Anda di halaman 1dari 6

PERTEMUAN 21

PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL DEWASA INI

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah menyelesaikan pertemuan ke-21 Mahasiswa Diharapkan Dapat


Memahami tentang Perkembangan Hukum Internasional Dewasa Ini.

B. URAIAN MATERI

1. Peranan PBB dalam Memajukan Hukum Internasional

Salah satu keberhasilan besar PBB dalam sejarah kehidupannya adalah


pengembangan hukum internasional melalui pembuatan konvensi-konvensi, dan
perjanjian-perjanjian internasional yang memainkan peranan sentral baik dalam
meningkatkan pembangunan ekonomi dan sosial maupun dalam pemeliharaan perdamaian
dan keamanan dunia. Walaupun kegiatan PBB dibidang pengembangan hukum
internasional ini tidak selalu menarik perhatian masyarakat umum, tetapi hasil-hasil yang
dicapainya telah langsung memberikan dampak dalam. kehidupan sehari-hari penduduk di
berbagai kawasan dunia dimanapun mereka berada.

Semenjak berdirinya, PBB telah mensponsori lebih dari 500 perjanjian


multilateral yang mencakup berbagai bidang kegiatan dan mempunyai kekuatan mengikat
bagi negara-negara yang meraiifikasinya.

Titik tolak perkembangan yang mengagumkan ini adalah Piagam Perserikatan


Bangsa-Bangsa dan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia 10 Desember 1948.
Dalam Piagam PBB terdapat sejumlah Pasal yaitu: Pasal 1 (3), 13 (1b), 55 (c), 62 (2), 68
dan 76 (c), yang merujuk pada pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.
Semenjak itu, PBB secara teratur mengembangkan hukum hak-hak asasi yang juga
mencakup standar khusus bagi perempuan, anak-anak, orang-orang cacat, kelompok
minoritas para pekerja migran dan kelompok-kelompok rawan lainnya. Sekarang mereka
mempunyai ketentuan hukum yang rnelindungi mereka dari praktik-praktik diskriminatif
yang sering terjadi di banyak negara. Deklarasi Universal Ini telah menjadi Inspirasi tidak
kurang dari 80 konvensi, perjanjian Internasional ataupun deklarasi di bidang HAM.

Peranan penting juga dimainkan oleh Komisi Hukum Internasional yang didirikan
oleh Majelis Umum PBB tahun 1947 dengan tujuan memajukan pengembangan secara
progesif hukum internasional dan kodifikasinya. Komisi tersebut terdiri dari 34 anggota,
pakar terkemuka hukum internasional di seluruh dunia dalam kapasitas pribadi, yang dipilih
oleh Majelis Umum PBB untuk masa tugas lima tahun, Pekerjaan Komisi ini mencakup
aneka ragam topik hukum internasional yang mengatur hubungan antar negara. Sampai
sekarang Komisi tersebut telah menyiapkan 22 draf konvensi yang menyangkut berbagai
bidang kegiatan. Di samping itu, tidak kalah penting juga adalah norma-nomma hukum
yang dihasilkan oleh badan-badan khusus PBB seperti Organisasi Buruh Sedunia dengan
aneka ragam konvensinya tentang perburuhan.

Suatu perkembangan yang positif terjadi pada sejumlah konvensi mengenai HAM
yaitu dengan dibentuknya semacam monitoring body untuk memantau pelaksanaan
ketentuan- ketentuan konvensi di negara-negara pihak.

Badan pemantau itu bemama komite yang terdiri dari sejumlah pakar independen
di bidang mereka masing-masing. Komite tersebut bertugas mempelajari laporan-laporan
dari negara-negara pihak, yaitu tindakan-tindakan yang telah diambil di bidang administratif,
eksekutif ataupun hukum bagi pelaksanaan konvensi. Atas laporan dari negara-negara
pihak, komite juga dapat menyampaikan usul atau saran yang diperlukan.

Konvensi-konvensi yang mempunyai komite antara lain adalah International


Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (1976), Intemational Covenant on Civil
and Political Rights (1976), Intemational Convention on the Elimination of All Forms of
Racial Discrimination (1966), Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
againtst Women (1979), Convention Againtst Torture and Other Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment (1984), dan Convention on the Rights of the Child (1989).
Perkembangan tersebut merupakan kemajuan penting dalam memantau pelaksanaan
ketentuan-ketentuan konyensional di negara-negara pihak. Jadi, pelaksanaan konvensi
tidak lagi diserahkan semata-mata kepada negara pihak tetapi juga oleh komite dari
konvensi yang bersangkutan.
2.1 Pengesampingan Prinsip Non- Intervensi PBB

Pasal 2 ayat 7 Piagam dengan jelas menegaskan bahwa PBB tidak boleh
campur tangan dalam masalah-masalah yang berada dibawah yurisdiksi nasional negara
anggota. Selanjutnya, Pasal 2 ayat 1 menegaskan pula bahwa PBB didasarkan atas prinsip
kesamaan kedaulatan dari semua negara anggota dan sesuai ayat 4 pasal yang sama,
negara-negara dilarang menggunakan ancaman dan penggunaan kekerasan terhadap
integritas teritorial dan kebebasan politik dari setiap negara.

Ketentuan-ketentuan di atas dengan jelas menegaskan penghormatan penuh


terhadap kedaulatan negara-negara anggota dan larangan mencampuri urusan dalam negeri
negara lain. Namun, dalam kenyataannya prinsip ini tidak lagi sepenuhnya dapat
dilaksanakan dan sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan. Penyebab utamanya ialah banyak
masalah-masalah dalam negeri di berbagai negara yang dapat mengganggu Stabilitas dan
keamanan kawasan. Dalam keadaan ini PBB terpaksa mengambil kebijakan ataupun
langkah-langkah untuk mengatasi keadaan baik melalui prosedur penyelesaian sengketa
secara damai (Bab VI Piagam) maupun penggunaan tindakan kekerasan sesuai Bab VII
Piagam. Uni Afrika yang baru lahir bulan Juli tahun 2002 yang menggantikan OPA diberi
wewenang untuk melakukan Intervensi di negara-negara anggota sekiranya terjadi
pelanggaran HAM berat seperti kejahatan perang dan genosida.

Dalam kerangka ASEAN, prinsip non intervensi ini juga terdapat dalam berbagai
dokumen seperti dalam Bangkok Declaration 1967 ZOPFAN 1971 dan Treaty of Amity and
Cooperation (TAC) 1976. Dalam kenyataannya, ASEAN telah melibatkan diri terhadap
masalah-masalah dalam negeri negara anggota seperti penyelesaian konflik Kamboja dan
pelanggaran HAM di Myanmar.

Bermacam-macam formulasi telah dicanangkan untuk mengganti prinsip non


intervensi tersebut seperti constructive engagement tahun 1994, constructive involvement
tahun 1997 oleh Malaysia, constructive intervention oleh Thailand, flexible engagement oleh
Filipina dan enhanced interaction tahun 1998 oleh Indonesia.

Munculnya berbagai formulasi ini merupakan pencerminan bahwa dalam era


kerja sama dan saling ketergantungan ini, prinsip non Intervensi tersebut sulit untuk
dilaksanakan sepenuhnya.
2.2 Keharusan Merevisi Piagam PBB

Mengingat pentingnya arti peranan Piagam dalam mengalami segala macam


interaksi negara dalam masyarakat intemasiond kiranya perlu dilihat sejenak apakah
ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalamnya masih relevan dengan keadaan sekarang
Pertanyaan ini timbul karena Piagam tersebut dirumuskan 60 tahun yang lalu sedangkan
dunia telah mengalami perubahan lingkungar global yang mendasar.

Macetnya system keamanan bersama yang merupakan tulang 2 punggung


system Piagam adalah sebagai akibat perbedaan suasana politik waktu dirumuskannya
Piagam dengan suasana Perang Dingin yang melumpuhkan Dewan Keamanan selama 42
tahun atas masalah-masalah perdamaian dan keamanan internasional.

Piagam dirumuskan untuk mengatur hubungan dan menangani


sengketa-sengketa antar negara, sedangkan dewasa ini aktor-aktor non negarapun
(non-state actors) dapat menimbulkan ancaman terhadap perdamaian. Piagam tidak
dilengkapi dengan ketentuanketentuan untuk menangani tindakan aktor-aktor nonnegara
karena bukan merupakan subjek hukum internasional.

Bagi Piagam, sumber ancaman terhadap perdamaian dan keamanan dunia


adalah sengketa bersenjata antamegara. Sesudah berakhimya Perang Dunia II dan terutama
setelah usainya Perang Dingin, sumber ancaman pada umumnya berasal dari sengketa
bersenjata intemal (intra state conflicts) sedang Piagam melarang menggunakan kekerasan
dan campur tangan terhadap masalah dalam negeri negara lain.

Waktu Piagam dirumuskan, tidak tercerminkan akan adanya kelompok-kelompok


gerilyawan, gerakan-gerakan pembebasan nasional, konflik etnis atau agama,
pengembangan dan pacuan senjata nuklir serta tindakan-tindakan terorisme. Semua
perkembangan ini sangat mempengaruhi perilaku politik negara dan merupakan tantangan
terhadap Piagam dan hukum intemasional pada umumnya.

Yang menjadi perdebatan hangat semenjak beberapa dekade terakhir, adalah


demokratisasi dan restrukturisasi organisasi dunia tersebut terutama komposisi Dewan
Keamanan yang sudah lama tidak lagi mencerminkan komposisi negara-negara di dunia.
Selama Struktur dan komposisi Dewan termasuk hak veto yang hanya dimiliki Oleh lima
anggota teiap Dewan Keamanan tidak diubah, maka tidak akan ada keadilan dalam
menangani berbagai isu global yang dihadapi dunia dewasa ini.

Revisi Piagam PBB dirasa sangat perlu karena Piagam juga berisikan
ketentuan-ketentuan yang sudah usang, kurang relevan dan Iidak jelas. Ketidakjelasan
ketentuan hak bela diri misalnya telah menyebabkan terjadinya bebagai interpretasi dan
penyalahgunaan. Selain itu, Dewan Perwalian (Trusteeship Council) yang dibentuk Setelah
Perang Dunia kedua sudah tidak berfungsi lagi pada zaman sekarang ini.

Itulah sekadar butir-butir yang kiranya memerlukan perhatian khusus bagi


peninjauan kembali Piagam demi terpeliharanya perdamaian dan keamanan serta
terciptanya kesejahteraan bagi semua bangsa di dunia seperti yang dicanangkan oleh
pembukaan Piagam.

C. LATIHAN SOAL / TUGAS

Soal

1. Bagaimana peranan PPB dalam memajukan hukum internasional?


2. Mengapa prinsip mencampuri urusan dalam negeri negara lain mulai
ditinggalkan?
3. Mengapa perlu direvisi piagam PBB?

D. DAFTAR PUSTAKA

Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Penerbit Alumni, Bandung, 2000
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Buku I, Bagian
Umum, Bina Cipta, Bandung, 1982
Huala Adolf, Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2002
J.L. Brierly, The Law of Nations (Hukum Bangsa-bangsa), Suatu Pengantar,
Penerbit Bhratara, Jakarta, 1996
J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, 2002

Anda mungkin juga menyukai