LP 7 Diagnosa Keperawatan Jiwa Henni
LP 7 Diagnosa Keperawatan Jiwa Henni
DISUSUN OLEH:
G1B223032
PEMBIMBING AKADEMIK :
Ns. Yuliana, S.Kep., M.Kep
Ns. Riska Amalya Nasution, M.Kep., Sp.Kep.J
Ns. Luri Mekeama, S.Kep., M.Kep
PEMBIMBING LAPANGAN:
Ns. Retty Octi Syafrini, S.Kep,.M.Kep,. Sp.Kep.J
Ns. Dermanto Saurtua, S.Kep
1 Definisi
Dalam setiap orang terdapat kapasitas untuk berprilaku pasif, asertif, dan
agresif/ perilaku kekerasan (Stuart dan Laraia, 2005 dalam Dermawan dan
Rusdi 2013).
Perilaku Kekerasan
Core
5 Etiologi
Menurut Stuart dan Laria (2001): Damayanti & Iskandar (2012) faktor resiko
perilalu kekerasan yaitu:
A. Faktor predisposisi
a. Aspek biologis
Respons fisiologis timbul karena adanya kegiatan di sistem
saraf otonom yang bereaksi terhadap sekresi epineprin sehingga
tekanan darah meningkat, takikardi, muka merah pupul melebar,
pengeluaran urn meningkat. Gejalanya sama dengan kecemasan
seperti meningkatnya bewaspadaan ketegangan otot (rahang terkatup,
tangan dikepal, tubuh kaku, dan refleis cepat). Hal ini disebabkan
oleh energi yang dikeluarkan saat marah bertambah.]
b. Aspek Emosional
Individu yang marah merasa tidak myaman, merasa tidal
berdaya, jengkel, frustasi, dendam, ingin memukul orang lain,
mengamuk. bermusuhan, dan sakit hati, menvalahkan dan menuntut
c. Aspek intelektual
Pengalaman individu sebagian besar didapatian melalui proses
intelektual, peran pasca indra sangat penting untul: beradaptasi
dengan lingkungan yang selanjutaya diolat dalam proses inteltual
sebagai salah satu pengalaman. Contohnya ketika ia mengamati
bagaimana respon ibu saat marah.
d. Aspek sosial
Aspek sosial meliputi interalsi sosial, budaya, konsep rasa
percaya, dan ketergantungan. Emosi marah sering merangsang
kemarahan orang lain. Pasien sering kali menyalurkan kemarahan
dengan mengkritik tingkah laku yang lain sehingga orang lain merasa
sakit bati dengati mengucapkan kata- kata kasar yang berlebihan
disertai suara keras. Proses tersebut dapat memyebabican
mengasingkan individu sendiri dan menjaublan dir dari orang lain
e. Aspek spiritual
Kepercayaan, nilai can moral mempergarubi buburgan individa
dengan lingkunganya. Hal yang bertentangar dengan norma yang
dimiliat dapat menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan
dengan amoral (tidak perduli) dan rasa tidal berdosa.
B. Faktor presipitasi
a. Ekspresi diri, ingin menunjulcan ekatensi dir atau solidaritas seperti
dalam sebuah konser, penonton sepak: bola, geng sninilah,
pernakalan massal dan sebagaiya.
b. Ekcapresi dari tidak: terpenuhinva kebutuhan dasar dan kondisi sosial
nininomi
c. Kesulitan dalam mengkonsumsi sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melakukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik
d. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalah gunsan obat
dan alkohol dan tidak mampu mengontrol emosinya saat menghadapi
rasa frutasi
e. Kematian anggota keluarga yang terpenting. kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan keluarga.
f. Stresor
Adanya stresor melibatkan makna dan pemahaman dampak dari
situasi stres individu, itu mencangkup kognitif, afektif, fisiologis.
perilals dan respon sosial. Stresor mengansumsikan makna,
intensitas, dan pentinguva sebagi konseluensi dari interpretasi yang
unik dan maina yang diberikcan kepada orang yang beresiko.
g. Sumber koping dapat berupa aset nininomi, kemampuan dan
ketrampilan, teknik defensif, dukungan sosial, dan motivasi.
Hubungan antara individu, keluarga, kelompok dan masyarakat
sangat berperan penting pada saat ini. Sumber koping lainya
termasuk kesehatan dan energi, dukungan spiritual, keyakinan positif,
ketrampilan menyelesaikan masalah dan sosial, sumber daya sosial
dan material, dar kesejahteraan fisik.
5) Latih klien patuh minum obat dengan cara 8 benar (benar nama
klien, benar obat, benar dosis, benar cara, benar waktu, benar
manfaat, benar tanggal kedaluwarsa dan benar dokumentasi).
b. Terapi Keluarga
c. Terapi Kelompok
Stimulasi persepsi
A. Pengkajian
b. Pandangan tajam
d. Mengepalkan tangan
e. Jalan mondar-mandir
f. Bicara kasar
Perilaku Kekerasan
Core
Causa
C. Diagnosa Keperawatan
Risiko perilaku
kekerasan.
D. Tindakan Keperawatan
c) Tindakan keperawatan:
- Latih klien patuh minum obat dengan cara 8 benar (Benar nama
klien, benar dosis, benar obat, benar cara, benar waktu, benar
manfaat, benar tanggal kadaluwarsa dan benar dokumentasi).
- Terapi Kognitif
- Terapi perilaku
- Terapi Asertif
E. Implementasi
Pelaksanaan atau implementasi perawatan merupakan tindakan dari
rencana keperawatan yang disusun sebelumnya berdasarkan prioritas yang
telah dibuat dimana tindakan yang diberikan mencakup tindakan mandiri
dan kolaboratif. Pada situasi nyata sering impelmentasi jauh berbeda
dengan rencana, hal ini terjadi karena perawat belum terbiasa
menggunakan rencana tertulis dalam melaksanakan tindakan, tindakan
keperawatan yang biasa adalah rencana tidak tertulis yaitu apa yang
dipikirkan, dirasakan, itu yang dilaksanakan. Hal ini sangat
membahayakan pasien dan perawat jika berakibat fatal dan juga tidak
memenuhi aspek legal. Sebelum melakukan tindakan yang sudah
direncanakan, perawat perlu memvalidasi dengan singkat apakah rencana
perawatan yang akan dilakukan masih sesuai dan dibutuhkan pasien sesuai
kondisi yang dialaminya saat ini. Setelah semua proses validasi tidak ada
hambatan maka tindakan keperawatan sudah boleh dilaksanakan. Pada
saat akan dilaksanakan tindakan keperawatan maka kontrak dengan pasien
dilaksanakan. Dokumentasikan semua tidakan yang telah dilaksanakan
beserta respon pasien (Keliat, 2015).
F. Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai tindakan
keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon
klien terhadap tindakan keperawatanyang telah dilaksanakan. Evaluasi
dapat dibagi menjadi dua, yaitu evaluasi proses atau formatif dilakukan
setiap selesai melaksanakan tindakan, evaluasi hasil atau sumatif
dilakukan dengan membandingkan respon klien pada tujuan khusus dan
umum yang telah ditentukan. Evaluasi dapat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan SOAP, sebagai pola pikir.
Adapun hasil tindakan yang ingin dicapai pada pasien dengan perilaku
kekerasan antara lain:
a. Klien dapat mengontrol atau mengendalikan perilaku kekerasan.
b. Klien dapat membina hubungan saling pecaya.
c. Klien dapat mengenal penyebab perilaku kekerasan yang
dilakukakannya.
d. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
e. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang pernah
dilakukan.
f. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
g. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam mengungkap-
kan kemarahan.
2. Kerja
2.1 Pengkajian
2.1.1 Penyebab
“Apa yang menyebabkan Eko marah?” “Apakah disertai rasa
kesal atau kecewa dan ingin memukul?”
2.1.2 Tanda/gejala
"Apakah yang dirasakan saat marah, apakah merasa tegang,
tangan terkepal, mengatupkan rahang dengan kuat?” “Apakah
bicara kasar, suara tinggi, menjerit atau berteriak?” “Apakah
berjalan mondar mandir dengan marah dan melemparkan
barang-barang atau memukul orang?”
2.1.3 Akibat
2.1.4 "Apakah akibat dengan cara marah demikian?” “Apakah
dengan cara seperti itu marahnya bisa hilang?”
2.2 Diagnosis
“Eko sering kesal dengan berteriak, melempar barang sampai
memukul orang lain.” “Jadi Eko masih sulit mengendalikan marah
sehingga bisa terjadi perilaku kekerasan.” Apakah Eko ingin belajar
mengendalikannya?”
2.3 Tindakan
“Baiklah, saya akan bantu Eko untuk mengatasi marah dengan
beberapa cara.”
2.3.1 Latihan relaksasi napas dalam, pukul bantal kasur, olahraga,
bersihkan rumah dan pekarangan
- Contohkan: “Tarik napas panjang secara perlahan dari
hidung, tahan sebentar dan keluarkan secara perlahan dari
mulut seperti mengembuskan kekesalan Eko” “Pukul bantal
kasur saat kesal.” “Olahraga lari, pukul samsak atau latihan
tinju, push up, bermain bola, berguna untuk menyalurkan
energi marah.” “Jangan lupa, bersihbersih juga bisa
mengurangi marah dan membuat rumah menjadi bersih”
3.5 Salam
“Semoga cepat sembuh!”
DAFTAR PUSTAKA
Moomina Siauta, Hani Tuasikal, Selpina Embuai. 2020. Upaya Mengontrol Perilaku
Agresif Pada Perilaku Kekerasan Dengan Pemberian Rational Emotive
Behavior Therapy. Jurnal Keperawatan Jiwa (JKJ): Persatuan Perawat
Nasional Indonesia. Maluku
Dermawan, R., & Rusdi. (2013). Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka Kerja
Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing
Damayanti, & Iskandar. 2014. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika
Aditama.
Keliat, B. A. (2015). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta : EGC.
Damayanti, M., & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika
Aditama
Fitria, N. 2010. Prinsip Dasar dan aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta:
Salemba Medika.
Reny Tjahja Hidayati. 2018. Pengaruh Terapi Kognitif Dan Perilaku Terhadap
Peningkatan Kemampuan Perawatan Diri Pada Klien Skizofrenia Dengan
Defisit Perawatan Diri Di Rsjd Dr. Amino Gondohutomo. Surabaya.
Universitas Airlangga
Desak Made Ari Dwi Jayanti, dkk. 2022. Pengaruh Teknik Relaksasi Pernafasan
Dalam terhadap Perilaku Marah Pasien Skizofrenia di UPTD RSJ
Provinsi Bali. Bali. Journal of Health (JoH) - Vol. 9 No. 1 (2022), 1-8
Biyan Tazqiyatus Sudia, dkk. 2021. Aplikasi Terapi Relaksasi Nafas Dalam terhadap
Pengontrolan Marah dengan Pasien Gangguan Jiwa Resiko Perilaku
Kekerasan di Wilayah Desa Maleber Kabupaten Cianjur. Sukabumi.
Jurnal Lentera Volume 4, Nomor 1, Juli 2021
Salfiana, dkk. 2022. PENERAPAN RELAKSASI OTOT PROGRESIF DAN
TERAPI WUDHU PADA PASIEN PERILAKU KEKERASAN: SUATU
STUDI KASUS. Aceh. JIM Fkep Volume 1 Nomor 2 Tahun 2022
Jek Amidos Pardede, Efendi Putra Hulu. 2020. Pengaruh Behaviour Therapy
Terhadap Risiko Perilaku Kekerasan Pada Pasien Skizofrenia Di Rumah
Sakit Jiwa Prof.Dr. Muhammad Ildrem Provsu Medan. Lampung. Konas
Jiwa XVI Lampung
Nur Cahyo Sasongko, Eni Hidayati. 2020. Penerapan Terapi Musik, Dzikir dan
Rational Emotive Cognitive Behavior Therapy pada Pasien dengan
Resiko Perilaku Kekerasan. Semarang. Ners Muda, Vol 1 No 2, Agustus
2020/ page 93-99
I Komang Kariana. 2022. Pengaruh terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori
terhadap kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasan pada pasien
skizofrenia di rsj provinsi bali. Bali. Vol. 9 No. 1 (2022): Bali Medika
Jurnal Vol 9 No 1 Juli 2022
Susilawati, Panzilion. 2022. Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Terhadap
Kemampuan Mengontrol Emosi Pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan Di
Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Bengkulu. Bengkulu. Jurnal
Keperawatan Mandira Cendikia Vol.1 No. 1 Agustus 202
LAPORAN PENDAHULUAN ISOLASI SOSIAL
A. DEFINISI
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain
disekitarnya (Sutejo, 2019). Isolasi sosial adalah ketidakmampuan untuk
membina hubungan yang erat, hangat, terbuka dan interdependen dengan orang
lain (SDKI,2017). Isolasi sosial adalah seperangkat pola atau sifat yang
menghambat kemampuan seseorang untuk mempertahankan hubungan yang
bermakna, perasaan puas dan menikmati hidup (Stuart, 2016).
B. PENYEBAB
Penyebab isolasi sosial yaitu:
1. Faktor perkembangan.
Dalam pencapaian tugas perkembangan dapat mempengaruhi respon
sosial maladaptif pada setiap individu.
2. Faktor biologis.
Faktor genetik dapat berperan dalam respon sosial maladaptif,
keterlibatan neuro transmitter dalam perkembangan gangguan ini.
3. Faktor sosiokultural.
Norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap orang lain, atau
tidak menghargai anggota masyarakat yang kurang produktif, seperti lanjut
usia, orang cacat, dan penderita penyakit kronis dapat menyebabkan
terjadinya isolasi sosial.
4. Faktor keluarga.
Komunikasi dalam keluarga dapat mengantar seseorang dalam
gangguan berhubungan, bila keluarga hanya menginformasikan hal-hal
yang negatif akan mendorong anak mengembangkan harga diri rendah.
D. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi adalah faktor pencetus terjadinya suatu masalah. Penyebab
isolasi sosial berdasarkan faktor presipitasi antara lain sebagai berikut:
1 Ingin sendiri
lain.
Objektif
1. Menarik diri
2. Menolak melakukan interaksi
3. Afek datar
4. Afek sedih
5. Afek tumpul
6. Tidak ada kontak mata
7. Tidak bergairah atau lesu
b) Minor
Subjektif:
1. Menunjukkan permusuhan
2. Tindakan berulang
3. Tindakan tidak berarti
F. RENTANG RESPON
Dalam membina hubungan sosial, individu berada dalam rentang respon
yang adaptif sampai dengan maladaptif. Respon adaptif merupakan respon yang
dapat diterima oleh norma-norma sosial dan kebudayaan yang secara umum
berlaku. Sedangkan respon maladaptif merupakan respon yang dilakukan
individu untuk menyelesaikan masalah yang kurang dapat diterima oleh norma
sosial dalam budaya setempat (Stuart, 2016).
a. Respons adaptif
Respon adaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan suatu hal dengan
cara yang dapat diterima oleh norma-norma masyarakat (Sutejo, 2019).
1. Solitude (menyendiri)
Respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang
telah dilakukan di lingkungan sosialnya dan juga suatu cara mengevaluasi
diri untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya (Muhith, 2015).
Respon yang dilakukan individu dalam merenungkan hal yang terjadi atau
dilakukan dengan tujuan mengevaluasi diri untuk kemudian menentukan
rencana-rencana (Sutejo, 2019).
2. Otonomi
Kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan ide,
pikiran, perasaan dalam berhubungan sosial (Muhith, 2015). Dalam praktek
keperawatan memiliki kemandirian, wewenang dan tanggung jawab untuk
mengatur profesinya, mencakup kemandirian dalam memberikan asuhan
keperawatan. Sehingga individu mampu menetapkan diri untuk
interdependen dan pengaturan diri (Sutejo, 2019).
3. Mutualisme atau bekerja sama
Suatu kondisi dalam hubungan interpersonal di mana individu
mampu untuk saling memberi dan menerima (Muhith, 2015). .
Kemampuan individu untuk saling member dan menerima dalam hubungan
sosial (Sutejo, 2019).
4. Interdependen atau saling ketergantungan
Suatu hubungan saling tergantung antar individu dengan orang lain
dalam rangka membina hubungan interpersonal (Muhith, 2015). Kesediaan
untuk bertanggung jawab dan bahkan mampu mempunyai pekerjaan
(Pieter,2017). Mempunyai hubungan ketergantungan antar individu dalam
suatu hubungan (Sutejo, 2019)
b. Respons maladaptif
Respon maladaptif adalah respons individu dalam menyelesaikan masalah
dengan cara yang bertentangan dengan norma agama dan masyarakat (Sutejo,
2019).
2. Menarik diri
Individu mengalami kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka
dengan orang lain. Gangguan yang terjadi apabila seseorang memutuskan
untuk tidak berhubungan dengan orang lain untuk mencari ketenangan
sementara (Muhith, 2015). Konsep diri yang tak realistis, perilaku
canggung sehingga membuat rasa kecewa pada diri sendiri, menghindar
dari orang lain dan bahkan mengisolasikan diri (Pieter,2017)
3. Tergantungan
Seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri sehingga
tergantung pada orang lain (Yosep, 2013). Gagal mengembangkan
kemampuannya untuk berfungsi secara sukses, merasa kesulitan yang
beresiko menjadi gangguan depresi dan gangguan cemas sehingga
berkecenderungan berpikiran untuk bunuh diri (Muhith, 2015).
4. Manipulasi
Perilaku dimana orang memperlakukan orang lain sebagai objek dan
bentuk hubungan yang berpusat di sekitar isu-isu kontrol dan perilaku
mereka sulit dipahami (Stuart, 2016). Gangguan hubungan sosial yang
terdapat pada individu yang menganggap orang lain sebagai obyek dan
individu tersebut tidak dapat membina hubungan sosial secara mendalam.
Dan menurut Sutejo manipulasi dalam isolasi sosial adalah gangguan
sosial yang memperlakukan sebagai objek, dimana hubungan terpusat pada
pengendalian masalah orang lain dan individu cenderung berorientasi pada
diri sendiri, atau sikap mengontrol yang digunakan sebagai pertahanan
terhadap kegagalan atau frustasi yang dapat digunakan sebagai alat
berkuasa atas orang lain (Sutejo, 2019).
5. Impulsif
Ketidakmampuan belajar dari pengalaman dan tidak dapat
diandalkan (Stuart, 2016). Adapula kondisi dimana seseorang
mendapatkan dorongan untuk melakukan sebuah tindakan tanpa
memikirkan konsekuensinya terlebih dahulu, ditandai dengan ciri pribadi
jika bicara atau berbuat seringkali tidak disertai alasan- alasan atau
penalaran (Astuti, 2017). Respon sosial yang ditandai dengan individu
sebagai subjek yang tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya, tidak
mampu merencanakan, tidak mampu untuk belajar dari pengalaman dan
tidak dapat melakukan penilaian secara objektif (Sutejo, 2019).
6. Narcisme
Respon sosial ditandai dengan individu memiliki tingkah laku
egosentris, harga diri rapuh, dan mudah marah-marah jika tidak mendapat
dukungan dari orang lain (Sutejo, 2019). Orang dengan gangguan
kepribadian narsistik memiliki harga diri yang rapuh, mendorong mereka
untuk mencari pujian dan kekaguman secara terus-menerus, berusaha
mendapatkan penghargaan (Stuart, 2016).
G. MEKANISME KOPING
Mekanisme koping digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan
yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme
koping yang sering digunakan adalah proyeksi, splitting (memisah) dan isolasi.
Proyeksi merupakan keinginan yang tidak mampu ditoleransi dan klien
mencurahkan emosi kepada orang lain karena kesalahan sendiri. Splitting
merupakan kegagalan individu dalam menginterpretasikan dirinya dalam menilai
baik buruk. Sementara itu, isolasi adalah perilaku mengasingkan diri dari orang
lain maupun lingkungan (Sutejo, 2017).
H. PENATALAKSANAAN
a) Terapi Farmakologi
Pada pendekatan farmakologis, penderita skizofrenia biasanya diberikan
obat anti psikotik. Antipsikotik juga dikenal sebagai penenang mayor atau
neuroleptic. Pengobatan antipsikotik membantu mengendalikan perilaku
skizofrenia yang mencolok dan mengurangi kebutuhan untuk perawatan
rumah sakit jangka panjang apabila dikonsumsi pada saat pemeliharaanatau
secara teratur setelah episode akut. Prinsip pemberian farmakoterapi pada
skiofrenia adalah “start low, go slow” dimulai dengan dosis rendah
ditingkatkan sampai dosis noptimal kemudian diturunkan perlahan untuk
pemeliharaan. Berikut adalah sediaan antipsikotik yang sering diberikan.
Pemberian antipsikotik dilakukan melalui 3 tahapan dosis, initial, optimal dan
maintenance. Dosis optimal dipertahankan sampai 1-2 tahun. Dosis
maintenance diturunkan perlahan sampai mencapai dosis terkecil yang
mampu.
i) Aspek medik
Terapi yang diterima klien bisa berupa therapy farmakologi ECT,
psikomotor, therapy okopasional, TAK, dan rehabilitas.
3. Diagnosis Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan interprestasi ilmiah dari data pengkajian
yang digunakan untuk mengarahkan perencanaan, implementasi, dan evaluasi
keperawatan. (Damaiyanti & Iskandar, 2012). Diagnosa keperawatan yang
muncul pada pasien dengan isolasi sosial yaitu Isolasi social.
4. Tindakan Keperawatan
1. Tindakan pada klien
Tindakan keperawatan
ners
6. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah pengukuran keefektifan pengkajian, diagnosis, perencanaan,
dan implementasi (Rasdal & Mary, 2014). Evaluasi adalah proses yang
berkelanjutan untuk menilai afek dari tindakan pada pasien. Evaluasi dilakukan
secara terus-menerus pada respon pasien terhadap keperawatan yang telah
dilaksanakan, evaluasi dibagi menjadi dua, evaluasi proses atau formatif, yang
dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan, evaluasi hasil atau sumatif yang
dilakukan dengan membandingkan antara respon pasien dan tujuan khusus serta
umum yang telah ditentukan (Keliat, 2006).
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan :
Didalam evaluasi ada terdapat dua menurut Damaiyanti (2014), sebagai berikut :
a. Planning perawat adalah apa tindakan selanjutnya yang akan dilakukan.
b. Planning klien adalah memotivasi klien agar klien mampu melaksanakan
kegiatan hariannya.
J. STRATEGI PELAKSANAAN
1. Orientasi
1.1 Salam
“Selamat pagi pak. perkenalkan saya Perawat Budi, perawat rumah sakit Harja.
Nama Adik siapa? senang panggil apa?”
1.2 Evaluasi
“Apa yang Nina rasakan saat ini ?”
1.3 Validasi
“Apa yang telah Nina lakukan untuk mengatasi rasa
1.4 Kontrak
1.4.1 Tindakan dan tujuan
14.3 Tempat
2. Kerja
2.1 Pengkajian
“Apa yang Nina rasakan saat sedang bersama dengan orang? Apakah ada
perasaan tidak nyaman jika bersama orang lain? Menurut Nina bagaimana sikap
keluarga terhadap bagaimana pendapat Nina tentang sikap tetangga?”
“Siapa saja anggola keluarga yang sering bercakap-cakap dengan Nina? Apa saja
yang biasanya dipercakapkan ? Selain anggota keluarga siapa teman terdekat
Nina? Apa alasannya Nina senang bercakap-cakap dan merasa dekat dengan ?
Siapa saja yang jarang atau bahkan tidak pernah bercakap-cakap dengan Nina?
apa yang meyeoabkan Nina tidak ingin bercakap-cakap dengan orang lain selain
dengan orang yang dekat? Apakah ada pengalaman yang tidak menyenangkan
ketika bergaul dengan orang lain? Apakah ada yang menghambat Nina dalam
berteman atau bercakap-cakap dengan orang lain?”
2.2 Diagnosis
“Nina sering merasa kesepian, merasa ditolak oleh orang lain dan takut
bercakap-cakap dengan orang lain sehingga berdiam diri di kamar. Ini kita sebut
isolasi soslal. Bagaimana kalau Nina latihan bercakap-cakap dengan orang lain?"
2.3 Tindakan
2.3.1 Diskusikan keuntungan apabila klien memiliki banyak teman dan bergaul
akrab dengan mereka. "Menurut Nina, apabila saja manfaat jika kita
memiliki banyak teman? Benar, jika memiliki banyak teman maka ”
2.3.2 Diskusikan kerugian bila klien hanya mengurung diri dan tidak bergaul
dengan orang lain. "Menurut Nina, apa saja kerugiannya jika kita tidak
bergaul dengan orang lain? Benar sekali?”
2.3.3 Jelaskan kepada klien cara bercakap-cakap dengan orang lain.
“Jika kita telah mengenal orang yang akan diajak bercakap-cakap, kita
dapat langsung menghampiri, menyapa dan mengajaknya bercakap-cakap.”
“Jika kita belum mengenal orang yang akan diajak bercakap-cakap maka
hal pertama yang dilakukan adalah berkenalan dengan orang tersebut.”
2.3.4 Latihan berkenalan
Contohkan: Jika ada orang baru, tamu tidak dikenal lakukan seperti ini:
“Selamat pagi, kenalkan saya budi Keliat, panggil saya Budi, saya tinggal
di Bogor, hobi saya membaca.”
Lakukan dengan: “Namanya Siapa panggilannya, tinggal di mana, hobinya.
Wah senang berkenalan.”
Dampingi : “Ayo coba Nina lakukan kepada saya mulai perkenalan diri
(berikan dukungan), bagus sekali.
Mandiri : “Ayo sekarang coba lagi sendiri (berikan dukungan), dapat
diulang beberapa kali, mari kita coba dengan orang lain (dapat dicoba
dengan orang lain disekitar).
2.3.5 Latih bercakap-cakap dalam keluarga
Diskusikan percakapan dalam keluarga: salam, berbagi pengalaman , minta
bantuan. Beri contoh, dampingi dan klien mandiri melakukannya.
3. Terminasi
3.1 Evaluasi subjektif
“Bagaimana perasaan Nina setelah latihan kegiatan tadi?”
3.5 Salam
Semoga Nina lekas sembuh."
DAFTAR PUSTAKA
Ari Yogo Prasetiyo, Ita Apriliyani, dan Feti Kumala Dewi. 2021. Pengaruh Terapi Aktivitas
Kelompok Sosialisasi terhadap Kemampuan Interaksi Sosial Pasien Skizofrenia di
Bangsal Jiwa RSI Banjarnegara. Seminar Nasional Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat (SNPPKM) ISSN: 2809-2767 Purwokerto, Indonesia.
Dalami, E., Suliswati, Rochimah, Suryati, K. R., & Lestari, W. (2014). Asuhan
Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa (p. x + 200). CV. Jakarta: Trans
Info Media
Keliat, B.A. & Akemat. (2006). Proses Keperawatan Jiwa. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Yosep & Sutini (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika
Aditama.
LAPORAN PENDAHULUAN WAHAM
A. DEFINISI
Gangguan isi pikir adalah ketidakmampuan individu memproses
stimulus internal dan eksternal secara akurat. Gangguannya adalah berupa
waham yaitu keyakinan individu yang tidak dapat divalidasi atau
dibuktikan denganrealitas. Keyakinan individu tersebut tidak sesuai
dengan tingkat intelektualdan latar belakang budayanya, serta tidak dapat
diubah dengan alasan yanglogis. Selain itu keyakinan tersebut diucapkan
berulang kali (Kusumawati,2010).
Waham adalah suatu keyakinan yang dipertahankan secara kuat terus-
menerus, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. Waham adalah keyakinan
seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yangsalah. Keyakinan klien
tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latarbelakangbudayaklien.
B. ETIOLOGI
Menurut Sutejo, 2017 faktor penyebab waham yaitu :
1. Faktor predisposisi (Predisposing factor)
Faktor predisposisi terdiri dari tiga faktor, yaitu faktor biologis, faktor
psikologis, dan faktor sosial budaya.
a. Faktor biologis
Waham diyakini terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran
ventrikel di otak, atau perubahan pada sel kortikal dan lindik.
Abnormalitas otak yang menyebabkan respons neurologis yang
maladaptif yang bar mulai dipahami. Hal ini termasuk hal-hal
berikut:
1) Penelitian pencitraan otak sudah mulai menunjukkan keterlibatan
otak yang luas dan dalam perkem bangan skizofrenia. Hal yang
paling berhubungan dengan perilaku psikotik adalah adanya lesi
pada area frontal, temporal, dan limbik.
2) Beberapa senyawa kimia otak dikaitkan dengan skizofrenia.
Hasil penelitian menunjukkan hal-hal berikut ini: kadar
dopamine neurotransmitter yang berlebihan, ketidakseimbangan
antara dopamin dan neurotransmitter lain, masalah-masalah yang
terjadi pada sistem respons dopamine.
b. Fator psikologis
Tori psikodinamika yang mempelajari terjadinya respons
neurobiologi yang maladaptif belum didukung oleh penelitian.
Teori psikologi terdahulu menyalahkan keluarga sebagai penyebab
gangguan ini, sehingga menimbulkan kurangnya rasa percaya
(keluarga terhadap tenaga kesehatan jiwa profesional). Waham ini
juga dapat disebabkan oleh perbedaan perlakuan dari keluarga.
Misalnya saja, sosok ibu adalah tipe pencemas, sedangkan sosok
ayah adalah tipe yang kurang atau tidak peduli.
c. Faktor sosial budaya
Secara teknis, kebudayaan merupakan ide atau tingkah laku yang
dapat dilihat maupun yang tidak terlihat. Kebudayaan turut
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kepribadian
seseorang, misalnya melalui aturan-aturan kebiasaan yang berlaku
dalam kebudayaan tersebut. Unsur-unsur dari faktor social budaya
dapat mencakup kestabilan keluarga, pola mengasuh anak, tingkat
ekonomi, perumahan (perkotaan lawan pedesaan), masalah
kelompok minoritas yang meliputi prasangka, fasilitas kesehatan,
pendidikan, dan kesejahteraan 11 yang tidak memadai, pengaruh
rasial dan keagamaan, serta nilainilai (Yosep, 2009). Di sisi lain,
timbulnya waham dapat disebabkan oleh perasaan teasing dari
lingkungannya dan kesepian (Direja, 2011).
2. Faktor biologis
Berbagai zat dan kondisi medis non-psikiatrik dapat
menyebabkan waham, sehingga menyatakan bahwa faktor biologis
yang jelas dapat menyebabkan waham. Akan tetapi, tidak semua orang
dengan tumor memiliki waham. Klien yang wahamnya disebabkan
oleh penyakit neurologis serta yang tidak memperlihatkan gangguan
intelektual, cenderung mengalami waham kompleks yang serupa
dengan penderita gangguan waham. Sebaliknya, penderita gangguan
neurologis dengan gangguan intelektual sering mengalami waham
sederhana. Jenis waham sederhana ini tidak seperti waham pada klien
dengan gangguan waham.
Timbulnya gangguan waham bisa merupakan respons normal
terhadap pengalaman abnormal pad lingkungan, sistem saraf tepi, atau
sistem saraf pusat. Jadi, jika klien mengalami pengalaman sensorik
yang salah, seperti merasa dikuti (mendengar langkah kaki), klien
mungkin percaya bahwa mereka sebenarnya diikuti. Hipotesis tersebut
tergantung pada pengalaman seperti halusinasi yang perlu dijelaskan.
Sementara itu, pengalaman halusinasi tersebut pada gangguan waham
tidak terbukti.
3. Faktor psiko dinamik
Banyak klien dengan gangguan waham memiliki suatu kondisi
sosial terisolasi dan pencapaian sesuatu dalam kehidupannya tidak
sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Teori psikodinamik spesifik
mengenai penyebab dan evolusi gejala waham melibatkan anggapan
seputar orang hipersensitif dan mekanisme ego spesifik, pembentukan
reaksi, proyeksi, dan penyangkalan.
4. Mekanisme defense
Klien dengan gangguan waham menggunakan mekanisme defensi
berupa proyeksi, penyangkalan, dan pembentukan reaksi. Pembentukan
reaksi digunakan oleh klien sebagai pertahanan terhadap agresi,
kebutuhan untuk bergantung, dan perasaan afeksi serta transformasi
kebutuhan akan ketergantungan menjadi ketidaktergantungan yang
berkepanjangan. Untuk menghindari kesadaran terhadap realita yang
menurutnya menyakitkan, klien menggunakan mekanisme
penyangkalan (Sadock & Sadock, 2010). Ditimbun oleh perasaan
dendam, marah, dan permusuhan kepada orang lain, klien menggunakan
proyeksi untuk melindungi diri mereka sendiri dari pengenalan impuls
yangtidak dapat diterima dalam diri mereka.
C. TANDA DAN GEJALA
Menurut Sutejo, 2017 gejala gangguan waham dibagi menjadi beberapa
kategori yaitu kognitif, afektif, perilaku dan hubungan sosial serta gejala
fisik.
1. Gejala kognitif waham :
a. Tidak mampu membedakan realita dan fantasi
b. Keyakinan yang kuat terhadap keyakinan palsunya
c. Mengalami kesulitan dalam berpikir realita
d. Tidak mampu dalam mengambil keputusan
2. Gejala afektif waham :
a. Situasi yang tidak sesuai dengan kenyataan
b. Afek tumpul (blunted affect)
c. Gejala perilaku dan hubungan social :
Hipersensitifitas
Depresi
Ragu-ragu
Hubungan interpersonal dengan orang lain bersifat dangkal
Mengancam secara verbal
Aktivitas tidak tepat
Impulsive
Curiga
Pola pikir stereotip
3. Gejala fisik :
Kebersihan diri kurang
Muka pucat
Sering menguap
Turunnya berat badan dan nafsu makan
Sulit tidur
D. KLASIFIKASI WAHAM
Menurut Yosep (2010), waham diklasifikasikan menjadi 5 macam :
1. Waham kebesaran (Grandiosity)
Klien meyakini bahwa memiliki suatu kebesaran atau kekuasaan
terhadap dirinya.
2. Waham agama (Religious)
Klien memiliki keyakinan berlebihan terhadap suatu agama.
3. Waham somatik (Somatic)
Klien meyakini bahwa tubuh atau bagian dari tubuhnya terganggu atau
terserang suatu penyakit.
4. Waham nihilistik (Nihilistic)
Klien meyakini bahwa dirinya sudah tiada atau meninggal dan
keyakinannya terhadap hal ini diucapkan secara berulang-ulang.
5. Waham bizar (Bizarre)
Suatu paham yang melibatkan fenomena keyakinan seseorang yang
sama sekali tidak masuk akal.Waham bizar terdiri dari waham sisip
pikir (thought of insertion), waham siar pikir (thought of
broadcasting), dan waham kendali pikir (thought of being controlled).
a. Waham sisip pikir adalah waham di mana klien meyakini bahwa
ada pikiran orang lain yang disisipkan dipikirannya
b. Waham siar pikir adalah waham di mana klien memiliki
keyakinan yang tidak masuk akal bahwa orang lain dapat
mendengar atau menyadari pikirannya.
c. Waham kontrol pikir adalah waham dimana pikirannya dikontrol
oleh kekuatan yang adadiluardirinya
E. RENTANG RESPON
Respon Adaptif Respon Maladaptif
3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Perubahan Proses Pikir : Waham
4. INTERVENSI KEPERAWATAN
Tindakan pada Klien
Tindakan Keperawatan Ners Kepada klien
1) Pengkajian : kaji tanda dan gejala, penyebab waham dan
kemampuan klien mengatasinya.
2) Diagnosis : jelaskan proses terjadinya waham
3) Tindakan keperawatan :
a) Sikap perawat : kalem, lembut, netral, jujur, hindari
pertentangan, bicara jelas, dan simpel.
b)Tidak mendukung dan tidak membantah waham klien.
c) Yakinkan klien berada pada lingkungan yang aman.
d)Bantu klien untuk orientasi realitas (orang, tempat dan
waktu).
e) Diskusikan kebutuhan klien yang belum terpenuhi.
f) Bantu klien dalam memenuhi kebutuhan yang realistis.
g)Diskusikan kemampuan/aspek positif yang dimiliki klien.
h)Latih klien dalam melakukan kemampuaan aspek postif
yang dimiliki.
Tindakan Keperawatan Spesialis : Tindakan Kognitif Perilaku
1) Sesi 1 : Mengidentifikasi pengalaman yang tidak
menyenangkan dan menimbulkan pikiran otomatis negatif dan
perilaku negatif.
2) Sesi 2 : Melawan pikiran otomatis negatif.
3) Sesi 3 : Mengubah perilaku negatif menjadi positif
4) Sesi 4 : Memanfaatkan system pendukung
5) Sesi 5 : Mengevaluasi manfaat melawan pikiran negatif dan
mengubah perilaku negative
Berdasarkan hasil yang didapatkan dari 5 jurnal sejenis dan 1
jurnal pembanding dengan intervensi yang berbeda yang
dilakukan oleh Jihan (2021) terapi CBT dan musik efektif untuk
menurunkan kecemasan pada pasien gangguan jiwa, khusunya
pasien skizofrenia dengan waham. Dan berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Nadiya (2021) didapatkan hasil penelitian
menunjukkan perbedaan tingkat kecemaan pasien waham antara
sebelum dan sesudah diberikan terapi kognitif pada pasien
gangguan jiwa waham yang menjalani rawat inap di rsjd dr. arif
zainudin surakarta, didapatkan laki-laki (90%), umur 26-35 tahun
(40%), sma (53,3%), bekerja (80%) lama menderita gangguan
jiwa 1-5 tahun (50%). dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
terjadi penurunan tingkat kecemasan pada pasien waham setelah
diberikan terapi kognitif.
Tindakan pada Keluarga
a. Tindakan keperawatan ners
1) Kaji masalah klien yang dirasakan keluarga dalam merawat klien
2) Menjelaskan pengertian, penyebab, tanda dan gejala, serta proses
terjadinya waham yang dialami klien
3) Mendiskusikan cara merawat waham dan memutuskan cara
merawat yang sesuai dengan kondisi klien
4) Melatih keluarga cara merawat waham:
a) Tidak mendukung dan tidak membantah waham klien (netral)
b) Membimbing klien melakukan latihan cara mengendalikan
waham sesuai dengan yang dilatih perawat kepada klien
c) Memberi pujian atas keberhasilan klien
5) Melibatkan seluruh anggota keluarga dalam membimbing
orientasi realita (orang, tempat dan waktu), memenuhi kebutuhan
klien yang tidak terpenuhi, memotivasi melakukan kemampuan/
aspek positif yang dimiliki. Memberi pujian atas
keberhasilannya.
6) Menjelaskan tanda dan gejala yang memerlukan rujukan segera
serta melakukan follow up kepelayanan kesehatan secara teratur
b. Tindakan keperawatan spesialis: Psikoedukasi keluarga
1) Sesi 1: Mengidentifikasi masalah kesehatan yang dihadapi klien
dan masalah kesehatan keluarga dalam merawat klien
2) Sesi 2: Merawat masalah kesehatan klien
3) Sesi 3: Manajemen stress untuk keluarga
4) Sesi 4: Manajemen beban untuk keluarga
5) Sesi 5: Memanfaatkan system pendukung
6) Sesi 6: Mengevaluasi manfaat psikoedukasi keluarga
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Zulhaini,dkk (2022)
terapi psikoedukasi keluarga meningkatkan kemandirian klien
gangguan jiwa yang dirawat di rumah.
Tindakan pada Kelompok Klien
a. Tindakan keperawatan ners
Terapi aktivitas kelompok: orientasi realita.
1) Sesi 1: Pengenalan orang
2) Sesi 2: Pengenalan tempat
3) Sesi 3: Pengenalan waktu
b. Tindakan keperawatan spesialis: Terapi suportif
1) Sesi 1: Identifikasi masalah dan sumber pendukung di dalam
dan luar keluarga
2) Sesi 2: Latihan menggunakan system pendukung dalam
keluarga
3) Sesi 3: Latihan menggunakan sistem pendukung luar keluarga
4) Sesi 4: Evaluasi hasil dan hambatan penggunaan sumber
pendukung
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Laily (2016) didapatkan
hasil Penelitian setelah dilakukan Terapi Orientasi Realita (TOR)
menunjukkan bahwa klien mampu berorientasi secara realita, yaitu klien
tidak menyatakan kalimat dan bahasa yang di ucapkan ketika awal
pengkajian dan klien mampu berorientasi secara realita. Keberhasilan
Terapi Orientasi Realita (TOR) terhadap pasien dengan Gangguan
Proses Pikir: Waham Agama dipengaruhi oleh kemauan klien dalam
terapi. Dan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nofrida (2018)
didapatkan hasil bahwa ada pengaruh terapi aktivitas kelompok
sosialisasi terhadap kemampuan sosialisasi klien isolasi sosial di ruang
rawat inap rumah sakit jiwa daerah provinsi Jambi tahun 2016.
Tindakan Kolaborasi
a. Melakukan kolaborasi dengan dokter menggunakan ISBAR dan
TbaK.
b. Memberikan program terapi dokter (obat): Edukasi 8 benar
pemberian obat dengan konsep safety pemberian obat.
c. Mengobservasi manfaat dan efek sampingobat.
5. EVALUASI
Menurut Yusuf (2015) evaluasi yang diiharapkan pada asuhan
keperawatan jiwa dengan gangguan proses pikir adalah pasien
mampu melakukan hal berikut:
a. Mengungkapkan keyakinannya sesuai dengan kenyataan.
b. Berkomunikasi sesuai kenyataan.
c. Menggunakan obat dengan benar dan patuh
I. Strategi Pelaksanaan
STANDAR PELAKSANAAN KOMUNIKASI(SP1)DENGAN KLIEN
WAHAM
Pertemuan ke-1 Klien
1. Orientasi
1.1 Salam
"Selamat pagi Dik, perkenalkan saya perawat…, Perawat….
Nama Adik siapa? Senang dipanggil apa? Oh baik, kalau begitu
saya memanggilnya dengan…. ya.”
1.2 Evaluasi
“Apa yang …. rasakan saat ini?”
"Oo ....jadi menganggap diri…. adalah nabi? Sudah berapa lama
…. berpikir sebagai seorang nabi? Pada saat…..berpikir seperti
itu, apa yang …. rasakan?”
1.3 Validasi
1.4.3 Tempat
“Jika kita berbicaranya di sini saja, apakah…merasa
nyaman?”
2. Kerja
2.1 Pengkajian
“Siapa nama lengkap…? Apa pekerjaan….? Apakah pengalaman
yang tidak menyenangkan selama hidup.., pada masa kanak-kanak
atau remaja? Bagaimana… menghadapi masalah tersebut? Siapa
yang membantu jika ada masalah? Apakah… biasa menceritakan
masalah kepada orang lain? Bagaimana hubungan… dengan orang
tua? Bagaimana hubungan…dengan tetangga di sekitar rumah?”
Coba … ceritakan berada di mana sekarang? …bisa menyebutkan
nama orang tua secara lengkap? Sekarang tanggal berapa ya…?"
“Apa yang … rasakan berada di sini?”
“Bagaimana makan…? Apakah… melakukan mandi, gosok gigi
setiap hari? Apakah … rutin melakukan potong kuku setiap
seminggu sekali?"
“Apakah…kenal dengan teman-teman di sekitar sini? Bisa…
sebutkan satu saja nama temannya?
“Jika klien membicarakan wahamnya, dengarkan tanpa mendukung
atau menyangkalnya sampai klien berhenti bicara.”’
2.2 Diagnosis
“Baik ..., tadi saya sudah dengarkan ceritanya. ... merasa sebagai
nabi, masih ada yang belum kenal dan enggan bertemu orang lain?"
2.3 Tindakan
“Baiklah, bagaimana kalau kita latihan tentang situasi lingkungan,
memenuhi kebutuhan, kemampuan yang dimiliki dan mencapai,
kenyamanan."
Kusumawati F dan Hartono Y. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba
Medika.
Sadock, B.J., Sadock, V.A., & Ruiz, P. 2010. Kaplan & Sadock’s Comprehensive
Textbook of Psychiatry (9th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins
Aditama.
Yusuf, Ahmad Dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika
Jihan Fauziah, Femi Kesumawati. 2021. Terapi Kognitif Perilaku Dapat Menurunkan
Kecemasan Sosial Pada Pasien Waham : Literature Review. Jurnal Borneo
Cendekia, [S.l.], v. 5, n. 1, p. 133-136, mar. 2021. ISSN 2549-1822.
Available at: <http://journal.stikesborneocendekiamedika.ac.id/index.php/
jbc/article/view/267>. Date accessed: 01 dec. 2022. doi:
https://doi.org/10.54411/jbc.v5i1.267.
Nadiya Intan Pratiwi. 2021. perbedaan tingkat kecemasan pasien waham antara
sebelum dan sesudah diberikan terapi kognitif. Surakarta. Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
A. Definisi
Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko untuk
menyakiti diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa.
Dalam sumber lain dikatakan bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif
terhadap diri sendiri yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada kematian.
Perilaku destruktif diri yang mencakup setiap bentuk aktivitas bunuh diri, niatnya
adalah kematian dan individu menyadari hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan.
(Stuart dan Sundeen, 1995 dalam Fitria, 2009).
B. Jenis-jenis Bunuh Diri
Menurut Durkheim, bunuh diri dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Bunuh diri egoistic (faktor dalam diri seseorang)
Individu tidak mampu berinteraksi dengan masyarakat, ini disebabkan oleh
kondisikebudayaan atau karena masyarakat yang menjadikan individu itu
seolah-olah tidak berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat
menerangkan mengapa merekatidak menikah lebih rentan untuk melakukan
percobaan bunuh diri dibandingkan merekayang menikah.
2. Bunuh diri altruistic (terkait kehormatan seseorang)
Individu terkait pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk
bunuh diri karenaindentifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa
kelompok tersebut sangatmengharapkannya.
3. Bunuh diri anomik (faktor lingkungan dan tekanan)
Hal ini terjadi bila terdapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu
dan masyarakat, sehingga individu tersebut meninggalkan norma-norma
kelakuan yang biasa. Individu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat
atau kelompoknya tidak memberikan kepuasan padanya karena tidak ada
pengaturan atau pengawasan terhadap kebutuhan-kebutuhannya.
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh klien
untukmengakhiri kehidupannya. Berdasarkan besarnya kemungkinan klien
melakukan bunuh diri,ada tiga macam perilaku bunuh diri yang perlu
diperhatikan yaitu:
1. Isyarat bunuh diri
Isyarat bunuh diri ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak langsung
ingin bunuh diri, misalnya dengan mengatakan: ”Tolong jaga anak- anak
karena saya akan pergi jauh!” atau“Segala sesuatu akan lebih baik tanpa
saya.” Pada kondisi ini klien mungkin sudah memiliki ide untuk mengakhiri
hidupnya, namun tidakdisertai dengan ancaman dan percobaan bunuh diri.
Klien umumnya mengungkapkan perasaan seperti rasa bersalah/ sedih/ marah/
putus asa/ tidak berdaya. Klien jugamengungkapkan hal-hal negatif tentang
diri sendiri yang menggambarkan harga diri rendah
2. Ancaman bunuh diri.
Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh klien, berisi keinginan
untuk mati disertai dengan rencana untuk mengakhiri kehidupan dan
persiapan alat untuk melaksanakan rencana tersebut. Secara aktif klien telah
memikirkan rencana bunuh diri, namun tidak disertai dengan percobaan bunuh
diri.Walaupun dalam kondisi ini klien belum pernah mencoba bunuh diri,
pengawasan ketat harus dilaksanakan. Kesempatan sedikit saja dapat
dimanfaatkan klien untuk melaksanakan rencana bunuh dirinya.
3. Percobaan bunuh diri.
Percobaan bunuh diri merupakan tindakan klien mencederai atau melukai
diri untukmengakhiri kehidupannya. Pada kondisi ini, klien aktif mencoba
bunuh diri dengan caragantung diri, minum racun, memotong urat nadi, atau
menjatuhkan diri dari tempat tinggi.
C. Tahap-tahap Resiko Bunuh Diri
1. Suicidal Ideation
Sebuah metode yang digunakan tanpa melakukan aksi atau tindakan, bahkan
klien pada tahap ini tidak akan menungkapkan idenya apabila tidak di tekan.
2. Suicidal Intent
Pada tahap ini klien mulai berfikir dan sudah melakukan perencanaan yang
konkrit untuk melakukan bunuh diri
3. Suicidal Threat
Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan hasrat yang
dalam bahkan ancaman untuk mengakhiri hidupnya.
4. Suicidal Gesture
Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang diarahkan pada
diri sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam kehidupannya, tetapi
sudah oada percobaan untuk melakukan bunuh diri.
5. Suicidal Attempt
Pada tahap ini perilaku destruktif klien mempunyai indikasi individu yang
ingin mati dan tidak mau diselamatkan. Misalnya, minum ibat yang
mematikan.
D. Tanda dan Gejala
Tanda dan Gejala menurut Fitria, Nita (2009):
1. Mempunyai ide untuk bunuh diri.
2. Mengungkapkan keinginan untuk mati.
3. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.
4. Impulsif.
5. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh).
6. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.
7. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat
dosismematikan).
8. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panic, marah dan
mengasingkandiri).
9. Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi,
psikosis danmenyalahgunakan alcohol).
10. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronis atau terminal).
11. Pengangguaran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami
kegagalan dalamkarier).
12. Umur 15-19 tahun atau di atas 45 tahun.
13. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
14. Pekerjaan.
15. Konflik interpersonal.
16. Latar belakang keluarga.
17. Orientasi seksual.
18. Sumber-sumber personal.
19. Sumber-sumber social.
20. Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.
E. Predisposisi
a. Teori genetic
1. Genetik
Prilaku bunuh diri menurut shadock (2011) serta Varcarolis dan Hitler
(2010) merupakan sesuatu yang di turunkan dalam keluarga kembar
monozigot memiliki reriko dalam melakukan bunuh diri stuard (2011).
2. Hubungan neurokimia
Nourotransmiter adalah zat kimia dalam otak dari sel ke saraf ,
peningkatan dan penurunan neuro transmiter mengakibatkan perubahan
pada prilaku. Neurotrasmiter yg yang di kaitkan dengan prilaku bunuh
diri adalah dopamine, neuroepineprin, asetilkolin, asam amino dan gaba
(Stuard, 2011).
3. Diagnosis psikiatri
Lebih dari 90 % orang dewasa yg mengahiri hidupnya dengan bunuh
diri mengalami gangguan jiwa.
4. Gangguan jiwa yang beriko menimbulkan individu untuk bunuh diri
adalah gangguan modd , penyalah gunaan zat , skizofrenia , dan gangguan
kecemasan (Stuard, 2013).
b. Faktor psikologi
1. Kebencian terhadap diri sendiri
Bunuh diri merupakan hasil dari bentuk penyerangan ataw kemarahan
terhaapp orang lain yang tidsk di trima dan di mannifestasikan atau di
tunjuksn pada diri sendiri (Stuard dan videbeck, 2011).
2. Ciri kepribadian
Keempat aspek kepribadian yg terkait dengan peningkatan resiko bunuh
diri adalah permusuhan, impulsive, depresi dan putus asa (Stuard, 2013 ).
3. Teori psikodinamika
Menyatakan bahwa depresi kaarna kehilangan suatu yang di cintai, rasa
keputusasaan, kesepian dan kehilangan harga diri (Shadock, 2011).
c. Faktor sosial budaya
1. Beberapa faktor yang mengarah kepada bunuh diri adalah kemisknan dan
ketikmampuan memenuhi kebutuhan dasar, pernikahan yang hancur,
keluarga dengan orang tua tunggal ( Towsend , 2009 ).
2. Faktor budaya yang di dalamnya adalah faktor spiritual, nilai yang di anut
oleh keluarga, pandangan terhadap perilaku yang menyebabkan kematian
berdampak pada angka kejadian bunuh diri (Krch et al, 2008).
3. Kehilangan, kurangnya dukungan sosial dan peristiwa keidupan yang
negatif dan penyakit fisik kronis. Baru-baru ini perpisahan perceraian dan
penurunan dukungan sosial merupakan faktor penting berhubungan
dengan resiko bunuh diri.(Stuard, 2013).
F. Presipitasi
Faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri adalah:
1. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/
gagal melakukan hubungan yang berarti.
2. Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres.
3. Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri
sendiri.
4. Cara untuk mengakhiri keputusan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh(Nur Aulia dkk 2019), dengan
judul Analisis Hubungan Faktor Resiko Bunuh Diri dengan Ide Bunuh diri pada
emaja di dapati hasil bahwa sebagian besar remaja yang memiliki ide bunuh diri
lebih tinggi dan terdapat hubungan factorpsikologis dan faktor biologis dengan
ide bunuh diri yang memepengaruhinya. Faktor psikologis merupakan faktor
yang paling dominan yang menyebabkanmunculnya ide bunuh diri.
G. Rentang Respon
Menurut Fitria (2012) mengemukakanrentang harapan-putus harapan
merupakan rentang adaptif-maladaptif:
Keterangan:
1. Peningkatan diri: seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahan diri
secarawajar terhadap situasional yang membutuhkan pertahan diri.
2. Beresiko destruktif: seseorangmemiliki kecenderungan atau beresiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap situasi
yang seharusnyadapat mempertahankan diri, seperti seseorang merasa patah
semangat bekerja ketika dirinya dianggap tidak loyal terhadap pimpinan
padahal sudah melakukan pekerjaan secara optimal.
3. Destruktif diri tidak langsung: seseorang telahmengambil sikap yang kurang
tepat terhadap situasi yangmembutuhkan dirinya untuk mempertahankan
diri.
4. Pencederaan Diri: seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau
pencederaan diriakibat hilangnya harapan terhadapsituasi yang ada.
5. Bunuh diri: seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan
nyawanya hilang.
H. Pohon Masalah
I. Diagnosis Keperawatan:
Diagnosis Keperawatan yang mungkin muncul pada prilaku percobaan bunuh diri:
1. Resiko bunuh diri.
2. Harga diri rendah
3. Koping yang tak efektif.
J. Mekanisme Koping
Klien dengan penyakit kronis, nyeri atau penyakit yang mengancam kehidupan
dapat melakukan perilaku destruktif-diri. Sering kali klien secara sadar memilih
bunuh diri. Menurut Stuart (2006) dalam Yollanda, Amadea (2018)
mengungkapkan bahwa mekanisme pertahanan ego yang berhubungan dengan
perilaku destruktif diri tidak langsung adalah penyangkalan, rasionalisasi, intelek-
tualisasi dan regresi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Nur Oktavia Hidayati, Fauzia,
Ivana 2021) dengan judul penelitian Aspek Spiritual terhadap Resiko Bunuh Diri
Narapidana di dapati hasil ahwa aspek spiritual merupakan aspek yang saangat
perlu diperhatikan terkait dalam mengatasi depresi yang berakibat resiko
terjadinya bunuh diri pada individu, sebagai koping yang baik untuk mengalihkan
resiko bunuh diri terhadap pasien.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN RESIKO BUNUH DIRI (RDS)
1. Pengkajian
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh klien
untukmengakhiri kehidupannya. Berdasarkan besarnya kemungkinan klien
melakukanbunuh diri, ada tiga macam perilaku bunuh diri yang perlu diperhatikan,
yaitu :
1) Isyarat bunuh diri
Isyarat bunuh diri ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak langsung ingin
bunuh diri, misalnya dengan mengatakan :”Tolong jaga anak-anak karena saya
akanpergi jauh!” atau “Segala sesuatu akan lebih baik tanpa saya.”Pada kondisi
ini klien mungkin sudah memiliki ide untuk mengakhiri hidupnya, namun tidak
disertai dengan ancaman dan percobaan bunuh diri. Klien umumnya
mengungkapkan perasaan seperti rasa bersalah/ sedih/ marah/ putus asa/tidak
berdaya. Klien juga mengungkapkan hal-hal negatif tentang diri sendiri
yangmenggambarkan harga diri rendah.
2) Ancaman bunuh diri.
Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh klien, berisi keinginan untukmati
disertai dengan rencana untuk mengakhiri kehidupan dan persiapan alat untuk
melaksanakan rencana tersebut.Secara aktif klien telah memikirkan rencana
bunuh diri, namun tidak disertai dengan percobaan bunuh diri.Walaupun dalam
kondisi ini klien belum pernah mencoba bunuh diri,pengawasan ketat harus
dilaksanakan. Kesempatan sedikit saja dapat dimanfaatkan klien untuk
melaksanakan rencana bunuh dirinya.
3) Percobaan bunuh diri.
Percobaan bunuh diri merupakan tindakan klien mencederai atau melukai
diri untuk mengakhiri kehidupannya. Pada kondisi ini, klien aktif mencoba
bunuh diridengan cara gantung diri, minum racun, memotong urat nadi, atau
menjatuhkan diridari tempat tinggi.
2. Tanda dan gejala
Mayor
Subjektif
a. Mengungkapkan kata-kata seperti “ tolong jaga anak-anak saya akan pergi
jauh!”
b. Menggungkapkan kata-kata “saya mau mati” “jangan tolong saya”
c. Memberikan ancaman akan melakukan bunuh diri
d. Mengungkapkan akan mengakhiri
hidupnya
Objektif
1. Murung,tak bergairah
2. Banyak diam
3. Menyiapkan rencana untuk bunuh diri
4. Membenturkan kepala
5. Melakukan bunuh diri secara aktif dengan berusaha
memotong nadi,mengantung diri,dan meminum racun
5. Tindakan keperawatan
Tindakan pada klien
a. Tindakan keperawatan ners
i. Pengkajian: kaji tanda dan gejala resiko bunuh diri,penyebab,dan
kemampuan mengatasinya
ii. Diagnosis: jelaskan proses terjadinya resiko bunuh diri dan akibatnya
serta skor skala intervensi bunuh diri
7. Pohon Masalah
Resiko Tinggi Isolasi Sosial Effect
H. ASUHAN KEPERAWATAN
a) Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi Nama, umur, jenis kelamin, tanggal dirawat, tanggal
pengkajian, nomor rekam medic
2. Faktor predisposisi merupakan faktor pendukung yang meliputi
faktor biologis, faktor psikologis, social budaya, dan faktor genetic
3. Factor presipitasi merupakan factor pencetus yang meliputi sikap
persepsi merasa tidak mampu, putus asa, tidak percaya diri, merasa
gagal, merasa malang, kehilangan, rendah diri, perilaku agresif,
kekerasan, ketidakadekuatan pengobatan dan penanganan gejala
stress pencetus pada umunya mencakup kejadian kehidupan yang
penuh dengan stress seperti kehilangan yang mempengaruhi
kemampuan individu untuk berhubungan dengan oranglain dan
menyebabkan ansietas.
4. Psikososial yang terdiri dari genogram, konsep diri, hubungan
socialdanspiritual
5. Status mental yang terdiri dari penampilan, pembicaraan, aktifitas
motorik,alam perasaan, afek pasien, interaksi selama wawancara,
persepsi, prosespikir, isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat
kosentrasi dan berhitung,kemampuanpenilaian, dan dayatilik diri.
6. Mekanisme koping: koping yang dimiliki klien baik adaptif
maupun maladaptive
7. Aspek medis yang terdiri dari diagnose medis dan terapi medis
B. POHON MASALAH
STRATEGI PELAKSANAAN
STANDAR PELAKSANAAN KOMUNIKASI (SP) DENGAN KLIEN
Pertemuan ke-1 Klien
a. Orientasi
1.1 Salam
“Selamat pagi Mas, perkenalkan saya Nuri, Perawat Puskesmas Jatinegara. Nama
Mas siapa? Senang dipanggil apa? Oh baik, kalau begitu saya memanggilnya
dengan Rian ya. Tanggal lahirnya?”
1.2 Evaluasi
"Apa yang ... rasakan? Oo..Rian mendengar suara-suara yang tidak ada wujudnya
ya. Sudah berapa lama mengalami hal tersebut?"
1.3 Validasi
Apa yang telah ......lakukan untuk mengatasi suara-suara yang tidak ada
wujudnya itu?
Bagaimana hasilnya? Apa manfaat yang rasakan?
1.4 Kontrak
1.4.1 Tindakan dan tujuan
“Baik Rian, bagaimana kalau saya periksa dulu tentang suara-suara yang Rian
dengar dan belajar cara mengatasinya? Tujuannya supaya Rian merasa lebih
tenang, dan suara-suara tersebut berkurang.”
“Bagaimana apakah Rian setuju?”
1.4.2 Waktu
Baik, kita akan diskusi selama 30 menit ya Rian.
1.4.3 Tempat
Mari kita duduk di ruang tamu.
b. Kerja
2.1 Pengkajian
Jenis: Apakah Rian mendengar suara tanpa ada orang nya?
Isi: Apa yang dikatakan suara itu?
Waktu: Kapan/jam berapa saja yang paling sering muncul?
Frekuensi: Berapa sering suara itu muncul?
Situasi: Pada situasi apa yang paling sering muncul? Saat sendiri? Atau malam
hari?
Respons : Apa yang Rian rasakan saat suara itu muncul?
Upaya : Apa yang Rian lakukan untuk menghilangkannya? Apakah berhasil?
jika ada halusinasi katakan Anda percaya, tetapi Anda sendin tidak
mendengar/melihat/menghidu/merasakan.
2.2 Diagnosis
Baiklah,berarti ..... mendengur suara tanpa ada orang yang bicara dan Rian
merasa terganggulni yang kita sebut dengan Halasinasi, Bagaimana kalau kita
latihan untuk mengendalikannya?" ada beberapa cara untuk mengendalikan
suaraitu,bagaimana kalau saat ini kita latih?”
2.3 Tindakan
A. Latihan menghardik
......, mari kita belajar cara menghardik ya
Contohkan: “Baiklah, jika muncul suara itu segera tutup telinga dan katakan
pada suara itu:pergi jangan ganggu saya, kamu suara palsu, saya tidak mau
dengar."
Dampingi: “Ayo coba kita lakukan bersama-sama”
Mandiri: “Ayo coba lakukan sendiri dengan
yakin" Bagaimana perasaannya?
B. Latihan mengabaikan Cuek
Jika suara itu datang abaikan saja dengan
cuek. Ayo coba lakukan.
C. Latihan mengalihkan (distraksi)
Bercakap-cakap Saat suara terdengar dapat dikendalikan dengan bercakap-
cakap.
Coba cari siapa yang dapat diajak bercakap-cakap dan temui
Contohkan: katakan, “ayo kita bercakap-cakap agar suara yang mengganggu
saya dapat dikendalikan”
Dampingi: “Mari kita cari anggota keluarga/ teman untuk bercakap-
cakap,yang mana temannya, ayo coba praktik-kan. Bagus sekali"
Mandiri:“Nah,buat jadwal dengan siapa akan bercakap-cakap."
D. Latihan mengalihkan (distraksi)
Apa saja kegiatan yang dapat dilakukan setiap hari? (merapihkan tempat
tidur, mencuci piring makan,menyapu dan lain-lain).
Coba pilih satu kegiatan,mis.:merapikan tempat tidur
Sekarang coba dilihat apakah tempat tidurnya sudah
rapi?
Dampingi:“Ayo kita rapikan,angkat bantalnya, angkat selimutnya dan lipat
dengan rapi." Berlanjut Asuhan Keperawatan Jiwa
“Sekarang rapikan spreinya."
“Nah letakkan bantal dengan rapi dan selimut dengan rapt" “Bagaimana
perasaanaya setelah melakukannya?" “Bagus sekali.”
Mandiri:“Nah,buat jadwal merapikan tempat tidur, agar dapat dikendalikan
halusinasimu.”
2.4 Terminasi
A. Evaluasi subjektif
Bagaimana perasaan Rian setelah latihan tadi?
B. Evaluasi objektif
“Apa saja latihan kita tadi............., benar sekali" (bantu jika belum ingat).
C. Rencana tindak lanjut klien
Bagaimana kalau Rian latihan secara teratur? Baik, untuk meng-hardik
berapa kali sehari? Untuk bercakap-cakap berapa kal? Untuk merapikan
tempat tidur, berapa kali? (sambil mengisi jadwal kegiatan). Selain latihan
secara teratur lakukan jika suara terdengar.
D. Rencana tindak lanjut perawat
“Baiklah, hari Kamis Rian dan Ibu datang ke Puskesmas agar diperiksa lagi
tanda dan gejalanya serta latihan dan hasilnya. Juga akan diperiksa dokter.
Jika dapat obat, akan di jelaskan cara minum obat dengan benar.”
E. Salam
“Semoga cepat sembuh.”
DAFTAR PUSTAKA
Budi Anna Keliat, dkk. 2019. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC. Dalami
E,dkk. 2014. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa.
Jakarta: CV.Trans Info Media.
Kusumawati, Farida dan Yudi Hartono. 2012. Buku Ajar Keperawatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika.
Prabowo, Eko. 2014. Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Nuha Medika.
Yosep, Iyus. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung : PT. Refika Aditama
Riska Amalya Nasution, Herni Susanti dan Ice Yulia Wardani. 2021. Pemberian
Psikoedukasi Keluarga Dan Terapi Suportif Berbasis Kebutuhan
Keluarga Skizofrenia. Indonesian Journal of Nursing Health Science
ISSN (Print) : 2502-6127 Vol.6, No.2, September 2021 ,p.113-127 ISSN
(Online) : 2657-2257
A. Definisi
Perkembangan kebudayaan masyarakat banyak membawa perubahan
dalam segi kehidupan manusia. Setiap perubahan situasi kehidupan baik
positif maupun negatif dapat mempengaruhi keseimbangan fisik, mental, dan
psikososial seperti bencana dan konflik yang dialami sehingga berdampak
sangat besar terhadap kesehatan jiwa seseorang yang berarti akan
meningkatkan jumlah pasien gangguan jiwa(keliat, 2011)
Harga diri seseorang di peroleh dari diri sendiri dan orang lain.
Gangguan harga diri rendah akan terjadi jika kehilangan kasih sayang,
perilaku orang lain yang mengancam dan hubungan interpersonal yang buruk.
Tingkat harga diri seseorang berada dalam rentang tinggi sampai
rendah.Individu yang memiliki harga diri tinggi menghadapi lingkungan
secara aktif dan mampu beradaptasi secara efektif untuk berubah serta
cenderung merasa aman. Individu yang memiliki harga diri rendah melihat
lingkungan dengan cara negatif dan menganggap sebagai ancaman. (Keliat,
2011).
Menurut (Herman, 2011), gangguan jiwa ialah terganggunya kondisi
mental atau psikologi seseorang yang dapat dipengaruhi dari faktor diri
sendiri dan lingkungan. Hal-hal yang dapat mempengangaruhi perilaku
manusia ialah keturunan dan konstitusi, umur, dan sex, keadaan badaniah,
keadaan psikologik, keluarga, adat-istiadat, kebudayaan dan kepercayaan,
pekerjaan, pernikahan dan kehamilan, kehilangan dan kematian orang yang di
cintai, rasa permusuhan, hubungan antara manusia.
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan
rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri
dan kemampuan diri (Yosep, 2015) dalam (Sutinah, 2017). Harga diri rendah
adalah suatu kondisi dimana individu menilai dirinya atau kemampuan dirinya
negatif atau suatu perasaan menganggap dirinya sebagai seseorang yang tidak
berharga dan tidak dapat bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri
(Nurhalimah, 2016).
Harga diri rendah kronis adalah evalusi atau perasaan negatif terhadap diri
sendiri atau kemampuan klien seperti tidak berati, tidak berharga, tidak
berdaya yang berlangsung dalam waktu lama dan terus- menerus (PPNI,
2016).
Harga diri rendah merupakan perasaan tidak berharga, tidak
berharga,tidak berarti, rendah diri, yang menjadikan evaluasi negatif terhadap
dirisendiri dan kemampuan diri (Keliat, 2011).Harga diri rendah merupakan
evaluasi diri dan perasaan tentang diri ataukemampuan diri yang negatif
terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diridan harga diri, merasa gagal
dalam mencapai keinginan (Direja, 2011)Harga diri rendah merupakan
keadaan dimana individu mengalamievaluasi diri negatif tentang kemampuan
dirinya (Fitria, 2012)
D. Predisposisi
a. Faktor yang mempengaruhi harga diri
Meliputi penolakan orang tua, harapan orang tua tidak realistis,
kegagalan yang berulang, kurang mempunyai tanggung jawab personal,
ketergantungan pada orang lain dan ideal diri yang tidak realistis.
b. Faktor yang mempengaruhi peran.
Dimasyarakat umunya peran seseorang disesuai dengan
jeniskelaminnya.Misalnya seseorang wanita dianggap kurang mampu,
kurang mandiri, kurang obyektif dan rasional sedangkan pria dianggap
kurang sensitive, kurang hangat, kurang ekspresif dibandingkan
wanita.Sesuai dengan standar tersebut, jika wanita atau pria berperan tidak
sesuai lazimnya maka dapat menimbulkan konflik diri maupun hubungan
sosial.
c. Faktor yang mempengaruhi identitas diri.
Meliputi ketidak percayaan, tekanan dari teman sebaya danperubahan
struktur sosial. Orang tua yang selalu curiga pada anak akan menyebabkan
anak menjadi kurang percaya diri, ragu dalam mengambil keputusan dan
dihantui rasa bersalah ketika akan melakukan sesuatu. Control orang yang
berat pada anak remaja akan menimbulkan perasaan benci kepada orang
tua. Teman sebaya merupakan faktor lain yang berpengaruh pada
identitas. Remaja ingin diterima, dibutuhkan dan diakui oleh
kelompoknya,
d. Faktor biologis
Adanya kondisi sakit fisik yang dapat mempengaruhi kerjahormon
secara umum, yang dapat pula berdampak pada keseimbangan
neurotransmitter di otak, contoh kadar serotonin yang menurun dapat
mengakibatkan klien mengalami depresi dan pada pasien depresi
kecenderungan harga diri dikuasai oleh pikiran-pikiran negatif dan tidak
berdaya.
E. Presipitasi
Masalah khusus tentang konsep diri disebabkan oleh setiapsituasi yang
dihadapi individu dan ia tidak mampu menyesuaikan. Situasi atas stressor
dapat mempengaruhi komponen.
Stressor yang dapat mempengaruhi gambaran diri adalah hilangnya bagian
tubuuh, tindakan operasi, proses patologi penyakit, perubahan struktur dan
fungsi tubuh, proses tumbuh kembang prosedur tindakan dan pengobatan.
Sedangkan stressor yang dapat mempengaruhi harga diri dan ideal diri adalah
penolakan dan kurang penghargaan diri dari orang tua dan orang yang berarti,
pola asuh yang tidak tepat, misalnya selalu dituntut, dituruti, persaingan
dengan saudara, kesalahan dan kegagalan berulang, cita-cita tidak terpenuhi
dan kegagalan bertanggung jawab sendiri. Stressor pencetus dapat berasal dari
internal dan eksternal:
a. Trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan
peristiwa yang mengancam kehidupan.
b. Ketegangan peran berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan
dan individu mengalaminya sebagai frustasi.
Ada tiga jenis transisi peran:
a. Transisi peran perkembangan adalah perubahan normative yang berkaitan
dengan pertumbuhan. Perubahan ini termasuk tahap perkembangan dalam
kehidupan individu atau keluarga dan norma-norma budaya, nilai-nilai
serta tekanan untuk menyesuaikan diri.
b. Transisi peran situasi terjadi dengan bertambah atau berkurangnya
anggota keluarga melalui kelahiran atau kematian.
c. Transisi peran sehat-sakit terjadi akibat pergeseran dari sehat ke keadaan
sakit. Transisi ini dapat dicetuskan oleh kehilangan bagian tubuh,
perubahan ukuran, bentuk, penampilan atau fungsi tubuh, perubahan fisik
yang berhubungan dengan tumbuh kembang normal. Perubahan tubuh
dapat mempengaruhi semua komponen konsep diri yaitu gambaran diri,
identitas diri, peran dan harga diri.
F. Rentang Respon
Keterangan:
H. MEKANISME KOPING
Mekanisme koping menurut Deden (2013) :
Jangka pendek :
1. Kegiatan yang dilakukan untuk lari sementara dari krisis : pemakaian
obat-obatan, kerja keras, nonoton tv terus menerus.
2. Kegiatan mengganti identitas sementara: ikut kelompok sosial,
keagamaan, politik.
3. Kegiatan yang memberi dukungan sementara : kompetisi olah raga kontes
popularitas.
4. Kegiatan mencoba menghilangkan anti identitas sementara :
penyalahgunaan obat-obatan.
Jangka Panjang :
1. Faktor Predisposisi
a. Penolakan.
b. Kurang penghargaan.
c. Pola asuh overprotektif, otoriter, tidak konsisten, terlalu dituruti, terlalu
dituntut.
d. Persaingan antara keluarga.
e. Kesalahan dan kegagalan berulang.
f. Tidak mampu mencapai standar.
2. Faktor Presipitasi
a. Trauma.
b. Ketegangan peran.
c. Transisi peran perkembangan.
d. Transisi peran situasi.
e. Transisi peran sehat-sakit.
3. Perilaku
a. Mengkritik diri sendiri/orang lain.
b. Produktivitas menurun.
c. Gangguan berhubungan.
d. Merasa diri paling penting.
e. Destruktif pada orang lain.
f. Merasa tidak mampu.
g. Merasa bersalah dan khawatir.
h. Mudah tersinggung/marah.
i. Perasaan negatif terhadap tubuh.
j. Ketegangan peran.
k. Pesimis menghadapi hidup.
l. Keluhan fisik.
m. Penolakan kemampuan diri.
n. Pandangan hidup bertentangan.
o. Destruktif terhadap diri.
p. Menarik diri secara sosial.
q. Penyalahgunaan zat.
r. Menarik diri dari realitas. (Yusuf, Fitryasari, 2015)
Diagnosis Keperawatan
Tindakan keperawatan
Tindakan pada klien
1. Pengkajian: Kaji tanda dan gejala serta penyebab harga diri rendah
kronik
2. Diagnosis: Jelaskan proses terjadinya harga diri rendah kronik
3. Tindakan keperawatan:
a. Diskusikan aspek positif dan kemampuan yang pernah dan masih
dimiliki klien.
l. Tindakan keperawatan ners: TAK stimulasi persepsi untuk harga diri rendah
a. Sesi l: Identifikasi kemampuan dan aspek positifpada diri
b. Sesi 2: Menilai kemampuan dan aspek positifpada diri Idien Yang
dapat di lakukan
c. Sesi 3: Memilih aspek positifatau kemampuan yang akan dilatih
d. Sesi4: Melatih kemampuan aspekpositifpada diri
e. Sesi 5: Menilai manfaat latihan terhadap harga diri
2. Tindakan keperawatan ners spesialis jiwa: Terapi suportif
a. Sesi 1: Identifikasi masalah dan sumber pendukung di dalam di Luar
keluarga
b. Sesi 2: Latihan menggunakan dalam keluarga
c. Sesi 3: Latihan menggunakan sistem pendukung luar keluarga
d. Sesi 4: Evaluasi hasil dan hambatan sumber penggunaan sumber
pendukung
Tindakan Kolaborasi
1) Melakukan kolaborasi dengan dokter menggunakan pendekatan ISBAR
dan
2) Memberikan program terapi dokter (Obat): Edukasi 8 benar sesuai
konsep
3) Mengobservasi manfaat dan efek samping Obat.
Discharge Planning
Evaluasi
1. Orientasi
1.1 Salam
“Selamat pagi, saya Raisha, perawat dari puskesmas ceria.Siapa namanya?
Senang dipanggil apa? Saya panggil eko ya ?Tanggal
Lahirnya?”
1.2 Evaluasi
“Apa yang eko rasakan ?jadi eko malu keluar rumah. Sudah berapa lama?”
1.3 Validasi
“Apa upaya yang sudah dilakukan? Apakah berhasil ?”
1.4 Kontrak
1.4.1 Tindakan dan tujuan
“Bagaimana kalau kita periksa agar kita belajar cara mengatasinya?”
1.4.2 Waktu
“Waktunya kira-kira 40 menit, apakah eko setuju ?”
1.4.3 Tempat
“ Kita lakukan disini aja ya?”
2. Kerja
2.1 Pengkajian
2.1.1 Penyebab
“Apa peristiwa yang terjadi sampai Eko malu keluar rumah ?”
2.1.2 Tanda dan gejala
“Apa yang eko rasakan akibat peristiwa itu (Sebutkan peristiwa
penyebab)?Apakah kehidupan eko yang dapat dibanggakan?
Apakah kelebihan yang eko rasakan ?”
2.1.3 Akibat
“ Apakah akibat dari eko tidak keluar rumah? Apakah kehidupan eko
semakin baik atau sebaliknya”
2.2 Diagnosis
“ Eko merasa malu, tidak berarti dan merasa tidak bisa apa-apa. Kondisi ini
membuat eko tidak ingin keluar rumah.Apakah eko ingin belajar untuk
semangat dan bangkit kembali?”
2.3 Tindakan
“Baiklah, saya akan bantu ekountuk mengatasi rasa malu dan tidak berarti
dengan beberapa langkah-langkah.”
2.3.1 Membuat daftar aspek positif atau kemampuan yang dimiliki
“Eko, mari kita tulis semua aspek positif dan kemampuan
yang Eko miliki dari dulu sampai saat ini.”
2.3.2 Menilai aspek positif dan kemampuan yang masih dapat dilakukan
“ eko dari daftar aspek positif dan kemampuan ini mari kita tandai
yang masih dapat dilakukan.”
2.3.3 Memilih yang akan dilatih
“Eko dari daftar aspek positif dan kemamouan ini, yang manayang
akan dilatih, silahkan pilih.”
2.3.4 Melatih aspek positif dan kemampuan yang dipilih secara bertahap
sampai semua aspek positif dan kemampuan dilatih dan
dibiasakan dilakukan
- Beri contoh melakukannya
- Dampingi klien melakukannya
- Beri kesempatan mandiri melakukannya
- Beri pujian atas keberhasilan4
2.3.5 Menyusun jadwal melakukan aspek positif dan kemampuan
yang sudah dilatih
3. Terminasi
3.1 Evaluasi subjektif
Bagaimana perasaan eko setelah dilatih?
3.2 Evaluasi objektif
Apa yang telah dilatih? Bagaimana langkah-langkahnya? Bagus sekali/
3.3 Rencana tindak lanjut klien
Selanjutnya mari kita buat jadwal latihannya, berapa kali sehari, jam berapa?
Jangan lupa diceklis kalau sudah dilakukan dan rasakan manfaatnya.
3.4 Rencana tindak lanjut perawat
“Baiklah hari kamis pagi ya ke puskesmas bersama bapak, kita akan periksa
kembali kondisi dan latihannya serta diperiksa dokter. Jika dapat obat,
nanti akan dijelaskan cara minum obat yang benar.”
3.5 Salam
“Semoga cepat sembuh.”
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf, Ah, Rizky Fitryasari PK dan Hanik Endang Nihayati. (2015). Buku
Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika
Elinia, Sury,.2016. Tinjauan Tero dan Konsep Harga Diri Rendah diakses
dari http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/167/jtptunimus-gdl-eliniasury-
8333-2-babii.pdf pada 12 Juni 2018