Anda di halaman 1dari 6

PENGARUH KARAKTERISTIK DEWAN PENGAWAS

SYARIAH TERHADAP PROFITABILITAS DAN RISIKO


PEMBIAYAAN
(Studi Pada Bank Umum Syariah Di Indonesia Periode 2017-2021)

Latar Belakang
Di Indonesia, pertumbuhan bank syariah saat ini berada pada titik
tertinggi sepanjang masa. UU No. 21 Tahun 2008, yang mengatur tentang
perbankan syariah, memberikan landasan yang kokoh bagi pertumbuhan
perbankan syariah di tanah air (Nofinawati, 2016). Selain itu, karena
Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia, ada permintaan yang
signifikan untuk fasilitas dan layanan bank syariah, yang berdampak pada
pertumbuhan dan perkembangan bank (Hikmah, 2017).

Alat penting dalam pengembangan ekonomi Islam adalah industri


perbankan syariah. Dengan kata lain, sistem perbankan Islam adalah sistem
yang beroperasi sesuai dengan hukum syariah Islam, yang didasarkan pada
Al-Qur'an dan Hadits (Zuliana & Aliamin, 2019). Di Indonesia, ada dua jenis
bank: bank konvensional dan bank syariah, yang beroperasi menurut prinsip-
prinsip hukum syariah Islam berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadits (Jazil &
Syahruddin, 2013). Banyak jenis perbankan syariah yang bisa dikategorikan,
antara lain bank umum, unit usaha, dan bank pembiayaan rakyat (BPRS).

Tabel 1.1
Laporan Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia

Indikator 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021

BUS 6 11 11 11 11 12 12 12 13 14 14 14 12
Jumlah
711 125 1.401 1.745 1.998 2.163 1.990 1.869 1.822 1.875 1.919 2.034 2.028
Kantor

UUS 25 23 24 24 23 22 22 22 21 20 20 20 21
Jumlah
287 336 336 517 590 320 311 332 344 354 381 392 409
Kantor

BPRS 138 155 155 158 163 163 163 166 167 167 164 163 165
Jumlah
225 364 364 401 402 439 446 453 441 495 517 627 670
Kantor

1
Sumber: Statistik Perbankan Syariah OJK, 2022.

Pengesahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang


Perbankan Syariah menjadi faktor penting yang berkontribusi terhadap
ledakan ekspansi industri perbankan syariah. Berdasarkan Tabel 1.1, jumlah
Bank Umum Syariah (BUS) di Indonesia meningkat sebesar 133 persen dari

tahun 2009, yang hanya enam BUS, menjadi empat belas pada tahun 2020.
Ini merupakan pertumbuhan dari enam BUS pada tahun 2009. (BIS). Pada
tahun 2009, hanya ada 711 kantor; Dengan perluasan BUS ini, jumlah
tersebut akan meningkat menjadi 2.034 tempat kerja pada tahun 2020. Pada
akhir tahun 2012, pangsa pasar perbankan syariah hanya sekitar 4,6 persen,
yang jauh dari tujuan 5 persen itu. telah ditetapkan untuk tahun itu. Salah satu
indikasi bahwa bank syariah tidak mampu bersaing dengan kinerja bank
konvensional adalah fakta bahwa bank syariah tidak mampu menjangkau
ketiga pangsa pasar tersebut (Rozalinda, 2014).

Buruknya kinerja perbankan syariah antara lain disebabkan oleh


meningkatnya hambatan yang harus dihadapi oleh bank syariah. Bagaimana
mempertahankan merek dan reputasi bank syariah yang sangat baik di
kalangan konsumen untuk menjaga kepercayaan dan loyalitas mereka adalah
masalah yang paling sulit (Falikhatun & Assegaf, 2012).

Melihat kondisi pengawasan syariah Indonesia saat ini, Dewan


Pengawas Sayriah (DPS) kurang dimanfaatkan dan melenceng jauh dari
fungsinya. Beberapa Dewan Pengawas Syariah (DPS) tidak memiliki peran
dalam mengawasi kegiatan perbankan syariah (Zandra, 2016). Tabel 1.2
mengilustrasikan hal ini:

Gambar Tabel 1.2


Tabel Aset, Pembiayaan Dana Pihak Ketiga

Tahun Aset Pembiayaan Dana Pihak


Ketiga
2017 18.97% 15.27% 19.89%
2018 12.57% 12.17% 11.14%
2019 9.93% 10.89% 11.93%

2
2020 13.11% 8.08% 11.88%
2021 12.22% 7.45% 9.41%

Sumber: OJK, 2022.

Terjadi sedikit penurunan dan kenaikan pada ekspansi aset, keuangan,


dan dana pihak ketiga. Dewan pengawas syariah dan manajemen berbasis
syariah diperlukan untuk menangkal ekspansi yang cepat (Sugianto et al.,

2021). Komponen finansial dan nonfinansial dari pertumbuhan cepat bank


syariah harus didukung oleh kinerja yang kuat. Aset, utang, likuiditas,
profitabilitas, dan faktor-faktor lain semuanya berperan dalam menentukan
sehat atau tidaknya suatu bank. Kinerja bank dapat dievaluasi dengan melihat
laporan keuangan bank, yang menyediakan banyak informasi.

Bagi (Ariandhini, 2019), evaluasi kinerja dapat dilakukan dengan


melihat profitabilitas bank, atau jumlah keuntungan yang dihasilkannya.
Selama perusahaan menguntungkan, pemilik dapat mengharapkan pembagian
dividen yang baik. Pengembalian relatif atas aset (ROA) dapat digunakan
untuk mengukur profitabilitas bank (ROA).

Analisis tingkat risiko pembiayaan dalam kaitannya dengan rasio


profitabilitas dapat digunakan untuk menghitung NPF (Non Performing
Financing). Membantu dalam menentukan bagaimana kinerja perbankan
syariah (NPF). Ada 10 kategori bahaya yang dihadapi lembaga keuangan
syariah, menurut Peraturan Bank Indonesia No. 13/23/PBI/2011. Di antara
bahaya tersebut adalah yang terkait dengan risiko kredit, pasar, likuiditas, dan
operasional (seperti penipuan), serta bahaya hukum dan reputasi. Risiko
kredit/pembiayaan adalah salah satu dari 10 bahaya dalam perbankan syariah.
Karena kapasitas pihak ketiga untuk memenuhi komitmen keuangan mereka
sebagai peminjam sangat terkait dengan masalah ini (Syatiri & Hamdaini,
2018).

(Riset et al., 2018) menyebutkan banyak alasan yang berkontribusi


terhadap nilai NPF perbankan syariah yang lebih besar. Kurangnya sistem
manajemen risiko dan pengendalian internal manajemen adalah dua contoh
variabel tersebut. Ini terjadi pada tahun 2017 ketika enam bank dengan
curang mendanai kepergian Rockit Adelway dari band. Kesepakatan ini

3
bernilai kredit 836 miliar Rupiah. Selain Bank Negara Indonesia, PT Bank
Mandiri Tbk dan PT Bank Commonwealth yang menyediakan dana ilegal
untuk perusahaan termasuk PT Bank Ekonomi Raharja Tbk dan QNB
Kesawan Tbk. Pada 2013, Bank Syariah Mandiri (BSM) Bogor mengucurkan
dana tunai Rp102 miliar kepada 197 nasabah tanpa penjelasan. Kerugian
negara lebih dari Rp 58 triliun dapat diakibatkan oleh hal ini (Rozalinda,

4
2014).

Sangat penting, setelah beberapa contoh di perusahaan besar yang telah


menerapkan tata kelola perusahaan yang kuat, untuk mengingatkan semua
bank syariah di Indonesia tentang relevansi DPS dalam konteks ini.
Perusahaan multinasional terganggu oleh kejadian seperti ini, meskipun
memiliki tata kelola perusahaan yang sangat baik. (GCG). Dengan lebih
banyak pihak yang terlibat dalam struktur tata kelola bank syariah biasa
karena fitur khusus bank syariah dan tanggung jawab mereka untuk
menyesuaikan diri dengan prinsip syariah (syari'ah), pentingnya dewan
pengawas syariah tidak dapat diremehkan (Ilyas, 2021).

Di bank syariah Malaysia, penelitian sebelumnya menemukan bahwa


(Shittu et al., 2016), (Ramly & Nordin, 2018), Nomran et al., (2018), dan
(Amaar Ali Ausat, 2018). telah menemukan hubungan antara DPS dan
profitabilitas dan kredit/ kesehatan keuangan, sementara (Hassan et al., 2017).
telah menemukan hubungan antara DPS dan profitabilitas dan kesehatan
kredit/keuangan di bank syariah Malaysia yang terdaftar di Bankcope.
Nomran dkk., (2018); Safiullah dan Syamsuddin (2018);(Nugraheni, 2018)
(Shittu et al., 2016); berpendapat bahwa DPS item perbankan syariah
Indonesia seperti Widiastuty, Nugraheni, Mutmainah, Ardana, dan Anton
dapat digunakan untuk mengukur profitabilitas atau dampaknya terhadap
risiko. Anggota, rapat, jabatan yang diselenggarakan secara bersamaan,
pendidikan dan reputasi adalah semua penanda pembiayaan bank syariah.
Perubahan komposisi DPS juga menjadi indikator. Ada hubungan antara
jumlah anggota dalam suatu DPS (Nugraheni, 2018) dengan reputasi
organisasi. Namun, telah terbukti bahwa profitabilitas BUS menderita ketika
DPSnya terlalu besar. Menurut Indrayani dan Risna, profitabilitas industri
perbankan syariah Indonesia dipengaruhi oleh rapat Dewan Pengawas
Syariah. berdampak negatif terhadap profitabilitas BUS. Tidak ada korelasi
antara besar kecilnya DPS dengan profitabilitas perbankan syariah, menurut
penelitian yang dilakukan oleh Magdalena, Australia, Arda, dan Ariandhini
pada tahun 2019. Profitabilitas perbankan syariah di Indonesia tidak
dipengaruhi oleh jumlah peran yang dipegang maupun frekuensinya. rapat

5
DPS, menurut kajian (Anton, n.d.)

Sebuah studi oleh (Bourakba & Zerargui, 2015) menemukan bahwa


ukuran DPS memiliki efek merugikan pada risiko kredit bank syariah di
Timur Tengah. Menurut Ramly, perbankan syariah di Malaysia memiliki
risiko kredit yang lebih tinggi karena kurangnya pengawasan syariah dari
DPS .Menurut (Mutmainah, 2016) dan (Ardana, 2019), tidak ada korelasi
antara besaran DPS Indonesia dengan risiko pembiayaan bank syariah,
sehingga berbanding terbalik dengan hal tersebut. Menurut (Riset et al.,
2018), besar kecilnya dan frekuensi rapat DPS berpengaruh kecil terhadap
kredit bermasalah bank syariah.

Untuk itu, penulis ingin melakukan studi pengembangan dengan


menggabungkan temuan dari (Falikhatun & Assegaf, 2012), Nomran (2018),
serta penelitian (Shittu et al., 2016), Perbedaan penting antara penelitian ini
dan penelitian lainnya adalah bahwa penelitian ini berkonsentrasi pada unsur-
unsur yang mempengaruhi keuntungan perbankan syariah di Indonesia dan
risiko peminjaman uang. Ukuran dan usia perusahaan berfungsi sebagai
kontrol untuk sejumlah variabel yang diperkirakan mempengaruhi
profitabilitas dan risiko pembiayaan. Variabel-variabel tersebut antara lain
komposisi Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam hal pendidikan
anggotanya, peran ganda yang diemban, kompetensi, rapat yang diadakan,
reputasi, dan perubahan keanggotaan. Oleh karena itu, peneliti memilih judul
“Pengaruh Karakteristik Dewan Syariah Terhadap Profitabilitas Dan
Resiko Pembiaayaan Perbankan Syariah

Anda mungkin juga menyukai