Anda di halaman 1dari 3

A.

Latar belakang
Salah satu faktor penting dalam pengambilan
keputusan untuk kestabilan perekonomian adalah
pasar keuangan, makroekonomi, dan perbankan.
Sehingga pertimbangan kondisi masa depan (forward-
looking) sangat diperlukan terhadap kebijakan yang
diimplementasikan oleh otoritas. Pada segi volatilitas
pasar keuangan, siklus bisnis, maupun keterhubungan
variabel keuangan dengan forecasting makroekonomi
harus diprediksi secara akurat. Sebab dengan konteks
tersebut secara mudah dapat digunakan relevansinya
untuk memantau prospek kondisi perkembangan bank
syariah. Akan tetapi karena kemarin berbagai negara
terdampak resesi akibat terbatasnya aktivitas ekonomi
oleh sebab pandemi Covid-19, maka tinjauan
perbankan syariah terkait pertumbuhannya masih
terbatas pada aspek tertentu, yaitu asset.
Terdapat pula hal yang mempengaruhi kestabilan
keuangan negara, yaitu inklusi. Inklusi dalam
pengertian syariah merupakan sebuah upaya dalam
meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap
lembaga keuangan syariah, supaya masyarakat dapat
mengelola serta mendistribusikan sumber-sumber
keuangannya berdasarkan prinsip syariah. Financial
inclusion atau inklusi keuangan akhir-akhir ini juga
menarik banyak perhatian negara di dunia. Krusialnya
inklusi keuangan diakui secara luas di dunia, bahkan
inklusi keuangan itu sendiri telah dipakai sebagai fokus
utama pada kebijakan pemerintah di berbagai negara
sejak tahun 2000-an. The World Bank 2014 Global
Financial Development Report memberitakan, bahwa
lebih dari lima puluh negara di dunia telah memasang
target tertentu pada hal inklusi keuangan (Naceur et
al., 2015). Sebab inklusi keuangan diyakini mampu
mempermudah alokasi sumber daya produktif secara
merata, sehingga akan mengurangi tumbuh
kembangnya pembiayaan yang bersumber kredit
informal, semisal rentenir, yang pada kalanya
penyaluran pinjaman dilakukan dengan eksploitatif.
Pada beberapa macam penelitian yang dilakukan oleh
The World Bank, terungkap bahwa

inklusi keuangan berperan sangat penting akan


pengentasan kemiskinan, mengurangi disparitas
pendapatan masyarakat, dan mendorong
pertumbuhkembangan ekonomi. Dengan kata lain,
penerapan inklusi keuangan dapat memiliki pengaruh
pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dan
pengurangan ketimpangan pendapatan di suatu negara
didasarkan dalam kategori tingkat pendapatan
masyarakatnya. Seluruh dimensi inklusi keuangan
secara simultan mempunyai dampak positif yang
sangat baik bagi perekonomian negara. Karena inklusi
tersebut mampu memberikan kontribusi yang besar
terhadap pengembangan sektor keuangan, sehingga
secara tidak langsung dapat mengurangi kemiskinan
dan ketimpangan distribusi pendapatan. Selain itu,
inklusi keuangan memiliki kemampuan untuk
memastikan peningkatan pada akses masyarakat
dengan penyediaan layanan keuangan yang efisien dan
permodalan yang dapat memberikan peluang bagi
masyarakat kelas menengah ke bawah. Maka dari itu,
pengembangan sistem keuangan inklusif bisa menjadi
solusi yang tepat guna meningkatkan pembangunan
dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Namun hal
yang masih miris bahwa tingkat inklusi perbankan
syariah di Indonesia itu masih rendah. Padahal
rendahnya inklusi pada sektor keuangan perbankan di
dalam suatu negara dengan keadaan ketimpangan
pendapatan yang cukup tinggi dapat menyebabkan
marginalisasi orang miskin dikarenakan adanya
ketidaksetaraan peluang ekonomi.
B.Rumusan masalah
Dengan memahami hal pada latar belakang yang
telah diterangkan, kami memproyeksikan rumusan
masalahnya sebagai berikut.
a. Seberapa pesat asset yang tumbuh pada bank
syariah sejauh ini ?
b.Bagaimana keadaan inklusi perbankan syariah di
Indonesia ?

C. Pembahasan
Dari tahun 2011, pertumbuhan aset bank syariah terus
menerus mengalami peningkatan sampai 646 triliun
rupiah pada bulan September 2021. Pertumbuhan
tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Aset perbankan syariah tersebut tumbuh tidak luput


oleh adanya hubungan positif cukup yang kuat pada
pertumbuhan pembiayaan (PYD) perbankan syariah.
Pembiayaan (PYD) perbankan syariah telah mencapai
413 triliun rupiah dalam kurun waktu IO tahun sejak
2011 hingga September 2021.

Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan syariah juga


mengalami pertumbuhan yang signifikan sebagaimana
aset dan pembiayaan (PYD). DPK perbankan syariah
hanya berada pada angka 77 triliun rupiah pada tahun
2011, akan tetapi pada September 2021 atau dalam
kurun waktu IO tahun terakhir DPK perbankan syariah
telah tercatat sebesar 503 triliun rupiah atau
bertumbuh sebesar 6.5 kali.

Pembiayaan (PYD), Dana Pihak Ketiga (DPK), dan aset


terbukti mengalami peningkatan berkisar 1%. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat antusias masyarakat
terhadap perbankan syariah lumayan tinggi.

Dari grafik di atas dapat dilihat, aset perbankan syariah


pada tahun 2022 ini juga mengalami sejumlah
peningkatan. Sehingga dapat diprediksi atas

pemaparan grafik aset tersebut, memungkinkan untuk


terus mengalami pertumbuhan yang positif pada tahun
mendatang. Pertumbuhan ini dialami pula oleh
pembiayaan (PYD), yang mencapai 452 triliun rupiah
sampai dengan 457 triliun rupiah. Dapat dilihat pada
grafik yang tertera di bawah.

Tidak hanya kedua variabel di atas, Dana Pihak Ketiga


(DPK) juga ikut serta berpartisipasi dalam pertumbuhan
pada perbankan syariah. Dengan pembuktian dari
angka 549 triliun rupiah menjadi 575 triliun rupiah.
Tinjauan grafiknya sebagai berikut.

Atas sajian beberapa grafik yang telah diperlihatkan,


diperoleh data pertumbuhan pada perbankan syariah
yaitu.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa Dana Pihak


Ketiga (DPK) telah mengalami peningkatan yang
cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan aset dan
pembiayaan.

Selanjutnya yang dibahas adalah keadaan inklusi


perbankan syariah di Indonesia. Sejak tahun 2016,
indeks inklusi keuangan syariah masih belum
memuaskan, yaitu hanya sebesar 0.127, sehingga
termasuk dalam kategori ISFI (Indeks Inklusi Keuangan
Syariah) yang rendah selama beberapa periode.
Namun berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan

(2018) tingkat inklusi keuangan pada perbankan


syariah berada pada kisaran 9.6 persen di Tahun 2016.
Menurut ISFI, terdapat 30 provinsi di Indonesia yang
memiliki kategori inklusi keuangan rendah. Kategori
ISFI tinggi hanya satu povinsi yaitu DKI Jakarta dan dua
provinsi dengan tingkat medium atau sedang. Apabila
dilihat dari sebaran ketiga dimensi inklusi keuangan,
DKI Jakarta jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
provinsi yang lain. Nilai dimensi dengan kategori tinggi
di Provinsi DKI Jakarta merupakan sebuah dimensi
aksesibilitas dan dimensi availabilitas. DKI Jakarta
menempati posisi pertama dengan sebaran aset
perbankan syariah terbesar di Indonesia yakni
mencapai 56.60 persen (Otoritas Jasa Keuangan,
2019). Sementara pada dimensi penggunaan berada
pada kategori sedang. Hal ini disebabkan tingkat rasio
NPF di DKI Jakarta yang tergolong tinggi yakni
mencapai 4.37 persen. Sehingga berdampak tingkat
penggunaan diwakili tingkat indikator pembiayaan
perbankan syariah.
Kemudian provinsi yang tergolong ke dalam inklusi
keuangan sedang adalah provinsi Aceh dan D.I
Yogyakarta. Provinsi Aceh mengalami peningkatan
yang sangat signifikan pada tahun 2016, padahal di
tahun sebelumnya masih berada di kategori rendah.
Hal ini disebabkan oleh dimensi availabilitas dan
dimensi penggunaan provinsi Aceh menempati posisi
tinggi. Dimana pada tahun 2016 semua lembaga
keuangan formal di konversi menjadi syariah
berdasarkan pemberlakuan syariat Islam di Aceh.
Sehingga tingkat ketersediaan layanan keuangan
formal syariah dan penggunaan terhadap layanan
syariah di sana mampu meningkat. Otoritas Jasa
Keuangan (2018) memberitahukan bahwa tingkat
pangsa pasar perbankan syariah telah mencapai 50.21
persen di tahun 2017. Akan tetapi, hal tersebut
memiliki artian bahwa kantor layanan sudah tersebar
dan beroperasi, namun jumlah DPK yang
mencerminkan kepemilikan rekening, baik tabungan
maupun deposito masyarakat masih belum merata.
Menurut data lansiran Otoritas Jasa Keuangan (2017)
dalam perkembangan perbankan syariah regional, di
provinsi Aceh mengalami penurunan dari sisi DPK
berkisar 26.68 persen.

Pada provinsi D.l Yogyakarta mempunyai rata-rata


ISFI sebesar 0.33. Dimensi availabilitas dan
penggunaan di provinsi ini masih berada pada kategori
sedang, akan tetapi dimensi aksesibilitasnya berada
pada kategori rendah. ISFI yang paling tinggi di D.I
Yogyakarta terjadi pada tahun 2015. Di dasarkan data
perkembangan Perbankan Syariah market share di
provinsi D.I Yogyakarta, memperoleh peningkatan di
tahun 2017 yaitu sebesar 4.82 persen. Selaras dengan
itu, pertumbuhan pembiayaan di tahun 2017 lumayan
drastis mencapai 18.16 persen, dimana di beberapa
tahun sebelumnya hanya mencapai 3.91 persen.
Jambi berada pada posisi ke empat pada tingkat
provinsi yang dimensi availabilitasnya berada di
kategori sedang, akan tetapi untuk dimensi
aksesibilitas dan penggunaan masih tergolong rendah.
Terjadi demikian disebabkan oleh sepanjang tahun
2017 provinsi Jambi masuk ke dalam kategori provinsi
dimana market share perbankan syariah di atas 5
persen, yakni kisaran 6.05 persen. Walaupun tingkat
dimensi aksesibilitas dan dimensi penggunaan rendah,
di provinsi Jambi jumlah kantor layanan perbankan
syariah sudah lumayan cukup memadai. Namun belum
sepenuhnya dapat diakses dan digunakan maupun
dimanfaatkan masyarakat untuk membuat rekening
dan rasio pembiayaan.
Tingkat keinklusifan perbankan syariah di provinsi Jawa
Barat juga jauh lebih rendah dibandingkan provinsi
NTB, Kalimantan Timur dan
Kepulauan Riau. Rendahnya nilai indeks inklusi
keuangan di Jawa Barat dipengaruhi oleh jumlah
rekening yang terdaftar, jumlah kantor cabang,
maupun jumlah DPK, serta pembiayaan yang relatif
lebih tinggi, namun itu tidak sebanding dengan jumlah
populasi masyarakatnya. Indeks inklusi keuangan yang
rendah menunjukkan penyebaran dan pemanfaatan
jasa perbankan syariah yang masih belum banyak. Dari
30 provinsi dengan ISFI yang tergolong rendah,
Provinsi NTT adalah salah satu provinsi dengan ISFI
terendah selama periode terlama. Berdasarkan
laporan OJK (2018) mengenai perkembangan
Perbankan Syariah, market share di NTT mengalami
banyak penurunan. Selain itu, grafik pertumbuhan aset
menurun drastis secara berkala, dimana pada tahun
2017 berada pada

angka -1247 persen. Begitu pula pertumbuhan


pembiayaan dan DPK selalu menurun di setiap
tahunnya. Sehingga keterlibatan masyarakat di NTT
terhadap perbankan syariah bisa dikatakan sangatlah
rendah.
Selain provinsi NTT, provinsi Papua memiliki ISFI yang
rendah juga. Terlihat dari perkembangan tiap tahunnya
yang relatif stagnan. Pada grafik perkembangan
perbankan syariah, tercatat provinsi Papua mengalami
perlambatan bahkan penurunan pada sisi
pertumbuhan DPK menjadi -5.90 persen yang
sebelumnya adalah 3.13 persen, serta dari sisi
pertumbuhan pembiayaan menjadi -5.58 persen.
Berdasarkan data perkembangan perbankan syariah di
Indonesia (Otoritas Jasa Keuangan, 2017), terdapat
lima provinsi yang mengalami penurunan yang sangat
banyak, yakni provinsi Papua Barat (-1.51 persen),
Papua (-3.00 persen), NTT (-12.47 persen), Riau (-16.31
persen), dan Maluku (-24.67 persen). Adapun lima
provinsi yang memiliki market share terendah
sepanjang 6 tahun terakhir di antaranya, NTT (0.48
persen), Sulawesi Utara (0.98 persen), Papua (I .06
persen), Bali (I .21 persen) dan Maluku (I .89 persen).
Indeks inklusi keuangan antar provinsi di Indonesia
yang memiliki perbedaan menunjukkan masih
terjadinya ketimpangan akses jasa perbankan pada
berbagai provinsi di Indonesia.

D. Kesimpulan
Seiring berjalannya waktu, perbankan syariah yang
ada di Indonesia pasti akan terus berusaha
meningkatkan asetnya. Sebab sudah terdapat indikasi
perputaran roda ekonomi di Indonesia yang mulai pulih
pasca pandemi Covid-19. Begitu pula adanya dukungan
dari masyarakat dengan pemberian kepercayaan
kepada bank syariah yang semakin meningkat. Semoga
dengan capaian aset yang mampu menembus angka
694-734 triliun rupiah, pembiayaan (PYD) yang
mencapai angka 452-470 triliun rupiah, serta Dana
Pihak Ketiga (DPK) yang telah mencapai 549-575 triliun
rupiah, dapat memupuk semangat perbankan syariah
untuk mengembangkan eksistensinya.

Anda mungkin juga menyukai