Anda di halaman 1dari 34

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi

2.1.1 Vertebrae Lumbalis

Vertebra lumbalis merupakan struktur yang paling banyak menerima beban

pada sistem skeletal (Hamill et al., 2019). Vertebra lumbalis memiliki lima ruas

tulang belakang yang posisinya cekung ke depan (Saputra & Dwisang, 2014).

Setiap ruas tulang belakang tersusun atas , badan saraf, lengkungan saraf yang

terdiri atas dua pedikel, dua lamina, dua prosesus,satu prosesus spinosus dan

empat permukaan sendi. Vertebra lumbalis memiliki ukuran yang sangat besar

dan berbentuk agak kerucut yang berfungsi sebagai tempat perlengketan

ligamentum iliolumbale untuk menghubungkan processus transversus dengan

dengan tulang pelvis (Drake L et al., 2014).

Gambar 2. 1 Struktur Tulang Lumbal ( Approach & Cleland, 2011)


2.1.2 Vertebrae Sakralis

Sacrum merupakan tulang tunggal tulang tunggal yang mewakili 5 vertebrae

sacrales yang menyatu. Sacrum berbentuk segitiga dengan apex yang mengarah ke

inferior, dan melekuk sehingga memiliki permukaan posterior yang cembung.

Bagian atas sacrum bersendi dengan L5 dan dibawahnya bersendi dengan

dibawahnya dengan coccyx. Sacrum memiliki memiliki dua fascies besar

berbentuk L, satu pada tiap permukaan lateralnya, untuk bersendi dengan tulang

pelvis (Drake L et al., 2014).

Gambar 2. 2 Struktur Tulang Sakrum (Tortora, 2017)

2.1.3 Diskus Intervertebralis

Diskus intervertebralis merupakan sendi yang menghubungkan tulang –

tulang vertebra pada tulang belakang (Suyasa, 2018). Diskus intervertebralis

terdiri atas annulus fibrosus di bagian luar, yang mengelilingi nucleus pulposus di

bagian tengahnya. Annulus fibrosus terdiri dari cincin kolagen pada bagian luar

mengelilingi area yang lebih luas yang tersusun atas jaringan fibrokartilago
dengan konfigurasi berupa lempengan-lempengan tipis atau lamellar. Susunan

serat-serat tersebut berfungsi membatasi rotasi antar vertebrae. Nukleus

pulposusus mengisi bagian pusat discus intervertebralis, memiliki konsistensi

seperti gel, dan berfungsi meredam kompresi antar vertebrae (Drake L et al.,

2014).

2.1.4 Ligamen Vertebrae Lumbalis

Sendi pada vertebrae diperkuat dan ditopang oleh sejumlah ligamenta, yang

melintas di antara corpus vertebrae dan komponen-komponen arcus vertebrae

Gambar 2. 3 Struktur Diskus Intervertebralis (Neuman, 2010)


yang saling berhubungan. Kolumna Vertebral di dukung oleh beberapa ligamen

yang luas. Ligamen tulang belakang berfungsi untuk membatasi gerak,

mempertahankan lengkungan tulang belakang, dan melindungi sumsum tulang

belakang (Drake L et al., 2014).


Gambar 2. 4 Struktur Ligamen Lumbal (Magee,2014)
Tabel 2. 1 Ligamen Utama Pada Kolumna Vertebralis
Nama ligamen Fungsi
Ligamen Flavium Membatasi gerak fleksi
Ligamen Supraspinous Dan Interspinosus Membatasi gerak fleksi
Ligamen Intertransverse Membatasi gerak lateral fleksi
Ligamen Longitudinal Anterior Menambah stabilitas pada kolumna
vertebralis
Membatasi gerakan ekstensi atau
lordosis yang berlebihan pada regio
cervical dan lumbal
Ligamen Anterior Posterior Menambah stabilitas pada kolumna
vertebralis
Membatasi gerakan fleksi
Memperkuat bagian posterior annulus
fibrosus
(Neuman, 2010)

2.1.5 Otot sekitar lumbalis

Sebagian besar otot pada pinggang sangat mempengaruhi postur dan

pergerakan kolumna vertebralis. Otot pinggang dapat dibagi menjadi otot

eksentrik dan intrinsik. Otot ekstrinsik lapisan superfisial terdiri dari trapezius,

latissimus dorsi, levator scapula dan rhomboid yang menghubungkan anggota

gerak atas dengan kolumna vertebralis. Otot pinggang intrinsik merupakan otot

yang terletak pada lapisan dalam yang yang terdiri dari kelompok otot pada pelvis

ke tulang tengkorak yang berfungsi untuk mempertahankan postur dan dan

mengendalikan pergerakan kepala serta kolumna vertebralis (Suyasa, 2018).


Gambar 2. 5 Otot Penggerak Lumbal (Dagenais & Haldeman,2012)

Tabel 2. 2 Otot Penggerak Lumbal

Gerakan Otot penggerak utama


Fleksi Rectus abdominis, external oblique, internal
oblique
Ekstensi Erector spine, transverospinalis,
interspinales
Lateral fleksi Quadratus lumborum, erector spinae,
internal oblique, external oblique,
Rotasi Ipsilateral : internal oblique
Kontralateral : rectus abdominis, external
oblique, internal oblique, transverse
abdominis.
(Lippert, 2011)

2.1.6 Saraf pada lumbal

Pleksus lumbalis memiliki empat akar saraf lumbal yang terletak pada otot

psoas. Pleksus lumbalis memiliki dua cabang, yaitu saraf femoralis yang bergerak

di bawah ligamentum inguinale melalui sakrum untuk melayani otot depan paha

dan saraf obturatorius yang berada didalam hip melalui foramen obturator yang

berfungsi untuk melayani otot dalam (Netter, 2016).


Gambar 2. 6 Saraf Pada Lumbal ( Dugani et. al, 2017)

Tabel 2. 3 Area Dermatom Pada Lumbal

Akar saraf Area Dermatom


L1 Punggung dan area pangkal paha
L2 Punggung dan paha bagian depan lutut
L3 Punggung dan pantat bagian atas paha dan lutut
bagian depan, dan tungkai bawah bagian medial
L4 Pantat bagian dalam, paha bagian luar, dan
jempol kaki.
L5 Pantat, paha bagian belakang, kaki bagian
bawah dari jari jempol sampai jari tengah dari
jari kaki.
S1 Pantat, paha bagian belakang dan kaki bagian
bawah
(Magee, 2014)

Tabel 2. 4 Area Myotom Pada Lumbar

Akar Saraf Area Myotom


L1 Fleksi Hip

L2 Fleksi Hip

L3 Ekstensi Knee

L4 Dorsi Fleksi Ankle

L5 Ekstensi Jari Jempol

S1 Plantar Fleksi ankle

(Magee, 2014)

2.2 Biomekanik

Pada vertebra lumbal terjadi dua gerakan yaitu osteokinematika dan

artrokinematika. Osteokinematika merupakan pergerakan pada tulang yang

berhubungan dengan tiga bidang gerak tubuh yaitu sagittal, frontal, dan

horizontal. Gerakan yang terjadi adalah gerakan fleksi, ekstensi, lateral

fleksi, dan rotasi. Athrokinematika merupakan gerakan yang terjadi

(Neuman, 2010).

2.2.1 Fleksi

Gerakan fleksi terjadi pada bidang sagital dan terjadi di daerah lumbal

antara L2 dan L3, inferior articular facet L2 kearah superior dan anterior

pada superior articular facet L3 sehingga terjadi perubahan bentuk nucleus

pada gerakan fleksi (Neuman, 2010).

2.2.2 Ekstensi

Gerakan ekstensi terjadi pada bidang sagital dan terjadi di daerah

lumbal antara L2 dan L3, inferior articular facet L2 kearah superior dan
anterior pada superior articular facet L3 sehingga terjadi perubahan bentuk

nucleus pada gerakan ekstensi (Neuman, 2010).

2.2.3 Lateral Fleksi

Gerakan lateral fleksi terjadi pada bidang sagital dan terjadinya

gerakan lateral fleksi merupakan gerakan yang melenturkan tulang belakang

dengan kontraksi otot perut yang menyebabkan punggung bergerak kearah

posterior sehingga mengakibatkan tertekannya badan vertebra pada di sisi

yang lain juga meregang (Neuman, 2010).

2.2.4 Rotasi

Gerakan rotasi terjadi pada bidang transversal dan terjadi pada L1-L2 ke

arah kanan yang terjadi pada articular facet bagian kiri inferior dari L1 yang

mengompresi articular facet bagian superior L2, secara bersamaan articular facet

pada bagian kanan inferior dari L1 mengalami sedikit ditraksi articular facet

bagian superior kanan L2 (Neuman, 2010).

gambar 2. 7 Pergerakan Pada Diskus Intervetebralis ( Tortora, 2014)

Gambar 2. 8 Pergerakan Pada Diskus Intervertebralis (Agur & Dalley, 2017)


2.3 Deskripsi Kasus

2.3.1 Definisi Hernia Nukleus Nulposus

Hernia Nukleus Nulposus (HNP) merupakan kondisi dimana robeknya

seluruh atau sebagian nukleus pulposus bagian tengah diskus intervertebralis

yang lunak dan mirip gelatin terdorong melalui anulus fibrosus (Kowalak et al.,

2017). Berkembangnya pecahan nukleus yang menyebar di anulus akan

melemahkan pertahanan pada herniasi nukleus. HNP kebanyakan terjadi

karena trauma derajat sedang yang berulang mengenai diskus intervertebral

sehingga menibulkan robaeknya anulus fibrosus (Muttaqin, 2012).

2.3.2 Etiologi

Faktor penyebab dari HNP adalah proses perubahan degeneratif dan trauma.

Proses degenerasi dibagi berdasarkan perubahan fibrosa progresif pada nukleus,

berkurangnya susunan cincin anulus fibrosus, dan berkurangnya end-plate

kartilago. Saat nukleus berubah menjadi lebih fibrotik, nukleus mengalami

kehilangan kemampuan untuk menyerap cairan. Kandungan air nukleus pulposus

menjadi berkurang sehingga terjadi penurunan ukuran nukleus. (Kisner & Colby,

2017). HNP kebanyakan terjadi karena adanya suatu trauma derajat sedang yang

berulang mengenai diskus intervertebralis sehingga menimbulkan sobeknya

anulus fibrosus. Pada kebanyakan pasien gejala trauma bersifat singkat, dan gejala

ini disebabkan oleh cedera pada diskus yang tak terlihat selama beberapa bulan

dan tahun. Kemudian pada generasi diskus kapsulnya mendorong ke arah medula

spinalis, atau mungkin ruptur dan memungkinkan nukleus pulposus terdorong


terhadap sakus dural atau terhadap saraf spinal saat muncul dari kolumna spinal

(Noor, 2016).

2.3.3 Patofisiologi

Pada tahap pertama sobeknya anulus fibrosus bersifat sirkumferensial.

Karena adanya gaya traumatik yang berulang, robekan tersebut menjadi lebih

besar dan timbul sobekan radikal. Manifestasi dari robeknya anulus fibrosus

berlanjut adanya penonjolan pada diskus intervertebral yang menekan secara

parsial sisi lateral dari medula spinalis. Kondisi secara progresif berlanjut pada

kondisi herniasi diskus menekan medula spinalis. Suatu gaya presipitasi gaya

traumatic ketika hendak menegakkan badan waktu terpeleset, mengangkat benda

berat, dan sebagainya memberikan respons sobeknya anulus fibrosus yang lebih

berat. Terjadinya herniasi pada nukleus pulposus bisa ke korpus vertebra di atas

atau di bawahnya, bisa juga menjebol langsung ke kanalis vertebralis.

Menjebolnya nukleus pulposus ke kanalis vertebralis berarti bahwa nukleus

pulposus menekan pada radiks yang bersama-sama dengan arteria radikularis

berada dalam bungkusan dura. Hal ini terjadi apabila terjadi penjebolan pada sisi

lateral. Apabila terjadi penjebolan pada bagian medial maka tidak ada radiks yang

terkena. Setelah terjadinya HNP sisa diskus intervertebralis mengalami lisis

sehingga dua korpora vertebrae bertumpang tindih tanpa ganjalan (Noor, 2016).

2.3.4 Klasifikasi Hernia Nukleus Pulposus (HNP)

Protrusi ini dapat digolongkan ke dalam dislokasi grade I dan grade II

dimana jaringan diskus displaced di dalam diskus tetapi cincin fibrosus


disekelilingnya masih intak. Hal ini juga dapat dikategorikan sebagai contained

disk. Protrusi dapat terjadi ke arah tengah (sentral), medial atau paramedial.

Dislokasi jaringan diskus dimana fragmen intraspinal masih berhubungan dengan

diskus tapi masih ditutupi membran ventral epidural merupakan dislokasi grade

III, sedangkan apabila fragmen intraspinalnya mengalami perforasi melewati

membran ventral epidural disebut dislokasi grade IV (terletak "sebagian di dalam

dan sebagian di luar"). Fragmen bebas (dislokasi grade V) terletak bebas di dalam

ruangan epidural dan tidak memiliki hubungan dengan diskus (Suyasa, 2018).

2.3.5 Tanda dan Gejala

HNP ditandai dengan adanya nyeri punggung yang menjalar dari gluteus

hingga ke kaki. Apabila herniasi terjadi sesudah trauma maka yang akan terjadi

adalah terdapat rasa nyeri yang dapat timbul tiba-tiba, kemudian mereda dalam

waktu beberapa hari lalu timbul kembali dengan interval yang lebih pendek serta

intensitas yang bertambah secara progresif. Setelah itu, terjadi nyeri iskiadiku

(iskialgia) yang dimulai sebagai nyeri tumpul di area gluteus. Intensitas nyeri

bertambah pada saat batuk, bersin, atau membungkuk disertai dengan adanya

spasme otot. HNP dapat menyeb abkan gangguan sensorik serta motorik diarea

yang dipersarafi oleh radiks saraf spinal yang terkompresi sehingga dapat

terjadinya artrofi pada otot tungkai (Kowalak et al., 2017).

2.3.6 Komplikasi

2.3.7 Prognosis

2.3.8 Faktor Resiko


HNP sering terjadi pada orang dewasa yang berusia dibawah 45 tahun dan

kebanyakan dialami oleh laki-laki (Kowalak et al., 2017). HNP juga dapat

beresiko pada orang yang melakukan pekerjaan dan aktivitas duduk yang terlalu

lama, mengangkat atau menarik barang yang terlalu berat, sering membungkuk

atau gerakan memutar pada punggung, latihan fisik yang terlalu berat, paparan

pada vibrasi yang konstan seperti pekerjaan seorang supir. Kebiasaan merokok,

kandungan nikotin dan racun-racun lain dapat mengganggu kemampuan diskus

untuk menyerap nutrient yang diperlukan dari dalam darah. Berat badan yang

berlebihan bisa juga menjadi pemicu faktor resiko karena adanya beban ekstra

pada daerah perut yang dapat menyebabkan strain pada punggung bawah

(Mahadewa & Maliawan, 2019).

2.3.9 Diagnosis Banding

2.4 Penatalaksanaan Fisioterapi

2.4.1 Pengkajian Fisioterapi

1) Pemeriksaan Subjektif

(1) Identitas Pasien

Data tentang identitas penderita, tidak hanya memberikan informasi tentang

siapakah penderita , dan masalah apakah yang mungkin ada. Identitas pada pasien

meliputi nama, usia, jenis kelamin, agama, dan pekerjaan (Widiarti, 2016). Pada

pasien dengan kondisi HNP biasanya kebanyakan terjadi pada laki – laki yang

berusia dibawah 45 tahun (Kowalak et al., 2017). Pekerjaan dan aktivitas seperti

duduk yang terlalu lama, mengangkat atau menarik barang – barang yang berat ,

sering membungkuk atau gerakan memutar pada punggung, latihan fisik yang
terlalu berat, dan paparan vibrasi yang konstan seperti pekerjaan seorang supir

(Mahadewa & Maliawan, 2019).

2) Data Medis Rumah Sakit

Pemeriksaan penunjang merupakan suatu pemeriksaan medis yang

dilakukan atas indikasi tertentu yang bertujuan untuk memperleh keterangan yang

lebih lengkap (Widiarti, 2016).

(1) Mielografi

Merupakan pemeriksaan dengan bahan kontras melalui tindakan fungsi

lumbal dan pemotretan dengan sinar tembus jika diketahui adanya penyumbatan

atau hambatan pada kanalis spinalis yang mungkin disebabkan oleh HNP

(Muttaqin, 2012).

(2) CT scan

Melihat gambaran vertebra dan jaringan di sekitarnya, termasuk diskus

intervertebral (Muttaqin, 2012).

(3) MRI

Dapat melokalisasi prostusi diskus kecil. Apabila. Apabila gambran klinis

tidak didapatkan pada MRI, pemeriksaan CT scan dan mielogram dengan kontras

dapat dilakukan untuk melihat derajat gangguan pada diskus intervertebra

(Muttaqin, 2012).

3) Riwayat Penyakit Sekarang


Keluhan utama yang dialami penderita HNP adalah adanya rasa nyeri yang

seperti ditusuk-tusuk, berdenyut, seperti kena api, nyeri tumpul yang terus-

menerus (Muttaqin, 2012). Perjalanan penyakit pada penderita HNP biasanya

meningkat pada saat mencoba bangun dari tempat tidur di pagi hari atau saat

pertama kali berdiri. Gejala biasanya memburuk saat melakukan aktivitas seperti

duduk, membungkuk ke depan, batuk, dan menggeliat (Kisner & Colby, 2017).

Keluhan nyeri berkurang apabila sedang beristirahat dengan berbaring (Muttaqin,

2012).

4) Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat yang pernah dialami oleh pasien dengan kondisi HNP adalah

adanya riwayat trauma seperti kecelakaan, jatuh dari ketinggian (Mahadewa &

Maliawan, 2019).

5) Riwayat Penyakit Keluarga

Klien yang dengan keluhan HNP memiliki kecendrungan faktor keturunan

pada proses degerasi pada diskus lumbalis dengan karakteristik nyeri punggung

hingga ke tungkai yang sama (D Borenstein, 2014).

(2) Riwayat Sosial

6) Pemeriksaan Fisik

(1) Inspeksi
Inspeksi merupakan pemeriksaan yang dilakukan dengan cara melihat atau

memperhatikan keseluruhan tubuh secara rinci (Widiarti, 2016). Inspeksi dinamis

dilakukan pada saat pasien datang. Pada pasien yang mengalami HNP seringkali

berjalan dengan susah payah. Raut muka mungkin mencerminkan rasa nyeri yang

sangat. Terlihat berjalan dengan satu tungkai sedikit difleksikan dan kaki pada

satu sisi jinjit karena cara ini dapat mengurangi nyeri. Saat inspeksi statis terlihat

bila duduk maka pasien akan terlihat duduk pada sisi yang sehat. Pada saat berdiri

satu tangan biasanya akan memegang pinggang dan tungkai yang sakit sedikit

difleksikan pada sendi lutut. Bila saat membungkuk maka tungkai yang sakit akan

ditekuk disebut tanda nyeri (Mahadewa & Maliawan, 2019).

(2) Palpasi

Palpasi merupakan pemeriksaan fisik dengan cara meraba pada bagian

tubuh yang terlihat tidak normal (Widiarti, 2016). Pada klien yang mengalami

HNP saat dilakukan palpasi adanya spasme pada otot paralumbal, nyeri tekan

pada area otot-otot pada area yang terkena lesi dan adanya scoliosis (Mahadewa

& Maliawan, 2019).

7) Pemeriksaan Gerak Dasar

(1) Gerak Aktif

Pemeriksaan gerak aktif dilakukan dengan posisi berdiri kemudian terapis

memperhatikan apakah ada atau tidaknya keterbatasan gerak dan penyebab lain

seperti nyeri, spasme, dan kekauan sendi (Magee, 2014).

(2) Gerak Pasif


Pemeriksaan gerak pasif dilakukan dengan cara terapis menggerakan pasien

secara pasif kearah fleksi dan ekstensi. Pada akhir gerakan fleksi dan ekstensi

diberikan provokasi atau tahanan hingga pasien merasakan nyeri end feel (Magee,

2014).

(3) Isometrik Melawan Tahanan

Pemeriksaan isometrik dilakukan dengan posisi duduk dan tubuh dalam

posisi normal kemudian pasien diminta untuk menggerakan tubuhnya kearah

fleksi dan ekstensi dilakukan dengan diberi tahanan oleh terapis. Pasien penderita

HNP akan merasakan nyeri saat otot – otot pada punggung bawah berkontraksi

secara isometrik (Magee, 2014).

8) Pemeriksaan Kemampuan Fungsional

Pemeriksaan kemampuan fungsional pada pasien yang mengalami HNP

menggunakan Oswerty Disability Index. Pemeriksaan ini dirancang untuk

mengetahui dampak nyeri punggung bawah pada kemampunan fungsional sehari-

hari (Magee, 2014). Untuk prosedurnya adalah klien akan diberikan 10 sesi yang

berisi masing-masing 6 pertanyaan lalu klien diminta untuk membaca setiap

pertanyaan yang ada pada 10 sesi tersebut dan memilih pertanyaan yang sesuai

dengan keadaan klien. Klien hanya diperbolehkan memilih satu pertanyaan di tiap

sesi dan pada setiap sesi memiliki nilai dari 0 hingga 5 tergantung pada

pernyataan yang dipilih oleh klien. Pernyataan pertama pada setiap sesi bernilai 0,

yang kedua bernilai 1, dan seterusnya. Apabila semua sesi telah dijawab kemudian

dinilai dan dijumlahkan sesuai dengan rumus yang ada yaitu :


Tabel 2. 5 Oswerty Disability Index

Sesi 1: Intensitas Nyeri


Saat ini saya tidak nyeri.
Saat ini nyeri terasa sangat ringan.
Saat ini nyeri terasa ringan.
Saat ini nyeri terasa agak berat.
Saat ini nyeri terasa sangat berat.
Saat ini nyeri terasa amat sangat berat.
Sesi 2 : Perawatan Diri (mandi,berpakaian dll)
Saya merawat diri secara normal tanpa disertai timbulnya nyeri.
Saya merawat diri secara normal tetapi terasa sangat nyeri.
Saya merawat diri secara hati-hati dan lamban karena terasa sangat nyeri.
Saya memerlukan sedikit bantuan saat merawat diri.
Setiap hari saya memerlukan bantuan saat merawat diri.
Saya tidak bisa berpakaian dan mandi sendiri, hanya tiduran di bed.

Sesi 3 : Aktifitas Mengangkat


Saya dapat mengangkat benda berat tanpa disertai timbulnya nyeri.
Saya dapat mengangkat benda berat tetapi disertai timbulnya nyeri.
Nyeri membuat saya tidak mampu mengangkat benda berat dari lantai ,tetapisaya
mampu mengangkat benda berat yang posisinya mudah misalnya di atas meja.
Nyeri membuat saya tidak mampu mengangkat benda berat dari lantai, tetapi saya
mampu mengangkat benda ringan dan sedang yang posisinya mudah, misalnya
diatas meja.
Saya hanya dapat mengangkat benda yang sangat ringan.
Saya tidak dapat mengangkat maupun membawa beban apapun.

Sesi 4 : Berjalan
Saya mampu berjalan berapapun jaraknya tanpa disertai timbulnya nyeri.
Saya hanya mampu berjalan tidak lebih dari 1 mil karena nyeri.
Saya hanya mampu berjalan tidak lebih dari ¼ mil karena nyeri.
Saya hanya mampu berjalan tidak lebih dari 100 yard karena nyeri.
Saya hanya mampu berjalan menggunakan alat bantu tongkat atau kruk.
Saya hanya mampu tiduran, untuk ke toilet dengan merangkak.

Sesi 5 : Duduk
Saya mampu duduk pada semua jenis kursi selama aku mau.
Saya mampu duduk pada kursi tertentu selama aku mau.
Saya hanya mampu duduk pada kursi tidak lebih dari 1 jam karena nyeri.
Saya hanya mampu duduk pada kursi tidak lebih dari ½ jam karena nyeri.
Saya hanya mampu duduk pada kursi tidak lebih dari 10 menit karena nyeri.
Saya tidak mampu duduk karena nyeri.
Sesi 6 : Berdiri
Saya mampu berdiri selama aku mau.
Saya mampu berdiri selama akum au tetapi timbul nyeri.
Saya hanya mampu berdiri tidak lebih dari 1 jam karena nyeri.
Saya hanya mampu berdiri tidak lebih dari ½ jam karena nyeri.
Saya hanya mampu berdiri tidak lebih dari 10 menit karena nyeri.
Saya tidak mampu berdiri karena nyeri.

Sesi 7 : Tidur
Tidur tak pernah terganggu oleh timbulnya nyeri.
Tidurku terkadang terganggu oleh timbulnya nyeri.
Karena nyeri tidurku tidak lebih dari 6 jam.
Karena nyeri tidurku tidak lebih dari 4 jam.
Karena nyeri tidurku tidak lebih dari 2 jam.
Saya tidak bisa tidur karena nyeri.

Sesi 8 : Aktifitas Seksual (bila memungkinkan)


Aktifitas seksualku berjalan normal tanpa disertai timbulnya nyeri.
Aktifitas seksualku berjalan normal tetapi disertai timbulnya nyeri.
Aktifitas seksualku berjalan hamper normal tetapi sangat nyeri.

Sesi 9 : Kehidupan Sosial


Kehidupan sosialku berlangsung normal tanpa gangguan nyeri.
Kehidupan sosialku berlangsung normal tetapi ada peningkatan derajat nyeri.
Kehidupan sosialku yang aku sukai misalnya olahraga tidak begitu terganggu
adanya nyeri.
Nyeri menghambat kehidupan sosialku sehingga aku jarang keluar rumah.
Nyeri menghambat kehidupan sosialku hanya berlangsung dirumah saja.
Saya tidak mempunyai kehidupan sosial karena nyeri.

Sesi 10 : Berpergian / Melakukan Perjalanan


Saya bisa melakukan perjalanan ke semua tempat tanpa adanya nyeri.
Saya bisa melakukan perjalanan ke semua tempat tetapi timbul nyeri.
Nyeri memang menganggu tetapi saya bisa melakukan perjalanan kurang dari 2
jam.
Nyeri menghambatku sehingga saya hanya bisa melakukan perjalanan kurang dari
1 jam.
Nyeri menghambatku sehingga saya hanya bisa melakukan perjalanan pendek
kurang dari 30 menit.
Nyeri menghambatku untuk melakukan perjalanan kecuali hanya berobat.
(Magee, 2014)

DS=JN: 50 X 100%
Keterangan:

JN= Jumlah Nilai

DS= Disability Score (nilai ketidakmampuan)

Interprestasi disability score adalah sebagai berikut:

(1) Minimal Disability (0-20%)

Klien masih mampu melakukan Sebagian besar dari aktifitas sehari-

harinya. Beberapa pasien mengalami kesulitan pada saat duduk, hal ini penting

jika pekerjaannya adalah jenis pekerjaan dalam posisi tertentu dengan dilakukan

terus menerus (Trisnowiyanto, 2012).

(2) Metode Disability (20%-40%)

Klien merasakan nyeri yang lebih berat dan mengalami masalah pada saat

duduk, mengangkat, dan berdiri. Perjalanan dan kegiatan sosial yang dirasa lebih

sulit mungkin meliburkan diri dari pekerjaan. Untuk perawatan diri, aktivitas

seksual, dan tidur tidak terlalu terganggu (Trisnowiyanto, 2012).

(3) Severe Disability (40%-60%)

Klien mempunyai masalah utama yaitu nyeri. Perjalanan, perawatan diri,

aktivitas sosial dan tidur terganggu (Trisnowiyanto, 2012).

(4) Crippled (60%-80%)

Klien mengalami nyeri yang mengganggu segala aspek kehidupan .

(5) 80%-100%

Sangat Parah (Trisnowiyanto, 2012).

9) Pemeriksaan Spesifik
(1) Numerical Rating Scales (NRS)

Pemeriksaan Intensitas nyeri pada pasien yang mengalami HNP dapat

menggunakan Numerical Rating Scales (NRS). Prosedur menggunakan

pemeriksaan NRS adalah pasien diminta untuk mengukur seberapa parah nyeri

yang dirasakan berdasarkan skala 0 hingga 10. Skala 0 tidak nyeri (none), 1

sampai 3 nyeri ringan (mild), 4 sampai 6 nyeri sedang (moderate), 7 sampai 10

nyeri berat (sereve). Pemeriksaan NRS dapat dilakukan secara lisan maupan

dengan cara menuliskan angka pada selembar kertas (Trisnowiyanto, 2012).

Gambar 2. 9 Numerical Rating Scale (Widiarti, 2016)

(2) Schober Test

Pemeriksaan Schober test dilakukan untuk mengetahui LGS pada area

lumbal. Posisi awal pasien berdiri tegak dan kaki selebar bahu, kemudian pasien

diberikan tanda atau titik 5 cm ke bawah pada SIPS lalu tarik garis sepanjang 10

cm ke arah atas dan diberi tanda. Untuk hasil pada pemeriksaan ini adalah selisih

dari hasil pengukuran akhir dan awal, hasil dari pemeriksaan juga di dapatkan

pada dewasa muda. apabila selisih jarak kurang dari 4 cm akan menunjukan
bahwa adanya gangguan pada fleksi lumbal (Magee, 2014). Nilai normal

pengukuran schober test pada perempuan yaitu 4,93 cm untuk gerakan kearah

fleksi, dan untuk nilai normal gerakan ekstensi adalah 2,72 cm, sedangkan nilai

normal pengukuran schober test dengan gerakan fleksi pada laki-laki yaitu 5, 67

cm, dan untuk nilai normal gerakan ekstensi adalah 3,41 cm. dikatakan adanya

keterbatasan lingkup gerak sendi apabila hasil dari pemeriksaan menunjukan klien

tidak mampu mencapai batas nilai normal (Noor, 2016).

Gambar 2. 10 Schober Test (Clarkson, 2013)


(3) Straight Leg Raising (SLR)
Straight Leg Raising (SLR) merupakan tes neurodinamik yang digunakan untuk

mengetahui lokasi nyeri punggung bawah yang menjalar hingga ke lutut.

Pemeriksaan dilakukan dengan posisi terlentang dengan leher dan kepala dalam

posisi netral dan nyaman dengan posisi terapis di samping klien. Tungkai

digerakan fleksi hip dan ekstensi knee secara pasif oleh terapis hingga klien

meminta untuk berhenti. Hasil dikatakan positif apabila klien merasakan nyeri

pada sudut 35⁰-70⁰ pada gerakan hip fleksi (Magee, 2014).

Gambar 2. 11 Straight Leg Raising (Magee, 2014)

(4) Slump Test

Tes neurodinamik dapat digunakan untuk kasus HNP karena akan

mengakibatkan terulurnya jaringan neurologis sehingga akan timbul rasa nyeri.

Slump test dilakukan dengan posisi duduk , kedua tangan klien berada di belakang

tubuh, posisi punggung difleksikan kemudian klien diinstruksikan untuk


menggerakan kepala kearah fleksi kemudian lulut diekstensikan dan ankle

digerakan ke arah dorsifleksi oleh terapis. Hasil positif apabila klien merasaka

nyeri pada tungkai (Magee, 2014).

gambar 2. 12 Slump Test (Magee, 2014)

2.4.2 Diagnosis Fisioterapi

2.4.2.1 Impairment

Permasalahan utama pada klien yang mengalami HNP adalah adanya nyeri

yang menjalar hingga dari gluteus, tungkai hingga kaki (Kowalak et al., 2017),

keterbatasan gerak fleksi dan penurunan sensasi sepanjang perjalanan saraf

(Kisner & Colby, 2017).

2.4.2.2 Functional Limitation

Keterbatasan fungsional yang diakibatkan oleh adanya impairment adalah

klien kesulitan untuk membungkuk, duduk, dan mencoba untuk berdiri dengan

posisi fleksi (Kisner & Colby, 2017).


2.4.2.3 Perticipation Restriction

2.4.3 Teknologi Intervensi Fisioterapi

Intervensi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah klien yang

mengalami HNP adalah Traksi (Cameron, 2013) , (TENS) Transcutaneus

Electrical Nerve Stimulation (Mahadewa & Maliawan, 2019), dan Mckenzie

Exercise (Mckenzie & Kubey, 2014).

1) Traksi

Traksi memiliki manfaat mekanis terhadap pemisahan vertebra sementara,

menyebabkan pergeseran mekanis pada sendi faset tulang belakang, dan dapat

meningkatkan ukuran foramen intervertebral. Efek traksi pada diskus

intervertebral dapat mengurangi gejala akibat prostusi diskus. Dinyatakan bahwa

memisahkan korpus vertebra dapat memberikan efek tegangan pada serabut

anular dan ligamen longitudinal posterior yang dapat memberikan efek pendataran

pada pada penonjolan atau dapat menurunkan tekanan intradiskus (Kisner &

Colby, 2017).

(1) Persiapan alat

Persiapkan alat traksi lumbal yang diperlukan klien seperti tali, katrol, sabuk

thoraks, dan sabuk panggul.

(2) Persiapan klien


Menjelaskan pada pasien mengenai tujuan traksi , cara kerja unit traksi dan

cara traksi memengaruhi tanda dan gejala spesifik yang dialami klien serta rasa

traksi. Intruksikan pasien untuk santai semaksimal mungkin dan melaporkan

setiap peningkatan pada gejala atau ketidaknyamanan pada alat (Hayes & Hall,

2018).

(3) Pelaksanaan Terapi

Posisikan klien dalam posisi terlentang atau tengkurap posisi fowler

terlentang sesuai untuk memperbaiki gejala yang berhubungan dengan

hipomobilitas facet umum, hipomobilitas sendi intervertebral atau stenosis (Hayes

& Hall, 2018). Hubungkan belt ke alat traksi kemudian atur parameter traksi

lumbal

2) Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS)

Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS) merupakan suatu

nama generik untuk metode stimulasi serabut saraf aferen yang dirancang untuk

mengurangi nyeri. Indikasi pada penggunaan TENS yaitu untuk mengurangi

intensitas nyeri akut, kronis, dan nyeri pinggang kronis (Hayes & Hall, 2018).

(1) Persiapan Alat

Mempersiapkan unit electrical stimulation dengan bentuk gelombang yang

di perlukan dan parameter yang tepat untuk intervensi, kemudian periksa kabel

dan elektrode yang akan digunakan persiapkan gel sebagai perekat elektrode dan

beberapa elektrode sesuai dengn letak nyeri yang akan diberikan terapi (Cameron,

2013).
(2) Persiapan Pasien

Klien diposisikan berbaring miring atau tengkurap senyaman mungkin.

Terapis memastikan apakah TENS masih dalam kondisi off. Bersihkan kulit

pasien sebelum diterapi setelah itu menjelaskan apa yang akan di rasakan oleh

klien pada saat terapi (Cameron, 2013).

(3) Pelaksanaan Terapi

Menginstruksikan kepada klien mengenai program terapi, sebelum

memulai terapi dilakukan pemeriksaan pada area kulit yang akan diberikan

rangsangan teradapat luka atau iritasi. Pasangkan kabel electrode ke unit electrical

stimulation dan pasang electrode ke area yang mengalami keluhan nyeri.

Mengatur parameter yang optimal untuk terapi pada klien sesuai dengan indikasi

serta tujuan dari intervensi. Klien pada kondisi akut dapat diberikan dapat diatur

paramenter dengan model TENS koventional dengan frequency 0,5 Hz sampai 10

Hz dengan di berikan waktu selama 30 menit dan dengan perwatan dilakukan

selama 15 hari berturut-turut (Hayes & Hall, 2018). Evaluasi pasien selama proses

terapi apakah pasien mengalami keluhan. Setelah proses terapi selesai, lepaskan

electrode lalu lihat kulit pasien untuk memastikan apakah ada tanda-tanda atau

reaksi yang dapat merugikan klien dari pemberian terapi menggunakan TENS ini,

kemudian melakukan dokumentasi hasil intervensi yang dilakukan seperti

parameter dan respon klien terhadap intervensi yang telah di berikan (Cameron,

2013).

3) Mckenzie Exercise
Mckenzie Exercise merupakan salah satu teknik konservatif yang bertujuan

untuk mengurangi intensitas nyeri pada punggung bawah. Selain dapat

mengurangi nyeri, latihan ini juga dapat memungkinkan untuk mengembalikan

mobilitas sendi.

Program latihan Mckenzie terdiri dari 7 latihan yaitu 4 latihan gerakan ekstensi

dan 3 latihan fleksi (Mckenzie & Kubey, 2014).

(1) Lying Face Down

Posisi klien berbaring tengkurap dengan kedua lengan rileks berada di

samping badan kemudian kepala menoleh ke salah satu sisi. Klien diminta untuk

mempertahankan posisi ini selama 2-3 menit sambil mengatur pernafasan dan

merileksasikan otot-otot punggung bawah. Gerakan ini efektif untuk nyeri

punggung bawah sebagai pertolongan pertama dan juga dapat digunakan sebagai

persiapan gerakan kedua (Mckenzie & Kubey, 2014).

Gambar 2. 13 Lying Face Down (Mckenzie & Kubey, 2014)


(2) Lying Facedown in Extension

Posisi awal berbaring tengkurap, kedua lengan berada disamping badan.

Klien diminta untuk menekan lengan bawah ke alas untuk mengangkat badan

secara perlahan sesuai dengan kemampuan klien, pelvis dan tungkai tetap rata

pada alas. Gerakan ini dipertahankan selama 2-3 sambil mengatur nafas dan

merileksasikan otot-otot punggung bawah menit kemudian klien diminta untuk

kembali pada posisi awal (Mckenzie & Kubey, 2014).

Gambar 2. 14
Lying Facedown in Extension (Mckenzie & Kubey, 2014)
(3) Extension in Lying

Posisi awal berbaring tengkurap, kedua lengan berada disamping badan.

Klien diminta untuk menekan tangan untuk mengangkat badan posisi seperti

sedang push-up hingga siku lurus sesuai dengan batas toleransi klien dan posisi

pelvic, Hip dan tungkai tetap rata pada alas. Gerakan ini dipertahankan selama 1-2

detik kemudian klien diminta untuk kembali ke posisi awal. Klien diminta untuk

mengulangi gerakan dan mencoba untuk meluruskan siku semaksimal mungkin


hingga punggung akan ekstensi semaksimal mungkin dan dipertahankan juga

selama 1-2 detik. Sebelum kembali ke posisi awal gerakan ini dilakukan dengan

Gambar 2. 15 Extension in Lying (Mckenzie & Kubey,


2014)
frekuensi 10 kali setiap sesi (Mckenzie & Kubey, 2014).

(4) Extension in Standing

Posisi awal klien diminta untuk posisi berdiri dengan kedua tangan

diletakan pada pinggang, posisi ibu jari berada di depan dan jari lainnya berada

pada samping tulang belakang. Klien diminta untuk menekan tangan pada

pinggang sehingga terjadi gerakan badan ke arah ekstensi. Gerakan ini ditahan

selama 1-2 detik. Pengulangan gerakan ini dilakukan secara perlahan dengan

mengekstensikan punggung lebih jauh hingga klien dapat melakukan gerakan

ekstensi secara penuh (Mckenzie & Kubey, 2014).


Gambar 2. 16 Extension in Standing (Mckenzie & Kubey,2014)

(5) Flexion in Lying

Posisi awal klien diminta untuk tidur telentang, meletakan tangan pada lutut

lalu menekuk lutut dan kaki lurus kemudian minta klien untuk menarik lutut

kearah dada sedekat mungkin tanpa mengangkat kepala. Gerakan ini ditahan

selama 1-2 detik kemudian klien diminta untuk kembali ke posisi awal. Setiap

pengulangan pada gerakan ini klien diminta untuk menarik lututnya lebih dekat

lagi dari sebelumnya. Apabila klien mampu melakukan gerakan ini tanpa adanya

nyeri, maka klien dapat melanjutkan gerakan selanjutnya (Mckenzie & Kubey,

2014).
Gambar 2. 17 Flexion in Lying (Mckenzie & Kurbey,
2014)

(6) Flexion in Sitting

Posisi awal klien diminta untuk duduk pada kursi dengan lulut dan kaki

sejajar serta tangan berada diatas lutut dalam posisi rileks. Klien diminta untuk

memfleksikan lumbal dan memegang ankle atau lantai dengan tangan kemudian

kembali ke posisi awal. Setiap pengulangan pada gerakan ini klien diminta untuk

membungkuk semakin jauh dari sebelumnya hingga kepala hampir menyentuh

lantai. Gerakan ini dapat dilakukan setelah melakukan gerakan Flexion in Lying

apabila berhasil atau tidak dalam mengurangi nyeri atau kekakuan (Mckenzie &

Kubey, 2014).
Gambar 2. 18 Flexion in Sitting (Mckenzie & Kurbey
2014)

(7) Extension in Standing

Posisi awal klien berdiri tegak dengan kedua kaki sejajar dan kedua tangan

berada di samping badan. Klien diminta untuk memfleksikan punggung sejauh

mungkin sesuai dengan kemampuan klien hingga jari-jari dapat menyentuh lantai

kemudian kembali pada posisi awal. Setiap pengulangan dilakukan gerakan

membungkuk hingga jari-jari semakin menyentuh lantai. Setiap gerakan fleksi

pada Mckenzie exercise dilakukan dengan 5-6 repetisi setiap sesi dan selalu diikuti

dengan gerakan Extension in lying. Gerakan ini dilakukan apabila tidak

menyebabkan nyeri yang bertambah pada klien (Mckenzie & Kubey, 2014).
Gambar 2. 19 Extension in Standing (Mckenzie & Kurbey,
2014)

4) Edukasi dan Home Program

(1) Klien dianjurkan untuk melakukan Home Program dengan Mckenzie

exercise, latihan di hentikan apabila klien mengalami nyeri saat latihan

(Kisner & Colby, 2017).

(2) Klien diinstruksikan untuk mempertahankan postur ekstensi dengan

penopang pasif sambil menungggu penyembuhan lesi. Contohnya, minta

klien untuk menggunakan handuk atau bantal lumbal saat duduk dan pada

saat tidur minta pasien meletakan handuk yang sudah dilipat empat di

sekeliling pinggang (Kisner & Colby, 2017).

(3) Klien diinstruksikan untuk menghindari aktivitas yang melibatkan gerakan

fleksi seperti, mengangkat barang, atau fungsi lain yang dapat meningkatkan

tekanan pada intradiskus selama gejala akut (Kisner & Colby, 2017).

Anda mungkin juga menyukai