Anda di halaman 1dari 41

REFERAT

Crush Injury of Cruris

Disusun untuk Melaksanakan Tugas Kepaniteraan Klinik Madya


KSM Bedah Umum RSD dr. Soebandi Jember

Disusun oleh:
Nourma Sabila 1811101001

Dokter Pembimbing:
dr. I Nyoman Semita, Sp.OT.Spine (K), FICS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


KSM BEDAH UMUM RSD DR. SOEBANDI JEMBER
MARET
2019

1
DAFTAR ISI

2.1 A
2.1.1

2
BAB I
PENDAHULUAN

Crush injuries paling umum terjadi pada korban bencana gempa bumi, angin
topan, tsunami dan longsor, tabrakan lalu lintas dan kecelakaan industri. Kejadian
tersebut bisa mengenai organ-organ vital seperti otak, paru-paru, dan hati,
sehingga menyebabkan kematian secara langsung. Sedangkan bila menekan
organ-organ non-vital, seperti otot, menyebabkan rhabdomyolysis, crush
syndrome, hingga AKI (Sever, M. S. & R. Vanholder, 2011).
Telah dilaporkan bahwa dalam kasus runtuhnya bangunan delapan lantai,
80% korban yang terjebak langsung mati oleh efek langsung trauma, 10%
bertahan hidup dengan trauma ringan, sementara 10% terluka parah; 7/10 dari
mereka berkembang menjadi crush syndrome. Tercatat bahwa hingga 80% pasien
crush injury meninggal akibat cedera kepala berat atau asfiksi. Dari 20% yang
mencapai rumah sakit, 10% dapat mengalami pemulihan sempurna sedangkan
10% lainnya mengalami crush syndrome. Terlepas dari trauma langsung pada
dada, kepala, atau perut, crush syndrome adalah penyebab kematian paling sering
pada orang yang selamat dari gempa bumi (Sever, M. S. & R. Vanholder, 2011;
Ragopalan, C. S., 2010).
Pasien yang dibebaskan dari reruntuhan puing-puing awalnya tampak tidak
terluka, tetapi kemudian mengalami pembengkakan tungkai dan syok yang
progresif hingga meninggal akibat gagal ginjal beberapa hari kemudian.
Pemeriksaan postmortem mengungkapkan adanya nekrosis otot dan casts pigmen
coklat di tubulus ginjal (Genthon & Wilcox, 2014).
Dalam dunia kedokteran, hubungan antara trauma kompresi dan gagal ginjal
pertama kali dideskripsikan setelah gempa bumi Messina di Sisilia pada tahun
1909 dan setelah Perang Dunia I. Namun, ruang lingkup luas gagal ginjal terkait
crush injury pertama kali diakui sebagai satu kesatuan oleh Bywaters dan Beall
pada tahun 1941 pada korban blitz London (Sever, M. S. & R. Vanholder, 2011).

3
Untuk menurunkan angka kematian pada bencana yaitu dengan mengelola
korban yang terluka dengan benar. Di antara mereka, pasien dengan crush
syndrome dan / atau AKI merupakan kelompok penting. Dokter harus menyadari
penyebab potensial, tanda-tanda klinis dan proses patofisiologis yang terlibat
dalam crush sindrom (Sever, M. S. & R. Vanholder, 2011).

4
BAB II
TINJAUANPUSTAKA

2.1 Anatomi Regio Cruris


Regio cruris merupakan bagian extremitas inferior yang terletak di antara
sendi genus dan sendi talocruralis. Tulang-tulang regio cruralis yaitu fibula di
bagian lateral dan tibia di bagian medial. Tibia merupakan tulang regio cruralis
yang menopang berat tubuh dan dengan demikian berukuran jauh lebih besar
dibandingkan fibula. Regio cruralis dibagi menjadi kompartemen anterior
(extensor), posterior (flexor), dan lateralis (fibular) (Gambar 1.1), oleh sebuah
membrana ineterossea cruris, dan dua septum musculare cruris yang berjalan di
antara fibula dan fascia profundus yang mengelilingi extremitas (Drake et al.,
2014).
Musculi pada kompartemen anterior melakukan dorsoflexi regio talocruralis,
extensi digiti pedis dan inversi pedis. Musculi pada kompartemen posterior
melakukan plantar flexi regio talocruralis, flexi digiti pedis, dan inversi pedis.
Munculi pada kompartemen lateralis melakukan eversi pedis (Drake et al., 2014).

Gambar 1.1 Pandangan posterior regio cruris sinistra; potongan melintang regiocruris sinistra
(Drake et al., 2014).

5
2.1.1 Tulang Tibia
Corpus tibia berbentuk segitiga pada penampang lintang dan memiliki margo
anterior, margo interosseus, dan margo medialis dan fascies medialis, fascies
lateralis dan fascies posterior. Margo interosseus tibia terhubung, oleh membrana
interossea cruris, di seluruh panjangnya kepada margo interosseus fibula. Fascies
posterior ditandai oleh suatu linea obliqua (Gambar 1.2) (Drake et al., 2014).
Linea musculi solei berjalan turun melintasi tulang mulai dari sisi lateral
menuju sisi medial, yang selanjutnya menyatu dengan margo medialis. Selain itu,
suatu garis verticalis berjalan menuruni bagian atas fascies posterior mulai dari
titik tengah linea musculi solei dan menghilang pada 1/3 bawah tibia (Gambar
1.2) (Drake et al., 2014).
Corpus tibia meluas pada kedua ujung atas dan bawah untuk menopang berat
tubuh pada sendi genus dan sendi talocruralis. Ujung distal tibia berbentuk seperti
kotak persegi panjang dengan penonjolan tulang pada sisi medial, yaitu malleolus
medialis. Bagian atas kotak tersebut bersinambungan dengan corpus tibia,
sedangkan permukaan bawah dan malleolus medialis bersendi dengan tulang
tarsal membentuk sebagian besar sendi talocruralis (Drake et al., 2014).
Permukaan posterior distal tibialis yang berbentuk seperti kotak ditandai oleh
sulcus verticalis (sulcus malleolaris), yang berlanjut ke inferior dan medial
menuju posterior malleolus medialis. Sulcus tersebut merupakan tempat
melekatnya tendo musculus tibialis posterior. Permukaan lateral distal tibia
ditempati oleh insisura fibularis, tempat ujung distal fibula dilekatkan oleh bagian
membrana interossea cruris yang menebal (Gambar 1.2) (Drake et al., 2014).

2.1.2 Tulang Fibula


Fibula tidak terlibat dalam menahan berat tubuh. Karenanya korpus fibula
lebih sempit dibandingkan dengan corpus tibia. Seperti tibia, corpus fibula
berbentuk segitiga pada penampang lintang dan memiliki tiga margo dan tiga
fascies sebagai tempat perlekatan musculi, septum intermuscularis cruris, dan
ligamenta. Margo interosseus fibula menghadap dan dilekatkan pada margo
interosseus tibia oleh membran interosseus cruris, lihat Gambar 1.2. Septum

6
intermuscularis cruris melekat pada margo anterior dan posterior. Musculi
melekat pada ketiga fasia (Drake et al., 2014)..
Facies medialis yang sempit menghadap ke kompartemen anterior regio
cruris, fasia lateralis menghadap ke kompartemen lateralis regio cruris, dan fascies
posterior menghadap ke kompartemen posterior regio cruralis, lihat Gambar 1.2
(Drake et al., 2014).
Fasia posterior ditandai oleh suatu crista verticalis (crista medialis), yang
membagi fasia posterior menjadi dua bagian, yang masing masing dilekatkan pada
sebuah musculus flexorum profundus yang berbeda. Ujung distal fibula meluas
membentuk malleolus lateralis yang berbentuk seperti sekop, lihat Gambar 1.2
(Drake et al., 2014).
Permukaan medial malleolus lateralis memiliki sebuah fasia (fasia articularis
malleoli) untuk bersendi dengan permukaan lateral talus, sehingga membentuk
bagian lateral sendi talocruralis. Di posteroinferior fasia articularis malleoli
terdapat cekungan (fossa malleolus lateralis) untuk tempat lekat ligamentum
talofibularis posterior yang berkaitan dengan sendi talocruralis. Permukaan
posterior malleolus lateralis ditandai oleh sebuah sulcus dangkal untuk tendo
musculus fibularis longus/peroneus longus dan musculus fibularis brevis/peroneus
brevis (Drake et al., 2014).

Gambar 1.2. Tibia dan fibula. A. Pandangan anterior. B. Pandangan posterior. C. Penampang
lintang melalui kedua corpus. D. Pandangan posteromedial dari kedua ujung distal (Drake et al.,
2014).

7
Membran interosseus cruris merupakan lembaran fibrosum jaringan ikat yang
kuat dan membentang di sepanjang jarak antara kedua margo interosseus corpus
tibia dan corpus fibula. Terdapat dua apertura pada membarna interosseus cruris,
satu di bagian atas dan yang lainnya di bagian bawah, untuk lewatnya pebuluh-
pembuluh darah di antara kompartemen anterior dan kompartemen posterior regio
cruris. Membran interosseus cruris tidak hanya menghubungkan tibia dan fibula,
namun juga menyediakan suatu perluasan area permukaan bagi perlekatan
musculus, lihat Gambar 1.3 (Drake et al., 2014).
Ujung distal tibia dan fibula disatukan oleh aspectus membran interosseus
cruris, yang membentang pada ruangan sempit di antara insisura fibularis dan
permukaan ujung distal tibia. Perluasan ujung membran interossea cruris tersebut
diperkuat oleh ligamentum tibiofibularis anterior dan posterior. Hubungan kuat
ujung-ujung distal tibia dan fibula tersebut merupakan hal yang penting dalam
membentuk persendian dengan pedis pada sendi talocruralis lihat Gambar 1.3
(Drake et al., 2014).

Gambar 1.3. Membran interossea cruris. A. Pandangan anterior. B. Pandangan


posteromedial (Drake et al., 2014).

8
2.1.3 Kompartemen Posterior
Musculus pada kompartemen posterior cruris tersusun atas dua kelompok,
yaitu superfisialis dan profundus, yang dipisahkan oleh fasia profundus. Secara
umum, musculus tersebut bekerja untuk plantar flexi dan inversi pedis dan flexi
digiti pedis. Seluruhnya dipersarafi oleh n. tibialis (Drake et al., 2014)..
Musculus superfisialis pada kompartemen posterior cruris terdiri dari
musculus gastrocnemius, plantaris, dan soleus, yang seluruhnya berinsertio pada
regio calcaneus pedis dan bekerja untuk plantarflexi pada sendi talocruralis.
Sebagai satu kesatuan, musculus tersebut besar dan kuat karena bekerja
menggerakkan tubuh ke depan pada saat pedis menapak ketika berjalan dan dapat
mengelevasi/mengangkat tubuh ke atas dengan tumpuan digiti pedis ketika berdiri
(berjinjit). Musculus gastrocnemius dan plantaris berorigo pada ujung distal femur
dan dapat juga untuk flexi genu (Drake et al., 2014).
Musculus profundus pada kompartemen posterior cruris terdiri musculus
popliteus, flexor hallucis longus, flexor digitorum longus, dan tibialis posterior.
Musculus poplitea bekerja pada genu, sedangkan ketiga musculus lainnya bekerja
terutama pada pedis (Drake et al., 2014).

Gambar 1.4. Kelompok musculus superfisialis dan profundus pada regio kompartemen posterior
(Drake et al., 2014).

9
Arteri poplitea merupakan suplai darah utama regio cruris dan pedis yang
memasuki kompartemen posterior melalui fossa poplitea di belakang genu. Arteri
poplitea berjalan menuju kompartemen posterior di antara m. gastrocnemius dan
m. popliteus yang kemudian bercabang menjadi a. tibialis anterior dan a. tibialis
posterior (Drake et al., 2014).
Terdapat dua arteri surales yang merupakan cabang a. poplitea untuk
menyuplai m. gastrocnemius, soleus, dan plantaris. Selain itu, a. poplitea
mengeluarkan cabang-cabang yang berkontribusi pada jalinan kolateral pembuluh
darah di sekitar sendi genus/rete articularis genus (Drake et al., 2014).
Arteri tibialis posterior menyuplai kompartemen posterior dan lateral dan
berlanjut menuju regio plantar pedis. A. tibialis posterior berjalan turun melalui
daerah profundis kompartemen posterior pada permukaan superfisial m.tibialis
posterior dan m. flexor digitorum longus. A. tibialis posterior berjalan melalui
canalis tarsi di belakang malleolus medialis dan meuju regio plantaris pedis
(Drake et al., 2014).
Arteri tibialis posterior memiliki dua cabang utama, yaitu a. circumflexa
fibularis dan a. fibularis/peronea. A. circumflexa fibularis berjalan ke arah lateral
untuk beranastomosis dengan pembuluh-pembuluh darah yang mengelilingi
genus. Arteri fibularis menyuplai musculus dan tulang di dekatnya pada
kompartemen posterior dan memiliki cabang-cabang yang berjalan ke arah lateral
melalui septum intermuscularis cruris untuk menyuplai musculus fibularis pada
kompartemen lateralis (Drake et al., 2014).
Sebuah ramus perforans, cabang a. fibularis bagian distal, berjalan ke arah
anterior melalui apertura inferior pada membran interosseus cruris untuk
beranastomosis dengan sebuah cabang arteri tibialis anterior. Arteri fibularis
berjalan di belakang perlekatan antara ujung-ujung distal tibia dan fibula dan
berakhir pada suatu jalinan pembuluh-pembuluh darah di atas permukaa lateral
calcaneus. Umumnya vena profundus pada kompartemen posterior menyertai
arteri (Drake et al., 2014).
Nervus yang berkaitan dengan kompartemen posterior adalah nervus tibialis,
sebuah cabang utama nervus ischiadicus yang berjalan turun dari fossa poplitea

10
menuju kompartemen posterior. Nervus tibialis berjalan di bawah arcus tendineus
yang terbentuk di antara caput fibularis dan caput tibialis musculus soleus (arcus
tendineus musculus soleus) dan berjalan vertikal melalui daerah profundus
kompartemen posterior, di permukaan musculus tibialis posterior bersama vasa
tibialis posterior. Nervus tibialis meninggalkan kompartemen posterior ke regio
talocruralis melalui canalis tarsalis di belakang maleolus medialis. Nervus tibialis
memasuki pedis untuk menyuplai sebagian besar musculus intrinsik, dan kulit
(Drake et al., 2014).
Pada regio cruris, nervus tibialis membuat percabangan yang menyuplai
seluruh musculus pada kompartemen posterior, dan dua cabang-cabang cutaneus,
yaitu nervus suralis dan nervus calcaneus medialis/rami calcanei mediales (Drake
et al., 2014).
Cabang-cabang nervus tibialis yang mempersarafi kelompok musculus
superfisialis kompartemen posterior dan m. poplitea berasal dari regio cruris
bagian atas, yaitu di antara kedua caput musculus gastrocnemius pada daerah
distal fossa poplitea. Cabang-cabang tersebut mempersarafi m. gastrocnemius, m.
soleus, dan m. plantaris, dan m. poplitea. Cabang-cabang nervus tibialis untuk
kelompok musculus profunda berasal dari nervus tibialis sebelah dalam musculus
soleus pada ½ bagian atas. Cabang ini mempersarafi m. tibialis posterior, m.
flexor hallucis longus, dan m. flexor digitorum longus (Drake et al., 2014).

Gambar 1.5. Nervus tibialis. A. Pandangan posterior. B. Nervus suralis (Drake et al., 2014).

11
Nervus suralis berasal dari regio cruris bagian atas di antara kedua caput
musculus gastrocnemius. Nervus suralis berjalan turun menuju perut m.
gastrocnemius dan menembus fasia profundus di pertengahan regio cruris, untuk
bergabung dengan ramus communicans fibularis communis. Nervus suralis
berjalan menuruni regio cruris, di sekitar malleolus lateralis, dan menuju pedis.
Nervus suralis menyuplai kulit pada bagian posterolateral regio cruris dan lateral
regio pedis dan digitus minimus (Drake et al., 2014).
Nervus calcaneus medialis seringkali multipel dan berasal dari nervus tibialis
yang berjalan turun menuju sisi medial regio calcaneus. Nervus calcaneus juga
mempersarafi kulit pada permukaan medial dan plantar regio calcaneus (Drake et
al., 2014).

2.1.4 Kompartemen Lateralis


Terdapat dua musculus pada kompartemen lateral regio cruris, yaitu m.
fibularis longus dan m. fibularis brevis. Keduanya berfungsi untuk eversi pedis.
Tidak ada arteri utama yang berjalan secara vertikal pada kompartemen lateral.
Kompartemen ini disuplai oleh cabang-cabang a. fibularis dari kompartemen
posterior yang menembus ke dalam kompartemen lateralis. Vena profunda pada
umumnya menyertai arteri (Drake et al., 2014).

Gambar 1.6. Musculus kompartemen lateralis regio cruris A. Pandangan lateral. B. Pandangan
inferior pedis dextra plantarflexi pada regio talocruralis (Drake et al., 2014).

12
Nervus yang berkaitan dengan kompartemen lateralis yaitu n. fibularis
superficialis cabang dari n. fibularis komunis, yang memasuki kompartemen
lateralis melalaui perlekatan-perlekatan m.fibularis longus pada capitulum fibula
dan corpus fibula. Di sini, n. fibularis komunis terbagi menjadi dua cabang
terminalnya, yaitu nervus fibularis superfisialis, dan nervus fibularis profundus.
Nervus fibularis superfisialis menembus fasia profundus dan memasuki pedis
setelah terbagi menjadi cabang-cabang medial dan lateral, yang menyuplai area-
area dorsal pedis dan digiti pedis kecuali untuk; 1) selaput jari antara
hallux/digitus primus dan digitus secundus, yang dipersarafi oleh n. fibularis
profundus; 2) sisi lateral digiti minimus, yang dipersarafi oleh n. suralis cabang n.
tibialis (Drake et al., 2014).

2.1.5 Kompartemen Anterior


Terdapat empat musculus pada kompartemen anterior, yaitu m. tibialis
anterior, m. extensor digitorum longus, m. extensor hallucis longus dan m.
fibularis tertius/peroneus tertius. Bersama-sama, kelompok musculus tersebut
melakukan dorsoflexi pedis pada sendi talocruralis, extensi digiti pedis, dan
inversi pedis. seluruhnya dipersarafi oleh nervus fibularis profundus cabang n.
fibularis komunis (Drake et al., 2014).

Gambar 1.7. Nervus fibularis komunis dan arteri kompartemen lateralis regio cruris A. Pandangan
posterior. B. Pandangan lateral (Drake et al., 2014).

13
Arteri yang berkaitan dengan kompartemen anterior, yaitu arteri tibialis
anterior cabang a. poplitea, yang berjalan kedepan melalui apertura pada membran
interossea cruris. Pada regio cruris distal, a. tibialis anterior berada di antara tendo
m. tibialis anterior dan musculus extensor hallucis longus. A. tibialis
meninggalkan regio cruris dengan berjalan dari ujung distal tibia dan sendi
talocruralis, menuju aspectus dorsalis pedis sebagai arteri dorsalis pedis (Drake et
al., 2014).
Pada proximal cruris, a. tibialis anterior memiliki cabang a. recurrens tibialis
anterior, yang beranastomosis dengan pembuluh darah di sekitar genu. Di
sepanjang perjalanannya, a. tibialis anterior mengeluarkan cabang untuk musculus
di dekatnya dan dihubungkan oleh ramus perforans arteria fibularis, yang berjalan
ke depan melalui aspectus bawah membrana intraosseus cruris dari kompartemen
posterior (Drake et al., 2014).
Ke arah distal, arteria tibialis anterior mengeluarkan cabang a. malleolaris
anterior medialis dan a. malleolaris anterior lateralis, yang berjalan ke arah
posterior, secara berturut turut, di sekitar ujung-ujung distal tibia dan fibula, dan
berhubungan dengan pembuluh-pembuluh darah dari a. tibialis posterior dan a.
fibularis untuk membentuk suatu jalinan anastomosis di sekitar regio talocrucralis
(Drake et al., 2014).

Gambar 1.8. Kompartemen anterior. A. Musculus. B. Perlekatan bagian proksimal. C. Arteria


tibialis anterior dan nervus fibularis profundus (Drake et al., 2014).

14
Nervus yang berkaitan dengan kompartemen anterior regio cruris yaitu nervus
fibularis profundus, salah satu cabang nervus fibularis komunis. Nervus fibularis
profundus berjalan melalui septum intermuscularis yang memisahkan
kompartemen lateralis dan anterior, kemudian berjalan di permukaan m. ekstensor
digitorum longus. N. fibularis profundus mencapai membran interossea cruris
anterior, bertemu dan berjalan turun bersama a. tibialis anterior (Drake et al.,
2014).
Nervus fibularis profundus mempersarafi seluruh musculus pada
kompartemen anterior, kemudian berlanjut menuju aspectus dorsalis pedis dan
mempersarafi m. extensor digitorum brevis, berkontribusi pada persarafan
musculus interossea dorsalis I dan II, dan menyuplai kulit di antara hallux dan
digiti secundus (Drake et al., 2014).

15
2.2. Crush Injury
2.2.1 Definisi Terminologi
a. Crush injuries termasuk crush injury, crush syndrome, compartment
syndrome (Queensland, 2016).
b. Crush injury. Crush injury adalah cedera otot secara langsung yang
disebabkan oleh suatu gaya kompresi (Queensland, 2016; Ragopalan, C. S.,
2010; Genthon & Wilcox, 2014). Crush injury adalah terperangkapnya
bagian-bagian tubuh akibat gaya kompresi yang mengakibatkan cedera fisik
dan / atau cedera iskemik pada otot yang terkena. Jika massa otot yang
terlibat signifikan, dapat menyebabkan crush syndrome setelah gaya kompresi
dilepaskan (Insarag, 2012).
c. Crush syndrome adalah kondisi sistemik pada crush injury dengan durasi dan
tekanan yang cukup menyebabkan iskemia dan nekrosis luas jaringan lunak.
Crush syndrome berpotensi mengancam jiwa yang dapat terjadi setelah
pelepasan gaya kompresi pada massa otot. Faktor-faktor yang menyebabkan
perkembangan crush syndrome meliputi (Insarag, 2012):
- Tingkat kekuatan tekan;
- Jumlah massa otot yang terlibat; dan
- Durasi kompresi
Crush syndrome dapat berkembang dalam waktu singkat pada gaya kompresi
yang besar, sebaliknya, dapat terjadi dalam waktu yang lama pada gaya
kompresi yang relatif kecil (Queensland, 2016).
Crush syndrome, juga dikenal sebagai rhabdomyolysis traumatis, yaitu
manifestasi sistemik dari kerusakan sel-sel otot disertai pelepasan konten ke
dalam sirkulasi. Crush syndrome yang mengarah ke cedera ginjal akut (AKI)
adalah salah satu dari beberapa komplikasi yang mengancam jiwa yang dapat
dicegah (Genthon & Wilcox, 2014; Ragopalan, C. S., 2010).
Manifestasi klinis Crush syndrome meliputi otot tegang, edema, dan nyeri,
syok hipovolemik, cedera ginjal akut (AKI), hiperkalemia, asidosis, gagal
jantung, gagal pernapasan, dan infeksi (Sever, M. S. & R. Vanholder, 2011).

16
d. Compartment syndrome adalah gangguan perfusi jaringan oleh karena adanya
peningkatan tekanan pada sebuah kompartemen. Bila tidak ditangani, dapat
menyebabkan nekrosis jaringan, kerusakan permanen dan crush syndrome
(Queensland, 2016).
Peningkatan tekanan dalam kompartemen otot, yang menyebabkan gangguan
metabolisme seperti rhabdomiolisis (Ragopalan, C. S., 2010).

2.2.2 Etiologi

Gambar 2.1 (Sever, M. S. & R. Vanholder, 2011)

Rhabdomyolysis dapat terjadi akibat penyebab non-traumatis dan traumatis


(Tabel 3). Meskipun penyebab non-traumatis lebih umum dalam kehidupan
sehari-hari, penyebab traumatis menjadi lebih menonjol pasca runtuhnya tambang,
kecelakaan lalu lintas, perang, dan bencana alam dan buatan (buatan) (Sever, M.
S. & R. Vanholder, 2011).

2.2.2 Patofisiologi
Traumatic rhabdomyolysis, atau crush syndrome, adalah bentuk dari gaya
kompresi pada anggota badan yang berkepanjangan. Trauma yang mengenai
kepala dan dada seringkali berakibat fatal, namun bila cedera mengenai tungkai
saja masih dapat bertahan bahkan dengan amputasi, multiple fracture, dan luka

17
massive. Late mortality akibat crush injury pada anggota gerak umumnya
disebabkan oleh rhabdomyolysis yang mengakibatkan crush syndrome yang
melibatkan banyak sistem organ, terutama jika tidak diobati dengan bai.
Hiperkalemia dan gagal ginjal akut merupakan gambaran utama yang diperparah
oleh syok hipovolemik, kardiomiopati akut, koagulasi intravaskular diseminata,
hipotermia, sindrom gangguan pernapasan akut, sepsis, dan trauma psikologis
(Jagodzinksi et al., 2010).
Otot dapat bertahan dari iskemia hingga 4 jam tetapi gaya yang sangat kuat dapat
segera menghancurkan otot. Bahkan jika kekuatan tidak cukup untuk memotong
jaringan otot, kombinasi kekuatan mekanik dan iskemia akan menyebabkan
kematian otot dalam satu jam (Jagodzinksi et al., 2010)
Otot rangka membentuk sistem organ terbesar dalam tubuh mencapai 40% dari
berat tubuh dan mengandung sekitar 75% potasium tubuh. Ketika sistem tersebut
mengalami kerusakan, redistribusi cairan dan zat terlarut kompartemen
intraseluler dan ekstraseluler mencapai tingkat yang paling ekstrim. Peningkatan
permeabilitas membran sarkolemma miosit memungkinkan masuknya natrium
dan kalsium dan diikuti air melalui osmosis. Seluruh volume cairan ekstraseluler
(sekitar 12 L dalam rata-rata 75 kg pria) dapat menembus ke dalam otot yang
cedera dalam beberapa jam hingga beberapa hari setelah cedera. Ini disebut
dengan ‘third spacing' yang menyebabkan penurunan cairan intravaskular, syok
hipovolemik dan henti jantung. Syok hipovolemik diperparah oleh aktivasi lokal
sistem oksida nitrat pada otot yang hancur menyebabkan vasodilatasi ekstrem.
Iskemia ginjal disebabkan oleh aktivasi hormon angiotensin II, katekolamin,
vasopresin, dan tromboksan intrarenal (Jagodzinksi et al., 2010)
Otot yang hancur melepaskan mioglobin, urat, dan fosfat ke dalam sirkulasi. Urin
yang asam dalam tubulus ginjal distal dapat mengendap menjadi casts
menyebabkan obstrukti post-renal. Fosfat dapat bereaksi dengan kalsium
membentuk kalsifikasi metastasis yang merusak parenkim ginjal. Myoglobin juga
membentuk radikal bebas hidroksil, yang kerusakan ginjal secara langsung.
Kombinasi kelainan pre-renal, renal, dan post-renal menyebabkan asidosis
metabolik yang parah. Urin yang asam lebih lanjut dapat mempercepat endapan

18
tubulus dan membentuk lingkaran setan pemburukan ARF. Respirasi anaerob otot
yang rusak menghasilkan asidosis laktat. Multiple-organ-failure (MOF) dan
kematian terjadi kemudian (Jagodzinksi et al., 2010).
Perdarahan hebat otot yang rusak dan mati yang meningkatkan konsumsi
koagulopati yang menyebabkan koagulasi intravaskular diseminata (DIC).
Mikrotrombi memblok kapiler pada glomerulus yang memperparah gagal ginjal
pra-renal. Fibrinolisis diaktifkan untuk membersihkan trombi dari
mikrovaskulatur yang berakhir pada fibrinolisis yang tidak terkontrol.
Exsanguination lebih lanjut dari kedua bagian tubuh yang terluka dan tidak
terluka memperburuk syok hipovolemik. Inhibitor trombosit seperti prostaglandin
I2 (PGI2) dan antitrombin III dilepaskan dari sel endotel selama syok yang
memperburuk siklus setan (Jagodzinksi et al., 2010)
Kerusakan otot terjadi pada tiga tahap yang berbeda: pada saat terkena gaya
kompresi mekanik, selama periode iskemia dan selama periode reperfusi.
Faktanya, penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar kerusakan pada miosit
terjadi selama reperfusi daripada iskemia. Secara singkat, teori 'oksigen paradoks'
Odeh mengusulkan bahwa reperfusi jaringan iskemik menyediakan oksigen
sebagai substrat untuk xanthine oksidase dan enzim lain untuk menghasilkan
radikal bebas hidroksil. Metabolit oksigen reaktif ini secara langsung merusak
mikrovaskulatur dan parenkim otot rangka dan membentuk kaskade propagasi
radikal bebas. Reperfusi ginjal dan jantung yang mengalami iskemik dapat
menyebabkan kerusakan sekunder terhadap vaskularisasi dengan mekanisme yang
sama yang berarti organ tersebut mengalami serangan ganda radikal. Odeh juga
mengusulkan teori 'kalsium paradoks' tentang kerusakan jaringan pada reperfusi di
mana natrium ditukar dengan kalsium yang menyebabkan kerusakan sel oleh
beberapa mekanisme (Jagodzinksi et al., 2010).
Reperfusi anggota gerak yang hancur dapat menyebabkan emboli paru akibat
pelepasan sumsum tulang, lemak, dan trombus secara tiba-tiba. Emboli lemak
juga dapat melewati paru-paru kembali ke sirkulasi sistemik. Penurunan
kesadaran, tanda-tanda neurologis fokal dan kejang juga dapat terjadi setelah
pembebeasan gaya kompresi (Jagodzinksi et al., 2010)

19
Syok hipovolemik menyebabkan vasokonstriksi splanknik yang dapat
bermanifestasi sebagai gastritis yang diinduksi stres, iskemia usus, pankreatitis,
kolesistitis akalkulus dan hepatitis iskemik. Peningkatan endotoxin dari flora usus
gram negatif memasuki sirkulasi ketika filtrasi hati berkurang. Tumor necrosis
factor-a, dan sitokin lainnya, dilepaskan dari sistem monocyte macrophage yang
merangsang respon inflamasi sistemik, syok, sindrom gangguan pernapasan akut
(ARDS) dan akhirnya MOF. Peningkatan permeabilitas kapiler paru intrinsik
terkait crush syndrome dapat menyebabkan delayed ARDS, bahkan ketika
komplikasi seperti sepsis dan MOF dicegah (Jagodzinksi et al., 2010)
Pasien crush injury rentan mengalami sepsis. ARF dan keadaan katabolik
secara independen membuat pasien immunocompromised, namun infeksi berasal
dari dari luka trauma, luka bedah, ventilator, kateter kemih, kanula vena dan
pemantauan invasif. Sindrom kompartemen adalah penyebab sering morbiditas
dan mortalitas pada pasien yang selamat (Jagodzinksi et al., 2010).

Tiga masalah patofisiologis akut primer adalah (Insarag, 2012):


- Hipovolemia yang dapat menyebabkan syok;
- Ketidakseimbangan elektrolit termasuk hiperkalemia yang dapat
menyebabkan disritmia jantung akut;
- Asidosis metabolik yang dapat menyebabkan syok.
Kekhawatiran patofisiologis onset tertunda meliputi (Insarag, 2012):
- Gagal ginjal;
- Sindrom Gangguan Pernafasan Dewasa (ARDS);
- Koagulopati;
- Beberapa sepsis.

Patofisiologi traumatic rhabdomyolisis melibatkan satu atau kombinasi


mekanisme berikut: 1) pasokan ATP yang tidak memadai, 2) peningkatan
berkelanjutan konsentrasi kalsium sarkoplasma, dan 3) peningkatan permeabilitas
sarkolema. Mekanisme lainnya meliputi: re-perfusi ischemia dan inflamasi, yang
20
dapat menghasilkan ROS, dan sitokin. Gambar di bawah ini menjelaskan
patogenesis rhabdomyolysis (Sever, M. S. & R. Vanholder, 2011).

Gambar 2.2 Patofisiologi pressure-induced-rhabdomyolisis (Sever, M. S. & R. Vanholder, 2011)

Ketika otot menerima gaya kompresi, permeabilitas sarkolemma meningkat,


sehingga substansi ekstraseluler, seperti kalsium, natrium, dan air masuk ke
lingkungan intrseluler, sementara potasium dan mioglo-bin keluar menuju
lingkungan ekstraseluler. Setelah konsentrasi kritis kalsium bebas tercapai,
kontraksi otot yang berkelanjutan terjadi dan menghabiskan simpanan ATP;
kerusakan mitokondria terjadi akibat stres oksida; protease, fosfolipase, dan
beberapa enzim lainnya diaktifkan, menghasilkan kerusakan myofibril dan
membran fosfolipid. Hasil akhirnya yaitu terjadinya lisis miosit dan pelepasan
konstituen intraselular toksik ke dalam lingkungan ekstraseluler (Sever, M. S. &
R. Vanholder, 2011).
Akumulasi lokal produk-produk tersebut menyebabkan kerusakan
mikrovaskuler, kebocoran kapiler, yang kemudian menyebabkan sindrom
kompartemen, yang meningkatkan tekanan kapiler dan memicu oklusi
mikrosirkulasi dan menurunkan kandungan oksigen mioglobin dengan cepat.
Demikian pula, simpanan kreatin, fosfat, dan glikogen juga habis, dan terjadi
penurunan ATP yang berat. Namun, pada kerusakan jaringan akibat iskemik
sebagian besar kerusakan terjadi setelah terjadi re-perfusi pada jaringan yang
rusak. Dalam kasus ini, leukosit bermigrasi ke jaringan tersebut setelah terjadi re-

21
perfusi, dan kemudian terjadi produksi radikal bebas setelah oksigen tersedia
(Sever, M. S. & R. Vanholder, 2011).
Mekanisme rhabdomyolisis-induced-AKI dapat di lihat pada gambar di bawah
ini (Gambar 2.3). 1) Nekrosis otot menyebabkan dramatic fluid third spacing,
menyebabkan penurunan volume intravaskular, hipoperfusi ginjal, dan iskemik.
Pada awalnya AKI disebabkan karena penyebab pre-renal; namun, jika tidak
diobati dengan benar, dapat berkembang menjadi nekrosis tubular akut (ATN). 2)
Myoglobin dilepaskan dari otot-otot yang mengalami trauma, dan myoglobinuria
menyebabkan pembentukan cast intratubular yang berkontribusi terhadap
terjadinya AKI. 3) Myoglobin mengambil nitric oxide (NO), yang semakin
meningkatkan hipoperfusi ginjal dan cedera jaringan. 4) beberapa cedera otot
berat dapat mengaktifkan kaskade endotoksin-sitokin; vasokonstriksi ginjal
selanjutnya berkontribusi terhadap hipoperfusi dan iskemia ginjal. 5) Nukleosida
yang dilepaskan dari inti sel dimetabolisme hati menjadi asam urat, yang dapat
berkontribusi pada pembentukan cast dan obstruksi tubular. 6) Degradasi
mioglobin intratubular menyebabkan pelepasan free-iron, yang mengkatalisasi
radikal bebas, dan meningkatkan kerusakan iskemik. 7) Potassium yang
dilepaskan dari otot-otot yang rusak menekan jumlah cardiac output, sehingga
berpotensi mengalami hipoperfusi renal. 8) Hyperphosphatemia dapat
berkontribusi pada hipokalsemia, yang selanjutnya dapat menekan kontraktilitas
miokard. 9) Hiperfosfatemia dapat menyebabkan pengendapan garam CaPO4 yang
menyebabkan inflamasi jaringan ginjal. 10) Kerusakan otot melepaskan
tromboplastin jaringan, memicu koagulasi intravaskular diseminata yang
berkontribusi terhadap AKI (Sever, M. S. & R. Vanholder, 2011).

22
Gambar 2.3 Patofisiologi crush-syndrome related AKI (Sever, M. S. & R. Vanholder, 2011)

Peristiwa utama crush syndrome adalah rhabdomyolysis, yang merupakan


disintegrasi otot lurik yang menghasilkan pelepasan konten sel otot ke dalam
cairan ekstraseluler.
Waktu untuk cedera seluler dan kematian bervariasi dengan gaya yang
terlibat. Otot rangka umumnya dapat mentolerir 2 jam iskemia tanpa cedera
permanen. Namun, pada 4-6 jam, nekrosis jaringan berkembang. Lisis sel otot
melepaskan asam laktat, tromboplastin, creatine kinase, asam nukleat,
magnesium, laktat dehidrogenase (LDH) fosfat, sedangkan yang paling penting
adalah mioglobin dan kalium. Mioglobin dikonversi menjadi methmyoglobin dan
kemudian menjadi asam haematin, yang dilepaskan ke dalam sirkulasi. Meskipun
penting untuk menjalankan fungsi sel, kandungan sel tersebut toksik ketika
dilepaskan ke sirkulasi dalam jumlah besar. Selain hipovolemia, zat-zat ini
memainkan peran penting dalam patogenesis crush syndrome (Genthon &
Wilcox, 2014; Ragopalan, C. S., 2010; Sever, M. S. & R. Vanholder, 2011).
Pemulihan sirkulasi ke daerah yang rusak menyebabkan re-perfusion injury.
Kondisi memburuk setelah gaya kompresi dilepaskan, karena begitu ketegangan
jaringan dilepaskan, terjadi reperfusi pada otot yang iskemik, sehingga
mengganggu mekanisme natrium-kalium-ATPase. Hal ini memungkinkan
kalsium bergerak bebas ke dalam sel. Meningkatnya kalsium intraseluler
menstimulasi aktivitas protease intraseluler, yang akhirnya menyebabkan
kerusakan sel. Sistem oksida nitrat teroksidasi dan menyebabkan vasodilatasi otot
yang berkontribusi pada perburukan hipotensi (Ragopalan, C. S., 2010) (Genthon
& Wilcox, 2014).
Pada akhirnya, proses ini melepaskan produk degradasi mioglobin, asam
laktat, asam urat dan enzim otot seperti kreatinin fosfokinase dan aldolase, selain
ion kalsium, kalium dan fosfat ke dalam sirkulasi. Mioglobin disaring melalui
glomerulus, tetapi begitu ambang ginjal terlampaui, ia mengendap dalam tubulus

23
distal yang menyebabkan obstruksi. Vokonstriksi arteriol aferen yang diinduksi
oleh produk degradasi mioglobin menambah kerusakan tubulus (Ragopalan, C. S.,
2010) (Genthon & Wilcox, 2014).
Kadar asam laktat yang meningkat terkoordinasi dengan baik saat iskemia
otot, tetapi secara umum serum kreatinin fosfokinase adalah indikator penting dari
kerusakan otot [4]. Tampilan klinis, durasi dan beratnya oliguria dan kerusakan
ginjal tidak berhubungan dengan tingkat keparahan kerusakan otot. Otot-otot
bengkak, keras, dingin, tidak peka dan nekrotik. Ginjal juga cenderung edematosa
dan menunjukkan peningkatan volume. Kalium yang dilepaskan dalam sirkulasi
menyebabkan perubahan irama jantung. Pada akhirnya, pasien mengalami syok
yang mempengaruhi pertukaran gas pernapasan karena edema paru-paru. Proses
ini adalah mengatur terjadinya ARDS (Ragopalan, C. S., 2010).
Efek Kardiovaskular
Setelah gaya kompresi dilepaskan, isi seluler, termasuk kalium, fosfor, dan
asam urat, dilepaskan ke dalam sirkulasi dan mempercepat gangguan
metabolisme. Sebaliknya, kerusakan dinding sel memungkinkan kalsium dan
natrium mengalir ke dalam sel, menyebabkan hipokalsemia dan hiponatremia.
Temuan langsung yang mengancam jiwa dari crush syndrome untuk banyak
pasien adalah hiperkalemia yang menyebabkan perubahan elektrokardiograf
(EKG) berupa fibrilasi ventrikel atau asistol. Disritmia berkembang <1 jam,
diperburuk dengan perkembangan asidosis laktat dan pergeseran kalsium yang
cepat. Oleh karena itu pemantauan EKG Prompt merupakan prioritas pada pasien
crush injury dibandingkan pada trauma lainnya (Genthon & Wilcox, 2014).
Pasien sering mengalami syok dalam beberapa jam pertama setelah ekstricasi.
Dengan pelepasan, cairan intravaskular mengalir ke kompartemen intraseluler,
dan daerah yang cedera mulai menyita cairan dalam jumlah besar. Tungkai dapat
menampung hingga 12 L cairan di kompartemen yang besar. Syok distributif juga
dapat berkembang dari pelepasaninflamasi mediator karena cedera reperfusi.
Hipovolemia selanjutnya dapat menyebabkan iskemia dan kematian sel. Asidemia
sering menyertai gangguan metabolisme ini, sebagian besar disebabkan oleh
hipoperfusi yang berkelanjutan (Genthon & Wilcox, 2014).

24
Efek Ginjal
Meskipun disritmia adalah masalah yang segera timbul pada crush syndrome,
efek ginjal adalah komplikasi yang paling serius. Cedera awal pada ginjal sebelum
dilepaskannya gaya kompresi sebagian besar disebabkan oleh penurunan volume
darah sirkulasi ke ginjal. Selain itu, pelepasan mioglobin ke dalam sirkulasi
sistemik berkontribusi terhadap cedera ginjal lanjut. Protein heme yang ditemukan
dalam mioglobin memiliki beberapa efek nefrotoksik. Pertama, efek pembilasan
oksida nitrat oleh mioglobin menyebabkan vasokonstriksi, yang memperburuk
sirkulasi prerenal. Heme juga bersifat sitotoksik langsung, karena zat besi pada
myoglobin cenderung mengkatalisasi pembentukan lebih banyak radikal bebas,
yang mengarah pada kegagalan intrarenal, terutama di tubulus proksimal.
Terakhir, ginjal menyaring mioglobin dan mengendap dengan protein Tamm-
Horsfall di tubulus, yang mengarah ke pembentukan cast intraluminal. Cast
tubular menyebabkan obstruksi dan diduga meningkatkan tekanan intraluminal,
sehingga mengurangi filtrasi glomerulus (Genthon & Wilcox, 2014).
Meskipun mioglobin bertanggung jawab atas kerusakan nefron, kadar CK
biasanya diikuti sebagai penanda kerusakan otot. CK mulai meningkat dalam
waktu 12 jam dari cedera dan memiliki paruh 1,5 hari, memuncak dalam 1-3 hari,
dan konsentrasi CK dapat mencapai level> 30.000 U / L. Setelah CK mencapai
level> 5000 U / L, pasien memiliki peluang hampir 20% untuk mengembangkan
AKI (Genthon & Wilcox, 2014).
Efek Pernafasan
Pasien dengan crush injuries memiliki risiko sindrom gangguan pernapasan
akut (ARDS) dari mediator inflamasi. Selain itu, selama pengobatan gagal ginjal
akibat rhabdomyolysis dan syok, pasien sering menerima volume kristaloid yang
sangat besar, sehingga meningkatkan risiko edema paru (Genthon & Wilcox,
2014).
Efek Hematologis
Karena peradangan sistemik, crush syndrome dikaitkan dengan koagulasi
intravaskular diseminata (DIC), dimungkinkan terjadi karena peningkatan kadar

25
tromboplastin jaringan. Pasien dapat mengalami depresi trombosit karena
konsumsi DIC-related (Genthon & Wilcox, 2014).
Infeksi
Pasien juga berisiko mengalami infeksi dan sepsis berikutnya, terutama ketika
pasien memerlukan fasciotomi sebagai penanganan sindrom kompartemen.
Sumber infeksi yang paling umum yaitu pseudomonal dan acinetobacter (Genthon
& Wilcox, 2014).
Sindrom Kompartemen
Otot lurik terletak di dalam "kompartemen" yang dibentuk oleh fasia yang
kaku. Biasanya tekanan kompartemen cukup rendah, yaitu 0-20 mmHg.
Peningkatan tekanan kompartemen yang mengganggu dan menghambat fungsi
jaringan disebut dengan sindrom kompartemen (Sever, M. S. & R. Vanholder,
2011).
Pada crush injury, setelah gaya kompresi dilepaskan, ekstremitas mulai
membengkak dan tekanan kompartemen dapat melebihi tekanan perfusi, hingga
menyebabkan sindrom kompartemen. Sindrom kompartemen merupakan entitas
klinis yang berbeda dari crush injury dan crush sydrome, walaupun kondisinya
sangat berkaitan dan seringkali bersamaan. Sindrom kompartemen mengacu pada
hilangnya perfusi karena peningkatan tekanan dalam ruang tertutup, yang
menyebabkan iskemia otot. Tekanan kompartemen sebesar 30 mmHg atau
perbedaan tekanan diastolik dan tekanan kompartemen <30 mmHg menyebabkan
iskemia jaringan yang kritis dan berkembang menjadi nekrosis. Sindrom
kompartemen menyebabkan peningkatan kerusakan otot, dengan melepaskan
lebih banyak mioglobin dan kalium ke dalam sirkulasi (Genthon & Wilcox,
2014).

2.2.3 Gambaran Klinis


Crush syndrome dapat disebabkan oleh banyak mekanisme; jadi riwayat yang
baik penting dalam menciptakan kecurigaan klinis. Oleh karena itu, korban
trauma yang tidak sadar, menimbulkan tantangan klinis tertentu.

26
Pembebesan gaya kompresi pada pasien dapat dilakukan dalam beberapa jam.
Pembebasan tersebut dapat menyebabkan kolaps hemodinamik dan henti jantung
karena berbagai mekanisme sindrom reperfusi. Pasien biasanya selamat dari
pembebasan ('rescue death') jika pengobatan resusitasi dan pemantauan telah
dimulai ketika pasien masih terperangkap. Tungkai mulai membengkak hanya
beberapa jam setelah ekstrikasi tetapi selama beberapa hari kemudian dapat
menyebabkan rasa sakit yang luar biasa dan risiko tinggi sindrom kompartemen.
Kita tahu bahwa pasien dengan trauma batang tubuh memiliki tingkat
kematian yang lebih tinggi seperti halnya pasien dengan trias trauma mematikan:
asidosis, koagulopati dan hipotermia (Oda et al., 1997b; Gentilello dan Pierson,
2001). Perkembangan ARF juga terkait dengan kelangsungan hidup yang buruk.
Kemungkinan mengembangkan ARF sebanding dengan massa otot rangka yang
dihancurkan, besarnya kekuatan yang menghancurkan dan lamanya waktu
hancurnya (Michaelson, 1992; Shigemoto et al., 1997; Kracun dan Wooten, 1998;
Porter dan Greaves, 2003). Pasien dihancurkan sangat singkat oleh kekuatan
besar, seperti pejalan kaki yang ditabrak oleh kendaraan, tidak sering pergi untuk
mengembangkan sindrom crush (Michaelson, 1992; Porter dan Greaves, 2003).
Waktu dari cedera hingga kematian sel bervariasi dengan kekuatan kompresi yang
terlibat. Otot rangka dapat mentolerir iskemia hingga 2 jam tanpa cedera
permanen. Dari 2-4 jam, beberapa kerusakan sel reversibel terjadi dan pada 6 jam
nekrosis jaringan ireversibel umumnya terjadi (Malinoski et al., 2004).
Insiden ARF pada 372 pasien dengan sindrom crush yang disebabkan oleh gempa
Hanshin-Awaji adalah 50,5%, 74,7% dan 100% untuk mereka yang masing-
masing memiliki satu, dua dan tiga tungkai yang hancur (Oda et al., 1997b).
Insiden GGA akibat rhabdomiolisis dari berbagai penyebab telah dilaporkan
berkisar antara 0–67% dalam berbagai pengaturan klinis tetapi sebagian besar
angka penawaran sekitar 15-20% (Ward, 1988; Brody et al., 1990; Sinert et al.,
1994; Goldfarb dan Chung, 2002; Fernandez et al., 2005). Angka-angka ini
memburuk setelah bencana massal karena keterlambatan penyelamatan yang tak
terhindarkan. Kehadiran sepsis dikaitkan dengan tingkat kelangsungan hidup yang

27
sangat buruk jika memperparah sindrom crush dengan ARF (Cossio, 1977;
Rainford, 1978; Ward, 1988).
Diagnosis dari crush crush dapat dibuat ketika rhabdomyolysis menyebabkan
manifestasi sistemik seperti hipovolemia, gangguan elektrolit dan mineral,
mioglobinuria dan oligo-anuria (keluaran urin 520 mL / jam, urea 440 mg / dL
dan kreatinin 42 mg / dL) (Ensari et al ., 2002). Sebagian besar makalah yang
ditinjau menggunakan serum creatine kinase (CK) lebih besar dari 1000 U / L
(atau lima kali batas maksimum laboratorium normal) untuk secara klinis
mendiagnosis rhabdomyolysis.
Pengamatan dasar harus dipantau pada semua korban kecelakaan termasuk
tekanan darah, detak jantung, laju pernapasan, dan saturasi oksigen. Output urin
dan pemantauan jantung terus menerus harus dimulai sedini mungkin (Sahjian dan
Frakes, 2007). Hiperkalemia (dengan kadar kalium (Kþ) lebih dari 7-9,5 mEq / L),
hipokalsemia dan oliguria adalah tanda-tanda klinis awal yang dapat
mengendapkan arrythmias dan henti jantung dalam 1-2 jam setelah pembebasan
(Allister, 1983; Better et al., 1992 ; Lebih baik, 1999). Kadar kalium serum harus
diukur 3-4 kali sehari dalam beberapa hari pertama setelah masuk karena sebagian
besar kematian dini disebabkan oleh hiperkalemia atau hipovolemia (Oda et al.,
1997b; Sever et al., 2003). Michaelson et al.
(1984) merekomendasikan pengukuran elektrolit dan osmolalitas darah dan urin,
serta gas darah, setiap 6 jam. Respirasi anaerobik otot rangka dan organ-organ lain
menyebabkan asidosis metabolik dengan peningkatan serum laktat. Myoglobin
yang dilepaskan dari otot yang hancur disaring di ginjal dan memiliki paruh hanya
3 jam (dibandingkan dengan CK yang memiliki paruh 1,5 hari). Konsentrasi
mioglobin dalam darah dapat dibandingkan dengan yang ada di urin untuk
melacak jalannya sindrom crush dengan mengukur produksi mioglobin versus
pembersihan (Sahjian dan Frakes, 2007). Muckart et al. (1992) mendalilkan
bahwa tingkat bikarbonat vena 517 mmol / L di hadapan mioglobinuria dikaitkan
dengan pengembangan GGA (Shigemoto et al., 1997).
Beberapa penelitian telah meneliti nilai prognostik serum CK. Pengukuran lebih
besar dari 500, 5000, 16 000 dan 75 000 U / L semuanya telah dilaporkan terkait

28
dengan pengembangan ARF (Ward, 1988; Oda et al., 1997a, b; Brown et al.,
2004). Tinjauan retrospektif kadar CK pada 2083 pasien trauma oleh Brown et al.
(2004) mengidentifikasi level puncak CK lebih dari 5000 U / L sebagai penanda
terbaik secara statistik. Desain kohort historis oleh Ward pada tahun 1988
mengembangkan model prediksi ARF dalam rhabdomyolysis (dari semua
penyebab) dengan menggunakan analisis regresi logistik ganda berdasarkan 171
pasien (Ward, 1988). Telah dipostulatkan bahwa kadar CK serum puncak, kalium
dan fosfor mencerminkan tingkat kerusakan otot daripada pembersihan ginjal
karena mereka secara kasar dinaikkan saat presentasi dan sebelum ARF
berkembang, umumnya pada hari kedua. Kadar albumin serum mencerminkan
kesehatan umum pasien dan, karenanya, kerentanan terhadap GGA. Kehadiran
dehidrasi pada presentasi juga dimasukkan dalam model dan mereka
merekomendasikan pemantauan tekanan baji kapiler paru untuk penilaian yang
akurat. Hematokrit lebih dari 50% pada presentasi adalah ukuran lain yang baik
dari tingkat dehidrasi dan kerentanan terhadap GGA.
Ulasan grafik retrospektif oleh Fernandez et al. (2005) menunjukkan bahwa tidak
ada pasien yang mengembangkan ARF jika kreatinin serum awal mereka kurang
dari 1,7mg / dL. Mereka juga menyarankan bahwa serum kalium, CK awal, pH
urin, dan berat jenis tidak secara statistik merupakan prediktor signifikan untuk
mengembangkan ARF, sedangkan serum bikarbonat yang rendah, peningkatan
urea dan kreatinin serum, hipokalsemia, dan hematuria pada dipstick adalah
prediktor yang baik secara independen. Dalam sebuah studi oleh Gabow et al.
(1982), puncak kreatinin, puncak kalium, puncak fosfor, asam urat puncak dan
tingkat kalsium secara statistik berbeda antara pasien dengan rhabdomyolysis
yang melakukan, dan tidak, mengembangkan ARF.
Kehadiran mikroalbuminuria juga bisa menjadi indikator prognostik yang buruk
dalam pengembangan ARF (Porter dan Greaves, 2003). Amilase serum yang
meningkat dapat mengindikasikan vasokonstriksi splanknikus; jadi mungkin dapat
memprediksi perkembangan sindrom respons inflamasi sistemik (SIRS), ARDS
dan MOF (Odeh, 1991; Porter dan Greaves, 2003). Banyak sistem penilaian telah
dikembangkan untuk memprediksi hasil dan memandu manajemen pasien trauma.

29
Sistem berbasis fisiologis meliputi Skor Koma Glasgow (GCS), Skor Trauma
Direvisi (RTS), skor Fisiologi Akut dan Skor Kesehatan Kronis APACHE), skor
Penilaian Kegagalan Organ Berurutan (SOFA) dan skor Sindrom Respons
Inflamasi Sistemik (SIRS) . Sistem penilaian berdasarkan anatomi meliputi Skor
Cedera Singkatan (Singkatan), Skor Keparahan Cedera (ISS), Skor Keparahan
Cedera Baru (NISS), Profil Anatomi (AP), Indeks Trauma Perut Menembus
(PATI) dan Klasifikasi Internasional Cedera Severity Score (ICISS) yang berbasis
Penyakit (ICD). Sistem penilaian yang menggabungkan konsep fisiologis dan
anatomi meliputi A Severity Characterization of Trauma (ASCOT) dan TRISS,
yang merupakan kombinasi dari RTS dan ISS (Pohlman dan Bjerke, 2007).
Semua sistem penilaian ini bisa menjadi tambahan yang berharga bagi manajemen
tetapi dengan onset dan perkembangan gejala dan tanda-tanda yang berbahaya
pada sindrom crush, kecuali jika skor sering direvisi, dokter tidak boleh
mengandalkan mereka sendirian. Brown et al. (2004) menemukan bahwa
kombinasi age455, ISS416 dan CK45000 dikaitkan dengan probabilitas 41% dari
gagal ginjal dibandingkan dengan probabilitas 3% dengan tidak adanya ketiga
faktor risiko ini.
Satu penelitian terbaru oleh Amoros et al. (2007) mencoba membandingkan
klasifikasi NISS dari pasien yang tiba di rumah sakit dengan klasifikasi cedera
yang sebelumnya dilakukan oleh Polisi. Mereka menunjukkan bahwa klasifikasi
oleh Polisi terlalu sering untuk menggunakan data nasional tentang kecelakaan
lalu lintas jalan dengan andal untuk memprediksi hasil.
Berbagai indikator prognostik potensial yang dilaporkan dalam literatur
dirangkum dalam Tabel 1. Kombinasi riwayat yang baik, pemantauan dasar dan
tren dalam uji laboratorium pada serum dan urin dapat memberikan informasi
prognostik yang memadai dan memandu pengobatan.

Tungkai yang terganggu ditandai dengan pulseless, kemerahan, bengkak, dan


melepuh; sensasi dan kekuatan otot bisa hilang. Demam, aritmia jantung,
pneumonia, urin berwarna ‘tea or cola’, oliguria, dan gagal ginjal adalah
30
gambaran klinis berdasarkan urutan kejadian. Mual, muntah, agitasi dan delirium
terlihat pada pasien yang mendapat penanganan terlambat (Ragopalan, C. S.,
2010)
Gambaran klinis rhabdomyolysis bervariasi mulai dari elevasi creatine kinase
asimtomatik hingga akut oliguria ATN dan kegagalan multiorgan. Secara
keseluruhan, gambaran klinis dapat digolongkan menjadi: 1) temuan lokal pada
otot yang mengalami trauma, meliputi pain/nyeri, pallor, paresthesia,
paresis/kelumpuhan, puffiness, dan pulselessness/tidak berdenyut (6P), dan 2)
temuan sistemik (crush syndrome). Crush syndrome berkembang pada 30% -50%
kasus rhabdomyolysis, dan gejala termasuk syok hipovolemik, hiperkalemia,
gagal jantung, gagal pernapasan, infeksi, dan, yang terpenting, AKI (Sever, M. S.
& R. Vanholder, 2011).
Semua pasien yang dikenai gaya kompresi harus dianggap memiliki beberapa
kemungkinan terjadinya crush syndrome sampai terbukti sebaliknya. Tim
penyelamat dan tenaga medis harus menjaga indeks kecurigaan yang tinggi
dengan mempertimbangkan hal-hal berikut (Insarag, 2012)
- Mungkin tidak ada tanda-tanda fisik crush injury yang jelas dan pada awalnya
tanda-tanda vital pasien mungkin normal
- Bila ada, tanda-tanda fisik dapat meliputi:
 Kulit berbintik-bintik atau melepuh;
 Edema;
 Urin coklat kemerahan;
 Pulsasi yang tidak ada atau berkurang pada anggota tubuh yang terkena;
 Tanda-tanda umum syok;
- Gejala:
 Disestesia (mis., Parestesia; hipoaestesia; hiperestesia);
 Anestesi;
 Kelumpuhan atau paresis anggota tubuh yang terkena.
 Nyeri:
- Kehadiran dan tingkat nyeri mungkin tidak mencerminkan tingkat
keparahan cedera;

31
- Mungkin diperburuk saat perpindahan / pelepasan;

2.2.4 Diagnosis
Pemeriksaan penunjang
Temuan laboratorium rhabdomyolysis berasal dari urinalisis dan temuan
biokimia. Temuan khas urinalisis yaitu berupa perubahan warna menjadi kotor-
kecoklatan akibat mioglobinuria. Hematuria makroskopik dan proteinuria juga
dapat ditemukan. Gambaran biokimiawi berhubungan dengan peningkatan kadar
zat yang dilepaskan dari otot, seperti urea, kreatinin, fosfat, kalium, dan enzim
otot serta asidosis. Di antaranya, hiperkalemia adalah parameter yang paling kritis
dan mengakibatkan banyak kematian (Sever, M. S. & R. Vanholder, 2011).

2.2.4 Tatalaksana
Tatalaksana Umum (Insarag, 2012):
- Sangat penting diketahui oleh tim penyelamat bahwa ada bahaya apabila
melepaskan gaya kompresi pada pasien;
- Metode dan waktu untuk melepaskan gaya kompresi harus dilakukan dengan
koordinasi antara teknisi penyelamat dan tenaga medis.
- Menghilangkan gaya kompresi juga tidak boleh ditunda karena perburukan
kondisi pada crush sindrom dan sindrom kompartemen sebanding dengan
durasi gaya kompresi;
- Peralatan yang dibutuhkan untuk membebaskan dari gaya kompresi harus
tersedia;
- Metode transportasi harus segera ditentukan;
- Fasilitas kesehatan rujukan harus ditentukan sesegera mungkin.

Pada kasus crush injuries, kita berhadapan dengan rescue, resuscitation,


recognition of the syndrome, treatment and rehabilitation. Rescue harus
terkoordinasi, pasien dirujuk ke tingkat perawatan yang lebih tinggi dengan
fasilitas dialisis. Dianjurkan menggunakan pengikat kalium seperti oral
polystyrene sulfonate sebelum transportasi untuk menghindari kerusakan ginjal.

32
Resuscitation idealnya dimulai di lokasi cedera. Korban sering syok, dan mungkin
kehilangan banyak cairan ekstraseluler ke area terluka. Recognition of crush
syndrome dan treatment melibatkan hubungan erat antara ahli bedah trauma,
dokter, ahli biokimia dan ahli radiologi. Rehabilitation tidak hanya melakukan
rehabilitasi fisik tetapi juga psikiatris yang merupakan proses jangka panjang
(Ragopalan, C. S., 2010).
Prioritas pertama yaitu resusitasi cairan dan berulang-ulang untuk
mengendalikan syok hipovolemik, mencegah AKI, dan dengan demikian
meminimalisir asidosis laktat dan hiperkalemia. Prioritas kedua adalah alkalinisasi
sistemik sebagai cara untuk mengurangi asidosis dan hiperkalemia. Mengurangi
tekanan intracompartement juga penting (Sever, M. S. & R. Vanholder, 2011).

Tatalaksana Medis
Manajemen Cairan
Administrasi cairan tidak hanya bertujuan menggantikan apa yang hilang.
Ada beberapa tujuan pemberian cairan (Insarag, 2012);
- Penggantian cairan sesuai kebutuhan untuk mencapai hemodinamik stabil;
- Pemberian cairan untuk mengkompensasi keluarnya cairan intravaskular ke
ruang interstitial;
- Untuk mempertahankan perfusi ginjal yang adekuat dan pencegahan
kerusakan ginjal. Ini mungkin memerlukan penggunaan volume cairan yang
mungkin melebihi volume yang biasanya diberikan kepada pasien trauma.
- Untuk mengatasi kebutuhan cairan perawatan.

Terapi pada crush syndrome adalah resusitasi cairan dini dengan NS 0,9%.
Memulai resusitasi cairan iv dapat dilakukan dalam 6 jam pertama di tempat
kejadian, bahkan sebelum pembebasan gaya kompresi. Ada banyak variasi dalam
jumlah cairan yang dibutuhkan. Ada yang lebih dari 25 liter NS diberikan dalam
satu hari. NS dapat mengatasi asidosis metabolik, bikarbonat dan laktat atau
bahkan sitrat oral. Sebanyak 50 mmol bikarbonat untuk setiap liter saline isotonik
(Genthon & Wilcox, 2014; Ragopalan, C. S., 2010).

33
Telah disarankan bahwa ketika ekstremitas mendapat gaya kompresi, bila
memungkinkan, berikan infus NS 1 L/jam. Setelah gaya dilepaskan, status hidrasi
harus dievaluasi untuk menentukan volume cairan yang dibutuhkan. Jika tidak ada
cairan intravena yang diberikan sebelum pembebasan gaya kompresi, NS harus
segera diberikan dengan kecepatan 1 – 1,5 mL / jam untuk orang dewasa (15-20
mL / kgBB / jam untuk anak-anak). Setelah korban menerima 6 L cairan, baik
sebelum atau setelah ekstrikasi, keluaran urin dan status volume harus dievaluasi
untuk menentukan jumlah cairan selanjutnya yang akan diberikan (Sever, M. S. &
R. Vanholder, 2011; Insarag, 2012).
Idealnya, output urin harus dipertahankan >200-300 mL/jam. Pasien mungkin
memerlukan 6-12 L per hari untuk mempertahankan output ini. Setelah
diresusitasi, cairan dapat diganti ke saline hipotonik (Genthon & Wilcox, 2014).
Pilihan cairan (Sever, M. S. & R. Vanholder, 2011).
 saline isotonik efektif untuk penggantian volume yang hilang dan pencegahan
AKI. NS merupakan cairan yang paling banyak tersedia dan memiliki efek
samping paling rendah.
 Jika tersedia, 5% dekstrosa + larutan saline isotonik lebih baik diberikan,
karena memberikan sejumlah kalori dan mengurangi hiperkalemia.
 Sodium bikarbonat, ditambahkan ke setengah larutan isotonik mungkin efektif
untuk alkalinisasi urin di atas 6,5 untuk mencegah pengendapan mioglobin dan
asam urat di tubulus ginjal, untuk memperbaiki asidosis metabolik dan
mengurangi hiperkalemia. Larutan alkali harus diberikan kepada semua korban
bencana skala kecil, kecuali ada alkalosis simptomatik, yang ditandai dengan
adanya iritabilitas neuromuskuler, somnolen, atau paresis. Namun, alkalinisasi
yang berlebihan memiliki kelemahan, seperti alkalosis simptomatik, deposisi
kalsium fosfat dalam jaringan lunak, memburuknya hipokalsemia, dan volume
berlebih. Rata-rata kebutuhan bikarbonat sebanyak 200-300 mEq/hari.
 Mannitol memiliki efek diuretik, antioksidan dan vasodilatasi dan, menurunkan
tekanan otot intrakompartemen. Mannitol juga dapat berguna dalam kasus
crush injury dengan meningkatkan volume ekstraseluler, meningkatkan urin
output, dan mencegah pembentukan cast pada tubulus ginjal. Namun, dengan

34
mempertimbangkan efek samping (gagal jantung kongesti dalam kasus
overdosis, dan nefrotoksik) serta laporan ketidakkonsistenan efikasi pada
rhabdomyolysis traumatis, tidak ada konsensus mengenai administrasi
mannitol. Mannitol tidak dianjurkan dalam pasien anuria. Jika manitol akan
digunakan, 60 mL manitol 20% (keseluruhan 12 g, atau 200 mg / kg) diberikan
IV selama 3-5 menit sebagai dosis uji untuk mengevaluasi urin output. Jika
tidak ada peningkatan output urin secara signifikas, manitol tidak boleh
dilanjutkan. Namun, jika output urin meningkat setidaknya 30-50 mL / jam di
atas tingkat garis dasar, manitol dapat ditambahkan ke solusi yang disebutkan
di atas. Dosis manitol yang biasa adalah 1-2 g / kg per hari (total, 120 g / hari)
dengan laju 5 g / jam.
 Koloid dapat digunakan sebagai manajemen awal untuk ekspansi volume
intravaskular pada pasien yang berisiko atau dengan AKI. Di sisi lain,
kristaloid umumnya lebih disukai daripada koloid untuk resusitasi cairan
mengingat tidak ada manfaat utama dari koloid pada morbiditas dan mortalitas,
risiko efek samping yang lebih tinggi seperti anafilaksis atau kelainan
koagulasi, risiko AKI pada dosis tinggi, dan biaya yang lebih tinggi.

Rekomendasi umum lainnya (Insarag, 2012):


 Jauhkan cairan dari lingkungan dingin;
 Gunakan tabung ekstensi IV untuk memudahkan pemberian cairan dan obat-
obatan;
 Gunakan double line akses intravena bila memungkinkan
 Patuhi prosedur yang steril sejauh mungkin;
 Pemantauan status hemodinamik menggunakan output urin mungkin sulit
untuk dinilai di lingkungan USAR, namun:
o Motivasi pasien untuk dipasang kateter
o Catat jumlah produksi urin, warna
o tidak dianjurkan kateterisasi kandung kemih dalam ruangan dengan
fasilitas terbatas. Sebagai alternatif pertimbangkan penggunaan kateter
kondom pada pasien pria.

35
o Waspadai pasien dengan kandung kemih penuh yang tidak lagi
memproduksi urin, satu sampel urin tidak dapat dijadikan patokan
dalam analisis fungsi ginjal
o Urinalisis harus dilakukan, secara khusus memperhatikan warna urin, dan
mendeteksi casts.

Dalam kasus anuria setelah hipovolemia teratasi, semua cairan harus dibatasi
0,5-1 L / hari di samping volume kehilangan cairan yang diukur atau diperkirakan
pada hari sebelumnya (Sever, M. S. & R. Vanholder, 2011).
Jika resusitasi cairan tidak dapat dilakukan pada periode awal, AKI intrarenal,
hampir selalu karena nekrosis tubular akut (ATN), berkembang. ATN bisa non-
oliguric; Namun, sebagian besar ditandai dengan periode oliguria awal yang
diikuti oleh poliuria. Perawatan pada periode oliguria termasuk perawatan
konservatif dan dialisis. Intervensi dalam pendekatan konservatif termasuk
menghindari nefrotoksik, mempertahankan cairan-elektrolit, keseimbangan asam-
basa dan mengatur diet yang sesuai (protein rendah / kalium dan kalori yang
cukup) (Sever, M. S. & R. Vanholder, 2011).
Perawatan dalam periode poliurik termasuk meresepkan diet yang tepat dan
menjaga keseimbangan asam-basa dan cairan-elektrolit. Jika cairan tidak
diberikan, perfusi ginjal dapat terganggu lagi, dan AKI prerenal atau bahkan
intrarenal dapat muncul kembali (Sever, M. S. & R. Vanholder, 2011).
Obat-obatan untuk mengatasi hiperkalemia meliputi:
- Sodium Bikarbonat 8,4%
- Kalsium 10%
- Agonis beta-2
- Dekstrosa dan insulin intravena;
- Polystyrene sulfonate atau resonium kalsium

Pemeriksaan ketat dengan EKG untuk evaluasi hiperkalemia.Monitor serum


elektrolit diperlukan untuk memantau jumlah kalium, kalsium dan fosfor. Analisis
gas darah diperlukan untuk evaluasi asidosis metabolik. Kadar kalium harus

36
dipantau 3-4 kali sehari dan periksa kembali sering pada fase awal resusitasi.
Myoglobin dapat diukur dalam serum dan urin, dll. Selain itu, CK harus diperiksa
secara serial. Tes fungsi hati harus dikirim untuk mengevaluasi syok hati dan
koagulopati (Genthon & Wilcox, 2014) (Ragopalan, C. S., 2010).

Diuresis
Mempertahankan fungsi ginjal adalah hal utama manajemen crush injuries.
Pada crush syndrome, urin outpun minimal 300 mL/jam - yang berarti minimal 12
liter/hari dan cairan di dalam otot yang rusak diperkirakan sebanyak 4 liter.
Sebagian besar protokol menyerukan penambahan manitol untuk tiga tujuan,
sebagai diuretik osmotik, sebagai pemulung radikal bebas, dan sebagai agen
osmotik, untuk mengurangi pembengkakan pada anggota tubuh yang terkena dan
mengurangi risiko sindrom kompartemen. Jika aliran urin >20 mL/jam,
dibutuhkan sebanyak 50 mL 20% manitol (total 1-2 g / kg / hari, diberikan pada
laju 5 g / jam) dapat ditambahkan ke setiap liter infus. Mannitol tidak boleh
diberikan kepada pasien yang anuria (Genthon & Wilcox, 2014). Namun, manitol
tidak lebih unggul daripada cairan IV. Brown menunjukkan bahwa bikarbonat dan
manitol tidak mencegah gagal ginjal pada pasien dengan CK > 5000 U / l. Loop
diuretik harus dihindari agar tidak terjadi ledakan aktivitas ginjal yang
(Ragopalan, C. S., 2010).
 Furosemide memiliki efek samping heamodynamic yang tidak
menguntungkan. Selain itu, dapat menyebabkan pengasaman urin yang
menetralkan upaya alkalinisasi urin melalui pemberian natrium bikarbonat.
Karena itu penggunaannya dalam lingkungan ini sangat tidak dianjurkan.
(Insarag, 2012)

Dialisis
Meskipun resusitasi memadai, sepertiga pasien dengan rhabdomyolysis tetap
dapat berkembang menjadi gagal ginjal akut (GGA). Dialisis kini dijadikan
sebagai salah satu penanganan pada crush syndrome. Indikasi dialisis tidak
berbeda dari praktik sehari-hari: korban crush injury harus didialisis dengan

37
adanya gejala klinis seperti hipertensi, volume berlebihan, anuria, mual, dan / atau
kelainan biokimia seperti uremia berat, hiperkalemia, asidemia, kadar kreatinin
serum, BUN dan kadar bikarbona. Kalium di atas 7 meq/l adalah faktor prediktif
independen dan penting untuk dialisis. Setidaknya dua kali atau bahkan tiga kali
dialisis per hari diperlukan selama 15 hari. Dialisis profilaksis dapat dilakukan
pada pasien dengan risiko tinggi hiperkalemia. Oleh karena itu penting melibatkan
nephrologist atau setidaknya seorang dokter dalam tim (Genthon & Wilcox, 2014;
Ragopalan, C. S., 2010; Sever, M. S. & R. Vanholder, 2011).
Oksigen hiperbarik.
Pada tekanan tinggi, kadar oksigen meningkat dalam plasma, viabilitas jaringan
meningkat, beberapa vasokonstriksi terjadi sehingga aliran vaskuler keluar dari
kompartemen vaskular menurun sehingga mengurangi edema jaringan. Proses
tersebut secara langsung membantu penyembuhan luka melalui proliferasi
fIbroblast. Akhirnya dapat mengurangi pertumbuhan bakteri anaerob pada otot
nekrosis. Dosis yang diberikan sekitar 2,5 atmosfer selama sekitar satu setengah
jam dua kali sehari selama seminggu(Ragopalan, C. S., 2010)
Analgesia yang tepat dan cukup tidak hanya penting untuk kenyamanan
pasien, tetapi juga dapat membantu membebaskan gaya kompresi. Pemilihan
analgesik berdasarkan ruang lingkup praktik, durasi tindakan, eliminasi ginjal,
profil hemodinamik dan kebutuhan akan airway (Insarag, 2012).
Antibiotik spektrum luas nephrotoxic tidak dianjurkan kecuali ada luka
terbuka. Disarankan menggunakan antibiotik spektrum luas (termasuk mengatasi
bakteri anaerob) secara IV maupun IM pada jaringan sehat (Insarag, 2012).

2.2.6 Komplikasi
Setelah pembebeasan gaya kompresi, kondisi selanjutnya dapat berkembang
mengalami sindrom kompartemen. Beberapa studi terakhir tidak menyarankan
fasciotomi di lingkungan lapangan karena tingginya tingkat sepsis dan komplikasi
perdarahan, yang mungkin mengancam jiwa. Literatur mendukung penggunaan
manitol sebagai pendekatan non-bedah untuk mengurangi tekanan
intracompartmental.

38
Pembedahan laparotomi dan torakotomi. Tanda-tanda peningkatan tekanan
kompartemen merupakan indikasi fasciotomi. Early fasciotomi lebih baik, karena
fasciotomi setelah 8-10 jam memerlukan amputasi. Beberapa penelitian
menyebuktkan bahwa ketika seorang pasien membutuhkan fasciotomi,
kemungkinan besar ia akan membutuhkan terapi penggantian ginjal (Ragopalan,
C. S., 2010)
Fasciotomi mungkin memiliki efek menguntungkan, karena dekompresi dapat
mengembalikan sirkulasi dan mengurangi massa otot nekrotik, sehingga
mencegah AKI dan kerusakan neurologis yang ireversibel. Namun,
kekurangannya yaitu risiko infeksi dan cacat jangka panjang. Pada korban crush
syndome gempa Marmara, keseluruhan 397 fasciotomi dilakukan pada 323 pasien;
25% dari pasien mengalami sepsis, sementara hanya 13% dari korban non-
fasciotomi menderita komplikasi ini. Tingkat kematian pasien dengan sepsis lebih
tinggi dibandingkan dengan korban non-septik. Meskipun dapat sangat
bermanfaat, fasciotomy adalah intervensi berisiko tinggi, oleh karena itu harus
dilakukan hanya dengan kriteria obyektif, seperti pengukuran tekanan
intracompartement (Sever, M. S. & R. Vanholder, 2011).

39
BAB III
KESIMPULAN

Resusitasi awal dalam manajemen pra-rumah sakit, bahkan sebelum


pembebasan gaya kompresi, jika mungkin, direkomendasikan untuk mengurangi
komplikasi crush syndrome. Resusitasi yang sedang berlangsung dengan cairan iv
adalah pengobatan utama, dan dokter gawat darurat harus mempertimbangkan
konsultasi ginjal dini. Pemantauan ketat pasien pada perkembangan syok,
gangguan metabolisme, dan rhabdomyolysis sangat penting. Sindrom
kompartemen adalah komplikasi umum, dan fasciotomi segera harus dilakukan
ketika sindrom kompartemen sudah ditegakkan.
Resusitasi cairan segera, diuresis dengan fasciotomi yang dilakukan pada
waktu yang tepat dengan pemantauan ketat enzim dan elektrolit akan
menyelamatkan lebih banyak anggota gerak dan dapat mengurangi risiko gagal
ginjal dan kematian.

40
DAFTAR PUSTAKA
.

Drake, R. L., A. W. Vogi, A. W. M. Mitchell. 2012. Dasar-Dasar Anatomi


Gray. Singapore: Elsevier

Genthon, A. S. R. Wilcox. 2014. Crush Syndrome: A Case Report and Review of


the (2) Literature. The Journal of Emergency Medicine. 46(2): 313-319.

Insarag. 2012. The Medical Management of the Entrapped Patient with Crush
Syndrome. Insarag

Queensland. 2016. Clinical Practice Guidelines: Trauma / Crush Injury.


Quensland: Quensland Government. 245-247

Ragopalan, C. S. 2010. Crush Injuries and the Crush Syndrome. Department of


Surgery, Armed Forces Medical College. 66: 371-320

Sever. M. S., R. Vanholder. 2011. Management of Crush Syndrome Casualties


after Disasters. Rambam Maimonides Medic al Journal. 2: 1-12

Solomon, Luis, Warwick, David. 2010. Apley’s System of Orthopaedics and


Fractures, 9th ed., London: Hodder Arnold.

41

Anda mungkin juga menyukai