Anda di halaman 1dari 4

Latar Belakang

Sejak sekitar tahun 1990, digital playlist telah menjadi inti dari pertumbuhan ekonomi
pada industri music streaming (Eriksson, 2020). Layanan playlist pertama kali dibuat untuk
memudahkan penikmat musik untuk mengatur arsip musik pribadi mereka, dimana sebelumnya
pengguna musik mengumpulkan lagu-lagu mereka terlebih dahulu pada kaset sebelum
melakukan diputar (contohnya pada siaran radio) (Drew, 2005; Morris, 2015). Seiring dengan
berkembangnya industri musik, playlist ini dapat berfungsi sebagai perangkat kalkulatif yang
membantu mengoptimalkan pengiriman konten musik

Editorial Playlist sebagai Container Technology

Container technology adalah sebuah teknologi dimana “wadah” berfungsi untuk


menyusun, melindungi dan memberikan fasilitas sebagai tempat untuk mengumpulkan berbagai
hal (Sofia, 2000). Dalam konteks musik, perspektif container technology terdapat pada playlist
yang merupakan sarana/logistik konsumen atau penikmat musik dalam pengaturan pribadi arsip
musik mereka. Skågeby (2011) mengemukakan bahwa playlist adalah alat untuk menyebarkan
‘meta-informasi’ tentang urutan lagu yang dipilih. seiring berjalannya waktu, mereka juga
menjadi alat yang semakin penting dalam mengarahkan online traffic. Hal ini menunjukkan
bahwa playlist secara material, teknis, dan ekonomis lebih unggul dalam mengarahkan traffic
pasar musik online. Sebagian besar layanan streaming untuk musik sekarang diisi dengan
layanan playlist yang dimiliki dan dioperasikan oleh layanan streaming mereka sendiri atau
dijalankan oleh merek pihak ketiga maupun pihak lain dalam bentuk editorial playlist, salah
satunya milik Spotify.

Spotify secara historis bekerja keras untuk menyajikan layanan playlist-nya sebagai
wadah yang akrab, netral, dan dapat diandalkan bagi pengguna: Dengan mendesain playlist
dalam bahasa dan seni visual yang kasual dan mudah dimengerti (seperti yang ditampilkan
dalam judul seperti 'Lagu untuk Dinyanyikan di Kamar Mandi') (Drew, 2005). Editorial playlist
pada Spotify diproduksi berdasarkan gabungan antara algoritma dan kurasi manusia,
selain itu Spotify menekankan pentingnya membangun kepercayaan dan menciptakan “a
place of safe discovery” (Heath, 2015; Spotify, 2019c).
Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa Spotify juga menggunakan editorial
playlist sebagai alat keuangan strategis, sebagai contoh adalah pada Spotify versi seluler
dan dibiayai iklan (non premium), pengguna saat ini hanya diperbolehkan melewati enam
lagu per jam saat mereka mendengarkan editorial playlist (Spotify 2019d). Hingga baru-baru
ini, mereka juga harus mendengarkan semua daftar putar dalam mode shuffle (acak). Dengan
cara ini, Spotify dapat mendorong pengguna untuk menjadi pelanggan premium dan membayar
biaya berlangganan yang nantinya akan memberikan keuntungan bagi mereka (Spotify) dan juga
pemilik musiknya.

Bagaimana membuat sebuah lagu menjadi hit berdasarkan konsep editorial playlist ini?

Editorial playlist didesain terintegrasi dengan algoritma dan interaksi yang terjadi di
dalamnya yang secara konsisten dihitung dari clicks, follows, skips, saves, dan likes (Eriksson,
2020). Dalam pengertian ini, editorial playlist adalah wadah dinamis yang pergerakannya diukur
dan dianalisis secara terus-menerus. Pihak Spotify lainnya juga menjelaskan bahwa editorial
playlist yang sempurna disusun berdasarkan kurator manusia dengan data dan alat (Playlist
Usage Monitoring and Analysis) (Flanagan, 2017). Selain itu berdasarkan bentuk analisis yang
disediakan, Spotify telah bereksperimen dengan menampilkan lagu di playlist dalam konteks
nasional yang berbeda, dan secara hati-hati mengukur seberapa baik performanya. Bedasarkan
sistem ini, akan sangat memungkinkan lagu akan menjadi hit ketika ia berada dalam editoral
playlist. Lagu dari Stanley Hope yang berjudul Call on Me mencapai popularitas tinggi secara
global karena eksperimen ini (Flanagan, 2017).

Di sisi lain, pada tahun 2015, perusahaan analisis industri musik Music:)ally merilis
laporan tentang industri yang sedang berkembang yang berpusat pada playlist pitching yang
melibatkan artis dan pemegang hak yang membayar untuk penempatan pada playlist populer
(Music:)ally, 2015). Saat ini, Syarat dan Ketentuan Penggunaan Spotify secara eksplisit
melarang penawaran atau penerimaan kompensasi apa pun untuk memasukkan musik ke
playlist. Namun, seiring dengan berkembangnya bentuk promosi playlist, Spotify bekerja
sama secara erat dengan label besar mengenai editorial playlist mereka, yang mana sering
kali kesepakatannya adalah jika Spotify menempatkan artis di editorial playlist, artis yang
sama tersebut akan membantu mempromosikan dan mengarahkan traffic ke Spotify (Pelly,
2017).

Spotify vs Pesaingnya

Kebanyakan platform streaming musik saat ini juga telah memiliki teknologi editorial
playlist yang dikendalikan baik oleh platform streaming itu sendiri atau oleh brand pihak ketiga
atau playlist business (Eriksson, 2020). Sejak tahun 2013, Spotify telah terlebih dahulu
menerapkan ‘lean-back customer experience’ dimana pengguna didorong untuk menikmati
editorial playlist dibandingkan melakukan pencarian lagu secara aktif (Eriksson et al,
2019). Layanan ini telah menjadi kunci utama dalam Spotify dimana total sebanyak 30%
dari pengguna menikmatinya. Sedangkan pesaingnya seperti Youtube Music hanya
memiliki layanan untuk membuat playlist untuk konsumsi pribadi.

Selain itu juga terdapat Apple Music yang juga memiliki editorial playlist, namun
fokus dari layanannya sendiri berbeda. Apple Music lebih memiliki fokus pada playlist
yang dipersonalisasi, dimana kita diminta untuk memilih beberapa preferensi artis dan
genre yang disukai pada saat kita membuka aplikasi pertama kali. Apple Music juga
banyak menyediakan playlist yang berbasis pada personalized-playlist pendengar di library.
Lain halnya dengan fokus layanan Spotify, dimana memang fokus utamanya adalah
memberikan lagu-lagu hits yang dikurasi, sehingga perkembangan lagu-lagu pada
editorial playlist pada Spotify lebih terupdate dan massive pertumbuhannya.

Spotify saat ini menjadi platform music streaming terbesar dengan pengguna lebih dari
232 juta (baik premium maupun non premium) (Spotify, 2019a), sehingga jika dibandingkan
dengan platform lain yang memiliki layanan serupa (contohnya Joox) maka Spotify akan
memberikan dampak yang lebih baik dari segi popularitas maupun keuntungan lainnya. Sebagai
contoh, lagu dari Stanley Hope yang berjudul Call on Me mencapai popularitas tinggi secara
global karena editorial playlist dari Spotify (Flanagan, 2017)

Kesimpulan
Editorial playlist, yang mana merupakan salah satu implementasi dari container
technology diciptakan untuk memudahkan penikmat musik dalam mengatur arsip musik pribadi
mereka maupun mencari lagu-lagu yang sedang hit di pasar musik. Editorial playlist diciptakan
berdasarkan gabungan antara algoritma dan kurasi manusia terhadap lagu-lagu yang sedang hit
atau banyak dicari oleh masyarakat. Spotify, sebagai platform streaming musik terbesar dengan
lebih dari 232 juta pendengar, memiliki fokus utama pada editorial playlist, sehingga
perkembangan lagu-lagu hit pada editorial playlist Spotify lebih terupdate dan lebih massive
pertumbuhannya.

Anda mungkin juga menyukai