Anda di halaman 1dari 19

TUGAS

BERFIKIR SISTEM
SEPULUH LANGKAH UNTUK SISTEM YANG BERPIKIR UNTUK
MEMPERKUAT SISTEM KESEHATAN

ANDI AYUB AWU ABDULLAH

NIM.006310112019

M.KES-5

PASCASARJANA KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN

      A.    Latar Belakang
Balita pendek (stunting) merupakan keadaan tubuh yang pendek dan sangat
pendek hingga melampaui defisit -2 SD dibawah median panjang atau tinggi badan.
Stunting dapat di diagnosis melalui indeks antropometri tinggi badan menurut umur
yang mencerminkan pertumbuhan linier yang dicapai pada pra dan pasca persalinan
dengan indikasi kekurangan gizi jangka panjang, akibat dari gizi yang tidak memadai.
Stunting merupakan pertumbuhan linear yang gagal untuk mencapai potensi genetik
sebagai akibat dari pola makan yang buruk dan penyakit infeksi (ACC/SCN, 2000).
Stunting adalah masalah gizi utama yang akan berdampak pada kehidupan sosial
dan ekonomi dalam masyarakat. Ada bukti jelas bahwa individu yang stunting memiliki
tingkat kematian lebih tinggi dari berbagai penyebab dan terjadinya peningkatan
penyakit. Stunting akan mempengaruhi kinerja pekerjaan fisik dan fungsi mental dan
intelektual akan terganggu (Mann dan Truswell, 2002). Hal ini juga didukung oleh
Jackson dan Calder (2004) yang menyatakan bahwa stunting berhubungan dengan
gangguan fungsi kekebalan dan meningkatkan risiko kematian. Di Indonesia,
diperkirakan 7,8 juta anak mengalami stunting, data ini berdasarkan laporan yang
dikeluarkan oleh UNICEF dan memposisikan Indonesia masuk ke dalam 5 besar negara
dengan jumlah anak yang mengalami stunting tinggi (UNICEF, 2007). Hasil Riskesdas
2010, secara nasional prevalensi kependekan pada anak umur 2-5 tahun di Indonesia
adalah 35,6 % yang terdiri dari 15,1 % sangat pendek dan 20 % pendek.
  B.     Rumusan Masalah
Bagaiman Menerapkan sistem dalam desain dan evaluasi interfensi pada
kejadian Stunting disuatu wilayah.
  C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari makalah ini untuk menerafkan 10 langkah penerapan
persfektif sistem dalam desain dan evaluasi intervensi.
BAB II
PEMBAHASAN

Sepuluh langkah untuk berfikir sistem : Menerapkan Perspektif sistem


dalam desain dan evaluasi intervensi

Masalah Kesehatan : STUNTING

1. Temu Pemangku Kepentingan /Kebijakan


A. Kementrian Kesehatan
B. Dewan Perwakilan Rakyat
C. Dinas kesehatan provinsi
D. Dinas kesehatan Kabupaten
E. Posyandu
F. Tokoh masyarakat, tokoh agama dan pemuka-pemuka masyarakat yang terkait.
G. Lembaga sewadaya masyarakat yang mendorong perilaku hidup bersih sehat.
2. Melakukan Brains storming secara kolektif/ berfikir bersama
A. Jadi kementrian kesehatan melakukan brains storming dengan instansi terkait
untuk membahas dan mengkaji data kejadian Stunting dan dampaknya. Yang
nantinya pihak pemerintah terkait melakukan program penanggulangan Stunting
tersebut .
B. Setelah itu dewan terkait melakukan survei khusus terhadap masyrakat terkait
kejadian Stunting, lalu mulai merancang anggaran terkait penanggulangan
kejadian Stunting berdasarkan program yang telah direncanakan
C. Dinas kesehatan menjalankan kegiatan-kegiatan pencegahan Stunting sesuai
procedural perencanaan dengan melakukan sinergi semua pihak pemerintah yang
bertanggung jawab dari pemangku kebijakan pusat hingga petugas kesehatan
dilapangan
D. Salah satu yang berperan aktif adalah Posyandu kerena merupakan instansi gotong
royong, antara pemerintah dan masyarakat
E. Peran tokoh masyarakat pun sangat dibutuhkan dalam memfasilitasi dinas
kesehatan serta mempermudah komunikasi pemerintah langsung kemasyarakat
F. LSM serta kader yang ada di daerah tersebut pun diharapkan dapat bersama
dalam kampanye menciptakan derajat kesehatan yang prima, sebagai upaya untuk
mencegah kejadian Stungting.
3. Konseptualisasi Efek
Stunting dapat di diagnosis melalui indeks antropometri tinggi badan menurut
umur yang mencerminkan pertumbuhan linier yang dicapai pada pra dan pasca
persalinan dengan indikasi kekurangan gizi jangka panjang, akibat dari gizi yang tidak
memadai. Stunting merupakan pertumbuhan linear yang gagal untuk mencapai potensi
genetik sebagai akibat dari pola makan yang buruk dan penyakit infeksi (ACC/SCN,
2000).
Stunting adalah masalah gizi utama yang akan berdampak pada kehidupan
sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Ada bukti jelas bahwa individu yang stunting
memiliki tingkat kematian lebih tinggi dari berbagai penyebab dan terjadinya
peningkatan penyakit. Stunting akan mempengaruhi kinerja pekerjaan fisik dan fungsi
mental dan intelektual akan terganggu (Mann dan Truswell, 2002). Hal ini juga
didukung oleh Jackson dan Calder (2004) yang menyatakan bahwa stunting
berhubungan dengan gangguan fungsi kekebalan dan meningkatkan risiko kematian.
Di Indonesia, diperkirakan 7,8 juta anak mengalami stunting, data ini berdasarkan
laporan yang dikeluarkan oleh UNICEF dan memposisikan Indonesia masuk ke dalam
5 besar negara dengan jumlah anak yang mengalami stunting tinggi (UNICEF, 2007).
Hasil Riskesdas 2010, secara nasional prevalensi kependekan pada anak umur 2-5
tahun di Indonesia adalah 35,6 % yang terdiri dari 15,1 % sangat pendek dan 20 %
pendek.
Kehidupan dan generasi masa depan sangat bergantung dengan kondisi saat
ini. Perlu adanya langkah yang nyata untuk menangani masalah kesehatan di
masyarakat demi terwujudnya status derajat kesehatan yang tinggi di masyarakat.

4. Beradaptasi dan mendesain ulang


Stunting tidak bisa disembuhkan, tapi bisa dicegah Sebagai masalah bersama
bangsa, persoalan stunting harus dihadapi secara bersama pula oleh seluruh elemen
bangsa. Kolaborasi pemerintah dengan aktor non-pemerintah diperlukan guna
memastikan upaya mengatasi stunting berjalan efektif dan membuahkan hasil yang
optimal. Pengalaman Peru dan Vietnam mengajarkan pentingnya sinergi antara
pemerintah pusat, pemerintah daerah, tenaga kesehatan, sektor swasta, dan lembaga
swadaya masyarakat (LSM) dalam memastikan keberhasilan penanggulangan
stunting. Vietnam menyusun rencana aksi untuk percepatan pengentasan stunting
dengan menggandeng berbagai pemangku kepentingan serta melibatkan lembaga
legislatif dalam diskusi tentang nutrisi yang menghasilkan suatu kebijakan nasional
terintegrasi disokong oleh undang-undang tentang nutrisi. Sementara itu, Peru melalui
program "Crecer/To Grow" mendistribusikan tanggung jawab implementasi ke
kementerian/lembaga terkait dan pemerintah daerah yang bekerja sama erat dengan
masyarakat madani dan LSM serta kalangan swasta dan donor. Secara garis besar, ada
dua jenis intervensi yang dapat dilakukan melalui upaya bersama seluruh pemangku
kepentingan untuk menanggulangi stunting. Pertama adalah intervensi gizi spesifik,
yaitu aktivitas yang secara langsung menyasar ibu hamil/menyusui dan anak, terutama
dalam 1.000 hari pertama kehidupan (HPK). Kegiatan intervensi ini biasanya bersifat
jangka pendek dan dilakukan dalam lingkup sektor kesehatan, seperti pemberian ASI
eksklusif dan penggunaan pangan olahan untuk keperluan medis khusus (PKMK).
Kedua adalah intervensi gizi sensitif, yaitu intervensi yang dilakukan melalui berbagai
kegiatan di luar sektor kesehatan murni dengan sasaran masyarakat umum. Contoh
kegiatan yang dilakukan adalah memastikan ketersediaan akses terhadap air bersih,
sanitasi, dan jaminan sosial serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya higienitas
bagi keluarga miskin. Agar maksimal, kegiatan intervensi gizi spesifik dan sensitif
seyogianya melibatkan peran serta aktor non-pemerintah dalam sebuah kolaborasi
tripartit yang sinergis, yaitu antara pemerintah, kalangan usaha, dan masyarakat sipil.
Dari sisi kalangan usaha, peran yang dapat dimainkan setidaknya ada tiga. Yang
pertama sebagai mitra pemerintah dalam menyelenggarakan program dan kegiatan
yang menyasar penanggulangan stunting. Kalangan usaha dapat memanfaatkan
keahlian, teknologi, infrastruktur, dan jaringan yang mereka miliki untuk mendukung
program pemerintah agar dapat menjangkau seluruh pelosok negeri. Hal ini terutama
berlaku bagi kalangan usaha yang bergerak di sektor kesehatan, pendidikan, dan
pangan karena kaitannya yang langsung dengan persoalan stunting. Kedua, sebagai
penyandang dana untuk membiayai program dan kegiatan penanggulangan stunting
yang pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat sipil, seperti LSM, organisasi
kemasyarakatan, perangkat desa. Dari sudut pandang pengusaha, penyaluran dana
untuk program penanggulangan stunting bukan semata-mata kegiatan karitatif,
melainkan juga investatif. Sebuah studi yang dilakukan J Hoddinott dkk tahun 2013
(International Food Policy Research Institute) memperkirakan bahwa setiap 1 dollar
AS yang dikeluarkan untuk menanggulangi stunting di Indonesia mendatangkan
imbal balik ekonomis sebesar 48 dollar AS. Kue ekonomi tersebut tentunya akan turut
dinikmati oleh kalangan usaha. Ketiga, sebagai penyelenggara mandiri program dan
kegiatan penanggulangan stunting dengan sasaran geografis spesifik yang sejalan
dengan prioritas pemerintah dan selaras dengan kepentingan bisnis. Pada tahun 2019,
sebanyak 160 kabupaten/kota direncanakan akan menjadi prioritas pemerintah untuk
penanggulangan stunting. Keterlibatan lebih intens kalangan usaha di daerah tertentu
akan memberikan ruang lebih besar kepada pemerintah untuk memperhatikan daerah
lain yang tidak dirambah oleh kalangan usaha. Kalangan usaha di sektor layanan
kesehatan, dalam hal ini rumah sakit swasta, dapat diberi peran lebih besar dalam
upaya bersama pencegahan stunting. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan yang
diolah oleh Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), jumlah rumah sakit
di seluruh Indonesia tercatat berjumlah 2.820 (per April 2018). Jumlah itu terdiri dari
1.016 rumah sakit pemerintah dan 1.804 rumah sakit swasta. Melalui jejaring, layanan
kesehatan ibu dan anak, fasilitas sarana dan prasarana, serta sumber daya dokter dan
tenaga kesehatan yang mereka miliki, rumah sakit swasta dapat menjadi mitra
pemerintah, di antaranya dalam kampanye dan edukasi tentang perbaikan gizi serta
praktik baik dalam intevensi gizi, antara lain suplementasi dan konseling gizi.
Perspektif gender Kebijakan penanggulangan stunting tak pelak harus menyasar ibu
sebagai target demografis utama. Hal ini mengingat selain sebagai orangtua yang
mengandung dan menyusui, ibu juga berperan lebih besar dalam merawat anak usia
dini di masyarakat Indonesia pada umumnya. Namun demikian, perlu digarisbawahi
bahwa intervensi yang dilakukan bukan semata-mata menyasar aspek peran bawaan
perempuan (seperti kesehatan ibu hamil dan ASI eksklusif), melainkan juga
pemberdayaan perempuan secara lebih luas. Berbagai studi yang dilakukan di negara-
negara Asia dan Afrika menunjukkan adanya asosiasi antara pemberdayaan
perempuan dan tingkat prevalensi stunting. Di Laos, misalnya, kemungkinan seorang
anak mengalami stunting lebih kecil jika sang ibu memiliki akses lebih besar atas
layanan kesehatan, rasa penghargaan diri, dan kendali atas uang. Dengan kata lain,
semakin besar otonomi ibu, semakin kecil kemungkinan anak mengalami stunting.
Banyak ahli sepakat bahwa aspek-aspek seperti akses terhadap pendapatan,
keterlibatan dalam pengelolaan keuangan keluarga, dan kewenangan dalam
pengambilan keputusan oleh perempuan berperan penting dalam mengatasi masalah
gizi masyarakat. Oleh karena itu, program penanggulangan stunting harus memiliki
perspektif gender dan dibingkai dalam kerangka pemberdayaan perempuan yang lebih
luas. Seperti layaknya masalah-masalah lain di dunia ini, persoalan stunting hanya
dapat diatasi dengan memberdayakan perempuan di dalam masyarakat maupun dalam
keluarga untuk dapat memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Stunting adalah
persoalan serius yang dapat merampas hak dasar anak atas kesehatan dan tumbuh
kembang yang baik. Jika tidak ditangani dengan benar, yang dipertaruhkan adalah
keberlangsungan hidup anak-anak kita dan bangsa Indonesia di masa mendatang.
Oleh karena itu, kita berkewajiban untuk bersama-sama menanggulangi persoalan
stunting melalui kolaborasi yang erat, terpadu, dan terencana dengan baik melibatkan
seluruh pemangku kepentingan.
5. Menentukan Indikator
1. Komitmen dan Visi Kepemimpinan
2. Kampanye Nasional dan Komunikasi Perubahan Perilaku
3. Konvergensi, Koordinasi Konsolidasi Program Pusat, Daerah dan Desa
4. Gizi dan ketahanan pangan
5. Pemantauan dan Evaluasi
6. Pilih metode
A. Melakukan Promosi Kesehatan
B. Melakukan Penyuluhan
C. Melakukan Pembinaan Atau Konseling
7. Pilih desain
Bagaiman meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mencegah kejadian stunting terutama
pada Bumil. Hal tersebut agar masyarakat bisa mencegah dan menanggulangi masalah
kesehatan. Selain itu, dengan menerapkan pencegahan sebagai satu-satunya cara
menyelesaikan kejadian stunting maka diadakan penyuluhan yang intensif agar terciptanya
kesadaran masyarakat, dalam melakukan usaha pencegahan sedini mungkin
8. Mengembangkan Rencana
A. Intervensi Gizi spesifik
1. PMT untuk mengatasi KEK pd bumil
2. TTD untuk anemia bumil
3. Konsumsi Garam Beriodium
4. ASI Ekslusif
5. Pemberian ASI sampai usia 2 tahun didampingi dengan MP ASI adekuat
6. Imunisasi
B. Intervensi Gisi Sensitif
1. Air Bersih, Sanitasi.
2. Fortifikasi-Ketahanan Pangan.
3. Akses kepada Layanan Kesehatan dan KB.
4. JKN, Jampersal, Jamsos lain
5. Pendidikan Pola Asuh Ortu.
6. PAUD HI- SDIDTK
7. Pendidikan Gizi Masyarakat.
8. Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi, serta Gizi pada Remaja.
9. Program Padat Karya Tunai
9. Tetapkan anggaran
Jadi anggaran yang dilakukan dalam program PHBS :
A. Promosi Kesehatan Rp. xxx
B. Peyuluhan Rp. xxx
C. Pembagian Poster Rp. xxx
D. Evaluasi Rp. xxx
Rp. xxx,-
10. Sumber Pendanaan
Stunting saat ini menjadi program prioritas dari pemerintah disebabkan angkanya
yang sangat tinggi yaitu 30%, ditahun 2019 pemerintah menganggarkan 9T untuk
penyelenggaraan penanggulangan Stunting .

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan.

1. Masalah stunting (gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak-anak


dari gizi buruk) tak hanya menjadi isu kesehatan saja, tapi juga sudah menjadi isu
perekonomian nasional. Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro
mengatakan, persoalan stunting dapat memberikan dampak buruk terhadap
pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Potensi kerugian akibat stunting bisa mencapai 2-
3% dari produk domestik bruto (PDB) per tahun.
2. Dalam Rapat Pleno Upaya Percepatan Penganan Stunting 12 Juli 2017 dan 9 Agustus
2017, yang dipimpin oleh Wakil Presiden, pemerintah menegaskan 5 pilar
penanganan Stunting, yakni:
a. Pilar 1 : Komitmen dan Visi Pimpinan Tertinggi Negara
b. Pilar 2 : Kampanye Nasional berfokus pada pemahaman, perubahan perilaku,
komitmen politik dan akuntabilitas
c. Pilar 3 : Konvergensi, Koordinasi dan Konsolidasi Program Nasional, Daerah dan
Masyarakat
d. Pilar 4 : Mendorong Kebijakan Nutritional Food Security
e. Pilar 5 : Pemantauan dan Evaluasi
Komitmen dan visi pimpinan Tertinggi Negara sudah diwujudkan dengan
dimulainya Kampanye Nasional Pencegahan Stunting dengan tema "Cegah Stunting
untuk Generasi Cerdas Indonesia" secara resmi pada 16 September 2018. Kampanye
ini sekaligus implementasi dari Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo 16 Agustus
2018 lalu yang menegaskan bahwa pembangunan SDM diawali sejak dari kandungan.
Dalam kampanye pencegahan stunting, ada tiga hal yang harus diperhatikan,
yakni perbaikan terhadap pola makan, pola asuh, serta perbaikan sanitasi dan akses air
bersih.
Untuk itu, pemerintah harus mengedepankan program-program masyarakat
yang bisa memastikan akses rumah tangga ke sanitasi yang layak, ketersediaan air
bersih dan makanan yang terdiversifikasi, serta dukungan penanggulangan
kemiskinan bagi keluarga yang membutuhkan.\
Selain itu, pemerintah juga harus secara terus menerus memberikan
pendidikan tentang cara memberi makan anak-anak dan melindunginya dari infeksi,
dan layanan kesehatan yang memadai dan mudah diakses untuk mencegah dan
mengobati infeksi secara kolektif sehingga dapat mengurangi stunting pada populasi.
BAB I
PENDAHULUAN

      A.    Latar Belakang
GAMBARAN UMUM

1. Kondisi Geografi Wilayah Kerja Puskesmas Sudiang Kota Makassar

a. Letak dan Luas Wilayah

Puskesmas Sudiang terletak di Kelurahan Pai Kecamatan Biringkanya Kota Makassar pada  
sumbu titik koordinat: -5,08’077” LS dan 119,52’467” BT. Adapun  batas Wilayah administrasi
sebagai berikut:

 Sebelah Utara : berbatasan dengan Kabupaten Maros


 Sebelah Timur : berbatasan dengan Kelurahan Sudiang Raya
 Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kelurahan Paccerakkang
 Sebelah Barat : berbatasan dengan Kelurahan Bira

Secara Geografi, wilayah kerja Puskesmas Sudiang dengan luas wilayah sekitar 25.83 Km2  
yang  terdiri  dari  4 (empat)  kelurahan. Pada  tahun  2010   terdapat 47 RW, 2.350  RT dan total
penduduk sekitar 65.696 jiwa.( lihat table 1)

2. Demografi (Kependudukan)

Berdasarkan Registrasi Penduduk dari Statistik Kecamatan Biringkanayya,   Penduduk di


wilayah kerja Puskesmas Sudiang tahun 2010  yang berjumlah 65.696 jiwa dengan komposisi laki-
laki  25.852 jiwa dan perempuan sekitar 39.844 jiwa dengan jumlah 17.625 KK   dengan kepadatan
penduduk sekitar 94 jiwa /km2. (Tabel 1)

Sedang ratio beban tanggungan (dependentcy ratio) rata-rata sekitar  67 % atau dengan
interpretasi setiap 100 penduduk  di wilayah kerja Puskesmas Sudiang akan ditanggung sekitar 67
orang yang produktif. Angka ketergantungan lebih besar pada Kelurahan Untia yakni sekitar 86 %.
Sedang sex ratio atau ratio jenis kelamin Laki-laki dan Perempuan sekitar 1 : 4. (Lihat Tabel 2).

Untuk lebih jelas Bentuk piramida penduduk  dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 1 :    Grafik Piramida Penduduk menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin di
Wilayah Kerja Puskesmas Sudiang tahun 2010.

Dari gambar diatas dapat diketahui bentuk piramida penduduk berbentuk “Constriktif”
yang menggambarkan penduduk kelompok muda lebih sedikit dibanding penduduk usia produktif
dan usia tua, dimana pada penduduk usia produktif yang lebih dominan adalah penduduk pra Usila
(kelompok usia 45 – 64 th).
3. Gambaran Umum Puskesmas Sudiang Kota Makassar
a. Sarana Kesehatan

Puskesmas Sudiang dalam melaksanakan tugasnya sebagai Unit Pelaksana Teknis dalam pelayanan
Kesehatan kepada masyarakat umum  dengan jumlah sarana sebagai berikut :

No Sarana Pelayanan Kesehatan   Jumlah  Keterangan 


1 PUSTU 3  
2 POSYANDU 42 *
3 PUSLING 11  
4 POSKESDES 1 *
5 POSKESTREN 4 *
6 POS UKK 2 *
7 BPS & Dokter Praktek 48  
B.     Rumusan Masalah
Bagaiman Menerapkan sistem dalam desain dan evaluasi interfensi pada
penyakit ISPA.
 C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari makalah ini untuk menerapkan 10 langkah penerapan persfektif
sistem dalam desain dan evaluasi intervensi.

 D.    Manfaat
Adapun manfaat yang diperoleh, yaitu dapat mengetahui mengenai penyakit ISPA,
penyebab penyakit, gejala penyakit, dan pengobatan untuk penyakit ISPA, serta komplikasi
dari penyakit.

BAB II
PEMBAHASAN
Sepuluh langkah untuk berfikir sistem : Menerapkan Perspektif sistem
dalam desain dan evaluasi intervensi

Masalah Kesehatan Penyakit ISPA

1. Temu Pemangku Kepentingan /Kebijakan


A. Kementrian Kesehatan
B. Direktorat pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular
C. Dinas Kesehatan Provinsi
D. Dinas Kesehatan Kota
E. Kepala Puskesmas Sudiang Raya
F. Camat
G. Lurah
H. Lembaga Swadaya Masyrakat
I. Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama
2. Melakukan Brains storming secara kolektif/ berfikir bersama
Infeksi Saluran Pernapasan
Akut ISPA) adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit
menular di dunia. Hampir empat juta orang meninggal akibat ISPA setiap tahun,
98%- nya disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bawah. Tingkat mortalitas
sangat tinggi pada bayi, anak-anak, dan orang lanjut usia, terutama di negara-negara
dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah. Begitu pula, ISPA merupakan
salah satu penyebab utama konsultasi atau rawat inap di fasilitas pelayanan
kesehatan terutama pada bagian perawatan anak. Penyakit ISPA merupakan
penyakit yang sering diderita oleh bayi dan anak (Depkes RI, 2008).
Penyakit ISPA masih merupakan masalah yang cukup serius. di mana tahun
2014 penemuan penderita ISPA positif sebanyak 10.204 kasus dan pada tahun 2015
penemuan penderita ISPA menurun 8.719 kasus sedangkan tahun 2016 penemuan
penderita ISPA meningkat sebanyak 9.540 penderita, dengan jumlah penduduk
101.384 jiwa. (Pofil Dinas Kesehatan Kota Makassar Tahun 2016).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Sudiang untuk penyakit
ISPA pada tahun 2016 tercatat sebanyak 1.463 kasus penyakit ISPA, akan tetapi pada
tahun 2017 mengalami penurunan sebanyak 1.306 kasus dan terjadi lagi peningkatan
kasus pada tahun 2018 sebanyak 1.456 kasus penyakit ISPA dan pada tahun 2019
sebanyak 1.519 kasus. Dengan jumlah penduduk 19.357 jiwa. Dan penyakit ISPA di
Puskesmas Sudiang juga merupakan penyakit tertinggi nomor 2(dua) dibandingan
dengan penyakit yang lain
Dipuskesmas Sudiang selama ini dilakukan evaluasi setiap 3 bulan akan tetapi
sistim yang dilakukan terbatas pada checklis dan permintaan data kasus.
Puskesmas sangat jarang melakukan evaluasi cara menyeluruh kegiatan ISPA dengan
menyusuaikan perencanaan yang telah disusun. Berdasarkan permasalahan tersebut
sehinga peneliti manggansumsikan bahwa sistim penerapan manajemen yang kurang
maksimal. Dengan demikian peneliti ingin melakukan kajian secara mendalam untuk
menganalisis manajemen program penangulangan penyakit ISPA dengan mengacu
pada teori George R Terry bahwa manajemen terdiri dari perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan. Berdasarkan pendahuluan di atas
maka penelitian ini Untuk mengetahui cara penerapan manejemen program
penanggulangan penyakit ISPA di Puskesmas Sudiang tahun 2019.
3. Konseptualisasi Efek
Untuk upaya pencegahan dan pengendalian ISPA perlu adanya pemberdayaan
masyarakat. (Kemenkes RI 2010) mengakui masih lemahnya upaya pembinaan dan
apresiasi terhadap lembaga pemberdayaan masyarakat. Departemen Kesehatan (2007)
melaporkanhasil penelitiannya bahwa terdapat lima belas faktor yang menentukan
keberhasilan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan mellaui pendekatan
pembangunan kesehatanmasyarakat desa, yaitu
(a) sifat kegotongroyongan,
(b) kepemimpinan,
(c) pelatihan,
(d) kebebasan mengungkapkan pendapat masyarakat,
(e) pengikutsertaan masyarakat,
(f) kesediaan masyarakat menerima perubahan,
(g) menitikberatkan pada perbaikan mutu hidup,
(h) menyediakan pendidikan formal dan non formal,
(i) peranan lembaga lembaga sosial didesa,
(j) bimbingan teknis dan supervisi,
(k) koordinasi dan bimbingan kerja,
(l) penggunaantenaga0tenaga kesehatan tradisional,
(m) kebijakan pemerintah,
(n) stabilitas politik dankeamanan negara.
4. Beradaptasi dan mendesain ulang
Sarana dan prasarana kurang memadai sebaiknya dilakukan POSBINDU PTM serta
melakukan pelatihan kader terkait penyakit PTM, agar melakukan persediaan dana
terhadap kader serta kesadaran masyarakat.
5. Menentukan Indikator
A. perubahan pada demografi dan perilaku manusia
B. dampak teknologi baru dan industri
C. perkembangan ekonomi dan perubahan dalam penggunaan tanah
D. peningkatan perjalanan dan perdagangan internasional
E. adaptasi dan perubahan mikroba
F. kegagalan program kesehatan masyarakat, dan
G. tinggal di lingkungan yang sama dengan hewan atau burung peliharaan atau liar.
6. Pilih metode
Reduksi dan Eliminasi
Pasien yang terinfeksi merupakan sumber utama patogen di fasilitas pelayanan
kesehatan dan penyebaran agen infeksius dari sumbernya harus
dikurangi/dihilangkan. Contoh pengurangan dan penghilangan adalah promosi
kebersihan pernapasan dan etika batuk (Lampiran C.1.3) dan tindakan pengobatan
agar pasien tidak infeksius.
Pengendalian administratif
Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan harus menjamin sumber daya yang
diperlukan untuk pelaksanaan langkah pengendalian infeksi. Ini meliputi
pembangunan prasarana dan kegiatan pencegahan dan pengendalian infeksi yang
berkelanjutan, kebijakan yang jelas mengenai pengenalan dini ISPA yang dapat
menimbulkan kekhawatiran, pelaksanaan langkah pengendalian infeksi yang
sesuai (misalnya, Kewaspadaan Standar untuk semua pasien), persediaan yang
teratur dan pengorganisasian pelayanan (misalnya, pembuatan sistem klasifikasi
dan penempatan pasien). Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan juga harus
melakukan perencanaan staf untuk mempromosikan rasio pasien-staf yang
memadai, memberikan pelatihan staf, dan mengadakan program kesehatan staf
(misalnya, vaksinasi, profilaksis) untuk meningkatkan kesehatan umum petugas
kesehatan.
Pengendalian lingkungan dan teknis
Pengendalian ini mencakup metode untuk mengurangi konsentrasi aerosol
pernapasan infeksius (misalnya, droplet nuklei) di udara dan mengurangi
keberadaan permukaan dan benda yang terkontaminasi sesuai dengan
epidemiologi infeksi. Contoh pengendalian teknis primer untuk aerosol
pernapasan infeksius adalah ventilasi lingkungan yang memadai (≥ 12 ACH) dan
pemisahan tempat (>1m) antar pasien. Untuk agen infeksius yang menular lewat
kontak, pembersihan dan disinfeksi permukaan dan benda yang terkontaminasi
merupakan metode pengendalian lingkungan yang penting.
Alat Pelindung Diri (APD)
Semua strategi di atas mengurangi tapi tidak menghilangkan kemungkinan
pajanan terhadap risiko biologis. Karena itu, untuk lebih mengurangi risiko ini
bagi petugas kesehatan dan orang lain yang berinteraksi dengan pasien di fasilitas
pelayanan kesehatan, APD harus digunakan bersama dengan strategi di atas dalam
situasi tertentu yang menimbulkan risiko penularan patogen yang lebih besar.
Penggunaan APD harus didefinisikan dengan kebijakan dan prosedur yang secara
khusus ditujukan untuk pencegahan dan pengendalian infeksi (misalnya,
kewaspadaan isolasi). Efektivitas APD tergantung pada persediaan yang memadai
dan teratur, pelatihan staf yang memadai, membersihkan tangan secara benar, dan
yang lebih penting, perilaku manusianya.
Semua jenis pengendalian di atas sangat saling berkaitan. Semua jenis
pengendalian tersebut harus diselaraskan untuk menciptakan budaya keselamatan
kerja institusi, yang menjadi landasan bagi perilaku yang aman.

7. Tujuan Penanggulangan ISPA


A. Memprioritaskan penetapan metode yang menjamin pengenalan dini dan
investigasi orang
B. yang mungkin menderita ISPA yang dapat menimbulkan kekhawatiran (lihat
Gambar 1)(31, 32).
C. Melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi dengan segera bila
diduga terjadi
D. ISPA yang dapat menimbulkan kekhawatiran (lihat Tabel 1)(33).
E. Menghubungkan sistem surveilans infeksi di rumah sakit dengan sistem
surveilans infeksi kesehatan masyarakat dan segera melaporkan semua informasi
yang tersedia mengenai kemungkinan episode ISPA yang dapat menimbulkan
kekhawatiran kepada lembaga kesehatan pemerintah yang berwenang melalui
sistem surveilans lokal (34). Ini sesuai dengan persyaratan IHR (2005) yang
berlaku sejak bulan Juni 2007. IHR (2005) mengharuskan pemberitahuan
internasional kepada WHO oleh Negara-negara Anggota mengenai kejadian yang
dapat menimbulkan keadaan darurat kesehatan masyarakat yang menjadi
kekhawatiran internasional.
F. Lembaga kesehatan pemerintah juga harus menetapkan saluran untuk
memberikan informasi kepada fasilitas pelayanan kesehatan dan masyarakat
mengenai epidemi ISPA yang terjadi agar fasilitas pelayanan kesehatan tetap
mengetahui tingkat dan jenis masalah yang akan dihadapi dan ditanggulangi.
G. Semua pasien yang diduga atau pasti menderita ISPA yang dapat menimbulkan
kekhawatiran harus ditempatkan di ruang atau tempat yang terpisah dari pasien
lain dan diperiksa sesegera mungkin (35, 36).

8. Mengembangkan Rencana
Perkuat atau bentuk komite pencegahan dan pengendalian infeksi dan program
pencegahan dan pengendalian infeksi dengan personel terlatih untuk terus
memperbarui kebijakan pencegahan dan pengendalian infeksi dan memantau
pelaksanaannya
Berikan dukungan yang memadai untuk mempromosikan praktik pencegahan
dan pengendalian infeksi yang lebih baik melalui rekomendasi berikut:
A. Gunakan metode yang sudah terbukti untuk meningkatkan pelaksanaan tindakan
pencegahan dan pengendalian infeksi, yang mencakup berbagai strategi (misalnya,
pergantian prasarana, pendidikan, poster, peringatan, keterlibatan pimpinan
tingkat atas, umpan balik kinerja)
B. Didik petugas kesehatan untuk melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian
infeksi pada semua pasien penyakit pernapasan yang menimbulkan demam akut
C. Pastikan tersedia perlengkapan pencegahan dan pengendalian infeksi yang
memadai seperti: fasilitas kebersihan tangan seperti sabun dan air bersih yang
mengalir, antiseptik berbasis alkohol, handuk kertas, atau handuk sekali pakai;
1. APD untuk perlindungan pasien (misalnya, masker/respirator, gaun pelindung,
sarung tangan, pelindung mata);
2. APD yang tidak mudah rusak (misalnya, sepatu pelindung yang tertutup rapat,
celemek tahan air, dan sarung tangan karet); dan persediaan bahan pembersih
dan disinfeksi yang memadai.
D. Susun rencana untuk pemeriksaan dan penanganan pasien yang diketahui atau
suspek terinfeksi ISPA yang dapat menimbulkan kekhawatiran, seperti
penyaringan cepat (pembuatan sistem triase pasien) dan pelaksanaan segera
tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi
E. Buat sistem untuk segera mengidentifikasi dan mengisolasi pasien yang mungkin
menderita ISPA yang dapat menimbulkan kekhawatiran untuk segera memberi
tahu lembaga kesehatan pemerintah yang berwenang
F. a Di negara-negara di mana terjadi ISPA yang dapat menimbulkan kekhawatiran,
perkuat sistem pelaporan di fasilitas pelayanan kesehatan (misalnya, pasang
pengumuman pada semua pintu masuk dan tempat pemeriksaan klinis seperti
bagian gawat darurat) untuk memperingatkan pasien dan pengunjung agar segera
melaporkan penyakit pernapasan yang menimbulkan demam akut berat ke petugas
kesehatan
G. a Bila pasien confirm menderita ISPA yang dapat menimbulkan kekhawatiran
sudah masuk fasilitas pelayanan kesehatan, tingkatkan surveilans pencegahan dan
pengendalian infeksi untuk mendeteksi bukti penularan ke pasien lain dan petugas
kesehatan
9. Tetapkan Anggaran
A. Biaya Oprasional Posbindu PTM
B. Penganti Biaya Perjalanan Kader
C. Biaya Penyediaan Bahan Habis Pakai
D. Biaya Penyuluhan
E. Biaya Rujukan
F. Biaya peyelengaraan Pertemuan
G. Biaya Evaluasi
10. Sumber Pendanaan
A. APBN
B. APBD
C. BOK

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan.

ISPA adalah penyakit yang disebabkan oleh kelainan hormon yang mengakibatkan
sel-sel dalam tubuh tidak dapatmenyerap glukosa dari darah. Penyakit ini timbul ketika di
dalam darah tidak terdapat cukupinsulin atau ketika sel-sel tubuh kita dapat bereaksi normal
terhadap insulin dalam darah.

Anda mungkin juga menyukai