Anda di halaman 1dari 16

“ Teori Feminisme”

Dosen Pengampu : Dr. Argyo Demartoto, M.Si.

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
DAFTAR ISI

COVER
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN 3
BAB II
PEMBAHASAN 4
A. Pengertian Feminisme 4
B. Gelombang Feminisme 5
C. Teori Feminisme Menurut Pandangan Para Pemikirnya 10
BAB III
PENUTUP 15
Kesimpulan 15
DAFTAR PUSTAKA 16

2|Page
BAB I
PENDAHULUAN

Sosiologi telah mengalami berbagai perkembangan yang sangat pesat.


Dari awal munculnya ilmu sosiologi diiringi tokoh-tokoh yang berada dibalik itu
yang membawa teori-teori yang berkenaan dengan masyarakat dan gejala serta
realita sosial didalamnya. Kemunculan teori-teori ini dimulai dari sosiologi klasik
sampai modern hingga sekarang muncul sosial postmodern. Postmodern bila
diartikan secara harfiah, kata-katanya terdiri atas “Post” yang artinya masa
sesudah dan “Modern” yang artinya era modern, karena itu dapat disimpulkan
bahwa Postmodern adalah masa sesudah era Modern (era diatas tahun 1960-an).
Postmodern pada dasarnya merupakan sebuah analisa sosiologis untuk
menggambarkan perubahan dalam masyarakat sehingga membutuhkan pemikiran
baru dan bagi beberapa pihak yang radikal, postmodern juga menolak analisis
teori modern karena dianggap tidak sesuai dengan masyarakat baru tersebut.

Teori sosial postmodern lahir dari para pemikir aliran postmodernisme.


Postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalan
memenuhi janji-janjinya. Pemikir postmodern cenderung menolak apa yang
biasanya dikenal dengan pandangan dunia, metanarasi, totalitas, dan sebagainya.
Postmodernisme cenderung menggembar-gemborkan fenomena besar pramodern,
seperti: emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman pribadi,
kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen
keagamaan, dan pengalaman mistik (Ritzer, 2006: 19). Banyak tokoh-tokoh
postmodernisme yang sering diperbincangkan dalam kancah teori sosial karena
karyanya yang unik dan menghebohkan. Salah satu teori sosial postmodern adalah
teori feminisme. Teori feminis melihat dunia dari sudut pandang perempuan.
Teori feminis adalah sistem gagasan umum dengan cakupan luas tentang
kehidupan sosial dan pengalaman manusia yang berkembang dari perspektif yang
berpusat pada perempuan. Pada kesempatan kali ini, kami akan membahas
mengenai teori sosial postmodern yaitu teori feminisme tersebut.

3|Page
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Feminisme

Sebagian masyarakat masih berasumsi feminisme adalah gerakan


pemberontakan kaum perempuan terhadap kaum laki-laki. Feminisme dianggap
sebagai usaha pemberontakan kaum perempuan untuk mengingkari apa yang
disebut sebagai kodrat atau fitrah perempuan, melawan pranata sosial yang ada,
atau institusi rumah tangga, seperti perkawinan dan lain sebagainya. Para feminis
mengakui bahwa gerakan feminisme merupakan gerakan yang berakar pada
kesadaran kaum perempuan. Perempuan sering berada dalam keadaan ditindas
dan dieksploitasi sehingga penindasan dan eksploitasi terhadap kaum perempuan
harus diakhiri. Selain itu, gerakan feminisme bertujuan untuk memperjuangkan
kesetaraan dan kedudukan martabat perempuan dengan laki-laki, serta kebebasan
untuk mengontrol raga dan kehidupan mereka sendiri baik di dalam maupun di
luar rumah.

Dalam buku Encyclopedia of Feminism, yang ditulis Lisa Tuttle pada


tahun 1986, feminisme dalam bahasa Inggrisnya feminism, yang berasal dari
bahasa Latin femina (woman), secara harfiah artinya “having the qualities of
females”. Istilah ini awalnya digunakan merujuk pada teori tentang persamaan
seksual dan gerakan hak-hak asasi perempuan, menggantikan womanism pada
tahun 1980-an

Teori feminisme memfokuskan diri pada pentingnya kesadaran mengenai


persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam semua bidang.Teori ini
berkembang sebagai reaksi atas fakta yang terjadi di masyarakat, yaitu adanya
konflik kelas, ras, dan terutama adanya konflik gender.Feminisme mencoba untuk
menghilangkan pertentangan antara kelompok yang lemah yang dianggap lebih
kuat. Lebih jauh lagi, feminisme menolak ketidakadilan sebagai akibat masyarakat
patriarki, menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-
laki

4|Page
Feminisme bukanlah upaya pemberontakan terhadap laki-laki, upaya
melawan pranata sosial seperti institusi rumah tanggga dan perkawinan, ataupun
upaya perempuan untuk mengingkari kodratnya, melainkan upaya untuk
mengakhiri penindasan dan eksploitasi perempuan. Dalam hal ini, sasaran
feminisme bukan sekadar masalah gender, melainkan memperjuangkan hak-hak
kemanusiaan.

B. Gelombang Feminisme
FEMINISME GELOMBANG PERTAMA
Feminisme gelombang pertama dianggap dimulai dengan tulisan Mary
Wollstonecraft The Vindication of the Rights of Woman (1792) yang menyerukan
pengembangan sisi rasional pada perempuan dan menuntut agar anak perempuan
dapat belajar di sekolah pemerintah agar setara dengan anak laki-laki agar menjadi
mandiri terutama secara finansial. Perjuangan Wollstonecraft dilanjutkan oleh
Harriet dan John Stuart Mill yang memperjuangkan perluasan kesempatan kerja
bagi perempuan dan hak-hak legal perempuan dalam pernikahan maupun
perceraian. Selain itu, juga muncul salah satu pejuang hak perempuan yang sudah
menikah yang paling menonjol adalah Caroline Norton. Aktifitas kaum feminis di
Inggris ini bergaung juga di Amerika yang mencapai tonggak penting pada
Seneca Falls Convention (1848) yang menuntut dihapuskannya semua
diskriminasi berdasarkan jenis kelamin.
Di Inggris, meningkatnya jumlah perempuan yang bekerja menuntut
disediakannya sekolah yang dapat mempersiapkan perempuan sebagai tenaga
kerja professional, meski umumnya berada pada sektor domestik. Pada gilirannya,
semakin banyak perempuan yang terlibat di dunia pendidikan yang memicu
dicetuskannya ide bahwa perempuan berhak mendapatkan hak pilih (Sanders,
2006). Isu ini semakin memuncak pada 1895 saat kata ―feminist‖ digunakan
untuk pertama kalinya dalam Athenaeum (Walters, 2005: 1). Hak pilih untuk
perempuan dicapai pada 1918.
Menurut Sanders (2006), feminisme gelombang pertama mencakup
beberapa ambivalensi. Para feminis gelombang pertama sangat berhati-hati agar
tidak terlibat kehidupan yang tidak konvensional. Mungkin ini ada kaitannya
5|Page
dengan backlash yang dialami pasca biografi Mary Wollstonecraft (Kirkham,
1997). Di samping itu, gerakan ini hanya memperjuangkan perempuan lajang dari
kelas menengah saja, terutama yang memiliki intelektualitas tinggi dan juga
gerakan mereka hanya ditujukan untuk isu-isu tertentu serta belum ada kesadaran
mengenai gerakan feminisme yang lebih luas.

FEMINISME GELOMBANG KEDUA


Feminisme gelombang kedua dimulai pada tahun 1960an yang
ditandai dengan terbitnya The Feminine Mystique (Freidan, 1963), diikuti
dengan berdirinya National Organization for Woman (NOW, 1966) dan
munculnya kelompok-kelompok conscious raising (CR) pada akhir tahun 1960an
(Thompson, 2010). Feminisme gelombang kedua bertema besar ―women‟s
liberation‖ yang dianggap sebagai gerakan kolektif yang revolusionis. Gelombang
ini muncul sebagai reaksi ketidakpuasan perempuan atas berbagai diskriminasi
yang mereka alami meskipun emansipasi secara hukum dan politis telah dicapai
oleh feminisme gelombang pertama. Untuk itu, feminisme gelombang kedua lebih
memusatkan diri pada isu-isu yang mempengaruhi hidup perempuan secara
langsung: reproduksi, pengasuhan anak, kekerasan seksual, seksualitas
perempuan, dan masalah domestisitas (Gillis, et.al., 2004).
Menurut Thornham (2006), feminisme gelombang kedua di Amerika
dapat dikelompokkan menjadi dua aliran. Pertama, kelompok aliran kanan yang
cenderung bersifat liberal yang bertujuan untuk memperjuangkan partisipasi
perempuan di seluruh kehidupan sosial (di Amerika), dengan hak dan kewajiban
yang sama dengan laki-laki. Aliran ini ada di bawah organisasi NOW (National
Organization for Women) yang didirikan oleh Betty Freidan pada 1966.
Kedua, aliran kiri dan bersifat lebih radikal. Feminisme radikal
berakar reaksi para feminis yang merasa tidak terfasilitasi dalam feminisme liberal
NOW karena perbedaan ras, kelas, dan protes terhadap kekejaman Amerika dalam
perang Vietnam (Siegel, 2007). Konsep utama feminisme radikal adalah
―consciousness raising‘ dengan paham ―the personal is political‖ (Whelehan,
1995). Perempuan telah dipaksa oleh patriarki untuk bersikap apolitis, mengalah,
dan lemah kembut. Mereka menentang kontes-kontes kecantikan karena dianggap

6|Page
sebagai sarana untuk mencekoki perempuan dengan standar kecantikan yang
melemahkan posisi perempuan.
Di Inggris, Kelompok Kanan terbentuk kuat di kalangan perempuan
pekerja. Mereka melaksanakan mogok untuk menuntut persamaan upah.
Sementara itu kelompok kiri sangat dipengaruhi oleh paham Sosialis Marxisme
(Thornham, 2006). Namun dalam The British National Women‟s Liberation
Conference pada 1970, secara kompak mereka menuntut persamaan upah,
persamaan pendidikan dan kesempatan kerja, tempat penitipan anak 24 jam, alat
kontrasepsi gratis, dan aborsi sesuai kebutuhan.
Dalam pandangan Thornham, buku The Second Sex (1956) dari
Simone de Beauvoir menjadi salah satu acuan utama feminisme tahun 1970an.
Simone de Beauvoir menentang determinisme biologis dalam fisiologi, dorongan
bawah sadar dalam psikoanalisa Freud dan subordinasi ekonomi dalam teori Marx
(Phoca dan Wright, 1999; Thornham, 2006). Teori-teori tersebut dianggap telah
mendorong internalisasi konsep perempuan sebagai yang liyan (the Other) dan
perempuan menjadi wanita karena konstruksi-konstruksi sosial yang patriarkis
tersebut (de Beauvoir, 1956). Bagi de Beauvoir, perempuan harus merebut
kesempatan untuk mencapai kesetaraan dalam hal ekonomi dan sosial agar
perempuan menjadi subjek yang setara dengan laki-laki.
Di Amerika, pendapat de Beauvoir dikembangkan oleh Betty Freidan,
Kate Millett, dan Shulamith Firestone (Jenainati dan Groves, 2007). Freidan
berpendapat, untuk menjadi perempuan yang setara dengan laki-laki, perempuan
harus meninggalkan jebakan rumah tangga dan semua ―feminine mystique‖ yang
mengikat perempuan dalam konstuksi yang mensubordinasinya (Freidan, 1963).
Kate Millett mengembangkan kajian sastra, film, dan budaya untuk melawan
penindasan terstruktur melalui kontrol ideologis. Sementara Firestone mengikuti
ajaran Marxis dan mengajak perempuan menguasai alat-alat reproduksi (Tong,
2009).
Di Inggris, Julliet Mitchel setuju bahwa penindasan perempuan
utamanya dilakukan secara ideologis dalam ‗psychology of femininity‘
(Thornham, 2006). Mitchel berpendapat pembebasan perempuan terletak pada
penguasaan kontrol terhadap produksi, reproduksi, seksualitas, dan pendidikan

7|Page
anak (Tong, 2009). Di Perancis, Luce Irigaray, Hélène Cixous dan Julia Kristeva
menggunakan psikoanalisa untuk menjelaskan subordinasi posisi perempuan
(Tong, 2009). Ketiganya setuju dengan de Beauvoir bahwa perempuan
menginternalisasi peran mereka sebagai yang liyan.
Feminisme gelombang kedua dikritisi oleh para perempuan kulit
hitam, lesbian, dan perempuan pekerja yang kemudian membentuk gerakan
radical (Gubar, 2000; Jenainati dan Groves, 2007). Banyak pihak yang
menganggap ―women‟s liberation‖ hanya mengutamakan perempuan kulit putih
dan gagal mencakup isu kelas dan ras (Zaslow, 2009: 28), meski Thompson
(2010) berpendapat feminisme sejak awal selalu dipengaruhi oleh isu mengenai
perempuan Afrika, Latina, dan Asia. Kaum lesbian menuduh feminisme
gelombang kedua mengutamakan kaum heteroseksual dan mengesampingkan
lesbianisme (Thornham, 2006), meski Whelehan (1995) dan Tong (2009)
menunjukkan bahwa femininisme radikal dan feminisme lesbian berkembang
secara simultan pada 1960an dan 1970an. Secara umum, teori-teori feminis
gelombang kedua dianggap ―setengah ramalan setengah utopia (Bammer, 1991).
Terlepas dari rasa solidaritas yang terbangun antar feminis gelombang kedua,
selalu ada perbedaan antara perempuan dari berbagai kelas, ras, dan etnis. Karena
itu, pencarian terhadap feminisme yang mampu mewakili seluruh perempuan
merupakan sebuah utopia (Braidotti, 2003: 197), karena feminisme berakar dari
berbagai isu yang berbeda dan karenanya memiliki sejarah dan perkembangan
yang majemuk (Whelehan, 1995; Gubar, 2000; Tong, 2009; Budgeon, 2011).
Feminisme gelombang kedua dianggap berakhir pada 1975 (Hewitt, 2010) dan
pada akhir 1980an, feminisme berkembang secara divergen ke arah feminisme
gelombang ketiga dan yang berbarengan dengan lahirnya postfeminisme yang
kontroversial.
Feminisme Gelombang Ketiga

Feminisme gelombang ketiga, awal 1980-an sampai awal 1990-an,


ditandai oleh pemahaman atas gerakan feminisme yang semakin beragam. Di
mana gerakan politik sudah mengedepankan politik perempuan, ras etnisitas, dan
posisi subjek yang sering dipahami dalam rubrik “politik postmodern”. Di mana
segala sesuatu yang selama ini dimarjinalkan dan terpinggirkan, dalam “teori

8|Page
postmodern” spesifikasi posisi mereka mulai ditonjolkan dengan menghargai
perbedaan mereka dari kelompok dan individu lain.
Teori politik ini mencirikan “politik identitas” (politics of identity) dan
“politik perbedaan” (politics of difference). Politik ini timbul dalam
pengelompokkan politik baru, dari kategori yang telah diabaikan pada zaman
modern seperti ras, jender, preferensi seksual, etnisitas, dan politik identitas. Gaya
konsep politik baru ini didasarkan pada konstruksi identitas politik dan identitas
budaya melalui perjuangan politik dan komitmen politik. Memang ada perbedaan
pendapat tentang masalah identitas ini seperti dikemukakan Best dan Kelner
(1991), ketegangan ini bermula dari ambiguitas kata “identitas” yang berkonotasi
negatif di dalam teori postmodern selama ini, karena ia mengimplikasikan logika
identitas represif (dikaitkan dengan Hegel dan Marxisme) yang mereduksi
heterogenitas menjadi homogenitas. Di samping itu, “identitas” juga berkonotasi
positif selama ini, karena ia melibatkan penempaan identitas politik, dari latar
belakang sejarah dan budaya seseorang, dan jender, kelas, dan status etnis
seseorang. Kedua sumber subjektifitas individu dan pengelompokan politik yang
berlainan ini diistilahkan “posisi subjek”.
Dalam hal ini Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendeklarasikan
tahun 1975-1985 sebagai Dasawarsa Perempuan, dan menginstruksikan kepada
setiap negara anggotanya untuk memberikan perempuan kesempatan yang sama
untuk kemajuan di bidang ekonomi, kebudayaan, agama, politik, dan hukum
seperti yang dimiliki laki-laki. Diikuti tiga konferensi perempuan internasional
menandai Dasawarsa Perempuan: konferensi awal dilakukan di Mexico City
(1975); konferensi tengah di Kopenhagen (1980), dan yang terakhir adalah
konferensi 12 hari di Nairobi Kenya (1985).
Kendati ada konflik nyata ikhwal isu identitas dan perbedaan dalam
teori kontemporer dan politik, namun ada kesesuaian atau kecocokan logika antara
politik perbedaan dan politik identitas, karena politik identitas bisa “menekankan
berbagai kekuatan” yang membentuk identitas politik dan pentingnya meng-
absahkan serta memperkuat spesifisitas kelompok politik tersebut, seperti Laclau
dan Mouffe (Foucault, Deleuze dan Guattary dalam Best dan Kelner, 1991),
misalnya, mengedepankan pentingnya pluralitas politik, dengan penekanan yang

9|Page
banyak kita jumpai pada teoretisi postmodern lain, mereka juga menekankan
pentingnya membentuk identitas politik, yang harus diartikulasikan di dalam
aliansi politik radikal, namun radikalisme ini gagal, namun terartikulasikan
dengan baik.
Sebenarnya, gerakan feminisme yang banyak berlangsung di dunia ini,
telah menempatkan kembali perempuan dalam semangat emansipasi yang tinggi
dengan aturan-aturan yang telah memberi tempat perempuan dalam ranah publik,
di mana kaum laki-laki dan perempuan “berdiri sama tinggi dan duduk sama
rendah” yang selama beabad-abad termarjinalkan di setiap aktivitas kehidupan.
Gerakan emansipasi ini memberikan inspirasi besar kepada organisasi perempuan
di dunia, yang mempengaruhi organisasi perempuan untuk memperjuangkan hak-
hak sosial dan hak politiknya tanpa harus mengurangi peran perempuan sesuai
kodratnya. Dan peran politik perempuan dari satu periode perjuangan politik ke
periode perjuangan politik berikutnya, memiliki tujuan yang berbeda disesuaikan
dengan periode perjuangan itu sendiri karena setiap periode perjuangan punya
karakteristik yang berlainan.

C. Teori Feminisme Menurut Pandangan Para Pemikirnya


1. Teori Julia Kristeva Terkait Feminisme

Julia Kristeva adalah seorang feminis Prancis, yang membawa


perubahan radikal mengenai konsep tentang feminisme sekaligus kritik atas
pos-strukturalisme yang sedang populer pasca Perang Dunia II. Ia
menyandarkan karya-karyanya pada psikoanalisis Freud dan Lacan. Kristeva
berusaha mempertalikan keduanya agar membentuk suatu korelasi baru yang
mengguncang kedua dunia dialektika tersebut dengan istilah ‘tubuh maternal.

Sisi pertama, Kristeva memperkenalkan adanya konsep feminisme


dasar, bahwa tubuh perempuan merupakan alat pemuas laki-laki dan alat
reproduksi. Di sini, seorang perempuan memang benar-benar menjalankan
fungsi biologisnya; inilah yang fungsi dasar yang membedakannya dari
makhluk Tuhan yang lainnya. Namun, karena fungsi ini cenderung diabaikan
dan dimanfaatkan atas nama ‘kepuasan sementara’, maka Kristeva merasa

10 | P a g e
perlu untuk melengkapi fungsi perempuan yang kedua: perempuan adalah
tubuh maternal.

Fungsi perempuan berubah seketika saat ia menjadi seorang ibu.


Analisis struktural Kristeva menyatakan bahwa ada simbol-simbol sosial
tertentu yang menjadi penanda pada tubuh ibu. Simbol tersebut ada kaitannya
dengan identitas yang akan dipilih anaknya sejak hingga setelah ia keluar dari
rahim ibunya. Tak cukup sampai di situ, Kristeva menambahkan bahwa sejak
dalam kandungan, tubuh maternal ibu menyimpan sebuah makna cinta (di
mana ini juga merupakan kritiknya terhadap strukturalisme yang menolak
makna apapun) dan kasih sayang dari seorang ibu kepada bayinya. Selama
masa kehamilan itulah, memori pra-Oedipus sang bayi akan dibentuk dengan
bayangan dalam pikirannya bahwa ada sosok Ayah imajiner dan Ibu yang
penuh kasih sayang.

Ketika sang bayi dilahirkan, sebelum masa penyapihan, dia akan


berusaha mengidentifikasi orang-orang di sekitarnya, dan memutuskan
menyimpan ingatan tersebut dalam waktu yang sangat lama. Ketika masa
penyapihan, anak diajari untuk bisa membedakan dirinya sendiri. Bagi anak
laki-laki, ia akan mengalami abjeksi atau penolakan sosok ibu dari seseorang
yang ‘menjadi objek cinta ayahnya’. Bagi anak perempuan, ia akan
mengalami abjeksi dengan melupakan ibunya, bukan menyingkirkannya.
Sesuai dengan teori Freud, ini terjadi karena berkaitan dengan alam bawah
sadarnya yang menyimpan memori sebelum dia lahir ke dunia. Normalnya
seperti itu. Ini menjawab pertanyaan kenapa jika anak-anak itu telah dewasa
dan kemudian menikah, seorang istri akan menemukan figur ayahnya dalam
diri suaminya dan berusaha menjadi seperti ibu bagi suaminya. Begitupun
yang terjadi pada sang suami. Ia akan menemukan figur ibunya pada diri
istrinya dan berusaha menjadi seperti ayah bagi istrinya. Apabila ini terjadi,
maka bisa dipastikan rumah tangga baru itu akan damai, sejahtera, dan penuh
cinta. Perempuan, sebagai seorang perempuan dan ibu,
dia selalu terdiskriminasi. Tetapi ketika perempuan menjalankan fungsi
sebagai ibu, dia tak akan pernah didiskriminasi.

11 | P a g e
2. Feminisme Judith Butler

Judith Butler menerapkan paling tidak sebagian, perspektif faucaldian


dalam sebuah “genealogi kritis kategori-kategori gender,”khususnya atas
“perempuan” sebagai sebuah subjek yang bertalian dan stabil. Secara spesifik,
Butler menyebut fondasionalisme (foundationalism) dari feminism dengan
pusat perhatiannya pada perempuan sebagai subjek. Ia melihat ini sebagai
bagian dari kekuasaan yuridiksial Foucauldian yang menghasilkan subjek,
termasuk perempuan (Butler, 1990 : 5).

Kesimpulan utamanya adalah bahwa “perempuan” bukanlah sebuah


dasar yang diberikan secara tunggal tapi lebih sebagai konstruksi yang
bervariasi. Di suatu sisi, ini berarti bahwa perempuan adalah sebuah konstruk
budaya dan dengan demikian bermacam-macam dari satu waktu atau tempat
ke yang lainnya. Di sisi yang lain, tidak ada agen yang hidup sebelumnya
dalam teori feminis (Butler, 1990 : 142).

Masalah secara genealogis adalah bahwa sejarah dari kursus diberi


karakter oleh diskursus repetitive yang membatasi dan menumbangkan
identitas, khususnya identitas dari perempuan. Jadi, tujuan Butler adalah
mendekonstruksi diskursus – diskursus dan norma-norma gender yang
repetitif ini. Hasil dari diskonstruksi ini akan menjadi “pemiskinan
konfigurasi-konfigurasi gender, menghilangkan kestabilan identitas
substantif, dan mencabut narasi yang menaturalisasi ke heteroseksualitasan
yang wajib dan protagonist-protagonis sentral mereka, laki-laki, dan
perempuan” (Butler, 1990 : 146).

Butler mengerti bahwa posisinya akan dianggap kontroversial oleh


kaum feminis, tapi ia beragumen bahwa kategori-kategori identitas tidak
dibutuhkan untuk memobilisasi feminism sebagai politik-politik identitas.
Kenyataannya, ia beragumen bahwa keberadaan lanjut identitas semacam itu
mengategorikan kajian-kajian “perempuan” untuk membatasi dan mendesak
kemungkinan-kemungkinan budaya yang nantinya harus dibuka lebar-lebar
oleh feminisme” (Butler, 1990 : ).

12 | P a g e
Judith Butler beragumentasi bahwa teori sosial telah tertutup secara
luas bagi suara-suara perempuan. Subyek perempuan berada di luar diskursus
(Butler dikutip oleh Allan, 2006). Subyek perempuan bukan awalan, alih-alih
subyek perempuan, identitas perempuan dibangun dalam dan oleh diskursus.
Identitas perempuan termasuk seluruh identitas merupakan sebuah praktik
dan bukan sebuah pemberian. Selanjutnya Butler berargumentasi bahwa
kategori-kategori identitas tidak dibutuhkan untuk memobilisasi feminisme
sebagai politik-politik identitas. Karena kenyataan menunjukkan bahwa
keberadaan lanjut dari identitas semacam itu mengkategorikan kajian-kajian
perempuan untuk membatasi dan mendesak kemungkinan-kemungkinan
budaya yang nantinya harus dibuka lebar oleh feminisme.

3. Feminisme Donna Haraway

Berbicara tentang feminisme yang berkaitan dengan postmodernisme,


dalam perjalanannya telah menjadi diskusi yang amat panjang di antara pakar
feminis. Donna Haraway dalam “Manifesto for Cyborg” memberikan
perumpamaan bahwa perempuan yang ideal digambarkan sebagai cyborg
(manusia setengah roboh). Lebih penting lagi bagi feminis, cyborg adalah
“makhluk dalam dunia posgender”; makhluk itu tidak ada hubungan sama
sekali dengan biseksualitas, simbiosis pra-Oedipus, pekerjaan yang tidak
teraliensi atau godaan lain ke arah keutuhan yang lebih tinggi (Haraway,
1990).

Sementara jika cyborg adalah sebuah makhluk dari fiksi ilmiah, ia


juga makhluk-makhluk dunia sosial yang semakin bertambah. Sebagai
contoh, dalam ilmu kedokteran modern ada contoh-contoh manusia hibrida
yang tak terkira banyaknya-mereka hidup dengan jantung buatan, lengan atau
tungkai buatan, dan pinggul buatan. Haraway menghubungkan kebangkitan
cyborg dengan erosi dalam seluruh jenis batasan-batasan antara manusia dan
yang bukan manusia dalam, sebagai contohnya, gerakan hak-hak binatang
dan perkembangan mesin-mesin yang hidup (kacamata realitas virtual sebagai
contoh) ketika orang-orang itu sendiri tumbuh semakin bertambah malas.

13 | P a g e
Sebuah dunia cyborg itu memaksa dan memungkinkan. Pada sisi yang
positif, ia bisa dilihat sebagai sebuah dunia “di mana orang tidak takut akan
persatuan secara kekeluargaan mereka dengan binatang dan mesin, tidak takut
akan identitas-identitas parsial secara permanen dan pendirian yang
bertentangan” (Haraway, 1990: 196). Tetapi, mungkin juga untuk melihat
bahwa “sebuah dunia cyborg adalah tentang pembebanan terakhir dari
jaringan kontrol planet” (Haraway, 1990: 196)

Haraway telah menciptakan sebuah ide teoretis mengenai pentingnya


baik masyarakat secara keseluruhan maupun perempuan secara khusus. Jadi,
dia berargumen bahwa kita harus melihat perempuan terlihat dalam sebuah
“sirkuit yang berhubungan” yang diciptakan oleh ilmu pengetahuan dan
teknologi. Intinya adalah bahwa kita memerlukan ide-ide teoritis baru (seperti
cyborg) dan teori-teori baru (mungkin dengan menggabungkan perspektif-
perspektif feminis dan postmodern) untuk memahami kenyataan-kenyataan
baru ini. Ide-ide Haraway mengenai cyborg menggambarkan kemungkinan-
kemungkinan teoritis yang muncul ketika sebuah usaha dibuat untuk
menyatukan teori-teori feminis dan postmodern.

14 | P a g e
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dari pemaparan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa teori sosial


postmodern telah mengalami berbagai perkembangan dan telah melahirkan
banyak teori-teori baru. Salah satu teori tersebut adalah teori feminisme. Teori
feminisme memfokuskan diri pada pentingnya kesadaran mengenai persamaan
hak antara perempuan dan laki-laki dalam semua bidang. Teori ini berkembang
sebagai reaksi atas fakta yang terjadi di masyarakat, yaitu adanya konflik kelas,
ras, dan terutama adanya konflik gender. Feminisme mencoba untuk
menghilangkan pertentangan antara kelompok yang lemah yang dianggap lebih
kuat. Lebih jauh lagi, feminisme menolak ketidakadilan sebagai akibat masyarakat
patriarki, menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-
laki. Seperti yang dijelaskan bahwa feminisme terdiri dari tiga gelombang,
gelombang pertama dimulai tahun 1792, gelombang kedua mulai tahun 1960an,
dan gelombang ketiga pada tahun 1980-an sampai pada tahun 1990-an.
Feminisme juga melahirkan tokoh-tokoh yang pertama adalah Julia Kristeva yang
beranggapan bahwa perempuan itu mempunyai dua fungsi, yang pertama adalah
tubuh perempuan merupakan alat pemuas laki-laki dan alat reproduksi dan fungsi
yang kedua adalah sebagai tubuh maternal yaitu sebagai seorang ibu. Tokoh yang
kedua adalah Judith Butler, ia menyebut fondasionalisme (foundationalism) dari
feminism dengan pusat perhatiannya pada perempuan sebagai subjek, jadi
“perempuan” bukanlah sebuah dasar yang diberikan secara tunggal tapi lebih
sebagai konstruksi yang bervariasi. Tokoh ynag terakhir adalah Donna Haraway
dengan pemikirannya mengenai cyborg yang memberikan perumpamaan bahwa
perempuan yang ideal digambarkan sebagai cyborg (manusia setengah roboh).
Selain itu ide-ide Haraway mengenai cyborg menggambarkan kemungkinan-
kemungkinan teoritis yang muncul ketika sebuah usaha dibuat untuk menyatukan
teori-teori feminis dan postmodern.

15 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku dan Jurnal :

Handayani, C.S. 2010. JULIA KRISTEVA TENTANG SEKSUALITAS :


KEMBALINYA EKSISTENSI PEREMPUAN SEBAGAI SUBJEK. Diakses
tanggal 6 September 2016 dari Jurnal Online Komunitas Salihara

Haraway, D. 1990. A Manifesto for Cyborgs: Science, Technology, and Socialist


Feminism un the 1980s dalam Nicholson (ed.). Dikutip dari Postmodernisme dan
Feminisme dalam “Teori-Teori Feminis Kontemporer” [terj.]. jogjakarta &
Bandung: Jalasutra (hlm. 303-330)

Idris, Nurwani. 2010. “Fenomena, Feminisme Dan Political Self Selection Bagi
Perempuan : Phenomenon, Feminism And Political Self Selection For Women”.
Vol. 13 No. 1

Julia Kristeva, H.B. 1981. Women’s Time. Signs, 13-35

Jurnal Politik Indonesia, Vol 1 No.2, Oktober-Desember 2012, 1-5 Gender,


Politik, Dan Patriarki Kapitalisme dalam Perspektif Feminis Sosialis

Suwastini, Ni Komang Arie. 2013. “Perkembangan Feminisme Barat dari Abad


Kedelapan Belas Hingga Postfeminisme : Sebuah Tinjauan Teoritis”. Vol. 2
No. 1

Sumber Internet :
http://digilib.uinsby.ac.id/544/6/Bab%203.pdf
http://digilib.unila.ac.id/14185/19/II.pdf

16 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai