Anda di halaman 1dari 28

Analisis Implementasi BI 7 Day Reverse Repo Rate di

Indonesia

Dosen Pengampu :
Dra. Ec Nunuk Pudjiastuti MM

Di Susun Oleh :
Dwi Nurhayati (1912211004)
Mayke Puspita Anindika (1912211007)
Wanda Megawati (1912211008)
Miftakhul Nurul Aini (1912211009)
Miftahul Rohmah (1912211010)

EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BHAYANGKARA SURABAYA
2020/2021
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya
sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Analisis Implementasi
BI 7 Day Reverse Repo Rate di Indonesia” ini. Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas
semester 3 mata kuliah Ekonomi Moneter.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra. Ec Nunuk Pudjiastuti MM yang telah
memberikan tugas membuat makalah ini sebagai media kami belajar dan memperdalam materi
mengenai BI 7 Day Reverse Repo Rate.
Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang materi BI 7
Day Reverse Repo Rate saya selaku penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.Saya
menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan baik dari isi maupun sistematikanya.
Oleh karena itu, saya mengharap kepada pembaca untuk memberikan masukan yang bersifat
membangun untuk perbaikan makalah ini selanjutnya.

Surabaya, 18 November 2020

Penulis
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan Ekonomi di Era Globalisasi saat ini sangat berkembang pesat
dan memberikan pengaruh yang besar bagi setiap negara. Perekonomian yang
berkembang sangat dipengaruhi oleh sector keuangan suatu negara, khususnya lembaga
keuangan perbankan yang dapat dikatakan menjadi salah satu lembaga yang paling
fleksibel dalam merespon kondisi perekonomian nasional dan juga perekonomian
global.
Kemudahan dalam mendapatkan akses pinjaman serta suku bunga yang rendah
dapat memicu persaingan antar bank, baik bank swasta, bank asing maupun bank
pemerintah. Faktor utama yang menjadi pemicu persaingan antar bank adalah tingkat
suku bunga yang ditetapkan dan diberikan oleh masing-masing bank kepada
nasabahnya.
Suatu Perekonomian negara akan terlihat stabil bila roda pembangunan khususnya
dunia perbankan berjalan dengan baik, salah satu tugas Bank Indonesia sebagai bank
sentral memiliki dua peran yakni sebagai otoritas moneter, dan menjaga stabilitas
sistem keuangan dari perbankan. Salah satu peran dalam menjaga stabilitas sistem
keuanganan adalah kebijakan mengenai tingkat suku bunga. Suku bunga yang
digunakan oleh Bank Indonesia pada saat ini adalah BI Rate, namun kebijakan BI Rate
yang harus menunggu waktu yang lama bagi perbankan untuk mengikuti kebijakan
tersebut membuat kebijakan perbankan kurang efektif dalam mengatasi inflasi.
Dikarenakan permasalahan yang dihadapi begitu komplek tersebut maka pada
pertengahan april 2016 BI mengeluarkan kebijakan baru mengenai suku bunga yakni BI
7 Day Reverse Repo Rate untuk meningkatkan efektifitas kebijakan otoritas moneter.
Suku bunga acuan BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan
sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan
kemudian diumumkan kepada public. Bank Indonesia melakukan penguatan kerangka
operasi moneter dengan mengimplementasikan suku bunga acuan atau suku bunga
kebijakan baru yaitu BI 7-Day (Reverse) Repo Rate, yang berlaku efektif sejak 19
Agustus 2016, menggantikan BI Rate. Penguatan kerangka operasi moneter ini
merupakan hal yang lazim dilakukan di berbagai bank sentral dan merupakan best
practice internasional dalam pelaksanaan operasi moneter. BI 7 Day Reverse Repo Rate
adalah suku bunga acuan yangbaru, dimanamemilki hubungan yang lebih kuat ke suku
bunga pasaruang, sifatnya transaksional atau diperdagangkan di pasar dan mendorong
pendalaman pasar keuangan. Adanya kebijakan tersebut akan mempengaruhi tingkat
permintaan serta penyaluran kredit dari bankterhadap debitur maupun sebaliknya.
Pada tataran operasional, BI 7 Day Reverse Repo Rate tercermin dari suku bunga
pasar uang jangka pendek yang merupakan sasaran operasional kebijakan moneter.
Sejak 9 Juni 2008, BI menggunakan suku bunga pasar uang antara bank (PUAB) 1
overnight (o/n) sebagai sasaran operasional kebijakan moneter. Ada beberapa dampak
utama yang diharapkan dari kebijakan perubahan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebagai
suku bunga kebijakan baru. Dampak utama yang diharapkan dari kebijakan tersebut
yaitu, menguatnya sinyal kebijakan moneter dengan suku bunga BIb7 Day Reverse
Repo Rate sebagai bunga acuan utama di pasar keuangan. Kemudian meningkatnya
efektivitas transmisi kebijakan moneter melalui pengaruhnya pada pergerakan suku
bunga pasar uang dan suku bunga perbankan. Serta, terbentuknya pasar uang antar bank
(PUAB) untuk tenor 3 bulan hingga 12 bulan.
Dalam penulisan makalah ini kami akan memberi beberapa penjelasan tentang BI
7 Day Reverse Repo Rate yaitu pengertian, implementasi dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pemahaman BI 7 Day Reverse Repo Rate dan BI Rate?
2. Bagaimana implementasi BI 7 Day Ravesre Repo Rate saat ini terkait dengan:
a. Suku bunga kredit dan saving
b. Modal Asing
c. Sektor Riil (X, M, C, I)
3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi poin 2 tersebut?
4. Bagaimana implementasi BI 7 Day Ravesre Repo Rate yang tidak terkait suku
bunga dan saving, modal asing, dan sektor riil?
5. Bagaimana analisisnya?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui BI 7 Day Reverse Repo Rate dan BI Rate.
2. Untuk mengetahui implementasi Bi 7 Day Ravesre Repo Rate saat ini terkait
dengan suku bunga kredit dan saving, modal asing, dan sektor riil.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi poin 2.
4. Untuk mengetahui implementasi BI 7 Day Ravesre Repo Rate yang tidak terkait
suku bunga dan saving, modal asing, dan sektor riil.
5. Untuk mengetahui perbandingan BI 7 Day Reverse Repo Rate saat ini dengan yang
ideal dan faktor yang mempengaruhi serta solusinya.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian BI 7 Day Reverse Repo Rate dan BI Rate.


a. BI Rate
BI Rate adalah kebijakan nilai suku bunga yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
yang bersangkutan dengan kebijakan moneter yang akan diterapkan pada masyarakat
seluruh Indonesia. Secara operasional, sikap kebijakan moneter ini dicerminkan oleh
penetapan BI Rate yang diharapkan akan mempengaruhi suku bunga, pasar uang,
suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan. Berdasarkan penjelasan di
atas dapat disimpulkan BI Rate adalah bunga acuan. Artinya, Bank Indonesia
menetapkan suku bunga itu sebagai rujukan atau himbaun bahwa suku bunga
ketetepan yang diberlakukan sekarang kisaran berapa persen sehingga bank-bank
akan melihat suku bunga acuan tersebut dalam menentukan bunga deposito, kredit,
tabungan, dan giro. BI Rate ditetapkan setiap bulan melalui rapat anggota dewan
gubernur dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian baik di Indonesia
maupun situasi perekonomian global secara umum. Hasil rapat inilah yang
diterjemahkan menjadi kebijakan moneter untuk penentuan suku bunga yang dipakai
sebagai acuan bank-bank yang lainnya di Indonesia.

Fungsi BI Rate dalam perekonomian


Faktor penentu utama dari penetapan nilai BI Rate adalah inflasi di Indonesia.
Inflasi dipengaruhi oleh banyaknya peredaran mata uang di dalam negri dan jumlah
produksi dan permintaan masyarakat yang berakibat pada naik-turunnya harg-harga.
Jika inflasi naik maka BI Rate juga ikut naik, dan sebaliknya jika inflasi turun maka
Bank Indonesia akan menurunkan besaran BI Rate. Imbas dari perubahan nilai BI
Rate tidak hanya pada naik-turunya harga saja, melainkan terhadap pertumbuhan
ekonomi masyarakat dan negara secara global.
Saat nilai inflasi meningkat, maka suku bunga kredit dan deposito juga akan naik
sehingga mengurangi laju peredaran mata uang di masyarakat. Sedangkan jika
perekonomian sedang lemah, maka Bank Indonesia akan menurunkan BI Rate untuk
menstimulus perkembangan industri kecil dan sektor perekonomian lainnya. Dengan
demikian, pemerintah diharapkan dapat mengendalikan laju inflasi agar
perekonomian negara tetap stabil.

b. BI 7 Day Reverse Repo Rate


BI 7 Day Reverse Repo Rate adalah suku bunga acuan yang baru, dimana
memiliki hubungan yang lebih kuat ke suku bunga pasar uang, sifatnya
transaksional atau diperdagangkan di pasar dan mendorong pendalaman pasar
keuangan.Pada tataran operasional, BI 7 Day Reverse Repo Rate tercermin dari suku
bunga pasar uang jangka pendek yang merupakan sasaran operasional kebijakan
moneter. Sejak 9 Juni 2008, BI menggunakan suku bunga pasar uang antara bank
(PUAB)1 overnight (o/n) sebagai sasaran operasional kebijakan moneter.
Ada beberapa dampak utama yang diharapkan dari kebijakan perubahan BI 7 Day
Reverse Repo Rate sebagai suku bunga kebijakan baru. Dampak utama yang
diharapkan dari kebijakan tersebut yaitu, menguatnya sinyal kebijakan moneter
dengan suku bunga BI 7 Day Reverse Repo Rate sebagai bunga acuan utama di
pasar keuangan. Kemudian meningkatnya efektivitas transmisi kebijakan moneter
melalui pengaruhnya pada pergerakan s uku bunga pasar uang dan suku bunga
perbankan. Serta, terbentuknya pasar uang antar bank (PUAB) untuk tenor 3 bulan
hingga 12 bulan.

Fungsi dari BI 7-Day (Reverse) Repo Rate


Kebijakan terbaru dari Bank Indonesia ini diharapkan bisa meningkatkan
perekonomian Indonsia dengan lebih cepat hingga ke taraf yang ditargetkan oleh
Bank Indonesia. Dengan adanya acuan lain selain BI Rate yang baru bisa dicairkan
setelah satu tahun, bank-bank lain ebih berani menurunkan suku bunga kredit ataupun
menaikkan suku bunga deposito.
Hal ini akan mendorong masyarakat untuk lebih yakin saat mengambil kredit
jangka panjang karena tidak perlu khawatir lagi akan suku bunga fluktuatif yang bisa
sangat berpengaruh pada cicilan bulanan. Perlu diketahui bahwa kenaikan suku bunga
pertahun sebenarnya sangat signifikan terhadap besaran cicilan yang harus dibayar
saat mengambil kredit jangka panjang. Banyak masyarakat yang masih enggan
mengambil pinjaman pribadi maupun kredit pembelian barang dengan harga tinggi
seperti kendaraan atau properti.
Naiknya bunga deposito juga diharapkan dapat memacu jumlah nasabah yang
menyimpan uang di bank untuk jangka waktu tertentu. Banyaknya deposito yang
masuk akan sangat berpengaruh pada perputaran uang di bank sehingga diharapkan
akan menambah anggaran kredit untuk industri kecil dan menengah yang merupakan
salah satu tonggak perekonomian penting suatu negara.

2.2 Implementasi BI 7 Day Reverse Repo Rate Terkait dengan Suku Bunga Kredit &
Saving, Modal Asing, dan Sektor Riil
a. Suku bunga kredit dan saving
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 12-13 Oktober 2020
memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar
4,00%, suku bunga Deposit Facility sebesar 3,25%, dan suku bunga Lending Facility
sebesar 4,75%. Keputusan ini mempertimbangkan perlunya menjaga stabilitas nilai
tukar Rupiah, di tengah inflasi yang diprakirakan tetap rendah. Bank Indonesia
menekankan pada jalur kuantitas melalui penyediaan likuiditas, termasuk dukungan
Bank Indonesia kepada Pemerintah dalam mempercepat realisasi APBN tahun 2020,
guna mendorong pemulihan ekonomi dari dampak pandemi COVID-19. Di samping
keputusan tersebut, Bank Indonesia menempuh pula langkah-langkah sebagai berikut:
1. Melanjutkan kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah agar sejalan dengan
fundamental dan mekanisme pasar
2. Memperkuat strategi operasi moneter guna memperkuat stance kebijakan moneter
akomodatif
3. Mempercepat langkah-langkah pendalaman pasar uang dan pasar valuta asing
melalui pengembangan infrastruktur sarana penyelenggara transaksi berbasis
sistem elektronik (Electronic Trading Platform/ETP) dan lembaga sentral kliring,
novasi, dan transaksi (Central Counterparty/CCP)
4. Memperkuat implementasi kebijakan untuk mendorong UMKM melalui
korporatisasi, peningkatan kapasitas, akses pembiayaan, dan digitalisasi sejalan
dengan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI)
5. Memperkuat ekosistem ekonomi dan keuangan digital melalui penggunaan
instrumen pembayaran digital, kolaborasi bank, fintech, dan e-commerce untuk
mendukung program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Bank Indonesia akan terus menempuh langkah-langkah kebijakan lanjutan yang
diperlukan dalam mempercepat program PEN dengan mencermati dinamika
perekonomian dan pasar keuangan global serta penyebaran COVID-19 dan
dampaknya terhadap prospek perekonomian Indonesia dari waktu ke waktu.
Koordinasi kebijakan yang erat dengan Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem
Keuangan (KSSK) terus diperkuat untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan
sistem keuangan, serta mempercepat pemulihan ekonomi nasional.
Dengan penggunaan instrumen BI 7-day (Reverse) Repo Rate sebagai suku bunga
kebijakan baru, terdapat tiga dampak utama yang diharapkan. Pertama, menguatnya
sinyal kebijakan moneter dengan suku bunga (Reverse) Repo Rate 7 hari sebagai
acuan utama di pasar keuangan. Kedua, meningkatnya efektivitas transmisi kebijakan
moneter melalui pengaruhnya pada pergerakan suku bunga pasar uang dan suku
bunga perbankan. Ketiga, terbentuknya pasar keuangan yang lebih dalam, khususnya
transaksi dan pembentukan struktur suku bunga di pasar uang antarbank (PUAB)
untuk tenor 3-12 bulan.
BI 7-Day Repo Rate melakukan transmisi moneter melalui dua jalur, yaitu suku
bunga perbankan dan pertumbuhan atau volume kredit. Transmisi pelonggaran
kebijakan melalui jalur suku bunga terus berlangsung, tercermin dari berlanjutnya
penurunan suku bunga deposito dan suku bunga kredit. Namun, transmisi melalui
jalur kredit belum optimal, terlihat dari pertumbuhan kredit yang masih terbatas. Hal
ini tentu menimbulkan tanda tanya karena dengan turunnya suku bunga kredit, maka
seharusnya penyaluran kredit akan semakin membaik atau meningkat.
Suku bunga kredit yang single digit tentu saja dapat mendorong perekonomian
bertumbuh lebih cepat karena memudahkan masyarakat atau debitur untuk
mengambil kredit. Melalui kredit ini, maka masyarakat dapat menjadikannya sebagai
modal untuk memulai usaha maupun perluasan dan pengembangan usaha. Akan
tetapi, suku bunga kredit yang rendah dapat memberikan dampak yang negatif pula.
Bank umum akan malas menyalurkan kredit ke masyarakat karena costnya besar dan
bunga yang didapatkan bank umum tidak signifikan apalagi ditekan hingga single
digit. Bank akan lebih memilih menyalurkan kredit berupa corporate loan atau
commercial loan yang bernilai milyaran rupiah dengan costnya lebih kecil. UMKM
kehilangan pilihan kredit dan akhirnya akan memilih lintah darat.

b. Modal Asing
Perbaikan perekonomian global berlanjut sesuai prakiraan sebelumnya.
Pertumbuhan ekonomi dunia terus membaik dipengaruhi besarnya stimulus fiskal di
beberapa negara maju, terutama Amerika Serikat (AS). Perbaikan juga didukung oleh
pemulihan ekonomi Tiongkok sebagai dampak dari besarnya stimulus fiskal dan
berkurangnya penyebaran COVID-19, yang meningkatkan investasi di sektor
manufaktur, di tengah terbatasnya perbaikan ekonomi negara berkembang lainnya.
Pemulihan ekonomi global mendorong peningkatan beberapa indikator dini bulan
September 2020, seperti mobilitas masyarakat global, Purchasing Managers' Index
(PMI) Manufaktur dan Jasa di beberapa negara, serta keyakinan konsumen di AS dan
kawasan Eropa. Ke depan, berlanjutnya perbaikan ekonomi global didorong oleh
berkurangnya penyebaran COVID-19, meningkatnya mobilitas masyarakat, dan
berlanjutnya stimulus kebijakan. Perbaikan ekonomi global tersebut mendorong
kenaikan volume perdagangan dan harga komoditas dunia sesuai prakiraan
sebelumnya. Sementara itu, ketidakpastian pasar keuangan global tetap tinggi, dipicu
isu geopolitik seperti ketidakpastian pemilu AS dan perundingan Brexit, serta
ketegangan hubungan dagang AS-Tiongkok. Perkembangan ini berdampak pada
terbatasnya aliran modal ke negara berkembang dan menahan penguatan mata uang
berbagai negara, termasuk Indonesia.
Perubahan suku bunga BI 7-Day Repo Rate juga dapat mempengaruhi nilai tukar.
Mekanisme ini sering disebut jalur nilai tukar. Jalur nilai tukar menjadi lebih penting
pada suatu perekonomian yang terbuka dimana, terjadinya liberalisasi financial akan
memudahkan aliran modal masuk ataupun keluar (net capital inflows). Jalur nilai
tukar berpendapat bahwa pengetatan moneter, yang mendorong peningkatan suku
bunga, dimana deposito mata uang domestik menjadi lebih menarik disbanding
deposito mata uang asing, akan mengakibatkan apresiasi nilai tukar karena
pemasukan aliran modal dari luar negeri.
Kenaikan BI 7-Day Repo Rate, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan selisih
antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga di luar negeri. Dengan
melebarnya selisih suku bunga tersebut mendorong investor asing untuk menanamkan
modal ke dalam instrumen – instrumen keuangan di Indonesia seperti Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) karena mereka akan mendapatkan tingkat pengembalian yang lebih
tinggi. Aliran masuk modal asing ini pada gilirannya akan mendorong apresiasi nilai
tukar rupiah. Apresiasi rupiah mengakibatkan harga barang impor lebih murah dan
barang ekspor menjadi lebih mahal atau kurang kompetitif sehingga akan mendorong
impor dan mengurangi ekspor. Turunnya net ekspor ini akan berdampak pada
menurunnya pertumbuhan ekonomi dan kegiatan perekonomian.

c. Sektor Riil ( X, M, C, I )
Pertumbuhan ekonomi domestik secara perlahan juga membaik, terutama
didorong stimulus fiskal dan perbaikan ekspor. Perkembangan Agustus-September
2020 menunjukkan belanja Pemerintah meningkat didorong stimulus fiskal terkait
perlindungan sosial dan dukungan UMKM. Ekspor lebih baik dari prakiraan ditopang
berlanjutnya permintaan global, terutama dari AS dan Tiongkok, untuk beberapa
komoditas seperti besi dan baja, pulp dan waste paper, serta tekstil dan produk tekstil
(TPT). Secara spasial, perbaikan ekspor juga didorong oleh beberapa daerah luar
Jawa, seperti Sumatera, Bali-Nusa Tenggara, dan Sulawesi-Maluku-Papua. Peran
positif stimulus fiskal dan kenaikan ekspor serta investasi bangunan yang tetap baik
sejalan berlanjutnya berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN), menyangga
pemulihan ekonomi, di tengah konsumsi rumah tangga yang masih terbatas.
Perbaikan ekonomi Indonesia tercermin pada kenaikan sejumlah indikator dini seperti
penjualan eceran dan online, job vacancy, serta pendapatan masyarakat. Ke depan,
pemulihan ekonomi domestik diprakirakan berlanjut dipengaruhi oleh membaiknya
perekonomian global serta meningkatnya realisasi anggaran Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, kemajuan dalam program restrukturisasi kredit, dan berlanjutnya
stimulus moneter dan makroprudensial Bank Indonesia. Bank Indonesia melalui
bauran kebijakannya akan terus memperkuat sinergi dengan Pemerintah dan otoritas
terkait agar berbagai kebijakan yang ditempuh semakin efektif mendorong pemulihan
ekonomi.
Ketahanan sektor eksternal Indonesia pada triwulan III 2020 tetap terjaga, di
tengah dinamika penyesuaian aliran modal global. Transaksi berjalan triwulan III
2020 diprakirakan mencatat surplus dipengaruhi perbaikan ekspor dan penyesuaian
impor sejalan permintaan domestik yang belum kuat. Prakiraan ini didorong potensi
kenaikan surplus neraca perdagangan triwulan III 2020 yang relatif besar
dibandingkan dengan surplus pada triwulan sebelumnya. Pada Juli-Agustus 2020,
neraca perdagangan mencatat surplus 5,57 miliar dolar AS. Dengan prospek surplus
neraca transaksi berjalan tersebut dan surplus neraca finansial, secara keseluruhan
neraca pembayaran pada triwulan III 2020 diprakirakan mengalami surplus, meskipun
terdapat aliran keluar investasi portofolio asing (net outflows) sebesar 1,24 miliar
dolar AS. Pada awal Oktober 2020, aliran masuk modal asing secara berangsur
membaik sehingga per 9 Oktober 2020 tercatat net inflows sebesar 0,33 miliar dolar
AS. Posisi cadangan devisa Indonesia akhir September 2020 tetap tinggi, yakni 135,2
miliar dolar AS, setara pembiayaan 9,5 bulan impor atau 9,1 bulan impor dan
pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan
internasional sekitar 3 bulan impor. Ke depan, defisit transaksi berjalan keseluruhan
tahun 2020 diprakirakan tetap rendah, di bawah 1,5% dari PDB, sehingga terus
mendukung ketahanan sektor eksternal.
Nilai tukar Rupiah tetap terkendali didukung langkah-langkah stabilisasi Bank
Indonesia. Pada September 2020, Rupiah tercatat melemah 2,13% (ptp) dipengaruhi
tingginya ketidakpastian pasar keuangan, baik karena faktor global maupun faktor
domestik. Pada awal Oktober 2020, nilai tukar Rupiah per 12 Oktober kembali
menguat 1,22% (ptp) atau 0,34% secara rerata dibandingkan dengan level September
2020. Penguatan Rupiah pada Oktober 2020 didorong kembali masuknya aliran
modal asing ke pasar keuangan domestik dipengaruhi meningkatnya likuiditas global
dan tetap terjaganya keyakinan investor terhadap prospek perekonomian domestik.
Dengan perkembangan ini, Rupiah sampai dengan 12 Oktober 2020 mencatat
depresiasi sekitar 5,56% dibandingkan dengan level akhir 2019. Ke depan, Bank
Indonesia memandang penguatan nilai tukar Rupiah berpotensi berlanjut seiring
levelnya yang secara fundamental masih undervalued. Hal ini didukung defisit
transaksi berjalan yang rendah, inflasi yang rendah dan terkendali, daya tarik aset
keuangan domestik yang tinggi, dan premi risiko Indonesia yang menurun, serta
likuiditas global yang besar. Bank Indonesia terus memperkuat kebijakan stabilisasi
nilai tukar Rupiah sesuai dengan fundamentalnya dan bekerjanya mekanisme pasar,
melalui efektivitas operasi moneter dan ketersediaan likuiditas di pasar.
Inflasi tetap rendah sejalan permintaan yang belum kuat dan pasokan yang
memadai. Indeks Harga Konsumen (IHK) pada September 2020 tercatat deflasi
0,05% (mtm) sehingga inflasi IHK sampai September 2020 tercatat 0,89% (ytd).
Secara tahunan, inflasi IHK tercatat rendah yakni sebesar 1,42% (yoy), meskipun
lebih tinggi dari inflasi Agustus 2020 sebesar 1,32% (yoy). Inflasi yang rendah
dipengaruhi turunnya inflasi inti sejalan permintaan domestik yang belum kuat serta
konsistensi Bank Indonesia mengarahkan ekspektasi inflasi dalam kisaran target dan
menjaga stabilitas nilai tukar. Inflasi kelompok volatile food tetap rendah dipengaruhi
berlanjutnya penurunan harga bahan pangan seiring permintaan domestik yang belum
kuat, pasokan yang memadai sejalan panen di beberapa sentra produksi, distribusi
yang terjaga, dan harga komoditas pangan global yang rendah. Selain itu, inflasi
kelompok administered prices melambat terutama didorong berlanjutnya penurunan
tarif angkutan udara. Bank Indonesia memprakirakan inflasi 2020 lebih rendah dari
batas bawah target inflasi dan kembali ke dalam sasarannya 3,0% ± 1% pada 2021.
Bank Indonesia konsisten menjaga stabilitas harga dan memperkuat koordinasi
kebijakan dengan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, guna
mengendalikan inflasi tetap dalam kisaran targetnya.
Sejalan dengan kebijakan moneter dan makroprudensial akomodatif yang
ditempuh Bank Indonesia, kondisi likuiditas tetap longgar sehingga mendorong suku
bunga terus menurun dan mendukung pembiayaan perekonomian. Hingga 9 Oktober
2020, Bank Indonesia telah menambah likuiditas (quantitative easing) di perbankan
sekitar Rp667,6 triliun, terutama bersumber dari penurunan Giro Wajib Minimum
(GWM) sekitar Rp155 triliun dan ekspansi moneter sekitar Rp496,8 triliun.
Longgarnya kondisi likuiditas mendorong tingginya rasio Alat Likuid terhadap Dana
Pihak Ketiga (AL/DPK) yakni 31,23% pada September 2020 dan rendahnya rata-rata
suku bunga PUAB overnight, sekitar 3,29% pada September 2020. Kebijakan
pelonggaran likuiditas dan penurunan suku bunga kebijakan (BI7DRR) mendorong
penurunan suku bunga deposito dan kredit pada September 2020 dari 5,49% dan
9,92% pada Agustus 2020 menjadi 5,18% dan 9,88%. Imbal hasil SBN 10 tahun
turun dari 6,93% pada akhir September 2020 menjadi 6,87% per 12 Oktober 2020.
Dari besaran moneter, pertumbuhan besaran moneter M1 dan M2 pada September
2020 tetap tinggi, yaitu sebesar 17,6% (yoy) dan 12,3% (yoy). Ke depan, ekspansi
moneter Bank Indonesia serta percepatan realisasi anggaran dan program
restrukturisasi kredit perbankan diharapkan dapat mendorong penyaluran kredit dan
pembiayaan bagi pemulihan ekonomi nasional.
Sinergi ekspansi moneter Bank Indonesia dengan akselerasi stimulus fiskal
Pemerintah dalam mendorong pemulihan ekonomi nasional terus diperkuat. Bank
Indonesia melanjutkan komitmen untuk pendanaan APBN Tahun 2020 melalui
pembelian SBN dari pasar perdana dalam rangka pelaksanaan UU No.2 Tahun 2020,
baik berdasarkan mekanisme pasar maupun secara langsung, sebagai bagian upaya
mendukung percepatan implementasi program PEN, dengan tetap menjaga stabilitas
makroekonomi. Sampai dengan 8 Oktober 2020, Bank Indonesia telah membeli SBN
di pasar perdana melalui mekanisme pasar sesuai dengan Keputusan Bersama Menteri
Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tanggal 16 April 2020, sebesar Rp60,18
triliun, termasuk dengan skema lelang utama, Greenshoe Option (GSO) dan Private
Placement. Sementara itu, realisasi pendanaan dan pembagian beban untuk
pendanaan Public Goods dalam APBN oleh Bank Indonesia melalui mekanisme
pembelian SBN secara langsung sesuai dengan Keputusan Bersama Menteri
Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tanggal 7 Juli 2020, berjumlah Rp229,68
triliun. Selain itu, Bank Indonesia juga telah merealisasikan pembagian beban dengan
Pemerintah untuk pendanaan Non Public Goods-UMKM sebesar Rp90,88 triliun
sesuai dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia
tanggal 7 Juli 2020. Dengan sinergi ini, Pemerintah dapat lebih memfokuskan pada
upaya akselerasi realisasi APBN untuk mendorong pemulihan perekonomian
nasional.
Ketahanan sistem keuangan tetap kuat, meskipun risiko dari meluasnya dampak
COVID-19 terhadap stabilitas sistem keuangan terus dicermati. Rasio kecukupan
modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan Agustus 2020 tetap tinggi yakni
23,39%, dan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tetap rendah yakni
3,22% (bruto) dan 1,14% (neto). Namun demikian, fungsi intermediasi dari sektor
keuangan masih lemah akibat pertumbuhan kredit yang terbatas sejalan dengan
permintaan domestik yang belum kuat dan kehati-hatian perbankan akibat
berlanjutnya pandemi COVID-19. Pertumbuhan kredit pada September 2020 kembali
menurun dari 1,04% (yoy) pada Agustus 2020 menjadi 0,12% (yoy). Sementara itu,
pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) naik dari 11,64% (yoy) pada Agustus 2020
menjadi 12,88% (yoy) didorong ekspansi keuangan Pemerintah. Ke depan,
intermediasi perbankan diperkirakan akan membaik sejalan dengan prospek
perbaikan kinerja korporasi dan pemulihan ekonomi domestik serta konsistensi
sinergi kebijakan yang ditempuh. Kinerja korporasi triwulan III 2020 terindikasi
secara perlahan membaik, tercermin dari peningkatan penjualan, kemampuan bayar,
serta penerimaan perpajakan terutama pada sektor Industri dan Perdagangan. Selain
itu, restrukturisasi kredit perbankan masih berlanjut, termasuk untuk UMKM yang
mencapai 36% dari total kredit, ditopang likuiditas yang meningkat. Bank Indonesia
terus memperkuat koordinasi kebijakan makroprudensialnya dengan kebijakan fiskal
oleh Pemerintah, pengawasan mikroprudensial oleh OJK, dan penjaminan simpanan
oleh LPS untuk memperkuat stabilitas sistem keuangan serta mendorong penyaluran
kredit dan pembiayaan bagi pemulihan ekonomi nasional.
Transaksi Sistem Pembayaran baik tunai maupun nontunai menunjukkan
peningkatan sejalan dengan perbaikan ekonomi, disertai dengan percepatan
digitalisasi ekonomi dan keuangan. Uang Kartal Yang Diedarkan (UYD) tumbuh
meningkat dari 5,82% (yoy) pada Agustus 2020 menjadi 7,20% (yoy) sehingga pada
September 2020 tercatat Rp762,1 triliun. Transaksi pembayaran menggunakan ATM,
Kartu Debet, Kartu Kredit, dan Uang Elektronik (UE) menunjukkan perbaikan
dengan lebih rendahnya kontraksi pertumbuhan dari 13,94% (yoy) pada Juli 2020
menjadi 6,86% (yoy) pada Agustus 2020. Di lain pihak, transaksi ekonomi dan
keuangan digital meningkat pesat sejalan dengan penggunaan platform dan instrumen
digital di masa pandemi, serta semakin kuatnya preferensi dan akseptasi masyarakat
akan transaksi digital. Pertumbuhan nilai transaksi UE pada Agustus 2020 tercatat
33,80% (yoy), meningkat tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan bulan
sebelumnya sebesar 24,42% (yoy). Volume transaksi digital banking juga mencatat
pertumbuhan tinggi sebesar 52,69% (yoy) pada Agustus 2020, meningkat dari
capaian bulan sebelumnya sebesar 38,81% (yoy). Ke depan, Bank Indonesia terus
mempercepat digitalisasi pembayaran dan perluasan ekosistem digital melalui
kolaborasi dengan Pemerintah, bank, fintech, dan e-commerce untuk pemulihan
ekonomi nasional, khususnya program bansos Pemerintah, penyaluran kredit dan
digitalisasi UMKM, sejalan dengan Gernas BBI. Sejumlah langkah terus dilakukan,
termasuk perluasan ekosistem QRIS, penggunaan big data, aplikasi API (Application
Programming Interface), serta penguatan pengawasan fraud dan siber pada
pembayaran digital.

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi implementasi BI 7 Day Reverse Repo Rate


Dalam menentukan suku bunga, bank tidak boleh sembarangan dan asal dalam
melakukan tindakannya sebab ada beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan nilai
suku bunga itu. Perubahannya bisa disebabkan karena kebutuhan dana yang memang
dikhusukan demi dana simpanan tersebut mulai dari seberapa besar dana kebutuhan yang
diinginkan. Jika bank ternyata mengalami kekurangan dana sementara permintaan
pinjaman semakin meningkat, maka satu-satunya cara yang harus dilakukan oleh pihak
bank dalam mengatasi permasalahan seperti ini adalah mereka harus meningkatkan suku
bunga pinjaman. Namun sebaliknya jika dana yang dimiliki bank sangat banyak dan
berlimpah sementara permohonan untuk mengajukan pinjaman sangat kecil, maka bunga
pinjaman itu akan diturunkan. Akan tetapi hal ini bisa terjadi kapan saja dan tiba-tiba
karena pinjaman sangat bergantung dengan kebutuhan masyarakat akan dana yang bisa
dialokasikan untuk berbagai macam kegiatan.

Faktor yang mempengaruhi tingkat suku bunga


Faktor yang mempengaruhi tingkat suku bunga adalah target dari profit yang
diinginkan namun hal ini hanya berlaku untuk bunga pinjaman saja dari nasabah yang
mengajukan pinjaman. Apabila laba yang diinginkan sangat besar sesuai dengan
perencanaan yang dilakukan sebelumnya, maka besaran bunga pinjaman pun juga harus
lebih besar begitu pun sebaliknya. Namun ketika berhadapan dengan para pesaing, maka
target laba itu seringkali diturunkan menjadi seminimal mungkin agar nasabah mau
melakukan pinjaman pada bank tertentu. Meskipun target laba kecil, namun jika banyak
orang yang mengajukan pinjaman pada bank itu, maka keuntungan bisa lebih
ditingkatkan kembali. Seringkali ciri masyarakat yang mengajukan pinjaman mencari
kredit dengan bunga rendah sehingga tak membebani mereka. Untuk itulah kadang kala
bank membuat bunga yang kecil dengan menurunkan target mereka. Kualitas jaminan
juga sangat berpengaruh pada besaran bunga. Apabila jaminan makin mudah dicairkan,
maka semakin rendah juga bunga kredit yang akan dibebankan bagi nasabah yang telah
mengajukan pinjaman.
Meskipun bank Indonesia memiliki hak untuk menentukan besaran suku bunga,
hanya saja mereka masih berada di bawah naungan pemerintah. Disini pemerintah
memiliki hak untuk menentukan besaran atau batasan bagi bank dalam menentukan suku
bunga. Bank sendiri tidak boleh menetapkan suku bunga melebihi dari apa yang telah
dibatasi oleh pemerintah. Dengan kata lain, bank hanya boleh mengubah suku bunga
sesuai dengan batasan minimal dan maksimal dari pemerintah. Tujuan dibentuknya
aturan ini adalah supaya seluruh bank dapat bersaing dengan sehat dan tidak ada bank
yang merasa dirugikan akibat seluruh nasabahnya lebih memilih bank lain. Persaingan
yang sehat itu juga mampu mensejahterakan masyarakat yang menjadi nasabah dalam
bank itu untuk meningkatkan simpanan maupun mengajukan pinjaman.
Ada pula jangka waktu yang menjadi faktor penting lain berubahnya suku bunga
masyarakat. Memang hal ini sangat berpengaruh sebab semakin lama atau panjang waktu
pinjamannya maupun simpanannya, maka bunga yang diberikan juga semakin tinggi.
Karena itulah teliti terlebih dahulu bahkan lakukan pengamatan sebelum memilih jenis
investasi dollar atau rupiah dengan melihat suku bunga yang diberikan oleh bank
Indonesia sebagai bank sentral.
Faktor faktor yang mempengaruhi modal asing
Ada banyak faktor yang cenderung dapat mempengaruhi pertimbangan para investor
untuk berinvestasi modalnya di Indonesia.
a. BI Rate
Pembangunan ekonomi merupakan usaha dalam memperbesar kapasitas dalam
produksi. Produksi akan meningkat apabila bersamaan dengan bertambahnya stock
capital nasional. Stock capital nasional akan bertambah jika dalam perekonomian
terjadi investasi netto. Investor akan menanamkan modalnya apabila tingkat
pngembalian modalnya lebih tinggi dari pada tingkat bunga dengan investasi. BI Rate
atau Tingkat suku bunga merupakan biaya yang harus dibayarkan oleh peminjam
modal atas peminjaman modal. Mempunyai hubungan yang negatif antara suku
bunga dan tingkat investasi. Yang berarti jika suku bunga tinggi, jumlah investasi
akan berkurang, dan apabila suku bunga yang rendah akan mendorong lebih banyak
investasi ( sukirno 2010).
b. Produk Domestik Bruto
Perekonomian yang sering terjadi fluktuasi biasanya ditentukan oleh faktor-faktor
pengeluaran investasi konsumsi, ekspor dan pengeluaran pemerintah. Investasi sendiri
merupakan permintaan barang dan jasa yang dilakukan oleh suatu perusahaan. Oleh
karena itu investasi erat sekali hubungannya dengan jumlah PDB yang dihasilkan.
Tingkat pendapatan nasional yang tinggi akan berpengaruh terhadap pendapatan
masyarakat, dari pendapatan masyarakat yang tinggi akan membesarkan permintaan
terhadap barang dan jasa. Maka keuntungan perusahaan akan bertambah tinggi dan
hal ini yang akan mendorong meningkatnya Penanaman Modal Asing (Sukirno,
2004).
c. Ekspor
Apabila nilai ekspor mengalami kenaikan terus menerus maka dapat meningkatkan
penanaman modal asing suatu negara. Ekspor yang tingi menandakan sebuah negara
sudah mampu memenuhi produksi dalam negerinya, sedangkan produksi sendiri
membutuhkan modal yang besar, apabila hutang dalam negeri belum mencukupi
dalam modal produksi maka PMA akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan
karena ekspor memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap PMA. Dapat
disimpulkan ekspor mempunyai hubungan yang komplementer terhadap PMA. Selain
itu juga kelebihan produksi dalam negeri diharapkan mampu diperdagangkan ke luar
negeri dan diharapkan mampu menghasilkan keuntungan bagi pendapatan Negara
(Abdun, 2012).

Faktor faktor yang mempengaruhi sektor riil


Kemampuan untuk mengkonsumsi barang dan jasa hasil produksi memberikan
gambaran keadaan perekonomian suatu masyarakat. Masyarakat dengan pendapatan yang
cukup akan mampu mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan akan
barang dan jasa. Bahkan, masih adanya alokasi pendapatan yang dapat digunakan sebagai
persiapan masa depan seperti menabung. Selain menabung, harapan perubahan kondisi
ekonomi di masa depan membuat seseorang menginvestasikan pendapatannya dalam
berbagai bentuk. John Maynard Keynes berpendapat bahwa pengeluaran agregat adalah
faktor utama dalam menentukan tingkat perekonomian yang ingin dicapai suatu negara.
Analisis Keynes berfokus pada aspek permintaan berbagai lapisan masyarakat dalam
menentukan prestasi ekonomi suatu negara. Dengan analisis tersebut, Keynes
berpendapat tingkat permintaan efektif, yaitu permintaan yang disertai kemampuan
membayar barang dan jasa, menentukan tingkat kegiatan ekonomi suatu negara.
Pertambahan permintaan efektif oleh masyarakat akan berakibat pada bertambahnya
faktor-faktor produksi berupa tanah, tenaga kerja, modal, dan kewirausahaan. Maka,
perusahaan akan menambahkan target produksinya guna memenuhi permintaan
masyarakat. Konsekuensinya, pengangguran tenaga kerja diharapkan akan berkurang.
Kegiatan ekonomi masyarakat makin berkembang sehingga mengurangi angka
kemiskinan dalam suatu negara.Berbeda dengan perekonomian tradisional, perekonomian
modern memiliki lebih banyak komponen pengeluaran agregat. Komponen pengeluaran
agregat tersebut dibedakan menjadi empat golongan. Pertama, pengeluaran konsumsi
rumah tangga. Kedua, investasi perusahaan. Ketiga, pengeluaran konsumsi dan investasi
pemerintah. Keempat, ekspor bersih (ekspor dikurangi impor). Diantara keempat
komponen pengeluaran agregat, konsumsi rumah tangga memiliki peran penting dalam
menggerakkan roda perekonomian. Peran penting itu tercipta dari besarnya pengeluaran
konsumsi rumah tangga dalam alokasi penggunaan Produk Domestik Bruto (PDB).
Dibandingkan dengan komponen pengeluaran agregat lainnya, konsumsi masyarakat
menempati urutan pertama dalam total pengeluaran agregat.Konsumsi rumah tangga
memegang peran penting. Hampir setiap negara memiliki pengeluaran konsumsi rumah
tangga sebesar 60-75 persen dari total penggunaan PDB. Hal tersebut juga berlaku di
Indonesia. Ditinjau dari sisi historis, konsumsi masyarakat selalu menempati urutan
pertama dalam total penggunaan PDB. Pada tahun 1970, saat Indonesia masih dalam
proses berbenah diri mengisi kemerdekaan, konsumsi rumah tangga menghabiskan
hampir 80 persen penggunaan PDB, yaitu sebesar 79,64 persen. Berselang satu dekade,
persentase konsumsi rumah tangga menurun menjadi 60,52 persen tahun 1980. Satu
dekade berikutnya yaitu tahun 1990, konsumsi masyarakat menjadi 53,77 persen.
Perubahan persentase konsumsi masyarakat memperlihatkan alokasi PDB semakin
diarahkan untuk penggunaan yang lebih produktif seperti pembentukan modal, investasi,
serta ekspor dan impor.
Konsumsi rumah tangga memiliki sifat yang berbeda dengan pengeluaran konsumsi
pemerintah. Pengeluaran konsumsi pemerintah memiliki sifat eksogenus. Sedangkan
konsumsi rumah tangga memiliki sifat endogenus. Artinya, besarnya konsumsi rumah
tangga yang terjadi di Indonesia berkaitan erat dengan faktor-faktor lain yang
mempengaruhinya. Pengeluaran konsumsi pemerintah juga ikut berperan dalam
permintaan terhadap barang dan jasa. Pengeluaran pemerintah terdiri dari dua jenis.
Selain pengeluaran pemerintah yang bersifat umum seperti pembelian,pembuatan
gedung, pembayaran gaji pegawai dan lainnya, pemerintah juga melakukan transfer
kepada rumah tangga. Pembayaran transfer ini terwujud dalam bentuk jaminan sosial.
Pembayaran transfer kepada rumah tangga turut mempengaruhi permintaan barang dan
jasa secara langsung. Namun, karena pembayaran transfer bersumber dari pajak yang
dipungut dari rumah tangga, kemampuan mengkonsumsi masyarakat relatif tidak
berubah.
Banyak faktor yang mempengaruhi konsumsi rumah tangga, antara lain: pendapatan
nasional, tingkat suku bunga, jumlah penduduk, inflasi kondisi perekonomian, dan faktor
non-ekonomi. Faktor terpenting yang mempengaruhi konsumsi rumah tangga adalah
tingkat pendapatan. Besarnya pendapatan yang didapat dalam suatu rumah tangga akan
mempengaruhi besaran alokasi untuk konsumsi. Bahkan, pada tahap hilangnya
pendapatan, konsumsi tetap akan terjadi (autonomus consumption). Balas jasa yang
diterima rumah tangga atas kontribusi faktor ekonomi yang diberikan berupa gaji, upah,
dan sewa, digunakan sebagai upaya untukpemenuhan kebutuhan rumah tangga. Setelah
dikurangi pajak pendapatan, terciptalah pendapatan disposabel yang digunakan untuk
membeli barang dan jasa yang diproduksi oleh negara.

2.4 Implementasi BI 7 Day Reverse Repo Rate yang Ideal


Dalam hubungannya dengan perekonomian masyarakat, penetapan nilai BI Rate juga
sangat mempengaruhi kondisi perekonomian sehari-hari. Misalnya ketika harga bahan-
bahan pokok melonjak tajam karena kesulitan panen atau kelangkaan bahan pokok
tertentu, maka BI Rate akan turun untuk memacu perputaran kredit di masyarakat.
Dengan membaiknya perekonomian dan bertambahnya peredaran uang, diharapkan harga
bahan pokok tersebut menjadi turun dan kemudian stabil kembali. Sedangkan dalam
mencegah inflasi, BI Rate juga sangat penting untuk mengontrol uang yang beredar di
masyarakat. Saat terjadi kenaikan inflasi, lembaga bank lebih suka menyimpan uangnya
pada Bank Indonesia sehingga perlahan-lahan uang yang beredar akan berkurang. Walau
demikian, bukan berarti setelah BI Rate turun, bank yang lain bisa langsung mendapatkan
kembali uang yang disimpan di Bank Indonesia untuk diputarkan ke masyarakat dalam
bentuk kredit. Bank-bank harus menunggu selama setahun untuk mengambil kembali
simpanan dana tersebut sehingga peredaran uang di masyarakat tidak akan meningkat
dalam hitungan hari atau bulan. Laju nilai inflasi juga tidak akan langsung menurun
setelah Bank Indonesia menumumkan penurunan BI Rate karena ada juga bank yang
tetap memilih menyimpan dana mereka sesuai dengan kebijakan dan strategi usaha
masing-masing. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan oleh Bank
Indonesia juga tidak serta merta terwujud dalam kurun waktu singkat.
Bank Indonesia melakukan penguatan kerangka operasi moneter dengan
mengimplementasikan suku bunga acuan atau suku bunga kebijakan baru yaitu BI 7-Day
(Reverse) Repo Rate, yang berlaku efektif sejak 19 Agustus 2016, menggantikan BI Rate.
Penguatan kerangka operasi moneter ini merupakan hal yang lazim dilakukan di berbagai
bank sentral dan merupakan best practice internasional dalam pelaksanaan operasi
moneter. Kerangka operasi moneter senantiasa disempurnakan untuk memperkuat
efektivitas kebijakan dalam mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan. Instrumen BI 7-day
(Reverse) Repo Rate digunakan sebagai suku bunga kebijakan baru karena dapat secara
cepat memengaruhi pasar uang, perbankan dan sektor riil. Instrumen BI 7-Day Repo Rate
sebagai acuan yang baru memiliki hubungan yang lebih kuat ke suku bunga pasar uang,
sifatnya transaksional atau diperdagangkan di pasar, dan mendorong pendalaman pasar
keuangan, khususnya penggunaan instrumen repo.
BI 7-day repo rate ini merupakan salah satu instrumen moneter yang aktif digunakan
Bank Indonesia dalam operasi pasar terbuka (OPT). Instrumen ini bersifat transaksional
antara BI dan perbankan dengan skema repo atau repurchase agreement menggunakan
surat berharga Negara (SBN) atau surat utang Negara (SUN).
Dalam transaksi ini, bank menjual SUN kepada BI dengan perjanjian akan dibeli
kembali pada 7 hari mendatang. Pada saat pengembalian, bank membayar bunga yang
ditetapkan oleh BI. Atau bisa juga sebaliknya, bank membeli SUN dari Bank Indonesia
dengan perjanjian akan dijual kembali pada 7 hari mendatang. Dalam transaksi reverse
ini, bank mendapatkan bunga.
Dengan menggunakan BI 7-Day Repo Rate berarti tenor suku bunga kebijakan
menjadi lebih pendek yakni hanya 7 hari. Dalam masa transisi penggunaan BI 7-Day
Repo Rate masih berjalan berdampingan dengan BI Rate, dimana BI 7-Day Repo Rate
sebesar 5,50 persen dan BI Rate sebesar 6,75 persen pada April 2016. Bank Indonesia
menilai suku bunga kebijakan baru yang bertenor pendek akan membuat transmisi
kebijakan moneter menjadi lebih efektif dan lebih cepat sehingga pada akhirnya dapat
mencapai target inflasi yang ditetapkan. Sejak awal penetapannya, BI 7-Day Repo Rate
terus menunjukkan penurunan suku bunga kebijakan. Hal ini sejalan dengan tujuan
pemerintah untuk mendorong perekonomian domestic melalui penyaluran kredit yang
optimal di masyarakat. Periode Oktober 2016 hingga Juni 2017, suku bunga kebijakan
baru ini tetap bertengger di angka 4,75 persen dengan memperhatikan berbagai faktor
baik internal maupun eksternal.
Berlakunya BI 7-Day Repo Rate ini diharapkan dapat secara cepat mempengaruhi
pasar uang, perbankan dan sektor rill. Instrumen BI 7-Day Repo Rate sebagai acuan yang
baru memiliki hubungan yang lebih kuat ke suku bunga pasar uang, sifatnya
transaksional atau diperdagangkan di pasar, dan mendorong pendalaman pasar keuangan.
Melalui pengeluaran instrumen atau kebijakan yang baru ini, Bank Indonesia ingin
memberikan kemudahan likuiditas bagi perbankan agar bekerja lebih efektif. Kinerja BI
7-Day Repo Rate memiliki tenor yang lebih pendek dibandingkan BI rate yaitu 7 hari
(satu minggu). Sejak awal penetapannya, BI 7-Day Repo Rate mendapat banyak respon
positif dari para ahli ekonomi. BI 7-Day Repo Rate diharapkan mampu menjaga suku
bunga jangka pendek dalam koridor tertentu dan dinilai akan mendorong penyaluran
kredit dan menggairahkan sektor rill.
Penerapan BI 7-Day Repo Rate juga sangat mendukung ambisi pemerintah untuk
menekan suku bunga menjadi single digit untuk memacu perekonomian domestik dan
memacu pengembangan UMKM. Namun, dibalik segala kelebihan yang dimiliki oleh BI
7-Day Repo Rate, suku bunga acuan ini juga memiliki kelemahan yang dapat menjadi
penyebab kemungkinan ketidakefektifan penerapannya. Pertama, BI 7- Day Repo Rate
tidak ditentukan menurut inflasi year to year melainkan inflasi month to month. Suku
bunga acuan ini hanya tepat digunakan saat inflasi sedang rendah. Padahal, tingkat inflasi
dari bulan ke bulan tidak akan selalu rendah dan lebih fluktuatif dibandingkan tingkat
inflasi year to year. Tingkat inflasi yang terlalu rendah juga akan menurunkan gairah
berproduksi produsen atau yang biasa disebut disincentive problem. Kedua, suku bunga
acuan ini hanya menembak interbank call money sehingga kurang efektif untuk
menurunkan suku bunga deposito apalagi kredit. Usaha pemerintah untuk menekan suku
bunga akan berpengaruh paling besar pada suku bunga deposito dan perlu waktu lama
untuk menurunkan suku bunga kredit karena sifatnya yang kurang elastis terhadap suku
bunga acuan. Padahal, target menurunkan suku bunga kredit adalah untuk mendorong
perekonomian terutama UMKM serta lebih banyak uang yang dapat digunakan dalam
pembangunan infrastruktur.
Secara spesifik Taylor (1995) menyatakan bahwa mekanisme transisi kebijakan
moneter adalah “the process through which monetary policy decision are transmitted into
changes in real GDP and inflation”. Pada skema 1 terlihat kotak hitam yang merupakan
area mekanisme transisi kebijakan moneter atau jalur-jalur yang dilalui oleh suatu
kebijakan moneter hingga terwujudnya tujuan/sasaran akhir kebijakan moneter tersebut.
Kebijakan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebagai suku bunga acuan diharapkan membuat
perubahan-perubahan positif terhadap perbankan dalam jangka panjang atau paling cepat
dalam beberapa bulan ke depan. Untuk jangka pendek, saham-saham perbankan
diperkirakan masih akan fluktuatif.

2.5 Analisis Perbandingan Implementasi BI 7 Day Reverse Repo Rate Saat Ini dengan
Yang Ideal
2.6
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Daftar Pustaka

 https://www.bi.go.id/id/moneter/bi-7day-RR/penjelasan/Contents/Default.aspx
 https://koinworks.com/blog/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-suku-bunga-bi/
 https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/7695/skripsi%20wisuda%20siap
%20burning1.pdf?sequence=2&isAllowed=y
 https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://repository.unj.ac.id/2069/1/BAB%2520I
%2520PENDAHULUAN.pdf&ved=2ahUKEwjNraDt-
ZDtAhXCdCsKHVofCb0QFjANegQIBRAB&usg=AOvVaw0kHlzqlONRb7K2IkyMaC
Cu
 https://www.cermati.com/artikel/mengenal-perbedaan-dari-bi-rate-dan-bi-7-day-reverse-
repo-rate
 https://www.researchgate.net/publication/336804069_Dampak_Kebijakan_BI_Rate_Rep
o_7_Days_terhadap_Kinerja_Bank_Pemerintah
 https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.bi.go.id/id/moneter/bi-7day-
RR&ved=2ahUKEwj_xcab55DtAhVWeX0KHbCqCTQQFjACegQIKRAC&usg=AOvV
aw24-5OCNl9ZOIyMS1CnH-gj
 https://www-simulasikredit-
com.cdn.ampproject.org/v/s/www.simulasikredit.com/amp/pengertian-dan-fungsi-bi-rate-
dan-bi-7-day-reverse-repo-rate/?
amp_js_v=a6&amp_gsa=1&usqp=mq331AQZKAFQCrABIPIBDzAxMjAxMDI3MjEx
MjAwMA%3D%3D#aoh=16056467733911&referrer=https%3A%2F
%2Fwww.google.com&amp_tf=Dari%20%251%24s&ampshare=https%3A%2F
%2Fwww.simulasikredit.com%2Fpengertian-dan-fungsi-bi-rate-dan-bi-7-day-reverse-
repo-rate%2F
 https://www.indopremier.com/ipotnews/newsDetail.php?
jdl=Bank_Indonesia_(BI)_memutuskan_untuk_menurunkan_suku_bunga_acuan_BI_7_
Day_Reverse_Repo_Rate_(BI7DRR)_alias_BI_rate&news_id=372480&group_news=R
ESEARCHNEWS&news_date=&taging_subtype=PG002&name=&search=y_general&q
=,&halaman=1
 https://www.researchgate.net/publication/331649255_PENGARUH_PERUBAHAN_BI_
RATE_MENJADI_BI_7_DAY_REVERSE_REPO_RATE_TERHADAP_JUMLAH_K
REDIT_UMKM

Anda mungkin juga menyukai