Anda di halaman 1dari 17

Tentang BI

Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia
bertugas untuk mengelola tiga bidang yaitu Moneter, Sistem Pembayaran, dan Stabilitas Sistem
Keuangan. Ketiga bidang tugas tersebut perlu diintegrasi agar tujuan tunggal dapat dicapai secara
efektif dan efisien. Ketahui lebih lanjut mengenai profil organisasi, sejarah, dan transformasi Bank
Indonesia melalui menu berikut.

Status dan Kedudukan


Lembaga Negara yang Independen
Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang independen dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya dimulai ketika sebuah undang-undang baru, yaitu UU No.
23/1999 tentang Bank Indonesia, dinyatakan berlaku pada tanggal 17 Mei 1999 dan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 6/ 2009. Undang-undang ini
memberikan status dan kedudukan sebagai suatu lembaga negara yang independen dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak
lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini.
Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan setiap tugas
dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tersebut. Pihak luar tidak
dibenarkan mencampuri pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga
berkewajiban untuk menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak
manapun juga.
Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia dapat melaksanakan
peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih efektif dan efisien.

Sebagai Badan Hukum


Status Bank Indonesia baik sebagai badan hukum publik maupun badan hukum perdata
ditetapkan dengan undang-undang. Sebagai badan hukum publik Bank Indonesia berwenang
menetapkan peraturan-peraturan hukum yang merupakan pelaksanaan dari undang-undang yang
mengikat seluruh masyarakat luas sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Sebagai badan
hukum perdata, Bank Indonesia dapat bertindak untuk dan atas nama sendiri di dalam maupun di
luar pengadilan.

Visi dan Misi


Visi
Menjadi bank sentral digital terdepan yang berkontribusi nyata terhadap perekonomian nasional
dan terbaik di antara negara emerging markets untuk Indonesia maju.
Misi
1. Mencapai dan memelihara stabilitas nilai Rupiah melalui efektivitas kebijakan moneter dan
bauran Kebijakan Bank Indonesia;.
2. Turut menjaga stabilitas sistem keuangan melalui efektivitas kebijakan makroprudensial
Bank Indonesia dan sinergi dengan kebijakan mikroprudensial Otoritas Jasa Keuangan;
3. Turut mengembangkan ekonomi dan keuangan digital melalui penguatan kebijakan sistem
pembayaran Bank Indonesia dan sinergi dengan kebijakan Pemerintah serta mitra strategis
lain;
4. Turut mendukung stabilitas makroekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan
melalui sinergi bauran Kebijakan Bank Indonesia dengan kebijakan fiskal dan reformasi
struktural Pemerintah serta kebijakan mitra strategis lain;
5. Turut meningkatkan pendalaman pasar keuangan untuk memperkuat efektivitas kebijakan
Bank Indonesia dan mendukung pembiayaan ekonomi nasional;
6. Turut mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah di tingkat nasional hingga di tingkat
daerah;
7. Mewujudkan bank sentral berbasis digital dalam kebijakan dan kelembagaan melalui
penguatan organisasi, sumber daya manusia, tata kelola dan sistem informasi yang handal,
serta peran internasional yang proaktif.

Tujuan dan Tugas


Tujuan Tunggal
Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua
aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata
uang negara lain.
Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua tercermin pada
perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Perumusan tujuan tunggal ini
dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai Bank Indonesia serta batas-batas
tanggung jawabnya. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak
akan dapat diukur dengan mudah.

Tiga Pilar Utama


Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar yang merup akan tiga
bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas tersebut perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien. Berikut tugas dan
fungsi Bank Indonesia yang telah dituangkan dalam bentuk gambar berisi tiga pilar.

Fungsi Utama
Bank Indonesia berkomitmen untuk senantiasa mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah
melalui pengelolaan bidang Moneter, Sistem Pembayaran, dan Stabilitas Sistem Keuangan.
Pengelolaan ketiga bidang tersebut diimplementasikan melalui kebijakan yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia dan dioperasikan melalui berbagai instrumen yang sesuai dengan bidang tugas
terkait. Ketahui lebih lanjut mengenai kebijakan serta indikator perekonomian Indonesia pada
masing-masing bidang tugas Bank Indonesia melalui menu berikut.
Tujuan Kebijakan Moneter
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah. Tujuan
ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang
sebagaimana diubah melalui UU No. 3 Tahun 2004 dan UU No. 6 Tahun 2009 pada pasal 7.
Kestabilan Rupiah yang dimaksud mempunyai dua dimensi. Dimensi pertama kestabilan nilai
Rupiah adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin dari
perkembangan laju inflasi. Sementara itu, dimensi kedua terkait dengan kestabilan nilai tukar
Rupiah terhadap mata uang negara lain. Indonesia menganut sistem nilai tukar mengambang
(free floating). Namun, peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga
dan sistem keuangan.

Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia sejak 1 Juli 2005 menerapkan kerangka
kebijakan moneter Inflation Targeting Framework (ITF). Kerangka kebijakan tersebut dipandang
sesuai dengan mandat dan aspek kelembagaan yang diamanatkan oleh Undang-Undang. Dalam
kerangka ini, inflasi merupakan sasaran yang diutamakan (overriding objective). Bank Indonesia
terus melakukan berbagai penyempurnaan kerangka kebijakan moneter, sesuai dengan
perubahan dinamika dan tantangan perekonomian yang terjadi, guna memperkuat efektivitasnya.
Kerangka Kebijakan Moneter
Dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut kerangka kerja yang
dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF). ITF merupakan suatu kerangka kerja
(framework) dengan kebijakan moneter yang diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang
ditetapkan ke depan dan diumumkan kepada publik sebagai perwujudan dari komitmen dan
akuntabilitas bank sentral. ITF diimplementasikan dengan menggunakan suku bunga kebijakan
sebagai sinyal kebijakan moneter dan suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) sebagai
sasaran operasional. Kerangka kerja ini diterapkan secara formal sejak 1 Juli 2005, setelah
sebelumnya menggunakan kerangka kebijakan moneter dengan uang primer (base money)
sebagai sasaran kebijakan moneter.

Berpijak pada pengalaman krisis keuangan global 2008/2009, salah satu pelajaran penting yang
mengemuka adalah perlunya fleksibilitas yang cukup bagi bank sentral untuk merespons
perkembangan ekonomi yang semakin kompleks dan peran sektor keuangan yang semakin kuat
dalam memengaruhi stabilitas ekonomi makro. Berdasarkan perkembangan tersebut, Bank
Indonesia memperkuat kerangka ITF menjadi Flexible ITF.
Apa itu Flexible ITF?
Flexible ITF dibangun dengan tetap berpijak pada elemen-elemen penting ITF yang telah
terbangun. Elemen-elemen pokok ITF termasuk pengumuman sasaran inflasi kepada publik,
kebijakan moneter yang ditempuh secara forward looking (kebijakan moneter diarahkan untuk
mencapai sasaran inflasi pada periode yang akan datang karena mempertimbangkan adanya efek
tunda/time lag kebijakan moneter).
Akuntabilitas kebijakan kepada publik tetap menjadi bagian inherent dalam Flexible ITF. Kerangka
Flexible ITF dibangun berdasarkan 5 elemen pokok, yaitu:
1. Strategi penargetan inflasi (Inflation Targeting) sebagai strategi dasar kebijakan moneter.
2. Integrasi kebijakan moneter dan makroprudensial untuk memperkuat transmisi kebijakan dan
sekaligus mengupayakan stabilitas makroekonomi.
3. Peran kebijakan nilai tukar dan arus modal dalam mendukung stabilitas makroekonomi.
4. Penguatan koordinasi kebijakan Bank Indonesia dengan Pemerintah untuk pengendalian inflasi
maupun dalam menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan.
5. Penguatan strategi komunikasi kebijakan sebagai bagian dari instrumen kebijakan.
Mengapa Flexible ITF?
Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008/2009 mengharuskan bank sentral untuk
melakukan stabilitas sistem keuangan dan penyelamatan perekonomian. Kebijakan yang hanya
mengedepankan penerapan ITF dipandang tidak lagi sesuai. Hal ini dikarenakan penerapan ITF
secara ketat hanya fokus pada mandat kebijakan moneter untuk menjaga inflasi sesuai dengan
targetnya, tidak cukup untuk menjaga stabilitas sistem perekonomian secara keseluruhan.
Peran sistem keuangan makin besar dalam perekonomian, sehingga dampak ketidakstabilan
sistem keuangan menjadi makin signifikan. Hal ini tercermin dari besarnya biaya penyelamatan
dan dampak yang ditimbulkan oleh krisis keuangan global tahun 2008/2009. Hal ini menyadarkan
pentingnya peran bank sentral untuk turut menjaga stabilitas sistem keuangan. Penerapan ITF
untuk pencapaian stabilitas harga hanya memenuhi syarat perlu, belum kondisi kecukupan
(necessary but not sufficient).
Pascakrisis keuangan global tahun 2008/2009, bank sentral dituntut untuk semakin memperkuat
stabilitas sistem keuangan untuk memastikan perekonomian berada dalam kondisi stabil, baik dari
sisi makroekonomi maupun sektor keuangan. Untuk itu, keberhasilan penerapan ITF harus
didukung dengan kerangka pengaturan di sektor keuangan secara makro (macroprudential
regulatory framework). Oleh karena itu, Bank Indonesia memperkuat kerangka ITF menjadi
flexible ITF dengan makin memperkuat mandatnya dalam menjaga stabilitas harga dan turut
mendukung stabilitas sistem keuangan.

Bagaimana Flexible ITF diterapkan?


Pencapaian overriding objective ITF dan Flexible ITF adalah sama, yaitu pengendalian inflasi.
Dimensi baru sejak krisis keuangan global adalah perkembangan peran bank sentral dalam turut
menjaga stabilitas sistem keuangan secara terintegrasi dengan mandat mencapai stabilitas harga.
Pengejawantahan Flexible ITF adalah adanya ruang fleksibilitas dalam mengintegrasikan
kerangka stabilitas moneter dan sistem keuangan melalui penerapan instrumen bauran kebijakan
moneter, makroprudensial, nilai tukar, aliran modal dan penguatan kelembagaan untuk
mengoptimalkan peran kordinasi dan komunikasi kebijakan.
Terkait dengan strategi penargetan inflasi (inflation targeting), Bank Indonesia mengumumkan
sasaran inflasi ke depan pada periode tertentu. Sasaran inflasi ditetapkan oleh pemerintah
berkoordinasi dengan Bank Indonesia untuk tiga tahun ke depan melalui Peraturan Menteri
Keuangan (PMK). Setiap periode Bank Indonesia mengevaluasi apakah proyeksi inflasi ke depan
masih sesuai dengan sasaran yang ditetapkan. Proyeksi ini dilakukan dengan sejumlah model
dan berbagai informasi yang tersedia untuk menggambarkan kondisi inflasi ke depan sebagai
basis kebijakan moneter yang ditempuh. Hal ini merupakan implikasi dari adanya efek tunda/time
lag kebijakan moneter sehingga target dalam pelaksanaan kebijakaan moneter didasarkan pada
perkiraan inflasi ke depan. Upaya pencapaian target tersebut dilakukan melalui respons bauran
kebijakan (policy mix) dengan memenuhi aspek transparansi dan akuntabilitas.

Bank Indonesia melaporkan pelaksanaan tugas tersebut secara reguler kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan juga Pemerintah. Secara reguler, Bank Indonesia juga menjelaskan
kepada publik mengenai asesmen terhadap kondisi terkini dan outlook inflasi ke depan, keputusan
yang diambil, serta arah kebijakan ke depan yang akan diambil untuk menjaga inflasi sesuai
dengan sasarannya (forward guidance). Hal ini tidak hanya untuk memenuhi aspek transparansi
namun juga penting dalam memperkuat kredibilitas Bank Indonesia sehingga kebijakan yang
ditempuh menjadi lebih efektif.
Dalam rangka memperkuat efektivitas transmisi kebijakan moneter, pada 19 Agustus 2016 Bank
Indonesia menetapkan BI 7-day (Reverse) Repo Rate (BI 7DRR) sebagai suku bunga kebijakan
yang merepresentasikan sinyal respons kebijakan moneter dalam mengendalikan inflasi sesuai
dengan sasaran. Penggunaan BI 7DRR sebagai suku bunga acuan merupakan bagian dari
reformulasi kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
Sebelumnya, Bank Indonesia menggunakan BI Rate sebagai suku bunga acuan yang setara
dengan dengan instrumen moneter 12 bulan. Melalui penetapan BI 7DRR sebagai suku bunga
acuan, tenor instrumen menjadi lebih pendek yakni setara dengan instrumen moneter 7 hari
sehingga diharapkan dapat mempercepat transmisi kebijakan moneter dan mengarahkan inflasi
sesuai dengan sasarannya.
Reformulasi kebijakan moneter memiliki tiga tujuan utama. Pertama, memperkuat sinyal arah
kebijakan moneter. Kedua, memperkuat efektivitas transmisi kebijakan moneter melalui
pengaruhnya pada pergerakan suku bunga pasar uang dan suku bunga perbankan. Ketiga,
mendorong pendalaman pasar keuangan, khususnya transaksi dan pembentukan struktur suku
bunga di PUAB untuk tenor 3 bulan hingga 12 bulan.
Dalam implementasinya, reformulasi kebijakan moneter memegang empat prinsip. Pertama,
reformulasi tidak mengubah kerangka kebijakan moneter karena Bank Indonesia tetap
menerapkan Flexible ITF. Kedua, reformulasi tidak untuk mengubah stance kebijakan moneter
yang sedang ditempuh. Ketiga, reformulasi membuat suku bunga kebijakan terefleksikan di
instrumen moneter dan dapat ditransaksikan dengan Bank Indonesia. Keempat, penentuan suku
bunga sasaran operasional berdasarkan pertimbangan dapat dipengaruhi oleh suku bunga
kebijakan. Sesuai dengan prinsip kedua, perubahan tersebut tidak mengubah stance kebijakan
moneter karena kedua suku bunga kebijakan BI Rate dan BI 7DRR berada dalam satu struktur
suku bunga (term structure) yang sama dalam mengarahkan inflasi agar sesuai dengan
sasarannya.
Implementasi flexible ITF juga didukung oleh kebijakan pengelolaan nilai tukar. Kebijakan nilai
tukar yang ditempuh Bank Indonesia dalam rangka mengelola stabilitas nilai tukar Rupiah agar
sesuai dengan nilai fundamentalnya dengan tetap mendorong bekerjanya mekanisme pasar.
Kebijakan nilai tukar dilakukan dalam rangka mengurangi gejolak yang muncul dari
ketidakseimbangan permintaan dan penawaran di pasar valuta asing (valas), melalui strategi triple
intervention. Strategi triple intervention dilakukan melalui intervensi jual di pasar spot, pasar
Domestik Non-Deliverable Forward (DNDF) atau pasar berjangka valas serta pembelian Surat
Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Strategi triple intervention dilakukan untuk menjaga
kestabilan nilai tukar dan sekaligus menjaga kecukupan likuiditas Rupiah.
Implementasi Flexible ITF juga didukung oleh kebijakan pengelolaan nilai tukar. Kebijakan nilai
tukar ditempuh Bank Indonesia untuk mengelola stabilitas nilai tukar Rupiah agar sesuai dengan
nilai fundamentalnya dengan tetap mendorong bekerjanya mekanisme pasar. Kebijakan nilai tukar
dilakukan dalam rangka mengurangi gejolak yang muncul dari ketidakseimbangan permintaan dan
penawaran di pasar valuta asing (valas) melalui intervensi jual di pasar spot, pasar Domestik Non-
Deliverable Forward (DNDF) atau pasar berjangka valas serta pembelian Surat Berharga Negara
(SBN) di pasar sekunder. Strategi ini dilakukan untuk menjaga kestabilan nilai tukar dan sekaligus
menjaga kecukupan likuiditas Rupiah.
Berbagai kebijakan tersebut diperkuat oleh koordinasi kebijakan bersama Pemerintah, khususnya
dari sisi penawaran. Kebijakan pemerintah terutama diarahkan untuk menjaga keterjangkauan
harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, dan komunikasi efektif untuk stabilisasi harga
pangan guna mendukung terkendalinya inflasi. Koordinasi kebijakan pengendalian inflasi antara
Bank Indonesia dengan Pemerintah yang semakin kuat diwujudkan melalui forum Tim
Pengendalian Inflasi (TPI) baik di pusat maupun daerah. Koordinasi kebijakan dengan Pemerintah
juga dilakukan dalam rangka memperkuat stabilitas sistem keuangan. Melalui komite Stabilitas
Sistem Keuangan, Bank Indonesia bersama dengan Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menetapkan langkah koordinasi dan
memberikan rekomendasi dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan Stabilitas Sistem
Keuangan.

Transmisi Kebijakan Moneter


Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai Rupiah yang
salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Untuk mencapai tujuan itu,
Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR)
sebagai instrumen kebijakan utama untuk memengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan
tujuan akhir pencapaian inflasi. Proses tersebut atau transmisi dari keputusan BI-7 Day Reverse
Repo Rate (BI7DRR) sampai dengan pencapaian sasaran inflasi tersebut melalui berbagai
channel dan memerlukan waktu (time lag).
Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini memerlukan waktu (time lag). Time lag masing-
masing jalur bisa berbeda. Dalam kondisi normal, perbankan akan merespons
kenaikan/penurunan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) dengan kenaikan/penurunan suku
bunga perbankan. Namun demikian, apabila perbankan melihat risiko perekonomian cukup tinggi,
respons perbankan terhadap penurunan suku bunga BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR)
akan lebih lambat. Sebaliknya, apabila perbankan sedang melakukan konsolidasi untuk
memperbaiki permodalan, penurunan suku bunga kredit dan peningkatan permintaan kredit tidak
selalu direspons dengan menaikkan penyaluran kredit. Di sisi permintaan, penurunan suku bunga
kredit perbankan juga tidak selalu direspons oleh meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat
apabila prospek perekonomian sedang lesu. Efektivitas transmisi kebijakan moneter dipengaruhi
oleh kondisi eksternal, sektor keuangan dan perbankan, serta sektor riil.
Pada jalur suku bunga, perubahan BI 7DRR memengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga
kredit perbankan. Bank Indonesia dapat menggunakan kebijakan moneter yang ketat melalui
peningkatan suku bunga yang berdampak pada permintaan agregat sehingga menurunkan
tekanan inflasi. Sebaliknya, penurunan suku bunga BI 7DRR akan menurunkan suku bunga kredit
sehingga permintaan kredit dari perusahaan dan rumah tangga meningkat. Penurunan suku
bunga kredit juga menurunkan biaya modal perusahaan untuk melakukan investasi. Hal ini
meningkatkan aktivitas konsumsi dan investasi sehingga mendorong perekonomian.
Perubahan suku bunga BI 7DRR dapat memengaruhi nilai tukar (jalur nilai tukar). Kenaikan BI
7DRR, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan selisih antara suku bunga di Indonesia dengan
suku bunga luar negeri. Dengan melebarnya selisih suku bunga tersebut mendorong investor
asing untuk menanamkan modal ke dalam instrumen-instrumen keuangan di Indonesia, karena
mereka akan mendapatkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Aliran modal masuk asing ini
pada gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah mengakibatkan
harga barang impor lebih murah dan barang ekspor kita di luar negeri menjadi lebih mahal atau
kurang kompetitif sehingga akan mendorong impor dan mengurangi ekspor. Apresiasi nilai tukar
tersebut akan berdampak pada penurunan tekanan inflasi.
Perubahan suku bunga BI 7DRR juga memengaruhi perekonomian makro melalui perubahan
harga aset. Kenaikan suku bunga akan menurunkan harga aset seperti saham dan obligasi,
sehingga mengurangi kekayaan individu dan perusahaan yang pada gilirannya mengurangi
kemampuan mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan investasi. Hal ini
akan mengurangi permintaan agregat sehingga menurunkan tekanan inflasi.
Dampak perubahan suku bunga pada kegiatan ekonomi juga memengaruhi ekspektasi publik
terhadap inflasi (jalur ekspektasi). Penurunan suku bunga akan mendorong aktivitas ekonomi dan
pada akhirnya inflasi akan mendorong pekerja untuk mengantisipasi kenaikan inflasi dengan
meminta upah yang lebih tinggi. Upah ini pada akhirnya akan dibebankan oleh produsen kepada
konsumen melalui kenaikan harga.
Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini memerlukan waktu (time lag). Time lag masing-
masing jalur bisa berbeda. Dalam kondisi normal, perbankan akan merespons
kenaikan/penurunan BI 7DRR dengan kenaikan/penurunan suku bunga perbankan. Namun
demikian, apabila perbankan melihat risiko perekonomian cukup tinggi, respons perbankan
terhadap penurunan suku bunga BI 7DRR akan lebih lambat. Sebaliknya, apabila perbankan
sedang melakukan konsolidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan suku bunga kredit dan
peningkatan permintaan kredit tidak selalu direspons dengan menaikkan penyaluran kredit. Di sisi
permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan juga tidak selalu direspons oleh
meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat apabila prospek perekonomian sedang lesu.
Efektivitas transmisi kebijakan moneter dipengaruhi oleh kondisi eksternal, sektor keuangan dan
perbankan, serta sektor riil.
Transparansi dan Komunikasi
Berdasarkan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 3 tahun 2004 dan UU No. 6 tahun 2009, pada pasal 4 ayat 2 tertera bahwa Bank
Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah
dan/atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-
Undang. Pemberian independensi tersebut, diimbangi dengan pelaksanaan transparansi dan
akuntabilitas.

Transparansi
Prinsip yang mendasari transparansi kebijakan moneter adalah agar informasi yang disampaikan
memungkinkan publik untuk memahami dan mampu mengantisipasi keputusan-keputusan bank
sentral untuk mencapai target akhir yang ditetapkan. Berdasarkan hal tersebut, cakupan informasi
yang disampaikan kepada publik meliputi aspek berikut:
Tujuan
Bank sentral menyampaikan secara jelas dan konsisten mengenai apa yang akan dicapai dari
kebijakan moneter, baik mengenai tujuan akhir maupun tujuan jangka pendek, serta rasionalitas
dari penetapan tujuan tersebut.
Metode
Bank sentral transparan terkait aktivitas prosedural dalam kebijakan moneter (a.l menyampaikan
operasi moneter yang dilakukan, hasil prakiraan dan model ekonomi yang dipergunakan termasuk
gambaran pokok dan asumsi-asumsi yang digunakan). Hal tersebut untuk membentuk ekspektasi
di pasar keuangan serta menghindari dan meminimalkan gejolak yang terjadi di pasar. Selain itu,
hal tersebut diperlukan untuk meningkatkan pemahaman publik terhadap kebijakan moneter bank
sentral.
Pengambilan keputusan
Bank sentral mengumumkan kebijakan yang ditempuh dengan pertimbangan yang mendasarinya,
misalnya keputusan mengenai suku bunga kebijakan, segera setelah keputusan tersebut diambil.
Selain itu, ada beberapa pokok cakupan transparansi mengenai kebijakan moneter yang baik
yang tertuang dalam “Code of Good Practices on Transparency in Monetary and Financial
Policies”. Dokumen tersebut dikembangkan oleh IMF sejak tahun 1999 dan kini telah diikuti oleh
banyak negara anggotanya. Beberapa pokok cakupan transparansi tersebut antara lain:
 Kejelasan mengenai peran, wewenang, dan tujuan otoritas kebijakan moneter.
 Keterbukaan mengenai proses perumusan dan pelaporan kebijakan moneter.
 Ketersediaan informasi kebijakan moneter kepada publik.
 Akuntabilitas dan jaminan integritas dari otoritas moneter.

Komunikasi Kebijakan Moneter


Efektivitas kebijakan moneter dapat ditingkatkan melalui komunikasi yang efektif, terlebih dalam
kondisi meningkatnya ketidakpastian. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter hanya dapat
memengaruhi secara langsung suku bunga jangka pendek, sementara suku bunga jangka
panjang lebih ditentukan oleh ekspektasi kebijakan moneter ke depan yang dapat diarahkan
melalui komunikasi kebijakan.
Komunikasi turut berperan dalam penguatan transparansi dan akuntabilitas Bank Indonesia
dengan cara memberikan pemahaman kepada publik terkait kebijakan moneter secara
keseluruhan, membantu menggerakkan ekspektasi publik dan pelaku pasar, serta mengurangi
ketidakpastian ke depan. Komunikasi kebijakan moneter Bank Indonesia dilakukan melalui
berbagai media antara lain:
 Siaran Pers dan Konferensi Pers
 Publikasi berupa Laporan Kebijakan Moneter, Indonesia: Perekonomian Terkini dan
Respons Kebijakan, Laporan Perekonomian Indonesia, Laporan Triwulanan DPR RI dll.
 Website Bank Indonesia
 Talkshow di radio dan televisi
 Seminar/Diskusi dengan stakeholders
 Diseminasi di daerah

Akuntabilitas
UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang telah diamandemen dengan UU No. 3
Tahun 2004 (sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia No. 6/2009)
mengamanatkan akuntabilitas Bank Indonesia dalam pelaksanaan tugas, wewenang, dan
anggaran.

Prinsip akuntabilitas dari pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia diterapkan dengan
cara menyampaikan informasi langsung kepada masyarakat luas melalui media massa pada
setiap awal tahun, mengenai evaluasi pelaksanaan kebijakan moneter pada tahun sebelumnya,
serta rencana kebijakan moneter dan penetapan sasaran-sasaran moneter untuk tahun yang akan
datang. Informasi tersebut juga disampaikan secara tertulis kepada Presiden dan DPR.
Akuntabilitas juga terkait erat dengan independensi. Semakin besarnya independensi yang
diberikan kepada bank sentral menuntut pula pentingnya akuntabilitas.

Koordinasi dan Pengendalian Inflasi


Inflasi yang rendah dan stabil diperlukan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, sesuai
dengan tujuan kebijakan makro. Namun, sumber tekanan inflasi tidak hanya berasal dari
permintaan yang dapat dikelola oleh Bank Indonesia, tetapi juga berasal dari sisi penawaran,
yakni berkaitan dengan produksi dan distribusi barang. Selain itu, shocks dari inflasi juga dapat
berasal dari kebijakan pemerintah terkait dengan barang-barang yang termasuk ke dalam
kelompok administered price (kelompok barang yang harganya diatur oleh Pemerintah) seperti
harga BBM dan komoditas energi lainnya. Oleh karena itu, diperlukan bauran kebijakan untuk
dapat mencapai tujuan tersebut.
Bank Indonesia berkoordinasi dengan Pemerintah dalam melakukan pengendalian inflasi, baik
dalam ruang lingkup daerah maupun nasional. Sementara itu, Pemerintah berperan dalam
mengendalikan ekspektasi inflasi dan mengelola penawaran, diantaranya pengelolaan terhadap
pasokan, distribusi, konektivitas, rantai perdagangan, dan subsidi. Sinergi dibentuk untuk
mengendalikan inflasi agar tetap berada pada kisaran sasaran akhir yang telah ditetapkan dengan
cara membentuk Tim Pengendalian Inflasi (TPI). TPI di level pusat terbentuk sejak tahun 2005,
kemudian diperkuat dengan pembentukan TPI di level daerah sejak tahun 2008.
Koordinasi pengendalian inflasi diperkuat dengan landasan hukum berupa Perpres No.23/2017
tentang Tim Pengendalian Inflasi Nasional (TPIN). Keppres tersebut menaungi mekanisme
koordinasi pengendalian inflasi melalui pembentukan Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP), Tim
Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi, dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID)
Kabupaten/Kota.
Produk turunan dari dasar hukum ini selanjutnya ditindaklanjuti melalui diterbitkannya Peraturan
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No.10 Tahun 2017 tentang Mekanisme dan Tata Kerja
TPIP, TPID Provinsi, dan TPID Kabupaten/Kota, Keputusan Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian No.148 tahun 2017 tentang Tugas dan Keanggotaan Kelompok Kerja dan
Sekretariat Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP), dan Keputusan Menteri Dalam Negeri
No.500.05-8135 Tahun 2017 tentang Tim Pengendalian Inflasi Daerah. Fokus program
pengendalian inflasi adalah 4K, yakni:
1. Keterjangkauan harga.
2. Ketersediaan pasokan.
3. Kelancaran distribusi.
4. Komunikasi efektif.
2011 - Fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan berpindah ke OJK
DPR mengesahkan UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang
mengalihkan fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia ke OJK.

Undang-Undang ini membagi ruang lingkup pengaturan dan pengawasan mikroprudensial


lembaga keuangan sebagai kewenangan OJK, sementara pengaturan dan pengawasan
makroprudensial menjadi tanggung jawab BI dengan sasaran stabilitas sistem keuangan.

2009 - Penegasan Bank Indonesia sebagai lender of the last resort


DPR mengesahkan UU No.6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
UU No.2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas UU No.23/1999 Tentang Bank Indonesia
menjadi Undang-Undang. UU ini memperjelas dan mempertegas peran BI dalam fungsinya
sebagai lender of the last resort.

2004 - Pengesahan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang Independen


DPR mengesahkan UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia. UU ini berisi tentang penegasan terhadap kedudukan bank sentral yang
independen, penyempurnaan pengaturan tugas dan wewenang, dan penataan fungsi
pengawasan BI.

1999 - UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia


Dengan adanya UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia ditetapkan
sebagai Bank Sentral yang bersifat independen. UU ini menetapkan tujuan tunggal BI yaitu
mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, dan menghapuskan tujuan sebagai agen
pembangunan.
Sejak periode ini, BI menerapkan rezim kebijakan moneter dengan inflation targeting framework.
Dalam framework ITF, kredibilitas BI dinilai dari kemampuannya mencapai sasaran inflasi yang
ditetapkan oleh Pemerintah.

1997 - Krisis Moneter Asia


Krisis moneter yang terjadi di Asia mendorong BI mengambil langkah–langkah kebijakan
penanggulangan krisis, seperti penerapan kebijakan floating exchange rate untuk nilai tukar,
penutupan bank-bank bermasalah, dan restrukturisasi bank-bank yang tidak sehat.

1988 - Deregulasi perbankan


BI mengeluarkan paket kebijakan deregulasi perbankan, dengan nama Paket Kebijaksanaan 27
Oktober 1988 yang lebih dikenal sebagai Pakto 88 atau Pakto 27.
Kebijakan ini ditujukan untuk mendorong tumbuhnya industri perbankan dengan mempermudah
perizinan dalam pendirian bank baru.

1968 - Bank Indonesia sebagai agen pembangunan dan pemegang kas negara
Pada tahun 1968, Pemerintah RI mengeluarkan UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Indonesia.
Undang-undang ini mengembalikan tugas BI sebagai Bank Sentral Republik Indonesia dan
menghentikan status BI sebagai BNI Unit I.
Salah satu pasal di dalam undang-undang ini juga mengatur bahwa BI tidak lagi memiliki fungsi
menyalurkan kredit komersial, namun berperan sebagai agen pembangunan dan pemegang kas
negara.
Sementara itu, melalui UU No.21 dan 22 Tahun 1968, bank-bank lainnya yang tergabung dalam
Bank Tunggal berubah kembali menjadi bank pemerintah yang berdiri sendiri.
1953 - Berdirinya Bank Indonesia
Berdirinya Bank Indonesia
Pada tahun 1951, muncul desakan kuat untuk mendirikan bank sentral sebagai wujud kedaulatan
ekonomi Republik Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah memutuskan untuk membentuk Panitia
Nasionalisasi DJB. Proses nasionalisasi dilakukan melalui pembelian saham DJB oleh Pemerintah
RI, dengan besaran mencapai 97%.
Pemerintah RI pada tanggal 1 Juli 1953 menerbitkan UU No.11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank
Indonesia, yang menggantikan DJB Wet Tahun 1922. Sejak 1 Juli 1953 Bank Indonesia secara
resmi berdiri sebagai Bank Sentral Republik Indonesia.
UU No.11 Tahun 1953 merupakan ketentuan pertama yang mengatur BI sebagai bank sentral.
Tugas BI tidak hanya sebagai bank sirkulasi, melainkan sebagai bank komersial melalui
pemberian kredit. Pada masa ini, terdapat Dewan Moneter (DM) yang bertugas menetapkan
kebijakan moneter. DM diketuai Menteri Keuangan dengan anggota Gubernur BI dan Menteri
Perdagangan. Selanjutnya, BI bertugas menyelenggarakan kebijakan moneter yang telah
ditetapkan oleh DM.

Masa Ekonomi Terpimpin


Pada masa Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno memperkenalkan konsep Ekonomi
Terpimpin. Pada masa ini, Gubernur BI ditetapkan sebagai anggota kabinet dengan sebutan
Menteri Urusan Bank Sentral dan Dewan Moneter tidak berfungsi lagi. Dalam bidang perbankan,
terdapat doktrin “Bank Berdjoang” berupa penyatuan seluruh bank-bank negara menjadi Bank
tunggal dengan nama Bank Negara Indonesia (BNI) yang pendiriannya lewat Perpres No.17
Tahun 1965. Dalam masa implementasi “Bank Berdjoang”, Bank Indonesia diubah menjadi BNI
Unit I, sedangkan bank-bank milik pemerintah lainnya dibagi menjadi BNI Unit II-V.

1949 - Republik Indonesia Serikat (RIS)


Pada tahun 1949, berlangsung Konferensi Meja Bundar (KMB) dengan salah satu butir
kesepakatan penting adalah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh
Belanda. Kedudukan RIS berada di bawah Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia menjadi
bagian dari RIS.
Selain itu, KMB juga menetapkan DJB sebagai bank sirkulasi Republik Indonesia Serikat. Setelah
Republik Indonesia memutuskan untuk keluar dari RIS, pada masa peralihan kembali menjadi
NKRI, DJB tetap menjadi bank sirkulasi dengan kepemilikan saham oleh Belanda.

1945 - Dua Wilayah di Indonesia


Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Belanda berusaha menguasai kembali Indonesia
melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA).
Pada masa ini, NICA mendirikan kembali DJB untuk mencetak dan mengedarkan uang NICA. Hal
ini bertujuan untuk mengacaukan ekonomi Indonesia.
Sesuai mandat yang tertulis dalam penjelasan UUD 45 pasal 23 yaitu “Berhubung dengan itu
kedudukan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas
ditetapkan dengan Undang-undang”, maka Pemerintah Republik Indonesia membentuk bank
sirkulasi yaitu Bank Negara Indonesia (BNI).
Sebagai upaya menegakkan kedaulatan ekonomi, BNI menerbitkan uang dengan nama Oeang
Republik Indonesia (ORI).
Keberadaan BNI milik RI dan DJB milik NICA membuat terjadinya dualisme bank sirkulasi di
Indonesia dan munculnya peperangan mata uang (currency war). Pada masa ini, uang DJB yang
dikenal dengan sebutan “uang merah” dan ORI dikenal sebagai “uang putih”.

1942 - Masa Hindia Belanda


Pada tahun 1828, Pemerintah Kerajaan Belanda memberikan octrooi atau hak-hak istimewa
kepada De Javasche Bank (DJB) untuk menjadi bank sirkulasi. Pada periode ini, DJB memiliki
kewenangan untuk mencetak dan mengedarkan uang Gulden di wilayah Hindia Belanda.
Octrooi secara periodik diperpanjang setiap 10 tahun sekali. Hingga tahun 1922, telah dilakukan
tujuh kali perpanjangan Octrooi.
Pada tahun 1922, Pemerintah Belanda menerbitkan undang-undang De Javasche Bank Wet

1942 - Masa Pendudukan Jepang


Pada masa pemerintahan Militer Jepang, DJB dilikuidasi. Tugas DJB sebagai bank sirkulasi di
Indonesia kemudian digantikan oleh Nanpo Kaihatsu Ginko (NKG).

1870 - Liberalisasi Ekonomi Hindia Belanda


Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) yang memperbolehkan pihak
swasta menanamkan modalnya pada sektor bisnis di Hindia Belanda. Hal ini mendorong
kebangkitan sektor perkebunan di Hindia Belanda sehingga menjadi produsen penting komoditas-
komoditas perdagangan internasional di dunia.
Akibat eksploitasi ekonomi besar-besaran oleh Belanda selama penerapan Sistem Tanam Paksa,
muncul gerakan yang disebut sebagai politik balas budi atau yang lebih dikenal dengan Politik Etis
pada tahun 1901.
Pada bidang perbankan, pada awal abad ke-20 banyak bermunculan bank-bank perkreditan yang
bertujuan untuk mendorong perkembangan perekonomian rakyat.
Rentang tahun 1870-1942, De Javasche Bank membuka 15 kantor cabang di kota-kota yang
dianggap strategis di Hindia Belanda, yaitu: Yogyakarta (1879), Pontianak (1906), Bengkalis
(1907), Medan (1907), Banjarmasin (1907), Tanjungbalai (1908), Tanjungpura (1908), Bandung
(1909), Palembang (1909), Manado (1910), Malang (1916), Kutaraja (1918), Kediri (1923),
Pematang Siantar (1923), Madiun (1928).

1830 - Ekspansi Ekonomi Kolonial Belanda


Untuk mengisi kas negara karena terkuras oleh Perang Jawa, Belanda memberlakukan tanam
paksa (cultuurstelsel) di Hindia Belanda.
Penyimpangan implementasi Sistem Tanam Paksa dituangkan dalam novel Max Havelaar karya
Douwes Dekker yang mengundang polemik kalangan masyarakat dan politikus di negeri Belanda.
De Javasche Bank digunakan pemerintah kolonial untuk mendukung kebijakan finansial dari
Sistem Tanam Paksa.
Rentang tahun 1829-1870, DJB melakukan ekspansi bisnis dengan membuka kantor cabang di
beberapa kota di Hindia Belanda, termasuk di luar Jawa: Semarang (1829), Surabaya (1829),
Padang (1864), Makassar (1864), Cirebon (1866), Solo (1867), dan Pasuruan (1867).

1828 - Pendirian De Javasche Bank


Pendirian De Javasche Bank yang nantinya menjadi cikal bakal Bank Indonesia.
Pada tahun 1828, pemerintah Kerajaan Belanda memberikan octrooi atau hak-hak istimewa
kepada De Javasche Bank (DJB) untuk bertindak sebagai bank sirkulasi. Sebagai bank sirkulasi,
DJB memiliki kewenangan untuk mencetak dan mengedarkan uang Gulden di wilayah Hindia
Belanda.
Octrooi secara periodik diperpanjang setiap 10 tahun sekali. Secara keseluruhan, DJB telah
melalukan tujuh kali masa perpanjangan octrooi.
De Javasche Bank merupakan bank sirkulasi pertama di Asia.

1818 - Bank Courant en Bank Van Leening


Penutupan Bank van Courant en Bank van Leening karena krisis keuangan.

1746 - Bank Courant en Bank Van Leening


Bank pertama di Nusantara yang berdiri untuk menunjang kegiatan perdagangan pada tahun
1746 adalah Bank van Courant. Bank ini memiliki tugas untuk memberikan pinjaman dengan
jaminan emas, perak, perhiasan, dan barang-barang berharga lainnya.
Pada tahun 1752, Bank van Courant disempurnakan menjadi De Bank van Courant en Bank van
Leening. Bank ini bertugas memberikan pinjaman kepada pegawai VOC agar mereka dapat
menempatkan dan memutarkan uang mereka pada lembaga ini. Hal ini dilakukan dengan iming-
iming imbalan bunga.

1603 - Tugas Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)


VOC bertujuan untuk membuka perdagangan di Nusantara sekaligus menghancurkan dominasi
Portugis (namun gagal).

1602 - Maskapai Dagang


Pembentukan maskapai dagang Vereenigde Oost-Indische Compagnie yang dikenal dengan
nama VOC (Persekutuan Dagang Hindia Timur). Mata uang Real Spanyol masuk ke Nusantara.
1600 - Abad ke-16
Kedatangan bangsa Eropa ke Asia Tenggara dengan misi mencari rempah-rempah. Di Nusantara
telah berdiri kerajaan-kerajaan yang telah memiliki mata uangnya sendiri. Selain itu, beredar pula
mata uang asing seperti Picis dari Tiongkok yang mendominasi peredaran uang.

TRANSFORMASI

Latar Belakang
Pencapaian visi Bank Indonesia, yaitu menjadi bank sentral digital terdepan yang berkontribusi
nyata terhadap perekonomian nasional dan terbaik di antara negara emerging markets untuk
Indonesia maju, didukung oleh pelaksanaan transformasi Bank Indonesia secara menyeluruh.
Transformasi yang dilakukan merupakan respons Bank Indonesia dalam menghadapi berbagai
tantangan ke depan yang dapat memengaruhi pencapaian visi dan misi tersebut. Terdapat
sekurangnya lima tantangan global yang muncul akibat pandemi dan perlu diwaspadai dengan
baik, serta dua tantangan kelembagaan yang berpotensi menghambat pencapaian visi dan misi
Bank Indonesia. Dalam menjawab tantangan tersebut, Bank Indonesia melakukan transformasi
menyeluruh, baik di area kebijakan, maupun kelembagaan.
Transformasi Bank Indonesia dilakukan mengacu pada arah strategis yang ditetapkan sebagai
pedoman dalam mencapai tujuan Bank Indonesia jangka menengah-panjang. Transformasi
kebijakan Bank Indonesia dilakukan melalui penguatan bauran kebijakan dalam rangka
menjalankan mandat Undang-Undang untuk menjaga stabilitas nilai Rupiah (inflasi dan nilai
tukar), turut menjaga stabilitas sistem keuangan, serta mendorong pertumbuhan ekonomi
berkelanjutan, serta penguatan di masing-masing area kebijakan moneter, makroprudensial,
sistem pembayaran dan pendukung kebijakan. Transformasi kelembagaan dilakukan untuk
meningkatkan kinerja unggul berbasis kinerja efektif, efisien, dan bertata-kelola/governed (2EG)
agar mandat Bank Indonesia dapat terlaksana secara kredibel.

Transformasi Bank Indonesia


Transformasi Kebijakan
Sejalan dengan arah strategis, transformasi kebijakan Bank Indonesia dilakukan guna
memperkuat kerangka bauran kebijakan, yakni kerangka Bank Indonesia Policy Mix (BIPOLMIX),
serta penguatan di masing-masing area kebijakan.

Transformasi Kebijakan Bank Indonesia

Transformasi Kelembagaan
Transformasi kelembagaan Bank Indonesia mencakup penguatan organisasi dan proses kerja,
SDM dan budaya kerja, serta digitalisasi. Untuk memperkuat pengelolaan kelembagaan, pada
2021 Bank Indonesia mengembangkan kerangka bauran kebijakan kelembagaan berbasis kinerja
efektif, kinerja efisien, dan kinerja bertata-kelola/governed (2EG).

Transformasi Kelembagaan Bank Indonesia

Anda mungkin juga menyukai