DISUSUN OLEH :
XII IPA B
B. Sinopsis
Buku Kedua Andrea Hirata ini bercerita tentang masa SMA tiga orang pemuda, yaitu
Ikal, Arai dan Jimbron. Mereka bertiga adalah remaja yang berasal dari Belitong dan
melanjutkan sekolah di Manggar, SMA Negeri pertama di Manggar. Untuk mencukupi
kebutuhan sekolahnya Arai, Ikal dan Jimbron bekerja paruh waktu sebagai kuli di pasar
ikan.
Arai adalah yang paling cerdas diantara mereka bertiga, selalu mengutip kata-kata
inspiratif dari berbagai sumber “tak semua yang dihitung bisa diperhitungkan dan tak
semua yang diperhitungkan bisa dihitung”, sedangkan Ikal yang sangat mengidolakan H.
Roma Irama akan mengutip kalimat dari lirik lagu raja dangdut tersebut “Darah muda
adalah darahnya para remaja” sedangkan Jibron yang sangat menyukai kuda akan
mengeluarkan kalimat yang tidak jauh-jauh dari bahasan tentang kuda.
Kehidupan SMA adalah perjalanan mencari jati diri. Arai, saat itu jatuh cinta pada
teman sekelasnya, Zakia Nurmala, sedangkan Ikal jatuh cinta pada putri seorang cina, A
Ling, dan Jimbron jatuh cinta padaku.
C. Unsur Intrinsik
Tema
Tema yang tersirat dalam novel “Sang Pemimpi” ini tak lain adalah
“persahabatan dan perjuangan dalam mengarungi kehidupan serta kepercayaan
terhadap kekuatan sebuah mimpi atau pengharapan”. Hal itu dapat dibuktikan
dari penceritaan per- kalimatnya dimana penulis berusaha menggambarkan
begitu besarnya kekuatan mimpi sehingga dapat membawa seseorang menerjang
kerasnya kehidupan dan batas kemustahilan.
Tokoh dan Penokohan
Muthia Sayekti atau pemulis Novel ini yang pernah mengalami rasa kurang percaya
diri dan merasa insecure dengan diri sendiri dan iri dengan kelebihan orang lain.
Latar
Dalam novel ini disebutkan latarnya yaitu di Pulau Magai Balitong, los pasar dan
dermaga pelabuhan, di gedung bioskop, di sekolah SMA Negeri Bukan Main, terminal
Bogor, dan Pulau Kalimantan. Waktu yang digunakan pagi, siang, sore, dan malam. Latar
nuansanya lebih berbau melayu dan gejolak remaja yang diselimuti impian-impian.
Alur
Dalam novel ini menggunakan alur gabungan (alur maju dan mundur). Alur maju
ketika pengarang menceritakan dari mulai kecil sampai dewasa dan alur mundur ketika
menceritakan peristiwa waktu kecil pada saat sekarang/dewasa.
Sudut Pandang
Sudut pandang novel ini yaitu “orang pertama” (akuan). Dimana penulis mem-
posisikan dirinya sebagai tokoh Ikal dalam cerita.
Gaya Bahasa
Gaya penceritaan novel ini sangat sempurna. Yaitu kecerdasan kata-kata dan
kelembutan bahasa puitis berpadu tanpa ada unsur repetitif yang membosankan. Setiap
katanya mengandung kekayaan bahasa sekaligus makna apik dibalik tiap-tiap katanya.
Selain itu, Novel ini ditulis dengan gaya realis bertabur metafora, penyampaian cerita yang
cerdas dan menyentuh, penuh inspirasi dan imajinasi. Komikal dan banyak mengandung
letupan intelegensi yang kuat sehingga pembaca tanpa disadari masuk dalam kisah dan
karakter-karakter yang ada dalam novel Sang Pemimpi.
Amanat
Amanat yang disampaikan dalam Sang Pemimpi ini adalah jangan berhenti bermimpi.
Hal itu sangat jelas pada tiap-tiap subbabnya. Yang pada prinsipnya manusia tidak akan
pernah bisa untuk lepas dari sebuah mimpi dan keinginan besar dalam hidupnya. Hal itu
secara jelas digambarkan penulis dalam novel ini dengan maksud memberikan titik terang
kepada manusia yang mempunyai mimpi besar namun terganjal oleh segala keterbatasan.
D. Unsur Ektrinsik
Nilai Sosial
Ditinjau dari nilai sosialnya, novel ini begitu kaya akan nilai sosial. Hal itu dibuktikan
rasa setia kawan yang begitu tinggi antara tokoh Ikal, Arai, dan Jimbron. Masing-masing
saling mendukung dan membantu antara satu dengan yang lain dalam mewujudkan
rasa gotong royong yang tinggi sebagai orang Belitong, dalam keadaan kekurangan pun
Nilai Moral
Nilai moral pada novel ini sangat kental. Sifat-sifat yang tergambar menunjukkan
rasa humanis yang terang dalam diri seorang remaja tanggung dalam menyikapi kerasnya
kehidupan. Di sini, tokoh utama digambarkan sebagai sosok remaja yang mempunyai
Nilai Agama
Nilai agama pada novel ini juga secara jelas tergambar. Terutama pada bagian-bagian
dimana ketiga tokoh ini belajar dalam sebuah pondok pesantren. Banyak aturan-aturan
islam dan petuah-petuah Taikong (kyai) yang begitu hormat mereka patuhi. Hal itu juga