Anda di halaman 1dari 8

yulita

Cerpen Persahabatan - Kursi Pojok

Gadis itu. Ia memperhatikan guru dengan serius di pojok belakang. Ia berbeda dari gadis pada
umumnya. Tak suka bergosip maupun bergurau. Buku yang sering ia baca, aku bisa memperkirakan
tebalnya dua ratus lembar bisa lebih atau kurang, hebatnya, ia bisa menghabiskannya dalam
setengah jam, menurut pengamatanku. Tak terlalu cantik, tapi begitu menarik. Jarang tersenyum,
atau tidak sama sekali.

Fisika, mata pelajaran kami hari ini. Cukup memusingkan. Namun ia maju ke depan dan menuliskan
jawabannya. Dan ia benar, selalu benar walau ia baru mempelajarinya. Ada banyak pertanyaan di
benakku, berapa tingkat intelegensinya? Setarakah dengan Enstein? Atau melampaui?

Pelajaran demi pelajaran telah dilalui. Gadis itu selalu bisa. Sekarang jam pulang. Aku berhenti di
pohon biasa di mana aku bisa menyendiri dengan alat musikku, gitar.

Nada-nada mulai kupetik. Sampai pertengahan lagu aku mendengar suara.

“Aku tahu lagu itu, nadanya kurang tinggi.” Ucapnya.

Aku mendongak. Gadis itu!

“Kau tahu lagu ini?” tanyaku.

“Bukankah aku sudah bilang aku tahu? Pertanyaan bodoh macam apa itu?” ucapnya sedikit
tersinggung.

Aku terdiam, kemudian aku melanjutkan, “seberapa banyak yang kau tahu tentang gitar?”

“Tidak ada.” Sebuah jawaban mengejutkan terlontar dari bibirnya.

Aku masih terkejut, lalu tetap kulanjutkan, “apa itu nada?”

“Aku tidak tahu.” Jawabnya lebih mengejutkan.

“Kau tahu tinggi rendahnya? Bagaimana bisa?” tanyaku.

“Aku tidak tahu, hanya saja kurang tinggi.” Jawabnya.

Gadis gila. Aku makin penasaran saja.

Gitarku kusandarkan di pohon. Ia duduk di depanku. Aku melanjutkan, “bagaimana bisa?”

“Aku pernah mendengarnya, dan dari nada yang kau petik, itu kurang tinggi, aku tidak tahu, aku
tidak bisa menjelaskannya.” Jawabnya.

Obrolan bodoh ini semakin menarik, aku melanjutkan, “semacam bakat?”


“Begitulah.” Jawabnya.

Aku sedikit mencondongkan tubuhku, ia tak mengubah posisi. Setahuku, itu tanda bahwa ia tak
merasa terusik, alias nyaman.

Kami terdiam cukup lama. Angin semilir mulai datang. Rambutnya yang tidak terlalu panjang tersibak
indah. Wajahnya cantik jika dari dekat. Keindahan misterius.

Aku memulai, “siapa namamu?”

Ia mengerutkan alisnya, “kau tidak tahu?”

Aku menggeleng.

Ia menarik napas panjang, “aku juga tidak tahu namamu.”

Tawaku meledak seketika. Betul-betul susah ditebak gadis ini. Ia semakin mengerut. Ia bertanya,
“apa yang lucu?”

“Jawabanmu itu.” Jawabku.

“Secara logis, kalimat yang tadi itu tidak lucu.” Jawabnya semakin nyeleneh.

Karena jawaban itu aku semakin tertawa dan mulai memegangi perutku yang sakit. Saking lucunya
aku sampai menitikkan air mata.

Plak! Ia memukulkan buku di kepalaku. Aku memegangi kepalaku sedangkan ia mulai tertawa lepas.
Benar-benar orang gila.

“Kenapa kau tertawa di atas penderitaanku sih?!” seruku protes.

“Kau malah tertawa di atas kebingunganku.” Jawabnya dengan mengejutkan.

Kami terdiam. Kemudian tawa kami meledak. Aku bisa memperkirakan bahwa setiap orang yang
lewat akan menganggap kami gila.

Kami berhenti sejenak karena lelah tertawa. Wajahnya yang semula kaku, sekarang jauh lebih rileks.

“Oh ya. Bagaimana rasanya duduk di depan?” tanyanya.

“Maksudmu?” tanyaku bingung.

“Apa enaknya?”

“Kau bisa melihat tulisan lebih jelas, dan bisa mendengarkan guru lebih baik.”

Ia mengangguk.

Aku bertanya, “lalu apa enaknya di belakang.”

“Aku bisa tidur nyenyak.”

“Tidur?”

“Itu kebiasaanku, saat pelajaran, aku muak dengan segala keramaian, daripada aku mengganggu,
lebih baik tidur.”

Aku membetulkan posisi dudukku, “bagaimana kau tidur di tengah keributan?”


“Yah, terjadi begitu saja, aku hanya bangun saat guru memanggil.”

“Dan jawabanmu selalu benar, itu aneh.”

“Aku les privat di rumah.”

“Menarik dan aneh.”

“Tidak aneh, guruku selalu mengajari hal-hal yang belum diajarkan di sekolah.”

“Ngomong-ngomong, kenapa kau tidak pernah terlihat bergaul?” tanyaku.

“Aku tidak bisa bergurau, aku punya usaha keluarga, dan aku dituntut untuk serius, untuk itulah aku
selalu terlihat kaku.”

“Maksudku, kita remaja, kita harus bergaul, oh ya, apa usaha keluargamu?”

“Sebuah perusahaan.”

“Jadi kau ini konglomerat?”

“Lebih dari itu, perusahaanku menghasilkan sesuatu yang lebih dari konglomerat.”

Aku berdiri, lalu kuambil gitarku. Aku menawarkan tanganku, ia memegangnya untuk berdiri.

“Kita ngobrol sambil jalan saja.”

“Oke.” Ia setuju.

Kami mulai langkah demi langkah.

Ia memulai, “pendapatmu itu sama artinya dengan Aristoteles yang mengatakan zoon politicon,
manusia adalah mahkluk sosial.”

“Apa ia yang pernah mengatakan Eurika! Sambil berlari?” tanyaku.

Ia tertawa geli, “itu Archimides.”

“Ups.”

Tolol sekali aku.

“Kau pernah pacaran?” tanyanya.

Kata terlarang untuk seorang yang tidak punya pacar, atau jomblo sepertiku. Aku menggeleng.

“Aku pernah.”

“Berapa kali?” tanyaku penasaran.

“Sekali, pertama dan yang terakhir, aku diputuskan karena terlalu kaku.”

Aku menjawab jahil, “militer adalah dunia paling kaku, tidak pernah mencoba pacaran dengan
seorang jendral?

Ia memukul kepalaku. Lagi-lagi aku mengaduh sakit. Ini yang kedua.

Ia berhenti, kemudian ia memandang langit. Mendung.

“Sebaiknya kita berteduh.” Ucapnya.


Kami berjalan menuju pos kamling. Sepanjang perjalanan ia hanya diam. Jika orang lain, pasti ia akan
bosan jika berjalan dengan gadis ini. Tapi tidak denganku. Bagiku itu menarik.

“Kau tidak bosan?” tanyanya setelah sampai.

“Bosan bagaimana?”

Ia bersendekap sambil bersandar, lalu menjawab, “maksudku, aku jarang bicara, tidakkah kau
bosan?”

Aku memandangnya, “tidak, justru aku akan mudah bosan jika terlalu sering bergurau, menurutku
semua kalimatmu itu berbobot, tidak ada unsur gosipnya.”

“Semua gadis suka bergosip, aku tidak, dan menurutmu itu aneh atau tidak?”

“Tidak. Dan bagaimana menurutmu aku ini?”

“Wartawan dadakan.”

Tawaku meledak. Sepertinya aku banyak tanya. Seperti wartawan, wartawan dadakan. Aku berhenti
untuk mengambil napas, lalu aku melanjutkan, “sudah kubilang, kalimatmu selalu berbobot.”

Ia mengambil ponselnya dan memainkannya. Aku melirik, ia sedang melihat waktu.

“Sudah jam tiga.” Katanya.

“Tiga?” tanyaku memastikan.

“Iya.” Jawabnya.

Hujan makin lebat saja. Udara semakin dingin. Jam terakhir kami adalah olahraga. Aku heran,
bagaimana bisa jam ini dilakukan di siang terik tadi. Kami masih memakai celana olahraga. Dan itu
cukup menghangatkan kaki kami, namun lengan pendek yang kami gunakan tidak mampu menahan
suhu dingin.

“Dingin?” tanyaku memulai.

“Kalau kau bisa merasakannya, kenapa harus tanya?” ia menjawab pedas sekali

Aku berpikir beberapa saat untuk menjawabnya, kemudian aku menjawab, “aku hanya ingin tahu
bagaimana yang kau rasakan.”

“Ya, dingin.” Jawabnya.

Kami terdiam cukup lama. Hujan semakin lebat. Tetesan air hujan mulai memasuki teritori kami.
Kami makin tersungkur ke dalam. Di sini hanya kami berdua. Berdua saja. Maksudku ini aneh, ya, aku
tidak pernah berdua dengan lawan jenisku, apalagi di tempat seperti ini.

Aku teringat akan coklat yang aku beli di kantin siang tadi dan belum sempat masuk ke perut. Aku
membuka bungkusnya dan membagi dua batangnya.

“Apa ini?” tanyanya.

“Coklat, belum sempat kumakan.”

Bibirnya terangkat sedikit, sedikit sekali, “terimakasih.”


Aku mengangguk. Rasa laparku berkurang, cacing-cacing perutku menghentikan konsernya sejenak.
Aku melihat caranya makan, betul-betul seperti konglomerat. Alisnya bertautan, kerutan di dahinya
menandakan ia berpikir keras.

“Siapa namaku? Kau tanya begitu kan?” ia memulai

Pertanyaan yang belum terjawab. Aku mengiyakan.

“Sukma Dewi.” Jawabnya.

“Pertanyaan itu, kenapa baru menjawabnya sekarang?” tanyaku.

“Entahlah.” Jawabnya sambil memandang tetesan hujan.

“Jadi kau setuju kupanggil Sukma atau Dewi?”

“Made.” Jawabnya

“Ha?!” aku terkejut, lalu kulanjutkan, “dari mana asal namamu yang satu itu?”

“Aku selalu berpikir, Made itu nama unik, dan itu adalah singkatan namaku, Ma adalah suku kata
sukMa, dan De adalah suku kata Dewi.” Jelasnya panjang lebar.

Suasana makin rileks saja. Gadis yang aneh. Aku masih tidak percaya aku bisa tertarik dengannya.
Hujan hampir reda.

“Bagaimana jika kita pergi saja dari tempat ini?” ia menawarkan.

“Gerimis, nekat nih?” tanyaku memastikan.

“Ayo!”

“Tidak!”

Ia menarikku dengan kasar. Dan kami, seperti di film-film India, kami berlari di bawah hujan gerimis.
Suatu rasa tersendiri, romansa super bodoh dengan gadis yang baru aku tahu namanya lima menit
lalu. Entah bagaimana nasib gitarku yang kutinggal di pos kamling.

“Bagaimana? Seru?” tanyanya.

“Seharusnya kita balapan tadi!” seruku lebih bodoh.

“Ayo kita ulang! Siapa yang lebih dulu sampai di jembatan ya..”

Aku berlari duluan. Dari belakang aku mendengar teriakannya, “curaangg!!”

Ia berlari mengikutiku. Romansa film India terulang lagi. Aku sampai duluan. Ia sampai setelahku.

“Aku belum selesai bicara.” Ujarnya.

“Ya sudah, lanjutkan.” Jawabku.

“Siapa yang sampai duluan harus push up lima kali!” serunya.

“Hei! Apa-apaan itu?”

“Kau curang, dan dengan ini kita impas.”


Skak mat! Aku tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi. Sekali lagi ia menang. Aku menurutinya.
Dan setelah selesai, kami memandang sungai.

“Aku hanya ingin menghabiskan waktu dengan temanku sebelum pindah sekolah besok.” Ujarnya
memulai.

Aku menoleh dengan ekspresi terkejut. Maksudnya ini pembicaraan pertama dan terakhir kami?

“Jadi kita berteman?” tanyanya.

“Teman? Kenapa tidak sahabat saja?”

Raut wajahnya terlihat bahagia sekali, lalu ia menjawab, “sungguh? Aku punya sahabat?”

“Kau tidak memiliki sahabat?” tanyaku.

Ia menggeleng. Padahal ia asyik sekali, kenapa ia sendirian?

“Dari pertama masuk sekolah, semua gadis nampak biasa saja, tapi tidak denganmu, kau berbeda,
tidak, tapi istimewa.” Aku nyaris tidak percaya yang aku katakan.

“Istimewa? Yang kutahu, itu sesuatu yang tidak dimiliki orang lain kan?”

“Ya, dan sesuatu itu adalah dirimu sendiri.”

“Apa istimewanya aku?”

“Kau istimewa dari sisi manapun, kau mungkin tidak cantik, tapi kau lebih dari cantik, sesuatu yang
tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.”

Kami terdiam. Sekali lagi aku tak percaya apa yang kukatakan.

“Kau juga istimewa.” Ucapnya.

“Aku?” tanyaku terkejut.

“Kita semua istimewa, manusia itu unik, mereka tidak berbeda tapi istimewa satu sama lain.”

“Sudah kubilang, kalimatmu itu selalu berbobot.”

Kami melihat sungai dari atas jembatan sambil sesekali bercanda. Dan pembicaraan ini, aku,
sepertinya aku tidak bisa memberi kesan pertama yang baik. Kami ngobrol sehari lalu tidak lagi. Ini
hanya sekali.

“Kesan seperti apa yang kau inginkan?” tanyaku.

“Kesan bahagia, dan aku mendapatkannya.”

“Lalu, kenapa kau memilihku untuk menciptakan kesan itu?”

“Aku.. aku hanya, yah, melihatmu menciptakan kesan bahagia pada semua orang, menurutku itu
cukup.”

Ia mengulurkan tangan mungilnya, “aku Made, siapa namamu?”

“Namaku Jagad Meru Sigit, biasa dipanggil JAMES.” Jawabku.

“James? Dari mana tuh?” tanyanya.


“JA dari Jagat, ME dari Meru, dan S dari Sigit, hehehehe, aku menirumu Made.” Ucapku jahil.

“Terlalu luar negeri.”

“Yang penting keren.”

“Namaku Made, Made itu selalu keliling dunia, lihatlah, ada Made in U.S.A., Made in China, Made in
Indonesia, kan keliling dunia, dan Made ada dimana-mana.”

Tawa kami lagi-lagi meledak seketika. Sungguh menarik.

“Oh ya James, selalu rindukan aku, sahabat barumu ini.” Ujarnya.

“Oke Made.” Jawabku sambil tersenyum.

James? Nama yang bagus. Made? Nama yang unik.

Kami tertawa cukup lama. Kemudian berhentilah mobil sedan di samping kami. Lalu Made mandekat
ke mobil itu. Dari dalam keluarlah seorang pria, air mukanya sama dengan Made.

“Sukma! Dari mana saja kau? Ayah lelah mencarimu, ayah sampai melapor polisi, tak tahunya kamu
di sini?” ia langsung marah. Kemudian ia melihatku, “siapa dia?”

“Dia James, sahabat baruku.” Jawab Made.

“I.iya pak, maaf saya telah mengajaknya main tanpa seijin anda.” Jawabku agak takut.

Kemudian ayahnya tersenyum, “boleh main, asal jangan kesorean, dan jangan jauh-jauh.”

“Iya Ayah.” Jawab Made.

“Tapi, James? Terlalu keren untuk orang Indonesia.” Ujar ayah Made.

“Emmm.. nama pemberian orangtua saya.” Jawabku sedikit ngibul.

Ayah Made memandang langit, “waktunya pulang.” Kemudian ia masuk mobil bersama Made.

“Sampai jumpa James.” Ujarnya.

“Sampai jumpa.” Jawabku.

Kemudian mobil melaju dengan pelan. Sampai jumpa, bukan selamat tinggal. Berarti ia percaya
dapat berjumpa lagi denganku, suatu hari nanti. Percakapan ini, walau sebentar aku mengenalnya,
aku merasa dekat dengannya. Made, sahabat baruku.

Senin pagi. Aku duduk di tempat biasa. Aku memandang kursi pojok itu, tidak ada Made di sana.
Kosong. Kosong seperti hatiku. Gadis itu, Made. Dan aku, James. Aku merasa ini seperti akhir dunia.

“Kita kedatangan murid baru, ayo perkenalkan dirimu.” Ujar Bu Ani.

Ia seorang pemuda jangkung dan berkulit agak gelap. Ia memperkenalkan diri, “perkenalkan, nama
saya Made Kusuma, saya campuran Jawa-Bali, makanya nama saya begitu, saya harap teman-teman
senang dengan kehadiran saya.”

Made! Made yang lain. Ia duduk di tempat biasa ia duduk. Kursi pojok itu. Tempat itu adalah milik
Made. Dan sekarang ada Made yang lain. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini. Benar kata Made,
Made ada dimana-mana. Mungkinkah suatu hari nanti aku bertemu gadis itu? Apa ia juga bertemu
orang yang bernama James di tempat lain? James yang lain. Tak sabar kubercerita padanya, bahwa
aku bertemu seseorang yang bernama sama sepertinya, Made.

Anda mungkin juga menyukai