kalkarenit
plangton maupun foram besar - Umur berdasarkan sering dijumpai. Formasi ini mempunyai
kandungan fosil adalah Oligosen Akhir hingga penyebaran yang luas di Zona Rembang dengan
Miosen Awal. Lingkungan pengendapan - neritik arah barat - timur. Ketebalannya berkisar antara
luar, laut terbuka. 100 - 300 m, sedangkan umurnya adalah Miosen
• Formasi Tuban - juga merupakan endapan laut Akhir atau zone N15 - N16. Formasi Wonocolo
terbuka, dangkal, pada kedalaman 50 - 150 m diendapkan di laut terbuka jauh dari pantai pada
(neritik luar) - sedangkan umurnya adalah Miosen kedalaman antara 100 - 500 m (neritik luar). Ini
bawah zona N5 - N6 (Blow, 1969). dibuktikan oleh ratio P/B yang tinggi, yaitu
antara 60% - 80%. Tidak ada perubahan facies
• Formasi Tawun Bagian bawah dari satuan ini
yang menyolok dari Barat ke Timur, namun
litologinya terdiri atas serpih pasiran berwarna
kearah Utara napal pasirannya menjadi pasir
abu-abu mengandung cangkang Gastropoda.
napalan, hal mana menunjukkan adanya gejala
Makin ke atas serpih pasirannya berubah menjadi
pendangkalan. Juga arah ke Selatan yakni ke arah
batugamping mengandung banyak fosil Orbitoid
depresi Randublatung di sekitar Tobo - Ngasem
yang besar-besar disusul oleh batupasir berwarna
- Dander, formasi ini menipis dan diduga berubah
kemerahan (A. Narayong) dan menempati bagian
facies atau melidah ke dalam Formasi Kerak
teratas dari formasi ini. Sering terdapatnya
dari Zona Kendeng yang mempunyai facies laut
kepingan lignit dan sisa-sisa tumbuhan darat,
dalam.
sehingga batulempungnya menunjukkan
lingkungan tidak begitu jauh dari pantai pada • Formasi Ledok terletak selaras diatas Formasi
suatu paparan dangkal. Banyaknya foram besar Wonocolo. Ciri khas adalah adanya perselingan
pada batuan gampingnya menunjukkan kondisi antara napal pasiran, kalkarenit dan batupasir.
terumbu dekat pantai. Berdasarkan foram Menyolok adalah konsentrasi glauconit yang
besarnya, antara lain : Lepidociclina ephipioides, tinggi pada batupasirnya. Makin ke atas ukuran
L. Sumatrensis dan Miogypsinoides bantamensis butir batupasir gampingannya menjadi lebih kasar,
menunjukkan Miosen Tengah . demikian pula kandungan mineral glaukonit
turut meningkat. Silang siur-pun sering dijumpai
• Formasi Bulu yang terletak selarasnya diatas
dibatupasirnya. Formasi Ledok mempunyai
F. Tawun ditempati oleh batugamping hingga
penyebaran yang luas di Zona Rembang. Kearah
batugamping pasiran dan mengandung banyak
timur dapat diikuti sejauh Tuban dan kemudian
fosil foram besar koral, ganggang dan foraminifera
membaji kearah Tenggara Tuban. Kearah Utara
kecil. Khas adalah bahwa batugampingnya
maupun Selatan formasi ini menipis. Umur
berlapis lapis berbentuk pelat-pelat setebal 10
Miosen Akhir (N17 - N18) diberikan kepada formasi
hingga 30 cm. Ketebalan Formasi Bulu di tipe
ini berdasarkan atas kandungan foram plangton
lokasi mencapai 240 m kemudian menipis kearah

Harsono Pringgoprawiro dan Dewi Syavitri 71


dengan fosil penunjuknya Gr. plesiotumida. menganalisa perubahan paleo-magnetik bumi maupun
Dari bawah ke atas lingkungan pengendapan F. dengan fission track.
Ledok berubah dari facies neritik luar (+ 200 m) Di Zona Rembang, sebaliknya penentuan
hingga neritik tepi dengan silang siur yang besar, Endapan Kuarter tidak bermasalah, karena banyaknya
dari jenis palung mendukung pendapat ini. Tebal fosil penunjuk dari golongan foraminifera plangton,
berkisar antara 100 m hingga 200 m. karena hampir seluruh satuan batuan Zona Rembang
mempunyai facies laut mulai dari facies neritik luar
• Formasi Mundu hampir seluruhnya terdiri dari hingga neritik neritik tepi yang mengandung fosil laut.
napal hujau, massif dan mengandung banyak foram Hanya bagian atas dari F. Lidah mempunyai facies
plangton. Bagian puncak biasanya ditempati oleh litoral.
batugamping pasiran yang juga kaya akan foram
plangton. Satuan batuan yang menempati puncak Endapan Kuarter Zona Kendeng
disebut Anggota Selorejo, kaya akan foraminifera
plangton, mengandung sedikit mineral glauconit Pada akhir kala Pliosen terbentuklah F. Sonde
ukuran butirnya bertambah kasar kearah atas dengan A. Klitik yang terletak selaras dibawah F.
umur dari formasi ini adalah Pliosen atau N18 - Pucangan. Formasi Sonde beserta A. Klitik masih
N20. Dilihat dari perbandingan foram plangton merupakan sedimen laut, terutama A. Klitik yang
terhadap foram benthos, maka terlihat adanya hampir seluruhnya terdiri dari batugamping dengan
perbedaan dalam hal lingkungan pengendapan kandungan foram besar dan plankton yang melimpah.
antara bagian bawah dan atas dari F. Mundu. P/B Formasi Sonde yang terletak tidak selaras dibawah
bagian bawah adalah 75% hingga 80% sedangkan F. Pucangan seperti di Sumberlawang, Sonde, G.
bagian atas F. Mundu menunjukkan P/B = 30% Atasangin dan G. Pandan menunjukkan adanya
hingga 47% (Pringgoprawiro, 1983). Yang penting pengangkatan di zone Kendeng Barat dan Tengah,
adalah bahwa formasi ini ke arah utara dan timur sedangkan di Kendeng Timur formasi ini terletak
bersilang jari dengan formasi Paciran. Sedangkan selaras di bawah F. Pucangan, seperti yang dapat
kearah selatan formasi tersebut diduga ekwivalen diamati di daerah Jombang dan Mojokerto, di mana
dengan F. Kalibeng dari Zona Kendang yang F. Pucangan berfacies laut dangkal. Di barat F. Sonde
mempunyai ciri litologi yang serupa. terdiri dari lempung hitam dengan sisipan batupasir
tufaan yang mengandung Balanus dan cangkang
molluska. Formasi Sonde yang berfacies marine tersebar
sepanjang sayap selatan Antiklinorium Kendeng
Penyebaran Endapan Kuarter
mulai dari Sumbergolah dan Gundih di Barat, dan
di Jawa Timur Utara
menerus ke arah timur sepanjang jalur yang sempit
Endapan Kuarter mempunyai penyebaran hingga Mojokerto. Umurnya adalah Pliosen (N19 - N21)
yang luas baik di Zona Kendeng maupun Zona berdasarkan Gr. Acostaensis dan P. Obliqueloculata.
Rembang. Pada kedua zona tersebut Endapan Kuarter
• Formasi Pucangan (gambar 6)
mempunyai facies yang berbeda. Pada Zona Kendeng,
Endapan Kuarter pada umumnya berfacies terestris, Di Zona Kendeng, F. Pucangan hampir
litoral, paralis, fluvial, lacustrine dan limnis. Facies laut seluruhnya terdiri dari batuan volkanik. Di bagian
dangkal hanya ditemukan di bagian bawah dari zaman Barat zona ini di daerah Dodol - Soko - Gondang,
ini. Sebaliknya endapan Kuarter di Zona Rembang F. Pucangan bagian bawah terdiri dari breksi lahar
pada umumnya berfacies laut dangkal hingga littoral. dengan fragmen andesit menunjukkan facies
Di samping itu ada perbedaan yang mencolok dalam kontinental. Breksi volkanik dan batupasir tufa
hal penentuan umur batuan Kuarter di Zona Kendeng ditemukan di Klino, G. Atasangin, Trinil dan
dan Zona Rembang. Di Zona Kendeng karena pada Ngawi. Hal ini menunjukkan facies kontinental.
umumnya endapan Kuarter berfacies darat, maka Di Bringinan Kendeng Barat, F. Pucangan
terpaksa digunakan fosil darat golongan vertebrata diwakili oleh lempung hitam dengan sisipan
untuk menentukan umur lapisan tersebut. Kadang- lempung kuning mengandung Molluska marine.
kadang fosil diatom juga digunakan, atau dengan Demikian juga halnya di Kubah Onto dan Kubah

72 Paleogeografi Endapan Kuarter Jawa Timur Utara


Gambar 6. Penampang Tipe dari Formasi Pucangan

Sangiran dimana sisipan lempung kuningnya 425 m. Di Kendeng Tengah ketebalan F. Pucangan
mengandung molluska marine, Ostrea, Pecton dan adalah sebagai berikut : Mantingan (61,3 m),
Strombus. Di atasnya ditemukan lapisan diatomea Ngawi (106 m), Kedung Brubus (300 m), G.
setebal 1 meter. Sebaliknya lempung hitamnya Pandan (334 m). Di Kendeng Timur ketebalan F.
mengandung moluska air tawar, seperti Vivipara, Pucangan juga bervariasi misalnya di Kertosono
Melonia Corbicula dan Unio yang menunjukkan (350 m), Jombang (405 m), Mojokerto (480 m)
facies limnik di kubah tersebut. dan di Sidoarjo (270 m). (Gmb. 5).
Formasi Pucangan mempunyai penyebaran Umur dari F. Pucangan juga bervariasi. Di
yang luas di Zona Kendeng. Di Kendeng Barat, Kendeng Timur di penampang Jatirubah - G.
di Bringinan F. Pucangan mempunyai ketebalan Guwo (tipe section) bagian bawah dari formasi
sekitar 100 m, sedangkan di Kubah Onto sekitar ini yang berfacies marine berumur Pliosen Akhir

Harsono Pringgoprawiro dan Dewi Syavitri 73


hingga Pleistosen (Zone IV.22) berdasarkan berasal dari Sangiran, Trinil dan Watulawang,
atas hadirnya Gr. tenuiheca Blow. Di bagian atas Ngandong, Kedungbrubus, memberikan angka
facies F. Pucangan berangsur menjadi darat, 1,9 + 0,4 juta tahun untuk F. Pucangan bagian
tidak mengandung fosil, sama sekali, namun atas ( Jacob dan Custes, 1971.)
berdasarkan atas posisi stratigrafinya, umur bagian Penelitian yang menggunakan Nano plangton
atas ini kemungkinan adalah Pleistosen Awal. memberikan umur 3,25 hingga 1,65 x 106 tahun
Di Kendeng Barat dan Kendeng Tengah, bagi batuan dari F. Pucangan Bawah (Sartono
F. Pucangan berkembang sebagai facies dkk, 1981) yaitu Pliosen Akhir (zona NN16 -
daratan, sehingga penentuan umur hanya NN18). Penelitian dengan menggunakan diatomea
mengandalkan kandungan fauna vertebrata yang terhadap contoh batuan F. Pucangan bagian
memberikan umur Pleistosen. Penentuan umur bawah (Sartono et. al, 1981) memberikan umur
secara radiometri terhadap formasi ini dengan Pliosen Akhir atau 1,9 - 2,1 juta tahun. Sedangkan
menggunakan K-Ar. dating dari contoh batuan penentuan umur berdasarkan atas jejak belah

Gambar 7. Penampang Tipe dari Formasi Kabuh

74 Paleogeografi Endapan Kuarter Jawa Timur Utara


(fiction track) yang dilakukan Nishimura et, al, Di Kendeng Barat di Sangiran, Beringin
1980 memberikan hasil 0,6 - 0,7 juta tahun untuk dan Kedunguter, F. Kabuh dipisahkan oleh
F. Pucangan bagian atas. suatu hiatus atau disconformity dari F. Pucangan
Lingkungan pengendapan dari F. Pucangan (Bemmelen, 1949), sebaliknya Sartono (1961,
berbeda-beda. Di Kendeng Barat, di daerah Trinil. 1976) dan Pringgoprawiro (1983) berpendapat
F. Pucangan diendapkan pada lingkungan non- adanya keselarasan antara F. Kabuh dan F.
marine dengan terdapatnya lempung hitam yang Pucangan, Ketebalan F. Kabuh berbeda-beda.
kaya akan molluska air tawar. Penelitian terhadap Di Kendeng Barat (Sangiran, Trinil, Mantingan)
F. Pucangan di Kubah Sangiran dan Bringinan tebal dari F. Kabuh berkisar antara 100 - 171 m,
mengungkapkan bahwa endapan volkanik dan berfacies darat. Di Kendeng Tengah tebal
berupa lahar menunjukkan endapan fluviatil. formasi ini 400 m (Kedungbrubus) berfacies darat,
Sisipan lempung hitamnya mengandung moluska sedangkan di Kendeng Timur (K. Sumberingin)
air tawar (Corbicula, Unio) sedangkan adanya tebalnya mencapai 300 m dan berfacies darat
kandungan diatomea menunjukkan air payau hingga litoral.
(brackish), tapi di lain pihak ada sisipan lempung Penentuan umur F. Kabuh didasarkan atas
kuning mengandung moluska laut (Ostrea, Pecton, fosil vertebrata yang termasuk dalam fauna
Strombus). Hal ini menunjukkan sesekali masih Trinil (von Koenigswald, 1934) dengan fosil
terjadi genang laut. penunjuknya Axis lijdekkeri dan Duboisia kroesenii.
Di Kendeng Tengah (Kedungbrubus, G. Menurut penulis tersebut, umur fauna Trinil
Atasangin, G. Pandan) - F. Pucangan, mempunyai adalah Pleistosen Tengah. Pada lapisan Kabuh
facies fluviatil. Adanya sisa-sisa fosil vertebrata juga ditemukan Stegodon, Cervus zwaanii, Antilope
memperkuat dugaan facies darat. mojokertensis, Hippopotomus, namadicus dan Cervus
Di Kendeng Timur, di lokasi tipe, daerah Jombang lijdekkeri. Berdasarkan jejak belah oleh Nishinuwa,
hingga Sidoarjo. F. Pucangan jelas merupakan 1980 di Kubah Sangiran memberikan umur 0,5 juta
endapan laut dengan ditemukan molluska laut tahun untuk F. Kabuh bagian atas. Berdasarkan
(litoral). paleomagnetik yang dilakukan oleh Sartono dkk,
1981 ditetapkan umur 0,73 juta tahun).
• Formasi Kabuh (gambar 7)
Lingkungan pengendapan, di Kendeng Barat
Lokasi tipe dari formasi ini terletak di desa Kabuh, merupakan endapan darat, fluviatil dengan lapisan
1 km utara Ploso, Jombang, Kendeng Timur. Ada silang siur, ataupun endapan danau (limnis)
2 facies litologi yang dapat dibedakan di Kendeng dengan ditemukannya moluska air tawar (Trinil).
Timur yakni Facies volkanik dan Facies lempung
Juga di Kendeng Tengah formasi Kabuh
laut. Di sayap selatan Antiklin Pucangan dan
merupakan facies darat. Lapisan napal yang
Kedungwaru, facies volkanik F. Kabuh terdiri
mengandung foraminifera, di samping moluska
dari batupasir kasar dengan perlapisan silang siur,
air tawar, besar kemungkinan fosil foraminifera
sisipan konglomerat, batupasir tufa dan tufa debu.
tersebut merupakan fosil rombakan dari F. Sonde
Di sayap utara antiklin Kedungwaru formasi ini
atau F. Kalibeng.
berkembang sebagai facies marine terdiri dari batu
Di Kendeng Timur endapan Kabuh
lempung napalan berwarna hijau berselingan
mempunyai facies yang berbeda. Dari Mojokerto
dengan batupasir halus hingga kasar dan
hingga Sidoarjo facies darat berangsur berubah
batulanau, batulempung maupun batupasirnya
menjadi facies laut, terutama sepanjang sayap
sering ditemukan fosil moluska. Di sayap utara F.
utara dari antilalin Pucangan. Fosil foraminifera
Kabuh selalu terletak selaras di atas F. Pucangan.
sering dijumpai di sini. Facies laut ini dapat diikuti
Di Kendeng Tengah, F. Kabuh juga terdiri dari hingga Sidoarjo.
batupasir silang siur, konglomerat dan tufa kuning
seperti yang dijumpai di Kedungbrubus hingga G. • Formasi Notopuro (gambar 8)
Pandan. Di sana F. Kabuh jelas terletak selaras Di lokasi tipe, F. Notopuro terdiri atas batuan
di atas F. Pucangan dan berfacies non-marine. tufa berselingan dengan batupasir tufa breksi
(gambar 6) volkanik dan konglomerat. Tebal formasi ini dapat

Harsono Pringgoprawiro dan Dewi Syavitri 75


Gambar 8. Penampang Tipe dari Formasi Notopuuro

mencapai 248 m. Breksi volkaniknya mengandung Endapan Kuarter Zona Rembang


fragmen batuapung yang merupakan ciri khas bagi Endapan Kuarter di Zona Rembang pada umumnya
Formasi Notopuro. mempunyai facies laut dan hanya diwakili oleh :
Umur dari formasi ini adalah Pleistosen • Formasi Lidah
akhir (Marks, 1957), sedangkan lingkungan
Tipe lokasi: Antiklin Lidah, Surabaya. Ciri
pengendapan-nya adalah darat (lahar). Formasi
litologi dari Formasi Lidah adalah suatu urutan
ini tersebar sepanjang Pegunungan Kendeng mulai
lempung berwarna biru, tidak berlapis dan tidak
dari Salatiga hingga Mojokerto di timur. Ketebalan
mengandung fosil. Setempat diselingi dengan
bervariasi di Kali Rejuno dapat mencapai hingga
batupasir kwarsa mengandung glauconit dan
240 m.

76 Paleogeografi Endapan Kuarter Jawa Timur Utara


Gambar 9. Penampang Tipe dari Formasi Lidah

molluska laut. Lempung biru ini juga dijumpai menunjukkan umur Pliosen atas - Pleiotosen atas
di antiklin Guyangan dan Kedungwaru sampai (N21 - N23). Demikian pula di Nglebur Ledok,
dengan Ploso di timur G. Pucangan. Di sini Banyuurip, K. Sempurna, Manjung dan Sumur
lempung birunya mengandung molluska laut, Tobo - berdasarkan kandungan fosilnya unsur dari
Echinoid dan Balamus serta foraminifera kecil. F. Lidah adalah Pliosen Atas - Pleistosen atas.
Di sumur Tobo bagian bawah dari formasi Berdasarkan atas perbandingan foram
ini disebut Anggota Tambakromo terdiri dari benthos dengan foram plankton diambil
lempung biru, tidak berlapis, sedangkan bagian kesimpulan diendapkan di lautan yang agak
atasnya disebut Anggota Turi yang terdiri dari terlindung dengan kedalaman antara 100 - 200 m
perselingan antara lempung biru dengan napal dan berangsur menjadi dangkal ke arah atas - Di
dan batupasir. Napalnya mengandung Gr. tosaensis bagian atas kedalamannya ditafsirkan antara 20 -
dan Gr. truncatulinoides (Pringgoprawiro, 1979) 50 meter.

Harsono Pringgoprawiro dan Dewi Syavitri 77


• Undak Solo (Pringgoprawiro, 1983) terekam di Amerika Utara, Eropah, Rusia, China,
Endapan yang paling muda Zaman Kuarter Australia, Afrika Selatan, India Utara dan bagian
adalah satuan Undak Solo. Nama undak Solo lain yang letaknya dekat Kutub Utara maupun Kutub
diberikan Pringgoprawiro 1983 kepada sejumlah Selatan. Peristiwa tersebut disebut zaman glacial (es).
undak-undak yang tersingkap sepanjang sungai Pada zaman tersebut, iklim di bumi menjadi dingin
Bengawan Solo purba yang masing-masing sekali, sehingga terjadi pembentukan lapisan es yang
berbeda dalam ketinggian terhadap sungai tebal, di daerah dekat kutub utara maupun kutub
Bengawan Solo yang sekarang dan juga masing- selatan : sebagai akibatnya banyak flora dan fauna
masing mempunyai umur yang berbeda . Tidak yang musnah, lainnya terpaksa menyingkir ke daerah
kurang dari 6 buah undak-undak purba dapat yang iklimnya lebih hangat, seperti ke Indonesia.
dibedakan sepanjang Sungai Solo (Sartono, Migrasi dari fauna ini terjadi dari benua Eropa dan
1976). Berdasarkan atas anggapan bahwa semakin Asia ke Indonesia melalui jembatan daratan dan ini
tua undak tersebut, semakin tinggi letak posisi terjadi sepanjang Pleistosen. Fauna dari India Utara,
topografinya. Endapan undak dapat dijumpai misalnya berpindah-pindah akhirnya sampai di Birma
di sekitar desa Ngrahu, 6 km barat Cepu, di dan dari sini sebagian ada yang sampai di Indonesia
sekitar desa Tambakrejo, Turi dan Ngasem. Ada melalui paparan sunda yang pada waktu berada di atas
6 undak dapat dibedakan, yaitu berturut-turut; permukaan, laut ke Sumatra, Jawa dan terus hingga
Undak Rambut, Kedungdowo, Getas, Ngandong, sampai Timor.
Jatibengulu dan undak Mendem. Zaman Es atau disebut Dilluvium dapat dibagi
menjadi empat zaman es yang besar, yaitu : Zaman
Pada umumnya, ciri litologinya terdiri
Es Gunz, Mindel, Riss dan Wurm Zaman ini diselingi
atas konglomerat polymict, endapan batupasir
oleh tiga Zaman, yang relatif panas, dinamakan
mengandung fosil vertebrata yang dijumpai di
zaman interglasial. Jadi berturut-turut ada zaman
undak Ngandong, dan batu krakal, lempung
Gunz - Mindel Interglasial, Mindel - Riss Interglasial, Riss
hitam yang mengandung sisa-sisa Bovidae.
- Wurm Interglasial dan satu zaman Postglasial. Pada
Litologi berbeda dari undak 1 hingga no. 6 yang
zaman Interglasial dan Postglasial lapisan es di seluruh
khas adalah terdapatnya silang siur dan banyak
dunia mulai mencair dan mengakibatkan genang laut
fosil vertebrata.
di sebagian besar di dunia, termasuk Paparan Sunda
Undak Solo terletak tidak selaras di atas F.
dan Sahul tenggelam di bawah permukaan laut. Kedua
Lidah dan lain formasi yang lebih tua. Umur dari
paparan tersebut tadinya merupakan suatu peneplain,
undak-undak ini berbeda, tetapi penentuan umur
dan kemudian tenggelam pada zaman Interglasial.
dari undak ini sulit dilakukan. Memang betul,
Di Indonesia adanya zaman glacial ini kurang
sebagian dari undak ini mengandung tulang-tulang begitu jelas kelihatan, namun ada tanda-tanda yang
vertebrata, tetapi fosil-fosil tersebut, pada umumnya menunjukkan bahwa di zaman Pleistosen, Indonesia juga
merupakan fosil rombakan (reworked fossils). terkena pengaruh zaman es.
Meskipun demikian, von Koenigswald (1934)
dapat menentukan umur dari undak Ngandong,
Pleistosen Atas berdasarkan atas fauna mamalia Paleogeografi
yang terdapat di undak Ngandong. Fauna undak
Ngandong telah diselidiki pula oleh Ter Haar antara Setelah kita ketahui mengenai litologi endapan
tahun 1931 hingga 1933. Tidak lebih dari 25.000 Kuarter, umur, lingkungan pengendapan serta
sisa mamalia berhasil dikumpulkan, diantaranya penyebarannya maka suatu Paleogeografi Kuarter di
Sus terakhir dan Cervus Javanica yang merupakan Jawa Timur Utara, dapat disusun. (Gambar 10 dan
fauna penunjuk untuk fauna Ngandong. 11).
Sebelum kita membahas Paleogeografi Kuarter
perlu disimak dahulu peristiwa apa saja yang terjadi
pada Jenjang Pliosen. Pada Pliosen terjadi suatu regresi
Zaman Glasial (Dilluvium)
di Pegunungan Kendeng, sehingga terjadi pengendapan
Pada zaman Pleistosen banyak bagian dari bumi laut dangkal disebelah utara (Lihat Gambar). Di
kita tertimbun oleh lapisan es yang tebal, seperti yang sepanjang pantai tersebut terjadilah pembentukan

78 Paleogeografi Endapan Kuarter Jawa Timur Utara


Gambar 10. Peta Paleogeografi pada Jenjang Pliosen

Harsono Pringgoprawiro dan Dewi Syavitri


79
Paleogeografi Endapan Kuarter Jawa Timur Utara
Gambar 11. Peta Paleogeografi pada Jenjang Pleistosen

80
terumbu (A. Klitik). Pendangkalan berlanjut, sehingga ditempati oleh sedimen terestris, berupa endapan lahar,
terbentuklah lempung hitam, kadang napalan yang tufa batupasir dan breksi volkanik (F. Pucangan). Pada
kaya akan moluska dan Balanus (F. Sonde) mulai dari Pleistosen Tengah, terbentuk endapan sungai teranyam
desa Trinil (Ngawi) di barat hingga Jombang di timur. yang luas penyebarannya, diwakili oleh endapan
Regresi Pliosen berlanjut terus hingga Zaman Kuarter, batupasir silang siur (F. Kabuh). Pada Pleistosen
sehingga Jalur Kendeng muncul di atas permukaan Akhir, kegiatan volkanisme meningkat menghasilkan
pada Zaman Pleistosen. Di Jalur Rembang, sebaliknya endapan breksi volkanik dan lahar (F. Notopuro).
regresi baru terjadi pada akhir Jenjang Pliosen, dimana Pada akhir dari Pleistosen, ada peningkatan dan
blok Rembang dan Kompleks Muria, akhirnya muncul erosi, serta terjadinya undak-undak (teras) di jalur ini.
pada permukaan Pleistosen. Kondisi lingkungan memungkinkan kehidupan yang
kondusif bagi fauna vertebrata yang menghuni daerah
Jalur Rembang yang berawa dan berhutan lebat, sehingga banyak
Pada permulaan jenjang ini terjadi pengangkatan dijumpai fosil vertebrata di undak sungai ini.
disebabkan oleh Orogenese. Pliosen – Pleistosen,
di Jawa Timur Utara banyak daerah yang telah
Kesimpulan
muncul pada permulaan Pleistosen. G. Muria dan
G. Butak yang telah muncul pada permulaan Pliosen 1. Dua cekungan pengendapan dapat dibedakan di
meningkatkan aktivitas volkaniknya dan hasil erupsinya Jawa Timur Utara yang berbeda menyolok, baik
dimuntahkan ke Dalaman Pati (Pati Deep), sehingga dalam sifat litologinya maupun sifat lingkungan
dalaman semakin dangkal dan terbentuklah endapan pengendapannya, yaitu Cekungan pengendapan
litoral hingga paralis. Blok Rembang juga terangkat Kendeng dan Cekungan Rembang.
dan menyambung hingga Tinggian Tuban. Meskipun 2. Pada akhir Pliosen terjadi pengangkatan di Jawa
demikian, daerah antara Tuban hingga Pacitan masih Timur Utara mengakibatkan Jalur Kendeng
merupakan laut dangkal yang memungkinkan adanya terangkat sejak Pleistosen Bawah, sehingga terjadi
pertumbuhan terumbu. pengendapan terestris berupa lahar, tufa, breksi
Di Depresi Randublatung, laut yang masih volkanik di hampir seluruh jalur Kendeng.
menggenangi daerah ini perlahan mulai mundur ke 3. Blok Rembang juga terangkat pada Pleistosen Awal
arah Selat Madura. Terjadi pengendapan sedimen namun masih ada laut dangkal yang memisahkan
litoral hingga paralis terdiri dari lempung hitam Jalur Rembang dari Jalur Kendeng.
kebiruan dari F. Lidah. Hal ini menunjukkan adanya 4. Depresi Randublatung perlahan-lahan terangkat
suasana laut hitam di tengah cekungan. pada Pleistosen Tengah dan akhirnya batugamping
Meskipun demikian, di tepi depresi tadi, masih Sonder tidak berkembang lagi dan akhirnya ditutupi
memungkinkan tumbuhnya terumbu setempat (A. oleh lempung hitam kebiruan dari F. Lidah. Akhirnya
Dander) dan sepanjang tepi Selatan Antiklin Kawengan seluruh depresi terangkat pada Pleistosen Akhir.
(Anggota Malo). Sementara itu, pendangkalan jalur 5. Zaman es di Indonesia kurang begitu terasa, namun
ini berlangsung terus hingga Pleistosen Tengah, dan ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Indonesia
akhirnya terumbu-terumbu tersebut akhirnya terbenam juga terpengaruh zaman es tersebut.
bersama dengan lempung biru dari F. Lidah. Namun
demikian, hubungan dengan laut terbuka masih terjadi,
dibuktikan dengan adanya foram plangton di F. Lidah.
Pustaka
Pada Pleistosen atas seluruh depresi ini terangkat di
atas permukaan laut. Dwi Martono, 1981, Geologi dan stratigrafi daerah
Winong dan sekitarnya, Kabupaten Pati, Jawa
Jalur Kendeng Tengah : Thesis sarjana, Fak. Teknik Geologi,
Seluruh Jalur Kendeng terangkat pada Jenjang UPN, Yogyakarta.
Pleistosen. Sebetulnya, pengangkatan ini sudah Effendi, E., 1977, Geologi dan stratigrafi daerah G.
berlangsung sejak Pliosen Akhir. Sepanjang daratan Atas­angin dan sekitarnya, Kabupaten Bojonegoro
Kendeng mulai dari Surakarta hingga Jombang : Thesis sarjana, Dept. Teknik Geologi, ITB.,
Bandung.

Harsono Pringgoprawiro dan Dewi Syavitri 81


Ericson, D.B., G. Wollin dan J. Wollin, 1954, coiling Van Gorsel, J.T., and S.R. Troelstra; Late Neogene
direction of Globorotalia truncatulinoides in deep- Planktonic Foraminiferal Biostratigraphy and
sea cores, Deep sea Res., v. 2, No. 2, hal. 152 - Clima­tostratigraphy of the Solo River Section
158, gmc. 1. (Java, Indonesia). Marine Micropaleontology, 6
----------, 1959, Coiling direction of Globigerina (1981) : 183 - 209, Elsevier Scientific Publishing
pachyderma as a climatic index. Science, v. 130, Company Amsterdam.
NO. 3369, hal. 219 - 220. Wahyu S. Hantoro, 1977, Geologi dan
Genevraye, P. de dan L. Samuel, 1972, Geologi of stratigrafi daerah Sumbergaleh,
the Kendeng Zone (Central & East Java) : Indon. Pegunungan Kendeng, Ngambon, Bojone­
Petroleum Assoc. Bull., 1st annual conv. Jakarta, goro, Jawa Timur : Thesis sarjana, Dept.
hal. 17 - 28. Teknik Geologi, ITB, Bandung.
Hantoro, W.S., 1977, Geologi dan stratigrafi daerah Wikarta, S., 1977, Geologi dan stratigrafi daerah Klino
Sumber­galeh, Ngambon, Pegunungan Kendeng : dan sekitarnya, Kabupaten Bojonegoro, Jawa
Thesis sarjana, Dept. Teknik Geologi, ITB. Timur : Thesis sarjana, Dept. Teknik Geologi,
Jenkins, D.G., 1967, Recent distribution, orgin and ITB, Bandung.
coiling ratio change in Globorotalia pachyderma Widarya, 1979, Geologi dan stratigrafi daerah
(Ehrenberg), Micropaleontology, v. 13, No. 2, hal. Blawang, Juwangi Tenggara, Kabupaten
195 - 203. Boyolali, Jawa Tengah : Thesis sarjana, Dept.
Kadar, D., 1979, Penyelidikan stratigrafi dan Teknik Geologi, ITB, Bandung.
paleontology daerah Sangiran, lokasi fosil
manusia di Jawa Tengah : PIT. VII, IAGI, April
1979, Bandung.
Marks, P., 1957, Stratigraphic Lexicon of Indonesia
: Pusat Djawatan Geologi Bandung, Publikasi
Keilmuan No. 31-A, seri Geologi.
Omin, 1977, Geologi dan stratigrafi daerah Dodol
dan seki­tarnya, Bojonegoro, Jawa Timur: Thesis
sarjana, Dept. Teknik Geologi, ITB.
Pringgoprawiro, H. dan A.T. Rahardjo, 1978, Penelitian
Nannoplankton, Formasi Kawengan, daerah
Nglebur, Blora, Jawa Tengah, P3T - ITB.
------------, dan Baharuddin, 1980, Biostratigrafi
foraminifera planktonik dan bidang-bidang
pengenal Kaenozoikum Akhir dari sumur Tobo,
Cepu, Jawa Timur : Geologi Indonesia, v. 7, no.
1, hal. 21 - 23.
Pringgoprawiro, H., 1983, Biostratigrafi dan
Paleogeografi Cekungan Jawa Timur Utara, Suatu
pendekatan baru : Disertasi.
Sartono, S., 1976, Genesisof the Solo Terraces: Mod.
Quaternary Res. SE Asia 2 (1976 ) : 1 - 12.
----------, F. Semah, J. Zaim dan T. Djubiantono, 1980,
Peneli­tian paleomagnetisma atas endapan Kuarter
di Sangiran, Jawa Tengah : Buletin Dept. Teknik
Geologi, Inst. Tekn. Bandung, Jilid 3.
----------, F. Semah, K.A.S. Astadiredja, M.
Sukendarmono dan T. Djubiantono, 1981, The
Age of Homo modjokertensis Mod. Quartenary Res.
SE Asia 6 (1981) : 91 - 102.

82 Paleogeografi Endapan Kuarter Jawa Timur Utara

Anda mungkin juga menyukai