Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Semua orang pasti menginginkan untuk dapat memperoleh status dan penghasilan yang lebih
tinggi daripada apa yang pernah dicapai oleh orang tuanya. Semua orang pasti menginginkan suatu
kehidupan yang serba berkecukupan, bahkan kalau mungkin berlebihan. Keinginan-keinginan itu
adalah normal, karena pada dasarnya manusia mempunyai kebutuhan yang tidak terbatas. Seperti
halnya kalau kita menanyakan tentang cita-cita dari seorang anak, maka ia akan menjawab pada suatu
status yang kebanyakan mempunyai konotasi pada penghidupan yang baik. Hanya saja apakah
keinginan-keinginan, impian-impian, dan cita-cita itu berhasil atau sama sekali gagal dalam proses
perjalanan seseorang.
Pada masyarakat modern sering kita jumpai fenomena-fenomena keinginan untuk pencapaian
status sosial maupun penghasilan yang lebih tinggi. Hal tersebut merupakan pendorong masyarakat
untuk melakukan mobilitas sosial demi tercapainya kesejahterahan hidup. Namun pada kenyataannya
mobilitas sosial yang terjadi pada masyarakat tidak hanya bersifat naik ke tingkat yang lebih tinggi,
akan tetapi banyak mobilitas sosial turun tanpa direncanakan. Pada kesempatan kali ini penulis akan
membahas dan menjabarkan tentang Mobilitas Sosial.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas, dapat dirumuskan hal-hal sebagai berikut:
1. Apakah pengertian mobilitas sosial ?
2. Apa sifat dasar dari mobilitas sosial ?
3. Apa saja bentuk-bentuk dari mobilitas sosial ?
4. Apa konsekuensi mobilitas sosial ?
5. Apa saluran mobilitas sosial ?
6. Apa faktor-faktor penentu mobilitas sosial ?
7. Bagaimana dampak dari adanya mobilitas sosial ?

C. TUJUAN
Pemaparan makalah ini bertujuan:
1. Mengetahui pengertian mobilitas sosial.
2. Mengetahui sifat dasar mobilitas sosial.
3. Mengetahui bentuk-bentuk dari mobilitas sosial.
4. Mengetahui konsekuensi mobilitas sosial.
5. Mengetahui faktor -faktor yang mempengaruhi mobilitas sosial.
6. Mengetahui saluran mobilitas sosial.
7. Mengetahui dampak dari adanya mobilitas sosial.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Mobilitas Sosial


Secara etimologis, kata mobilitas merupakan terjemahan dari kata mobility yang berkata dasar
mobile (bahasa inggris). Kata mobile berarti aktif, giat, gesit, sehingga mobility adalah gerakan. Secara
harfiah, mobilitas sosial berarti gerakan dalam masyarakat.
Mobilitas sosial adalah suatu gerak dalam struktur sosial yaitu pola-pola tertentu yang
mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Struktur sosial mencakup sifat-sifat hubungan antara
individu dalam kelompok dan hubungan antara individu dengan kelompoknya. Apabila seorang guru
kemudian pindah dan beralih pekerjaan menjadi pemilik took buku, dia melakukan gerak sosial. Juga
apabila seseorang yang semula mendapat gaji bulanan sebesar Rp. 250.000,00 kemudian pindah
pekerjaan karena tawaran dengan gaji yan lebih tinggi. Proses tadi tidak saja terbatas pada individu-
individu saja, tetaoi mungkin juga pada kelompok-kelompok sosial. Misalnya, suatu golongan
minoritas dalam masyarakat berasimilasi dengan golongan mayoritas.
Beberapa pengertian mobilitas sosial menurut para ahli :
a. Henry Clay Smith (1968) mengatakan mobilitas sosial adalah gerakan dalam struktur sosial
(gerakan antarindividu dengan kelompoknya).
b. Haditono (1991) mengatakan mobilitas sosial adalah perpindahan seseorang atau kelompok dari
kedudukan yang satu ke kedudukan yang lain, tetapi sejajar.
c. Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1992) mengatakan mobilitas sosial adalah suatu gerak
perpindahan dari satu kelas sosial ke kelas sosial lain.
d. David Jary dan Julia Jary (1991) mendefinisikan mobilitas sosial yakni: dapat dijelaskan bahwa
pergerakan individu, kadang-kadang kelompok antara posisi berbeda dalam hierarki stratifikasi
sosial pada masyarakat. Dalam masyarakat modern, posisi-posisi kelas dalam struktur pekerjaan
menjadi perhatian utama dalam studi mobilitas sosial. Mobilitas sosial meliputi pergerkan suatu
kelas atau hierarki status, mobilitas ke atas (upward mobility), atau mobilitas ke bawah
(downward mobility) dimana fokus dan perhatian sosiologi adalah pada perbedaan antara kelas
sosial-ekonomi atau posisi status, atau hal itu mungkin merupakan lebih pada waktu singkat,
sebagai contoh, naik atau turun karier individu, intragenerational mobility. Hal itu biasanya
diterima bahwa, secara umum, masyarakat modern lebih menerima mobilitas dibandingkan
tipe-tipe masyarakat tradisional (masa lampau), yakni terma-terma komparatif dari kelas pada
masyrakat terbuka (open-class societies).

Dapat disimpulkan, mobilitas sosial adalah gerakan atau perpindahan individu dari suatu
kedudukan ke kedudukan lainnya dalam masyarakat. Kedudukannya yang baru dapat menjadi lebih
tinggi atau lebih rendah.
2. Sifat Dasar Mobilitas Sosial
Masyarakat yang berkelas sosial terbuka adalah masyarakat yang memiliki tingkat mobilitas
yang tinggi sedangkan masyarakat yang berkelas sosial tertutup adalah masyarakat yang memiliki
tingkat mobilitas yang rendah.
Pada masyarakat berkasta yang sifatnya tertutup, hampir tak ada gerak sosial karena kedudukan
seseorang telah ditentukan sejak dilahirkan. Pekerjaan, pendidikan dan seluruh pola hidupnya. Karena
struktur sosial masyarakatnya tidak memberikan peluang untuk mengadakan perubahan.
Dalam sistem lapisan terbuka, kedudukan yang hendak dicapai tergantung pada usaha dan
kemampuan individu. Memang benar bahwa anak seorang camat mempunyai peluang yang lebih baik
dan lebih besar daripada anak seorang penjual tomat. Akan tetapi, kebudayaan dalam masyarakat tidak
menutup kemungkinan bagi anak penjual tomat untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi dari
kedudukan yang semula dipunyainya.Seperti Chairul Tanjung, Dahlan Iskan, dll. Namun kenyataan
tidaklah seideal itu. Dalam masyarakat selalu ada hambatan dan kesulitan-kesulitan, misalnya birokrasi
(dalam arti yang kurang baik), biaya, kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat, dan lain
sebagainya.
Bila tingkat mobilitas sosial tinggi, meskipun latar belakang sosial para individu berbeda, maka
mereka tetap dapat merasa mempunyai hak yang sama dalam mencapai kedudukan sosial yang lebih
tinggi. Bila tingkat mobilitas sosial rendah, maka tentu saja kebanyakan orang akan terkungkung dalam
status para nenek moyang mereka.

3. Bentuk-bentuk Mobilitas Sosial


Menurut P.A.Sorokin (1928), tipe-tipe mobilitas sosial yang prinsipil ada dua macam, yaitu
gerak sosial yang horizontal dan vertikal. Gerak sosial horizontal merupakan peralihan individu atau
objek-objek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat.
Contohnya adalah seseorang yang beralih kewarganegaraan beralih pekerjaan yang sederajat atau
mungkin juga peralihan, atau gerak objek-objek sosial seperti misalnya radio, mode pakaian, ideology,
dan lain sebagainya. Dengan adanya gerak sosial yang horizontal, tidak terjadi perubahan dalam derajat
kedudukan seseorang ataupun suatu objek sosial.
Mobilitas sosial horizontal dibedakan dua dalam dua bentuk:
a. Mobilitas sosial antar wilayah/geografis. Gerak sosial ini adalah perpindahan individu atau
kelompok dari satu daerah ke daerah lain, seperti transmigrasi, urbanisasi, dan migrasi.
b. Mobilitas antargenerasi. Secara umum, mobilitas antargenerasi berarti mobilitas dua generasi
atau lebih, misalnya generasi ayah-ibu, generasi anak, generasi cucu, dan seterusnya. Mobilitas
ini ditandai dengan perkembangan taraf hidup, baik naik atau turun dalam suatu generasi.
Penekanannya bukan pada perkembangan keturunan itu sendiri, melainkan pada perpindahan
status sosial suatu generasi ke generasi lainnya. Contoh: Pak Parjo adalah seorang tukang
becak. Ia hanya menamatkan pendidikannya hingga sekolah dasar, tetapi ia berhasil mendidik
anaknya menjadi seorang pengacara. Contoh ini menunjukkan telah terjadi mobilitas vertikal
antargenerasi.
Mobilitas anatargenerasi dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Mobilitas intragenerasi adalah mobilitas yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang
dalam satu generasi yang sama. Contoh: Pak Darjo awalnya adalah seorang buruh. Namun,
karena ketekunannya dalam bekerja dan mungkin juga keberuntungan, ia kemudian memiliki
unit usaha sendiri yang akhirnya semakin besar.
b. Mobilitas intergenerasi adalah perpindahan status atau kedudukan yang terjadi di antara
beberapa generasi. Mobilitas ini dibedakan menjadi dua: mobilitas intergenerasi naik (contoh:
bapaknya seorang kepala sekolah, anaknya seorang direktur) dan mobilitas intergenerasi turun
(contoh: kakeknya seorang bupati, bapaknya seorang camat, dan anaknya sebagai kepala desa).
Gerak sosial vertikal merupakan perpindahan individu atau objek sosial dari suatu kedudukan

sosial ke kedudukan lainnya, yang tidak sederajat. Gerak sosial vertikal meliputi, (a)social
climbing, dari status yang rendah ke status yang tinggi, di mana status yang tinggi itu telah ada
sebelumnya dan membentuk kelompok atas status yang baru, karena status yang lebih atas belum ada
(promosi), misalnya kelompok konglomerat, eksekutif, supereksekutif, dan seterusnya; (b)social
sinking dari kelompok yang tinggi/atas turun ke rendah, dan derajat kelompoknya turun.
Gerak sosial vertikal yang naik mempunyai dua bentuk utama, yaitu:
a. Masuknya individu-individu yang mempunyai kedudukan rendah ke dalam kedudukan yang
lebih tinggi, di mana kedudukan tersebut telah ada. Misalnya, seorang yang bekerja di kantor A
dan diangkat menjadi pejabat di kantor A.
b. Pembentukan suatu kelompok baru, yang kemudian ditempatkan pada derajat yang lebih tinggi
dari kedudukan individu-individu pembentuk kelompok tersebut. Misalnya, dengan
dibentuknya sebuah organisasi, memberi kesempatan kepada seseorang untuk menjadi ketua
umum, bertanda yang bersangkutan naik status.
Gerak sosial vertikal yang turun mempunyai dua bentu utama, yaitu:
a. Turunnya kedudukan individu ke kedudukan yang lebih rendah derajatnya. Misalnya, seorang
pejabat dipecat karena korupsi.
b. Turunnya derajat sekelompok individu yang dapat berupa disintegrasi kelompok sabagai
kesatuan.
4. Konsekuensi Mobilitas Sosial
Terjadinya mobilitas sosial di dalam masyarakat menimbulkan berbagai konsekuensi, baik
positif maupun negatif. Beberapa studi mengemukakan bahwa mobilitas-menurun berkaitan dengan
banyak hal yang mencemaskan, seperti misalnya gangguan kesehatan, keretakan keluarga, perasaan
terasing (alienasi) dan keterpencilan sosial (social distance). Namun demikian, penyebab dan akibatnya
tidak dapat diidentifikasi. Hal-hal yang mencemaskan seperti itu dapat saja merupakan penyebab
ataupun akibat dari mobilitas menurun. Baik bagi individu maupun masyarakat, manfaat dan kerugian
mobilitas sosial, serta masyarakat bersistem terbuka, masih dapat diperdebatkan.
Apabila individu atau kelompok individu yang mengalami mobilitas sosial mampu
menyesuaikan dirinya dengan situasi yang baru maka akan memperoleh hal-hal posiitif sebagai
konsekuensi mobilitas sosial, antara lain:
a. Mengalami kepuasaan, kebahagiaan dan kebanggaan.
b. Peluang mobilitas sosial juga berarti kesempatan bagi individu atau kelompok individu untuk
lebih maju.
c. Kesempatan mobilitas sosial yang luas akan mendorong orang-orang untuk mau bekerja keras,
mengejar prestasi dan kemjuan sehingga dapat meraih kedudukan yang dicita-citakan.

Apabila individu atau kelompok individu tidak mampu menyesuaikan dirinya dengan situasi baru,
maka akan terjadi konsekuensi-konsekuensi sebagai berikut:
1. Konflik antar-kelas
Konflik ini terjadi karena benturan kepentingan antar-kelas sosial. Misalnya konflik antara
majikan dengan buruh yang menghendaki kenaikan upah.
2. Konflik antar-kelompok
Konflik antar-kelompok (konflik horizontal) bisa melibatkan ras, etnisitas, agama atau
aliran/golongan. Konflik jenis ini dapat terjadi karena perebutan peluang mobilitas sosial,
misalnya kesempatan memperoleh sumber-sumber ekonomi, rekrutmen anggota, peluang
memperoleh kekuasasan politik atau pengakuan masyarakat.
3. Konflik antar-individu
Konflik antar-individu dapat terjadi misalnya karena masuknya individu ke dalam kelompok
tidak diterima oleh anggota kelompok yang lain. Misalnya lingkungan organisasi atau seseorang
tidak dapat menerima kehadiran seseorang yang dipromosikan menduduki suatu jabatan
tertentu.
4. Konflik antar-generasi
Konflik ini terjadi dalam hubungannya mobilitas antar-generasi. Fenomena yang sering terjadi
adalah ketika anak-anak berhasil meraih posisi yang tinggi, jauh lebih tinggi dari posisi sosial
orang tuanya, timbul ethnosentrisme generasi. Masing-masing generasi –orang tua maupun
anak— saling menilai berdasarkan ukuran-ukuran yang berkembang dalam generasinya sendiri.
Generasi anak memandang orang tuanya sebagai generasi yang tertinggal, kolot, kuno, lambat
mengikuti perubahan, dan sebagainya. Sementara itu generasi tua mengganggap bahwa cara
berfikir, berperasaan dan bertindak generasinya lebih baik dan lebih mulia dari pada yang
tumbuh dan berkembang pada generasi anak-anaknya.
5. Konflik status dan konflik peran
Seseorang yang mengalami mobilitas sosial, naik ke kedudukan yang lebih tinggi, atau turun ke
kedudukan yang lebih rendah, dituntut untuk mampu menyesuaikan dirinya dengan
kedudukannya yang baru. Kesulitan menyesuaikan diri dengan statusnya yang baru akan
menimbulkan konflik status dan konflik peran.
Konflik status adalah pertentangan antar-status yang disandang oleh seseorang karena
kepentingan-kepentingan yang berbeda. Hal ini berkaitan dengan banyaknya status yang
disandang oleh seseorang.
Konflik peran merupakan keadaan ketika seseorang tidak dapat melaksanakan peran sesuai
dengan tuntutan status yang disandangnya. Hal ini dapat terjadi karena statusnya yang baru
tidak disukai atau tidak sesuai dengan kehendak hatinya. Post Power Syndrome merupakan
bentuk konflik peran yang dialami oleh orang-orang yang harus turun dari kedudukannya yang
tinggi.

5. Saluran Mobilitas Sosial


Menurut P.A.Sorokin dalam Ary H. Gunawan (2000) mengatakan ada sejumlah saluran
mobilitas sosial:
a. Angkatan Bersenjata
Angkatan bersenjata merupakan organisasi yang dapat digunakan untuk saluran mobilitas
vertikal ke atas melalui tahapan yang disebut kenaikan pangkat. Misalnya, seorang prajurit yang
berjasa pada negara karena menyelamatkan negara dari pemberontakan, dia akan mendapatkan
penghargaan dari masyarakat. Dia mungkin dapat diberikan pangkat/kedudukan yang lebih
tinggi, walaupun berasal dari golongan masyarakat rendah.
b. Lembaga Keagamaan
Lembaga keagamaan dapat meningkatkan status sosial seseorang, misalnya seorang yang
berjasa dalam perkembangan agama seperti ustadz, pendeta, dan biksu. Status sosial para
penyebar ajaran agama ini akan meningkatkan status sosialnya di masyarakat, terutama bagi
komunitas pengikut agama tertentu.
c. Lembaga Pendidikan
Lembaga pendidikan umumnya merupakan saluran yang konkret dari mobilitas vertikal ke atas,
bahkan dianggap sebagai social elevator (perangkat) yang bergerak dari kedudukan yang rendah
ke kedudukan lebih tinggi. Pendidikan memberikan kesempatan pada setiap orang untuk
mendapatkan kedudukan lebih tinggi. Seorang anak dari keluarga miskin mengenyam sekolah
sampai jenjang yang lebih tinggi. Setelah lulus dia memiliki pengetahuan bisnis dan
menggunakan pengetahuannya untuk berusaha, sehingga dia berhasil menjadi pengusaha
sukses, yang telah meningkatkan status sosialnya.
d. Organisasi Politik
Seperti angkatan bersenjata, organisasi politik memungkinkan anggotanya yang loyal dan
berdedikasi tinggi untuk menempati jabatan yang lebih tinggi, sehingga status sosialnya
meningkat.
e. Ekonomi
Organisasi ekonomi, seperti perusahaan, koperasi, BUMN, dapat meningkatkan tingkat
pendapatan seorang. Semakin besar prestasinya, semakin besar jabatannya. Jika jabatannya
tinggi maka pendapatannya bertambah. Karena pendapatannya bertambah berakibat pada
kekayaannya bertambah. Juga karena kekayaannya bertambah akibatnya status sosial di
masyarakat meningkat.
f. Keahlian
Seperti situs-situs karya ilmiah, orang yang rajin menulis dan menyumbangkan
pengetahuan/keahliannya kepada kelompok pasti statusnya akan dianggap lebih tinggi dari
pengguna biasa. Sejumlah pemikiran atau ide-ide penting akan bermanfaat bagi para pembaca
dan mungkin akan berguna dalam menambah ilmu pengetahuan terkait, atau bahkan ide
tersebut dapat menjadi bahan dn insprasi solusi terhadap suatu permasalahan kehidupan yang
sedang dihadapinya.
g. Perkawinan
Melalui perkawinan, seorang bisa berubah kedudukan atau status sosialnya. Misalnya, seorang
pria miskin yang menikah dengan seorang janda kaya dengan sendirinya status sosial pria itu
berubah menjadi orang kaya yang dikarenakan istrinya kaya.

6. Faktor Penentu Mobilitas Sosial


Faktor penentu mobilitas sosial dibedakan dalam dua hal, pertama faktor struktur, yaitu faktor
yang menentukan jumlah refatif dari kedudukan tinggi yang harus diisi dan kemudahan untuk
memperolehnya. Faktor struktur ini meliputi, struktur pekerjaan, ekonomi ganda, dan faktor penunjang
dan penghambat mobilitas itu sendiri. Kedua. Kedua, faktor individu, dalam hal ini termasuk di
dalamnya adalah perbedaan kemampuan, orientasi sikap terhadap mobilitas, dan faktor kemujuran.
a. Faktor Struktur
1) Struktur Pekerjaan
Secara kasar aktivitas ekonomi dibedakan dalam dua sektor, yaitu sektor formal dan
sektor informal. Kedua sektor tersebut tentunya memiliki karakteristik yang berbeda, di mana
sektor fomal memiliki sejumlah kedudukan mulai dari rendah sampai kedudukan yang tinggi
sedangkan sektor informal lebih banyak memiliki kedudukan yang rendah dan sedikit berstatus
tinggi. Perbedaan aktivitas ekonomi ini jelas akan mempengaruhi tingkat mobilitas masyarakat
yang terlibat di dalamnya. Demikian halnya pada masyarakat yang aktivitas ekonominya
didominasi oleh sektor pertanian dan penghasilan bahan baku (pertambangan, kehutanan) lebih
banyak memiliki status kedudukan rendah, dan sedikit kedudukan yang berstatus tinggi,
sehingga tingkat mobilitasnya rendah. Tingkat mobilitas pada negara-negara maju, mengalami
peningkatan seiring dengan semakin berkembangnya industrialisasi.
2) Ekonomi Ganda
Dilihat dari sudut ekonomi, suatu masyarakat dapat ditandai atas dasar jiwa sosial,
bentuk-bentuk organisasi dan teknik-teknik yang mendukungnya. Ketiga unsur itu saling
berkaitan dan menentukan ciri khas dari masyarakat yang bersangkutan, maksudnya adalah
bahwa jiwa sosial, bentuk organisasi dan teknik yang unggul akan menetukan gaya dan wajah
masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu ketiga unsur ini, dalam kaitan satu dengan yang
lainnya dapat disebut sebagai sistem sosial, gaya sosial, atau iklim sosial masyarakat yang
bersangkutan. Di negara-negara berkembang ternyata perkembangan ekonomi menimbulkan
beberapa jenis dualism, yaitu kegiatan-kegiatan ekonomi dari keadaan-keadaan ekonomi serta
keadaan lainnya dalam suatu sektor tidak mempunyai sifat-sifat seragam, dan sebaliknya dapat
dengan tegas dibedakan dalam dua golongan. Pertama, adalah kegiatan-kegiatan atau keadaan
ekonomi yang masih dikuasai oleh unsur-unsur yang bersifat tradisional, dan yang kedua adalah
berbagai kegiatan-kegiatan atau keadaan ekonomi yang masih dikuasai oleh unsur-unsur
modern. Dualisme ekonomi itu dapat kita lihat antara sektor pertanian tradisional, yang
dicirikan oleh tingkat produktivitas yang rendah dan menyebabkan tingkat pendapatan
masyarakat berada pada tingkat yang lazim disebut dengan istilah tingkat pendapatan subsiten.
Sedangkan pada sektor ekonomi modern, dicirikan dengan tipe ekonomi pasar, dimana kegiatan
masyarakat dalam memproduksi sebagian besar ditujukan untuk pasar. Adanya dualism
ekonomi ini, tentunya akan mempengaruhi terhadap cepat tidaknya mobilitas itu berlangsung
dan besar-kecilnya kesempatan untuk melakukan mobilitas.
3) Penunjang dan Pengambat Mobilitas
Anak-anak yang berasal dari kelas sosial menengah pada umumnya memiliki
pengalaman belajar yang lebih menunjang mobilitas naik daripada pengalaman anak-anak kelas
sosial rendah. Para sarjana teori konflik berpandangan bahwa ijazah, tes, rekomendasi,
“jaringan hubungan antar teman (merupakan jaringan hubungan antara teman-teman dekat
dalam suatu jenis profesi atau dunia usaha. Mereka saling tukar-menukar informasi dan
rekomendasi menyangkut kesempatan kerja, sehingga menyulitkan bagi orang-orang luar”
untuk dapat menerobosnya), dan deskriminasi terang-terangan terhadap kelompok ras maupun
kelompok etnik minoritas, serta orang-orang dari kelas sosial rendah untuk melakukan mobilitas
naik. Di lain pihak, fakor penghambat tersebut juga menutup kemungkinan terjadinya mobilitas
menurun bagi kelompok orang dari kelas sosial atas. Di samping faktor penghambat, terdapat
pula faktor penunjang mobilitas yang bersifat struktural, sebagai misal adanya undang-undang
anti deskriminasi, munculnya lembaga-lembaga latihan kerja baik yang dibiayai oleh
pemerintah atau LSM-LSM, merupakan faktor penunjang penting untuk terjadinya mobilitas
naik bagi banyak orang dari status sosial rendah.

b. Faktor Individu
1) Perbedaan Kemampuan
2) Perbedaan Perilaku
Yang dimaksudkan dengan perilaku penunjang mobilitas adalah suatu pandangan atau orientasi
sikap individu terhadap mobilitas. Perbedaan orientasi sikap individu terhadap mobilitas dipengaruhi
oleh beberapa faktor , yaitu pendidikan, kesenjangan nilai, kebiasaan kerja, pola penundaan
kesenangan, kemampuan “cara bermain”, dan pola kesenjangan nilai.
a) Pendidikan
Pendidikan merupakan tangga mobilitas yang utama. Walaupun kadar penting tidaknya
pendidikan pada semua jenjang pekerjaan tidaklah sama. Untuk jabatan-jabatan karir seperti
dokter, guru, ahli hukum, dan sebagainya, peran pendidikan sangatlah menunjang. Tetapi latar
belakang pendidikan seseorang mungkin tidak diperlukan untuk karir-karir sebagai
olahragawan, seniman penghibur, dan lain-lain. Namun yang pasti peran pendidikan disini lebih
menekankan pada upaya untuk mengembangkan kemampuan seseorang untuk menyalurkan dan
memanfatkan informasi sebagaimana yang diperlukan.
b) Kebiasaan Kerja
Kebiasaan kerja seseorang merupakan salah satu faktor penting yang menentukan
keberhasilan dan masa depan seseorang. Meskipun kerja keraslah tidaklah menjamin terjadinya
mobilitas naik, namun tidaknlah banyak orang yang dapat mengalami mobilitas naik tanpa
adanya kerja keras.
c) Pola Penundaan Kesenangan
Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian-bersakit-sakit dahulu, bersenang-
senang kemudian. Ini merupakan suatu pepatah yang menggambarkan pola penundaan
kesenangan. Sebagai contoh: orang yang lebih senang menyimpan uangnya untuk ditabung
daripada untuk kesenangan jangka pendek; para siswa yang lebih tekun membaca buku dan
memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, daripada bermain atau membuang waktu. Kunci daripada
pola penundaan kesenangan adalah adanya perencanaan untuk masa depan dan adanya
keinginan yang kuat untuk merealisasikan rencana tersebut.
d) Kemampuan “Cara Bermain”
“Cara bermain” dan atau seni “penampilan diri” mempunyai peran penting dalam
mobilitas naik. Bagaimana menjadi orang yang sangat disenangi dan dapat diterima oleh
lingkungannya; bagaimana menjadi orang yang dapat bekerjasama dengan orang lain. Ini semua
mungkin merupakan faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan penampilan diri secara
positif bukanlah berarti meremehkan kemampuan, namun justru melalui penampilan diri
merupakan sarana/media yang dapat dimanfaatkan untuk menunjukkan kemampuan.
e) Pola Kesenjangan Nilai
Pola kesenjangan nilai merupakan suatu perilaku dimana seseorang mempercayai
segenap nilai yang diakui, tetapi tidak melakukan upaya untuk mencapai sasarannya atau
mengakui kesalahan pribadi sebagai penyebab kegagalannya dalam mencapai sasaran. Orang
semacam ini bukanlah hipokrit, tetapi mereka hanya tidak menyadari bahwa pola perilakunya
tidak searah dengan tujuannya. Sebagai contoh: hampir semua orang tua menginginkan anak-
anaknya mempunyai prestasi yang baik di sekolah, tetapi mereka mengabaikan nasihat-nasihat
guru dan tidak menekankan agar anak-anaknya belajar dengan baik di rumah.
f) Faktor Keberuntungan/Kemujuran
Banyak orang yang benar-benar bekerja keras dan memenuhi semua persyaratan untuk
menjadi orang yang berhasil, namun tetap mengalami kegagalan; sebaliknya, keberhasilan
kadangkala justru jatuh pada orang lain yang jauh persyaratan. Faktor
keberuntungan/kemujuran ini jelas tidak mungkin dapat diukur dan merupakan alasan umum
bagi suatu kegagalan, namun faktor ini tetap tidak dapat dipungkiri sebagai salah satu faktor
dapat mobilitas.
7. Dampak dari adanya Mobilitas Sosial
Adapun dampak yang ditimbulkan dari mobilitas sosial adalah:
1. Dampak Positif
Bisa memberikan motivasi bagi masyarakat untuk maju dan berprestasi agar dapat
memperoleh status yang lebih tinggi.
2. Dampak Negatif
Setiap perubahan (mobilitas) pasti akan memiliki dampak negatif, dan hal itu bisa
berupa konflik. Dalam masyarakat banyak ragam konflik yang mungkin terjadi akibat dari
terjadinya mobilitas ini, seperti terjadinya konflik antar kelas, antar generasi, antar kelompok
dan lain sebagainya. Sehingga akan berakibat pada menurunnya solidaritas baik kelompok atau
antar kelompok.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Mobilitas sosial adalah perpindahan posisi seseorang atau kelompok orang dari strata
sosial yang satu ke strata sosial yang lain.
Tipe-tipe mobilitas sosial yang prinsipil ada dua, yaitu:
1. Horizontal, yaitu apa bila individu atau objek sosial lainnya berpindah dari satu kelompok sosial
ke kelompok sosial lainnya yang sederajat.
2. Vertikal, yaitu apabila individu atau objek sosial lainnya berpindah dari suatu kedudukan sosial
ke kedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat. Sesuai dengan arahnya maka terdapat dua
jenis gerak vertikal, yaitu yang naik (social climbing) dan yang turun (social sinking)
Masyarakat yang berkelas sosial terbuka adalah masyarakat yang memiliki tingkat mobilitas
yang tinggi sedangkan masyarakat yang berkelas sosial tertutup adalah masyarakat yang memiliki
tingkat mobilitas yang rendah.
Mobilitas sosial pasti akan terjadi pada seluruh masyarakat, namun seberapa cepat perubahan
tersebut itulah yang membedakan antara satu tempat dengan tempat yang lainnya tergantung dari
seberapa kuat faktor pendorong dan penghambatnya.
B. SARAN
Sebagai manusia kita pasti akan menuntut untuk status dan peran sosial, namun sebagai
manusia sosial seharusnya kita dapat mengerti dan menyadari mobilitas sosial atau gerakan sosial ini
tidak terjadi begitu saja dengan sendirinya. Karena mobilitas sosial terjadi tergantung bagaimana diri
kita sendiri menyingkapi status serta peran sosial diri dan menurut prestasi kita masing-masing sebagai
anggota masyarakat. Oleh karena itu sebaiknya jika memang menginginkan mobilitas naik kita juga
tidak boleh duduk diam dalam struktur sosial tetapi kita harus terbuka dan positif terhadap
perubahan positif yang ada di masyarakat.
Penulis sadar bahwa makalah kami ini jauh dari kesempurnaan sehingga kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan untuk perbaikan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Sulistyowati, Budi. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Cet. ke-45 (Edisi Revisi). Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
HD, Hj. Safarina. 2011. Sosiologi Pendidikan: Individu, Masyarakat, dan Pendidikan. Cet. ke-2 (Edisi
Revisi). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
File:///F:/Dokter ilmu Contoh Makalah Tentang (MOBILITAS SOSIAL).htm
Mobilitas-sosial.pdf
9._MOBILITAS_SOSIAL(rev).pdf
file:///F:/Qurani Makalah Mobilitas Sosial.htm

Anda mungkin juga menyukai