Anda di halaman 1dari 8

Analisis Isu Penerapan Credit Crunch dan Open Banking

oleh Perbankan di Indonesia Pada Masa Pandemi Covid-19

Zahra Servira Rachmaira


170610210089
Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran
e-mail : zahra21022@mail.unpad.ac.id

Pendahuluan

Setahun lima bulan lalu, tepatnya 1 Desember 2019 silam menjadi hari dimana kasus
pertama ditemukannya penyakit berjenis Sars-CoV-2 di Kota Wuhan, Provinsi Hubai, Cina.
Secara resmi, Jenis penyakit yang menyerang pernafasan ini dikategorikan sebagai bencana
yang secara signifikan mengubah tatanan kehidupan manusia. Salah satu bidang kehidupan
yang terkena imbasnya adalah bidang Ekonomi, tak terkecuali di wilayah Indonesia
(Sihaloho, E. D.,2020). Berdasarkan Strategi Kebijakan Stabilitas Keuangan Bank Indonesia
Per Maret 2021, disebutkan bahwa permasalahan ekonomi yang muncul di Indonesia akibat
Covid-19 telah meliputi, penurunan permintaan masyarakat, kinerja korporasi yang terpukul
jauh sebab perdagangan menjadi lesu dan sulit berproduksi, dan turunnya kepercayaan sektor
riil. Kegagalan dan Ketidakpastian Ekonomi akibat Pandemi Covid-19 inilah yang
memunculkan terjadinya dua isu baru yang terjadi di dunia perbankan, yakni penerapan credit
crunch dan juga open banking oleh Perbankan di Indonesia.
Menurut Bernanke, B. and Lown, C. (1991), credit crunch adalah keengganan untuk
menyalurkan kredit dalam rangka penghematan oleh perbankan atas dasar penurunan pasokan
kredit yang dimiliki Bank. Indonesia yang pada dasarnya adalah negara berkembang harus
mengakui bahwa fenomena credit crunch yang terjadi pada masa Covid-19 ini sangat
merugikan untuk keseluruhan kegiatan ekonomi, hal ini didasari oleh fakta bahwa sumber
utama pembiayaan investasi di Indonesia masih didominasi oleh penyaluran kredit
perbankan (Harmanta, H., & Ekananda, M., 2005) yang artinya Indonesia masih harus
mempertimbangkan kestabilan kegiatan kredit untuk mencapai keberhasilan kegiatan
ekonomi. Menurut data OJK, Pertumbuhan kredit sepanjang 2020 yang menurun menyentuh
angka -2,41% membuktikan terjadinya fenomena credit crunch, ditambah dengan fakta
bahwa Pemerintah sudah menggelontorkan dana mencapai 64,5 T untuk membantu
perbankan, serta menurunkan suku bunga sampai tingkat yang sangat kecil yaitu 3,75%,
namun tetap tidak menarik minat pihak bank dan nasabah melakukan kegiatan pengkreditan.
Pihak debitur yang menganggap ketidakpastian ekonomi masih sangat tinggi dan rasa
percaya mereka yang sudah menyusut menjadikan perbankan tidak menawarkan kredit
kepada nasabah, terlebih lagi mereka sadar bahwa masih tingginya risiko kredit bermasalah
jika tetap menawarkan kredit kepada nasabah. Kenyataan bahwa bank tidak memiliki akses
untuk menjalankan kredit dan tidak adanya keikutsertaan masyarakat menjalankannya
memunculkan hipotesis fenomena credit crunch, yang sedang menimpa Indonesia pada masa
pandemi covid-19.
Tidak sampai disitu, di masa pandemi ini, oleh karena bantuan finansialisasi dan juga
fenomena kesehatan yang mengharuskan masyarakat untuk menerapkan cashless society
menyebabkan isu Open Banking semakin diperhatikan oleh perbankan di Indonesia. Di satu
sisi, hal ini sangat bermanfaat dan berguna, sebab masyarakat mulai beralih dari transaksi
konvensional menjadi transaksi digital dan tentunya sangat didukung oleh pemerintah.
Menurut Panggabean (2021), Open Banking merupakan sebuah sistem dalam dunia
perbankan dengan menyediakan data jaringan lembaga keuangan melalui penggunaan
antarmuka pemrograman aplikasi yang ada dalam ekosistem keuangan pada pengguna
melalui API. Singkatnya, Open Banking memberikan kesempatan bagi konsumen dan bisnis
untuk dengan mudah membagikan data mereka dengan bank dan pihak ketiga sebagai
perantara atau pengelola akun pribadi dan membandingkan layanan perbankan. Akan tetapi,
open banking belum sepenuhnya dipercaya untuk dijalankan di Indonesia, terlebih lagi
terdapat beberapa pengalaman kebocoran data yang terjadi akibat pelaksanaan program yang
satu ini. Banyak pihak yang menyebutkan Indonesia belum sepenuhnya siap untuk
menggalakkan program Open Banking sehingga sampai sekarang program open banking
yang digalakkan oleh Perbankan di Indonesia masih menjadi isu yang belum menemukan
titik terangnya.

Tinjauan Literatur

Menurut Bernanke, Lown, & Benjamin (1991), credit crunch diartikan sebagai
“pergeseran ke kiri yang signifikan dalam kurva penawaran untuk pinjaman bank, dengan
mempertahankan tingkat bunga riil yang aman dan kualitas peminjam potensial tetap
konstan”, atau singkatnya terjadi pergeseran kurva penawaran untuk pinjaman bank ke kiri
(berkurang). Menurut Woo (2003), credit crunch adalah fenomena kontraksi pinjaman bank
yang mendorong peminjam marjinal kepada kebangkrutan, mengangkat stok NPL dan lebih
lanjut menekan posisi permodalan bank. Mengingat peran bank yang dominan sebagai
lembaga intermediasi keuangan, dan juga pentingnya jalur kredit dalam kebijakan moneter,
kesimpulannya adalah bahwa terdapat sumbatan pada saluran kredit yang menetralisir efek
dari kebijakan moneter yang longgar. Sederhananya, credit crunch diartikan sebagai
fenomena terjadinya pengurungan dan pengetatan kredit yang dapat dan mampu disalurkan
oleh bank.
Dalam buku Warjiyo & Juhro (2016), disebutkan ketersediaan kredit di dalam suatu
kegiatan perekonomian memiliki kaitan yang kuat dengan perilaku bank. Secara umum, bank
cenderung mengambil perilaku risk averse atau menghindari risiko. Tingkat modal yang
relatif kecil menyebabkan bank terpaksa merasakan risiko kegagalan usaha (solvency risk).
Selain itu, bank akan menghadapi risiko likuiditas (liquidity risk) sebab deposan dapat
mengambil dananya kapan saja sementara dana tersebut sudah terlebih dulu disalurkan secara
kredit. Penyaluran kredit yang dilakukan bank juga memiliki risiko gagal bayar (non
performing loan) dimana mungkin saja peminjam kredit tidak mampu membayar kredit yang
ia pinjam. Dengan begitu banyaknya risiko yang mungkin dihadapi, perbankan berusaha
sebisa mungkin untuk menghindari risiko tersebut, terlebih lagi dalam masa pandemi seperti
ini.
Berdasarkan Strategi Kebijakan Stabilitas Keuangan Bank Indonesia Per Maret 2021,
penyebab terjadinya credit crunch didasari oleh perilaku yang dijalankan, baik dari penawar
kredit dan penerima kredit. Dari segi penawaran, perbankan enggan menyalurkan kredit
sebab mereka mewaspadai rasio Loan at Risk (LaR) yang melonjak tinggi sehingga mereka
menghindari resiko tersebut dengan memupuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN)
agar kesehatan bank tetap terjaga sebagaimana mestinya, CKPN ini digunakan perbankan
untuk menghadapi risiko kerugian yang diakibatkan penanaman dana dalam aktiva produktif
(investasi nasabah). Walaupun berdasarkan data statistik BI 2017-2021, rasio NPL masih
dikategorikan aman, namun perbankan tetap menghindari risiko kredit bermasalah yang
mungkin terjadi sehingga mereka menolak untuk menawarkan kredit kepada nasabah.
Menurut Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, hal yang menyebabkan credit crunch
terjadi adalah kebijakan yang diambil oleh lembaga perbankan yaitu pengetatan syarat dan
ketentuan dalam proses penyaluran kredit, yang mana hal ini tentu saja didasari oleh persepsi
risiko yang tinggi. Dari segi penerima kredit, turunnya permintaan masyarakat akan produk
dan jasa dari kegiatan perdagangan ekonomi cenderung menyebabkan nasabah korporat
pesimis dan tidak yakin pada prospek dunia usaha mereka kedepannya sehingga permintaan
mereka akan keberlayanan kredit pun juga ikut turun. Atas dasar itulah, korporasi menunda
keinginan mereka untuk melakukan ekspansi bisnis, bahkan yang lebih parahnya lagi, mereka
menurunkan target produksi agar tidak merugi.
Menurut Hadad (2013), open banking merupakan salah satu program jasa perbankan
dengan tujuan untuk memanfaatkan teknologi dan meningkatkan persaingan di dunia
perbankan. Tumbuhnya perusahaan seperti e-commerce dan fintech, menjadi katalis
munculnya kesadaran akan kebutuhan Open Banking di Indonesia. Menurut (Hutauruk,
2020), di Indonesia, transaksi Open Banking telah dilakukan dan dijalankan melalui fitur
Application Programming Interface (API), walaupun jika dikaji masih terdapat banyak
kekurangan, tetapi seiring berjalannya waktu program open banking semakin mengalami
peningkatan dan dikelola oleh Bank Indonesia. Menurut Brodsky, L., & Oakes, L. (2017),
Manfaat potensial dari open banking adalah: meningkatkan pengalaman pelanggan, dimana
pelanggan akan diberikan kemudahan fitur dan fasilitas yang jauh lebih memadai dalam
mengakses fasilitas perbankan, menambahkan aliran pendapatan baru, open banking digemari
dan memiliki banyak keuntungan, dari keuntungan tersebut itulah yang membuka peluang
bagi perbankan mendapat jalur pendapatan yang baru, dan meningkatkan model layanan yang
berkelanjutan bagi pelanggan, dengan kemudahan dan kemajuan open banking menyebabkan
model layanan perbankan semakin menyeluruh bagi pelanggan. Menurut He, Z., Huang, J., &
Zhou, J. (2020), Open Banking memfasilitasi berbagi data yang disetujui oleh pelanggan
yang menghasilkan data, dengan tujuan regulasi untuk mempromosikan persaingan antara
bank tradisional dan perusahaan pendatang fintech. Saat dikaji lebih luas, persaingan pasar
pinjaman ketika berbagi data pelanggan bank memungkinkan penyaringan atau penargetan
peminjam yang lebih baik oleh pemberi pinjaman. Perbankan terbuka dapat membuat seluruh
industri keuangan menjadi lebih baik namun membuat semua peminjam menjadi lebih buruk,
sebab dengan open banking menyebabkan data dari peminjam akan dapat dengan mudah
diakses, sebab proses pembagian data memicu masalah privasi data dan kebocoran data.

Pembahasan

Isu Credit Crunch yang terjadi di Perbankan Indonesia

Menurut Agenor, dkk. (2000), penyebab umum menurunnya penyaluran kredit oleh
perbankan bisa ditinjau dari dua faktor, yaitu faktor permintaan kredit atau faktor penawaran
kredit, dengan contoh jika suatu bank (sebagai penawar kredit) menolak menyalurkan kredit
sebab memperkirakan bahwa kredit risiko bermasalah (NPL) Non Performing Loan tinggi,
ataupun pertimbangan tidak adanya pasokan dana yang dimiliki oleh bank. Sebaliknya, dari
sisi nasabah (sebagai debitur), jika terdapat penurunan permintaan kredit oleh nasabah karena
berkurangnya ketidakpercayaan akan kegiatan ekonomi di masa datang (demand side). Dari
penurunan permintaan kredit ini pun bisa menjadi alasan Lembaga Perbankan enggan
menyalurkan kredit. Akibatnya, credit crunch yang dilakukan oleh lembaga perbankan sangat
merugikan berbagai pihak di lingkungan perekonomian. Tidak hanya kemampuan nasabah
yang tidak mampu mendapatkan penyaluran kredit, tetapi juga berdampak secara keseluruhan
terhadap gambaran perekonomian suatu negara. Hal ini didukung oleh kutipan yang diambil
dari Ries , yang menyatakan bahwa credit crunch yang dilakukan secara signifikan dan terus
menerus oleh lembaga perbankan akan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi
aktor di dalam kegiatan perekonomian, yang mana dari hal ini akan berdampak pada kualitas
dunia usaha yang semakin memburuk sebab tingkat kualitas pinjaman bank mengalami
penurunan yang signifikan, tidak sampai disitu, credit crunch ini mampu meningkatkan risiko
perekonomian yang lebih dalam dengan jangka waktu yang panjang dan dikenal dengan
sebutan krisis keuangan. Dari segi pengendalian moneter, credit crunch juga dianggap sangat
mengganggu mekanisme transmisi kebijakan moneter dan tentunya berdampak pada
penurunan efektivitas dan efisiensi pengendalian moneter.
Dalam kasus Pandemi Covid-19 yang sedang terjadi di Indonesia, dampak yang
terjadi akibat fenomena credit crunch dan dikutip dari Website BI adalah kebijakan
menurunkan suku bunga acuan mencapai 3,75% di akhir tahun 2020 dengan harapan sebagai
titik balik bagi perbankan untuk percaya dengan pemerintah dan ikut serta menurunkan suku
bunga kredit. Penurunan suku bunga kredit ini dianggap akan lebih melonggarkan peminjam
(lenders) sehingga kegiatan pengkreditan perlahan pulih. Pada dasarnya, penurunan suku
bunga yang dilakukan BI mencapai titik terendah dari sejarah penurunan suku bunga yang
dilakukan BI. Di tahun 2020, kebijakan BI memangkas suku bunga kredit sampai mencapai
titik 3,75% memiliki tujuan dasar yaitu memperbaiki pertumbuhan kredit di tahun 2020, yang
mana menurut data OJK, Pertumbuhan kredit sepanjang 2020 berada di titik merugi yaitu -
2,41%.
Menurut kutipan berita Kompas.com, dampak lain yang ditimbulkan dari terjadinya
credit crunch pada masa pandemi ini adalah munculnya peluang kredit macet atau Non
Performing Loan, dimana NPL ini menjadi indikator sehat atau tidaknya kualitas penyaluran
kredit pada lembaga perbankan tersebut. Tentu untuk mendapatkan posisi yang aman,
lembaga perbankan berlomba-lomba untuk mencapai rasio NPL terendah. Namun dalam
keadaan credit crunch, ditambah dengan permintaan pemerintah yang terus meminta lembaga
perbankan tetap menyalurkan kredit hanya akan berdampak pada kenaikan rasio kredit macet
atau Non Performing Loan dan akhirnya permasalahan likuiditas terjadi pada tahun 2021,
yaitu permasalahan yang terkait dengan ketidakmampuan lembaga perbankan memenuhi
kewajiban finansialnya yang akan jatuh tempo.
Tidak sampai disitu, menurut Paul Reynolds & Joe P Roest (2020), dampak dari
fenomena credit crunch jika ditinjau dari sisi penerima kredit adalah, terjadinya penghentian
pasokan dan ketersediaan barang dan bahan baku oleh nasabah produsen sebab mereka tidak
memiliki power ataupun kekuatan dari segi modal yang biasanya mereka terima dari lembaga
perbankan untuk membeli bahan baku. Jika produsen berhenti berproduksi, hal ini tentu akan
malah menjadi permasalahan yang lebih besar lagi, yaitu kebutuhan pokok konsumen
terganggu kestabilannya dan kebutuhan mereka banyak yang tidak terpenuhi dengan baik.
Dengan kelangkaan produk yang terjadi sesuai dengan teori ekonomi, biaya yang harus
dikeluarkan konsumen pun akan meningkat sangat signifikan, namun dengan keadaan
pandemi covid-19, dimana data grafik Bloomberg menunjukkan adanya penurunan yang
menukik tajam atas indeks penghasilan masyarakat Indonesia di tahun 2020 dibandingkan
tahun sebelumnya, dengan nilai tingkat indeks penghasilan di tahun 2020 sebesar 40,
sedangkan di tahun 2008-2019 angka indeks penghasilan bisa mencapai angka 160.
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (2020) yang menyebutkan beberapa
korporat telah menurunkan target ekspansi bisnisnya menunjukkan bahwa dampak dari
terjadinya credit crunch menyebabkan kemungkinan peluang Bisnis untuk maju ataupun
berinovasi menjadi tertutup, hal ini didasari oleh tidak adanya modal yang bisa mereka
gunakan untuk menjalankan ekspansi, bahkan para pebisnis yang sudah tidak bisa bergerak
lagi akibat dari tidak adanya pasokan modal terpaksa harus menyelesaikan bisnisnya.
Terlepas dari nasabah yang meminjam kredit untuk menjalankan bisnis, nasabah yang
menggunakan kredit untuk kebutuhan sehari-sehari pun harus menanggung kesakitan sebab
tidak adanya peluang bagi mereka untuk mendapatkan saluran dana kredit. Secara umum,
menurut Laporan Perekonomian Indonesia tahun 2020, digambarkan bahwa credit crunch
pada masa pandemi Covid-19 ini berdampak pada kualitas penyaluran kredit di Indonesia dan
meningkatkan resiko penurunan kualitas perekonomian di Indonesia dan berujung pada
terjadinya krisis keuangan yang berkelanjutan, jika tidak ada kebijakan ataupun pembaruan
yang paling relevan untuk menyelesaikan masalah.

Isu Penerapan Open Banking di Perbankan Indonesia

Berdasarkan riset oleh Google, Indonesia dicatat sebagai negara yang mampu
menunjukkan potensi ekonomi digital hingga US$130 miliar pada 2025, bahkan Pada 2019
Indonesia mencatatkan perekonomian digital sebesar US$40 miliar dan memiliki
pertumbuhan sebesar 49% setiap tahun. Dari keadaan ekonomi digital yang cukup makmur
itu mendorong Indonesia untuk terus mengembangkan teknologi di bidang ekonomi secara
menyeluruh. Tumbuhnya perusahaan seperti e-commerce dan fintech, menjadi katalis
munculnya kesadaran akan kebutuhan Open Banking di Indonesia. Pada dasarnya, Penerapan
yang dilakukan di Indonesia masih belum dijalankan secara terang-terangan, sebab BI (Bank
Indonesia), ASPI (Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia), dan OJK (Otoritas Jasa
Keuangan) pun masih berada di fase persiapan, yaitu masih mengolah standar Open Banking
Sistem Pembayaran sebagai pilar pertama dari Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia
(BSPI) di tahun 2025. Organisasi Keuangan dan Bank konvensional yang tersebar di
Indonesia masih belum memiliki inisiatif khusus terkait Open Banking, sebab kembali lagi
Organisasi ini perlu mendapatkan persetujuan dan regulasi dari pihak yang mengawasinya.
Akan tetapi, organisasi dan Bank Konvensional itu menunjukkan keinginannya untuk
dijalankan di Indonesia dengan mengadakan beberapa seminar tentang Open Banking bagi
industri keuangan secara umum.
Alasan yang menyebabkan Open Banking belum dijalankan di Indonesia terutama
oleh pilar pilar utama ekonomi, seperti BI (Bank Indonesia), ASPI (Asosiasi Sistem
Pembayaran Indonesia), dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) adalah kesadaran akan belum
matang dan belum siapnya Indonesia menjalankan fenomena finansialisasi sekompleks ini.
Terdapat beberapa pertimbangan yang masih menjadikan Open Banking sebagai Wacana
yang akan dijalankan untuk beberapa tahun kedepan, yaitu; Aspek Keuntungan kepada
Nasabah dalam Pemanfaatan data mereka pada program Open Banking ini, seperti yang kita
ketahui Open Banking akan membagikan data nasabah kepada pihak ketiga, dari pembagian
data tersebut, keuntungan apa saja yang bisa diterima nasabah, kedua, Aspek Perlindungan
Nasabah, seperti yang kita ketahui data yang dibagikan kepada pihak ketiga apakah bisa
dijamin tidak terjadi kecurangan atau pencurian data oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab, ketiga, Aspek kemitraan, apakah dengan dijalankannya Open Banking
Asas Resiprokalitas dan keamanan mitra dapat terjamin, terlebih lagi regulator seperti BI, dan
OJK belum mau membuka layanan Bank menjalankan hubungan timbal balik dengan sektor
non-perbankan dan sektor riil dalam konsep Open Banking, Keempat, Aspek Teknis, dari
data, keamanan, tata kelola, dan protokol teknisnya harus distandarisasi oleh pihak otoritas
agar tidak terkendala di tengah berjalannya Open Banking, Kelima, Aspek Pengaturan,
Peraturan yang mandatory-- yang paling sering digunakan dalam cakupan kegiatan ekonomi--
terhadap Open Banking bisa memperlambat perkembangannya, sebab harus terlebih dahulu
menunggu standar dari pihak otoritas dan menambahkan use case yang bisa dijalankan di
Indonesia. Dari 5 aspek diatas dapat dikatakan bahwa permasalahan yang terjadi di Indonesia
mengenai penerapan Open Banking adalah ketidaksiapan dan ketidakmatangan dalam
mengolah kemungkinan yang terjadi sebelum dan sesudah dijalankannya konsep Open
Banking ini, dengan kekurang matangan dari beberapa aspek itulah yang juga menyebabkan
masyarakat masih belum mempercayai sepenuhnya kesuksesan program Open Banking jika
dijalankan di Indonesia.
Menurut Aabkhare, A. A., Aliloo, B. M. M., & Abedini, E. (2013),kekurangan lain
yang dimiliki oleh open banking adalah adanya konsep one way, yaitu pengaturan hanya ada
pada bank sedangkan industri keuangan non-bank tidak. Konsep open banking ini pun dinilai
perlu diatur di kedua sisi yaitu dari pihak bank maupun non-bank sehingga terjadi sistem
yang dua arah. Selain itu, masalah fundamental lain dari adanya open banking adalah sejauh
mana data nasabah dapat diakses. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah sejauh mana
kontrol banking financial player terhadap data yang digunakan dalam API sehingga tidak
menjadi bumerang.
Kekurangan lainnya yang dapat ditemukan pada isu open banking ini bahwa banyak
masyarakat yang sampai saat ini masih melek teknologi dan adanya open banking ini akan
sangat kesulitan karena masyarakat awam biasanya datang langsung ke kantor bank untuk
melakukan transaksi dan urusan urusan tertentu yang berkaitan dengan bank contoh kecil nya
adalah orang tua atau pensiunan yang bisanya mengambil uang pensiunan di bank langsung
ketika di adanya open banking mereka akan kesulitan karena sebelum sebelumnya mereka
mengambil gaji atau hal hal yang terkait dengan keuangan akan datang langsung ke bank dan
dengan adanya open banking tentunya akan semakin ribet dan mempersulit mereka.

Kesimpulan

Berdasarkan pemahaman ilmu dan pembahasan terkait Analisis Isu Penerapan Credit
Crunch dan Open Banking oleh Perbankan di Indonesia Pada Masa Pandemi Covid-19,
ditinjau dari penyebab dan kekurangannya, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai
berikut, Pandemic Covid-19 secara signifikan telah mengubah tatanan kehidupan manusia.
Salah satunya adalah bidang Ekonomi, tak terkecuali di Negara Indonesia. Berdasarkan fakta
disebutkan bahwa terdapat cukup banyak permasalahan ekonomi, baik dari Kegagalan dan
Ketidakpastian Ekonomi akibat Pandemi Covid-19, yang mana hal ini menjadi dalang
terjadinya fenomena credit crunch dan munculnya era baru yaitu era open banking.
Credit crunch yang pada dasarnya berhubungan dengan gagalnya penyaluran kredit
menyebabkan Indonesia mengalami keadaan rugi pada sektor ekonominya, hal ini didasari
oleh fakta bahwa sumber utama pembiayaan investasi Indonesia masih didominasi oleh
penyaluran kredit perbankan yang artinya Indonesia masih harus mempertimbangkan
kestabilan kegiatan kredit untuk mencapai keberhasilan kegiatan ekonomi. Menurut data
OJK, Pertumbuhan kredit sepanjang 2020 yang menurun menyentuh angka -2,41%
membuktikan terjadinya fenomena credit crunch, ditambah dengan fakta bahwa Pemerintah
sudah menggelontorkan dana mencapai 64,5 T untuk membantu perbankan, serta
menurunkan suku bunga sampai tingkat yang sangat kecil yaitu 3,75%, namun tetap tidak
menarik minat pihak bank dan nasabah melakukan kegiatan pengkreditan. Penyebab dari
fenomena ini merupakan gabungan dari keengganan pelaksanaan kredit baik dari sisi
penyalur dan penerima kredit. Akibatnya, di tahun 2020, kebijakan BI memangkas suku
bunga kredit sampai mencapai titik 3,75%, risiko NPL meningkat, kualitas ekonomi
menurun, dan ekspansi bisnis tidak dapat dilakukan.
Tidak sampai disitu, permasalahan Open Banking pun belum ditemukan jawabannya
sebab dari segi persiapan pun para penanggung jawab di bidang keuangan ini belum dapat
memecahkan kemungkinan dan risiko yang terjadi. Kemungkinan buruk yang mungkin
terjadi akibat dari open banking adalah pembagian data nasabah ke pihak ketiga belum
ditemukan keuntungannya bagi nasabah bahkan data yang dibagikan kepada pihak ketiga
tersebut bisa saja bocor dan dicuri datanya oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,
dan juga dari asas kemitraan, belum ditemukan jaminan yang dapat menjadi dasar kegiatan
dan aktivitas antara perbankan dan juga pihak ketiga. Terakhir, risiko yang mungkin terjadi,
adalah kualitas dan kemampuan pengolahan data Open Banking yang masih belum maksimal,
hal ini bisa disebabkan oleh ketidakmatangan SDM dan juga tools yang dimiliki. Dari
kekurangan diatas dapat dikatakan bahwa permasalahan yang terjadi di Indonesia mengenai
penerapan Open Banking adalah ketidaksiapan dan ketidakmatangan dalam mengolah
kemungkinan yang terjadi sebelum dan sesudah dijalankannya konsep Open Banking ini,
dengan kekurang matangan dari beberapa aspek itulah yang juga menyebabkan masyarakat
masih belum mempercayai sepenuhnya kesuksesan program Open Banking jika dijalankan di
Indonesia.

Daftar Pustaka
Sihaloho, E. D. (2020). Dampak COVID-19 terhadap perekonomian Indonesia.
https://www.researchgate.net/profile/Estro-Dariatno-Sihaloho/publication/
345682307_Dampak_Covid-19_Terhadap_Perekonomian_Indonesia/links/
5faaac1a92851cd8c632fcfe/Dampak-Covid-19-Terhadap-Perekonomian-Indonesia.pdf

Bernanke, B. and Lown, C. (1991). “The credit crunch.” Working Paper in Economic
Activity. February https://www.jstor.org/stable/2534592
Harmanta, H., & Ekananda, M. (2005). Disintermediasi fungsi perbankan di Indonesia pasca
krisis 1997: Faktor permintaan atau penawaran kredit, sebuah pendekatan dengan model
disequilibrium. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 8(1), 51-78. https://mail.bmeb-
bi.org/index.php/BEMP/article/view/128

Otoritas Jasa Keuangan (2020). “Data Statistik ”. https://www.ojk.go.id/ (diakses 18 Februari


2022 pukul 14:00 WIB)

Panggabean, G. (2021). Open Banking di Indonesia : Pengertian, Kondisi dan Potensi.


https://duniafintech.com/open-banking-di-indonesia-pengertian-kondisi-dan-potensi/

Woo, D. (2003). In Search of "Capital Crunch": Supply Factors behind the Credit Slowdown
in Japan. Journal of Money, Credit and Banking 35 No.6 , 1019- 1038.
https://www.jstor.org/stable/3649869

Warjiyo, P., & Juhro, S. M. (2016). Kebijakan Bank Sentral Teori dan Praktek.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. https://repository.unsimar.ac.id/index.php?
p=show_detail&id=2077&keywords=

Bank Indonesia.(2021). “Sinergi Kebijakan untuk Menjaga Ketahanan Sistem Keuangan dan
Mendorong Intermediasi dalam Rangka Pemulihan Ekonomi”. http://www.bi.go.id (diakses
18 Februari 2022 pukul 13:00 WIB)

Bank Indonesia. (2020). “Laporan Perekonomian Indonesia”. http://www.bi.go.id (diakses 18


Februari 2022 pukul 01:56 WIB)

Brodsky, L., & Oakes, L. (2017). Data sharing and open banking. McKinsey & Company,
1097-1105.https://www.mckinsey.com/~/media/McKinsey/Industries/Financial
%20Services/Our%20Insights/Data%20sharing%20and%20open%20banking/Data-sharing-
and-open-banking.pdf

He, Z., Huang, J., & Zhou, J. (2020). Open banking: credit market competition when
borrowers own the data (No. w28118). National Bureau of Economic Research.
https://www.nber.org/papers/w28118

Agénor, P. R., McDermott, C. J., & Prasad, E. S. (2000). Macroeconomic fluctuations in


developing countries: some stylized facts. The World Bank Economic Review, 14(2), 251-
285. https://academic.oup.com/wber/article-abstract/14/2/251/1663672
Kompas.com (2020)."Chatib Basri: Persoalan Bank Saat Ini Bukan Likuiditas, tapi.... "
https://money.kompas.com/read/2020/07/20/134000826/chatib-basri--persoalan-bank-saat-
ini-bukan-likuiditas-tapi--(diakses 18 Februari 2022 pukul 23:00 WIB)

Paul Reynolds & Joe P Roest (2020). Indonesia’s retail credit crunch requires action to keep
shelves full during COVID-19:. https://blogs.worldbank.org/eastasiapacific/indonesias-retail-
credit-crunch-requires-action-keep-shelves-full-during-covid-19(diakses 18 Februari 2022
pukul 23:30 WIB)

Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (2020). “Kliping


Ketenagakerjaan”.http://perpustakaan.kemnaker.go.id/admin/assets/product_img/pdf/
27_Juli_2020.pdf (diakses 18 Februari 2022 pukul 15:00 WIB)

Aabkhare, A. A., Aliloo, B. M. M., & Abedini, E. (2013). Advantages and Disadvantages of
E-Banking and Commerce. Life Science Journal, 10(4s).
http://www.lifesciencesite.com/lsj/life1004s/070_15732life1004s_458_462.pdf

Anda mungkin juga menyukai