Anda di halaman 1dari 14

DADANG AGUS SURYANTO/Pertumbuhan Kredit di Indonesia: Sebuah Analisis Kepatuhan Bank

Terhadap Implementasi Basel Accord I – III

Pertumbuhan Kredit di Indonesia: Sebuah Analisis Kepatuhan Bank


Terhadap Implementasi Basel Accord I – III

Dadang Agus Suryanto


Program Studi S1 Manajemen, STIE EKUITAS,
Jl. P.H.H. Mustofa No.31, Kota Bandung, Jawa Barat

Abstract. Legitimacy theory has a big role in strengthening the function of banks as intermediaries. This study aims
to analyze bank compliance in lending in accordance with the provisions of the Basel Accord I - III. Based on the
results of an analysis of national commercial banks in Indonesia using panel data regression, in the span of 2010 -
2017 it was found that the implementation of Basel Accord I - III became a reference for banks in Indonesia in
conducting their business, this can be seen from credit growth in line with GDP Low NPL. Good loans growth is
also determined from the carrying capacity of bank efficiency, capital adequacy, commitment to bank liabilities, and
reference interest rates. All of these findings indicate that the banking industry in Indonesia reflects the suitability of
various interests of the community, government and banking itself.

Keywords. Loans growth, Bank compliance, Basel Accord I – III

Abstrak. Teori legitimasi memiliki peran besar dalam memperkuat fungsi bank sebagai perantara. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis kepatuhan bank dalam menyalurkan kredit sesuai ketentuan Basel Accord I – III.
Berdasarkan hasil analisis terhadap bank umum di Indonesia dengan menggunakan analisis deskriptif dan regresi
data panel, dalam rentang tahun 2013 – 2017 ditemukan bahwa implementasi Basel Accord I – III menjadi acuan
penyusunan aturan perbankan di Indonesia, hal ini terlihat dari kepatuhan terhadap pengelolaan kredit bermasalah,
kecukupan modal, dan efisiensi bank. Hasil pengujian hipotesis mengungkapkan NPL dan BOPO memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan kredit namun CAR ditemukan tidak berpengaruh. Sementara itu
variabel GDP maupun BI rate mempengaruhi pertumbuhan kredit. Temuan ini memberikan dukungan pentingnya
pengawasan yang tepat terhadap kepatuhan bank dalam menjaga keberlanjutan bisnis bank sebagai lembaga
intermediasi, dan pentingnya dukungan dari pemerintah untuk mengendalikan kondisi ekonomi makro.

Kata kunci. Pertumbuhan kredit, Kepatuhan bank, Basel Accord I – III

Corresponding Author. a.32Surya@gmail.com.


How to Cite This Article. Dadang Agus Suryanto. (2019). Pertumbuhan Kredit di Indonesia: Sebuah Analisis
Kepatuhan Bank Terhadap Implementasi Basel Accord I – III. Jurnal ASET (Akuntansi Riset), 11 (2), 224-237.
History of Article. Received : Juli 2019, Revision: Oktober 2019, Published: Desember 2019
Online ISSN: 2541-0342. Print ISSN: 2086-2563. DOI : 10.17509/jaset.v11i2.18721
Copyright©2019. Jurnal ASET (Akuntansi Riset) Program Studi Akuntansi FPEB UPI

PENDAHULUAN Indonesia mengalami pertumbuhan yang


Pertumbuhan ekonomi di suatu negara baik. Rata – rata pertumbuhan dalam lima
tidak terlepas dari peran bank dalam tahun terakhir mencapai 12,01%. Kontributor
menyalurkan kredit terhadap masyarakat yang utama pertumbuhan kredit diberikan oleh
memerlukannya. Levine, Loayza, & Beck Bank Umum Persero, diikuti oleh Bank
(2000) mengungkapkan pertumbuhan kredit Pembangunan Daerah (BPD), dan Bank
dan pertumbuhan ekonomi memiliki Umum Swasta Nasional (BUSN) Devisa,
hubungan yang bersifat resiprokal. Hubungan Bank Campuran, dan Bank Asing. Sementara
ini mengindikasikan pertumbuhan kredit itu Bank Umum Swasta Nasional Non Devisa
memerlukan situasi ekonomi yang baik, pada justru mengalami penurunan penyaluran
bagian lain pertumbuhan kredit akan kredit. Fenomena ini menunjukkan bahwa
mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi. secara nasional perbankan di Indonesia telah
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis dalam menjalankan peran intermediasinya dengan
lima tahun terakhir, penyaluran kredit di baik.

224 | Jurnal ASET (Akuntansi Riset) Vol.11 | No.2 | 2019


JURNAL ASET (AKUNTANSI RISET), 11 (2), 2019, 224-237

Tabel 1 Pertumbuhan Kredit Bank Umum di Indonesia (Dalam Milyar Rp)

Growth
Type of Commercial Bank 2013 2014 2015 2016 2017 Average
(%)
State Owned Banks 1,187,431 1,329,941 1,542,443 1,765,198 1,968,419 15.47
Foreign Exchange Commercial Banks 1,321,771 1,492,358 1,609,497 1,763,593 1,923,254 11.41
Non-Foreign Exchange Commercial Banks 109,303 126,945 132,858 50,946 60,221 -0.33
Regional Development Banks 265,250 302,426 329,742 359,327 393,439 12.50
Joint Venture Banks 201,510 196,326 214,162 221,074 225,140 8.61
Foreign Owned Banks 234,577 258,505 263,402 253,276 211,486 4.79
Commercial Banks (Total) 3,319,842 3,706,501 4,092,104 4,413,414 4,781,959 12.01
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, 2018

Pertumbuhan kredit yang semakin Accord I, II, dan III yang dikenal dengan
tinggi perlu diimbangi dengan pengawasan Arsitektur Perbankan Indonesia (API).
yang memadai. Ekses pertumbuhan kredit API yang mengadopsi Basel Accord
selain menghasilkan pendapatan, juga dapat dirancang untuk menjaga keberlanjutan
menimbulkan kerugian bahkan kebangkrutan operasional bank di Indonesia dengan enam
bagi bank. Perbankan di Indonesia termasuk pilar, yakni struktur, pengaturan, pengawasan,
diantara bank yang dikategorikan memiliki manajemen, infrastruktur, dan perlindungan
potensi kebangkrutan yang tinggi apabila nasabah (Bank Indonesia, 2012). Keseluruhan
dibandingkan dengan perbankan di Malaysia, pilar yang dibangun bertujuan untuk
Hongkong, dan Singapura (Fu, Lin, & memperkuat fundamental industri perbankan
Molyneux, 2014). Menurut mereka, di Indonesia, agar menjadi perbankan yang
pertumbuhan penyaluran kredit perbankan sehat dan berkelanjutan (Widyastuti &
Indonesia menunjukkan trend yang semakin Armanto, 2013). API merupakan ketentuan
baik, namun dibalik pertumbuhan yang perbankan yang harus dipatuhi oleh semua
membaik dihadapkan pada potensi bank di Indonesia, dan sekaligus sebagai
kebangkrutan yang tinggi karena persoalan panduan untuk melakukan pengawasan
kredit macet. Kondisi demikian sering disebut terhadap aktivitas bank, termasuk aktivitas
sebagai fenomena “too big too fail” (Berger, penyaluran kredit kepada masyarakat.
Klapper, & Ariss, 2009; Fu et al., 2014). Salah satu isi Basel Accord yang
Penyelamatan bank dari ancaman diadopsi kedalam API adalah masalah
kebangkrutan telah menjadi fokus utama pengawasan, terutama pengawasan dalam hal
regulator di berbagai negara. Basel penyaluran kredit sebagai upaya pencegahan
Committee on Bank Supervision (BCBS) terhadap kredit bermasalah. Urgensi dari
merupakan lembaga internasional memiliki pengawasan kredit bermasalah, dikarenakan
misi meningkatkan stabiliasasi keuangan kredit bermasalah menjadi penyebab
melalui penguatan regulasi dan pengawasan menurunnya profitabilitas bank, dalam jangka
praktek perbankan di seluruh dunia. Indonesia panjang dapat menjadi penyebab
sebagai anggota dari BCBS telah mengadopsi kebangkrutan bank (Berger et al., 2009).
berbagai regulasi yang disepakati dalam Dalam hal pengawasan kredit bermasalah ini,
BCBS yang dituangkan dalam Basel Accord Bank Indonesia telah menetapkan batas
I, II, dan III. Mengacu kepada isi Basel maksimal non-performing loan (NPL)
Accord, Bank Indonesia telah maksimum lima persen. Bank yang melebihi
mengembangkan dan menerapkan kerangka batas maksimum NPL, dilakukan tindakan
dasar sistem perbankan yang bersifat pengawasan secara intensif oleh OJK disertai
menyeluruh dengan mengadopsi Basel dengan beberapa tindakan pembatasan
aktivitas bank sampai pada sanksi pencabutan

225 | Jurnal ASET (Akuntansi Riset) Vol.11 | No.2 | 2019


DADANG AGUS SURYANTO/Pertumbuhan Kredit di Indonesia: Sebuah Analisis Kepatuhan Bank
Terhadap Implementasi Basel Accord I – III
ijin usaha (Bank Indonesia, 2013). Dengan memiliki posisi modal yang lemah dan
demikian kepatuhan bank dalam dengan demikian aturan modal yang lebih
mengendalikan kredit bermasalah menjadi ketat akan merugikan pemberian pinjaman
begitu penting dalam menentukan penyaluran untuk ekonomi riil.
kredit di masa mendatang. Berbagai temuan penelitian terdahulu
Basel Accord juga memberikan menunjukkan bahwa regulasi yang melekat
perhatian terhadap modal minimum yang dalam bisnis bank merupakan aspek yang
dipersyaratkan oleh bank sentral. Pembatasan harus dipatuhi. Namun tentunya regulasi yang
modal minimum bagi perbankan di Indonesia baik adalah regulasi yang mampu mendorong
ditetapkan sebesar delapan persen. Pasca kemampuan bank untuk mencapai tujuan
penerapan API, penelitian (Yudistira, 2003) usahanya. Penelitian ini bertujuan untuk
menemukan perbankan di Indonesia merasa mengukur seberapa jauh regulasi dalam hal
‘menderita’ dengan adanya kebijakan baru pengawasan kredit bermasalah, kecukupan
tentang persyaratan modal minimum yang modal, efisiensi bank mampu meningkatkan
dinilai memberatkan bank saat itu. Sejalan pertumbuhan kredit.
dengan penelitian sebelumnya, (Parinduri & Dalam penelitian ini, saya menelaah
Riyanto, 2011) menemukan kepatuhan tentang teori legitimasi sebagai kerangka dari
pemenuhan persyaratan modal minimum analisis kepatuhan sebagai upaya untuk
masih dipertanyakan. Menurut mereka, bank menggali kepercayaan masyarakat terhadap
dengan CAR yang hanya sekedar memenuhi kinerja bank dalam rangka memperoleh
persyaratan minimum lebih suka mengurangi legitimasi di masyarakat. Turunan dari teori
risiko daripada meningkatkan modal. legitimasi adalah sejumlah konsep tentang
Selain penelitian terhadap berbagai kredit bermasalah, kecukupan modal,
parameter bisnis bank dalam kaitannya efisiensi bank, dan pertumbuhan kredit
dengan implementasi Basel Accord I – III, sebagai faktor untuk menguji apakah
penelitian di beberapa negara diungkapkan perubahan batas kredit bermasalah,
bahwa Basel Accord II dinilai telah kecukupan modal, dan efisiensi bank
memberikan dampak yang moderat terhadap berdampak atau tidak terhadap pertumbuhan
pertumbuhan kredit di negara berkembang kredit. Hipotesis yang dikembangkan
(Weder & Wedow, 2002). Dampak moderat berdasarkan teori dan konsep tersebut
ini disebabkan pada negara berkembang sifat diharapkan dapat memperjelas korelasi antara
krisis pasar negara berkembang yang tidak kepatuhan dengan penyaluran kredit di
dapat diprediksi. Ditambahkan Balin (2009), Indonesia.
Basel Accord I dan II keduanya mengabaikan
implikasi peraturan mereka pada bank di LANDASAN TEORI
negara berkembang. Penggunaan Basel I dan Teori Legitimasi
II dinilai sebagai standar perbankan yang Teori legitimasi menegaskan
benar-benar berskala internasional, sehingga perusahaan terus berupaya untuk memastikan
bagi perbankan negara berkembang isi Basel I bahwa mereka beroperasi dalam bingkai dan
dan II dinilai belum mewadahi karakteristik norma yang ada dalam masyarakat atau
bank di negara berkembang. lingkungan dimana perusahaan berada,
Basel Accord III hadir sebagai dimana mereka berusaha untuk memastikan
penyempurnaan Basel Accord terdahulu bahwa aktivitas mereka (perusahaan) diterima
dengan dilatarbelakangi krisis keuangan oleh pihak luar sebagai suatu yang “sah”
internasional (Howarth & Quaglia, 2016). Di (Deegan, Rankin, & Tobin, 2002). Donovan
negara-negara, seperti Jerman, di mana ikatan (2002) menyebutkan teori legitimasi
industri-bank yang kuat tetap ada, pembuat diderivasi dari konsep legitimasi organisasi,
kebijakan akan sangat prihatin tentang efek yakni sesuatu yang diberikan masyarakat
regulasi perbankan yang lebih ketat pada kepada perusahaan dan sesuatu yang
pertumbuhan ekonomi, terutama ketika bank diinginkan atau dicari perusahaan dari

226 | Jurnal ASET (Akuntansi Riset) Vol.11 | No.2 | 2019


JURNAL ASET (AKUNTANSI RISET), 11 (2), 2019, 224-237

masyarakat yang akan menjadi manfaat atau dunia dengan tujuan meningkatkan stabilisasi
sumber daya potensial bagi perusahaan untuk keuangan. Peraturan yang dikeluarkan BCBS
bertahan hidup. berupa dikenal dengan Basel Accord yang
Sementara itu Deephouse & Suchman merupakan sejumlah set regulasi perbankan
(2008) menyebutkan legitimasi bisa juga yang dibuat oleh BCBS. Aturan yang saat ini
berupa legitimasi kognitif dan legitimasi terdiri dari Basel I, II dan III ini
sosiopolitik. Legitimasi kognitif mengacu memberi rekomendasi tentang peraturan
pada penyebaran pengetahuan tentang suatu perbankan terhadap risiko modal, risiko pasar
usaha baru. Legitimasi sosiopolitik mengacu dan risiko operasional.
pada proses di mana para pemangku
kepentingan utama, masyarakat umum, Basel Accord dan Arsitektur Perbankan di
pejabat pemerintah menerima sebuah usaha Indonesia
sebagaimana mestinya yang didasarkan pada Basel Committee on Bank Supervision
kepatuhan perusahaan terhadap norma dan (BCBS) memiliki peran yang sangat strategis
undang-undang. bagi perkembangan perbankan di berbagai
Mengacu kepada pendapat Donovan negara. Peran BCBS melalui Basel Accord
(2002) maupun Deephouse & Suchman diharapkan semakin memperkuat regulasi dan
(2008) dapat disimpulkan bahwa untuk pengawasan untuk sistem perbankan agar
mendapatkan legitimasi publik sebagai berfungsi baik (Ayadi, Naceur, Casu, &
perusahaan yang terpercaya maka perusahaan Quinn, 2016).
harus menunjukkan kinerjanya dengan baik, Basel Accord sebagai acuan perbankan
perusahaan harus menunjukkan inovasinya, diterbitkan secara bertahap. Basel I
dan semua aktivitas operasional perusahaan dikeluarkan tahun 1988 yang difokuskan pada
berpedoman kepada berbagai peraturan yang kecukupan modal minimum, bank-bank yang
melandasinya. beroperasi secara internasional wajib
Berbagai peraturan yang melandasi memenuhi kebutuhan rasio modal minimal
operasional perusahaan, pada dasarnya sebesar 8%. Basel I memberi bank berlebihan
merupakan upaya untuk mengurangi kelonggaran dalam interpretasi mereka
legitimacy gap yakni perbedaan antara nilai tentang aturan-aturannya, dan pada akhirnya,
perusahaan dengan nilai masyarakat memungkinkan lembaga keuangan
(Lesmana dan Tarigan dalam Lindawati & mengambil risiko yang tidak patut dan
Puspita, 2015). Menurut Lindawati & Puspita menyimpan cadangan modal yang terlalu
(2015) ada tiga hal yang menyebabkan rendah.
legitimacy gap terjadi yaitu, pertama adalah Sejalan dengan perkembangan bisnis
ada perubahan dalam kinerja perusahaan, bank, Basel II merupakan upaya untuk
tetapi harapan masyarakat terhadap kinerja memperbaiki kekurangan Basel I. Menurut
perusahaan tidak berubah. Kedua, adalah Balin (2009), Basel II mulai menerapkan
kinerja perusahaan tidak berubah namun faktor-faktor seperti risiko pasar dan
harapan masyarakat terhadap kinerja operasional, disiplin dan pengawasan berbasis
perusahaan sudah berubah. Ketiga, kinerja pasar sebagai aspek yang perlu diperhatikan
perusahaan dan harapan masyarakat berubah oleh semua bank dalam menentukan regulasi.
ke arah yang berbeda atau ke arah yang sama Indonesia tergabung dengan BCBS ketika
dalam waktu yang berbeda. Basel II telah digulirkan. Oleh karenanya
Dalam perbankan agar tidak timbul kerangka API yang didesain untuk melakukan
legitimasi gap, Basel Committee on Bank penataan perbankan di Indonesia. API yang
Supervision (BCBS) hadir sebagai forum mengadopsi Basel Accord dirancang untuk
internasional yang bekerjasama dalam hal menjaga keberlanjutan operasional bank di
pengawasan perbankan. Mandat komite ini Indonesia dengan enam pilar, yakni struktur,
adalah untuk memperkuat regulasi, pengaturan, pengawasan, manajemen,
pengawasan dan praktik bank di seluruh infrastruktur, dan perlindungan nasabah

227 | Jurnal ASET (Akuntansi Riset) Vol.11 | No.2 | 2019


DADANG AGUS SURYANTO/Pertumbuhan Kredit di Indonesia: Sebuah Analisis Kepatuhan Bank
Terhadap Implementasi Basel Accord I – III
(Bank Indonesia, 2012). Berikut ini diuraikan keterkaitan isi Basel Accord II dengan API:

Tabel 2 Implementasi Basel Accord II dalam Kerangka API

Basel II Ketentuan Berlaku Efektif


PILAR I (Minimum Capital Requirements)
Risiko Kredit
Pendekatan standar SE No 13/6/DPNP tanggal 18 Februari 2011 2 Januari 2012
Peringkat dan lembaga pemeringkat yang SE No 13/31/DPNP tanggal 22 Desember 22 Desember 2011
diakui oleh Bank Indonesia. 2011
Risiko Pasar
Metode standar  SE No. 9/33/DPNP tanggal 18 2 Juli 2008
Desember 2007
 SE No.14/21/DPNP tanggal 18 Juli 1 Agustus 2012
2012
Model Internal SE No. 9/31/DPNP tanggal 12 Desember 12 Desember 2007
2007
Risiko Operasional
Pendekatan Indikator Dasar SE No. 11/3/DPNP tanggal 27 Januari 2009 27 Januari 2009
PILAR II (Supervisory Review Process)
Kewajiban Penyediaan  PBI No. 10/15/-PBI/2008 tanggal 24 1 Januari 2009
Modal Minimum (KPMM) September 2008
 POJK No. 11/POJK.03/2016 tanggal 29 2 Februari 2016
Januari 2016
PILAR III (Market Discipline)
Transparansi Kondisi Keuangan Bank dan POJK No. 32/POJK.03/2016 tanggal 8 12 Agustus 2016
Laporan Tahunan Agustus 2016
Sumber: (Bank Indonesia, 2012)

Krisis keuangan global yang menerpa sektor perbankan menyerap shock yang
banyak negara maju di awal 2009 menjadi terjadi karena tekanan keuangan dan
penyebab lahirnya Basel Accord III yang perekonomian diharapkan dapat mengurangi
bertema “Global Regulatory Framework for penyebaran risiko dari sektor keuangan
More Resilient Banks and Banking Systems”. terhadap perekonomian; (2) Basel III
Basel III bertujuan untuk mengatasi masalah memperkenalkan juga standar likuiditas baik
perbankan antara lain: (a) meningkatkan untuk jangka pendek yaitu Liquidity
kemampuan sektor perbankan untuk Coverage Ratio (LCR) dan untuk jangka yang
menyerap potensi risiko kerugian akibat krisis lebih panjang yaitu Net Stable Funding Ratio
keuangan dan ekonomi serta mencegah (NSFR). Secara mendasar, kedua standar
menjalarnya krisis sektor keuangan ke sektor likuiditas merupakan lompatan baru yang
ekonomi; (b) meningkatkan kualitas dimaksudkan untuk melengkapi alat
manajemen risiko, governance, transparansi pengawasan yang sudah ada untuk memantau
dan keterbukaan; dan (c) memberikan likuiditas bank dan sekaligus dapat digunakan
resolusi terbaik bagi systemically important sebagai pembanding kondisi likuiditas antar
cross border banking (Bank Indonesia, 2012). bank; (3) Kerangka permodalan dan standar
Terdapat tiga point penting yang telah likuiditas Basel III secara bertahap akan
dirangkum Bank Indonesia yang dituangkan mulai diterapkan pada Januari 2013 hingga
dalam consultative paper mengenai implementasi penuh pada Januari 2019.
penerapan Basel III, yakni: (1) Basel III
secara mendasar menyajikan reformasi yang Kepatuhan dan Model Bisnis Bank
dilakukan oleh BCBS untuk memperkuat Dalam tata kelola sebuah perusahaan,
permodalan dan standar likuiditas dengan kepatuhan memiliki arti suatu spesifikasi,
tujuan untuk meningkatkan ketahanan sektor standar atau hukum yang telah diatur dengan
perbankan terhadap krisis. Kemampuan jelas yang telah diterbitkan oleh lembaga atau

228 | Jurnal ASET (Akuntansi Riset) Vol.11 | No.2 | 2019


JURNAL ASET (AKUNTANSI RISET), 11 (2), 2019, 224-237

organisasi yang berwenang dalam suatu Puspita, 2015) bahwa kinerja yang
bidang tertentu. Kepatuhan berfungsi sebagai ditunjukkan bank dapat menjadi upaya untuk
pelaksana dan pengelola risiko kepatuhan mendapatkan legitimasi dari masyarakat
yang berkoordinasi dengan satuan kerja sebagai bank yang profesional dalam
dalam manajemen risiko. Fungsi kepatuhan mengelola kredit.
melakukan tugas pengawasan yang bersifat Secara empiris hubungan kredit macet
preventif dan menjadi elemen penting dalam dan pertumbuhan kredit telah dikemukakan
pengelolaan dan operasional lembaga dalam penelitian Tracey (2011). Ia
(Waluyo, 2017). menjelaskan kisaran ambang batas untuk
Tingkat kepatuhan suatu perusahaan NPL sebagai menentukan perilaku pemberian
merupakan implementasi dari teori legitimasi pinjaman bank. Ketika NPL meningkat, bank
yang memberikan penekanan bahwa akan mengurangi penyaluran kredit sebagai
kepatuhan perusahaan akan menghasilkan upaya antisipasi untuk mengurangi risiko
legitimasi publik. Kepatuhan perusahaan kredit baru, dan sebaliknya apabila NPL
terhadap peraturan yang berlaku, diharapkan terkendali bank memiliki keberanian untuk
menciptakan kinerja perusahaan yang baik. meningkatkan penyaluran kredit. Temuan
Kinerja yang baik akan menjadi legitimasi yang sama dikemukakan oleh Vithessonthi
masyarakat terhadap perusahaan sebagai (2016). Ia menemukan pada perbankan
perusahaan yang terpercaya dan dinilai Jepang kredit macet memiliki hubungan
memenuhi harapannya. positif dengan pertumbuhan kredit baik
Dalam industri perbankan, orientasi sebelum maupun sesudah krisis keuangan
kepatuhan bank diatur dalam Basel Accord I global pada tahun 2007.
– III. Basel Accord memberikan pengaturan Aspek permodalan memiliki peran
kepada seluruh bank di berbagai negara agar penting untuk penyediaan kredit dan penahan
dapat beroperasi dengan baik dan tumbuh risiko yang ditimbulkan oleh penyaluran
menjadi bank yang sehat dalam rangka kredit (Yudistira, 2003). Oleh karenanya
menjaga berkelanjutan bisnisnya. Salah satu kecukupan modal menjadi salah satu fokus
upaya isi Basel Accord I – III dalam dalam Basel Accord. Kecukupan modal juga
menjadikan bank memiliki kinerja yang baik menjadi bagian yang diadopsi oleh aturan
adalah melalui pengawasan terhadap model perbankan di Indonesia yang dituangkan
bisnis bank yang tercermin dari tata kredit dalam Peraturan OJK No. 11/POJK.03/2016
berupa penyaluran kredit. Penyaluran kredit tentang Kewajiban Penyediaan Modal
sebagai output dari bisnis bank tidak terlepas Minimum Bank. Pengaturan modal bertujuan
dari aspek pengelolaan perkreditan itu sendiri sebagai penyangga untuk menyerap risiko
berupa aspek evaluasi terhadap kualitas kredit yang disebabkan oleh kondisi krisis dan/atau
yang disalurkan, permodalan dan efisiensi pertumbuhan kredit perbankan yang
dalam mengelola berbagai biaya dana berlebihan (Otoritas Jasa Keuangan, 2016b).
penyaluran kredit (Mergaerts & Vennet, Penyaluran kredit juga tidak terlepas dari
2015). Oleh karena itu, model bisnis bank kemampuan bank untuk menyediakan modal.
dalam dikaji dari aspek pertumbuhan kredit, Secara empiris kecukupan modal
kredit bermasalah, kecukupan modal, dan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan
efisiensi bank. kredit. (Tracey, 2011) menemukan
Risiko penyaluran kredit yang sering kecukupan modal memiliki pengaruh
dihadapi oleh bank yaitu munculnya kredit terhadap pertumbuhan kredit pada bank
bermasalah. Mengenai hal ini Basel Accord Jamaika, Trinidad, dan Tobago. Hal yang
telah menetapkan aturan batas maksimal sama juga diungkapkan dengan temuan
kredit bermasalah sebesar 5%. Diharapkan penelitian Osei-assibey & Asenso (2015)
dengan adanya pembatasan ini, kinerja bank yang menemukan hubungan positif antara
dalam mengelola kredit dapat dilakukan rasio modal minimum dengan pertumbuhan
dengan baik. Merujuk pendapat (Lindawati & kredit di Ghana. Menurut mereka, ketika bank

229 | Jurnal ASET (Akuntansi Riset) Vol.11 | No.2 | 2019


DADANG AGUS SURYANTO/Pertumbuhan Kredit di Indonesia: Sebuah Analisis Kepatuhan Bank
Terhadap Implementasi Basel Accord I – III
memiliki modal lebih di atas modal efisiensi bank dalam kondisi krisis ekonomi
minimum, bank dapat mengambil risiko ternyata mampu meningkatkan pertumbuhan
tambahan dengan menyediakan lebih banyak industri. Dalam situasi krisis diperlukan
kredit untuk masyarakat. Efisiensi memiliki kredit murah yang dapat diciptakan melalui
pengaruh terhadap pertumbuhan kredit efisiensi bank.
sejalan dengan penelitian (Demirguc-Kunt, Berdasarkan argumentasi teoritis dan
Levine, & Min, 1998). konseptual, hipotesis yang dikembangkan
Model bisnis bank lainnya yang dalam penelitian ini adalah:
senantiasa mendapatkan pengawasan H1: Kredit bermasalah berpengaruh
diantaranya adalah masalah efisiensi bank. signifikan terhadap pertumbuhan kredit
Dalam suasana persaingan yang semakin H2: Kecukupan modal berpengaruh
tajam perbankan dituntut melakukan efisiensi signifikan terhadap pertumbuhan kredit
dalam kegiatan operasional agar mampu H3: Efisiensi bank berpengaruh
bertahan dan berkembang. Bank-bank yang signifikan terhadap pertumbuhan kredit
tidak efisien, kemungkinan besar akan keluar
dari pasar karena tidak mampu bersaing METODE PENELITIAN
dengan para pesaingnya, baik dari segi harga Penelitian ini bertujuan untuk
maupun dalam hal kualitas produk dan menganalisis kepatuhan bank terhadap
pelayanan. Bank yang tidak efisien akan regulasi yang digunakan di Indonesia, yakni
kesulitan dalam mempertahankan kesetiaan Peraturan OJK No.15/POJK.03/2017 tentang
nasabahnya dan juga tidak diminati oleh Penetapan Status dan Tindak Lanjut
calon nasabah (Berger & Mester, 1997). Pengawasan Bank Umum yang berkenaan
Di Indonesia, upaya untuk mendorong dengan batas maksimal kredit bermasalah;
efisiensi bank dilakukan dengan menerbitkan Peraturan OJK No. 11/POJK.03/2016 tentang
Peraturan OJK No. 6/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Bank, dan Peraturan OJK No.
berdasarkan Modal Inti Bank. Pasal 21 ayat 6/POJK.03/2016 tentang Kegiatan Usaha dan
(1) menjelaskan bank dengan tingkat efisiensi Jaringan Kantor berdasarkan Modal Inti
yang baik akan mendapatkan kesempatan Bank. Penerapan aturan tersebut dianalisis
untuk memperoleh perizinan pembukaan terhadap 82 bank umum di Indonesia yang
jaringan kantor baru. Pembukaan jaringan terdiri dari bank konvensional yang
kantor baru dapat berarti peluang untuk mencakup Bank Persero, Bank Umum Swasta
meningkatkan pertumbuhan bank melalui Nasional (BUSN) Devisa, Bank Umum
produknya, diantaranya kredit. Bank dengan Swasta Nasional (BUSN) Non Devisa, Bank
tingkat efisiensi yang tinggi akan Pembangunan Daerah (BPD), Bank
menciptakan biaya dana yang murah sehingga Campuran, Bank Asing; dan bank syari’ah
menghasilkan kredit dengan suku bunga yang tahun pengamatan 2013 – 2017.
tidak terlalu tinggi yang pada akhirnya Analisis kepatuhan bank dalam
memicu peningkatan penyaluran kredit. penelitian ini menggunakan statistik
Secara empiris Demirguc-Kunt et al. deskriptif dengan melakukan perhitungan
(1998) menemukan efisiensi berpengaruh kredit bermasalah, kecukupan modal, dan
terhadap pertumbuhan kredit dan berdampak efisiensi bank yang ditafsirkan pada berbagai
pada pertumbuhan ekonomi pada negara – ketentuan dari OJK. Selanjutnya, untuk
negara yang sedang mengalami krisis. mendapatkan gambaran kausalitas antara
Menurut mereka, strategi yang dilakukan oleh variabel yang termasuk model bisnis bank
regulator dan bank adalah menurunkan biaya yang terkait dengan pengaturan OJK dan
overhead dan keuntungan bank domestik, pertumbuhan kredit dikembangkan
sehingga tercipta efisiensi yang mampu berdasarkan persamaan berikut:
menciptakan kredit dengan biaya bunga yang
rendah. Diallo (2018) juga menemukan

230 | Jurnal ASET (Akuntansi Riset) Vol.11 | No.2 | 2019


JURNAL ASET (AKUNTANSI RISET), 11 (2), 2019, 224-237

variabel makro ekonomi menjadi faktor yang


(1) berpengaruh terhadap aktivitas bank. Oleh
karenanya variabel kontrol yang digunakan
Teknik analisis data mengenai dalam penelitian ini adalah variabel makro
pertumbuhan kredit beserta variabel yang ekonomi berupa pertumbuhan ekonomi yang
mempengaruhinya, menggunakan analisis diproksikan dengan gross domestic product
regresi data panel. (GDP) dan suku bunga acuan yang
diproksikan dengan Bank Indonesia rate (BI-
Variabel Independen rate).
Variabel independen yang digunakan Keseluruhan data yang digunakan
dalam penelitian ini terdiri dari kredit dalam penelitian ini bersumber dari OJK
bermasalah, kecukupan modal, dan efisiensi melalui https://www.ojk.go.id/.
bank. Proksi yang digunakan untuk mengukur
kredit bermasalah digunakan non-performing HASIL DAN PEMBAHASAN
loans (NPL) (Cucinelli, 2016; Demirguc- Basel Accord I – III telah memberikan
Kunt et al., 1998; Ghosh, 2015; Tracey, 2011; perhatian yang begitu tinggi terhadap
Vithessonthi, 2016; Zhu, Wang, & Wu, 2015) pengelolaan kredit. Basel telah menetapkan
dengan formulasi sebagai berikut: batas maksimal kredit bermasalah. Batas
kredit bermasalah berdasarkan Basel Accord
(2) telah diadopsi oleh BI dalam Peraturan OJK
No.15/POJK.03/2017 tentang Penetapan
Kecukupan modal menggunakan proksi Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank
capital adequacy ratio (CAR) (Ayadi et al., Umum yang menjelaskan rasio kredit
2016; Kinateder, 2016; Osei-assibey & bermasalah atau rasio pembiayaan
Asenso, 2015) dengan formulasi: bermasalah maksimal 5% dari total kredit
atau total pembiayaan.
Tabel 3 menunjukkan selama tahun
(3)
2013 – 2017 perbankan konvensional pada
umumnya memiliki nilai NPL di bawah 5%.
Efisiensi bank diproksikan dengan Bila ditelusuri per kelompok bank, BUSN
biaya operasional per pendapatan operasional non devisa merupakan bank dengan NPL
(Otoritas Jasa Keuangan, 2016a) dengan yang paling tinggi, dimana trend NPL
formulasi: menunjukkan kecenderungan semakin tinggi
sampai di tahun 2017 yang hampir mencapai
(4) batas maksimal. NPL dengan nilai terendah
ditunjukkan oleh kelompok Bank Persero
Variabel Dependen yang berhasil membatasi NPL tidak lebih dari
Pertumbuhan kredit didefinisikan 3%. Sementara itu kelompok Bank
sebagai kredit masa sekarang dibandingkan Pembangunan Daerah termasuk perbankan
dengan kredit masa lalu (Osei-assibey & yang moderat dalam melakukan pengendalian
Asenso, 2015; Vithessonthi, 2016) yang terhadap NPL.
diformulasikan sebagai: Fakta berbeda ditemukan pada
kelompok bank syari’ah, NPL selama 5 tahun
menunjukkan kecenderungan meningkat,
(5)
bahkan peningkatan NPL dimulai semenjak
2014 dan mencapai kondisi terburuk sampai
Variabel Kontrol tahun 2017 yang semakin menjauhi ambang
Mengacu kepada penelitian (Demirguc- batas maksimal 5%. Kondisi ini
Kunt et al., 1998), dalam teori perbankan

231 | Jurnal ASET (Akuntansi Riset) Vol.11 | No.2 | 2019


DADANG AGUS SURYANTO/Pertumbuhan Kredit di Indonesia: Sebuah Analisis Kepatuhan Bank
Terhadap Implementasi Basel Accord I – III
mencerminkan buruknya pengelolaan perbedaan yang signifikan antara NPL bank
kredit pada bank syari’ah. Temuan ini sejalan syari’ah dan bank konvensional. Menurut
dengan temuan penelitian Beck, Demirguc- mereka kualitas aset pada bank konvensional
kunt, & Merrouche (2013) tentang kualitas lebih baik daripada perbankan syari’ah.
aset di Indonesia yang menjelaskan

Tabel 3 Perkembangan NPL berdasarkan Tipe Bank

NPL (%)
TIPE BANK
2013 2014 2015 2016 2017 Rata-rata
BANK KONVENSIONAL
Bank Persero 2.34 2.33 2.61 2.95 2.62 2.57
BUSN Devisa 1.84 2.27 2.69 3.13 2.99 2.58
BUSN Non Devisa 1.94 3.48 2.66 3.37 4.61 3.21
Bank Pembangunan Daerah 2.30 2.91 3.11 3.14 3.14 2.92
Bank Campuran 1.60 1.94 3.66 5.23 2.76 3.04
Bank Asing 3.25 1.65 3.52 4.12 2.89 3.08
BANK SYARI’AH 2.49 4.31 4.91 5.68 7.97 5.07
Maksimum 3.25 4.31 4.91 5.68 7.97 5.07
Minimum 1.60 1.65 2.61 2.95 2.62 2.57
Sumber: Hasil Pengolahan Data

Dilihat dari tingkat kepatuhan, bank pengawasan dapat ditingkatkan menjadi


konvensional pada umumnya telah berupaya pengawasan khusus.
untuk mematuhi ketentuan OJK tentang batas Pengawasan kepatuhan juga dilihat dari
maksimal NPL. Sedangkan perbankan parameter kecukupan modal. Ketentuan batas
syari’ah dinilai belum mematuhi ketentuan modal minimum Basel Accord II telah
OJK sebagai implementasi dari penerapan dituangkan dalam POJK No.
Basel Accord I – III. Sesuai dengan Peraturan 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban
No.15/POJK.03/2017, kepatuhan bank Penyediaan Modal Minimum Bank. Pasal 2
didorong dengan melakukan pengawasan ayat (3) menjelaskan penyediaan modal
berupa pengawasan normal, pengawasan minimum ditetapkan paling rendah 8%.
intensif, dan pengawasan khusus. Pasal 3 ayat Ketetapan ini juga menjadi sebuah instrumen
(2) bagian d Peraturan OJK pengawasan bank khususnya pada Pasal 3
No.15/POJK.03/2017 menjelaskan, bank ayat (2) bagian a Peraturan OJK
dalam pengawasan intensif ditetapkan oleh No.15/POJK.03/2017 yang menjelaskan
OJK dalam hal bank dinilai memiliki potensi pengawasan intensif dilakukan apabila dinilai
kesulitan yang membahayakan kelangsungan memiliki potensi kesulitan yang
usaha diantaranya bagi bank yang mencapai membahayakan kelangsungan usaha
NPL lebih dari 5%. Namun apabila diantaranya bagi bank yang memiliki CAR
kondisinya semakin memburuk, status kurang dari 8%.

Tabel 4 Perkembangan CAR berdasarkan Tipe Bank

CAR (%)
TIPE BANK
2013 2014 2015 2016 2017 Rata-rata
BANK KONVENSIONAL
Bank Persero 15.66 16.44 18.91 20.99 19.83 18.37
BUSN Devisa 23.86 19.34 19.22 18.54 18.64 19.92
BUSN Non Devisa 18.09 18.03 17.74 22.10 27.07 20.60
Bank Pembangunan Daerah 18.10 19.48 21.53 21.59 21.95 20.53
Bank Campuran 19.03 20.17 21.41 22.21 25.75 21.71
Bank Asing 19.49 21.20 22.13 23.30 23.49 21.92
BANK SYARI'AH 16.36 17.10 15,.29 17.46 17.13 14.67
Maksimum 23.86 21.20 22.13 23.30 27.07 21.92
Minimum 15.66 16.44 15.29 17.46 17.13 14.67
Sumber: Hasil Pengolahan Data

232 | Jurnal ASET (Akuntansi Riset) Vol.11 | No.2 | 2019


JURNAL ASET (AKUNTANSI RISET), 11 (2), 2019, 224-237

Tabel 4 memperlihatkan rata – rata tentang permodalan tersebut diharapkan dapat


perbankan konvensional maupun syari’ah keberlangsungan usaha bank semakin terjaga,
telah berupaya untuk mematuhi regulasi OJK sebab modal menjadi salah satu sumber untuk
dengan mempertahankan kecukupan menyerap risiko yang akan dihadapi bank
modalnya lebih dari 8%. Kecukupan modal (Hassan, Unsal, & Emre, 2016; Kim & Sohn,
pada bank konvensional ditempati oleh bank 2017; Thakor, 2014).
asing, diikuti bank campuran dan bank Selain kecukupan modal, aspek lain
pembangunan daerah. Ironisnya justru bank yang mendapatkan pengawasan adalah
Persero yang didominasi oleh bank milik masalah efisiensi bank. Efisiensi bank bahkan
pemerintah menunjukkan rata – rata saat ini menjadi faktor yang sangat penting
kecukupan modal yang paling rendah bagi OJK untuk memberikan pertimbangan
dibandingkan dengan kelompok bank lainnya, tentang pembukaan kantor atau jaringan baru.
padahal bank Persero termasuk ke dalam Hal ini sebagaimana tertuang dalam POJK
bank dengan kepemilikan aset terbesar No. 6/POJK.03/2016 tentang Kegiatan Usaha
dibandingkan dengan bank lainnya. Disisi dan Jaringan Kantor berdasarkan Modal Inti
lain, pada kelompok bank konvensional justru Bank. Pasal 21 ayat (1) menjelaskan OJK
bank asing menempatkan sebagai bank mempertimbangkan pencapaian tingkat
dengan kecukupan modal yang terbesar. Bila efisiensi bank dalam menyetujui jumlah
dibandingkan, perbankan konvensional jaringan kantor yang direncanakan dibuka
memiliki kecukupan modal yang lebih tinggi oleh bank sesuai rencana bisnis bank. Ayat
dibandingkan dengan bank syari’ah. (2) pada pasal tersebut menjelaskan
Berdasarkan pencapaian kecukupan pencapaian tingkat efisiensi bank antara lain
modal bank, dapat disimpulkan bahwa diukur melalui rasio Biaya Operasional
seluruh bank telah memenuhi ketentuan terhadap Pendapatan Operasional (BOPO).
POJK No. 11/POJK.03/2016 tentang Berikut ini perkembangan efisiensi perbankan
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum di Indonesia dengan menggunakan parameter
Bank. Dipenuhinya ketentuan perbankan BOPO:

Tabel 5 Perkembangan BOPO berdasarkan Tipe Bank

BOPO (%)
TIPE BANK
2013 2014 2015 2016 2017 Rata-rata
BANK KONVENSIONAL
Bank Persero 68.07 71.85 74.49 76.43 73.49 72.86
BUSN Devisa 86.82 88.88 91.96 91.84 92.32 90.36
BUSN Non Devisa 91.28 95.27 93.60 106.75 97.28 96.84
Bank Pembangunan Daerah 72.52 76.69 78.33 80.26 77.77 77.11
Bank Campuran 80.29 77.61 86.64 111.51 88.44 88.90
Bank Asing 91.69 86.34 95.17 90.16 92.65 91.20
BANK SYARI'AH 85.93 90.30 94.74 96.74 116.60 96.86
Maksimum 91.69 95.27 95.17 111.51 116.60 96.86
Minimum 68.07 71.85 74.49 76.43 73.49 72.86
Sumber: Hasil Pengolahan Data

Tabel 5 menunjukkan bahwa yang tinggi ditunjukkan oleh kelompok bank


perbankan konvensional pada umumnya Persero. Efisiensi yang rendah juga
memiliki tingkat efisiensi yang rendah, ditunjukkan oleh bank syari’ah. Temuan ini
terutama untuk kelompok Bank Asing, BUSN sejalan dengan temuan (Beck et al., 2013)
Non Devisa, dan BUSN Devisa. Efisiensi yang menjelaskan bahwa selain di Indonesia,

233 | Jurnal ASET (Akuntansi Riset) Vol.11 | No.2 | 2019


DADANG AGUS SURYANTO/Pertumbuhan Kredit di Indonesia: Sebuah Analisis Kepatuhan Bank
Terhadap Implementasi Basel Accord I – III
efisiensi perbankan di berbagai negara relatif umumnya menunjukkan kepatuhan bank
rendah bila dibandingkan dengan bank terhadap berbagai aturan yang menyangkut
konvensional. ketiga hal tersebut. Kepatuhan yang
Dilihat dari perkembangan pencapaian dilakukan oleh bank pada dasarnya
efisiensi, perbankan di Indonesia pada merupakan upaya untuk menguatkan
umumnya dinilai tidak mematuhi ketentuan legitimasi bank agar dikenal sebagai institusi
bank dalam meningkatkan efisiensi. Misalnya keuangan yang terpercaya dalam memberikan
pada kelompok bank konvensional maupun layanan terbaik bagi nasabahnya. Sesuai
bank syari’ah menunjukkan kecenderungan dengan pendapat Deegan et al. (2002)
terjadinya peningkatan BOPO, dengan kata maupun Breton & Cõté (2006) bahwa
lain terjadi inefisiensi bank. Inefisiensi kepatuhan pada dasarnya merupakan upaya
mencerminkan besarnya biaya operasional untuk menunjukkan kepada regulator dan
yang dikeluarkan oleh bank untuk masyarakat bahwa perusahaan beroperasi
memperoleh pendapatan operasional. dalam bingkai dan norma yang telah
Persoalan tingginya inefisiensi bank berkaitan ditetapkan, agar aktivitas perusahaan dapat
dengan penetapan target pendapatan bunga diterima dengan baik di lingkungan
bersih (NIM) yang terlampau tinggi oleh perusahaan berada.
bank. NIM pada dasarnya selisih antara Dalam penelitian ini salah satu ciri
pendapatan bunga dengan beban bunga. Besar keberadaan bank dapat diterima dengan baik
atau kecilnya selisih suku bunga ini juga oleh masyarakat, adalah melalui pertumbuhan
mengindikasikan kinerja bank yang tidak kredit. Faktor – faktor yang diprediksi dapat
efisien (Dabla-Norris & Floerkemeier, 2007). menentukan pertumbuhan kredit dalam
Walau ada hubungan negatif yang kuat antara penelitian ini terdiri dari kepatuhan bank yang
BOPO dengan NIM, wacana pengaturan diproksikan dengan NPL, CAR, dan BOPO.
pembatasan NIM pada perbankan di Selain itu pertumbuhan kredit juga diprediksi
Indonesia masih menjadi perdebatan. melalui faktor makro ekonomi yaitu GDP dan
Model bisnis perbankan di Indonesia suku bunga BI. Berikut hasil pengujian
dilihat dari aspek kredit bermasalah, hipotesis dengan menggunakan data panel
kecukupan modal, dan efisiensi bank pada terhadap bank umum di Indonesia:

Tabel 6 Regresi Data Panel Pertumbuhan Kredit

Variable Coefficient t-Statistic Prob.


C -598.841 -6.927 0.000a)
NPL -0.989 -5.866 0.000a)
CAR -0.035 -0.454 0.650
BOPO -0.188 -6.578 0.000a)
GDP 85.508 7.235 0.000a)
RATE 6.225 8.965 0.000a)
R-squared 0.434
F-statistic 62.080
Prob(F-statistic) 0.000
Observasi 410
a) signifikan pada 1%, 5%, dan 10%
Sumber: Hasil Pengolahan Data

Hasil pengujian hipotesis menunjukkan dan sebaliknya. Dengan kata lain tata kelola
NPL memiliki pengaruh yang signifikan kredit yang memadai akan memicu
terhadap pertumbuhan kredit dengan arah peningkatan penyaluran kredit bagi
negatif. Hubungan ini memperlihatkan bank masyarakat yang memerlukannya.
dengan NPL yang rendah berdampak Tabel 6 memperlihatkan perubahan
terhadap peningkatan pertumbuhan kreditnya, persyaratan modal minimum tidak

234 | Jurnal ASET (Akuntansi Riset) Vol.11 | No.2 | 2019


JURNAL ASET (AKUNTANSI RISET), 11 (2), 2019, 224-237

memberikan dampak terhadap pertumbuhan negara berkembang, namun bukti empiris


kredit itu sendiri. Hal ini sejalan dengan terhadap kepatuhan dalam pengelolaan kredit
temuan Yudistira (2003) yang menemukan dan efisiensi bank di Indonesia menunjukkan
tidak adanya hubungan antara perubahan relevansi dengan pertumbuhan kredit.
persyaratan penetapan modal minimum yang Pertumbuhan kredit juga harus
mengadopsi Basel Accord II terhadap mendapatkan perhatian dari pemerintah untuk
peningkatan jumlah kredit. Ia berpendapat menciptakan kondisi yang memberikan
proses penegakan disiplin modal bank yang dukungan terjadinya permintaan kredit yakni
lebih ketat di negara-negara berkembang berupa pengendalian pertumbuhan ekonomi
membutuhkan perhatian khusus. Ia meyakini dan suku bunga acuan. Hasil pengujian
Basel Accord mengubah perilaku bank-bank hipotesis sebagaimana diperlihatkan pada
Indonesia secara negatif. Demikian pula Tabel 6 menunjukkan GDP maupun BI rate
menurut Balin (2009) bahwa aspek memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
permodalan dalam Basel Accord I dan II pertumbuhan kredit, dan hal ini konsisten
berkecenderungan belum memperkirakan dengan temuan Demirguc-Kunt et al. (1998).
karakteristik negara berkembang.
Menurutnya, Basel Accord I dan II dinilai KESIMPULAN
sebagai standar perbankan yang berskala Hasil penelitian menemukan bank
internasional dan adaptif pada perbankan di konvensional pada umumnya telah berupaya
negara maju. untuk mematuhi ketentuan OJK tentang batas
Efisiensi bank merupakan faktor yang maksimal NPL. Sedangkan perbankan
dapat menentukan pertumbuhan kredit. syari’ah dinilai belum mematuhi ketentuan
Semakin efisien suatu bank berdampak OJK sebagai implementasi dari penerapan
terhadap peningkatan penyaluran kredit. Basel Accord I – III. Sementara itu dari sisi
Efisiensi yang tinggi diharapkan mampu kecukupan modal bank, dapat disimpulkan
menghasilkan kredit dengan tingkat suku bahwa seluruh bank telah memenuhi
bunga yang lebih murah. Dengan demikian ketentuan POJK No. 11/POJK.03/2016
akan memacu masyarakat untuk mengajukan tentang Kewajiban Penyediaan Modal
kredit. Bahkan temuan Diallo (2018) Minimum Bank. Berdasarkan aspek efisiensi,
mengungkapkan efisiensi pada perbankan perbankan di Indonesia pada umumnya
dalam kondisi krisis ekonomi ternyata dinilai tidak mematuhi ketentuan bank dalam
mampu meningkatkan pertumbuhan industri. meningkatkan efisiensi. Inefisiensi terjadi
Hasil pengujian hipotesis semakin pada kelompok bank konvensional maupun
memperkuat dugaan bahwa bank dengan bank syari’ah yang diindikasikan dengan
kepatuhan yang baik akan mendorong peningkatan BOPO. Tingginya inefisiensi
terhadap pertumbuhan kredit dan sekaligus bank berkaitan dengan penetapan target
memperkuat teori legitimasi sebagaimana pendapatan bunga bersih yang terlampau
dikemukakan oleh Donovan (2002) maupun tinggi oleh bank.
Deephouse & Suchman (2008). Temuan ini Hasil pengujian hipotesis menunjukkan
memperkuat pentingnya pengaturan bank NPL dan BOPO memiliki pengaruh yang
sebagai upaya untuk meningkatkan signifikan terhadap pertumbuhan kredit
keberlanjutan bank. namun CAR ditemukan tidak berpengaruh.
Temuan penelitian ini juga Sementara itu variabel GDP maupun BI rate
memberikan sudut pandang berbeda dengan mempengaruhi pertumbuhan kredit. Temuan
penelitian Weder & Wedow (2002), Yudistira ini membuktikan bahwa melalui pengawasan
(2003), Balin (2009), Parinduri & Riyanto yang tepat terhadap kepatuhan bank menjadi
(2011), dan Howarth & Quaglia (2016) yang faktor penting dalam menjaga keberlanjutan
menyebutkan bahwa ketentuan Basel Accord bisnis bank sebagai lembaga intermediasi.
di beberapa negara berkembang dinilai tidak Penelitian ini menemukan tidak adanya
memiliki kesesuaian terhadap karakteristik pengaruh pembatasan modal minimum

235 | Jurnal ASET (Akuntansi Riset) Vol.11 | No.2 | 2019


DADANG AGUS SURYANTO/Pertumbuhan Kredit di Indonesia: Sebuah Analisis Kepatuhan Bank
Terhadap Implementasi Basel Accord I – III
terhadap pertumbuhan kredit. Temuan ini Industry. Accounting, Auditing and
dapat dijadikan dasar bagi OJK sebagai Accountability Journal, 19(4), 512–539.
regulator untuk mengkaji kembali POJK Cucinelli, D. (2016). The Impact of Non-
No.11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban performing Loans on Bank Lending
Penyediaan Modal Minimum Bank terutama Behavior: Evidence from the Italian
untuk pembatasan modal minimum Banking Sector. Eurasian Journal of
berjenjang sesuai profil risiko. Penelitian ini Business and Economics, 8(16), 59–71.
juga belum bersifat menyeluruh terhadap Dabla-Norris, E., & Floerkemeier, H. (2007).
aturan yang diadopsi dalam POJK sesuai Bank Efficiency and Market Structure:
aturan dalam Basel Accord. What Determines Banking Spreads in
Armenia? (No. 07). New York, United
State of America.
DAFTAR PUSTAKA Deegan, C., Rankin, M., & Tobin, J. (2002).
An Examination of The Corporate
Ayadi, R., Naceur, S. Ben, Casu, B., & Social and Environmental Disclosures
Quinn, B. (2016). Does Basel of BHP from 1983‐ 1997. Accounting,
Compliance Matter for Bank Auditing & Accountability Journal (Vol.
Performance? Journal of Financial 15).
Stability, 23, 15–32. Deephouse, D. L., & Suchman, M. (2008).
Balin, B. J. (2009). Basel I, Basel II, and Legitimacy in Organizational
Emerging Markets: A Nontechnical Institutionalism. In The Sage Handbook
Analysis. Social Science Research of Organizational Institutionalism (pp.
Network, (May), 1–18. 49–77). Sage Publications, Inc.
https://doi.org/10.2139/ssrn.1477712. Demirguc-Kunt, A., Levine, R., & Min, H.
Bank Indonesia. (2012). Consultative Paper (1998). Opening to Foreign Banks :
Basel III: Global Regulatory Issues of Stability, Efficiency, and
Framework for More Resilient Banks. Growth. In Bank of Korea conference,
Consultative Paper Basel. Jakarta, “The Implications of Globalization of
Indonesia. World Financial Markets" (pp. 83–105).
Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia South Korea: Bank of Korea.
tentang Penetapan Status dan Tindak Diallo, B. (2018). Bank Efficiency and
Lanjut Pengawasan Bank Umum Industry Growth during Financial
Konvensional, Pub. L. No. Crises. Economic Modelling, 68, 11–22.
15/2/PBI/2013 (2013). Donovan, G. O. (2002). Environmental
Beck, T., Demirguc-kunt, A., & Merrouche, Disclosures in the Annual Report:
O. (2013). Islamic vs Conventional Extending the Applicability and
Banking : Business Model, Efficiency Predictive Power of Legitimacy Theory.
and Stability. Journal of Banking and Accounting, Auditing & Accountability
Finance, 37(2), 433–447. Journal, 15(3), 344–371.
Berger, A. N., Klapper, L. F., & Ariss, R. T. Fu, X. (Maggie), Lin, Y. (Rebecca), &
(2009). Bank Competition and Financial Molyneux, P. (2014). Bank Competition
Stability. Journal of Financial Service and Financial Stability in Asia Pacific.
Research, 35, 99–118. Journal of Banking & Finance, 38, 64–
Berger, A. N., & Mester, L. J. (1997). 77.
Efficiency and Productivity Change in Ghosh, A. (2015). Banking-Industry Specific
The US Commercial Banking Industry: and Regional Economic Determinants
A Comparison of The 1980s and 1990s of Non-Performing Loans: Evidence
(No. 97–5). Philadelphia. from US States. Journal of Financial
Breton, G., & Cõté, L. (2006). Profit and The Stability, 20, 93–104.
Legitimacy of the Canadian Banking Hassan, M. K., Unsal, O., & Emre, H. (2016).

236 | Jurnal ASET (Akuntansi Riset) Vol.11 | No.2 | 2019


JURNAL ASET (AKUNTANSI RISET), 11 (2), 2019, 224-237

Risk Management and Capital Umum (2016).


Adequacy in Turkish Participation and Parinduri, R. A., & Riyanto, Y. E. (2011). Do
Conventional Banks : A Comparative Banks Respond to Capital
Stress Testing Analysis. Borsa Istanbul Requirements? Evidence from
Review, 16(2), 72–81. Indonesia. Applied Financial
Howarth, D., & Quaglia, L. (2016). The Economics, 21(10), 651–663.
Comparative Political Economy of Thakor, A. V. (2014). Bank Capital and
Basel III in Europe. Policy and Society, Financial Stability : An Economic
35(3), 205–214. Trade-Off or a Faustian Bargain ? The
Kim, D., & Sohn, W. (2017). The Effect of Annual Review of Financial Economics,
Bank Capital on Lending : Does 6(September), 185–223.
Liquidity Matter ? Journal of Banking Tracey, M. (2011). The Impact of Non-
and Finance, 77, 95–107. Performing Loans on Loan Growth: an
Kinateder, H. (2016). Basel II versus III: a Econometric Case Study of Jamaica and
Comparative Assessment of Minimum Trinidad and Tobago. In Bank of
Capital Requirements for Internal Jamaica’s Research Conference:
Model Approaches. The Journal of Risk, Economic Transformation Through
18(3), 25–45. Applied Research (pp. 1–22). Jamaica:
Levine, R., Loayza, N., & Beck, T. (2000). Bank of Jamaica.
Financial Intermediation and Growth : Vithessonthi, C. (2016). Deflation, Bank
Causality and Causes. Journal of Credit Growth, and Non-Performing
Monetary Economics, 46, 2000. Loans: Evidence from Japan.
Lindawati, A. S. L., & Puspita, M. E. (2015). International Review of Financial
Corporate Social Responsibility: Analysis, 45, 295–305.
Implikasi Stakeholder dan Legitimacy Waluyo, A. (2017). Kepatuhan Bank Syariah
Gap dalam Peningkatan Kinerja Terhadap Fatwa Dewan Syariah
Perusahaan. Jurnal Akuntansi Nasional Pasca Transformasi kedalam
Multiparadigma, 6(1), 157–174. Hukum Positif. Inferensi, 10(2), 517.
Mergaerts, F., & Vennet, R. Vander. (2015). Weder, B., & Wedow, M. (2002). Will Basel
Business Models and Their Impact on II affect International Capital Flows to
Bank Performance : A long-term Emerging Markets? Social Science
perspective (No. D/2015/7012/10). Research Network, 11(199), 1–38.
Gent. Widyastuti, R. S., & Armanto, B. (2013).
Osei-assibey, E., & Asenso, J. K. (2015). Kompetisi Industri Perbankan
Regulatory Capital and Its Effect on Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter
Credit Growth, Non-Performing Loans Dan Perbankan, 15(4), 417–439.
and Bank Efficiency: Evidence from Yudistira, D. (2003). The Impact of Bank
Ghana. Journal of Financial Economic Capital Requirements in Indonesia.
Policy, 7(4), 401–420. Loughborough University,
Otoritas Jasa Keuangan. Peraturan Otoritas Leicestershire, UK (Vol. 44).
Jasa Keuangan No. 18/POJK.03/2016 Leicestershire, United Kingdom.
tentang Penerapan Manajemen Risiko Zhu, N., Wang, B., & Wu, Y. (2015).
bagi Bank Umum (2016). Productivity, Efficiency, and Non-
Otoritas Jasa Keuangan. Peraturan Otoritas Performing Loans in the Chinese
Jasa Keuangan Nomor Banking Industry. Social Science
11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Journal, 52(4), 468–480.
Penyediaan Modal Minimum Bank

237 | Jurnal ASET (Akuntansi Riset) Vol.11 | No.2 | 2019

Anda mungkin juga menyukai