TINJAUAN PUSTAKA
Universitas Indonesia
14
Universitas Indonesia
melakukan ekspansi kredit serta adanya sejumlah manfaat yang diperoleh bank
dengan memegang obligasi rekap, antara lain pemenuhan rasio CAR dan NPL.
Dalam beberapa tahun terakhir banyak pihak yang mempersoalkan
malasnya bank-bank menyalurkan kredit, mulai dari asosiasi dunia usaha yang
tergabung dalam Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Kamar dagang
dan Industri Indonesia (KADIN), DPR sampai pihak otoritas moneter Bank
Indonesia. Sikap protes BI ini terkait dengan mahalnya ongkos moneter yang
harus ditanggung bank sentral kepada bank-bank yang menyimpan dananya di
SBI. Salah satu pihak yang lantang mempersoalkan dana perbankan yang parkir di
SBI adalah mantan Wapres Jusuf Kalla (Kompas,2007). Kalla mencontohkan,
Pada Desember tahun 2001 porsi dana bank yang disimpan di BI dalam bentuk
SBI masih berada dalam angka Rp 74,30 triliun. Namun pada tahun-tahun
berikutnya jumlah tersebut semakin meningkat terus. Kalla bahkan menuding
sektor perbankan sebagai perampok uang negara, karena setelah berhasil menarik
dana dari masyarakat, perbankan langsung memasukkan dana tersebut ke brankas
BI untuk disimpan dalam bentuk SBI yang menjanjikan bunga lumayan tinggi dan
aman dari berbagai resiko.
Utang Pemerintah sendiri, baik dalam maupun luar negeri, kini menjadi
salah satu penyebab yang dapat menghambat proses lajunya ekonomi nasional. Ini
karena dengan tingkat utang (debt stock) yang terlalu tinggi, rasio antara
kewajiban utang Pemerintah (debt services) dengan penerimaan negara dalam
APBN menjadi relatif terlalu besar. Akibatnya, APBN tidak berperan optimal
sebagai stimulus bagi perekonomian. Krisis akhir 1990-an telah meninggalkan
beban utang yang sangat besar bagi Indonesia. Utang pemerintah meningkat dari
sekitar 40% dari PDB tahun 1996 (sebelum krisis) menjadi 88% dari PDB pada
akhir 2000. Sekitar 75% kenaikan beban utang adalah berupa utang domestik
yang digunakan untuk restrukturisasi perbankan. Kewajiban membayar utang
(bunga dan amortisasi) pemerintah dalam beberapa tahun ke depan akan mencapai
sekitar 40% anggaran pendapatan negara. Dengan sendirinya, hal ini akan sangat
mempengaruhi kemampuan pemerintah dalam menggerakkan perekonomian
sementara di lain pihak, kemampuan pihak swasta masih menjadi tanda tanya.
(Putra, 2002). Menurut Putra, berdasarkan hasil uji statistik dengan Dickey Fuller
Universitas Indonesia
(DF) maupun Phillips-Perron (PP) untuk utang sektor publik dan rasio utang
terhadap PDB nominal periode 1970-2000 diperoleh hasil nonstationary. Artinya,
kebijakan fiskal Republik Indonesia tidak sustainable (tidak berkelanjutan). Hasil
penelitian memperlihatkan rentannya kemampuan APBN dalam melakukan
pembiayaan pembangunan untuk jangka panjang.
Tabel 2.1. Test Augmented Dickey-Fuller Unit Root terhadap Model Hutang
Sektor Publik (Debt Level) dan Rasio Hutang Terhadap PDB (Debt Ratio)
Tabel 2.2. Test Phillips-Perron Unit Root Terhadap Modal Hutang Sektor Publik
Disconted (Debt dan Rasio Hutang Terhadap PDB-Debt Ratio
Uji Full Model, model tanpa trend dan model tanpa time trend dan
intersep juga menghasilkan kesimpulan sama yaitu tak mampu menolak hipotesa
nol yang telah ditetapkan baik dengan menggunakan uji DF maupun PP. lni
menunjukkan terjadi konsistensi yang sangat tinggi untuk menyatakan bahwa
sektor fiskal Indonesia memang berada dalam kondisi unsustainable (tak
berkesinambungan). Fakta tidak berkesinambungannya fiskal ini diperburuk oleh
kebijakan defisit APBN yang pada gilirannya memacu pembentukan utang publik
baru ataupun penundaan pembayaran utang yang jatuh tempo. Fakta lain yang
menunjukkan tidak adanya kesinambungan fiskal adalah terkait dengan tidak
adanya penerimaan utama dalam skim APBN ataupun disiplin pengetatan
pengeluaran yang mampu menjamin kesinambungan jangka panjang.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
mulai dari Rp 3000 triliun hingga Rp 14.000 triliun. Bila tidak ada rencana
sedikitpun dari pemerintah untuk mengambil tindakan drastis yang kreatif,
inovatif dan tidak konvensional, skenario kewajiban pembayaran pemerintah dari
beban OR yang paling ringan tapi realistis jumlahnya diperkirakan sekitar Rp
3.000 triliun. Estimasi ini menjadi bukti bahwa sektor fiskal pemerintah terancam
tidak berkesinambungan.
Meskipun banyak mendapat kritik dari masyarakat, IMF dan Tim
Ekonomi Pemerintah berpendapat bahwa sebelum dijual kepada swasta, semua
kewajiban tersebut memang harus dibayar tanpa boleh mengembangkan upaya
untuk menarik OR dari bank (yang dimiliki oleh pemerintah). Buktinya sudah
ada, yaitu penjualan BCA. Lama sebelum BCA dijual, sudah diketahui bahwa
BCA berhasil mencatat laba di laporan keuangan per 31 Desember 2001 (belum
di-audit) sebesar Rp 3 triliun. CAR mencapai angka 32,6% sedangkan yang
disyaratkan adalah 8%. Padahal kalau memang ada kemauan baik untuk menarik
OR, CAR tersebut bisa diturunkan sampai 8%. Kalau CAR diturunkan sampai
menjadi 8%, modal sendiri bisa diturunkan dengan jumlah Rp 4,8 triliun. Jadi
modal sendiri bisa didebet dengan Rp 4,8 triliun, dan sebagai pembukuan
lawannya, yang di-kredit adalah pos OR. Dengan demikian dalam pembukuan,
OR musnah dengan besaran angka Rp 4,8 triliun, sehingga OR-nya secara fisik
dapat diserahkan kembali kepada pemerintah. Namun ini tidak dilakukan, bahkan
IMF memaksakan OR tidak boleh ditarik kembali sebelum bank rekap dijual.
Dalam kasus BCA, akhirnya OR yang melekat pada bank tersebut
sejumlah Rp 60 triliun ikut terjual kepada swasta (Farralon). Dengan demikian
tagihan kepada pemerintah dalam bentuk OR beralih ke swasta, sehingga pada
tanggal jatuh temponya pemerintah harus membayar OR kepada pemilik baru
BCA. Meminjam istilah Kwik Kian Gie, transaksi penjualan BCA yang sangat
bodoh dan pro investor asing ini tidak dapat dimengerti oleh akal sehat. Ilustrasi
sederhananya adalah seperti ini: pembeli BCA cukup mengeluarkan uang Rp 10
triliun maka dia langsung memiliki tagihan kepada pemerintah sebesar Rp 60
triliun. Selama pemerintah belum dapat membayar utangnya ini, pemilik baru
BCA sudah menerima pembayaran bunga sebesar lebih dari Rp 10 triliun per
tahun. Anehnya, pola penjualan saham pemerintah ala BCA ini juga dilakukan
Universitas Indonesia
saat pemerintah melakukan divestasi bank rekap lainnya seperti Bank danamon
ataupun Bank Niaga.
Yang menarik untuk dikaji dari kebijakan obligasi rekapitalisasi perbankan
adalah peran dari Pemerintah, khususnya Departemen Keuangan, BI dan BPPN.
Sesuai dengan konsep di atas, maka setiap kebijaksanaan publik seharusnya
memperhitungkan benefit secara sosial, politik dan ekonomi bagi masyarakat. Jika
terdapat suatu kebijaksanaan publik yang tidak memberikan benefit pada salah
satu unsur itu, maka kebijaksanaan publik bukan saja tidak tepat tetapi juga
merugikan. Sebagai pembuat dan pelaksana kebijakan publik yang tujuan
akhirnya mencapai kesejahteraan masyarakat, Pemerintah antara lain menjalankan
fungsi sebagai pengelola keuangan negara sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Menurut Undang-
Undang tersebut, Pemerintah berkewajiban mengelola keuangan negara secara
tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif,
transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan
kepatutan. Karena secara definitif keuangan negara mencakup semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa
uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut, maka pengelolaan keuangan negara
mencakup pula kewajiban Pemerintah menggerakkan sektor perekonomian untuk
menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Mengenai definisi kebijakan publik sendiri, para ahli memiliki
pemahaman yang berbeda-beda sesuai latar belakang mereka. Salah satu definisi
diberikan oleh Robert Eyestone. Ia mengatakan bahwa “secara luas” kebijakan
publik dapat didefiniskan sebagai hubungan satu unit pemerintah dengan
lingkungannya. Batasan lain tentang kebijakaan publik diberikan oleh Thomas
R.Dye yang mengatakan bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh
Pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Seorang pakar ilmu politik lain,
Richard Rose menyarankan bahwa kebijakan publik hendaknya dipahami sebagai
serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-
konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan
tersendiri (Winarno, 2007, p.17).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
publik. Tetapi sebagaimana dikenal dalam konsep sosiologi tentang status dan
peranan Pemerintah, sangat mungkin kebijakan publik yang lahir dan
dilaksanakan tidak sesuai dengan harapan dan kondisi masyarakat.
Dari rujukan analisis status dan peranannya, konsep kebijakan publik
memperhitungkan ketepatan diagnosa dan identifikasi masalah serta ketepatan
kebijakan yang diambil ataupun ketepatan waktu melaksanakannya. Untuk sampai
pada tingkat ini dan dengan memperhatikan berbagai pendapat ahli, maka setiap
kebijakan publik akan melalui tahapan sebagai berikut :
1. Tahapan sosial;
2. Tahapan politik;
3. Tahapan organisasi;
4. Tahapan sosialisasi;
5. Tahapan pelaksanaan dan tahapan evaluasi.
Keseluruhan tahap itu tidak lepas dari konsep manajemen. Seperti tampak
pada konsep Bromley, maka tahapan-tahapan tersebut merupakan siklus. Evaluasi
atau penilaian kebijakan akan kembali lagi pada tahapan sosial untuk maksud
memperbaiki kebijakan. Setelah aspirasi diserap dan dirumuskan dalam tahapan
sosial, tahapan politik merupakan perdebatan antara eksekutif dengan legislatif
atau dengan kalangan lain yang berpengaruh. Saat rumusan dicapai,
pengorganisasian dilakukan. Kebijakan tersebut diperkenalkan kepada masyarakat
dan kemudian dilaksanakan.
Ketika memasuki wilayah manajemen pemerintahan, ia mengikuti alur
manajemen secara umum dan secara khusus mengikuti perubahan paradigma
peranan pemerintahan (Osborne, 2005). Perubahan paradigma manajemen
pemerintahan biasanya disebabkan:
a. Keterbatasan anggaran;
b. Budaya organisasi yang dalam praktek keseharian berbasis feodalis
sehingga aparat birokrasi lebih suka dilayani ketimbang melayani;
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tahap Kebijakan/Politis
(Lembaga Tinggi Negara: Pemerintah, DPR)
Penataan Kelembagaan
Tahap Pengorganisasian
(Lembaga Departemen/Nondepartemen
Penataan Kelembagaan
Tahap Operasional
(Individu:bank, perusahaan,nasabah)
Pola-pola interaksi
Outcomes
Penilaian
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
ini adalah apakah perilaku atau cara tertentu mampu memberikan hasil tertentu,
yang kemudian bisa dijadikan bahan pembelajaran bagi pengembangan metode
kerja selanjutnya. Perubahan perilaku, pengembangan metode dan teknik yang
digunakan, menjadi pusat perhatian utama dalam rangka perbaikan kinerja. Hasil
aplikasi pendekatan ini adalah perubahan atau perbaikan metode dan teknik kerja.
Sementara itu, pendekatan hasil atau yang Iebih dikenal dengan result
oriented criteria mempelajari apakah hasil yang diperoleh sesuai dengan
tuntutan, dan pihak yang membutuhkan telah memperoleh hasil dengan kualitas
terbaik atau didistribusikan secara adil kepada mereka yang membutuhkan. Dalam
pendekatan hasil, kesesuaian antara nilai yang hendak dihasilkan dan
didistribusikan, dengan nilai dan pihak yang membutuhkan, serta kualitas dan cara
memberi atau mendistribusikan nilai tersebut, menjadi fokus perhatian utama.
Pada masa sekarang, orientasi kepada kualitas benar-benar ditekankan karena
adanya tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan publik yang diberikan
oleh pemerintah.
Kombinasi kedua pendekatan di atas dapat dilihat pada prinsip Good
Governance yang pada saat ini sedang dipromosikan untuk diterapkan di semua
tataran kepemerintahan termasuk pemerintahan daerah. Nilai-nilai Good
Governance tersebut menggabungkan pendekatan cara dan pendekatan hasil
untuk menilai kinerja program pemerintah. Di dalam pendekatan perilaku,
parameter utama yang seringkali digunakan dalam menilai cara tersebut adalah
biaya (uang, waktu, tenaga, dan energi) yang dikeluarkan di dalam proses
dibandingkan dengan hasil yang dicapai atau dikenal dengan kriteria “efisiensi”
(efficiency perspective), yaitu perbandingan terbaik antara hasil yang diperoleh
dengan biaya yang dikeluarkan. Sementara itu, ada yang lebih memfokuskan lagi
pada biaya menyediakan input sebelum diproses atau yang disebut dengan kriteria
”ekonomi” yaitu apakah input telah disediakan dengan biaya yang wajar.
Di dalam pendekatan hasil, yang dinilai adalah ketepatan hasil sesuai
dengan harapan atau rencana, atau yang secara populer disebut dengan kriteria
”efektivitas” (effectiveness perpective). Parameter utama yang sering digunakan
adalah hasil apa dan berapa yang dapat yang dinikmati (ketepatan jenis dan
jumlah produk/pelayanan), siapa yang mengambil manfaat, dan berapa yang dapat
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tk.Pelayanan Jangkauan
Kelompok Sasaran
Salah satu model lain yang sangat populer dikemukakan oleh Christopher
Pollit dan Geert Bouckaert (2000) adalah model input/output (the input/output
model). Model tersebut mengasumsikan bahwa institusi/program dibangun untuk
memenuhi kebutuhan sosial ekonomi tertentu (Keban, 2008 p.224). Berdasarkan
kebutuhan tersebut disusun tujuan organisasi atau program. Organisasi atau
program menyediakan input (staff, gedung, sumberdaya), menyusun kegiatan-
kegiatan (activities) untuk mengolah input tersebut dalam proses tertentu untuk
menjadi output. Output yang dihasilkan kemudian berinteraksi dengan lingkungan
sehingga memberi hasil tertentu (results) atau disebut intermediate outcomes, dan
dalam jangka panjang hasil tersebut menjelma menjadi dampak atau final
outcomes. Dalam model ini parameter penilaian kinerja terdiri atas (1) relevance
yaitu mengukur keterkaitan atau relevansi antara kebutuhan dengan tujuan yang
dirumuskan; (2) efisiensi yaitu perbandingan antara input dengan output; (3)
efektivitas yaitu tingkat kesesuaian antara tujuan dengan intermediate outcomes
(results) dan final outcomes (impacts); (4) utility and sustainability yaitu
mengukur kegunaan dan keberlanjutan antara kebutuhan dengan final outcomes
(impacts). Model tersebut dapat digambar sebagai berikut:
Universitas Indonesia
Hasil
(Intermediate
Outcomes)
Efisiensi
Relevansi
Efektivitas
Universitas Indonesia
Apa yang dimaksud dengan tidak sesuai dengan syarat dari norma diatas,
dapat dilihat dari sudut pandang asas-asas umum pemerintahan yang baik. Asas-
asas umum pemerintahan yang baik dapat dikategorikan dalam 13 (tiga belas)
asas. Yaitu (Purbopranoto, 1981):
1. Asas kepastian hukum (principle of legal security);
2. Asas keseimbangan (principle of proportionality);
3. Asas kesamaan (principle of equality);
4. Asas bertindak cermat (principle of carefulness);
5. Asas motivasi untuk setiap keputusan (principle of motivation);
6. Asas tidak mencampur adukan kewenangan (principle of non misuse of
competence);
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
membenarkan atau tidak membenarkan suatu cara tertentu (Max Weber, dikutip
oleh Kleden,1984).
Bagi rasionalitas tujuan, yang penting adalah tercapainya tujuan berupa
manfaat yang sebesar-besamya. Pemilihan cara-cara yang digunakan tidak
didasarkan pada norma- norma tertentu, namun hanya pada pertimbangan biaya
(Dunn, 1999). Di sini berlaku hukum meminimumkan biaya untuk memperoleh
manfaat sebesar-besarnya. Kleden mengkategorikan rasionalitas tujuan ini sebagai
homo economicus.Bagi Kleden dua tipe rasionalitas ini merupakan tipe ideal,
maka dalam kenyataan yang ada ialah campur aduknya ke dua rasionalitas (Riggs,
1989). Orientasi nilai, misalnya, sering dipengaruhi dan malah didesak oleh
orientasi tujuan. Hal ini sangat nyata pada masyarakat yang sudah tergantung pada
teknik dan teknologi. Juga tidak mengherankan karena teknik sendiri merupakan
perpanjangan tangan dan rasionalitas tujuan.
Dengan masuknya kalangan rasionalitas ini ke panggung birokrasi, tidak
berarti mereka menjadi pemburu kekuasaan. Berpijak pada nilai etika dan
keilmuan yang mereka miliki, demikian kalangan pengamat perilaku berpendapat,
mereka harus tetap berorientasi hasil kerja yang optimum dengan memperluas
cakrawala pandang. Tujuan yang hendak dicapai dan hasil kerja yang optimum
ketika disinerjikan dalam model sistem, selayaknya menghasilkan perbaikan bagi
berbagai kepentingan lapisan masyarakat. Disinilah kemudian mucul model
integratif sebagai suatu model yang memadukan kelebihan semua model tetapi
sekaligus meminimalkan kelemahannya (Noorsy, 2001).
Sudut pandang integratif sebenarnya dapat dilihat pada keinginan
menggunakan semua pendekatan keilmuan untuk memutuskan atau membuat dan
melaksanakan suatu kebijaksanaan. Ilmu politik, ekonomi, sosial, hukum dan
administrasi didayagunakan sedemikian rupa bagi efektivitas tindakan dan kerja
Pemerintahan (Sugiyono, 1998). Untuk sikap pandangan yang demikian Dimock
dan Dimock berpendapat, jika para administrator hendak melaksanakan tugas
mereka yang sudah ditentukan, mereka harus mengembangkan suatu falsafah
politik ekonomi yang sehat dan matang (Dimock, 1986).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Menurut Rosenbloom, hal yang demikian bisa didekati dengan tiga label,
yaitu manajerial, politik, dan hukum (Shafritz, dan Hyde, 1987). Pendekatan
paling kuat dalam manajemen dilakukan oleh Frederick Taylor. Dalam kajian
tahun 1977 pendekatan manajemen ini sudah menerapkan mekanisme input-
output. Pada rangkaian kerja input ke output itulah:
The goodness or badness of a particular organization pattern was a
mathematical relationship of inputs to outputs. Where the latter was
maximized and the former minimized, a moral goods resulted. Virtue or
goodness was therefore equated with the relationship of these factors, that
is, efficiency or inefficiency. Mathematical was transformed into ethics
(Simmons, dan Dvorin, 1977).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
administrasi negara tidak hanya bersifat empiris, tetapi juga filosofis, normatif dan
spekulatif. Maka muncul persoalan kemampuan organisasi publik dalam
mengartikulasikan konsep perubahan dan daya tanggap yang betul-betul
menggambarkan cara yang sedang atau yang dapat digunakan untuk membuat
organisasi menjadi responsif. Untuk hal in Frederickson langsung memvonis
bahwa adminsitrasi negara konservatif belum mampu melakukannya.
Ia membuktikan:
Kita cenderung mendekati kebutuhan untuk berubah seolah-olah ia
merupakan suatu kegiatan yang bersifat teknologis dan ilmiah. Dalam
kenyataan adalah sebaliknya. Perubahan sebagai dinamika abadi dalam
administrasi negara umumnya merupakan fenomena yang bersfat politik
dan manajerial.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Dari rumusan ini nampak bahwa masa depan normatif jelas lebih sempit
dibanding pengertian dua masa depan lainnya. Tetapi manusia mana pun tidak
pernah bisa menentukan masa depan. Pepatah menyebutkan, yang dilakukan hal
ini adalah investasi untuk masa depan. Warisan bagi masa depan adalah apa yang
dilakukan pada hari ini. Dalam konteks implementasi kebijaksanaan yang
mempunyai hubungan erat dengan masa depan, apa yang dilakukan hari ini
sebagai bangun konstruksi berpikir dan perencanaan sampai dengan bagaimana
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia