Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia
bertugas untuk mengelola tiga bidang yaitu Moneter, Sistem Pembayaran, dan Stabilitas Sistem
Keuangan. Ketiga bidang tugas tersebut perlu diintegrasi agar tujuan tunggal dapat dicapai secara
efektif dan efisien. Ketahui lebih lanjut mengenai profil organisasi, sejarah, dan transformasi Bank
Indonesia melalui menu berikut.
Fungsi Utama
Bank Indonesia berkomitmen untuk senantiasa mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah
melalui pengelolaan bidang Moneter, Sistem Pembayaran, dan Stabilitas Sistem Keuangan.
Pengelolaan ketiga bidang tersebut diimplementasikan melalui kebijakan yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia dan dioperasikan melalui berbagai instrumen yang sesuai dengan bidang tugas
terkait. Ketahui lebih lanjut mengenai kebijakan serta indikator perekonomian Indonesia pada
masing-masing bidang tugas Bank Indonesia melalui menu berikut.
Tujuan Kebijakan Moneter
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah. Tujuan
ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang
sebagaimana diubah melalui UU No. 3 Tahun 2004 dan UU No. 6 Tahun 2009 pada pasal 7.
Kestabilan Rupiah yang dimaksud mempunyai dua dimensi. Dimensi pertama kestabilan nilai
Rupiah adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin dari
perkembangan laju inflasi. Sementara itu, dimensi kedua terkait dengan kestabilan nilai tukar
Rupiah terhadap mata uang negara lain. Indonesia menganut sistem nilai tukar mengambang
(free floating). Namun, peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga
dan sistem keuangan.
Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia sejak 1 Juli 2005 menerapkan kerangka
kebijakan moneter Inflation Targeting Framework (ITF). Kerangka kebijakan tersebut dipandang
sesuai dengan mandat dan aspek kelembagaan yang diamanatkan oleh Undang-Undang. Dalam
kerangka ini, inflasi merupakan sasaran yang diutamakan (overriding objective). Bank Indonesia
terus melakukan berbagai penyempurnaan kerangka kebijakan moneter, sesuai dengan
perubahan dinamika dan tantangan perekonomian yang terjadi, guna memperkuat efektivitasnya.
Kerangka Kebijakan Moneter
Dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut kerangka kerja yang
dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF). ITF merupakan suatu kerangka kerja
(framework) dengan kebijakan moneter yang diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang
ditetapkan ke depan dan diumumkan kepada publik sebagai perwujudan dari komitmen dan
akuntabilitas bank sentral. ITF diimplementasikan dengan menggunakan suku bunga kebijakan
sebagai sinyal kebijakan moneter dan suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) sebagai
sasaran operasional. Kerangka kerja ini diterapkan secara formal sejak 1 Juli 2005, setelah
sebelumnya menggunakan kerangka kebijakan moneter dengan uang primer (base money)
sebagai sasaran kebijakan moneter.
Berpijak pada pengalaman krisis keuangan global 2008/2009, salah satu pelajaran penting yang
mengemuka adalah perlunya fleksibilitas yang cukup bagi bank sentral untuk merespons
perkembangan ekonomi yang semakin kompleks dan peran sektor keuangan yang semakin kuat
dalam memengaruhi stabilitas ekonomi makro. Berdasarkan perkembangan tersebut, Bank
Indonesia memperkuat kerangka ITF menjadi Flexible ITF.
Apa itu Flexible ITF?
Flexible ITF dibangun dengan tetap berpijak pada elemen-elemen penting ITF yang telah
terbangun. Elemen-elemen pokok ITF termasuk pengumuman sasaran inflasi kepada publik,
kebijakan moneter yang ditempuh secara forward looking (kebijakan moneter diarahkan untuk
mencapai sasaran inflasi pada periode yang akan datang karena mempertimbangkan adanya efek
tunda/time lag kebijakan moneter).
Akuntabilitas kebijakan kepada publik tetap menjadi bagian inherent dalam Flexible ITF. Kerangka
Flexible ITF dibangun berdasarkan 5 elemen pokok, yaitu:
1. Strategi penargetan inflasi (Inflation Targeting) sebagai strategi dasar kebijakan moneter.
2. Integrasi kebijakan moneter dan makroprudensial untuk memperkuat transmisi kebijakan dan
sekaligus mengupayakan stabilitas makroekonomi.
3. Peran kebijakan nilai tukar dan arus modal dalam mendukung stabilitas makroekonomi.
4. Penguatan koordinasi kebijakan Bank Indonesia dengan Pemerintah untuk pengendalian inflasi
maupun dalam menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan.
5. Penguatan strategi komunikasi kebijakan sebagai bagian dari instrumen kebijakan.
Mengapa Flexible ITF?
Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008/2009 mengharuskan bank sentral untuk
melakukan stabilitas sistem keuangan dan penyelamatan perekonomian. Kebijakan yang hanya
mengedepankan penerapan ITF dipandang tidak lagi sesuai. Hal ini dikarenakan penerapan ITF
secara ketat hanya fokus pada mandat kebijakan moneter untuk menjaga inflasi sesuai dengan
targetnya, tidak cukup untuk menjaga stabilitas sistem perekonomian secara keseluruhan.
Peran sistem keuangan makin besar dalam perekonomian, sehingga dampak ketidakstabilan
sistem keuangan menjadi makin signifikan. Hal ini tercermin dari besarnya biaya penyelamatan
dan dampak yang ditimbulkan oleh krisis keuangan global tahun 2008/2009. Hal ini menyadarkan
pentingnya peran bank sentral untuk turut menjaga stabilitas sistem keuangan. Penerapan ITF
untuk pencapaian stabilitas harga hanya memenuhi syarat perlu, belum kondisi kecukupan
(necessary but not sufficient).
Pascakrisis keuangan global tahun 2008/2009, bank sentral dituntut untuk semakin memperkuat
stabilitas sistem keuangan untuk memastikan perekonomian berada dalam kondisi stabil, baik dari
sisi makroekonomi maupun sektor keuangan. Untuk itu, keberhasilan penerapan ITF harus
didukung dengan kerangka pengaturan di sektor keuangan secara makro (macroprudential
regulatory framework). Oleh karena itu, Bank Indonesia memperkuat kerangka ITF menjadi
flexible ITF dengan makin memperkuat mandatnya dalam menjaga stabilitas harga dan turut
mendukung stabilitas sistem keuangan.
Bank Indonesia melaporkan pelaksanaan tugas tersebut secara reguler kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan juga Pemerintah. Secara reguler, Bank Indonesia juga menjelaskan
kepada publik mengenai asesmen terhadap kondisi terkini dan outlook inflasi ke depan, keputusan
yang diambil, serta arah kebijakan ke depan yang akan diambil untuk menjaga inflasi sesuai
dengan sasarannya (forward guidance). Hal ini tidak hanya untuk memenuhi aspek transparansi
namun juga penting dalam memperkuat kredibilitas Bank Indonesia sehingga kebijakan yang
ditempuh menjadi lebih efektif.
Dalam rangka memperkuat efektivitas transmisi kebijakan moneter, pada 19 Agustus 2016 Bank
Indonesia menetapkan BI 7-day (Reverse) Repo Rate (BI 7DRR) sebagai suku bunga kebijakan
yang merepresentasikan sinyal respons kebijakan moneter dalam mengendalikan inflasi sesuai
dengan sasaran. Penggunaan BI 7DRR sebagai suku bunga acuan merupakan bagian dari
reformulasi kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
Sebelumnya, Bank Indonesia menggunakan BI Rate sebagai suku bunga acuan yang setara
dengan dengan instrumen moneter 12 bulan. Melalui penetapan BI 7DRR sebagai suku bunga
acuan, tenor instrumen menjadi lebih pendek yakni setara dengan instrumen moneter 7 hari
sehingga diharapkan dapat mempercepat transmisi kebijakan moneter dan mengarahkan inflasi
sesuai dengan sasarannya.
Reformulasi kebijakan moneter memiliki tiga tujuan utama. Pertama, memperkuat sinyal arah
kebijakan moneter. Kedua, memperkuat efektivitas transmisi kebijakan moneter melalui
pengaruhnya pada pergerakan suku bunga pasar uang dan suku bunga perbankan. Ketiga,
mendorong pendalaman pasar keuangan, khususnya transaksi dan pembentukan struktur suku
bunga di PUAB untuk tenor 3 bulan hingga 12 bulan.
Dalam implementasinya, reformulasi kebijakan moneter memegang empat prinsip. Pertama,
reformulasi tidak mengubah kerangka kebijakan moneter karena Bank Indonesia tetap
menerapkan Flexible ITF. Kedua, reformulasi tidak untuk mengubah stance kebijakan moneter
yang sedang ditempuh. Ketiga, reformulasi membuat suku bunga kebijakan terefleksikan di
instrumen moneter dan dapat ditransaksikan dengan Bank Indonesia. Keempat, penentuan suku
bunga sasaran operasional berdasarkan pertimbangan dapat dipengaruhi oleh suku bunga
kebijakan. Sesuai dengan prinsip kedua, perubahan tersebut tidak mengubah stance kebijakan
moneter karena kedua suku bunga kebijakan BI Rate dan BI 7DRR berada dalam satu struktur
suku bunga (term structure) yang sama dalam mengarahkan inflasi agar sesuai dengan
sasarannya.
Implementasi flexible ITF juga didukung oleh kebijakan pengelolaan nilai tukar. Kebijakan nilai
tukar yang ditempuh Bank Indonesia dalam rangka mengelola stabilitas nilai tukar Rupiah agar
sesuai dengan nilai fundamentalnya dengan tetap mendorong bekerjanya mekanisme pasar.
Kebijakan nilai tukar dilakukan dalam rangka mengurangi gejolak yang muncul dari
ketidakseimbangan permintaan dan penawaran di pasar valuta asing (valas), melalui strategi triple
intervention. Strategi triple intervention dilakukan melalui intervensi jual di pasar spot, pasar
Domestik Non-Deliverable Forward (DNDF) atau pasar berjangka valas serta pembelian Surat
Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Strategi triple intervention dilakukan untuk menjaga
kestabilan nilai tukar dan sekaligus menjaga kecukupan likuiditas Rupiah.
Implementasi Flexible ITF juga didukung oleh kebijakan pengelolaan nilai tukar. Kebijakan nilai
tukar ditempuh Bank Indonesia untuk mengelola stabilitas nilai tukar Rupiah agar sesuai dengan
nilai fundamentalnya dengan tetap mendorong bekerjanya mekanisme pasar. Kebijakan nilai tukar
dilakukan dalam rangka mengurangi gejolak yang muncul dari ketidakseimbangan permintaan dan
penawaran di pasar valuta asing (valas) melalui intervensi jual di pasar spot, pasar Domestik Non-
Deliverable Forward (DNDF) atau pasar berjangka valas serta pembelian Surat Berharga Negara
(SBN) di pasar sekunder. Strategi ini dilakukan untuk menjaga kestabilan nilai tukar dan sekaligus
menjaga kecukupan likuiditas Rupiah.
Berbagai kebijakan tersebut diperkuat oleh koordinasi kebijakan bersama Pemerintah, khususnya
dari sisi penawaran. Kebijakan pemerintah terutama diarahkan untuk menjaga keterjangkauan
harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, dan komunikasi efektif untuk stabilisasi harga
pangan guna mendukung terkendalinya inflasi. Koordinasi kebijakan pengendalian inflasi antara
Bank Indonesia dengan Pemerintah yang semakin kuat diwujudkan melalui forum Tim
Pengendalian Inflasi (TPI) baik di pusat maupun daerah. Koordinasi kebijakan dengan Pemerintah
juga dilakukan dalam rangka memperkuat stabilitas sistem keuangan. Melalui komite Stabilitas
Sistem Keuangan, Bank Indonesia bersama dengan Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menetapkan langkah koordinasi dan
memberikan rekomendasi dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan Stabilitas Sistem
Keuangan.
Transparansi
Prinsip yang mendasari transparansi kebijakan moneter adalah agar informasi yang disampaikan
memungkinkan publik untuk memahami dan mampu mengantisipasi keputusan-keputusan bank
sentral untuk mencapai target akhir yang ditetapkan. Berdasarkan hal tersebut, cakupan informasi
yang disampaikan kepada publik meliputi aspek berikut:
Tujuan
Bank sentral menyampaikan secara jelas dan konsisten mengenai apa yang akan dicapai dari
kebijakan moneter, baik mengenai tujuan akhir maupun tujuan jangka pendek, serta rasionalitas
dari penetapan tujuan tersebut.
Metode
Bank sentral transparan terkait aktivitas prosedural dalam kebijakan moneter (a.l menyampaikan
operasi moneter yang dilakukan, hasil prakiraan dan model ekonomi yang dipergunakan termasuk
gambaran pokok dan asumsi-asumsi yang digunakan). Hal tersebut untuk membentuk ekspektasi
di pasar keuangan serta menghindari dan meminimalkan gejolak yang terjadi di pasar. Selain itu,
hal tersebut diperlukan untuk meningkatkan pemahaman publik terhadap kebijakan moneter bank
sentral.
Pengambilan keputusan
Bank sentral mengumumkan kebijakan yang ditempuh dengan pertimbangan yang mendasarinya,
misalnya keputusan mengenai suku bunga kebijakan, segera setelah keputusan tersebut diambil.
Selain itu, ada beberapa pokok cakupan transparansi mengenai kebijakan moneter yang baik
yang tertuang dalam “Code of Good Practices on Transparency in Monetary and Financial
Policies”. Dokumen tersebut dikembangkan oleh IMF sejak tahun 1999 dan kini telah diikuti oleh
banyak negara anggotanya. Beberapa pokok cakupan transparansi tersebut antara lain:
Kejelasan mengenai peran, wewenang, dan tujuan otoritas kebijakan moneter.
Keterbukaan mengenai proses perumusan dan pelaporan kebijakan moneter.
Ketersediaan informasi kebijakan moneter kepada publik.
Akuntabilitas dan jaminan integritas dari otoritas moneter.
Akuntabilitas
UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang telah diamandemen dengan UU No. 3
Tahun 2004 (sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia No. 6/2009)
mengamanatkan akuntabilitas Bank Indonesia dalam pelaksanaan tugas, wewenang, dan
anggaran.
Prinsip akuntabilitas dari pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia diterapkan dengan
cara menyampaikan informasi langsung kepada masyarakat luas melalui media massa pada
setiap awal tahun, mengenai evaluasi pelaksanaan kebijakan moneter pada tahun sebelumnya,
serta rencana kebijakan moneter dan penetapan sasaran-sasaran moneter untuk tahun yang akan
datang. Informasi tersebut juga disampaikan secara tertulis kepada Presiden dan DPR.
Akuntabilitas juga terkait erat dengan independensi. Semakin besarnya independensi yang
diberikan kepada bank sentral menuntut pula pentingnya akuntabilitas.
1968 - Bank Indonesia sebagai agen pembangunan dan pemegang kas negara
Pada tahun 1968, Pemerintah RI mengeluarkan UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Indonesia.
Undang-undang ini mengembalikan tugas BI sebagai Bank Sentral Republik Indonesia dan
menghentikan status BI sebagai BNI Unit I.
Salah satu pasal di dalam undang-undang ini juga mengatur bahwa BI tidak lagi memiliki fungsi
menyalurkan kredit komersial, namun berperan sebagai agen pembangunan dan pemegang kas
negara.
Sementara itu, melalui UU No.21 dan 22 Tahun 1968, bank-bank lainnya yang tergabung dalam
Bank Tunggal berubah kembali menjadi bank pemerintah yang berdiri sendiri.
1953 - Berdirinya Bank Indonesia
Berdirinya Bank Indonesia
Pada tahun 1951, muncul desakan kuat untuk mendirikan bank sentral sebagai wujud kedaulatan
ekonomi Republik Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah memutuskan untuk membentuk Panitia
Nasionalisasi DJB. Proses nasionalisasi dilakukan melalui pembelian saham DJB oleh Pemerintah
RI, dengan besaran mencapai 97%.
Pemerintah RI pada tanggal 1 Juli 1953 menerbitkan UU No.11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank
Indonesia, yang menggantikan DJB Wet Tahun 1922. Sejak 1 Juli 1953 Bank Indonesia secara
resmi berdiri sebagai Bank Sentral Republik Indonesia.
UU No.11 Tahun 1953 merupakan ketentuan pertama yang mengatur BI sebagai bank sentral.
Tugas BI tidak hanya sebagai bank sirkulasi, melainkan sebagai bank komersial melalui
pemberian kredit. Pada masa ini, terdapat Dewan Moneter (DM) yang bertugas menetapkan
kebijakan moneter. DM diketuai Menteri Keuangan dengan anggota Gubernur BI dan Menteri
Perdagangan. Selanjutnya, BI bertugas menyelenggarakan kebijakan moneter yang telah
ditetapkan oleh DM.
TRANSFORMASI
Latar Belakang
Pencapaian visi Bank Indonesia, yaitu menjadi bank sentral digital terdepan yang berkontribusi
nyata terhadap perekonomian nasional dan terbaik di antara negara emerging markets untuk
Indonesia maju, didukung oleh pelaksanaan transformasi Bank Indonesia secara menyeluruh.
Transformasi yang dilakukan merupakan respons Bank Indonesia dalam menghadapi berbagai
tantangan ke depan yang dapat memengaruhi pencapaian visi dan misi tersebut. Terdapat
sekurangnya lima tantangan global yang muncul akibat pandemi dan perlu diwaspadai dengan
baik, serta dua tantangan kelembagaan yang berpotensi menghambat pencapaian visi dan misi
Bank Indonesia. Dalam menjawab tantangan tersebut, Bank Indonesia melakukan transformasi
menyeluruh, baik di area kebijakan, maupun kelembagaan.
Transformasi Bank Indonesia dilakukan mengacu pada arah strategis yang ditetapkan sebagai
pedoman dalam mencapai tujuan Bank Indonesia jangka menengah-panjang. Transformasi
kebijakan Bank Indonesia dilakukan melalui penguatan bauran kebijakan dalam rangka
menjalankan mandat Undang-Undang untuk menjaga stabilitas nilai Rupiah (inflasi dan nilai
tukar), turut menjaga stabilitas sistem keuangan, serta mendorong pertumbuhan ekonomi
berkelanjutan, serta penguatan di masing-masing area kebijakan moneter, makroprudensial,
sistem pembayaran dan pendukung kebijakan. Transformasi kelembagaan dilakukan untuk
meningkatkan kinerja unggul berbasis kinerja efektif, efisien, dan bertata-kelola/governed (2EG)
agar mandat Bank Indonesia dapat terlaksana secara kredibel.
Transformasi Kelembagaan
Transformasi kelembagaan Bank Indonesia mencakup penguatan organisasi dan proses kerja,
SDM dan budaya kerja, serta digitalisasi. Untuk memperkuat pengelolaan kelembagaan, pada
2021 Bank Indonesia mengembangkan kerangka bauran kebijakan kelembagaan berbasis kinerja
efektif, kinerja efisien, dan kinerja bertata-kelola/governed (2EG).