Anda di halaman 1dari 36

Tujuan Kebijakan Moneter

Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah. Tujuan
ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang
sebagaimana diubah melalui UU No. 3 Tahun 2004 dan UU No. 6 Tahun 2009 pada pasal 7.
Kestabilan Rupiah yang dimaksud mempunyai dua dimensi. Dimensi pertama kestabilan nilai
Rupiah adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin dari
perkembangan laju inflasi. Sementara itu, dimensi kedua terkait dengan kestabilan nilai tukar
Rupiah terhadap mata uang negara lain. Indonesia menganut sistem nilai tukar mengambang
(free floating). Namun, peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas
harga dan sistem keuangan.

Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia sejak 1 Juli 2005 menerapkan kerangka
kebijakan moneter Inflation Targeting Framework (ITF). Kerangka kebijakan tersebut dipandang
sesuai dengan mandat dan aspek kelembagaan yang diamanatkan oleh Undang-Undang. Dalam
kerangka ini, inflasi merupakan sasaran yang diutamakan (overriding objective). Bank Indonesia
terus melakukan berbagai penyempurnaan kerangka kebijakan moneter, sesuai dengan perubahan
dinamika dan tantangan perekonomian yang terjadi, guna memperkuat efektivitasnya.

Kerangka Kebijakan Moneter


Dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut kerangka kerja yang
dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF).  ITF merupakan suatu kerangka kerja
(framework) dengan kebijakan moneter yang diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang
ditetapkan ke depan dan diumumkan kepada publik sebagai perwujudan dari komitmen dan
akuntabilitas bank sentral. ITF diimplementasikan dengan menggunakan suku bunga kebijakan
sebagai sinyal kebijakan moneter dan suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) sebagai
sasaran operasional. Kerangka kerja ini diterapkan secara formal sejak 1 Juli 2005, setelah
sebelumnya menggunakan kerangka kebijakan moneter dengan uang primer (base money)
sebagai sasaran kebijakan. moneter. 
Berpijak pada pengalaman krisis keuangan global 2008/2009, salah satu pelajaran penting yang
mengemuka adalah perlunya fleksibilitas yang cukup bagi bank sentral untuk merespons
perkembangan ekonomi yang semakin kompleks dan peran sektor keuangan yang semakin kuat
dalam memengaruhi stabilitas ekonomi makro. Berdasarkan perkembangan tersebut, Bank
Indonesia memperkuat kerangka ITF menjadi Flexible ITF. 

 
Apa itu Flexible ITF?
Flexible ITF dibangun dengan tetap berpijak pada elemen-elemen penting ITF yang telah
terbangun. Elemen-elemen pokok ITF termasuk pengumuman sasaran inflasi kepada publik,
kebijakan moneter yang ditempuh secara forward looking (kebijakan moneter diarahkan untuk
mencapai sasaran inflasi pada periode yang akan datang karena mempertimbangkan adanya efek
tunda/time lag kebijakan moneter).
Akuntabilitas kebijakan kepada publik tetap menjadi bagian inherent dalam Flexible ITF.
Kerangka Flexible ITF dibangun berdasarkan 5 elemen pokok, yaitu:

1. Strategi penargetan inflasi (Inflation Targeting) sebagai strategi dasar kebijakan moneter.
2. Integrasi kebijakan moneter dan makroprudensial untuk memperkuat transmisi kebijakan
dan sekaligus mengupayakan stabilitas makroekonomi.
3. Peran kebijakan nilai tukar dan arus modal dalam mendukung stabilitas makroekonomi.
4. Penguatan koordinasi kebijakan Bank Indonesia dengan Pemerintah untuk pengendalian
inflasi maupun dalam menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan.
5. Penguatan strategi komunikasi kebijakan sebagai bagian dari instrumen kebijakan.
 
Mengapa Flexible ITF?
Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008/2009 mengharuskan bank sentral untuk
melakukan stabilitas sistem keuangan dan penyelamatan perekonomian. Kebijakan yang hanya
mengedepankan penerapan ITF dipandang tidak lagi sesuai. Hal ini dikarenakan penerapan ITF
secara ketat hanya fokus pada mandat kebijakan moneter untuk menjaga inflasi sesuai dengan
targetnya, tidak cukup untuk menjaga stabilitas sistem perekonomian secara keseluruhan.
Peran sistem keuangan makin besar dalam perekonomian, sehingga dampak ketidakstabilan
sistem keuangan menjadi makin signifikan. Hal ini tercermin dari besarnya biaya penyelamatan
dan dampak yang ditimbulkan oleh krisis keuangan global tahun 2008/2009. Hal ini
menyadarkan pentingnya peran bank sentral untuk turut menjaga stabilitas sistem keuangan. 
Penerapan ITF untuk pencapaian stabilitas harga hanya memenuhi syarat perlu, belum kondisi
kecukupan (necessary but not sufficient).

Pascakrisis keuangan global tahun 2008/2009, bank sentral dituntut untuk semakin memperkuat
stabilitas sistem keuangan untuk memastikan perekonomian berada dalam kondisi stabil, baik
dari sisi makroekonomi maupun sektor keuangan. Untuk itu, keberhasilan penerapan ITF harus
didukung dengan kerangka pengaturan di sektor keuangan secara makro (macroprudential
regulatory framework). Oleh karena itu, Bank Indonesia memperkuat kerangka ITF menjadi
flexible ITF dengan makin memperkuat mandatnya dalam menjaga stabilitas harga dan turut
mendukung stabilitas sistem keuangan.

 
Bagaimana Flexible ITF diterapkan?
Pencapaian overriding objective ITF dan Flexible ITF adalah sama, yaitu pengendalian inflasi. 
Dimensi baru sejak krisis keuangan global adalah perkembangan peran bank sentral dalam turut
menjaga stabilitas sistem keuangan secara terintegrasi dengan mandat mencapai stabilitas harga. 
Pengejawantahan Flexible ITF adalah adanya ruang fleksibilitas dalam mengintegrasikan
kerangka stabilitas moneter dan sistem keuangan melalui penerapan instrumen bauran kebijakan
moneter, makroprudensial, nilai tukar, aliran modal dan penguatan kelembagaan untuk
mengoptimalkan peran kordinasi dan komunikasi kebijakan. 

Terkait dengan strategi penargetan inflasi (inflation targeting), Bank Indonesia mengumumkan
sasaran inflasi ke depan pada periode tertentu. Sasaran inflasi ditetapkan oleh pemerintah
berkoordinasi dengan Bank Indonesia untuk tiga tahun ke depan melalui Peraturan Menteri
Keuangan (PMK). Setiap periode Bank Indonesia mengevaluasi apakah proyeksi inflasi ke depan
masih sesuai dengan sasaran yang ditetapkan. Proyeksi ini dilakukan dengan sejumlah model dan
berbagai informasi yang tersedia untuk menggambarkan kondisi inflasi ke depan sebagai basis
kebijakan moneter yang ditempuh. Hal ini merupakan implikasi dari adanya efek tunda/time lag
kebijakan moneter sehingga target dalam pelaksanaan kebijakaan moneter didasarkan pada
perkiraan inflasi ke depan. Upaya pencapaian target tersebut dilakukan melalui respons bauran
kebijakan (policy mix) dengan memenuhi aspek transparansi dan akuntabilitas. 

Bank Indonesia melaporkan pelaksanaan tugas tersebut secara reguler kepada Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan juga Pemerintah. Secara reguler, Bank Indonesia juga menjelaskan kepada
publik mengenai asesmen terhadap kondisi terkini dan outlook inflasi ke depan, keputusan yang
diambil, serta arah kebijakan ke depan yang akan diambil untuk menjaga inflasi sesuai dengan
sasarannya (forward guidance). Hal ini tidak hanya untuk memenuhi aspek transparansi namun
juga penting dalam memperkuat kredibilitas Bank Indonesia sehingga kebijakan yang ditempuh
menjadi lebih efektif.  

Dalam rangka memperkuat efektivitas transmisi kebijakan moneter, pada 19 Agustus 2016 Bank
Indonesia menetapkan BI 7-day (Reverse) Repo Rate (BI 7DRR) sebagai suku bunga kebijakan
yang merepresentasikan sinyal respons kebijakan moneter dalam mengendalikan inflasi sesuai
dengan sasaran. Penggunaan BI 7DRR sebagai suku bunga acuan merupakan bagian dari
reformulasi kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia. 

Sebelumnya, Bank Indonesia menggunakan BI Rate sebagai suku bunga acuan yang setara
dengan dengan instrumen moneter 12 bulan. Melalui penetapan BI 7DRR sebagai suku bunga
acuan, tenor instrumen menjadi lebih pendek yakni setara dengan instrumen moneter 7 hari
sehingga diharapkan dapat mempercepat transmisi kebijakan moneter dan mengarahkan inflasi
sesuai dengan sasarannya. 

Reformulasi kebijakan moneter memiliki tiga tujuan utama. Pertama, memperkuat sinyal arah
kebijakan moneter. Kedua, memperkuat efektivitas transmisi kebijakan moneter melalui
pengaruhnya pada pergerakan suku bunga pasar uang dan suku bunga perbankan. Ketiga,
mendorong pendalaman pasar keuangan, khususnya transaksi dan pembentukan struktur suku
bunga di PUAB untuk tenor 3 bulan hingga 12 bulan. 

Dalam implementasinya, reformulasi kebijakan moneter memegang empat prinsip. Pertama,


reformulasi tidak mengubah kerangka kebijakan moneter karena Bank Indonesia tetap
menerapkan Flexible ITF. Kedua, reformulasi tidak untuk mengubah stance kebijakan moneter
yang sedang ditempuh. Ketiga, reformulasi membuat suku bunga kebijakan terefleksikan di
instrumen moneter dan dapat ditransaksikan dengan Bank Indonesia. Keempat, penentuan suku
bunga sasaran operasional berdasarkan pertimbangan dapat dipengaruhi oleh suku bunga
kebijakan. Sesuai dengan prinsip kedua, perubahan tersebut tidak mengubah stance kebijakan
moneter karena kedua suku bunga kebijakan BI Rate dan BI 7DRR berada dalam satu struktur
suku bunga (term structure) yang sama dalam mengarahkan inflasi agar sesuai dengan
sasarannya. 

Implementasi flexible ITF juga didukung oleh kebijakan pengelolaan nilai tukar. Kebijakan nilai
tukar yang ditempuh Bank Indonesia dalam rangka mengelola stabilitas nilai tukar Rupiah agar
sesuai dengan nilai fundamentalnya dengan tetap mendorong bekerjanya mekanisme pasar.
Kebijakan nilai tukar dilakukan dalam rangka mengurangi gejolak yang muncul dari
ketidakseimbangan permintaan dan penawaran di pasar valuta asing (valas), melalui strategi
triple intervention. Strategi triple intervention dilakukan melalui intervensi jual di pasar spot,
pasar Domestik Non-Deliverable Forward (DNDF) atau pasar berjangka valas serta pembelian
Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Strategi triple intervention dilakukan untuk
menjaga kestabilan nilai tukar dan sekaligus menjaga kecukupan likuiditas Rupiah.

Implementasi Flexible ITF juga didukung oleh kebijakan pengelolaan nilai tukar. Kebijakan nilai
tukar ditempuh Bank Indonesia untuk mengelola stabilitas nilai tukar Rupiah agar sesuai dengan
nilai fundamentalnya dengan tetap mendorong bekerjanya mekanisme pasar. Kebijakan nilai
tukar dilakukan dalam rangka mengurangi gejolak yang muncul dari ketidakseimbangan
permintaan dan penawaran di pasar valuta asing (valas) melalui intervensi jual di pasar spot,
pasar Domestik Non-Deliverable Forward (DNDF) atau pasar berjangka valas serta pembelian
Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Strategi ini dilakukan untuk menjaga kestabilan
nilai tukar dan sekaligus menjaga kecukupan likuiditas Rupiah.

Berbagai kebijakan tersebut diperkuat oleh koordinasi kebijakan bersama Pemerintah, khususnya
dari sisi penawaran. Kebijakan pemerintah terutama diarahkan untuk menjaga keterjangkauan
harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, dan komunikasi efektif untuk stabilisasi harga
pangan guna mendukung terkendalinya inflasi. Koordinasi kebijakan pengendalian inflasi antara
Bank Indonesia dengan Pemerintah yang semakin kuat diwujudkan melalui forum Tim
Pengendalian Inflasi (TPI) baik di pusat maupun daerah. Koordinasi kebijakan dengan
Pemerintah juga dilakukan dalam rangka memperkuat stabilitas sistem keuangan. Melalui komite
Stabilitas Sistem Keuangan, Bank Indonesia bersama dengan Kementerian Keuangan, Otoritas
Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menetapkan langkah koordinasi
dan memberikan rekomendasi dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan Stabilitas Sistem
Keuangan.
Transmisi Kebijakan Moneter

Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai Rupiah yang
salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Untuk mencapai tujuan itu,
Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR)
sebagai instrumen kebijakan utama untuk memengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan
tujuan akhir pencapaian inflasi. Proses tersebut atau transmisi dari keputusan BI-7 Day Reverse
Repo Rate (BI7DRR) sampai dengan pencapaian sasaran inflasi tersebut melalui berbagai
channel dan memerlukan waktu (time lag). 
Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini memerlukan waktu (time lag). Time lag masing-
masing jalur bisa berbeda. Dalam kondisi normal, perbankan akan merespons
kenaikan/penurunan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) dengan kenaikan/penurunan suku
bunga perbankan. Namun demikian, apabila perbankan melihat risiko perekonomian cukup
tinggi, respons perbankan terhadap penurunan suku bunga BI-7 Day Reverse Repo
Rate (BI7DRR) akan lebih lambat. Sebaliknya, apabila perbankan sedang melakukan konsolidasi
untuk memperbaiki permodalan, penurunan suku bunga kredit dan peningkatan permintaan
kredit tidak selalu direspons dengan menaikkan penyaluran kredit. Di sisi permintaan, penurunan
suku bunga kredit perbankan juga tidak selalu direspons oleh meningkatnya permintaan kredit
dari masyarakat apabila prospek perekonomian sedang lesu. Efektivitas transmisi kebijakan
moneter dipengaruhi oleh kondisi eksternal, sektor keuangan dan perbankan, serta sektor riil. 
Pada jalur suku bunga, perubahan BI 7DRR memengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga
kredit perbankan. Bank Indonesia dapat menggunakan kebijakan moneter yang ketat melalui
peningkatan suku bunga yang berdampak pada permintaan agregat sehingga menurunkan
tekanan inflasi. Sebaliknya, penurunan suku bunga BI 7DRR akan menurunkan suku bunga
kredit sehingga permintaan kredit dari perusahaan dan rumah tangga meningkat. Penurunan suku
bunga kredit juga menurunkan biaya modal perusahaan untuk melakukan investasi. Hal ini
meningkatkan aktivitas konsumsi dan investasi sehingga mendorong perekonomian.  
Perubahan suku bunga BI 7DRR dapat memengaruhi nilai tukar (jalur nilai tukar). Kenaikan BI
7DRR, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan selisih antara suku bunga di Indonesia dengan
suku bunga luar negeri. Dengan melebarnya selisih suku bunga tersebut mendorong investor
asing untuk menanamkan modal ke dalam instrumen-instrumen keuangan di Indonesia, karena
mereka akan mendapatkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Aliran modal masuk asing ini
pada gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah mengakibatkan
harga barang impor lebih murah dan barang ekspor kita di luar negeri menjadi lebih mahal atau
kurang kompetitif sehingga akan mendorong impor dan mengurangi ekspor. Apresiasi nilai tukar
tersebut akan berdampak pada penurunan tekanan inflasi.   
Perubahan suku bunga BI 7DRR juga memengaruhi perekonomian makro melalui perubahan
harga aset. Kenaikan suku bunga akan menurunkan harga aset seperti saham dan obligasi,
sehingga mengurangi kekayaan individu dan perusahaan yang pada gilirannya mengurangi
kemampuan mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan investasi. Hal ini
akan mengurangi permintaan agregat sehingga menurunkan tekanan inflasi. 
Dampak perubahan suku bunga pada kegiatan ekonomi juga memengaruhi ekspektasi publik
terhadap inflasi (jalur ekspektasi). Penurunan suku bunga akan mendorong aktivitas ekonomi dan
pada akhirnya inflasi akan mendorong pekerja untuk mengantisipasi kenaikan inflasi dengan
meminta upah yang lebih tinggi. Upah ini pada akhirnya akan dibebankan oleh produsen kepada
konsumen melalui kenaikan harga. 
Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini memerlukan waktu (time lag). Time lag masing-
masing jalur bisa berbeda. Dalam kondisi normal, perbankan akan merespons
kenaikan/penurunan BI 7DRR dengan kenaikan/penurunan suku bunga perbankan. Namun
demikian, apabila perbankan melihat risiko perekonomian cukup tinggi, respons perbankan
terhadap penurunan suku bunga BI 7DRR akan lebih lambat. Sebaliknya, apabila perbankan
sedang melakukan konsolidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan suku bunga kredit
dan peningkatan permintaan kredit tidak selalu direspons dengan menaikkan penyaluran kredit.
Di sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan juga tidak selalu direspons oleh
meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat apabila prospek perekonomian sedang lesu.
Efektivitas transmisi kebijakan moneter dipengaruhi oleh kondisi eksternal, sektor keuangan dan
perbankan, serta sektor riil. 

Transparansi dan Akuntabilitas


Transparansi dan Komunikasi

Berdasarkan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 3 tahun 2004 dan UU No. 6 tahun 2009, pada pasal 4 ayat 2 tertera bahwa Bank
Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah
dan/atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-
Undang. Pemberian independensi tersebut, diimbangi dengan pelaksanaan transparansi dan
akuntabilitas.  

Transparansi 

Prinsip yang mendasari transparansi kebijakan moneter adalah agar informasi yang disampaikan
memungkinkan publik untuk memahami dan mampu mengantisipasi keputusan-keputusan bank
sentral untuk mencapai target akhir yang ditetapkan. Berdasarkan hal tersebut, cakupan
informasi yang disampaikan kepada publik meliputi aspek berikut: 

1. Tujuan 
Bank sentral menyampaikan secara jelas dan konsisten mengenai apa yang akan dicapai
dari kebijakan moneter, baik mengenai tujuan akhir maupun tujuan jangka pendek, serta
rasionalitas dari penetapan tujuan tersebut.
2. Metode 
Bank sentral transparan terkait aktivitas prosedural dalam kebijakan moneter (a.l
menyampaikan operasi moneter yang dilakukan, hasil prakiraan dan model ekonomi yang
dipergunakan termasuk gambaran pokok dan asumsi-asumsi yang digunakan). Hal
tersebut untuk membentuk ekspektasi di pasar keuangan serta menghindari dan
meminimalkan gejolak yang terjadi di pasar. Selain itu, hal tersebut diperlukan untuk
meningkatkan pemahaman publik terhadap kebijakan moneter bank sentral. 
3. Pengambilan keputusan 

Bank sentral mengumumkan kebijakan yang ditempuh dengan pertimbangan yang


mendasarinya, misalnya keputusan mengenai suku bunga kebijakan, segera setelah
keputusan tersebut diambil.

Selain itu, ada beberapa pokok cakupan transparansi mengenai kebijakan moneter yang baik
yang tertuang dalam “Code of Good Practices on Transparency in Monetary and Financial
Policies”. Dokumen tersebut dikembangkan oleh IMF sejak tahun 1999 dan kini telah diikuti
oleh banyak negara anggotanya. Beberapa pokok cakupan transparansi tersebut antara lain: 

 Kejelasan mengenai peran, wewenang, dan tujuan otoritas kebijakan moneter. 


 Keterbukaan mengenai proses perumusan dan pelaporan kebijakan moneter. 
 Ketersediaan informasi kebijakan moneter kepada publik.
 Akuntabilitas dan jaminan integritas dari otoritas moneter.

Komunikasi Kebijakan Moneter

Efektivitas kebijakan moneter dapat ditingkatkan melalui komunikasi yang efektif, terlebih
dalam kondisi meningkatnya ketidakpastian. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter hanya
dapat memengaruhi secara langsung suku bunga jangka pendek, sementara suku bunga jangka
panjang lebih ditentukan oleh ekspektasi kebijakan moneter ke depan yang dapat diarahkan
melalui komunikasi kebijakan.  
Komunikasi turut berperan dalam penguatan transparansi dan akuntabilitas Bank Indonesia
dengan cara memberikan pemahaman kepada publik terkait kebijakan moneter secara
keseluruhan, membantu menggerakkan ekspektasi publik dan pelaku pasar, serta mengurangi
ketidakpastian ke depan. Komunikasi kebijakan moneter Bank Indonesia dilakukan melalui
berbagai media antara lain:

 Siaran Pers dan Konferensi Pers


 Publikasi berupa Laporan Kebijakan Moneter, Indonesia: Perekonomian Terkini dan
Respons Kebijakan, Laporan Perekonomian Indonesia, Laporan Triwulanan DPR RI dll.
 Website Bank Indonesia
 Talkshow di radio dan televisi
 Seminar/Diskusi dengan stakeholders
 Diseminasi di daerah 

Akuntabilitas 

UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang telah diamandemen dengan UU No. 3
Tahun 2004 (sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia No. 6/2009)
mengamanatkan akuntabilitas Bank Indonesia dalam pelaksanaan tugas, wewenang, dan
anggaran.  

Prinsip akuntabilitas dari pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia diterapkan dengan
cara menyampaikan informasi langsung kepada masyarakat luas melalui media massa pada
setiap awal tahun, mengenai evaluasi pelaksanaan kebijakan moneter pada tahun sebelumnya,
serta rencana kebijakan moneter dan penetapan sasaran-sasaran moneter untuk tahun yang akan
datang. Informasi tersebut juga disampaikan secara tertulis kepada Presiden dan DPR. 
Akuntabilitas juga terkait erat dengan independensi. Semakin besarnya independensi yang
diberikan kepada bank sentral menuntut pula pentingnya akuntabilitas. 

Koordinasi dan Pengendalian Inflasi


Inflasi yang rendah dan stabil diperlukan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, sesuai
dengan tujuan kebijakan makro. Namun, sumber tekanan inflasi tidak hanya berasal dari
permintaan yang dapat dikelola oleh Bank Indonesia, tetapi juga berasal dari sisi penawaran,
yakni berkaitan dengan produksi dan distribusi barang. Selain itu, shocks dari inflasi juga dapat
berasal dari kebijakan pemerintah terkait dengan barang-barang yang termasuk ke dalam
kelompok administered price (kelompok barang yang harganya diatur oleh Pemerintah) seperti
harga BBM dan komoditas energi lainnya. Oleh karena itu, diperlukan bauran kebijakan untuk
dapat mencapai tujuan tersebut.
 
Bank Indonesia berkoordinasi dengan Pemerintah dalam melakukan pengendalian inflasi, baik
dalam ruang lingkup daerah maupun nasional. Sementara itu, Pemerintah berperan dalam
mengendalikan ekspektasi inflasi dan mengelola penawaran, diantaranya pengelolaan terhadap
pasokan, distribusi, konektivitas, rantai perdagangan, dan subsidi. Sinergi dibentuk untuk
mengendalikan inflasi agar tetap berada pada kisaran sasaran akhir yang telah ditetapkan dengan
cara membentuk Tim Pengendalian Inflasi (TPI). TPI di level pusat terbentuk sejak tahun 2005,
kemudian diperkuat dengan pembentukan TPI di level daerah sejak tahun 2008.
 
Koordinasi pengendalian inflasi diperkuat dengan landasan hukum berupa Perpres No.23/2017
tentang Tim Pengendalian Inflasi Nasional (TPIN). Keppres tersebut menaungi mekanisme
koordinasi pengendalian inflasi melalui pembentukan Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP),
Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi, dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID)
Kabupaten/Kota.
Produk turunan dari dasar hukum ini selanjutnya ditindaklanjuti melalui diterbitkannya Peraturan
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No.10 Tahun 2017 tentang Mekanisme dan Tata
Kerja TPIP, TPID Provinsi, dan TPID Kabupaten/Kota, Keputusan Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian No.148 tahun 2017 tentang Tugas dan Keanggotaan Kelompok Kerja dan
Sekretariat Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP), dan Keputusan Menteri Dalam Negeri
No.500.05-8135 Tahun 2017 tentang Tim Pengendalian Inflasi Daerah. Fokus program
pengendalian inflasi adalah 4K, yakni: 

1. Keterjangkauan harga. 
2. Ketersediaan pasokan. 
3. Kelancaran distribusi.
4. Komunikasi efektif.
Definisi Inflasi

Inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus
dalam jangka waktu tertentu. Deflasi merupakan kebalikan dari inflasi, yakni penurunan harga
barang secara umum dan terus menerus.
Perhitungan inflasi dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), link ke metadata SEKI-IHK.
Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu
meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya.

Pengukuran IHK

Berdasarkan the Classification of Individual Consumption by Purpose (COICOP), IHK


dikelompokkan ke dalam tujuh kelompok pengeluaran, yaitu:

1. Bahan Makanan.
2. Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau.
3. Perumahan.
4. Sandang.
5. Kesehatan.
6. Pendidikan dan Olahraga.
7. Transportasi dan Komunikasi.

Data pengelompokan tersebut didapatkan melalui Survei Biaya Hidup (SBH).


Disagregasi Inflasi

Di samping pengelompokan berdasarkan COICOP tersebut, BPS saat ini juga mempublikasikan
inflasi berdasarkan pengelompokan lainnya yang dinamakan disagregasi inflasi. Disagregasi
inflasi dilakukan untuk menghasilkan indikator inflasi yang menggambarkan pengaruh dari
faktor yang bersifat fundamental.

Di Indonesia, disagregasi inflasi IHK tersebut dikelompokan menjadi:

1. Inflasi Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent
component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti:

 Interaksi permintaan-penawaran.
 Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra
dagang.
 Ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen.

2. Inflasi non-Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya karena
dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Komponen inflasi non-inti terdiri dari:

 Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food): Inflasi yang dominan dipengaruhi


oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan
alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun
perkembangan harga komoditas pangan internasional.
 Inflasi Komponen Harga yang diatur oleh Pemerintah (Administered Prices):
Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga
Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan, dll.

Determinan Inflasi

Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation), dari sisi permintaan
(demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi. Faktor-faktor terjadinya cost push
inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama
negara-negara mitra dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah
(Administered Price), dan terjadi negative supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya
distribusi.
Faktor penyebab demand pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif
terhadap ketersediaannya. Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output
riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar dari
pada kapasitas perekonomian. Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku
masyarakat dan pelaku ekonomi dalam menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam keputusan
kegiatan ekonominya. Ekspektasi inflasi tersebut dapat bersifat adaptif atau forward looking.
Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang terutama
pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan tahun baru) dan penentuan
upah minimum provinsi (UMP). Meskipun ketersediaan barang secara umum diperkirakan
mencukupi dalam mendukung kenaikan permintaan, namun harga barang dan jasa pada saat-saat
hari raya keagamaan meningkat lebih tinggi dari kondisi supply-demand tersebut. Demikian
halnya pada saat penentuan UMP, pedagang ikut pula meningkatkan harga barang meski
kenaikan upah tersebut tidak terlalu signifikan dalam mendorong peningkatan permintaan.

Pentingnya Kestabilan Harga

Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang
tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun
sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama
orang miskin, bertambah miskin. Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan
ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman
empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat
dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan
pertumbuhan ekonomi. Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan
tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak
kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai Rupiah. Keempat, pentingnya
kestabilan harga kaitannya dengan SSK (referensi).

Sasaran Inflasi

Melalui amanat yang tercakup di Undang Undang tentang Bank Indonesia, tujuan Bank
Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah. Kestabilan nilai Rupiah ini
mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta
kestabilan terhadap mata uang negara lain. Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju
inflasi, sementara aspek kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar Rupiah terhadap mata
uang negara lain.
 
Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai oleh
Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya
tujuan Bank Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan mudah. Dalam upaya pencapaian
tujuannya, Bank Indonesia menyadari bahwa pencapaian pertumbuhan ekonomi dan
pengendalian inflasi perlu diselaraskan untuk mencapai hasil yang optimal dan
berkesinambungan dalam jangka panjang.

Pengendalian Inflasi
Kebijakan moneter Bank Indonesia ditujukan untuk mengelola tekanan harga yang berasal dari
sisi permintaan agregat (demand management) relatif terhadap kondisi sisi penawaran.
Kebijakan moneter tidak ditujukan untuk merespons kenaikan inflasi yang disebabkan oleh
faktor yang bersifat kejutan dan bersifat sementara (temporer) yang akan hilang dengan
sendirinya seiring dengan berjalannya waktu.
Sementara itu, inflasi juga dapat dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari sisi penawaran
ataupun yang bersifat kejutan (shocks) seperti kenaikan harga minyak dunia dan adanya
gangguan panen atau banjir. Dari bobot dalam keranjang IHK, bobot inflasi yang dipengaruhi
oleh faktor penawaran dan kejutan diwakili oleh kelompok volatile food dan administered prices
yang mencakup kurang lebih 40% dari bobot IHK.
Dengan demikian, kemampuan Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi relatif terbatas
apabila terdapat kejutan (shocks) yang sangat besar, seperti ketika terjadi kenaikan harga BBM di
tahun 2005 dan 2008, sehingga menyebabkan adanya lonjakan inflasi.
Dengan pertimbangan bahwa laju inflasi juga dipengaruhi oleh faktor yang bersifat kejutan
tersebut maka pencapaian sasaran inflasi memerlukan kerjasama dan koordinasi antara
Pemerintah dan Bank Indonesia melalui kebijakan makroekonomi yang terintegrasi baik dari
kebijakan fiskal, moneter maupun sektoral. Lebih jauh, karakteristik inflasi Indonesia yang
cukup rentan terhadap kejutan-kejutan (shocks) dari sisi penawaran memerlukan kebijakan-
kebijakan khusus untuk permasalahan tersebut.
Dalam tataran teknis, koordinasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia telah diwujudkan dengan
membentuk Tim Koordinasi Penetapan Sasaran, Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di
tingkat pusat sejak tahun 2005. Anggota TPI, terdiri dari Bank Indonesia dan kementerian teknis
terkait di Pemerintah seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,  Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian
Badan Usaha Milik Negara, Sekretaris kabinet, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Menyadari pentingnya koordinasi tersebut, sejak tahun 2008, pembentukan TPI diperluas hingga
ke level daerah. Ke depan, koordinasi antara Pemerintah dan BI diharapkan akan semakin efektif
dengan dukungan forum TPI baik pusat maupun daerah sehingga dapat terwujud inflasi yang
rendah dan stabil, yang bermuara pada pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan
berkelanjutan.

Penetapan Target Inflasi

Target atau sasaran inflasi merupakan tingkat inflasi yang harus dicapai oleh Bank Indonesia,
berkoordinasi dengan Pemerintah. Penetapan sasaran inflasi berdasarkan UU mengenai Bank
Indonesia dilakukan oleh Pemerintah. Dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah dan Bank
Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan untuk tiga tahun ke depan melalui Peraturan Menteri
Keuangan (PMK). Berdasarkan PMK No.101/PMK.010/2021 tanggal 28 Juli 2021 tentang
Sasaran Inflasi tahun 2022, tahun 2023, dan tahun 2024, sasaran inflasi yang ditetapkan oleh
Pemerintah untuk periode 2022 – 2024, masing-masing sebesar 3,0%, 3,0%, dan 2,5%, dengan
deviasi masing-masing ±1%.
 Sasaran inflasi tersebut diharapkan dapat menjadi acuan bagi pelaku usaha dan masyarakat
dalam melakukan kegiatan ekonominya ke depan, sehingga tingkat inflasi dapat dijaga pada
tingkat yang rendah dan stabil. Salah satu upaya pengendalian inflasi menuju inflasi yang rendah
dan stabil adalah dengan membentuk dan mengarahkan ekspektasi inflasi masyarakat agar
mengacu pada sasaran inflasi yang telah ditetapkan. Angka target atau sasaran inflasi dapat
dilihat pada situs Bank Indonesia atau situs instansi Pemerintah lainnya seperti Kementerian
Keuangan, Kantor Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, atau Bappenas. Sebelum UU
No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Sementara setelah UU tersebut, dalam rangka meningkatkan kredibilitas Bank Indonesia maka
sasaran inflasi ditetapkan oleh Pemerintah.

Apa Itu Indikator Moneter?

Indikator moneter menyediakan data/statistik moneter bulanan yang digunakan untuk


mengetahui perkembangan besaran moneter secara ringkas dan cepat. Indikator moneter terdiri
dari uang primer, posisi luar negeri bersih bank sentral, aktiva dalam negeri bersih bank sentral,
serta cadangan devisa. Kebutuhan atas data/statistik serta uraian/penjelasan moneter lain tersedia
pada Publikasi dan Statistik yang disajikan pada menu Publikasi dan menu Statistik. 

Apa Itu BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR)

Bank Indonesia melakukan penguatan kerangka operasi moneter dengan mengimplementasikan


suku bunga acuan atau suku bunga kebijakan baru yaitu BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR)
yang berlaku efektif sejak 19 Agustus 2016, menggantikan BI Rate. Penguatan kerangka operasi
moneter ini merupakan hal yang lazim dilakukan di berbagai bank sentral dan merupakan best
practice internasional dalam pelaksanaan operasi moneter. Kerangka operasi moneter senantiasa
disempurnakan untuk memperkuat efektivitas kebijakan dalam mencapai sasaran inflasi yang
ditetapkan. Instrumen BI 7-Day (Reverse) Repo Rate digunakan sebagai suku bunga kebijakan
baru karena dapat secara cepat memengaruhi pasar uang, perbankan dan sektor riil. Instrumen BI
7-Day (Reverse) Repo Rate sebagai acuan yang baru memiliki hubungan yang lebih kuat ke suku
bunga pasar uang, sifatnya transaksional atau diperdagangkan di pasar, dan mendorong
pendalaman pasar keuangan, khususnya penggunaan instrumen repo.
Dengan penggunaan instrumen BI 7-Day (Reverse) Repo Rate sebagai suku bunga kebijakan
baru, terdapat tiga dampak utama yang diharapkan, yakni: 

1. Menguatnya sinyal kebijakan moneter dengan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) 


sebagai acuan utama di pasar keuangan.
2. Meningkatnya efektivitas transmisi kebijakan moneter melalui pengaruhnya pada
pergerakan suku bunga pasar uang dan suku bunga perbankan. 
3. Terbentuknya pasar keuangan yang lebih dalam, khususnya transaksi dan pembentukan
struktur suku bunga di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) untuk tenor 3-12 bulan.

Apa itu Operasi Moneter?


Operasi Moneter (OM) bertujuan untuk mendukung pencapaian stabilitas moneter yang
dilaksanakan di pasar uang dan pasar valas secara terintegrasi. OM dapat dilakukan secara
konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. Upaya mencapai stabilitas moneter melalui OM
dilakukan dengan mengendalikan suku bunga di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) Overnight agar
bergerak di sekitar suku bunga kebijakan Bank Indonesia yaitu BI 7-Day Reverse Repo
Rate (BI7-DRR) dan menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah agar bergerak stabil sejalan dengan
nilai tukar fundamental. Untuk mengendalikan suku bunga PUAB Overnight sebagai sasaran
operasional kebijakan moneter, Bank Indonesia melakukan pengelolaan likuiditas di pasar uang
Rupiah dengan cara absorpsi likuiditas dan/atau injeksi likuiditas. Untuk menjaga nilai tukar agar
sejalan dengan nilai tukar fundamental, OM dilakukan melalui pelaksanaan intervensi dan/atau
transaksi valas lainnya di pasar valuta asing. OM terdiri dari Operasi Pasar Terbuka (OPT)
dan Standing Facilities (SF).

 
Proyeksi Likuiditas Harian
Dalam Miliar Rp.

 Sumber: Departemen Pengelolaan Moneter - Grup Operasi Moneter - Divisi Proyeksi Likuiditas
 

Operasi Harian Terbuka

Operasi Pasar Terbuka (OPT) adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing
yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak lain untuk OM secara
konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. Pelaksanaan OPT Rupiah dibagi menjadi dua
yaitu OPT absorbsi dan OPT injeksi dengan mempertimbangkan kondisi likuiditas di sistem
perbankan baik konvensional maupun syariah. OPT absorbsi dilakukan untuk menyerap
kelebihan likuiditas sementara OPT injeksi dilakukan untuk menambah ketersediaan likuiditas
guna menjaga keseimbangan kondisi likuiditas untuk mendukung pencapaian sasaran OM. OPT
dapat dilaksanakan secara reguler dan non reguler. OPT reguler adalah OPT yang dilakukan
secara terjadwal melalui lelang. Sementara itu, OPT non-reguler adalah OPT yang dapat
dilaksanakan sewaktu-waktu (fine-tune operation) untuk memperkuat pencapaian sasaran OM
yang dilakukan melalui pelaksanaan OPT reguler. BI mengumumkan rencana dan hasil lelang
OPT reguler maupun OPT non-reguler melalui website BI dan/atau sarana lain yang ditetapkan.

OPT valas dilakukan melalui instrumen intervensi valas (transaksi spot, transaksi forward dan


transaksi DNDF) serta instrumen pengelolaan likuditas yang bertujuan mendukung stabilitas
nilai tukar Rupiah (FX Swap, TD Valas, SBBI Valas, dan TD Valas Syariah).
OPT valas dilakukan melalui instrumen sebagai berikut:
Standing Facilities 

Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana Rupiah dari Bank Indonesia kepada Bank
dan penempatan dana Rupiah oleh Bank di Bank Indonesia untuk Operasi Moneter yang
dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. Standing Facility tersedia di
setiap akhir hari untuk bank konvensional dan bank syariah yang terdiri dari:

 Deposit Facility (DF) yang merupakan penempatan dana Rupiah oleh peserta Standing


Facilities di Bank Indonesia untuk operasi moneter yang dilakukan secara konvensional
atau berdasarkan prinsip syariah. DF yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah
dilaksanakan dalam bentuk Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah (FASBIS).
 Lending Facility (LF) atau FinancingFacility (FF), dimana LF adalah penyediaan dana
Rupiah dari Bank Indonesia kepada peserta Standing Facility konvensional untuk operasi
moneter yang dilakukan secara konvensional, dan FF adalah penyediaan dana Rupiah
dari Bank Indonesia kepada peserta Standing Facility syariah untuk operasi moneter yang
dilakukan berdasarkan prinsip syariah.
Standing Facility dilakukan melalui instrumen sebagai berikut:

Keterangan:

 VRT: Variable Rate Tender


 FRT: Fixed Rate Tender
 SBI: Sertifikat Bank Indonesia
 SBIS: Sertifikat Bank Indonesia Syariah
 SDBI: Sertifikat Deposito Bank Indonesia
 TD: Term Deposit
 SukBI: Sukuk Bank Indonesia
 FX: Foreign Exchange
 PaSBI: Pengelolaan Likuiditas Berdasarkan Prinsip Syariah Bank Indonesia
 FLiSBI: Fasilitas Likuiditas Berdasarkan Prinsip Syariah Bank Indonesia
 SBBI: Surat Berharga Bank Indonesia
 DNDF: Domestic Non-Deliverable Forward

 
Tautan Terkait:

 PBI No. 22/14/PBI/2020 tentang Operasi Moneter


 PADG No. 22/22/PADG/2020 tentang Instrumen Operasi Pasar Terbuka
 PADG No. 22/23/PADG/2020 tentang Pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka
 PADG No. 22/24/PADG/2020 tentang Standing Facilities
 PADG No. 22/25/PADG/2020 tentang Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga dalam
Operasi Moneter
 PADG No. 22/26/PADG/2020 tentang Kepesertaan Operasi Moneter

Suku Bunga RRT Hasil Transaksi OM

Tanggal publikasi : 12 September 2022


Apa Itu IndONIA

IndONIA (Indonesia Overnight Index Average)

IndONIA dimaksudkan berperan sebagai benchmark rate pasar uang, yakni cerminan suku


bunga yang terjadi di pasar uang, yang dihitung secara periodik, tersedia dan dapat digunakan
oleh para pelaku pasar sebagai referensi seperti penetapan suku bunga pinjaman, penetapan
harga instrumen keuangan, dan pengukuran kinerja instrumen keuangan. IndONIA adalah indeks
suku bunga atas transaksi pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan yang dilakukan antarbank
untuk jangka waktu overnight di Indonesia.
IndONIA ditetapkan berdasarkan rata-rata suku bunga transaksi pinjam-meminjamkan rupiah
tanpa agunan dengan jangka waktu overnight yang dilaporkan oleh seluruh bank kepada Bank
Indonesia. Dengan demikian, IndONIA merupakan suku bunga transaksi yang terbentuk dari
transaksi pasar. Penetapan IndONIA dilakukan dengan menghitung rata-rata tertimbang
berdasarkan nilai nominal transaksi (volume-weighted average) atas seluruh data transaksi yang
dilakukan pada hari transaksi, yang dilaporkan oleh bank kepada Bank Indonesia melalui sistem
laporan harian bank umum sejak pukul 07.00 WIB s/d 18.00 WIB (dan koreksi online hingga
pukul 19.00 WIB).
IndONIA mulai dipublikasikan oleh Bank Indonesia sejak tanggal 1 Agustus 2018 pada setiap
hari kerja pukul 19.30 WIB di website Bank Indonesia.
Dengan mulai dipublikasikannya IndONIA per tanggal 1 Agustus 2018 yang terbentuk dari
transaksi pasar, IndONIA diharapkan dapat menggantikan peran JIBOR
tenor overnight sebagai benchmark rate pasar uang. Per tanggal 2 Januari 2019, Bank Indonesia
tidak lagi memublikasikan JIBOR tenor overnight dan diharapkan pada saat itu kontrak-kontrak
keuangan yang sebelumnya menggunakan JIBOR overnight sebagai referensi dapat beralih ke
IndONIA sebagai referensi terkini untuk tenor overnight.
Penjelasan singkat mengenai IndONIA adalah sebagai berikut:

JIBOR (Jakarta Interbank Offered Rate)

JIBOR berperan sebagai  benchmark ratepasar uang. Dihitung secara periodik, JIBOR tersedia
dan dapat digunakan oleh para pelaku pasar sebagai referensi seperti penetapan suku bunga
pinjaman, penetapan harga instrumen keuangan, dan pengukuran kinerja instrumen keuangan.
JIBOR adalah rata-rata dari suku bunga indikasi pinjaman tanpa agunan yang ditawarkan oleh
bank kontributor kepada bank kontributor lain untuk meminjamkan rupiah di Indonesia, untuk
tenor di atas overnight. 
JIBOR ditetapkan oleh Bank Indonesia berdasarkan kuotasi suku bunga indikasi pinjaman yang
ditawarkan oleh Bank Kontributor (offer rate). Disampaikan oleh Bank Kontributor kepada Bank
Indonesia dengan window timepenyampaian sejak pukul 07.00 WIB s/d 09.30 WIB (dan
koreksi online hingga pukul 09.45 WIB). Penetapan JIBOR dilakukan dengan menghitung rata-
rata sederhana (simple average) dari kuotasi yang disampaikan oleh Bank Kontributor, setelah
mengeluarkan 15% data offer rate tertinggi dan 15% data offer rateterendah. 
JIBOR dipublikasikan oleh Bank Indonesia pada setiap hari kerja pukul 10.00 WIB
di website Bank Indonesia. JIBOR terdiri dari tenor overnight, 1 minggu, 1 bulan, 3 bulan, 6
bulan, dan 12 bulan. 
Untuk meningkatkan kredibilitas JIBOR sebagai referensi suku bunga, Bank Indonesia
melakukan sejumlah penyempurnaan. Per tanggal 2 Januari 2019, pembentukan JIBOR diatur
dengan mengacu pada data transaksi dan diterapkan dengan tata kelola yang baik, dengan
harapan dapat mencerminkan suku bunga yang terjadi di pasar. Hal ini sejalan denganglobal best
practices, terkait referensi suku bunga keuangan yang dituangkan dalam prinsip International
Organization of Securities Commissions (IOSCO) untuk referensi suku bunga keuangan
(IOSCO principles for financial benchmarks). 
Peningkatan kredibilitas benchmark rate pasar uang diharapkan mampu mengurangi
kompleksitas kontrak keuangan dengan mendorong standardisasi dalam penggunaan suku bunga
acuan pada surat utang dan/atau pinjaman dengan suku bunga mengambang, derivatif suku
bunga rupiah, dan untuk valuasi instrumen keuangan. 
Per tanggal 2 Januari 2019, JIBOR overnight tidak lagi dipublikasikan oleh Bank Indonesia.
Dengan demikian, JIBOR akan terdiri dari 5 tenor yaitu 1 minggu, 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan
12 bulan yang dipublikasikan di website Bank Indonesia pada pukul 11.00 WIB. 

Penjelasan singkat mengenai JIBOR adalah sebagai berikut:

Apa Itu JISDOR

JISDOR merupakan harga spot USD/IDR, yang disusun berdasarkan kurs transaksi USD/IDR
terhadap rupiah antar bank di pasar valuta asing Indonesia, melalui Sistem Monitoring Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah (SISMONTAVAR) di Bank Indonesia secara real time. JISDOR
dimaksudkan untuk memberikan referensi harga pasar yang representatif untuk transaksi spot
USD/IDR pasar valuta asing Indonesia. JISDOR mulai diterbitkan sejak 20 Mei 2013.

 Data JISDOR tersedia untuk setiap hari kerja, dalam hal ini tidak termasuk Sabtu,
Minggu, hari libur nasional, atau hari lain yang ditetapkan sebagai hari libur yang
berakibat bank tidak melakukan kegiatan operasi.
 Dalam hal tidak terdapat data transaksi spot antar bank selama rentang waktu yang
ditetapkan yang disebabkan oleh ketidaktersediaan data maupun kerusakan sistem, maka
JISDOR akan menampilkan kurs hari kerja sebelumnya.
 Penguatan JISDOR dilakukan sejak Senin, 5 April 2021 sebagaimana disampaikan dalam
“Keputusan dan Siaran Pers RDG Bulanan 21 Januari 2021".
 Pertanyaan dan Jawaban (FAQ) seputar implementasi penguatan JISDOR dapat dilihat
dalam halaman Tanya Jawab JISDOR.

Apa Itu Kurs Transaksi BI

 Kurs Transaksi BI disajikan dalam bentuk kurs jual dan kurs beli valas terhadap rupiah,
digunakan sebagai acuan transaksi BI dengan pihak ketiga, seperti pemerintah.
 Titik tengah Kurs Transaksi BI USD/IDR mengacu pada kurs referensi (JISDOR) hari
kerja sebelumnya (H-1).
 Kurs Transaksi BI diumumkan sekali setiap hari kerja pada pukul 08.00 WIB.
 Penyesuaian publikasi Kurs Transaksi BI terkait dengan implementasi penguatan
JISDOR yang dipublikasikan secara efektif mulai Senin, 5 April 2021.

Apa Itu Pasar Uang

Pasar Uang adalah bagian dari sistem keuangan yang berhubungan dengan kegiatan
perdagangan, pinjam-meminjam, atau pendanaan berjangka pendek sampai dengan 1 (satu) tahun
dalam mata uang rupiah dan valuta asing, yang berperan dalam transmisi kebijakan moneter,
pencapaian stabilitas sistem keuangan, dan kelancaran sistem pembayaran.
Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia melakukan
pengendalian moneter melalui Pasar Uang baik rupiah maupun valuta asing. Untuk
meningkatkan efektivitas kebijakan moneter, makroprudensial, sistem pembayaran dan
pengelolaan uang rupiah yang dilakukan oleh Bank Indonesia, diperlukan pendalaman pasar
keuangan guna mencapai pasar uang domestik yang efisien, likuid, dan dalam.
Pasar uang yang efisien, likuid, dan dalam tidak hanya akan mendukung efektivitas kebijakan
moneter, makroprudensial, sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, tapi juga dapat
memberikan fleksibilitas bagi Pelaku Pasar dalam rangka pengelolaan dana, baik untuk kegiatan
pendanaan, investasi, maupun kegiatan ekonomi lainnya. Oleh karena itu, Bank Indonesia perlu
mempercepat proses pendalaman Pasar Uang melalui pengaturan, perizinan, pengembangan, dan
pengawasan yang komprehensif terhadap berbagai transaksi dan instrumen di Pasar Uang.
Pengaturan Pasar Uang juga dilakukan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan
mengenai perbendaharaan negara terkait penggunaan instrumen Surat Utang Negara sebagai
instrumen moneter melalui operasi moneter yang dilakukan antara lain dengan transaksi
repurchase agreement (repo). Pengaturan Pasar Uang dimaksudkan untuk memberikan landasan
hukum sehingga dapat menjadi pedoman dan memberikan kepastian hukum bagi Pelaku Pasar
dalam bertransaksi di Pasar Uang.

Sertifikasi Tresuri dan Penerapan Kode Etik Pasar

Pengembangan pasar keuangan perlu diimbangi dengan pembentukan pasar keuangan yang
kredibel melalui upaya peningkatan kompetensi dan integritas Pelaku Pasar. Peningkatan
kompetensi dan integritas tersebut dapat diwujudkan dengan mewajibkan Pelaku Pasar untuk
memastikan Direksi dan Pegawainya memiliki Sertifikat Tresuri yang sesuai dengan bentuk
Pelaku Pasar dan jenjang jabatan, serta memastikan penerapan Kode Etik Pasar dan menjadi
anggota asosiasi profesi tresuri.
Upaya peningkatan kompetensi dan integritas Pelaku Pasar tersebut juga perlu didukung dengan
adanya Lembaga Sertifikasi Profesi yang terpercaya. Lembaga Sertifikasi Profesi yang
terpercaya harus dikelola dengan baik dan sesuai standar profesi yang berlaku di Indonesia,
dikelola oleh sumber daya manusia berkualitas, berpengalaman dan kredibel, serta memiliki
perangkat organisasi yang memadai.
Pengaturan melalui PBI No.19/5/PBI/2017 tentang Sertifikasi Tresuri dan Penerapan Kode Etik
Pasar dan PADG No. 19/5/PADG/2017 tentang Pelaksanaan Sertifikasi Tresuri dan Penerapan
Kode Etik Pasar, dimaksudkan untuk memberikan kejelasan atas mekanisme penerapan kode etik
pasar, keanggotaan pada asosiasi profesi tresuri, pelaksanaan sertifikasi tresuri sesuai bentuk
Pelaku Pasar dan jenjang jabatannya, kriteria Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui oleh Bank
Indonesia, serta kewajiban pelaporan oleh Pelaku Pasar dan Lembaga Sertifikasi Profesi.
Adapun ringkasan pengaturan sebagai berikut:

1. Kode etik pasar yang menjadi pedoman Direksi dan Pegawai Pelaku Pasar mengacu pada
kode etik yang diterbitkan oleh asosiasi/komite di industri jasa keuangan, baik
konvensional maupun syariah. Kode etik tersebut harus dipahami dan diterapkan Direksi
dan Pegawai Pelaku Pasar dengan kewajiban Pelaku Pasar memiliki prosedur internal
yang memuat kode etik pasar.
2. Keharusan Pelaku Pasar memastikan Direksi dan Pegawainya menjadi anggota asosiasi
profesi sesuai prinsip usahanya, konvensional, atau syariah.
3. Pengaturan mengenai masa berlaku, perpanjangan, kesesuaian tingkatan dengan jenjang
jabatan, dan pemeliharaan dari Sertifikat Tresuri.
4. Pengaturan dan persyaratan perangkat organisasi, Skema Sertifikasi yang harus dimiliki,
dan penatausahan Sertifikat Tresuri oleh Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui Bank
Indonesia.
5. Penyampaian pelaporan oleh Pelaku Pasar dan Lembaga Sertifikasi Profesi ke Bank
Indonesia.
6. Tata cara pengenaan sanksi bagi Pelaku Pasar dan Lembaga Sertifikasi Profesi.

Kode Etik Pasar

Kode Etik Pasar adalah norma moral profesional tentang perbuatan yang harus dilakukan dan
yang harus dihindari dan menjadi pedoman berperilaku di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing
beserta derivatifnya.
Dalam rangka memperkuat kredibilitas pasar keuangan melalui peningkatan kompetensi dan
integritas pelaku pasar, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia
No.19/5/PBI/2017 tentang Sertifikasi Tresuri dan Penerapan Kode Etik Pasar dan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur No.19/5/PADG/2017 tentang Pelaksanaan Sertifikasi Tresuri dan
Penerapan Kode Etik Pasar sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Anggota Dewan
Gubernur No.21/21/PADG/2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur
No.19/5/PADG/2017 tentang Pelaksanaan Sertifikasi Tresuri dan Penerapan Kode Etik Pasar.
Salah satu maksud diterbitkannya pengaturan ini adalah untuk menerapkan kode etik kepada
pelaku pasar di Indonesia.
Kode Etik Pasar adalah norma moral profesional tentang perbuatan yang harus dilakukan dan
yang harus dihindari yang menjadi pedoman berperilaku di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing
beserta derivatifnya. Sebagai acuan pelaku pasar dalam menerapkan etika tersebut telah
diterbitkan Market Code of Conduct: Guideline to Market Practices in the Financial Market.
Market Code of Conduct yang menjadi rujukan pelaku pasar berdasarkan prinsip konvensional
adalah “Market Code of Conduct” Edisi Ketiga yang diterbitkan oleh Indonesia Foreign
Exchange Market Committee (IFEMC). Market Code of Conduct yang menjadi rujukan pelaku
pasar berdasarkan prinsip syariah adalah “Islamic Financial Market Code of Conduct” yang
diterbitkan oleh Indonesia Islamic Global Market Association (IIGMA).
SURAT PERNYATAAN KOMITMEN TERHADAP KODE ETIK PASAR
Sebagaimana ketentuan tersebut di atas, “Surat Pernyataan Komitmen Terhadap Kode Etik
Pasar” merupakan bentuk komitmen dari Pelaku Pasar dalam menerapkan Kode Etik Pasar.
Pelaku Pasar dapat menyampaikan surat pernyataan komitmen berdasarkan hasil self-
assesment di internal Pelaku Pasar kepada Bank Indonesia untuk dipublikasikan kepada publik.
Surat pernyataan tersebut merupakan wujud komitmen lembaga dalam
mengimplementasikan Market Code of Conduct dalam aktivitas tresuri secara konsisten.
Dengan mengadopsi Market Code of Conduct, pelaku pasar memperoleh manfaat antara lain:

 Meningkatkan implementasi kode etik dalam aktivitas tresuri sesuai dengan international
best market practice.
 Menginformasikan kepada stakeholder dan investor dalam maupun luar negeri, bahwa
lembaga telah memiliki komitmen dalam melaksanakan kode etik pasar, sehingga
stakeholder akan memperoleh manfaat positif dari komitmen tersebut.
 Memberikan keunggulan kompetitif untuk Pelaku Pasar terkait dengan efektivitas dan
perilaku dalam bertransaksi.
 Mendukung implementasi kebijakan pengembangan pasar keuangan Indonesia melalui
upaya menciptakan pasar keuangan yang transparan, efektif, dan resilien.

DISCLAIMER
Surat Pernyataan Komitmen Terhadap Kode Etik Pasar oleh Pelaku Pasar adalah wujud
komitmen lembaga dalam mengimplementasikan Market Code of Conduct dalam aktivitas tresuri
secara konsisten, Bank Indonesia tidak bertanggungjawab atas surat pernyataan tersebut.

Surat Pernyataan Komitmen Terhadap Kode Etik Pasar

Sebagaimana ketentuan tersebut di atas, “Surat Pernyataan Komitmen Terhadap Kode Etik
Pasar” merupakan bentuk komitmen dari Pelaku Pasar dalam menerapkan Kode Etik Pasar.
Pelaku Pasar dapat menyampaikan surat pernyataan komitmen berdasarkan hasil self-assesment
di internal Pelaku Pasar kepada Bank Indonesia untuk dipublikasikan kepada publik. Surat
pernyataan tersebut merupakan wujud komitmen lembaga dalam mengimplementasikan Market
Code of Conduct dalam aktivitas tresuri secara konsisten.
Dengan mengadopsi Market Code of Conduct, pelaku pasar memperoleh manfaat antara lain:

 Meningkatkan implementasi kode etik dalam aktivitas tresuri sesuai dengan international
best market practice.
 Menginformasikan kepada stakeholder dan investor dalam maupun luar negeri, bahwa
lembaga telah memiliki komitmen dalam melaksanakan kode etik pasar, sehingga
stakeholder akan memperoleh manfaat positif dari komitmen tersebut.
 Memberikan keunggulan kompetitif untuk Pelaku Pasar terkait dengan efektivitas dan
perilaku dalam bertransaksi.
 Mendukung implementasi kebijakan pengembangan pasar keuangan Indonesia melalui
upaya menciptakan pasar keuangan yang transparan, efektif, dan resilien.

Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang

Pasar uang yang dalam, likuid, dan efisien mempunyai fungsi strategis dalam mendukung
transmisi kebijakan moneter, makroprudensial, stabilitas sistem keuangan, kelancaran sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. Dalam rangka pengembangan Pasar Uang tersebut
diperlukan pengembangan instrumen Pasar Uang yang dapat ditransaksikan oleh pelaku Pasar
Uang, salah satunya yaitu Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang.
Dari sisi makroekonomi, pasar Sertifikat Deposito yang likuid akan mendukung transmisi
kebijakan moneter melalui penciptaan term structure suku bunga Pasar Uang yang lebih panjang.
Dari sisi mikroekonomi, pasar Sertifikat Deposito yang likuid akan mendukung perbaikan
struktur pendanaan perbankan melalui jangka waktu pendanaan yang lebih panjang dan potensi
penambahan dana pihak ketiga.
Di samping itu, pengembangan instrumen Pasar Uang yang dapat ditransaksikan oleh pelaku
Pasar Uang juga diharapkan dapat mendorong efisiensi pendanaan dan menjadi salah satu
sumber pembiayaan ekonomi nasional. 

Berdasarkan Pasal 18 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 10/POJK.03/2015


tentang Penerbitan Sertifikat Deposito oleh Bank, telah diatur bahwa pemindahtanganan
Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat yang dilakukan melalui Pasar Uang, tunduk pada
ketentuan yang diatur oleh otoritas yang berwenang, yaitu dalam hal ini Bank Indonesia sebagai
otoritas Pasar Uang. Kewenangan Bank Indonesia ini ditegaskan pula dengan diterbitkannya
Peraturan Bank Indonesia mengenai pasar uang.
Di samping itu, sesuai dengan Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal diatur bahwa pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek,
perantara pedagang efek, dan/atau manajer investasi untuk Sertifikat Deposito tidak diwajibkan
untuk memperoleh izin sebagai Perusahaan Efek. Dengan demikian, perlu pengaturan dan
perizinan terhadap pihak tersebut sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai perantara
pelaksanaan transaksi dan penatausahaan Sertifikat Deposito yang diperdagangkan di Pasar
Uang.

Selanjutnya, untuk menciptakan pasar Sertifikat Deposito yang mendukung pembentukan Pasar
Uang yang likuid, dalam, dan efisien perlu diatur Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang.
Selain itu, pengaturan dimaksudkan untuk memitigasi potensi risiko sistemik dalam sistem
keuangan, melalui penguatan aspek governance, kejelasan mekanisme transaksi, dan
kewenangan pengawasan.

Surat Berharga Komersial

Kewenangan Bank Indonesia dalam mengatur instrumen Pasar Uang yang memiliki jangka
waktu sampai dengan 1 (satu) tahun sejalan dengan pengaturan dalam Pasal 70 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal beserta penjelasannya. Dalam Pasal 70 tersebut diatur
bahwa Surat Berharga Komersial sebagai salah satu bentuk efek yang merupakan instrumen
Pasar Uang, dikecualikan dari kewajiban penawaran umum dengan pertimbangan pembinaan,
pengaturan, dan pengawasan efek yang memiliki jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun
dilaksanakan oleh instansi lain.

Pasar Uang yang dalam, likuid, dan efisien mempunyai fungsi strategis bagi Bank Indonesia,
khususnya dalam mendukung transmisi kebijakan moneter, makroprudensial, serta kelancaran
sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah.
Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia sebagai otoritas Pasar Uang telah mengatur
Pasar Uang dan instrumennya dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Pasar
Uang. Di samping itu, untuk memperkuat kredibilitas Pasar Uang sebagai media transmisi
kebijakan moneter pada umumnya dan pasar Surat Berharga Komersial pada khususnya, Bank
Indonesia juga mengatur Surat Berharga Komersial dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang.

Surat Berharga Komersial merupakan surat berharga yang diterbitkan oleh Korporasi Non-Bank
berbentuk surat sanggup (promissory note) dan berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun
yang terdaftar di Bank Indonesia. Dengan melakukan penerbitan Surat Berharga Komersial,
maka Korporasi Non-Bank memiliki alternatif pendanaan atau pengelolaan likuiditas jangka
pendek. Penambahan alternatif tersebut diharapkan dapat mendorong peningkatan efisiensi
dalam pembiayaan ekonomi nasional.
Pengaturan Surat Berharga Komersial difokuskan pada pembentukan pasar dengan basis investor
profesional (qualified investor). Investor profesional (qualified investor) merupakan investor
yang memiliki pengetahuan investasi yang baik termasuk pemahaman atas risiko investasi. Salah
satu cara untuk membentuk pasar dengan basis investor profesional (qualified investor)
dilakukan melalui pembatasan nominal pembelian Surat Berharga Komersial paling sedikit
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Mempertimbangkan hal tersebut, dalam Peraturan
Bank Indonesia dimaksud, diatur aspek keterbukaan informasi yang berbeda dengan aspek
keterbukaan informasi bagi investor yang bukan merupakan investor profesional (unqualified
investor).
Untuk menciptakan pasar Surat Berharga Komersial yang kredibel, efektif, dan efisien, diatur
bahwa Surat Berharga Komersial yang akan diterbitkan wajib memperoleh persetujuan
pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial dari Bank Indonesia. Dalam pendaftaran
dimaksud, Surat Berharga Komersial harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. persyaratan kriteria penerbit;


2. persyaratan kriteria instrumen; dan
3. persyaratan mengenai keterbukaan informasi.

Lebih lanjut, Lembaga Pendukung Pasar Uang yang melakukan kegiatan terkait Surat Berharga
Komersial harus terdaftar di Bank Indonesia. Lembaga Pendukung Pasar Uang tersebut terbagi
menjadi 3 (tiga), yaitu:

1. Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial;


2. Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial; dan
3. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga
Komersial.

Dalam hal terdapat penerbitan promissory note yang tidak didaftarkan di Bank Indonesia sebagai
Surat Berharga Komersial, maka promissory note tersebut tidak termasuk dalam ruang lingkup
pengawasan Bank Indonesia.

Strategi Nasional Pengembangan dan Pendalaman Pasar Keuangan (SN-PPPK)

Salah satu mandat yang diberikan kepada FK-PPPK adalah menyusun Strategi Nasional
Pengembangan dan Pendalaman Pasar Keuangan (SN-PPPK). SN-PPPK merupakan single
policy framework yang komprehensif dan terukur yang diarahkan untuk merealisasikan visi
menciptakan pasar keuangan yang dalam, likuid, efisien, inklusif, dan aman. FK-PPPK
mengembangkan kerangka (framework) dengan menggunakan pendekatan top down yang
mencakup tiga pilar utama. Ketiga pilar tersebut adalah: 

1. Sumber pembiayaan ekonomi dan pengelolaan risiko.


2. Pengembangan infrastruktur pasar.
3. Koordinasi kebijakan, harmonisasi ketentuan, dan edukasi.

Ketiga pilar tersebut dielaborasi ke dalam tujuh elemen pengembangan yang akan
diimplementasikan pada tujuh pasar keuangan, yakni pasar obligasi pemerintah, pasar obligasi
korporasi, pasar uang, pasar valas, pasar saham, pasar structured product, dan pasar keuangan
syariah.
Tahapan implementasi SN-PPPK dibagi ke dalam tiga fase, yaitu fase penguatan fondasi yang
berlangsung pada 2018-2019, fase percepatan yang berlangsung pada 2020-2022, dan fase
pendalaman yang berlangsung pada 2023-2024.
[Unduh Buku SNP3K]

Blueprint Pengembangan Pasar Uang 2025

Sejalan dengan visi Strategi Nasional Pengembangan dan Pendalaman Pasar Keuangan (SN-
PPPK) 2018 – 2024, yaitu mendorong pencapaian karakteristik pasar keuangan yang dalam dan
mampu bersaing di tingkat global, Blueprint Pengembangan Pasar Uang 2025 hadir untuk
melengkapi keseluruhan inisiatif dan implementasi SN-PPPK yaitu akselerasi fase percepatan
(2020 – 2022) dan fase pendalaman (2023 – 2024) hingga akhirnya mencapai kondisi ideal
(desired state) yaitu pasar uang modern dan maju pada tahun 2025.
Blueprint Pengembangan Pasar Uang 2025 berfokus pada tiga inisiatif, yaitu: 1) mendorong
digitalisasi dan penguatan infrastruktur pasar keuangan, 2) memperkuat efektivitas transmisi
kebijakan moneter, dan 3) mengembangkan sumber pembiayaan ekonomi dan pengelolaan
risiko. Ketiga inisiatif ini dilakukan melalui empat belas key deliverable dengan berbagai
program pengembangan dan penguatan baik dari produk, pricing, pelaku pasar, dan infrastruktur
pasar keuangan. Upaya ini diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan pasar yang pada
akhirnya dapat mewujudkan pasar uang modern dan maju yang ditandai dengan iklim pasar uang
yang dalam, inklusif, dan kontributif.
Dengan iklim pasar uang yang dalam, inklusif dan kontirbutif, pasar uang juga dapat berperan
untuk meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter sehingga mendukung stabilitas
moneter dan sistem keuangan. Kondisi ini diharapkan mampu menjadikan pasar uang sebagai
katalis penyedia sumber pembiayaan guna memenuhi kebutuhan pembangunan nasional. Melalui
peran ini pasar uang dapat berkontribusi dalam mewujudkan visi besar nasional yaitu menuju
Indonesia Maju.

[Unduh Blueprint]

Penyelenggara Sarana Pelaksanaan Transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing

Untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui stabilitas moneter yang
didukung oleh stabilitas sistem keuangan dan stabilitas sistem pembayaran, Bank Indonesia
memerlukan dukungan pasar keuangan yang berintegritas, adil, teratur, transparan, likuid, dan
efisien dalam pelaksanaan kebijakan moneter, kebijakan makroprudensial, serta kebijakan sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. Pasar keuangan yang berintegritas, adil, teratur,
transparan, likuid, dan efisien dapat terwujud antara lain dengan tersedianya infrastruktur pasar
keuangan yang andal dan terintegrasi.
Salah satu bentuk dari infrastruktur pasar keuangan adalah penyelenggara sarana pelaksanaan
transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing (Market Operator), yang merupakan tempat
terbentuknya harga (pricing) dan bertemunya Pelaku Pasar (Participants). Terdapat 4 (empat)
jenis penyelenggara sarana pelaksanaan transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang
diatur oleh Bank Indonesia, yaitu:

1. Penyedia Electronic Trading Platform, yaitu badan usaha yang didirikan khusus untuk
menyediakan sarana tertentu yang digunakan dalam melakukan interaksi dan/atau
transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing;
2. Perusahaan Pialang, yaitu badan usaha yang didirikan khusus untuk menyediakan sarana
tertentu bagi kepentingan transaksi pengguna jasa dan memperoleh imbalan atas jasanya;
3. Systematic Internalisers, yaitu bank yang menyediakan sarana tertentu yang digunakan
dalam melakukan transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing atas akun milik
sendiri dengan Pengguna Jasa; dan
4. Penyelenggara Bursa, yaitu bursa berjangka sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai perdagangan berjangka komoditi, yang menyediakan
sarana tertentu bagi Pengguna Jasa untuk melakukan transaksi di Pasar Uang dan/atau
Pasar Valuta Asing.

Pihak yang berperan sebagai penyedia teknologi dan penyelenggara sarana pelaksanaan transaksi
perlu memperhatikan tata kelola yang baik dan manajemen risiko yang efektif, sehingga dapat
mendorong terciptanya Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang berintegritas, adil, teratur,
transparan, likuid, dan efisien. Perwujudan dari tata kelola yang baik dapat dilakukan antara lain
dengan pemenuhan market code of conduct, perlindungan terhadap Pengguna Jasa, dan
peningkatan transparansi harga.
Sarana pelaksanaan transaksi berkembang dengan pesat di dunia seiring dengan meningkatnya
kemajuan teknologi. Dampak dari perkembangan tersebut adalah terdapat beberapa alternatif
sarana pelaksanaan transaksi berbasis Sistem Elektronik yang digunakan oleh Pelaku Pasar
dalam bertransaksi, selain jenis sarana pelaksanaan transaksi yang telah digunakan selama ini.
Dengan mempertimbangkan kondisi perkembangan teknologi dalam sarana penyelenggara
transaksi, perlunya penerapan tata kelola, dan untuk mendorong manajemen risiko yang efektif,
maka Bank Indonesia melakukan pengaturan terhadap Penyelenggara Sarana Pelaksanaan
Transaksi.

Global Benchmark Reform

Diskontinuitas LIBOR
London Interbank Offered Rate (LIBOR) adalah rata-rata tingkat suku bunga yang diminta bank
untuk meminjamkan wholesale unsecured loans. Saat ini LIBOR diadministrasikan oleh ICE
Benchmark Administration. LIBOR dihitung berdasarkan kuotasi yang disampaikan 20 bank
kontributor, dipublikasikan dalam 5 (lima) mata uang dengan 7 tenor, yaitu overnight (O/N), 1
minggu, dan 1, 2, 3, 6, 12 bulan). LIBOR merupakan suku bunga benchmark yang paling banyak
digunakan oleh kontrak keuangan, transaksi derivatif, obligasi, dan pinjaman secara global.
Pada April 2008, harian The Wall Street Journal menerbitkan artikel yang menyatakan dugaan
bahwa selama krisis 2008, beberapa bank kontributor menyampaikan kuotasi suku bunga dengan
tingkat yang tidak sejalan dengan pergerakan pasar saat krisis. Manipulasi LIBOR diyakini
didorong kuat oleh mekanisme penentuan LIBOR yang berdasarkan kuotasi (quotation-based).

Melalui investigasi serta konsultasi pada pasar, pemerintah Inggris menerbitkan  The Wheatley
Report pada 28 November 2012 yang menegaskan perlunya reformasi LIBOR secara
komprehensif. The Wheatley Report meminta FSB (Financial Stability Board) sebagai lembaga
internasional untuk mengkoordinasikan gerakan global untuk mereformasi suku bunga acuan
(Global Benchmark Reform). Pada 2014, FSB membentuk FSB-OSSG sebagai koordinator
Global Benchmark Reform dimaksud.
Pada pidatonya tanggal 27 Juli 2017, Andrew Bailey, Chief Executive dari Financial Conduct
Authority UK (FCA) menyampaikan bahwa reformasi LIBOR sangat terbatas dan dikhawatirkan
tidak cukup robust untuk terus digunakan. Langkah harus dilakukan untuk melakukan transisi ke
alternative reference rate (ARR) yang didasarkan pada transaksi yang telah terjadi (transaction-
based). FCA menyepakati bahwa bank kontributor yang saat ini menyampaikan kuotasi LIBOR
akan tetap memiliki komitmen menyampaikan kuotasi LIBOR sampai dengan akhir 2021. 
Dalam rangka meningkatkan kembali  kredibilitas dan keandalan suku bunga referensi (interest
rate benchmark), G-20 melalui FSB-OSSG telah melakukan beragam upaya untuk
mengkoordinasikan penguatan dan masa transisi suku bunga acuan secara global.
Informasi selengkapnya dapat dilihat melalui dokumen panduan berikut.

Respons Otoritas Global


FSB (Financial Stability Board), organisasi yang beranggotakan otoritas senior dari regulator
keuangan dan bank sentral global, membentuk FSB-OSSG (link) dengan fokus melakukan
agenda benchmark reform. FSB-OSSG bertujuan utama untuk mengupayakan pertukaran
informasi yang efektif serta mengoordinasikan gerakan otoritas secara global dalam menjawab
tantangan benchmark rate reform, yaitu transisi dari LIBOR dan mengembangkan ARR. 
Dalam upayanya, FSB-OSSG meminta ISDA untuk mengkoordinasikan
implementasi fallback pada kontrak derivatif yang mengacu pada IBOR. Perkembangan terkini
fallback kontrak derivatif ISDA dapat dilihat di situs web ISDA.
Untuk perhitungan dan publikasi hasil perhitungan fallback kontrak ISDA tersebut, ISDA telah
menunjuk Bloomberg untuk menyediakan jasa perhitungan dan publikasi hasil perhitungan yang
mulai dipublikasikan sejak 21 Juli 2020. Hasil perhitungan tersebut dapat dilihat di situs
web Bloomberg.

Respons Perkembangan Transisi LIBOR di Negara Lain


Upaya transisi di masing-masing yurisdiksi dilakukan oleh working group yang terdiri dari pihak
otoritas dan pelaku pasar terutama pengguna LIBOR negara tersebut. Perkembangan terkini
terhadap fallback LIBOR dari masing-masing yurisdiksi dapat dilihat pada situs web berikut.
1. USD LIBOR oleh Alternative Reference Rates Committee (ARRC)
2. GBP LIBOR oleh Working Group on Sterling Risk-free Reference Rates (RFR-WG)
3. EUR LIBOR oleh Working Group on Euro Risk-free Rates
4. JPY LIBOR oleh Cross-industry Committee on Japanese Yen Interest Rate Benchmarks
5. CHF LIBOR oleh The National Working Group on Swiss Franc Reference Rates (NWG)
 

Transisi LIBOR di Indonesia

1. Timeline
Bank Indonesia bersama otoritas pasar keuangan lainnya melakukan komunikasi agar transisi
dari LIBOR dapat dilakukan oleh seluruh pelaku pasar domestik. 
Adapun timeline transisi LIBOR adalah sebagai berikut:

2.Survei Kesiapan LIBOR

a.Survei Kepada Perbankan


Sebagai langkah untuk mengidentifikasi penggunaan LIBOR di pasar keuangan domestik, Bank
Indonesia telah melakukan survei kepada perbankan. Survei bertujuan untuk mendapatkan
gambaran mengenai besarnya eksposur perbankan yang terkait dengan LIBOR serta kesiapan
perbankan dalam mengantisipasi diskontinuitas LIBOR.
Survei disampaikan kepada 39 bank domestik yang aktif bertransaksi valuta asing dan mewakili
86% eksposur kredit valas, kredit rupiah dan transaksi derivatif valas. Berdasarkan hasil survei
diperoleh informasi sebagai berikut:
b.Survei Kepada Korporasi Non Keuangan
Pada akhir tahun 2020, Bank Indonesia melakukan survei kepada korporasi non-keuangan
dengan kepemilikan valas yang tinggi. Dari total responden sejumlah 219 korporasi, hanya 11%
atau sebanyak 23 korporasi yang memiliki eksposur LIBOR. Dari 23 korporasi yang memiliki
eksposur LIBOR tersebut, mayoritas responden (70% korporasi) belum melakukan transisi
dengan penyebab yang paling dominan adalah belum cukupnya informasi yang dimiliki untuk
dapat melakukan transisi. Sementara sebagian korporasi lainnya sudah mengidentifikasi kontrak
keuangan yang memiliki eksposur LIBOR, namun masih proses melakukan upaya transisi.

3. CEO Letter

Bank Indonesia mendorong kesiapan pelaku pasar terkait diskontinuitas LIBOR melalui
pengiriman CEO Letter pada seluruh bank dan beberapa korporasi pada bulan Juni 2020.
Melalui CEO Letter tersebut Bank Indonesia mengingatkan para pimpinan bank dan korporasi
domestik untuk melakukan langkah-langkah antisipasi sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi kontrak keuangan yang menggunakan LIBOR;


2. Menyusun rencana kontingensi atas kontrak keuangan yang telah menggunakan LIBOR
dengan mengupayakan menambahkan klausul fallback pada kontrak keuangan
dengan counterparty terkait.
3. Secara aktif mulai membatasi penggunaan LIBOR pada kontrak keuangan yang baru.
4. Menganalisis tindakan yang harus dilakukan proses bisnis terdampak sebagai bagian dari
mitigasi risiko.
5. Melakukan dokumentasi tata kelola pelaksanaan transisi LIBOR.

4.National Working Group

Sejalan dengan rekomendasi dari FSB-OSSG, untuk mengantisipasi diskontinuitas LIBOR, Bank
Indonesia berkoordinasi dengan otoritas lain di pasar keuangan domestik, yaitu Otoritas Jasa
Keuangan dan Kementerian Keuangan serta melakukan dialog dengan asosiasi industri yang
diwakili oleh IFEMC (Indonesia Foreign Exchange Market Committee).
Kerjasama dan koordinasi erat antar otoritas di pasar keuangan domestik merupakan langkah
strategis yang berperan penting untuk memastikan agar langkah antisipasi terhadap
diskontinuitas LIBOR dapat dilakukan secara masif dan terukur.
Pada bulan November 2020, forum koordinasi menyepakati pembentukan National Working
Group untuk bersama-sama mengatasi berbagai tantangan dalam melakukan transisi LIBOR
termasuk aspek legal, akunting, pajak, risk management dan sistem infrastruktur.

Indonesia Benchmark Reform

 
a. Interest Rate Benchmark (JIBOR)

Indonesia sebagai anggota G-20 turut melakukan benchmark reform, dengan menerbitkan


IndONIA sebagai risk-free rate (RFR) di Indonesia, serta memperkuat JIBOR maupun JISDOR.
Penguatan benchmark terus dilakukan untuk membangun suku bunga acuan domestik yang
semakin kredibel. 
Terdapat dua suku bunga acuan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia yaitu JIBOR dan
IndONIA.JIBOR (Jakarta Interbank Offered Rate) ditetapkan oleh Bank Indonesia berdasarkan
kuotasi suku bunga indikasi pinjaman yang ditawarkan oleh Bank Kontributor.
Pada mulanya, JIBOR terdiri dari tenor O/N, 1 minggu, 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan.
Sejalan dengan penguatan suku bunga acuan yang dilakukan secara global, Bank Indonesia
secara aktif turut berupaya dalam melakukan penguatan suku bunga acuan di pasar domestik
dengan mengeluarkan RFR yang disebut IndONIA (Indonesia Overnight Index Average) untuk
menggantikan JIBOR tenor O/N.
Berbeda dengan JIBOR, pembentukan suku bunga IndONIA dihitung didasarkan pada seluruh
riil transaksi pinjam meminjam antar bank (PUAB) dengan tenor O/N di hari yang sama.  Sejak
2 Januari 2019, JIBOR tenor O/N tidak lagi dikeluarkan dan IndONIA resmi berlaku.
Saat ini penguatan JIBOR sebagai acuan suku bunga dengan tenor selain overnight  tetap
berlanjut.  Dalam menjalankan agenda benchmark reform, Bank Indonesia terus melakukan
penguatan JIBOR dengan penerapan metode transactable dan waterfall methodology pada
mekanisme penyampaian suku bunga JIBOR. Review kontributor JIBOR juga dilakukan secara
berkala untuk menjaga kredibilitas benchmark rate suku bunga rupiah.
Upaya penguatan risk-free rate (RFR) Rupiah dilakukan seiring dengan pengembangan
likuiditas pasar transaksi pasar Interest Rate Swap (IRS) rupiah dan pasar Overnight Index
Swap (OIS). Sebagai intermediate effort, peningkatan likuiditas di pasar OIS yang menggunakan
IndONIA sebagai suku bunga acuan diharapkan dapat mendorong alignment  pada suku bunga
acuan saat ini (JIBOR) yang berbasis kuotasi.  Kredibilitas suku bunga acuan sangat penting
dalam pengembangan transaksi di pasar uang, dari penggunaan untuk transaksi yang sederhana, 
seperti pinjam meminjam hingga transaksi yang lebih kompleks, seperti
transaksi hedging  dan exotic transaction.    

 
b. Foreign Exchange Benchmark (JISDOR)
Pada 20 Mei 2013, Bank Indonesia menerbitkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR).
JISDOR merupakan harga spot USD/IDR, yang disusun berdasarkan kurs transaksi USD/IDR
terhadap rupiah antar bank di pasar valuta asing Indonesia, melalui Sistem Monitoring Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah (SISMONTAVAR) di Bank Indonesia secara real-time.
JISDOR dimaksudkan untuk memberikan informasi harga pasar yang representatif dari transaksi
spot USD/IDR pasar valuta asing Indonesia.
Saat ini, Bank Indonesia sedang berupaya untuk melakukan penguatan JISDOR. Penguatan
JISDOR akan dilakukan dengan memperpanjang durasi pengamatan transaksi dari yang semula
dari pukul 08.00-09.45 WIB menjadi 08.00-16.00 WIB. Hal ini dimaksudkan untuk:

 Meningkatkan kredibilitas JISDOR sebagai kurs yang mencerminkan rata-rata


pergerakan kurs spot sepanjang hari
 Mendukung upaya menjadikan JISDOR sebagai official benchmark USD/IDR rate
 Menyediakan kurs referensi yang sesuai dengan standar internasional bagi pelaku pasar
domestik dan offshore
 Mendukung penguatan operasi moneter

Anda mungkin juga menyukai