Pertemuan Ke-14 Teori Feminisme
Pertemuan Ke-14 Teori Feminisme
COVER
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN 3
BAB II
PEMBAHASAN 4
A. Pengertian Feminisme 4
B. Gelombang Feminisme 5
C. Teori Feminisme Menurut Pandangan Para Pemikirnya 10
BAB III
PENUTUP 15
Kesimpulan 15
DAFTAR PUSTAKA 16
2|Page
BAB I
PENDAHULUAN
3|Page
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Feminisme
4|Page
Feminisme bukanlah upaya pemberontakan terhadap laki-laki, upaya
melawan pranata sosial seperti institusi rumah tanggga dan perkawinan, ataupun
upaya perempuan untuk mengingkari kodratnya, melainkan upaya untuk
mengakhiri penindasan dan eksploitasi perempuan. Dalam hal ini, sasaran
feminisme bukan sekadar masalah gender, melainkan memperjuangkan hak-hak
kemanusiaan.
B. Gelombang Feminisme
FEMINISME GELOMBANG PERTAMA
Feminisme gelombang pertama dianggap dimulai dengan tulisan Mary
Wollstonecraft The Vindication of the Rights of Woman (1792) yang menyerukan
pengembangan sisi rasional pada perempuan dan menuntut agar anak perempuan
dapat belajar di sekolah pemerintah agar setara dengan anak laki-laki agar menjadi
mandiri terutama secara finansial. Perjuangan Wollstonecraft dilanjutkan oleh
Harriet dan John Stuart Mill yang memperjuangkan perluasan kesempatan kerja
bagi perempuan dan hak-hak legal perempuan dalam pernikahan maupun
perceraian. Selain itu, juga muncul salah satu pejuang hak perempuan yang sudah
menikah yang paling menonjol adalah Caroline Norton. Aktifitas kaum feminis di
Inggris ini bergaung juga di Amerika yang mencapai tonggak penting pada
Seneca Falls Convention (1848) yang menuntut dihapuskannya semua
diskriminasi berdasarkan jenis kelamin.
Di Inggris, meningkatnya jumlah perempuan yang bekerja menuntut
disediakannya sekolah yang dapat mempersiapkan perempuan sebagai tenaga
kerja professional, meski umumnya berada pada sektor domestik. Pada gilirannya,
semakin banyak perempuan yang terlibat di dunia pendidikan yang memicu
dicetuskannya ide bahwa perempuan berhak mendapatkan hak pilih (Sanders,
2006). Isu ini semakin memuncak pada 1895 saat kata ―feminist‖ digunakan
untuk pertama kalinya dalam Athenaeum (Walters, 2005: 1). Hak pilih untuk
perempuan dicapai pada 1918.
Menurut Sanders (2006), feminisme gelombang pertama mencakup
beberapa ambivalensi. Para feminis gelombang pertama sangat berhati-hati agar
tidak terlibat kehidupan yang tidak konvensional. Mungkin ini ada kaitannya
5|Page
dengan backlash yang dialami pasca biografi Mary Wollstonecraft (Kirkham,
1997). Di samping itu, gerakan ini hanya memperjuangkan perempuan lajang dari
kelas menengah saja, terutama yang memiliki intelektualitas tinggi dan juga
gerakan mereka hanya ditujukan untuk isu-isu tertentu serta belum ada kesadaran
mengenai gerakan feminisme yang lebih luas.
6|Page
sebagai sarana untuk mencekoki perempuan dengan standar kecantikan yang
melemahkan posisi perempuan.
Di Inggris, Kelompok Kanan terbentuk kuat di kalangan perempuan
pekerja. Mereka melaksanakan mogok untuk menuntut persamaan upah.
Sementara itu kelompok kiri sangat dipengaruhi oleh paham Sosialis Marxisme
(Thornham, 2006). Namun dalam The British National Women‟s Liberation
Conference pada 1970, secara kompak mereka menuntut persamaan upah,
persamaan pendidikan dan kesempatan kerja, tempat penitipan anak 24 jam, alat
kontrasepsi gratis, dan aborsi sesuai kebutuhan.
Dalam pandangan Thornham, buku The Second Sex (1956) dari
Simone de Beauvoir menjadi salah satu acuan utama feminisme tahun 1970an.
Simone de Beauvoir menentang determinisme biologis dalam fisiologi, dorongan
bawah sadar dalam psikoanalisa Freud dan subordinasi ekonomi dalam teori Marx
(Phoca dan Wright, 1999; Thornham, 2006). Teori-teori tersebut dianggap telah
mendorong internalisasi konsep perempuan sebagai yang liyan (the Other) dan
perempuan menjadi wanita karena konstruksi-konstruksi sosial yang patriarkis
tersebut (de Beauvoir, 1956). Bagi de Beauvoir, perempuan harus merebut
kesempatan untuk mencapai kesetaraan dalam hal ekonomi dan sosial agar
perempuan menjadi subjek yang setara dengan laki-laki.
Di Amerika, pendapat de Beauvoir dikembangkan oleh Betty Freidan,
Kate Millett, dan Shulamith Firestone (Jenainati dan Groves, 2007). Freidan
berpendapat, untuk menjadi perempuan yang setara dengan laki-laki, perempuan
harus meninggalkan jebakan rumah tangga dan semua ―feminine mystique‖ yang
mengikat perempuan dalam konstuksi yang mensubordinasinya (Freidan, 1963).
Kate Millett mengembangkan kajian sastra, film, dan budaya untuk melawan
penindasan terstruktur melalui kontrol ideologis. Sementara Firestone mengikuti
ajaran Marxis dan mengajak perempuan menguasai alat-alat reproduksi (Tong,
2009).
Di Inggris, Julliet Mitchel setuju bahwa penindasan perempuan
utamanya dilakukan secara ideologis dalam ‗psychology of femininity‘
(Thornham, 2006). Mitchel berpendapat pembebasan perempuan terletak pada
penguasaan kontrol terhadap produksi, reproduksi, seksualitas, dan pendidikan
7|Page
anak (Tong, 2009). Di Perancis, Luce Irigaray, Hélène Cixous dan Julia Kristeva
menggunakan psikoanalisa untuk menjelaskan subordinasi posisi perempuan
(Tong, 2009). Ketiganya setuju dengan de Beauvoir bahwa perempuan
menginternalisasi peran mereka sebagai yang liyan.
Feminisme gelombang kedua dikritisi oleh para perempuan kulit
hitam, lesbian, dan perempuan pekerja yang kemudian membentuk gerakan
radical (Gubar, 2000; Jenainati dan Groves, 2007). Banyak pihak yang
menganggap ―women‟s liberation‖ hanya mengutamakan perempuan kulit putih
dan gagal mencakup isu kelas dan ras (Zaslow, 2009: 28), meski Thompson
(2010) berpendapat feminisme sejak awal selalu dipengaruhi oleh isu mengenai
perempuan Afrika, Latina, dan Asia. Kaum lesbian menuduh feminisme
gelombang kedua mengutamakan kaum heteroseksual dan mengesampingkan
lesbianisme (Thornham, 2006), meski Whelehan (1995) dan Tong (2009)
menunjukkan bahwa femininisme radikal dan feminisme lesbian berkembang
secara simultan pada 1960an dan 1970an. Secara umum, teori-teori feminis
gelombang kedua dianggap ―setengah ramalan setengah utopia (Bammer, 1991).
Terlepas dari rasa solidaritas yang terbangun antar feminis gelombang kedua,
selalu ada perbedaan antara perempuan dari berbagai kelas, ras, dan etnis. Karena
itu, pencarian terhadap feminisme yang mampu mewakili seluruh perempuan
merupakan sebuah utopia (Braidotti, 2003: 197), karena feminisme berakar dari
berbagai isu yang berbeda dan karenanya memiliki sejarah dan perkembangan
yang majemuk (Whelehan, 1995; Gubar, 2000; Tong, 2009; Budgeon, 2011).
Feminisme gelombang kedua dianggap berakhir pada 1975 (Hewitt, 2010) dan
pada akhir 1980an, feminisme berkembang secara divergen ke arah feminisme
gelombang ketiga dan yang berbarengan dengan lahirnya postfeminisme yang
kontroversial.
Feminisme Gelombang Ketiga
8|Page
postmodern” spesifikasi posisi mereka mulai ditonjolkan dengan menghargai
perbedaan mereka dari kelompok dan individu lain.
Teori politik ini mencirikan “politik identitas” (politics of identity) dan
“politik perbedaan” (politics of difference). Politik ini timbul dalam
pengelompokkan politik baru, dari kategori yang telah diabaikan pada zaman
modern seperti ras, jender, preferensi seksual, etnisitas, dan politik identitas. Gaya
konsep politik baru ini didasarkan pada konstruksi identitas politik dan identitas
budaya melalui perjuangan politik dan komitmen politik. Memang ada perbedaan
pendapat tentang masalah identitas ini seperti dikemukakan Best dan Kelner
(1991), ketegangan ini bermula dari ambiguitas kata “identitas” yang berkonotasi
negatif di dalam teori postmodern selama ini, karena ia mengimplikasikan logika
identitas represif (dikaitkan dengan Hegel dan Marxisme) yang mereduksi
heterogenitas menjadi homogenitas. Di samping itu, “identitas” juga berkonotasi
positif selama ini, karena ia melibatkan penempaan identitas politik, dari latar
belakang sejarah dan budaya seseorang, dan jender, kelas, dan status etnis
seseorang. Kedua sumber subjektifitas individu dan pengelompokan politik yang
berlainan ini diistilahkan “posisi subjek”.
Dalam hal ini Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendeklarasikan
tahun 1975-1985 sebagai Dasawarsa Perempuan, dan menginstruksikan kepada
setiap negara anggotanya untuk memberikan perempuan kesempatan yang sama
untuk kemajuan di bidang ekonomi, kebudayaan, agama, politik, dan hukum
seperti yang dimiliki laki-laki. Diikuti tiga konferensi perempuan internasional
menandai Dasawarsa Perempuan: konferensi awal dilakukan di Mexico City
(1975); konferensi tengah di Kopenhagen (1980), dan yang terakhir adalah
konferensi 12 hari di Nairobi Kenya (1985).
Kendati ada konflik nyata ikhwal isu identitas dan perbedaan dalam
teori kontemporer dan politik, namun ada kesesuaian atau kecocokan logika antara
politik perbedaan dan politik identitas, karena politik identitas bisa “menekankan
berbagai kekuatan” yang membentuk identitas politik dan pentingnya meng-
absahkan serta memperkuat spesifisitas kelompok politik tersebut, seperti Laclau
dan Mouffe (Foucault, Deleuze dan Guattary dalam Best dan Kelner, 1991),
misalnya, mengedepankan pentingnya pluralitas politik, dengan penekanan yang
9|Page
banyak kita jumpai pada teoretisi postmodern lain, mereka juga menekankan
pentingnya membentuk identitas politik, yang harus diartikulasikan di dalam
aliansi politik radikal, namun radikalisme ini gagal, namun terartikulasikan
dengan baik.
Sebenarnya, gerakan feminisme yang banyak berlangsung di dunia ini,
telah menempatkan kembali perempuan dalam semangat emansipasi yang tinggi
dengan aturan-aturan yang telah memberi tempat perempuan dalam ranah publik,
di mana kaum laki-laki dan perempuan “berdiri sama tinggi dan duduk sama
rendah” yang selama beabad-abad termarjinalkan di setiap aktivitas kehidupan.
Gerakan emansipasi ini memberikan inspirasi besar kepada organisasi perempuan
di dunia, yang mempengaruhi organisasi perempuan untuk memperjuangkan hak-
hak sosial dan hak politiknya tanpa harus mengurangi peran perempuan sesuai
kodratnya. Dan peran politik perempuan dari satu periode perjuangan politik ke
periode perjuangan politik berikutnya, memiliki tujuan yang berbeda disesuaikan
dengan periode perjuangan itu sendiri karena setiap periode perjuangan punya
karakteristik yang berlainan.
10 | P a g e
perlu untuk melengkapi fungsi perempuan yang kedua: perempuan adalah
tubuh maternal.
11 | P a g e
2. Feminisme Judith Butler
12 | P a g e
Judith Butler beragumentasi bahwa teori sosial telah tertutup secara
luas bagi suara-suara perempuan. Subyek perempuan berada di luar diskursus
(Butler dikutip oleh Allan, 2006). Subyek perempuan bukan awalan, alih-alih
subyek perempuan, identitas perempuan dibangun dalam dan oleh diskursus.
Identitas perempuan termasuk seluruh identitas merupakan sebuah praktik
dan bukan sebuah pemberian. Selanjutnya Butler berargumentasi bahwa
kategori-kategori identitas tidak dibutuhkan untuk memobilisasi feminisme
sebagai politik-politik identitas. Karena kenyataan menunjukkan bahwa
keberadaan lanjut dari identitas semacam itu mengkategorikan kajian-kajian
perempuan untuk membatasi dan mendesak kemungkinan-kemungkinan
budaya yang nantinya harus dibuka lebar oleh feminisme.
13 | P a g e
Sebuah dunia cyborg itu memaksa dan memungkinkan. Pada sisi yang
positif, ia bisa dilihat sebagai sebuah dunia “di mana orang tidak takut akan
persatuan secara kekeluargaan mereka dengan binatang dan mesin, tidak takut
akan identitas-identitas parsial secara permanen dan pendirian yang
bertentangan” (Haraway, 1990: 196). Tetapi, mungkin juga untuk melihat
bahwa “sebuah dunia cyborg adalah tentang pembebanan terakhir dari
jaringan kontrol planet” (Haraway, 1990: 196)
14 | P a g e
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
15 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Idris, Nurwani. 2010. “Fenomena, Feminisme Dan Political Self Selection Bagi
Perempuan : Phenomenon, Feminism And Political Self Selection For Women”.
Vol. 13 No. 1
Sumber Internet :
http://digilib.uinsby.ac.id/544/6/Bab%203.pdf
http://digilib.unila.ac.id/14185/19/II.pdf
16 | P a g e