Anda di halaman 1dari 18

PENDAHULUAN

Kebijakan moneter merupakan kebijakan otoritas moneter atau bank sentral


dalam bentuk pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan
kegiatan perekonomian yang diinginkan yaitu stabilitas ekonomi makro yang antara
lain dicerminkan oleh stabilitas harga (laju inflasi) dan pertumbuhan ekonomi (Warjiyo
2003). Selain itu kebijakan moneter juga dapat diartikan sebagai proses mengatur
persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu; seperti menahan
inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan moneter merupakan
salah satu wahana utama bagi peran aktif pemerintah dibidang ekonomi. Kebijakan ini
dilakukan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya krisis global Negara Indonesia
dan agar kondisi perekonomian Indonesia pulih kembali apalagi di masa pandemic
seperti ini. Kebijakan moneter ditetapkan oleh otoritas moneter yang dalam hal ini
adalah bank sentral yaitu dengan cara mengubah besaran moneter dan suku bunga
serta pelaksanaannya dilakukan oleh otoritas moneter dan lembaga keuangan
(Sudirman 2011).
Dalam pelaksanaannya, kebijakan moneter suatu negara berbeda dengan
negara yang lain. Di Indonesia sendiri, satu-satunya lembaga keuangan milik
pemerintah yang bertanggung jawab dalam hal pengaturan dan pengawasan terhadap
lembaga-lembaga keuangan lainnya adalah bank sentral. Pengaturan dan
pengawasan ini dilakukan bank sentral sebagai jalan untuk menciptakan alam
perekonomian yang stabil melalui perlindungan kegiatan lembaga-lembaga keuangan
tersebut. Pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian adalah fungsi
utama bank sentral.
Di Indonesia, yang mendapat tanggung jawab sebagai bank sentral adalah
Bank Indonesia sebagaimana amanat Pasal 23 D Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Kedudukan Bank Indonesia sebagai bank sentral, mempunyai tujuan untuk mencapai
dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Demi mewujudkan tujuannya tersebut, Bank
Indonesia memiliki tugas sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 8 Undang-
Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1999, yaitu sebagai berikut: a. Menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter; b. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran; c. Mengatur dan mengawasi bank (Muchda et al. 2014, 76). Bank
Indonesia adalah lembaga keuangan milik pemerintah yang independen dan bertugas
untuk menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan baik perbankan maupun
sistem pembayaran. Kedudukan yang independen bagi Bank Indonesia diperlukan
agar tugas dan wewenangnya dapat dilaksanakan dengan lebih terfokus dan tidak
memihak kepada suatu kepentingan atau tujuan jangka pendek yang dapat
membahayakan kestabilan ekonomi dan moneter serta negara secara keseluruhan.
Bank Indonesia memiliki tujuan tunggal atau single objectives yaitu memelihara
stabilitas nilai tukar rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia harus
melaksanakan stabilitas moneter melalui pencapaian target inflasi dengan suku bunga
sebagai intermadiate instrument (Gorahee 2016, 146).
Tujuan kebijakan moneter Bank Indonesia adalah untuk mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No.
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang sebagaimana diubah melalui UU No. 3
Tahun 2004 dan UU No. 6 Tahun 2009 pada pasal 7. Melalui Bank Indonesia yang
memiliki kebijakan dalam mengontrol suku bunga, diharapkan dapat menciptakan
stabilisasi nilai rupiah. Hal ini karena, perubahan tingkat suku bunga akan memberikan
pengaruh terhadap aliran dana suatu negara sehingga akan memengaruhi pula
permintaan maupun penawaran nilai tukar mata uang. Kestabilan rupiah yang
dimaksud mempunyai dua dimensi. Dimensi pertama kestabilan nilai rupiah adalah
kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin dari perkembangan
laju inflasi. Sementara itu, dimensi kedua terkait dengan perkembangan nilai tukar
rupiah terhadap mata uang negara lain (BI 2020a).
Dalam upaya peningkatan efektivitas transmisi kebijakan moneter di Indonesia,
terhitung pada tanggal 19 Agustus 2016, BI 7-days Repo Rate (BI 7DRR) digunakan
sebagai suku bunga kebijakan menggantikan BI Rate (Astuti and Hastuti 2000, 1).
Puspopranoto (2004) mengatakan BI Rate adalah “Suku bunga dengan tenor 1 bulan
yang diumumkan oleh Bank Indonesia secara periodik untuk jangka waktu tertentu
yang berfungsi sebagai sinyal atau stance kebijakan moneter”. Akan tetapi, kerangka
operasi moneter senantiasa disempurnakan untuk memperkuat efektivitas kebijakan
dalam mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan. Instrumen BI 7-Day (Reverse) Repo
Rate digunakan sebagai suku bunga kebijakan baru karena dapat secara cepat
memengaruhi pasar uang, perbankan dan sektor riil. Instrumen BI 7-Day Repo Rate
sebagai acuan yang baru memiliki hubungan yang lebih kuat ke suku bunga pasar
uang, sifatnya transaksional atau diperdagangkan di pasar, dan mendorong
pendalaman pasar keuangan, khususnya penggunaan instrumen repo (BI 2020b).
Pada jalur suku bunga, perubahan BI 7DRR mempengaruhi suku bunga deposito dan
suku bunga kredit perbankan. Apabila perekonomian sedang mengalami kelesuan,
Bank Indonesia dapat menggunakan kebijakan moneter yang ekspansif melalui
penurunan suku bunga untuk mendorong aktifitas ekonomi. Penurunan suku bunga BI
7DRR menurunkan suku bunga kredit sehingga permintaan akan kredit dari
perusahaan dan rumah tangga akan meningkat. Penurunan suku bunga kredit juga
akan menurunkan biaya modal perusahaan untuk melakukan investasi. Ini semua
akan meningkatkan aktifitas konsumsi dan investasi sehingga aktifitas perekonomian
semakin bergairah. Sebaliknya, apabila tekanan inflasi mengalami kenaikan, Bank
Indonesia merespon dengan menaikkan suku bunga BI 7DRR untuk mengerem
aktifitas perekonomian yang terlalu cepat sehingga mengurangi tekanan inflasi (BI
2020c).
Menurut Mishkin (2008), stabilitas suku bunga sangat diharapkan karena
stabilitas suku bunga, mendorong pula terjadinya stabilitas pasar keuangan sehingga
kemampuan pasar keuangan untuk menyalurkan dana dari orang yang memiliki
peluang investasi produktif dapat berjalan lancar dan kegiatan perekonomian juga
tetap stabil. Oleh karena itu, Bank Indonesia selaku bank sentral bertugas untuk
menjaga stabilitas suku bunga untuk menciptakan pasar keuangan yang lebih stabil
(Septiana and Istiqamah 2018, 21).

Tujuan
Tujuan dari paper ini adalah untuk mengetahui dampak kebijakan penaikan suku
bunga Bank Indonesia terhadap masyarakat.
KAJIAN TEORI
Teori BI Rate
Sebagaimana yang disebutkan dalam Inflation Targeting Framework bahwa BI
Rate merupakan suku bunga acuan Bank Indonesia dan merupakan sinyal (stance)
dari kebijakan moneter Bank Indonesia. Menurut Bank Indonesia BI Rate dapat
didefinisikan sebagai suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance
kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan diumumkan kepada
publik. Dari pengertian tersebut terlihat jelas bahwa BI Rate berfungsi sebagai sinyal
dari kebijakan moneter Bank Indonesia, dengan demikian dapat diambil kesimpulan
bahwa respon kebijakan moneter dinyatakan dalam kenaikan, penurunan, atau tidak
berubahnya BI Rate tersebut.
Sedangkan dalam buku yang berjudul Manajemen Lembaga Keuangan
Kebijakan moneter dan Perbankan menyebutkan bahwa “BI Rate adalah suku bunga
dengan tenor satu bulan yang diumumkan oleh Bank Indonesia secara periodik untuk
jangka waktu tertentu yang berfungsi sebagai sinyal (stance) kebijakan moneter”
(Siamat, 2005, hal. 140) . Dari pengertian yang dikeluarkan oleh Dahlan Siamat
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Bi Rate digunakan sebagai acuan dalam
operasi moneter untuk mengarahkan agar rata-rata tertimbang suku bunga SBI-1
bulan hasil lelang OPT (Operasi Pasar Terbuka) berada disekitar BI Rate. Selanjutnya
suku bunga SBI-1 bulan tersebut diharapkan akan mempengaruhi suku bunga pasar
uang antar Bank (PUAB), suku bunga deposito dan kredit serta suku bunga jangka
waktu yang lebih panjang (www.bi.go.id).

Mekanisme Penetapan BI Rate


Ada beberapa mekanisme penetapan BI Rate. BI Rate ditetapkan oleh Dewan
Gubernur Bank Indonesia dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) triwulanan setiap
bulan Januari, April, Juli dan Oktober. Dalam kondisi tertentu, jika dipandang perlu, Bi
Rate dapat disesuaikan dalam RDG pada bulan-bulan yang lain.
Pada dasarnya perubahan BI Rate menunjukkan penilaian Bank Indonesia
terhadap prakiraan Inflasi ke depan dibandingkan dengan sasaran Inflasi yang
ditetapkan. Pelaku pasar dan masyarakat akan mengamati penilaian Bank Indonesia
tersebut melalui penguatan dan transparansi yang akan dilakukan, antara lain dalam
Laporan Kebijakan Moneter yang disampaikan secara triwulanan dan press release
bulanan.
“Operasi Moneter dengan BI Rate dilakukan melalui lelang mingguan dengan
mekanisme variabel rate tender dan multiple price allotments” (Dahlan Siamat, 2005).
Dengan demikian sinyal respon kebijakan moneter melalui BI Rate yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia akan diperkuat melalui berbagai transaksi keuangan di pasar
keuangan.
Proses Penetapan respon kebijakan moneter dalam hal ini BI Rate:
1. Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dalam RDG triwulanan.

2. Respon kebijakan moneter diharapkan untuk periode satu triwulan kedepan

3. Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dengan memperhatikan efek


tunda (Lag) kebijakan moneter dalam mempengaruhi inflasi.

4. Dalam kondisi yang luar biasa, penetapan respon kebijakan moneter dapat
dilakukan dalam RDG bulanan (Bank Indonesia dalam Inflation Targeting
Framework).

Selain itu yang menjadi pertimbangan dalam penetapan respon kebijakan tersebut
adalah:
1. BI Rate merupakan respon bank sentral terhadap tekanan inflasi ke depan agar
dapat tetap berada pada sasaran yang telah ditetapkan. Perubahan BI Rate
dilakukan terutama jika deviasi proyeksi inflasi terhadap targetnya dipandang
telah bersifat permanen dan konsisten dengan informasi dan indikator lainnya.

2. BI Rate ditetapkan oleh Dewan Gubernur secrara diskresi dengan


mempertimbangkan: (a) Rekomendasi BI Rate yang dihasilkan oleh fungsi reaksi
kebijakan dalam model ekonomi untuk pencapaian sasaran inflasi, (b) Berbagai
informasi lainnya seperti leading indocators, expert opinion, asesmen faktor resiko
dan ketidakpastian serta hasil-hasil riset ekonomi dan kebijakan moneter (Bank
Indonesia dalam Inflation Targeting Framework). (sumber : www.bi.go.id)

Teori Suku Bunga Bank


Bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank
berdasarkan prinsip konvensional oleh nasabah yang membeli atau menjual
produknya (Kasmir, 2008, hal. 131). Bunga juga dapat diartikan sebagai harga yang
harus dibayar kepada nasabah (atau yang memiliki simpanan) atau harga yang harus
dibayar nasabah kepada bank (nasabah yang memperoleh pinjaman). Dalam kegiatan
sehari-hari ada 2 macam bunga yang diberikan kepada nasabahnya yaitu (Kasmir,
2008, hal. 131)
1) Bunga simpanan dana pihak ketiga yaitu bunga yang diberikan sebagai rangsangan
atau balas jasa bagi nasabah yang menyimpan uangnya di bank. Bunga simpanan
adalah harga yang harus dibayar bank kepada nasabahnya. Contohnya bunga diro,
tabungan dan deposito.
2) Bunga pinjaman (kredit) adalah bunga yang diberikan kepada para peminjam atau
harga yang harus dibayar oleh nasabah peminjam kepada bank. Suku bunga kredit
dikenakan kepada masyarakat yang ingin meminjam dana pada bank. Suku bunga
kredit ini sangat bergantung dari jenis kredit yang diinginkan. Semakin tinggi bank
mengenakan suku bunga kredit kepada masyarakat maka akan semakin rendah minat
masyarakat untuk meminjam kredit, dan sebaliknya jika bank mampu memberikan
suku bunga pinjaman yang rendah maka minat masyarakat akan pinjaman meningkat
karena mereka dihadapkan pada sejumlah pembayaran kredit dan penambahan
bunga.

Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter merupakan kebijakan otoritas moneter atau bank sentral
dalam bentuk pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan
kegiatan perekonomian yang diinginkan yaitu stabilitas ekonomi makro yang antara
lain dicerminkan oleh stabilitas harga (laju inflasi) dan pertumbuhan ekonomi (Warjiyo
2003). Selain itu kebijakan moneter juga dapat diartikan sebagai proses mengatur
persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu, seperti menahan
inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera.
Kebijakan moneter ditetapkan oleh otoritas moneter yang dalam hal ini adalah
bank sentral yaitu dengan cara mengubah besaran moneter dan suku bunga serta
pelaksanaannya dilakukan oleh otoritas moneter dan lembaga keuangan (Sudirman
2011). Di Indonesia, satu-satunya lembaga keuangan milik pemerintah yang
bertanggung jawab dalam hal pengaturan dan pengawasan terhadap lembaga-
lembaga keuangan lainnya adalah bank sentral. Pengaturan dan pengawasan ini
dilakukan bank sentral sebagai jalan untuk menciptakan alam perekonomian yang
stabil melalui perlindungan kegiatan lembaga-lembaga keuangan tersebut.
Di Indonesia, yang mendapat tanggung jawab sebagai bank sentral adalah
Bank Indonesia sebagaimana amanat Pasal 23D Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Kedudukan Bank Indonesia sebagai bank sentral, mempunyai tujuan untuk mencapai
dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Demi mewujudkan tujuannya tersebut, Bank
Indonesia memiliki tugas sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 8 Undang-
Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1999, yaitu sebagai berikut: a. Menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter; b. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran; c. Mengatur dan mengawasi bank (Muchda et al. 2014, 76).
Tujuan kebijakan moneter Bank Indonesia adalah untuk mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No.
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang sebagaimana diubah melalui UU No. 3
Tahun 2004 dan UU No. 6 Tahun 2009 pada pasal 7. Melalui Bank Indonesia yang
memiliki kebijakan dalam mengontrol suku bunga, diharapkan dapat menciptakan
stabilisasi nilai rupiah. Hal ini karena, perubahan tingkat suku bunga akan memberikan
pengaruh terhadap aliran dana suatu negara sehingga akan memengaruhi pula
permintaan maupun penawaran nilai tukar mata uang. Kestabilan rupiah yang
dimaksud mempunyai dua dimensi. Dimensi pertama kestabilan nilai rupiah adalah
kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin dari perkembangan
laju inflasi. Sementara itu, dimensi kedua terkait dengan perkembangan nilai tukar
rupiah terhadap mata uang negara lain (BI 2020a).
PEMBAHASAN
KEPUTUSAN BI MENAIKKAN SUKU BUNGA
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 21-22 Desember 2022
memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25
bps menjadi 5,50%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 4,75%, dan
suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 6,25%. Keputusan kenaikan suku
bunga yang lebih terukur tersebut sebagai langkah lanjutan untuk secara front loaded,
pre-emptive, dan forward looking memastikan terus berlanjutnya penurunan
ekspektasi inflasi dan inflasi sehingga inflasi inti tetap terjaga dalam kisaran 3,0±1%.
Kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah terus diperkuat untuk mengendalikan inflasi
barang impor (imported inflation) di samping untuk memitigasi dampak rambatan dari
masih kuatnya dolar AS dan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.
Menegaskan arah bauran kebijakan Bank Indonesia tahun 2023 sebagaimana
disampaikan dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2022 tanggal 30
November 2022, kebijakan moneter tahun 2023 akan tetap difokuskan untuk menjaga
stabilitas (“pro-stability") sementara kebijakan makroprudensial, digitalisasi sistem
pembayaran, pendalaman pasar uang, serta program ekonomi dan keuangan inklusif
dan hijau terus diarahkan untuk mendorong pertumbuhan (“pro-growth").
Sehubungan dengan itu, Bank Indonesia terus memperkuat respons bauran
kebijakan untuk menjaga stabilitas dan momentum pemulihan ekonomi sebagai
berikut:
1. Memperkuat operasi moneter melalui kenaikan struktur suku bunga di pasar uang
sesuai dengan kenaikan suku bunga BI7DRR tersebut di atas;
2. Memperkuat stabilisasi nilai tukar Rupiah sebagai bagian dari upaya pengendalian
inflasi, terutama imported inflation, melalui intervensi di pasar valas dengan
transaksi spot, Domestic Non Deliverable Forward (DNDF), serta
pembelian/penjualan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder;
3. Melanjutkan penjualan/pembelian SBN di pasar sekunder untuk memperkuat
transmisi kenaikan BI7DRR dalam meningkatkan daya tarik imbal hasil SBN bagi
masuknya investor portofolio asing guna memperkuat stabilisasi nilai tukar
Rupiah;
4. Menerbitkan instrumen operasi moneter (OM) valas yang baru untuk mendorong
penempatan Devisa Hasil Ekspor (DHE), khususnya dari ekspor Sumber Daya
Alam (SDA), di dalam negeri oleh bank dan eksportir untuk memperkuat
stabilisasi, termasuk stabilitas nilai tukar Rupiah dan pemulihan ekonomi nasional.
Instrumen OM Valas tersebut dilakukan dengan imbal hasil yang kompetitif
berdasarkan mekanisme pasar yang transparan disertai dengan pemberian
insentif kepada bank;
5. Memperkuat kebijakan makroprudensial yang akomodatif, inklusif, dan
berkelanjutan untuk mendorong pertumbuhan kredit/pembiayaan perbankan,
khususnya kepada sektor-sektor prioritas yang belum pulih, Kredit Usaha Rakyat
(KUR), dan kredit/pembiayaan hijau, dalam rangka mendukung pemulihan
perekonomian melalui penyempurnaan ketentuan insentif GWM, berlaku sejak 1
April 2023, mencakup: (Lampiran 1)
a. Reklasifikasi 46 subsektor prioritas 3 (tiga) kelompok sektor usaha yaitu
kelompok yang berdaya tahan (Resilience), kelompok penggerak
pertumbuhan (Growth Driver), dan kelompok penopang pemulihan (Slow
Starter), sesuai kondisi terkini dengan mempertahankan threshold
pertumbuhan kredit/pembiayaan yang mendapatkan insentif untuk Slow
Starter tetap minimal 1%, serta meningkatkan threshold untuk kelompok
Resilience dan Growth Driver dari semula minimal 1% menjadi masing-
masing minimal 5% dan 3%.
b. Peningkatan dua kali lipat besaran insentif GWM kepada bank penyalur KUR
dan kredit UMKM menjadi paling besar 1% disertai dengan penambahan
kelompok bank berdasarkan pencapaian Rasio Pembiayaan Inklusif
Makroprudensial (RPIM), yaitu di atas 30% - 50%, dan di atas 50%.
c. Pemberian insentif terhadap penyaluran kredit/pembiayaan hijau yaitu
kredit/pembiayaan properti dan/atau kendaraan bermotor berwawasan
lingkungan paling besar 0,3%.
d. Peningkatan besaran total insentif GWM yang dapat diterima bank dari
sebelumnya paling besar 200bps menjadi paling besar 280bps.
6. Melanjutkan kebijakan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK) dengan
fokus pada respons suku bunga perbankan terhadap suku bunga kebijakan
(Lampiran 2);
7. Memperkuat kebijakan sistem pembayaran untuk meningkatkan efisiensi dalam
rangka menjaga momentum pemulihan ekonomi dengan:
a. Melanjutkan kebijakan kartu kredit dengan:
Mempertahankan batas maksimum suku bunga kartu kredit 1,75% per
bulan.
Memperpanjang masa berlaku kebijakan batas minimum pembayaran
oleh pemegang kartu kredit 5% dari total tagihan dari semula 31
Desember 2022 menjadi 30 Juni 2023.
Memperpanjang masa berlaku kebijakan nilai denda keterlambatan
pembayaran kartu kredit sebesar 1% atau maksimal Rp100.000,00 dari
semula 31 Desember 2022 menjadi 30 Juni 2023.
b. Memperpanjang masa berlaku Merchant Discount Rate (MDR) QRIS untuk
merchant kategori Usaha Mikro (UMI) sebesar 0% dari semula 31 Desember
2022 menjadi 30 Juni 2023.
c. Melanjutkan masa berlaku kebijakan tarif SKNBI sebesar Rp1 dari Bank
Indonesia ke bank dan maksimum Rp2.900 dari bank kepada nasabah dari
semula 31 Desember 2022 menjadi 30 Juni 2023.
8. Menempuh langkah strategis untuk memastikan kelancaran sistem pembayaran
nasional mengantisipasi Natal dan Tahun Baru dengan:
a. Memastikan ketersediaan uang Rupiah dengan kualitas yang terjaga di seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
b. Menjaga keberlangsungan operasional sistem pembayaran yang
diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan industri sistem pembayaran.
9. Memperkuat kerja sama internasional dengan bank sentral dan otoritas negara
mitra lainnya, serta fasilitasi penyelenggaraan promosi investasi dan perdagangan
di sektor prioritas bekerja sama dengan instansi terkait. Selain itu, Bank Indonesia
berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait untuk menyukseskan
Keketuaan ASEAN 2023 khususnya melalui jalur keuangan.

Koordinasi kebijakan dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan mitra


strategis juga terus diperkuat. Dalam kaitan ini, koordinasi dalam Tim Pengendalian
Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID) terus dilanjutkan melalui penguatan
program Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah.
Sinergi kebijakan antara Bank Indonesia dengan kebijakan sektor Pemerintah dan
dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) terus diperkuat dalam rangka
menjaga stabilitas makroekonomi dan sektor keuangan, mendorong
kredit/pembiayaan kepada dunia usaha pada sektor-sektor prioritas untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi dan ekspor, serta meningkatkan ekonomi dan keuangan
inklusif dan hijau.

Kondisi Perekonomian Global


Perekonomian global menurun disertai dengan ketidakpastian yang masih
tinggi. Pertumbuhan ekonomi global 2023 masih melambat sebagaimana prakiraan,
dengan risiko resesi yang tinggi di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat (AS)
dan Eropa. Perlambatan ekonomi global tersebut dipengaruhi oleh fragmentasi
ekonomi, perdagangan dan investasi akibat ketegangan politik yang berlanjut serta
dampak pengetatan kebijakan moneter yang agresif di negara maju. Bank Indonesia
memprakirakan ekonomi dunia tumbuh sebesar 3,0% pada 2022 dan menurun
menjadi 2,6% pada 2023. Sementara itu, tekanan inflasi masih tinggi, meskipun mulai
melandai, dipengaruhi berlanjutnya gangguan rantai pasokan dan ketatnya pasar
tenaga kerja terutama di AS dan Eropa. Inflasi yang masih tinggi mendorong kebijakan
moneter global tetap ketat. The Fed diprakirakan akan menaikkan Fed Funds Rate
hingga awal 2023 dengan siklus pengetatan kebijakan moneter yang panjang,
meskipun dengan besaran yang lebih rendah. Perkembangan ini mendorong tetap
kuatnya mata uang dolar AS dan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan
global yang kemudian berdampak pada belum kuatnya aliran modal masuk ke negara
berkembang, termasuk Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi domestik Indonesia tetap baik. Permintaan domestik
tetap berdaya tahan dipengaruhi oleh daya beli masyarakat dan keyakinan pelaku
ekonomi yang tetap terjaga. Perkembangan ini tercermin pada berbagai indikator
bulan November 2022 dan hasil survei Bank Indonesia terakhir, seperti keyakinan
konsumen, penjualan eceran, dan Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur.
Sementara itu, kinerja ekspor diprakirakan tetap kuat, khususnya didorong ekspor batu
bara, CPO, besi dan baja, serta ekspor jasa, seiring permintaan beberapa mitra
dagang utama yang masih kuat serta dampak positif kebijakan yang ditempuh
Pemerintah. Secara spasial, kinerja positif ekspor ditopang terutama didorong
Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi-Maluku-Papua (Sulampua), yang tetap tumbuh
kuat. Pertumbuhan ekonomi yang tetap baik sejalan dengan perkembangan dari sisi
lapangan usaha dimana sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Industri Pengolahan,
serta Transportasi dan Pergudangan tumbuh cukup kuat. Dengan perkembangan
tersebut, pertumbuhan ekonomi 2022 diprakirakan tetap bias ke atas dalam kisaran
proyeksi Bank Indonesia pada 4,5-5,3%. Pada tahun 2023, pertumbuhan ekonomi
diprakirakan tetap kuat meskipun sedikit melambat sejalan dengan perlambatan
ekonomi global ke titik tengah kisaran 4,5-5,3%.
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) tetap kuat sehingga mendukung
ketahanan eksternal. Transaksi berjalan triwulan IV 2022 diprakirakan kembali
mencatatkan surplus sejalan dengan kinerja neraca perdagangan yang tetap baik.
Neraca perdagangan November 2022 mencatat surplus sebesar 5,2 miliar dolar AS,
didukung oleh kinerja ekspor komoditas utama. Aliran masuk modal asing di investasi
portofolio secara perlahan mulai terjadi pada November-Desember 2022, meskipun
secara triwulanan hingga 20 Desember 2022 masih tercatat net outflows sebesar 0,4
miliar dolar AS. Posisi cadangan devisa Indonesia akhir November 2022 meningkat
dibandingkan dengan posisi bulan sebelumnya, dan tercatat sebesar 134,0 miliar dolar
AS, setara dengan pembiayaan 5,9 bulan impor atau 5,8 bulan impor dan pembayaran
utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional
sekitar 3 bulan impor. Secara keseluruhan 2022, kinerja NPI diprakirakan tetap terjaga
didukung surplus transaksi berjalan berada dalam kisaran 0,4 - 1,2% dari PDB sejalan
permintaan eksternal dan harga komoditas global yang masih tinggi, dan kinerja
neraca transaksi modal dan finansial yang tetap baik terutama dalam bentuk PMA. Di
tengah risiko ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi, kinerja NPI
pada 2023 juga diprakirakan tetap baik ditopang oleh surplus neraca transaksi modal
dan finansial serta transaksi berjalan yang solid dalam kisaran surplus 0,4% sampai
dengan defisit 0,4% dari PDB.
Dengan langkah-langkah stabilisasi Bank Indonesia, stabilitas nilai tukar
Rupiah terjaga di tengah masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.
Tekanan nilai tukar Rupiah pada November-Desember 2022 berkurang dipengaruhi
aliran masuk modal asing yang terjadi di pasar SBN serta langkah-langkah stabilisasi
yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Perkembangan nilai tukar Rupiah tersebut cukup
positif di tengah dolar AS yang masih kuat dan ketidakpastian pasar keuangan global
yang masih tinggi. Indeks nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama (DXY)
tercatat masih tinggi di level 104,16 pada 21 Desember 2022. Dengan perkembangan
tersebut, nilai tukar Rupiah sampai dengan 21 Desember 2022, terdepresiasi 8,56%
(ytd) dibandingkan dengan level akhir 2021. Depresiasi nilai tukar Rupiah tersebut
relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara lain di
kawasan, seperti Tiongkok 8,96% (ytd) dan India 10,24% (ytd). Ke depan, Bank
Indonesia terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah agar sejalan nilai
fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian inflasi dan stabilitas
makroekonomi.
Ekspektasi inflasi dan inflasi secara bulanan terus menurun dan lebih rendah
dari prakiraan awal, meskipun masih tinggi. Inflasi IHK November 2022 tercatat lebih
rendah dari prakiraan dan inflasi bulan sebelumnya, meski masih tinggi sebesar 5,42%
(yoy) dan di atas sasaran 3,0±1%. Inflasi kelompok volatile food juga turun menjadi
5,70% (yoy) baik secara nasional maupun di sebagian besar wilayah Indonesia,
didukung sinergi dan koordinasi kebijakan yang erat antara Pemerintah (Pusat dan
Daerah), Bank Indonesia, dan para mitra strategis melalui TPIP-TPID dan GNPIP.
Inflasi administered prices juga tercatat turun menjadi sebesar 13,01% (yoy) sejalan
dengan menurunnya tarif angkutan udara dan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)
nonsubsidi. Sementara itu, inflasi inti kembali menurun menjadi 3,30% (yoy),
dipengaruhi oleh dampak lanjutan penyesuaian harga BBM terhadap inflasi inti yang
terbatas dan tekanan inflasi dari sisi permintaan yang belum kuat. Ke depan, Bank
Indonesia akan terus memperkuat respons kebijakan guna memastikan terus
berlanjutnya penurunan ekspektasi inflasi dan inflasi sehingga inflasi inti tetap terjaga
dalam kisaran 3,0±1%.
Likuiditas perbankan dan perekonomian masih memadai untuk mendorong
peningkatan kredit/pembiayan dan pemulihan ekonomi lebih lanjut. Pada November
2022, rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) tetap tinggi, mencapai
30,42%, sehingga mendukung ketersediaan dana bagi perbankan untuk penyaluran
kredit/pembiayaan bagi dunia usaha. Hal ini sejalan dengan stance kebijakan likuiditas
yang akomodatif oleh Bank Indonesia. Likuiditas perekonomian juga tetap sejalan
dengan kegiatan ekonomi, tercermin pada uang beredar dalam arti sempit (M1) dan
luas (M2) yang tumbuh masing-masing sebesar 11,7% (yoy) dan 9,5% (yoy).
Sementara itu, sejalan pelaksanaan Kesepakatan Bersama (KB) Bank Indonesia dan
Kementerian Keuangan, Bank Indonesia melanjutkan pembelian SBN di pasar
perdana dalam rangka program pemulihan ekonomi nasional serta pembiayaan
penanganan kesehatan dan kemanusiaan guna penanganan dampak pandemi Covid-
19. Secara keseluruhan tahun 2022, hingga 21 Desember 2022, Bank Indonesia telah
melakukan pembelian SBN sebesar Rp144,53 triliun yang terdiri dari pelaksaan KB I
sebesar Rp49,11 triliun dan KB III sebesar Rp95,42 triliun. Sesuai KB III, Bank
Indonesia juga masih akan melakukan pembelian SBN di pasar perdana sebesar
Rp128,58 triliun untuk pendanaan anggaran kesehatan dan kemanusiaan dalam
APBN 2022.
Suku bunga perbankan juga masih kondusif mendukung pemulihan ekonomi.
Di pasar uang, suku bunga IndONIA pada 21 Desember 2022 naik 200 bps
dibandingkan akhir Juli 2022 menjadi sebesar 4,80%, sejalan dengan kenaikan
BI7DRR dan penguatan strategi operasi moneter Bank Indonesia. Imbal hasil SBN
tenor jangka pendek meningkat 59 bps, sementara imbal hasil SBN tenor jangka
panjang tetap terkendali. Sementara itu, kenaikan suku bunga perbankan, baik suku
bunga dana maupun suku bunga kredit, lebih terbatas. Suku bunga deposito 1 bulan
pada November 2022 tercatat 3,72% atau meningkat 83 bps dibandingkan dengan
level Juli 2022, sementara suku bunga kredit November 2022 tercatat 9,11% atau
meningkat 17 bps dibandingkan dengan level Juli 2022. Kenaikan suku bunga
perbankan yang terbatas tersebut dipengaruhi likuiditas yang masih longgar. Ke
depan, Bank Indonesia akan terus mendorong perbankan untuk membentuk suku
bunga kredit yang efisien, akomodatif, dan kompetitif yang dapat mendukung
pemulihan ekonomi.
Intermediasi perbankan terus membaik didorong peningkatan dari sisi
permintaan dan penawaran. Pertumbuhan kredit pada November 2022 tercatat
sebesar 11,16% (yoy), ditopang oleh pertumbuhan positif di seluruh jenis kredit dan
mayoritas sektor ekonomi. Pemulihan intermediasi juga terjadi pada perbankan
syariah, dengan pertumbuhan pembiayaan sebesar 23,5% (yoy). Di segmen UMKM,
pertumbuhan kredit UMKM pada November 2022 tercatat cukup tinggi sebesar
18,13% (yoy). Di sisi penawaran, perbaikan intermediasi perbankan didukung likuiditas
perbankan yang memadai dan standar penyaluran kredit/pembayaan yang tetap
longgar. Sementara dari sisi permintaan, kenaikan kredit/pembiayaan ditopang oleh
permintaan korporasi dan konsumsi rumah tangga yang tetap baik. Secara
keseluruhan, perkembangan intermediasi perbankan yang positif ini turut mendukung
pemulihan ekonomi.
Ketahanan sistem keuangan, khususnya perbankan, tetap terjaga baik dari sisi
permodalan maupun likuiditas. Permodalan perbankan tetap kuat dengan rasio
kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio /CAR) Oktober 2022 tetap tinggi sebesar
25,08%. Seiring dengan kuatnya permodalan, risiko tetap terkendali yang tercermin
dari rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan /NPL) pada Oktober 2022 yang
tercatat 2,72% (bruto) dan 0,78% (neto). Likuiditas perbankan pada November 2022
tetap terjaga didukung oleh pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar 8,80%
(yoy). Hasil simulasi Bank Indonesia menunjukkan bahwa ketahanan perbankan masih
terjaga. Ke depan, Bank Indonesia akan terus memperkuat sinergi dengan KSSK
dalam memitigasi berbagai risiko makroekonomi domestik dan global yang dapat
mengganggu ketahanan sistem keuangan.
Bank Indonesia terus mendorong peningkatan efisiensi sistem pembayaran
melalui penguatan kebijakan dan akselerasi digitalisasi untuk menjaga momentum
pemulihan ekonomi. Transaksi ekonomi dan keuangan digital meningkat ditopang oleh
naiknya akseptasi dan preferensi masyarakat dalam berbelanja daring, luasnya dan
mudahnya sistem pembayaran digital, serta cepatnya digital banking. Nilai transaksi
uang elektronik (UE) pada November 2022 tumbuh 12,84% (yoy) mencapai Rp35,3
triliun sedangkan nilai transaksi digital banking meningkat 13,88% (yoy) menjadi
Rp4.561,2 triliun sejalan dengan normalisasi mobilitas masyarakat. Selain itu, nilai
transaksi pembayaran menggunakan kartu ATM, kartu debet, dan kartu kredit juga
meningkat 16,85% (yoy) menjadi Rp664,9 triliun. Sementara itu, jumlah Uang Kartal
Yang Diedarkan (UYD) pada November 2022 meningkat 7,77% (yoy) mencapai
Rp935,2 triliun. Bank Indonesia terus memastikan ketersediaan uang Rupiah dengan
kualitas yang terjaga di seluruh wilayah NKRI serta memastikan kelancaran sistem
pembayaran nasional mengantisipasi Natal dan Tahun Baru.
Dampak Kenaikan Suku Bunga Bank Indonesia terhadap Masyarakat
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko
Listiyanto mengungkapkan dampak kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI)
terhadap kehidupan masyarakat.
Jika nilai Rupiah menjadi lebih stabil karena arah kebijakan BI kedepannya
yang lebih mempertimbangkan faktor global, maka ini akan memberikan sentimen
positif. Namun jika suku bunga dinaikkan terus-menerus menurutnya dapat
memberikan dampak negatif bagi laju perekonomian. Di lain sisi, dia menuturkan
bahwa kebijakan menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) bertujuan untuk
mengantisipasi tren inflasi yang terus meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat tingkat inflasi dalam negeri hampir mencapai 5 persen atau tepatnya 4,94
persen secara tahunan pada Juli 2022.
Ekonom BNI Sekuritas Damhuri Nasution mengatakan, kenaikan suku bunga
BI akan ikut menaikkan suku bunga simpanan dan pinjaman perbankan. Dalam
catatan historis, perbankan cenderung cepat untuk meneruskan kenaikan bunga
acuan BI kepada suku bunga pinjaman, sedangkan kenaikan bunga simpanan lebih
lambat. Menurutnya, suku bunga pinjaman naik akan membuat biaya berusaha
semakin mahal, karena beban biaya bunganya naik. Hal ini akan mengenai semua
lapisan, mulai dari UMKM hingga konsumen. Konsumen yang memiliki kredit
konsumsi, termasuk KPR di bank juga berpotensi membayar cicilan lebih mahal jika
terjadi kenaikan bunga acuan. Namun, menurutnya kenaikan bunga sebesar 25 bps
tidak akan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Ketika BI menaikkan suku bunga acuan, maka suku bunga antar bank akan
mengalami kenaikan. Suku bunga acuan ini menjadi patokan bagi bank dalam
menetapkan bunga deposito dan kredit, termasuk kredit masyarakat, seperti KPR,
kredit kendaraan bermotor, dan lain sebagainya. Kemudian, imbal hasil surat utang
atau surat berharga juga mengikuti pergerakan bunga acuan BI.
Penetapan suku bunga acuan dilakukan BI guna mengelola likuiditas atau
peredaran uang di dalam dan luar negeri. Hal ini bisa menekan inflasi. Dalam teori
ekonomi, jumlah uang beredar akan mempengaruhi inflasi. Semakin banyak uang
yang beredar, maka inflasi semakin tinggi. Sebaliknya, ketika jumlah uang yang
beredar menurun, maka tingkat inflasi juga akan turun.
Tidak hanya itu, suku bunga acuan juga merupakan upaya BI untuk
menstabilkan nilai tukar rupiah. Dengan menaikkan suku bunga acuan, bunga
deposito dan imbal hasil surat berharga akan naik. Hal ini diharapkan investor asing
mau menaruh uangnya di Indonesia. Investor akan menukarkan mata uangnya ke
rupiah, sehingga rupiah akan menguat.
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Bank Indonesia pada 21-22 Desember 2022 memutuskan untuk menaikkan BI
7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 5,50%, suku bunga
Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 4,75%, dan suku bunga Lending Facility
sebesar 25 bps menjadi 6,25%. Keputusan kenaikan suku bunga yang lebih terukur
tersebut sebagai langkah lanjutan untuk secara front loaded, pre-emptive, dan forward
looking memastikan terus berlanjutnya penurunan ekspektasi inflasi dan inflasi
sehingga inflasi inti tetap terjaga dalam kisaran 3,0±1%.
Penetapan suku bunga acuan dilakukan BI guna mengelola likuiditas atau
peredaran uang di dalam dan luar negeri. Hal ini bisa menekan inflasi. Dalam teori
ekonomi, jumlah uang beredar akan mempengaruhi inflasi. Semakin banyak uang
yang beredar, maka inflasi semakin tinggi. Sebaliknya, ketika jumlah uang yang
beredar menurun, maka tingkat inflasi juga akan turun.

Saran
Kebijakan Bank Indonesia harus terus diarahkan sebagai bagian dari bauran
kebijakan nasional untuk memperkuat ketahanan, pemulihan, dan kebangkitan
perekonomian Indonesia di tengah kondisi ekonomi global yang akan melambat dan
risiko terjadinya resesi.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Eka Mulia Nurul Al. 2020. Kebijakan Pemerintah Mempertahankan BI 7-Day
Reverse Repo Rate Sebesar 4,50%.IQTISHADUNA: Jurnal Ilmiah Ekonomi Kita,
9(2),125-135. https://ejournal.stiesyariahbengkalis.ac.id/index.php/iqtishaduna/
article/dowbload/238/239/, diakses 27 Desember 2022

Anggraeni, Wulan. 2015. Prediksi Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia (BI Rate)
Berdasarkan Data Fuzzy Time Series. Journal of Applied Business and
Economics 2(1).

Bank Indonesia. 2018. Tujuan Kebijakan Moneter


https://www.bi.go.id/id/moneter/tujuan-kebijakan/Contents/Default.aspx, diakses
27 Desember 2022

Bank Indonesia. 2020a. BI 7-day (Reverse) Repo Rate. Diakses dari


https://www.bi.go.id/id/moneter/bi-7day-RR/penjelasan/Contents/Default.aspx,
tanggal 27 Desember 2022.

Bank Indonesia. 2020b. BI 7-Day Reverse Repo Rate Tetap 4,00%: Bersinergi
Mendorong Pemulihan Ekonomi Nasional 2020. Jakarta, Indonesia.

Bank Indonesia. 2020c. Transmisi Kebijakan Moneter. Diakses dari


https://www.bi.go.id/id/moneter/transmisikebijakan/Contents/Default.aspx,
tanggal 27 Desember 2022.

Budi, Johan. 2022. Dampak Kenaikan Suku Bunga Bank Indonesia terhadap
Masyarakat.
https://www.sobatpajak.com/article/63060068dc605704039a8e7d/Dampak
%20Kenaikan%20Suku%20Bunga%20Bank%20Indonesia%terhadap
%20Masyarakat, diakses 27 Desember 2022

Haryono, Erwin. 2022. BI 7-Day Reverse Repo Rate Naik 50 BPS menjadi 5,25%:
Sinergi menjaga Satabilitas dan Momentum Pemulihan. Bank Indonesia.
https://www.bi.go.id/id/publikasi/ruang-media/news-release/Pages/sp_2431322.a
spx, diakses 27 Desember 2022
Laucereno, Sylke Febrina. 2022. Kenapa sih suku bunga acuan BI harus banget naik
lagi?. https://finance.detik.com/moneter/d-6411527/kenapa-sih-suku-bunga-
acuan-bi-harus-banget-naik-lagi, diakses 27 Deseber 2022

Silangit, Patrick Kuntara Harpranata. 2021.Analisis Kebijakan Penaikan Suku Bunga


Bank Indonesia. https://bem.feb.ugm.ac.id/analisis-kebijakan-penaikan-suku-
bunga-bank-indonesia/, diakses 27 Desember 2022

Sukirno, Sadono. 2015. Makroekonomi Teori Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

Yesika, Dwi Utami dan Sukamto. 2020. Pengaruh Kenaikan Suku Bunga BI dan Inflasi
Terhadap Kinerja Keuangan bank Syariah. Jurnal Pendidikan Islam 2(2).
https://jurnal.yudharta.ac.id/v2/index.php/mualim, diakses 27 Desember 2022

Anda mungkin juga menyukai