Anda di halaman 1dari 6

CONTOH ANALISIS ISU HUKUM

PERUNDANGAN PANGAN DAN GIZI


https://www.jawapos.com/surabaya-raya/01343638/di-gresik-seorang-anak-stunting-
meninggal-dunia

“Di Gresik, Seorang Anak Stunting Meninggal Dunia”


M Sholahuddin. - Jumat, 10 September 2021 | 08:06 WIB

JawaPos.com- Pandemi Covid-19 juga berdampak terhadap krisis sosial dan ekonomi.
Tingkat kemiskinan meningkat. Tidak terkecuali di wilayah Kabupaten Gresik. Kondisi itu
sangat berpotensi menambah jumlah balita mengalami stunting akibat kurang gizi.
Karena itu, mesti mendapatkan atensi lebih.

Kamis (9/9), seorang balita kurang gizi atau stunting di salah satu desa wilayah
Kecamatan Sidayu, Kabupaten Gresik, meninggal dunia diduga karena stunting. Balita
tersebut berusia 3 tahun 6 bulan. Idealnya, anak seusia itu memiliki berat badan berkisar
12 kilogram. Namun, bayi bersangkutan hanya berbobot 4,2 kilogram.

Mashuda, kepala desa setempat, ketika dikonfirmasi tidak menampik kejadian tersebut.
Dia menyebut, bayi itu memang berasal dari keluarga yang terbilang kurang mampu.
Namun, selama ini pihak pemerintah desa dan kecamatan sudah tidak kurang-kurang
memberikan perhatian terhadap kondisi anak tersebut.

‘’Perhatian kami terbilang sudah luar biasa. Termasuk bidan desa, sewaktu-waktu rutin
melakukan kunjungan ke rumah warga. Bahkan, dini hari sekalipun,’’ ujarnya, Kamis
(9/9).

Anak bersangkutan, lanjut dia, juga sudah pernah dirawat ke layanan kesehatan.
Termasuk ke RSUD dr Soetomo, Surabaya. Namun, ternyata takdir berkata lain. Anak
tersebut kondisinya memang demikian dan akhirnya tidak berumur panjang.

‘’Obat tidak bisa masuk. Kalau sudah begitu, kita bisa apa lagi? Pihak desa turut berduka
cita. Yang jelas, selama ini kami sudah berikhtiar dengan kuat,’’ ucap Mashuda.

Sama dengan kabupaten/kota lain, sejauh ini Kabupaten Gresik juga masih menyisakan
pekerjaan rumah kasus anak stunting. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Pemprov Jatim
per 2020, dari jumlah bayi ditimbang usia 0-59 bulan sebanyak 32.720, ada 1.526 anak
(4,7 persen) yang kurang gizi, balita pendek 2.465 (7,5 persen), dan balita kurus 1.622
(4,9 persen). Persentase itu lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata di Jatim.

Status gizi balita di sebuah daerah menjadi salah satu indikator keberhasilan tujuan
pembangunan berkelanjutan (SDGs). Status gizi itu diukur berdasarkan umur, berat
badan, tinggi badan. Ketiga variabel itu disajikan dalam bentuk indikator antropometri.

1
Yakni, berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat
badan menurut tinggi badan (BB/TB).

Nah, pada masa pandemi Covid-19 berkepanjangan seperti sekarang, tentu berpotensi
memicu peningkatan jumlah anak stunting. Angka kemisksinan bertambah, membuat
keluarga tidak sanggup memenuhi kecukupan gizi anak. Tidak terkecuali di Kabupaten
Gresik. Berdasarkan data dari Bappeda Gresik, pada 2019, angka kemiskinan di Gresik
sebanyak 11,35 persen. Dampak pandemi, pada 2020 melonjak menjadi 12,4 persen.

Kasus stunting juga mendapat perhatian serius Presiden RI Joko Widodo. Pada 5 Agustus
2021 lalu, Presiden mengeluarkan Perpres Nomor 71 Tahun 2021 tentang Percepatan
Penurunan Stunting. Bahkan, Perpres itu juga memberikan amanat kepada Wapres KH
Makruf Amin sebagai ketua pengarah. Tidak hanya anak berusia 0-59 bulan saja yang
menjadi sasaran, melainkan juga remaja, calon pengantin, ibu hamil, dan ibu menyusui.

Pertanyaan analisis:
Kajilah bagaimana pandangan hak asasi manusia terhadap anak penderita stunting?

Jawaban:
Menurut Teori HAM hak alami (natural rights): Human rights are rights that belong to all
human beings at all times and in all places by virtue of being born as human beings).
HAM adalah hak yang dimiliki oleh seluruh manusia pada segala waktu dan tempat
berdasarkan takdirnya sebagai manusia. Dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia
bahwa kematian yang merenggut nyawa anak-anak bangsa dengan sebab
ketidaktersediaan perlindungan dan pelayanan kesehatan dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran HAM. Pelanggaran terhadap hak kesehatan merupakan pelanggaran
konstitusi. Hamid Attamimi mengatakan bahwa konstitusi atau UUD NRITahun1945
adalah sebagai pemberi pegangan dan pemberi batas sekaligus tentang bagaimana
kekuasaan negara harus dijalankan. Dengan demikian, kegagalan pemerintah dalam
memaksimalkan kebijakan program pencegahan dan pemulihan kesehatan anak stunting
merupakan bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan negara, sebab tidak memenuhi hak
konstitusional anak. Jika anak penderita stunting tidak dipulihkan, maka akan merusak
masa depan anak dan bangsa bahkan menyebabkan kematian.

Adapun hak yang dilanggar negara adalah hak sehat, hak tumbuh kembang, hak
kesejahteraan anak, hak atas pendidikan, hak atas standar hidup yang layak, dan
termasuk hak hidup. Hak hidup merupakan hak non derogable yang tidak dapat
direstriksi dalam kondisi apapun sebagai anugerah dari Tuhan.

Perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional warga negara harus dilakukan sesuai
dengan kondisi warga negara dengan kenyataan bahwa dalam masyarakat Indonesia
terdapat perbedaan kemampuan (yang disebabkan karena struktursosial yang
berkembang cenderung memarginalisasikannya) untuk mengakses perlindungan dan
pemenuhan hak yang diberikan oleh negara. Penyelenggaraan perlindungan anak
penderita stunting merupakan kewajiban dan tanggung jawab bersama yakni negara,

2
masyarakat, keluarga dan orang tua yang meliputi perlindungan yuridis, ekonomi, sosial
dan budaya. Oleh karena itu, dalam pemenuhan hak dasar anak, maka tanggung jawab
tersebut dilakukan secara holistik dengan bekerjasama dengan para stakeholder.

CONTOH ANALISIS ISU HUKUM


PERUNDANGAN K3
Cuplikan berita:

https://www.liputan6.com/bisnis/read/5489931/tungku-smelter-di-imip-morowali-
meledak-buruh-tuntut-itss-tanggung-jawab?page=2

“Tungku Smelter di IMIP Morowali Meledak, Buruh Tuntut


ITSS Tanggung Jawab”
Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) menilai ledakan tungku smelter
milik PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS), di Kabupaten Morowali, Sulawesi
Tengah (Sulteng) sebagai sebuah tragedi kemanusiaan.

Pasalnya, kecelakaan kerja di kawasan industri Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP)
tersebut sedikitnya memakai korban 13 nyawa pekerja, dimana 9 di antaranya
merupakan WNI.

Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat menyatakan, kecelakaan kerja di lingkungan


ITSS ini merupakan tragedi kemanusiaan yang harus menjadi perhatian serius dari
Pemerintah, untuk kemudian mengusut tuntas penyebab dan penanggungjawabnya.

Mirah menduga kuat adanya pelanggaran aturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
di PT ITSS. Sehingga terjadi ledakan tungku smelter yang mengakibatkan korban jiwa dan
korban luka-luka.

"Terhadap korban jiwa, PT ITSS wajib bertanggung jawab kepada keluarganya, demi
memastikan keluarga korban dapat melanjutkan kehidupannya setelah kehilangan kepala
keluarga," desak dia.

Lemahnya Penerapan K3

Lebih lanjut, Mirah juga menyinggung soal lemahnya pengawasan terhadap penerapan
K3 di Indonesia. Menurutnya, itu berkorelasi dengan kemudahan investasi yang terlalu
dimudahkan oleh Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja.

"Pengawasan yang lemah dan minimnya jumlah tenaga pengawas ketenagakerjaan


adalah persoalan klasik yang tidak pernah diselesaikan oleh pemerintah," cetus Mirah.

3
Oleh karenanya, serikat buruh tersebut menuntut pemerintah dalam hal ini Kementerian
Ketenagakerjaan untuk serius dalam melakukan pengawasan ketenagakerjaan, termasuk
soal penerapan K3 di seluruh perusahaan di Indonesia.

****************************************

Analisis Potensi Penyebab Ledakan:

Berdasarkan berita tersebut, analisis potensi penyebab kecelakaan kerja tersebut adalah:

1. Kebocoran gas yang tidak terdeteksi oleh sistem alarm atau sensor, yang dapat
menyebabkan ledakan atau kebakaran jika terkena sumber api atau percikan
listrik.
2. Kurangnya pelatihan dan pengetahuan pekerja tentang prosedur keselamatan
dan kesehatan kerja, terutama dalam hal penanganan bahan kimia, penggunaan
alat pelindung diri, dan tindakan darurat.
3. Tidak adanya atau tidak berfungsinya alat pemadam api, sprinkler, atau sistem
hidran (sumber air untuk memadamkan api) di lokasi kerja, yang dapat
menghambat upaya pemadaman api jika terjadi kebakaran.
4. Tidak adanya atau tidak memadainya fasilitas kesehatan dan evakuasi di lokasi
kerja, yang dapat menyulitkan penanganan korban luka atau keracunan gas.
5. Tidak adanya atau tidak berfungsinya komunikasi dan koordinasi antara pekerja,
pengawas, dan manajemen, yang dapat mengakibatkan keterlambatan atau
kesalahan dalam mengambil keputusan atau tindakan.

UU Kesehatan No.17 Tahun 2023 (Omnibus Law)

Pasal 99 ayat 6 berbunyi: “Pemberi kerja dan pengurus atau pengelola tempat kerja
wajib bertanggung jawab atas kecelakaan kerja yang terjadi di lingkungan kerja dan
penyakit akibat kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan”

Pasal 100 ayat 1 berbunyi:

(1) Pemberi kerja wajib menjamin Kesehatan pekerja melalui upaya promotif, preventif,
kuratif, rehabilitatif, dan paliatif serta wajib menanggung seluruh biaya pemeliharaan
kesehatan pekerjanya.

Pertanyaan Analisis:
Jelaskan 4 (empat) kewajiban PT ITSS dalam bentuk upaya promotif, preventif, kuratif,
rehabilitatif, atau paliatif untuk melindungi pekerja jika ternyata penyebab ledakan
tersebut adalah seperti lima poin yang tertera pada “Analisis Potensi Penyebab Ledakan”
di atas!

Gunakan lima poin “Analisis Potensi Penyebab Ledakan” untuk menjawab pertanyaan
berikut. Tuliskan 4 (empat) kewajiban pekerja sebagai bentuk kepatuhan terhadap UU
Kesehatan Omnibus Law guna mencegah terjadinya kecelakaan kerja seperti ledakan
Smelter atau untuk mencegah timbulnya keparahan akibat ledakan di tungku Smelter!

4
Jawaban hasil Analisis Isu K3:
1. Kewajiban Pengusaha:

a. Menerapkan dan mematuhi peraturan perundangan yang mengatur


tentang K3, serta bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan
akibat kecelakaan kerja.

b. Menerapkan dan memelihara sistem manajemen K3 di perusahaan, serta


menyediakan sumber daya manusia, material, dan finansial yang
diperlukan.

c. Memberikan pelatihan dan pengembangan kompetensi kepada pekerja,


pengawas, dan manajemen tentang K3, serta melibatkan mereka dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan peningkatan K3.

d. Menyediakan dan memastikan penggunaan APD, peralatan kerja,


instalasi, dan fasilitas yang aman dan sehat bagi pekerja, serta melakukan
pemeliharaan dan pemeriksaan rutin.

e. Menyediakan dan memastikan ketersediaan fasilitas kesehatan, sistem


komunikasi dan koordinasi, dan sarana evakuasi bagi pekerja, serta
memberikan pertolongan pertama, pengobatan, dan rehabilitasi bagi
korban kecelakaan kerja.

f. Melaporkan dan menangani kecelakaan kerja yang terjadi di perusahaan,


serta melakukan evaluasi dan tindakan perbaikan.

2. Kewajiban Pekerja:

a. Mentaati peraturan perundangan yang mengatur tentang K3, serta


peraturan perusahaan yang berkaitan dengan K3.

b. Melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur kerja yang aman dan


sehat, serta menghindari tindakan yang membahayakan diri sendiri atau
orang lain.

c. Menggunakan alat pelindung diri (APD) yang disediakan oleh


perusahaan, serta menjaga dan merawatnya dengan baik.

d. Melaporkan kepada pengawas atau manajemen jika mengetahui atau


mengalami kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, atau bahaya di
tempat kerja.

e. Berpartisipasi dalam kegiatan pelatihan, sosialisasi, konsultasi, dan


evaluasi yang berkaitan dengan K3 yang diselenggarakan oleh
perusahaan atau pemerintah.

f. Berpartisipasi dalam kegiatan peningkatan K3, seperti pembentukan


komite K3, unit pelayanan K3, atau kelompok kerja K3 di perusahaan.

5
6

Anda mungkin juga menyukai