Kursi Pojok
Kursi Pojok
Gadis itu. Ia memperhatikan guru dengan serius di pojok belakang. Ia berbeda dari gadis pada
umumnya. Tak suka bergosip maupun bergurau. Buku yang sering ia baca, aku bisa memperkirakan
tebalnya dua ratus lembar bisa lebih atau kurang, hebatnya, ia bisa menghabiskannya dalam
setengah jam, menurut pengamatanku. Tak terlalu cantik, tapi begitu menarik. Jarang tersenyum,
atau tidak sama sekali.
Fisika, mata pelajaran kami hari ini. Cukup memusingkan. Namun ia maju ke depan dan menuliskan
jawabannya. Dan ia benar, selalu benar walau ia baru mempelajarinya. Ada banyak pertanyaan di
benakku, berapa tingkat intelegensinya? Setarakah dengan Enstein? Atau melampaui?
Pelajaran demi pelajaran telah dilalui. Gadis itu selalu bisa. Sekarang jam pulang. Aku berhenti di
pohon biasa di mana aku bisa menyendiri dengan alat musikku, gitar.
“Bukankah aku sudah bilang aku tahu? Pertanyaan bodoh macam apa itu?” ucapnya sedikit
tersinggung.
Aku terdiam, kemudian aku melanjutkan, “seberapa banyak yang kau tahu tentang gitar?”
“Aku pernah mendengarnya, dan dari nada yang kau petik, itu kurang tinggi, aku tidak tahu, aku
tidak bisa menjelaskannya.” Jawabnya.
Aku sedikit mencondongkan tubuhku, ia tak mengubah posisi. Setahuku, itu tanda bahwa ia tak
merasa terusik, alias nyaman.
Kami terdiam cukup lama. Angin semilir mulai datang. Rambutnya yang tidak terlalu panjang tersibak
indah. Wajahnya cantik jika dari dekat. Keindahan misterius.
Aku menggeleng.
Tawaku meledak seketika. Betul-betul susah ditebak gadis ini. Ia semakin mengerut. Ia bertanya,
“apa yang lucu?”
“Secara logis, kalimat yang tadi itu tidak lucu.” Jawabnya semakin nyeleneh.
Karena jawaban itu aku semakin tertawa dan mulai memegangi perutku yang sakit. Saking lucunya
aku sampai menitikkan air mata.
Plak! Ia memukulkan buku di kepalaku. Aku memegangi kepalaku sedangkan ia mulai tertawa lepas.
Benar-benar orang gila.
Kami terdiam. Kemudian tawa kami meledak. Aku bisa memperkirakan bahwa setiap orang yang
lewat akan menganggap kami gila.
Kami berhenti sejenak karena lelah tertawa. Wajahnya yang semula kaku, sekarang jauh lebih rileks.
“Apa enaknya?”
“Kau bisa melihat tulisan lebih jelas, dan bisa mendengarkan guru lebih baik.”
Ia mengangguk.
“Tidur?”
“Itu kebiasaanku, saat pelajaran, aku muak dengan segala keramaian, daripada aku mengganggu,
lebih baik tidur.”
“Tidak aneh, guruku selalu mengajari hal-hal yang belum diajarkan di sekolah.”
“Aku tidak bisa bergurau, aku punya usaha keluarga, dan aku dituntut untuk serius, untuk itulah aku
selalu terlihat kaku.”
“Maksudku, kita remaja, kita harus bergaul, oh ya, apa usaha keluargamu?”
“Sebuah perusahaan.”
“Lebih dari itu, perusahaanku menghasilkan sesuatu yang lebih dari konglomerat.”
Aku berdiri, lalu kuambil gitarku. Aku menawarkan tanganku, ia memegangnya untuk berdiri.
“Oke.” Ia setuju.
Ia memulai, “pendapatmu itu sama artinya dengan Aristoteles yang mengatakan zoon politicon,
manusia adalah mahkluk sosial.”
“Ups.”
Kata terlarang untuk seorang yang tidak punya pacar, atau jomblo sepertiku. Aku menggeleng.
“Aku pernah.”
“Sekali, pertama dan yang terakhir, aku diputuskan karena terlalu kaku.”
Aku menjawab jahil, “militer adalah dunia paling kaku, tidak pernah mencoba pacaran dengan
seorang jendral?
“Bosan bagaimana?”
Ia bersendekap sambil bersandar, lalu menjawab, “maksudku, aku jarang bicara, tidakkah kau
bosan?”
Aku memandangnya, “tidak, justru aku akan mudah bosan jika terlalu sering bergurau, menurutku
semua kalimatmu itu berbobot, tidak ada unsur gosipnya.”
“Semua gadis suka bergosip, aku tidak, dan menurutmu itu aneh atau tidak?”
“Wartawan dadakan.”
Tawaku meledak. Sepertinya aku banyak tanya. Seperti wartawan, wartawan dadakan. Aku berhenti
untuk mengambil napas, lalu aku melanjutkan, “sudah kubilang, kalimatmu selalu berbobot.”
“Iya.” Jawabnya.
Hujan makin lebat saja. Udara semakin dingin. Jam terakhir kami adalah olahraga. Aku heran,
bagaimana bisa jam ini dilakukan di siang terik tadi. Kami masih memakai celana olahraga. Dan itu
cukup menghangatkan kaki kami, namun lengan pendek yang kami gunakan tidak mampu menahan
suhu dingin.
“Kalau kau bisa merasakannya, kenapa harus tanya?” ia menjawab pedas sekali
Aku berpikir beberapa saat untuk menjawabnya, kemudian aku menjawab, “aku hanya ingin tahu
bagaimana yang kau rasakan.”
Kami terdiam cukup lama. Hujan semakin lebat. Tetesan air hujan mulai memasuki teritori kami.
Kami makin tersungkur ke dalam. Di sini hanya kami berdua. Berdua saja. Maksudku ini aneh, ya, aku
tidak pernah berdua dengan lawan jenisku, apalagi di tempat seperti ini.
Aku teringat akan coklat yang aku beli di kantin siang tadi dan belum sempat masuk ke perut. Aku
membuka bungkusnya dan membagi dua batangnya.
“Made.” Jawabnya
“Ha?!” aku terkejut, lalu kulanjutkan, “dari mana asal namamu yang satu itu?”
“Aku selalu berpikir, Made itu nama unik, dan itu adalah singkatan namaku, Ma adalah suku kata
sukMa, dan De adalah suku kata Dewi.” Jelasnya panjang lebar.
Suasana makin rileks saja. Gadis yang aneh. Aku masih tidak percaya aku bisa tertarik dengannya.
Hujan hampir reda.
“Ayo!”
“Tidak!”
Ia menarikku dengan kasar. Dan kami, seperti di film-film India, kami berlari di bawah hujan gerimis.
Suatu rasa tersendiri, romansa super bodoh dengan gadis yang baru aku tahu namanya lima menit
lalu. Entah bagaimana nasib gitarku yang kutinggal di pos kamling.
“Ayo kita ulang! Siapa yang lebih dulu sampai di jembatan ya..”
Ia berlari mengikutiku. Romansa film India terulang lagi. Aku sampai duluan. Ia sampai setelahku.
“Aku hanya ingin menghabiskan waktu dengan temanku sebelum pindah sekolah besok.” Ujarnya
memulai.
Aku menoleh dengan ekspresi terkejut. Maksudnya ini pembicaraan pertama dan terakhir kami?
Raut wajahnya terlihat bahagia sekali, lalu ia menjawab, “sungguh? Aku punya sahabat?”
“Dari pertama masuk sekolah, semua gadis nampak biasa saja, tapi tidak denganmu, kau berbeda,
tidak, tapi istimewa.” Aku nyaris tidak percaya yang aku katakan.
“Istimewa? Yang kutahu, itu sesuatu yang tidak dimiliki orang lain kan?”
“Kau istimewa dari sisi manapun, kau mungkin tidak cantik, tapi kau lebih dari cantik, sesuatu yang
tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.”
Kami terdiam. Sekali lagi aku tak percaya apa yang kukatakan.
“Kita semua istimewa, manusia itu unik, mereka tidak berbeda tapi istimewa satu sama lain.”
Kami melihat sungai dari atas jembatan sambil sesekali bercanda. Dan pembicaraan ini, aku,
sepertinya aku tidak bisa memberi kesan pertama yang baik. Kami ngobrol sehari lalu tidak lagi. Ini
hanya sekali.
“Aku.. aku hanya, yah, melihatmu menciptakan kesan bahagia pada semua orang, menurutku itu
cukup.”
“Namaku Made, Made itu selalu keliling dunia, lihatlah, ada Made in U.S.A., Made in China, Made in
Indonesia, kan keliling dunia, dan Made ada dimana-mana.”
Kami tertawa cukup lama. Kemudian berhentilah mobil sedan di samping kami. Lalu Made mandekat
ke mobil itu. Dari dalam keluarlah seorang pria, air mukanya sama dengan Made.
“Sukma! Dari mana saja kau? Ayah lelah mencarimu, ayah sampai melapor polisi, tak tahunya kamu
di sini?” ia langsung marah. Kemudian ia melihatku, “siapa dia?”
“I.iya pak, maaf saya telah mengajaknya main tanpa seijin anda.” Jawabku agak takut.
Kemudian ayahnya tersenyum, “boleh main, asal jangan kesorean, dan jangan jauh-jauh.”
“Tapi, James? Terlalu keren untuk orang Indonesia.” Ujar ayah Made.
Ayah Made memandang langit, “waktunya pulang.” Kemudian ia masuk mobil bersama Made.
Kemudian mobil melaju dengan pelan. Sampai jumpa, bukan selamat tinggal. Berarti ia percaya
dapat berjumpa lagi denganku, suatu hari nanti. Percakapan ini, walau sebentar aku mengenalnya,
aku merasa dekat dengannya. Made, sahabat baruku.
Senin pagi. Aku duduk di tempat biasa. Aku memandang kursi pojok itu, tidak ada Made di sana.
Kosong. Kosong seperti hatiku. Gadis itu, Made. Dan aku, James. Aku merasa ini seperti akhir dunia.
Ia seorang pemuda jangkung dan berkulit agak gelap. Ia memperkenalkan diri, “perkenalkan, nama
saya Made Kusuma, saya campuran Jawa-Bali, makanya nama saya begitu, saya harap teman-teman
senang dengan kehadiran saya.”
Made! Made yang lain. Ia duduk di tempat biasa ia duduk. Kursi pojok itu. Tempat itu adalah milik
Made. Dan sekarang ada Made yang lain. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini. Benar kata Made,
Made ada dimana-mana. Mungkinkah suatu hari nanti aku bertemu gadis itu? Apa ia juga bertemu
orang yang bernama James di tempat lain? James yang lain. Tak sabar kubercerita padanya, bahwa
aku bertemu seseorang yang bernama sama sepertinya, Made.