Istijabatul Aliyah
Penulis:
Istijabatul Aliyah
Penerbit
Yayasan Kita Menulis
Web: kitamenulis.id
e-mail: press@kitamenulis.id
WA: 0821-6453-7176
Istijabatul Aliyah
Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
Yayasan Kita Menulis, 2020
xiv; 256 hlm; 16 x 23 cm
ISBN: 978-623-6512-53-1
Cetakan 1, Juli 2020
I. Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
II. Yayasan Kita Menulis
Sebagai wanita biasa, banyak hal yang tak dapat dilakukan tanpa
dukungan dari orang-orang yang terdekat, dengan rasa hormat dan kasih
penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada suami
Tulus Basuki Wijaya, ST. MM beserta ananda Daffa Imtiyas Ihabilla,
SKg dan Muhammad Wijdan Muyassar yang telah memberi doa dan
dukungan selama berlangsungnya masa studi, serta semua pihak yang
telah membantu kegiatan penyusunan buku ini; atas perhatian, perijinan
dan kerjasama yang telah diberikan hingga tersusunnya buku ini.
Selanjutnya, besar harapan penulis semoga buku ini dapat diterima oleh
seluruh khalayak dan dapat ditindaklanjuti dalam bentuk penelitian yang
lebih mendalam serta bermanfaat untuk pembangunan kota dan wilayah.
Penulis
Daftar Isi
4.3 Fenomena Kawasan Pasar Gede Dalam Ranah Ruang Sosial Kota ...... 64
4.3.1 Pasar Gede sebagai Ruang Interaksi Antar Pelaku Multi Etnis .... 64
4.3.2 Ragam Aktivitas Sosial di Kawasan Pasar Gede ........................... 66
4.4 Fenomena Kawasan Pasar Gede Dalam Ranah Ruang Ekonomi Kota . 69
4.4.1 Jangkauan Layanan Pasar Gede sebagai Fasilitas Ekonomi ........ 69
4.4.2 Pemasok, pedagang dan pengunjung dari luar wilayah ................. 82
4.5 Ragam Jual-Beli Yang Ada di Pasar Gede............................................... 91
4.5.1 Pasar Gede sebagai Pusat Barang Berkualitas................................ 97
4.5.2 Fenomena Kawasan Pasar Gede Dalam Ranah Konstelasi Ruang
Kota ............................................................................................................. 101
4.5.3 Pasar Gede sebagai Jujugan dan Lurugan....................................... 102
4.5.4 Lokasi Pasar Gede di-adhakan......................................................... 104
4.5.5 Aksesibitas Kawasan Pasar Gede .................................................... 105
4.5.6 Pasar Gede sebagai Pasar Ekslusif di Kota Surakarta.................... 108
Tabel 5.3: Klasifikasi Lingkup atau Ranah Konsekuensi Tema ................... 131
Tabel 5.4: Konseptualisasi tema dalam Ranah Waktu (Process) Analisis ... 133
Tabel 5.5: Konseptualisasi tema dalam Ranah Pelaku (Man)....................... 136
Tabel 5.6: Konseptualisasi tema Ranah Kegiatan (Activity) ........................ 139
Tabel 5.7: Konseptualisasi tema Ranah Kebijakan (Policy) ......................... 141
Tabel 5.8: Konseptualisasi tema Ranah Keruangan atau Tempat (Place).... 144
Tabel 5.9: Bagan Konsepsi dalam Proses Perumusan Kategori .................. 148
Tabel 5.10: Perkembangan Pemerintahan Kota Surakarta 1745- Sekarang 159
Tabel 5.11: Matrik Kerangka Pembahasan Data Teoritik ............................. 131
Tabel 6.1: Takrif loyalitas (loyality) pengguna pasar perwujudan semangat
para pelaku pasar ............................................................................ 177
Tabel 6.2: Takrif kontinuitas (continuity) suatu aktivitas pasar dikenal
dengan istilah lokal Kumandhange Pasar..................................... 178
Tabel 6.3: Takrif pemangku kepentingan pasar dengan jiwa handarbeni
sebagai dasar pijakan keberlanjutan kota tradisional Jawa ......... 181
Tabel 6.4: Matrik Perkembangan Komponen dalam Perkembangan Kota
Surakarta ......................................................................................... 200
Tabel 6.5: Kedudukan Komponen Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni dalam
Kontek Teori Formal Kebertahanan ............................................. 207
Tabel 6.6: Uji Komponen Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni ............................213
Bab 1
Pemahaman Pasar Tradisional
yang ada dilapangan. Secara rinci belum dapat diperoleh teori atau hasil
penelitian yang mengungkapkan perbadaan tersebut secara rinci. Sehingga
bagaimana nilai sosial dan budaya yang ada di pasar tardisional dan pasar
modern belum dapat dipahami secara utuh dan komprehensif.
Pasar tradisional pada awalnya berupa tanah lapang tanpa bangunan atau
bukan bangunan permanen, dan merupakan tempat berkumpul untuk berjual-
beli (Graaf, 1989). Perkembangan perdagangan melalui darat pada tahun 1830,
mulai ada jaringan pasar yang luas dan pasar-pasar wilayah yang bersifat
permanen, dan berperan penting dalam lintas perdagangan (Wiryomartono,
2000). Pasar tumbuh dan berkembang sebagai simpul dari pertukaran barang
dan jasa secara regional yang kemudian membangkitkan berbagai aktivitas di
dalam kota. Pada saat orang melakukan jual dan beli bukan sekadar barang dan
jasa yang dipertukarkan, tetapi juga informasi dan pengetahuan (Ekomadyo,
2007). Hal tersebut sejalan dengan teori Geertz (1963) bahwa pasar memberi
akomodasi pada bazaar economy, Geertz mengasumsikan bahwa kata pasar
merupakan dialek lokal dari bazaaa’. Pasar identik dengan pasar tradisional
merupakan suatu pranata ekonomi dan sekaligus cara hidup, suatu gaya umum
dari kegiatan ekonomi yang mencakup berbagai aspek dari suatu masyarakat,
hingga aspek kehidupan sosial budaya secara lengkap. Berbagai produk atau
barang dagangan diperjualbelikan di pasar tradisional, pangan, sandang, dan
barang lain yang sebagian besar memiliki karakter mudah dipindah-pindahkan
(Geertz, 1963). Dalam lingkup masyarakat Jawa, kekuatan aktivitas ekonomi
berpusat di pasar tradisional. Pasar tradisional bukan sekedar sebagai tempat
jual beli semata, namun lebih dari itu pasar terkait dengan konsepsi hidup dan
interaksi sosial budaya. Pasar tradisional tidak semata mewadahi kegiatan
ekonomi, akan tetapi pelaku juga dapat mencapai tujuan-tujuan lain
(Pamardhi, 1997). Pasar tradisional pada awalnya muncul dari peluang yang
dilihat oleh masyarakat petani untuk menawarkan surplus hasil panen mereka
untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan Mereka tumbuh dari
“…pertemuan periodik untuk menyalurkan surplus hasil pertanian”
(Natawidjaja, 2005). Hal ini merupakan respon terhadap kebutuhan dan
permintaan dari masyarakat yang berkembang, yang tidak bisa mereka cukupi
sendiri. Oleh karena itu, pasar menjadi titik fokus untuk aktivitas komersial.
Pasar tradisional memegang peran sosial dengan menyediakan kebutuhan
harian, barang-barang keperluan lain dan pelayanan pada daerah setempat.
Pasar tradisional memainkan peran ekonomi dengan secara langsung
mendukung aktivitas ekonomi masyarakat atau wilayah, dan menghasilkan
keuntungan finansial bagi yang terlibat dalam perdagangan maupun
Bab 1 Pemahaman Pasar Tradisional 5
pasar yang tumbuh dengan sendirinya biasanya terletak ditempat yang strategis
dipersimpangan dan jalur lalu lintas barang serta kepadatan penduduk. Pasar
yang dibuat dengan sengaja biasanya dibangun dengan alasan kepentingan
penguasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. 2) Komoditi pasar
ditentukan oleh letak geografis, yang secara umum terbagi pasar daerah pantai
dan pasar daerah pedalaman. Hal ini dipengaruhi oleh sistem transportasi
barang. Pasar pantai banyak produk impor dan pasar pedalaman banyak
produk lokal sesuai karakter hasil bumi dan laut, karena sistem transportasi
masih mendominasi (transportasi laut dan sungai). 3) Produksi yang dapat
diperjual belikan dipasar dapat meliputi hasil produksi bidang pertanian,
peternakan, perikanan, industri, barang logam, dan barang bukan logam. 4)
Distribusi pada dasarnya proses penyaluran dari asal bahan baku produksi ke
tempat pemakainya. Hal ini dipengaruhi jenis komoditinya, tahan lama atau
tidak dan juga banyak atau sedikitnya barang. Sedangkan banyak sedikitnya
barang akan menentukan moda transportasi yang digunakan dalam
mendistribusikan barang, apakah lewat darat, sungai atau yang lain (Nastiti,
1995).
persegi) dan jumlah pedagang. Metode klasifikasi berbeda pada setiap daerah,
namun biasanya pasar Kelas I atau Kelas A adalah pasar terbesar. Sudah
menjadi kebiasaan bagi Dinas Pasar untuk menentukan target penerimaan
tahunan untuk setiap pengelola pasar, yang lazimnya meningkat setiap tahun.
Kegagalan untuk memenuhi target umumnya berdampak pada pergantian
kepala pengelola pasar. Karena itu, tidaklah mengherankan bila didapati
banyak kepala pasar yang lebih mencurahkan perhatian pada tugas untuk
memenuhi target pemungutan retribusi daripada upaya pengelolaan pasar
dengan baik (Suryadarma, et al., 2007).
Sebagian kecil pedagang pasar tradisional menerapkan strategi pemasaran baru
yang mencakup penambahan variasi pada barang dagangan, memberikan
pelayanan yang prima, mempertahankan mutu barang, mengantarkan barang
langsung ke rumah konsumen, memberikan potongan harga, dan bahkan
mencocokkan dengan harga-harga supermarket. Bahkan APPSI (Asosiasi
Pedagang Pasar Seluruh Indonesia) telah melakukan strategi dua jurus untuk
meningkatkan kinerja bisnis pasar tradisional. Pertama, melobi pendekatan
zonasi bagi supermarket, di mana supermarket hanya dapat beroperasi di
daerah pinggir kota dan pada jarak tertentu dari pasar tradisional. Kedua,
mengkampanyekan kepada pemerintah daerah untuk memperbaiki cara-cara
pemerintah daerah menangani pasar tradisional, contohnya dengan
menyediakan kredit kepada para pedagang dan mensubsidi biaya penyewaan
kios (Suryadarma, et al., 2007).
Hasil penelitian Lembaga Penelitian SMERU, diperoleh beberapa faktor yang
dapat menjelaskan mengapa ada sebagian pasar tradisional yang terkena
dampak supermarket sementara sebagian lainnya tidak. Pertama adalah faktor
jarak antara pasar tradisional dan supermarket, di mana pasar tradisional yang
berada relatif dekat dengan supermarket, paling banyak terkena dampak.
Kedua, faktor yang terpenting adalah karakteristik konsumen pada pasar
tradisional. Pasar tradisional yang pelanggan utamanya dari kalangan kelas
menengah ke atas, merasakan dampak yang paling besar akibat kehadiran
supermarket (Suryadarma, et al., 2007). Akar masalah industri pasar modern di
Indonesia adalah ‘market power’ ritel modern yang sangat kuat dan tinggi,
sehingga terjadilah ketidakseimbangan dalam bersaing antara pasar modern
dengan pasar tradisional. Tersingkirnya pasar tradisional disebabkan oleh
beberapa faktor, pertama perawatan infrastruktur pasar tradisional rendah.
Model-model pengembangan kelembagaan pasar tradisional masih dilakukan
dengan pola tidak jelas, cenderung menggunakan pendekatan birokrasi
pemerintah. Pedagang dan pasar hanya dijadikan objek; dan kedua, belum
Bab 1 Pemahaman Pasar Tradisional 11
Kota Surakarta.
waktu tertentu dalam tiap-tiap unit amatan. Unit amatan penelitian dapat
digambarkan dalam Gambar 2.3 sebagai berikut:
M A P M A P M A P
Alasan kebertahanan
Bentuk Kebertahanan
Realitas kebertahanan
Keterkaitan
Relasi Sosial
Relasi Budaya
Relasi ekonomi
Relasi Tempat
M A P M A P M A P
Era Kerajaan
Era Pemerintahan RI
Keterkaitan
Relasi Sosial
Relasi Budaya
Relasi ekonomi
Relasi Tempat
Gambar 2.7: Proses Analisis Data (Diinterpretasikan dari Moleong, 2010 dan
Corbin & Strauss, 2013)
Penyusunan teori sebagai hasil penelitian dapat dilakukan suatu alur proses
seperti dalam Gambar 2.8 sebagai berikut:
Setelah menerima laporan mengenai tempat baru untuk Keraton tersebut, Raja
memerintahkan para Patih Pringgalaya dan Sindurejo segera mempersiapkan
segala sesuatu untuk pembangunan Keraton. Keraton dibangun dengan
mengikuti pola Keraton Kartasura yang ketika itu tinggal puing-puing. Ketika
bangunan Keraton selesai, dalam keadaan yang masih belum diberi pagar
tembok bata keliling, Sunan Paku Buwono II telah menyatakan berdirinya
Negara Surakarta Hadiningrat dengan pertanda waktu sengkalan: Sirnaning
Resi Rasa Tunggal, atau tahun Jawa 1670 dan Masehi 1745, sehingga sering
disebut Bedhol Nagari, sekitar 50.000 orang ikut dalam perpindahan itu.
Dalam proses perpindahan, ikut pula dipindahkan beberapa bangunan istana
lama di antaranya bangsal Pangrawit yang saat ini ditempatkan di Pagelaran.
Perjalanan perpindahan ini melewati jalan Kartasura-Sala, melalui jalan selatan
yang melintasi Kampung Laweyan dan Kampung Kemlayan (jalan
Secoyudan), (Sajid, 1926).
Keraton Surakarta yang pada tahun 1745 didirikan oleh Paku Buwono II untuk
dijadikan pengganti Keraton Kartasura yang hancur karena serangan musuh,
semula adalah pusat kerajaan Mataram, seperti dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Sesudah mendiami keratonnya yang baru selama tiga tahun (1749) Paku
Buwono II wafat, dan penggantinya sampai tahun 1755 memerintah kerajaan
Mataram. Kehadiran Residen (Belanda) yang menetap di Surakarta sejak tahun
1755 membawa pengaruh pada wajah kota istana yang bersifat tradisional.
Mulailah dibangun gedung-gedung baru bergaya Barat. Dengan berubahnya
status Surakarta Hadiningrat menjadi ibu kota Karesidenan Surakarta, maka
perubahan tersebut semakin besar. Penataan kota Surakarta dibawah
kekuasaan Sinuwun Sunan Paku Buwono yang memerintah pada masa-masa
tertentu sesuai dengan kejayaannya. Penataan kota diawali pada masa Paku
Buwono II ketika pertama perpindahan keraton Surakarta dari Kartasura,
bahwa kota Surakarata berpusat pada Keraton Kasunanan Surakarta, yang
sekaligus merupakan pusat pemerintahannya. Sedangkan fasilitas kota berupa
alun-alun, masjid, pasar, ditempatkan di sebelah utara Keraton. Surakarta
Bab 3 Pasar Tradisional Dalam Rangkaian Sejarah Kota Surakarta 33
2. Serengan 1 1 - - - - 2
3. Pasar 1 1 1 3 3 1 10
Kliwon
4. Jebres - 1 4 3 3 1 12
5. Banjarsari 1 2 1 3 2 3 12
Total 3 6 9 12 8 5 43
(7%) (14%) (21%) (28%) (18%) (12%) (100%)
ALAMAT PASAR
KELA
No PASAR
S KECAMATA
JALAN KELURAHAN
N
TAMAN PASAR
10 BURUNG & IKAN IB Jl. Balekambang Lor Manahan Banjarsari
HIAS
kecamatan, dengan hasil seperti dalam Gambar 3.5, Gambar 3.6, Gambar 3.7,
Gambar 3.8, dan Gambar 3.9.
Dari hasil pemetaan dalam Gambar 3.10 tersebut di atas dapat dibuat
rekapitulasi hasil persebaran pasar tradisional di Kota Surakarta dalam Tabel
3.4 sebagai berikut :
Tabel 3.4: Struktur Sebaran Pasar Tradisional di Kota Surakarta (Aliyah,
Setioko, dan Pradoto 2017a)
NO. Kecamatan Jumlah Persentase
(%)
1. Laweyan 7 16.3
2. Serengan 2 4.7
3. Pasar Kliwon 8 18.6
4. Jebres 12 27.9
5. Banjarsari 14 32.6
Total 43 100
Surakarta. Pasar Gede terdiri dari dua bangunan yang terpisahkan jalan yang
sekarang disebut sebagai Jalan Oerip Sumoharjo. Masing-masing dari kedua
bangunan ini terdiri dari dua lantai, dapat dilihat pada Gambar 3.11. (Dinas
Tata Ruang Kota, 2009)
Arsitektur Pasar Gede merupakan perpaduan antara gaya Belanda dan gaya
Jawa. Pada tahun 1947, Pasar Gede mengalami kerusakan karena serangan
Belanda. Pemerintah Republik Indonesia yang kemudian mengambil alih
wilayah Surakarta dan Daerah Istimewa Surakarta kemudian merenovasi
kembali pada tahun 1949. Perbaikan atap selesai pada tahun 1981. Pemerintah
indonesia mengganti atap yang lama dengan atap dari kayu. Bangunan kedua
dari Pasar Gede, digunakan untuk kantor Dinas Pekerjaan Umum yang
sekarang digunakan sebagai pasar buah (Dinas Tata Ruang Kota, 2009)
Pasar Gede terletak di seberang Balaikota Surakarta pada jalan Jendral
Sudirman dan Jalan Oerip Sumoharjo di perkampungan warga keturunan
Tionghoa atau Pecinan yang bernama Balong dan terletak di Kelurahan
Sudiroprajan, seperti dalam Gambar 3.9. Para pedagang yang berjualan di
Pasar Gede banyak yang keturunan Tionghoa pula. Budayawan Jawa ternama
dari Surakarta Go Tik Swan seorang keturunan Tionghoa, ketika diangkat
menjadi bangsawan oleh mendiang Raja Kasunanan Surakarta Pakubuwana
XII, mendapat gelar K.R.T. (Kangjeng Raden Tumenggung) Hardjonagoro
karena kakeknya adalah kepala Pasar Gede Hardjonagoro. Di dekat Pasar
Gede, ada sebuah kelenteng, persis di sebelah selatan pasar. Kelenteng ini
bernama Vihara Avalokiteśvara Tien Kok Sie dan terletak pada Jalan
Ketandan, dapat dilihat pada Gambar 3.12 dan Gambar 3.13 (Dinas Tata
Ruang Kota, 2009)
Selain pernah terkena serangan Belanda pada tahun 1947, Pasar Gede tidak
luput pula terkena serangan amuk massa yang tidak bertanggung Jawab. Meski
luput serangan pada Peristiwa Mei 1998, pada bulan Oktober 1999 Pasar Gede
dibakar oleh amuk massa. Usaha renovasi dengan mempertahankan arsitektur
asli bisa berjalan dengan cepat dan dua tahun kemudian pada penghujung
tahun 2001, pasar yang diperbaiki bisa digunakan kembali. Bahkan pasar yang
baru tergolong canggih karena ikut pula memperhatikan keperluan para
penyandang cacat dengan dibangunnya prasarana khusus bagi pengguna kursi
roda.
46 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
Gambar 3.11: Peta Kawasan Pasar Gede di Kota Surakarta (Aliyah, Setioko,
dan Pradoto 2016)
Bab 3 Pasar Tradisional Dalam Rangkaian Sejarah Kota Surakarta 47
Gambar 3.12: Kondisi Kawasan Pasar Gede pada siang hari (Aliyah, Setioko,
dan Pradoto, 2016)
Gambar 3.13: Kondisi Kawasan Pasar Gede pada malam hari menyambut
acara Imlek (Aliyah, Setioko, dan Pradoto, 2016)
1. Keragaman Aktivitas Di Kawasan Pasar Gede
Perubahan gaya hidup, seperti animo masyarakat yang ingin berbelanja dan
berekreasi ke mall, maka pasar tradisional mulai berusaha berbenah diri
48 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
24.00-06.00 Bongkar
muat truk
dan colt
pick-up dari
luar kota
06.00-10.00 Pembeli
grosiran
atau
pemilik
restoran
10.00-22.00 Pembeli
eceran
masyarakat
sekitar Solo
Raya
Bab 3 Pasar Tradisional Dalam Rangkaian Sejarah Kota Surakarta 53
19.00-24.00 Pengunjung
warung
makan dan
hik
2 Mingguan Kawasan
dan Pasar Tidak
Bulanan pernah sepi
selalu ramai
dengan
pengunjung
3 Tahunan
Festival Pedagang
Pasar dan
Kumandang masyarakat
dalam
pawai pasar
kumandang
Grebeg Pedagang
Sudiro dan
masyarakat
dalam
pawai pasar
kumandang
Perayaan Syukuran
HUT Pasar HUT
Gede dengan
perayaan
Pesta Pesta setiap
Rakyat ada
pemimpin
daerah yang
didukung
pedagang
Bab 4
Fenomena Kawasan Pasar
Tradisional Sebagai Komponen
Struktur Kota Surakarta
syukur yang menjadi nilai-nilai filosofi yang pegang oleh seorang raja dalam
memerintah sebuah negari atau negara berupa kerajaaan. Dalam hal ini pasar
merupakan wujud dari konsep ucap syukur.
Perencanaan dan penataan tata ruang kota tradisional Jawa diawali dari titik
utama di Sitihinggil hingga ditarik sumbu utara selatan hingga Tugu
Pamandengan. Secara teknis dalam penataan awalnya yang dibuat adalah titik
pusat Sitihinggil untuk pemerintahan suatu keraton, sebagai pusat simbul
kekuasaan dan kehidupan. Selanjutnya ditarik sumbu hingga Tugu
Pamandhengan atau Sinukarto atau Titik Ketauhidan. Dengan adanya sumbu
utara selatan, maka terbentuk wilayah kanan dan kiri keraton, meski wilayah
timur dan barat untuk area kota tidak ada perbedaan nilai yang signifikan,
tetapi secara kebetulan bahwa pusat Sujud Manembah berada di sebelah barat.
Arah orientasi bangunan ada ketentuan yaitu semua bangunan yang berada di
utara wilayah keraton, harus memiliki oerientasi bangunan ke arah selatan
sedangkan di selatan keraton menghadap utara.
Dalam lingkup kawasan, Pasar Gede diawali oleh masyarakat Tionghoa,
berdagang dan membentuk simpul tempat berjualan, juga ada bandar Beton.
Kemudian PB II menyatakan tempat tersebut sebagai pasar utama bagi
Keraton Surakarta Hadiningrat. Hingga kini budaya Jawa dan Tionghoa
bersinergi dalam bentuk tata berniaga, tata sosial dan akulturasi perayaan hari
besar Jawa dan Tionghoa.
Gambar 4.1: Situasi Kawasan Pasar Gede Pada Tahun 1900an (Oliver
Johannes, 2015)
Gambar 4.1 menunjukkan kawasan Pasar Gede pada awalnya (Tahun 1900)
merupakan pasar yang berlokasi di sepanjang jalan, sebelum diatur dengan
bentuk los-los sebagai fasilitas pasar. Pada tahun 1900 jalan belum penuh
dengan ruko Tionghoa, dan masih banyak pepohonan di kanan dan kiri jalan.
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 57
Pada Tahun 1900 di utara dan barat Pasar Gede terdapat pasar buah. Bangunan
berupa los memanjang dengan bentuk yang lebih modern dibandingkan
dengan bangunan Pasar Gede. Pada bagian luar ada beberapa pedagang yang
menggunakan payung dari klaras (daun pisang kering) untuk menaungi
dagangannya. Opas polisi bertindak sebagai petugas keamanan dilengkapi
dengan senjata ranting pohon untuk melerai jika terjadi keributan di pasar.
Pada umumnya penduduk Jawa adalah pembeli sejati yang kurang mengerti
perdagangan. Hal tersebut sering memicu keributan, karena penjual dan
pembeli saling menipu dan ditipu secara bergantian untuk mendapatkan
keuntungan sehingga sering terjadi perselisihan (Oliver Johannes RAAP,
2015).
Pada Tahun 1930 Pasar Gede direnovasi dan berada di sekitar komplek
Pecinan atau Kampung Ketandan sebagai pusat Pecinan, dapat dilihat pada
Gambar 4.2. Nama Ketandan berasal dari kata ke-tanda-an adalah tempat
bermukim tanda atau lurah pasar yang bertugas menarik pajak di pasar.
Gambar 4.2: Situasi Kawasan Pasar Gede Tahun 1930an (Oliver Johannes,
2015)
Pasar Gede terletak di kawasan Pecinan atau Kampung Tionghoa. Etnis China
sudah mulai masuk ke wilayah Kota Surakarta sejak abad ke-18 dan
ditempatkan di sebelah utara kawasan Belanda (Benteng, Lojiwetan) atau di
seberang utara Kali Pepe (anak sungai Bengawan Solo). Daerah tersebut
dikenal dengan nama Ketandan, dan sudah sejak tahun 1821 telah ada dalam
peta Kota Surakarta. Tampak bangunan berarsitektur Tionghoa, sebagai
tempat usaha sekaligus rumah, dan pemilikinya adalah bangsa Tionghoa, serta
karyawannya banyak yang pribumi. Beberapa toko menjual obat-obatan
Tiongkok, dan ada pabrik mebel (Oliver Johannes, 2015).
Akses menuju kawasan Pasar Gede pada masa Tahun 1900, terdapat dua
jembatan gantung yang membentang di atas Kali Pepe, yaitu sebelah Barat
58 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
berada di depan Pasar Gede dan sebelah timur berada di selatan perempatan
Ketandan yang sekarang dikenal dengan Kreteg Gantung, dapat dilihat pada
Gambar 4.3.
Gambar 4.4: Filosofi sedulur papat kalimo pancer merupakan konsep dasar
jejaring Pasar Gede terhadap pasar lainnya di Kota Surakarta (Analisis Peneliti
berdasarkan interview dan Serat Radya Laksana, 2016)
Di sisi lain Pasar Gede pada masa dahulu dianggap seperti mall, dan terkenal
pasare wong sugih-sugih. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi
bahwa berbelanja di Pasar Gede seperti berbelanja di supermarket,
dikarenakan kualitas barang yang bagus dan tidak kalah dengan kualitas
narang di supermarket. Secara prinsip bahwa sebagai penguasa seorang raja
dengan segala bentuk pengayoman telah menyediakan berbagai pasar
tradisional sebagai fasilitas perbelanjaan dengan beberapa tingkatan atau kelas
mulai dari pasar kelas eksklusif hingga untuk masyarakat golongan ekonomi
bawah. Berbagai filosofi Jawa diungkapkan pula oleh Kanjeng Gusti Puger:
60 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
kios permanen dan tidak melakukan perpindahan dari satu pasar ke pasar yang
lain berdasarkan hari pasaran. Hal demikian merupakan suatu perwujudan
Jaman Kalakone, yaitu suatu keadaan yang berbeda menyesuaikan dengan
jaman atau dengan kata lain dahulu berbeda bentuknya dengan sekarang tetapi
nilai-nilai tetap ada dalam bentuk sesuai dengan jamannya.
Gambar 4.5: Ajang Apesiasi Budaya yang ada di Pasar Gede (Aliyah,
Setioko, dan Pradoto, 2016)
demikian terjadilah sinergi antar budaya dan pelaku kegiatan yang berbaur
menjadi satu, seperti dalam Gambar 4.6. Ilustrasi tersebut menggambarkan
extended cultural activity (kegiatan budaya yang diperpanjang) yang ada di
kawasan Pasar Gede hingga pada akhirnya menghasilkan extended cultural
space function (perluasan fungsi ruang budaya) yang terjadi secara bergantian
dengan aktivitas yang lain.
Gambar 4.6: Ragam Budaya yang digelar di Pasar Gede (Analisis Peneliti,
2016)
Kehidupan yang ada di Pasar Gede tidak hanya berlangsungnya aktivitas
ekonomi dan sosial saja, tetapi hal yang menarik bahwa konsumen ataupun
pedagang sengaja datang ke Pasar Gede bukan sekedar untuk melakukan jual
beli, tetapi memiliki tujuan lain yaitu untuk menyaksikan pagelaran budaya
imlek ataupun Grebeg Sudiro, Festival Pasar Kumandang atau bertemu sapa
sekedar untuk mengobrol santai dan melihat situasi pasar hingga terbentuklah
sinergitas ruang budaya Jawa dan China di kawasan Pasar Gede.
64 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
Gambar 4.7: Lingkup meso aktivitas sosial secara spasial di Kawasan Pasar
Gede (Aliyah, Setioko, dan Pradoto, 2017b)
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 65
Gambar 4.8: Aktivitas sosial di Kawasan Pasar Gede (Aliyah, Setioko, dan
Pradoto, 2017b)
Berdasarkan berbagai ilustrasi gambar tersebut menunjukkan bahwa
kehidupan sosial nampak masih tumbuh dan terjaga di kawasan pasar Gede.
Aktivitas sosial tidak hanya terjadi antar pedagang dengan pedagang,
pedagang dengan pengunjung, tetapi juga melibatkan masyarakat sekitar.
66 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
Sedangkan aktivitas sosial yang ada di kawasan Pasar Gede secara spasial bisa
digambarkan dalam Tabel 4.2 sebagai berikut:
68 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
Tabel 4.2: Aktivitas Sosial secara keruangan atau spasial (Aliyah, Setioko, dan
Pradoto, 2017b)
No Siklus Pelaku Ativitas Tempat
1 Mingguan Kawasan Pasar
dan tidak pernah sepi
Bulanan selalu ramai
dengan
pengunjung dan
terjadi interaksi
tidak hanya jual
beli tetapi juga
persaudaraan
2 Tahunan
Festival Pedagang dan
Pasar masyarakat
Kumandang dalam pawai
pasar
kumandang
saling
berinteraksi
dalam keakraban
hanya sesaat dan tidak menempati area tertentu. Data pedagang Pasar Gede
yang disampaikan oleh Pengelola Pasar Gede seperti dalam Tabel 4.5 berikut:
Tabel 4.5: Perkembangan Pedagang di Pasar Gede (Buku Retribusi Pedagang
di Kantor Pengelola Pasar Gede, 2016)
Tahun
Klasifikasi Pedagang
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Pedagang dan barang dagangan di Pasar Gede berasal dari berbagai daerah
sesuai dengan komoditas yang dibawa, dan mereka hanya memiliki satu tujuan
untuk mensuplai Pasar Gede (dapat dilihat pada Gambar 4.10). Pedagang
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a Pedagang sebagai pemasok buah, ada yang berasal dari Banyuwangi,
Palembang, Pontianak, Jember, Malang dan wilayah sekitar Jawa
Tengah.
b Pedagang yang mengunjungi atau belanja di Pasar Gede untuk dijual
kembali seperti tukang sayur keliling, pedagang pemasok kios buah
dan pedagang sebagai pengusaha restoran atau hotel.
c Pedagang tetap Pasar Gede yang melakukan penjualan kepada para
pedagang pengecer dan menerima dagangan atau membeli dari
pedagang sebagai distributor dari luar wilayah Jawa Tengah.
d Pedagang Pasar Gede yang memasok pasar lainnya di Kota Surakarta
Pasar Gede sekarang ini mejadi pasar pariwisata, sudah jadi tempat
“jujugan tamu dari luar kota” , mereka datang hanya untuk minum
dawet dan belanja oleh-oleh terus pulang, tidak belanja bahan
makanan untuk masak harian. Jadi ya mereka datang karena mau beli
makanan yang khas Pasar Gede. Biasanya mereka beli yang unik
seperti “lenjongan” (jajajan pasar), makanan khas oleh-oleh solo,
dawet telasih. Pedagang yang jualnya dengan harga sama dengan
pelanggan yang lain.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh salah satu pengunjung yang berasal dari
luar kota yaitu Jakarta, datang ke Pasar Gede hanya untuk menikmati dawet
telasih dan membeli oleh-oleh khas Solo:
Saya dari Jakarta, sejak usia 26 tahun saya meninggalkan Solo, dan
sekarang usia saya sudah 75 tahun. Setiap ke Solo saya pasti
menyempatkan mampir ke Pasar Gede untuk beli dawet ini. Dawet ini
istimewa, di tempat lain tidak ada. Di Pasar Gede semuanya barang-
barang ada, Pasar Gede komplit, mulai dari bendo juga ada, abu gosok
juga ada.
Pasar Gede dalam operasional setiap harinya, memiliki waktu operasional
dengan interval tertentu dan karakteristik pengunjung yang berbeda serta
berbagai ragam aktivitas yang dilakukan. Secara umum dapat digambarkan
jumlah pengunjung yang mengunjungi Pasar Gede dalam perputaran waktu
satu hari dengan interval jam 00.00-05.00, jam 06.00-09.00 dan 10.00-17.00
dalam keadaan normal atau tidak dalam peristiwa perayaan atau menjelang
lebaran, maka dapat dilihat seperti dalam Tabel 4.7. Sedangkan pada interval
waktu jam 17.00-00.00 tidak dapat diidentifikasi jumlahnya mengingat para
pemasok luar kota yang datang pada malam hari sifatnya tentatif sesuai dengan
ketersediaan barang, berikut tabel jumlah pengunjung:
76 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
Tabel 4.7: Jumlah Pengunjung yang masuk di Bangunan Pasar Gede Tahun
2016 (Survey dan Analisis Peneliti, 2016)
Jumlah 10.569
Aktivitas ekonomi yang ada di kawasan Pasar Gede dapat dirinci seperti dalam
Tabel 4.8, dan dapat diuraikan bahwa berbagai aktivitas memiliki karakter
yang berbeda mulai dari berjualan, berbelanja, distribusi barang, dan bongkar
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 77
Bu Jati: la nek rugi ngomong… nek bathi ora ngomong… regone yow
is sak mono kuwi…
Akhirnya pembeli tidak jadi membeli, dan menurut pedagang hal seperti itu
biasa terjadi untuk mencari harga yang terendah. Tidak berselang waktu yang
lama, ada penawaran buah naga oleh pemasok atau pengepul dari
Banyuwangi. Demikian respon Bu Jati selaku pedagang yang ditawarin:
Panjenengan saking pundhi… Banyuwangi… celak nggone Catur,
kulo biasane dikirimi catur. Anggeranu Mriki niki tergantung
pengepule… dadhi kadang yo amblek blek mergo di bruki akeh, tapi
yo kadang yo akeh.. paling-paling nek naga 40 peti nek luwih mriki
abot. Nek tunggal sak pasar diblekki 10 truk tasih nyandak, neng nek
sampe 15 truk yo bek… jenengan informasi saking sinten? ..ooo
sopir.. niki nggone kulo mriki nganti mriki, niko lapak e sanes, mriki
sisteme komisian, dadhi mriki tinggal juale.
Tabel 4.8: Jenis Aktivitas Ekonomi di Pasar Gede (Aliyah, Setioko, dan
Pradoto, 2017b)
No Jenis Pelaku Sifat Ilustrasi Suasana
Aktivitas Kegiatan
1 Berjualan Pedagang Rutin
Setiap hari
Aktivitas ekonomi secara spasial dan dalam penggunaan atau alokasi waktu
yang ada di kawasan Pasar Gede dapat diilustrasikan seperti dalam Tabel 4.9
berikut:
Tabel 4.9: Aktivitas Ekonomi Secara Keruangan (Spasial) di Pasar Gede
(Aliyah, Setioko, dan Pradoto, 2017b)
No Siklus Pelaku Tempat
Ativitas
1 Harian
24.00- Bongkar
06.00 muat truk
dan colt
pick-up dari
luar kota
06.00- Pembeli
10.00 grosiran
atau pemilik
restoran
10.00- Pembeli
22.00 eceran
masyarakat
sekitar Solo
Raya
80 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
19.00- Pengunjung
24.00 warung
makan dan
hik
2 Mingguan Kawasan
dan pasar tidak
Bulanan pernah sepi
selalu ramai
dengan
pengunjung
Gambar 4.11: Komoditas utama Pasar Gede buah Segar dan kebutuhan
harian (Dokumentasi Peneliti, 2016)
Pedagang dan barang dagangan di Pasar Gede berasal dari berbagai daerah
sesuai dengan komoditas yang dibawa, dan mereka hanya memiliki satu tujuan
untuk mensuplai Pasar Gede. Klasifikasi pedagang dapat dibedakan dalam
kategori:
• Pemasok buah, ada yang berasal dari Banyuwangi, Palembang,
Pontianak, dan wilayah sekitar Jawa Tengah.
• Pedagang yang mengunjungi atau belanja di Pasar Gede untuk dijual
kembali seperti tukang sayur keliling, pedagang pensuplay kios buah
dan pedagang sebagai pengusaha restoran atau hotel.
• Pedagang tetap Pasar Gede yang melakukan penjualan kepada para
pedagang pengecer dan penerima atau pembeli dari pedagang sebagai
distributor dari luar wilayah Jawa Tengah.
• Pedagang Pasar Gede yang memasok pasar lainnya di Kota Surakarta
1. Sejarah • Makro
keberadaan
Pasar Gede
sebagai pusat
penjualan
bagi
komoditas
yang
dihasilkan
wilayah
sekitar.
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 83
• Meso
84 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
2. Di Pasar
Gede
berbagai
macam
ragam buah
dapat laku
dengan cepat
3. Letak Pasar
Gede di Kota
Surakarta
menjadi
singgahan
bila sekalian
mengirin
barang
dagangan ke
Yogyakarta
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 85
4. Pemasok
mengunjungi
pasar untuk
memasok
barang
dagangan
baik yang
berasal dari
dalam kota
maupun luar
kota,
sehingga
tidak
memiliki
tempat yang
khusus di
Pasar Gede
Berbagai aktivitas tersebut secara spasial dapat digambar dalam suatu tempat
dan waktu yang saling terintegrasi berlangsung dengan lancar dan intensitas
rutin dalam perputaran jam, hari, pekan seperti dalam Gambar 4.12 sebagai
berikut :
Pasar Gede dapat dikaji dari keragaman aktivitas pasokan barang yang
berlangsung di kawasan Pasar Gede. Selama satu hari, aktivitas pasokan
barang dagangan terjadi mulai dari pukul 00.00 hingga 04.00 dan 20.00-24.00
yang berulang secara rutin antar pedagang dan antar pasar di Kota
Surakarta.seperti halnya penuturan salah satu petugas atau juru parkir bernama
Mbah Mulyo sudarso yang telah 30 tahun bekerja sebagai juru parkir di Pasar
Gede mengungkapkan:
Pasar Gede bedane karo pasar liyane ora ono, Pasar Gede biasa-
biasa wae. anaging Pasar Gede ‘kondang opo-opone (Pasar Gede
terkenal apa-apanya). Kabeh dagangan kondang. Pasar Gede
kondang buah lan sayur sing apik kualitase, iku ditekakake soko
monco-monco. Ono soko Palembang, Kalimantan lan liyane. Pasar
Gede dadhi ‘lurugan’ lan ‘jujugan’ wong kang soko Wonogiri,
Sukoharjo, Karanganyar. Katering, restoran ugo akeh sing
langganan ning Pasar Gede, yen belonjo gowo mobil, iku sing mobil
kuwi soko rumah makan …opo kuwi tulisane Ramayana. (sambil
menunjuk kendaran bak tertutup yang tertulis nama rumah makan).
Suwene blonjo kiro-kiro yo 1,5 sampai 2 jam. Kadang yo ono sing
rodo suwe amergo nunggu pesenan. Yen 2 jam 4000 rupiah, kadang
yo ono sing ngewenehi tips jare kanggo jajan mbah…. Hehehehe
(sambil tertawa kecil) iku sing penting ngeraoso ‘lego-lilo’ diwenehi
nganti 20rb.
Di sisi lain berbagai fenomena terjadi dalam kaitannya pemasok yang datang
dari berbagai daerah. Hal tersebut dapat diuraikan dalam berbagai interaksi
yang ditujukan untuk menanggapi suatu fenomena para pemasok dari dalam
dan luar kota memasok dagangan ke Pasar Gede.
1. Keberadaan Pasar Gede di pusat kota, merupakan suatu kondisi yang
merupakan kelebihan dan kekurangan. Posisi Pasar Gede di pusat
kota merupakan hal yang menguntungkan dan menjadikan kawasan
mudah dicapai dari berbagai arah dan dengan berbagai macam moda
transportasi bagi para pemasok, baik dari dalam kota maupun luar
kota. Sedangkan dengan posisi di pusat kota membuat lokasi Pasar
Gede tidak dapat menampung aktivitas secara bersamaan, dengan
kata lain luasan yang terbatas. Dengan demikian dalam operasional
berbagai ragam aktivitas para pemasok dagangan di Pasar Gede
secara alamiah telah melakukan adaptasi dengan cara
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 87
Gede dapat diperoleh dalam kualitas yang bagus dan jumlah yang
banyak.
Strategi interaksi atau aksi berbagai pemasok yang berasal dari dalam kota dan
luar kota dengan berbagai ragam komoditas, jaringan pasokan atau distribusi
dan jenis transaksi memiliki sifat tertentu yang terkait dengan orientasi dari
strategi tersebut, yaitu :
1. Berorientasi pada proses perputaran aktivitas kontinue, stabil, dan
harmoni.
2. Berorientasi pada tujuan adanya ruang fleksibel untuk berbagai
aktivitas yang terjadi dalam satu ruang. Kejelasan adanya ruang
fleksibel dapat dikaji dari gambaran secara spasial adanya pembagian
ruang yang saling tumpang tindih tanpa saling terganggu antara satu
aktivitas dengan aktivitas yang lain. Berbagai ragam aktivitas
berbagai pemasok yang berasal dari dalam kota dan luar kota dengan
berbagai ragam komoditas, jaringan pasokan atau distribusi dan jenis
transaksi seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4.15 berikut :
Tabel 4.15: Jenis Aktivitas Ekonomi di Pasar Gede (Aliyah, Setioko, dan
Pradoto, 2017b)
No Jenis Pelaku Sifat Kegiatan Ilustrasi Suasana
Aktivitas
1 Distribusi Kuli Pasar Rutin Setiap
barang dari hari
area bongkar
muat menuju
para pedagang
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 89
Aktivitas ekonomi para pemasok dari berbagai daerah secara spasial dapat
digambarkan dalam Tabel 4.16 berikut:
Tabel 4.16: Aktivitas Para Pemasok Berbagai Daerah Secara Keruangan di
Pasar Gede (Aliyah, Setioko, dan Pradoto, 2017b)
No Siklus Pelaku Tempat
Ativitas
1 24.00-06.00 Pemasok
luar daerah
dalam
partai besar
melakukan
Bongkar
muat truk
dan colt
pick-up
dari luar
kota
90 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
2 20.00-24.00 Pemasok
buah lokal
dengan
transportasi
yang mobil
pick-up
3 03.00-06.00 Pasokan
buah impor
dari luar
kota
Tabel 4.18: Keterkaitan Kondisi Kausal dengan Fenomena ragam jual beli
Eceran dan Grosir di Pasar Gede (Analisis peneliti, 2016)
No Kondisi Kausal Fenomena yang terjadi dan lokasinya
2. Pengunjung musiman
mengunjungi Pasar Gede untuk
mencari barang/dagangan yang
tidak ada ditempat lain karena di
Pasar Gede ragam produk sangat
banyak atau mencari produk yang
menjadi kenangan bagi yang
bersangkutan atau bahkan ingin
merasakan produk yang menjadi
ikon Pasar Gede yang biasa
disebut dengan pelancong baik
yang berasal dari dalam kota
maupun luar kota, dengan
kunjungan yang bersifat musiman
(musim liburan atau hari besar)
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 93
3. Pelancong / wisatawan
Mengunjungi Pasar Gede dengan
alasan untuk berekreasi atau
menyaksikan perayaan budaya
ataupun berinterkasi dengan
sesama kolega atau teman yang
berada di Pasar Gede.
Pasar Gede dapat dikaji dari keragaman aktivitas yang berlangsung di kawasan
Pasar Gede. Selama satu hari, aktivitas yang terjadi mulai dari pukul 00.00
hingga 24.00 yang berulang secara rutin mulai dari aktivitas jual beli grosiran
(bakul), jual beli eceran dan katering, jual beli antar pedagang dan antar pasar
di Kota Surakarta. Hal tersebut dapat diuraikan dalam berbagai interaksi yang
ditujukan untuk menanggapi suatu fenomena pengunjung dari Berbagai
Daerah Berbelanja eceran dan grosir ke Pasar Gede dalam kondisi yang ada di
Pasar Gede.
1. Keberadaan Pasar Gede di pusat kota, merupakan suatu kondisi yang
merupakan kelebihan dan kekurangan. Posisi Pasar Gede di pusat
kota merupakan hal yang menguntungkan dan menjadikan kawasan
mudah dicapai dari berbagai arah dan dengan berbagai macam moda
transportasi. Sedangkan dengan posisi di pusat kota membuat lokasi
Pasar Gede tidak dapat berkembang secara horisontal atau tidak dapat
diperluas secara horisontal dengan kata lain luasan yang terbatas.
Dengan demikian dalam operasional berbagai ragam aktivitas
pengunjung dari berbagai daerah berbelanja eceran dan grosir ke
Pasar Gede secara alamiah telah melakukan adaptasi dengan cara
mengalokasikan zona tiap aktivitas sesuai dengan alur dan karakter
kegiatan dalam ruang yang tanpa batas atau batas imajiner.
94 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
Berbagai aktivitas tersebut secara spasial dapat dilihat pada Gambar 4.13,
dalam suatu tempat dan waktu yang saling terintegrasi berlangsung dengan
lancar dan intensitas rutin dalam perputaran jam, hari, pekan, bulan dan tahun
sebagai berikut :
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 95
Kejelasan adanya ruang fleksibel dapat dikaji dari gambaran secara spasial
adanya pembagian ruang yang saling tumpang tindih tanpa saling terganggu
antara satu aktivitas dengan aktivitas yang lain. Berbagai ragam aktivitas dapat
diklasifikasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan budaya seperti dalam Tabel
4.22 berikut :
96 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
Tabel 4.22: Jenis Aktivitas Ekonomi pengunjung dari berbagai daerah di Pasar
Gede (Aliyah, Setioko, dan Pradoto, 2017b)
No Jenis Pelaku Sifat Ilustrasi Suasana
Aktivitas Kegiatan
1 Berbelanja Pengunjung Rutin
eceran dan eceran dan Setiap
katering katering/restoran hari
ataupun
rumah makan
06.00-10.00 Pembeli
grosiran atau
pemilik
restoran
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 97
19.00-24.00 Pengunjung
mngunjungi
warung makan
dan hik
beras belanja di Kondang Tresno di Pasar Besar. Rumah makan besar seperti
Orient, Diamond, Legian, Candi itu belanjanya ke Pasar Besar. Untuk rumah
makan menengah tidak belanja di Pasar Gede.
Dari hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa komoditas di Pasar Gede
memiliki kualitas yang bagus dengan harga yang relatif mahal, dan konsumen
tertentu yang mampu bertahan belanja di Pasar Gede untuk usaha dan
kebutuhan harian. Di samping itu, di Pasar Gede diijinkan menjual daging
babi, dan berbagai perlengkapan ibadah etnis Thionghoa, seperti dapat dilihat
pada Gambar 4.14.
Gambar 4.17: Komoditas Buah Lokal dan Impor untuk konsumen Grosiran
(Dokumentasi Peneliti, 2016)
Dengan berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa kualitas buah yang
ada di Pasar Gede memiliki kualitas yang setara dengan mall, bahkan sumber
pemasok buah di mall adalah salah satu pedagang di Pasar Gede.
mudah dicapai dari berbagai arah dan dengan berbagai macam moda
transportasi. Sedangkan dengan posisi di pusat kota membuat lokasi
Pasar Gede tidak dapat berkembang secara horisontal atau tidak dapat
diperluas secara horisontal dengan kata lain luasan yang terbatas.
Dengan demikian dalam operasional berbagai ragam aktivitas para
komponen pelaku pasar di Pasar Gede secara alamiah telah
melakukan adaptasi dengan cara mengalokasikan zona tiap aktivitas
sesuai dengan alur dan karakter kegiatan dalam ruang yang tanpa
batas atau batas imajiner.
2. Terkait dengan keberadaan Pasar Gede di pusat kota, maka tanggapan
terhadap pasar sebagai tempat jujugan dapat diuraikan bahwa
mengatur jam operasional menjadi hal yang signifikan untuk
diperhatikan untuk mensinergikan antar berbagai ragam aktivitas
dalam ruang yang terbatas. Hal tersebut ditujukan untuk mengatur
perputaran aktivitas agar tidak menimbulkan kemacetan dan
kelancaran bagi semua komponen pelaku pasar, sehingga semua
aktivitas dapat berlangsung sesuai dengan alur aktivitas dan
jangkauan kemampuan kerja.
3. Keberlangsungan berbagai aktivitas dalam ruang, waktu dan
komponen pelaku yang sama diperlukan adanya fasilitas yang
memadai. Sebagaimana diketahui bahwa penataan fasilitas di Pasar
Gede selalu ditingkatkan untuk memperrmudah dan melancarkan
aktivitas yang beragam.
4. Dalam mensikapi adanya segala kondisi dan situasi yang ada di Pasar
Gede, tindakan yang dilakukan oleh para pelaku aktivitas adalah
dengan menjalin kerjasama dan sikap toleransi antar semua
komponen pelaku aktivitas. Kerjasama dan toleransi tidak terbatas
pada ruang dan waktu, tetapi juga pada ragam komoditas. Berbagai
ragam komoditas khusus yang tidak ditemukan di pasar lain, di Pasar
Gede dapat diperoleh dalam kualitas yang bagus dan jumlah yang
banyak.
104 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
berbeda dengan kaidah tersebut. Pasar Gede meskipun memiliki lokasi yang
strategis, tetapi kondisi dan situasi pasar sebagai pusat ekonomi tetap bertahan
tidak surut dan tidak berkembang secara signifikan. Ketiga, Pasar Gede berada
dipusat kota dan ditengah komunitas etnis Tionghoa, sehingga tidak menutup
kemungkinan adanya perpaduan budaya, baik Jawa, China dan perkembangan
gaya hidup.
Dalam konsep pasar tradisional bahwa pasar induk merupakan pasar yang
lingkup pelayanan memiliki jangkauan yang lebih luas dari berbagai lapisan
masyarakat. Tetapi yang terjadi di Pasar Gede pangsa pasar terbatas pada
kalangan tertentu meskipun lingkupnya datang dari beberapa daerah kabupaten
sekitar. Pasar Gede memiliki komoditas tertentu yang dominan yaitu buah, dan
bunga. Komoditas buah dan bunga yang didistribusikan pada pasar lain yang
perannya berada di bawah Pasar Gede. Sedangakn produk atau komoditas
lainnya lebih diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan konsumen eceran
yang datang ke Pasar Gede ataupun pedagang kecil seperti penjual sayur
keliling, rumah makan, dan hotel.
Sebagai pasar induk, dalam konsep pasar tradisional bahwa pasar induk
merupakan pasar yang mendistribusikan barang dagangan ke pasar yang ada di
bawahnya. Sedangkan Pasar Gede pelayanan terhadap pasar yang ada di
bawahnya, hanya beberapa jenis barang dagangan yang didistribusikan yaitu
bunga dan buah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pasar Gede menjadi
pusat untuk komoditas tertentu bagi pasar yang lingkupnya ada di bawahnya.
Bangunan yang ada di kawasan Pasar Gede tidak mengalami perkembangan
yang drastis, baik horisontal maupun vertikal, dan relatif tidak berubah
morfologi bangunannya. Hal ini berbeda dengan teori pasar induk yang
memiliki kecenderungan pertumbuhan kapasitas, ruang/luasan dan jumlah
lantai, bahkan kawasan sekitar pun cenderung akan beralih fungsi dari hunian
menjadi komersial.
Sistem perdagangan yang ada di dalam bangunan Pasar Gede dikenal dengan
sistem peken, sedangkan diluar bangunan tetapi masih dalam kawasan Pasar
Gede terdapat deretan pertokoan dengan sistem firma. Hal ini membuat
kawasan Pasar Gede sebagai kawasan perdagangan dengan integrasi antara
sistem peken dan sistem firma. Di antara keduanya saling mendukung tanpa
terjadi kesenjangan dan perebutan pangsa pasar.
Nilai lahan yang tinggi tidak menyurutkan semangat pemerintah untuk
mempertahankan harga retribusi sama dengan kelas pasar tradisional yang lain.
Masyarakat sekitar pun tidak goyah untuk tetap memiliki bangunan dan lahan
di kawasan Pasar Gede, dengan fungsi sebagai hunian, dan hunian-usaha.
Demikian pula sebaliknya, para pedagang dan masyarakat rela membayar
pajak yang tinggi (karena nilai lahan tinggi) meskipun usahanya tampak secara
pengamatan ekonomi tidak terlalu ramai dan juga tidak sepi dari pengunjung.
Konsekuensi nilai lahan yang tinggi secara ekonomi sulit untuk
110 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
1. Penguasa Keraton Surakarta • Pasar Gede sebagai bagian konsep Jawa • Pasar Gede sebagai bagian • Komoditas berkualitas
merencanakan Pasar Gede • Pasar Gede menjadi pusat sehingga Pengunjung datang dari konsep Jawa sehingga terjadi
berbeda dengan pasar lain di berbagai daerah • Pasar Gede menjadi pusat segmentasi Pasar
“negari” • Jejaring masuk dari luar kota ke arah Kota sehingga Pengunjung Gede
• Komoditas berkualitas sehingga terjadi segmentasi Pasar Gede datang dari berbagai • pusat hirarki pasar di
daerah Kota Surakarta
• Jejaring masuk dari luar • Keseimbangan kota
2.
Penguasa Keraton Surakarta • Pasar Gede sebagai bagian konsep Jawa
kota ke arah Kota sebagai perwujudan
merencanakan Pasar Gede • Keseimbangan kota sebagai perwujudan falsafah “jaman Surakarta falsafah “jaman
sebagai bagian dari kosmis Kelakoni”
• Pusat Pelayanan dalam Kelakoni”
Kota • Jejaring masuk dari luar ke arah Surakarta
kota maupun luar kota
• Pusat Pelayanan dalam maupun luar kota
3.
Penguasa Keraton Surakarta • pusat hirarki pasar di Kota Surakarta
merencanakan Pasar Gede • Keseimbangan kota sebagai perwujudan falsafah “jaman
menempati hirarki kelas atas Kelakoni”
• Jejaring masuk dari luar ke arah Surakarta
• Pusat Pelayanan dalam maupun luar kota
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 113
Perbandingan
No Fenomena Konsekuensi
Persamaan Perbedaan
4.
Budayawan dan Tokoh • Pasar sebagai komponen utama • Menjaga nilai-nilai • Pasar sebagai
Keraton menganggap pasar • Komponen negari perwujudan “ucap syukur” komponen utama
bagian komponen utama • Menjaga nilai-nilai • Komponen negari
negari “ucap syukur”
5.
Pengunjung menikmati dan • Keragaman dan keunikan komoditas • Keragaman dan keunikan • Masyarakat menjaga
bernostalgia di Pasar Gede • Pengunjung dan pedagang menjaga Nilai histori komoditas Nilai histori
• Citra Pasar Gede tidak tergantikan • Citra Pasar Gede tidak
tergantikan
6.
Pasar Gede mengalami • Keragaman “opo-opo ono” • Keragaman “opo-opo • Fleksibitas ruang
perputaran jenis dari dalam • Pemusatan “ngayahi butuh” ono” berbagai aktivitas,
jumlah yang relatif sama • Fleksibitas ruang digunakan berbagai aktivitas, pengguna, dan • Pemusatan “ngayahi pengguna, dan waktu
waktu butuh” • Siklus aktivitas yang
• Siklus aktivitas yang berputar berputar hingga 24
jam
7.
Masyarakat diakomodir dulu • Keragaman “opo-opo ono”
hingga sekarang, situasi • Pemusatan “ngayahi butuh”
sebanding perkembangan • Fleksibitas ruang berbagai aktivitas, pengguna, dan waktu
jaman • Siklus aktivitas yang berputar
8.
Pemasok antar wilayah • Keramaian “regeng” • Keramaian “regeng” • Hubungan
• Keragaman “rupa-rupa komoditas” • Keragaman “rupa-rupa “kepercayaan”
• Segala komoditas “laku dijual” komoditas” Pengunjung kelas
• Hubungan “Jaringan antar wilayah” • Segala komoditas “laku menengah ke atas
dijual” • Nilai Kesejarahan
9.
Pengunjung berbagai kota • Keramaian “regeng”
• Hubungan “Jaringan antar untuk di”uri-uri”
• Keragaman “rupa-rupa komoditas”
wilayah” • Kegiatan budaya
• “opo-opo ono” dalam jumlah dan kualitas
• “opo-opo ono” dalam sebagai “event /
• Hubungan “kepercayaan” Grebeg”
jumlah banyak dan
10.
Pedagang dari berbagai • Keramaian “regeng” kualitas bagus • Ikatan emosional
daerah berdagang di Pasar • Keragaman “rupa-rupa komoditas” • Keragaman aktivitas Sebagai pasarnya
Gede • Segala komoditas “laku dijual” • Keragaman komoditas keraton Kasunanan
• Hubungan “Jaringan antar wilayah” khas Jawa • Keragaman komoditas
11. • Keramaian “regeng” dan kualitas bagus
Penyedia jasa dari berbagai menjadi jaminan atau
wilayah • Keragaman aktivitas
kebanggaan pihak
• Pengunjung kelas menengah ke atas
keraton
• “Jaringan antar wilayah” distribusi dagangan
12.
Wisatawan dari berbagai • Nilai Kesejarahan untuk di”uri-uri”
daerah • Keragaman komoditas khas Jawa
• Kegiatan budaya sebagai “event / Grebeg”
13.
Keraton Kasunanan • Nilai Kesejarahan untuk di”uri-uri”
berbelanja untuk “jamuan” • kebanggaan pihak keraton
• Ikatan emosional Sebagai pasarnya keraton Kasunanan
14.
Pengunjung dari berbagai • Pengunjung dari berbagai daerah • Pengunjung dari berbagai • Keragaman akses
daerah mendatangi Pasar • Jejaring masuk dari luar kota ke arah Kota Surakarta daerah masuk ke kawasan
Gede • Keragaman akses masuk ke kawasan Pasar Gede • Jejaring masuk dari luar Pasar Gede
kota ke arah Kota
Surakarta
15.
Pemasok dan pedagang • Penangguhan pembayaran • Kepercayaan antar • Penangguhan
menjual dagangan dengan • Kepercayaan antar pedagang dan pemasok pedagang dan pemasok pembayaran
sistem komisi • Kemampuan daya jual • Kemampuan daya jual
berdasarkan kepercayaan
16.
pemilahan kualitas dagangan • Kualitas dagangan terjamin dan jumlah barang tersedia • Kualitas dagangan • Sisa sortiran dibeli
dengan mengkategorikan • Kepastian harga dengan sistem label harga terjamin dan jumlah pedagang asongan
beberapa harga dan kualitas • Pelayanan pengiriman barang dan pemesanan melalui telpon barang tersedia
• Sisa sortiran dibeli pedagang asongan • Kepastian harga dengan
sistem label harga
17.
Pengunjung mendapatkan • Kualitas dagangan yang terjamin dan jumlah barang yang selalu
tersedia • Pelayanan pengiriman
barang yang lebih segar dan barang dan pemesanan
jumlah yang banyak • Kepastian harga dengan sistem label harga
melalui telpon
• Pelayanan pengiriman barang dan pemesanan melalui telpo
114 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
Perbandingan
No Fenomena Konsekuensi
Persamaan Perbedaan
18.
Pedagang memasok • Kualitas terjamin dan jumlah barang tersedia • Kualitas terjamin dan • Jejaring ke arah keluar
dagangan ke supermarket • Pedagang telaten melakukan transaksi dengan pihak jumlah barang tersedia dari Kota Surakarta
Kota Surakarta dan supermarket • Pedagang telaten menuju lingkup
Yogyakarta • Jejaring ke arah keluar dari Kota Surakarta menuju wilayah lain melakukan transaksi nasional
dengan pihak supermarket
• Jejaring ke arah keluar
dari Kota Surakarta
19.
Pedagang mengirim barang • Kualitas dagangan terjamin dan jumlah barang tersedia
menuju wilayah lain
dagangan dari Pasar Gede ke • Pedagang telaten melakukan transaksi dengan pihak luar kota
luar Kota dan ke luar pulau dan luar Jawa
Jawa • Jejaring keluar menuju lingkup nasional
20.
Pelaku katering dan pengelola • Keragaman “opo-opo ono” • Keragaman “opo-opo • Kualitas dagangan
rumah makan dapat • Pemusatan “ngayahi butuh” ono” terseleksi
memperoleh barang • Pengunjung kelas menengah ke atas dengan kemampuan daya • Pemusatan “ngayahi
berkualitas bagus dan harga beli yang tinggi butuh”
relatif mahal • Hubungan “Jaringan antar wilayah” • Pengunjung kelas
menengah ke atas dengan
21. • Keragaman “opo-opo ono” kemampuan daya beli
Pedagang menyediakan yang tinggi
barang berkualitas bagus dan • Pemusatan “ngayahi butuh”
• Pengunjung kelas menengah ke atas dengan kemampuan daya • Hubungan “Jaringan antar
harga relatif mahal di Pasar wilayah”
Gede beli yang tinggi
• Hubungan “Jaringan antar wilayah” sebagai peluang distribusi
• Kualitas dagangan terseleksi
22.
Pemasok memasok barang • Keragaman “opo-opo ono”
berkualitas bagus dan harga • Pemusatan “ngayahi butuh”
relatif mahal di Pasar Gede • Pengunjung kelas menengah ke atas dengan kemampuan daya
beli yang tinggi
• Hubungan “Jaringan antar wilayah” peluang distribusi
dagangan
23.
Masyarakat mengenal Pasar • Kualitas dagangan yang terjamin dan jumlah barang yang selalu • Kualitas dagangan yang • Kepastian harga
Gede sebagai pasar Etnis tersedia terjamin dan jumlah dengan sistem label
Tionghoa • Kepastian harga dengan sistem label harga barang yang selalu harga
tersedia
24.
Konsumen yang datang dan • Keragaman dan Kualitas komoditas • Keragaman dan Kualitas • Pelayanan pedagang
belanja di Pasar Gede • Segmentasi pengunjung kelas atas komoditas dengan tawar
memiliki kelas sosial tertentu • Pelayanan pedagang dengan tawar menawar yang rendah • Segmentasi Keragaman menawar yang rendah
“opo-opo ono” • Pengunjung
25. • Keragaman “opo-opo ono” • Pemusatan “ngayahi kemampuan daya beli
Pedagang menyediakan butuh” kelas menengah ke
barang berkualitas bagus dan • Pemusatan “ngayahi butuh”
• Hubungan “Jaringan antar atas
harga relatif mahal • Pengunjung kemampuan daya beli kelas menengah ke atas
wilayah” peluang
• Hubungan “Jaringan antar wilayah”
distribusi dagangan
di Pasar Gede
26.
Pasar Gede tidak pernah sepi • Pasar ramai dalam segala situasi • Pasar selalu ramai • Pasar tidak terkait hari
didatangi pengunjung • Keragaman aktivitas di Pasar Gede • Keragaman aktivitas di pasaran, dan lebih
• Pengunjung dari berbagai kalangan dan asal daerah Pasar Gede terpengaruh oleh hari
• Pengunjung dari berbagai libur atau menjelang
kalangan dan asal daerah hari raya
27.
Pasar Gede tidak mengenal • Pasar ramai tidak terkait hari pasaran, dan lebih terpengaruh oleh
“hari pasaran” hari libur atau menjelang hari raya
• Keragaman aktivitas di Pasar Gede
• Pengunjung dari berbagai kalangan dan asal daerah
28.
Letak Pasar Gede mudah • strategis di pusat Kota Surakarta • Jejaring masuk dari luar • strategis di pusat Kota
dikenali dan dicapai oleh • Pasar Gede sebagai ikon kota kota ke arah Kota • Pasar Gede sebagai
pengunjung • Pasar Gede sebagai simpul kota Surakarta ikon kota
• Jejaring masuk dari luar ke arah Surakarta • Pusat Pelayanan dalam • Pasar Gede sebagai
• Pusat Pelayanan dalam dan luar kota dan luar kota simpul kota
29.
Masyarakat menganggap • Pasar sebagai penanda “ancer-ancer” • Pasar Mudah dikenali dari • Sebagai ikon kota
Pasar Gede sebagai salah satu • Sebagai ikon kota Surakarta berbagai daerah Surakarta
penanda kota • Tempat tujuan utama wisatawan kuliner • Pasar sebagai penanda • Tempat tujuan utama
• Pasar Mudah dikenali dari berbagai daerah “ancer-ancer” wisatawan kuliner
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 115
Gambar 5.3: Alur Tema Pasar Tradisional sebagai Ruang Budaya (Analisis
Peneliti 2016)
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 117
Gambar 5.4: Alur Tema Pasar Tradisional sebagai Ruang Sosial (Analisis
Peneliti 2016)
Gambar 5.5: Alur Tema Pasar Tradisional sebagai Ruang Ekonomi (Analisis
Peneliti 2016)
yang saling terkait dan dapat dimasukkan dalam satu orientasi Pasar dalam
Konstelasi Kota, seperti dalam Gambar 5.6.
Gambar 5.6: Alur Tema Pasar Tradisional Dalam Konstelasi kota (Analisis
Peneliti 2016)
kota merupakan perwujudan adanya konsep aturan, sujud manembah dan ucap
syukur yang menjadi nilai-nilai filosofi yang pegang oleh seorang raja dalam
memerintah sebuah negari atau negara berupa kerajaaan. Dalam hal ini pasar
merupakan wujud dari konsep ucap syukur.
Hal inilah yang mendasari terbentuknya suatu hirarki dan jejaring dari masing-
masing komponen kota di pusat kota tradisional Jawa. Dalam menjalankan
pemerintahan, seorang Raja di negari Keraton Kasunanan Surakarta maka
akan mengayomi warganya. Dengan berdasarkan prinsip ngayomi atau
memberi perlindungan dan pelayanan inilah maka pengaturan pasar sebagai
bentuk implementasi nilai ucap syukur, raja negari Keraton Kasunanan
Surakarta menempatkan pasar dengan hirarki dan jejaring yang mengacu pada
sedulur papat kalimo pancer dengan pusat orientasi keraton dapat dilihat pada
Gambar 5.7.
Dalam kehidupan suatu negari, maka konteks aktivitas ekonomi, sosial dan
budaya di kota pun menjadi sangat komplek dan menjadi bagian yang dicari,
dituju, dan sekaligus diharapkan oleh seluruh komponen masyarakat. Pasar
Gede adalah salah satu tempat yang menjadi wadah bagi aktivitas tersebut,
sehingga pasar dipandang sebagai Jujugan atau tempat untuk mendapatkan,
mencari, dan memperoleh sesuatu bagi masyarakat. Hal tersebut diperkuat
pula oleh adanya posisi dan kekhasan Pasar Gede berada pada wilayah yang
langsung berkaitan dengan axis atau sumbu utama Kota Surakarta, dan berada
pada depan dari posisi Keraton Kasunanan Surakarta sehingga menjadi
orientasi, disamping itu pula keragaman komoditas yang ada di Pasar Gede,
maka tidak mustahil bila masyarakat menjadikan Pasar Gede sebagai tempat
Jujugan atau tempat yang selalu dituju.
Pasar Gede ternyata tidak hanya sebagai Jujugan tetapi juga menjadi Lurugan
atau tempat yang didatangi. Pasar Gede sebagai pasar yang berada pada area
inti Kota Surakarta atau yang disebut dengan negaragung maka hal ini menjadi
daya tarik bagi masyarakat baik dalam kota maupun luar kota untuk nglurug
atau mendatangi Pasar Gede guna memasok barang, berbelanja, bekerja
ataupun tujuan lain. Inilah yang dikenal dengan sebutan bahwa Pasar Gede
menjadi Lurugan.
Berbagai permintaan berbagai pihak konsumen dan upaya pengembangan
pemasaran, maka tindakan dan strategi para pedagang di Pasar Gede tidak
hanya menunggu konsumen atau pelanggan datang, tetapi juga melakukan
penyebaran pemasaran dagangan atas permintaan pelanggan atau konsumen
dan penawaran pada konsumen, baik yang dalam kota maupun luar kota.
Ekspansi pemasaran ini tidak hanya di pasar tradisional tetapi merambah pasar
modern atau supermarket yang berada di dalam kota maupun luar kota.
Dengan demikian para pedagang di Pasar Gede melakukan pengembangan
pemasaran yang dikenal dengan istilah lokalnya sumrambah atau merambah
ke luar daerah.
Keberadaan Pasar Gede sebagai pasar yang berada di area sumbu utama dan
orientasi bagian depan keraton, maka Pasar Gede sejak awal pembentukan
telah diorientasikan menjadi pasar induk atau pasar besar dengan kelengkapan
dan kualitas komoditas yang berbeda dengan pasar lainnya. Komoditas yang
ada di Pasar Gede secara alam terseleksi dan mampu bertahan adalah
komoditas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kelas menengah ke atas. Di
samping itu pula adanya ragam komoditas yang sesuai dengan tuntutan
masyarakat kelas menengah ke atas, maka para pedagang pun merasa bersaing
atau memiliki daya saing untuk menyediakan kualitas dagangan yang setara
dengan pasar modern atau mall. Demikian pula untuk mengembangkan
pemasaran, kualitas barang dagangan yang berasal dari Pasar Gede memiliki
kualitas yang dapat diterima atau setara dengan mall. Bahkan bagi pengunjung
merasa puas belanja di Pasar Gede dari pada di mall karena barangnya lebih
segar dan jumlahnyapun banyak.
Seiring dengan perjalanan waktu, Pasar Gede tidak hanya memiliki nilai
kesejarahan yang sangat penting bagi Kota Surakarta, tetapi memiliki peran
dari berbagai aspek, masyarakat telah menganggap bahwa Pasar Gede adalah
pasare wong Solo atau Pasar Gede sebagai pasarnya masyarakat Kota
Surakarta. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pasar Gede menjadi ciri
khas atau identitas Kota Surakarta. Kesadaran dan image masyarakat Kota
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 121
Surakarta bahwa Pasar Gede sebagai pasare wong Solo menjadi pendorong
dan kekuatan untuk menjaga dan melestarikan warisan sejarah berupa Pasar
Gede sehingga masyarakat tak segan untuk nguri-uri Pasar Gede hingga masih
bisa bertahan hingga seperti sekarang menjadi bagian kota yang urip lan
nguripi atau hidup dan menghidupi Kota Surakarta.
Tak dapat dipungkiri bahwa daya tahan Pasar Gede terhadap perkembangan
sosial, budaya dan ekonomi menjadi pasar yang seperti sekarang ini adalah
suatu bentuk dari adanya adaptasi atau penyesuaian terhadap situasi dan
kondisi serta tuntutan masyarakat yang disebut dengan Jaman Kalakone atau
proses menyesuaikan dengan perkembangan jaman meski secara hakikat tetap
atau tidak berubah, dalam pengayoman dari pihak pemangku kebijakan,
komitmen masyarakat untuk memberi dukungan pelestarian cagar budaya, dan
konsisten para pelaku ekonomi di Pasar Gede secara lengkap dan utuh atau
yang disebut dengan handarbeni. Dengan demikian keterkaitan tema dalam
ranah kesejarahan seperti dalam Gambar 5.8.
Gambar 5.9: Keterkiatan Tema dalam Ranah Pasar sebagai Fasilitas Budaya
Kota (Analisis Peneliti, 2016)
Surakarta, seperti dalam Gambar 5.9. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
Pasar Gede menjadi kebanggaan bersama bagi masyarakat Kota Surakarta
sehingga dapat dikatakan sebagai salah satu identitas kota. Kehidupan yang
ada di Pasar Gede tidak hanya berlangsungnya aktivitas ekonomi dan budaya
saja, tetapi hal yang menarik bahwa konsumen ataupun pedagang sengaja
datang ke Pasar Gede bukan sekedar untuk melakukan jual beli, tetapi
memiliki tujuan lain yaitu untuk nyambangi atau bertemu sapa sekedar untuk
mengobrol santai dan melihat situasi pasar hingga terbentuklah meeting place
atau tempat pertegur sapa di kawasan Pasar Gede.
Gambar 5.10: Keterkiatan Tema dalam Ranah Pasar Sebagai Ruang Sosial
Kota (Analisis Peneliti, 2016)
Kondisi kausal bahwa pasar tradisional sebagai salah satu dari komponen kota
Tradisional Jawa, maka hal perwujudan ucap syukur yang menjadi nilai-nilai
filosofi seorang raja dalam memerintah sebuah negari atau negara berupa
kerajaaan, telah menyediakan pasar sebagai tempat atau wadah aktivitas
ekonomi. Sedangkan dalam menjalankan pemerintahan, seorang Raja di negari
Keraton Kasunanan Surakarta maka akan mengayomi warganya. Berdasarkan
prinsip ngayomi atau memberi perlindungan dan pelayanan inilah maka
pengaturan pasar sebagai bentuk implementasi nilai ucap syukur, raja negari
Keraton Kasunanan Surakarta selaku pemangku kebijakan menempatkan pasar
dengan hirarki dan jejaring yang mengacu pada sedulur papat kalimo pancer
dengan pusat orientasi keraton. Penempatan inipun menunjukkan adanya
penekatan pada penyediaan fasiitas ekonomi suatu kota, yang terdistribusi di
segala arah atau sisi, dengan konsep sedulur papa kalimo pancer seperti dalam
Gambar 5.7.
Penempatan yang menyebar di segala penjuru utara, timur, selatan dan barat
merupakan penyediaan fasilitas ekonomi bagi masyarakat dari arah sekitarnya,
sehingga tidak kesulitan dalam mengakses fasilitas tersebut. Dalam
operasionalisasi pasar, tidak perpatokan secara rigit terhadap hari pasaran,
seperti Pasar Gede sejak awal hingga sekarang tidak mengenal adanya hari
pasaran karena sebagai pasar induk besar atau pasar induk, sehingga tetap
ramai setiap hari, bahkan tampak lebih ramai pengunjung pada waktu
menjelang hari besar dan perayaan tertentu. Seiring dengan pengayoman dari
pihak pemangku kebijakan, para pedagang melakukan aktivitas secara
konsisten dan didukung komitmen masyarakat untuk menjaga dan melindungi
Pasar Gede.
Pasar Gede sebagai pasar besar atau pasar induk Kota Surakarta berada di
kawasan pusat kota dan mejadi jujugan serta lurugan bagi masyarakat dari
dalam maupun luar luar wilayah Kota Surakarta. Konsumen yang datang di
Pasar Gede memiliki kemampuan atau daya beli yang cukup tinggi, secara
natural penjualan komoditas dapat terbentuk pada kualitas barang yang bagus
dan terseleksi serta tersedia dalam jumlah yang banyak. Keragaman, kualitas
dan kuantitas barang dagangan yang ada di Pasar Gede menjadi daya tarik bagi
konsumen baik dari dalam kota maupun luar kota, hingga Pasar Gede dikenal
sebagai pasar eksklusif. Hal tersebut dengan istilah lokal adalah sempulur yaitu
terjaganya keragaman, kualitas dan kuantitas secara terus menerus atau
continue sehingga dapat dikatakan Pasar Gede memiliki kontinuitas dalam
keberlangsungan sebagai fasilitas perbelanjaan dengan suasana yang sangat
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 127
khas untuk pasar tradisional berupa tawar menawar dan regeng yang disebut
dengan kumandhange pasar.
Berbagai permintaan berbagai pihak konsumen dan upaya pengembangan
pemasaran, maka tindakan dan strategi para pedagang di Pasar Gede tidak
hanya menunggu konsumen atau pelanggan datang, tetapi juga melakukan
penyebaran pemasaran dagangan atas permintaan pelanggan atau konsumen
dan penawaran pada konsumen, baik yang dalam kota maupun luar kota.
Ekspansi pemasaran ini tidak hanya di pasar tradisional tetapi merambah pasar
modern atau supermarket yang berada di dalam kota maupun luar kota. Para
pedagang di Pasar Gede melakukan pengembangan pemasaran yang dikenal
dengan istilah lokalnya sumrambah ke luar daerah. Didukung peran Pasar
Gede sebagai pasar induk atau pasar besar dengan kelengkapan dan kualitas
komoditas yang berbeda dengan pasar lainnya, maka para pemasok dari luar
kota berdatangan untuk memasok dagangan dengan sistem konsinyasi atau
komisi. Hal ini menjadi kemudahan dan kelonggaran bagi para pedagang,
dikarenakan para pedagang tidak perlu menanggung resiko karena barang
dagangan tidak laku. Para pedagang mendapat keuntungan dengan sistem
komisi sesuai kesepakatan yang telah disetujui di awal perjanjian bahkan dapat
dilakukan dengan hutang piutang. Barang yang tidak terjual dapat
dikembalikan atau dijual pada konsumen grosiran dengan pemasaran di
pinggiran kota. Pasar Gede sebagai tempat dengan berbagai aktivitas ekonomi,
sosial dan budaya membuat situasi pasar selalu ramai tetapi tidak padat atau
regeng. Situasi demikian menjadi pertanda adanya kehidupan yang
berlangsung secara terus menerus sesuai dengan fungsi pasar dan dapat
dikatakan bahwa Pasar Gede masih memiliki kumandang atau pasar
kumandang. Untuk memberi penjelasan lebih lanjut, keterkaitan antar tema
hingga menghasilkan suatu konsekuensi yang dapat digunakan dalam
merumuskan konseptualisasi dapat digambarkan secara skematis dalam
Gambar 5.11.
128 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
keraton dan pasar sebagai komponen yang berada pada empat penjuru arah
mata angin. Sedangkan tingkatan atau hirarki pasar secara filosofis menempati
tata nilai yang sama tetapi secara ekonomi masing-masing memiliki peran
yang berbeda dengan pusat Pasar Gede sebagai pasar besar atau pasar induk.
Penempatan pasar yang berada di segala penjuru arah mata angin, posisi Pasar
Gede menempati bagian pada orientasi depan Keraton Kasunanan Surakarta.
Posisi ini sangat mendukung Pasar Gede sehingga mudah dikenali dan dicapai
atau disebut dengan istilah di- adhakan. Pasar Gede adalah salah satu tempat
yang menjadi wadah bagi aktivitas tersebut, sehingga pasar dipandang sebagai
Jujugan atau tempat untuk mendapatkan, mencari, dan memperoleh sesuatu
bagi masyarakat. Hal tersebut diperkuat pula oleh adanya posisi dan kekhasan
Pasar Gede berada pada wilayah yang langsung berkaitan dengan axis atau
sumbu utama Kota Surakarta, dan berada pada depan dari posisi Keraton
Kasunanan Surakarta dan menjadi Jujugan sekaligus Lurugan bagi para
konsumen dan pemasok dari luar daerah. Lingkup pelayanan Pasar Gede tidak
hanya sebagai fasilitas ekonomi Kota Surakarta tetapi juga menjadi pusat
pelayanan bagi wilayah lain baik Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur hingga
Sumatera dan Kalimantan. Hal ini menjadikan Pasar Gede sebagai pusat
orientasi hingga terjadi pemusatan fasilitas bagi Kota Surakarta maupun
wilayah lain di luar kota. Para pedagang dalam upaya mengembangkan
usahanya di Pasar Gede, melakukan pengembagan jejaring antar wilayah
dalam bentuk peningkatan pelayanan, keragaman sistem penjualan,
peningkatan kualitas barang, dan fasilitas pengiriman barang. Dengan
demikian para pedagang di Pasar Gede melakukan pengembangan pemasaran
yang dikenal dengan istilah lokalnya sumrambah ke luar daerah.
Seiring dengan perjalanan waktu, Pasar Gede telah memiliki nilai kesejarahan
yang sangat penting bagi kota Surakarta, masyarakat telah menganggap bahwa
Pasar Gede adalah pasare wong Solo atau Pasar Gede sebagai pasarnya
masyarakat Kota Surakarta. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pasar
Gede menjadi ciri khas atau identitas kota yang urip lan nguripi atau hidup dan
menghidupi Kota Surakarta yang dikenal dengan tempat yang ngrejekeni atau
tempat yang penuh (membawa dan mendatangkan) rejeki. Didukung dengan
adanya daya tahan Pasar Gede terhadap perkembangan sosial, budaya dan
ekonomi menjadi pasar yang seperti sekarang ini adalah suatu bentuk dari
adanya adaptasi atau penyesuaian terhadap situasi dan kondisi serta tuntutan
masyarakat yang disebut dengan Jaman Kalakone atau proses menyesuaikan
dengan perkembangan jaman meski secara hakikat tetap atau tidak berubah.
130 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
Pasar Gede tidak hanya memiliki nilai kesejarahan yang sangat penting bagi
kota Surakarta, tetapi masyarakat telah menganggap bahwa Pasar Gede adalah
pasare wong Solo dan dikatakan bahwa Pasar Gede menjadi ciri khas atau ikon
Kota Surakarta, sehingga masyarakat tak segan untuk nguri-uri atau
melestarikan dalam bentuk menjaga, menggunakan, mempertahankan Pasar
Gede karena menjadi bagian yang urip lan nguripi atau hidup dan menghidupi
Kota Surakarta. Hal tersebut menjadi daya tahan Pasar Gede terhadap
perkembangan sosial, budaya dan ekonomi, disamping adanya adaptasi atau
penyesuaian terhadap situasi dan kondisi serta tuntutan masyarakat yang
disebut dengan Jaman Kalakone atau proses menyesuaikan dengan
perkembangan jaman meski secara hakikat tetap atau tidak berubah dengan
maksud untuk mencapai keterpaduan secara proporsional.
Secara rinci dapat diuraikan seperti dalam Tabel 5.6. konseptualisasi tema
dalam ranah waktu atau proses berlangsung peran pasar sebagai komponen
struktur kota tradisional Jawa, dapat dilihat pada Tabel 5.4 sebagai berikut:
Tabel 5.4: Konseptualisasi tema dalam Ranah Waktu (Process) Analisis
Peneliti, 2016
Kode Tema Konseptualisasi Konsepsi
mencari
memperoleh
Kualitas dan
kuantitas terjamin
maupun luar kota, sehingga pasar dipandang sebagai Jujugan dan Lurugan
atau tempat yang didatangi. Pasar Gede menjadi daya tarik bagi masyarakat
baik dalam kota maupun luar kota untuk nglurug atau mendatangi Pasar Gede
guna memasok barang, berbelanja, bekerja ataupun tujuan lain. Pasar Gede
tidak hanya memiliki daya tarik tetapi juga daya saing baik dari pelayanan
pada konsumen maupun kualitas dan keragaman komoditasnya. Para
pedagang memberikan pelayanan dengan adanya berbagai permintaan pihak
konsumen dengan melakukan pengiriman barang baik dalam kota maupun
luar kota. Hal tersebut sebagai strategi pengembangan pemasaran untuk
beradaptasi dengan perkembangan jaman.
Pengembangan pemasaran yang sumrambah keluar kota tidak hanya perluasan
jejaring tetapi juga keragaman bentuk pemasaran. Para pedagang melakukan
perluasan jejaring dan peningkatan keragaman bentuk pemasaran di Pasar
Gede secara alami, di samping itu juga melakukan berbagai cara untuk dapat
menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan konsumen dengan menyediakan
kualitas dagangan yang telah terseleksi dengan baik sehingga dapat dikatakan
bahwa pedagang di Pasar Gede memiliki daya saing untuk beberapa
komoditas yang setara dengan pasar modern atau mall.
Keberadaan Pasar Gede yang dikelilingi oleh permukiman multi etnis,
menuntut adanya penyediaan komoditas yang sesuai dengan keragaman
kebutuhan konsumen baik kebutuhan masyarakat Jawa maupun Tionghoa
secara terus menerus atau berlanjut atau continue, dan tidak terhenti pada
musim tertentu. Hal inilah yang dapat dikatakan Pasar Gede merupakan pasar
yang memiliki toleransi antar etnis atau teposeliro. Bahkan sebagian
masyarakat mengatakan bahwa Pasar Gede pasare wong Chino dikarenakan
satu-satunya pasar tradisional yang menyediakan perlengkapan ibadah,
kebutuhan harian masyarakat Etnis Tionghoa. Meskipun demikian, secara
umum masyarakat Kota Surakarta telah menganggap bahwa Pasar Gede
adalah pasare wong Solo atau Pasar Gede sebagai pasarnya masyarakat Kota
Surakarta. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pasar Gede menjadi
kebanggaan bersama bagi masyarakat Kota Surakarta.
Konsumen ataupun pedagang sengaja datang ke Pasar Gede bukan sekedar
untuk melakukan jual beli, tetapi memiliki tujuan lain yaitu untuk nyambangi
atau bertemu sapa sekedar untuk mengobrol santai dan melihat situasi pasar,
sehingga membuat situasi pasar selalu ramai tetapi tidak padat atau regeng.
Situasi demikian menjadi pertanda adanya kehidupan yang berlangsung secara
136 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
terus menerus sesuai dengan fungsi pasar dan dapat dikatakan bahwa Pasar
Gede masih memiliki kumandang atau pasar kumandang.
Secara rinci dapat diuraikan seperti dalam Tabel 5.5. konseptualisasi tema
dalam ranah pelaku yang terlibat dalam peran pasar sebagai komponen
struktur kota tradisional Jawa dengan berbagai tema yang terkait.
Tabel 5.5: Konseptualisasi tema dalam Ranah Pelaku (Man) (Analisis Peneliti,
2016)
Kode Tema Konseptualisasi Konsepsi
mencari
memperoleh
ngayahi butuh
atau Pasar sebagai pelayanan bagi segmen
tertentu atau SEGMENTASI dengan
mencukupi kelas Menengah keatas atau
segala EKSKLUSIF
kebutuhan
Segmen Pasar
keragaman
bentuk
pemasaran
pengembangan
pemasaran
Penyebaran
Ekspansi
kualitas dan
keragaman
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 137
tuntutan
kebutuhan
terseleksi
barang pilihan
jumlah banyak
Pasar Gede
pasare wong
Chino
ekonomi, sosial dan budaya di pusat kota, pasar menjadi sangat komplek dan
menjadi bagian yang dicari, dituju, dan sekaligus diharapkan oleh seluruh
komponen masyarakat. Sebagai pasar induk yang berada di pusat Kota
Surakarta tepatnya berada di kawasan Pecinan, posisi yang strategis, akses
transportasi yang mudah dicapai dari berbagai arah, membuat Pasar Gede
menjadi pusat pelayanan bagi seluruh masyarakat dalam kota maupun luar
kota. Pasar Gede dipandang sebagai Jujugan atau tempat untuk mendapatkan,
mencari, dan memperoleh segala sesuatu bagi masyarakat dan dianggap opo-
opo ono atau serba ada dan ngayahi butuh atau mencukupi segala kebutuhan,
sekaligus menjadi lurugan atau tempat yang didatangi karena memiliki daya
tarik bagi masyarakat baik dalam kota maupun luar kota.
Pasar Gede tidak hanya memiliki daya tarik tetapi juga daya saing baik dari
pelayanan pada konsumen maupun kualitas dan keragaman komoditasnya
hingga menjadikan Pasar Gede sebagai pasar yang eksklusif dengan harga jual
barang yang mahal. Para pedagang memberikan pelayanan dengan adanya
berbagai permintaan pihak konsumen dengan melakukan pengiriman barang
baik dalam kota maupun luar kota sebagai strategi pengembangan pemasaran
untuk beradaptasi dengan perkembangan jaman. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa pengembangan pemasaran sebagai bentuk ekspansi
pemasaran yang sumrambah keluar kota tidak hanya perluasan jejaring atau
penyebaran tetapi juga keragaman bentuk pemasaran dengan sistem
konsinyasi dagang.
Untuk tujuan tersebut, para pedagang di Pasar Gede telah melakukan berbagai
cara untuk dapat menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan konsumen dengan
menyediakan kualitas dagangan yang telah terseleksi dengan baik sehingga
dapat dikatakan bahwa pedagang di Pasar Gede memiliki daya saing yang
setara dengan pasar modern atau mall.
Disamping itu pula, pedagang di Pasar Gede menyediakan komoditas yang
sesuai dengan keragaman kebutuhan konsumen baik kebutuhan masyarakat
Jawa maupun Tionghoa karena adanya toleransi antar etnis atau teposeliro
yang disediakan secara terus menerus atau berlanjut atau continue. Bahkan
sebagian masyarakat mengatakan bahwa Pasar Gede pasare wong Chino
dikarenakan satu-satunya pasar tradisional yang menyediakan perlengkapan
ibadah dan kebutuhan harian masyarakat Etnis Tionghoa. Meskipun demikian,
secara umum masyarakat Kota Surakarta telah menganggap bahwa Pasar Gede
adalah pasare wong Solo atau Pasar Gede sebagai pasarnya masyarakat Kota
Surakarta dan menjadi kebanggaan bersama bagi masyarakat Kota Surakarta.
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 139
Pasar Gede sebagai tempat dengan berbagai aktivitas ekonomi, sosial dan
budaya membuat situasi pasar selalu ramai tetapi tidak padat atau regeng.
Situasi demikian menjadi pertanda adanya kehidupan yang berlangsung secara
terus menerus sesuai dengan fungsi pasar dan dapat dikatakan bahwa Pasar
Gede masih memiliki kumandang atau pasar kumandang. Kehidupan yang ada
di Pasar Gede tidak hanya berlangsungnya aktivitas ekonomi dan budaya saja,
tetapi juga sosial dengan adanya aktivitas nyambangi atau bertemu sapa
sekedar untuk mengobrol santai dan melihat situasi pasar. Hal inilah yang
menjadi salah satu keunikan dan karakteristik Pasar Gede hingga dikatakan
bahwa Pasar Gede sebagai Pasar Eksklusif.
Secara rinci dapat diuraikan seperti dalam Tabel 5.6. konseptualisasi tema
dalam ranah kegiatan atau aktivitas dan keterkaitan dengan tema yang lain
sebagai pendukungnya.
Tabel 5.6: Konseptualisasi tema Ranah Kegiatan (Activity) (Analisis Peneliti,
2016)
Kode Tema Konseptualisasi Konsepsi
tuntutan kebutuhan
140 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
terseleksi
Dicapai
proses keberadaan pasar sebagai komponen struktur kota Jawa sebagai wujud
dari dasar filosofis ucap syukur.
Dalam masa pemerintahan Republik Indonesia, kota berada pada wewenang
sorang Pemimpin Daerah yang disebut dengan Walikota. Segala peraturan
mengacu pada undang-undang yang disusun dengan dasar fungsional.
Pengelolaan pasar sebgai fasilitas ekonomi kota dikelola oleh dinas yang
bertugas dalam bidang pengelolaan pasar yaitu Dinas Pengelolaan Pasar Kota
Surakarta. Situasi ini membawa pada perubahan kewenangan, tetapi hakkekat
prinsip ngayomi atau memberi perlindungan dan pelayanan tidak mengalami
perubahan. Bahkan dapat dikatakan dengan adanya pelimpahan kewenangan
pada Pemerintah Kota Surakarta, pengelolaan pasar dapat dilakukan dengan
jejaring yang lebih luas, dan dukungan masyarakat dapat dilakukan dengan
penuh tanggung tawab dan rasa kebanggaan turut memiliki. Dengan demikian
dapat dikatan semua pihak memiliki komitmen bersama sebagai pengayom
pasar tradisional khususnya Pasar Gede sebagai pasar nya masyarakat Kota
Surakarta yang dikenal dengan istilah handarbeni atau rasa memiliki.
Secara rinci dapat diuraikan seperti dalam Tabel 5.7 konseptualisasi tema
dalam ranah kebijakan (Policy).
Tabel 5.7: Konseptualisasi tema Ranah Kebijakan (Policy) (Analisis Peneliti,
2016)
Kode Tema Konseptualisasi Konsepsi
perwujudan
tata filosofi
Keragaman, PENGAYOMAN
Kualitas
Kuantitas
Ditemukan
Dicapai
Mempertahankan
Proporsional
Cokro manggilingan
Keselarasan
keruangan atau tempat (place) bahwa dasar filosofis yang digunakan Keraton
Kasunanan Surakarta dalam mengatur kota adalah aturan, sujud manembah
dan ucap syukur, dan dalam implementasinya pasar tradisional merupakan
salah satu dari komponen kota tradisional Jawa dan berada di zona
negaragung, sedangkan dua komponen kota lainnya yaitu keraton dan masjid.
Keterkaitan antar masing-masing komponen diatur dengan kaidah atau prinsip
ngayomi atau memberi perlindungan dan pelayanan dengan bentuk hirarki dan
jejaring yang mengacu pada sedulur papat kalimo pancer dengan pusat
orientasi keraton dan pasar sebagai komponen yang berada pada empat
penjuru arah mata angin. Sedangkan tingkatan atau hirarki pasar secara
filosofis menempati tata filosofi yang sama tetapi secara strata ekonomi
masing-masing memiliki peran yang berbeda dengan pusat Pasar Gede sebagai
pasar besar atau pasar induk.
Pasar Gede berada di kawasan pusat kota dan mejadi jujugan serta lurugan
bagi masyarakat dari dalam maupun luar luar wilayah Kota Surakarta, karena
letaknya pun di-adhakan atau mudah ditemukan, dikenali, dan dicapai.
Konsumen yang datang di Pasar Gede memiliki kemampuan atau daya beli
pada kualitas barang yang bagus dan terseleksi serta jumlah yang banyak.
Keragaman, kualitas dan kuantitas barang dagangan yang ada di Pasar Gede
menjadi daya tarik bagi konsumen baik dari dalam kota maupun luar kota,
hingga Pasar Gede dikenal sebagai pasar eksklusif. Dalam upaya
mengembangkan usahanya, para pedagang yang ada di Pasar Gede melakukan
pengembagan jejaring antar wilayah dalam bentuk peningkatan pelayanan,
keragaman sistem penjualan, peningkatan kualitas barang, dan fasilitas
pengiriman barang. Dengan demikian para pedagang di Pasar Gede melakukan
pengembangan pemasaran yang dikenal dengan istilah lokalnya sumrambah
ayau merambah dan menyebar hingga ke luar daerah.
Pasar Gede memiliki nilai kesejarahan yang sangat penting bagi kota
Surakarta, masyarakat telah menganggap bahwa Pasar Gede adalah pasare
wong Solo. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pasar Gede menjadi ciri
khas atau ikon kota yang urip lan nguripi Kota Surakarta yang disebut dengan
tempat yang ngrejekeni. Didukung dengan adanya daya tahan Pasar Gede
terhadap perkembangan sosial, budaya dan ekonomi menjadi pasar yang
seperti sekarang ini adalah suatu bentuk dari adanya adaptasi atau penyesuaian
terhadap situasi dan kondisi serta tuntutan masyarakat yang disebut dengan
Jaman Kalakone atau proses menyesuaikan dengan perkembangan jaman
meski secara hakikat tetap atau tidak berubah. Hal tersebut seiring dengan
144 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
perwujudan
tata filosofi
Strata ekonomi
Pasar dalam
Sedulur papat kalimo konstelasi kota
pancer memiliki daya beli,
daya usaha, daya
T12 Segmentasi Pasar Terseleksi Daya beli saing, daya tahan,
dan daya tarik
Keragaman, sebagai pemusatan
untuk hidup dan
Kualitas menghidupi kota
sebagai tempat
Kuantitas JUJUGAN DAN
LURUGAN
T5 Pasar Sebagai Pusat orientasi Daya tarik
Tempat Tujuan Pemusatan
Tempat Tujuan
Ditemukan
Dicapai
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 145
Peningkatan pelayanan
Keragaman sistem
penjualan,
Fasilitas pengiriman
Penyebaran
Ekspansi
Cokro manggilingan
Keselarasan
orientasi.
Perwujudan Proses
perpaduan
berbagai
fungsi
memadukan
berbagai
kebutuhan
masyarakat
mendapatkan Pemusatan
mencari
memperoleh
daya tarik
Penyebaran Sumrambah
Ekspansi
mendapatkan Pusat
pelayanan
mencari
memperoleh
ngayahi butuh
atau
mencukupi
segala
kebutuhan
150 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
keragaman
bentuk
pemasaran
pengembangan
pemasaran
Penyebaran
Ekspansi
kualitas dan
keragaman
tuntutan
kebutuhan
terseleksi
sesuai
kebutuhan,
barang pilihan
jumlah banyak
pasare wong
Chino
Solo atas
KONSEPSI RANAH
KEGIATAN (ACTIVITY)
beradaptasi atau
penyesuaian
perluasan Ekspansi
jejaring sebagai
konsistensi
keragaman dagang
bentuk
pemasaran
pengembangan
pemasaran
Penyebaran
Ekspansi
Komisi
kualitas dan
keragaman
tuntutan
kebutuhan
terseleksi
Dikenali Kemudahan
Akses dan
Ditemukan selalu Regeng
Dicapai
KONSEPSI RANAH
KEBIJAKAN (POLICY)
Perwujudan
tata filosofi
Strata ekonomi
Sedulur papat
kalimo pancer
Keragaman,
Kualitas
Kuantitas
Daya tarik
Dikenali
Ditemukan
Dicapai
Nyambangi Tanggungjawa
b dan rasa
Pasare wong memiliki
Solo
Komitmen Komitmen
Bersama
Menjaga Tanggungjawa
b dan
Menggunakan komitmen
bersama
Mempertahanka
n
Proporsional
Cokro
manggilingan
Keselarasan
154 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
KONSEPSI RANAH
KERUANGAN (PLACE)
perwujudan
tata filosofi
Strata ekonomi
Sedulur papat
kalimo pancer
Keragaman,
Kualitas
Kuantitas
Daya tarik
Dikenali
Ditemukan
Dicapai
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 155
Peningkatan
pelayanan
Keragaman
sistem
penjualan,
Peningkatan
kualitas barang,
Fasilitas
pengiriman
Penyebaran
Ekspansi
Kualitas dan
kuantitas
terjamin
Proporsional
Cokro
manggilingan
Keselarasan
156 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
1995)
6. IMAM SOETOPO (1995 s/d
2000)
7. SLAMET SURYANTO (2000
s/d 2005)
9 Periode Pemerintah Kota 1. Ir. H. JOKO WIDODO (2005 s/d
Surakarta. Berlakunya Oktober 2012)
undang-undang Nomor 22 2. F.X. HADI RUDYATMO
Tahun 1999 tentang (Oktober 2012 s/d sekarang)
Pemerintah Daerah, UU
Nomor 32 Tahun 2004,
sampai sekarang
Dalam penataan ruang kota tradisional Jawa tidak mengenal pembagian tata
ruang (zoning), seperti halnya kota-kota modern di Eropa. Siklus hidup orang
Jawa, tercermin dalam pembagian rumah tinggalnya. Sebaliknya tata kota
modern Eropa memisahkan antara wilayah permukiman, perkantoran, dan
rekreasi. Oleh karena itu wilayah kota Surakarta yang masuk dalam kekuasaan
Kasunanan lebih bercorak tradisional jawa, sedangkan wilayah Mangkungaran
lebih bercorak budaya Belanda. Bangunan-bangunan penting peninggalan
masa silam dan toponimi kota yang terletak dalam wilayah Kasunanan lebih
banyak yang bercorak Jawa. Bangunan peninggalan masa lalu dan toponimi
wilayah Mangkunegaran banyak dipengaruhi budaya Belanda.
Setelah masa revolusi dan penghapusan status istimewa, kedua keraton di
wilayah Kota Surakarta berfungsi menjadi penjaga nilai budaya Jawa.
Meskipun demikian, bagi orang kebanyakan, citra keraton sebagai lingkungan
yang sarat magis masih tetap penting, dan citra itu tetap terus tumbuh subur.
Keraton masih diyakini memancarkan nilai-nilai sakral Jawa dan dengan
tradisinya dalam bidang seni dan adat istiadat tetap berpengaruh pada
kehidupan masyarakat Kota Surakarta (Kurniawan, 2015).
Tidak hanya dalam lingkup makro, pergeseran orientasi berdampak pula pada
konteks yang lebih mikro, kawasan Pasar Gede mengalami pergeseran
orientasi yang bergeser dari orientasi sosial-budaya menuju orientasi
kebutuhan pasar diawali dari masa terbentuknya Pasar Gede pada masa
kepemimpinan Paku Buwono X era tahun 1866-1939. Penempatan atau
penetapan lokasi Pasar Gede didasarkan oleh berbagai pertimbangan filosofis
162 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
dengan dasar tiga komponen kota yang utama yaitu keraton, masjid dan pasar.
Ketiga komponen kota merupakan perwujudan adanya konsep aturan, sujud
manembah dan ucap syukur yang menjadi nilai-nilai filosofi yang pegang oleh
seorang raja dalam memerintah sebuah negari atau negara berupa kerajaaan.
Dalam hal ini pasar merupakan wujud dari konsep ucap syukur.
Hal inilah yang mendasari terbentuknya suatu hirarki dan jejaring dari masing-
masing komponen kota di pusat kota tradisional Jawa. Dalam menjalankan
pemerintahan, seorang Raja di negari Keraton Kasunanan Surakarta maka
akan mengayomi warganya. Dengan berdasarkan prinsip ngayomi atau
memberi perlindungan dan pelayanan inilah maka pengaturan pasar sebagai
bentuk implementasi nilai ucap syukur, raja negari Keraton Kasunanan
Surakarta menempatkan pasar dengan hirarki dan jejaring yang mengacu pada
sedulur papat kalimo pancer dengan pusat orientasi keraton seperti dalam
Gambar 5.15.
Pasar Gede awalnya muncul dari embrio pasar candi yang berkarater Candi
Padurasa. Letak Pasar Gede yang berada di kawasan Pecinan menyebabkan
kegiatan religiusitas mengalami pergeseran menjadi pasar ekonomi, dan
kemudian disebut Pasar Gede Oprokan. Keberadaan Pasar Gede, tercatat telah
meninggalkan jejak sejarah fungsi bangunan pasar ke dalam tiga kurun zaman.
Pertama, Pasar Gede dikenal sebagai pasar candi (sakral), kedua sebagai
simbol kosmologi projo-kejawen kraton yang dikenal sebagai konsep 'sar-
gedhe', dan ketiga sebagai simbol lahirnya budaya kota (SoloArt, 2008).
Pasar Gede hingga saat ini masih dipandang oleh masyarakat sebagai artefak
bangunan kota tradisional Jawa dan menjadi ciri khas peninggalan Kerajaan
Mataram. Pasar Gede dilihat secara komprehensif, baik dari sudut pandang
sejarah maupun tata ruang kota, memiliki ekspresi tiga dimensi ruang dan
waktu yaitu masa kerajaan, pasca-kolonial, dan kemerdekaan. Sedangkan
secara struktural, bangunan Pasar Gede berada pada kesatuan ekologi kultural
sebagai bagian dari bangunan njobo keraton (luar kraton), yaitu Pasar Gede,
Tugu Pemandengan Ndalem, Gapura Gladhag, Gapura Pamurakan, Alun-alun,
Masjid Agung, Pagelaran dan Sitihinggil. Di sisi lain dari aspek sejarah, Pasar
Gede berhasil menapakkan jejak pada tiga kategori fakta, yaitu artefak sebagai
seni arsitektur bangunan, social fact karena pasar sebagai tempat interaksi
sosial atau disebut dengan gedhe kumandange, dan mentifact melambangkan
sakral-magis karena melahirkan konsep dasar pasar candi. Oleh karena itu,
Pasar Gede akan senantiasa dikenang sepanjang masa oleh masyarakat karena
mengandung nilai memori-kolektif yang melekat di hati rakyatnya. Dahulu
kala Pasar Gede merupakan sebuah pasar kecil yang didirikan di area seluas
10.421 hektar, diberi nama Pasar Gede karena terdiri dari atap yang besar.
Seiring perkembangan waktu, pasar ini menjadi pasar terbesar dan termegah di
Surakarta. Pasar Gede terdiri dari dua bangunan yang terpisah, dan masing-
masing terdiri dari dua lantai. Pintu gerbang di bangunan utama terlihat seperti
atap singgasana yang kemudian diberi nama Pasar Gede (Cahkalitan, 2009).
Kondisi menunjukkan bahwa dalam kehidupan suatu nagari yang komplek
dengan berbagai etnis, maka konteks aktivitas ekonomi, sosial dan budaya di
kota pun menjadi sangat beragam dan menjadi bagian yang dicari, dituju, dan
sekaligus diharapkan oleh seluruh komponen masyarakat. Pasar dalam
konstelasi kota memiliki daya usaha, daya saing, daya tahan dari dalam kota
hingga keluar wilayah dalam bentuk sumrambah dan melakukan keterpaduan
secara proporsional sebagai upaya untuk bertahan. Berbagai hal telah terjadi
sinergitas antar konsumen berupa perpaduan budaya belanja multi etnis,
interaksi sosial, sinergitas keragaman komoditas berupa kesesuaian tuntutan
etnis dan kualitas terseleksi, dan sinergitas aktivitas yang berupa budaya
belanja untuk layanan multi etnis.
Berbagai fenomena, Pasar Gede memiliki kemampuan atau daya beli pada
kualitas barang yang bagus dan terseleksi serta jumlah yang banyak.
Keragaman, kualitas dan kuantitas barang dagangan yang ada di Pasar Gede
menjadi daya tarik bagi konsumen baik dari dalam kota maupun luar kota,
hingga Pasar Gede dikenal sebagai pasar eksklusif. Hal tersebut menjadikan
164 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
kawasan Pasar Gede dapat bertahan dengan situasi regeng yaitu tidak sepi dan
tidak terlalu padat dengan konsumen yang selalu loyal. Pasar Gede sebagai
pelayanan bagi segmen tertentu atau segmentasi dengan kelas menengah
keatas atau eksklusif. Berbagai pedagang berasal dari dalam dan luar kota dan
berganti secara turun temurun dengan layanan produk berkualitas, para
konsumen yang mengunjungi pasar berasal dari golongan masyarakat kelas
menengah keatas, multi etnis, dalam jumlah yang stabil. Demikian pula para
pekerja seperti kuli angkut, tukang parkir, tukang becak berasal dari dalam dan
luar kota yang berganti secara turun temurun dan tidak spekulasi mencari
tempat lain.
Konteks Pasar Gede dikelilingi oleh permukiman multi etnis, menuntut adanya
penyediaan komoditas yang sesuai dengan keragaman kebutuhan konsumen
baik kebutuhan masyarakat Jawa maupun Tionghoa secara terus menerus atau
berlanjut atau continue, dan tidak terhenti pada musim tertentu. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa Pasar Gede dari mulai awal terbentuknya
dalam masa orientasi sosial-budaya hingga sekarang dengan orientasi pada
orientasi kebutuhan pasar, merupakan pasar dengan beberapa komoditas yang
memiliki kualitas setara dengan mall, memiliki ekspansi perdagangan yang
luas dan beragam, posisi yang strategis yaitu pasar yang letaknya di-adhakan,
memiliki situasi spasial yang ajeg atau ke-ajeg-an ruang, dan sebagai pasar
yang sempulur atau selalu tersedia segala ragam untuk memenuhi kebutuhan
dengan kondisi yang tidak membedakan antar ras atau anti-diskriminasi.
Bahkan sebagian masyarakat mengatakan bahwa Pasar Gede pasare wong
Chino dikarenakan satu-satunya pasar tradisional yang menyediakan
perlengkapan ibadah dan kebutuhan harian masyarakat Etnis Tionghoa.
Meskipun demikian, secara umum masyarakat Kota Surakarta telah
menganggap bahwa Pasar Gede adalah pasare wong Solo atau Pasar Gede
sebagai pasarnya masyarakat Kota Surakarta yang terdiri dari multi etnis.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pasar Gede menjadi kebanggaan
bersama bagi masyarakat Kota Surakarta. Konsumen ataupun pedagang
sengaja datang ke Pasar Gede bukan sekedar untuk melakukan jual beli, tetapi
memiliki tujuan lain yaitu untuk nyambangi atau bertemu sapa sekedar untuk
mengobrol santai dan melihat situasi pasar sebagai bentuk social relationship,
sehingga membuat situasi pasar selalu ramai tetapi tidak padat atau regeng.
Situasi demikian menjadi pertanda adanya kehidupan yang berlangsung secara
terus menerus sesuai dengan fungsi pasar dan dapat dikatakan bahwa Pasar
Gede masih memiliki kumandange pasar. Hal ini terjadi dari masa dahulu
hingga sekarang, bahkan dapat dikatakan bahwa konsumen yang mengunjungi
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 165
Pasar Gede pun adalah konsumen yang loyal dengan maksud konsumen yang
benar-benar menginginkan kualitas bagus dan telah merasakan suasana
kekeluargaan dan kepercayaan dengan para pedagang. Beberapa tahun terakhir
ini, fenomena ritual berupa 77 tumpeng di Pasar Gede, pada 12 Januari 2007
dalam rangka peringatan hari jadi Pasar Gede yang ke 77 tahun, tepatnya 12
Januari 1930 - 12 Januari 2007. Seperti penuturan Wiharto, salah seorang
pegiat Komunitas pedagang Pasar Gede (Komppag):
“Peristiwa semacam ini, sudah menjadi rutinitas seremonial bagi
komunitas Pasar Gede, bahkan tidak hanya peringatan hari jadi,
peringatan hari Kemerdekaan Republik Indonesia pun juga turut
dirayakan di pasar Gede. Sejarah Pasar Gede ditetapkan pada
momentum peresmian pembukaan pasar oleh PB X”,
Sebagai pasar induk suatu negari, pada era pemerintahan Paku Buwono X,
tepatnya tahun 1930 dibangun sebagai bentuk implementasi filosofi
pengayoman dari seorang raja bagi masyarakatnya, Pasar Gede menjadi salah
satu bangunan monumental. Bangunan pasar tersebut dirancang oleh arsitek
Belanda bernama Ir. Thomas Karsten yang memulai mengerjakan konsep
rancang-bangun sejak tahun 1927 dan selesai tahun 1929. Sedangkan
pembangunan Pasar Gede selesai tahun 1930, dan diberi nama Pasar Gede
Hardjanagara. Nama Hardjanagara mengambil nama seorang Cina bernama
Hardjanagara yang kebetulan waktu itu sebagai kepala pasar. Para pedagang
pasar juga banyak dari kalangan etnis Cina. Penamaan Pasar Gede atau pasar
besar dikarenakan atap bangunannya amat besar. Hingga sekarang, Pasar Gede
menjadi pasar termegah dan jantung perekonomian di Kota Surakarta
(Cahkalitan, 2009).
Bangunan Pasar Gede menggabungkan konsep arsitektur Jawa-Eropa buatan
1930. Tjan Sie Ing adalah seorang Lieutenant de Chinezen, yaitu pimpinan
golongan etnis Cina yang diberi legitimasi oleh pemerintah kolonial Belanda
sekitar 100 tahun silam, yang mendapat fasilitas dari Pemerintah Belanda, dan
juga mendapat konsensi dari pemerintah keraton Kasunanan Surakarta berupa
hak pengelolaan pasar tradisional Hardjonegoro. Pendapatan dari pengelolaan
pasar ini dibagi antara pengelola dan pihak keraton. Kemegahan Pasar Gede
tidak luput dari kerusakan dan serangan dari berbagai pihak. Pada masa tahun
1947, Pasar Gede mengalami kerusakan fisik akibat serangan Belanda,
sedangkan pada tahun 1948 Pasar Gede pernah terbakar dan selesai dibangun
kembali tahun 1954. Selanjutnya pada tahun 1998 terkena serangan amuk
masa adanya peristiwa Gerakan Reformasi yang membumi hanguskan Kota
166 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
Surakarta. Terakhir terjadi serangan amuk masa lagi pada tahun bulan Oktober
1999 karena Megawati Soekarnoputri tidak terpilih sebagai presiden meski
mendapat suara terbanyak. Situasi yang demikian itu membawa pengaruh pada
kestabilan aktivitas ekonomi, sosial dan budaya di Pasar Gede. Secara perlahan
dan dengan adanya komitmen berbagai pihak akhirnya Pasar Gede mampu
diperbaiki dan kembali berfungsi seperti sediakala (Cahkalitan, 2009). hal
tersebut dapat dimaknai bahwa kemauan baik atau goodwill dari berbagai
pihak sangat penting artinya dan mendukung keberadaan Pasar Gede.
Strategi yang tumbuh secara alami dan direncanakan adalah adanya jiwa dan
rasa saling memliliki yang berlandaskan prinsip ngayomi atau memberi
perlindungan dan pelayanan. Prinsip pengayoman inilah yang menjadi pijakan
pengaturan pasar sebagai bentuk implementasi nilai ucap syukur, dan pasar
ditempatkan dengan kaidah hirarki dan jejaring yang mengacu pada sedulur
papat kalimo pancer dengan pusat orientasi keraton. Komitmen dan
pengayoman telah terbangun dalam jiwa berbagai komponen yaitu pihak
penguasa dalam bentuk perlindungan dan pelayanan (Raja-Walikota), pihak
masyarakat dalam bentuk komitmen untuk menjaga, menggunakan dan
melestarikan atau nguri-uri, dan pihak pelaku yang terlibat langsung di pasar
dalam bentuk konsistensi untuk beraktivitas sesuai dengan peran masing-
masing secara berkesinambungan dan rasa kebanggaan sebagai pelaku di Pasar
Gede. Jiwa dan rasa inilah yang bagi semua pihak disebut dengan handarbeni
atau rasa memiliki.
Konsekuensi yang ada pada Pasar Gede adalah menjadi tempat atau wadah
sinergitas bagi semua keragaman pelaku, keragaman aktivitas, dalam jiwa
handarbeni, sehingga pasar dipandang sebagai Jujugan atau tempat untuk
mendapatkan, mencari, dan memperoleh sesuatu bagi masyarakat. Hal tersebut
diperkuat pula oleh adanya posisi dan kekhasan Pasar Gede berada pada
wilayah yang langsung berkaitan dengan axis atau sumbu utama Kota
Surakarta, dan berada pada depan dari posisi Keraton Kasunanan Surakarta
sehingga menjadi orientasi, disamping itu pula keragaman komoditas yang ada
di Pasar Gede, maka tidak mustahil bila masyarakat menjadikan Pasar Gede
sebagai tempat Jujugan. Pasar Gede ternyata tidak hanya sebagai Jujugan
tetapi juga menjadi Lurugan atau tempat yang didatangi. Pasar Gede sebagai
pasar yang berada pada area inti Kota Surakarta atau yang disebut dengan
negaragung maka hal ini menjadi daya tarik bagi masyarakat baik dalam kota
maupun luar kota untuk nglurug atau mendatangi Pasar Gede guna memasok
barang, berbelanja, bekerja ataupun tujuan lain. Inilah yang dikenal dengan
sebutan bahwa Pasar Gede menjadi Lurugan. Berbagai fenomena mengarah
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 167
pada konteks Pasar Gede sebagai Jujugan dan Lurugan maka konsekuansi
yang terjadi bahwa Pasar Gede menjadi suatu tempat yang ngrejekeni bagi
semua komponen baik pedagang, para pekerja di pasar, pengunjung,
masyarakat maupun pihak pemerintah selaku pihak yang berwenang terhadap
Pasar Gede.
Aspek tata ruang kota, Pasar Gede ditata untuk mengupayakan kawasan
menjadi pusat ruang publik yang cukup luas, untuk akses kepentingan
ekonomi, civic center, bandar perdagangan, dan gedung teater Fajar sebagai
kawasan hiburan. Kepentingan politis keraton, disentrifugalkan pada poros
Tugu Pemandengan, kepentingan kolonial, ter-cover pada perubahan jabatan
residen dari kantor di kawasan Gladhag, menjadi wilayah gubernur, berkantor
di gedung gubernuran yang sekarang digunakan untuk Balaikota pada tahun
1930, sementara dunia perdagangan terpusat pada bandar perdagangan di
depan balai kota pada posisi sekitar kantor BNI-46. Di sepanjang kali pepe
masih dapat dikenali beberapa heritage jejak-jejak peninggalan kampung
dagang yang terbangun berdasarkan interaksi etnik, jauh waktunya sebelum
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berdiri ada Kampung Sampangan
yang dihuni oleh masyarakat Madura, kampung dagang Belanda di Loji Wetan
yang dihuni oleh kaum Belanda, kampung Pecinan di kawasan Pasar Gede
yang dihuni oleh masyarakat etnis China dan kampung komunitas pedagang
Bali di Kebalen yang dihuni oleh masyarakat Bali. Dinamika dunia
perdagangan berada dalam jalur peredaran transportasi air di Bengawan Solo
pada masa dahulu. Dengan demikian tidak jauh dari jalur transportasi
Bengawan Solo, telah berdiri simbol kekuatan ekonomi kota, yaitu Javaasche
Bank dan Bondho Lumakso (Soedarmono, 2008).
Lingkup konstelasi kota, pusat orientasi spasial kawasan Kota Surakarta
bagian Timur atau dikenal dengan Solo-Timur dan Surakarta bagian Utara atau
Solo-Utara terkonsentrasi pada situs blok bangunan Pasar Gede bagian timur,
sementara kawasan Solo-Utara-Barat atau area Kepatihan terkonsentrasi pada
sudut bangunan blok barat yang dikenal dengan pasar buah. Berbagai refleksi
nilai yang tercermin pada kawasan Pasar Gede yaitu sebagai nilai kesejarahan,
hedhonism, profanism, dan nilai kepentingan secularism Jawa. Kehidupan
duniawi diibaratkan sebagai matahari terbit dari arah timur, karena itu letaknya
pada posisi timur kraton. Nilai kesejarahan Pasar Gede diekspresikan pada
semangat pusat ekonomi kota dalam ideologi budaya kota Jawa yang sedang
berubah dari konsep kuthorojo menjadi kuthonegoro (Soedarmono, 2008).
168 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
memadai yang selalu siap melayani dan tidak mengenal waktu. Hal tersebutlah
yang dapat membentuk Kumandhange pasar atau keberlanjutan suatu pasar
sebagai komponen kota tradisional Jawa bahwa menjadi komponen yang
menentukan adanya suatu aktivitas dalam fasilitas ekonomi kota.
Strategi yang terjadi dalam keberlangsungan Pasar Gede sebagai fasilitas
ekonomi dengan sinergitas, kontinuitas aktivitas dan loyalitas para pelaku
pasar, maka tak dapat dipungkiri menuntut adanya pengayoman dan
Handarbeni komitmen semua pihak dalam bentuk kebijakan sebagai
perwujudan adanya yang tinggi dari semua pihak guna menjaga kebertahanan
Pasar Gede. Integritas yang tinggi dapat terwujud dengan adanya pengayoman
dan komitmen dari pihak penguasa baik Keraton Kasunanan Surakarta
maupun Pemerintah Kota Surakarta berupa perlindungan dan pelayanan (Raja-
Walikota), masyarakat berupa komitmen untuk menjaga, menggunakan dan
melestarikan atau nguri-uri, dan adanya kesadaran Pasar Gede sebagai heritage
nilai budaya Jawa. Disamping itu diperlukan pula dukungan pelaku pasar
dalam bentuk konsistensi untuk beraktivitas di pasar sesuai dengan peran
masing-maisng secara berkesinambungan, dengan penuh kebanggaan sebagai
pelaku di Pasar Gede
Dengan adanya hal tersebut maka Konsekuensi yang terjadi bahwa Pasar Gede
menjadi pusat atau Jujugan dan Lurugan bagi seluruh masyarakat di kota
tradisional Jawa, baik masyarakat yang berada di dalam wilayah negari
maupun diluar wilayah hingga terbentuklah tempat yang Ngrejekeni atau
pemusatan pelayanan. Pemusatan yang terjadi meliputi aspek keruangan,
aktivitas dan pelaku. Aspek keruangan berupa bentuk pelayanan dari pusat
mengarah ke luar kota, dan dari luar kota mengarah masuk ke dalam kota.
Aspek aktivitas berupa distribusi barang pemasaran, pasokan barang masuk,
dan sebagai pusat aktivitas budaya dan sosial. Sedangkan aspek pelaku bahwa
Pasar Gede sebagai pusat para pengguna pasar, masyarakat, pemangku
kebijakan.
adanya Pasar Gede pada masa orientasi orientasi sosial-budaya hingga adanya
perubahan orientasi orientasi kebutuhan pasar.
Cikal bakal Pasar Gede, pada periode sebelum perpindahan Keraton dari
Keraton Kartosura ke Surakarta 17 Februari 1745, di Kawasan Lembah Sungai
Semanggi, Bengawan Solo dan Kali Pepe sudah muncul aktivitas
perdagangan. Pasar Gede merupakan salah satu rencana Paku Buwono X dan
Kolonial Belanda untuk mengembangkan perekonomian di Surakarta. Pada
zaman kolonial Belanda, dan pada mulanya merupakan sebuah pasar kecil
yang didirikan di area seluas 10.421 hektar, berlokasi di persimpangan jalan
dari kantor gubernur yang sekarang berubah fungsi menjadi Balaikota
Surakarta. Bangunan ini dirancang oleh seorang arsitek Belanda bernama
Thomas Karsten. Bangunan pasar selesai pembangunannya pada tahun 1930
dan diberi nama Pasar Gedhé Hardjanagara yang sekarang dikenal dengan
nama Pasar Gede. Pasar ini diberi nama pasar gedhé atau “pasar besar” karena
terdiri dari atap yang besar. Seiring dengan perkembangan masa, pasar ini
menjadi pasar terbesar dan termegah di Surakarta yang dikelilingi oleh
permukiman etnis Tionghoa atau China.
Keberadaan Pasar Gede yang dikelilingi oleh permukiman multi etnis,
menuntut adanya penyediaan komoditas yang sesuai dengan keragaman
kebutuhan konsumen baik kebutuhan masyarakat Jawa maupun Tionghoa
secara terus menerus atau berlanjut atau continue, dan tidak terhenti pada
musim tertentu. Pasar Gede dari mulai awal terbentuknya dalam masa orientasi
orientasi sosial-budaya hingga sekarang dengan orientasi pada orientasi
kebutuhan pasar, merupakan pasar yang memiliki kualitas yang setara dengan
mall, memiliki ekspansi perdagangan yang luas dan beragam, sebagai pasar
yang letaknya di-adhakan atau di tempat yang strategis, memiliki situasi
spasial yang ajeg atau ke-ajeg-an ruang atau kestabilan ruang, dan sebagai
pasar yang sempulur atau tersedia semua jenis komoditas dan tidak mengenal
musim, dengan kondisi yang tidak membedakan antar ras atau anti-
diskriminasi. Bahkan sebagian masyarakat mengatakan bahwa Pasar Gede
pasare wong Chino dikarenakan satu-satunya pasar tradisional yang
menyediakan perlengkapan ibadah dan kebutuhan harian masyarakat Etnis
Tionghoa. Meskipun demikian, secara umum masyarakat Kota Surakarta telah
menganggap bahwa Pasar Gede adalah pasare wong Solo atau Pasar Gede
sebagai pasarnya masyarakat Kota Surakarta yang terdiri dari multi etnis.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pasar Gede menjadi kebanggaan
bersama bagi masyarakat Kota Surakarta.
180 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
saling akrab yang biasa dikenal dengan istilah langganan, serta adanya
hubungan sosial selain transaksi belanja. Bahkan konsumennya adalah
konsumen yang loyal, yang merasa yakin dengan kualitas komoditas dan
hubungan kepercayaan pedagang. Hal inilah yang menjadi jiwa dari suatu
tempat yang tidak dapat ditemukan pada tempat lain.
ditempatkan dengan kaidah hirarki dan jejaring yang mengacu pada sedulur
papat kalimo pancer dengan pusat orientasi keraton.
Gambar 6.1: Dasar Filosofi Tata Ruang Negari Surakarta Hadiningrat dengan
orientasi Orientasi sosial-budaya (Analisis peneliti terhadap hasil wawancara
Kanjeng Gusti Puger, 2016)
Hal tersebut yang mendasari terbentuknya suatu hirarki dan jejaring dari
masing-masing komponen kota di pusat kota tradisional Jawa. Sedangkan
tingkatan atau hirarki pasar secara filosofis menempati tata filosofi yang sama
tetapi secara strata ekonomi masing-masing memiliki peran yang berbeda
dengan pusat Pasar Gede sebagai pasar besar atau pasar induk. Penataan
hirarki dan jejaring pasar pun mengacu pada nilai-nilai budaya dan
kepentingan sosial masyarakat. Pasar Gede sebagai pasar induk dengan
komoditas barang yang lebih eksklusif karena berada pada orientasi utama axis
keraton Kasunanan dan dikelilingi oleh permukiman etnis Tionghoa atau
China. Ketiga pasar yang lainnya yaitu Pasar Klewer, Pasar Gading, dan Pasar
Kliwon sebagai pasar penunjang dan memiliki kelas di bawah Pasar Gede.
Masa sekarang ini, pemerintahan Kota Surakarta berada pada pimpinan
seorang Walikota sehingga segala tata aturan beralih orientasi pada orientasi
kebutuhan pasar yaitu menekakan pada kebutuhan pasar dan tidak lagi
mengutamakan nilai-nilai budaya dan sosial. Dalam keadaan seperti sekarang
ini, Pasar Gede masih tetap memiliki peran sebagai pasar induk dan komoditas
yang eksklusif. Dengan berdasarkan peta kondisi sekarang, seperti dalam
Gambar 6.2, maka dapat diketahui bahwa keberadaan Pasar Gede dapat tetap
bertahan dalam kaidah filosofi sebagai ucap syukur sebagai pasar induk,
184 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
Gambar 6.2: Kaidah Sedulur Papat Kalimo Pancer dengan Pusat Orientasi
Keraton (Analisis Peneliti berdasarkan hasil wawancara Kanjeng Gusti Puger,
Serat Radya Laksana, dan rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surakarta 2011-
2031, 2016)
Bab 6 Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 185
pengantar menuju teori substantif, dan secara naratif dapat diuraikan sebagai
berikut:
Jika pasar tradisonal memiliki sinergi (Synergy), loyalitas (Loyality),
kumandhange pasar, jiwa handarbeni, dan ngrejekeni, maka akan
mampu bertahan sebagai komponen struktur kota tradisonal Jawa.
Pemahaman yang terkandung dalam proposisi tersebut adalah bahwa suatu
pasar yang mampu bertahan sebagai komponen struktur kota dalam konteks
suatu kota tradisional Jawa yang mengalami perubahan orientasi dari orientasi
sosial-budaya ke orientasi kebutuhan pasar adalah pasar yang masih memiliki
5 (lima) komponen, yaitu:
1. Proses sinergi dari berbagai ragam komoditas, etnis pengguna, dan
budaya jual beli
2. Pelaku yang memiliki loyalitas,
3. Aktivitas yang kumandhang atau berjalan secara kontinu dengan
suasana tawar menawar dan regeng (ramai tetapi tidak ricuh),
4. Kebijakan yang dibangun dengan jiwa handarbeni atau rasa memiliki,
melindungi, menjaga dan menggunakan sesuai dengan fungsinya dari
para pemangku kepentingan
5. Tempat ngrejekeni atau tempat yang menjadi pusat matapencaharian
dan sebagai tempat yang selalu didatangi untuk mendapatkan apa
yang dibutuhkan.
wong Jowo atau wong Solo. Dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat,
budaya Jawa menjadi suatu pola hidup menyeluruh, bersifat kompleks,
abstrak, dan luas, hingga melahirkan sistem sosial yang tercermin dalam pola-
pola tingkah laku manusia yang menggambarkan karakter suatu masyarakat
Jawa. Dengan demikian orientasi sosial-budaya merupakan pandangan atau
arah atau orientasi yang menitikberatkan pada nilai-nilai budaya dan sosial
yang telah ada pada suatu system pemerintahan keraton dan secara fisik dapat
ditengarai pada bentuk negari atau kota sebagai wilayah kekuasaan.
Berbagai fasilitas ditata dalam kontek pertautan budaya dan sosial dalam suatu
kaidah struktur kota Jawa secara makro adalah falsafah Cokro Manggilingan
dan secara mikro yaitu adanya falsafah aturan yang diwujudkan dalam bentuk
keraton, sujud manembah diwujudkan dalam bentuk masjid dan ucap syukur
dalam bentuk pasar. Sedangkan hirarki keberadaan masing-masing komponen
berpusat pada aturan yaitu keraton tepatnya pada bagian sitihinggil sebagai
bagian yang memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan bagian lainnya
dalam lingkup keraton maupun kota. Tingkatan berikutnya adalah masjid
sebagai bentuk filosofi sujud manembah bentuk perwujudan hubungan
manusia dengan sang Khalik atau Tuhannya atau dikenal dengan
habluminallah, sedangkan bagian pasar merupakan implementasi dari dasar
filosofi ucap syukur sebagai bentuk hubungan horizontal manusia sebagai
makhluk yang perlu memenuhi kebutuhan hidup dan mencari nafkah, di
samping kebutuhan sosial bermasyarakat.
Dalam konstelasi pasar yang ada di Kota Surakarta, khususnya pada lingkup
inti kota tradisional Jawa, tatanan jejaring pasar dibentuk dengan kaidah
sedulur papat kelimo pancer dengan pusat sitihinggil di kawasan Keraton
Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Penetapan posisi dan peran masing-masing
pasar menggunakan dasar kaidah nilai-nilai budaya dan sosial atau orientasi
sosial-budaya.
Perkembangan selanjutnya pada masa pemerintahan Paku Buwono X hingga
kolonial mulai berkuasa (1893-1947), pengaruh Hindia Belanda mulai
digunakan dalam pembangunan kota. Berbagai pembangunan fasilitas dan
jaringan transportasi dilakukan dengan dasar pemikiran kemudahan akses,
politis, dan fungsional. Seiring dengan waktu, orientasi sosial-budaya dalam
perkembangan kota mulai diabaikan dan penataan pembangunan kota bergeser
pada tuntutan fungsi dan lingkup pelayanan. Kondisi tersebut berlangsung
hingga masa Swapraja (1965).
Bab 6 Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 195
Peralihan masa Swapraja hingga masuk masa Orde Baru (1966) segala hal
terkait dengan penyediaan fasilitas umum dan sosial menggunakan dasar
standarisasi dan kaidah teori-teori yang mengarah pada tuntutan kebutuhan
umum masyarakat atau orientasi kebutuhan pasar. Segala fasilitas disediakan
dalam kontek pelayanan kepada masyarakat dengan dasar perhitungan standar
pusat layanan, kapasitas layanan, lingkup pelayanan atau kelas layanan dan
jarak jangkauan layanan. Keadaan tersebut merupakan situasi adanya
perubahan pergeseran orientasi dari orientasi sosial-budaya pada orientasi
kebutuhan pasar. Hal tersebut tetap berlangsung hingga sekarang, bahkan
menjadi bagian dalam proses perencanaan pembangunan semua fasilitas atau
komponen struktur kota.
Dalam situasi yang mengalami perubahan dari orientasi sosial-budaya pada
orientasi kebutuhan pasar, Pasar Gede sebagai salah satu komponen struktur
kota tradisional Jawa yang pada awal terbentuknya sebagai implementasi
filosofi atau nilai ucap syukur, masih dapat bertahan hingga saat ini, dengan
berbagai kegiatan, pelaku, dan peristiwa. Hal ini yang menjadi dari identitas
Kota Surakarta.
berada di pusat kota mengalami penguatan peran. Tidak hanya sebagai ruang
ekonomi, tetapi semakin kuat perannya sebagai ruang sosial dan budaya,
bahkan sebagai ruang rekreasi dan aktualisasi diri. Berdasarkan hasil kajian,
perubahan struktur Kota Surakarta secara skematik dalam Gambar 6.6.
Era / Masa Perubahan Struktur Kota
Paku Buwono X
(1893-1939)
198 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
Kolonial
(1940-1947)
Swapraja
(1948-1965)
Orbe Baru
(1966-1998)
Bab 6 Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 199
Reformasi
(1999-sekarang)
Komp Reformasi
onen PB II-IX PB X Kolonial Swapraja Orbe Baru
(1999-
(1744-1892) (1893-1939) (1940-1947) (1948-1965) (1966-1998)
sekarang)
Hand Komitmen dan Komitmen Komitmen Berkurangny Komitmen dan Komitmen dan
arbeni pengayoman dan dan a Komitmen pengayoman dari pengayoman
dari seluruh pengayoma pengayoma dan seluruh pihak dari seluruh
pihak terkait n dari n dari pengayoman terkait perumusan pihak terkait
seluruh seluruh dari seluruh undang-undang dalam bentuk
pihak terkait pihak terkait pihak terkait perlindungan pasar dukungan
dalam dalam dalam tradisional semua kegiatan
wujud ruang pengaruh pengaruh di Pasar
dan tempat kolonial politik Tradisional
Tahapan tersebut mulai dari adanya aktivitas jual beli di lokasi Pasar Gede
pada masa Paku Buwono II, selanjutnya dibangunnya bangunan Pasar Gede
pada masa Paku Buwono X, dan berikutnya dengan adanya pengaruh kolonial
yang kuat di Kota Surakarta, hingga terbentuknya pemerintahan Swapraja,
dilanjutkan Orde Baru dan masa Reformasi. Pada masa pemerintahan Paku
Buwono X merupakan masa kejayaan keraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat, berbagai upaya pembangunan dilakukan untuk meningkatkan
kesejahteraan dan perekonomian kota. Komponen sinergi, loyalitas,
kumandhang, handharbeni, dan ngrejekeni mengalami penguatan, meskipun
kelima komponen tidak dalam keadaan yang sama persis kedudukannya, tetapi
memiliki kecenderungan yang seiring meskipun bukan berarti pada posisi
yang sama. Setelah memasuki masa kolonial, kelima komponen kebertahanan
mengalami proses penurunan derajat kebertahanannya, hingga pada masa orde
baru dua komponen kebertahanan yaitu kumandhang dan ngrejekeni
mengalami kondisi krisis, sementara tiga komponen yang lainnya dapat segera
meningkat setelah mengalami penurunan pada masa kolonial. Hal tersebut
dikarenakan adanya pembangunan pasar-pasar modern di pusat kota
khususnya Kota Surakarta, sehingga dalam pada masa tersebut kelima
komponen kebertahanan mengalami kondisi yang tidak saling seiring dan
terjadi rentang antara dua komponen yaitu kumandhang dan ngrejekeni dengan
tiga komponen yang lain yaitu sinergi, loyalitas dan handarbeni. Pada masa
tersebut pasar tradisional mengalami berbagai permasalahan seperti serangan
pasar modern, pergeseran gaya hidup, krisis ekonomi yang berkepanjangan,
dan terbukanya persaingan ekonomi internasional. Keadaan tersebut tidak
berlangsung lama, pada masa Reformasi komponen kumandhang dan
ngrejekeni mendapat dukungan penuh dari pemerintah dan semua pelaku pasar
sehingga dapat mencapai posisi seiring dengan komponen lain.
Berdasarkan hasil penelusuran perkembangan masing-masing komponen
dalam Teori Kebertahanan Pasar Tradisional pada beberapa era, maka dapat
dipahami bahwa ada beberapa fase yang terbentuk yaitu fase kelima
komponen kebertahanan dalam keadaan seiring dan fase kelima komponen
kebertahanan dalam keadaan yang tidak seiring pada saat terjadi suatu situasi
perubahan yang mendasar atau ekstrim, baik pada keadaan di puncak atas
maupun bawah. Meskipun ada fase yang berbeda, tetapi secara mendasar
bahwa kebertahanan pasar tradisional tetap dalam kondisi tidak hilang atau
masih tetap bertahan. Hal tersebut dikarenakan adanya faktor pemengaruh
berupa fluktuasi atau naik turunnya goodwill atau kemauan baik dari semua
pihak yang terlibat, sehingga membawa dampak pada stabilitas komponen
Bab 6 Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 205
Gambar 6.13: Grafik Prediksi Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni (Analisis Peneliti,
2016)
206 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
Sinergi Teori formal yang ada terkait dengan komponen Sinergi belum ada
yang mengungkap secara eksplisit. Teori Kebertahan yang
menyinggung terkait dengan sinergi adalah Teori Adaptive Cycle yang
dikemukan oleh Holling (2001), dalam teori tersebut diungkapkan
dalam bentuk reorganisasi, sehingga belum menyebutkan secara
eksplisit tentang sinergi.
208 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
Kumandhang atau Komponen kumandhang dalam pemahaman yang lebih umum gaung
Gaung Aktivitas suatu aktivitas belum dapat ditemukan dalam teori formal terkait
dengan kebertahanan. Dalam Teori Urban Recilience menurut Aliance
(2007) disebutkan dinamika sosial. Hal ini memiliki makna yang
berbeda dengan kumandhang.
Handharbeni atau Komponen Handharbeni dalam konteks teori formal, belum dapat
Rasa memiliki ditemukan komoponen yang sama dengan hal tersebut. Dalam Resilient
City Planning Framework atau RCPF menurut Jabareen, (2013)
disebutkan Pemerintahan Urban, dan Teori Urban Recilience, oleh
Aliance (2007) disebutkan adanya komponen jejaring pemerintah,
sedangkan Teori Pengukuran Wellbeing and Resilience measurement
(WARm) yang dikemukakan oleh Norman (2012) disebutkan Undang-
Undang: komisi dan aset, mengatasi kerentanan. Ketiga hal tersebut
memiliki makna yang beda dengan yang dimaksud dengan komponen
Handharbeni dalam Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni.
Ngrejekeni atau Komponen Ngrejekeni dalam konteks teori formal, belum dapat
Membawa Rejeki ditemukan komponen yang sama. Dalam teori Adaptive Cycle yang
dikemukakan oleh Holling (2001) disebutkan Eksploitasi, teori Empat
ketahanan (resilience) menurut Brian Walker (2012) menyebut
komponen resistance, sedangkan Planning Framework atau RCPF yang
dikemukakan oleh Jabareen (2013) disebutkan adanya komponen
perencanaan berorientasi Ketidakpastian. Ketiga hal tersebut memiliki
makna yang beda dengan yang dimaksud dengan komponen Ngrejekeni
dalam Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni dalam
Kontek Teori Formal Kebertahanan memiliki kedudukan mengisi mata rantai
keilmuan yang masih belum ada. Hal tersebut dikarenakan Teori SiLoKu Ben
Ngrejekeni memiliki fokus kebertahanan pada lingkup kawasan pasar
tradisional sebagai fasilitas ekonomi dalam konstelasi kota dan wilayah.
komponen struktur kota tradisional Jawa dalam berbagai teori modern yang
telah ada dan digunakan dalam penataan dan pengaturan suatu kota dapat
digambarkan dalam peta teoritik seperti dalam Gambar 6.15 sebagai berikut :
Secara garis besar dapat diuraikan bahwa Teori Kebertahanan Pasar
Tradisional sebagai komponen struktur kota tradisional Jawa (Teori SiLoKu
Ben Ngrejekeni) memiliki karakteristik yang berbeda dengan Central Place
Theory yang menguraikan sistem pelayanan dalam 3 prinsip utama yaitu:
Marketing Principle, Transport/Traffic principle, dan Administrative Principle
(Christaller, 1966). Dalam teori tersebut diuraikan pula bahwa terciptanya
suatu kota didorong oleh para produsen berbagai jenis barang pada orde yang
sama cenderung berlokasi pada titik sentral di wilayahnya. Hal tersebut sangat
berbeda dengan apa yang ada kota tradisional Jawa Kota Surakarta. Meski
jauh dari berbagai produsen dan konsumen yang dilayani, pasar tradisional
memiliki peran penting sebagai pusat pelayanan, bahkan antara pasar yang
satu dengan yang lain tidak dipengaruhi oleh Range atau jangkauan, yaitu
jarak yang perlu ditempuh orang untuk mendapatkan barang kebutuhannya
(secara temporary), dan threshold atau ambang, yaitu jumlah minimal
penduduk yang diperlukan untuk kelancaran dan kesinambungan suplai
barang.
Sedangkan Teori Lokasi Pertanian (Zonasi Lahan Usaha Pertanian) yang
dikemukakan oleh J. H. Von Thünen (1826), seorang ekonom dan tuan tanah
Jerman, yaitu tentang pola produksi pertanian yang dihubungkan dengan tata
guna lahan di sekitar suatu kota pemasaran. Model yang dipakai adalah
lingkaran tata guna lahan (zona-zona consentris dan real). Empat asumsi yang
digunakan oleh Von Thünen untuk membangun lokasi kegiatan ekonomi
dapat ditentukan pada tingkat yang luas seperti wilayah atau daerah
metropolitan, atau pada kawasan yang lebih kecil seperti zona, lingkungan,
blok kota, atau situs individu. Teori ini dengan pendekatan ilmu geografi
ekonomi, antara lain: 1) Kota pasaran (market town) itu harus berlokasi di
pusat suatu wilayah homogen secara geografis, dalam arti tanah dan iklimnya;
2) Biaya transportasi pengangkutan hasil dari tempat produksi ke kota
berbanding lurus dengan jarak; 3) Setiap petani di kawasan sekeliling kota
pemasaran itu akan menjual kelebihan hasil pertaniannya ke kota tadi, dan
biaya transportasinya menjadi tanggungan sendiri; 4) Petani cenderung
memilih jenis tanaman yang menghasilkan profit maksimal (Thunen, 1842).
Keempat asumsi tersebut tak dapat digunakan secara tepat untuk mengurai
peran pasar tradisional di kota tradisional Jawa khususnya Kota Surakarta,
210 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
Sejalan dengan teori yang dikemukan oleh Lefebvre bahwa perkotaan adalah
sentralitas sosial dan aspek kapitalisme berpotongan dalam ruang dan konsep
pemahaman ruang secara trikotomis bahwa ruang yang kolektif itulah ruang
sesungguhnya, yang diproduksi melalui relasi sosial dengan berbagai modus
produksi (Lefebvre, 1991), Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni secara spesifik
menerapkan lima komponen pembentuk kebertahanan suatu ruang dalam
peran yang saling terintegrasi dan sinergis sehingga tidak dapat dipisahkan
atau berproses secara berjenjang.
Di sisi lain beberapa teori yang terkait dengan pasar dan struktur kota
tradisonal Jawa, telah diungkapkan dan diuraikan secara jelas oleh berbagai
ahli. Hasil yang dapat dipahami bahwa teori-teori tersebut memiliki sudut
pandang yang berbeda dengan hasil yang diperoleh dari rumusan Teori
Kebertahanan Pasar Tradisional (Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni). Perbedaan
yang mendasar terletak pada dasar filosofis dan penetapan komponen struktur
kota dan penetapan jejaring pasar tradisional dalam konstelasi kota tradisional
Jawa. Rumusan Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni mengungkapkan tentang
orientasi kota. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Teori SiLoKu Ben
Ngrejekeni merupakan bangunan teori baru yang mengungkapkan beberapa
hal yang belum terungkap dalam teori-teori sebelumnya.
Langkah akhir penelitian ini telah dicapai dengan adanya bangunan teori yaitu
teori Kebertahanan Pasar Tradisional yang disebut dengan SiLoKu Ben
Ngrejekeni. Sebagai tindak lanjut untuk menguji hasil terori yang terbangun
maka dapat dilakukan dengan mengimplementasikan teori tersebut pada
wilayah atau lokasi lain yang memiliki karakter yang sama. Pasar tradisional
yang memiliki peran yang sama sebagai komponen struktur kota tradisional
Jawa salah satunya ada Pasar Beringharjo di Kota Yogjakarta. Dalam menguji
teori kebertahanan pasar tradisional sebgaai komponen struktur kota tradisional
Jawa, kelima komponen akan digunakan sebagai parameter untuk mengkaji
fenomena yang ada di Pasar Beringharjo. Pengujian ini bersifat sementara
karena tidak dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah (scientific
method) secara detail, dengan hasil berupa hipotesa baru sebagai bahan
rujukan pengajuan rekomendasi untuk masa yang akan datang.
Tabel 6.6: Uji Komponen Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni
Komponen Uji Komponen Teori Pada Pasar Legi
Teori
Berdasarkan telaah uji teori pada Pasar Bringhardjo, maka dapat disimpulkan
bahwa Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni dapat diimplementasikan dengan hasil
bahwa secara detail masing-masing komponen memiliki kondisi berbeda
dengan yang ada di Pasar Gede. Komponen yang secara signifikan berbeda
adalah pada komponen Sinergi, Loyalitas dan Kumandhang. Komponen
Sinergi yang terjadi di Pasar Beringharjo menunjukkan bahwa tidak terjadi
keterpaduan multi etnis baik dalam budaya belanja, komoditas maupun para
pelaku pasar. Sedangkan komponen Loyalitas pada Pasar Bringhardjo
memiliki segmentasi pada pengunjung wistawan yang cukup besar sehingga
membawa konsekuensi penyediaan komoditas yang bersifat hasil kreativitas
dan ragam kuliner. Komponen kumandhang, Pasar Beringhardjo memiliki
gaung aktivitas yang sangat besar dibandingkan dengan Pasar Gede. Hal
tersebut berdampak pada perkembangan konsisi fisik pasar dan akses dalam
lingkup kota dan wilayah.
216 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
Bab 7
Kebertahanan Pasar Sebagai
Komponen Struktur Kota
7.1 Simpulan
Rangkaian suatu penelitian, tak lepas dari simpulan hasil dan saran atau
rekomendasi pada pihak lain untuk melanjutkan dan memanfaatkan hasil
penelitian sesuai dengan ranah keilmuan dan berbagai karakter permasalahan.
Rumusan terkait dengan komponen kebertahanan, perubahan orientasi kota,
perkembangan struktur kota tradisional Jawa, dan bangunan teori kebertahanan
pasar tradisional. Di samping itu pula peroleh suatu rumusan mengenai
prediksi masa depan pasar tradisional, upaya pasar tradisional untuk
menghadapi perkembangan pasar modern, dan kekuatan atau karakteristik
pasar tradisional yang meliputi interaksi pedagang dan pembeli, tawar
menawar, adanya fix price dan bargaining pasar tradisional terhadap
perkembangan jaman.
218 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
pasar menggunakan dasar kaidah nilai-nilai budaya dan sosial atau orientasi
sosial-budaya.
Perkembangan selanjutnya pada masa pemerintahan Paku Buwono X hingga
kolonial mulai berkuasa (1893-1947), pengaruh Hindia Belanda mulai
digunakan dalam pembangunan kota. Berbagai pembangunan fasilitas dan
jaringan transportasi dilakukan dengan dasar pemikiran kemudahan akses,
politis, dan fungsional. Seiring dengan waktu, orientasi sosial-budaya dalam
perkembangan kota mulai diabaikan dan penataan pembangunan kota bergeser
pada tuntutan fungsi dan lingkup pelayanan. Kondisi tersebut berlangsung
hingga masa Swapraja (1965).
Peralihan masa Swapraja hingga masuk masa Orde Baru (1966) segala hal
terkait dengan penyediaan fasilitas umum dan sosial menggunakan dasar
standarisasi dan kaidah teori-teori yang mengarah pada tuntutan kebutuhan
umum masyarakat atau orientasi kebutuhan pasar. Segala fasilitas disediakan
dalam kontek pelayanan kepada masyarakat dengan dasar perhitungan standar
pusat layanan, kapasitas layanan, lingkup pelayanan atau kelas layanan dan
jarak jangkauan layanan. Keadaan tersebut merupakan situasi adanya
perubahan pergeseran orientasi dari orientasi sosial-budaya pada orientasi
kebutuhan pasar. Hal tersebut tetap berlangsung hingga sekarang, bahkan
menjadi bagian dalam proses perencanaan pembangunan semua fasilitas atau
komponen struktur kota.
Dalam situasi yang mengalami perubahan dari orientasi sosial-budaya pada
orientasi kebutuhan pasar, Pasar Gede sebagai salah satu komponen struktur
kota tradisional Jawa yang pada awal terbentuknya sebagai implementasi
filosofi atau nilai ucap syukur, masih dapat bertahan hingga saat ini, dengan
berbagai kegiatan, pelaku, dan peristiwa. Hal ini yang menjadi dari identitas
Kota Surakarta.
Keadaan tersebut semakin menguat pada masa Orde Baru Tahun 1966-1999.
Orientasi kota berpusat pada Balaikota Kota Surakarta dan fasilitas-fasilitas
ekonomi yang strategis. Dengan demikian orientasi sumbu utara selatan mulai
memudar dan keraton tidak berperan sebagai pusat pemerintahan. Dalam
situasi ini, Pasar Gede sebagai salah satu komponen struktur kota tradisional
Jawa masih berperan sebagai komponen struktur pada masa Baru hingga pada
masa sekarang. Memasuki era Reformasi sekarang ini, Pasar Gede sebagai
salah satu komponen struktur tradisional Jawa sekaligus fasilitas perdagangan
yang berada di pusat kota mengalami penguatan peran. Tidak hanya sebagai
ruang ekonomi, tetapi semakin kuat perannya sebagai ruang sosial dan budaya,
bahkan sebagai ruang rekreasi dan aktualisasi diri.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pasar disadari sebagai ruang yang
urip lan nguripi untuk mengumpulkan dan memenuhi kebutuhan hidup, maka
kesadaran adanya ketetapan rejeki dari Yang Maha Kuasa adalah bentuk
kepasrahan pada suatu hasil. Terkait dengan kata SiLoKu Ben Ngrejekeni
bahwa kata tersebut adalah akronim dari kelima komponen kebertahanan pasar
tradisional yang terdiri dari Sinergi, Loyalitas, Kumandhang, Handharbeni dan
Ngrejekeni. Akronim dibuat dengan maksud untuk mempermudah menghafal,
meskipun bukan semata-mata menunjukkan urutan secara hirarkis.
Pemahaman teoritik dan praktik dalam konteks kewilayahan bahwa teori
SiLoKu Ben Ngrejekeni merupakan kesadaran keruangan yang terbentuk
adanya suatu aktivitas berdagang dari para pelaku untuk memenuhi dan
mendapatkan kebutuhan hidup dalam suatu tempat pasar tradisional. Dalam
konteks kota pasar merupakan fasilitas ekonomi yang sekaligus sebagai
fasilitas sosial dan budaya. Berbagai aktivitas yang ada di pasar tradisional
dapat membangkitkan segala aspek kehidupan, baik moda dan jejaring
transportasi, pusat pelayanan serta sistem pemasaran yang lebih luas.
Disisi lain beberapa teori yang terkait dengan pasar dan struktur kota tradisonal
Jawa, telah diungkapkan dan diuraikan secara jelas oleh berbagai ahli. Hasil
yang dapat dipahami bahwa teori-teori tersebut memiliki sudut pandang yang
berbeda dengan hasil yang diporelih dari rumusan Teori Kebertahanan Pasar
Tradisional (Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni). Perbedaan yang mendasar
terletak pada dasar filosofis dan penetapan komponen struktur kota dan
penetapan jejaring pasar tradisional dalam konstelasi kota tradisional Jawa.
Disamping itu dari rumusan Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni mengungkapkan
tentang orientasi kota. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Teori SiLoKu
Ben Ngrejekeni merupakan bangunan teori baru yang mengungkap hal-hal
yang belum terungkap dalam teori-teori sebelumnya.
Berbagai batasan yang ada pada penelitian ini, maka disarankan dapat
dilakukan penelitian dari sudut pemahaman dan metode yang berbeda,
sehingga dapat menjadi memperkaya kajian tentang teori kebertahanan pasar
tradisional sebagai komponen struktur kota tradisional Jawa. Di masa yang
akan datang diharapkan dapat dilakukan penelitian dengan generalisasi teori
yang menghasilkan teori formal sebagai tindak lanjut dari penelitian ini.
penekanan pada aspek place, space, atau wadah suatu aktivitas pada
konteks kawasan dan konstelasinya dalam suatu kota tradisional
Jawa. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu penelitian yang dapat
mengkaji dari sudut penekanan yang berbeda seperti fokus sosial
perkotaan, ekonomi perkotaan, dan budaya perkotaan sehingga
semua hasil penelitian dapat memperkuat kajian kebertahanan pasar
tradisional sebagai struktur kota tradisional Jawa.
b. Teori kebertahanan pasar tradisional SiLoKu Ben Ngrejekeni dapat
digunakan sebagai pijakan atau hipotesis dalam penelitian
selanjutnya, sehingga dapat dilakukan generalisasi teori kebertahanan
pasar tradisional.
c. Prediksi teori yang telah dirumuskan dapat menjadi tantangan bagi
penelitian selanjutnya untuk melakukan pembuktian atau verifikasi
apakah hal tersebut dapat terjadi sesuai rumusan grafik prediksi
ataukah tidak. Dengan demikian teori ini siap direvisi dan diperkaya
dengan hasil penelitian lain, karena kebenaran bukan lah hal yang
bersifat mutlak dan terbuka terhadap perkembangan sesuai dengan
pendekatan dan metode yang akan digunakan dalam penelitian
selanjutannya.
d. Penelitian terkait dengan kebertahanan pasar tradisional sebagai
komponen struktur kota dapat dilakukan pada lokus yang berbeda
baik yang memeiliki karakter yang sama ataupun yang berbeda. Hal
tersebut dimaksudkan untuk memperkaya teori kebertahanan dan
teori struktur kota.
e. Dalam kontek kelengkapan matarantai keilmuan teori struktur kota,
maka perlu adanya penelitian yang terkait dengan transformasi
struktur kota tradisional Jawa, yang hasilnya dapat menjadi pijakan
dalam penelusuran berbagai pola transformasi kota tradisional,
khususnya kota tradisional Jawa.
f. Seiring dengan perkembangan jaman, secara khusus direkomendasi
adalah melakukan penelitan lanjutan dengan konteks Kota Surakarta
terkait dengan penelusuran semua pasar tradisional yang ada di Kota
Surakarta dalam konstelasi perkembangan struktur kota tradisional
234 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
Aja ngaya ana dina ana upa : Jangan memaksakan diri ada hari ada nasi, mengandung
makna mencari uang seperlunya
Alun-alun Selatan : suatu lapangan terbuka yang luas dan berumput yang
dikelilingi oleh jalan dan dapat digunakan kegiatan
masyarakat yang beragam.berada di selatan keraton dan
berperan sebagai halam belakang keraton.
Alun-alun Utara : suatu lapangan terbuka yang luas dan berumput yang
dikelilingi oleh jalan dan dapat digunakan kegiatan
masyarakat yang beragam.berada di utara keraton dan
berperan sebagai halaman depan keraton.
Bakul : Pedagang
Catur gatra tunggal : empat komponen struktur Kota Tradisional Jawa yang
terdiri dari karaton, masjid, alun-alun, pasar.
Grengseng : Semangat
Hasta Brata : Arah Barat Daya, kosmografi Jawa adalah arah mata
angin yang mempunyai watak dari api yang memeiliki
makna kekuatan dan kesaktian yang datang dari arah ini
dapat melawan segala usaha yang menentang hukum
universum
Jujugan : Berasal dari bahasa jawa yang memiliki arti papan sing
dijujug (tempat yang dituju) atau adhakan (posisi
strategis), gampang ketemu (mudah ditemukan) atau
tempat untuk mendapatkan, mencari, dan memperoleh
sesuatu bagi masyarakat
Kawulo Gusti : Kita yang ingat dan menyembah Gusti (Tuhan Yang
Maha Esa)
Ke-tanda-an atau Ketandan : Tempat bermukim tanda atau lurah pasar yang bertugas
menarik pajak di pasar
Kutagara atau kuta-negara : Pusat pemerintahan dengan pusatnya adalah istana atau
keraton yang berkedudukan di ibukota kerajaan. Negara
Agung atau Negaragung, merupakan wilayah yang
mengitari Kutanegara atau Kutagara..
Kuthorojo menjadi kuthonegoro. : Kotanya Raja menjadi Kotanya Negara atau ibu kota
negara
Legi : Manis,
Marga : Jalan
Nagaragung atau Negara Agung : daerah di sekitar Kutagara, yang masih termasuk inti
kerajaan, karena di daerah inilah terdapat daerah tanah
lungguh (jabatan) dan para bangsawan yang bertempat
tinggal di Kutanegara
242 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
Nglurug : mendatangi
Opas polisi : Sebutan polisi pada masa tahun 1900 di Kota Surakarta
Pasar Gede Oprokan : Pasar Gede dengan pedagang yang menggelar dagangan
dengan lesehan
Regeng : Situasi yang tidak pernah sepi dan tidak pula macet.
Sedulur papat kalimo pancer : Empat bersaudara dan kelima sebagai pusat, dalam
implementasinya dihubungkan dengan konstelasi
penataan pasar di kota tradisional Jawa
Sirnaning Resi Rasa Tunggal : Merupakan nama atau sebutan suatu tahun yaitu
Sirnaning Resi Rasa Tunggal (1670) yang menandai
saat pengerjaan Keraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat selesai dibangun, meski dalam keadaan
yang tergesa-gesa.
Sithik ning lumintu : Sedikit tetapi dapat terus menerus atau sedikit tetapi
tetap cukup
Sunan Panutup : Raja yang dianggap oleh rakyat sebagai Raja besar
Surakarta yang terakhir
Teposeliro : Toleransi
Tugu Pamandengan atau : Tugu yang digunakan sebagai pusat orientasi Raja
Sinukarto atau Titik Ketauhidan dalam pertapaan atau bersemedi
Tuna sathak bathi sanak : Biarlah rugi sedikit, asal mendapat saudara
Glosarium 245
Ucap syukur : Bentuk rasa bersyukur atau pasar sebagai bentuk rasa
syukur untuk selalu memberi pelayanan dan memenuhi
kebutuhan.
Wage : Terbatas
Aliyah, I., Setioko, B., & Pradoto, W. (2017a). Spatial flexibility in cultural
mapping of traditional market area in Surakarta (A case study of Pasar
Gede in Surakarta). City, culture and society, 10, 41–51.
Aliyah, I., Setioko, B., & Pradoto, W. (2017b). Spatial Variety And Distribution
Of Traditional Markets In Surakarta As Potential Factors In Improving
Spatial-Based Management. Journal of Geomatics and Planning, E-ISSN,
2355–6544.
Anas, A., Arnott, R., & Small, K. A. (1998). Urban Spatial Structure. Journal of
Economic Literature, vol. 36(issue 3), 1426–1464.
Andriani, M. N., & Ali, M. M. (2013). Kajian Eksistensi Pasar Tradisional Kota
Surakarta. Jurnal Teknik PWK Universitas Diponegoro, vol 2(issue 2),
252-269.
Arefi, M. (2011). Design for Resilient Cities, reflections from a studio. In:
Banerjee, Tidib & Loukaitou-Sideris (ed) (2011) Companion to Urban
Design. Abingdon: Routledge.
Arikunto, S. (2010). Prosedur penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Army, A. M. (1945). Java & Madura 1: 50.000. Washington DC 106416:
http://www.lib.utexas.edu/maps/ams/java_and_madura/txu-pclmaps-
oclc-6596455-soerakarta.jpg.
Bangia, A. (1998). Modelling Liquidity Risk, with Implications for traditional
Market Risk Measurement and Management. Bank For International
Settlements. Wharton Financial Institutions Center. Working Paper,
Dezember 1998.
Basyir Z.B, M. (1987). Kota Gede Kuno, Studi Pola Tata Kota dan Kehidupan
Masyarakatnya. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Brian Walker, D. S. (2012). Resilience Practice: Building Capacity to Absorb
Disturbance and Maintain Function. Washington: Island Press.
Bromley, R. (1987). Traditional and Modern Change in the Growt of Systems
of Market Centres in Highland Equador. Vancouver: The Centre for
Transportasion Studies.
Cahkalitan. (2009). Sejarah Pasar Gede. Surakarta:
https://cahkalitan.wordpress.com/2009/05/27/sejarah-pasar-listrik-dan-
Daftar Pustaka 249
air-surakarta/.
Carr S., M. F. (1992). Public Space. Cambridge: Cambridge University Press.
Chandler, A. D. (1990). Scale and Scope: The Dynamics of Industrial
Capitalism. Cambridge, MA: The Belknap Press of the Harvard
University Press.
Chen, F. (2011). Traditional Architecture Form in Market Oriented Chinese
Cities? Habitat International, vol 35(issue 2), 410-418.
Cheshmehzangi, A., & Heat, T. (2012). Urban Identities: Influences on Socio-
Environmental Values and Spatial Inter-Relations. Procedia - Social and
Behavioral Sciences, vol 36, 253-264.
Christaller, W. (1966). Central Places in South Germany. (W. Baskin, Trans.) .
New york, USA: Wnglewoods Cliffs, N.J. Prentice Hall, Inc.
Creswell, J. W. (2007). Qualitative Inquiry and Research Design Choosing
Among Five Traditions. California, United State Of America: Sage.
Creswell, J. W. (2009). Research Design Qualitative, Quantitative and Mixed
Methods Approaches. California. Sage Publication. ISBN : 0-7619-0070-
. California: Sage Publication. ISBN : 0-7619-0070-.
Deprizal. (2013). Bentuk Pasar Dan Fungsinya.
http://deprizal.blogspot.com/2013/05/1.html.
Dewey, A. (1962). Peasant Marketing In Java. New York: Free Press of
Glencoe.
Dinas Tata Ruang Kota, K. S. (2009). Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan
Kawasan Pasar Gede Kota Surakarta. Surakarta: Konsultan Trihita
Karana.
Djakfar, M. (2009). Hukum Bisnis. Malang: UIN Malang Press.
Doxiadis, C. (1968). Ekistics: An introduction to the Science of Human
Settlements. London: Oxford University Press.
Ekomadyo, A. S. (2007). Menelusuri Genius Loci Pasar Tradisional sebagai
Ruang Sosial Urban di Nusantara. Retrieved Februari 2, 2014, from
www.ar.itb.ac.id: http://www.ar.itb.ac.id/pa/wp-
content/upload/2007/11/201212.
Erkip, F., Kızılgün, Ö., & Akinci, G. M. (2014). Retailers’resilience Strategies
250 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
and Their Impacts on Urban Space in Turkey. Cities, vol 36(Special Issue:
Retail Planning and Urban Resilience), 112-120.
Faisal, S. (1990). Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang: YA-
3.
Gallion, A. B., & Eisner, S. (1983). The Urban Pattern: City Planning and
Design. New York: Van Nostrand Reinhold.
Garnham, H. L. (1985). Maintaining The Spirit of Place. Arizona: PDA
Publishers Corporation.
Geddes, P. (1915). Cities in evolution: an introduction to the town planning
movement and to the study of civics. London: Williams & Norgate, 14
Henrietta Street, Covent Garden .
Geertz, C. (1963). Peddlers and Princes: Social Change and Economic
Modernization in Two Indonesian Towns (1st ed ed.). Chicago dan
London, The United States of America: The University of Chicago Press.
Giddens, A. (1991). Modernity and self-identity: self and society in the late
modern age. Cambridge: Polity Press.
Goonewardena, K., Kipfer, S., Milgrom, R., & Schmid, C. (2008). Space,
Difference Everyday Life: Reading Henri Lefebvre. New York:
Routledge.
Graaf, H. D. (1989). Terbunuhnya Kapten Tack, Kemelut di Kartosura Abad
XVII (terj) . Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia: Pustaka Utama Grafiti.
Habermas, J. (1985). The Theory of Communicative Action, Volume 2:
Lifeworld and System: A Critique of Functionalist Reason. Boston:
Beacon Press Book.
Harper, D. (2001). Online Etymology Dictionary. Online:
http://www.etymoline,com.
Hayami, Y. (1987). Dilema Desa. Jakarta: Yayasan Obor.
Hind, 1. (1945). Town Plan Of Soerakarta. Survey Production Centre SE Asia.
Holling, C. (1973). Resilience and stability of ecological systems. In: Annual
review of ecology and systematics . Annual review of ecology and
systematics (1973) vol. 4 p. 1-23.
Holling, C. S. (2001). Understanding the Complexity of Economic, Ecological,
Daftar Pustaka 251