MAKALAH
Disusun oleh:
NILA ROKHMANA
NIM. 1320310039
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Stabilitas keuangan adalah isu klasik yang mengiringi
pertumbuhan ekonomi suatu negara, karena ia diyakini mempunyai
hubungan yang positif dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Namun
dengan banyaknya variabel makroekonomi yang mempengaruhinya ia
memerlukan kebijakan moneter sebagai pioneer yang berfungsi sebagai
supervisor dan regulator yang mampu mendukung dinamika pasar.
Namun dengan semakin kuatnya integrasi ekonomi antar negara, risiko
moneterpun kian bertambah, seperti halnya fluktuasi ekonomi disuatu
negara dapat memiliki efek domino kepada negara lainnya.
Sebagai otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran, tugas
utama Bank Indonesia tidak saja menjaga stabilitas moneter, namun juga
stabilitas sistem keuangan (perbankan dan sistem pembayaran).
Keberhasilan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas moneter tanpa
diikuti oleh stabilitas sistem keuangan, tidak akan banyak artinya dalam
mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Stabilitas moneter
dan stabilitas keuangan ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan. Kebijakan moneter memiliki dampak yang signifikan terhadap
stabilitas keuangan begitu pula sebaliknya, stabilitas keuangan merupakan
pilar yang mendasari efektivitas kebijakan moneter. Sistem keuangan
merupakan salah satu alur transmisi kebijakan moneter, sehingga bila
terjadi ketidakstabilan sistem keuangan maka transmisi kebijakan moneter
tidak dapat berjalan secara normal. Sebaliknya, ketidakstabilan moneter
secara fundamental akan mempengaruhi stabilitas sistem keuangan akibat
tidak efektifnya fungsi sistem keuangan. Inilah yang menjadi latar
belakang mengapa stabilitas sistem keuangan juga masih merupakan
tugas dan tanggung jawab Bank Indonesia.
Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja
lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja
lembaga perbankan seperti itu dilakukan melalui mekanisme pengawasan
dan regulasi. Seperti halnya di negara-negara lain, sektor perbankan
memiliki pangsa yang dominan dalam sistem keuangan. Oleh sebab itu,
kegagalan di sektor ini dapat menimbulkan ketidakstabilan keuangan dan
mengganggu perekonomian. Untuk mencegah terjadinya kegagalan
tersebut, sistem pengawasan dan kebijakan perbankan yang efektif
haruslah ditegakkan. (www.bi.go.id)
Pertanyaannya, bagaimana peranan Bank Indonesia dalam
memelihara stabilitas sistem keuangan dengan pembentukan Otoritas Jasa
Keuangan?
Sebagai bank sentral, Bank Indonesia memiliki lima peran utama
dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Kelima peran utama yang
mencakup kebijakan dan instrumen dalam menjaga stabilitas sistem
keuangan itu adalah:
2
Pertama, Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas
moneter antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar
terbuka. Bank Indonesia dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan
moneter secara tepat dan berimbang. Hal ini mengingat gangguan
stabilitas moneter memiliki dampak langsung terhadap berbagai aspek
ekonomi. Kebijakan moneter melalui penerapan suku bunga yang terlalu
ketat, akan cenderung bersifat mematikan kegiatan ekonomi. Begitu pula
sebaliknya. Oleh karena itu, untuk menciptakan stabilitas moneter, Bank
Indonesia telah menerapkan suatu kebijakan yang disebut inflation
targeting framework.
Kedua, Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan
kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Penciptaan
kinerja lembaga perbankan seperti itu dilakukan melalui mekanisme
pengawasan dan regulasi. Seperti halnya di negara-negara lain, sektor
perbankan memiliki pangsa yang dominan dalam sistem keuangan. Oleh
sebab itu, kegagalan di sektor ini dapat menimbulkan ketidakstabilan
keuangan dan mengganggu perekonomian. Untuk mencegah terjadinya
kegagalan tersebut, sistem pengawasan dan kebijakan perbankan yang
efektif haruslah ditegakkan. Selain itu, disiplin pasar melalui kewenangan
dalam pengawasan dan pembuat kebijakan serta penegakan hukum (law
enforcement) harus dijalankan. Bukti yang ada menunjukkan bahwa
negara-negara yang menerapkan disiplin pasar, memiliki stabilitas sistem
keuangan yang kokoh. Sementara itu, upaya penegakan hukum (law
enforcement) dimaksudkan untuk melindungi perbankan dan stakeholder
serta sekaligus mendorong kepercayaan terhadap sistem keuangan. Untuk
menciptakan stabilitas di sektor perbankan secara berkelanjutan, Bank
Indonesia telah menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia dan rencana
implementasi Basel II.
Ketiga, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan
menjaga kelancaran sistem pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to
settle) pada salah satu peserta dalam sistem sistem pembayaran, maka akan
timbul risiko potensial yang cukup serius dan mengganggu kelancaran
sistem pembayaran. Kegagalan tersebut dapat menimbulkan risiko yang
bersifat menular (contagion risk) sehingga menimbulkan gangguan yang
bersifat sistemik. Bank Indonesia mengembangkan mekanisme dan
pengaturan untuk mengurangi risiko dalam sistem pembayaran yang
cenderung semakin meningkat. Antara lain dengan menerapkan sistem
pembayaran yang bersifat real time atau dikenal dengan nama sistem
RTGS (Real Time Gross Settlement) yang dapat lebih meningkatkan
keamanan dan kecepatan sistem pembayaran. Sebagai otoritas dalam
sistem pembayaran, Bank Indonesia memiliki informasi dan keahlian
untuk mengidentifikasi risiko potensial dalam sistem pembayaran.
Keempat, melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank
Indonesia dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam
stabilitas keuangan. Melalui pemantauan secara makroprudensial, Bank
Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi
3
potensi kejutan (potential shock) yang berdampak pada stabilitas sistem
keuangan. Melalui riset, Bank Indonesia dapat mengembangkan instrumen
dan indikator makroprudensial untuk mendeteksi kerentanan sektor
keuangan. Hasil riset dan pemantauan tersebut, selanjutnya akan menjadi
rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah yang
tepat untuk meredam gangguan dalam sektor keuangan.
Kelima, Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman
sistim keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai Lender of The Last
Resort (LoLR). Fungsi LoLR merupakan peran tradisional Bank Indonesia
sebagai bank sentral dalam mengelola krisis guna menghindari terjadinya
ketidakstabilan sistem keuangan. Fungsi sebagai LoLR mencakup
penyediaan likuiditas pada kondisi normal maupun krisis. Fungsi ini hanya
diberikan kepada bank yang menghadapi masalah likuiditas dan berpotensi
memicu terjadinya krisis yang bersifat sistemik. Pada kondisi normal,
fungsi LoLR dapat diterapkan pada bank yang mengalami kesulitan
likuiditas temporer namun masih memiliki kemampuan untuk membayar
kembali. Dalam menjalankan fungsinya sebagai LoLR, Bank Indonesia
harus menghindari terjadinya moral hazard. Oleh karena itu, pertimbangan
risiko sistemik dan persyaratan yang ketat harus diterapkan dalam
penyediaan likuiditas tersebut.
2. Rumusan Masalah
Melalui Latar belakang diatas, terdapat beberapa rumusan masalah
yaitu:
a. Bagaimana peranan Bank Indonesia dalam memelihara stabilitas sistem
keuangan dengan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan?
b. Bagaimana peran Bank Indonesia dalam membentuk stabilitas sistem
keuangan melalui penguatan sistem perbankan dan lembaga keuangan
nasional?
c. Bagaimana hubungan sinergi Bank Indonesia dengan instansi lain
(Kementrian Keuangan, OJK, LPS) dalam pengelolaan stabilitas sistem
keuangan nasional?
3. Tujuan Penulisan
a. Merumuskan peranan Bank Indonesia dalam memelihara stabilitas
sistem keuangan dengan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan;
b. Merumuskan peran Bank Indonesia dalam membentuk stabilitas sistem
keuangan melalui penguatan Sistem Perbankan dan Lembaga Keuangan
nasional;
c. Merumuskan hubungan sinergi Bank Indonesia dengan instansi lain
(Kementerian Keuangan, OJK, LPS) dalam pengelolaan stabilitas
sistem keuangan nasional.
4. Manfaat Penulisan
4
Manfaat yang bisa kita ambil dalam penulisan karya tulis tentang
peran Bank Indonesia dalam membentuk stabilitas sistem keuangan
melalui penguatan sistem perbankan dan lembaga keuangan nasional
adalah:
a. Mendapatkan pemahaman konseptual yang lebih mendalam mengenai
peranan Bank Indonesia dalam membentuk stabilitas sistem keuangan
melalui penguatan Sistem Perbankan dan Lembaga Keuangan Nasional.
b. Memberikan sebuah karya mengenai peranan Bank Indonesia dalam
membentuk stabilitas sistem keuangan melalui penguatan Sistem
Perbankan dan Lembaga Keuangan Nasional.
c. Memberikan informasi kepada pembaca mengenai peranan Bank
Indonesia dalam membentuk stabilitas sistem keuangan melalui
penguatan Sistem Perbankan dan Lembaga Keuangan Nasional.
BAB II
5
LANDASAN TEORI
6
1. Aman berarti segala risiko dalam sistem pembayaran seperti risiko
likuiditas, risiko kredit, risiko fraud harus dapat dikelola dan dimitigasi
dengan baik oleh setiap penyelenggaraan sistem pembayaran.
2. Prinsip efisiensi menekankan bahwa penyelanggaran sistem
pembayaran harus dapat digunakan secara luas sehingga biaya yang
ditanggung masyarakat akan lebih murah karena meningkatnya skala
ekonomi.Kemudian prinsip kesetaraan akses yang mengandung arti
bahwa Bank Indonesia tidak menginginkan adanya praktek monopoli
pada penyelenggaraan suatu sistem yang dapat menghambat pemain
lain untuk masuk.
3. Terakhir adalah kewajiban seluruh penyelenggara sistem pembayaran
untuk memperhatikan aspek-aspek perlindungan konsumen.
7
Dalam konteks stabilitas keuangan, perlu diperjelas lembaga
keuangan yang berpengaruh secara signifikan terhadap sistem keuangan
secara keseluruhan, agar diperoleh kesamaan persepsi di semua lembaga
yang terkait. Dalam praktiknya memang belum terdapat suatu rumusan
standar mengenai masalah ini.
8
Apabila dapat dilakukan pemantauan secara rutin terhadap
komponen-komponen yang dapat memberikan tekanan terhadap
stabilitas keuangan sebagaimana tersebut di atas maka diharapkan akan
dapat dilakukan pencegahan terhadap terjadinya krisis dan pemecahan
permasalahannya sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan yang telah
dicapai oleh pihak-pihak yang berwenang (crises resolution).
9
memitigasi prosiklikalitas. Prinsipnya adalah bagaimana mendorong
institusi keuangan untuk mempersiapkan bantalan (buffer) yang cukup
disaat perekonomian sedang baik, yaitu ketika ketidak seimbangan
dalam sistem keuangan umumnya terjadi, dan bagaimana menggunakan
bantalan tersebut.
f. Bersifat countercyclical yang akan bersinergi dengan tujuan kebijakan
moneter dalam mengurangi fluktuasi perekonomian. Kebijakan
makroprudensial untuk memperketat persyaratan modal dan likuiditas
di saat perekonomian sedang melaju kencang (periode up swing) akan
mendorong bank untuk mengurangi pertumbuhan kredit sehingga
menjaga daya tahan bank ke depan di saat perekonomian memburuk.
Pengawasan secara makroprudensial dilakukan untuk mewujudkan
sistem keuangan yang stabil dan berkualitas. Agar semakin optimal, upaya
mencapai kestabilan sistem keuangan tersebut dikoordinasikan oleh Forum
Koordinasi Sistem Keuangan yang beranggotakan Departemen Keuangan
RI, Lembaga Penjamin Simpanan, BI, dan OJK.
Sejalan dengan adanya fungsi baru tersebut, Bank Indonesia akan
memperkuat fungsinya yang lain untuk mendukung pencapaian tujuan
Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Penguatan fungsi tersebut antara lain, dalam bidang penetepan dan
pelaksanaan kebijakan moneter, Bank Indonesia akan mengoptimalkan
peran Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) melalui koordinasi dengan
segenap elemen daerah.
10
3. 30 sampai 50 bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha
tertentu sesuai dengan kapabilitas dan kompetensi masing-masing bank.
Bank-bank tersebut memiliki modal antara Rp100 miliar sampai dengan
Rp10 triliun;
4. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan bank dengan kegiatan usaha
terbatas yang memiliki modal di bawah Rp100 miliar.
Tahapan Program Penguatan Struktur Perbankan Nasional
No Kegiatan (Pilar I) Periode
Pelaksanaan
1 Memperkuat Permodalan Bank
a. Meningkatkan persyaratan modal inti 2007
minimum bagi bank umum konvensional
maupun syariah (termasuk BPD) menjadi Rp.
80 Miliar 2010
b. Meningkatkan persyaratan modal inti
minimum bagi bank umum konvensional
maupun syariah (termasuk BPD) menjadi Rp. 2004-2010
100 Miliar
c. Mempertahankan persyaratan modal disetor
minimum Rp. 3 Triliun untuk pendirian bank 2005
umum konvensional
d. Menetapkan persyaratan modal disetor 2006
minimum Rp. 1 Triliun untuk pendirian bank
umum syariah
e. Menetapkan persyaratan modal sebesar Rp. 2008
500 Miliar bagi bank umum syariah yang
berasal dari spin off Unit Usaha Syariah
f. Mempercepat batas waktu pemenuhan
persyaratan minimum modal disetor BPR
yang semula tahun 2010 menjadi tahun 2008.
2 Memperkuat daya saing dan kelembagaan BPR
dan BPRS
a. Meningkatkan linkage program antara bank 2007
umum dengan BPR
b. Implementasi program aliansi strategis 2007
lembaga keuangan syariah dengan BPRS
melalui kemitraan strategis dalam rangka
pengembangan UMKM
c. Mendorong pendirian BPR dan BPRS di luar 2006-2007
Pulau Jawa dan Bali
d. Mempermudah pembukaan kantor cabang 2004-2006
BPR dan BPRS bagi yang telah memenuhi
persyaratan 2006-2007
e. Memfasilitasi pembentukan fasilitas jasa
bersama untuk BPR dan BPRS (termasuk
lembaga APEX)
11
3 Meningkatkan akses kredit dan pembiayaan
UMKM 2004-2007
a. Memfasilitasi pembentukan dan monitoring
skim penjaminan kredit dan pembiayaan 2004-2009
b. Mendorong perbankan untuk meningkatkan
pembiayaan kepada UMKM khususnya bagi
masyarakat yang berpenghasilan rendah dan
di daerah pedesaan 2010
c. Meningkatkan akses pembiayaan syariah bagi
UMKM dengan pengembangan skema
jaminan bagi pembiayaan syariah 2010
d. Mendorong bank-bank syariah untuk
meningkatkan porsi pembiayaan berbasis bagi
hasil
12
literatur keilmuan, makalah, jurnal penelitian dan sumber yang kredibel
dan internet.
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
13
Sistem keuangan yang stabil mampu mengalokasikan sumber dana
dan menyerap kejutan (shock) yang terjadi sehingga dapat mencegah
gangguan terhadap kegiatan sektor riil dan sistem keuangan. Sistem
keuangan yang stabil adalah sistem keuangan yang kuat dan tahan
terhadap berbagai gangguan ekonomi sehingga tetap mampu melakukan
fungsi intermediasi, melaksanakan pembayaran dan menyebar risiko
sebara baik.
a. Asimetri Informasi: Sumber Instabilitas Sistem Keuangan
Telah dipahami bahwa sistem keuangan memegang peranan yang
sangat penting dalam perekonomian seiring dengan fungsinya untuk
menyalurkan dana dari pihak yang berkelebihan dana kepada pihak-pihak
yang membutuhkan dana. Apabila sistem keuangan tidak bekerja dengan
baik, maka perekonomian menjadi tidak efisien dan pertumbuhan ekonomi
yang diharapkan tidak akan tercapai. Salah satu masalah krusial dalam
sistem keuangan yang dapat menjadi sumber instabilitas keuangan yakni
menyangkut terjadinya asimetri atau ketidaksamaan informasi (asymmetric
information) yakni suatu situasi dimana satu pihak yang terlibat dalam
kesepakatan keuangan tidak memiliki informasi yang akurat dibanding
pihak lain.
Permasalahan asimetri informasi selanjutnya menyebabkan dua
permasalahan pokok yakni adverse selection dan moral hazard. Adverse
selection merupakan satu bentuk masalah asimetri, informasi yang terjadi
sebelum transaksi keuangan dilakukan karena peminjam dengan kualitas
yang rendah (memiliki risiko kredit tinggi) biasanya akan mau mencari
pinjaman dengan bunga yang sangat tinggi. Dari masalah adverse
selection inilah sebagian besar dari pinjamannya biasanya merupakan
kredit bermasalah.
Asimetri informasi ini juga menggambarkan dampak lanjutan dari
krisis finansial pada perekonomian misalnya dalam kondisi suku bunga
naik, mungkin berakibat pada adverse selection sehingga mengakibatkan
penurunan penawaran kredit oleh bank. Demikian pula kondisi penurunan
nilai agunan yang menyebabkan timbulnya debitur dengan net worth yang
rendah. Akhirnya bila terjadi bank runs, bank yang sehat dapat
memproteksi dirinya dengan mencadangkan lebih banyak likuiditas yang
berakibat kontraksi dari sisi pemberian kreditnya.
Permasalahan pokok yang lain adalah menyangkut moral hazard,
yakni yang terjadi sesudah transaksi dilakukan dimana pemberi pinjaman
berada dalam posisi yang menerima risiko atas dimana usaha yang
dilakukan peminjam moral hazard terjadi karena peminjam memperoleh
keuntungan untuk mengalihkan proyeknya pada proyek yang berisiko
tinggi yang tidak diinginkan oleh pemberi pinjaman yang apabila berhasil
dapat memberikan keuntungan yang besar dan apabila gagal akan
ditanggung oleh pemberi pinjaman dalam bentuk tidak kembalinya kredit
yang diberikan. Kerangka dari masalah asimetri informasi ini memegang
peranan yang penting bagi institusi perbankan dan lembaga keuangan dan
14
intermediasi lain khususnya yang memberikan kredit. Namun perbankan
memiliki kelebihan-kelebihan khusus dibandingkan lembaga intermediasi.
Ketika kualitas informasi mengenai debitur buruk, maka masalah asimetri
informasi akan mengemuka yang nantinya dapat menjadi sumber
ketidakstabilan sistem keuangan. Oleh karena itu, dalam kerangka
kestabilan sistem keuangan, keberadaan instrumen hukum diharapkan
dapat meminimalisir asimetri informasi yang terjadi dan paling tidak
difokuskan pada 3 aspek pengaturan penting yakni:
a. Mengatur semua transaksi pemindahan dana dari pihak-pihak atau
individu-individu dalam lembaga keuangan.
b. Mengatur perilaku (behaviour) individu-individu atau pihak-pihak
dalam lembaga keuangan.
c. Menyelesaikan konflik yang terjadi diantara pihak-pihak dalam
lembaga keuangan secara efisien dan cepat. Dengan pengaturan pada
ketiga cakupan aspek hukum tersebut diarahkan agar kestabilan sistem
keuangan dapat tercapai.
15
mendefinisikan suatu gambaran ideal stabilitas keuangan. Namun, untuk
mencapai kondisi sektor keuangan yang stabil paling tidak diperlukan
beberapa prasyarat berikut:
1. Lembaga keuangan yang sehat
2. Pasar keuangan yang stabil
3. Lembaga pengaturan dan pengawasan yang kompeten.
16
otoritas terhadap budaya tersebut. Komitmen tersebut harus selalu
disampaikan dan didukung oleh semua pihak dalam organisasi. Terkait
dengan hal tersebut adalah pentingnya mindset kolektif untuk membentuk
perilaku yakni sikap mental mapan yang dibentuk melalui pendidikan,
pengalaman dan pandangan.
Agar proses perubahan tersebut dapat berjalan dengan baik maka
pematangan konsep perubahan merupakan hal yang mendasar. Selanjutnya
adalah sosialisasi konsep mewujudkan Good Corporate Governance
termasuk mengidentifikasi dan mengantisipasi penolakan terhadap
perubahan (resistance to change) melalui antara lain:
a. Orientasi dan komunikasi
b. Program pendidikan dan pelatihan
c. Partisipasi dan keterlibatan
d. Dukungan fasilitas dan berbagai kemudahan
Program fit and paper test merupakan salah satu upaya
mewujudkan budaya Good Corporate Governance. Mekanisme seleksi
yang ketat dilakukan untuk memunculkan para bankir yang sesuai dengan
budaya tersebut (people fit culture).
d. Agenda Ke Depan Terkait Dengan Kestabilan Sistem Keuangan
Untuk meminimalkan terulangnya sistemic risk pada sektor
keuangan khususnya sistem perbankan, maka sistem perbankan nasional
perlu disempurnakan. Penyempurnaan cetak biru sistem perbankan
nasional dalam rangka kestabilan sistem keuangan yang tengah digodok
saat ini meliputi dua aspek besar, yaitu:
1. Penyempurnaan Bank Indonesia selaku Lender of Last Resort (LoLR)
2. Penyempurnaan kelembagaan peran, dan wewenang otoritas perbankan
sebagaimana diamanatkan Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia dan pasal 37 B ayat (2) UU No. 7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, yaitu:
a. Pemisahan tugas pengawasan bank dari Bank Indonesia
b. Pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang
independen
c. Pembentukan lembaga penjamin simpanan. Serta penyempurnaan
sistem perbankan yang meliputi kelembagaan bank, pemilikan
bank sumber daya manusia perbankan, produk perbankan, dan
teknologi perbankan yang kesemua aspek itu dikemas dalam
kesatuan perangkat hukum yang jelas dan tegas.
17
Dalam rangka penyempurnaan sektor keuangan dan perbankan,
langkah penting yang harus dilakukan adalah perbaikan perangkat hukum
perbankan dan kesentralan. Penyempurnaan perangkat hukum ini tidak
hanya mencakup penyempurnaan UU dan peraturan-peraturan pelaksanaan
dibawahnya saja, tetapi juga meliputi penyempurnaan peran dan
kewenangan lembaganya. Sebagaimana diketahui, Bank Indonesia selaku
otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran mengeluarkan
regulasi dan melakukan pembinaan atau pengawasan terhadap perbankan
agar perbankan dapat menjalankan fungsinya secara efektif selaku
lembaga intermediary dan sekaligus berfungsi pula sebagai media untuk
mentransmisikan kebijakan moneter bank sentral. Berdasarkan UU No. 23
Tahun 1999 peran Bank Indonesia dalam rangka menjaga stabilitas sistem
keuangan mencakup:
a. Menciptakan kebijakan moneter yang kondusif.
b. Melakukan pemantauan terhadap stabilitas sistem keuangan (financial
sysitem surveillance).
c. Melakukan koordinasi dengan dan memberikan rekomendasi kebijakan
stabilitas sistem keuangan pada otoritas lain, misalnya kepada
pemerintah Departemen Keuangan selaku otoritas fiskal, dan Otoritas
Jasa Keuangan (OJK).
d. Menciptakan efisiensi dalam sistem pembayaran dengan
terselesaikannya transaksi secara aman dan tepat waktu (safe and robust
payment system) antara lain melalui kegiatan design, operasional dan
pengawasan sistem pembayaran.
e. Menyediakan mekanisme LoLR dalam upaya menangkal terjadinya
kegagalan bank karena liquidity mismatch.
Dalam prakteknya, kinerja bank sentral dalam hal menjada
stabilitas sistem keuangan dapat diukur dari dua aspek, yaitu bahwa
lembaga-lembaga keuangan utama (key financial institutions) berada
dalam kondisi sehat baik dari sisi keuangannya maupun dari sisi risiko
yang dihadapinya. Salah satu indikasinya adalah adanya tingkatan
kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap lembaga keuangan secara
umum dan perbankan dapat memenuhi kewajiban keuangannya dengan
baik. Kedua, pasar keuangan berada dalam kondisi stabil, yaitu bahwa para
pelaku pasar dapat melakukan transaksi dengan harga yang mencerminkan
kondisi fundamental pasar dan tidak terjadinya volatilitas harga jangka
pendek yang tinggi (high votality prices). Dalam rangka memantau
stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia melaksanakan berbagai upaya,
antara lain berupa kegiatan riset dan observasi terhadap lembaga
keuangan, pasar modal, kebijakan makro-ekonomi, kebijakan fiskal, sektor
riil, household, sistem pembayaran hutang luar negeri, hutang dalam
negeri dan pasar internasional. Melalui analisis data dan informasi yang
realistis dan terukur tersebut, diharapkan performance sistem keuangan
nasional dapat dipantau dengan baik. Namun mengingat tugas memelihara
stabilitas sistem keuangan nasional pada dasarnya merupakan produk
18
sinergi dari beberapa otoritas, sehingga tidak dapat diletakkan pada Bank
Indonesia semata, maka perlu ada mekanisme koordinasi dan
tanggungjawab yang jelas antar otoritas dimaksud. Permasalahannya,
sampai dengan saat ini belum tersedia perangkat hukum yang mengatur
mengenai kerangka kerja formal (baik di level pembuat kebijakan umum
maupun di level teknis) dalam rangka mendukung tugas ini. Oleh karena
itu, kiranya perlu dipikirkan penyusunan perangkat hukum yang jelas dan
tegas mengatur aspek-aspek seperti:
1. Mekanisme koordinasi yang efektif.
2. Standar dan arah atau keselarasan pengaturan yang kondusif bagi
perbankan dan lembaga-lembaga non bank.
3. Information sharing and exchange.
4. Aturan yang tegas mengenai alternatif mengatasi krisis (crisis
resolution) yang efektif.
19
diperhatikan pula upaya pengembangan bank syariah yang dewasa ini
menunjukkan kemajuan yang semakin pesat. Mengingat bank syariah
mempunyai jenis-jenis kegiatan usaha yang tidak mungkin disamakan
dengan jenis usaha bank konvensional, maka bank syariah direncanakan
akan diatur dalam UU tersendiri, terpisah dan UU perbankan yang
hanya akan mengatur bank konvensional. Selain penyempurnaan UU
Perbankan, dewasa ini secara parallel sedang disusun pula berbagai
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penataan kembali
sistem perbankan nasional secara lebih komprehensif, yaitu RUU
Otoritas Jasa Keuangan, RUU Lembaga Penjamin Simpanan, RUU
Perkreditan dan RUU Likuidasi Bank. Dari berbagai RUU tersebut
dapat diketahui bahwa, pada waktunya akan dibentuk lembaga-lembaga
baru yang dimaksudkan dapat berfungsi untuk memperkuat sistem
perbankan nasional. Lembaga-lembaga baru yang akan dibentuk adalah
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS).
Dengan adanya lembaga-lembaga baru ini, maka lembaga yang
memiliki otoritas pada sektor perbankan akan berubah, yaitu dari
semula hanya Bank Indonesia, OJK dan LPS. Oleh karena akan
terdapat 3 otoritas di sektor perbankan, maka penataan kembali sistem
perbankan nasional juga membutuhkan penataan formal mengenai
hubungan kelembagaan antar ketiga otoritas tersebut yang meliputi:
1. Pengaturan mengenai mekanisme dan forum komunikasi.
2. Substansi koordinasi dan prosedur pegawasan dan pembinaan bank
(oleh masing-masing otoritas).
3. Ketentuan-ketentuan yang terkait dengan usaha perbankan, sehingga
otoritas disektor keuangan dan perbankan dipastikan akan mampu
mendeteksi kelemahan-kelemahan dalam sistem keuangan yang
diduga dapat memicu terjadinya krisis.
20
lembaga independen (OJK). Mengingat otoritas moneter akan terpisah
dari otoritas pengawas bank, maka dalam rangka mengupayakan
stabilitas sistem keuangan (financial system stability) nasional,
khususnya agar kebijakan disektor perbankan senantiasa dapat
konsisten dan seiring dengan kebijakan disektor moneter dan sistem
pembayaran, maka sekurang-kurangnya ada 5 aspek yang harus dikaji
secara mendalam, yaitu:
1. Cakupan obyek pengawasan OJK
2. Independensi OJK
3. Kapabilitas dan kredibilitas SDM OJK
4. Kemungkinan keterpisahan fungsi pengaturan dan pengawasan bank,
dan
5. Koordinasi yang efektif dan efisien antar institusi terkait.
Selain dari aspek yang disebutkan terdahulu, maka aspek yang
terakhir merupakan faktor penting yang sangat menentukan dalam
rangka tercapainya tujuan. Dalam hubungan ini, pengaturan mengenai
penetapan kewenangan yang jelas dari masing-msing otoritas
merupakan aspek yang penting. Termasuk dalam lingkup koordinasi
dan kewenangan masing-masing otoritas tersebut antara lain adalah
aspek yang berkenaan dengan penggunaan fasilitas bank sentral
disektor moneter oleh bank, kepersetaan bank dalam sistem
pembayaran, lalu lintas devisa, teknis penyampaian laporan bank,
pelaporan bank dan penggunaan informasi. Dari sisi kepentingan untuk
pencapaian tugas Bank Indonesia, mengingat sektor perbankan masih
mendominasi perekonomian Indonesia, maka Bank Indonesia yang
dalam melakukan proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan
moneter (makroprudensial) perlu didukung oleh data yang benar,
akurat, dan tepat waktu dari sektor ini harus memiliki keyakinan
terhadap kebenaran, keakurasian dan ketepatan waktu dari data sektor
perbankan ini, oleh karena itu, dalam menyusun pengaturannya, selain
harus menjamin terciptanya koordinasi yang efektif antar otoritas, Bank
Indonesia juga perlu diberi kewenangan khusus agar Bank Indonesia
dapat mengakses data secara langsung dari bank untuk keperluan
tertentu (dalam hal ini dalam bentuk on-site supervision) apabila
diperlukan.
3. Otoritas Jasa Keuangan sebagai Harapan Baru Indonesia
21
perekonomian didorong oleh empat hal, yaitu pertumbuhan sektor
keuangan yang lebih besar dibandingkan dengan sektor riil, integrasi
sistem keuangan global dan regional, kompleksitas sistem keuangan dan
perubahan komposisi dalam proses sistem keuangan yang disesuaikan
dengan kebutuhan masyarakat dimana komposisi aset nonmoneter menjadi
lebih penting (Houben, 2004). Disamping itu, adanya lembaga keuangan
yang lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai
subsector lain menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar
lembaga lembaga keuangan di dalam sistem keuangan.
22
oleh undang –undang tersebut diatas. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka
1 UU OJK, pengertian OJK sendiri adalah: “Otoritas Jasa Keuangan, yang
selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas
dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.”
23
setiap lembaga keuangan yang berbeda memiliki implikasi yang berbeda.
Potensi penyalahgunaan juga hadir, misalnya, depositor perbankan dijamin
dananya oleh lembaga pengawas. Lembaga keuangan lain memiliki asa
bahwa mereka akan dijamin oleh lembaga pengawas tersebut sehingga
prinsip prudential cenderung diabaikan.
24
Deposit Insurance Corporation Japan (DICJ). Koordinasi ini sangat
diperlukan terutama saat terjadinya krisis keuangan.
BAB V
PENUTUP
1. Kesimpulan
25
Adapun kesimpulan yang bisa di ambil dalam penyusunan karya tulis ini
adalah sebagai berikut:
1. Sebagai bank sentral, Bank Indonesia memiliki lima peran utama
dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Kelima peran utama yang
mencakup kebijakan dan instrumen dalam menjaga stabilitas sistem
keuangan Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas
moneter antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar
terbuka. Memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga
keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Memiliki kewenangan
untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Melalui
fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat
mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas
keuangan dan memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim
keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai Lender of The Last
Resort (LoLR).
2. Pentingnya menjaga stabilitas sistem keuangan dalam sebuah
perekonomian untuk menciptakan perekonomian yang baik di
Indonesia.
3. Kebijakan makroprudensial merupakan salah satu kebijakan yang amat
efisien jika benar-benar di terapkan dengan baik di Indonesia dalam
rangka menjaga stabilitas perekonomian.
4. UU No. 21 Tahun 2011 memberikan kewenangan yang sangat besar
kepada OJK dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan,
dimana kewenangan tersebut selama ini dijalankan oleh dua lembaga
berbeda, yaitu BI dan Bapepam-LK. OJK yang dipimpin oleh Dewan
Komisioner yang terdiri dari 9 orang anggota berwenang untuk
melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan
Konsumen, dan tindakan lain di sektor Perbankan, Sektor Pasar Modal,
serta sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan lainnya.
2. Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan yang telah penulis rangkum, maka saran
yang bisa penulis ajukan adalah sebagai berikut:
1. Saran yang pertama ditujukan kepada pemerintah maupun institusi
yang berkepentingan di bidang perekonomian, yaitu agar
melaksanakan fungsinya dengan baik sesuai dengan aturan yang ada,
dan juga perlunya komunikasi dan pelaporan dengan baik.
2. Saran bagi akademisi, perlu adanya banyak pemikiran baru untuk
memberikan masukan mengenai bagaimana peran Bank Indonesia
dalam membentuk stabilitas sistem keuangan melalui penguatan sistem
perbankan dan lembaga keuangan nasional.
26
DAFTAR PUSTAKA
27
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Biro Stabilitas Sistem Keuangan.
2009. Kajian Stabilitas Keuangan No. 12. Diunduh dari www.bi.go.id
diakses pada tanggal 11 Juni 2014.
Djiwandono, J. Sudradjad, dkk, 2009. Bank Indonesia Dalam Perjalanan
Pembangunan Ekonomi Indonesia 1953-2003, Jakarta: Unit Khusus
Museum Indonesia.
Gerding, Erik F. “Code, Crash, and Open Source: The Outsourcing of Financial
Regulation to Risk Models and the Global Financial Crisis”. Washington
Law Review, Vol. 84. No. 2, 2009. Washington DC: University of
Washington School of Law.
Hartadi A. Sarwono. Dampak Gejolak Eksternal pada Perekonomian Domestik
serta Kebijakan yang ditempuh Pemerintah dan Bank Indonesia.
Disampaikan pada Dialog Publik: Mengkritisi Kebijakan Pemerintah
dalam Penanganan Krisis Keuangan di Indonesia 2008. Diselenggarakan
oleh Depkeu RI dan BEM-KM UGM Yogyakarta 23 November 2008.
Mustaqim, Andika Hendra. “Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Solusi Sistem
Ekonomi Nasional”. Perspektif. Vol. 8. No. 1. 2010. Medan: Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Medan Area.
Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK). 2003. Bank Indonesia:
Bank Sentral Republik Indonesia Tinjauan Kelembagaan, Kebijakan dan
Organisasi yang diterbitkan oleh Pusat Pendidikan dan Studi
Kebanksentralan Bank Indonesia. Edisi Pertama.
Sihono, Teguh, dkk, Bauran Kebijakan Moneter Dan Makroprudensial Bank
Indonesia Sejak Maret 2011 Hingga Maret 2012. (Jurnal)
Sitompul, Zulkarnain. Menyambut Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan. Pilars. 12-
18 Januari 2004. No. 2 Tahun VII. Jakarta: Universitas Mpu Tantular.
Warjiyu, Perry, dkk. 2003. Bank Indonesia Bank Sentral Indonesia: Tinjauan
Kelembagaan, Kebijakan, Dan Organisasi. Jakarta: PPSK.
www.bi.go.id (diakses pada tanggal 2-9 Juni 2014).
www.ojk.go.id (di akses pada tanggal 5-7 Juni 2014)
www.wikipedia.com (diakses pada tanggal 11 Juni 2014).
28