R. Aga Nugraha 1
September 2007
Abstraksi
Paper ini bertujuan untuk menganalisis perilaku 30 bank umum yang beroperasi
di Bali dalam merespon kebijakan moneter Bank Indonesia selama periode 2002-2006.
Respon yang dianalisis adalah terkait dengan penetapan suku bunga simpanan dan suku
bunga pinjaman, serta nominal kredit yang disalurkan. Dapat disimpulkan dari hasil
empiris bahwa (1) suku bunga kebijakan mempengaruhi suku bunga simpanan secara
fleksibel dan relatif cepat, sedangkan suku bunga pinjaman relatif kaku dan lambat.
Secara umum pergerakan suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman bersifat
asymmetry, dimana penurunan suku bunga lebih responsif dibandingkan dengan kenaikan
suku bunga. (2) Pertumbuhan ekonomi dan inflasi secara signifikan mempengaruhi
secara positif penyaluran kredit, sementara suku bunga kebijakan berpengaruh negatif.
1
Penulis adalah Peneliti Ekonomi Muda di Kelompok Kajian Ekonomi Kantor Bank Indonesia Denpasar.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Wijoyo Santoso, Ibu Wahyu Dewati, Sdr. Rizki E.
Wimanda, dan Sdr. Donni F. Anugrah di Biro Riset Ekonomi Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan
Moneter atas bimbingan, kerjasama, diskusi dan masukan yang sangat berharga. Pandangan yang terdapat
pada paper ini adalah merupakan pendapat penulis dan tidak merefleksikan pendapat Bank Indonesia.
Kesalahan yang ada dalam paper ini merupakan tanggung jawab penulis. E-mail: aga_nugraha@bi.go.id
I. PENDAHULUAN
Seiring dengan diterapkannya kerangka kebijakan Inflation Targeting (IT) pada
Juli 2005, Bank Indonesia memberlakukan BI Rate sebagai suku bunga kebijakan.
Memasuki tahun ketiga penerapan kebijakan tersebut, perbankan nasional menunjukkan
respon yang positif. Hal tersebut terlihat dari penentuan suku bunga pasar yang mengacu
pada BI Rate, seperti suku bunga deposito dan PUAB (Pasar Uang Antar Bank). Adapun
suku bunga kredit pada umumnya juga akan diikuti oleh pergerakan investasi (Mankiw
dalam Wimanda, 2007).
Efek dari kebijakan moneter Bank Indonesia terhadap pergerakan suku bunga dan
sektor riil tidak hanya berlaku secara nasional, namun juga secara regional. Penelitian
secara nasional telah banyak dikaji, sedangkan penelitian efek BI Rate dalam skala
regional masih jarang dilakukan. Oleh karena itu, dirasakan perlu untuk melihat respon
suku bunga pasar secara regional terhadap suku bunga kebijakan moneter.
Dalam cakupan penelitian di wilayah Bali, paper ini bertujuan untuk mengetahui
seberapa besar dampak dari BI Rate sebagai acuan moneter terhadap perekonomian
regional di Bali dengan fokus: (i) mengkaji apakah suku bunga kebijakan bank sentral
diikuti oleh suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman? Apakah terdapat symmetry
effect dari kenaikan dan penurunan suku bunga kebijakan? Apakah karakteristik bank—
berdasarkan ukuran asset dan tingkat likuiditas—berpengaruh dalam penetapan suku
bunga? (ii) menganalisis secara empirik apakah pemberian kredit oleh perbankan
dipengaruhi oleh suku bunga kebijakan, pertumbuhan ekonomi riil, dan inflasi? Apakah
karakteristik bank—berdasarkan ukuran asset dan tingkat likuiditas—mempengaruhi
bank dalam menetapkan jumlah kredit yang disalurkan?
Penulisan paper ini diorganisasikan sebagai berikut: Bab II menganalisis peran
perbankan dalam perekonomian daerah Bali; Bab III mengulas kerangka teori yang
digunakan; Bab IV menjelaskan data dan metodologi penelitian yang digunakan; Bab V
menganalisis hasil temuan; dan Bab VI kesimpulan.
2
meningkatkan kontribusinya dalam pembangunan daerah. Sampai saat ini perbankan di
Bali sudah berperan cukup optimal, walaupun demikian perannya sebagai lembaga
intermediasi perlu terus ditingkatkan untuk mendukung pembangunan ekonomi di Bali.
0
Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des
Nilai outstanding kredit untuk penggunaan produktif pada posisi Desember 2006
tercatat mencapai sebesar Rp 6,08 triliun, atau 57,51% dari total outstanding kredit di
Bali. Sedangkan, nilai outstanding kredit konsumsi sebesar Rp 4,5 triliun atau 42,49%
dari total outstanding kredit.
Grafik 2. Total Outstanding Kredit Per Jenis Penggunaan, 2004-2006
Rp T riliun
6
0
Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des
3
Hal di atas menunjukkan bahwa portofolio kredit di Bali didominasi oleh kredit
produktif dan ini juga mengindikasikan bahwa sektor riil mulai menunjukkan adanya
perbaikan dan perkembangan yang positif meskipun diakui masih terdapat hambatan dan
keterbatasan akibat faktor-faktor lain di luar pembiayaan seperti ekonomi biaya tinggi
(high cost economy) berupa maraknya pungutan-pungutan yang menghambat
kelangsungan dunia usaha.
Sementara itu, berdasarkan sektor ekonomi, sebagian besar kredit perbankan di
Bali diserap oleh sektor perdagangan hotel dan restoran (PHR), sektor jasa-jasa dan
sektor industri. Hal tersebut sangat wajar karena Bali selama ini mengandalkan pariwisata
sebagai driven perekonomiannya yang tercermin dari kontribusi sektor PHR dalam
pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) hingga mencapai 30%.
Sedangkan sektor-sektor lainnya merupakan sektor pendukung pariwisata. Total
penyaluran kredit ke ketiga sektor tersebut pada posisi Desember 2006 sebesar Rp 5,34
triliun atau 50,57% dari total kredit.
0
Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des
4
Grafik 4. Penghimpunan DPK oleh Bank Umum, 2004-2006
Rp T riliun
8
0
Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des
2004 2005 2006
Deposito Giro Tabungan
Sumber: Bank Indonesia Denpasar
Nilai tabungan yang berhasil dihimpun pada posisi Desember 2006 tercatat
sebesar Rp 7,6 triliun, atau naik 7,72% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Selanjutnya diikuti dengan deposito yang tercatat sebesar Rp 7,23 triliun, naik 3,51%
dibanding periode yang sama tahun 2005.
Penghimpunan DPK tersebut masih didominasi oleh Bank Umum Pemerintah dan
Bank Umum Swasta Nasional, dengan nilai masing-masing Rp 11,05 triliun dan Rp 7,39
triliun. Sedangkan DPK yang berhasil dihimpun oleh Bank Asing dan Campuran tercatat
sebesar Rp 548 miliar atau 2,89% dari total DPK yang berhasil dihimpun perbankan di
Bali. Dominasi Bank Umum Pemerintah dan Bank Umum Swasta Nasional tersebut
disebabkan antara lain karena jaringan kantor yang dimiliki lebih luas dan tersebar pada
hampir seluruh wilayah kota dan kabupaten di Bali, sementara jaringan kantor Bank
Asing dan Campuran relatif lebih sedikit dan hanya terkonsentrasi di Kota Denpasar.
II.3. Loan to Deposit Ratio (LDR) dan Non Performing Loan (NPL)
Kinerja positif pertumbuhan kredit perbankan diikuti oleh peningkatan rasio loan
to deposit (LDR). LDR pada posisi Desember 2006 mencapai 55,69% , atau naik 0,89%
dibanding Desember 2005 yang tercatat sebesar 54,8%. Peningkatan LDR tersebut
menunjukkan peningkatan fungsi intermediasi perbankan.
Sementara itu, dilihat dari kualitas kredit, pertumbuhan kredit perbankan di Bali
tidak diikuti oleh lonjakan kredit bermasalah atau non performing loan (NPL). Hal ini
menunjukkan bahwa kredit yang disalurkan mempunyai kualitas yang baik dan
perbankan konsisten di dalam menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential banking
priciples).
Pada posisi Desember 2006, NPL nett perbankan di Bali berada di level 1,76%,
walaupun lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang berada di
level 1,15%, namun angka NPL tersebut masih jauh di bawah target indikatif NPL yang
dipersyaratkan Bank Indonesia yaitu sebesar 5% dan jauh lebih rendah dibanding nilai
NPL perbankan nasional.
5
Grafik 5. LDR dan NPL, 2004-2006
% %
60 2.5
2
55
1.5
1
50
0.5
45 0
Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des
6
II.5. Peran Pembiayaan Perbankan dalam Perekonomian Bali
Komponen pembentuk PDRB dari sisi permintaan adalah konsumsi rumah tangga
(C), investasi (I), belanja pemerintah (G), dan ekspor-impor (X-M). Perekonomian Bali
selama tiga tahun terakhir didominasi oleh kontribusi dari kegiatan konsumsi rumah
tangga (rata-rata 52,68%), diikuti kemudian oleh kontribusi dari ekspor-impor (rata-rata
25,77%), investasi/pembentukan modal tetap bruto (rata-rata 13,42%), dan
belanja/konsumsi pemerintah (rata-rata 8,27%) (grafik 6).
0
I II III IV I II III IV I II III IV
7
Grafik 7. Konsumsi Rumah Tangga dan Kredit Konsumsi Bank Umum, 2004-2006
Rp Miliar
5000
4000
3000
2000
1000
0
I II III IV I II III IV I II III IV
1200
800
400
0
I II III IV I II III IV I II III IV
8
Tahun 1993 John Taylor (1993) mengembangkan formula dalam penentuan suku
bunga bank sentral dengan mempertimbangkan pencapaian sasaran inflasi atau yang
sering dikenal dengan Taylor’s Rule. Taylor menyarankan bank sentral sebagai
pengendali moneter untuk men-set suku bunga dalam rangka mencapai kestabilan
ekonomi dan inflasi yang rendah dalam jangka pendek. Adapun persamaan yang
digunakan sebagai berikut:
it = π t + r * +0.5(π t − π *) + 0.5( yt )... ............................................................... (1)
Keterangan:
i = suku bunga bank sentral
r * = equilibrium real central bank rate
π t * = target inflation rate
yt = output gap
Berbagai penelitian yang dilakukan oleh banyak negara telah memodifikasi
bentuk Taylor’s Rule ini. Diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Batini dan Haldane
(1999) yang mengembangkan forward looking policy rule, Drew dan Hunt (1999) yang
menghitung efficient policy rule, McCallum (2000) yang membandingkan beberapa rule,
dan masih banyak lagi penelitian mengenai policy rule ini.
Harapan dari penentuan suku bunga kebijakan ini adalah pergerakannya akan
segera diikuti oleh suku bunga pasar sehingga secara tidak langsung bank sentral dapat
mempengaruhi sektor riil dan sektor finansial melalui keputusan agen ekonomi
(pemerintah, swasta, lembaga keuangan) apakah waktunya tepat untuk untuk
berkonsumsi, berinvestasi, berproduksi, atau menabung. Efek pass through suku bunga
bank sentral itu sendiri terhadap suku bunga pasar dijabarkan oleh Mojon (2000) dalam
bentuk persamaan berikut:
j max
Δri = c + ∑α
j =i
j Δrt − j + ∑ β k Δit −k + γ (rt −1 − it −1 ) ................................................(2)
Keterangan:
i = suku bunga bank sentral
r = suku bunga pasar
Δ = first difference
Sementara itu, hubungan antara kredit dan suku bunga kebijakan seperti
digambarkan dalam Ehrmann et all (2001) dimana kerangka analisis kredit bank
mengikuti model sederhana yang dikembangkan Bernanke dan Blinder (1988). Asumsi
yang digunakan adalah jumlah deposit (D ) sama dengan money (M ) , dimana keduanya
tergantung pada suku bunga bank sentral (i ) seperti yang dijabarkan dalam persamaan
berikut ini:
M = D = − Ψ i + χ .............................................................................................(3)
Sementara itu, permintaan untuk kredit ( Ldi ) dimana bank tergantung pada PDB
riil ( y ) , price level ( p ) dan suku bunga kredit (iL ) dengan persamaan sebagai berikut:
Ldi = φ1 y + φ 2 p − φ3i L ..........................................................................................(4)
Supply kredit ( Lsi ) tergantung dari jumlah money atau deposit yang tersedia, suku
bunga kredit dan suku bunga bank sentral atau moneter secara langsung. Direct effect dari
suku bunga bank sentral terkait dengan oppotunity cost dari bank, dimana bank-bank
menggunakan pasar uang antar bank untuk membiayai pinjaman atau mark up pricing
9
oleh bank, dimana kenaikan suku bunga deposito akan diikuti kenaikan suku bunga
kredit. Supply kredit dimodelkan sebagai berikut:
Lsi = μ i Di + φ 4 il − φ5i .........................................................................................(5)
Selanjutnya, diasumsikan bahwa tidak semua bank tergantung pada deposito.
Oleh karena itu, efek dari perubahan deposito akan lebih rendah apabila karakteristik
bank lebih tinggi (size, liquidity atau capitalization ( xi ) ), dengan formula sebagai
berikut:
μ i = μ 0 − μ1 xi ......................................................................................................(6)
Kliring pada pasar kredit terjadi pada saat Ld = Ls . Dengan mensubstitusikan
persamaan-persamaan di atas, maka:
φ1 y + φ 2 p − φ3il = (μ 0 − μ1 xi )(− ψi + χ ) + φ 4 il − φ5 i
− φ 3il − φ 4 il = − μ 0ψi + μ 0 χ + μ1 xiψi − μ1 χxi − φ5 i − φ1 y − φ 2 p
(φ3 + φ 4 )il = μ 0ψi − μ 0 χ − μ1 xiψi + μ1 χxi + φ5 i + φ1 y + φ 2 p
μ 0ψi − μ 0 χ − μ1 xiψi + μ1 χxi + φ5 i + φ1 y + φ 2 p
il =
(φ3 + φ 4 )
⎛ μ ψi − μ 0 χ − μ1 xiψi + μ1 χxi + φ5 i + φ1 y + φ 2 p ⎞
Ld = φ1 y + φ 2 p − φ3 ⎜⎜ 0 ⎟⎟
⎝ (φ3 + φ 4 ) ⎠
∑g
j =0
1j xit −1 Δrt − j + ∑ g 2 j xit −1 Δ log( PDBt − j ) + ∑ g 3 j xit −1 inf lt − j + ε it ... (9)
j =0 j =0
10
Keterangan:
i =1,..., N
t =1,..., J
N = jumlah bank
J = jumlah lag
Lit = kredit bank i pada kuartal t pada swasta non bank
Δrt = first difference suku bunga nominal
Δ log( PDBt ) = tingkat pertumbuhan PDB riil
inf l t = inflation rate
x it = bank spesific characteristic
Model menggunakan fixed effect across banks dengan indikasi bank spesific
intercept = ai
Untuk estimasi model dengan complete set of time dummies, persamaannya
sebagai berikut:
l l l
Δ log( Lit ) =a i + ∑ b j Δ log( Lit − j ) + fxit −1 + ∑ g1 j xit −1 Δrt − j + ∑ g 2 j xit −1 Δ log( PDBt − j ) +
j =1 j =0 j =0
l
∑g
j =0
3j xit −1 inf lt − j + λt + ε it .................................................................(10)
...........(11)
Mankiw dalam Wimanda (2007) menyatakan bahwa suku bunga kredit
merupakan suku bunga nominal yang diberikan oleh bank komersial pada peminjam yang
meminjam uang dari bank. Real lending rate adalah suku bunga nominal kredit dikurangi
inflasi dapat mempengaruhi investasi riil. Teori menyatakan bahwa kenaikan suku bunga
kredit riil dapat menurunkan investasi riil, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu,
investor akan meningkatkan investasi bila suku bunga kredit riil rendah, dan akan
menurunkan investasi jika suku bunga kredit riil tinggi. Mereka ingin memperoleh
keuntungan sebanyak mungkin yang dapat mereka peroleh, karena mereka akan memilih
investasi ketika suku bunga riil rendah.
2
Bank Dagang Bali.
3
Bank Universal dan Bank Bali.
11
Dari 30 bank umum tesebut dikelompokkan berdasarkan besarnya asset dan
tingkat likuiditas, masing-masing dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu besar, sedang dan
kecil. Pada penelitian ini diasumsikan bahwa seluruh bank yang ada di Bali memiliki
otoritas sendiri dalam memutuskan besarnya suku bunga dan nominal kredit yang akan
disalurkan.
Berdasarkan asset, bank dikelompokkan menjadi 3, yaitu:
1. Asset besar, yaitu bank-bank yang memiliki asset di atas Rp 500 miliar.
2. Asset sedang, yaitu bank-bank yang memiliki asset antara Rp 100 – 500 miliar.
3. Asset kecil, yaitu bank-bank yang memiliki asset di bawah Rp 100 miliar.
Sementara itu, berdasarkan likuiditas, bank dikelompokkan menjadi 3, yaitu:
1. Likuiditas besar, yaitu bank-bank yang memiliki likuiditas di atas Rp 50 miliar.
2. Likuiditas sedang, yaitu bank-bank yang memiliki likuiditas antara Rp 10 – 50 miliar.
3. Likuiditas kecil, yaitu bank-bank yang memiliki likuiditas di bawah Rp 10 miliar.
Pembagian kelompok di atas berdasarkan adhoc sesuai dengan nilai kuantitas
asset dan likuiditas bank di Bali per Desember 2006. Dari hasil pengamatan terhadap
data-data pada tahun-tahun sebelumnya, yaitu pada periode Desember 2002, Desember
2003, Desember 2004, dan Desember 2005 ranking bank berdasarkan total aset tidak
mengalami perubahan yang signifikan. Artinya, bank-bank dengan kelompok asset besar,
sedang dan kecil pada tahun 2006 relatif sama dengan bank-bank kelompok tersebut pada
tahun 2002-2005 meskipun nominalnya lebih kecil. Begitu pula halnya dengan ranking
berdasarkan likuiditas, dimana sebagian besar bank-bank tersebut relatif berada di
kelompok yang sama pada periode tahun-tahun sebelumnya. Dengan demikian, dari 30
bank tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Asset besar
1. BPD Bali
2. Bank Rakyat Indonesia
3. Bank Mandiri
4. Bank Negara Indonesia
5. Bank Central Asia
6. Bank International Indonesia
7. Bank Permata
8. Bank Niaga
9. Bank Danamon Indonesia
2. Asset sedang
10. Bank Lippo
11. Bank Tabungan Negara
12. Bank Century Intervest Corporation International (CIC)
13. Bank Panin
14. Bank Buana Indonesia
15. Bank Sri Partha
16. Bank Nilai Inti Sari Penyimpan (NISP)
17. Bank Mega
18. Bank Sinar Harapan Bali
19. ABN Amro Bank
20. Bank Bukopin
4
Citibank, Bank Interpasific, Bank Artha Graha International, Bank Bumiputera Indonesia, Bank
Commonwealth, Standard Chartered Bank, Bank Kesawan, Bank Nusantara Parahyangan, Bank Shinta.
12
3. Asset kecil
21. Bank UOB Indonesia
22. Bank Bumi Arta
23. Bank Ekonomi Raharja
24. Bank Mayapada Internasional
25. Bank Antar Daerah
26. Bank Eksekutif Internasional
27. Bank Maspion Indonesia
28. Bank Arta Niaga Kencana
29. Bank Hagakita
30. Bank Swaguna
4. Likuiditas besar
1. BPD Bali
2. Bank Mandiri
3. Bank Niaga
4. Bank Rakyat Indonesia
5. Bank Negara Indonesia
5. Likuiditas sedang
6. Bank Central Asia
7. Bank Danamon Indonesia
8. Bank Nilai Inti Sari Penyimpan (NISP)
9. Bank Sri Partha
10. Bank Sinar Harapan Bali
11. Bank International Indonesia
12. ABN Amro Bank
13. Bank Buana Indonesia
14. Bank Permata
15. Bank Lippo
6. Likuiditas kecil
16. Bank Mega
17. Bank Bukopin
18. Bank Panin
19. Bank Century Intervest Corporation International (CIC)
20. Bank Maspion Indonesia
21. Bank Arta Niaga Kencana
22. Bank Ekonomi Raharja
23. Bank Eksekutif International
24. Bank Antar Daerah
25. Bank Hagakita
26. Bank Tabungan Negara
27. Bank Bumi Arta
28. Bank Mayapada Internasional
29. Bank UOB Indonesia
30. Bank Swaguna
13
Untuk menjawab pertanyaan pertama “Apakah suku bunga kebijakan bank sentral
diikuti oleh suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman? Apakah terdapat symmetry
effect dari kenaikan dan penurunan suku bunga kebijakan? Apakah karakteristik bank—
berdasarkan ukuran asset dan tingkat likuiditas—berpengaruh dalam penetapan suku
bunga?” digunakan model sebagai berikut:
rit = α + β 1i _ up t − j + β 2 i _ down t − j + ε it ........................................................(12)
Dimana:
rit = suku bunga perbankan (deposito dan kredit konsumsi/investasi/modal kerja)
it = suku bunga SBI 1 bulan yang dianggap sebagai suku bunga kebijakan
Selanjutnya persamaan di atas di-run untuk masing-masing kategori bank
Kemudian, untuk menjawab pertanyaan kedua, “Apakah pemberian kredit oleh
perbankan dipengaruhi oleh suku bunga kebijakan, pertumbuhan ekonomi riil, dan
inflasi? Apakah karakteristik bank—berdasarkan ukuran asset dan tingkat likuiditas—
mempengaruhi bank dalam menetapkan jumlah kredit yang disalurkan?” digunakan
model sebagai berikut:
Lit = α i + β 1Yt −1 + β 2π t − j + β 3 it − k + β 4 Lit −1 + μ it ..............................................(13)
Sebagai alternatif, model yang digunakan adalah sebagai berikut:
log (Lit ) = α i + β 1 log (Yt −1 ) + β 2π t − j + β 3 it − k + β 4 log (Lit −l ) + μ it ......................(14)
dan
log (Lit ) =α i + β 1 log (Yt −i ) + β 2π t − j + β 3 d (it − k ) + β 4 log (Lit −l ) + μ it ....................(15)
Dimana:
Lit = nominal kredit total
Yt = PDRB riil
π t = inflasi regional
it = suku bunga SBI 1 bulan yang dianggap sebagai suku bunga kebijakan
Selanjutnya persamaan di atas di-run untuk masing-masing kategori bank.
Beberapa data mempunyai frekuensi bulanan dan triwulanan, dan ketersediaan
data pun tidak seragam dimana series paling panjang mulai tahun 1993, sementara data
panel perbankan tersedia mulai bulan Januari 2002. Dengan demikian, untuk
menyeragamkan frekuensi dan data awal (starting date) digunakan data bulanan, yaitu
mulai periode 2002:01 sampai 2006:12.
14
Tabel 1. Data
No. Data Keterangan
1. PDRB Bali riil Sumber: Badan Pusat Statistik
Tahun 1993 – 2005: triwulanan (base year 1993)
Tahun 2001 – 2006: triwulanan (base year 2000)
Æ Tahun 2001 – 2006: bulanan (base year 2000) dengan re-base dan
frequency conversion quadratic match sum.
2. Suku bunga SBI Sumber: Bank Indonesia
Tahun 1996 – 2006: bulanan
3. Inflasi IHK Sumber: Badan Pusat Statistik
IHK Kota Denpasar
Tahun 1993 – 2002: bulanan (base year 1992)
Tahun 2003 – 2006: bulanan (base year 2002)
Æ Tahun 2001 – 2006: bulanan (base year 2002)
4. Suku bunga deposito 1 Sumber: Bank Indonesia
bulan 30 bank umum konvensional di Bali
Tahun 2002 – 2006: bulanan
5. Suku bunga kredit Sama seperti suku bunga deposito 1 bulan
konsumsi
6. Suku bunga kredit Sama seperti suku bunga deposito 1 bulan
investasi
7. Suku bunga kredit Sama seperti suku bunga deposito 1 bulan
modal kerja
8. Kredit konsumsi Sama seperti suku bunga deposito 1 bulan
10. Kredit modal kerja Sama seperti suku bunga deposito 1 bulan
V. HASIL EMPIRIS
V.1. Pengaruh Suku Bunga Kebijakan terhadap Suku Bunga Bank
Dengan mengaplikasikan persamaan (12) untuk data seluruh bank dan masing-
masing kelompok bank (6 kelompok), tabel 2 memberikan ringkasan hasil estimasi yang
dilakukan. Dari tabel tersebut dapat ditunjukkan bahwa pergerakan suku bunga deposito
secara umum mengikuti pergerakan suku bunga SBI lag 1 bulan. Pergerakan suku bunga
deposito tersebut bersifat asymmetry, dimana pengaruh penurunan suku bunga kebijakan
(koefisien 0.775) lebih besar dibandingkan dengan pengaruh dari kenaikan suku bunga
kebijakan (koefisien 0.685).
Karakteristik bank berdasarkan asset dan tingkat likuiditas juga berpengaruh
secara signifikan dalam penetapan suku bunga deposito. Dalam menetapkan suku bunga
depositonya bank-bank kecil (asset kecil atau likuiditas kecil) lebih responsif mengikuti
15
pergerakan suku bunga SBI dibandingkan bank-bank besar (asset besar dan likuiditas
besar) yang ditunjukkan dengan koefisien yang lebih besar.
Kondisi asymmetry dimana penurunan suku bunga simpanan pada saat penurunan
suku bunga kebijakan lebih cepat dibandingkan dengan kenaikan suku bunga simpanan
pada saat kenaikan suku bunga kebijakan ini mengindikasikan bahwa adanya
kecenderungan pihak bank dalam menekan biaya dana (cost of fund), yaitu biaya bunga
yang harus dibayarkan kepada nasabah. Dengan menurunkan suku bunga simpanannya
lebih cepat, maka bank akan membayar biaya bunga ke nasabah lebih murah.
Sementara itu, pada suku bunga pinjaman, yang dalam hal ini diwakili oleh suku
bunga kredit konsumsi, pergerakannya relatif lebih kaku dan lamban dalam mengikuti
pergerakan suku bunga kebijakan (tabel 3). Hal ini dapat dilihat dari koefisiennya yang
lebih kecil dibandingkan koefisien variabel suku bunga SBI pada persamaan dengan suku
bunga deposito sebagai variabel dependennya dan lag-nya yang lebih panjang, yaitu 4
bulan.
Secara umum, respon suku bunga kredit bersifat asymmetry, dimana bank lebih
responsif terhadap penurunan suku bunga kebijakan (koefisien 0.283) dibandingkan
terhadap kenaikan suku bunga kebijakan (koefisien 0.249). Hasil temuan ini selintas tidak
konsisten dengan harapan awal bahwa kenaikan suku bunga kredit lebih cepat
dibandingkan dengan penurunan suku bunga kredit. Hal ini terjadi mengingat periode
sampel yang digunakan mulai tahun 2002 (setelah krisis ekonomi), dimana kondisi sektor
riil belum sepenuhnya pulih sehingga daya serap kreditnya pun masih terbatas, dan relatif
tingginya potensi kredit bermasalah jika suku bunga kredit ditetapkan tinggi. Dengan
demikian, bank cenderung untuk tidak serta merta menaikkan suku bunga kreditnya pada
saat suku bunga SBI naik. Suku bunga kredit yang sudah tinggi jika dinaikkan lagi oleh
pihak bank, karena suku bunga kebijakan yang naik, justru akan mengurangi minat dunia
usaha (sektor riil) untuk mengajukan kredit. Hal ini tentu saja perlu dilihat untuk daerah-
daerah lain, apakah mempunyai fenomena yang sama atau berlainan, dan perlu diteliti
periode sebelum krisis.
Karakteristik bank berpengaruh pula terhadap penetapan suku bunga kredit. Bank
yang ber-asset kecil mempunyai respon yang paling besar terhadap penurunan dan
kenaikan suku bunga SBI. Dan yang menariknya adalah bahwa untuk kelompok bank
asset kecil lebih responsif terhadap kenaikan suku bunga SBI (koefisien 0.510)
16
dibandingkan pada saat terjadi penurunan suku bunga SBI (koefisien 0.477). Hal ini
menunjukkan bahwa untuk bank asset kecil relatif mempunyai cost of fund yang tinggi,
yang dicerminkan oleh tingginya suku bunga simpanan, sehingga untuk menekan cost of
fund tersebut bank akan memaksimalkan pendapatan dari bunga kredit.
Sementara itu, kelompok bank dengan asset besar, asset sedang, likuiditas besar,
likuiditas sedang, maupun asset kecil lebih responsif terhadap penurunan suku bunga SBI
dibandingkan terhadap kenaikan suku bunga SBI. Namun kelompok bank likuiditas kecil
lebih responsif dibandingkan dengan empat kelompok bank tersebut, dimana pada saat
penurunan suku bunga SBI koefisiennya sebesar 0.444 dan pada saat kenaikan suku
bunga SBI koefisiennya sebesar 0.438.
17
yang disalurkan oleh perbankan. Begitu pula dengan variabel laju inflasi, ternyata juga
berpengaruh positif dan berdampak signifikan terhadap nominal kredit yang disalurkan
perbankan di Bali, dimana setiap kenaikan inflasi sebesar 1% tiga bulan yang lalu akan
diikuti oleh kenaikan nominal kredit yang disalurkan sebesar Rp 946 juta. Hal ini bisa
dijelaskan dari sisi permintaan kredit yang cenderung meningkat bila terdapat kenaikan
harga. Sebagai contoh adalah kenaikan inflasi di Bali yang terjadi pada tahun 2005
sebesar 11,31% ternyata dapat menjadi salah satu faktor pendorong pertumbuhan kredit
di Bali sebesar 21,82%. Sebaliknya pada saat inflasi sebesar 4,30% pada tahun 2006,
pertumbuhan kredit di Bali hanya tumbuh 11,26%.
Sementara itu, variabel nominal kredit lag 2 bulan sebelumnya mempunyai
pengaruh positif terhadap besarnya kredit yang disalurkan saat ini. Hasil pengujian
empirik menunjukkan bahwa pengaruhnya signifikan dengan koefisien sebesar 0.864.
Secara teori besarnya kredit yang disalurkan sebelumnya berpengaruh terhadap besarnya
nominal kredit saat ini, namun tidak dipastikan bahwa pengaruhnya harus negatif atau
positif.
Berikutnya analisis akan dikembangkan berdasarkan pengelompokan bank.
Pertama dilakukan pengelompokan bank berdasarkan asset. Terbukti bahwa karakteristik
bank yang diwakili oleh total asset memiliki perbedaan dalam merespon suku bunga
kebijakan moneter. Terlihat pada tabel 4 bahwa bank berdasarkan kelompok asset besar
dan sedang besarnya kredit yang disalurkan saat ini dipengaruhi oleh variabel SBI dengan
lag 6 bulan dan 8 bulan, relatif lebih lambat dibandingkan kelompok asset kecil yang
pengaruh SBI-nya memiliki lag 3 bulan.
18
Sementara itu, pengelompokan berdasarkan likuiditas, menunjukkan pula adanya
perbedaan respon suku bunga kebijakan terhadap kredit yang disalurkan. Tabel 5
menunjukkan pengaruh SBI lag 5 bulan untuk bank dengan likuiditas besar, dan lag 9
bulan untuk bank dengan likuiditas sedang. Hal ini menunjukkan bahwa kedua kelompok
bank tersebut memiliki respon yang lebih lambat dibandingkan dengan bank dengan
likuiditas kecil yang memiliki lag 3 bulan.
Dari hasil empiris beberapa model tersebut dapat disimpulkan bahwa karakteristik
bank yang diwakilkan oleh total asset dan tingkat likuiditas memiliki pengaruh dalam
merespon kebijakan moneter, dimana bank dengan karakteristik besar dan sedang
cenderung lebih lambat dalam merespon perubahan suku bunga SBI, yang ditunjukkan
dengan nilai koefisien yang lebih kecil dibanding nilai koefisien pada bank
berkarakteristik kecil.
VI. KESIMPULAN
Paper ini menganalisis perilaku bank umum yang berada di wilayah Bali pada
periode 2002-2006. Dengan menggunakan data panel, sebanyak 30 bank umum dianalisis
respon suku bunga dan nominal kredit terhadap perubahan suku bunga kebijakan. Dari
pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pergerakan suku bunga kebijakan direspon oleh suku bunga simpanan secara
fleksibel dan relatif cepat, sedangkan suku bunga pinjaman relatif kaku dan lambat.
Pergerakan suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman bersifat asymmetry,
dimana penurunan suku bunga lebih responsif dibandingkan dengan kenaikan suku
bunga. Kondisi tersebut berlaku baik dalam hal penetapan suku bunga simpanan
19
maupun suku bunga pinjaman. Kecuali untuk kelompok bank asset kecil dimana
kenaikan suku bunga lebih responsif dibandingkan penurunan suku bunga.
2. Karakteristik bank mempengaruhi keputusan bank dalam penyaluran kredit, dimana
pada penetapan suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman, bank-bank kecil
(asset kecil dan likuiditas kecil) lebih sensitif terhadap pergerakan suku bunga
kebijakan dibandingkan dengan bank-bank besar (asset besar dan likuiditas besar).
3. Sesuai hipotesa awal bahwa kredit di Bali dipengaruhi secara positif oleh
pertumbuhan ekonomi dan inflasi daerah, dan secara negatif dipengaruhi oleh suku
bunga kebijakan. Pengaruh kenaikan pertumbuhan ekonomi dan inflasi terhadap
nominal kredit lebih besar dibandingkan dengan penurunan suku bunga kebijakan.
4. Dalam penyaluran kredit, karakteristik bank yang diwakilkan oleh total asset dan
tingkat likuiditas memiliki pengaruh dalam merespon kebijakan moneter, dimana
bank dengan karakteristik besar cenderung lebih lambat dalam merespon perubahan
suku bunga kebijakan dibanding bank berkarakteristik kecil.
5. Wacana mengenai pemberian kewenangan memutus yang lebih besar kepada kantor
wilayah atau kantor cabang dari bank-bank yang berkantor pusat di Jakarta atau
daerah lain menjadi relevan dalam hubungannya dengan upaya meningkatkan fungsi
intermediasi perbankan, khususnya penyaluran kredit ke sektor riil yang banyak
tersebar di daerah. Sehingga penerapan unit banking system menjadi suatu kebutuhan
untuk menggantikan branch banking system yang saat ini banyak dianut oleh bank-
bank.
6. Mengingat sampel yang digunakan dalam paper ini dimulai pada tahun 2002 (periode
sesudah krisis), maka perlu dilakukan penelitian pada periode sebelum krisis untuk
memperkaya analisis respon suku bunga dan kredit perbankan terhadap kebijakan
moneter, khususnya di tingkat regional.
20
Daftar Pustaka
Baltagi, Badi H., “Econometric Analysis of Panel Data”, Second Edition, John Wiley &
Sons Ltd, 2001.
Bank Indonesia dan Inter CAFE-LPPM Institut Pertanian Bogor, “Materi Pelatihan Panel
Data”, Tidak Dipublikasikan, Bogor 24-26 November 2006.
Batini, Nicoletta and Andrew G Haldane, “Forward-Looking Rules for Monetary Policy”,
Bank of England, 1999.
Drew, Aaron and Benjamin Hunt, “Efficient Simple Policy Rules and The Implication of
Potential Output Uncertainty”, Reserve Bank of New Zealand, August 1999.
Ehrmann, M., Gambacorta L., Martinez-Pages, J., Sevestre, P., and Worms, A.,
“Financial System and The Role of Banks in Monetary Policy Transmission in The Euro
Area”, European Central Bank, Working Paper No. 105, December 2001.
Gujarati, Damodar N., “Basic Econometrics”, Fourth Edition, McGraw Hill, 2003.
Hsiao, Cheng., “Analysis of Panel Data”, Cambridge University Press, 1986.
Nachrowi, Nachrowi D. dan Hardius Usman, “Pendekatan Populer dan Praktis
Ekonometrika untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan”, Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2006.
McCallum, “Alternative Monetary Policy Rules: A Comparison with Historical Setting
for US, the UK, and Japan”, NBER Working Paper No. 7715, June 2000.
Mojon, Benoit, “Financial Structure and The Interest Rate Channel of ECB Monetary
Policy”, European Central Bank, Working Paper No. 40, November 2000.
Safuan, Sugiharso dan Beta Yulianita G. Laksono, “Transmisi Kebijakan Moneter di
Indonesia: Credit View atau Money View”, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Indonesia, Volume VII, No. 2, Januari 2007, Hlm. 93-103.
Taylor, John B., “Discretion Versus Policy Rules in Practice,” Carnegie-Rochester
Conference Series on Public Policy, 39, 1993, p. 195-214.
Taylor, John B., “An Historical Analysis of Monetary Policy Rules”, NBER Working
Paper No. 6768, October 1998.
Topi, Jukka and Jouko Vilmunen, “Transmission of Monetary Policy Shocks in Finland:
Evidence from Bank Level Data on Loans”, European Central Bank, Working Paper No.
100, December 2001.
Sichei, Moses M., “Bank-Lending Channel in South Africa: Bank-Level Dynamic Panel
Data Analysis”, Departement of Economics Working Paper Series, University of
Pretoria, November 2005.
Wimanda, Rizki E., Donni F. Anugrah, Jultarda Hutagalung, dan Firman Hidayat,
“Analisis Respon Suku Bunga dan Kredit Bank di Jawa Barat terhadap Kebijakan
Moneter”, Bank Indonesia, Working Paper No. 1, Februari 2007.
21