Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Biomekanik Plantar Pedis

1. Arcus pedis

Tulang penyusun pedis tidak berada pada suatu bidang horizontal, tulang-

tulang tersebut membentuk arcus longitudinal dan transveral yang relatif terhadap

tanah, yang berperan untuk menyerap dan mendistribusikan gaya yang berjalan

turun dari tubuh saat berdiri tegak maupun bergerak di berbagai permukaan yang

berbeda

a. Arcus longitudinal

Arcus longitudinal pedis terbentuk diantara ujung posterior calcaneus dan

caput metarsal. Arcus longitudinal paling tinggi pada sisi medial yang

membentuk bagian medial arcus longitudinal, dan yang paling rendah pada sisi

lateral yang membentuk bagian lateral arcus longitudinal pedis.

1
2

Gambar 2.1 Arcus longitudinal pedis dextra (Drake et al., 2012)


Keterangan gambar 2.1
1. Arcus longitudinal medial
2. Arcus longitudinal lateral

7
8

b. Arcus transversal

Arcus transversal pedis paling tinggi pada bidang coronalis yang

memotong caput tali dan menghilang di dekat caput metatarsal, tulang-tulang

tersebut disatukan oleh ligamen metatarsal transversum profundum.

Arcus transversal

Gambar 2.2 Arcus transversal pedis sinistra (Drake et al., 2012)


Ligamen yang menyangga arcus meliputi ligamen calcaneonavicular

plantar, calcaneocuboid plantar (plantar brevis), planatar longus, dan

aponeurosis plantaris.

2 1
3
4

Gambar 2.3 Penyangga arcus pedis (Drake et al., 2012)


Keterangan gambar 2.3
1. Ligamen calcaneonavicular plantar
2. Ligamen plantar brevis
3. Ligamen plantar longus
4. Aponeurosis plantaris
9

Aponeurosis plantaris merupakan penebalan fasia pada regio plantar pedis.

Aponeurosis plantaris terlekat kuat pada processus medialis tuberositas calcaneus

dan meluas ke arah depan sebagai suatu pita tebal serabut-serabut jaringan ikat

yang tersusun longitudinal. Serabut-serabut tersebut berpencar selama melintas ke

arah anterior dan membentuk pita-pita digitalis, yang memasuki digit pedis dan

berhubungan dengan tulang, ligamen dan lapisan dermis kulit. Di bagian distal

dari sendi metatarsophalangeal, pita-pita digitalis aponeurosis plantaris saling

dihubungkan oleh fasciculi transversi, yang membentuk ligamen metatarsal

transversum superfisial. Aponeurosis plantaris berperan untuk menyangga arcus

longitudinal pedis dan melindungi struktur-struktur yang lebih dalam pada regio

plantar pedis.

Gambar 2.4 Aponeurosis plantaris (Drake et al., 2012)


Keterangan gambar 2.4
1. Ligamen metatarsal transversum superficial
2. Aponeurosis plantaris
3. Processus medialis tuberositas calcanei
10

Otot yang menjadi penyangga dinamis pada arcus saat berjalan meliputi

otot tibialis anterior dan posterioran fibularis longus. Otot intrinsik pedis yang

berorigo dan berinsersio pada pedis yaitu: otot (1) ekstensor digitorum brevis dan

ekstensor hllucis brevis pada dorsal pedis, dan (2) seluruh otot intrinsik lainnya

terletak pada sisi plantar pedis, otot-otot tersebut tersusun ke dalam empat lapisan.

Otot intrinsik terutama memodifikasi aksi tendon yang panjang dan menghasilkan

gerakan-gerakan halus pada digiti pedis.

Empat lapisan otot pada regio plantar pedis, sebagai berikut:

1) Lapisan pertama

1
2
3

Gambar 2.5 Otot-otot lapisan pertama pada regio plantar pedis (Drake et al.,
2012)
Keterangan gambar 2.5
1. Otot abduktor hallucis
2. Otot fleksor digitorum brevis
3. Otot abduktor digiti minimi
11

2) Lapisan kedua

3
2

Gambar 2.6 Otot-otot lapisan kedua regio plantar pedis (Drake et al., 2012)
Keterangan 2.6
1. Otot lumbrical 3. Tendon otot fleksor digitorum longus
2. Otot quadratus plantae
3) Lapisan ketiga

1
2
3
4

Gambar 2.7 Otot-otot lapisan ketiga regio plantar pedis (Drake et al., 2012)
Keterangan 2.7
1. Otot adduktor hallucis caput transversum 2. Otot fleksor hallucis brevis
3. Otot adductor hallucis caput oblicium 4. Otot fleksor digiti minimi brevis
12

4) Lapisan keempat

1
2

Gambar 2.8 Otot-otot lapisan keempat regio plantar pedis (Drake et al., 2012)
Keterangan gambar 2.8
1. Otot interosseus dorsal
2. Otot interosseus plantar
2. Biomekanik kaki pada saat berjalan

a. Siklus Berjalan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nadege et al. (2015),

perbandingan dari parameter kinematika berjalan menggunakan sepatu dengan

dan tanpa hak tinggi menunjukkan bahwa panjang langkah memendek, penurunan

durasi fase menapak, peningkatan durasi fase mengayun dan penurunan rasio

berjalan yang signifikan pada saat menggunakan sepatu berhak tinggi.


13

Gambar 2.9 Siklus berjalan normal (Whittle, 2007)

b. Windlass Mechanism

Kaki membentuk sebuah lengan pengungkit kaku yang memiliki

kemampuan untuk mendorong terutama selama fase menapak. Dalam kinesiologi

biomekanik, gerak telapak kaki pada saat posisi berjinjit termasuk dalam

pengungkit 2, yaitu beban terletak diantara gaya dan titik penyokong, tumpuan

berat badan berada pada ujung telapak kaki yang akan mempengaruhi fasia plantar

(Sysbania dkk., 2018). Saat berjalan, kaki mendapatkan banyak tekanan yang

dapat menganggu arcus longitudinal medial. Tanpa adanya mekanisme untuk

mempertahankan arcus tersebut, siklus pada saat berjalan tidak dapat berjalan

secara sistematis dan efisien (Bolgia dan Malone, 2004).

Menurut Greisberg et al. (2007), dengan adanya windlass mechanism yaitu

mengekstensikan sendi metatarsophalangeal akan mempengaruhi penyempitan

fasia plantar serta menyokong arcus, sehingga terjadi penguatan jari-jari kaki.
14

Ketegangan fasia plantar dan peningkatan arcus longitudinal merupakan akibat

adanya hiperekstensi dari jari-jari kaki dan sendi metatarsophalangeal akan

memberikan pengaruh berupa mekanisme pasif dalam peningkatan stabilitas kaki

(Greisberg et al., 2007).

Gambar 2.10 Windlass mechanism (Greisberg et al., 2007)

B. Nyeri Tumit

1. Nyeri

Nyeri menurut International Association for the Study of Pain (IASP)

merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang menyebabkan perasaan

tidak nyaman yang terkait dengan adanya kerusakan jaringan baik aktual maupun

potensial atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan. Nyeri merupakan

keluhan utama yang paling sering dialami pasien dan kegelisahan akibat nyeri

yang ditimbulkan ialah sebuah peringatan. Nyeri adalah suatu fenomena

perseptual dan sensual yang penting bagi tubuh untuk terlindungi dari cedera

sehingga manusia dapat bertahan hidup (Swieboda et al., 2013). Nyeri bersifat

subjektif setiap individu dan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti budaya,

pengalaman nyeri sebelumnya, mood, kepercayaan dan kemampuan untuk


15

menyesuaikan diri. Pasien yang mengalami nyeri memerlukan pemberian

intervensi yang adekuat untuk menghilangkan nyeri karena nyeri yang tidak

ditangani dengan baik dapat memperparah kondisi fisik maupun mental dari

pasien tersebut. Setiap persepsi nyeri yang timbul akan membuat tubuh merespon

rangsangan nyeri tersebut, yang kemudian akan mempengaruhi aktifitas dan

sistem organ pasien yang mengalami nyeri tersebut (Ryantama, 2017). Nyeri

berdasarkan durasi terjadinya dikategorikan menjadi nyeri akut dan nyeri kronis.

Nyeri berdasarkan asalnya dikategorikan menjadi nyeri nosiseptif dan nyeri

neuropatik. Nyeri berdasarkan lokasinya dikategorikan menjadi nyeri superfisial

atau kutaneus, nyeri viseral dan nyeri kiriman (reffered pain).

Pada sesorang yang mengalami nyeri tumit umumnya akan merasakan

nyeri akibat adanya tekanan dari berat tubuh pada jaringan myofascial telapak

kaki. Nyeri myofascial merupakan nyeri yang ditandai dengan adanya nyeri lokal

maupun nyeri kiriman (reffered pain) pada otot rangka serta hadirnya titik-titik

pemicu myofascial yang akan mengakibatkan sindrom nyeri myofascial (Haryatno

dan Kuntono, 2016). Sindrom nyeri myofascial dapat juga terjadi setelah adanya

kontraksi otot secara berulang yang mungkin disebabkan oleh pekerjaan atau hobi

atau oleh ketegangan otot (Wijayanti dkk, 2017). Nyeri dapat timbul oleh karena

adanya rangsangan atau stimulus berupa termal, mekanik, elektrik maupun

kimiawi. Kemudian stimulus akan diterima oleh reseptor nyeri yang disebut

nosiseptor. Nosiseptor diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu saraf-saraf yang

tidak bermielin dan berdiameter kecil sehingga kemampuan mengkonduksikan

impuls saraf secara lambat yang disebut dengan serabut saraf C, serta saraf-saraf
16

yang bermielin dan berdiameter besar sehingga kemampuan mengkonduksikan

impuls saraf lebih cepat yang disebut serabut saraf Aδ Lalu akan lanjut menuju

mekanisme nyeri yaitu transduksi, transmisi, modulasi hingga ke persepsi nyeri

(Ryantama, 2017).

2. Definisi nyeri tumit

Nyeri tumit (heel pain) didefinisikan sebagai istilah yang mencangkup

banyak hal yang menyatakan gejala dan kondisi yang tidak dapat ditentukan yang

mempengaruhi aspek plantar medial tumit, atau lokasi penempatan fasia plantar

pada tuberositas medial tulang calcaneus. Nyeri tumit dapat timbul dalam waktu

yang singkat (akut) baik secara terus-menerus maupun intermiten. Jika nyeri

berlangsung selama lebih dari enam bulan maka dapat dianggap nyeri tumit kronis

(Almubarak et al., 2012).

Nyeri tumit merupakan nyeri nosiseptif atau nyeri inflamasi yang

disebabkan oleh transduksi mekanik. Pada kondisi yang kronis, nyeri tumit akan

menjadi nyeri myofascial akibat lengketnya fasia dengan serabut myofibril otot

tersebut.

3. Etiologi nyeri tumit

Menurut Rosenbaum et al. (2014), beberapa patologis penyakit seperti;

fasitis plantar, fat pad atrophy, rupturnya sebagian atau seluruhnya fasia plantar,

fraktur karena ketegangan pada tulang calcaneus, impingement pada saraf plantar,

hindfoot deformity, serta inflamasi enthesopathy dapat memanifestasi terjadinya

nyeri tumit. Fasitis plantar adalah penyebab paling umum terjadinya nyeri tumit.

Nyeri tumit bisa terjadi akut maupun kronis. Penyebabnya antara lain: (1) faktor
17

anatomi kaki yaitu panjang tungkai yang tidak sama, pes planus, kelemahan otot,

ketidakseimbangan otot dan pemendekan fasia plantar. (2) Faktor yang terkait

dengan kesalahan dalam bentuk latihan yaitu overuse atau overtraining,

peningkatan derajat aktivitas secara tiba-tiba, pemakaian alas kaki yang tidak

tepat, dan latihan pada permukaan yang keras. (3) Faktor sistemik seperti obesitas

dan faktor penyakit sistemik seperti gout, arthritis, hiper lipoproteinemia, dan

reiter syndrome (Nuhmani, 2012). (4) Faktor pekerjaan juga memanifestasi

terjadinya fasitis plantar yaitu pekerjaan yang membutuhkan ambulasi dan dan

berdiri yang terlalu lama (Hasanah, 2017).

4. Patofisologi nyeri tumit

Pada saat fase weight-bearing dari pola jalan, tapak/telapak kaki akan

tertekan dan tertarik secara paksa beserta fasia. Saat berjalan terutama yang

menggunakan alas kaki berhak tinggi, fasia akan tertarik paksa secara berulang

disetiap langkah. Ketika paksaan terjadi berturut-turut, dengan meningkatnya

frekuensi dan intensitas, degenerasi secara progresif mungkin akan terjadi di fasia

plantar, pada bagian medial tuberositas calcaneus. Mikrotrauma yang berulang di

fasia plantar akan berkorelasi dengan berkembangnya periostitis karena tarikan

dan microtears fasia itu sendiri, yang mana akan mengaktivasi reseptor nyeri dan

spasme pada regio plantar yang mengakibatkan inflamasi dan nyeri kronis

(Ferreira, 2014). Nyeri pada tumit tersebut akan berdampak pada myofascial

sehingga dapat mengakibatkan nyeri myofascial.


18

C. Myofascial Release

1. Definisi myofascial release

Myofascial release (MFR) merupakan teknik manipulasi menggunakan

tangan yang berfungsi untuk meningkatkan penyembuhan dan menghilangkan

rasa nyeri. MFR merupakan terapi yang mengacu pada teknik manual yang

digunakan untuk mengurangi penyempitan yang abnormal dari ketegangan fasia.

Cedera, penekanan, trauma dan postur yang buruk dapat menyebabkan

keterbatasan fasia.

2. Tujuan dan mekanisme myofascial release pada penurunan nyeri tumit

Tujuan dari MFR adalah untuk melepaskan keterbatasan fasia dan

mengembalikan jaringannya. Teknik ini digunakan untuk meredakan tekanan pada

fibrous bands dari jaringan ikat, atau fasia. Peregangan dari MFR yang lembut

dan terus-menerus dipercaya dapat membebaskan adhesi dan melembutkan serta

memperpanjang fasia. Pembebasan fasia akan mempengaruhi pembuluh darah

atau saraf, MFR juga dapat meningkatkan pemulihan kekuatan bawaan tubuh

dengan meningkatkan sirkulasi dan transmisi sistem saraf, sehingga MFR dapat

mengurangi nyeri melalui mekanisme gate control theory yaitu dengan

mensekresikan serotonin. Dengan adanya pelepasan serotonin maka transmisi

noxius ke otak akan terhambat, sehingga akan terjadi penurunan nyeri (Al Gifari

dkk., 2019).
19

Beberapa praktisi berpendapat bahwa metode ini juga akan melepaskan

emosi terpendam yang mungkin akan berkontribusi terhadap rasa sakit dan stres di

dalam tubuh. MFR bekerja pada regio otot dan jaringan ikat yang lebih luas

(Yadav, 2012).

3. Teknik/gerakan myofascial release

Berikut adalah teknik/gerakan yang dilakukan: (1) posisikan subjek long

sitting, (2) bersihkan telapak kaki subjek menggunakan alcohol swab, (3) satu

tangan terapis mengekstensikan jari-jari kaki sampai LGS maksimal, satu tangan

yang lain menggerus fasia plantar dari atas ke bawah (dosis: 30 detik, jeda 10

detik, diulang 3 kali), (4) lakukan di kedua tungkai.

Gambar 2.11 Myofascial release (Shah dan Bhalara, 2012)

4. Kontraindikasi myofascial release

Beberapa kontraindikasi diberikannya MFR antara lain sebagai berikut: (1)

inflamasi akut, (2) pasien pengkonsumsi obat antikoagulan harus dipantau, (3)

selulitis dan penyakit infeksius lainnya, (4) Deep Vein Thrombosis (DVT), (5)

fraktur tulang (lokal), (6) hematoma (lokal), (7) hipermobilitas sendi (lokal), (8)

keganasan (lokal), (9) osteoporosis, (10) Rheumatoid Arthritis (RA), (11) edema

yang parah, (12) strain akut atau keseleo (lokal), (13) varises (lokal) (Grant dan

Riggs, 2009).
20

D. Passive Stretching

1. Definisi passive stretching

Stretching ialah suatu proses yang dilakukan untuk memanjangkan otot

agar berfungsi secara optimal ketika berolahraga maupun menjalankan aktivitas

sehari-hari (Tollison, 2011).

2. Tujuan dan mekanisme passive stretching pada penurunan nyeri tumit

Stretching merupakan salah satu teknik terapi yang berguna untuk

meningkatkan mobilisasi gerakan dan mencegah terjadinya kontraktur jaringan

(Hasanah, 2017). Stretching pada fasia plantar dapat menyebabkan peningkatan

elastisitas fasia plantar yang akan mengembalikan mekanisme windlass sehingga

ketegangan jaringan berkurang, stretching juga dapat mengurangi perubahan

fibrotik yang terlihat di fasia pada fasitis plantar kronis. Stretching pada fasia

plantar diberikan dengan tujuan menekan rasa sakit dan mengembalikan fungsi

mekanik untuk perbaikan pola jalan (Kumar, 2017). Stretching dapat mengurangi

nyeri tumit dengan mekanisme penurunan tightness dan melancarkan sirkulasi

darah, sehingga regio yang teriritasi dapat pulih oleh proses fisiologis tubuh

(Apriani, 2018). Stretching tanpa adanya perlawanan akan memudahkan

terulurnya otot dan golgi tendon akan terstimulasi secara optimal, frekuensi

potensial aksi serabut afferent yang berasal dari muscle spindle pun meningkat

(Dillah, 2013). Stretching dapat memicu proses metabolisme dan sirkulasi,

sehingga sirkulasi dapat berjalan lancar dan nyeri juga dapat berkurang (Hardjono,

2005).
21

3. Teknik/gerakan passive stretching

Berikut adalah teknik/gerakan yang dilakukan: (1) posisikan subjek long

sitting, (2) bersihkan telapak kaki subjek menggunakan alcohol swab, (3) satu

tangan terapis fiksasi belakang tumit, satu tangan yang lain mengekstensikan jari-

jari kaki sampai LGS maksimal (dosis: 30 detik, jeda 10 detik, diulang 3 kali), (4)

lakukan di kedua tungkai.

Gambar 2.12 Passive stretching (Pattanshetty dan Raikar, 2015)

4. Kontraindikasi passive stretching

Kontraindikasi diberikannya stretching antara lain: (1) sedang mengalami

fraktur atau fraktur tidak stabil, (2) terdapat tanda dan gejala osteoporosis, (3)

terdapat pengurangan dan penurunan fungsi pada regio ekstremitas, (4) sedang

mengalami cedera atau keseleo, (5) masih terdapat tanda-tanda inflamasi akut

ataupun proses infeksi disekitar sendi, (6) terdapat nyeri tajam dan akut ketika

sendi digerakkan atau saat otot diregangkan (Apriani, 2018), (7) pasca operasi

seperti cangkok kulit dan perbaikan tendon (Arovah, 2010).


22

E. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Kumar et al. (2017), yang berjudul

Efficacy of Myofascial Release Technique in Chronic Plantar Fasciitis: A

Randomized Controlled Trial. Desain penelitian yang digunakan adalah

Randomized Control Trial. Subjek berjumlah 30 orang dengan diagnosis fasitis

plantar kronis. Subjek diambil secara acak / simple random sampling yang dibagi

menjadi 2 kelompok yang berbeda. Kelompok A yang berjumlah 15 orang terdiri

dari 5 orang laki-laki dan 10 orang perempuan, menerima 10 sesi perlakuan

myofascial release (MFR) bersamaan dengan self-stretching. Kelompok B yang

berjumlah 15 orang terdiri dari 6 orang laki-laki dan 9 orang perempuan,

menerima 10 sesi perlakuan hanya self-stretching exercise. Penelitian dilakukan di

Department of Physiotherapy, NIOH, Kolkota, selama 12 bulan. Karakteristik

subyek berdasarkan umur, jenis kelamin, durasi dari gejala dan IMT tidak terdapat

perbedaan yang signifikan. Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini yaitu

pemberian myofascial release dan stretching pada penderita plantar fasciitis dapat

membebaskan dari nyeri, meningkatkan toleransi tekanan, mengurangi tenderness

dan meningkatkan gerak fungsional subjek.

Penelitian yang dilakukan oleh Ratri (2019), yang berjudul Pengaruh

Pemberian Stretching dan Myofascial Release terhadap Penurunan Nyeri Plantar

Fasciitis. Metode penelitian yang digunakan adalah Quasi Eksperiment atau

Eksperimen Semu karena semua variabel tidak dikontrol oleh peneliti. Desain

penelitiannya adalah pre and post with two group design, yaitu membandingkan

dua kelompok antara kelompok perlakuan 1 (berjumlah 10 orang) yang diberikan


23

myofascial release dan kelompok 2 (berjumlah 10 orang) yang diberikan

stretching. Karakteristik subyek berdasarkan umur, mayoritas subyek berumur 50-

54 tahun yaitu sebanyak 8 (40%) orang, subyek yang berusia 40-44 tahun

sebanyak 5 (25%) orang, dan yang berusia 45-49 tahun sebanyak 3 (15%) orang.

Karakteristik subyek berdasarkan jenis kelamin, mayoritas subyek berjenis

kelamin perempuan yaitu sebanyak 11 (55%) orang, dan yang berjenis kelamin

laki-laki sebanyak 9 (45%) orang. Hasil penelitian dari analisis statistik

menggunakan Paired Sample T-test didapatkan hasil p-value sebesar 0.000

(p<0.05) yang menunjukkan bahwa ada pengaruh dari pemberian stretching dan

myofascial release. Analisis statistik menggunakan Independent Sample T-test

didapatkan hasil p-value sebesar 0.030 (p<0.05) yang menunjukkan bahwa ada

perbedaan pengaruh dari pemberian stretching dan myofascial release.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh yang signifikan

pemberian stretching terhadap penurunan nyeri pada fasitis plantar, terdapat

pengaruh yang signifikan pemberian myofascial release terhadap penurunan nyeri

pada fasitis plantar, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh

pemberian stretching dan myofascial release dan myofascial release terhadap

penurunan nyeri pada fasitis plantar.


24

F. Kerangka Pikir

Subjek

Transduksi mekanik:
1. Berdiri dalam waktu yang lama
2. Penggunaan high heel dalam waktu yang lama
3. Penumpuan berat badan dalam waktu yang lama
pada posisi statis
4. Overstretch fasia plantar dalam waktu yang lama
5. Overuse otot-otot plantar

Aktivasi nosiseptor

Reaksi inflamasi

Nyeri tumit

Myofascial release Passive stretching

 melepaskan  mengurangi
keterbatasan fasia Nyeri menurun ketegangan jaringan
 meredakan tekanan  mencegah
pada jaringan ikat terjadinya
 membebaskan dan kontraktur jaringan
melembutkan adhesi  menekan rasa sakit
 memperpanjang fasia  melancarkan sirkulasi
 meningkatkan sirkulasi darah
dan transmisi sistem  meningkatkan
saraf mobilisasi gerakan
 melepaskan emosi  mengembalikan fungsi
terpendam mekanik
 perbaikan pola jalan

Gambar 2.13 Kerangka pikir


25

Keterangan gambar 2.13


Pada saat seorang SPG (subjek) melakukan pekerjaannya yang menuntut
untuk berdiri dan menggunakan sepatu hak tinggi dalam waktu yang lama
sehingga tumit menjadi penumpu berat badan dalam posisi yang statis dan waktu
yang lama, yang akan menyebabkan overstretch fasia plantar dalam waktu yang
lama dan overuse otot-otot plantar yang berperan sebagai transduksi mekanik
akan mengaktivasi nosiseptor sehingga akan menghasilkan reaksi inflamasi yang
akan menimbulkan nyeri tumit. Pada gambar diatas, penulis akan memberikan
intervensi fisioterapi berupa myofascial release dan passive stretching yang dapat
menurunkan nyeri.
G. Kerangka Konsep

- Medikamentosa
- Aktivitas subjek

Myofascial release Penurunan nyeri

Subjek
yang
- Dosis
memenuhi Dibandingkan
- Keterampilan terapis
kriteria
inklusi

Passive stretching Penurunan nyeri

- Medikamentosa
- Aktivitas subjek

Gambar 2.14 Kerangka konsep


26

Keterangan gambar 2.14


Subjek yang memenuhi kriteria inklusi diberikan proses MSOP yang akan
membagi subjek penelitian menjadi dua kelompok. Kelompok I diberikan
intervensi berupa myofascial release dan pada kelompok II diberikan intervensi
berupa passive stretching. Dosis dan keterampilan terapis dapat dikendalikan
sedangkan faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil perlakuan yaitu aktivitas
subjek diluar perlakuan tidak dapat dikendalikan oleh peneliti. Kemudian hasil
dari kedua intervensi yang diberikan berupa penurunan nyeri tumit, antara
kelompok I dan kelompok II akan dibandingkan.

H. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah: (1) ada pengaruh pemberian

myofascial release terhadap penurunan nyeri tumit pada Sales Promotion Girls,

(2) ada pengaruh pemberian passive stretching terhadap penurunan nyeri tumit

pada Sales Promotion Girls, (3) ada perbedaan pengaruh antara myofascial

release dan passive stretching terhadap penurunan nyeri tumit pada Sales

Promotion Girls, (4) myofascial release lebih baik dibandingkan dengan passive

stretching terhadap penurunan nyeri tumit pada Sales Promotion Girls.

Anda mungkin juga menyukai