A. TUJUAN PEMBELAJARAN
B. URAIAN MATERI
Bab VII Piagam PBB yang terdiri dari 13 pasal berisikan ketentuan-ketentuan yang
menyangkut tindakan-tindakan yang akan diambil PBB bila terdapat ancaman atau
pelanggaran terhadap perdamaian atau pun suatu tindakan agresi. Terhadap suatu
keadaan yang mengancam perdamaian dan keamanan dunia terdapat tahap-tahap yang
harus ditempuh sebelum PBB mengambil tindakan dalam bentuk kekerasan.
Selanjutnya, sesuai Pasal 40, dan sebelum membuat rekomendasi, Dewan dapat
memutuskan tindakan-tindakan sementara yang dianggap perlu untuk mencegah
memburuknya keadaan. Sekiranya tindakan-tindakan sementara ini tidak dilaksanakan
maka Dewan, sesuai Pasal A1, dapat memutuskaan tindakan-tindakan yang tidak
melibatkan kekuatan bersenjata seperti pemutusan hubungan ekonomi, laut, udara, radio
atau alat-alat komunikasi lainnya ataupun juga pemutusan hubungan diplomatik. Akhirnya
bila tindakan-tindakan tersebut di atas tidak dilaksanakan, Dewan, sesuai Pasal 42, dapat
menggunakan pasukan udara, laut dan darat yang dianggap perlu untuk memelihara atau
memulihkan keadaan. Jelaslah sesuai ketentuan-ketentuan Bab VII Piagam, intervensi
Dewan mempunyai urut-urutan mulai dari mengkonstatasi suatu keadaan sampai pada
penggunaan pasukan bersenjata untuk pemeliharaan dan pemulihan keamanan. Namun,
dalam praktiknya seperti kita lihat kemudian intervensi sesuai Piagam ini jarang terlaksana.
Di samping itu, mengingat kompleksnya permasalahan yang dihadapi terutama selama era
Perang Dingin, ditambah dengan aneka ragamnya kepentingan yang terlibat,
negara-negara anggota tetap Dewan terutama Uni Soviet dan AS sering menggunakan hak
vetonya sehingga permasalahan yang dibahas sering tidak ada kelanjutannya. Sampai
tahun 1999, tidak kurang dari 247 veto yang telah digunakan, 120 oleh Uni Soviet, 72 oleh
Amerika Serikat, 32 Inggris, 18 Perancis dan 5 Cina.1)
1
Changing Pattems In the Use of the Veto In Ihe Security Council, Office of the ASG for Security n
Council, June 1999.
2
The Security Council Veto-Global, Policy Forum-UN Security Cbuncil Page 1 of 19,9/30/2004.
3
Resolusi DK No. 719, 21 September 1991 dan Resolusi DK No. 757, 39 Mei 1992.
dimengeri Dengan menghindarkan diri untuk menuding suatu negara sebaga agresor,
Dewan tampaknya ingin memelihara suasana bagi tercapainya penyelesaian politik dari
krisis yang terjadi.
Seperti kita lihat, intervensi Dewan Keamanan dalam kasus-kasus di atas dilakukan
di negara-negara di mana kepentingan negara besal anggota tetap Dewan Keamanan tidak
terlibat secara langsung. Sebaliknya Dewan Keamanan tidak mungkin melakukan hal yang
sama bila negara yang melakukan pelanggaran adalah salah satu dari anggota tetap atau
negara-negara yang dilindunginya. Sistem blok Timur-Barat akhirnya telah sangat
memperluas pengecualian-pengecualian yang semula hanya berlaku kepada
negara-negara anggota tetap. Pengecualian tersebut telah meluas ke negara-negara yang
dilindungi oleh anggota-anggota tetap Dewan Keamanan, terutama oleh Uni Soviet dan
Amerika Serikat. Sebagai akibatnya banyak kasus-kasus yang telah merupakan ancaman
terhadap perdamaian tetapi Dewan Keamanan tidak dapat berbuat banyak karena
4
Resolusi DK No. 217, 20 November 1965.
5
Resolusi DK No. 418,4 November 1977.
6
Resolusi DK No. 731, 21 Januari 1992 dan Resolusi 748, 31 Maret 1992.
7
Resolusi DK No. 698, 5 April 1991.
8
Resolusi DK No. 733, 23 Januari 1992.
9
Resolusi DK No. 788, 19 November 1992.
10
Resolusi DK No. 864, 15 September 1993.
11
Resolusi DK No. 929, 22 Juni 1994.
penggunaan hak veto terutama seperti yang dilakukan Amerika Serikat dalam sengketa
Arab-Israel.
Atas dasar Bab VII Piagam, Dewan K.amanan dalam resolusinya No. 232 tanggal
16 Desember 1966 menjatuhkan sanksi-sanksi ekonomi kepada Rhodesia Selatan.
12
Resolusi Dewan Keamanan No. 681. tanggal 6 Agustu 1990 dan No. 665. tangga 25 Agustus
1990.
Resolusi tersebut diperkuat dengan 2 resolusi lainnya.13) yang melarang semua hubungan
dagang dan keuangan dengan Rhodesia Selatan, penarikan wakil-wakil dagang dan
keuangan asing, penghentian semua sarana transport dan pemutusan hubungan
diplomatik. Penggunaan pasal 41 ini juga mempunyai batasbatas pula dalam
pelaksanaannya. Kadang-ka:lang sulit untuk mengharapkan semua negara untuk mematuhi
sepenuhnya ketentuan sariksi tersebut. Portugal dan Afrika Selatan misalnya tetap
melakukan perdagangan dan mengirim minyak ke Rhodesia.
Setelah berakhirnya Perang Dingin, penjatuhan sanksi menjadi lebih mudah dan
juga dapat memperkuat pelaksanaannya. Dalam kasus Yugoslavia, Dewan Keamanan
tanpa banyak kesulitan telah dapat secara berturut-turut mengenakan sanksi embargo total
atas senjata-senjata.14 atas semua transaksi termasuk transportasi udara.15) Sanksi-sanksi
ekonomi juga telah dijatuhkan kepada Haiti setelah terjadinya kudeta terhadap Presiden
yang telah dipilih secara demokratis, yaitu J.B Aristide, mula-mula oleh OAS (Organization
of American States) dan kemudian oleh Dewan Keamanan.16) Embargo mengenai
penjualan senjata dan material militer juga dijatuhkan kepada Somalia.17) dan Liberia.18)
Mengenai invasi Irak terhadap Kuwait yang terjadi tanggal 2 Agustus 1990, Dewan
Keamanan dalam resolusinya no. 661 tanggal 6 Agustus 1990 meminta negara-negara
anggota dan bukan anggota PBB untuk mengenakan embargo menyeluruh terhadap Irak.
Lima han kemudian, invasi militer Irak tersebut dinyatakan sebagai invasi berdasarkan
ketentuan Bab VII Piagam, hamun kata agresi tetap tidak dipakai oleh Dewan Keamanan.
Boikot total hubungan militer, perdayangan, keuangan terhadap Irak yang didasarkan atas
pelaksanaan Bab VII Piagam berjalan baik dan bahkan Swiss yang bukan anggota PBB
juga ikut melakukan embargo. Embargo ini juga diperkuat dengan keputusan Dewan
Keamanan untuk melakukan blokade Laut.
13
Resolusi Dewan Keamanan No. 253, 29 Mei 1968 dan Resolusi No. 277, 18 Maret 1970.
14
Resolusi Dewan Keamanan No. 724, 15 Desember 1991 dan Resolusi No. 727, 19 September
1992.
15
Resolusi-resolusi Dewan Keamanan No. 752 15 Mei 1992: 757, 39 Mai 1992: 787, 16 November
1992.
16
Resolusi Dewan Keamanan No. 841, 16 Juni 1993.
17
Resolusi Dwwan Keamanan No. 733, 28 Januari 1992.
18
Resolusi Dewan Keamanan No. 788 , 19 November 1992.
a. Prinsip dalam Piagam
Pasal 42 yang merupakan inti ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Bab VII
Piagam memberikan wewenang kepada Dewan Keamanan untuk mengambil
tindakan-tindakan militer, udara, laut dan darat yang diperlukan untuk memelihara dan
memulihkan perdamaian dan keamanan internasional. Namun dinyatakan pula bahwa
ketentuan tersebut baru dilakukan bila tindakan-tindakan kekerasan non milite tidak
memadai atau mengalami kegagalan. Kalau dibanding dengan Liga Bangsa-Bangsa (LBB)
yang menjadikan pelaksanaan sanksi. sanksi militer bersifat fakultatif bagi negara-negara
anggota, selanjutnya PBB bukan saja dapat memutuskan penggunaan kekerasan tetapi
juga ikut melaksanakannya.
Pelaksanaan ketentuan ini akan ideal apabila dari segi militer, PBB mempunyai
persenjataan sendiri yang dapat menangkal agresi yang tidak dilakukan oleh salah satu
anggota tetap Dewan Keamanan. PBB pada hakekatnya tidak membentuk angkatan
bersenjata internasiona yang bebas dari negara-negara dan yang diletakkan di bawah
komando langsung Dewan Keamanan. Rancangan yang sesuai dengan pasal 43 adalah
negara-negara anggota menyerahkan ke Dewan Keamanan pasukan-pasukan bersenjata
yang diperlukan atas dasar kesepakatan kesepakatan khusus dengan Dewan Keamanan.
Tetapi yang ada hanyalah himpunan dari pasukan berbagai negara yang dikoordinasikan
oleh Dewan Keamanan. Satu-satunya organ bersama adalah Komite Kepala-kepala Staf
yang terdiri dari kepala-kepala staf dari kelima anggota tetap untuk membantu Dewan
dalam masalah-masalah milite' seperti yang disebut dalam pasal 47 Piagam.
Soal
D. DAFTAR PUSTAKA
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Penerbit Alumni, Bandung, 2000
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Buku I, Bagian
Umum, Bina Cipta, Bandung, 1982
Huala Adolf, Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2002
J.L. Brierly, The Law of Nations (Hukum Bangsa-bangsa), Suatu Pengantar,
Penerbit Bhratara, Jakarta, 1996
J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, 2002