Fast forward, saya akhirnya menyelesaikan studi S2 saya dan for good ke Indonesia.
Sayangnya, di 2011, Spotify belum ekspansi ke pasar Indonesia dan akhirnya saya
melupakannya untuk beberapa tahun ke depan. Sampai pada sekitar 4 tahun lalu,
akhirnya Spotify melihat potensi pasar Indonesia yang besar. Tapi berbeda dengan waktu
dulu, Spotify sekarang sudah mulai memasang harga berlangganan. Dengan harga yang
relatif tidak mahal saya akhirnya memutuskan untuk berlangganan hingga sekarang. Dan
Spotify yang sekarang sudah jauh lebih canggih dibandingkan dulu ketika saya
menggunakannya dulu. Fitur-fitur baru bermunculan untuk meningkatkan pengalaman
yang unik dan menarik bagi konsumen yang menikmati musik dalam genggaman
gawainya. Status mereka juga sudah bertitel unicorn (startup yang bernilai lebih dari 1
milyar Dollar Amerika).
Kita sudahi sementara lingkup internal dan milestone dari Spotify sebentar saja. Saya
ingin mengaitkan dengan Innovation Positioning Matrix yang saya buat belum lama ini.
Innovation Positioning Matrix adalah sebuah alat strategik untuk mengetahui posisi
terkini dari perusahaan dari aspek inovasinya dengan adanya 4 kuadran, yaitu dari tingkat
terendah primitif, derivatif, kreatif, dan inovatif. Matrix ini digunakan untuk beberapa hal
penting secara strategik bagi perusahaan seperti:
Balik lagi ke Spotify, perusahaan ini sudah cukup jauh dari posisi awal mereka sampai di
tahap sekarang ini. Dari sebuah perusahaan rintisan yang innovative driven dari Kawasan
Skandinavia sampai menjadi sebuah mainstream global company yang dikonsumsi oleh
puluhan negara di dunia. Kehadiran Spotify di awal mereka hadir adalah dengan inovasi
nya mereka untuk meng-disrupt industri musik konvensional. Memang, ketika itu sudah
ada inovasi dari itunes milik Apple. Tapi, Spotify menjadi game changer sebenarnya
yang menggoyang industri musik dari hulu ke hilir nya karena fitur nya yang lebih
“ramah” bagi konsumen penggila musik. Berapa banyak toko CD musik yang dibuat
gulung tikar oleh Spotify, berapa banyak perusahaan rekaman yang dibuat pusing oleh
kehadiran Spotify, sudah berapa banyak radio konvensional berteknologi broadcast yang
dibuat pindah konsumennya, dan masih banyak lagi gangguan dari inovasi Spotify yang
merubah tatanan beberapa industri musik dan pendukungnya.
Kembali lagi hubungan Spotify dengan Innovation Positioning Matrix, perusahaan ini
mengawalinya dari kuadran tertinggi yaitu innovative dari kelahirannya di 2006 hingga
sekarang sebagai cara untuk mereka terus berada di titik tertinggi. Saya yang masih
mengikuti perkembangan Spotify, fokus dan langkah-langkah strategis bisnis mereka
masih berupaya untuk berada di kuadran tertinggi di matrix ini meski ada aksinya yang
bersifat derivative (kuadran kedua) yaitu dengan mengakuisisi startup lain.
Ada dua hal, yang pertama dari segi anorganic, dapat dilihat dari beberapa akuisisi
penting yang sudah dilakukan untuk terus lebih serius ekspansinya memperbesar layanan
dan juga basis konsumennya. Tapi tujuan sebenarnya adalah untuk mendukung fokus
utamanya dengan terus berada di kuadran inovasi sebagai dorongan utama perusahaan
agar terus meraih keunggulan kompetitif.
Tercatat, sudah hampir 20 akusisi penting yang sudah dilakukan oleh Spotify. Yang saya
garis bawahi sangat signifikan langkah strategis mereka adalah temuan penting mereka
bahwa konsumen Spotify atau yang diincarnya tidak hanya yang menyukai musik saja,
tapi juga kerinduan suara dari manusia yang berdiskusi hangat seperti layaknya sebuah
siaran radio dari broadcaster nya. Akhirnya, sejak 2019, fokus mereka merambah ke
dunia podcast lebih serius dengan mengakuisisi beberapa startup penting di dunia ini
yang bisa melebarkan sayap Spotify menjadi pemain tunggal terbesar yang juga
mendisrupsi dan menggantikan fungsi radio broadcast yang sudah lama berkibar.
Yang kedua dari sisi organic nya, Spotify mencoba untuk juga fokus pada internal nya
untuk terus mengembangkan teknologi layanan di area musik dan turunannya. salah satu
fitur utama yang dihadirkan sejak lama adalah playlist yang konsumen dengan leluasa
bisa membuatnya sesuai dengan preferensi musiknya. Playlist tersebut bisa dinikmati
oleh pelanggan lainnya yang mencampurkan sedikit aroma “social media” dengan
filosofi sharing nya. Fitur lainnya yang penting adalah dengan memberikan rekomendasi
musik yang serupa dan juga penambahan lirik untuk meningkatkan full experience nya.
Terlihat dengan jelas dari fokus awal mereka berdiri adalah untuk memudahkan
konsumen penyuka musik untuk bisa mengendalikan apa yang ingin mereka dengarkan
tanpa harus menunggu musik kesukaan mereka diputar di radio kesayangan mereka. Dan
bedanya dengan itunes, Spotify meramahkan layanan teknologinya dengan memakai
sistem berlangganan yang relatif murah dan juga freemium nya yang bisa dikonsumsi
secara gratis tapi ada sedikit “gangguan” dari iklan yang tayang disela-sela lagu playlist
—satunya lagi jika tidak mau ada “gangguan” dari iklan bisa mulai berlangganan per
bulannya. Biaya langganan ini dipakai untuk mendapatkan pendapatan kotor bagi Spotify
dan juga untuk membayar royalti musik ke musisi yang menawarkan lagunya dipasang di
Spotify.
Selanjutnya, Spotify masih akan terus berinovasi lewat dua jalur tersebut terutama
di anorganic way nya untuk membuat mereka terus update dari sisi bisnis dan juga
pelayanan kepada basis pelanggannya di seluruh dunia. Langkah akuisisi ini biasa
dilakukan oleh perusahaan besar seperti Spotify untuk “dengan mudahnya”
mengembangkan fitur dan produk layanan terbaru tanpa harus capek-capek
mengembangkannya secara internal. Dengan mantra kapitalisme yang paling umum “if
you can’t beat it, you buy it!” Sudah dipraktekkan dengan baik oleh Spotify agar terus
meraih profit dalam waktu dekat dan terus menjadi market leader dan controller di
industri yang sudah mereka tancapkan dari awal perjalanan mereka.
Akan tetapi, di akhir artikel ini saya juga akan mengkritisi Spotify secara perusahaan
yang juga masih belum mencapai profitabilitas. Mereka belum bisa membahagiakan
investor publik nya untuk mendapatkan pundi-pundi keuntungan bersih yang diimpikan
perusahaan berusia belasan tahun ini. Kesalahan besarnya adalah karena dari sisi
idealisme founder mereka Daniel Ek. Memang seorang pengusaha harus memiliki sisi
idealisme tapi tidak kaku yang menyebabkan perusahaannya terus merugi. Mereka
sebenarnya bisa mengadopsi business model dari Netflix yang sudah terbukti bisa
meraih margin besar dari sistem berlangganan bisnis royalti dunia seni. Kalau Netflix
fokus pada sistem berlangganan pada karya film dan serial TV, Spotify pada karya audio
nya. Netflix tidak terlalu mengkotak-kotakkan bisnis nya yang memang sudah berada di
jalur mainstream business bukan pada sisi teknologinya sebagai jalur utama.
Potensi Spotify untuk meraih keuntungan bersih masih terbuka lebar di depan mereka,
dengan pilihan mereka memproduksi konten musik dari dalam internal mereka agar bisa
mengendalikan pengeluaran biaya ke pihak luar seperti yang sudah dibuktikan oleh
Netflix. Saya sebagai pelanggan setia Spotify ingin terus merasakan perkembangan bisnis
dan teknologi mereka yang terus bisa memanjakan saya, tapi juga ingin melihat mereka
tumbuh secara sehat secara bisnisnya.