Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam suatu Negara atau wilayah, tentu tidak dapat terlepas dari apa yang
disebut dengan Pemerintahan. Pemerintahan di Indonesia khususnya, dibagi
menjadi Pemerintahan pusat, yaitu penyelenggara pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yakni Presiden yang dibantu seorang Wakil
Presiden, para Menteri dan lembaga pemerintahan pusat (Eksekutif, Legislatif,
Yudikatif). Dengan kata lain, pemerintahan pusat adalah pemerintahan secara
nasional yang berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia. Sedangkan
pemerintahan daerah berdasarkan UU nomor 32 Tahun 2004 pada pasal 1 ayat 2,
adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan
DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Jadi, dengan kata lain, pemerintahan daerah adalah pemerintahan yang
berada dibawah pemerintahan pusat untuk membantu pemerintahan pusat dalam
melakukan kebijakan-kebijakan disetiap daerah.
Dalam pemerintahan, ada politik yang didalamnya terdapat peraturan atau
kebijakan yang memuat mengenai aspek kehidupan. Salah satu dari banyaknya
kebijakan yang diatur oleh pemerintahan adalah, kebijakan mengenai Otonomi
Daerah atau dengan nama lain, yaitu otonomi khusus. Krisis ekonomi yang
melanda Indonesia pada tahun 1997 memberikan dampak positif dan dampak
negatif bagi upaya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Di satu
sisi, krisis tersebut telah memberikan dampak yang luar biasa pada kemiskinan,
namun disatu sisi krisis tersebut juga memberi “berkah tersembunyi”.
peningkatan taraf hidup seluruh rakyat Indonesia dimasa yang akan datang.
Karena krisis ekonomi dankrisis yang lainnyatelah membuka jalan bagi
munculnya reformasi total, terutama reformasi pada bidang ekonomi di
Indonesia. Salah satu unsur reformasi total itu adalah tuntutan pemberian
otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota
Otonomi daerah merupakan kebijakan yang dilakukan pemerintah daerah atas
perintah dari pemerintahan pusat berupa anggaran disetiap daerah untuk biaya
pembangunan masing-masing daerah. Pemerintah daerah diharapkan mampu
menggunakan anggaran sesuai dengan kebutuhan untuk membangun wilayah
dengan menggali potensi yang ada di wilayahnya masing-masing.
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang di atas, maka masalah yang
akan dikaji oleh penulis ialah:
1. Kebijakan pembangunan ekonomi selama ini?
2. Apa yang dimaksud Otonomi daerah?
3. Bagaimana Mitos dan Ketergantungan Daerah?
4. Bagaimana Sentralisasi Penerimaan dan Pengeluaran?
5. Bagaimana Alokasi dana Dari Pusat Ke Daerah
6. Apa Masalah-Masalah dalam Otonomi Daerah
7. Apa Kaitannya Politik dengan Kebijakan ( Otonomi Daerah )

B. Tujuan Penulis
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan ini
adalah untuk mendeskripsikan:
1. Untuk mengetahui Sosialisme sebelum Marx
2. Untuk mengetahui Sosialisme Marx (Marxisme)
3. Untuk mengetahui Sosialisme Demokrasi
4. Untuk mengetahui Ekonomi Politik Marxisme
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Utama Pembagunan
1. Teori Pertumbuhan Linear
a. Teori Pertumbuhan Adam Smith
Adam Smith membagi tahapan pertumbuhan ekonomi menjadi lima
tahap yang berurutan, yaitu dimulai dari masa perburuan, masa berternak,
masa bercocok tanam, perdagangan, dan yang terakhir adalah tahap
penindustrian. Menurut teori ini, masyarakat akan bergerak dari masyarakat
tradisonal ke masyarakat modern yang kapitalis. Dalam proses
pertumbuhan ekonomi akan semakin terpacu dengan adanya sistem
pembagian kerja antarpelaku ekonomi. Dalam hal ini, adam Smith
memandang pekerja sebagai salah satu input ( masukan ) bagi proses
produksi.
Dalam pembagunan ekonomi, modal memegang peranan yang
penting. Menurut teori ini, akumulasi modal akan menentukan cepat atau
lambatnya pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada suatu negara. Modal
tersebut diperoleh dari tabungan yang dilakukan masyarakat terjadi pada
suatu negara. Modal tersebut diperoleh dari tabungan, maka pelaku
ekonomi dapat menginvestasikan ke sektor rill, dalam upaya untuk
meningkatkan penerimaannya.
Teori pembagunan Adam Smith tidak dapat dilepaskan dari evolusi
pentahapan proses pembagunan yang terjadi secara berjenjang dan harus
dilewati satu per satu. Demikian pula halnya dengan tingkat pertumbuhan,
yaitu dimulai dari suatu titik tertentu, kemudian secara lambat mulai
mengalami peningkatan; laju akan terjadi secara cepat sampai titik optimal
tertentu dan akan menurun hingga mencapai titik nol.
b. Teori Pembagunan Karl Marx
Karl Marx, dalam bukunya yang berjudul Das Kapital membagi
evolusi perkembangan masyarakat menjadi tiga, yaitu dimulai dari
feodalisme, kapitalisme dan kemudian yang terkahir adalah sosialisme.
Evolusi perkembangan masyarakat ini akan sejalan dengan proses
pembangunan yang dilaksanakan. Masyarakat feodalisme mencerminkan
kondisi dimana perekonomian yang ada masih bersifat tradisonal. Dalam
tahap ini tuan tanah merupakan pelaku ekonomi yang memiliki posisi tawar
menawar tertinggi relatif terhadap pelaku ekonomi lain. Seperti halnya
pada masa feodal, padda masa kapitalisme ini para pengusaha merupakan
pihak yang memiliki tingkat posisi tawar-menawar tertingging relatif
terhadap pihak lain khususnya kaum buruh.
Sepanjang teori pembangunan yang dikemukakan, marx selalu
mendasarkan argumen pada asumsi bahwa masyarakat pada dasarnya
terbagi menjadi dua golongan, yaitu: masyarakat pemilik tanah dan
masyarakat bukan pemilik tanah, masyarakat pemilik modal dan
masyarakat bukan pemilik modal. Asumsi lain yang menudukung adalah
bahwa diantara kedua kelompok masyarakat tersebut sebenarnya terjadi
konflik kepentingan.
c. Teori pertumbuhan rostow
Teori pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan oleh Walt Whitman
Rostow merupakan garda depan dari linear stage of growth theory. Pada
dekade 1950-1960, teori rostow banyak mempengaruhi pandangan dan
persepsi para ahli ekonomi strategi pembagunan yang harus dilakukan.
Teori rostow didasarkan pada pengalaman pembangunan yang telah
dialami oleh negara negara maju terutama di Eropa. Dengan mengamati
proses pembagunan di negara negara eropa dari mulai abad pertengahaan
hingga abad modern, maka rostow pola pembangunan yang ada menjadi
tahap-tahap revolusi dari suatu pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh
negara-negara tersebut.
Rostow membagi proses pembangunan ekonomi suatu negara menjadi
lima tahap, yaitu : (1) Tahap perekonomian tradisonal; (2) Tahap
prakondisi tinggal landas; (3) Tahap tinngal landas;( 4) Tahap menuju
kedewasaan; dan (5) Tahap konsumsi massa tinggi.
B. Kebijakan Pembangunan Ekonomi
1. Kebijakan moneter dalam pembangunan ekonomi
Makna dan pentingnya
Kebijakan moneter mengacu pada kebijaksanaan otorita moneter suatu Negara
yang menyangkuat masalah-masalah moneter. Kebijaksanaan tersebut dapat
didefinisikan sebangai kebijaksanaan yang berkenaan dengan:
a. Pengendalian lembaga keuangan
b. Penjualan dan pembelian secara aktif kertas-kertas berharga oleh otoriata
moneter sebangai ikhtiar sengaja untuk mempengaruhi perubahan keadaan
uang; dan
c. Pembeliaan dan penjualan secara pasif kertas harga (paper assets) yang
timbul dari uasaha mempertahankan sruktur sukubunga tertentu
Salah satu tujuan kebijasanaan moneter di Negara terbelakang adalah untuk
memperbaiki sistem uang dan sistem perkreditan. Bayak lembanga keuangan dan
perbengkan harus didirikan untuk menyiapkan fasilitas kredit yang yang besar an
untuk menghilangkan tabungan keseluruhan yang produktif. Untuk memperbaiki
keadaan ini, cabang dan unit perbangkan harus diperluas sampai kearah pedesaan
angar dapat menyediakan kredit kepada para petani, pegusaha dan para
pedangang kecil.
Kebijaksanaan moneter adalah instrument penting untuk mengelola
perimbangan uang tepat antara permintaan dan penawaran uang.kekurangan
persediaan uang akan menghambat pertumbuhan sedangkan kelebihan akan
menghanyutkan keinflasi. Bengitu perekonomian berkembang, permintaan
mungkin akan membumbung sebangai akibat pergeseran sector nonuang menjadi
sector uang, kenaikan produksi dan harga dibanding pertanian dan industry.
Akan tetapi ada kemungkinan kenaikan persediaan uang untuk tujuan spekulasi,
hal demikian akan menghalangi pertumbuhan dan menyebabkan inflasi.
2. Kebijakan fiscal dalam pembangunan ekonomi
Kebijaksanaan fiscal berarti penggunaan pajak, pinjaman masyarakat,
pengeluaran masyarakat oleh pemerintah untuk tujuan stabilitas atau
pembangunan. Analisis kaynes mengenai kebijaksanaan fiscal dapat diterapkan
dinegara-negara maju. Dalam konteks perekonomian Negara terbelakang,
peranan kebijaksanaan fiscal adalah untuk memacu laju pembentukan modal.
Didalam analisis kaynes, dindakan moneter dipergunakan untuk mengurangi
tabungan dan meningkatkan kecenderungan mengonsumsi, tetapi nega
terbelakang dihadapkan pada masalah yang sama sekali berbeda
Arti penting
Kebijaksanaan fiscal memainkan peranan dimana dinegara-negara terbelakag.
Dalam uangkapan nurkes, kebijakan fiscal di Negara belakang “memikul atri
penting baru di dalam menghadapi problem pembentukan modal.beberapa orang
kaya justru suku pada konsumsi mewah. Kebijakan fiscal mengalihkan lesemua
ini ke saluran-saluran produktif.
Nurkse memandang penentu rasio tabungan marginal Negara, yaitu
kecenderungan marginal menabug, sebngai penentu penting pertumbuhan. Oleh
karna itu urus tabungansukarela didalam Negara terbelakang amat kecil, maka
untuk tabungan wajib, perpajakan merupakan istrumen paling bermanfaat.
Dinegara terbelakang dimana laju pembentukan modal belum bengitu terai
secara efektif oleh kebijaksanaan moneter saja sebngai akibat pasar modal dan
uang yang kurang berkembang maka kebijaksanaan fiscal dapat dipergunakan
alternative.
C. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi daerah secara harfiah, berasal dari kata otonomi dan daerah.
Dalam bahasa Yunani, otonomi berasal dari kata autos dan namos. Autos berarti
sendiri dan namos berarti aturan atau undang-undang. Dengan kata lain, otonomi
daerah merupakan cara mengatur hak, kewenangan, serta kewajiban sesuai
dengan kehendak pemerintah setempat yang bertujuan untuk pembangunan
wilayah setempat, berdasarkan undang-undang dan memiliki tujuan untuk
kepentingan masyarakat setempat atau kepentingan bersama.
Sedangkan Menurut Mariun, Otonomi Daerah adalah suatu kewenangan
atau kebebasan yang dipunyai suatu pemerintah daerah sehingga memungkinkan
mereka untuk membuat sebuah inisiatif sendiri dalam mengelola serta
mengoptimalkan sumber daya yang dipunyai daerahnya. sehingga Otonomi
daerah juga dapat disebut suatu kewenangan atau kebebasan untuk dapat
bertindak sesuai dengan suatu kebutuhan masyarakat pada daerah setempat.1
Dapat diambil kesimpulan dari keseluruhan arti otonomi diatas adalah,
suatu keadaan yang memungkinkan suatu daerah dapat menggali segala potensi
terbaik yang dimiliki daerah tersebutdengan unsur-unsur didalamnya, seperti
kewilayahan, pemerintahan dan masyarakat secara optimal, dengan
caramengidentifikasikan, merumuskan, dan memecahkanya.
1. Teori Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah mengamanatkan bahwa tujuan otonomi
adalah untuk mempercepat tercapainya kesejahteraan rakyat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat.Otonomi
dilakukan juga dengan harapan agar daerah memiliki daya saing dan
keunggulan lokal.Semua itu mestinya bisa dicapai karena berbagai perubahan
untuk mewujudkan misi tersebut. ( UU No 32 Tahun 2004 )

1
Markijar, “12 Pengertian Otonomi Daerah Menurut Para Ahli”, official website markijar
http://www.markijar.com/2016/06/12-pengertian-otonomi-daerah-menurut.html ( 18 Mei 2019 ).
Pemerintahan daerah adalah pemerintahan yang diselenggarakan oleh
badan – badan daerah yang dipilih secara bebas dengan tetap mengakui
supremasi pemerintahan nasional. Pemerintahan ini diberi kekuasaan, diskresi
(kebebasan mengambil kebijakan), dan tanggungjawab tanpa dikontrol oleh
kekuasaan yang lebih tinggi.(Bestari 2008)2
Tahun 1999 bisa dicatat sebagai terjadinya perubahan besar dalam
memandang daerah. Terjadi beberapa perubahan dari sistem sentralisasi ke
desentralisasi dalam menceranakan dan mengelola dana pengembangan bagi
daerah masing-masing dengan diundangkannya Undang-Undang no.22 tahun
1999 tentang otonoomi daerah dan undang-undang no.25 tahun 1999 tentang
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Otonomi Daerah Dalam Kerangka NKRI
Sejarah mencatat desentralisasi di indonesia mengalami pasang dan
surut seiring dengan perubahaan konstelasi politik ang melekat dan terjadi
pada perjalanan kehidupan bangsa. Pada periode prakemerdekaan, indonesia
dijajah belanda dan Jepang. Penjajah telah menerapkan desentralisasi yang
bersifat sentralistis , birokratis dan feodalistis untuk kepentingan mereka.
Penjaha belanda menyusun suatu hirarki Pangreh Praja Bumiputra dan
Pangreh Praja Eropa yang harus tunduk kepada gubernur jenderal.
Dikeluarkannya Decentralisatie Wet pada tahun 1903, yang ditindaklanjuti
dengan Bestuurshervorming Wet pada tahun 1992, menetapkan daerah untuk
mengatur rumah tangganya sendiri sekaligus membagi daerah-daerah otonom
yang dikuasi oleh belanda menjadi gewest (identik dengan provinsi saat ini),
regentschap (kabupaten saat ini) dan staatsgemeente (kota madya sekarang).
Pemerintah pendudukan jepang pada dasarnya melanjutkan sistem
pemerintaahan daerah seperti zman belanda, dengan perubahaan ke dalam
bahasa jepang. Sejak pemerintahaan Republik Indonesia, beberapa UU
2
Semangat, Anak, Negeri, “Teori Otonomi Daerah”, official website
https://andrisoesilo.blogspot.com/2014/12/teoriotonomidaerah.html ( 18 Mei 2019 )
tentang pemerintahaaan daerah telah ditetapkan dan berlaku silih berganti. Ini
dimaksudkan untuk mencari bentuk dan harapan, serta sesuai dengan tuntutan
pembangunan.
UU No. 32/2004 menyerahkan fungsi, personil, dan aset dari
pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota. Hal ini
berarti bahwa tambahaan kekuasaaan dan tanggung jawab diserahkan kepada
pemerintah kabupaten dan kota, membentuk sistem yang jauh lebih
terdesentralisasi dibandingkan dengan sistem dekonsentrasi dan
koadministratif di masa lalu.
Berbeda dengan sistem federalisme, otonomi daerah di indonesia
diletakkan dalam kerangka negara kesatuaan (unitary state). Perbedaan utama
sistem federalisme dan unitaristik terletak pada sumber kedaultan. Dalam
sistem federalisme, kedaulatan diperoleh dari unit unit politik yang terpisah-
pisah dan kemudian sepakat membentu sebuah pemerintahaan bersama.
Karena beragamnya daerah otonom di indonesia, maka dibutuhkan
adanya sistem yang dapat mengatur agar ketimpangan daerah tidak semakin
lebar, dan daerah yang kaya membantu daerah yang miskin. Dalam sistem ini,
penyerahaan wewenang (desentralisasi) berbarengan dengan pelimpahaan
wewemamg (dekonsentraasi) dan tugas pembantuaan.
Sistem Hubungan Keuangan Pusat-Daerah
Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan
APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Menurut UU No. 33/2004 pasal 10,
dana perimbangan teridiri dari : 1 Dana Bagi Hasil (DBH) dari PBB, BPHTB,
Pph orang pribadi dan Sumber Daya Alam (SDA); 2 Dana Alokasi Umum
(DAU); 3 Dana Alokasi Kusus (DAK). UU No.33/2004 menetapkan
perubahaan terhadap aliran dana dari pusat ke daeraj. Dalam UU tersebut,
komponen dana perimbangan tidak mengalami perubahaan, tetapi terjadi
perubahaan proporsi aliran dana.
Dalam hal konteks kewajiban, yaitu: (1) daerah harus dapat mengelola dana
tersebut secara sinkron (tidak bertentangan) dengan kebijakan-kebijakan pusat;
(2) daerah diharuskan untuk mengelola dana dengan efisien, efektif,
accountable, dan transparan; dan (3) daerah harus mempertanggungjawabkan
dan melaporkan penggunaan dana.
Ketergantungan Fiskal
Realisitis hubungan fiskal antara pusat-daerah ditandai dengan tingginya
kontrol pusat terhadap proses pembangunan daerah. Ini jelas terlihat dari rendahnya
proporsi PAD terhadap total pendapatan daerah dibanding besarnya subsidi yang
didrop dari pusat. Indikator desentralisasi fiskal adalah rasio antara PAD dengan total
pendapatan daerah. PAD terdiri atas pajak-pajak daerah, retribusi daerah, penerimaan
dari dinas, laba bersih dari perusahaan daerah dan lain-lain penerimaan.
Dalam konstelasi semacam ini, rekor DKI Jakarta dalam membiayai
pembangunan daerahnya sendiri layak untuk dicatat. Pada tahun fiskal 1987/88,
sejarah mencatat proporsi PAD terhadap total pendapatan daerahnya adalah lebih dari
60%. Ahmad (1990), dalam studinya, sektor perdangangan, manufaktur, dan jasa
telah berkembangan secara substansial. Kedua, pajak daerah, retribusi dan
penerimaan lainnya untuk kabupaten/kota ternyata dimasukkan dalam PAD provinsi.
Ketiga, sumber sumber PAD berlokasi di sektor modern yang umumnya terdaftar
sehingga memudahkan pengumupalan pajak. Keempat, administrasi pajak daerah
relatif menguntungkan.
Dana Alokasi Umum (DAU)
Hal penting lain dari pengaturan keuangan menurut UU No. 25/1999 dan UU
No. 33/2004 adalah transfer antarpemerintah dari pusat ke kabupaten dan kota, yang
disebut dengan DAU dan DAK. Diperkenalkannya DAU dan DAK berarti
menghapus subsidi Daerah Otonom dan Dana Inpres yang di perkenalkan pada era
soeharto.
DAU merupakan block grant yang diberikan kepada semua kabupaten dan
kota untuk tujuan mengisi kesenjeangan antara kapsitas dan kebutuhan fiskalnya, dan
didistribusikan dengan formula berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang secara
umum mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih
banyak dari pada daerah kaya. Dengan kata lain, tujuan penting alokasi DAU adalah
dalam kerangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan penting alokasi DAU
dalam kerangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan publik antarpemda
indonesia. UU No. 25/1999 pasal 7 menggariskan bahwa pemerintah pusat
berkewajiban menyalurkan paling sedikit 25% dari Penerimaan Dalam Negerinya
(PDN)-Nya dalam bentuk DAU. Aturan ini belakangan dinaikan menjadi 26 % dari
penerimaan dalam negeri neto.
Menurut definisi, DAU dapat diartikan sebagai berikut (Sidik, 2003):
1. Salah satu komponen dari dana perimbangan pada AOBN, yang
pengalokasiaanya didasarkan atas konsep kesenjangan fiskal atau celah fiskal
(Fiscal Gap), yaitu selisih antara kebutuhaan fiskal dengan kapasitas fiskal.
2. Instrumen untuk mengatasi horizontal imblance, yang dialokasikan dengan
tujuan pemeretaan kemampuan keuangan antardaerah, di mana pengunaannya
ditetapkan sepenuhnya oleh daearah.
3. Equalization grant, yaitu berfungsi untuk menetralisasi ketimpangan
kemampuan keuangan dengan adanya PAD, Bagi Hasil Pajak (BPH) dan Bagi
Hasil SDA (BHSDA) yang diperoleh Daerah.
Dana Alokasi Khusus (DAK)
DAK ditujukan untuk daerah khusus yang terpilih untuk tujuan khusus.
Karena itu, alokasi yang didistribusikan oleh pemerintah pusat sepenuhnya
merupakan wewenang pusat untuk tujuan nasional khusus. Kebutuhan khusus dalam
DAK meliputi:
Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah terpencil yang tidak mempunyai
akses uang memadai ke daerah lain.
1. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah yang menampung
transmigrasi
2. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah yang terletak di daerah
pesisir/kepaluan dan tidak mempunyai prasarana dan sarana yang memadai.
3. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah guna mengatasi dampak
kerusakan lingkungan
C. Mitos Dan Ketergantungan Daerah
Ancaman disintegrasi bangsa di masa keterbukaan sekarang ini semakin
mencuat. Opsi yang diberikan kepada Timor-Timur untuk “merdeka atau
integrasi” telah dijawab dengan amat meyakinkan: merdeka!. Namun
persoalannya tidak berhenti disitu karena issue tentang timor-timur berlangsung
bersamaan dengan semakin menguatnya issue tentang Aceh. Demikian juga
dengan munculnya ide untuk kembali mengangkat masalah negara papua, riau
merdeka, dan sebagainya.
Munculnya ancaman disintegrasi berawal dari sistem pemerintahan yang
sentralis. Aspirasi pusat begitu kuatnya sehingga mengabaikan aspirasi rakyat
dibawah Orde Baru. Legitimasi atas besarnya peran jakarta(pusat) ditunjukkan
dengan fakta bahwa pendapatan daerah disetor kepemerintah pusat sehingga
daerah tidak mampu membiayai pembangunan daerah sendiri tanpa bantuan dan
campur tangan pemerintah pusat. Hal ini bisa dilihat dari pos pendapatan asli
daerah (PAD) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang
amat kecil hampir semua daerah sebagaimana dalam Tabel 1.
Dari tabel tampak bahwa kemampuan semua daerah untuk mandiri
“ternyata” amat payah. Bahkan hal itu justru terjadi pada provinsi-provinsi yang
kaya mineral seperti Aceh yang ternyata “sangat tergantung” pada pemerintah
pusat karena PAD-nya amat rendah, yaitu hanya 0,5 persen dari total penerimaan
daerah itu. Hal yang sama juga terjadi pada daerah kaya yang lain meskipun
dengan angka yang lebih tinggi, yaitu Riau (6,3 persen), Kalimantan Timur (15
persen), dan Irian Jaya (papua) (4,7 persen). Kesemua daerah yang kaya itu
ternyata mempunyai ketergantungan amat besar pada pusat. Dengan demikian,
hampir bisa dipastikan bahwa seperti halnya Timor Timur, daerah-daerah yang
diaggap kaya sumber daya itu tidak mampu mengurus diri dalam bentuk
otonomi. Ternyata pusat bukan hanya kehilangan hero bagi daerah miskin
melainkan lebih juga hero bagi daerah yang amat kaya sekalipun.
Tabel 1. Persentase Pendapatan Asli Daerah dari Total APBD di Indonesia
Provinsi APPKD APBDI APBD II
Di Aceh (NAD) 31,3
3,3 0,5
1 1
Sumut 35,2
5,9 4,7
4 2
Sumbar
5,4 8,9 6,5
4
Riau
6,1 4,8 6,3
2 1
Jambi
8,7 5,0 0,5
2 1
Sumsel
5,1 6,8 6,9
1
Bengkulu
7,7 5,6 8,8
5 1
Lampung
4,7 5,4 3,6
7 2 2
Jabar
3,0 5,2 4,9
7 2 1
Jateng
0,6 2,2 7,5
7 2 1
DKI Jakarta
1,9 2,3 3,9
7 2 1
DI Yogyakarta
3,4 3,7 8,3
4 3 7
Jatim
3,8 0,0 3,2
7 2
Bali
3,5 7,9 0,6
4 1
NTB
7,5 4,6 5,3
2
NTT
2,8 1,8 3,6
3 121
Kalbar
7,1 5,1 ,8
1
Kalteng
4,4 4,1 4,0
2 1
Kalsel
9,6 6,9 1,9
1 1
Kaltim
5,3 9,0 5,2
5 2
Sulut
9,7 7,8 0,4
4
Sulteng -
1,1 4,9
6 2
Susel
4,8 8,9 9,6
5
Sultra
0,4 4,2 7,5
3
Maluku
8,8 0,5 1,2
Irian Jaya
8,3 2,7 4,7
Sumber, BPS, beberapa penertiban, diolah.
Namun sebenarnya , ketergantungan seperti yang ditunjukkan dalam
Tabel 1 hanyalah mitos yang dikembangkan. Jargon “daerah tidak mampu”
dengan menunjuk rendahnya APBD sering begitu saja diterima banyak kalangan.
Padahal hanya dengan melihat ironi Aceh, Papua, Riau, dan Kalimantan Timur
bisa disimpulkan ketergantungan tidak bisa dilihat dari besarnya PAD.
Logikanya adalah bahwa daerah-daerah yang kaya seharusnya mempunyai
kemaapuan amat tinggi dalam membangun dengan dananya sendiri.
Cara pandang pusat tentang persoalan integrasi lewat kacamata uang
tentu saja membuat daerah tersinggung. Dengan anggaran 99,5 persen berasal
dari pusat, daerah Aceh seolah-olah terlihat membebani keuangan pemerintah
pusat. Padahal potensi kekayaan alamnya yang melimpah (gas alam)
memberikan pemasukan yang cukup besar bagi pemerintah pusat. Tidak aneh
jika daerah Aceh ingin melepaskan diri dari pemerintah pusat.3

D. Sentralisasi Penerimaan Dan Pengeluaran

3
Hudiyanto. “Ekonomi Politik”. (Jakarta: PT Bumi Aksara.2008), h. 58-60
Apa yang dikemukakan teesebut sekedar untuk menunjukkan bahwa
pemerintah pusat sama sekali bukanlah hero atau pahlawan bagi daerah. Kesan
pusat sebagai hero yang membagi dana tertentu berawal dari sistem sentralisasi
penerimaan dan pengeluaran negara yang dianut di Indonesia. Secara umum
gambaran sentralisasi bisa dilihat dalam tabel 2.
Tabel 2 sentralisasi penerimaan dan pengeluaran negara 1989-1993
(dalam miliar rupiah)
Penerimaan Pengeluaran
Tahun
Pusat Daerah Pusat Daerah
38,1 1,5 32,8 8,8
1989/90 68 18 82 04
49,4 2,0 42,2 9,2
1990/91 50 33 16 67
51,9 2,3 43,2 11,0
1991/92 93 09 06 96
58,1 2,5 47,8 12,8
1992/93 67 49 44 72
62,6 3,1 49,8 15,9
1993/94 50 43 79 14
216,0 57,9
260,428
Jumlah 11,552 27 53
(95,75%)
(4,25%) (78,85%) (21,15%)

Dalam tabel telihat bahwa selama 1989-1993 sebesar 95,85% dari


penerimaan negara langsung diterima pemerintah pusat dan hanya 4,25% yang
diterima oleh pemerintah daerah. Tentu saja dalam penerimaan pusat termasuk
di dalamnya penerimaan dari daerah-daerah kaya sumber daya mineral seperti
Aceh, Papua, Kaltim, dan Riau. Selama 1989-1993 pemerintah mengelola dana
dari penerimaan dalam negeri sebesar Rp260,4 triliun, sedangkan pada saat
yang sama seluruh pemerintah daerah hanya menerima Rp11,5 triliun.
Penerimaan oleh pemerintah pusat masih ditambah lagi dengan penerimaan dari
utang luar negeri sebesar Rp50,8 triliun.
Sentralisasi penerimaan mungkin tidak terlalu dipersoalkan sekiranya
pemerintah pusat membagikan secara langsung dalam bentuk dana segar (block
grant) kepada daerah-daerah dan memberikan kewenangan penuh kepada setiap
daerah untuk menggunakannya sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Dalam sistem sentralsasi, pemerintah mempunyai kewenangan penuh
untuk merencanakan, mengawasi, dan mengevaluasi proyek pembangunan yang
dibiayai oleh pemerintah daerah. Dari total pengeluaran sebesar Rp271 triliun,
pemerintah pusat membelanjakan sebesar Rp216,02 triliun atau 78,8 persen.
Dengan demikian, seluruh pemerintah daerah tingkat I dan II di Indonesia
hanya membelanjakan Rp57,95 triliun. Namun dari jumlah itu, sebesar Rp24,71
truliun (44,1 persen) merupakan belanja rutin dan Rp19,68 triliun (35,1%)
merupakan pengeluaran yang dikomando dari pemerintah pusat. Dengan
demikian dalam praktiknya, pemerintah daerah di Indonesia hanya
membelanjakan sebesar Rp11,66 triliun (20,8%).
Pengeluaran yang sentralisasi tertentu saja menyebabkan terjadinya
sentralisasi kekuasaan dan melambungnya kewibawaan pemerintah pusat di
mata daerah. Hal ini kemudian tercermin pada tidak tumbuhnya inisiatif dari
daerah baik dalam menentukan proyek pembangunan maupun dalam merekrut
personalia untuk memipin daerah. Pengeluara yang sentralistik pada akhirnya
juga menumbuhkan pencarian rente yang berpusat pada patron dari kerabat dan
keluarga pejabat pusat. 4
E. Alokasi dana dari pusat ke daerah
Pemerintah pusat mengalokasikan dananya kepada daerah melalui dua
cara. Dana pemerintah disalurkan dalam bentuk :
a) Dana DIP (daftar isian proyek) atau dana sektoral dan
b) Dana non-DIP atau dana regional terutama lewat berbagai instruksi
presiden (inpres)

4
Hudiyanto. “Ekonomi Politik”. (Jakarta: PT Bumi Aksara.2008), h. 60-61
Pembangunan yang menekankan kepada pendekatan sektoral pada
umumnya dilakukan dengan pertimbangan prioritas pencapuan makro (nasional)
sehingga sektor yang strategis dan potensial yang biasanya terpilih. Pendekatan
sektoral berpengaruh negatif terhadap proses pembangunan dilihat dari sisi
pemerataan pembangunan antar-wilayah. Dalam hal ini, prioritas pembangunan
cenderung mendorong investasi hanya pada daerah-daerah yang mempunyai
potensi ekonomi yang besar dan prasarana yang baik.
Hal ini semacam ini merupakan tuntutan alam efisiensi. Akibatnya, ada
daerah yang karena pertimbangan potensi dan prasarana pada akhirnya kurang
mendapatkan perhatian. Karena prioritas nasional untuk mendorong daerah yang
potensial maka dana DIP cenderung mengalir ke daerah yang cenderung sudah
mengalami kemajuan.5
F. Masalah-masalah dalam Otonomi Daerah
Dalam pelaksanaan otonomi daerah masih terdapat masalah-masalah yang
akibatnya merugikan banyak orang, dalam praktek penyelenggaraan otonomi
daerahmasalah yang sering terjadi adalah pemekaran wilayah yang tidak merata,
serta korupsi di daerah yang persentasinya tinggi.
Otonomi daerah juga dianggap belum berhasil selama 16 tahun terakhir.
Menurut Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) La Ode Ida, otonomi
daerah belum mampu menciptakan kesejahteraan rakyat melalui kebijakan yang
telah dibuat oleh pemerintah daerah. Di berbagai daerah, masih terlihat
pemerintah daerah dan D PRD belum mengembangkan pemerintahan yang
melayani.Hal ini terbukti dengan masih banyaknya peraturan daerah yang tidak
pro pembangunan, sedangkan yang pro kesejahteraan malah diabaikan. Agar
otonomi daerah dapat berjalan efektif, Kemendagri harus membuat penilaian
yang terukur, dengan cara penilain yang ketat untuk kinerja diseluruh daerah.
Kemendagri juga diminta untuk membuat panduan pelaksanaan keuangan dan
program daerah secara terstruktur, hal ini untuk meminimalisir penyimpangan di
5
Hudiyanto. “Ekonomi Politik”. (Jakarta: PT Bumi Aksara.2008), h. 62
tingkat daerah.Serta memberi pengarahan langsung untuk pelaksanaan program
pemerintah pusat di daerah.(TEMPO, 2012).6
Indonesia yang notabennya merupakan Negara kepulauan dengan pulau-
pulau didalamnya memungkinkan mudahnya terjadi disintegrasi, karena disetiap
daerah mempunyai kepentingan tersendiri.Dalam hal ini, otonomi daerah dapat
dikatakan sebagai sesuatu yang dapat membuat konflik antar daerah.Dikatakan
demikian, karena dalam otonomi daerah dianggap masih memunculkan egoisme
daerah.Seperti yang dikatakan Tri RatnawatiPeneliti dari Pusat Penelitian Politik
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), bahwa Sistem pemerintahan ini
justru melemahkan negara akibat munculnya egoisme kedaerahan.KKN terus
terjadi sedangkan kesejahteraan tak kunjung tercapai.Dalam kasus ini,
pemerintah pusat dianggap membiarkan masalah tersebut.Selain itu, pemerintah
daerah sering mengabaikan instruksi dari pemerintah pusat.Ia menyarankan
untuk menerapkan sistem dekonsentrasi parsial bersamaan dengan sistem
desentralisasi, yang dianggap lebih efektif. (TEMPO, 2011).7
Otonomi Daerah juga dikatakan sebagai Pemekaran Wilayah yang
Kebablasan. Dikatakan seperti itu karena, dapat kita ketahui bahwa perimbangan
keuangan antara Pusat dan Daerah yang mengikuti ketentuan UU No 33 tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan telah memungkinkan munculnya
ketimpangan fiskal antar daerah. Daerah kaya akan mendapatkan dana fiskal
yang semakin besar sedangkan daerah yang miskin akan mendapatkan bagian
yang semakin kecil. Daerah kaya akan melakukan pemekaran yang drastis,
sedangkan daerah terpencil akan terus tertinggal. (Surtikanti, Majalah Ilmiah

6
Ira Guslina Sufa. 16 Tahun, Otonomi Daerah Dinilai Belum Berhasil. Edisi Rabu, 25 April
2012 tempo http://www.tempo.co/read/news/2012/04/25/078399531/16-Tahun-Otonomi-Daerah-
Dinilai-Belum-Berhasil ( 18 Mei 2019 )
7
Anton William. Otonomi Daerah Dianggap Masih Memunculkan Egoisme Daerah. Edisi
Selasa, 11 Oktober 2011 tempo http://lipi.go.id/berita/otonomi-daerah-dianggap-masih-memunculkan-
egoisme-daerah-/5963 ( 18 Mei 2019 )
UNIKOM Vol.11 No. 1).8Seperti yang tertulis diatas, bahwa daerah yang
mendapat dana lebih besar akan merasa daerahnya lebih baik dibanding dengan
daerah lain yang pendanaannya lebih sedikit, hal tersebut dapat menyulut konflik
horizontal. Agaknya, jika otonomi daerah terus berjalan seperti ini, otonomi
daerah bukanlah otonomi daerah lagi melainkan otonomi daerah yang berbasis
sentralisasi, karena pemekaran wilayah dapat terjadi secara pesat hanya di suatu
daerah.Banyaknya wilayah yang merasa menjadi penyumbang besar pendapatan
Negara, sementara fasilitas yang diterima dirasakan tidak sebanding menjadi
pemicu banyaknya tuntutan pemekaran wilayah yang mencuat.(Liputan6,
2013).9
Dari beberapa uraian masalah diatas, dapat dikatakan bahwa otonomi
daerah belum berjalan baik di daerah-daerah terpencil.Padahal yang kita ketahui
otonomi daerah bertujuan untuk mensejahterahkan rakyat di setiap daerah dengan
pembangunan daerah serta menggali potensi yang dimiliki setiap daerah. Namun,
tidak dapat dipungkiri bahwa selama adanya otonomi daerah, daerah-daerah yang
belum mampu melakukan pemekaran daerahnya akan termotivasi untuk
melakukan pemekaran daerahnya saat melihat daerah lain yang berhasil
melakukan pemekaran wilayah yang baik. Sebagai contoh, daerah Bandung,
Surabaya, Sawahlunto (Sumatera Barat), Jombang,
G. Kaitannya Politik dengan Kebijakan (Otonomi Daerah)
Pada penyelenggaraan pemerintahan, umumnya sebuah kebijakan negara
dibuat oleh institusi pemerintah. Dalam kaitan inilah maka dapat diartikan bahwa
kebijakan erat kaitannya dengan tindakan politik yang dilakukan oleh aktor
politik dalam hal ini adalah pemerintah,baik seseorang, sekelompok atau

8
Surtikanti. Permasalahan Otonomi Daerah ditinjau dari Aspek Perimbangan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Daerah. Majalah Ilmiah UNIKOM bidang Ekonomi. Vol.11 No. 1. Hlm 20-25.
UNIKOM. ( 18 Mei 2019 )
9
Citizen6. Otonomi Daerah dan Pemekaran Wilayah yang Kebablasan.November 23, 2013
liputan 6 https://www.liputan6.com/citizen6/read/754519/otonomi-daerah-dan-pemekaran-wilayah-
yang-kebablasan ( 18 Mei 2019 )
organisasi dalam menjalankan misi pemerintahannya, yang sesungguhnya
kebijakan itu merupakan salah satu cara tertentu dalam mencapai tujuan yang
ditetapkan.(Hernan Tori, 2011).10
Jadi kesimpulannya adalah Setiap pemerintah di suatu negara tahu bahwa
tugas utama dari setiap pemerintahanadalah untuk menjamin agar negara dan
bangsanya tetap hidup dan berjaya.Itu semua mencakup dua tugasyang
harusdijalankan, yaitu mempertahankan kemerdekaannya dari ancaman musuh
dari luar, dan yang kedua mengendalikan serta mengelola konflik internal agar
tidak berlarut-larut menjadi perang saudara.

10
Tori, Hernan.Kebijakan Otonomi Daerah dan Keadilan Dalam Mewujudkan Good
Governance.Jurnal TAPIs. Vol.7 No.12 Januari-Juni 2011. Hlm 95.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Di dalam kehidupan politik, tidak dapat terlepas dari aspek, sosial, budaya
bahkan ekonomi.Sedikit banyak, otonomi daerah merupakan bagian dari
implementasi kebijakan ekonomi, keduanya saling terhubung karena adanya
kekuasaan pemaksa yang sah.Karena otonomi daerah sendiri diatur didalam
undang-undang, yang bertujuan untuk pemekaran daerah baik di bidang politik,
ekonomi dan lain sebagainya yang semuanya merupakan upaya untuk
pembangunan Nasional.

Dalam otonomi daerah dapat dikaitkan dengan pembangunan Nasional


diberbagai aspek dengan mengedepankan pemekaran disetiap daerah dengan
diberikannya dana serta kewenangan. Kebijakan otonomi diambil dengan tujuan
politik ekonomi didalamnya, yaitu menciptakan kestabilan politik yang dapat
merangsang pembangunan ekonomi, serta menggerakkan proses pembagunan
politik sesuai dengan jalannya ekonomi.

Namun dalam hal ini, otonomi daerah masih menjadi sebuah pertanyaan
yang dimana di dalamnya, apakah sudah memberikan dampak baik bagi
pembangunan Indonesia atau belum, melihat masih banyaknya masalah yang ada
di daerah seperti, korupsi pendanaan otonomi daerah yang dilakukan wakil-wakil
daerah tanpa mementingkan lagi kesejahteraan masyarakat daerah. Juga adanya
pendanaan yang berat sebelah. Jika sistem pada otonomi daerah tidak dibenahi,
otonomi daerah tidak akan mencapai tujuannya. Oleh karena itu, diharapkan
seluruh elemen Negara terutama pemerintahan dapat memperbaiki lagi sistem
otonomi daerah agar kasus seperti ini dapat diminimalkan, dan otonomi daerah
dapat mencapai tujuannya serta menjadi sebuah kebijakan yang berhasil
memajukan pembangunan Nasional.

B. Saran

Menurut penulis kesempurnaan adalah milik Allah swt makalah ini


tidaklah sempurna akan tetapi penulis mencoba memberi kontribusi dalam
khazanah keilmuan khususnya tentang ekonomi politik otonomi daerah. Dan
diharapkan lebih banyak lagi muncul karya ilmiah yang membahas tentang
ekonomi politik daerah.
DAFTAR PUSTAKA

Hudiyanto. “Ekonomi Politik”. Jakarta: PT Bumi Aksara.2008.


Jhingan M.L. “Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan”. Jakarta: Rajawali
Pers.2010.

Surtikanti. Permasalahan Otonomi Daerah ditinjau dari Aspek Perimbangan


Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Majalah Ilmiah UNIKOM bidang
Ekonomi. Vol.11 No. 1. Hlm 20-25. UNIKOM.

Tori, Hernan.Kebijakan Otonomi Daerah dan Keadilan Dalam Mewujudkan Good


Governance.Jurnal TAPIs. Vol.7 No.12 Januari-Juni 2011. Hlm 95.

Liputan6. 2013. Otonomi Daerah dan Pemekaran Wilayah yang


Kebablasan.November 23, 2013 diakses tanggal 18 Mei 2019
https://www.liputan6.com/citizen6/read/754519/otonomi-daerah-dan-
pemekaran-wilayah-yang-kebablasan

Markijar, “12 Pengertian Otonomi Daerah Menurut Para Ahli”, blog markijar
diakses tanggal 18 Mei 2019 http://www.markijar.com/2016/06/12-pengertian-
otonomi-daerah-menurut.html

Semangat, Anak, Negeri, “Teori Otonomi Daerah”, Blog Semangat Anak Negeri
diakses tanggal 18 Mei 2019
https://andrisoesilo.blogspot.com/2014/12/teoriotonomidaerah.html

TEMPO. 2012. 16 Tahun, Otonomi Daerah Dinilai Belum Berhasil. Edisi Rabu, 25
April 2012 diakses tanggal 18 Mei 2019
http://www.tempo.co/read/news/2012/04/25/078399531/16-Tahun-Otonomi-
Daerah-Dinilai-Belum-Berhasil

TEMPO. 2011. Otonomi Daerah Dianggap Masih Memunculkan Egoisme Daerah.


Edisi Selasa, 11 Oktober 2011 diakses tanggal 18 Mei 2019
http://lipi.go.id/berita/otonomi-daerah-dianggap-masih-memunculkan-egoisme-
daerah-/5963

Anda mungkin juga menyukai