Anda di halaman 1dari 3

Penggolongan Antibiotik berdasarkan sifatnya

Berdasarkan sifatnya antibiotik dibedakan menjadi dua, yaitu antibotik yang bersifat
bakterisida (membunuh bakteri) dan antibiotik yang bersifat bakteriostatik (menghambat
pertumbuhan bakteri. Antibiotik yang bersifat bakteriostatik lebih berhasil dalam pengobatan
karena menghambat peningkatan jumlah bakteri dalam populasi, dan selanjutnya mekanisme
pertahanan host yang akan menangani infeksi bakteri. Tetapi, pada pasien dengan gangguan
sistem imun, sebaiknya antibiotik yang digunakan adalah bersifat bakterisid (Istiantoro dkk,
2007).
Pembagian ini pada dasarnya diaplikasikan pada pemeriksaan laboratorium saja, tidak
dapat sepenuhnya diaplikasikan pada kondisi klinis pasien. Pada kenyataannya, tidak ada
antimikroba yang benar-benar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok tersebut. Antibiotik
golongan bakterisidal tidak benar-benar dapat membunuh semua bakteri (terutama pada koloni
bakteri yang besar) setelah 18-24 jam pasca pemberian. Sebaliknya, golongan antibiotik
bakteriostatik memiliki kemampuan membunuh bakteri setelah 18-24 pasca pemberian obat.
Kemampuan antibiotik secara in vitro, baik bakteriostatik dan bakterisidal, dipengaruhi oleh
kondisi pertumbuhan dan kepadatan bakteri, durasi percobaan, dan respon bakteri. Pada kondisi
klinis, lebih banyak faktor lain yang diperhitungkan. Kebanyakan antibakteri dideskripsikan
memiliki potensi bakterisidal dan bakteriostatik.
Antibiotika yang bakterisid, yang secara aktif membasmi kuman meliputi misalnya
penisilin, sefalosporin,aminoglikosida (dosis besar), kotrimoksazol, rifampisin, isoniazid, laktam,
aminoglikoside, kuinolon, dan lain-lain. Antibiotik yang mempunyai sifat bakterisidal
membunuh bakteri target danenderung lebih efektif serta tidak perlu menggantungkan pada
sistem imun manusia. Sangat perlu digunakan pada pasien dengan penurunan sistem imun.
Sedangkan, yang termasuk bakteriostatik di sini misalnya sulfonamida, tetrasiklin,
kloramfenikol, eritromisin, trimetropim, linkomisin, klindamisin, asamparaaminosalisilat, dan
lain-lain. Obat obat bakteriostatik bekerja dengan mencegah pertumbuhan kuman, tidak
membunuhnya, sehingga pembasmian kuman sangat tergantung pada daya tahan tubuh.
Bakteriostatik justru bekerja menghambat pertumbuhan bakteri dan dapat memanfaatkan sistem
imun inang (Rahayu, 2012).
Manfaat dari pembagian ini dalam pemilihan antibiotika mungkin hanya terbatas, yakni
pada kasus pembawa kuman (carrier), pada pasien-pasien dengan kondisi yang sangat lemah
(debilitated) atau pada kasus-kasus dengan depresi imunologik tidak boleh memakai antibiotika
bakteriostatik, tetapi harus bakterisid.
Pada kondisi khusus, seperti immunocompromised, pasien sebaiknya diobati dengan
antibiotik golongan bakterisidal. Hal ini disebabkan pada kondisi tersebut kondisi sistem imun
tidak sepenuhnya maksimal sedangkan golongan antibiotik bakteriostatik memerlukan kerja
sistem imun yang maksimal untuk dapat membunuh bakteri guna mencapai kesembuhan seperti
pada golongan bakteriostatik. Golongan antibiotik bakteriosidal juga sebaiknya diberikan pada
pasien yang mendapat steroid jangka panjang atau dengan keganasan.(pankey 2004 ).Selain itu,
beberapa kondisi tertentu juga dianggap memerlukan antibiotik bakterisidal, seperti endokarditis.
Katup jantung dipertimbangkan, sebagai daerah fokal, daerah yang tertekan sistem imunnya
kurang dapat diakses untuk sel fagosit. (johannes et al ,2015)

Prinsip Penggunaan Terapi Antibiotik Kombinasi


Berikut adalah beberapa prinsip penggunaan terapi antibiotik kombinasi:
a) Antibiotik kombinasi adalah pemberian antibiotik lebih dari satu jenis untuk mengatasi
infeksi.
b) Tujuan pemberian antibiotik kombinasi adalah:
o Meningkatkan aktivitas antibiotik pada infeksi spesifik (efek sinergis atau aditif)
o Mengatasi infeksi campuran yang tidak dapat ditanggulangi oleh satu jenis
antibiotik saja
o Mengatasi kasus infeksi yang membahayakan jiwa yang belum diketahui bakteri
penyebabnya.
c) Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan kombinasi antibiotik:
o Kombinasi antibiotik yang bekerja pada target yang berbeda dapat mempengaruhi
efektivitas antibiotik (sinergis atau antagonis).
o Suatu kombinasi antibiotik dapat memiliki toksisitas yang bersifat aditif atau
superaditif. Contoh: Vankomisin secara tunggal memiliki efek nefrotoksik
minimal, tetapi pemberian bersama aminoglikosida dapat meningkatkan
toksisitasnya.
o Kombinasi antibiotik tidak efektif untuk mencegah resistensi.
o Pengetahuan jenis infeksi, data mikrobiologi dan antibiotik diperlukan untuk
mendapatkan kombinasi bijak dengan hasil efektif.
o Hindari penggunaan kombinasi antibiotik untuk terapi empiris jangka lama.
o Pertimbangkan peningkatan biaya.
d) Rute pemberian oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi. Pada
infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral.
e) Lamanya pemberian antibiotik empiris adalah dalam jangka waktu 48-72 jam.
Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis
pasien serta data penunjang lainnya.

Gan, V.S.H., dan Istiantoro, Y.H., 2007, Peisilin, Sefalosporin dan Antibiotik Betalaktam
Lainnya,dalam Gunawan, S.G., Setiabudy, R., Nafrialdi. dan Elysabeth., Farmakologi dan
Terapi, Hal 667, 678, 681,Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.
Ocampo PS, Lazar V, Papp B, Arnoldini M, Wiesch AZ, Busa-Fekete R, et al. Antagonism
between Bacteriostatic and Bactericidal Antibiotics Is Prevalent. Antimicrobial Agents and
Chemotherapy. 2014. 58 (8): 4573-4582. DOI: 10.1128/AAC.02463-14
Pankey GA, Sabath LD. Clinical Relevance of Bacteriostatic versus Bactericidal Mechanisms of
Action in the Treatment of Gram-Positive Bacterial Infections. Clinical Infectious Diseases.
2004; 38: 864–870
rahayu Utami, Eka. 2012. Antibiotika, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi. Malang Saintis. E
journal uin malang press
(Johannes Nemeth Gabriela Oesch Stefan P. Kuster. Bacteriostatic versus bactericidal antibiotics
for patients with serious bacterial infections: systematic review and meta-analysis. Journal of
Antimicrobial Chemotherapy, Volume 70, Issue 2, February 2015, Pages 382–395)

Anda mungkin juga menyukai