Anda di halaman 1dari 10

PERENCANAAN PEMBELAJARAN PAI

Muhammad Rizky Fauzi1 Nurul Fitri Meyliana2, Sahril Sidik3, Shofa Marwati4
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Syamsul ‘Ulum
Gunungpuyuh Sukabumi, Jawa Barat, Indonesia
Prodi Pendidikan Agama Islam
rizky@gmail.com1, nurulfitri@gmail.com2, sahrilsidik397@gmail.com3,
shofamarwati08@gmail.com4
Abstrak

Keywords:

PENDAHULUAN

METODE PENELITIAN

PEMBAHASAN

I. PENETAPAN TUJUAN PEMBELAJARAN


Menurut Samiudin tujuan merupakan satu titik yang akan diraih dalam proses
kegiatan belajar mengajar sehingga bagaimanapun kegiatan belajar mengajar
berlangsung tujuan tersebut akan menjadi pedomannya. 1 Sedangkan arti pembelajaran
berdasarkan yang dikemukakan oleh Gagre dan Briggs sebagaimana yang dikutip
oleh Samiudin adalah susunan kejadian, peristiwa dan keadaan yang memang dibuat
sedemikian rupa untuk mengkontrol peserta didik agar kegiatan belajarnya menjadi
terlaksana dengan lancar.
Dikatakan bahwa adanya tujuan pembelajaran menjadikan kegiatan belajar menjadi
lebih terarah, lebih efisien dan lebih maksimal. Menurut Benyamin S. Bloom
sebagaimana yang dikutip oleh Hamzah B. Uno di dalam bukunya yang berjudul
Perencanaan Pembelajaran, bahwa tujuan pembelajaran bisa diklasifikasi menjadi tiga
bagian wilayah,yaitu (1) wilayah kognitif, (2) afektif, (3) Psikomotorik. 2 Pada
1
Samiudin, “Peran metode untuk mencapai tujuan pembelajaran”, Studi Islam, Vol 11, No. 2, 2016, h. 118.
2
Hamzah B. Uno, Perencanaan Pembelajaran, Jakarta: PT Bumi Aksara,2008, h. 35.
wilayah kognitif tujuan pembelajarannya dibahas berkaitan dengan perjalanan mental
dari level pengetahuan saja menuju kepada level yang lebih diatasnya, yaitu level
evaluasi. Kemudian pada wilayah afektif adalah berkaitan dengan nilai, sikap,
apresiasi atau penghargaan, dan pembiasaan perasaan bersosial. Adapun psikomotor
maka tujuan pembelajaran akan dikaitkan dengan skill atau keterampilan yang
bersifat motorik.
II. IDENTIFIKASI MASALAH PEMBELAJARAN
Problema/problematika berasal dari bahasa Inggris yaitu "problematic" yang berarti
persoalan atau masalah. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, problema berarti sesuatu
hal yang belum dapat dipecahkan, yang juga dapat menimbulkan
masalah/permasalahan, situasi yang dapat didefinisi sebagai suatu kesulitan yang
perlu dipecahkan/diatasi.3 Berdasarkan penjelasan di atas dapat di pahami bahwa
problema adalah berbagai masalah-masalah sulit yang dihadapi dalam proses
pembelajaran, baik yang datang dari individu (faktor internal) maupun eksternal.
Problematika Pendidikan Agama Islam tidak bisa terlepas dari ruang lingkup
pendidikan itu sendiri. Ruang lingkup pendidikan ada tiga yaitu sekolah, rumah dan
lingkungan. Disetiap ruang lingkup pendidikan pasti ada problematikanya masing-
masing dan berpengaruh terhadap proses pendidikan diruang lingkup lainnya. Semua
problematika di setiap runag lingkup harus dicari solusinya agar setip proses
Pendidikan Agama Islam di setiap ruang lingkupnya bisa berjan maksiamal dan
saling beriringan, apabila hanya satu ruang lingkup saja yang menjadi pembahasan
dan dicari solusinya maka prosen Pendidikan Agama Islam di ruanng lingkup yang
lain akan kurang maksimal. Ini semua adalah tugas setiap individu muslim khususnya
yang berkecimpung di dunia Pendidikan Agama Islam baik di sebuah institusi
ataupun dilingkungan masyarakatnya.
1. Problematika Peserta Didik

Sebagian besar peserta didik masih beranggapan dan memandang bahwa


Pendidikan Agama Islam hanya sebatas formalitas saja. 4 Hanya sebatas disiplin
ilmu yang diajarkan untuk mendapatkan standar nilai yang ditentukan. Hanya
3
Sutan Rajasa, Kamus Ilmiah Populer,(Surabaya: Karya Utama Surabaya, 2002), h. 499
4
Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Bagian III : Pendidikan Disiplin
Ilmu, Imtima, 2009, h. 6
sebatas ritual dan segi-segi formalitas dalam agama, seolah-olah apa yang disebut
agama adalah seperangkat gerakan dan bacaan-bacaan serta doa-doa dalam ritual
sembahyang dan ibadah. Dalam agama Islam ritual itu terumuskan dalam rukun
Islam. Tentu saja pandangan seperti ini tidak salah secara mutlak tetapi jelas amat
tidak memadai untuk menjadi pandangan yang baik, terutama terhadap
Pendidikan Agama Islam.

Hal ini bukan berarti ritual agama Islam seperti sholat dan lain sebagainya tidak
penting. Tetapi perlu disadari tindakan ritual agama seperti solat adalah salah satu
wujud nilai aplikatif dari rasa iman, rasa percaya kita terhadap Allah SWT dan
juga kerangka bangunan agama Islam. Dengan demikian ritual agama seperti
sholat bukanlah tujuan utama dari agama Islam tetapi bagaimana nilai-nilai dari
solat itu teraplikasikan dalam kahidupan sehari-hari, seperti nilai ketundukan
terhadap Allah SWT teraplikasi dalam wujud menjalankan segala perintahnya dan
menjauhi segala larangannya. Nilai mengagungkannya teraplikasikan dalam sikap
rendah hati, tidak sombong, tidak menentangnya, tidak meremehkan orang lain
dan lain sebagainya. Nilai berserah diri kepadanya teraplikasikan dalam sikap
sabar, tawakal dan sadar bahwa semua berjalan sesuai kehendaknya. Dan masih
banyak lagi nilai-nilai lainnya yang apabila teraplikasikan dengan baik dalam
kehidupan maka akan baiklah kehidupan ini karena sesuai dengan nilai-nilai yang
ditetapkan oleh sang pencipta kehidupan.

Tindakan ritual dan segi-segi formalitas agama, baru mempunyai makna hakiki
jika mampu mengantarkan seseorang kepada tujuannya yang hakiki pula, yaitu
kedekatan kepada sang pencipta sehingga memiliki kesiapan emosional dan
spiritual dalam menjalani kehidupannya di dunia dalam mencapai pengalaman
transedental. Wujud kedekatan kepada sang pencipta itulah yang akan
termanifestasikan dalam berbagai sikap dan prilaku yang terpuji (akhlaqul
karimah), sehingga bisa memberi manfaat dan kebaikan terhadap semua.

Dengan demikian agama merupakan keseluruhan tingkah laku manusia dalam


hidup dan kehidupan. Tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia berakhlak
mulia atas dasar percaya atau beriman kepada Tuhan dan tanggung jawab pribadi
di hari kemudian. Pandangan seperti inilah yang harusnya menjadi arah
pengajaran agama disekolah. Agar peserta didik paham betul tujuan yang paling
utama dari Pendidikan Agama Islam. Dalam kasus keluarga terutama orang tua
peserta didik, sekolah bisa mengadakan pertemuan baik setiap minggu ataupun
setiap bulan untuk menyamakan visi dalam pendidikan disekolah dan dirumah,
agar tercipta keserasian antara pendidikan disekolah dan dirumah terutama dalam
Pendidikan Agama Islam.

2. Problematika Pendidik

Para pakar pendidikan di Indonesia menilai bahwa salah satu sebab utama
kegagalan pendidikan adalah karena lemahnya kualitas pendidik. Padahal salah
satu syarat mutlak keberhasilan pendidikan adalah kualitas pendidik yang baik.
Rasulullah adalah suri tauladan dan contoh pendidik yang baik terutama dalam
Pendidikan Agama Islam. Karena itu semua pendidik muslim yang terlibat dalam
Pendidikan Agama Islam baik sebagai sebuah disiplin ilmu, institusi ataupun jalan
hidup haruslah menjadikan Rasulullah sebagai contoh dalam mendidik dan dalam
menjalankan kesehariannya sebagai seorang pendidik agama Islam.

Setidaknya minimal seorang pendidik harus memiliki empat kompetensi yaitu


kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan
kompetensi sosial. Selain memiliki keempat kompetensi ini seorang pendidik juga
harus mengembangkannya agar tidak monoton dalam mendidik para peserta
didik. Seperti yang telah disabdakan Rasulullah bahwa hari ini harus lebih baik
dari kemarin, dan besok harus lebih baik dari hari ini itulah perinsip setiap
pendidik muslim.5

Jadi problematika pendidik agama Islam adalah belum meneladani Rasulullah


secara totalitas, belum mengamalkan nilai ajaran-ajaran agama secara menyeluruh
dimulai dari bangun tidur sampai tertidur lagi, belum mengembangkan potensi
dirinya dengan baik. Kesemuanya ini haruslah beriringan tidak bisa apabila ingin
menjalankan solusinya satu persatu. Semoga para pendidik agama Islam kita
semakin baik dengan terus berusaha mengamalkan ajaran- ajaran agamanya
5
Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Rosada, Bandung, 2009, h. 4.
secara maksimal dan mengembangkan potensi dirinya, agar tujuan uama dari
Pendidikan Agama Islam sebagai penyempurna akhlak manusia dapat terwujud.

3. Problematika Manajemen

Manajemen yang menaungi Pendidikan Agama Islam pun belum memberikan


usahanya yang maksimal. Salah satu keberhasilan sebuah proses adalah karena
terkendali dengan baik. Manajemen kurikulum dan pembelajaran belum
memberikan ruang yang maksimal untuk Pendidikan Agama Islam. Ini bisa
dilihat dari jumlah jam pelajaran yang diberikan untuk pembelajaran Pendidikan
Agama Islam, dalam satu minggu hanya diberi empat jam pelajaran. Memberikan
jam lebih untuk pembelajaran Pendidikan Agama Islam di atas empat jam belum
memungkinkan, tetapi seandainya sekolah bisa mengatur lingkungan disekolah
sebagai jam aplikasi Pendidikan Agama Islam maka ini bisa membantu
kekurangan jam pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Dengan membiasakan
lingkungan sekolah untuk solat berjamaah misalnya atau melaksanakan kegiatan-
kegiatan agama lainnya dalam lingkungan sekolah, ini akan memberikan
pengaruh baik terhadap belajar peserta didik tentang Pendidikan Agama Islam.

Kurikulum yang dipakai di sekolah juga belum komperhensif masih terpaku pada
teori-teori yang bersifat kognitif dan praktik amalan-amalan keagamaan sebatas
ritual saja. Padahal seharusnya kurikulum Pendidikan Agama Islam dapat
diaplikasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari, karena agama bukan hanya
sekedar keyakinan dan ritual saja tetapi agama adalah gaya hidup dan jalan hidup
yang membentuk akhlak setiap manusia.

Manajemen sarana prasarana juga sangat dibutuhkan dalam membantu


terealisasinya Pendidikan Agama Islam. Dimana setiap praktik keagamaan dalam
segala bentuk aplikasinya sangat membutuhkan sarana yang memadai.
Manajemen keuangan juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan
Pendidikan Agama Islam, terutama dalam sebuah institusi pendidikan.
Diharapkan manajemen keuangan ini bisa membantu dan menopang semua
kebutuhan pendidikan yang ada. Tetapi apabila hanya mengandalkan iuran peserta
didik ataupun bantuan dana pemerintah maka proses pendidikan akan tersendat.
Alangkah baiknya sebuah institusi pendidikan mengembangkan sektor keuangan
melaluai pengembangan unit-unit usaha dan manajemen kewirausahaan
pendidikan, agar berjalannya pendidikan bisa berjalan dengan baik, seiring
berkembangnya keuangan maka proses pendidikan pun tidak akan terhambat.

Gaya komunikasi dalam manajeman pun haruslah sesuai dengan yang


dicontohkan oleh suri tauladan para guru yaitu Rasulullah SAW. Bagaimana
Rasul selalu menjadikan rekan-rekannya dalam perjuangan dakwah, perjuangan
mendidik umat, perjuangan mendidik agama Islam sebagai sahabat. Bukan seperti
atasan dan bawahan. Penyampaian pesan dalam manajemen diharapkan dapat
memaksimalkan potensi peran-peran yang terlibat dalam kemajuan pendidikan
terutama pendidikan.

Problematika dalam manajemen diharapkan bisa mendapatkan solusi yang lebih


baik terutama dalam pembentukan lingkungan sekolah dan bekerjasama dengan
lingkungan tempat tinggal para pendidik. Karena apabila pendidik hanya dituntut
untuk mengembangkan institusi pendidikan saja maka ketercapaian tujuan
Pendidikan Agama Islam akan kurang maksimal. Pendidik bukan hanya mendidik
peserta didik tetapi juga harus mendidik lingkungannya.

Permasalahan yang muncul dari internal dan eksternal biasanya beragama mulai dari
sarana-prasarana, serta rendahnya kerjasama orangtua dengan guru di tambah lagi
kurangnya semangat belajar siswa yang semakin menurun. Sebagaimana menurut Ibu
Sarwan, S.Pd hasil dari wawancara penulis menyatakan bahwa kurangnya sarana
prasarana pembelajaran PAI.
Kekurangan buku bacaan dapat menimbulkan kendala dalam menjalankan proses
pembelajaran PAI sehingga menurunya minat baca yang kemudian akan berefek pada
rendahnya kualitas siswa dari sisi pengetahuan yang dimiliki. Kekurangan sarana
buku rupanya lebih parah dimiliki oleh sekolah swasta, karena di segi pengadaan
buku di swasta harus membeli sendiri dengan menggunakan dana BOS, namun dana
tersebut terbatas dengan keterbatasan jumlah siswa. Kedala sarana buku terutama
dalam pengimplementasi kurikulum 2013, bahkan ada madrasah yang belum
melaksanakan kurikulum tersebut akibat terkendala dengan buku dan guru yang
masih kurang paham.
Akibat kurangnya sarana/prasarana mengakibatkan pendidikan agama Islam kurang
dinamis, kurang efektif, dan menjemuhkan. Padahal tujuan perberdayaan sarana
pembelajaran pendidikan agama Islam adalah pertama, untuk dapat memperjelas,
mempermudah, meningkatkan hasil belajar pendidikan agama Islam secara utuh dan
optimal. Kedua, dapat meningkatkan kemampuan belajar dan motivasi belajar peserta
didik. Ketiga, menumbuhkan kesempatan belajar yang lebih baik dan lebih baru.
Keempat, dapat mengurangi ketergantungan kepada guru pendidikan agama Islam.
Kelima, dapat menumbuhkan rasa percaya diri dalam beragam di era globalisasi dan
mengkokohkan pengalaman dan pengamalan beragam dalam kehidupan sehari-hari. 6
Berdasarkan penejalsan di atas dapat diketahui bahwa keberhasilan proses
pembelajaran yang baik harus di dukung oleh fasilitas yang memadai semisal buku
ajar dan tempat prakter, sehingga siswa lebih bersemangat dalam belajar. Terlebih
lagi guru berkewajiban untuk terus memotivasi siswa untuk belajar karena tujuan dari
keberhasilan proses pembelajaran ukurannya dapat dilihat pada sejauh mana proses
tersebut mampu menumbuhkan, membina, membentuk, dan memberdayakan segenap
potensi yang dimiliki manusia, atau pada sejauh mana ia mampu memberikan
perubahan secara signifikan pada kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor
peserta didik.7 Adapun upaya yang di tempuh oleh pendidik agama Islam dalam
mengatasi masalah tersebut adalah dengan cara memberikan motivasi belajar pada
anak didik. Berkenaan dengan ini Sardiman A.M. mengatakan bahwa: Peran pendidik
sebagai motivator ini sangatlah penting artinya dalam rangka meningkatkan semangat
dan pengembangan kegiatan belajar anak didik. Pendidik dituntut dapat merangsang
dan memberikan doronganuntuk mendinamisasikan potensi anak didik,
menumbuhkan aktivitasdankreativitas sehingga akan terjadi dinamika dalam proses
belajar mengajar.8 Jadi, kegiatan belajar anak didik dapat terjadi apabila anak didik
ada perhatian dan dorongan terhadap rangsangan belajar. Untuk itu, maka seorang
pendidik harus berupaya menimbulkan dan mempertahankan perhatian serta
6
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum hingga
Islamisasi Pengetahuan, (Bandung: Penerbit Nuasa, 2010), h. 137.
7
Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 143.
8
Sardiman A.M, Interaksi Dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rajawali Perss, 1992), h.142.
memberikan dorongan kepada anak didik untuk melakukan kegiatan belajar. Menurut
hasil wawancara bapak Ibnu Hajar, MA mengatakan bahwa : bahwa motivasi belajar
siswa sudah menurun. Menurunnya motivasi ini dilatar belakangi beberapa faktor
misalnya faktor pergaulan, faktor orangtua, faktor guru mengajar dan faktor lainnya.
Pendidikan agama termasuk salah satu unsur terpenting dalam mengembangkan
simbol keagamaan, karena dengan pendidikan ini, seseorang dapat mengetahui hal-
hal yang berkaitan langsung dengan pengabdian manusia kepada Khaliqnya. Proses
belajar mengajar pendidikan agama mempunyai fungsi dan peranannya yang amat
luas, baik di dalam tujuan pokok maupun di dalam tujuan sementara. Di samping itu
secara rinci tujuan pendidikan dalam Islam adalah: pertama, untuk membentuk akhlak
yang mulia, karena akhlak inti pendidikan Islam untuk mencapai akhlak yang
sempurna harus melalui pendidikan. Kedua, Persiapan untuk kehidupan dunia dan
kehidupan akhirat. Pendidikan agama bukan hanya menitikberatkan pada keagamaan
saja, atau pada keduniaan saja tetapi pada kedua- duanya. Ketiga, Persiapan untuk
mencari rezeki dan pemeliharaan segi manfaat atau lebih dikenal dengan
prefosionalisme.Tujuan ini adalah menyiapkan pelajar dari segi propesionalisme,
teknikal dan pertukangan supaya dapat menguasai profesi tertentu, dan keterampilan
pekerjaan agar dapat mencari rezeki dalam hidup di samping memelihara segi
kerohanian dan keagamaan. Keempat, menumbuhkan semangat ilmiyah pada pelajar
dan memuaskan keingin tahuan (curiosity) dan memungkinkan ia mengkaji ilmu demi
ilmu itu sendiri.9
Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa guru PAI harus mampu memberikan
pembelajaran agama ke peserta didik tidak hanya bersifat kognitif tapi juga
mempunya unsur afektif dan psikomotori. Selain itu, tugas dan kewajiban guru
mampu menentukan metode yang cocok untuk diterapkan ketika proses belajar
berlangsung, karena guru merupakan sumber pengetahuan utama siswa.10 Tidak
hanya itu guru juga sebagai makhluk yang dapat menjadikan peserta didik mampu
merencanakan, menganalisa dan meyimpulkan masalah. Terlebih lagi guru agama
yang di lihat dari fungsi sebagai pembawa norma-norma Islami yang meneruskan

9
Azis Abbas, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Sumber Widya, 1995), h. 71
10
Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bina Aksara, 1995), h. 102.
misi Rasul sebagai guru utama.11 Maka dari itu guru PAI perlu melakukan hal-hal
sebagai berikut: pertama, guru PAI harus merencanakan, membuat dan
mengembangkan bahan, media dan alat pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan
pembelajaran pendidikan agama di madrasah. Kedua, guru PAI harus bisa
memanfaatkan dan mengelola penggunaan sarana pembelajaran pendidikan agama
secara efektif dan efisien. Ketiga, meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam
mengembangkan dan menggunakan sarana pembelajaran pendidikan agama.
Keempat, mengembangkan partisipasi siswa, orang tua dan masyarakat dalam
pengembangan sarana pembelajaran pendidikan agama. Kelima, mengembangkan
visi dan wawasan kependidikan serta menerapkannya melalui kegiatan belajar-
mengajar pendidikan agama.12 Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa
guru PAI harus memainkan peranan lebih, sehingga metode pengajaran yang
diterapkan guru PAI mampu di cerna dan dipahami oleh peserta didik, sehingga guru
tidak hanya mengunakan metode ceramah kepada siswa. Karena pada dasarnya
sebagian guru PAI masih mengandalkan metode seperti ceramah sehingga ini menjadi
faktor penyebab menurunnya minat siswa dalam belajar.
Penggunaan metode ceramah saja dapat membuat siswa mengalami kebosanan dalam
belajar sehingganya tidak seperti yang diharapkan. Penggunaan metode yang minim
dalam belajar disebabkan oleh perkembangan zaman dengan kompetesni guru tidak
berjalan beriringan. Disamping itu penggunaan metode belajar kelompok seperti yang
terimplementasi dalam kurikulum 2013 agak susah diterapkan, karena pelaksanaan
metode belajar tersebut harus ditopang oleh sarana prasarana yang lebih lengkap,
kemudian daya baca siswa juga harus meningkat, sekarang yang dialami oleh
sekolah-sekolah di pelosok terkedala dengan berbagai hal pendukung, terkadang
siswa hanya baca buku kalau disuruh guru ketika di sekolah, saat keberadaan mereka
dirumah malah tidak ada, apalagi yang tinggal bukan dengan orangtuanya.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Azis. Filsafat Pendidikan, Jakarta: Sumber Widya, 1995.


B. Uno, Hamzah, 2008, Perencanaan Pembelajaran, Jakarta:PT Bumi Aksara.

11
Zakiyah Drajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h. 68
12
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan, h. 141.
Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam dalam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Islam di
Sekolah, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001.
Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: Rosada, 2009) Rohiat,
Manajemen Sekolah, Teori Dasar dan Peraktik, (Bandung: Refika Aditama, 2010)
Nasution, S. Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Bina Aksara, 1995.
Samiudin, 2016, “Peran metode untuk mencapai tujuan pembelajaran”, Studi Islam, Vol11, No.
2.
Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Bagian 1: Ilmu
Pendidikan Teoritis, (t.k.: PT. IMTIMA, 2009) --------------, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan
Bagian 3 : Pendidikan Disiplin Ilmu, (PT. IMTIMA, 2009)

Anda mungkin juga menyukai