Anda di halaman 1dari 274

Pasar Tradisional:

Kebertahanan Pasar Dalam


Konstelasi Kota

Istijabatul Aliyah

Penerbit Yayasan Kita Menulis


Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam
Konstelasi Kota
Copyright © Yayasan Kita Menulis, 2020

Penulis:
Istijabatul Aliyah

Editor: Mohammad Iqbal


Desain Sampul: Tim Kreatif Kita Menulis
Sampul: pngguru.com

Penerbit
Yayasan Kita Menulis
Web: kitamenulis.id
e-mail: press@kitamenulis.id
WA: 0821-6453-7176

Istijabatul Aliyah
Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
Yayasan Kita Menulis, 2020
xiv; 256 hlm; 16 x 23 cm
ISBN: 978-623-6512-53-1
Cetakan 1, Juli 2020
I. Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
II. Yayasan Kita Menulis

Katalog Dalam Terbitan


Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang memperbanyak maupun mengedarkan buku tanpa
Ijin tertulis dari penerbit maupun penulis
Kata Pengantar

Penulis memanjatkan puji syukur ke hadlirat Allah Subhanahu Wa


Ta’alla Tuhan semesta alam karena berkat rahmat dan hidayahNya buku
yang berjudul Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi
Kota ini dapat diselesaikan.

Dengan tersusunnya buku ini, penulis mengucapkan terimakasih dan


penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat Prof. Dr. Ir.
Bambang Setioko, M.Eng, Dr-Ing Wisnu Pradoto, ST. MT, yang telah
membimbing, mengarahkan dan mendukung dengan penuh ketelitian,
kedisiplinan, kesabaran dan keikhlasan selama proses konsultasi hasil
penelitian hingga tersusunnya buku ini. Demikian pula rasa terimakasih
penulis sampaikan kepada Prof. Dr-Ing. Ir. Gagoek Hardiman, Prof. Dr.
Nurdien H. Kistanto, MA, Prof. Dr. Drs. Purbayu Budi Santosa, MS, dan
Dr. Ir. Joesron Alie Syahbana, MSc, dan Prof. Dr. Ir. S. Tri Sutomo, MS
yang berkenan memberi bimbingan, arahan dan masukan bagi
tersusunnya buku ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih dan
penghargaan kepada Rektor Universitas Universitas Sebelas Maret Prof.
Dr. Jamal Wiwoho, SH., Dekan Fakultas Teknik Universitas Sebelas
Maret Dr.techn. Ir. Sholihin As'ad, M.T.dan Prof. Ir. Winny Astuti, M.Sc,
Ph.D selaku Kepala Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota.

Penulis dengan penuh rasa hormat mengucapkan terima kasih yang


setinggi-tingginya kepada pejabat di lingkungan Universitas Sebelas
Maret pada periode Tahun 2011-2015, Ketua Program Studi Perencanaan
Wilayah dan Kota Universitas Sebelas Maret Ir. Galing Yudana, MT
yang telah mengijinkan dan memberi kepercayaan kepada penulis untuk
melakukan penelitian ini dalam masa studi lanjut meski dalam situasi
program studi kekurangan sumber daya manusia, Ketua Jurusan
Arsitektur Fakultas Universitas Sebelas Maret Dr. Ir. Mohamad Muqoffa,
MT, Dekan Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Prof. Dr. Kuncoro
Diharjo, ST.MT, serta Rektor Universitas Sebelas Maret Prof. Dr. Ravik
Karsidi, MS yang telah mendukung dan membuka pintu kesempatan bagi
peneliti untuk melakukan penelitian ini.
vi Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Selama proses pelaksanaan penelitian, dengan penuh rasa syukur penulis


mengucapkan terima kasih kepada seluruh rekan sejawat di Program
Studi Perencanaan Wilayah dan Kota bapak Soedwiwahjono, Ibu
Kusumastuti, Bapak Rizon, Ibu Murtanti, Ibu Ratri, Ibu Isti Andini, Ibu
Rufia, Ibu Paramita, Ibu Erma, Ibu Ima, Bapak Nurmiladan, Bapak
Rama. Bapak Tendra, dan Ibu Lintang. Penulis juga mengucapkan terima
kasih yang setinggi-tingginya kepada rekan-rekan di Pusat Penelitian dan
Pengembangan Pariwisata dan Budaya Ibu Rara Sugiarti, Bapak
Bambang Irawan, Bapak Suparyadi, Bapak Santo, dan Bapak Margana
serta rekan-rekan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Dalam proses penyusunan, penulis selalu mendapatkan arahan dan


dukungan dari berbagai pihak, untuk itu dengan rasa hormat penulis
mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat Kanjeng Gusti Pangran
Haryo Puger yang mengamban amanah sebagai Raja Keraton Kasunanan
Surakarta Hadiningrat dan Bapak Drs. Subagiyo, MM selaku Kepala
Dinas Pengelola Pasar Kota Surakarta, serta Bapak Dr. Titis Srimuda
Pitana, S.T, M.Trop.Arch yang telah dengan sabar dan ikhlas memberi
arahan dan dukungan pada penulis.

Sebagai wanita biasa, banyak hal yang tak dapat dilakukan tanpa
dukungan dari orang-orang yang terdekat, dengan rasa hormat dan kasih
penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada suami
Tulus Basuki Wijaya, ST. MM beserta ananda Daffa Imtiyas Ihabilla,
SKg dan Muhammad Wijdan Muyassar yang telah memberi doa dan
dukungan selama berlangsungnya masa studi, serta semua pihak yang
telah membantu kegiatan penyusunan buku ini; atas perhatian, perijinan
dan kerjasama yang telah diberikan hingga tersusunnya buku ini.

Selanjutnya, besar harapan penulis semoga buku ini dapat diterima oleh
seluruh khalayak dan dapat ditindaklanjuti dalam bentuk penelitian yang
lebih mendalam serta bermanfaat untuk pembangunan kota dan wilayah.

Surakarta, Juli 2020

Penulis
Daftar Isi

Kata Pengantar .................................................................................................. v


Daftar Isi ............................................................................................................ vii
Daftar Gambar ................................................................................................. xi
Daftar Tabel ...................................................................................................... xv

Bab 1 Pemahaman Pasar Tradisional


1.1 Pengertian Pasar Tradisional ..................................................................... 1
1.2 Peran dan fungsi Pasar Tradisional Dalam Struktur Kota Tradisional
Jawa ............................................................................................................. 3
1.3 Pasar Tradisional Dalam Sistem Ekonomi Kota...................................... 6
1.4 Lingkup Pelayanan Pasar Tradisional ...................................................... 8
1.5 Perkembangan Pasar Tradisional .............................................................. 9

Bab 2 Metode Kajian Pasar Tradisional Sebagai Komponen Struktur


Kota
2.1 Penggalian Data dan Informasi ................................................................. 14
2.2 Teknik Analisis ........................................................................................... 24
2.3 Strategi Validasi Hasil Penelitian .............................................................. 26

Bab 3 Pasar Tradisional Dalam Rangkaian Sejarah Kota Surakarta


3.1 Sejarah Kota Surakarta Sebagai Kota Tradisional Jawa ......................... 29
3.2 Komponen Inti Kota Tradisional Jawa Di Kota Surakarta ..................... 34
3.3 Pasar Tradisional Di Kota Surakarta......................................................... 35
3.4 Kawasan Pasar Gede Di Kota Surakarta .................................................. 44

Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional Sebagai Komponen


Struktur Kota Surakarta
4.1 Fenomena Kawasan Pasar Gede Dalam Ranah Kesejarahan Kota ........ 55
4.1.1 Filosofi Perencanaan Kawasan Pasar Gede .................................... 55
4.1.2 Hirarki Pasar Gede Terhadap Pasar Lain ........................................ 58
4.1.3 Pasar Gede sebagai Bagian dari Kosmis Kota Jawa ...................... 60
4.2 Fenomena Kawasan Pasar Gede Dalam Ranah Ruang Budaya Kota.... 61
4.2.1 Pasar Gede sebagai Ruang Apresiasi Budaya ................................ 61
4.2.2 Ragam aktivitas Budaya di Kawasan Pasar Gede.......................... 62
viii Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

4.3 Fenomena Kawasan Pasar Gede Dalam Ranah Ruang Sosial Kota ...... 64
4.3.1 Pasar Gede sebagai Ruang Interaksi Antar Pelaku Multi Etnis .... 64
4.3.2 Ragam Aktivitas Sosial di Kawasan Pasar Gede ........................... 66
4.4 Fenomena Kawasan Pasar Gede Dalam Ranah Ruang Ekonomi Kota . 69
4.4.1 Jangkauan Layanan Pasar Gede sebagai Fasilitas Ekonomi ........ 69
4.4.2 Pemasok, pedagang dan pengunjung dari luar wilayah ................. 82
4.5 Ragam Jual-Beli Yang Ada di Pasar Gede............................................... 91
4.5.1 Pasar Gede sebagai Pusat Barang Berkualitas................................ 97
4.5.2 Fenomena Kawasan Pasar Gede Dalam Ranah Konstelasi Ruang
Kota ............................................................................................................. 101
4.5.3 Pasar Gede sebagai Jujugan dan Lurugan....................................... 102
4.5.4 Lokasi Pasar Gede di-adhakan......................................................... 104
4.5.5 Aksesibitas Kawasan Pasar Gede .................................................... 105
4.5.6 Pasar Gede sebagai Pasar Ekslusif di Kota Surakarta.................... 108

Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota


5.1 Perumusan Tema Dari Fenomena Diskrit Sebagai Proses Pengkodean
Berbuka ....................................................................................................... 112
5.1.1 Tema-Tema Nilai Kesejarahan Pasar Tradisional.......................... 116
5.1.2 Tema-Tema Pasar Sebagai Ruang Budaya .................................... 116
5.1.3 Tema-Tema Pasar Sebagai Ruang Sosial ...................................... 117
5.1.4 Tema -Tema Pasar sebagai Ruang ekonomi .................................. 117
5.1.5 Tema-Tema Pasar Dalam Konstelasi kota...................................... 117
5.2 Keterkaitan Antar Tema............................................................................. 118
5.2.1 Keterkaitan Tema dalam Ranah Sejarah Kota Surakarta .............. 118
5.2.2 Keterkaitan Tema dalam Ranah Pasar sebagai Fasilitas Budaya
Kota ................................................................................................... 122
5.2.3 Keterkaitan Tema dalam Ranah Pasar sebagai Fasilitas Sosial
Kota ................................................................................................... 123
5.2.4 Keterkaitan Tema dalam Ranah Pasar Sebagai Fasilitas Ekonomi
Kota ................................................................................................... 125
5.2.5 Keterkaitan Tema dalam Ranah Pasar Sebagai Komponen Struktur
Kota ................................................................................................... 128
5.3 Konseptualisasi Tema Sebagai Proses Pengkodean Berporos................ 130
5.3.1 Konseptualisasi Tema Ranah Waktu (Process).............................. 132
5.3.2 Konseptualisasi Tema Ranah Pelaku (Man)................................... 134
5.3.3 Konseptualisasi Tema Ranah Kegiatan (Activity) ......................... 137
5.3.4 Konseptualisasi Tema Ranah Kebijakan (Policy) .......................... 140
5.3.5 Konseptualisasi Tema Ranah Keruangan atau Tempat (Place) .... 142
Daftar Isi ix

5.4 Bagan Konsepsi Dalam Perumusan Kategori .......................................... 148


5.5 Kategorisasi Konsepsi Pasar Gede Sebagai Komponen Struktur Kota
Jawa Sebagai Proses Pengkodean Berpilih .............................................. 156
5.5.1 Perumusan Alur Inti Cerita .............................................................. 156
5.5.2 Rumusan Kategori Hasil Pengkodean Terpilih .............................. 168
5.6 Simpulan Tema, Konsepsi, Dan Kategori ................................................ 170

Bab 6 Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota


6.1 Sinergi (Synergy) Keberlangsungan Pasar ............................................... 175
6.2 Loyalitas (Loyality) Pengguna Pasar ........................................................ 176
6.3 Aktivitas Kumandhange Pasar .................................................................. 177
6.3.1 Pemangku Pasar Dengan Jiwa Handarbeni .................................... 181
6.3.2 Tempat Ngrejekeni Sebagai Kategori Inti....................................... 185
6.4 Proposisi Teoritisasi ................................................................................... 185
6.5 Teori Kebertahanan Pasar Tradisional...................................................... 186
6.5.1 Bagan Strukturisasi Teori kebertahanan Pasar Tradisional ........... 187
6.5.2 Definisi Teoritik Teori Kebertahanan Pasar Tradisional ............... 188
6.5.3 Definisi Operasional Teori Kebertahanan Pasar Tradisional......... 190
6.6 Perubahan Orientasi Sosial-Budaya Menuju Orientasi Kebutuhan Pasar
Di Kota Surakarta ....................................................................................... 193
6.7 Perkembangan Struktur Kota Tradisional Jawa Di Kota Surakarta ....... 195
6.8 Prediksi Teori Substantif Dalam Perspektif Waktu ................................. 199
6.8.1 Perkembangan Komponen Sinergi (Synergy) ................................ 201
6.8.2 Perkembangan Komponen Loyalitas (Loyality) ............................ 201
6.8.3 Perkembangan Komponen Kumandhang Pasar ............................. 202
6.8.4 Perkembangan Komponen Handharbeni ........................................ 202
6.8.5 Perkembangan Komponen Ngrejekeni ........................................... 203
6.8.6 Perkembangan dan Prediksi Teori Kebertahanan Pasar Tradisional
(SiLoKu Ben Ngrejekeni)................................................................ 203
6.9 Kedudukan Teori Substantif Kebertahanan Pasar Tradisional Dalam
Rumpun Teori Struktur Kota..................................................................... 206
6.9.1 Posisi Teori Substantif dalam Teori Kebertahanan ........................ 206
6.9.2 Posisi Teori Substantif dalam Teori Struktur Kota......................... 208
6.10 Simpulan Teori Kebertahanan Pasar Tradisional Sebagai Komponen
Struktur Kota Tradisional Jawa............................................................... 211
6.11 Uji Teori Kebertahanan Pasar Tradisional Sebagai Komponen Struktur
Kota Tradisional Jawa (Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni)....................... 212
x Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Bab 7 Kebertahanan Pasar Sebagai Komponen Struktur Kota


7.1 Simpulan ..................................................................................................... 217
7.1.1 Pasar Tradisional Bertahan sebagai Komponen Struktur Kota
Tradisional Jawa .............................................................................. 218
7.1.2 Perubahan Orientasi Sosial-Budaya (Socio-Culture Driven)
menjadi Orientasi Kebutuhan Pasar (Market Driven).................... 218
7.1.3 Perkembangan Struktur Kota Tradisional Jawa di Kota Surakarta220
7.1.4 Bangunan Teori Kebertahanan Pasar Tradisional sebagai
Komponen Struktur Kota Tradisional Jawa.................................... 222
7.1.5 Prediksi Masa Depan Pasar Tradisional .......................................... 226
7.1.6 Upaya Pasar Tradisional Untuk Menghadapi Perkembangan
Pasar Modern .................................................................................... 227
7.1.7 Karakteristik Pasar Tradisional ........................................................ 228
1.7.8 Kedudukan Teori Substantif Kebertahanan Pasar Tradisional
Dalam Rumpun Teori Kebertahanan dan Teori Struktur Kota ..... 229
7.2 Rekomendasi Pengembangan Ilmu........................................................... 231
7.2.1 Saran Untuk Pengembangan Pengetahuan dan Penggunaan
Metode Penelitian.............................................................................. 231
7.2.2 Rekomendasi Teoritik dan Praktik................................................... 232

Glosarium .......................................................................................................... 237


Daftar Pustaka .................................................................................................... 247
Daftar Gambar

Gambar 2.1: Teknik Pengumpulan Data .......................................................15


Gambar 2.2: Pengumpulan Data dalam Penelitian Induktif..........................20
Gambar 2.3: Unit Amatan Penelitian ..............................................................21
Gambar 2.4: Data Pasar Tradisional sebagai Komponen Struktur Kota
Tradisional Jawa.........................................................................22
Gambar 2.5: Data perubahan struktur kota orientasi orientasi sosial-budaya -
orientasi kebutuhan pasar...........................................................23
Gambar 2.6: Data kebertahanan pasar tradisional sebagai komponen
struktur kota tradisional Jawa dalam orientasi dari orientasi
sosial-budaya menjadi orientasi kebutuhan pasar ...................24
Gambar 2.7: Proses Analisis Data ...................................................................25
Gambar 2.8: Alur Penyusunan Teori ..............................................................25
Gambar 3.1: Peta Perkembangan Kota Surakarta ..........................................33
Gambar 3.4: Peta Persebaran Pasar Tradisional di Kota Surakarta .............38
Gambar 3.5: Peta kawasan Pasar Tradisional di Kecamatan Banjarsari ......41
Gambar 3.6: Peta kawasan Pasar Tradisional di Kecamatan Pasar Kliwon 41
Gambar 3.7: Peta kawasan Pasar Tradisional di Kecamatan Jebres ............42
Gambar 3.8: Peta kawasan Pasar Tradisional di Kecamatan Laweyan........42
Gambar 3.9: Peta kawasan Pasar Tradisional di Kecamatan Serengan........43
Gambar 3.10: Pemetaan Luasan Lahan Pasar Tradisional di Kota Surakarta .. 43
Gambar 3.11: Peta Kawasan Pasar Gede di Kota Surakarta .........................46
Gambar 3.12: Kondisi Kawasan Pasar Gede pada siang hari .......................47
Gambar 3.13: Kondisi Kawasan Pasar Gede pada malam hari menyambut
acara Imlek................................................................................47
Gambar 4.1: Situasi Kawasan Pasar Gede Pada Tahun 1900an ...................56
Gambar 4.2: Situasi Kawasan Pasar Gede Tahun 1930an ............................57
Gambar 4.3: Situasi Sekitar Kawasan Pasar Gede.........................................58
Gambar 4.4: Filosofi sedulur papat kalimo pancer merupakan konsep dasar
jejaring Pasar Gede terhadap pasar lainnya di Kota
Surakarta .....................................................................................59
Gambar 4.5: Ajang Apesiasi Budaya yang ada di Pasar Gede .....................62
Gambar 4.6: Ragam Budaya yang digelar di Pasar Gede ............................63
Gambar 4.7: Lingkup meso aktivitas sosial secara spasial di Kawasan Pasar
Gede ...........................................................................................64
xvi Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Gambar 4.8: Aktivitas sosial di Kawasan Pasar Gede ...................................65


Gambar 4.9: Lingkup Jangkauan Pasar Tradisional di Kota Surakarta........72
Gambar 4.10: Suasana aktivitas ekonomi dengan karakter interaksi langsung
antara penjual dan pembeli di Pasar Gede..............................74
Gambar 4.11: Komoditas utama Pasar Gede buah Segar dan kebutuhan
Harian ........................................................................................81
Gambar 4.12: Zona yang digunakan untuk operasional aktivitas bongkar
muat pasokan barang dagangan di Pasar Gede ......................85
Gambar 4.13: Zona keragaman Aktivitas Pengunjung Eceran dan Grosir ke
Pasar Gede ................................................................................95
Gambar 4.14: Komoditas di Pasar Gede dengan kualitas terseleksi dan
Beragam ....................................................................................98
Gambar 4.15: Perbagai karakter konsumen menghendaki kualitas yang
Berbeda .....................................................................................99
Gambar 4.16: Suasana pagi hari dominasi pedagang grosiran......................100
Gambar 4.17: Komoditas Buah Lokal dan Impor untuk konsumen Grosiran. 101
Gambar 4.18: Aksesibilitas menuju Kawasan Pasar Gede............................106
Gambar 4.19: Pola zonasi komoditas di Kawasan Pasar Gede.....................107
Gambar 4.20: Pasar Gede dikenal sebagai pasar eksklusif............................108
Gambar 5.1: Kerangka Pikir Tema, Konsepsi, Kategori dalam penelitian ..111
Gambar 5.2: Alur Tema Nilai Kesejarahan Pasar Tradisional ......................116
Gambar 5.3: Alur Tema Pasar Tradisional sebagai Ruang Budaya .............116
Gambar 5.4: Alur Tema Pasar Tradisional sebagai Ruang Sosial ................117
Gambar 5.5: Alur Tema Pasar Tradisional sebagai Ruang Ekonomi...........117
Gambar 5.6: Alur Tema Pasar Tradisional Dalam Konstelasi kota..............118
Gambar 5.7: Hirarki dan Jejaring Pasar Tradisional di Kota Surakarta .......119
Gambar 5.8: Keterkiatan Tema dalam Ranah Sejarah Kota Surakarta ........121
Gambar 5.9: Keterkiatan Tema dalam Ranah Pasar sebagai Fasilitas Budaya
Kota .............................................................................................123
Gambar 5.10: Keterkiatan Tema dalam Ranah Pasar Sebagai Ruang Sosial
Kota .............................................................................................125
Gambar 5.11: Keterkiatan Tema dalam Ranah Sejarah Kota Surakarta ......128
Gambar 5.12: Keterkiatan Tema dalam Ranah Pasar Bagian Komponen
Struktur Kota..............................................................................130
Gambar 5.13: Axial Coding Konseptualisasi Tema ......................................146
Gambar 5.14: Pengertian Konsepsi .................................................................147
Gambar 5.15: Orientasi sosial-budaya pada Pasar Tradisional di Kota
Surakarta ....................................................................................162
Gambar 5.16: Analitik Penelusuran Kategori.................................................169
Daftar Gambar xvii

Gambar 6.1: Dasar Filosofi Tata Ruang Negari Surakarta Hadiningrat


dengan orientasi Orientasi sosial-budaya .................................183
Gambar 6.2: Kaidah Sedulur Papat Kalimo Pancer dengan Pusat Orientasi
Keraton........................................................................................184
Gambar 6.3: Keterkaitan Komponen Teori Kebertahanan Pasar Tradisional 187
Gambar 6.4: Konstruksi Teori Kebertahanan Pasar Tradisional
(SiLoKu Ben Ngrejekeni) .........................................................188
Gambar 6.5: Pengertian Komponen Kebertahanan pasar Tradisional .........189
Gambar 6.6: Skematik Perkembangan Struktur Kota Tradisional Jawa
di Kota Surakarta ........................................................................199
Gambar 6.7: Grafik Perkembangan Komponen Sinergi ...............................201
Gambar 6.8: Grafik Perkembangan Komponen Loyalitas ............................201
Gambar 6.9: Grafik Perkembangan Komponen Kumandhang.....................202
Gambar 6.10: Grafik Perkembangan Komponen Handarbeni......................202
Gambar 6.11: Grafik Perkembangan Komponen Ngrejekeni.......................203
Gambar 6.12: Grafik Perkembangan Rentang Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni 203
Gambar 6.13: Grafik Prediksi Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni......................205
Gambar 6.14: Rangkaian Teori Kebertahanan ...............................................207
Gambar 6.15: Rangkaian Teori Kebertahanan Pasar Tradisional dalam
Teori Struktur Kota ..................................................................210
xviii Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
Daftar Tabel

Tabel 2.1: Kriteria Penentuan Partisipan dan Lokasi ..................................... 14


Tabel 2.2: Kompilasi data pasar tradisional sebagai komponen struktur
kota tradisional Jawa ...................................................................... 22
Tabel 2.3: Kompilasi data Perubahan Orientasi sosial-budaya menjadi
Orientasi kebutuhan pasar ............................................................. 23
Tabel 3.1: Ragam Pasar Modern yang ada di Wilayah Karesidenan
Surakarta ......................................................................................... 35
Tabel 3.2: Sebaran Pasar Tradisional di Kota Surakarta ............................... 37
Tabel 3.3: Kelas dan Alamat Lokasi Pasar Tradisional di Kota Surakarta . 38
Tabel 3.4: Struktur Sebaran Pasar Tradisional di Kota Surakarta................. 44
Tabel 3.5: Keragaman Aktivitas di Kawasan Pasar Gede ............................. 48
Tabel 3.6: Penggunaan Ruang di Kawasan Pasar Gede ................................ 52
Tabel 4.1: Jenis Aktivitas Sosial di Pasar Gede.............................................. 66
Tabel 4.2: Aktivitas Sosial secara keruangan atau spasial............................. 68
Tabel 4.3: Klasifikasi Komoditas dan Jangkauan Layanan Pasar Tradisional
di Kota Surakarta Tahun 2016 ...................................................... 69
Tabel 4.5: Perkembangan Pedagang di Pasar Gede....................................... 73
Tabel 4.6: Omset Pedagang di Pasar Gede Tahun ........................................ 73
Tabel 4.7: Jumlah Pengunjung yang masuk di Bangunan Pasar Gede Tahun
2016................................................................................................. 76
Tabel 4.8: Jenis Aktivitas Ekonomi di Pasar Gede ........................................ 78
Tabel 4.9: Aktivitas Ekonomi Secara Keruangan (Spasial) di Pasar Gede .. 79
Tabel 4.11: Keterkaitan Kondisi Kausal dengan Fenomena di Pasar Gede. 82
Tabel 4.15: Jenis Aktivitas Ekonomi di Pasar Gede ...................................... 88
Tabel 4.16: Aktivitas Para Pemasok Berbagai Daerah Secara Keruangan di
Pasar Gede ...................................................................................... 89
Tabel 4.18: Keterkaitan Kondisi Kausal dengan Fenomena ragam jual beli
Eceran dan Grosir di Pasar Gede .................................................. 92
Tabel 4.22: Jenis Aktivitas Ekonomi pengunjung dari berbagai daerah
di Pasar Gede .................................................................................. 96
Tabel 4.23: Aktivitas jual beli Secara Keruangan .......................................... 96
Tabel 5.1: Perbandingan Konsekuensi yang dihasilkan Fenomena Diskrit . 112
Tabel 5.2: Open Coding Fenomena Pasar Tradisional sebagai Komponen
Struktur Kota Tradisional Jawa..................................................... 115
xiv Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Tabel 5.3: Klasifikasi Lingkup atau Ranah Konsekuensi Tema ................... 131
Tabel 5.4: Konseptualisasi tema dalam Ranah Waktu (Process) Analisis ... 133
Tabel 5.5: Konseptualisasi tema dalam Ranah Pelaku (Man)....................... 136
Tabel 5.6: Konseptualisasi tema Ranah Kegiatan (Activity) ........................ 139
Tabel 5.7: Konseptualisasi tema Ranah Kebijakan (Policy) ......................... 141
Tabel 5.8: Konseptualisasi tema Ranah Keruangan atau Tempat (Place).... 144
Tabel 5.9: Bagan Konsepsi dalam Proses Perumusan Kategori .................. 148
Tabel 5.10: Perkembangan Pemerintahan Kota Surakarta 1745- Sekarang 159
Tabel 5.11: Matrik Kerangka Pembahasan Data Teoritik ............................. 131
Tabel 6.1: Takrif loyalitas (loyality) pengguna pasar perwujudan semangat
para pelaku pasar ............................................................................ 177
Tabel 6.2: Takrif kontinuitas (continuity) suatu aktivitas pasar dikenal
dengan istilah lokal Kumandhange Pasar..................................... 178
Tabel 6.3: Takrif pemangku kepentingan pasar dengan jiwa handarbeni
sebagai dasar pijakan keberlanjutan kota tradisional Jawa ......... 181
Tabel 6.4: Matrik Perkembangan Komponen dalam Perkembangan Kota
Surakarta ......................................................................................... 200
Tabel 6.5: Kedudukan Komponen Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni dalam
Kontek Teori Formal Kebertahanan ............................................. 207
Tabel 6.6: Uji Komponen Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni ............................213
Bab 1
Pemahaman Pasar Tradisional

1.1 Pengertian Pasar Tradisional


Awal pertumbuhan pasar tradisional berupa tanah lapang tanpa bangunan
permanen (Graaf, 1989). Pasar tradisional khususnya yang berada di perkotaan
telah tumbuh di Indonesia sejak awal munculnya permukiman ataupun
kerajaan. Pada masa Kerajaan Majapahit abad 14 pasar telah ada dalam
lingkungan pusat kota yang letaknya berada pada persimpangan jalan
(Santoso, 2008:87-94). Salah satu catatan sejarah Adrisijanti (2000)
menunjukkan bahwa di Kota Banten telah memiliki beberapa pasar tradisional
pada tahun 1646 yaitu di Paseban, Pecinan, dan Karangantu.
Pengertian pasar tradisional ada beberapa pengertian berdasarkan pendapat
ahli, di antaranya yang diungkapkan oleh Wiryomartono (2000), bahwa pasar
sebagai kata benda dengan sinonim peken, kata kerjanya adalah mapeken yang
maksudnya berkumpul, tempat berkumpul untuk berjual-beli. Sebuah rekaman
sejarah Jawa menyebutkan bahwa, pada tahun 1830, perdagangan melalui
darat telah berkembang dengan baik. Saat itu telah ada jaringan pasar yang
luas dan pasar-pasar wilayah permanen yang besar berperan penting dalam
lintas perdagangan (Wiryomartono, 2000:58). Ditambahkan pula oleh Rutz
bahwa pasar tradisonal sebagai pusat kegiatan sosial ekonomi kerakyatan,
2 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

dengan demikian pola hubungan ekonomi yang terjadi di pasar tradisional


menghasilkan terjalinnya interaksi sosial yang akrab antara pedagang-pembeli,
pedagang-pedagang, dan pedagang-pemasok yang merupakan warisan sosial
representasi kebutuhan bersosialisasi antar individu. Seiring perkembangan
jaman pasar tradisional tumbuh diberbagai kota, pasar tradisional dibentuk
oleh aktivitas berjualan yang dikembangkan dalam ruang-ruang terbuka dan
berdekatan, lapangan dan jalan, serta situasinya tidak jauh dari permukiman.
Pasar tradisional biasanya terdapat di tempat strategis, mudah dicapai oleh
kedua pihak yang tidak jauh dari desa, antar desa dan tempat yang aman dari
gangguan umum (Rutz, 1987). Pada akhirnya pasar tradisional berada pada
bangunan kios, los dan tanah terbuka. Pada bagian utama terdapat kios pada
bangunan permanen, los berupa bangunan darurat atau semi permanen, dan
bagian ‘oprokan’ atau bagian terbuka yang digunakan pedagang yang bersifat
sementara dengan luasan yang lebih kecil daripada los (Kusmawati, 1996).
Pasar tradisional mempunyai karakter humanis sehingga mampu membangun
kedekatan dan hubungan “kekeluargaan” antara pedagang dengan pembeli.
Selaras dengan hal tersebut Rahadi (2012) menyatakan pula bahwa faktor
kualitas layanan dan identifikasi konsumen memainkan bagian penting untuk
mendorong konsumen berbelanja atau melakukan pembelian kembali di pasar
tradisional. Dengan hubungan yang ramah dan saling mengenal antara
pedagang dan pembeli, menjadi karakteristik yang khas bagi pasar tradisional
(Rahadi, 2012).
Sedangkan pengertian tentang pasar menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri
adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk melaksanakan transaksi,
sarana interaksi sosial budaya masyarakat, dan pengembangan ekonomi
masyarakat (Permendagri, 2007). Seiring dengan perjalanan waktu, pasar
diklasifikasikan atas dua bentuk, yaitu pasar tradisional dan pasar modern.
Pengertian pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh
pemerintah, swasta, koperasi atau swadaya masyarakat setempat dengan
tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda, atau nama lain sejenisnya, yang
dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil menengah, dengan skala usaha kecil dan
modal kecil, dengan proses jual beli melalui tawar menawar (Permendagri,
2007). Di sisi lain pengertian pasar adalah sebuah mekanisme yang dapat
mempertemukan pihak penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi atas
barang dan jasa; baik dalam bentuk produksi maupun penentuan harga. Syarat
utama terbentuknya pasar adalah adanya pertemuan antara pihak penjual dan
pembeli baik dalam satu tempat ataupun dalam tempat yang berbeda. Pasar
Bab 1 Pemahaman Pasar Tradisional 3

juga merupakan elemen ekonomi yang dapat mewujudkan kemaslahatan dan


kesejahteraan hidup manusia (Toni, 2014).
Dengan demikian pengertian pasar tradisional secara operasional sebagai dasar
pemahaman pasar tradisional sebagai kompnen struktur kota tradisional Jawa
adalah tempat berkumpul untuk berjual-beli sebagai pusat kegiatan sosial
ekonomi kerakyatan, dengan pola hubungan ekonomi yang menghasilkan
terjalinnya interaksi sosial yang akrab antara pedagang-pembeli, pedagang-
pedagang, dan pedagang-pemasok yang merupakan warisan sosial representasi
kebutuhan bersosialisasi antar individu, secara fisik dalam ruang yang saling
berdekatan serta situasinya tidak jauh dari permukiman. Secara makro berada
pada tempat strategis, mudah dicapai oleh semua pihak, dan mempunyai
karakter humanis sehingga mampu membangun kedekatan dan hubungan
“kekeluargaan” antara pedagang dengan pembeli.

1.2 Peran dan fungsi Pasar Tradisional


Dalam Struktur Kota Tradisional Jawa
Pasar modern dan pasar tradisional dalam suatu kota, memiliki peran yang
sama dalam kaitannya dengan aspek ekonomi, sebagai tempat transaksi jual-
beli, dan memiliki perbedaan terkait dengan pengelolaan dan kepemilikan
investasi. Pengelolaan pasar tradisional melibatkan berbagai pihak satuan kerja
di pemerintah daerah dengan status kepemilikan sewa kios atau los. Sementara
untuk pasar modern sebaliknya, pengelolaan dikuasai oleh investor, dan
kepemilikan ada beberapa ragam mulai dari milik privat maupun kerjasama
dengan pemerintah, dan merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli
dan ditandai dengan adanya transaksi jual beli secara tidak langsung. Pembeli
melayani kebutuhannya sendiri dengan mengambil di rak-rak yang sudah
ditata sebelumnya dengan harga tetap atau fix price (Malano, 2011:76-84).
Sedangkan efek dari penurunan pasar tradisional berimplikasi juga terhadap
penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD) meskipun Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) justru mengalami kenaikan akibat adanya pasar
modern, hal ini dimungkinkan hilangnya jenis dan sejumlah pungutan pajak
dan retribusi daerah yang rata-rata pasar tradisional menggunakan aset daerah
(Sitepu, 2011). Pasar modern dan pasar tradisional dalam aspek sosial dan
budaya memiliki fungsi dan peran yang berbeda, terlihat dari fakta empirik
4 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

yang ada dilapangan. Secara rinci belum dapat diperoleh teori atau hasil
penelitian yang mengungkapkan perbadaan tersebut secara rinci. Sehingga
bagaimana nilai sosial dan budaya yang ada di pasar tardisional dan pasar
modern belum dapat dipahami secara utuh dan komprehensif.
Pasar tradisional pada awalnya berupa tanah lapang tanpa bangunan atau
bukan bangunan permanen, dan merupakan tempat berkumpul untuk berjual-
beli (Graaf, 1989). Perkembangan perdagangan melalui darat pada tahun 1830,
mulai ada jaringan pasar yang luas dan pasar-pasar wilayah yang bersifat
permanen, dan berperan penting dalam lintas perdagangan (Wiryomartono,
2000). Pasar tumbuh dan berkembang sebagai simpul dari pertukaran barang
dan jasa secara regional yang kemudian membangkitkan berbagai aktivitas di
dalam kota. Pada saat orang melakukan jual dan beli bukan sekadar barang dan
jasa yang dipertukarkan, tetapi juga informasi dan pengetahuan (Ekomadyo,
2007). Hal tersebut sejalan dengan teori Geertz (1963) bahwa pasar memberi
akomodasi pada bazaar economy, Geertz mengasumsikan bahwa kata pasar
merupakan dialek lokal dari bazaaa’. Pasar identik dengan pasar tradisional
merupakan suatu pranata ekonomi dan sekaligus cara hidup, suatu gaya umum
dari kegiatan ekonomi yang mencakup berbagai aspek dari suatu masyarakat,
hingga aspek kehidupan sosial budaya secara lengkap. Berbagai produk atau
barang dagangan diperjualbelikan di pasar tradisional, pangan, sandang, dan
barang lain yang sebagian besar memiliki karakter mudah dipindah-pindahkan
(Geertz, 1963). Dalam lingkup masyarakat Jawa, kekuatan aktivitas ekonomi
berpusat di pasar tradisional. Pasar tradisional bukan sekedar sebagai tempat
jual beli semata, namun lebih dari itu pasar terkait dengan konsepsi hidup dan
interaksi sosial budaya. Pasar tradisional tidak semata mewadahi kegiatan
ekonomi, akan tetapi pelaku juga dapat mencapai tujuan-tujuan lain
(Pamardhi, 1997). Pasar tradisional pada awalnya muncul dari peluang yang
dilihat oleh masyarakat petani untuk menawarkan surplus hasil panen mereka
untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan Mereka tumbuh dari
“…pertemuan periodik untuk menyalurkan surplus hasil pertanian”
(Natawidjaja, 2005). Hal ini merupakan respon terhadap kebutuhan dan
permintaan dari masyarakat yang berkembang, yang tidak bisa mereka cukupi
sendiri. Oleh karena itu, pasar menjadi titik fokus untuk aktivitas komersial.
Pasar tradisional memegang peran sosial dengan menyediakan kebutuhan
harian, barang-barang keperluan lain dan pelayanan pada daerah setempat.
Pasar tradisional memainkan peran ekonomi dengan secara langsung
mendukung aktivitas ekonomi masyarakat atau wilayah, dan menghasilkan
keuntungan finansial bagi yang terlibat dalam perdagangan maupun
Bab 1 Pemahaman Pasar Tradisional 5

pendapatan bagi daerah setempat. Di samping fungsi utamanya itu, pasar


tradisional juga mengemban misi sebagai fasilitas perbelanjaan bagi wilayah
pelayanan, serta berperan sebagai wahana kegiatan sosial dan rekreasi
(Reardon, 2003).
Fungsi pasar tradisional sebagai penekan dan pengaturan para pelaku yang
terlibat sekaligus sebagai solusi yang memberikan dan menyediakan berbagai
fasilitas (Abdullah, 2006) Tujuan utama para pedagang ke pasar, adalah
berdagang untuk berdagang, sehingga pedagang kadangkala dipandang berada
di luar tata etika karena ‘terlalu’ berorientasi mendapatkan untung sebanyak-
banyaknya hingga terkesan ‘licik’ (Geertz, 1963). Fungsi pasar tradisional
tidak hanya menjadi distribusi, organisir produk, penetapan nilai, dan
pembentuk harga, tetapi juga menjadi pusat pertemuan, pusat pertukaran
informasi, aktivitas kesenian rakyat, bahkan menjadi paket wisata yang
ditawarkan. Dengan demikian, pasar tradisional merupakan aset ekonomi
daerah sekaligus perekat hubungan sosial dalam masyarakat. Ditegaskan pula
bahwa pasar tradisional bukan sekedar sebagai tempat jual beli semata, tetapi
lebih dari itu pasar terkait dengan konsepsi hidup dan interaksi sosial budaya.
Pasar tradisional tidak semata mewadahi kegiatan ekonomi, akan tetapi pasar
tradisional dapat menjadi wadah interaksi sosial budaya, dan sekaligus sarana
rekreasi (Pamardhi, 1997). Terkait dengan fungsi pasar secara umum bahwa
pasar berfungsi sebagai distribusi, organisir produk, penetapan nilai, dan
pembentuk harga. Dalam menjalankan fungsi distribusi, pasar merupakan
media untuk menyalurkan atau memperlancarkan suatu barang atau jasa dari
produsen kepada konsumen, dan mendekatkan jarak antara produsen dengan
konsumen dalam melaksanakan transaksi. Fungsi pasar sebagai organisir
produksi adalah fungsi pasar terkait dengan cara produsen untuk menghasilkan
barang dan memproduksi barang untuk menyesuaikan dengan harga yang ada
di pasaran guna efisiensi. Adapun fungsi pasar sebagai penentu nilai adalah
fungsi pasar yang berkaitan dengan apa yang harus dihasilkan oleh suatu
perekonomian sehingga produsen cenderung menghasilkan barang-barang
yang lebih diinginkan masyarakat dibanding dengan yang tidak diinginkan
sehingga pergerakan kekuatan permintaan dan penawaran dapat menentukan
tingkat harga di pasar. Sedangkan fungsi pasar sebagai pembentuk harga
dengan maksud bahwa harga yang telah menjadi kesepakatan adalah hasil
perhitungan penjual dan pembeli (Deprizal, 2013). Sebagian besar pasar
tradisional Jawa mencerminkan pola kehidupan agraris masyarakatnya.
Dengan demikian tidak lepas dari karakter matapencaharian masyarakat yang
ada di sekitarnya (Sunoko, 2002). Sisi lain dari pasar tradisional adalah
6 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

mencerminkan kehidupan masyarakat. Hal itu ditandai dengan dominasi sosial


ekonomi masyarakat sebagai lingkungan terbentuknya pasar (Hayami, 1987).
Pasar tradisional di negara-negara Asia berlokasi di pedesaan dan area urban
(Bromley, 1987). Bahkan dapat diketahui pula bahwa eksistensi pasar
tradisional, terletak pada modal sosial yang terdiri dari norma, kepercayaan,
dan tawar menawar yang dapat memperkuat jaringan loyal dari pengunjung
pasar untuk tetap bertahan berbelanja di pasar tradisional (Andriani & Ali,
2013)

1.3 Pasar Tradisional Dalam Sistem


Ekonomi Kota
Pasar tradisional sebagai sistem organisasi yang saling terkait dan tergantung
antar bagian hingga membentuk suatu kesatuan yang komplek dan saling
mendukung antar komponen. Sedangkan komponen yang terdapat pada sistem
pasar adalah rotasi, produksi, distribusi, transportasi dan transaksi. Dengan
pemahaman bahwa 1) Komponen rotasi terkait dengan spesifikasi hasil
produksi yang pada akhirnya menentukan perputaran atau siklus hari pasaran,
di Jawa mengenal adanya sistem mancapat dan mancalima, yaitu pembagian
peran satu desa dikeliling oleh 4 desa lain dengan posisi di 4 penjuru mata
angin. Dengan demikian pembagian rotasi waktu terbagi Legi, Pahing, Pon,
Wage dan Kliwon. Satu rotasi yang lamanya 5 hari disebut dengan sepasar dan
peran masing-masing pasar dikendalikan dengan rotasi hari pasaran; 2)
Komponen produksi sangat terkait dengan jalur dan kemudahan distribusi dan
transportasi; sedangkan 3) Komponen transportasi tidak terlepas dari lokasi
pasar yang mudah dijangkau oleh pedagang maupun pembeli; dan 4)
Komponen transaksi dipengaruhi penempatan atau pemilihan lokasi. Lokasi
yang strategis akan banyak pedagang dan pembeli sehingga meningkatkan
transaksi, dan banyaknya transaksi mengakibatkan jumlah produksi naik
(Nastiti, 1995).
Para pedagang pasar tradisional menghadapi beberapa kendala, yaitu
pengiriman barang, pelayanan dan pembayaran dengan produsen maupun
konsumen. Selain itu terdapat pula kendala waktu dan cuaca. Selama ini para
pedagang mengatasi kendala tersebut dengan cara menjalin relasi dengan
tengkulak, konsumen (pembeli), antar pedagang baik produsen maupun
Bab 1 Pemahaman Pasar Tradisional 7

distributor, bahkan petugas pasar maupun ‘tukang pikul’ atau ‘tukang


gendong’. Tak hanya upaya tersebut, pedagangan juga tetap menjaga untuk
selalu bekerja keras dan juga membiasakan diri dengan berperilaku hemat,
serta peningkatan religi di antara komunitas pedagang (Sutami, 2012). Hasil
penelitian yang telah dilakukan di beberapa kota di Jawa, ciri khas yang paling
menonjol pada suatu pasar adalah jenis barang yang diperjualbelikan meliputi
bahan pangan, sandang dan barang besi kecil-kecil dan sebagainya, berupa
barang yang tidak besar dan mudah diangkut dan disimpan, yang
persediaannya mudah ditambah dan dikurangi dengan lambat laun dan sedikit
demi sedikit. Di samping itu pula pasar tradisional bercirikan sebagai suatu
sistem yang terselip (interstitial) tradisional di dalam masyarakat Jawa, adanya
pembagian kerja secara berimbang yang secara langsung merupakan landasan
dari organisasi struktur sosial karena tidak adanya gilda/firma/persekutuan
dagang yang sudah mapan baik kalangan pedagang maupun tukang/kuli,
pemisahan yang sangat tajam antara ikatan sosial ekonomi dan non ekonomi.
Komoditas produk atau barang dagangan yang diperjualbelikan di pasar
tradisional meliputi pangan, sandang, dan barang lain yang sebagian besar
memiliki karakter mudah dipindah-pindahkan. Pasar tradisional sebagai arus
barang dan jasa menurut pola tertentu, rangkaian mekanisme ekonomi untuk
memelihara dan mengatur arus barang dan jasa, dan sistem sosial dan
kebudayaan di mana mekanisme tersebut tertanam (Geertz, 1963).
Sistem jual-beli di pasar tradisional, dikenal ada tiga pola, yakni pertama
pertukaran imbal-beli adalah bila interaksi yang terjadi antar individu atau
kelompok dari jenjang yang sepadan; kedua, redistribusi terjadi bila beberapa
agen atau agensi sentral menangani jual-beli; ketiga jual-beli pasar terjadi bila
para partisipan menemukan lingkungan mereka sendiri untuk melakukan
interaksi dalam sistem keseluruhan (Munoz, 2001). Bagi konsumen atau
pelanggan pasar tradisional, persoalan utama yang dihadapi adalah mengatur
penggunaan barang-barang kebutuhan agar dapat memberikan kepuasan yang
paling besar dengan biaya yang kecil, mencari alternatif dan menggunakan
skala prioritas terhadap barang dan jasa yang dibutuhkan dan ditentukan oleh
faktor-faktor subjektif dan objektif. Subjektif karena konsumen memiliki hak
untuk memilih setiap barang kebutuhan sesuai selera dan pertimbangannya
sendiri tanpa dipaksa orang lain untuk menggunakan produknya, sedangkan
obyektif bahwa barang yang memiliki kualitas baguslah yang layak menjadi
pilihan utama (Djakfar, 2009).
8 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

1.4 Lingkup Pelayanan Pasar Tradisional


Jenis daerah perkotaan beragam seiring dengan beragamnya berbagai kegiatan
yang dilakukan pada wilayah perkotaan seperti perdagangan, transportasi,
pengadaan barang dan jasa, atau gabungan dari semua aktivitas tersebut
(Gallion & Eisner, 1983). Sedangkan sistem pasar biasanya memuncak pada
satu pusat permukiman utama atau sejumlah pusat lainnya, dan berujung pada
pasar-pasar. Sebuah pasar adalah suatu area tertentu dengan atau tanpa
bangunan yang digunakan sebagai tempat aktivitas jual-beli. Para penjual
barang komoditi dan para pembeli bertemu pada tempat-tempat yang telah
ditentukan, pada waktu yang ditetapkan dengan interval tertentu (Jano, 2006).
Pada saat orang melakukan jual-beli bukan sekadar barang dan jasa yang
dipertukarkan, tetapi juga informasi dan pengetahuan. Pasar tradisional telah
menjadi ruang publik perkotaan, tempat di mana masyarakat kota berkumpul
dan membangun relasi sosial di antara mereka (Ekomadyo, 2007). Pembagian
kerja di pasar tradisional ada beberapa bagian yaitu pedagang yang mengurus
pengangkutan barang dari satu pasar ke pasar lainnya, pedagang yang
mengurus penjualan barang ke pedesaan, pedagang yang mengurus
penimbangan barang atau penjualan borongan dan ada pula bagian pedagang
lain yang berjualan tekstil, keranjang, ternak atau jagung (Geertz, 1963).
Sedangkan faktor kualitas layanan, peningkatan jumlah pedagang dan
identifikasi konsumen memainkan bagian penting untuk mendorong
pembangunan dan peningkatan aktivitas perbelanjaan di pasar tradisional
(Rahadi, 2012). Di sisi lain upaya pedagang untuk menjaga keberlanjutan
pasar tradisional adalah mempertahankan modal sosial yang tercipta oleh
adanya tradisi dalam kehidupan berusaha di lingkungan pasar tradisional yang
menjadi acuan para pedagang dalam berjualan sehari-hari dengan memelihara
nilai dan norma kejujuran, saling mempercayai, kerjasama pedagang kepada
konsumen maupun kerjasama di antara sesama pedagang di pasar tradisional
(Leksono, 2009:329-347).
Perkembangan pasar tradisional menjangkau lingkup yang lebih luas sebagai
simpul dari pertukaran barang dan jasa secara regional yang kemudian tumbuh
dan berkembang membangkitkan berbagai aktivitas di dalam kota (Sirait,
2006). Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Karnajaya yang menyatakan
bahwa pemindahan lokasi pasar tradisional mampu merubah tata guna lahan,
pola jalan, pergerakan dan pola atau tipe bangunan, pemerataan jalur sirkulasi,
dan pemanfaatan lahan (Karnajaya, 2002). Klasifikasi pasar tradisional
berdasarkan dorongan pembentukannya dapat dibedakan menjadi: 1) Lokasi
Bab 1 Pemahaman Pasar Tradisional 9

pasar yang tumbuh dengan sendirinya biasanya terletak ditempat yang strategis
dipersimpangan dan jalur lalu lintas barang serta kepadatan penduduk. Pasar
yang dibuat dengan sengaja biasanya dibangun dengan alasan kepentingan
penguasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. 2) Komoditi pasar
ditentukan oleh letak geografis, yang secara umum terbagi pasar daerah pantai
dan pasar daerah pedalaman. Hal ini dipengaruhi oleh sistem transportasi
barang. Pasar pantai banyak produk impor dan pasar pedalaman banyak
produk lokal sesuai karakter hasil bumi dan laut, karena sistem transportasi
masih mendominasi (transportasi laut dan sungai). 3) Produksi yang dapat
diperjual belikan dipasar dapat meliputi hasil produksi bidang pertanian,
peternakan, perikanan, industri, barang logam, dan barang bukan logam. 4)
Distribusi pada dasarnya proses penyaluran dari asal bahan baku produksi ke
tempat pemakainya. Hal ini dipengaruhi jenis komoditinya, tahan lama atau
tidak dan juga banyak atau sedikitnya barang. Sedangkan banyak sedikitnya
barang akan menentukan moda transportasi yang digunakan dalam
mendistribusikan barang, apakah lewat darat, sungai atau yang lain (Nastiti,
1995).

1.5 Perkembangan Pasar Tradisional


Berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri RI, pengelolaan pasar
tradisional adalah penataan pasar tradisional yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan dan pengendalian pasar tradisional (Permendagri, 2012).
Sedangkan pihak pengelola yang terkait dengan manajemen atau pengelolaan
pasar tradisional sangat banyak pihak yang terlibat. Bahkan tak jarang
pengambilan keputusan pun berbeda-beda. Sejumlah pihak yang terlibat dalam
pengeloaan pasar tradisional adalah Dinas Pasar atau kadangkala disebut
dengan Dinas Pengelola Pasar, Dinas Perparkiran, Dinas Perhubungan, Dinas
Pekerjaan Umum khususnya Bina Marga, Dinas Kebersihan, dan Polisi Lalu
Lintas. Semua pihak terlibat langsung dalam pengelolaan pasar tradisional
sudah seharusnya untuk berkoordinasi dan menjalankan peran secara
profesional dan penuh tanggung Jawab (Malano, 2011:59-67). Kebanyakan
pasar tradisional merupakan milik pemerintah daerah yang di bawah
wewenang dan tanggungjawab Dinas Pengelolaan Pasar. Hal yang berkaitan
dengan kelas atau jenis besar kecilnya pasar tradisional, terdapat beberapa
kelas pasar tradisional, umumnya dikelompokkan berdasarkan area (luas meter
10 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

persegi) dan jumlah pedagang. Metode klasifikasi berbeda pada setiap daerah,
namun biasanya pasar Kelas I atau Kelas A adalah pasar terbesar. Sudah
menjadi kebiasaan bagi Dinas Pasar untuk menentukan target penerimaan
tahunan untuk setiap pengelola pasar, yang lazimnya meningkat setiap tahun.
Kegagalan untuk memenuhi target umumnya berdampak pada pergantian
kepala pengelola pasar. Karena itu, tidaklah mengherankan bila didapati
banyak kepala pasar yang lebih mencurahkan perhatian pada tugas untuk
memenuhi target pemungutan retribusi daripada upaya pengelolaan pasar
dengan baik (Suryadarma, et al., 2007).
Sebagian kecil pedagang pasar tradisional menerapkan strategi pemasaran baru
yang mencakup penambahan variasi pada barang dagangan, memberikan
pelayanan yang prima, mempertahankan mutu barang, mengantarkan barang
langsung ke rumah konsumen, memberikan potongan harga, dan bahkan
mencocokkan dengan harga-harga supermarket. Bahkan APPSI (Asosiasi
Pedagang Pasar Seluruh Indonesia) telah melakukan strategi dua jurus untuk
meningkatkan kinerja bisnis pasar tradisional. Pertama, melobi pendekatan
zonasi bagi supermarket, di mana supermarket hanya dapat beroperasi di
daerah pinggir kota dan pada jarak tertentu dari pasar tradisional. Kedua,
mengkampanyekan kepada pemerintah daerah untuk memperbaiki cara-cara
pemerintah daerah menangani pasar tradisional, contohnya dengan
menyediakan kredit kepada para pedagang dan mensubsidi biaya penyewaan
kios (Suryadarma, et al., 2007).
Hasil penelitian Lembaga Penelitian SMERU, diperoleh beberapa faktor yang
dapat menjelaskan mengapa ada sebagian pasar tradisional yang terkena
dampak supermarket sementara sebagian lainnya tidak. Pertama adalah faktor
jarak antara pasar tradisional dan supermarket, di mana pasar tradisional yang
berada relatif dekat dengan supermarket, paling banyak terkena dampak.
Kedua, faktor yang terpenting adalah karakteristik konsumen pada pasar
tradisional. Pasar tradisional yang pelanggan utamanya dari kalangan kelas
menengah ke atas, merasakan dampak yang paling besar akibat kehadiran
supermarket (Suryadarma, et al., 2007). Akar masalah industri pasar modern di
Indonesia adalah ‘market power’ ritel modern yang sangat kuat dan tinggi,
sehingga terjadilah ketidakseimbangan dalam bersaing antara pasar modern
dengan pasar tradisional. Tersingkirnya pasar tradisional disebabkan oleh
beberapa faktor, pertama perawatan infrastruktur pasar tradisional rendah.
Model-model pengembangan kelembagaan pasar tradisional masih dilakukan
dengan pola tidak jelas, cenderung menggunakan pendekatan birokrasi
pemerintah. Pedagang dan pasar hanya dijadikan objek; dan kedua, belum
Bab 1 Pemahaman Pasar Tradisional 11

adanya payung hukum berupa peraturan perundang-undangan yang


menimbulkan sanksi tegas dan keras terhadap pelanggar regulasi industri ritel.
Ketiga, lemahnya kemauan politik pemerintah daerah untuk mengembangkan
pasar tradisional. (Toni, 2014).
12 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
Bab 2
Metode Kajian Pasar Tradisional
Sebagai Komponen Struktur Kota

Maksud dan tujuan penelitian menjadi dasar pijakan dalam menentukan


metode penelitian. Di samping itu mengingat karakteristik penelitian
Naturalistik Kualitatif dengan strategi Induktif, maka penelitian ini lebih
menekankan pada informasi dan pengalaman informan atau partisipan dalam
melakukan aktivitas yang terkait dengan kebertahanan pasar tradisional
sebagai komponen struktur kota tradisional Jawa. Di samping itu pula
penelitian ini berusaha memahami tidak hanya satu realita, tetapi beberapa
realita. Dengan demikian metode yang tepat untuk digunakan dalam penelitian
ini adalah Grounded Theory Methode, karena dengan metode ini dapat
menghasilkan Local Theory (diinterpretasikan dari Strauss and Corbin, 2013
dan Muhajir, 2011:190-219).
Grounded Theory Methode merupakan metode penelitian yang di dalamnya
peneliti ‘memproduksi’ teori umum dan abstrak dari suatu proses, aksi, atau
interaksi tertentu yang berasal dari pandangan informan atau partisipan.
Metode ini memiliki dua karakteristik utama 1) perbandingan yang konstan
antara data dan kategori-kategori yang muncul, 2) pengambilan contoh secara
teoritis (teoritical sampling) atas kelompok-kelompok yang berbeda untuk
14 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

memaksimalkan kesamaan dan perbedaan informasi (Creswell, 2007:63-67).


Grounded Theory Methode dapat dikatakan pula sebagai proses bertahap yang
cukup rumit, mulai dari pengumpulan data, konsep atau persepsi teoritis inti
diidentifikasikan, mengembangkan kaitan antar konsep inti dengan data,
selanjutnya verifikasi dan ikhtisar.

2.1 Penggalian Data dan Informasi


Dalam penelitian Naturalistik Kualitatif data bersifat deskriptif yang disajikan
dalam bentuk uraian kata-kata hasil interview dengan para informan, gambar
dokumen arsip peta dan foto Pasar Gede dan Kota Surakarta mulai dari awal
terbentuknya kota Surakarta hingga masa sekarang Tahun 2016, foto dan
video kondisi empirik Pasar Gede dan Kota Surakarta. Hal tersebut juga tidak
menutup kemungkinan adanya data yang bersifat dokumen sebagai yang
bersifat historis dan administratif. Langkah pengumpulan data meliputi
mengumpulkan informasi melalui observasi dan wawancara, baik yang
terstruktur maupun yang tidak terstruktur, dokumentasi, materi visual, serta
rancangan protokol untuk merekam dan mencatat informasi (Creswell,
2009:258-289). Untuk menentukan informan dan lokasi penelitian dapat
ditentukan dengan beberapa kriteria seperti dalam Tabel 2.1 :
Tabel 2.1: Kriteria Penentuan Partisipan dan Lokasi (Creswell, 2009)
No Kriteria Keterangan

1 Setting Pasar Gede sebagai pasar tradisional di kota


tradisional Jawa yang telah mengalami perubahan
atau Lokasi Penelitian orientasi dari orientasi sosial-budaya menjadi
orientasi kebutuhan pasar, meliputi kawasan
Pasar Gede, Kota Surakarta dan wilayah
hinterland yang terkait.

2 Aktor Pihak yang terkait dengan kebertahanan pasar


tradisional di kota tradisional Jawa yang telah
siapa yang akan diwawancara dan
mengalami perubahan orientasi dari orientasi
observasi sosial-budaya menjadi orientasi kebutuhan pasar,
meliputi pedagang, pembeli, tukang angkat
junjung, tukang parkir, pemerhati, akademisi,
budayawan, Dinas Pengelolaan Pasar Pemerintah
Bab 2 Metode Kajian Pasar Tradisional Sebagai Komponen Struktur Kota 15

Kota Surakarta.

3 Peristiwa Peristiwa yang menyangkut kebertahanan pasar


tradisional (jual-beli, sosial, budaya, rekreasi,
atau kejadian yang dirasakan para aktuasisasi diri, dan hal lain yang terkait),
aktor yang akan dijadikan topik perubahan orientasi orientasi sosial-budaya
wawancara dan observasi
menjadi orientasi kebutuhan pasar

4 Proses Proses yang dialami atau dilalui dalam menjaga


kebertahanan pasar tradisional dan perubahan
berupa sifat peristiwa yang dirasakan orientasi sosial-budaya menjadi orientasi
oleh aktor dalam setting penelitian kebutuhan pasar yang menyangkut proses
(waktu) pelaku (Man), aktivitas (Activity), dan
tempat (Place), meliputi proses pemasukan
barang dari berbagai daerah, pengiriman barang
dagangan ke berbagai daerah, pergantian masing-
masing aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya,
perpaduan budaya belanja Jawa dan China,
adaptasi terhadap perubahan kebijakan dan
gejolak ekonomi, dan lain-lainnya

Sedangkan teknik yang digunakan dalam penggalian data seperti dalam


Gambar 2.1 sebagai berikut:

Gambar 2.1: Teknik Pengumpulan Data (Analisis Peneliti, 2016)


16 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Sedangkan untuk mengumpulkan data, informan penelitian ini akan


difokuskan pada pihak yang terkait dengan komunitas atau pengguna pasar,
masyarakat pemerhati pasar tradisional, dan pemangku kebijakan Pemerintah
Kota Surakarta yang terkait dengan Pasar Gede dan Kota Surakarta sebagai
kota tradisional Jawa.
Pemilihan tersebut secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut:
a Komunitas atau pengguna pasar meliputi pedagang, pengunjung, kuli
angkat junjung, tukang parkir, petugas kebersihan, petugas retribusi,
dengan pertimbangan karena pengguna pasar merupakan pihak yang
erat kaitannya dengan segala aktivitas yang ada di Pasar Gede.
b b. Masyarakat pemerhati pasar tradisional meliputi akademisi,
budayawan, praktisi perencana, lembaga swadaya masyarakat, dan
masyarakat di sekitar Kota Surakarta yang konsen terhadap pasar
tradisional, dengan pertimbangan pihak tersebut sebagai bagian yang
turut melestarikan keberlangsungan Pasar Gede.
c Pemangku kebijakan Pemerintah Kota Surakarta meliputi Dinas
Pengelolaan Pasar, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perhubungan
Komunikasi dan Informasi, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, dan
Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA), dengan
pertimbangan bahwa pengelolaan Pasar Gede melibatkan berbagai
pihak yang terkait.

Meskipun demikian, hal tersebut tidak menutup kemungkinan adanya


perluasan keterlibatan nara sumber lain seperti peneliti, budayawan dan tokoh
masyarakat terkait dengan data historis dan proses perkembangan aktivitas
Pasar Gede sebagai komponen struktur kota tradisional Jawa. Hal tersebut
dikarenakan penentuan subjek bukan untuk generalisasi, tetapi sebagai tempat
untuk menggali informasi yang diperlukan, yang bergulir dari informan awal
menuju informan kunci. (Arikunto, 2010:23).
Dalam pelaksanaan Grounded Theory Methode untuk menggali informasi dari
fenomena dikenal adanya social situation atau situasi sosial yang terdiri atas
tiga elemen yaitu: tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activity) yang
berinteraksi secara sinergis (Spradley, 1980; Sugiyono, 2013: 215; dan
Setioko, 2010). Berdasarkan karakteristik fenomena yang ada di kawasan
Pasar Gede, maka perlu ditambahkan komponen waktu/proses (time/process)
Bab 2 Metode Kajian Pasar Tradisional Sebagai Komponen Struktur Kota 17

dengan pertimbangan bahwa waktu/proses menjadi bagian dalam pengamatan


dikarenakan tempat, aktivitas, dan pelaku dalam perputaran waktu memiliki
karakteristik yang berbeda. Perputaran waktu mulai dari harian, mingguan,
bulanan dan tahunan. Keempat elemen merupakan bagian yang saling terkait
dan berinteraksi secara sinergis.
Secara bertahap langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a Langkah awal penelitian untuk mendapatkan data teoritik terkait
dengan fokus penelitian adalah melakukan grand tour pada seluruh
wilayah studi yaitu Kawasan Pasar Gede, wilayah Kota Surakarta dan
sekitarnya. Grand Tour lingkup kawasan Pasar Gede dilakukan
dengan pengamatan aktivitas jual-beli, aktivitas pasokan barang
dagangan, aktivitas sosial, aktivitas budaya dan aktivitas rekreasi
yang berada di sekitar kawasan Pasar Gede. Sedangkan untuk lingkup
Kota Surakarta dan sekitarnya dilakukan dengan pengamatan
komponen struktur kota Jawa (keraton, masjid dan pasar), jejaring
antar komponen, hirarki masing-masing komponen, persebaran pasar
tradisional, karakteristik komoditas pasar tradisional, dan jangkauan
layanan pasar tradisional. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan
secara menyeluruh sesuai dengan permasalahan penelitian maka
selanjutnya dapat dilakukan pengamatan lebih mendalam tentang
kebertahanan pasar tradisional sebagai komponen struktur kota
tradisional Jawa dan menyimpan fenomena diskrit sebagai data
teoritik. Hal tersebut dilakukan melalui pengamatan mendalam atau
mini tour hingga mendapatkan unit amatan terkait dengan
kebertahanan pasar tradisional sebagai komponen struktur kota dalam
suatu kondisi kota yang mengalami perubahan orientasi dari orientasi
sosial-budaya menjadi orientasi kebutuhan pasar.
b Pengamatan mendalam atau mini tour dilakukan dalam beberapa unit
amatan berdasarkan ciri spesifik yang menonjol yang terkait dengan
permasalahan penelitian, yaitu:
1) Ranah kebijakan meliputi pasar sebagai bagian area kekuasaan
raja dalam ruang kota tradisional Jawa dan posisi pasar dalam
sumbu utara selatan;
2) Ranah keruangan meliputi pasar sebagai bagian mancapat dan
pasar menempati wilayah inti kerajaan Negaragung;
18 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

3) Ranah aktivitas meliputi posisi pasar sebagai komponen ucap


syukur dan ruang publik perkotaan dan membangun relasi sosial;
4) Ranah pelaku ekonomi pasar meliputi pasar sebagai pusat
ekonomi dan pusat pelayanan (ruang sosial dan budaya);
5) Ranah peristiwa adanya proses meliputi pasar sebagai simpul
perdagangan dan pasar sebagai pusat sosial dan kapitalis.

Hasil pengamatan dari unit amatan akan menghasilkan unit-unit informasi,


sedangkan untuk memahaminya perlu adanya kepekaan teoritik dan dilakukan
secara mengkonsep.
c Selama pelaksanaan mini tour, rangkaian waktu secara serial
dikelompokkan dalam satu kesatuan proses, dengan berpijak pada
komponen pelaku, aktivitas dan tempat. Terkait dengan fenomena
diskrit yang ditemukan kawasan Pasar Gede sebagai komponen
struktur kota tradisional Jawa dalam suatu kondisi kota yang
mengalami perubahan orientasi dari orientasi sosial-budaya menjadi
orientasi kebutuhan pasar, kesatuan proses dapat dirangkai sesuai
spesifikasi peristiwa masing-masing unit amatan.
d Berdasarkan hasil tersebut akan diperoleh eksplorasi perubahan
proses tiap-tiap komponen pelaku, aktivitas dan tempat, dan
selanjutkan dapat memberikan gambaran tentang keterkaitan yang
terjadi pada unit amatan. Berbagai ragam hasil pengamatan pada unit
amatan akan menghasilkan suatu fenomena diskrit yang merupakan
dasar dalam perumusan analisis pengkodean mulai dari pengkodean
berbuka, pengkodean berporos dan pengkodean berpilih. Hasil telaah
terhadap unit amatan yang beragam maka dapat dilakukan klasifikasi
berdasarkan kata kunci yang memiliki makna yang sama dalam suatu
fenomena diskrit, sehingga pada penelitian ini dapat dihasilkan 29
fenomena diskrit yang terkait dengan pasar tradisional sebagai
komponen struktur kota tradisional Jawa.
e Tahap selanjutnya adalah proses pengkodean berbuka dengan
menggunakan teknik perbandingan untuk masing-masing fenomena
dan secara lebih mendalam dilakukan dengan model paradigma
dalam hubungan yang menunjukkan kondisi kausal, fenomena,
konteks, kondisi pemengaruh, strategi tindakan/interaksi, dan
konsekuensi. Hasil konsekuensi masing-masing fenomena memiliki
Bab 2 Metode Kajian Pasar Tradisional Sebagai Komponen Struktur Kota 19

persamaan dan perbedaan yang selanjutnya dapat dihubungan


keterkaitannya dalam suatu tema, yaitu ada 15 tema.
f Hasil pengkodean berbuka yang berjumlah 15 tema selanjutkan
dilakukan proses pengkodean berporos dengan diawali dengan
menganalisis karakter masing-masing tema dalam 5 klasifikasi yaitu :
1) Tema-Tema Nilai Kesejarahan Pasar Tradisional
2) Tema-Tema Pasar Sebagai Ruang Budaya
3) Tema-Tema Pasar Sebagai Ruang Sosial
4) Tema-Tema Pasar Sebagai Ruang Ekonomi
5) Tema-Tema Pasar dalam Konstelasi Kota.

Langkah selanjutnya dari masing-masing klasifikasi dapat ditelusuri


keterkaitan antar tema dalam 5 ranah yaitu:
1) Ranah Sejarah Kota Surakarta
2) Ranah Pasar sebagai Fasilitas Budaya Kota
3) Ranah Pasar sebagai Fasilitas Sosial Kota
4) Ranah Pasar Sebagai Fasilitas Ekonomi Kota
5) Ranah Pasar Sebagai Komponen Struktur Kota.

Proses selanjutnya adalah mempertajam keterkaitan tema dalam proses


konseptualisasi tema untuk menghasilkan suatu konsep sebagai bentuk
rumusan konsepsi. Proses konseptualisasi dapat dikelompokkan dalam
Ranah Waktu/Proses, Ranah Pelaku (Man), Ranah Kegiatan (Activity),
Ranah Kebijakan (Policy), dan Ranah Tempat (Place), yang selanjutnya
menghasil ada 10 Konsepsi.
g Berdasarkan hasil konsepsi tersebut maka dapat dilakukan
penelusuran kategori dalam proses pengkodean berpilih melalui
tahapan penelusuran alur inti cerita (story line) dengan maksud untuk
mencapai keterpaduan antar kategori dalam bentuk pengkonsepan
cerita deskripsi tentang fenomena utama penelitian yang terkait
dengan pasar tradisional sebagai komponen struktur kota tradisional
Jawa. Rangkaian inti cerita diawali dengan terbentuknya Pasar Gede
di Kota Surakarta sebagai kota tradisional Jawa kerajaan Mataram
yang tertua dan masih eksis hingga sekarang. Hasil penelusuran alur
inti cerita yang selanjutnya ditelaah menurut sifat dan ukurannya
hingga diperoleh rumusan kategori yang menjadi dasar dalam
20 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

bangunan teori subtanstif tentang pasar tradisional sebagai komponen


struktur kota tradisional Jawa. Proses pengkodean berpilih
menghasilkan 5 kategori yang menjadi komponen bangunan teori
kebertahanan pasar tradisional. Secara diagramatis dapat dilihat pada
Gambar 2.2.

Gambar 2.2: Pengumpulan Data dalam Penelitian Induktif (Diinterpretasikan


dari Strauss and Corbin, 2013)
Dalam mengurai subtansi penelitian yang terkait dengan ranah keilmuan dan
rumpun teori, maka penelusuran data teoritik dilakukan dengan berpijak pada
aspek keterkaitan antara pelaku, aktivitas, dan tempat dalam suatu rangkaian
Bab 2 Metode Kajian Pasar Tradisional Sebagai Komponen Struktur Kota 21

waktu tertentu dalam tiap-tiap unit amatan. Unit amatan penelitian dapat
digambarkan dalam Gambar 2.3 sebagai berikut:

Gambar 2.3: Unit Amatan Penelitian (Analisis Peneliti, 2016)


Secara lebih detail teknik yang digunakan untuk mengkompilasi data dan
mereduksi data, dapat dilakukan secara sinergis dengan rujukan maksud dan
tujuan penelitian yaitu:
1. Membangun konsep yang dapat menjelaskan tentang pasar
tradisional sebagai komponen struktur kota tradisional Jawa,
kompilasi dan reduksi hasil penggalian data distrukturkan dalam
bentuk diagram dan tabulasi (dapat dilihat pada Gambar 2.4 dan
Tabel 2.2).
22 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Gambar 2.4: Data Pasar Tradisional sebagai Komponen Struktur Kota


Tradisional Jawa (Analisis Peneliti, 2016)
Tabel 2.2: Kompilasi data pasar tradisional sebagai komponen struktur kota
tradisional Jawa (Analisis Peneliti, 2016)
Satuan Peristiwa Unit amatan (1) Unit Amatan (2) Unit Amatan (n)

M A P M A P M A P

Alasan kebertahanan

Bentuk Kebertahanan

Realitas kebertahanan

Keterkaitan

Relasi Sosial

Relasi Budaya

Relasi ekonomi

Relasi Tempat

2. Membangun konsep yang dapat menjelaskan tentang perubahan


struktur kota dari orientasi sosial-budaya menjadi orientasi kebutuhan
pasar, kompilasi dan reduksi hasil penggalian data distrukturkan
dalam bentuk diagram dan tabulasi. (Dapat dilihat pada Gambar 2.5
dan Tabel 2.5).
Bab 2 Metode Kajian Pasar Tradisional Sebagai Komponen Struktur Kota 23

Gambar 2.5: Data perubahan struktur kota orientasi orientasi sosial-budaya -


orientasi kebutuhan pasar (Analisis Peneliti, 2016)
Tabel 2.3: Kompilasi data Perubahan Orientasi sosial-budaya menjadi
Orientasi kebutuhan pasar (Analisis Peneliti, 2016)
Satuan Peristiwa Unit amatan Unit Amatan Unit Amatan
(1) (2) (n)

M A P M A P M A P

Era Kerajaan

Era Pemerintahan RI

Era Pasar Bebas

Keterkaitan

Relasi Sosial

Relasi Budaya

Relasi ekonomi

Relasi Tempat

3. Membangun teori lokal yang dapat menjelaskan fenomena


kebertahanan pasar tradisional sebagai komponen struktur kota
tradisional Jawa dalam kondisi kota yang mengalami perubahan
orientasi dari orientasi sosial-budaya menjadi orientasi kebutuhan
pasar, kompilasi dan reduksi hasil penggalian data distrukturkan
dalam bentuk diagram dan tabulasi.
24 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Gambar 2.6: Data kebertahanan pasar tradisional sebagai komponen struktur


kota tradisional Jawa dalam orientasi dari orientasi sosial-budaya menjadi
orientasi kebutuhan pasar (Analisis Peneliti, 2016)

2.2 Teknik Analisis


Dalam penelitian Naturalistik Kualitatif Induktif, penyusunan analisis data
menggunakan prosedur analisis Grounded Theory yang terdiri dari 3 jenis
pengkodean utama: 1) Pengkodean terbuka (open coding), 2) pengkodean
berporos (axial coding), dan 3) pengkodean berpilih (selective coding),
(Corbin & Strauss, 2013). Spradley menggolongkan analisa data kualitatif
sebagai berikut : 1) Analisis Domain, dengan kategori melalui pertanyaan
besar dan mini-tour, 2) Analisis Taxonomi, observasi terfokus untuk
mendetailkan domain yang dipilih guna mengetahui struktur internalnya, 3)
Analisis Komponensial, mencari ciri spesifik dalam struktur internal dengan
cara mengkontraskan antar elemen, dan selanjutnya 4) Temuan Tema Kultural,
dengan mencari hubungan antar domain, bagaimana hubungan dengan
keseluruhan dan selanjutnya dinyatakan dalam tema. (Spradley, 1980). Proses
analisis yang dilakukan seperti dalam Gambar 2.7 meliputi: (Moleong, 2010)
• Memoing (membuat memo): proses mencatat pemikiran-pemikiran
dan gagasan-gagasan dari peneliti tentang kebertahanan pasar
tradisional sewaktu muncul dalam penelitian.
• Koding: proses untuk membuat kategorisasi data kualitatif dan juga
untuk menguraikan implikasi dan rincian kebertahanan pasar
tardisional berdasarkan kategori-kategorinya.
Bab 2 Metode Kajian Pasar Tradisional Sebagai Komponen Struktur Kota 25

• Diagram terpadu dan sesi: untuk menarik seluruh rincian menjadi


satu, untuk membantu agar data terarah menuju teori yang muncul
secara terkait.

Gambar 2.7: Proses Analisis Data (Diinterpretasikan dari Moleong, 2010 dan
Corbin & Strauss, 2013)
Penyusunan teori sebagai hasil penelitian dapat dilakukan suatu alur proses
seperti dalam Gambar 2.8 sebagai berikut:

Gambar 2.8: Alur Penyusunan Teori (Diinterpretasikan dari Moleong, 2010


dan Corbin & Strauss, 2013)
26 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

2.3 Strategi Validasi Hasil Penelitian


Selama pelaksanaan penelitian kualitatif perlu adanya validasi hasil penelitian,
dengan maksud untuk menjaga akurasi langkah maupun metode serta hasil
yang telah diperoleh. Strategi validasi hasil penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah (Creswell J. W., 2009):
a Trianggulasi sumber data yang terkait dengan kebertahanan pasar
tradisional sebagai komponen struktur kota tradisional Jawa dalam
kondisi kota yang mengalami perubahan orientasi dari orientasi
sosial-budaya menjadi orientasi kebutuhan pasar yang berbeda
dengan cara memeriksa bukti-bukti yang berasal dari sumber terkait.
Hal ini dimaksudkan untuk membangun tema secara koheren. Proses
trianggulasi dilakukan mulai dari perumusan fenomena, tema,
konsepsi, kategori dan bangunan teori. Hal tersebut dilakukan guna
menjaga validitas penelitian.
b Menggunakan member checking, dengan membawa atau membahas
hasil penelitian yang berupa bagian-bagian dari hasil penelitian yang
sudah dipoles seperti tema, analisis kasus, deskripsi, ataupun
grounded theory pada informan atau partisipan tentang kebertahanan
pasar tradisional sebagai komponen struktur kota tradisional Jawa
dalam kondisi kota yang mengalami perubahan orientasi dari
orientasi sosial-budaya menjadi orientasi kebutuhan pasar untuk
mengecek akurasi hasil. Hal ini dapat berupa wawancara tindak
lanjut.

Disamping strategi tersebut, tidak menutup kemungkinan dapat dilakukan


berbagai langkah startegi lain yang dapat menunjang akurasi dan validitas hasil
temuan. Salah satunya dengan uji keabsahan data yaitu: (Faisal, 1990; dan
Soendari, 2010)
a Uji kredibilitas untuk menggantikan uji validitas internal pada
penelitian kuantitatif. Uji kredibilitas data hasil temuan tentang
kebertahanan pasar tradisional sebagai komponen struktur kota
tradisional Jawa dalam kondisi kota yang mengalami perubahan
orientasi dari orientasi sosial-budaya menjadi orientasi kebutuhan
Bab 2 Metode Kajian Pasar Tradisional Sebagai Komponen Struktur Kota 27

pasar, dilakukan dengan perpanjangan waktu pengamatan,


peningkatan ketekunan dalam penelitian, trianggulasi dan
pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada pemberi data
(member checking).
b Uji transferabilitas menggantikan uji validitas eksternal atau
premeabilitas pada penelitian kuantitatif. Penelitian kualitatif uji
transferabilitas difokuskan pada laporan penelitian yang lebih rinci,
jelas, sistematis, dan dapat dipercaya agar dapat diterima oleh semua
pihak terkait dengan data kebertahanan pasar tradisional sebagai
komponen struktur kota tradisional Jawa dalam kondisi kota yang
mengalami perubahan orientasi dari orientasi sosial-budaya menjadi
orientasi kebutuhan pasar.
c Uji dependabilitas untuk menggantikan uji reabilitas pada penelitian
kuantitatif. Uji dependabilitas dilakukan dengan meng-audit
keseluruhan proses penelitian penggalian data kebertahanan pasar
tradisional sebagai komponen struktur kota tradisional Jawa dalam
kondisi kota yang mengalami perubahan orientasi dari orientasi
sosial-budaya menjadi orientasi kebutuhan pasar.
d Uji konfirmabilitas untuk menggantikan uji objektivitas pada
penelitian kuantitatif. Uji konfirmabilitas dilakukan dengan menguji
hasil penelitian kebertahanan pasar tradisional sebagai komponen
struktur kota tradisional Jawa dalam kondisi kota yang mengalami
perubahan orientasi dari orientasi sosial-budaya menjadi orientasi
kebutuhan pasar sesuai dengan standar penelitian, mulai awal hingga
akhir.
28 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
Bab 3
Pasar Tradisional Dalam
Rangkaian Sejarah Kota
Surakarta

3.1 Sejarah Kota Surakarta Sebagai Kota


Tradisional Jawa
Pandangan hidup masyarakat Jawa terhadap kehidupan di atas bumi dan di
bawah langit berpedoman pada bayangan dari kebenaran sejati yang
transenden. Representasi hunian manusia tidak lebih dari penyerahan diri pada
struktur kosmologis. Kota sebagai sistem tempat tinggal manusia secara sosial
telah memiliki sistem yang baku. Kota bukan suatu gambaran dunia yang
masih bisa dirubah dan berkembang bebas. Setiap penghuninya secara
kosmologik telah memiliki tempat masing-masing sesuai dengan asal-usulnya
atau keturunannya. Mungkin pandangan kosmologis ini cara efektif untuk
melanggengkan kekuasaaan para penguasa (Wiryomartono, 2000). Selain
aktor penguasa, terdapat suatu integritas yang kuat antara kondisi dan bentuk
30 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

kota dengan sistem sosial masyarakatnya. Keduanya dapat digambarkan


sebagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Keberadaan suatu kota sebagai wujud fisik tidak dapat dilepaskan dari kondisi
sosial budaya yang hidup pada warganya, sehingga perubahan yang terjadi
pada budaya masyarakat akan berpengaruh pada bentuk kotanya. Kota sering
disebut sebagai pusat kebudayaan sebab di dalam kehidupan sosial
masyarakatnya terdapat aturan-aturan. Di dalam tradisi Jawa aturan-aturan ini
disebut krama serta unggah-ungguh. Aturan ini umumnya diturunkan dari
ajaran-ajaran religius atau untuk membina hubungan sosial berbagai lapisan
masyarakat. Maksud utamanya untuk saling hormat menghormati tanpa
kehilangan warna kedudukan masing-masing dalam status sosial, priyayi,
tukang, buruh, tani, dan batur. Dalam beberapa kasus kepala negara atau
kepala pemerintahan terbiasa menyebut dirinya Gusti atau Wakil Sang
Penguasa kosmik raya di atas bumi (Aliyah, 2002).
Menurut Lombard (1995) bahwa masyarakat perkotaan di pelabuhan-
pelabuhan pesisir, yang ditandai kebebasan tertentu dan mendukung
terbentuknya konsep individu, sangat berbeda dengan masyarakat agraris
kerajaan-kerajaan pedalaman, sudah lama dan sampai sekarang, merupakan
masyarakat yang sangat kuat susunan hirarkinya. Dalam masyarakat tersebut
orang tidak tampil sebagai individu yang bebas, tetapi sebagai bagian dari
suatu jaringan sosial yang disusun secara vertikal, berpola pada hubungan raja-
kawula, pejabat tinggi-warga, yang dipertuan-vasal, patron-klien, senior-
yunior. Dalam hal ini nampak bahwa struktur masyarakat dilihat sebagai
berlapis-lapis dengan golongan yang dipisahkan dengan jelas satu dari yang
lain (Lombard, 1996).
Sistem sosial budaya masyarakat dan penguasa pada kerajaan-kerajaan
pedalaman, khususnya Keraton Kasunanan Hadiningrat sangat menentukan
pada bentuk struktur tata ruang kota. Tata ruang wilayah Kasunanan Surakarta
dibentuk berdasarkan pembagian golongan kebangsawanan dan kelompok
kegiatan masyarakat. Kewenangan itu ada pada penguasa pemerintah yaitu
Sinuwun atau Kanjeng Ratu dengan penataan berdasarkan pada tingkat
golongan dan strategi pemerintah serta petungan Jawa. Perkampungan atau
permukiman yang terbentuk dikenal dengan nama golongan, kelompok atau
adipati yang memerintah daerah tersebut. Dengan demikian masyarakat yang
tinggal pada suatu daerah tertentu mudah dikenali profesi atau tingkat
golongannya karena nama perkampungan identik dengan kelompok
masyarakat penghuninya. Demikian juga sebaliknya. Perkampungan atau
Bab 3 Pasar Tradisional Dalam Rangkaian Sejarah Kota Surakarta 31

permukiman dalam konsep urban Jawa merupakan suatu perluasan dari


Dhalem Keraton hingga kawasan Negara Agung. Dalam budaya Jawa, tempat
tinggal juga merujuk pada Kalenggahan dan Ngasta alias bekerja. Dalam
perwujudan fisiknya, yang disebut hunian atau pawisman dalam budaya Jawa
memiliki hirarki status yang dikaitkan dengan hubungan kepala keluarga yang
bersangkutan dengan pusat kekuasaan (Aliyah, 2002)
Kawasan pusat kota merupakan kawasan yang selalu tumbuh dan berkembang
secara dinamis serta merupakan pusat kegiatan perkotaan, karena lokasi yang
menguntungkan dan strategis. Berbagai fasilitas komersil tumbuh subur dan
berkembang secara vertikal dan horisontal, menimbulkan berbagai
transformasi yang dinamis. Dalam kawasan ini masih tersisa kawasan
kampung padat walau dalam ruang terbatas. Percepatan urbanisasi di kota
telah membawa dampak pada penurunan kualitas lingkungan kampung
tradisional yang sesungguhnya merupakan rangkaian sejarah pertumbuhan
kota itu sendiri. Permukiman tradisional di pusat kota sebenarnya merupakan
asset kawasan kota yang dapat memberikan ciri kota, tatanan lingkungan
binaan, ciri aktivitas sosial budaya masyarakatnya, dengan kata lain
permukiman tradisional merupakan manifestasi nilai-nilai sosial budaya
masyarakat (Rapoport, 1969).
Dalam sejarah berdirinya Kota Surakarta Hadiningrat, seperti yang tertulis
dalam (Rijckevorsel & Hadiwidjana, 1925), (Sajid, 1926) maupun
(Yosodipuro, 1922), perpindahan Kerajaan Mataram dari Kartasura ke
Surakarta dikarenakan hancurnya Kerajaan Kartasura akibat terjadinya Geger
Pecinan pada tahun 1740-1743. Ketika datang dari pengungsiannya di
Ponorogo, Sunan Paku Buwono II melihat keadaan Keraton Kartasura yang
telah hancur, maka timbul pemikiran untuk memindahkan Keraton Kartasura
ke suatu tempat yang baru. Dengan melalui pertimbangan fisik maupun mistik,
maka dipilihlah “Desa Sala” sebagai tempat yang terbaik untuk didirikannya
Keraton Mataram yang baru.
Pemilihan desa Sala dengan pertimbangan (Sajid, 1926):
• Desa Sala terletak didekat tempuran, maksudnya adalah tempat
bertemunya dua buah sungai, Sungai Pepe dan Sungai Bengawan
• Letak Desa Sala dekat dengan Bengawan, yaitu sungai terbesar di
pulau Jawa yang sejak jaman kuno mempunyai arti penting sebagai
penghubung Jawa Timur dan Jawa Tengah, dan dipakai untuk
kepentingan ekonomi, sosial, politik, dan militer.
32 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

• Sala telah menjadi desa, maka untuk mendirikan keraton tidak


diperlukan tenaga pembabat hutan yang didatangkan dari tempat lain.
• Arti dari kata Sala dikaitkan dengan kata Cala yang berarti ruangan
atau bangsal besar, sebagai bangunan suci.
• Dihubungkan dengan kepentingan Kompeni Belanda, bahwa Pusat
kota Mataram yang baru harus mudah dicapai dari Semarang.

Setelah menerima laporan mengenai tempat baru untuk Keraton tersebut, Raja
memerintahkan para Patih Pringgalaya dan Sindurejo segera mempersiapkan
segala sesuatu untuk pembangunan Keraton. Keraton dibangun dengan
mengikuti pola Keraton Kartasura yang ketika itu tinggal puing-puing. Ketika
bangunan Keraton selesai, dalam keadaan yang masih belum diberi pagar
tembok bata keliling, Sunan Paku Buwono II telah menyatakan berdirinya
Negara Surakarta Hadiningrat dengan pertanda waktu sengkalan: Sirnaning
Resi Rasa Tunggal, atau tahun Jawa 1670 dan Masehi 1745, sehingga sering
disebut Bedhol Nagari, sekitar 50.000 orang ikut dalam perpindahan itu.
Dalam proses perpindahan, ikut pula dipindahkan beberapa bangunan istana
lama di antaranya bangsal Pangrawit yang saat ini ditempatkan di Pagelaran.
Perjalanan perpindahan ini melewati jalan Kartasura-Sala, melalui jalan selatan
yang melintasi Kampung Laweyan dan Kampung Kemlayan (jalan
Secoyudan), (Sajid, 1926).
Keraton Surakarta yang pada tahun 1745 didirikan oleh Paku Buwono II untuk
dijadikan pengganti Keraton Kartasura yang hancur karena serangan musuh,
semula adalah pusat kerajaan Mataram, seperti dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Sesudah mendiami keratonnya yang baru selama tiga tahun (1749) Paku
Buwono II wafat, dan penggantinya sampai tahun 1755 memerintah kerajaan
Mataram. Kehadiran Residen (Belanda) yang menetap di Surakarta sejak tahun
1755 membawa pengaruh pada wajah kota istana yang bersifat tradisional.
Mulailah dibangun gedung-gedung baru bergaya Barat. Dengan berubahnya
status Surakarta Hadiningrat menjadi ibu kota Karesidenan Surakarta, maka
perubahan tersebut semakin besar. Penataan kota Surakarta dibawah
kekuasaan Sinuwun Sunan Paku Buwono yang memerintah pada masa-masa
tertentu sesuai dengan kejayaannya. Penataan kota diawali pada masa Paku
Buwono II ketika pertama perpindahan keraton Surakarta dari Kartasura,
bahwa kota Surakarata berpusat pada Keraton Kasunanan Surakarta, yang
sekaligus merupakan pusat pemerintahannya. Sedangkan fasilitas kota berupa
alun-alun, masjid, pasar, ditempatkan di sebelah utara Keraton. Surakarta
Bab 3 Pasar Tradisional Dalam Rangkaian Sejarah Kota Surakarta 33

sebagai kota kerajaan di Jawa mempunyai suatu kepercayaan tentang upaya


penciptaan dunia kosmologi yaitu mempercayai adanya keselarasan antara
jagad kecil (Mikrokosmos) dan jagad besar (Makrokosmos). Pengaruh ini
dapat terlihat dalam sistem pemerintahannya yakni raja sebagai penguasa
tunggal (penguasa jagad kecil), adapun pengaruh lainnya adalah dalam
pembagian wilayah kerajaan yang digambarkan sebagai lingkaran konsentris
persebaran kekuasaan. Kekuasaan pertama pada lingkaran yang paling dalam,
dan semakin keluar, semakin berkurang kekuasaannya. Adapun wilayah
keraton sendiri dalam konstelasi terdalam atau urutan pertama yaitu
Kutanegara (Diinterpretasikan dari Sajid, 1926 dan peta Kota Surakarta 2011).

Gambar 3.1: Peta Perkembangan Kota Surakarta (Aliyah, Setioko, &


Pradoto, 2016)
34 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

3.2 Komponen Inti Kota Tradisional


Jawa Di Kota Surakarta
Beberapa ciri yang menonjol dari Kota Surakarta sebagai kota tradisional Jawa
adalah sebagai berikut (Santoso, 2008):
a Kota Surakarta memiliki dua alun-alun yaitu alun-alun Utara dan
alun-alun selatan. Luasan kedua alun-alun tersebut sama besar kurang
lebih 400x300 meter persegi. Kedua alun-alun tersebut ditutupi
dengan pasir halus dan ditengahnya ditanami dua pohon beringin.
b Komplek keraton terletak di antara alun-alun Utara dan Selatan.
c Peralihan daerah perkotaan ke daerah perdesaan begitu menyatu.
Walaupun tidak ada informasi mengenai batas awal kota, setidaknya
perkembangan kota yang tidak teratur masih dapat diidentifikasi
rangkaian sejarahnya.
d Di Kota Surakarta terdapat jalan yang lebar dan memanjang dari arah
Timur ke Barat yang membelah Kota Surakarta menjadi bagian
Selatan dan Utara.
e Masjid, keraton, dan rumah para pangeran berada di bagian selatan
kota. Bagian ini cenderung terletak di arah Barat Daya (Hasta Brata),
dalam kosmografi Jawa adalah arah mata angin yang mempunyai
watak dari api yang memiliki makna kekuatan dan kesaktian yang
datang dari arah ini dapat melawan segala usaha yang menentang
hukum universum.
f Disebelah utara terdapat sarana-sarana profan seperti kepatihan dan
pasar tradisional.
g Adanya istana Mangkunegaran.

Perkembangan struktur sosial masyarakat terdapat tiga komponen pembentuk


struktur sosial yang memengaruhi perkembangan kota yaitu masyarakat
(Community), penguasa (State) dan pengusaha (Economy). Ketiga faktor
tersebut membentuk struktur sosial masyarakat yang berbeda pada masing-
masing periode perkembangan. Penguasa dengan kebijakan yang
dikeluarkannya, pengusaha dengan kekuatan uang dan modal yang dimiliki
dapat sangat berpengaruh terhadap pembentukan wajah kota. Sedangkan
Bab 3 Pasar Tradisional Dalam Rangkaian Sejarah Kota Surakarta 35

masyarakat atau komunitas, dengan kebudayaan dan kepercayaan yang


berlaku dapat pula memengaruhi pola penggunaan lahan dan rona tata ruang
kota. Lemahnya kemampuan dan kerjasama tiga komponen ini akan
melemahkan kapasitas sistem sosial kota dalam menghadapi perubahan
sehingga perkembangan kota tidak akan mampu mengakomodir kepentingan
serta karakteristik masyarakatnya (Zaida & Arifin, 2010).

3.3 Pasar Tradisional Di Kota Surakarta


Dalam sektor perdagangan Kota Surakarta tidak dapat dipandang sebatas
wilayah administratif, tetapi dalam lingkup wilayah Karesidenan Surakarta.
Perkembangan yang ada pada saat ini keberadaan pasar modern di berbagai
wilayah sekitar Kota Surakarta menjadi pilihan bagi masyarakat dalam
memenuhi kebutuhannya. Pasar modern yang berada di wilayah Karesidenan
Surakarta ada 29 pasar modern dengan beragam karakter. Data tersebut dapat
dilihat pada Tabel 3.1 dengan berbagai karakter mulai dari department store
hingga supermarket.
Tabel 3.1: Ragam Pasar Modern yang ada di Wilayah Karesidenan Surakarta
(Analisis Peneliti, 2016)

No Nama Pasar Modern di Jenis


Wilayah Karesidenan
Surakarta
1.
2. Solo Grand Mall (SGM) Departemen store dan Supermarket
3. Solo Square Departemen store dan Supermarket
4. Solo Paragon Lifestyle Mall Departemen store dan Supermarket
5. Hartono Mall Departemen store dan Supermarket
6. THE PARK Mall Departemen store dan Supermarket
7. Singosaren Plaza Departemen store
36 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

8. Palur Plaza Departemen store


9. Solo Center Point Pertokoan Komputer
10. Beteng Trade Center Pertokoan Tekstil
11. PGS (Pusat Grosir Solo) Pertokoan Pakaian
12. LotteMart Wholesale Tipes Hypermarket
13. Carrefour Solo Baru Hypermarket
14. Carrefour Pabelan Hypermarket
15. Goro Assalam Pabelan Hypermarket
16. Sami Luwes Supermarket
17. Luwes Gading Supermarket
18. Luwes Nusukan Supermarket
19. Luwes Sangkrah Supermarket
20. Luwes Mojosongo Supermarket
21. Asia Baru Supermarket
22. Giant Palur Plaza Supermarket
23. Mall Luwes Palur Supermarket
24. Mitra Palur Supermarket
25. Mall Luwes Kartosuro Supermarket
26. Mitra Kartosuro Supermarket
27. Laris Kartosuro Supermarket
28. Superindo PKU Supermarket
29. Superindo Adi Sucipto Supermarket
Bab 3 Pasar Tradisional Dalam Rangkaian Sejarah Kota Surakarta 37

Sedangkan pasar tradisional yang ada di lingkup wilayah Kota Surakarta


mencapai 43 pasar tradisional. Pasar tradisional di Kota Surakarta
diklasifikasikan dalam bentuk Kelas IA hingga IIIB dengan berdasarkan
jumlah pedagang dan luas pasar, hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2: Sebaran Pasar Tradisional di Kota Surakarta (Sinaga, 2012)

NO. Kecamatan Kelas Pasar Tradisional Jumlah


IA IB II A II B IIIA III B
1. Laweyan - 1 3 3 - - 7

2. Serengan 1 1 - - - - 2

3. Pasar 1 1 1 3 3 1 10
Kliwon
4. Jebres - 1 4 3 3 1 12

5. Banjarsari 1 2 1 3 2 3 12

Total 3 6 9 12 8 5 43
(7%) (14%) (21%) (28%) (18%) (12%) (100%)

Berdasarkan Tabel 3.2, kecamatan dengan sebaran pasar tradisional terbanyak


berada di Kecamatan Banjarsari dan Kecamatan Jebres. Karakteristik pasar
tradisional dari masing-masing kecamatan, dengan persebaran seperti dalam
Gambar 3.4, dapat dijelaskan sebagai berikut:
• Kecamatan Banjarsari dan Kecamatan Pasar Kliwon, sebaran pasar
tradisional merata dari pasar kelas I A sampai kelas III A sedangkan
Laweyan didominasi oleh pasar tradisional kelas menengah I B
sampai II B.
• Kecamatan Serengan merupakan kecamatan dengan jumlah pasar
tradisional terkecil, hanya 2 buah untuk kelas I A dan kelas I B (5%
dari total populasi pasar tradisional)
• Untuk Kecamatan Jebres dan Kecamatan Banjarsari memiliki
persentase yang sama dalam jumlah pasar tradisional (28% dari total
populasi pasar tradisional).
38 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Gambar 3.4: Peta Persebaran Pasar Tradisional di Kota Surakarta (Aliyah,


Setioko, & Pradoto, 2015)
Secara rinci di Kota Surakarta terdapat 44 Pasar Tradisional dengan kelas dan
alamat lokasi pasar seperti dalam Tabel 3.3 sebagai berikut:
Tabel 3.3: Kelas dan Alamat Lokasi Pasar Tradisional di Kota Surakarta
(Dinas Pengelolaan Pasar dan olahan peneliti 2015)

ALAMAT PASAR
KELA
No PASAR
S KECAMATA
JALAN KELURAHAN
N

1 LEGI IA Jl. Jend. S Parman Setabelan Banjarsari

2 KLEWER IA Jl. Dr. Rajiman Gajahan Pasar Kliwon

3 SINGOSAREN IA Jl. Gatot Subroto Kemlayan Serengan

4 GEDHE IA Jl. Jend Urip Sumoharjo Sudiroprajan Jebres


Bab 3 Pasar Tradisional Dalam Rangkaian Sejarah Kota Surakarta 39

5 NUSUKAN IA Jl. Kapten P Tendean Nusukan Banjarsari

6 NONGKO IA Jl. RM. Said Mangkubumen Banjarsari

7 HARJODAKSINO IB Jl. Kom. Yos Sudarso Danukusuman Serengan

8 JONGKE IB Jl. Dr. Rajiman Pajang Laweyan

9 NOTOHARJO IB Jl. Serang, Semanggi Semanggi Pasar Kliwon

TAMAN PASAR
10 BURUNG & IKAN IB Jl. Balekambang Lor Manahan Banjarsari
HIAS

11 GADING II A Jl. Veteran Baluwarti Pasar Kliwon

12 REJOSARI II A Jl. Sindutan Jebres Jebres

13 PUCANGSAWIT II A Jl. Ir. Juanda Pucangsawit Jebres

14 PURWOSARI II A Jl. Brigjen Slamet Riyadi Purwosari Laweyan

15 PANGGUNGREJO II A Jl. Panggungrejo Jebres Jebres

16 NGARSOPURO II A Jl. Ronggowarsito Timuran Banjarsari

17 SIDODADI II A Jl. Brigjen Slamet Riyadi Karangasem Laweyan

18 CINDERAMATA II A Barat Alun Alun Utara Kauman Pasar Kliwon

19 AYUBALAPAN II A Jl. Mongonsidi Kestalan Banjarsari

20 MOJOSONGO II A Jl. Brigjen. Katamso Mojosongo Jebres

21 LEDOKSARI II A Jl. Jend. Urip Sumoharjo Jebres Jebres

22 KADIPOLO II A Jl. Dr. Rajiman Panularan Laweyan

23 TANGGUL II B Jl. RE Martadinata Kampungsewu Jebres

24 KABANGAN II B Jl. Dr. Rajiman Sondakan Laweyan

25 PENUMPING II B Jl. Sutowijaya Penumping Laweyan


40 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

26 AYAM II B Jl. Serang, Semanggi Semanggi Pasar Kliwon

27 KLIWON II B Jl. Kapten Mulyadi Kedunglumbu Pasar Kliwon

28 JEBRES II B Jl.Prof. B. Z. Yohanes Jebres Jebres

29 KEMBANG II B Jl. Dr. Rajiman Sriwedari Laweyan

30 MEBEL II B Jl. A. Yani Gilingan Jebres

31 TRIWINDU II B Jl. Seram, Keprabon Keprabon Banjarsari

32 NGEMPLAK III A Jl. A. Yani Gilingan Jebres

33 BANGUNHARJO III A Jl. K. S. Tubun Manahan Banjarsari

34 SIDOMULYO III A Jl. S. Parman Gilingan Banjarsari

35 ELPABES III A Jl. E. Saleh Setabelan Banjarsari

36 SANGKRAH III A Barat Stasiun KA. Sangkrah Sangkrah Pasar Kliwon

37 TUNGGULSARI III A Jl. Untung Suropati Semanggi Pasar Kliwon

38 JURUG III A Jl. KH. Maskur Jebres Jebres

39 MOJOSONGO P III B Jl. Sibela, Mojosongo Mojosongo Jebres

40 NGUMBUL III B Jl. RM. said Manahan Banjarsari

Jl. Tentara Genie Pelajar


41 BAMBU III B NUsukan Banjarsari
Nusukan

42 BESI III B Jl. Serang, Semanggi Semanggi Pasar Kliwon

43 JOGLO III B Jl. Kol. Sugiyono, Kadipiro Kadipiro Banjarsari

44 NGUDI REJEKI I Jl. Ahmad Yani Gilingan Banjarsari

Sedangkan secara spasial Pemetaan persebaran pasar tradisional diawali


dengan identifikasi persebaran lokasi pasar tradisional yang tersebar di wilayah
Kota Surakarta. Identifikasi dilakukan pada 43 unit pasar tradisional yang
dilakukan dengan pendataan pada masing-masing unit, dengan
pengkelompokan wilayah kecamatan. Kota Surakarta memiliki 5 wilayah
Bab 3 Pasar Tradisional Dalam Rangkaian Sejarah Kota Surakarta 41

kecamatan, dengan hasil seperti dalam Gambar 3.5, Gambar 3.6, Gambar 3.7,
Gambar 3.8, dan Gambar 3.9.

Gambar 3.5: Peta kawasan Pasar Tradisional di Kecamatan Banjarsari


(Aliyah, Setioko, dan Pradoto 2017a)

Gambar 3.6: Peta kawasan Pasar Tradisional di Kecamatan Pasar Kliwon


(Aliyah, Setioko, dan Pradoto 2017a)
42 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Gambar 3.7: Peta kawasan Pasar Tradisional di Kecamatan Jebres (Aliyah,


Setioko, dan Pradoto 2017a)

Gambar 3.8: Peta kawasan Pasar Tradisional di Kecamatan Laweyan (Aliyah,


Setioko, dan Pradoto 2017a)
Bab 3 Pasar Tradisional Dalam Rangkaian Sejarah Kota Surakarta 43

Gambar 3.9: Peta kawasan Pasar Tradisional di Kecamatan Serengan


(Aliyah, Setioko, dan Pradoto 2017a)
Berdasarkan data persebaran pasar tradisional di berbagai kecamatan, maka
dapat diketahui struktur persebarannya seperti dalam gambar-gambar tersebut
di atas dan Tabel 3.3, serta Gambar 3.4, Kecamatan yang memiliki jumlah
pasar tradisional paling banyak adalah Kecamatan Banjarsari sebanyak 14 unit
atau 32,6 persen dari seluruh jumlah pasar yang ada di Kota Surakarta.
Wilayah kecamatan yang memiliki jumlah pasar tradisional yang paling sedikit
adalah Kecamatan Serengan yaitu 2 Unit atau 4,7 persen dari seluruh jumlah
pasar yang ada di Kota Surakarta. Hal ini menunjukkan bahwa persebaran
pasar tradisional tumbuh tidak berdasarkan jangkauan lingkup layanan ataupun
jumlah unit pasar seperti yang dikemukan dalam Central Place Theory yang
dikemukaan oleh Christaller, 1968, tetapi lebih berdasarkan pada pertumbuhan
alamiah kebutuhan masyarakat.

Gambar 3.10: Pemetaan Luasan Lahan Pasar Tradisional di Kota Surakarta


(Aliyah, Setioko, dan Pradoto 2017a)
44 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Dari hasil pemetaan dalam Gambar 3.10 tersebut di atas dapat dibuat
rekapitulasi hasil persebaran pasar tradisional di Kota Surakarta dalam Tabel
3.4 sebagai berikut :
Tabel 3.4: Struktur Sebaran Pasar Tradisional di Kota Surakarta (Aliyah,
Setioko, dan Pradoto 2017a)
NO. Kecamatan Jumlah Persentase
(%)
1. Laweyan 7 16.3
2. Serengan 2 4.7
3. Pasar Kliwon 8 18.6
4. Jebres 12 27.9
5. Banjarsari 14 32.6
Total 43 100

3.4 Kawasan Pasar Gede Di Kota


Surakarta
Periode sebelum perpindahan Kraton dari Kraton Kartosura ke Surakarta 17
Februari 1745, di Kawasan Lembah Sungai Semanggi, Bengawan Solo dan
Kali Pepe sudah muncul aktivitas perdagangan (Soedarmono, 2004 dalam
Mutiari, 2010). Pasar Gede merupakan salah satu rencana PB X dan Kolonial
Belanda untuk mengembangkan perekonomian di Surakarta (Mutiari, 2010).
Pada zaman kolonial Belanda, Pasar Gede mulanya merupakan sebuah pasar
kecil yang didirikan di area seluas 10.421 hektar, berlokasi di persimpangan
jalan dari kantor gubernur yang sekarang berubah fungsi menjadi Balaikota
Surakarta. Bangunan ini dirancang oleh seorang arsitek Belanda bernama
Thomas Karsten. Bangunan pasar selesai pembangunannya pada tahun 1930
dan diberi nama Pasar Gede Hardjanagara. Pasar ini diberi nama Pasar Gede
atau “pasar besar” karena terdiri dari atap yang besar. Seiring dengan
perkembangan masa, pasar ini menjadi pasar terbesar dan termegah di
Bab 3 Pasar Tradisional Dalam Rangkaian Sejarah Kota Surakarta 45

Surakarta. Pasar Gede terdiri dari dua bangunan yang terpisahkan jalan yang
sekarang disebut sebagai Jalan Oerip Sumoharjo. Masing-masing dari kedua
bangunan ini terdiri dari dua lantai, dapat dilihat pada Gambar 3.11. (Dinas
Tata Ruang Kota, 2009)
Arsitektur Pasar Gede merupakan perpaduan antara gaya Belanda dan gaya
Jawa. Pada tahun 1947, Pasar Gede mengalami kerusakan karena serangan
Belanda. Pemerintah Republik Indonesia yang kemudian mengambil alih
wilayah Surakarta dan Daerah Istimewa Surakarta kemudian merenovasi
kembali pada tahun 1949. Perbaikan atap selesai pada tahun 1981. Pemerintah
indonesia mengganti atap yang lama dengan atap dari kayu. Bangunan kedua
dari Pasar Gede, digunakan untuk kantor Dinas Pekerjaan Umum yang
sekarang digunakan sebagai pasar buah (Dinas Tata Ruang Kota, 2009)
Pasar Gede terletak di seberang Balaikota Surakarta pada jalan Jendral
Sudirman dan Jalan Oerip Sumoharjo di perkampungan warga keturunan
Tionghoa atau Pecinan yang bernama Balong dan terletak di Kelurahan
Sudiroprajan, seperti dalam Gambar 3.9. Para pedagang yang berjualan di
Pasar Gede banyak yang keturunan Tionghoa pula. Budayawan Jawa ternama
dari Surakarta Go Tik Swan seorang keturunan Tionghoa, ketika diangkat
menjadi bangsawan oleh mendiang Raja Kasunanan Surakarta Pakubuwana
XII, mendapat gelar K.R.T. (Kangjeng Raden Tumenggung) Hardjonagoro
karena kakeknya adalah kepala Pasar Gede Hardjonagoro. Di dekat Pasar
Gede, ada sebuah kelenteng, persis di sebelah selatan pasar. Kelenteng ini
bernama Vihara Avalokiteśvara Tien Kok Sie dan terletak pada Jalan
Ketandan, dapat dilihat pada Gambar 3.12 dan Gambar 3.13 (Dinas Tata
Ruang Kota, 2009)
Selain pernah terkena serangan Belanda pada tahun 1947, Pasar Gede tidak
luput pula terkena serangan amuk massa yang tidak bertanggung Jawab. Meski
luput serangan pada Peristiwa Mei 1998, pada bulan Oktober 1999 Pasar Gede
dibakar oleh amuk massa. Usaha renovasi dengan mempertahankan arsitektur
asli bisa berjalan dengan cepat dan dua tahun kemudian pada penghujung
tahun 2001, pasar yang diperbaiki bisa digunakan kembali. Bahkan pasar yang
baru tergolong canggih karena ikut pula memperhatikan keperluan para
penyandang cacat dengan dibangunnya prasarana khusus bagi pengguna kursi
roda.
46 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Gambar 3.11: Peta Kawasan Pasar Gede di Kota Surakarta (Aliyah, Setioko,
dan Pradoto 2016)
Bab 3 Pasar Tradisional Dalam Rangkaian Sejarah Kota Surakarta 47

Gambar 3.12: Kondisi Kawasan Pasar Gede pada siang hari (Aliyah, Setioko,
dan Pradoto, 2016)

Gambar 3.13: Kondisi Kawasan Pasar Gede pada malam hari menyambut
acara Imlek (Aliyah, Setioko, dan Pradoto, 2016)
1. Keragaman Aktivitas Di Kawasan Pasar Gede
Perubahan gaya hidup, seperti animo masyarakat yang ingin berbelanja dan
berekreasi ke mall, maka pasar tradisional mulai berusaha berbenah diri
48 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

dengan menyediakan fasilitas dan kelengkapan dagangan yang lebih bersih


dan nyaman. Di samping itu pula pemerintah mengusulkan Peraturan Daerah
(Perda) untuk mengganti istilah Pasar Tradisional dengan istilah Pasar Rakyat,
dengan maksud agar masyarakat tidak merasa bahwa pasar tradisional identik
dengan kekunoan. Dan yang mengkhawatirkan bahwa sekarang merebak
wacana, yang berkunjung ke pasar tradisional hanya sebagai pencitraan.
Berbagai aktivitas yang ada di lingkup pasar tradisional yang ada di Kota
Surakarta, dapat diketahui dari Tabel 3.5.
Tabel 3.5: Keragaman Aktivitas di Kawasan Pasar Gede (Aliyah, Setioko, dan
Pradoto, 2017b)
No Jenis Pelaku Sifat Kegiatan Ilustrasi Suasana
Aktivitas
1 Berjualan Pedagang Rutin Setiap
hari

2 Berbelanja Pembeli Rutin Setiap


hari
Bab 3 Pasar Tradisional Dalam Rangkaian Sejarah Kota Surakarta 49

3 Distribusi Kuli Pasar Rutin Setiap


barang hari

4 Parkir Petugas Rutin Setiap


Kendaraan Parkir hari

5 Pengelolaan Petugas Rutin Setiap


Pasar hari

6 Sosialisasi Paguyuban Rutin Sebulan


dan Pedagang sekali
Koordinasi Rutin Setahun
sekali
50 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

7 Festival Komunitas Rutin Setahun


Pasar Pedagang sekali

8 Grebeg Masyarakat, Rutin Setahun


Sudiro Komunitas sekali
Pedagang,
Pemerintah,
Lembaga
Swasta

Peringatan Paguyuban tentatif


hari Batik Pedagang
Nasional
Bab 3 Pasar Tradisional Dalam Rangkaian Sejarah Kota Surakarta 51

9 Informasi Pemerintah Rutin Setiap


Produk dan hari
Pedagang

10 Sirkulasi / Semua Rutin Setiap


Transportasi komponen hari

11 Bongkar Pedagang, Rutin setiap


muat pembeli dan hari
kuli pasar

12 Rekreasi Masyarakat Tentative


Umum
52 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

2. Penggunaan Ruang di Kawasan Pasar Gede


Posisi masing-masing aktivitas pada kawasan Pasar Gede memiliki tata letak
yang berbeda dari waktu ke waktu, dan dari peristiwa ke peristiwa, seperti
dalam Tabel 3.6.
Tabel 3.6: Penggunaan Ruang di Kawasan Pasar Gede (Aliyah, Setioko, dan
Pradoto 2017b)
No Siklus Pelaku Tempat
Aktivitas
1 Harian

24.00-06.00 Bongkar
muat truk
dan colt
pick-up dari
luar kota

06.00-10.00 Pembeli
grosiran
atau
pemilik
restoran

10.00-22.00 Pembeli
eceran
masyarakat
sekitar Solo
Raya
Bab 3 Pasar Tradisional Dalam Rangkaian Sejarah Kota Surakarta 53

19.00-24.00 Pengunjung
warung
makan dan
hik

2 Mingguan Kawasan
dan Pasar Tidak
Bulanan pernah sepi
selalu ramai
dengan
pengunjung

3 Tahunan

Festival Pedagang
Pasar dan
Kumandang masyarakat
dalam
pawai pasar
kumandang

Grebeg Pedagang
Sudiro dan
masyarakat
dalam
pawai pasar
kumandang

Hari Batik Pedagang


Nasional dan
masyarakat
dalam
peragaan
busana
batik
54 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Perayaan Syukuran
HUT Pasar HUT
Gede dengan
perayaan
Pesta Pesta setiap
Rakyat ada
pemimpin
daerah yang
didukung
pedagang
Bab 4
Fenomena Kawasan Pasar
Tradisional Sebagai Komponen
Struktur Kota Surakarta

4.1 Fenomena Kawasan Pasar Gede


Dalam Ranah Kesejarahan Kota
Pembahasan data teoritik terkait dengan fenomena kawasan Pasar Gede dalam
ranah kesejarahan kota diuraikan dalam sub-ranah yang terkait dengan filosofi
perencanan kawasan Pasar Gede, hirarki Pasar Gede terhadap pasar lain, Pasar
Gede sebagai bagian kosmis Kota Jawa.

4.1.1 Filosofi Perencanaan Kawasan Pasar Gede


Pasar tradisional adalah salah satu dari komponen kota tradisional Jawa, maka
hal yang terjadi di Kota Surakarta bahwa kota dibangun dengan dasar tiga
komponen kota yang utama yaitu keraton, masjid dan pasar. Ketiga komponen
kota merupakan perwujudan adanya konsep aturan, sujud manembah dan ucap
56 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

syukur yang menjadi nilai-nilai filosofi yang pegang oleh seorang raja dalam
memerintah sebuah negari atau negara berupa kerajaaan. Dalam hal ini pasar
merupakan wujud dari konsep ucap syukur.
Perencanaan dan penataan tata ruang kota tradisional Jawa diawali dari titik
utama di Sitihinggil hingga ditarik sumbu utara selatan hingga Tugu
Pamandengan. Secara teknis dalam penataan awalnya yang dibuat adalah titik
pusat Sitihinggil untuk pemerintahan suatu keraton, sebagai pusat simbul
kekuasaan dan kehidupan. Selanjutnya ditarik sumbu hingga Tugu
Pamandhengan atau Sinukarto atau Titik Ketauhidan. Dengan adanya sumbu
utara selatan, maka terbentuk wilayah kanan dan kiri keraton, meski wilayah
timur dan barat untuk area kota tidak ada perbedaan nilai yang signifikan,
tetapi secara kebetulan bahwa pusat Sujud Manembah berada di sebelah barat.
Arah orientasi bangunan ada ketentuan yaitu semua bangunan yang berada di
utara wilayah keraton, harus memiliki oerientasi bangunan ke arah selatan
sedangkan di selatan keraton menghadap utara.
Dalam lingkup kawasan, Pasar Gede diawali oleh masyarakat Tionghoa,
berdagang dan membentuk simpul tempat berjualan, juga ada bandar Beton.
Kemudian PB II menyatakan tempat tersebut sebagai pasar utama bagi
Keraton Surakarta Hadiningrat. Hingga kini budaya Jawa dan Tionghoa
bersinergi dalam bentuk tata berniaga, tata sosial dan akulturasi perayaan hari
besar Jawa dan Tionghoa.

Gambar 4.1: Situasi Kawasan Pasar Gede Pada Tahun 1900an (Oliver
Johannes, 2015)
Gambar 4.1 menunjukkan kawasan Pasar Gede pada awalnya (Tahun 1900)
merupakan pasar yang berlokasi di sepanjang jalan, sebelum diatur dengan
bentuk los-los sebagai fasilitas pasar. Pada tahun 1900 jalan belum penuh
dengan ruko Tionghoa, dan masih banyak pepohonan di kanan dan kiri jalan.
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 57

Pada Tahun 1900 di utara dan barat Pasar Gede terdapat pasar buah. Bangunan
berupa los memanjang dengan bentuk yang lebih modern dibandingkan
dengan bangunan Pasar Gede. Pada bagian luar ada beberapa pedagang yang
menggunakan payung dari klaras (daun pisang kering) untuk menaungi
dagangannya. Opas polisi bertindak sebagai petugas keamanan dilengkapi
dengan senjata ranting pohon untuk melerai jika terjadi keributan di pasar.
Pada umumnya penduduk Jawa adalah pembeli sejati yang kurang mengerti
perdagangan. Hal tersebut sering memicu keributan, karena penjual dan
pembeli saling menipu dan ditipu secara bergantian untuk mendapatkan
keuntungan sehingga sering terjadi perselisihan (Oliver Johannes RAAP,
2015).
Pada Tahun 1930 Pasar Gede direnovasi dan berada di sekitar komplek
Pecinan atau Kampung Ketandan sebagai pusat Pecinan, dapat dilihat pada
Gambar 4.2. Nama Ketandan berasal dari kata ke-tanda-an adalah tempat
bermukim tanda atau lurah pasar yang bertugas menarik pajak di pasar.

Gambar 4.2: Situasi Kawasan Pasar Gede Tahun 1930an (Oliver Johannes,
2015)
Pasar Gede terletak di kawasan Pecinan atau Kampung Tionghoa. Etnis China
sudah mulai masuk ke wilayah Kota Surakarta sejak abad ke-18 dan
ditempatkan di sebelah utara kawasan Belanda (Benteng, Lojiwetan) atau di
seberang utara Kali Pepe (anak sungai Bengawan Solo). Daerah tersebut
dikenal dengan nama Ketandan, dan sudah sejak tahun 1821 telah ada dalam
peta Kota Surakarta. Tampak bangunan berarsitektur Tionghoa, sebagai
tempat usaha sekaligus rumah, dan pemilikinya adalah bangsa Tionghoa, serta
karyawannya banyak yang pribumi. Beberapa toko menjual obat-obatan
Tiongkok, dan ada pabrik mebel (Oliver Johannes, 2015).
Akses menuju kawasan Pasar Gede pada masa Tahun 1900, terdapat dua
jembatan gantung yang membentang di atas Kali Pepe, yaitu sebelah Barat
58 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

berada di depan Pasar Gede dan sebelah timur berada di selatan perempatan
Ketandan yang sekarang dikenal dengan Kreteg Gantung, dapat dilihat pada
Gambar 4.3.

Gambar 4.3: Situasi Sekitar Kawasan Pasar Gede (Diinterpretasikan dari


Oliver Johannes, 2015)
Aktivitas berdagang tidak terganggu oleh aktivitas perkampungan, dan begitu
sebaliknya aktivitas kampung tidak terganggu oleh aktivitas pasar. Hal tersebut
dimungkinkan karena aktivitas pasar terbentuk karena adanya masyarakat
Tionghoa yang lebih dahulu ada dibanding dengan keraton yang selanjutnya
mengklaim tempat aktivitas jual-beli tersebut sebagai Pasar Gede.

4.1.2 Hirarki Pasar Gede Terhadap Pasar Lain


Seorang Raja dalam menjalankan pemerintahan di negari Keraton Kasunanan
Surakarta memiliki konsep mengayomi warganya. Dengan adanya prinsip
ngayomi atau memberi perlindungan dan pelayanan inilah maka pengaturan
pasar sebagai bentuk implementasi nilai ucap syukur, raja negari Keraton
Kasunanan Surakarta menempatkan pasar dengan hirarki dan jejaring
mengacu pada sedulur papat kalimo pancer dengan pusat orientasi keraton,
seperti dalam Gambar 4.4.
Hal inilah yang mendasari terbentuknya suatu hirarki dan jejaring dari masing-
masing komponen kota di pusat kota tradisional Jawa. Seperti yang diungkap
oleh Kanjeng Gusti Puger bahwa:
Seluruh wilayah kekuasaan raja telah ditata, untuk di kota raja, pasar
yang kecil-kecil dibuat seperti Pasar Pon, Pasar Kliwon, Pasar Legi,
sedangkan yang utama dan berbeda dengan lainnya adalah Pasar
Gede, baik dari sisi bangunan maupun peran pasar nya. Dari
bangunannya Pasar Gede menggunakan hall yang cukup besar
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 59

sehingga tampak seper hall, sedangkan perannya sebebagai pasar


yang tidak mengenal hari pasaran
Kehidupan suatu negari, konteks aktivitas ekonomi, sosial dan budaya di kota
pun menjadi sangat komplek dan menjadi bagian yang dicari, dituju, dan
sekaligus diharapkan oleh seluruh komponen masyarakat. Pasar Gede adalah
salah satu tempat yang menjadi wadah bagi aktivitas tersebut, sehingga pasar
dipandang sebagai tempat untuk mendapatkan, mencari, dan memperoleh
sesuatu bagi masyarakat. Hal tersebut diperkuat pula oleh adanya posisi dan
kekhasan Pasar Gede berada pada wilayah yang langsung berkaitan dengan
axis atau sumbu utama Kota Surakarta, dan berada pada depan dari posisi
Keraton Kasunanan Surakarta sehingga menjadi orientasi.

Gambar 4.4: Filosofi sedulur papat kalimo pancer merupakan konsep dasar
jejaring Pasar Gede terhadap pasar lainnya di Kota Surakarta (Analisis Peneliti
berdasarkan interview dan Serat Radya Laksana, 2016)
Di sisi lain Pasar Gede pada masa dahulu dianggap seperti mall, dan terkenal
pasare wong sugih-sugih. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi
bahwa berbelanja di Pasar Gede seperti berbelanja di supermarket,
dikarenakan kualitas barang yang bagus dan tidak kalah dengan kualitas
narang di supermarket. Secara prinsip bahwa sebagai penguasa seorang raja
dengan segala bentuk pengayoman telah menyediakan berbagai pasar
tradisional sebagai fasilitas perbelanjaan dengan beberapa tingkatan atau kelas
mulai dari pasar kelas eksklusif hingga untuk masyarakat golongan ekonomi
bawah. Berbagai filosofi Jawa diungkapkan pula oleh Kanjeng Gusti Puger:
60 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Secara filosofis dikenal dengan adanya ajaran “Cokro panggilingan”


maknanya kalo kita berada pada posisi di atas dapat menggunakan
fasilitas yang atas, tetapi bila belum mampu untuk mencapai atau
menggunakan fasilitas yang atas, dengan penuh kesadaran
menyesuaikan kondisi di bawah, dengan kata lain dapat menempatkan
diri sesuai dengan kemampuan. “Ojo kegeden empyak kurang jagak,
jane ora iso ananging ditekati”. Pada posisi tertentu jadilah orang yang
baik, jadi “iso nglungguhke”.
Dengan demikian dapat ditarik suatu simpulan bahwa pasar-pasar lain yang
ada di Kota Surakarta berada di bawah Pasar Gede dengan posisi berada di
lingkup kota negaragung, sedangkan pada posisi yang lebih di bawah berada di
mancanegara atau di kabupaten.

4.1.3 Pasar Gede sebagai Bagian dari Kosmis Kota Jawa


Konsep jawa dengan adanya terkait dengan pasar sebenarnya semua paralel
dan Pasar Gede karena posisinya di gedung jadi tertata. Pasar Gede bila dilihat
dari hubungan kosmologi adalah kosmisnya manusia sebagai makhluk
biologis untuk mem-brand sebagai makhluk yang bersyukur. Secara kosmis
ada 3 hal: 1) Dari sebuah aturan dengan adanya keraton lengkap dengan alun-
alun; 2) Sujud manembah dengan adanya Masjid; 3) Ucap syukur dengan
adanya Pasar.
Dengan demikian kosmisnya tidak goyah, di dalam suatu negari ada konsep
mancapat, yaitu konsep yang terkait dengan penempatan pasar dalam suatu
negari dalam lingkup negaragung. Di samping konsep penempatan pasar
adapula konsep berdasarkan nama yang membawa arti yang disebut dengan
Asmo Kinaryo Jopo yaitu: Pahing artinya Pait / Pahit, Wage artinya Terbatas,
Legi artinya Manis, Kliwon artinya Kliwat / lebih, dan Pon artinya Pas. Hal
tersebut dimaksudkan untuk mencapai suatu keseimbangan antara satu pasar
dengan pasar yang lain. Penamaan pasar dengan mengacu hari pasaran,
dimaksudkan untuk memeratakan sistem distribusi barang dan membuka lahan
rezeki bagi masyarakat di seluruh wilayah kekuasaan Raja. Sebagai ilustrasi
bahwa pada hari pasaran Pon para pedagang akan berkumpul di pasar yang
memiliki hari pasaran Pon, sedangkan pada pasaran Kliwon maka pedagang
akan berkumpul di pasar yang memiliki hari pasaran Kliwon. Sejak dahulu
kosmis sudah diatur sehingga pasaran Wage dan Pahing tidak ada di Kota
Surakarta. Dengan berjalannya waktu, suatu pasar sudah tidak banyak
dipengaruhi adanya hari pasaran, para pedagang telah banyak yang memiliki
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 61

kios permanen dan tidak melakukan perpindahan dari satu pasar ke pasar yang
lain berdasarkan hari pasaran. Hal demikian merupakan suatu perwujudan
Jaman Kalakone, yaitu suatu keadaan yang berbeda menyesuaikan dengan
jaman atau dengan kata lain dahulu berbeda bentuknya dengan sekarang tetapi
nilai-nilai tetap ada dalam bentuk sesuai dengan jamannya.

4.2 Fenomena Kawasan Pasar Gede


Dalam Ranah Ruang Budaya Kota
Pembahasan data teoritik terkait dengan fenomena kawasan Pasar Gede dalam
ranah ruang budaya kota diuraikan dalam sub-ranah yang terkait dengan ruang
apresiasi budaya, dan ragam aktivitas budaya di Pasar Gede.

4.2.1 Pasar Gede sebagai Ruang Apresiasi Budaya


Pasar Gede sebagai salah satu komponen utama kota tradisional Jawa, tidak
luput dari perhatian masyarakat, pemetintah dan pihak-pihak terkait dalam
pelaksanaan kegiatan budaya baik lingkup kawasan mauapun Kota Surakarta.
Seperti yang diurakan dalam salah satu dokumen hasil kegitatan Dinas Tata
Ruang Kota Surakarta, Pasar Gede terletak di seberang Balaikota Surakarta
pada jalan Jendral Sudirman dan Jalan Oerip Sumoharjo yang masuk dalam
lingkup perkampungan warga keturunan Tionghoa atau Pecinan yang bernama
Balong dan terletak di Kelurahan Sudiroprajan. Para pedagang yang berjualan
di Pasar Gede banyak yang keturunan Tionghoa. Budayawan Jawa ternama
dari Surakarta Go Tik Swan seorang keturunan Tionghoa, ketika diangkat
menjadi bangsawan oleh mendiang Raja Kasunanan Surakarta Pakubuwana
XII, mendapat gelar K.R.T. (Kangjeng Raden Tumenggung) Hardjonagoro
karena kakeknya adalah kepala Pasar Gede Hardjonagoro. Di dekat Pasar
Gede, ada sebuah kelenteng, persis di sebelah selatan pasar. Kelenteng ini
bernama Vihara Avalokiteśvara Tien Kok Sie dan terletak pada Jalan
Ketandan (Dinas Tata Ruang Kota, 2009).
Hal inilah banyak memengaruhi keragaman aktivitas budaya yang ada di Pasar
Gede. Disamping sebagai komponen kota tradisional Jawa, Pasar Gede juga
menjadi bagian penting rangkaian sejarah komunitas Tionghoa di Kota
62 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Surakarta, dapat dilihat dalam Gambar 4.5 yang menunjukkan keragaman


aktivitas budaya di kawasan Pasar Gede.

Gambar 4.5: Ajang Apesiasi Budaya yang ada di Pasar Gede (Aliyah,
Setioko, dan Pradoto, 2016)

4.2.2 Ragam aktivitas Budaya di Kawasan Pasar Gede


Pasar Gede menjadi salah satu bagian inti kota. Kota Surakarta terbentuk
dengan adanya dasar filosofi aturan, sujud manembah, dan ucap syukur dalam
bentuk spasial komponen struktur kota yaitu keraton, masjid dan pasar,
sedangkan dalam konteks aktivitas ekonomi, sosial dan budaya di pusat kota,
pasar menjadi sangat komplek dan menjadi bagian yang dicari, dituju, dan
sekaligus diharapkan oleh seluruh komponen masyarakat. Pasar Gede menjadi
daya tarik bagi masyarakat baik dalam kota maupun luar kota untuk nglurug
atau mendatangi Pasar Gede guna memasok barang, berbelanja, bekerja
ataupun tujuan lain. Pasar Gede tidak hanya memiliki daya tarik tetapi juga
daya saing baik dari pelayanan pada konsumen maupun kualitas dan
keragaman komoditasnya, tetapi menjadi tempat pertemuan para komunitas
yang ada di sekitar kawasan Pasar Gede, sehingga dapat dikatakan bahwa
Pasar Gede menjadi meeting place. Bahkan dalam setiap event tertentu, Pasar
Gede menjadi bagian utama penyelenggaraan budaya masyarakat Kota
Surakarta dan sekitarnya. Masyarakat etnis China dan Jawa penyelenggaraan
aktivitas budaya secara bersamaan dalam bentuk integrasi budaya seperti
Grebeg Sudiro, perayaan Imlek ataupun acara ritual yang lain. Dengan
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 63

demikian terjadilah sinergi antar budaya dan pelaku kegiatan yang berbaur
menjadi satu, seperti dalam Gambar 4.6. Ilustrasi tersebut menggambarkan
extended cultural activity (kegiatan budaya yang diperpanjang) yang ada di
kawasan Pasar Gede hingga pada akhirnya menghasilkan extended cultural
space function (perluasan fungsi ruang budaya) yang terjadi secara bergantian
dengan aktivitas yang lain.

Gambar 4.6: Ragam Budaya yang digelar di Pasar Gede (Analisis Peneliti,
2016)
Kehidupan yang ada di Pasar Gede tidak hanya berlangsungnya aktivitas
ekonomi dan sosial saja, tetapi hal yang menarik bahwa konsumen ataupun
pedagang sengaja datang ke Pasar Gede bukan sekedar untuk melakukan jual
beli, tetapi memiliki tujuan lain yaitu untuk menyaksikan pagelaran budaya
imlek ataupun Grebeg Sudiro, Festival Pasar Kumandang atau bertemu sapa
sekedar untuk mengobrol santai dan melihat situasi pasar hingga terbentuklah
sinergitas ruang budaya Jawa dan China di kawasan Pasar Gede.
64 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

4.3 Fenomena Kawasan Pasar Gede


Dalam Ranah Ruang Sosial Kota
Pembahasan data teoritik terkait dengan fenomena kawasan Pasar Gede dalam
ranah ruang sosial kota diuraikan dalam sub-ranah yang terkait dengan ruang
interaksi antar pelaku yang multi etnis, ragam aktivitas sosial, dan adaptasi
Pasar Gede dalam gaya hidup masyarakat.

4.3.1 Pasar Gede sebagai Ruang Interaksi Antar Pelaku


Multi Etnis
Pasar Gede sebagai salah satu pasar tradisional di kota tradisional Jawa, tidak
lepas dari aktivitas sosial yang dilakukan oleh pengguna pasar maupun
masyarakat luas. Pedagang dan pembeli datang mengunjungi Pasar Gede tidak
hanya sekedar melakukan aktivitas jual beli tetapi juga memiliki tujuan lain
yaitu aktivitas sosial, secara spasial dapat dilihat pada Gambar 4.7.

Gambar 4.7: Lingkup meso aktivitas sosial secara spasial di Kawasan Pasar
Gede (Aliyah, Setioko, dan Pradoto, 2017b)
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 65

Hubungan pedagang dengan pedagang yang lain nampak erat ikatan


persaudaraannya, terlihat pada interaksi antar pedagang. Bahkan pedagang
dengan tempat berjualan atau pasar merasa seperti rumahnya. Seperti yang
dituturkan oleh bu Sriyatun:
Dhodolan ting mriki (Pasar Gede) rasane seneng tur bangga,
pasedulururane kenthel. Pasar niku nggih rasane koyok omehe dadi
mboten kemrungsung. Biasane nggih dhoholan dilanjutke anak-anak
nopo sederekke, mergone nggih turun temurun.
Sedangkan dalam lingkup makro, aktivitas sosial yang terjadi lebih didominasi
oleh hubungan antara pedagang dengan pedagang atau pedagang dengan
pembeli. Sebagai suatu contoh pedagang melakukan interaksi dengan para
pembeli dan antar pedagang tidak hanya terkait dengan aktivitas ekonomi
tetapi hal yang terlkait dengan solidaritas dan keakraban serta relasi keluarga.
Salah satu pedagang yang akan melaksanakan resepsi pernikahan anaknya,
mengundang pedagang laian dengan cara membagikan makanan sebagai
undangan untuk menghadiri acara tersebut di kediamannya Bekonang
Sukoharjo, seperti pada Gambar 4.8.

Gambar 4.8: Aktivitas sosial di Kawasan Pasar Gede (Aliyah, Setioko, dan
Pradoto, 2017b)
Berdasarkan berbagai ilustrasi gambar tersebut menunjukkan bahwa
kehidupan sosial nampak masih tumbuh dan terjaga di kawasan pasar Gede.
Aktivitas sosial tidak hanya terjadi antar pedagang dengan pedagang,
pedagang dengan pengunjung, tetapi juga melibatkan masyarakat sekitar.
66 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

4.3.2 Ragam Aktivitas Sosial di Kawasan Pasar Gede


Dengan adanya perubahan gaya hidup, seperti animo masyarakat yang ingin
berbelanja dan berekreasi ke mall, maka pasar tradisional mulai berusaha
berbenah diri dengan menyediakaan fasilitas dan kelengkapan dagangan yang
lebih bersih dan nyaman. Di samping itu pula pemerintah mengusulkan
Peraturan Daerah (Perda) untuk mengganti istilah Pasar Tradisional dengan
istilah Pasar Rakyat, dengan maksud agar masyarakat tidak merasa bahwa
pasar tradisional identik dengan kekunoan, dan yang mengkhawatirkan bahwa
sekarang merebak wacana, yang berkunjung ke pasar tradisional hanya sebagai
pemenuhan rasa keingin tauhan saja bukan karena kebutuhan. Berbagai
aktivitas yang ada di lingkup pasar tradisional yang ada di Kota Surakarta,
dapat diketahui dari masing-masing pasar, khususnya Pasar Gede seperti
dalam Tabel 4.1. Ilustrasi dalam table tersebut menggambarkan extended
social activity (kegiatan social yang diperpanjang) di kawasan Pasar Gede
yang menghasilkan extended social space function (perluasan fungsi ruang
sosial) yang terjadi secara bergantian dengan aktivitas yang lain
Tabel 4.1: Jenis Aktivitas Sosial di Pasar Gede (Aliyah, Setioko, dan Pradoto,
2017b)
No Jenis Pelaku Sifat Ilustrasi Suasana
Aktivitas Kegiatan
1 Pengelolaan Petugas Rutin
Pasar Setiap hari

2 Sosialisasi Paguyuban • Rutin


dan Pedagang Sebula
Koordinasi n
sekali
• Rutin
Setahu
n
sekali
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 67

3 Peringatan Paguyuban Insidental


hari Batik Pedagang
Nasional

4 Informasi Pemerintah Rutin


Produk dan Setiap hari
Pedagang

Sedangkan aktivitas sosial yang ada di kawasan Pasar Gede secara spasial bisa
digambarkan dalam Tabel 4.2 sebagai berikut:
68 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Tabel 4.2: Aktivitas Sosial secara keruangan atau spasial (Aliyah, Setioko, dan
Pradoto, 2017b)
No Siklus Pelaku Ativitas Tempat
1 Mingguan Kawasan Pasar
dan tidak pernah sepi
Bulanan selalu ramai
dengan
pengunjung dan
terjadi interaksi
tidak hanya jual
beli tetapi juga
persaudaraan

2 Tahunan
Festival Pedagang dan
Pasar masyarakat
Kumandang dalam pawai
pasar
kumandang
saling
berinteraksi
dalam keakraban

Grebeg Pedagang dan


Sudiro masyarakat
dalam rangkaian
Grebeg Sudiro
terlibat secara
langsung hingga
terjalin hubungan
yang akrab.

Hari Batik Pedagang dan


Nasional masyarakat
dalam peragaan
busana batik
terlibat langsung
sebagai peraga
Perayaan Syukuran HUT
HUT Pasar dengan perayaan
Gede oleh para
pedagang
Pesta Pesta setiap ada
Rakyat pemimpin daerah
yang didukung
pedagang
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 69

4.4 Fenomena Kawasan Pasar Gede


Dalam Ranah Ruang Ekonomi Kota
Pembahasan data teoritik terkait dengan fenomena kawasan Pasar Gede dalam
ranah ruang ekonomi diuraikan dalam sub-ranah Jangkauan Layanan Pasar
Gede sebagai Fasilitas Ekonomi. Pemasok, pedagang dan pengunjung dari luar
wilayah, Pasar Gede sebagai Pusat Barang Berkualitas, dan Sistem
Perdagangan di Pasar Gede,

4.4.1 Jangkauan Layanan Pasar Gede sebagai Fasilitas


Ekonomi
Kota Surakarta sebagai salah satu kota tradisional Jawa memiliki pasar
tradisional sebagai fasilitas ekonomi dengan jumlah cukup signifikan bila
dibandingkan dengan luas wilayah Kota Surakarta. Sebagai pusat pelayanan
perbelanjaan pasar tradisional berjumlah 43 unit tersebar di wilayah 44,03ha
dengan demikian bila dihitung secara rasio pelayanan maka terjadi beberapa
tumpang tindih pelayanan terhadap tata letak dan jumlah pasar tradisional di
Kota Surakarta seperti dalam Tabel 4.3 berikut ini.
Tabel 4.3: Klasifikasi Komoditas dan Jangkauan Layanan Pasar Tradisional di
Kota Surakarta Tahun 2016 (Aliyah, Setioko, dan Pradoto, 2017a)

No Pasar Spesifikasi Waktu Jangkauan


Komoditas Operasional Layanan
1. Legi Hasil Bumi 00.00 - 24.00 Nasional
2. Klewer Tekstil 07.00 - 17.00 Nasional
3. Cinderamata Oleh-Oleh tekstil 07.00 - 20.00 Regional
4. Singosaren Rupa-Rupa 07.00 - 14.00 Lingkungan
5. Notoharjo Klitikan 07.00 - 18.00 Regional
6. Gede Rupa-rupa 00.00 - 24.00 Nasional
7. Nusukan Rupa-rupa 06.00 - 12.00 Kota
70 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

8. Harjodaksino Rupa-rupa 02.00 - 11.00 Regional


9. Jongke Rupa-rupa 06.00 - 17.00 Kota
10. Rejosari Rupa-rupa 06.00 - 20.00 Lingkungan
11. Turisari / Rupa-rupa 05.00 - 21.00 Kota
Nongko
12. Purwosari Rupa-rupa 06.00 - 17.00 Kota
13. Sidodadi Rupa-rupa 05.00 - 11.00 Lingkungan
14. Ledoksari Rupa-rupa 05.00 - 11.00 Kota
15. Kadipolo Rupa-rupa 06.00 - 17.00 Regional
16. Tanggul Rupa-rupa 06.00 - 11.00 Lingkungan
17. Depok Hewan peliharaan 08.00 - 16.00 Regional
18. Kabangan Drum, Plastik 06.00 - 17.00 Regioanl
19. Penumping Rupa-rupa 06.00 - 11.00 Lingkungan
20. Ayam Ayam 06.00 - 18.00 Regional
21. Kliwon Rupa-rupa 05.00 - 11.00 Kota
22. Jebres Rupa-rupa 05.00 - 11.00 Kota
23. Kembang Bunga 06.00 - 17.00 Kota
24. Ayu Balapan Rupa-rupa, paket, 00.00 - 24.00 Regional
tiket
25. Proliman Rupa-rupa 07.00 - 17.00 Regional
26. Mebel Mebel 00.00 - 24.00 Kota
27. Windujenar Barang antik 09.00 - 17.30 Internasional
28. Ngemplak Rupa-rupa 07.00 - 17.00 Kota
29. Mojosongo Rupa-rupa 05.00 - 12.00 Lingkungan
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 71

30. Bangunharjo Rupa-rupa 06.00 - 15.00 Kota


31. Sidomulyo Rupa-rupa 08.00 - 12,00 Kota
32. Gading Rupa-rupa 04.00 - 17.00 Regional
33. Sangkrah Rupa-rupa 04.00 - 12.00 Lingkungan
34. Tunggulsari Rupa-rupa 07.00 - 11.00 Lingkungan
35. Jurug Buah 06.00 - 10.00 Regional
36. Ngumbul Rupa-rupa 07.00 - 09.00 Lingkungan
37. Bambu Bambu, Kayu 07.00 - 16.00 Regional
38. Besi Besi 08.00 - 17.00 Regional
39. Joglo Rupa-rupa 05.00 - 13.00 Lingkungan
40. Ngarsopuro Elektronik 08.30 - 20.00 Regional
41. Panggungrejo Rupa-rupa 06.00 - 20.00 Lingkungan
42. Ngudi Rejeki pakaian, sepatu, 05.00 - 00.00 Kota
Gilingan pertukangan,
elektronik, akik
43. Pucangsawit Ban mobil, permak 06.00 - 20.00 Kota
jeans dan warung
makan

Klasifikasi lingkup layanan tersebut secara spasial dapat digambar dalam


pemetaan pasar tradisional yang ada di Kota Surakarta seperti pada Gambar
4.9 berikut ini.
72 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Gambar 4.9: Lingkup Jangkauan Pasar Tradisional di Kota Surakarta (Aliyah,


Setioko, dan Pradoto, 2017a)
Posisi Pasar Gede sebagai salah satu pasar tradisional dengan lingkup
pelayanan kategori kelas I, dapat dikatakan bahwa Pasar Gede merupakan
ruang ekonomi dengan peran dan lingkup layanan yang luas. Berdasarkan
hasil pendalaman dan penelusuran secara empirik Pasar Gede merupakan
ruang ekonomi yang berperan tidak hanya sebagai pusat pelayanan ekonomi
masyarakat Kota Surakarta tetapi lingkup atau jangkauan pelayanannya telah
merambah hingga lintas wilayah regional meliputi Kabupaten Sukoharjo,
Kabupaten Klaten, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten
Boyolali, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Magetan dan bahkan sebagian
wilayah Provinsi Yogyakarta dan lintas pulau Sumatra dan Kalimantan.
Pasar Gede sebagai ruang ekonomi dapat dikaji dari keragaman aktivitas
ekonomi yang berlangsung di kawasan Pasar Gede. Selama satu hari, aktivitas
yang terjadi mulai dari pukul 00.00 hingga 24.00 yang berulang secara rutin
mulai dari aktivitas pemasokan dagangan, jual beli grosiran (bakul), jual beli
eceran dan katering, jual beli antar pedagang dan antar pasar di Kota Surakarta.
Pedagang yang ada di Pasar Gede dapat diklasifikasikan dalam berbagai
ragam, di antaranya oprokan, los, dan kios atau toko. Meskipun demikian ada
beberapa pedagang yang sifatnya sementara dan tidak menetap, karena datang
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 73

hanya sesaat dan tidak menempati area tertentu. Data pedagang Pasar Gede
yang disampaikan oleh Pengelola Pasar Gede seperti dalam Tabel 4.5 berikut:
Tabel 4.5: Perkembangan Pedagang di Pasar Gede (Buku Retribusi Pedagang
di Kantor Pengelola Pasar Gede, 2016)

Tahun
Klasifikasi Pedagang
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Oprokan 240 240 243 243 243 243 210

Los 633 633 646 646 646 636 527

Kios/Toko 108 108 108 108 108 106 233

Jumlah 981 981 997 997 997 985 970

Berdasarkan data tersebut menunjukkan perkembangan jumlah pedagang yang


relatif stabil dari tahun ke tahun. Di samping itu omset pedagang untuk
masing-masing klasifikasi pada tahun 2016 mencapai angka yang cukup
signifikan, rata-rata dapat dilihat pada Tabel 4.6 berikut:
Tabel 4.6: Omset Pedagang di Pasar Gede Tahun 2016 (Survey dan Analisis
Peneliti, 2016)

Pendapatan dalam Satu Hari


Jumlah
Klasifikasi pedagang Maksimal Minimal Rata-rata
Pedagang Tahun Jumlah Omset
2016 (per (per (per Rata-rata setiap
pedagang) pedagang) pedagang) hari (Rp)
(Rp) (Rp) (Rp)

Oprokan 210 177,916.67


236,458.33 119,375.00 37,362,500.70

Los 527 457,547.17 349,433.96


241,320.75 184,151,696.92

Kios/Toko 233 2,735,217.39 1,721,847.83


708,478.26 401,190,544.39

Jumlah 970 622,704,742.01


74 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Pedagang dan barang dagangan di Pasar Gede berasal dari berbagai daerah
sesuai dengan komoditas yang dibawa, dan mereka hanya memiliki satu tujuan
untuk mensuplai Pasar Gede (dapat dilihat pada Gambar 4.10). Pedagang
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a Pedagang sebagai pemasok buah, ada yang berasal dari Banyuwangi,
Palembang, Pontianak, Jember, Malang dan wilayah sekitar Jawa
Tengah.
b Pedagang yang mengunjungi atau belanja di Pasar Gede untuk dijual
kembali seperti tukang sayur keliling, pedagang pemasok kios buah
dan pedagang sebagai pengusaha restoran atau hotel.
c Pedagang tetap Pasar Gede yang melakukan penjualan kepada para
pedagang pengecer dan menerima dagangan atau membeli dari
pedagang sebagai distributor dari luar wilayah Jawa Tengah.
d Pedagang Pasar Gede yang memasok pasar lainnya di Kota Surakarta

Gambar 4.10: Suasana aktivitas ekonomi dengan karakter interaksi langsung


antara penjual dan pembeli di Pasar Gede (Dokumen Peneliti, 2016)
Pasar Gede tak hanya sebagai aktivitas ekonomi dalam konteks jual-beli, tetapi
memiliki daya tarik sebagai pasar yang memiliki keuinikan. Seperti yang
dikemukakan oleh pedagang yang menjual dawet Bu Darmi sebagai salah satu
produk yang menjadi ikon bagi Pasar Gede mengatakan:
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 75

Pasar Gede sekarang ini mejadi pasar pariwisata, sudah jadi tempat
“jujugan tamu dari luar kota” , mereka datang hanya untuk minum
dawet dan belanja oleh-oleh terus pulang, tidak belanja bahan
makanan untuk masak harian. Jadi ya mereka datang karena mau beli
makanan yang khas Pasar Gede. Biasanya mereka beli yang unik
seperti “lenjongan” (jajajan pasar), makanan khas oleh-oleh solo,
dawet telasih. Pedagang yang jualnya dengan harga sama dengan
pelanggan yang lain.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh salah satu pengunjung yang berasal dari
luar kota yaitu Jakarta, datang ke Pasar Gede hanya untuk menikmati dawet
telasih dan membeli oleh-oleh khas Solo:
Saya dari Jakarta, sejak usia 26 tahun saya meninggalkan Solo, dan
sekarang usia saya sudah 75 tahun. Setiap ke Solo saya pasti
menyempatkan mampir ke Pasar Gede untuk beli dawet ini. Dawet ini
istimewa, di tempat lain tidak ada. Di Pasar Gede semuanya barang-
barang ada, Pasar Gede komplit, mulai dari bendo juga ada, abu gosok
juga ada.
Pasar Gede dalam operasional setiap harinya, memiliki waktu operasional
dengan interval tertentu dan karakteristik pengunjung yang berbeda serta
berbagai ragam aktivitas yang dilakukan. Secara umum dapat digambarkan
jumlah pengunjung yang mengunjungi Pasar Gede dalam perputaran waktu
satu hari dengan interval jam 00.00-05.00, jam 06.00-09.00 dan 10.00-17.00
dalam keadaan normal atau tidak dalam peristiwa perayaan atau menjelang
lebaran, maka dapat dilihat seperti dalam Tabel 4.7. Sedangkan pada interval
waktu jam 17.00-00.00 tidak dapat diidentifikasi jumlahnya mengingat para
pemasok luar kota yang datang pada malam hari sifatnya tentatif sesuai dengan
ketersediaan barang, berikut tabel jumlah pengunjung:
76 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Tabel 4.7: Jumlah Pengunjung yang masuk di Bangunan Pasar Gede Tahun
2016 (Survey dan Analisis Peneliti, 2016)

Jumlah Pengunjung Per Jam Jumlah Rata-Rata Pengunjung


Interval Pertengahan Akhir
Awal Dalam waktu
Operasional Pekan Pekan Dalam waktu satu
Pekan per Jam
hari (Orang)
(Orang) (Orang) (Orang) (Orang)

00.00-06.00 521 578 467 522 3.132

06.00-10.00 1.611 1.411 1.452 1.491 5.965

10.00-17.00 192 268 171 210 1.472

Jumlah 10.569

Data tersebut diperoleh dengan mendata jumlah pengunjung yang masuk


dalam bangunan utama Pasar Gede. Dengan demikian dapat menggambarkan
bahwa kawasan Pasar Gede setiap harinya banyak dikunjungi oleh pengunjung
dengan jumlah yang stabil dan lebih dari 10.569 orang, karena kawasan Pasar
Gede tidak hanya bangunan pasar saja, tetapi meliputi semua pertokoan dan
fasilitas lain yang ada di sekitar bangunan pasar.
Pengunjung atau pembeli yang melakukan aktivitas ekonomi di Pasar Gede
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a Pembeli Grosiran atau bakul mengunjungi Pasar Gede sebagai
pembeli yang melakukan transaksi jual beli untuk dijual kembali
ditempat lain atau pasar lain, bahkan ada pula yang diolah menjadi
produk lain seperti makanan, minuman ataupun ramuan jamu dan
sebagainya.
b Pembeli eceran yang digunakan untuk konsumsi sendiri atau
perjamuan dan tidak dijual pada pihak lain untuk mendapatkan
keuntungan.

Aktivitas ekonomi yang ada di kawasan Pasar Gede dapat dirinci seperti dalam
Tabel 4.8, dan dapat diuraikan bahwa berbagai aktivitas memiliki karakter
yang berbeda mulai dari berjualan, berbelanja, distribusi barang, dan bongkar
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 77

muat. Para pedagang melakykan aktivitas berjualan dengan cara berinteraksi


langsung dengan para pembeli. Hasil pengamatan menunjukkan komunikasi
yang ramah dan santun, meski ada kelakar ketika menanggapi penawaran dari
pembeli. Sebagai suatu contoh pedagang grosir yang menanggapi pembeli
buah apel yang sudah berlangganan:
Bu Jati : butuh apel sing piro..bukaen merk ke sing endi sik.. bukaen
gede opo sing cilik 5 6 opo 9 10 tengah ki cilik cilik? 9 10 enem ewu
nek luwih gede 5 6 nek iku 8 ewu setengah ..
Pembeli: kok nganggo tengahan to..….
Bu Jati: la yo nganggo tengahan to nek ora nganggo tengahan ora
iso mlaku..sikile kiwo tengen iso mlaku
Pembeli: bobote piro?
Bu Jati : Bobote nek resik duwa duwa.. duwek duwek klambi suwek
suwek…
jeruk nganggo ora….? manis opo ora, nek nganggo manis kae tilik
wae..iku tunggale 9000 tunggale ukurane.. dolano munggah tilik ono
sing dhuwur…
Dialog tersebut menggambarkan interaksi jual beli dalam suasana santai dan
berkelakar. Meski pada intinya bahwa barang yang dijual tersebut sudah tidak
dapat ditawar meski dengan pelanggan. Sedangkan pada sesi yang lain ada
pembeli yang belum berlangganan dan berusaha melakukan penawaran
dengan cara melehke atau mengungkap kekurangan produk yang sudah dibeli
meskipun sebenarnya orang tersebut belum pernah belanja buah di kios Bu
Jati, dengan dialog:
Bu Jati: golek opo yu…?
Pembeli: golek apel ning sing apik… iki piro…? wingi aku tuku podo
bosok..aku nganti rugi.. barange podo bosok
Bu Jati: la gowo rene..balikno wae sing bosok.. mengko tak ijolane…
Pembeli: yow is tak guwak wong bosok… la iki piro ..?
Bu Jati: sing cilik-cilik iku wolu setengah.. gelem ora..?
Pembeli: la kok larang.. mengko podo bosok.. marak ke rugi ora
bathi..
78 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Bu Jati: la nek rugi ngomong… nek bathi ora ngomong… regone yow
is sak mono kuwi…
Akhirnya pembeli tidak jadi membeli, dan menurut pedagang hal seperti itu
biasa terjadi untuk mencari harga yang terendah. Tidak berselang waktu yang
lama, ada penawaran buah naga oleh pemasok atau pengepul dari
Banyuwangi. Demikian respon Bu Jati selaku pedagang yang ditawarin:
Panjenengan saking pundhi… Banyuwangi… celak nggone Catur,
kulo biasane dikirimi catur. Anggeranu Mriki niki tergantung
pengepule… dadhi kadang yo amblek blek mergo di bruki akeh, tapi
yo kadang yo akeh.. paling-paling nek naga 40 peti nek luwih mriki
abot. Nek tunggal sak pasar diblekki 10 truk tasih nyandak, neng nek
sampe 15 truk yo bek… jenengan informasi saking sinten? ..ooo
sopir.. niki nggone kulo mriki nganti mriki, niko lapak e sanes, mriki
sisteme komisian, dadhi mriki tinggal juale.
Tabel 4.8: Jenis Aktivitas Ekonomi di Pasar Gede (Aliyah, Setioko, dan
Pradoto, 2017b)
No Jenis Pelaku Sifat Ilustrasi Suasana
Aktivitas Kegiatan
1 Berjualan Pedagang Rutin
Setiap hari

2 Berbelanja Pembeli Rutin


Setiap hari

3 Distribusi Kuli Pasar Rutin


barang Setiap hari

4 Bongkar muat Pedagang, Rutin


pembeli dan kuli setiap hari
pasar
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 79

5 kedatangan Pengunjung Rutin


Pengunjung datang dengan setiap hari
mobil dan motor
dapat
menggunakan
valet parkir

Aktivitas ekonomi secara spasial dan dalam penggunaan atau alokasi waktu
yang ada di kawasan Pasar Gede dapat diilustrasikan seperti dalam Tabel 4.9
berikut:
Tabel 4.9: Aktivitas Ekonomi Secara Keruangan (Spasial) di Pasar Gede
(Aliyah, Setioko, dan Pradoto, 2017b)
No Siklus Pelaku Tempat
Ativitas
1 Harian
24.00- Bongkar
06.00 muat truk
dan colt
pick-up dari
luar kota

06.00- Pembeli
10.00 grosiran
atau pemilik
restoran

10.00- Pembeli
22.00 eceran
masyarakat
sekitar Solo
Raya
80 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

19.00- Pengunjung
24.00 warung
makan dan
hik

2 Mingguan Kawasan
dan pasar tidak
Bulanan pernah sepi
selalu ramai
dengan
pengunjung

Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa komoditas


masing-masing pasar di Kota Surakarta memiliki spesifikasi atau karakteristik
komoditas berbeda untuk masing-masing pasar dan Pasar Gede dikenal
sebagai pasar yang dominasi komoditas buah dan kelas kualitas dagangan
bagus atau tinggi. Masing-masing pasar yang utama di Kota Surakarta
memiliki komoditas yang berbeda-beda, dan Pasar Gede memiliki komoditas
utama yaitu buah baik buah lokal maupun buah import, dapat dilihat pada
Gambar 4.11.
Berdasarkan teori atau konsep pasar tradisional bahwa pasar merupakan
tempat menjual hasil komoditas yang ada disekitarnya, tetapi berbeda dengan
situasi yang ada di Kota Surakarta, pasar tradisional memiliki peran sesuai
dengan komoditas yang dominan di pasar tersebut. Bahkan Pasar Gede sebagai
pasar induk komoditas secara umum memang lengkap tetapi didominasi oleh
komoditas buah, sehingga komoditas lain tetap ada walaupun transaksinya
sangat rendah.
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 81

Gambar 4.11: Komoditas utama Pasar Gede buah Segar dan kebutuhan
harian (Dokumentasi Peneliti, 2016)
Pedagang dan barang dagangan di Pasar Gede berasal dari berbagai daerah
sesuai dengan komoditas yang dibawa, dan mereka hanya memiliki satu tujuan
untuk mensuplai Pasar Gede. Klasifikasi pedagang dapat dibedakan dalam
kategori:
• Pemasok buah, ada yang berasal dari Banyuwangi, Palembang,
Pontianak, dan wilayah sekitar Jawa Tengah.
• Pedagang yang mengunjungi atau belanja di Pasar Gede untuk dijual
kembali seperti tukang sayur keliling, pedagang pensuplay kios buah
dan pedagang sebagai pengusaha restoran atau hotel.
• Pedagang tetap Pasar Gede yang melakukan penjualan kepada para
pedagang pengecer dan penerima atau pembeli dari pedagang sebagai
distributor dari luar wilayah Jawa Tengah.
• Pedagang Pasar Gede yang memasok pasar lainnya di Kota Surakarta

Terkait dengan konsep mancapat mancalima, pembagian peran terbagi pada


kelas pasar, dan lingkup layanan, di Kota Surakarta dengan spesifikasi
komoditas mengakibatkan pasar memiliki peran sepadan dengan dagangan
dan asal pedagang beragam jadi antara pasar induk dan bukan pasar induk
memiliki posisi atau peran yang sama. Begitu pula yang terjadi pada Pasar
Gede, peran Pasar Gede semestinya menjadi pasar induk yang mensuplai
sebagian besar dagangan yang ada di pasar yang lain, tetapi hal tersebut tidak
terjadi, karena komoditas utama dari pasar-pasar yang lain berbeda dan
spesifik.
82 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

4.4.2 Pemasok, pedagang dan pengunjung dari luar


wilayah
Pasar Gede menjadi tempat tujuan pemasok dari luar kota yang berasal dari
Jember, Banyuwangi, Malang, Bandungan, Bandung, Medan, Lampung,
Pontianak dengan berbagai ragam dagangan buah, sayuran, bunga segar,
rempah-rempah untuk jamu. Berdasarkan uraian kondisi kausal tersebut, maka
dapat dirunut lebih mendalam bahwa fenomena yang terjadi di Pasar Gede
dapat digambarkan secara keruangan diilustrasikan seperti dalam Tabel 4.11
berikut :
Tabel 4.11: Keterkaitan Kondisi Kausal dengan Fenomena di Pasar Gede
(Sumber : Analisis Peneliti, 2016)
No Kondisi Fenomena yang terjadi dan lokasinya
Kausal

1. Sejarah • Makro
keberadaan
Pasar Gede
sebagai pusat
penjualan
bagi
komoditas
yang
dihasilkan
wilayah
sekitar.
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 83

• Meso
84 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

2. Di Pasar
Gede
berbagai
macam
ragam buah
dapat laku
dengan cepat

3. Letak Pasar
Gede di Kota
Surakarta
menjadi
singgahan
bila sekalian
mengirin
barang
dagangan ke
Yogyakarta
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 85

4. Pemasok
mengunjungi
pasar untuk
memasok
barang
dagangan
baik yang
berasal dari
dalam kota
maupun luar
kota,
sehingga
tidak
memiliki
tempat yang
khusus di
Pasar Gede

Berbagai aktivitas tersebut secara spasial dapat digambar dalam suatu tempat
dan waktu yang saling terintegrasi berlangsung dengan lancar dan intensitas
rutin dalam perputaran jam, hari, pekan seperti dalam Gambar 4.12 sebagai
berikut :

Gambar 4.12: Zona yang digunakan untuk operasional aktivitas bongkar


muat pasokan barang dagangan di Pasar Gede (Aliyah, Setioko, dan Pradoto,
2017b)
86 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Pasar Gede dapat dikaji dari keragaman aktivitas pasokan barang yang
berlangsung di kawasan Pasar Gede. Selama satu hari, aktivitas pasokan
barang dagangan terjadi mulai dari pukul 00.00 hingga 04.00 dan 20.00-24.00
yang berulang secara rutin antar pedagang dan antar pasar di Kota
Surakarta.seperti halnya penuturan salah satu petugas atau juru parkir bernama
Mbah Mulyo sudarso yang telah 30 tahun bekerja sebagai juru parkir di Pasar
Gede mengungkapkan:
Pasar Gede bedane karo pasar liyane ora ono, Pasar Gede biasa-
biasa wae. anaging Pasar Gede ‘kondang opo-opone (Pasar Gede
terkenal apa-apanya). Kabeh dagangan kondang. Pasar Gede
kondang buah lan sayur sing apik kualitase, iku ditekakake soko
monco-monco. Ono soko Palembang, Kalimantan lan liyane. Pasar
Gede dadhi ‘lurugan’ lan ‘jujugan’ wong kang soko Wonogiri,
Sukoharjo, Karanganyar. Katering, restoran ugo akeh sing
langganan ning Pasar Gede, yen belonjo gowo mobil, iku sing mobil
kuwi soko rumah makan …opo kuwi tulisane Ramayana. (sambil
menunjuk kendaran bak tertutup yang tertulis nama rumah makan).
Suwene blonjo kiro-kiro yo 1,5 sampai 2 jam. Kadang yo ono sing
rodo suwe amergo nunggu pesenan. Yen 2 jam 4000 rupiah, kadang
yo ono sing ngewenehi tips jare kanggo jajan mbah…. Hehehehe
(sambil tertawa kecil) iku sing penting ngeraoso ‘lego-lilo’ diwenehi
nganti 20rb.
Di sisi lain berbagai fenomena terjadi dalam kaitannya pemasok yang datang
dari berbagai daerah. Hal tersebut dapat diuraikan dalam berbagai interaksi
yang ditujukan untuk menanggapi suatu fenomena para pemasok dari dalam
dan luar kota memasok dagangan ke Pasar Gede.
1. Keberadaan Pasar Gede di pusat kota, merupakan suatu kondisi yang
merupakan kelebihan dan kekurangan. Posisi Pasar Gede di pusat
kota merupakan hal yang menguntungkan dan menjadikan kawasan
mudah dicapai dari berbagai arah dan dengan berbagai macam moda
transportasi bagi para pemasok, baik dari dalam kota maupun luar
kota. Sedangkan dengan posisi di pusat kota membuat lokasi Pasar
Gede tidak dapat menampung aktivitas secara bersamaan, dengan
kata lain luasan yang terbatas. Dengan demikian dalam operasional
berbagai ragam aktivitas para pemasok dagangan di Pasar Gede
secara alamiah telah melakukan adaptasi dengan cara
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 87

mengalokasikan zona tiap aktivitas sesuai dengan alur dan karakter


kegiatan dalam ruang yang tanpa batas atau batas imajiner, serta
pembagian waktu operasional yang menyesuiakan dengan kepadatan
lalu lintas jalan di sekitar kawasan Pasar Gede.
2. Terkait dengan keberadaan Pasar Gede di pusat kota, maka tanggapan
terhadap berbagai pemasok yang berasal dari dalam kota dan luar
kota dengan berbagai ragam komoditas, jaringan pasokan atau
distribusi dan jenis transaksi dapat diuraikan bahwa mengatur jam
operasional menjadi hal yang signifikan untuk diperhatikan dalam
mensinergikan antar berbagai ragam aktivitas pada ruang kawasan
yang terbatas. Hal tersebut ditujukan untuk mengatur perputaran
aktivitas agar tidak menimbulkan kemacetan dan kelancaran bagi
pemasok yang berasal dari dalam kota dan luar kota dengan berbagai
ragam komoditas, jaringan pasokan atau distribusi dan jenis transaksi,
sehingga semua aktivitas dapat berlangsung sesuai dengan alur
aktivitas dan jangkauan kemampuan kerja.
3. Keberlangsungan berbagai aktivitas dalam ruang, waktu dan berbagai
pemasok yang berasal dari dalam kota dan luar kota dengan berbagai
ragam komoditas, jaringan pasokan atau distribusi dan jenis transaksi
diperlukan adanya fasilitas yang memadai. Sebagaimana diketahui
bahwa penataan fasilitas kota khususnya yang terintegrasi dengan
kawasan Pasar Gede selalu ditingkatkan untuk memperrmudah dan
melancarkan aktivitas yang beragam.
4. Dalam mensikapi adanya segala kondisi dan situasi yang ada di Pasar
Gede, tindakan yang dilakukan oleh berbagai pemasok yang berasal
dari dalam kota dan luar kota dengan berbagai ragam komoditas,
jaringan pasokan atau distribusi dan jenis transaksi adalah dengan
menjalin kerjasama dan sikap toleransi antar semua komponen pelaku
aktivitas seperti tukang parkir, kuli panggul atau tenaga angkat
junjung dan para pedagang. Kerjasama dan toleransi tidak terbatas
pada ruang dan waktu, tetapi juga pada ragam komoditas. Berbagai
ragam komoditas khusus yang tidak ditemukan di pasar lain, di Pasar
88 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Gede dapat diperoleh dalam kualitas yang bagus dan jumlah yang
banyak.

Strategi interaksi atau aksi berbagai pemasok yang berasal dari dalam kota dan
luar kota dengan berbagai ragam komoditas, jaringan pasokan atau distribusi
dan jenis transaksi memiliki sifat tertentu yang terkait dengan orientasi dari
strategi tersebut, yaitu :
1. Berorientasi pada proses perputaran aktivitas kontinue, stabil, dan
harmoni.
2. Berorientasi pada tujuan adanya ruang fleksibel untuk berbagai
aktivitas yang terjadi dalam satu ruang. Kejelasan adanya ruang
fleksibel dapat dikaji dari gambaran secara spasial adanya pembagian
ruang yang saling tumpang tindih tanpa saling terganggu antara satu
aktivitas dengan aktivitas yang lain. Berbagai ragam aktivitas
berbagai pemasok yang berasal dari dalam kota dan luar kota dengan
berbagai ragam komoditas, jaringan pasokan atau distribusi dan jenis
transaksi seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4.15 berikut :

Tabel 4.15: Jenis Aktivitas Ekonomi di Pasar Gede (Aliyah, Setioko, dan
Pradoto, 2017b)
No Jenis Pelaku Sifat Kegiatan Ilustrasi Suasana
Aktivitas
1 Distribusi Kuli Pasar Rutin Setiap
barang dari hari
area bongkar
muat menuju
para pedagang
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 89

2 Bongkar muat Pedagang, Rutin setiap


dagangan yang pembeli hari
dibawa para dan kuli
pemasok dari pasar
berbagai
daerah

3 Transportasi Pemasok Rutin setiap


dari luar kota dari hari, ataupun 2
masuk dalam berbagai kali dalam satu
kota dan daerah minggu
transportasi
dalam kota

Aktivitas ekonomi para pemasok dari berbagai daerah secara spasial dapat
digambarkan dalam Tabel 4.16 berikut:
Tabel 4.16: Aktivitas Para Pemasok Berbagai Daerah Secara Keruangan di
Pasar Gede (Aliyah, Setioko, dan Pradoto, 2017b)
No Siklus Pelaku Tempat
Ativitas
1 24.00-06.00 Pemasok
luar daerah
dalam
partai besar
melakukan
Bongkar
muat truk
dan colt
pick-up
dari luar
kota
90 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

2 20.00-24.00 Pemasok
buah lokal
dengan
transportasi
yang mobil
pick-up

3 03.00-06.00 Pasokan
buah impor
dari luar
kota

Kondisi pemengaruh merupakan kondisi yang luas dan umum berkaitan


dengan strategi tindakan/interaksi, yang meliputi lokasi/ruang, waktu,
transportasi, komoditas, dan segmen pasar. Terkait dengan para pemasok dari
berbagai daerah memasok dagangan ke Pasar Gede dengan kondisi
pemengaruh sebagai pendorong yaitu: Lokasi Pasar Gede strategis di pusat
kota dan di perlintasan dengan kota lain; Jaringan dan moda transpotasi untuk
menuju dan dari Pasar Gede mudah diakses dari arah manapun; Waktu
pelayanan Pasar Gede dapat dinikmati setiap hari sesuai dengan karakter
aktivitas para pemasok; dan Berbagai ragam komoditas dapat terjual dengan
waktu yang relatif cepat dikarenakan Pasar Gede menyediakan berbagai
komoditas bagi semua pengunjung. Sedangkan kondisi pemengaruh sebagai
penghambat adalah: Lahan terbatas sehingga mempersulit pengaturan zonasi
bongkar muat sehingga pengaturan zonasi dilakukan dengan berbagai
pertimbangan agar semua ragam aktivitas dapat berjalan dengan lancar; dan
Moda transportasi besar tidak bisa sewaktu-waktu masuk kawasan karena
adanya pembatasan jam operasional untuk akses kendaraan besar seperti jenis
truk.
Berbagai tindakan dan interaksi yang terjadi di Pasar Gede, untuk
mengatasinya dapat menghasilkan berbagai konsekuensi. Hasil konsekuensi
tersebut tidak selalu bisa diperkirakan sesuai yang dikehendaki. Konsekuensi
yang dihasilkan dari adanya kondisi kausal, fenomena, konteks, kondisi
penanganan, strategi dan kondisi pemengaruh pemasok dari berbagai daerah
memasok dagangan ke Pasar Gede adalah sebagai berikut :
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 91

1. Keramaian “regeng” merupakan situasi yang tidak pernah sepi dan


tidak pula macet. Dalam situasi hari-hari biasa ataupun pada hari
menjelang lebaran ataupun tahun baru, kondisi dan suasana tampak
stabil dan tidak mengalami fluktuasi yang signifikan, sehingga dapat
dikatakan bahwa suasana keramaian “regeng”.
2. Keragaman “rupa-rupa komoditas” dipasok ke Pasar Gede dengan
maksud bahwa dengan beragamnya komoditas, kualitas dan kuantitas
dagangan, maka Pasar Gede dipandang sebagai pasar yang
menyediakan segala macam kebutuhan sehingga segala macam
komoditas hasil produksi dalam kota maupun luar kota dipasok di
Pasar Gede.
3. Segala komoditas “laku dijual” di Pasar Gede, mengingat dalam
waktu yang relatif tidak lama, berbagai macam komoditas dapat
terjual dalam berbagai jenis.
4. Hubungan “Jaringan antar wilayah” karena Pemasok datang dari
dalam kota, luar kota, dan luar wilayah.

4.5 Ragam Jual-Beli Yang Ada di Pasar


Gede
Berbagai ragam transaksi jual beli yang ada di Pasar Gede merupakan hasil
bentukan dari adanya berbagai macam jenis komoditas, karakter pengunjung
dan keberadaan Pasar Gede di pusat kota. Berdasarkan hasil wawancara
dengan berbagai pengunjung dari berbagai daerah berbelanja eceran dan grosir
ke Pasar Gede bahwa hal-hal terkait dengan mengapa terjadi ragam jual-beli
yang ada di pasar dengan berbagai alasan para pelaku mengunjungi Pasar
Gede.
Berdasarkan uraian kondisi kausal tersebut maka dapat dirunut lebih
mendalam bahwa fenomena mengapa terjadi ragam jual beli Eceran dan
Grosir di Pasar Gede dapat digambarkan secara keruangan seperti dalam Tabel
4.18 berikut :
92 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Tabel 4.18: Keterkaitan Kondisi Kausal dengan Fenomena ragam jual beli
Eceran dan Grosir di Pasar Gede (Analisis peneliti, 2016)
No Kondisi Kausal Fenomena yang terjadi dan lokasinya

1. Pembeli berbelanja kebutuhan


harian untuk memperoleh barang
sesuai yang diperlukan.

2. Pengunjung musiman
mengunjungi Pasar Gede untuk
mencari barang/dagangan yang
tidak ada ditempat lain karena di
Pasar Gede ragam produk sangat
banyak atau mencari produk yang
menjadi kenangan bagi yang
bersangkutan atau bahkan ingin
merasakan produk yang menjadi
ikon Pasar Gede yang biasa
disebut dengan pelancong baik
yang berasal dari dalam kota
maupun luar kota, dengan
kunjungan yang bersifat musiman
(musim liburan atau hari besar)
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 93

3. Pelancong / wisatawan
Mengunjungi Pasar Gede dengan
alasan untuk berekreasi atau
menyaksikan perayaan budaya
ataupun berinterkasi dengan
sesama kolega atau teman yang
berada di Pasar Gede.

Pasar Gede dapat dikaji dari keragaman aktivitas yang berlangsung di kawasan
Pasar Gede. Selama satu hari, aktivitas yang terjadi mulai dari pukul 00.00
hingga 24.00 yang berulang secara rutin mulai dari aktivitas jual beli grosiran
(bakul), jual beli eceran dan katering, jual beli antar pedagang dan antar pasar
di Kota Surakarta. Hal tersebut dapat diuraikan dalam berbagai interaksi yang
ditujukan untuk menanggapi suatu fenomena pengunjung dari Berbagai
Daerah Berbelanja eceran dan grosir ke Pasar Gede dalam kondisi yang ada di
Pasar Gede.
1. Keberadaan Pasar Gede di pusat kota, merupakan suatu kondisi yang
merupakan kelebihan dan kekurangan. Posisi Pasar Gede di pusat
kota merupakan hal yang menguntungkan dan menjadikan kawasan
mudah dicapai dari berbagai arah dan dengan berbagai macam moda
transportasi. Sedangkan dengan posisi di pusat kota membuat lokasi
Pasar Gede tidak dapat berkembang secara horisontal atau tidak dapat
diperluas secara horisontal dengan kata lain luasan yang terbatas.
Dengan demikian dalam operasional berbagai ragam aktivitas
pengunjung dari berbagai daerah berbelanja eceran dan grosir ke
Pasar Gede secara alamiah telah melakukan adaptasi dengan cara
mengalokasikan zona tiap aktivitas sesuai dengan alur dan karakter
kegiatan dalam ruang yang tanpa batas atau batas imajiner.
94 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

2. Terkait dengan keberadaan Pasar Gede di pusat kota, maka tanggapan


terhadap pengunjung dari berbagai daerah berbelanja eceran dan
grosir ke Pasar Gede dapat diuraikan bahwa mengatur jam
operasional menjadi hal yang signifikan untuk diperhatikan untuk
mensinergikan antar berbagai ragam aktivitas dalam ruang yang
terbatas. Hal tersebut ditujukan untuk mengatur perputaran aktivitas
agar tidak menimbulkan kemacetan dan kelancaran bagi semua
pengunjung dari berbagai daerah berbelanja eceran dan grosir ke
Pasar Gede, sehingga semua aktivitas dapat berlangsung sesuai
dengan alur aktivitas dan jangkauan kemampuan kerja.
3. Keberlangsungan berbagai aktivitas dalam ruang, waktu dan
komponen pelaku yang sama diperlukan adanya fasilitas yang
memadai. Sebagaimana diketahui bahwa penataan fasilitas di Pasar
Gede selalu ditingkatkan untuk memperrmudah dan melancarkan
aktivitas yang beragam.
4. Dalam mensikapi adanya segala kondisi dan situasi yang ada di Pasar
Gede, tindakan yang dilakukan oleh para pelaku aktivitas adalah
dengan menjalin kerjasama dan sikap toleransi antar semua
komponen pelaku aktivitas. Kerjasama dan toleransi tidak terbatas
pada ruang dan waktu, tetapi juga pada ragam komoditas. Berbagai
ragam komoditas khusus yang tidak ditemukan di pasar lain, di Pasar
Gede dapat diperoleh dalam kualitas yang bagus dan jumlah yang
banyak.

Berbagai aktivitas tersebut secara spasial dapat dilihat pada Gambar 4.13,
dalam suatu tempat dan waktu yang saling terintegrasi berlangsung dengan
lancar dan intensitas rutin dalam perputaran jam, hari, pekan, bulan dan tahun
sebagai berikut :
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 95

Gambar 4.13: Zona keragaman Aktivitas Pengunjung Eceran dan Grosir ke


Pasar Gede (Aliyah, Setioko, dan Pradoto, 2017b)
Strategi interaksi atau aksi pengunjung dari berbagai daerah berbelanja eceran
dan grosir ke Pasar Gede memiliki sifat tertentu yang terkait dengan orientasi
dari strategi tersebut, yaitu :
1. Berorientasi pada proses perputaran aktivitas secara kontinue dan
stabil atau Ajeg.
2. Berorientasi pada tujuan adanya ruang fleksibel untuk berbagai
aktivitas yang terjadi dalam satu ruang kawasan.

Kejelasan adanya ruang fleksibel dapat dikaji dari gambaran secara spasial
adanya pembagian ruang yang saling tumpang tindih tanpa saling terganggu
antara satu aktivitas dengan aktivitas yang lain. Berbagai ragam aktivitas dapat
diklasifikasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan budaya seperti dalam Tabel
4.22 berikut :
96 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Tabel 4.22: Jenis Aktivitas Ekonomi pengunjung dari berbagai daerah di Pasar
Gede (Aliyah, Setioko, dan Pradoto, 2017b)
No Jenis Pelaku Sifat Ilustrasi Suasana
Aktivitas Kegiatan
1 Berbelanja Pengunjung Rutin
eceran dan eceran dan Setiap
katering katering/restoran hari
ataupun
rumah makan

2 Pengangkutan Pengunjung Rutin


barang para bakul Setiap
bakul dan hari
grosiran

Dengan demikian aktivitas ekonomi Pengunjung dari Berbagai Daerah


Berbelanja Eceran dan Grosir ke Pasar Gede secara spasial dapat digambarkan
seperti dalam Tabel 4.23 berikut:
Tabel 4.23: Aktivitas jual beli Secara Keruangan (Spasial) di Pasar Gede
(Aliyah, Setioko, dan Pradoto, 2017b)
No Siklus Pelaku Tempat
Ativitas
1 Harian
003.00-06.00 Bakul kulakan
dengan colt
pick-up dari
luar kota

06.00-10.00 Pembeli
grosiran atau
pemilik
restoran
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 97

10.00-22.00 Pembeli aceran


masyarakat
sekitar Solo
Raya

19.00-24.00 Pengunjung
mngunjungi
warung makan
dan hik

2 Mingguan dan Kawasan Pasar


Bulanan tidak pernah
sepi selalu
ramai dengan
pengunjung

4.5.1 Pasar Gede sebagai Pusat Barang Berkualitas


Pasar Gede tidak hanya memiliki daya tarik tetapi juga daya saing baik dari
pelayanan pada konsumen maupun kualitas dan keragaman komoditasnya.
Berbagai ragam pengunjung baik pengunjung eceran maupun grosiran atau
katering mengunjungi Pasar Gede dengan maksud untuk mendapatkan barang
atau produk yang berkualitas, meskipun dengan harga yang relatif tinggi bila
dibandingkan dengan pasar lain. Hal tersebut seperti yang diuangkapkan oleh
salah satu pemilik restoran “Sedap Rasane” dan “Mareme” Bapak Mul sebagai
berikut:
Dari pemasok barang masuk di seleksi, dipilah-pilah, baru dijual di Pasar
Gede. Sehingga barangnya tidak murah dan barangnya bagus karena sudah
terseleksi. Barang-barang yang dijual sudah jaminan bagus tidak ada yang
jelek, apalagi kalau masuk sendiri milih sendiri dan jadi dapet bagus. Kalo
untuk usaha yang sekedar menginginkan keuntungan yang besar, nggak
mungkin masuk Pasar Besar, akan belanja di pasar selain Pasar Besar, tetapi
kualitasnya belum terjamin. Karena Pasar Gede harganya mahal tetapi
kualitasnya bener-bener bagus. Kalau untuk rumah makan saya, karena sudah
pada tuntutan kualitas yang ingin bagus dan tidak mau nurunin grade sehingga
tetap berusaha menjaga kualitas dengan belanja di Pasar Besar. Contohnya
98 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

beras belanja di Kondang Tresno di Pasar Besar. Rumah makan besar seperti
Orient, Diamond, Legian, Candi itu belanjanya ke Pasar Besar. Untuk rumah
makan menengah tidak belanja di Pasar Gede.
Dari hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa komoditas di Pasar Gede
memiliki kualitas yang bagus dengan harga yang relatif mahal, dan konsumen
tertentu yang mampu bertahan belanja di Pasar Gede untuk usaha dan
kebutuhan harian. Di samping itu, di Pasar Gede diijinkan menjual daging
babi, dan berbagai perlengkapan ibadah etnis Thionghoa, seperti dapat dilihat
pada Gambar 4.14.

Gambar 4.14: Komoditas di Pasar Gede dengan kualitas terseleksi dan


beragam (Dokumentasi Peneliti, 2016)
Keragaman, kualitas dan kuantitas barang yang setiap saat selalu ada,
membuat Pasar Gede selalu menerima berbagai permintaan pengiriman barang
hingga ke luar kota. Para pedagang memberikan pelayanan dengan adanya
berbagai permintaan pihak konsumen dengan melakukan pengiriman barang
baik dalam kota maupun luar kota. Berbagai bentuk pengembangan pemasaran
juga dilakukan dengan mengikuti pameran, memasok barang dagangan ke
pasar modern, dan pemesanan melalui media komunikasi. Hal tersebut sebagai
strategi pengembangan pemasaran untuk beradaptasi dengan perkembangan
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 99

jaman. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pengembangan pemasaran


yang sumrambah keluar kota tidak hanya perluasan jejaring tetapi juga
keragaman bentuk pemasaran. Gambar 4.15 mengilustrasikan para pedagang
yang datang dari berbagai daerah di luar Kota Surakarta untuk berbelanja
grosiran.

Gambar 4.15: Perbagai karakter konsumen menghendaki kualitas yang


berbeda (Dokumentasi Peneliti, 2016)
Dengan adanya perluasan jejaring dan keragaman bentuk pemasaran, maka
para pedagang di Pasar Gede secara alami melakukan berbagai cara untuk
dapat menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan konsumen dengan
menyediakan kualitas dagangan yang telah terseleksi dengan baik sehingga
dapat dikatakan bahwa pedagang di Pasar Gede memiliki daya saing yang
setara dengan pasar modern atau mall. Hal tersebut dikemukakan oleh para
pedagang, salah satunya ibu Yatmi (istri dari Bapak Jumadi) sebagai pedagang
yang memasok buah ke berbagai supermarket di wilayah Surakarta, Klaten,
Yogyakarta.
Saya (bu Yatmi) dan suami (pak Jumadi) memasok buah di banyak
supermarket. Seluruh supermarket di Solo Raya yang pasokannya
dari Pasar Gede, ya saya dan suami. Setiap tahun kami
memperbaharui kontrak, ada 60 (enam puluh) item nama buah yang
dicantuntumkan dalam dokumen kontrak antara kami dengan pihak
pemilik, dan biasanya kami yang ke Jakarta di kantor pusatnya.
Kemudian setiap hari kami mengirim buah di supermarket. Ada kelas
A dan Kelas B, hampir semua menggunakan buah kelas A (yang lebih
bangus), cuma Lottemart gudang rabat dan Alfa gudang rabat yang
menggunakan kelas B.
Tidak semua transaksi jual-beli berada di pasar tetapi pembeli datang pada
pedagang hanya untuk negosiasi dan transaksi menggunakan media transaksi
100 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

bank dan alat komunikasi handphone serta menggunakan jasa kurir


pengiriman barang. Hal ini berbeda dengan konsep pasar tradisional, dan
ditengarai mungkin dikarenakan adanya pengaruh teknologi. Tetapi hal yang
terkait dengan hubungan sosial pedagang dan pembeli tetap terjalin. Sebagian
pedagang buah yang cukup besar telah melakukan ekspansi sistem
perdagangan dengan cara menjadi pemasok buah di beberapa supermarket di
sekitar Kota Surakarta. Hal tersebut dilakukan tanpa menutup kios atau
dagangan yang ada di Pasar Gede. Keberadaan kios tetap diperlukan sebagai
tempat yang ajeg untuk berdagang.
Pasar Gede sebagai tempat jual beli memiliki sistem juragan yaitu pedagang
yang cukup kuat secara modal, jaringan, dan nilai tawar yang tinggi. Dengan
adanya sistem tersebut maka suplai barang dan tenaga pengangkut atau kuli
panggul dimiliki oleh sang juragan, dengan menggunakan identitas tertentu
sesuai dengan kelompok juragan, dapat dilihat pada Gambar 4.16.

Gambar 4.16: Suasana pagi hari dominasi pedagang grosiran (Dokumen


Peneliti, 2016)
Beberapa kelompok kuli panggul yang ikut pada salah satu juragan, dengan
menggunakan atribut kelompok juragan. Tidak hanya kuli yang dikuasai oleh
adanya sistem juragan, tempat penyimpanan barang pun demikian. Los tempat
penyimpanan dagangan dikuasai oleh beberapa juragan. Di antaranya ada
Juragan Usor usor Ratno, Juragan Sunardi, dan Juragan Antok Bagong.
Gambar 4.17 mengilustrasikan suasana ketika dagangan dari para pemasok
datang memenuhi ruang di lantai dua Pasar Gede.
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 101

Gambar 4.17: Komoditas Buah Lokal dan Impor untuk konsumen Grosiran
(Dokumentasi Peneliti, 2016)
Dengan berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa kualitas buah yang
ada di Pasar Gede memiliki kualitas yang setara dengan mall, bahkan sumber
pemasok buah di mall adalah salah satu pedagang di Pasar Gede.

4.5.2 Fenomena Kawasan Pasar Gede Dalam Ranah


Konstelasi Ruang Kota
Pembahasan data teoritik terkait dengan fenomena kawasan Pasar Gede dalam
ranah konstelasi ruang kota diuraikan dalam sub-ranah yang terkait dengan
Pasar Gede sebagai Jujugan dan Lurugan, Lokasi Pasar Gede di-adhakan,
Aksesibitas Kawasan Pasar Gede, dan Pasar Gede sebagai ikon Kota
Surakarta.
Keraton Surakarta merupakan penyempurnaan tata ruang keraton sebelumnya
yang asalnya berada di Kartosuro. Terkait dengan pasar tradisional, pasar yang
berada di pinggiran kota memiliki pola yang sama antara pasar yang satu
dengan pasar yang lain di antaranya Pasar Gading, Pasar Kliwon, Pasar
Singosaren bahkan hingga Pasar Pengging di Boyolali. Semua dimaksudkan
untuk memudahkan masyarakat untuk mencari rejeki, mudah menempatkan
diri di masing-masing lingkungan dengan pemerataan penempatan pasar di
berbagai arah. Penataan ruang pasar memiliki bentuk tipikal berupa los yang
terbuka dan mudah berinteraksi dengan sesama pedagang. Pasar Gede
merupakan pasar yang berbeda dengan pasar yang lain, bagunan Pasar Gede
berupa bangunan besar seperti mall dan perannya sebagai pasar induk di pusat
kota.
102 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

4.5.3 Pasar Gede sebagai Jujugan dan Lurugan


Kata Jujugan berasal dari bahasa Jawa yang memiliki arti papan sing dijujug
(tempat yang dituju) atau adhakan (posisi strategis), gampang ketemu (mudah
ditemukan), dengan maksud tempat yang dituju atau tempat yang mudah
dicapai dan ditemukan. Pemahaman terkait dengan pasar sebagai jujugan tidak
lepas dari komponen pelaku pasar, mulai dari pedagang, pembeli, pemasok,
penyedia pelayanan jasa (jasa angkut, parkir, kebersihan) serta pengelola pasar
di bawah pengawasan Dinas Pengelolaan Pasar. Masyarakat Kota Surakarta
dalam memenuhi kebutuhan kehidupan tidak terlepas dari keberadaan pasar,
baik pasar tradisional maupun modern. Salah satu pasar tradisional yang
dikunjungi masyarakat Kota Surakarta dan sekitarnya adalah Pasar Gede.
Masyarakat inilah yang kemudian disebut sebagai komponen pelaku pasar
tradisional Pasar Gede. Para pelaku tidaknya hanya pembeli dan pedagang
tetapi juga pihak atau komponen yang bekerja sebagai penyedia jasa angkut,
kebersihan, pengiriman, dan juga para pemasok yang mereka datang dari luar
kota. Berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai komponen pelaku pasar
tradisional bahwa hal-hal terkait dengan mengapa para pelaku mengunjungi
pasar dengan berbagai alasan yang menyebabkan harus mengunjungi Pasar
Gede.
Dalam ruang dan waktu yang sama, Pasar Gede dikunjungi oleh berbagai
komponen pelaku yang berasal dari dalam kota dan luar kota dengan berbagai
ragam aktivitas. Beberapa aktivitas saling tumpang tindih menempati area
yang sama, dan sebagian aktivitas lain dapat dikelola dengan pembagian zona
dan waktu dengan batas imajiner sehingga semua ragam aktivitas dapat
berlangsung dengan lancar dan intensitas rutin dalam perputaran jam, hari,
pekan, bulan dan tahun.
Pasar Gede dapat dikaji dari keragaman aktivitas yang berlangsung di kawasan
Pasar Gede. Selama satu hari, aktivitas yang terjadi mulai dari pukul 00.00
hingga 24.00 yang berulang secara rutin mulai dari aktivitas pemasokan
dagangan, jual beli grosiran (bakul), jual beli eceran dan katering, jual beli
antar pedagang dan antar pasar di Kota Surakarta. Hal tersebut dapat diuraikan
dalam berbagai interaksi yang ditujukan untuk menanggapi suatu fenomena
pasar sebagai jujugan dalam kondisi yang ada di Pasar Gede.
1. Keberadaan Pasar Gede di pusat kota, merupakan suatu kondisi yang
merupakan kelebihan dan kekuarangan. Posisi Pasar Gede di pusat
kota merupakan hal yang menguntungkan dan menjadikan kawasan
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 103

mudah dicapai dari berbagai arah dan dengan berbagai macam moda
transportasi. Sedangkan dengan posisi di pusat kota membuat lokasi
Pasar Gede tidak dapat berkembang secara horisontal atau tidak dapat
diperluas secara horisontal dengan kata lain luasan yang terbatas.
Dengan demikian dalam operasional berbagai ragam aktivitas para
komponen pelaku pasar di Pasar Gede secara alamiah telah
melakukan adaptasi dengan cara mengalokasikan zona tiap aktivitas
sesuai dengan alur dan karakter kegiatan dalam ruang yang tanpa
batas atau batas imajiner.
2. Terkait dengan keberadaan Pasar Gede di pusat kota, maka tanggapan
terhadap pasar sebagai tempat jujugan dapat diuraikan bahwa
mengatur jam operasional menjadi hal yang signifikan untuk
diperhatikan untuk mensinergikan antar berbagai ragam aktivitas
dalam ruang yang terbatas. Hal tersebut ditujukan untuk mengatur
perputaran aktivitas agar tidak menimbulkan kemacetan dan
kelancaran bagi semua komponen pelaku pasar, sehingga semua
aktivitas dapat berlangsung sesuai dengan alur aktivitas dan
jangkauan kemampuan kerja.
3. Keberlangsungan berbagai aktivitas dalam ruang, waktu dan
komponen pelaku yang sama diperlukan adanya fasilitas yang
memadai. Sebagaimana diketahui bahwa penataan fasilitas di Pasar
Gede selalu ditingkatkan untuk memperrmudah dan melancarkan
aktivitas yang beragam.
4. Dalam mensikapi adanya segala kondisi dan situasi yang ada di Pasar
Gede, tindakan yang dilakukan oleh para pelaku aktivitas adalah
dengan menjalin kerjasama dan sikap toleransi antar semua
komponen pelaku aktivitas. Kerjasama dan toleransi tidak terbatas
pada ruang dan waktu, tetapi juga pada ragam komoditas. Berbagai
ragam komoditas khusus yang tidak ditemukan di pasar lain, di Pasar
Gede dapat diperoleh dalam kualitas yang bagus dan jumlah yang
banyak.
104 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

4.5.4 Lokasi Pasar Gede di-adhakan


Lokasi Pasar Gede sangat strategis karena terletak pada pusat kota tradisional
Jawa dan dalam perkembangan sekarang menjadi kawasan inti Kota Surakarta.
Berbagai pendapat berdasarkan hasil wawancara dengan pedagang, salah
satunya pedagang buah eceran Bu Wuni yang berdagang sejak tahun 1987
mengungkapkan:
Pasar Gede sangat mudah untuk dicapai dari arah manapun.
Situasinya tidak terlalu ramai dan tidak padat juga tidak sepi, baik
pada hari biasa, liburan maupun hari besar. Lalu lintas aman tidak
sampai berjubel macet. Tempat parkir tidak luas dan tidak padat
begitu pula tidak sepi dari kendaraan yang parkir. Lahannya nggak
luas tapi kok ya cukup, karena pengunjung silih berganti.
Begitu pula ungkapan salah satu pengelola rumah makan Pak Mul pemilik
Rumah makan “Sedap Rasane” dan “Mareme” yang sering dating
mengunjungi Pasar Gede untuk berbelanja dan bertemu sapa dengan para
pedagang.
Berawal dari berita tentang Pasar Besar (yang dimaksud adalah
Pasar Gede) awalnya pasar tradisional, karena letak dan lokasinya
di kecamatan Jebres di mana yang notabene mayoritas orang
keturunan, maka dikatakan sebagai pasar orang keturunan China.
Akhirnya sampai sekarang cenderung ke mayoritas China, dan dari
mayoritas itu sendiri muncul hal-hal yang menjadi ciri khas pasar
tradisional. Dari pasar legi barang masuk di seleksi dipilah-pilah
dijual di Pasar Gede. Sehingga barangnya tidak murah dan
barangnya bagus karena sudah terseleksi. Barangnya sudah jaminan
tidak jelek, apalagi kalo masuk sendiri milih sendiri dan jadi dapet
bagus.
Konsekuensi hal ini sangat beragam yaitu pertama berupa daya tarik bagi
pengembangan ekonomi oleh para investor, sangat memungkinkan untuk
berkembang menjadi pusat perbelanjaan seperti mega-mall atau pasar dengan
tingkat keramaian yang tinggi. Kedua dari kajian teori lahan hal ini sangat
rentan terhadap pertumbuhan ekonomi kota, dan menarik minat para investor
untuk mengembangkan investasi di lahan yang strategis, dan secara alamiah
lahan yang strategis akan tumbuh menjadi pusat keramaian yang selanjutkan
akan membawa dampak pada pertumbuhan sektor non formal dan menjadi
ramai. Tetapi hal yang terjadi di kawasan Pasar Gede menunjukkan hal yang
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 105

berbeda dengan kaidah tersebut. Pasar Gede meskipun memiliki lokasi yang
strategis, tetapi kondisi dan situasi pasar sebagai pusat ekonomi tetap bertahan
tidak surut dan tidak berkembang secara signifikan. Ketiga, Pasar Gede berada
dipusat kota dan ditengah komunitas etnis Tionghoa, sehingga tidak menutup
kemungkinan adanya perpaduan budaya, baik Jawa, China dan perkembangan
gaya hidup.

4.5.5 Aksesibitas Kawasan Pasar Gede


Aneka peristiwa baik peristiwa ekonomi, politik, religi, kesenian maupun
transportasi dan komunikasi, hadir di wilayah aliran Sungai Bengawan Solo.
Jika ditelusuri dan dihubungkan, proses budaya yang berlangsung didaerah
aliran Bengawan Solo sejak jaman prasejarah, masa Hindu-Buddha, masa
awal perkembangan Islam, masa kolonial hingga kemerdekaan RI, akan
menampakkan dinamika ragam kehidupan budaya manusia Jawa dalam lintas
masa.
Dahulu menggunakan jalur transportasi sungai yaitu Kali Pepe sebagai jalur
pendistribusian barang dari luar kota masuk ke Kota Surakarta, dan adanya
“tol” tempat pemberhentian dan sekaligus pemungutan pajak di bagian ujung
Kali Pepe. Pada masa itu rumah atau bangunan berorientasi ke arah sungai
sehingga terbentuk jalur di pinggir Kali Pepe. Perkembangan berikutnya, jalur
transportasi beralih ke jalur darat sehingga banyak sirkulasi aktivitas ekonomi
yang bertumpu pada penggunaan jalan darat. Perubahan ini mengakibatkan
bangunan dan aktivitas ekonomi beralih pada orientasi jalan raya, dan pada
akhirnya transportasi sungai tidak digunakan sama sekali hingga sekarang.
Pedagang dan barang dagangan di Pasar Gede berasal dari berbagai daerah
sesuai dengan komoditas yang dibawa, dan mereka hanya memiliki satu tujuan
untuk mensuplai Pasar Gede.
Pedagang dapat dibedakan dalam kategori:
• Pemasok buah, ada yang berasal dari Banyuwangi, Palembang,
Pontianak, dan wilayah sekitar Jawa Tengah.
• Pedagang yang mengunjungi atau belanja di Pasar Gede untuk dijual
kembali seperti tukang sayur keliling, pedagang pensuplay kios buah
dan pedagang sebagai pengusaha restoran atau hotel.
106 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

• Pedagang tetap Pasar Gede yang melakukan penjualan kepada para


pedagang pengecer dan penerima atau pembeli dari pedagang sebagai
distributor dari luar wilayah Jawa Tengah.
• Pedagang Pasar Gede yang memasok pasar lainnya di Kota Surakarta

Terkait dengan konsep mancapat mancalima, pembagian peran terbagi pada


kelas pasar, dan lingkup layanan, di Kota Surakarta dengan spesifikasi
komoditas mengakibatkan pasar memiliki peran yang sepadan dengan
dagangan dan asal pedagang yang beragam jadi antara pasar induk dan bukan
pasar induk memiliki posisi atau peran yang sama. Begitu pula yang terjadi
pada Pasar Gede. Peran Pasar Gede semestinya menjadi pasar induk yang
mensuplai sebagian besar dagangan yang ada di pasar yang lain, tetapi hal
tersebut tidak terjadi, karena komoditas utama dari pasar-pasar yang lain
berbeda dan spesifik.
Aksesibitas Pasar Gede sangat mudah untuk dicapai. Kenyataan yang ada di
Pasar Gede seperti dalam Gambar 4.18:
• Tidak padat pengunjung dan tidak sepi, situasi pasar stagnan baik
pada hari biasa, liburan maupun hari besar.
• Keadaan lalu lintas juga demikian, parkir tidak luas dan tidak padat
begitu pula tidak sepi dari kendaraan yang parkir

Gambar 4.18: Aksesibilitas menuju Kawasan Pasar Gede (Dokumentasi


Peneliti, 2016)
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 107

Kawasan dengan aksesibiltas yang mudah sangat memungkinkan untuk


tumbuh dan berkembang menjadi sentra bisnis. Tetapi yang terjadi sebaliknya,
Pasar Gede dengan aksesibilitas mudah memiliki kondisi yang relatif stagnan
tidak mengalami banyak perubahan dari tahun 1935 hingga sekarang,
meskipun transportasi menuju lokasi atau kawasan Pasar Gede mudah diakses.
Begitu pula moda transportasi baik umum maupun pribadi juga mudah
diakses.
Kondisi bangunan dan kawasan di sekitar Pasar Gede secara alami terbentuk
pola pembagian komoditas yang berbeda dengan pasar lainnya. Pasar Gede
memiliki pola pembagian seperti dalam Gambar 4.19 berikut:

Gambar 4.19: Pola zonasi komoditas di Kawasan Pasar Gede (Aliyah,


Setioko, dan Pradoto, 2017b)
Kawasan Pasar Gede memiliki daya dukung komoditas yang sangat beragam,
berbeda dengan komoditas yang ada di dalam pasar. Hal tersebut saling
bersinergi antara daya dukung komoditas pertokoan, kios, los dan oprokan
dengan kondisi:
• pengunjung toko-toko di sekitar pasar memanfaatkan berkunjung ke
pasar untuk berbelanja komoditas harian, di sisi lain ada pengunjung
yang benar-benar datang tetapi hanya komoditas yang dituju, bukan
datang untuk menuju dua bagian tersebut (pasar dan pertokoan).
Kampung yang berkegiatan sesuai kampung, pasar bekegiatan sesuai
fungsi pasar, antar kegiatan tidak terpengaruh dan tidak terganggu.
• Pasar induk kota lain yang terjadi kawasan sekitar merupakan
dukungan perkembangan dari komoditas yang ada di pasar. Dan
terjadi korelasi komoditas pasar dan di luar pasar. Hal tersebut
menjadi pilihan bagi pengunjung.
108 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

4.5.6 Pasar Gede sebagai Pasar Ekslusif di Kota Surakarta


Komoditas masing-masing pasar di Kota Surakarta memiliki spesifikasi atau
karakteristik komoditas berbeda untuk masing-masing pasar dan Pasar Gede
dikenal sebagai pasar yang didominasi komoditas buah dan kelas kualitas
dagangan bagus atau tinggi. Masing-masing pasar yang utama di Kota
Surakarta memiliki komoditas yang berbeda-beda, dan Pasar Gede memiliki
komoditas utama yaitu buah baik buah lokal maupun buah import, dapat
dilihat pada Gambar 4.20.

Gambar 4.20: Pasar Gede dikenal sebagai pasar eksklusif (Dokumentasi


Peneliti, 2016)
Berdasarkan teori atau konsep pasar tradisional bahwa pasar merupakan
tempat menjual hasil komoditas yang ada di sekitarnya, tetapi berbeda dengan
situasi yang ada di Kota Surakarta, pasar tradisional memiliki peran sesuai
dengan komoditas yang dominan di pasar tersebut. Bahkan Pasar Gede sebagai
pasar induk komoditas secara umum memang lengkap tetapi didominasi oleh
komoditas buah. Sehingga komoditas lain tetap ada walaupun transaksinya
sangat rendah. Pasar Gede memiliki pangsa pasar tertentu yaitu menengah ke
atas, dengan kualitas komoditas pun disediakan untuk kelas menengah ke atas.
Hal ini membawa konsekuaensi:
• Parkir tidak meluap hanya kendaraan tertentu dan sebagian besar
mobil dengan jenis menengah ke atas, tetapi juga tidak sepi dari
pengunjung
• Pengunjung relatif sopan dan rapi, tidak terlihat sikap yang ‘norak’
dan terikan-teriakan para pengemudi maupun juru parkir.
Bab 4 Fenomena Kawasan Pasar Tradisional 109

Dalam konsep pasar tradisional bahwa pasar induk merupakan pasar yang
lingkup pelayanan memiliki jangkauan yang lebih luas dari berbagai lapisan
masyarakat. Tetapi yang terjadi di Pasar Gede pangsa pasar terbatas pada
kalangan tertentu meskipun lingkupnya datang dari beberapa daerah kabupaten
sekitar. Pasar Gede memiliki komoditas tertentu yang dominan yaitu buah, dan
bunga. Komoditas buah dan bunga yang didistribusikan pada pasar lain yang
perannya berada di bawah Pasar Gede. Sedangakn produk atau komoditas
lainnya lebih diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan konsumen eceran
yang datang ke Pasar Gede ataupun pedagang kecil seperti penjual sayur
keliling, rumah makan, dan hotel.
Sebagai pasar induk, dalam konsep pasar tradisional bahwa pasar induk
merupakan pasar yang mendistribusikan barang dagangan ke pasar yang ada di
bawahnya. Sedangkan Pasar Gede pelayanan terhadap pasar yang ada di
bawahnya, hanya beberapa jenis barang dagangan yang didistribusikan yaitu
bunga dan buah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pasar Gede menjadi
pusat untuk komoditas tertentu bagi pasar yang lingkupnya ada di bawahnya.
Bangunan yang ada di kawasan Pasar Gede tidak mengalami perkembangan
yang drastis, baik horisontal maupun vertikal, dan relatif tidak berubah
morfologi bangunannya. Hal ini berbeda dengan teori pasar induk yang
memiliki kecenderungan pertumbuhan kapasitas, ruang/luasan dan jumlah
lantai, bahkan kawasan sekitar pun cenderung akan beralih fungsi dari hunian
menjadi komersial.
Sistem perdagangan yang ada di dalam bangunan Pasar Gede dikenal dengan
sistem peken, sedangkan diluar bangunan tetapi masih dalam kawasan Pasar
Gede terdapat deretan pertokoan dengan sistem firma. Hal ini membuat
kawasan Pasar Gede sebagai kawasan perdagangan dengan integrasi antara
sistem peken dan sistem firma. Di antara keduanya saling mendukung tanpa
terjadi kesenjangan dan perebutan pangsa pasar.
Nilai lahan yang tinggi tidak menyurutkan semangat pemerintah untuk
mempertahankan harga retribusi sama dengan kelas pasar tradisional yang lain.
Masyarakat sekitar pun tidak goyah untuk tetap memiliki bangunan dan lahan
di kawasan Pasar Gede, dengan fungsi sebagai hunian, dan hunian-usaha.
Demikian pula sebaliknya, para pedagang dan masyarakat rela membayar
pajak yang tinggi (karena nilai lahan tinggi) meskipun usahanya tampak secara
pengamatan ekonomi tidak terlalu ramai dan juga tidak sepi dari pengunjung.
Konsekuensi nilai lahan yang tinggi secara ekonomi sulit untuk
110 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

mempertahankan jika tidak difungsikan secara optimal untuk memanfaatkan


lahan tersebut. Di samping itu pula nilai pajaknya sangat tinggi bila digunakan
untuk tempat usaha, maka harga jual usaha akan lebih tinggi dari tempat yang
lain. Kecenderungan ini mengundang spekulan tanah dan bangunan, untuk
mengkomersialkan lahan dan bangunan.
Bab 5
Penelusuran Bertahannya Pasar
Tradisional Di Pusat Kota

Hasil penelusuran fenomena yang telah disusun dalam pembahasan


sebelumnya, lebih lanjut dapat diuraikan berdasarkan prosedur pengkodean
menurut Strauss and Corbin, 2013, yang terbagi dalam 3 tahap yaitu Open
Coding (Pengkodean Berbuka), Axial Coding (Pengkodean Berporos), dan
Selective Coding (Pengkodean Berpilih). Dalam pembahasan ini diuraikan
secara prosedural tahap-tahap tersebut dalam Tema, Konsep, dan Kategori
dapat dilihat pada Gambar 5.1.

Gambar 5.1: Kerangka Pikir Tema, Konsepsi, Kategori dalam penelitian


(Analisis Peneliti, 2016)
112 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

5.1 Perumusan Tema Dari Fenomena


Diskrit Sebagai Proses Pengkodean
Berbuka
Berdasarkan pembahasan fenomena diskrit yang dapat dihimpun, ada 29
fenomena diskrit seperti yang telah diuraikan pada pembahasan Bab V, maka
pada bagian ini dapat dilakukan proses Open Coding dengan pelebelan
fenomena dalam bentuk tema untuk membangun konseptualisasi dan
kategorisasi menuju teori tentang Pasar Tradisional sebagai Komponen
Struktur Kota Tradisional Jawa. Open Coding atau Pengkodean Berbuka
merupakan bagian dari analisis yang berkaitan dengan pemberian nama dan
pengelompokan fenomena melalui pemeriksaan data yang cermat. Analisis
fenomena menggunakan metode perbandingan antar masing-masing
konsekuensi yang muncul akibat fenomena yang dikaji persamaan dan
perbedaannya. Pengelompokan dapat dilakukan dalam suatu jenis tema yang
sama, seperti dalam Tabel 5.1. Proses Open Coding, data teoritik diuraikan
menjadi fenomena diskrit, diperiksa dengan cermat, dibanding perbedaan dan
persamaannya, dan diajukan pertanyaan yang berhubungan dengan fenomena
tersebut dalam bentuk tema seperti yang dirinci dalam Tabel 5.2. Proses ini
menghasilkan tema sebagai berikut :
Tabel 5.1: Perbandingan Konsekuensi yang dihasilkan Fenomena Diskrit
(Analisis Peneliti, 2016)
Perbandingan
No Fenomena Konsekuensi
Persamaan Perbedaan

1. Penguasa Keraton Surakarta • Pasar Gede sebagai bagian konsep Jawa • Pasar Gede sebagai bagian • Komoditas berkualitas
merencanakan Pasar Gede • Pasar Gede menjadi pusat sehingga Pengunjung datang dari konsep Jawa sehingga terjadi
berbeda dengan pasar lain di berbagai daerah • Pasar Gede menjadi pusat segmentasi Pasar
“negari” • Jejaring masuk dari luar kota ke arah Kota sehingga Pengunjung Gede
• Komoditas berkualitas sehingga terjadi segmentasi Pasar Gede datang dari berbagai • pusat hirarki pasar di
daerah Kota Surakarta
• Jejaring masuk dari luar • Keseimbangan kota
2.
Penguasa Keraton Surakarta • Pasar Gede sebagai bagian konsep Jawa
kota ke arah Kota sebagai perwujudan
merencanakan Pasar Gede • Keseimbangan kota sebagai perwujudan falsafah “jaman Surakarta falsafah “jaman
sebagai bagian dari kosmis Kelakoni”
• Pusat Pelayanan dalam Kelakoni”
Kota • Jejaring masuk dari luar ke arah Surakarta
kota maupun luar kota
• Pusat Pelayanan dalam maupun luar kota
3.
Penguasa Keraton Surakarta • pusat hirarki pasar di Kota Surakarta
merencanakan Pasar Gede • Keseimbangan kota sebagai perwujudan falsafah “jaman
menempati hirarki kelas atas Kelakoni”
• Jejaring masuk dari luar ke arah Surakarta
• Pusat Pelayanan dalam maupun luar kota
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 113

Perbandingan
No Fenomena Konsekuensi
Persamaan Perbedaan

4.
Budayawan dan Tokoh • Pasar sebagai komponen utama • Menjaga nilai-nilai • Pasar sebagai
Keraton menganggap pasar • Komponen negari perwujudan “ucap syukur” komponen utama
bagian komponen utama • Menjaga nilai-nilai • Komponen negari
negari “ucap syukur”

5.
Pengunjung menikmati dan • Keragaman dan keunikan komoditas • Keragaman dan keunikan • Masyarakat menjaga
bernostalgia di Pasar Gede • Pengunjung dan pedagang menjaga Nilai histori komoditas Nilai histori
• Citra Pasar Gede tidak tergantikan • Citra Pasar Gede tidak
tergantikan
6.
Pasar Gede mengalami • Keragaman “opo-opo ono” • Keragaman “opo-opo • Fleksibitas ruang
perputaran jenis dari dalam • Pemusatan “ngayahi butuh” ono” berbagai aktivitas,
jumlah yang relatif sama • Fleksibitas ruang digunakan berbagai aktivitas, pengguna, dan • Pemusatan “ngayahi pengguna, dan waktu
waktu butuh” • Siklus aktivitas yang
• Siklus aktivitas yang berputar berputar hingga 24
jam
7.
Masyarakat diakomodir dulu • Keragaman “opo-opo ono”
hingga sekarang, situasi • Pemusatan “ngayahi butuh”
sebanding perkembangan • Fleksibitas ruang berbagai aktivitas, pengguna, dan waktu
jaman • Siklus aktivitas yang berputar

8.
Pemasok antar wilayah • Keramaian “regeng” • Keramaian “regeng” • Hubungan
• Keragaman “rupa-rupa komoditas” • Keragaman “rupa-rupa “kepercayaan”
• Segala komoditas “laku dijual” komoditas” Pengunjung kelas
• Hubungan “Jaringan antar wilayah” • Segala komoditas “laku menengah ke atas
dijual” • Nilai Kesejarahan
9.
Pengunjung berbagai kota • Keramaian “regeng”
• Hubungan “Jaringan antar untuk di”uri-uri”
• Keragaman “rupa-rupa komoditas”
wilayah” • Kegiatan budaya
• “opo-opo ono” dalam jumlah dan kualitas
• “opo-opo ono” dalam sebagai “event /
• Hubungan “kepercayaan” Grebeg”
jumlah banyak dan
10.
Pedagang dari berbagai • Keramaian “regeng” kualitas bagus • Ikatan emosional
daerah berdagang di Pasar • Keragaman “rupa-rupa komoditas” • Keragaman aktivitas Sebagai pasarnya
Gede • Segala komoditas “laku dijual” • Keragaman komoditas keraton Kasunanan
• Hubungan “Jaringan antar wilayah” khas Jawa • Keragaman komoditas
11. • Keramaian “regeng” dan kualitas bagus
Penyedia jasa dari berbagai menjadi jaminan atau
wilayah • Keragaman aktivitas
kebanggaan pihak
• Pengunjung kelas menengah ke atas
keraton
• “Jaringan antar wilayah” distribusi dagangan
12.
Wisatawan dari berbagai • Nilai Kesejarahan untuk di”uri-uri”
daerah • Keragaman komoditas khas Jawa
• Kegiatan budaya sebagai “event / Grebeg”
13.
Keraton Kasunanan • Nilai Kesejarahan untuk di”uri-uri”
berbelanja untuk “jamuan” • kebanggaan pihak keraton
• Ikatan emosional Sebagai pasarnya keraton Kasunanan

14.
Pengunjung dari berbagai • Pengunjung dari berbagai daerah • Pengunjung dari berbagai • Keragaman akses
daerah mendatangi Pasar • Jejaring masuk dari luar kota ke arah Kota Surakarta daerah masuk ke kawasan
Gede • Keragaman akses masuk ke kawasan Pasar Gede • Jejaring masuk dari luar Pasar Gede
kota ke arah Kota
Surakarta
15.
Pemasok dan pedagang • Penangguhan pembayaran • Kepercayaan antar • Penangguhan
menjual dagangan dengan • Kepercayaan antar pedagang dan pemasok pedagang dan pemasok pembayaran
sistem komisi • Kemampuan daya jual • Kemampuan daya jual

berdasarkan kepercayaan

16.
pemilahan kualitas dagangan • Kualitas dagangan terjamin dan jumlah barang tersedia • Kualitas dagangan • Sisa sortiran dibeli
dengan mengkategorikan • Kepastian harga dengan sistem label harga terjamin dan jumlah pedagang asongan
beberapa harga dan kualitas • Pelayanan pengiriman barang dan pemesanan melalui telpon barang tersedia
• Sisa sortiran dibeli pedagang asongan • Kepastian harga dengan
sistem label harga
17.
Pengunjung mendapatkan • Kualitas dagangan yang terjamin dan jumlah barang yang selalu
tersedia • Pelayanan pengiriman
barang yang lebih segar dan barang dan pemesanan
jumlah yang banyak • Kepastian harga dengan sistem label harga
melalui telpon
• Pelayanan pengiriman barang dan pemesanan melalui telpo
114 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Perbandingan
No Fenomena Konsekuensi
Persamaan Perbedaan

18.
Pedagang memasok • Kualitas terjamin dan jumlah barang tersedia • Kualitas terjamin dan • Jejaring ke arah keluar
dagangan ke supermarket • Pedagang telaten melakukan transaksi dengan pihak jumlah barang tersedia dari Kota Surakarta
Kota Surakarta dan supermarket • Pedagang telaten menuju lingkup
Yogyakarta • Jejaring ke arah keluar dari Kota Surakarta menuju wilayah lain melakukan transaksi nasional
dengan pihak supermarket
• Jejaring ke arah keluar
dari Kota Surakarta
19.
Pedagang mengirim barang • Kualitas dagangan terjamin dan jumlah barang tersedia
menuju wilayah lain
dagangan dari Pasar Gede ke • Pedagang telaten melakukan transaksi dengan pihak luar kota
luar Kota dan ke luar pulau dan luar Jawa
Jawa • Jejaring keluar menuju lingkup nasional

20.
Pelaku katering dan pengelola • Keragaman “opo-opo ono” • Keragaman “opo-opo • Kualitas dagangan
rumah makan dapat • Pemusatan “ngayahi butuh” ono” terseleksi
memperoleh barang • Pengunjung kelas menengah ke atas dengan kemampuan daya • Pemusatan “ngayahi
berkualitas bagus dan harga beli yang tinggi butuh”
relatif mahal • Hubungan “Jaringan antar wilayah” • Pengunjung kelas
menengah ke atas dengan
21. • Keragaman “opo-opo ono” kemampuan daya beli
Pedagang menyediakan yang tinggi
barang berkualitas bagus dan • Pemusatan “ngayahi butuh”
• Pengunjung kelas menengah ke atas dengan kemampuan daya • Hubungan “Jaringan antar
harga relatif mahal di Pasar wilayah”
Gede beli yang tinggi
• Hubungan “Jaringan antar wilayah” sebagai peluang distribusi
• Kualitas dagangan terseleksi

22.
Pemasok memasok barang • Keragaman “opo-opo ono”
berkualitas bagus dan harga • Pemusatan “ngayahi butuh”
relatif mahal di Pasar Gede • Pengunjung kelas menengah ke atas dengan kemampuan daya
beli yang tinggi
• Hubungan “Jaringan antar wilayah” peluang distribusi
dagangan
23.
Masyarakat mengenal Pasar • Kualitas dagangan yang terjamin dan jumlah barang yang selalu • Kualitas dagangan yang • Kepastian harga
Gede sebagai pasar Etnis tersedia terjamin dan jumlah dengan sistem label
Tionghoa • Kepastian harga dengan sistem label harga barang yang selalu harga
tersedia

24.
Konsumen yang datang dan • Keragaman dan Kualitas komoditas • Keragaman dan Kualitas • Pelayanan pedagang
belanja di Pasar Gede • Segmentasi pengunjung kelas atas komoditas dengan tawar
memiliki kelas sosial tertentu • Pelayanan pedagang dengan tawar menawar yang rendah • Segmentasi Keragaman menawar yang rendah
“opo-opo ono” • Pengunjung
25. • Keragaman “opo-opo ono” • Pemusatan “ngayahi kemampuan daya beli
Pedagang menyediakan butuh” kelas menengah ke
barang berkualitas bagus dan • Pemusatan “ngayahi butuh”
• Hubungan “Jaringan antar atas
harga relatif mahal • Pengunjung kemampuan daya beli kelas menengah ke atas
wilayah” peluang
• Hubungan “Jaringan antar wilayah”
distribusi dagangan
di Pasar Gede

26.
Pasar Gede tidak pernah sepi • Pasar ramai dalam segala situasi • Pasar selalu ramai • Pasar tidak terkait hari
didatangi pengunjung • Keragaman aktivitas di Pasar Gede • Keragaman aktivitas di pasaran, dan lebih
• Pengunjung dari berbagai kalangan dan asal daerah Pasar Gede terpengaruh oleh hari
• Pengunjung dari berbagai libur atau menjelang
kalangan dan asal daerah hari raya
27.
Pasar Gede tidak mengenal • Pasar ramai tidak terkait hari pasaran, dan lebih terpengaruh oleh
“hari pasaran” hari libur atau menjelang hari raya
• Keragaman aktivitas di Pasar Gede
• Pengunjung dari berbagai kalangan dan asal daerah

28.
Letak Pasar Gede mudah • strategis di pusat Kota Surakarta • Jejaring masuk dari luar • strategis di pusat Kota
dikenali dan dicapai oleh • Pasar Gede sebagai ikon kota kota ke arah Kota • Pasar Gede sebagai
pengunjung • Pasar Gede sebagai simpul kota Surakarta ikon kota
• Jejaring masuk dari luar ke arah Surakarta • Pusat Pelayanan dalam • Pasar Gede sebagai
• Pusat Pelayanan dalam dan luar kota dan luar kota simpul kota
29.
Masyarakat menganggap • Pasar sebagai penanda “ancer-ancer” • Pasar Mudah dikenali dari • Sebagai ikon kota
Pasar Gede sebagai salah satu • Sebagai ikon kota Surakarta berbagai daerah Surakarta
penanda kota • Tempat tujuan utama wisatawan kuliner • Pasar sebagai penanda • Tempat tujuan utama
• Pasar Mudah dikenali dari berbagai daerah “ancer-ancer” wisatawan kuliner
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 115

Tabel 5.2: Open Coding Fenomena Pasar Tradisional sebagai Komponen


Struktur Kota Tradisional Jawa (Analisis Peneliti, 2016)
116 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Berdasarkan hasil pemberian nama dan pengelompokan fenomena dalam


bentuk tema, maka dapat diklasifikasikan kembali untuk menelusuri karakter
masing-masing tema dengan melihat kesamaan dan perbedaan dari masing-
masing tema, sehingga dapat dikelompokkan dalam berbagai fokus tema-tema
yang terbagi dalam nilai kesejarahan pasar tradisional, pasar sebagai ruang
ekonomi, pasar sebagai ruang sosial budaya, dan pasar dalam konstelasi kota.

5.1.1 Tema-Tema Nilai Kesejarahan Pasar Tradisional


Seluruh tema yang dihasilkan dari proses pelabelan fenomena diskrit, beberapa
tema yang memiliki fokus pada nilai kesejarahan pasar tradisional dapat
dirangkai dalam alur tema yang saling terkait dan dapat dimas

Gambar 5.2: Alur Tema Nilai Kesejarahan Pasar Tradisional (Analisis


Peneliti 2016)

5.1.2 Tema-Tema Pasar Sebagai Ruang Budaya


Tema yang dihasilkan dari proses pelabelan fenomena diskrit, beberapa tema
yang memiliki fokus pada ruang budaya dapat dirangkai dalam alur tema yang
saling terkait dan dapat dimasukkan dalam satu orientasi Pasar sebagai Ruang
Budaya, seperti dalam Gambar 5.3.

Gambar 5.3: Alur Tema Pasar Tradisional sebagai Ruang Budaya (Analisis
Peneliti 2016)
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 117

5.1.3 Tema-Tema Pasar Sebagai Ruang Sosial


Tema yang dihasilkan dari proses pelabelan fenomena diskrit, beberapa tema
yang memiliki fokus pada ruang sosial dapat dirangkai dalam alur tema yang
saling terkait dan dapat dimasukkan dalam satu orientasi Pasar sebagai Ruang
Sosial, seperti dalam Gambar 5.4.

Gambar 5.4: Alur Tema Pasar Tradisional sebagai Ruang Sosial (Analisis
Peneliti 2016)

5.1.4 Tema -Tema Pasar sebagai Ruang ekonomi


Tema yang dihasilkan dari proses pelabelan fenomena diskrit, beberapa tema
yang memiliki fokus pada ruang ekonomi dapat dirangkai dalam alur tema
yang saling terkait dan dapat dimasukkan dalam satu orientasi Pasar sebagai
Ruang Ekonomi, seperti dalam Gambar 5.5.

Gambar 5.5: Alur Tema Pasar Tradisional sebagai Ruang Ekonomi (Analisis
Peneliti 2016)

5.1.5 Tema-Tema Pasar Dalam Konstelasi kota


Tema yang dihasilkan dari proses pelabelan fenomena diskrit, beberapa tema
yang memiliki fokus pada konstelasi kota dapat dirangkai dalam alur tema
118 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

yang saling terkait dan dapat dimasukkan dalam satu orientasi Pasar dalam
Konstelasi Kota, seperti dalam Gambar 5.6.

Gambar 5.6: Alur Tema Pasar Tradisional Dalam Konstelasi kota (Analisis
Peneliti 2016)

5.2 Keterkaitan Antar Tema


Tahap pengkaitan antar tema merupakan proses yang penting untuk
memahami masing-masing tema dan keterkaitannya guna mempermudah
perumusan konsep. Pengkaitan antar tema dilakukan melalui proses
pembandingan untuk mengidentifikasi dan mengkategorikan konsep. Tujuan
pembandingan dapat membantu mendobrak asumsi dan juga mengungkap
adanya ukuran tertentu dengan merujuk pengetahuan pribadi, pengetahuan
profesi, dan literatur teknis.

5.2.1 Keterkaitan Tema dalam Ranah Sejarah Kota


Surakarta
Berdasarkan hasil penelusuran tema dan alur tema Nilai Kesejarahan Pasar
Tradisional, maka dapat diketahui keterkaitan antar tema dalam ranah sejarah
Kota Surakarta. Sedangkan keterkaitan tema-tema yang masuk dalam ranah
Nilai Kesejarahan Pasar Tradisional dapat diuraikan dengan menggunakan
paradigma kondisi kausal, kontek, interaksi, strategi dan konsekuensi.
Dengan adanya kondisi kausal bahwa pasar tradisional adalah salah satu dari
komponen kota Tradisional Jawa, maka hal yang sama pun terjadi di Kota
Surakarta. Keraton Kasunanan Surakarta dibangun dengan dasar tiga
komponen kota yang utama yaitu keraton, masjid dan pasar. Ketiga komponen
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 119

kota merupakan perwujudan adanya konsep aturan, sujud manembah dan ucap
syukur yang menjadi nilai-nilai filosofi yang pegang oleh seorang raja dalam
memerintah sebuah negari atau negara berupa kerajaaan. Dalam hal ini pasar
merupakan wujud dari konsep ucap syukur.
Hal inilah yang mendasari terbentuknya suatu hirarki dan jejaring dari masing-
masing komponen kota di pusat kota tradisional Jawa. Dalam menjalankan
pemerintahan, seorang Raja di negari Keraton Kasunanan Surakarta maka
akan mengayomi warganya. Dengan berdasarkan prinsip ngayomi atau
memberi perlindungan dan pelayanan inilah maka pengaturan pasar sebagai
bentuk implementasi nilai ucap syukur, raja negari Keraton Kasunanan
Surakarta menempatkan pasar dengan hirarki dan jejaring yang mengacu pada
sedulur papat kalimo pancer dengan pusat orientasi keraton dapat dilihat pada
Gambar 5.7.
Dalam kehidupan suatu negari, maka konteks aktivitas ekonomi, sosial dan
budaya di kota pun menjadi sangat komplek dan menjadi bagian yang dicari,
dituju, dan sekaligus diharapkan oleh seluruh komponen masyarakat. Pasar
Gede adalah salah satu tempat yang menjadi wadah bagi aktivitas tersebut,
sehingga pasar dipandang sebagai Jujugan atau tempat untuk mendapatkan,
mencari, dan memperoleh sesuatu bagi masyarakat. Hal tersebut diperkuat
pula oleh adanya posisi dan kekhasan Pasar Gede berada pada wilayah yang
langsung berkaitan dengan axis atau sumbu utama Kota Surakarta, dan berada
pada depan dari posisi Keraton Kasunanan Surakarta sehingga menjadi
orientasi, disamping itu pula keragaman komoditas yang ada di Pasar Gede,
maka tidak mustahil bila masyarakat menjadikan Pasar Gede sebagai tempat
Jujugan atau tempat yang selalu dituju.

Gambar 5.7: Hirarki dan Jejaring Pasar Tradisional di Kota Surakarta


(Analisis Peneliti, 2016)
120 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Pasar Gede ternyata tidak hanya sebagai Jujugan tetapi juga menjadi Lurugan
atau tempat yang didatangi. Pasar Gede sebagai pasar yang berada pada area
inti Kota Surakarta atau yang disebut dengan negaragung maka hal ini menjadi
daya tarik bagi masyarakat baik dalam kota maupun luar kota untuk nglurug
atau mendatangi Pasar Gede guna memasok barang, berbelanja, bekerja
ataupun tujuan lain. Inilah yang dikenal dengan sebutan bahwa Pasar Gede
menjadi Lurugan.
Berbagai permintaan berbagai pihak konsumen dan upaya pengembangan
pemasaran, maka tindakan dan strategi para pedagang di Pasar Gede tidak
hanya menunggu konsumen atau pelanggan datang, tetapi juga melakukan
penyebaran pemasaran dagangan atas permintaan pelanggan atau konsumen
dan penawaran pada konsumen, baik yang dalam kota maupun luar kota.
Ekspansi pemasaran ini tidak hanya di pasar tradisional tetapi merambah pasar
modern atau supermarket yang berada di dalam kota maupun luar kota.
Dengan demikian para pedagang di Pasar Gede melakukan pengembangan
pemasaran yang dikenal dengan istilah lokalnya sumrambah atau merambah
ke luar daerah.
Keberadaan Pasar Gede sebagai pasar yang berada di area sumbu utama dan
orientasi bagian depan keraton, maka Pasar Gede sejak awal pembentukan
telah diorientasikan menjadi pasar induk atau pasar besar dengan kelengkapan
dan kualitas komoditas yang berbeda dengan pasar lainnya. Komoditas yang
ada di Pasar Gede secara alam terseleksi dan mampu bertahan adalah
komoditas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kelas menengah ke atas. Di
samping itu pula adanya ragam komoditas yang sesuai dengan tuntutan
masyarakat kelas menengah ke atas, maka para pedagang pun merasa bersaing
atau memiliki daya saing untuk menyediakan kualitas dagangan yang setara
dengan pasar modern atau mall. Demikian pula untuk mengembangkan
pemasaran, kualitas barang dagangan yang berasal dari Pasar Gede memiliki
kualitas yang dapat diterima atau setara dengan mall. Bahkan bagi pengunjung
merasa puas belanja di Pasar Gede dari pada di mall karena barangnya lebih
segar dan jumlahnyapun banyak.
Seiring dengan perjalanan waktu, Pasar Gede tidak hanya memiliki nilai
kesejarahan yang sangat penting bagi Kota Surakarta, tetapi memiliki peran
dari berbagai aspek, masyarakat telah menganggap bahwa Pasar Gede adalah
pasare wong Solo atau Pasar Gede sebagai pasarnya masyarakat Kota
Surakarta. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pasar Gede menjadi ciri
khas atau identitas Kota Surakarta. Kesadaran dan image masyarakat Kota
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 121

Surakarta bahwa Pasar Gede sebagai pasare wong Solo menjadi pendorong
dan kekuatan untuk menjaga dan melestarikan warisan sejarah berupa Pasar
Gede sehingga masyarakat tak segan untuk nguri-uri Pasar Gede hingga masih
bisa bertahan hingga seperti sekarang menjadi bagian kota yang urip lan
nguripi atau hidup dan menghidupi Kota Surakarta.
Tak dapat dipungkiri bahwa daya tahan Pasar Gede terhadap perkembangan
sosial, budaya dan ekonomi menjadi pasar yang seperti sekarang ini adalah
suatu bentuk dari adanya adaptasi atau penyesuaian terhadap situasi dan
kondisi serta tuntutan masyarakat yang disebut dengan Jaman Kalakone atau
proses menyesuaikan dengan perkembangan jaman meski secara hakikat tetap
atau tidak berubah, dalam pengayoman dari pihak pemangku kebijakan,
komitmen masyarakat untuk memberi dukungan pelestarian cagar budaya, dan
konsisten para pelaku ekonomi di Pasar Gede secara lengkap dan utuh atau
yang disebut dengan handarbeni. Dengan demikian keterkaitan tema dalam
ranah kesejarahan seperti dalam Gambar 5.8.

Gambar 5.8: Keterkiatan Tema dalam Ranah Sejarah Kota Surakarta


(Analisis Peneliti, 2016)
122 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

5.2.2 Keterkaitan Tema dalam Ranah Pasar sebagai


Fasilitas Budaya Kota
Berdasarkan hasil penelusuran tema dan alur tema Pasar sebagai Ruang
Budaya dan alur tema Pasar sebagai Ruang Ekonomi dan Sosial, maka dapat
diketahui keterkaitan antar tema yang masuk dalam ranah Pasar Sebagai
Fasilitas Budaya Kota seperti dalam Gamabr 6.9 dapat diuraikan dengan
menggunakan paradigma kondisi kausal, konteks, tindakan dan strategi, dan
konsekuensi.
Dalam suatu negari wilayah Keraton Kasunanan Surakarta, pasar menjadi
salah satu bagian inti kota. Kota Surakarta terbentuk dengan adanya dasar
filosofi aturan, sujud manembah, dan ucap syukur dalam bentuk spasial
komponen struktur kota yaitu keraton, masjid dan pasar. Sedangkan dalam
konteks aktivitas ekonomi, sosial dan budaya di pusat kota, pasar menjadi
sangat komplek dan menjadi bagian yang dicari, dituju, dan sekaligus
diharapkan oleh seluruh komponen masyarakat. Pasar Gede menjadi daya tarik
bagi masyarakat baik dalam kota maupun luar kota untuk nglurug atau
mendatangi Pasar Gede guna memasok barang, berbelanja, bekerja ataupun
tujuan lain.
Pasar Gede tidak hanya memiliki daya tarik tetapi juga daya saing baik dari
pelayanan pada konsumen maupun kualitas dan keragaman komoditasnya,
tetapi menjadi tempat pertemuan para komunitas yang ada di sekitar kawasan
Pasar Gede, sehingga dapat dikatakan bahwa Pasar Gede menjadi meeting
place. Bahkan dalam setiap event tertentu, Pasar Gede menjadi bagian utama
penyelenggaraan budaya masyarakat Kota Surakarta dan sekitarnya.
Masyarakat etnis China dan Jawa penyelenggaraan aktivitas budaya secara
bersamaan dalam bentuk integrasi budaya seperti Grebeg Sudiro, perayaan
Imlek ataupun acara ritual yang lain. Dengan demikian terjadilah sinergi antar
budaya dan pelaku kegiatan yang berbaur menjadi satu.
Kehidupan yang ada di Pasar Gede tidak hanya berlangsungnya aktivitas
ekonomi dan sosial saja, tetapi hal yang menarik bahwa konsumen ataupun
pedagang sengaja datang ke Pasar Gede bukan sekedar untuk melakukan jual
beli, tetapi memiliki tujuan lain yaitu untuk menyaksikan pagelaran budaya
imlek ataupun Grebeg Sudiro, Festival Pasar Kumandang atau bertemu sapa
sekedar untuk mengobrol santai dan melihat situasi pasar hingga terbentuklah
sinergitas ruang budaya Jawa dan China di kawasan Pasar Gede, seperti dalam
Gambar 5.8.
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 123

Gambar 5.9: Keterkiatan Tema dalam Ranah Pasar sebagai Fasilitas Budaya
Kota (Analisis Peneliti, 2016)

5.2.3 Keterkaitan Tema dalam Ranah Pasar sebagai


Fasilitas Sosial Kota
Berdasarkan hasil penelusuran tema dan alur tema Pasar sebagai Ruang Sosial
dan alur tema Pasar sebagai Ruang Ekonomi, maka dapat diketahui keterkaitan
antar tema yang masuk dalam ranah Pasar Sebagai Fasilitas Sosial Kota dapat
diuraikan dengan menggunakan paradigma kondisi kausal, konteks, tindakan
dan strategi, dan konsekuensi seperti dalam Gambar 5.10.
Suatu negari khususnya wilayah Keraton Kasunanan Surakarta, pasar menjadi
salah satu bagian inti kota. Kota Surakarta terbentuk dengan adanya dasar
filosofi aturan, sujud manembah, dan ucap syukur dalam bentuk spasial
komponen struktur kota yaitu keraton, masjid dan pasar. Konteks aktivitas
ekonomi, sosial dan budaya di pusat kota, pasar menjadi sangat komplek dan
menjadi bagian yang dicari, dituju, dan sekaligus diharapkan oleh seluruh
komponen masyarakat. Pasar Gede sebagai salah satu pasar induk yang berada
di pusat Kota Surakarta, berada di kawasan Pecinan, posisi yang strategis
dengan akses transportasi yang mudah dicapai dari berbagai arah membuat
Pasar Gede menjadi pusat pelayanan bagi seluruh masyarakat dalam kota
maupun luar kota, sehingga pasar dipandang sebagai Jujugan atau tempat
124 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

untuk mendapatkan, mencari, dan memperoleh sesuatu bagi masyarakat,


sekaligus menjadi Lurugan atau tempat yang didatangi. Pasar Gede menjadi
daya tarik bagi masyarakat baik dalam kota maupun luar kota untuk nglurug
atau mendatangi Pasar Gede guna memasok barang, berbelanja, bekerja
ataupun tujuan lain.
Pasar Gede tidak hanya memiliki daya tarik tetapi juga daya saing baik dari
pelayanan pada konsumen maupun kualitas dan keragaman komoditasnya.
Para pedagang memberikan pelayanan dengan adanya berbagai permintaan
pihak konsumen dengan melakukan pengiriman barang baik dalam kota
maupun luar kota. Berbagai bentuk pengembangan pemasaran juga dilakukan
dengan mengikuti pameran, memasok barang dagangan ke pasar modern, dan
pemesanan melalui media komunikasi. Hal tersebut sebagai strategi
pengembangan pemasaran untuk beradaptasi dengan perkembangan jaman.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pengembangan pemasaran yang
sumrambah keluar kota tidak hanya perluasan jejaring tetapi juga keragaman
bentuk pemasaran. Dengan adanya perluasan jejaring dan keragaman bentuk
pemasaran, maka para pedagang di Pasar Gede secara alami melakukan
berbagai cara untuk dapat menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan
konsumen dengan menyediakan kualitas dagangan yang telah terseleksi
dengan baik sehingga dapat dikatakan bahwa pedagang di Pasar Gede
beberapa komoditas memiliki daya saing yang setara dengan pasar modern
atau mall.
Dengan keberadaan Pasar Gede yang dikelilingi oleh permukiman multi etnis,
maka kehidupan pasar terus berjalan dan melibatkan berbagai pihak pelaku
baik dari Etnis Jawa maupun Etnis Tionghoa. Situasi demikian menuntut
adanya penyediaan komoditas yang sesuai dengan keragaman kebutuhan
konsumen baik kebutuhan masyarakat Jawa maupun Tionghoa secara terus
menerus atau berlanjut atau continue, dan tidak terhenti pada musim tertentu.
Hal inilah dapat yang dapat dikatakan Pasar Gede merupakan pasar yang
memiliki toleransi antar etnis atau teposeliro dengan keterpaduan antara
kebutuhan masyarakat etnis Jawa dan etnis China yang dilakukan secara
selaras atau sinergi, dengan segmentasi masyarakat kelas menegah keatas
menjadi konsumen yang loyal. Bahkan sebagian masyarakat mengatakan
bahwa Pasar Gede pasare wong Chino dikarenakan satu-satunya pasar
tradisional yang menyediakan perlengkapan ibadah, kebutuhan harian
masyarakat Etnis Tionghoa atau China. Meskipun demikian, secara umum
masyarakat Kota Surakarta telah menganggap bahwa Pasar Gede adalah
pasare wong Solo atau Pasar Gede sebagai pasarnya masyarakat Kota
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 125

Surakarta, seperti dalam Gambar 5.9. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
Pasar Gede menjadi kebanggaan bersama bagi masyarakat Kota Surakarta
sehingga dapat dikatakan sebagai salah satu identitas kota. Kehidupan yang
ada di Pasar Gede tidak hanya berlangsungnya aktivitas ekonomi dan budaya
saja, tetapi hal yang menarik bahwa konsumen ataupun pedagang sengaja
datang ke Pasar Gede bukan sekedar untuk melakukan jual beli, tetapi
memiliki tujuan lain yaitu untuk nyambangi atau bertemu sapa sekedar untuk
mengobrol santai dan melihat situasi pasar hingga terbentuklah meeting place
atau tempat pertegur sapa di kawasan Pasar Gede.

Gambar 5.10: Keterkiatan Tema dalam Ranah Pasar Sebagai Ruang Sosial
Kota (Analisis Peneliti, 2016)

5.2.4 Keterkaitan Tema dalam Ranah Pasar Sebagai


Fasilitas Ekonomi Kota
Berdasarkan hasil penelusuran tema dan alur tema Pasar sebagai Ruang
Ekonomi, maka dapat diketahui keterkaitan antar tema yang masuk dalam
ranah Pasar Sebagai Fasilitas Ekonomi Kota dapat diuraikan dengan
menggunakan paradigma kondisi kausal, kontek, interaksi, strategi dan
konsekuensi.
126 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Kondisi kausal bahwa pasar tradisional sebagai salah satu dari komponen kota
Tradisional Jawa, maka hal perwujudan ucap syukur yang menjadi nilai-nilai
filosofi seorang raja dalam memerintah sebuah negari atau negara berupa
kerajaaan, telah menyediakan pasar sebagai tempat atau wadah aktivitas
ekonomi. Sedangkan dalam menjalankan pemerintahan, seorang Raja di negari
Keraton Kasunanan Surakarta maka akan mengayomi warganya. Berdasarkan
prinsip ngayomi atau memberi perlindungan dan pelayanan inilah maka
pengaturan pasar sebagai bentuk implementasi nilai ucap syukur, raja negari
Keraton Kasunanan Surakarta selaku pemangku kebijakan menempatkan pasar
dengan hirarki dan jejaring yang mengacu pada sedulur papat kalimo pancer
dengan pusat orientasi keraton. Penempatan inipun menunjukkan adanya
penekatan pada penyediaan fasiitas ekonomi suatu kota, yang terdistribusi di
segala arah atau sisi, dengan konsep sedulur papa kalimo pancer seperti dalam
Gambar 5.7.
Penempatan yang menyebar di segala penjuru utara, timur, selatan dan barat
merupakan penyediaan fasilitas ekonomi bagi masyarakat dari arah sekitarnya,
sehingga tidak kesulitan dalam mengakses fasilitas tersebut. Dalam
operasionalisasi pasar, tidak perpatokan secara rigit terhadap hari pasaran,
seperti Pasar Gede sejak awal hingga sekarang tidak mengenal adanya hari
pasaran karena sebagai pasar induk besar atau pasar induk, sehingga tetap
ramai setiap hari, bahkan tampak lebih ramai pengunjung pada waktu
menjelang hari besar dan perayaan tertentu. Seiring dengan pengayoman dari
pihak pemangku kebijakan, para pedagang melakukan aktivitas secara
konsisten dan didukung komitmen masyarakat untuk menjaga dan melindungi
Pasar Gede.
Pasar Gede sebagai pasar besar atau pasar induk Kota Surakarta berada di
kawasan pusat kota dan mejadi jujugan serta lurugan bagi masyarakat dari
dalam maupun luar luar wilayah Kota Surakarta. Konsumen yang datang di
Pasar Gede memiliki kemampuan atau daya beli yang cukup tinggi, secara
natural penjualan komoditas dapat terbentuk pada kualitas barang yang bagus
dan terseleksi serta tersedia dalam jumlah yang banyak. Keragaman, kualitas
dan kuantitas barang dagangan yang ada di Pasar Gede menjadi daya tarik bagi
konsumen baik dari dalam kota maupun luar kota, hingga Pasar Gede dikenal
sebagai pasar eksklusif. Hal tersebut dengan istilah lokal adalah sempulur yaitu
terjaganya keragaman, kualitas dan kuantitas secara terus menerus atau
continue sehingga dapat dikatakan Pasar Gede memiliki kontinuitas dalam
keberlangsungan sebagai fasilitas perbelanjaan dengan suasana yang sangat
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 127

khas untuk pasar tradisional berupa tawar menawar dan regeng yang disebut
dengan kumandhange pasar.
Berbagai permintaan berbagai pihak konsumen dan upaya pengembangan
pemasaran, maka tindakan dan strategi para pedagang di Pasar Gede tidak
hanya menunggu konsumen atau pelanggan datang, tetapi juga melakukan
penyebaran pemasaran dagangan atas permintaan pelanggan atau konsumen
dan penawaran pada konsumen, baik yang dalam kota maupun luar kota.
Ekspansi pemasaran ini tidak hanya di pasar tradisional tetapi merambah pasar
modern atau supermarket yang berada di dalam kota maupun luar kota. Para
pedagang di Pasar Gede melakukan pengembangan pemasaran yang dikenal
dengan istilah lokalnya sumrambah ke luar daerah. Didukung peran Pasar
Gede sebagai pasar induk atau pasar besar dengan kelengkapan dan kualitas
komoditas yang berbeda dengan pasar lainnya, maka para pemasok dari luar
kota berdatangan untuk memasok dagangan dengan sistem konsinyasi atau
komisi. Hal ini menjadi kemudahan dan kelonggaran bagi para pedagang,
dikarenakan para pedagang tidak perlu menanggung resiko karena barang
dagangan tidak laku. Para pedagang mendapat keuntungan dengan sistem
komisi sesuai kesepakatan yang telah disetujui di awal perjanjian bahkan dapat
dilakukan dengan hutang piutang. Barang yang tidak terjual dapat
dikembalikan atau dijual pada konsumen grosiran dengan pemasaran di
pinggiran kota. Pasar Gede sebagai tempat dengan berbagai aktivitas ekonomi,
sosial dan budaya membuat situasi pasar selalu ramai tetapi tidak padat atau
regeng. Situasi demikian menjadi pertanda adanya kehidupan yang
berlangsung secara terus menerus sesuai dengan fungsi pasar dan dapat
dikatakan bahwa Pasar Gede masih memiliki kumandang atau pasar
kumandang. Untuk memberi penjelasan lebih lanjut, keterkaitan antar tema
hingga menghasilkan suatu konsekuensi yang dapat digunakan dalam
merumuskan konseptualisasi dapat digambarkan secara skematis dalam
Gambar 5.11.
128 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Gambar 5.11: Keterkiatan Tema dalam Ranah Sejarah Kota Surakarta


(Analisis Peneliti, 2016)

5.2.5 Keterkaitan Tema dalam Ranah Pasar Sebagai


Komponen Struktur Kota
Berdasarkan hasil penelusuran tema dan alur tema Pasar Dalam Ruang Kota,
maka dapat diketahui keterkaitan antar tema dalam ranah Pasar Bagian
Komponen Struktur Kota seperti dalam Gambar 5.9. Sedangkan keterkaitan
tema-tema yang masuk dalam ranah Pasar Bagian Komponen Struktur Kota
dapat diuraikan dengan menggunakan paradigma kondisi kausal, konteks,
interaksi, strategi dan konsekuensi.
Dasar filosofis yang digunakan Keraton Kasunanan Surakarta dalam mengatur
kota adalah aturan, sujud manembah dan ucap syukur. Kondisi kausal inilah
yang menempatkan pasar tradisional sebagai salah satu dari komponen kota
Tradisional Jawa, dari dua komponen kota lainnya yaitu keraton dan masjid.
Ketiga komponen kota menempati area yang berbeda, keraton pada area
kutanegara, masjid dan pasar berada pada area negaragung. Keterkaitan antar
masing-masing komponen diatur pula dengan kaidah atau prinsip ngayomi
atau memberi perlindungan dan pelayanan dengan bentuk hirarki dan jejaring
yang mengacu pada sedulur papat kalimo pancer dengan pusat orientasi
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 129

keraton dan pasar sebagai komponen yang berada pada empat penjuru arah
mata angin. Sedangkan tingkatan atau hirarki pasar secara filosofis menempati
tata nilai yang sama tetapi secara ekonomi masing-masing memiliki peran
yang berbeda dengan pusat Pasar Gede sebagai pasar besar atau pasar induk.
Penempatan pasar yang berada di segala penjuru arah mata angin, posisi Pasar
Gede menempati bagian pada orientasi depan Keraton Kasunanan Surakarta.
Posisi ini sangat mendukung Pasar Gede sehingga mudah dikenali dan dicapai
atau disebut dengan istilah di- adhakan. Pasar Gede adalah salah satu tempat
yang menjadi wadah bagi aktivitas tersebut, sehingga pasar dipandang sebagai
Jujugan atau tempat untuk mendapatkan, mencari, dan memperoleh sesuatu
bagi masyarakat. Hal tersebut diperkuat pula oleh adanya posisi dan kekhasan
Pasar Gede berada pada wilayah yang langsung berkaitan dengan axis atau
sumbu utama Kota Surakarta, dan berada pada depan dari posisi Keraton
Kasunanan Surakarta dan menjadi Jujugan sekaligus Lurugan bagi para
konsumen dan pemasok dari luar daerah. Lingkup pelayanan Pasar Gede tidak
hanya sebagai fasilitas ekonomi Kota Surakarta tetapi juga menjadi pusat
pelayanan bagi wilayah lain baik Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur hingga
Sumatera dan Kalimantan. Hal ini menjadikan Pasar Gede sebagai pusat
orientasi hingga terjadi pemusatan fasilitas bagi Kota Surakarta maupun
wilayah lain di luar kota. Para pedagang dalam upaya mengembangkan
usahanya di Pasar Gede, melakukan pengembagan jejaring antar wilayah
dalam bentuk peningkatan pelayanan, keragaman sistem penjualan,
peningkatan kualitas barang, dan fasilitas pengiriman barang. Dengan
demikian para pedagang di Pasar Gede melakukan pengembangan pemasaran
yang dikenal dengan istilah lokalnya sumrambah ke luar daerah.
Seiring dengan perjalanan waktu, Pasar Gede telah memiliki nilai kesejarahan
yang sangat penting bagi kota Surakarta, masyarakat telah menganggap bahwa
Pasar Gede adalah pasare wong Solo atau Pasar Gede sebagai pasarnya
masyarakat Kota Surakarta. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pasar
Gede menjadi ciri khas atau identitas kota yang urip lan nguripi atau hidup dan
menghidupi Kota Surakarta yang dikenal dengan tempat yang ngrejekeni atau
tempat yang penuh (membawa dan mendatangkan) rejeki. Didukung dengan
adanya daya tahan Pasar Gede terhadap perkembangan sosial, budaya dan
ekonomi menjadi pasar yang seperti sekarang ini adalah suatu bentuk dari
adanya adaptasi atau penyesuaian terhadap situasi dan kondisi serta tuntutan
masyarakat yang disebut dengan Jaman Kalakone atau proses menyesuaikan
dengan perkembangan jaman meski secara hakikat tetap atau tidak berubah.
130 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Hal tersebut seiring dengan dasar filosofi cokro manggilingan dengan


pemahaman bahwa kehidupan masyarakat kota tradisional Jawa selalu
berpijak pada keselarasan hidup dan menjalani kehidupan secara proporsional
atau sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dengan kata lain tidak untuk
memaksakan kehendak, seperti dalam Gambar 5.12.

Gambar 5.12: Keterkiatan Tema dalam Ranah Pasar Bagian Komponen


Struktur Kota (Analisis Peneliti, 2016)

5.3 Konseptualisasi Tema Sebagai


Proses Pengkodean Berporos
Berdasarkan hasil kajian tema-tema yang dirumuskan dari fenomenda diskrit
secara detail pada bagian pembahasan sebelumnya di Bab V dan Sub-bab 5.1
sebagai tahap Open Coding atau Pengkodean Berbuka, maka langkah
selanjutnya adalah Axial Coding atau Pengkodean Berporos. Dalam Axial
Coding atau Pengkodean Berporos diperlukan adanya konseptualisasi tema
yang pada akhirnya akan menghasilkan konsep untuk membangun kategori
pada tahap Selective Coding atau Pengkodean Berpilih, yang selanjutanya
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 131

digunakan sebagai dasar bangunan teori tentang kebertahanan pasar tardisional


sebagai komponen struktur kota tradisional Jawa.
Tahapan selanjutnya dalam metode Grounded Theory adalah tahap
konseptualisasi tema yang terbangun dari unit informasi sebagai data teoritik
yang terhimpun dalam fenomena diskrit. Selanjutnya dikaji dalam bentuk
analisis antar fenomena menjadi suatu tema. Sedangkan tema-tema yang
dihasilkan dianalisis dalam bentuk keterkaitan antar tema hingga dipertajam
dalam konseptualisasi tema untuk menjadi konsep dengan menggunakan
paradigma kondisi, konteks, tindakan, strategi, dan konsekuensi. Sebagai
langkah awal dalam proses konseptualisasi tema, dilakukan dengan
mengidentifikasi lingkup atau ranah dari hasil konsekuensi dari masing-masing
tema. Hal tersebut akan mempermudah proses selanjutnya yaitu mengkaji
keterkaitan antar tema menuju rumusan konsepsi, seperti dalam Tabel 5.3.
Tabel 5.3: Klasifikasi Lingkup atau Ranah Konsekuensi Tema (Analisis
Peneliti, 2016)
132 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

5.3.1 Konseptualisasi Tema Ranah Waktu (Process)


Tahap konseptualisasi tema terkait dengan ranah waktu atau process yang
terjadi pada kawasan Pasar Gede dalam perannya sebagai komponen struktur
kota tradisional Jawa berawal dari adanya pembentukan Keraton Kasunanan
Surakarta dengan suatu nilai-nilai filosofi berupa aturan, sujud manembah dan
ucap syukur merupakan pijakan awal dalam tata ruang kota tradisional jawa.
Keraton Kasunanan Surakarta dibangun dengan dasar tiga komponen kota
yang utama yaitu keraton, masjid dan pasar yang merupakan perwujudan
adanya konsep aturan, sujud manembah dan ucap syukur. Hal inilah yang
menjadi awal proses keberadaan pasar sebagai komponen struktur kota Jawa
sebagai wujud dari dasar filosofis ucap syukur.
Pasar Gede pada awalnya, berperan sebagai pasar induk yang menjadi wadah
bagi aktivitas ekonomi, sosial dan budaya, sehingga pasar dipandang sebagai
Jujugan atau tempat untuk mendapatkan, mencari, dan memperoleh sesuatu
bagi masyarakat, dan berada pada wilayah yang langsung berkaitan dengan
axis atau sumbu utama Kota Surakarta, dan berada pada depan dari posisi
Keraton Kasunanan Surakarta sehingga menjadi orientasi. Pasar Gede ternyata
tidak hanya sebagai Jujugan tetapi juga menjadi Lurugan atau tempat yang
didatangi. Pasar Gede sebagai pasar yang berada pada area inti kota atau
negaragung maka hal ini menjadi daya tarik bagi masyarakat baik dalam kota
maupun luar kota.
Dengan berjalannya waktu, serta adanya berbagai permintaan pihak konsumen
dan upaya pengembangan pemasaran, maka tindakan dan strategi para
pedagang di Pasar Gede melakukan penyebaran pemasaran dan ekspansi
pemasaran di antara pasar tradisional dan pasar modern atau supermarket yang
berada di dalam kota maupun luar kota, yang dikenal dengan istilah lokalnya
sumrambah ke luar daerah.
Pasar Gede sejak awal pembentukan telah diorientasikan menjadi pasar induk
atau pasar besar dengan kelengkapan dan kualitas komoditas yang berbeda
dengan pasar lainnya. Komoditas yang ada di Pasar Gede secara alam
terseleksi dan mampu bertahan dan para pedagang merasa bersaing atau
memiliki daya saing untuk menyediakan kualitas dagangan yang setara dengan
pasar modern atau mall. Bahkan bagi pengunjung merasa puas belanja di Pasar
Gede dari pada di mall karena barangnya lebih segar dan jumlahnyapun
banyak.
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 133

Pasar Gede tidak hanya memiliki nilai kesejarahan yang sangat penting bagi
kota Surakarta, tetapi masyarakat telah menganggap bahwa Pasar Gede adalah
pasare wong Solo dan dikatakan bahwa Pasar Gede menjadi ciri khas atau ikon
Kota Surakarta, sehingga masyarakat tak segan untuk nguri-uri atau
melestarikan dalam bentuk menjaga, menggunakan, mempertahankan Pasar
Gede karena menjadi bagian yang urip lan nguripi atau hidup dan menghidupi
Kota Surakarta. Hal tersebut menjadi daya tahan Pasar Gede terhadap
perkembangan sosial, budaya dan ekonomi, disamping adanya adaptasi atau
penyesuaian terhadap situasi dan kondisi serta tuntutan masyarakat yang
disebut dengan Jaman Kalakone atau proses menyesuaikan dengan
perkembangan jaman meski secara hakikat tetap atau tidak berubah dengan
maksud untuk mencapai keterpaduan secara proporsional.
Secara rinci dapat diuraikan seperti dalam Tabel 5.6. konseptualisasi tema
dalam ranah waktu atau proses berlangsung peran pasar sebagai komponen
struktur kota tradisional Jawa, dapat dilihat pada Tabel 5.4 sebagai berikut:
Tabel 5.4: Konseptualisasi tema dalam Ranah Waktu (Process) Analisis
Peneliti, 2016
Kode Tema Konseptualisasi Konsepsi

T1 Hirarki dan ngayomi atau Konstelasi


Jejaring Pasar perlindungan
Kota Jawa
orientasi. Pasar dalam
konstelasi kota
T2 Komponen perwujudan Proses perpaduan memiliki daya usaha,
Utama Nagari berbagai fungsi daya saing, daya
tahan dari dalam kota
hingga keluar
T3 nguri-uri Menjaga urip lan nguripi
wilayah dalam
(Hidup dan bentuk
Menggunakan
menghidupi) SUMRAMBAH
dengan dan melakukan
mempertahankan
memadukan KETERPADUAN
berbagai secara proporsional
kebutuhan sebagai upaya untuk
masyarakat bertahan

T4 Perubahan adaptasi atau Keterpaduan


Ruang penyesuaian
Secara
proporsional proprsional

T5. Jujugan mendapatkan Pemusatan


134 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Kode Tema Konseptualisasi Konsepsi

mencari

memperoleh

T6 Lurugan daya tarik

T8 Setara dengan terseleksi Daya saing


pasar modern
atau mall

T9 Ekspansi Penyebaran Sumrambah


Dagang
Ekspansi

Kualitas dan
kuantitas terjamin

5.3.2 Konseptualisasi Tema Ranah Pelaku (Man)


Tahap konseptualisasi tema yang terkait dengan ranah pelaku (Man) yang
terlibat dalam pelaksanaan kegiatan di kawasan Pasar Gede dalam perannya
sebagai komponen struktur kota tradisional Jawa berawal dari suatu peran
seorang raja dengan nilai-nilai filosofi yang pegang dalam pemerintahan
sebuah negari atau negara berupa aturan, sujud manembah dan ucap syukur.
Filosofi tersebut menjadi pijakan dalam tata ruang kota tradisional jawa.
Keraton Kasunanan Surakarta dibangun dengan dasar tiga komponen kota
yang utama yaitu keraton, masjid dan pasar yang merupakan perwujudan
adanya konsep aturan, sujud manembah dan ucap syukur. Raja memegang
peran sebagai pengayom suatu negari dan warganya, dengan berdasarkan
prinsip ngayomi atau memberi perlindungan dan pelayanan inilah maka
pengaturan pasar sebagai bentuk implementasi nilai ucap syukur, raja negari
Keraton Kasunanan Surakarta menempatkan pasar dengan hirarki dan jejaring
yang mengacu pada sedulur papat kalimo pancer dengan pusat orientasi
keraton. Hal inilah yang mendasari terbentuknya suatu hirarki dan jejaring dari
masing-masing komponen kota di pusat kota tradisional Jawa.
Pasar Gede merupakan pusat aktivitas yang sangat kompleks dan menjadi
bagian yang dicari, dituju, dan sekaligus diharapkan oleh seluruh komponen
masyarakat. Pasar Gede berada di kawasan Pecinan, posisi yang strategis
dengan akses transportasi yang mudah dicapai dari berbagai arah membuat
Pasar Gede menjadi pusat pelayanan bagi seluruh masyarakat dalam kota
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 135

maupun luar kota, sehingga pasar dipandang sebagai Jujugan dan Lurugan
atau tempat yang didatangi. Pasar Gede menjadi daya tarik bagi masyarakat
baik dalam kota maupun luar kota untuk nglurug atau mendatangi Pasar Gede
guna memasok barang, berbelanja, bekerja ataupun tujuan lain. Pasar Gede
tidak hanya memiliki daya tarik tetapi juga daya saing baik dari pelayanan
pada konsumen maupun kualitas dan keragaman komoditasnya. Para
pedagang memberikan pelayanan dengan adanya berbagai permintaan pihak
konsumen dengan melakukan pengiriman barang baik dalam kota maupun
luar kota. Hal tersebut sebagai strategi pengembangan pemasaran untuk
beradaptasi dengan perkembangan jaman.
Pengembangan pemasaran yang sumrambah keluar kota tidak hanya perluasan
jejaring tetapi juga keragaman bentuk pemasaran. Para pedagang melakukan
perluasan jejaring dan peningkatan keragaman bentuk pemasaran di Pasar
Gede secara alami, di samping itu juga melakukan berbagai cara untuk dapat
menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan konsumen dengan menyediakan
kualitas dagangan yang telah terseleksi dengan baik sehingga dapat dikatakan
bahwa pedagang di Pasar Gede memiliki daya saing untuk beberapa
komoditas yang setara dengan pasar modern atau mall.
Keberadaan Pasar Gede yang dikelilingi oleh permukiman multi etnis,
menuntut adanya penyediaan komoditas yang sesuai dengan keragaman
kebutuhan konsumen baik kebutuhan masyarakat Jawa maupun Tionghoa
secara terus menerus atau berlanjut atau continue, dan tidak terhenti pada
musim tertentu. Hal inilah yang dapat dikatakan Pasar Gede merupakan pasar
yang memiliki toleransi antar etnis atau teposeliro. Bahkan sebagian
masyarakat mengatakan bahwa Pasar Gede pasare wong Chino dikarenakan
satu-satunya pasar tradisional yang menyediakan perlengkapan ibadah,
kebutuhan harian masyarakat Etnis Tionghoa. Meskipun demikian, secara
umum masyarakat Kota Surakarta telah menganggap bahwa Pasar Gede
adalah pasare wong Solo atau Pasar Gede sebagai pasarnya masyarakat Kota
Surakarta. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pasar Gede menjadi
kebanggaan bersama bagi masyarakat Kota Surakarta.
Konsumen ataupun pedagang sengaja datang ke Pasar Gede bukan sekedar
untuk melakukan jual beli, tetapi memiliki tujuan lain yaitu untuk nyambangi
atau bertemu sapa sekedar untuk mengobrol santai dan melihat situasi pasar,
sehingga membuat situasi pasar selalu ramai tetapi tidak padat atau regeng.
Situasi demikian menjadi pertanda adanya kehidupan yang berlangsung secara
136 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

terus menerus sesuai dengan fungsi pasar dan dapat dikatakan bahwa Pasar
Gede masih memiliki kumandang atau pasar kumandang.
Secara rinci dapat diuraikan seperti dalam Tabel 5.5. konseptualisasi tema
dalam ranah pelaku yang terlibat dalam peran pasar sebagai komponen
struktur kota tradisional Jawa dengan berbagai tema yang terkait.
Tabel 5.5: Konseptualisasi tema dalam Ranah Pelaku (Man) (Analisis Peneliti,
2016)
Kode Tema Konseptualisasi Konsepsi

T5. Jujugan mendapatkan Pusat pelayanan

mencari

memperoleh

T6 Lurugan tempat opo-opo ono Daya tarik


yang didatangi atau serba ada

ngayahi butuh
atau Pasar sebagai pelayanan bagi segmen
tertentu atau SEGMENTASI dengan
mencukupi kelas Menengah keatas atau
segala EKSKLUSIF
kebutuhan

T7 Transaksi Hutang piutang Keterlibatan


Kesepakatan komponen pasar
Komisi (Segementasi)

Segmen Pasar

T9 Sumrambah perluasan Daya usaha


jejaring

keragaman
bentuk
pemasaran

pengembangan
pemasaran

Penyebaran

Ekspansi

T12 Kelas Konsumen pelayanan Daya saing

kualitas dan
keragaman
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 137

Kode Tema Konseptualisasi Konsepsi

tuntutan
kebutuhan

terseleksi

T10 Pasar yang berkualitas Pusat barang


sempulur
sesuai
kebutuhan,

barang pilihan

jumlah banyak

T11 Toleransi atau Sinergi antar Eksklusif


teposeliro budaya

Pasar Gede
pasare wong
Chino

T13 Kumandang atau Nyambangi regeng bagi


pasar kumandang kelas menengah
Pasare wong ke atas
Solo

T15 Ciri khas atau pasare wong Karakter


Ikon Solo eksklusif
kebaggaan
warga

5.3.3 Konseptualisasi Tema Ranah Kegiatan (Activity)


Dalam tahap konseptualisasi tema yang terkait dengan ranah kegiatan yang
terjadi pada kawasan Pasar Gede dalam perannya sebagai komponen struktur
kota tradisional Jawa berawal dari suatu nilai-nilai filosofi yang dipegang oleh
seorang raja dalam memerintah sebuah negari atau negara berupa aturan, sujud
manembah dan ucap syukur merupakan pijakan awal dalam tata ruang kota
tradisional Jawa. Keraton Kasunanan Surakarta dibangun dengan dasar tiga
komponen kota yang utama yaitu keraton, masjid dan pasar yang merupakan
perwujudan adanya konsep aturan, sujud manembah dan ucap syukur. Dalam
hal ini pasar merupakan wujud dari dasar filosofis ucap syukur.
Pasar tidak hanya sebagai wadah kegiatan atau aktivitas ekonomi, tetapi juga
menjadi ruang bagi aktivitas social dan budaya. Dalam konteks aktivitas
138 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

ekonomi, sosial dan budaya di pusat kota, pasar menjadi sangat komplek dan
menjadi bagian yang dicari, dituju, dan sekaligus diharapkan oleh seluruh
komponen masyarakat. Sebagai pasar induk yang berada di pusat Kota
Surakarta tepatnya berada di kawasan Pecinan, posisi yang strategis, akses
transportasi yang mudah dicapai dari berbagai arah, membuat Pasar Gede
menjadi pusat pelayanan bagi seluruh masyarakat dalam kota maupun luar
kota. Pasar Gede dipandang sebagai Jujugan atau tempat untuk mendapatkan,
mencari, dan memperoleh segala sesuatu bagi masyarakat dan dianggap opo-
opo ono atau serba ada dan ngayahi butuh atau mencukupi segala kebutuhan,
sekaligus menjadi lurugan atau tempat yang didatangi karena memiliki daya
tarik bagi masyarakat baik dalam kota maupun luar kota.
Pasar Gede tidak hanya memiliki daya tarik tetapi juga daya saing baik dari
pelayanan pada konsumen maupun kualitas dan keragaman komoditasnya
hingga menjadikan Pasar Gede sebagai pasar yang eksklusif dengan harga jual
barang yang mahal. Para pedagang memberikan pelayanan dengan adanya
berbagai permintaan pihak konsumen dengan melakukan pengiriman barang
baik dalam kota maupun luar kota sebagai strategi pengembangan pemasaran
untuk beradaptasi dengan perkembangan jaman. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa pengembangan pemasaran sebagai bentuk ekspansi
pemasaran yang sumrambah keluar kota tidak hanya perluasan jejaring atau
penyebaran tetapi juga keragaman bentuk pemasaran dengan sistem
konsinyasi dagang.
Untuk tujuan tersebut, para pedagang di Pasar Gede telah melakukan berbagai
cara untuk dapat menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan konsumen dengan
menyediakan kualitas dagangan yang telah terseleksi dengan baik sehingga
dapat dikatakan bahwa pedagang di Pasar Gede memiliki daya saing yang
setara dengan pasar modern atau mall.
Disamping itu pula, pedagang di Pasar Gede menyediakan komoditas yang
sesuai dengan keragaman kebutuhan konsumen baik kebutuhan masyarakat
Jawa maupun Tionghoa karena adanya toleransi antar etnis atau teposeliro
yang disediakan secara terus menerus atau berlanjut atau continue. Bahkan
sebagian masyarakat mengatakan bahwa Pasar Gede pasare wong Chino
dikarenakan satu-satunya pasar tradisional yang menyediakan perlengkapan
ibadah dan kebutuhan harian masyarakat Etnis Tionghoa. Meskipun demikian,
secara umum masyarakat Kota Surakarta telah menganggap bahwa Pasar Gede
adalah pasare wong Solo atau Pasar Gede sebagai pasarnya masyarakat Kota
Surakarta dan menjadi kebanggaan bersama bagi masyarakat Kota Surakarta.
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 139

Pasar Gede sebagai tempat dengan berbagai aktivitas ekonomi, sosial dan
budaya membuat situasi pasar selalu ramai tetapi tidak padat atau regeng.
Situasi demikian menjadi pertanda adanya kehidupan yang berlangsung secara
terus menerus sesuai dengan fungsi pasar dan dapat dikatakan bahwa Pasar
Gede masih memiliki kumandang atau pasar kumandang. Kehidupan yang ada
di Pasar Gede tidak hanya berlangsungnya aktivitas ekonomi dan budaya saja,
tetapi juga sosial dengan adanya aktivitas nyambangi atau bertemu sapa
sekedar untuk mengobrol santai dan melihat situasi pasar. Hal inilah yang
menjadi salah satu keunikan dan karakteristik Pasar Gede hingga dikatakan
bahwa Pasar Gede sebagai Pasar Eksklusif.
Secara rinci dapat diuraikan seperti dalam Tabel 5.6. konseptualisasi tema
dalam ranah kegiatan atau aktivitas dan keterkaitan dengan tema yang lain
sebagai pendukungnya.
Tabel 5.6: Konseptualisasi tema Ranah Kegiatan (Activity) (Analisis Peneliti,
2016)
Kode Tema Konseptualisasi Konsepsi

T8 Setara dengan Kualitas dan kuantitas terjamin Ngayahi butuh


pasar modern dan konsisten
atau mall beradaptasi atau penyesuaian dengan kualitas

T9 Sumrambah perluasan jejaring Ekspansi sebagai


konsistensi
keragaman bentuk pemasaran dagang Kegiatan yang
berlangsung
pengembangan pemasaran secara
KONSISTEN
Penyebaran dalam suasana
REGENG
Ekspansi (selalu ramai
tetapi tidak padat)
T7 Transaksi Hutang piutang Keunikan Pasar
Kesepakatan
Komisi

T11 Toleransi antar terus menerus berlanjut atau


etnis atau teposeliro continue
Pasar Gede pasare wong Chino

T12 Segmentasi Pasar pelayanan Daya saing

kualitas dan keragaman

tuntutan kebutuhan
140 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Kode Tema Konseptualisasi Konsepsi

terseleksi

T13 Kumandang atau Nyambangi selalu ramai


pasar kumandang tetapi tidak padat
Pasare wong Solo atau regeng

T14 Adhakan Dikenali Kemudahan


Akses dan selalu
Ditemukan Regeng

Dicapai

5.3.4 Konseptualisasi Tema Ranah Kebijakan (Policy)


Dalam tahap konseptualisasi tema yang terkait dengan ranah kebijakan atau
policy yang berlaku sejak awal terbentuknya Keraton Kasunanan Surakarta
sampai masa peralihan kekuasaan pada pemerintahan Republik Indonesia
hingga sekarang ini dengan adanya sistem otonomi daerah maka kebijakan
yang berlaku pada kawasan Pasar Gede dalam perannya sebagai komponen
struktur kota tradisional Jawa mengalami peralihan sistem kebijakan.
Berawal dari adanya pembentukan Keraton Kasunanan Surakarta dengan suatu
nilai-nilai filosofi berupa aturan, sujud manembah dan ucap syukur merupakan
pijakan awal dalam tata ruang kota tradisional Jawa. Seorang Raja memegang
wewenang penuh terhadap keuasaan suatu negari, dengan dasar filosofis yang
digunakan adalah aturan, sujud manembah dan ucap syukur, dan dalam
implementasinya pasar tradisional merupakan salah satu dari komponen kota
tradisional Jawa dan berada di zona negaragung, sedangkan dua komponen
kota lainnya yaitu keraton dan masjid. Keterkaitan antar masing-masing
komponen diatur dengan kaidah atau prinsip ngayomi atau memberi
perlindungan dan pelayanan dengan bentuk hirarki dan jejaring yang mengacu
pada sedulur papat kalimo pancer dengan pusat orientasi keraton dan pasar
sebagai komponen yang berada pada empat penjuru arah mata angin.
Tingkatan atau hirarki pasar secara filosofis menempati tata filosofi yang sama
tetapi secara strata ekonomi masing-masing memiliki peran yang berbeda
dengan pusat Pasar Gede sebagai pasar besar atau pasar induk. Keraton
Kasunanan Surakarta dibangun dengan dasar tiga komponen kota yang utama
yaitu keraton, masjid dan pasar yang merupakan perwujudan adanya konsep
aturan, sujud manembah dan ucap syukur. Hal inilah yang menjadi awal
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 141

proses keberadaan pasar sebagai komponen struktur kota Jawa sebagai wujud
dari dasar filosofis ucap syukur.
Dalam masa pemerintahan Republik Indonesia, kota berada pada wewenang
sorang Pemimpin Daerah yang disebut dengan Walikota. Segala peraturan
mengacu pada undang-undang yang disusun dengan dasar fungsional.
Pengelolaan pasar sebgai fasilitas ekonomi kota dikelola oleh dinas yang
bertugas dalam bidang pengelolaan pasar yaitu Dinas Pengelolaan Pasar Kota
Surakarta. Situasi ini membawa pada perubahan kewenangan, tetapi hakkekat
prinsip ngayomi atau memberi perlindungan dan pelayanan tidak mengalami
perubahan. Bahkan dapat dikatakan dengan adanya pelimpahan kewenangan
pada Pemerintah Kota Surakarta, pengelolaan pasar dapat dilakukan dengan
jejaring yang lebih luas, dan dukungan masyarakat dapat dilakukan dengan
penuh tanggung tawab dan rasa kebanggaan turut memiliki. Dengan demikian
dapat dikatan semua pihak memiliki komitmen bersama sebagai pengayom
pasar tradisional khususnya Pasar Gede sebagai pasar nya masyarakat Kota
Surakarta yang dikenal dengan istilah handarbeni atau rasa memiliki.
Secara rinci dapat diuraikan seperti dalam Tabel 5.7 konseptualisasi tema
dalam ranah kebijakan (Policy).
Tabel 5.7: Konseptualisasi tema Ranah Kebijakan (Policy) (Analisis Peneliti,
2016)
Kode Tema Konseptualisasi Konsepsi

T2 Komponen Utama Aturan, sujud Pengayoman


Negari manembah dan ucap sang penguasa
syukur

perwujudan

tata filosofi

T1 Jejaring dan Hirarki Ngayomi atau Konstelasi


perlindungan dan
pelayanan
Perlindungan,
Strata ekonomi tanggungjawab dan
rasa memiliki
Sedulur papat kalimo semua komponen
pancer pada Pasar Gede
dalam bentuk
T12 Segmentasi Pasar Terseleksi Daya beli KOMITMEN dan
142 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Kode Tema Konseptualisasi Konsepsi

Keragaman, PENGAYOMAN

Kualitas

Kuantitas

T5 Pasar Sebagai Tempat Pusat orientasi Daya tarik


Tujuan Pemusatan
Tempat Tujuan

T6 Tempat yang dituju Daya tarik

T14 Adhakan Dikenali

Ditemukan

Dicapai

T13 Kumandang atau Nyambangi Tanggungjawab


pasar kumandang dan rasa memiliki
Pasare wong Solo

T15 Ciri khas atau ikon Pasare wong Solo Ikonik

Komitmen Bersama Komitmen

T3 Nguri-uri Menjaga Tanggungjawab


dan komitmen
Menggunakan bersama

Mempertahankan

T4 Perubahan Ruang Adaptasi atau Daya


penyesuaian tahan/bertahan

Proporsional

Cokro manggilingan

Keselarasan

5.3.5 Konseptualisasi Tema Ranah Keruangan atau Tempat


(Place)
Berdasarkan hasil penelusuran tema, alur tema Pasar Dalam Ruang Kota, dan
keterkaitan antar tema dalam ranah Pasar Bagian Komponen Struktur Kota,
maka dapat diuraikan konseptualisasi tema yang masuk dalam ranah
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 143

keruangan atau tempat (place) bahwa dasar filosofis yang digunakan Keraton
Kasunanan Surakarta dalam mengatur kota adalah aturan, sujud manembah
dan ucap syukur, dan dalam implementasinya pasar tradisional merupakan
salah satu dari komponen kota tradisional Jawa dan berada di zona
negaragung, sedangkan dua komponen kota lainnya yaitu keraton dan masjid.
Keterkaitan antar masing-masing komponen diatur dengan kaidah atau prinsip
ngayomi atau memberi perlindungan dan pelayanan dengan bentuk hirarki dan
jejaring yang mengacu pada sedulur papat kalimo pancer dengan pusat
orientasi keraton dan pasar sebagai komponen yang berada pada empat
penjuru arah mata angin. Sedangkan tingkatan atau hirarki pasar secara
filosofis menempati tata filosofi yang sama tetapi secara strata ekonomi
masing-masing memiliki peran yang berbeda dengan pusat Pasar Gede sebagai
pasar besar atau pasar induk.
Pasar Gede berada di kawasan pusat kota dan mejadi jujugan serta lurugan
bagi masyarakat dari dalam maupun luar luar wilayah Kota Surakarta, karena
letaknya pun di-adhakan atau mudah ditemukan, dikenali, dan dicapai.
Konsumen yang datang di Pasar Gede memiliki kemampuan atau daya beli
pada kualitas barang yang bagus dan terseleksi serta jumlah yang banyak.
Keragaman, kualitas dan kuantitas barang dagangan yang ada di Pasar Gede
menjadi daya tarik bagi konsumen baik dari dalam kota maupun luar kota,
hingga Pasar Gede dikenal sebagai pasar eksklusif. Dalam upaya
mengembangkan usahanya, para pedagang yang ada di Pasar Gede melakukan
pengembagan jejaring antar wilayah dalam bentuk peningkatan pelayanan,
keragaman sistem penjualan, peningkatan kualitas barang, dan fasilitas
pengiriman barang. Dengan demikian para pedagang di Pasar Gede melakukan
pengembangan pemasaran yang dikenal dengan istilah lokalnya sumrambah
ayau merambah dan menyebar hingga ke luar daerah.
Pasar Gede memiliki nilai kesejarahan yang sangat penting bagi kota
Surakarta, masyarakat telah menganggap bahwa Pasar Gede adalah pasare
wong Solo. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pasar Gede menjadi ciri
khas atau ikon kota yang urip lan nguripi Kota Surakarta yang disebut dengan
tempat yang ngrejekeni. Didukung dengan adanya daya tahan Pasar Gede
terhadap perkembangan sosial, budaya dan ekonomi menjadi pasar yang
seperti sekarang ini adalah suatu bentuk dari adanya adaptasi atau penyesuaian
terhadap situasi dan kondisi serta tuntutan masyarakat yang disebut dengan
Jaman Kalakone atau proses menyesuaikan dengan perkembangan jaman
meski secara hakikat tetap atau tidak berubah. Hal tersebut seiring dengan
144 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

dasar filosofi cokro manggilingan dengan pemahaman bahwa kehidupan


masyarakat kota tradisional Jawa selalu berpijak pada keselarasan hidup dan
menjalani kehidupan secara proporsional atau sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki dengan kata lain tidak untuk memaksakan kehendak.
Secara rinci dapat diuraikan seperti dalam Tabel 5.8. konseptualisasi tema
dalam ranah keruangan atau tempat (Place).
Tabel 5.8: Konseptualisasi tema Ranah Keruangan atau Tempat (Place)
(Analisis Peneliti, 2016)
Kode Tema Konseptualisasi Konsepsi

T2 Komponen Utama Aturan, sujud manembah Wujud tata


Negari dan ucap syukur filosofi

perwujudan

tata filosofi

T1 Jejaring dan Ngayomi atau perlindungan Konstelasi


Hirarki dan pelayanan

Strata ekonomi
Pasar dalam
Sedulur papat kalimo konstelasi kota
pancer memiliki daya beli,
daya usaha, daya
T12 Segmentasi Pasar Terseleksi Daya beli saing, daya tahan,
dan daya tarik
Keragaman, sebagai pemusatan
untuk hidup dan
Kualitas menghidupi kota
sebagai tempat
Kuantitas JUJUGAN DAN
LURUGAN
T5 Pasar Sebagai Pusat orientasi Daya tarik
Tempat Tujuan Pemusatan
Tempat Tujuan

T6 Tempat yang Daya tarik


dituju

T14 Adhakan Dikenali

Ditemukan

Dicapai
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 145

Kode Tema Konseptualisasi Konsepsi

T9 Sumrambah Pengembagan jejaring antar Daya usaha


wilayah

Peningkatan pelayanan

Keragaman sistem
penjualan,

Peningkatan kualitas barang,

Fasilitas pengiriman

Penyebaran

Ekspansi

T8 Setara dengan pasar Selektif Daya saing


modern atau mall
Kualitas dan kuantitas
terjamin

T15 Ciri khas atau ikon Pasare wong Solo Ikonik

T3 Nguri-uri Menjaga urip lan


nguripi
Menggunakan
(Hidup dan
menghidupi)
Mempertahankan

T4 Perubahan Ruang Adaptasi atau penyesuaian Daya


tahan/bertahan
Proporsional

Cokro manggilingan

Keselarasan

Berdasarkan hasil kajian konseptualisasi tema tersebut, maka dapat


dirumuskan hasil Pengkodean Berporos atau Axial Coding dari tema yang
telah dihasilkan sebelumnya menuju suatu hasil konsepsi seperti dalam
Gambar 5.13 berikut :
146 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Gambar 5.13: Axial Coding Konseptualisasi Tema (Analisis Peneliti, 2016)


Dengan demikian maka dapat dirumuskan ada 10 Konsepsi yaitu : K1.
Konsisten; K2. Regeng; K3. Eksklusif; K4. Segmentasi; K5. Sumrambah; K6.
Keterpaduan; K7. Lurugan; K8. Jujugan; K9. Komitmen; K10. Pengayoman.
Sedangkan penjelasan atau pengertian dari berbagai konsepsi tersebut dapat
diuraikan dalam Gambar 5.14 sebagai berikut :
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 147

Gambar 5.14: Pengertian Konsepsi (Analisis Peneliti, 2016)


148 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

5.4 Bagan Konsepsi Dalam Perumusan


Kategori
Dengan berbagai hasil kajian tentang konseptualisasi tema menuju rumusan
konsepsi, maka langkah selanjutnya tahap Selective Coding atau Pengkodean
Terpilih. Sebagai langkah awal sebelum melakukan analisis dalam tahap
Selective Coding atau Pengkodean Terpilih dapat dilakukan penyusunan bagan
konsepsi untuk mempertajam analisis pada tahap berikutnya seperti dalam
Tabel 5.9.
Tabel 5.9: Bagan Konsepsi dalam Proses Perumusan Kategori (Analisis
Peneliti, 2016)
KONSEPSI PROSES ANALISIS ALUR CERITA DALAM
PENGKODEAN BERPILIH

KONSEPSI RANAH WAKTU


(PROCESS)

Pasar dalam konstelasi kota


memiliki daya usaha, daya saing,
daya tahan dari dalam kota hingga
keluar wilayah dalam bentuk
SUMRAMBAH dan melakukan
KETERPADUAN secara
proporsional sebagai upaya untuk
bertahan

ngayomi atau Konstelasi


perlindungan

orientasi.

Perwujudan Proses
perpaduan
berbagai
fungsi

Menjaga urip lan


nguripi
Menggunakan
(Hidup dan
mempertahankan menghidupi)
dengan
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 149

memadukan
berbagai
kebutuhan
masyarakat

adaptasi atau Keterpaduan


penyesuaian
Secara
proporsional proprsional

mendapatkan Pemusatan

mencari

memperoleh

daya tarik

terseleksi Daya saing

Penyebaran Sumrambah

Ekspansi

KONSEPSI RANAH PELAKU


(MAN))

Pasar sebagai pelayanan bagi


segmen tertentu atau
SEGMENTASI dengan kelas
Menengah keatas atau
EKSKLUSIF

mendapatkan Pusat
pelayanan
mencari

memperoleh

opo-opo ono Daya tarik


atau serba ada

ngayahi butuh
atau

mencukupi
segala
kebutuhan
150 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Hutang piutang Keterlibatan


komponen
Komisi pasar
(Segementasi)
Segmen Pasar

perluasan Daya usaha


jejaring

keragaman
bentuk
pemasaran

pengembangan
pemasaran

Penyebaran

Ekspansi

pelayanan Daya saing

kualitas dan
keragaman

tuntutan
kebutuhan

terseleksi

berkualitas Pusat barang

sesuai
kebutuhan,

barang pilihan

jumlah banyak

Sinergi antar Eksklusif


budaya

pasare wong
Chino

Nyambangi regeng bagi


kelas
Pasare wong menengah ke
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 151

Solo atas

pasare wong Karakter


Solo eksklusif
kebaggaan
warga

KONSEPSI RANAH
KEGIATAN (ACTIVITY)

Kegiatan yang berlangsung secara


KONSISTEN dalam suasana
REGENG (selalu ramai tetapi
tidak padat)

Kualitas dan Ngayahi butuh


kuantitas dan konsisten
terjamin dengan kualitas

beradaptasi atau
penyesuaian

perluasan Ekspansi
jejaring sebagai
konsistensi
keragaman dagang
bentuk
pemasaran

pengembangan
pemasaran

Penyebaran

Ekspansi

Hutang piutang Keunikan Pasar

Komisi

terus menerus berlanjut atau


continue
Pasar Gede
pasare wong
Chino

pelayanan Daya saing


152 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

kualitas dan
keragaman

tuntutan
kebutuhan

terseleksi

Nyambangi selalu ramai


tetapi tidak
Pasare wong padat atau
Solo regeng

Dikenali Kemudahan
Akses dan
Ditemukan selalu Regeng

Dicapai

KONSEPSI RANAH
KEBIJAKAN (POLICY)

Perlindungan, tanggungjawab dan


rasa memiliki semua komponen
pada Pasar Gede dalam bentuk
KOMITMEN dan
PENGAYOMAN

Aturan, sujud Pengayoman


manembah dan sang penguasa
ucap syukur

Perwujudan

tata filosofi

Ngayomi atau Konstelasi


perlindungan
dan pelayanan

Strata ekonomi

Sedulur papat
kalimo pancer

Terseleksi Daya beli


Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 153

Keragaman,

Kualitas

Kuantitas

Pusat orientasi Daya tarik


Pemusatan
Tempat Tujuan

Daya tarik

Dikenali

Ditemukan

Dicapai

Nyambangi Tanggungjawa
b dan rasa
Pasare wong memiliki
Solo

Pasare wong Ikonik


Solo

Komitmen Komitmen
Bersama

Menjaga Tanggungjawa
b dan
Menggunakan komitmen
bersama
Mempertahanka
n

Adaptasi atau Daya


penyesuaian tahan/bertahan

Proporsional

Cokro
manggilingan

Keselarasan
154 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

KONSEPSI RANAH
KERUANGAN (PLACE)

Pasar dalam konstelasi kota


memiliki daya beli, daya usaha,
daya saing, daya tahan, dan daya
tarik sebagai pemusatan untuk
hidup dan menghidupi kota sebagai
tempat JUJUGAN DAN
LURUGAN

Aturan, sujud Wujud tata


manembah dan filosofi
ucap syukur

perwujudan

tata filosofi

Ngayomi atau Konstelasi


perlindungan negari
dan pelayanan

Strata ekonomi

Sedulur papat
kalimo pancer

Terseleksi Daya beli

Keragaman,

Kualitas

Kuantitas

Pusat orientasi Daya tarik


Pemusatan
Tempat Tujuan

Daya tarik

Dikenali

Ditemukan

Dicapai
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 155

Pengembagan Daya usaha


jejaring antar
wilayah

Peningkatan
pelayanan

Keragaman
sistem
penjualan,

Peningkatan
kualitas barang,

Fasilitas
pengiriman

Penyebaran

Ekspansi

Selektif Daya saing

Kualitas dan
kuantitas
terjamin

Pasare wong Ikonik


Solo

Menjaga urip lan nguripi

Menggunakan (Hidup dan


menghidupi)
Mempertahanka
n

Adaptasi atau Daya


penyesuaian tahan/bertahan

Proporsional

Cokro
manggilingan

Keselarasan
156 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

5.5 Kategorisasi Konsepsi Pasar Gede


Sebagai Komponen Struktur Kota Jawa
Sebagai Proses Pengkodean Berpilih
Hasil dari bagan konsepsi tersebut dapat dilanjutkan dengan tahapan
merumuskan kategori. Dalam proses Selective Coding atau Pengkodean
Terpilih, kategori yang telah dihasilkan selanjutnya dilakukan pemilihan
kategori inti dengan mengkaitkan kategori inti dengan kategori lainnya secara
sistematis, pengabsahan hubungannya, mengganti kategori yang perlu
diperbaiki dan dikembangkan lebih lanjut (Strauss & Corbin, 2013).
Dalam penelusuran kategori dilakukan dengan analitik dengan mengenali
masing-masing kategori dalam bagian kondisi, konteks, strategi, dan
konsekuensi. Hal tersebut dilakukan mengingat dalam hubungan masing-
masing kategori sangatlah kompleks dan saling terkait. Dalam penelusuran
analitik kategori berdasarkan paradigma tersebut maka dapat diketahui kondisi
pemengaruh yang terkait dengan Kebertahanan Pasar Tradisional sebagai
Komponen Struktur Kota Tradisional Jawa.

5.5.1 Perumusan Alur Inti Cerita


Untuk mencapai keterpaduan antar kategori maka perlu dilakukan
pengkonsepan cerita deskripsi tentang fenomena utama penelitian yang terkait
dengan pasar tradisional sebagai komponen struktur kota tradisional Jawa
mulai dari awal terbentuknya Kota Surakarta dengan dasar orientasi sosial-
budaya hingga pada masa beralih orientasi pada orientasi kebutuhan pasar.
Rangkaian inti cerita diawali dengan terbentuknya Pasar Gede di Kota
Surakarta sebagai kota tradisional Jawa kerajaan Mataram yang tertua dan
masih eksis hingga sekarang.
Era pemerintahan kerajaan diawali dengan terbentuknya nagari Surakarta atau
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada tahun 18 Februari 1745
dibawah kepemimpinan Paku Wubono II. Kasunanan Surakarta merupakan
kelanjutan dari Kerajaan Mataram Islam setelah mengalami perpecahan. Kota
Surakarta berdiri pada 17 Februari 1745 bertepatan dengan perpindahan pusat
kekuasaan Mataram dari Kartasura ke Surakarta. Perpindahan pusat kerajaan
tersebut terjadi setelah Kartasura yang dahulu sebagai ibukota kerajaan
Mataram yang selanjutnya hancur akibat Geger Pacinan, dengan bantuan opsir
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 157

Vereeningde Oost Indische Compagnie (VOC atau Perusahaan Dagang


Belanda di Hindia Timur), Kapten Von Hohendorf, Sunan Pakubuwono II
dapat keluar dari pengungsian di kawasan Ponorogo dan memilih desa Sala
sebagai lokasi keraton yang baru. Keraton baru tersebut terletak di desa Sala
sebagai tempat bermukim Kyai Gedhe Sala dan berhadapan dengan benteng
Vastenburg yang didirikan VOC sejak 1742. Dalam perkembangan kerajaan
Mataram terpecah menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan
Yogyakarta, sesuai isi Perjanjian Giyanti yang dibuat pada 1755. Berikutnya
pada tahun 1757 dibuat Perjanjian Salatiga yang membagi wilayah Surakarta
menjadi dua yakni Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran.
Setelah Perang Jawa yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro pada tahun
1825 berakhir, kekuasaan para raja di kawasan Surakarta dan Yogyakarta
sangat dibatasi. Namun demikian, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada
saat itu masih menghormati Keraton Surakarta dengan segenap kehidupan dan
kebudayaannya. Keraton Surakarta dijadikan lambang kebudayaan Jawa dan
sebagai Lembaga Javanologi oleh Pemerintah Hindia Belanda. Lembaga ini
didirikan sebagai sarana untuk mempelajari kultur dan karakter bangsa
Indonesia dan Jawa khususnya, agar nantinya lebih mudah untuk
menguasainya atau menjajah.
Memasuki era kolonialisme, Kasunanan Surakarta Hadiningrat dalam proses
perjalanan mengalami kepemimpinan yang silih berganti dari mulai Paku
Buwono II hingga dipegang oleh seorang raja dengan wawasan yang lebih
terbuka dan membawa perkembangan baru bagi nagari Surakarta, yaitu pada
masa kepemimpinan Paku Buwono X. Masa pemerintahan Paku Buwana X
ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil.
Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang, Kasunanan Surakarta
mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan
dengan perubahan politik di Hindia Belanda. Meskipun berada dalam tekanan
politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Paku Buwana X memberikan
kebebasan berorganisasi dan penerbitan media massa. Ia mendukung pendirian
organisasi Sarekat Islam, salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di
Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta (1938) diadakan pada
masa pemerintahannya. Infrastruktur moderen kota Surakarta banyak
dibangun pada masa pemerintahan Paku Buwana X, seperti bangunan Pasar
Gede, Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Stadion Sriwedari,
kebun binatang ("Taman Satwataru") Jurug, Jembatan Jurug yang melintasi
Bengawan Solo di timur kota, Taman Balekambang, gapura-gapura di batas
158 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Kota Surakarta, rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, rumah singgah


bagi tunawisma, dan rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga
Tionghoa. Paku Buwono X meninggal dunia pada tanggal 1 Februari 1939,
beliau disebut sebagai Sunan Panutup atau raja besar Surakarta yang terakhir
oleh rakyatnya. Pemerintahan berikutnya digantikan oleh putranya yang
bergelar Sri Susuhunan Paku Buwana XI (Aji, 2014; dan Ibnukhan, 2015).
Era pendudukan Jepang terjadi pada masa Paku Buwono XI tahun 1942. Pada
masa ini, seluruh wilayah Hindia Belanda berhasil diduduki Jepang dengan
proses penyerbuan selama dua bulan. Wilayah bekas voestelenden dijadikan
daerah istimewa yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Di Surakarta, pemerintahan
militer Jepang mengakui kekuasaan Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran.
Kota Surakarta atau yang populer disebut Sala atau Solo merupakan salah satu
pusat berkembangnya budaya Jawa. Eksistensi Kota Surakarta tidak bisa
dipisahkan dengan keberadaan dua pusat kekuasaan tradisional, yakni
Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran.
Selanjutnya di masa kemerdekaan, upaya pembentukan Daerah Istimewa
Surakarta melalui panitia yang diketuai Menteri Dalam Negeri Dr Soedarsono
gagal karena kuatnya gerakan antiswapraja pada 1946. Setelah dibentuk
Pemerntah Haminte (pengindonesiaan kata gemeente) Kota Surakarta pada
tahun 1946 tepatnya sejak 5 Juni 1947, wilayah Surakarta menjadi wilayah
karesidenan biasa dalam negara Republik Indonesia. Penghapusan kekuasaan
politik Keraton Surakarta telah menempatkan sekadar sebagai pusat budaya.
Wilayah Surakarta selanjutnya menjadi Karesidenan Surakarta. Seiring dengan
pembentukan Provinsi Jawa Tengah pada 1950, Karesidenan Surakarta
diintegrasikan ke dalam Provinsi Jawa Tengah. Dua hari setelah kemerdekaan
Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 kedua wilayah kekuasaan
tersebut diberi status swapraja. Raja-rajanya diberi kekuasaan yang bersifat
otonom atas daerahnya, tetapi di Surakarta ditentang oleh rakyat dalam bentuk
protes yang pada akhirnya diakomodasi oleh pemerintah pusat dengan
penghapusan Swapraja Surakarta. Gerakan anti swaparaja ini tidak hanya
muncul di kalangan masyarakat saja tetapi juga tumbuh di lingkungan pegawai
swapraja. Hal ini dikarenakan ketidakpuasan pegawai-pegawai terhadap
pembesar-pembesar pemerintahan swapraja. Gerakan ini diikuti dengan
lepasnya beberapa kabupaten yaitu Kabupaten Klaten pada tanggal 26 April
1946, Kabupaten Sragen pada tanggal 27 April 1946, Kabupaten Surakarta
pada tanggal 18 Mei 1946, Kabupaten Boyolali pad tanggal 3 Juni 1947 dari
pemerintahan Kasunanan (Nurrohman, 2013).
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 159

Perkembangan Kota Surakarta hingga tahun 1945 terjadi perubahan yang


cukup signifikan dalam tata pemerintahan, yang pada akhirnya mempengaruhi
segala bentuk kebijakan dan pengelolaan yaitu dengan adanya pendirian
Provinsi Surakarta bulan Agustus 1945. Di awal masa kemerdekaan Republik
Indonesia (1945-1946), Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran
sempat menjadi Daerah Istimewa. Akan tetapi karena kerusuhan dan agitasi
politik saat itu maka pada tanggal 16 Juni 1946 oleh Pemerintah Indonesia
statusnya diubah menjadi Karesidenan, menyatu dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian tanggal 16 Juni merupakan
hari jadi Pemerintahan Kota Surakarta. Secara de facto tanggal 16 Juni 1946
terbentuk Pemerintah Daerah Kota Surakarta yang berhak mengatur dan
mengurus pemerintahan dengan status sebagai Kotamadya Dati II, sekaligus
menghapus kekuasaan Kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran. Secara
yuridis Kota Surakarta terbentuk berdasarkan penetapan Pemerintah tahun
1946 Nomor 16 /SD, yang diumumkan pada tanggal 15 Juli 1946. Dengan
berbagai pertimbangan historis sebelumya, tanggal 16 Juni 1946 ditetapkan
sebagai hari jadi Pemerintah Kota Surakarta yang selanjutnya disebut dengan
Kota Surakarta (Nurrohman, 2013). Secara singkat dapat diketahui
perkembangan Kota Surakarta seperti dalam Tabel 5.10 berikut :
Tabel 5.10: Perkembangan Pemerintahan Kota Surakarta 1745- Sekarang

No Sistem Pemerintahan Orientasi


Kepemimpinan
Kota

1 Pembentukan nagari keraton 1. Paku Buwono II hingga Paku Orientasi


Kasunanan Surakarta Buwono IX Sosial Budaya
Hadiningrat Tahun 1745 (Socio-Culture
Driven)
2 Transisi dari kerajaan 2. Paku Buwono X memerintah
tradisional menuju era selama tahun 1893 - 1939
modern, sejalan dengan
perubahan politik di Hindia
Belanda

3 Pendudukan wilayah oleh 3. Keraton Kasunanan Surakarta


Jepang dengan system dipimpim oleh Paku Buwono XI
Swapraja Tahun 1939-1945 4. Keraton Mangkunegaran
dipimpin oleh Mangkunegara
VII
4 Periode Pemerintah Daerah 5. Mr. ISKAQ Orientasi
Surakarta 16 Juni 1946 TJOKROHADISOERJO (15 Juli kebutuhan
sampai berlakunya undang- 1946 s/d 14 November 1946) Pasar
160 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

No Sistem Pemerintahan Orientasi


Kepemimpinan
Kota

undang Nomor 16 Tahun (Orientasi


1947 Market
Driven)
5 Periode Pemerintah Harminte 1. SJAMSOERIDJAL (14
Surakarta. Berlakunya November 1946 s/d 13 Januari
undang-undang Nomor 16 1949)
Tahun 1947 sampai
berlakunya undang-undang
Nomor 22 Tahun 1948

6 Periode Pemerintah Daerah 1. SOEDJATMO


Surakarta. Berlakunya SOEMOWERDOJO (24 Januari
undang-undang Nomor 22 1949 s/d 1 Mei 1950)
Tahun 1948 sampai 2. SOEHARJO SOERJO
berlakunya undang-undang PRANOTO (Juni 1949 s/d 1 Mei
Nomor 1 Tahun 1957 1950)
3. K. Ng. SOEBEKTI
POESPONOTO (1 Mei 1950 s/d
1 Agustus 1951)
4. MUHAMMAD SALEH
WERDISASTRO (1 Agustus
1951 s/d 1 Oktober 1955 dan s/d
17 Pebruari 1958

7 Periode Pemerintah Daerah 1. OETOMO RAMELAN (17


Kotapraja Surakarta. Pebruari 1958 s/d 23 Oktober
Berlakunya undang-undang 1965)
Nomor 1 Tahun 1957 sampai
berlakunya undang-undang
Nomor 18 Tahun 1965

8 Periode Pemerintah 1. TH. J. SOEMANTHA (23


Kotamadya Surakarta. Oktober 1965 s/d 11 Januari
Berlakunya undang-undang 1968)
Nomor 5 Tahun 1974 sampai 2. R.KOESNANDAR (1968 s/d
dengan berlakunya undang- 1975)
undang Nomor 22 Tahun 3. SOEMARI WONGSOPAWIRO
1999 (1975 s/d 1980)
4. SOEKATMO
PRAWIROHADISEBROTO,
SH (1980 s/d 1985)
5. H.R. HARTOMO ( 1985 s/d
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 161

No Sistem Pemerintahan Orientasi


Kepemimpinan
Kota

1995)
6. IMAM SOETOPO (1995 s/d
2000)
7. SLAMET SURYANTO (2000
s/d 2005)
9 Periode Pemerintah Kota 1. Ir. H. JOKO WIDODO (2005 s/d
Surakarta. Berlakunya Oktober 2012)
undang-undang Nomor 22 2. F.X. HADI RUDYATMO
Tahun 1999 tentang (Oktober 2012 s/d sekarang)
Pemerintah Daerah, UU
Nomor 32 Tahun 2004,
sampai sekarang

Dalam penataan ruang kota tradisional Jawa tidak mengenal pembagian tata
ruang (zoning), seperti halnya kota-kota modern di Eropa. Siklus hidup orang
Jawa, tercermin dalam pembagian rumah tinggalnya. Sebaliknya tata kota
modern Eropa memisahkan antara wilayah permukiman, perkantoran, dan
rekreasi. Oleh karena itu wilayah kota Surakarta yang masuk dalam kekuasaan
Kasunanan lebih bercorak tradisional jawa, sedangkan wilayah Mangkungaran
lebih bercorak budaya Belanda. Bangunan-bangunan penting peninggalan
masa silam dan toponimi kota yang terletak dalam wilayah Kasunanan lebih
banyak yang bercorak Jawa. Bangunan peninggalan masa lalu dan toponimi
wilayah Mangkunegaran banyak dipengaruhi budaya Belanda.
Setelah masa revolusi dan penghapusan status istimewa, kedua keraton di
wilayah Kota Surakarta berfungsi menjadi penjaga nilai budaya Jawa.
Meskipun demikian, bagi orang kebanyakan, citra keraton sebagai lingkungan
yang sarat magis masih tetap penting, dan citra itu tetap terus tumbuh subur.
Keraton masih diyakini memancarkan nilai-nilai sakral Jawa dan dengan
tradisinya dalam bidang seni dan adat istiadat tetap berpengaruh pada
kehidupan masyarakat Kota Surakarta (Kurniawan, 2015).
Tidak hanya dalam lingkup makro, pergeseran orientasi berdampak pula pada
konteks yang lebih mikro, kawasan Pasar Gede mengalami pergeseran
orientasi yang bergeser dari orientasi sosial-budaya menuju orientasi
kebutuhan pasar diawali dari masa terbentuknya Pasar Gede pada masa
kepemimpinan Paku Buwono X era tahun 1866-1939. Penempatan atau
penetapan lokasi Pasar Gede didasarkan oleh berbagai pertimbangan filosofis
162 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

dengan dasar tiga komponen kota yang utama yaitu keraton, masjid dan pasar.
Ketiga komponen kota merupakan perwujudan adanya konsep aturan, sujud
manembah dan ucap syukur yang menjadi nilai-nilai filosofi yang pegang oleh
seorang raja dalam memerintah sebuah negari atau negara berupa kerajaaan.
Dalam hal ini pasar merupakan wujud dari konsep ucap syukur.
Hal inilah yang mendasari terbentuknya suatu hirarki dan jejaring dari masing-
masing komponen kota di pusat kota tradisional Jawa. Dalam menjalankan
pemerintahan, seorang Raja di negari Keraton Kasunanan Surakarta maka
akan mengayomi warganya. Dengan berdasarkan prinsip ngayomi atau
memberi perlindungan dan pelayanan inilah maka pengaturan pasar sebagai
bentuk implementasi nilai ucap syukur, raja negari Keraton Kasunanan
Surakarta menempatkan pasar dengan hirarki dan jejaring yang mengacu pada
sedulur papat kalimo pancer dengan pusat orientasi keraton seperti dalam
Gambar 5.15.
Pasar Gede awalnya muncul dari embrio pasar candi yang berkarater Candi
Padurasa. Letak Pasar Gede yang berada di kawasan Pecinan menyebabkan
kegiatan religiusitas mengalami pergeseran menjadi pasar ekonomi, dan
kemudian disebut Pasar Gede Oprokan. Keberadaan Pasar Gede, tercatat telah
meninggalkan jejak sejarah fungsi bangunan pasar ke dalam tiga kurun zaman.
Pertama, Pasar Gede dikenal sebagai pasar candi (sakral), kedua sebagai
simbol kosmologi projo-kejawen kraton yang dikenal sebagai konsep 'sar-
gedhe', dan ketiga sebagai simbol lahirnya budaya kota (SoloArt, 2008).

Gambar 5.15: Orientasi sosial-budaya pada Pasar Tradisional di Kota


Surakarta (Analisis Peneliti, 2016)
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 163

Pasar Gede hingga saat ini masih dipandang oleh masyarakat sebagai artefak
bangunan kota tradisional Jawa dan menjadi ciri khas peninggalan Kerajaan
Mataram. Pasar Gede dilihat secara komprehensif, baik dari sudut pandang
sejarah maupun tata ruang kota, memiliki ekspresi tiga dimensi ruang dan
waktu yaitu masa kerajaan, pasca-kolonial, dan kemerdekaan. Sedangkan
secara struktural, bangunan Pasar Gede berada pada kesatuan ekologi kultural
sebagai bagian dari bangunan njobo keraton (luar kraton), yaitu Pasar Gede,
Tugu Pemandengan Ndalem, Gapura Gladhag, Gapura Pamurakan, Alun-alun,
Masjid Agung, Pagelaran dan Sitihinggil. Di sisi lain dari aspek sejarah, Pasar
Gede berhasil menapakkan jejak pada tiga kategori fakta, yaitu artefak sebagai
seni arsitektur bangunan, social fact karena pasar sebagai tempat interaksi
sosial atau disebut dengan gedhe kumandange, dan mentifact melambangkan
sakral-magis karena melahirkan konsep dasar pasar candi. Oleh karena itu,
Pasar Gede akan senantiasa dikenang sepanjang masa oleh masyarakat karena
mengandung nilai memori-kolektif yang melekat di hati rakyatnya. Dahulu
kala Pasar Gede merupakan sebuah pasar kecil yang didirikan di area seluas
10.421 hektar, diberi nama Pasar Gede karena terdiri dari atap yang besar.
Seiring perkembangan waktu, pasar ini menjadi pasar terbesar dan termegah di
Surakarta. Pasar Gede terdiri dari dua bangunan yang terpisah, dan masing-
masing terdiri dari dua lantai. Pintu gerbang di bangunan utama terlihat seperti
atap singgasana yang kemudian diberi nama Pasar Gede (Cahkalitan, 2009).
Kondisi menunjukkan bahwa dalam kehidupan suatu nagari yang komplek
dengan berbagai etnis, maka konteks aktivitas ekonomi, sosial dan budaya di
kota pun menjadi sangat beragam dan menjadi bagian yang dicari, dituju, dan
sekaligus diharapkan oleh seluruh komponen masyarakat. Pasar dalam
konstelasi kota memiliki daya usaha, daya saing, daya tahan dari dalam kota
hingga keluar wilayah dalam bentuk sumrambah dan melakukan keterpaduan
secara proporsional sebagai upaya untuk bertahan. Berbagai hal telah terjadi
sinergitas antar konsumen berupa perpaduan budaya belanja multi etnis,
interaksi sosial, sinergitas keragaman komoditas berupa kesesuaian tuntutan
etnis dan kualitas terseleksi, dan sinergitas aktivitas yang berupa budaya
belanja untuk layanan multi etnis.
Berbagai fenomena, Pasar Gede memiliki kemampuan atau daya beli pada
kualitas barang yang bagus dan terseleksi serta jumlah yang banyak.
Keragaman, kualitas dan kuantitas barang dagangan yang ada di Pasar Gede
menjadi daya tarik bagi konsumen baik dari dalam kota maupun luar kota,
hingga Pasar Gede dikenal sebagai pasar eksklusif. Hal tersebut menjadikan
164 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

kawasan Pasar Gede dapat bertahan dengan situasi regeng yaitu tidak sepi dan
tidak terlalu padat dengan konsumen yang selalu loyal. Pasar Gede sebagai
pelayanan bagi segmen tertentu atau segmentasi dengan kelas menengah
keatas atau eksklusif. Berbagai pedagang berasal dari dalam dan luar kota dan
berganti secara turun temurun dengan layanan produk berkualitas, para
konsumen yang mengunjungi pasar berasal dari golongan masyarakat kelas
menengah keatas, multi etnis, dalam jumlah yang stabil. Demikian pula para
pekerja seperti kuli angkut, tukang parkir, tukang becak berasal dari dalam dan
luar kota yang berganti secara turun temurun dan tidak spekulasi mencari
tempat lain.
Konteks Pasar Gede dikelilingi oleh permukiman multi etnis, menuntut adanya
penyediaan komoditas yang sesuai dengan keragaman kebutuhan konsumen
baik kebutuhan masyarakat Jawa maupun Tionghoa secara terus menerus atau
berlanjut atau continue, dan tidak terhenti pada musim tertentu. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa Pasar Gede dari mulai awal terbentuknya
dalam masa orientasi sosial-budaya hingga sekarang dengan orientasi pada
orientasi kebutuhan pasar, merupakan pasar dengan beberapa komoditas yang
memiliki kualitas setara dengan mall, memiliki ekspansi perdagangan yang
luas dan beragam, posisi yang strategis yaitu pasar yang letaknya di-adhakan,
memiliki situasi spasial yang ajeg atau ke-ajeg-an ruang, dan sebagai pasar
yang sempulur atau selalu tersedia segala ragam untuk memenuhi kebutuhan
dengan kondisi yang tidak membedakan antar ras atau anti-diskriminasi.
Bahkan sebagian masyarakat mengatakan bahwa Pasar Gede pasare wong
Chino dikarenakan satu-satunya pasar tradisional yang menyediakan
perlengkapan ibadah dan kebutuhan harian masyarakat Etnis Tionghoa.
Meskipun demikian, secara umum masyarakat Kota Surakarta telah
menganggap bahwa Pasar Gede adalah pasare wong Solo atau Pasar Gede
sebagai pasarnya masyarakat Kota Surakarta yang terdiri dari multi etnis.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pasar Gede menjadi kebanggaan
bersama bagi masyarakat Kota Surakarta. Konsumen ataupun pedagang
sengaja datang ke Pasar Gede bukan sekedar untuk melakukan jual beli, tetapi
memiliki tujuan lain yaitu untuk nyambangi atau bertemu sapa sekedar untuk
mengobrol santai dan melihat situasi pasar sebagai bentuk social relationship,
sehingga membuat situasi pasar selalu ramai tetapi tidak padat atau regeng.
Situasi demikian menjadi pertanda adanya kehidupan yang berlangsung secara
terus menerus sesuai dengan fungsi pasar dan dapat dikatakan bahwa Pasar
Gede masih memiliki kumandange pasar. Hal ini terjadi dari masa dahulu
hingga sekarang, bahkan dapat dikatakan bahwa konsumen yang mengunjungi
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 165

Pasar Gede pun adalah konsumen yang loyal dengan maksud konsumen yang
benar-benar menginginkan kualitas bagus dan telah merasakan suasana
kekeluargaan dan kepercayaan dengan para pedagang. Beberapa tahun terakhir
ini, fenomena ritual berupa 77 tumpeng di Pasar Gede, pada 12 Januari 2007
dalam rangka peringatan hari jadi Pasar Gede yang ke 77 tahun, tepatnya 12
Januari 1930 - 12 Januari 2007. Seperti penuturan Wiharto, salah seorang
pegiat Komunitas pedagang Pasar Gede (Komppag):
“Peristiwa semacam ini, sudah menjadi rutinitas seremonial bagi
komunitas Pasar Gede, bahkan tidak hanya peringatan hari jadi,
peringatan hari Kemerdekaan Republik Indonesia pun juga turut
dirayakan di pasar Gede. Sejarah Pasar Gede ditetapkan pada
momentum peresmian pembukaan pasar oleh PB X”,
Sebagai pasar induk suatu negari, pada era pemerintahan Paku Buwono X,
tepatnya tahun 1930 dibangun sebagai bentuk implementasi filosofi
pengayoman dari seorang raja bagi masyarakatnya, Pasar Gede menjadi salah
satu bangunan monumental. Bangunan pasar tersebut dirancang oleh arsitek
Belanda bernama Ir. Thomas Karsten yang memulai mengerjakan konsep
rancang-bangun sejak tahun 1927 dan selesai tahun 1929. Sedangkan
pembangunan Pasar Gede selesai tahun 1930, dan diberi nama Pasar Gede
Hardjanagara. Nama Hardjanagara mengambil nama seorang Cina bernama
Hardjanagara yang kebetulan waktu itu sebagai kepala pasar. Para pedagang
pasar juga banyak dari kalangan etnis Cina. Penamaan Pasar Gede atau pasar
besar dikarenakan atap bangunannya amat besar. Hingga sekarang, Pasar Gede
menjadi pasar termegah dan jantung perekonomian di Kota Surakarta
(Cahkalitan, 2009).
Bangunan Pasar Gede menggabungkan konsep arsitektur Jawa-Eropa buatan
1930. Tjan Sie Ing adalah seorang Lieutenant de Chinezen, yaitu pimpinan
golongan etnis Cina yang diberi legitimasi oleh pemerintah kolonial Belanda
sekitar 100 tahun silam, yang mendapat fasilitas dari Pemerintah Belanda, dan
juga mendapat konsensi dari pemerintah keraton Kasunanan Surakarta berupa
hak pengelolaan pasar tradisional Hardjonegoro. Pendapatan dari pengelolaan
pasar ini dibagi antara pengelola dan pihak keraton. Kemegahan Pasar Gede
tidak luput dari kerusakan dan serangan dari berbagai pihak. Pada masa tahun
1947, Pasar Gede mengalami kerusakan fisik akibat serangan Belanda,
sedangkan pada tahun 1948 Pasar Gede pernah terbakar dan selesai dibangun
kembali tahun 1954. Selanjutnya pada tahun 1998 terkena serangan amuk
masa adanya peristiwa Gerakan Reformasi yang membumi hanguskan Kota
166 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Surakarta. Terakhir terjadi serangan amuk masa lagi pada tahun bulan Oktober
1999 karena Megawati Soekarnoputri tidak terpilih sebagai presiden meski
mendapat suara terbanyak. Situasi yang demikian itu membawa pengaruh pada
kestabilan aktivitas ekonomi, sosial dan budaya di Pasar Gede. Secara perlahan
dan dengan adanya komitmen berbagai pihak akhirnya Pasar Gede mampu
diperbaiki dan kembali berfungsi seperti sediakala (Cahkalitan, 2009). hal
tersebut dapat dimaknai bahwa kemauan baik atau goodwill dari berbagai
pihak sangat penting artinya dan mendukung keberadaan Pasar Gede.
Strategi yang tumbuh secara alami dan direncanakan adalah adanya jiwa dan
rasa saling memliliki yang berlandaskan prinsip ngayomi atau memberi
perlindungan dan pelayanan. Prinsip pengayoman inilah yang menjadi pijakan
pengaturan pasar sebagai bentuk implementasi nilai ucap syukur, dan pasar
ditempatkan dengan kaidah hirarki dan jejaring yang mengacu pada sedulur
papat kalimo pancer dengan pusat orientasi keraton. Komitmen dan
pengayoman telah terbangun dalam jiwa berbagai komponen yaitu pihak
penguasa dalam bentuk perlindungan dan pelayanan (Raja-Walikota), pihak
masyarakat dalam bentuk komitmen untuk menjaga, menggunakan dan
melestarikan atau nguri-uri, dan pihak pelaku yang terlibat langsung di pasar
dalam bentuk konsistensi untuk beraktivitas sesuai dengan peran masing-
masing secara berkesinambungan dan rasa kebanggaan sebagai pelaku di Pasar
Gede. Jiwa dan rasa inilah yang bagi semua pihak disebut dengan handarbeni
atau rasa memiliki.
Konsekuensi yang ada pada Pasar Gede adalah menjadi tempat atau wadah
sinergitas bagi semua keragaman pelaku, keragaman aktivitas, dalam jiwa
handarbeni, sehingga pasar dipandang sebagai Jujugan atau tempat untuk
mendapatkan, mencari, dan memperoleh sesuatu bagi masyarakat. Hal tersebut
diperkuat pula oleh adanya posisi dan kekhasan Pasar Gede berada pada
wilayah yang langsung berkaitan dengan axis atau sumbu utama Kota
Surakarta, dan berada pada depan dari posisi Keraton Kasunanan Surakarta
sehingga menjadi orientasi, disamping itu pula keragaman komoditas yang ada
di Pasar Gede, maka tidak mustahil bila masyarakat menjadikan Pasar Gede
sebagai tempat Jujugan. Pasar Gede ternyata tidak hanya sebagai Jujugan
tetapi juga menjadi Lurugan atau tempat yang didatangi. Pasar Gede sebagai
pasar yang berada pada area inti Kota Surakarta atau yang disebut dengan
negaragung maka hal ini menjadi daya tarik bagi masyarakat baik dalam kota
maupun luar kota untuk nglurug atau mendatangi Pasar Gede guna memasok
barang, berbelanja, bekerja ataupun tujuan lain. Inilah yang dikenal dengan
sebutan bahwa Pasar Gede menjadi Lurugan. Berbagai fenomena mengarah
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 167

pada konteks Pasar Gede sebagai Jujugan dan Lurugan maka konsekuansi
yang terjadi bahwa Pasar Gede menjadi suatu tempat yang ngrejekeni bagi
semua komponen baik pedagang, para pekerja di pasar, pengunjung,
masyarakat maupun pihak pemerintah selaku pihak yang berwenang terhadap
Pasar Gede.
Aspek tata ruang kota, Pasar Gede ditata untuk mengupayakan kawasan
menjadi pusat ruang publik yang cukup luas, untuk akses kepentingan
ekonomi, civic center, bandar perdagangan, dan gedung teater Fajar sebagai
kawasan hiburan. Kepentingan politis keraton, disentrifugalkan pada poros
Tugu Pemandengan, kepentingan kolonial, ter-cover pada perubahan jabatan
residen dari kantor di kawasan Gladhag, menjadi wilayah gubernur, berkantor
di gedung gubernuran yang sekarang digunakan untuk Balaikota pada tahun
1930, sementara dunia perdagangan terpusat pada bandar perdagangan di
depan balai kota pada posisi sekitar kantor BNI-46. Di sepanjang kali pepe
masih dapat dikenali beberapa heritage jejak-jejak peninggalan kampung
dagang yang terbangun berdasarkan interaksi etnik, jauh waktunya sebelum
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berdiri ada Kampung Sampangan
yang dihuni oleh masyarakat Madura, kampung dagang Belanda di Loji Wetan
yang dihuni oleh kaum Belanda, kampung Pecinan di kawasan Pasar Gede
yang dihuni oleh masyarakat etnis China dan kampung komunitas pedagang
Bali di Kebalen yang dihuni oleh masyarakat Bali. Dinamika dunia
perdagangan berada dalam jalur peredaran transportasi air di Bengawan Solo
pada masa dahulu. Dengan demikian tidak jauh dari jalur transportasi
Bengawan Solo, telah berdiri simbol kekuatan ekonomi kota, yaitu Javaasche
Bank dan Bondho Lumakso (Soedarmono, 2008).
Lingkup konstelasi kota, pusat orientasi spasial kawasan Kota Surakarta
bagian Timur atau dikenal dengan Solo-Timur dan Surakarta bagian Utara atau
Solo-Utara terkonsentrasi pada situs blok bangunan Pasar Gede bagian timur,
sementara kawasan Solo-Utara-Barat atau area Kepatihan terkonsentrasi pada
sudut bangunan blok barat yang dikenal dengan pasar buah. Berbagai refleksi
nilai yang tercermin pada kawasan Pasar Gede yaitu sebagai nilai kesejarahan,
hedhonism, profanism, dan nilai kepentingan secularism Jawa. Kehidupan
duniawi diibaratkan sebagai matahari terbit dari arah timur, karena itu letaknya
pada posisi timur kraton. Nilai kesejarahan Pasar Gede diekspresikan pada
semangat pusat ekonomi kota dalam ideologi budaya kota Jawa yang sedang
berubah dari konsep kuthorojo menjadi kuthonegoro (Soedarmono, 2008).
168 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

5.5.2 Rumusan Kategori Hasil Pengkodean Terpilih


Dari uraian alur cerita dapat diketahui sifat dan ukuran dari masing-masing
konsepsi yang telah dianalisis hingga menghasilkan rumusan kategori.
Selanjutnya rumusan kategori menjadi dasar dalam bangunan teori subtanstif
tentang pasar tradisional sebagai komponen struktur kota tradisional Jawa.
Keterkaitan alur cerita dengan kategori secara skematis dapat ditelaah dari
Gambar 5.16.
Berdasarkan gambar analitik penelusuran kategori, maka dapat diuraikan
secara rinci alur cerita (story line) atau urutan kategori sesuai dengan kondisi,
konteks, strategi, dan konsekuensi serta kondisi pemengaruhnya. Kondisi
kausal dalam merumuskan kategori yang terkait dengan Pasar Gede sebagai
Komponen Struktur Kota Tradisional Jawa dalam ruang kota yang mengalami
perubahan orientasi sosial budaya menuju orientasi kebutuhan pasar, bahwa
bahwa Pasar Gede sebagai ruang ekonomi, sosial, dan budaya telah terjadi
proses keterpaduan berbagai aspek dalam bentuk sinergi (Synergy) antara,
komoditas, aktivitas dan ruang. Sinergitas yang terjadi meliputi aspek
konsumen yaitu dengan perpaduan budaya belanja multi etnis antara Jawa dan
Tionghoa, interaksi sosial seluruh komponen masyarakat; Komoditas dengan
keragaman sesuai tuntutan berbagai etnis baik dari sisi kualitas yang terseleksi
dan jumlah sesuai kebutuhan. Di samping itu pula terjadi sinergitas aktivitas
berupa layanan multi etnis, ekonomi, sosial, dan budaya.
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 169

Gambar 5.16: Analitik Penelusuran Kategori (Analisis Peneliti, 2016)


Dengan demikian fenomena yang terjadi adanya para pelaku pasar yang selalu
loyal dan terlibat dalam segala ragam peristiwa. Hal tersebut membawa
implikasi dalam penataan atau penempatan lokasi pasar, peran dan orientasi
pasar yang mengakibatkan pasar dapat melibatkan berbagai komponen pelaku.
Berbagai pelaku yang terlibat dalam keberlanjutan pasar ada 3 komponen
pelaku yaitu 1). Pedagang yang berasal dari dalam dan luar kota; berlanjut
secara turun temurun, dengan layanan produk berkualitas; 2). Konsumen
dengan kelas menengah keatas, yang berasal dari multi etnis, dalam jumlah
yang stabil; 3). Pekerja yang datang dari dalam dan luar kota, secara turun
temurun, dan tidak berspekulasi dalam mencari bekerja. Hal ini dikarekan para
pelaku memiliki loyalitas (Loyality) yang tinggi untuk terus menerus
melakukan kegiatan ekonomi di Pasar Gede.
Konteks Pasar Gede sebagai pasar yang berada di pusat kota memiliki
komoditas yang selalu tersedia dalam kualitas bagus dan jumlah banyak,
aktivitas yang sangat beragam dan selalu silih berganti baik kegiatan ekonomi,
sosial, dan budaya, serta pelaku yang terdiri dari multi profesi dan jumlah
170 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

memadai yang selalu siap melayani dan tidak mengenal waktu. Hal tersebutlah
yang dapat membentuk Kumandhange pasar atau keberlanjutan suatu pasar
sebagai komponen kota tradisional Jawa bahwa menjadi komponen yang
menentukan adanya suatu aktivitas dalam fasilitas ekonomi kota.
Strategi yang terjadi dalam keberlangsungan Pasar Gede sebagai fasilitas
ekonomi dengan sinergitas, kontinuitas aktivitas dan loyalitas para pelaku
pasar, maka tak dapat dipungkiri menuntut adanya pengayoman dan
Handarbeni komitmen semua pihak dalam bentuk kebijakan sebagai
perwujudan adanya yang tinggi dari semua pihak guna menjaga kebertahanan
Pasar Gede. Integritas yang tinggi dapat terwujud dengan adanya pengayoman
dan komitmen dari pihak penguasa baik Keraton Kasunanan Surakarta
maupun Pemerintah Kota Surakarta berupa perlindungan dan pelayanan (Raja-
Walikota), masyarakat berupa komitmen untuk menjaga, menggunakan dan
melestarikan atau nguri-uri, dan adanya kesadaran Pasar Gede sebagai heritage
nilai budaya Jawa. Disamping itu diperlukan pula dukungan pelaku pasar
dalam bentuk konsistensi untuk beraktivitas di pasar sesuai dengan peran
masing-maisng secara berkesinambungan, dengan penuh kebanggaan sebagai
pelaku di Pasar Gede
Dengan adanya hal tersebut maka Konsekuensi yang terjadi bahwa Pasar Gede
menjadi pusat atau Jujugan dan Lurugan bagi seluruh masyarakat di kota
tradisional Jawa, baik masyarakat yang berada di dalam wilayah negari
maupun diluar wilayah hingga terbentuklah tempat yang Ngrejekeni atau
pemusatan pelayanan. Pemusatan yang terjadi meliputi aspek keruangan,
aktivitas dan pelaku. Aspek keruangan berupa bentuk pelayanan dari pusat
mengarah ke luar kota, dan dari luar kota mengarah masuk ke dalam kota.
Aspek aktivitas berupa distribusi barang pemasaran, pasokan barang masuk,
dan sebagai pusat aktivitas budaya dan sosial. Sedangkan aspek pelaku bahwa
Pasar Gede sebagai pusat para pengguna pasar, masyarakat, pemangku
kebijakan.

5.6 Simpulan Tema, Konsepsi, Dan


Kategori
Berdasarkan hasil pembahasan tema, konsep dan kategori yang telah
diuraikan, maka dapat disimpulkan bahwa 15 (lima belas) tema yang
Bab 5 Penelusuran Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 171

dirumuskan dari 29 fenomena, dapat menjadi dasar pijakan bagi tahap


selanjutnya yaitu rumusan 10 (sepuluh) konsep yang terdiri dari konsep
Sumrambah, Keterpaduan, Segmentasi, Eksklusif, Kosistensi, Regeng,
Pengayoman, Komitmen, Jujugan, dan Lurugan. Kesepuluh konsep ini
merupakan bagian yang antara satu konsep dengan konsep lainnya memiliki
keterkaitan tetapi tidak saling tumpang tindih dalam pemahaman substansi.
Dengan demikian dari hasil rumusan konsep tersebut dapat dibangun kategori
dalam bentuk 5 (lima) kategori yaitu: Sinergi (Synergy), Loyalitas (Loyality),
Kumandhang, Handarbeni, dan Ngrejekeni. Secara rinci dapat dilihat
keterkaitan antar masing-masing tema, konsep dan kategori dalam Matrik
Kerangka Pembahasan data teoritik. Secara ringkas dapat dilihat pada Tabel
5.11.
172 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
Bab 6
Bertahannya Pasar Tradisional Di
Pusat Kota

Dalam rangkaian penyusunan bangunan teori substantif tentang Pasar


Tradisional Sebagai Komponen Struktur Kota Tradisional Jawa, maka bagian
ini dalam Grounded Research merupakan bagian terakhir berupa Pembentukan
Teori (Theoretical Coding). Seperti yang telah diketahui bahwa tujuan dari
penelitian grounded adalah menemukan teori baru yang sesuai dengan akar
budaya lokal melalui proses indigenisasi teori (Salim, 2006). Proses
pembentukan teori ini dimulai dari proses penyampelan teoritik yang disusun
berdasarkan konsep-konsep yang diperoleh dari fenomena dan terbukti
memiliki hubungan secara teoritik dengan teori yang tengah dikembangkan.
Penarikan sampel teoretis dilakukan dengan pengumpulan data yang dibangun
oleh konsep-konsep berdasarkan perbandingan tempat, pelaku, atau peristiwa.
Hal tersebut dimaksudkan untuk memaksimalkan peluang variasi antar konsep
dan menjadi lebih padat kategori dalam hal sifat dan dimensinya (Strauss &
Corbin, 2013).
Fenomena yang diperoleh secara empirik di lapangan telah disusun secara
komprehensif dalam rangkaian tema, konsepsi dan kategori, dan selanjutnya
dilakukan penyampelan teoritik terhadap hasil kategori untuk menghasilkan
174 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

bangunan pengetahuan lokal di kawasan Pasar Gede sebagai komponen


struktur kota tradisional Jawa. Bangunan teori yang dihasilkan merupakan
bagian dalam rumpun teori struktur kota, dan secara spesifik menjelaskan
tentang Pasar Gede sebagai komponen struktur kota tradisional Jawa dalam
bentuk pengetahuan substantif yang dibangun dari pemahaman 5 konsep
utama yaitu: pertama Pasar Gede sebagai fasilitas perbelanjaan yang berada di
pusat kota dan dikelilingi berbagai ragam etnis dan tuntutan kebutuhan
masyarakat sehingga pasar mengalami proses sinergi (synergy) dalam menjaga
keberlangsungannya. Hal tersebut menjadi suatu karakter budaya belanja yang
terbangun oleh masyarakat Jawa dan China dalam suatu kota tradisional Jawa;
kedua Pasar Gede sebagai pasar tradisional yang ekslusif dan segmentasi kelas
menengah keatas yang memiliki loyalitas (loyality) sebagai konsumen pasar,
ketiga tentang pasar yang selalu dalam kondisi kumandhang atau aktivitas jual
beli yang tidak sepi dan tidak terlalu ramai yang berlangsung secara
kontinuitas (continuity) dengan suasana tawar menawar, ramai tetapi tidak
ricuh, dengan maksud bahwa aktivitas yang ada di pasar dapat berlangsung
secara terus menerus pada suatu kota tradisional Jawa; keempat bahwa Pasar
Gede berada pada suatu wilayah negari yang memiliki jiwa handarbeni atau
rasa memiliki dari semua pihak baik keraton, pemerintah, pengguna maupun
seluruh masyarakat dengan jiwa handarbeni atau rasa memiliki yang selalu
ingin melindungi, menjaga dan menggunakan atau turut berperan sesuai
dengan kapasitasnya; dan keempat bahwa dalam suatu konstelasi negari, Pasar
Gede menjadi tempat Jujugan atau tempat yang dituju dan Lurugan atau
tempat yang didatangi hingga terbentuk pusat pelayanan yang ngrejekeni bagi
masyarakat baik di dalam kota maupun luar kota yang masuk dalam konstelasi
Kota Tradisional Jawa yang selalu mendatangkan rejeki bagi semua pelaku
yang ada pasar sehingga disebut dengan tempat ngrejekeni atau tempat yang
menjadi sumber rejeki.
Dalam membangun teori tentang pasar tradisional sebagai komponen struktur
kota tradisional Jawa, maka konsep-konsep tersebut perlu diperjelas secara
rinci, keterkaitan antar konsep pada ranah tema, konsepsi dan kategori hingga
menjadi bangunan teori subtantif secara utuh.
Bab 6 Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 175

6.1 Sinergi (Synergy) Keberlangsungan


Pasar
Pemahaman tentang sinergi (synergy) kesinambungan pasar dibangun dari
fenomena diskrit yang ditemukan di lapangan. Fenomena-fenomena tersebut
yang memiliki keterkaitan teoritik dirumuskan dalam beberapa tema yaitu
pasar di-uri-uri atau dilestarikan, kelas konsumen, anti-diskriminasi, ke-ajeg-an
ruang atau kestabilan ruang, pasar yang sempulur atau tersedia semua jenis
komoditas dan tidak mengenal musim, pasar yang ramai dalam segala situasi,
ikon kota, komponen utama negari. Dengan adanya rumusan tema-tema
tersebut maka dapat dirumuskan dalam beberapa konsepsi yaitu segmentasi,
sumrambah atau merambah, keterpaduan, komitmen, dan selanjutnya dapat
dibangun suatu kategori sinergi (synergy) keberlangsungan pasar yang
menjadi konsep penyampelan teoritik dalam bangunan teori tentang pasar
tradisional sebagai komponen struktur kota tradisional Jawa.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pasar Gede mulai awal terbentuknya
dalam masa orientasi orientasi sosial-budaya hingga sekarang masa orientasi
orientasi kebutuhan pasar, merupakan pasar yang memiliki toleransi antar etnis
atau teposeliro. Pasar Gede merupakan pasar yang di-uri-ur’ atau dilestarikan,
dengan kelas konsumen menengah keatas, anti-diskriminasi, ke-ajeg-an ruang
atau kestabilan ruang, merupakan pasar yang sempulur atau tersedia semua
jenis komoditas dan tidak mengenal musim, pasar yang ramai dalam segala
situasi, sebagai ikon kota, dan menjadi komponen utama negari.
Sebagian masyarakat mengatakan bahwa Pasar Gede pasare wong Chino
dikarenakan satu-satunya pasar tradisional yang menyediakan perlengkapan
ibadah dan kebutuhan harian masyarakat Etnis Tionghoa. Meskipun demikian,
secara umum masyarakat Kota Surakarta telah menganggap bahwa Pasar Gede
adalah pasare wong Solo atau Pasar Gede sebagai pasarnya masyarakat Kota
Surakarta yang terdiri dari multi etnis. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa Pasar Gede menjadi kebanggaan bersama bagi masyarakat Kota
Surakarta.
176 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

6.2 Loyalitas (Loyality) Pengguna Pasar


Pada tahap berikutnya dalam proses penyampelan teoritik adalah adanya
pemahaman tentang loyalitas (loyality) pengguna pasar merupakan
perwujudan dari semangat atau grengseng para pelaku dibangun dari
fenomena diskrit yang ditemukan di lapangan. Fenomena-fenomena tersebut
memiliki keterkaitan teoritik yang dirumuskan dalam beberapa tema yaitu
ekspansi perdagangan, pasar di-adhakan, transaksi kesepakatan, pasar di-uri-
uri atau dilestarikan, kelas konsumen, anti-diskriminasi, ke-ajeg-an ruang atau
kestabilan ruang, pasar yang sempulur atau tersedia semua jenis komoditas dan
tidak mengenal musim, hirarki dan jejaring pasar kota Jawa, pasar sebagai
tempat tujuan, dan daya tarik pasar. Dengan adanya rumusan tema-tema
tersebut maka dapat dirumuskan dalam beberapa konsepsi yaitu regeng atau
selalu ramai tetapi tidak padat, eksklusif, segmentasi, sumrambah atau
merambah, lurugan atau tempat yang didatangi, dan selanjutnya dapat
dibangun suatu kategori loyalitas (loyality) pengguna pasar sebagai
perwujudan jiwa semangat dari seluruh komponen pelaku pasar untuk
menjaga, merawat, menggunakan dan memiliki pasar sebagai ruang ekonomi,
sosial dan budaya. Kategori loyalitas (loyality) pengguna pasar menjadi dasar
dalam konstruksi bangunan teori terkait dengan keberadaan pasar sebagai
komponen struktur kota Jawa.
Secara struktural, takrif tentang konsep loyalitas (loyality) pengguna pasar
sebagai dasar pijakan dalam keberadaan pasar dapat diuraikan seperti Tabel
6.1 berikut:
Tabel 6.1: Takrif loyalitas (loyality) pengguna pasar perwujudan semangat
para pelaku pasar (Analisis Peneliti, 2016)
Definiendum Definiens
(Kata yang Genius Proximum Differentia Specifica (Karakter khas
dijelaskan) definiendum)
(kedalam mana
definiendum
digolongkan)

loyalitas sikap Secara harfiah loyal berarti setia, atau loyalitas


(loyality) dapat diartikan sebagai suatu kesetiaan.
Kesetiaan timbul tanpa adanya paksaan, tetapi
timbul dari kesadaran sendiri pada masa lalu.
Bab 6 Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 177

Pengguna Pelaku pihak yang menggunakan, menggerakkan,


melakukan segala aktivitas yang terkait dengan
jual beli

Pasar Fasilitas ekonomi tempat bertemunya pembeli dan penjual untuk


melakukan transaksi jual beli barang atau jasa

Sejak dahulu hingga sekarang meski mengalami perubahan orientasi dari


orientasi sosial-budaya menuju orientasi kebutuhan pasar, konsumen yang
datang di Pasar Gede memiliki kemampuan atau daya beli pada kualitas
barang yang bagus dan terseleksi serta jumlah yang banyak. Keragaman,
kualitas dan kuantitas barang dagangan yang ada di Pasar Gede menjadi daya
tarik bagi konsumen baik dari dalam kota maupun luar kota, hingga Pasar
Gede dikenal sebagai pasar eksklusif. Hal inipun yang menjadikan kawasan
Pasar Gede dapat bertahan dengan situasi regeng atau selalu ramai tetapi tidak
padat dengan konsumen yang selalu loyal. Dalam upaya mengembangkan
usahanya, para pedagang yang ada di Pasar Gede melakukan pengembangan
jejaring antar wilayah dalam bentuk peningkatan pelayanan, keragaman sistem
penjualan, peningkatan kualitas barang, dan fasilitas pengiriman barang.
Dengan demikian para pedagang di Pasar Gede melakukan pengembangan
pemasaran yang dikenal dengan istilah lokalnya sumrambah atau merambah
ke luar daerah.
Hal tersebut didukung dengan kenyataan yang ada sekarang bahwa tata letak
Pasar Gede dalam konstelasi negari berada pada kawasan pusat kota sehingga
mudah diakses dari berbagai daerah dengan jam operasional menyesuaikan
karakter komoditas. Dengan demikian menjadikan aktivitas perbelanjaan dan
pasokan barang di Pasar Gede berlangsung selama 24 jam. Tak hanya kegiatan
ekonomi, kegiatan sosial budaya pun berlangsung dalam ruang dan waktu
yang silih berganti di kawasan Pasar Gede. Sehingga dapat dikatakan bahwa
Pasar Gede dalam konstelasi negari sebagai jujugan dan lurugan dalam bentuk
pemusatan struktur kota tradisional Jawa.

6.3 Aktivitas Kumandhange Pasar


Pada proses penyampelan teoritik pemahaman tentang kontinuitas (continuity)
suatu aktivitas pasar dikenal dengan istilah lokal Kumandhange Pasar atau
suara akibat aktivitas orang berkunjung di pasar, dibangun dari fenomena
178 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

diskrit yang ditemukan dilapangan. Fenomena-fenomena yang memiliki


keterkaitan teoritik dirumuskan dalam beberapa tema yaitu Kesetaraan Pasar-
Mall, Ekspansi perdagangan, Pasar di-adhakan atau di tempat strategis, Anti-
diskriminasi, Ke-ajeg-an Ruang atau kestabilan ruang, Pasar yang sempulur
atau tersedia semua jenis komoditas dan tidak mengenal musim. Rumusan
tema-tema tersebut maka dapat dirumuskan dalam beberapa konsepsi yaitu
Konsistensi, Regeng atau selalu ramai tetapi tidak padat, Keterpaduan, dan
selanjutnya dapat dibangun suatu kategori Kumandhang atau Kontinuitas
(Continuity) yang menjadi konsep penyampelan teoritik dalam bangunan teori
tentang pasar tradisional sebagai komponen struktur kota tradisional Jawa.
Secara struktural, takrif tentang konsep kontinuitas (continuity) suatui aktivitas
pasar dikenal dengan istilah lokal Kumandhange Pasar sebagai dasar pijakan
keberlanjutan kota tradisional Jawa dapat diuraikan seperti Tabel 6.2 berikut:
Tabel 6.2: Takrif kontinuitas (continuity) suatu aktivitas pasar dikenal dengan
istilah lokal Kumandhange Pasar (Analisis Peneliti, 2016)
Definiendum Definiens
(Kata yang Genius Proximum Differentia Specifica (Karakter khas
dijelaskan) definiendum)
(kedalam mana
definiendum digolongkan)

Kontinuitas keadaan kesinambungan; kelangsungan; kelanjutan;


keberlanjutan, kebersambungan; hasil dari
suatu rangkain yang tidak terputus,
bergerak secara berkelanjutan membentuk
satu rangkaian

Kumandhange Situasi Berasal dari Bahasa Jawa


Gumarenggeng atau gemuruh suara orang
berkunjung di suatu tempat.

Pasar Fasilitas ekonomi tempat bertemunya pembeli dan penjual


untuk melakukan transaksi jual beli barang
atau jasa

Penjabaran konsep konsep kontinuitas (continuity) suatui aktivitas pasar atau


dikenal dengan istilah lokal Kumandhange Pasar pada ranah kawasan pasar
tradisional khususnya Pasar Gede merupakan situasi atau keadaan yang
terbentuk dari aktivitas bertemunya pembeli dan penjual untuk melakukan
transaksi jual beli barang atau jasa. Hal tersebut dapat dikaji dari mulai awal
Bab 6 Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 179

adanya Pasar Gede pada masa orientasi orientasi sosial-budaya hingga adanya
perubahan orientasi orientasi kebutuhan pasar.
Cikal bakal Pasar Gede, pada periode sebelum perpindahan Keraton dari
Keraton Kartosura ke Surakarta 17 Februari 1745, di Kawasan Lembah Sungai
Semanggi, Bengawan Solo dan Kali Pepe sudah muncul aktivitas
perdagangan. Pasar Gede merupakan salah satu rencana Paku Buwono X dan
Kolonial Belanda untuk mengembangkan perekonomian di Surakarta. Pada
zaman kolonial Belanda, dan pada mulanya merupakan sebuah pasar kecil
yang didirikan di area seluas 10.421 hektar, berlokasi di persimpangan jalan
dari kantor gubernur yang sekarang berubah fungsi menjadi Balaikota
Surakarta. Bangunan ini dirancang oleh seorang arsitek Belanda bernama
Thomas Karsten. Bangunan pasar selesai pembangunannya pada tahun 1930
dan diberi nama Pasar Gedhé Hardjanagara yang sekarang dikenal dengan
nama Pasar Gede. Pasar ini diberi nama pasar gedhé atau “pasar besar” karena
terdiri dari atap yang besar. Seiring dengan perkembangan masa, pasar ini
menjadi pasar terbesar dan termegah di Surakarta yang dikelilingi oleh
permukiman etnis Tionghoa atau China.
Keberadaan Pasar Gede yang dikelilingi oleh permukiman multi etnis,
menuntut adanya penyediaan komoditas yang sesuai dengan keragaman
kebutuhan konsumen baik kebutuhan masyarakat Jawa maupun Tionghoa
secara terus menerus atau berlanjut atau continue, dan tidak terhenti pada
musim tertentu. Pasar Gede dari mulai awal terbentuknya dalam masa orientasi
orientasi sosial-budaya hingga sekarang dengan orientasi pada orientasi
kebutuhan pasar, merupakan pasar yang memiliki kualitas yang setara dengan
mall, memiliki ekspansi perdagangan yang luas dan beragam, sebagai pasar
yang letaknya di-adhakan atau di tempat yang strategis, memiliki situasi
spasial yang ajeg atau ke-ajeg-an ruang atau kestabilan ruang, dan sebagai
pasar yang sempulur atau tersedia semua jenis komoditas dan tidak mengenal
musim, dengan kondisi yang tidak membedakan antar ras atau anti-
diskriminasi. Bahkan sebagian masyarakat mengatakan bahwa Pasar Gede
pasare wong Chino dikarenakan satu-satunya pasar tradisional yang
menyediakan perlengkapan ibadah dan kebutuhan harian masyarakat Etnis
Tionghoa. Meskipun demikian, secara umum masyarakat Kota Surakarta telah
menganggap bahwa Pasar Gede adalah pasare wong Solo atau Pasar Gede
sebagai pasarnya masyarakat Kota Surakarta yang terdiri dari multi etnis.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pasar Gede menjadi kebanggaan
bersama bagi masyarakat Kota Surakarta.
180 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Konsumen ataupun pedagang sengaja datang ke Pasar Gede bukan sekedar


untuk melakukan jual beli, tetapi memiliki tujuan lain yaitu untuk nyambangi
atau bertemu sapa sekedar untuk mengobrol santai dan melihat situasi pasar
sebagai bentuk social relationship, sehingga membuat situasi pasar selalu
ramai tetapi tidak padat atau regeng. Situasi demikian menjadi pertanda adanya
kehidupan yang berlangsung secara terus menerus sesuai dengan fungsi pasar
dan dapat dikatakan bahwa Pasar Gede masih memiliki kumandange pasar.
Hal ini terjadi tidak hanya pada masa dahulu, pada masa sekarangpun masih
nampak adanya aktivitas dan suasana tersebut. Bahkan dapat dikatakan bahwa
konsumen yang mengunjungi Pasar Gede pun adalah konsumen yang loyal
dengan maksud konsumen yang benar-benar menginginkan kualitas bagus dan
telah merasakan suasana kekeluargaan dan kepercayaan dengan para
pedagang.
Aktivitas yang ada di Pasar Gede tidak hanya kegiatan ekonomi, masyarakat
atau konsumen yang berasal dari berbagai daerah memanfaatkan Pasar Gede
sebagai tempat pertemuan untuk bersosialisasi, latihan karawitan, pertemuan
paguyuban para pelaku pasar sehingga dapat dikatakan sebagai tempat
perjumpaan atau meeting place. Sedangkan dalam peristiwa tertentu yang
terjadwal dan terkoordinir, Pasar Gede digunakan sebagai arena perayaan
Grebeg Sudiro dan perayaan Tahun Baru China atau disebut dengan Imlek.
Disamping itu, berbagai permintaan pihak konsumen tidak hanya dalam kota
tetapi juga luar kota untuk melakukan upaya pengembangan pemasaran,
sehingga tindakan dan strategi para pedagang di Pasar Gede adalah dengan
melakukan penyebaran pemasaran dan ekspansi pemasaran pada pasar
tradisional lain dan pasar modern atau supermarket yang berada di dalam kota
maupun luar kota, yang dikenal dengan istilah lokalnya sumrambah atau
merambah ke luar daerah.
Pasar Gede pada dasarnya adalah fasilitas perbelanjaan (shopping facilities)
seperti pada umumnya, tetapi memiliki jiwa (soul) yang berbeda yaitu
memiliki budaya belanja yang sangat spesifik yaitu perpaduan budaya belanja
khas perpaduan masyarakat Jawa dan China. Meskipun dengan adanya
perkembangan teknologi dan era orientasi dari orientasi sosial-budaya menuju
orientasi kebutuhan pasar, Pasar Gede tidak mengalami perubahan fungsi
sebagai tempat pasar atau market place sekaligus tempat budaya atau culture
place dengan jiwa budaya Jawa atau Javanese culture. Hingga saat ini Pasar
Gede tetap mengekspresikan budaya belanja seperti tawar menawar,
pembayaran tidak langsung atau ngutang atau hutang piutang, saling kenal dan
Bab 6 Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 181

saling akrab yang biasa dikenal dengan istilah langganan, serta adanya
hubungan sosial selain transaksi belanja. Bahkan konsumennya adalah
konsumen yang loyal, yang merasa yakin dengan kualitas komoditas dan
hubungan kepercayaan pedagang. Hal inilah yang menjadi jiwa dari suatu
tempat yang tidak dapat ditemukan pada tempat lain.

6.3.1 Pemangku Pasar Dengan Jiwa Handarbeni


Proses penyampelan teoritik pemahaman tentang pemangku kepentingan pasar
dengan jiwa handarbeni atau rasa memiliki dalam keberlanjutan kota
tradisional Jawa dibangun dari fenomena diskrit yang ditemukan di lapangan.
Fenomena-fenomena yang memiliki keterkaitan teoritik dirumuskan dalam
beberapa tema yaitu pasar yang ramai dalam segala situasi, ikon kota, dan
komponen utama negari. Rumusan tema-tema tersebut maka dapat
dirumuskan dalam beberapa konsepsi yaitu komitmen, pengayoman atau
perlindungan, dan selanjutnya dapat dibangun suatu integritas (integrity)
pemangku kepentingan pasar dengan jiwa handarbeni atau rasa memiliki
menjadi konsep penyampelan teoritik dalam bangunan teori tentang pasar
tradisional sebagai komponen struktur kota tradisional Jawa.
Secara struktural, takrif tentang konsep pemangku kepentingan pasar dengan
jiwa handarbeni atau rasa memiliki sebagai dasar pijakan keberlanjutan kota
tradisional Jawa dapat diuraikan seperti dalam Tabel 6.3 berikut:
Tabel 6.3: Takrif pemangku kepentingan pasar dengan jiwa handarbeni
sebagai dasar pijakan keberlanjutan kota tradisional Jawa (Analisis Peneliti,
2016)
Definiendum Definiens
(Kata yang Genius Proximum Differentia Specifica (Karakter khas
dijelaskan) definiendum)
(kedalam mana
definiendum
digolongkan)

pemangku Pihak terkait dengan Kelompok atau individu yang


kepentingan pasar dukungannya diperlukan demi
pasar kesejahteraan dan kelangsungan hidup
pasar
182 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

jiwa Sikap mental Handarbeni merupakan istilah Bahasa


handarbeni Jawa artinya ikut memiliki. Sedangkan
dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan
istilah yang lebih jelas yaitu sense of
belonging.
Lingkup arti handarbeni termasuk dalam
kegiatan memelihara, memperbaiki,
memajukan, menjaga, dan merasa milik
bersama

Keberlanjutan Cara atau upaya atau kemampuan untuk menjaga dan


pencapaian mempertahankan keseimbangan proses
atau kondisi suatu system.

Kota Berakar pada Sistem yang diterapkan oleh penguasa


Tradisional peradaban pada waktu mendirikan kerajaan
Jawa

Penjabaran konsep integritas (integrity) pemangku kepentingan pasar disebut


dengan istilah jiwa handarbeni pada ranah kota tradisional Jawa dalam hal ini
adalah Kota Surakarta, merupakan konsep yang menunjuk konsistensi antara
tindakan para pemangku kepentingan dengan nilai dan prinsip rasa memiliki
bahkan dapat pula diartikan sebagai kejujuran dan kebenaran dari tindakan
para pemangku kepentingan dalam mengambil kebijakan terkait dengan pasar
dengan jiwa handarbeni. Kota Surakarta sebagai kota tradisional Jawa
memiliki cikal bakal yang sangat kuat kaitannya dengan budaya dalam
kehidupan sosial masyarakat sehingga dapat dikatakan bahwa Kota Surakarta
pada awal pendirian memiliki orientasi orientasi sosial-budaya. Kota Surakarta
yang berawal dari sebuah keraton dengan nama Keraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat yang memiliki kekuasaan mutlak sebagai suatu negara, dipimpin
oleh seorang raja. Keraton Kasunanan Surakarta dibangun dengan dasar tiga
komponen kota yang utama yaitu keraton, masjid dan pasar yang merupakan
perwujudan adanya konsep aturan, sujud manembah (sujud berjamaah) dan
ucap syukur (mengucapkan syukur). Dalam hal ini pasar merupakan wujud
dari dasar filosofis ucap syukur, seperti dalam Gambar 6.1.
Kota Surakarta sebagai suatu negari kerajaan Jawa, dalam menjalankan
pemerintahan, seorang Raja akan mengayomi warganya. Dengan berdasarkan
prinsip ngayomi atau memberi perlindungan dan pelayanan inilah maka
pengaturan pasar sebagai bentuk implementasi nilai ucap syukur, pasar
Bab 6 Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 183

ditempatkan dengan kaidah hirarki dan jejaring yang mengacu pada sedulur
papat kalimo pancer dengan pusat orientasi keraton.

Gambar 6.1: Dasar Filosofi Tata Ruang Negari Surakarta Hadiningrat dengan
orientasi Orientasi sosial-budaya (Analisis peneliti terhadap hasil wawancara
Kanjeng Gusti Puger, 2016)
Hal tersebut yang mendasari terbentuknya suatu hirarki dan jejaring dari
masing-masing komponen kota di pusat kota tradisional Jawa. Sedangkan
tingkatan atau hirarki pasar secara filosofis menempati tata filosofi yang sama
tetapi secara strata ekonomi masing-masing memiliki peran yang berbeda
dengan pusat Pasar Gede sebagai pasar besar atau pasar induk. Penataan
hirarki dan jejaring pasar pun mengacu pada nilai-nilai budaya dan
kepentingan sosial masyarakat. Pasar Gede sebagai pasar induk dengan
komoditas barang yang lebih eksklusif karena berada pada orientasi utama axis
keraton Kasunanan dan dikelilingi oleh permukiman etnis Tionghoa atau
China. Ketiga pasar yang lainnya yaitu Pasar Klewer, Pasar Gading, dan Pasar
Kliwon sebagai pasar penunjang dan memiliki kelas di bawah Pasar Gede.
Masa sekarang ini, pemerintahan Kota Surakarta berada pada pimpinan
seorang Walikota sehingga segala tata aturan beralih orientasi pada orientasi
kebutuhan pasar yaitu menekakan pada kebutuhan pasar dan tidak lagi
mengutamakan nilai-nilai budaya dan sosial. Dalam keadaan seperti sekarang
ini, Pasar Gede masih tetap memiliki peran sebagai pasar induk dan komoditas
yang eksklusif. Dengan berdasarkan peta kondisi sekarang, seperti dalam
Gambar 6.2, maka dapat diketahui bahwa keberadaan Pasar Gede dapat tetap
bertahan dalam kaidah filosofi sebagai ucap syukur sebagai pasar induk,
184 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

berperan menjadi fasilitas perbelanjaan skala regional hingga nasional. Pada


masa dulu skala regional dan nasional inilah yang dimaksud dengan wilayah
mancanagara dan pesisir Sedangkan kaidah Sedulur Papat Kalimo Pancer
masih dapat diidentifikasi dengan jelas pada skala makro Kota Surakarta. Pasar
Gede, Pasar Klewer, Pasar Gading dan Pasar Kliwon masih menempati posisi
dan peran masing-masing pasar. Dalam hal ini Pasar Gede tetap berperan
sebagai pasar induk untuk komoditas tertentu khususnya buah dan sayuran
yang berkualitas bagus.
Berdasarkan hasil telaahan fenomena yang terjadi di Kota Surakarta, dalam
masa orientasi orientasi sosial-budaya, Pasar Gede merupakan salah satu
tempat yang menjadi wadah bagi aktivitas ekonomi, sosial dan budaya,
sehingga pasar dipandang sebagai Jujugan atau tempat untuk mendapatkan,
mencari, dan memperoleh sesuatu bagi masyarakat, dan berada pada wilayah
yang langsung berkaitan dengan axis atau sumbu utama Kota Surakarta, dan
berada pada depan dari posisi Keraton Kasunanan Surakarta sehingga menjadi
orientasi.

Gambar 6.2: Kaidah Sedulur Papat Kalimo Pancer dengan Pusat Orientasi
Keraton (Analisis Peneliti berdasarkan hasil wawancara Kanjeng Gusti Puger,
Serat Radya Laksana, dan rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surakarta 2011-
2031, 2016)
Bab 6 Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 185

6.3.2 Tempat Ngrejekeni Sebagai Kategori Inti


Hasil penelusuran kategori dalam penelitian induktif memiliki keterkaitan dan
rangkaian antar satu kategori dengan kategori yang lain. Kelima kategori
konseptual telah terumuskan dengan berbagai karakteristik masing-masing.
Konsekuensi dari paradigma ketegori konseptual bertitik tolak pada kategori
inti (core category) Ngrejekeni hingga terbentuk kategori konseptual yang
saling terkait yaitu: 1). Sinergi, 2). Loyalitas, 3). Kumandhang, dan 4)
Handarbeni
Dalam penelitian ini, kategori Ngrejekeni terletak dalam inti proses sinergi
antar berbagai loyalitas komponen pelaku, kumandhang-nya aktivitas pasar
dan adanya jiwa handarbeni dari semua pihak yang terkait. Kategori
ngrejekeni merupakan hasil bentukan dalam pasar sebagai komponen struktur
kota tradisional Jawa. Hal ini merupakan jawaban atas permasalahan utama
dalam alur cerita yang terkait dengan struktur kota tradisional Jawa terkait
dengan kebertahanan pasar tradisional sebagai komponen struktur kota
tradisional Jawa, dalam suatu kota yang telah mengalami perubahan dari
orientasi orientasi sosial-budaya menjadi orientasi kebutuhan pasar, dan
perubahan struktur kota tradisional jawa dari orientasi orientasi sosial-budaya
menjadi orientasi kebutuhan pasar. Fenomena ini sangat jelas dalam setiap
pengamatan, interview dan tinjauan ulang dilokasi penelitian. Dalam setiap
pembicaraan tersirat makna ngrejekeni bagi semua pihak, bagaimana Pasar
Gede mampu bertahan hingga saat ini dan bahkan prediksi dimasa yang akan
datang. Fenomena tersebut diharapkan mampu menjadi penentu bentuk dan
arah kebertahanan suatu pasar tradisional. Dengan demikian dapat memberi
kontribusi keilmuan dalam rumpun teori struktur kota.

6.4 Proposisi Teoritisasi


Berdasarkan hasil telaahan fenomena diskrit hingga menghasilkan rumusan
tema-tema, konsepsi dan kategori maka dapat dilakukan penelusuran struktur
proposisi teoritisasi sebagai dasar konstruksi teori substantif. Proses
selanjutnya dilanjutkan proses sintesa menjadi teori yang dapat menerangkan
secara lengkap dan utuh fenomena keberadaan Pasar Gede sebagai komponen
struktur kota tradisional Jawa. Proposisi teoritisasi dapat berperan sebagai
186 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

pengantar menuju teori substantif, dan secara naratif dapat diuraikan sebagai
berikut:
Jika pasar tradisonal memiliki sinergi (Synergy), loyalitas (Loyality),
kumandhange pasar, jiwa handarbeni, dan ngrejekeni, maka akan
mampu bertahan sebagai komponen struktur kota tradisonal Jawa.
Pemahaman yang terkandung dalam proposisi tersebut adalah bahwa suatu
pasar yang mampu bertahan sebagai komponen struktur kota dalam konteks
suatu kota tradisional Jawa yang mengalami perubahan orientasi dari orientasi
sosial-budaya ke orientasi kebutuhan pasar adalah pasar yang masih memiliki
5 (lima) komponen, yaitu:
1. Proses sinergi dari berbagai ragam komoditas, etnis pengguna, dan
budaya jual beli
2. Pelaku yang memiliki loyalitas,
3. Aktivitas yang kumandhang atau berjalan secara kontinu dengan
suasana tawar menawar dan regeng (ramai tetapi tidak ricuh),
4. Kebijakan yang dibangun dengan jiwa handarbeni atau rasa memiliki,
melindungi, menjaga dan menggunakan sesuai dengan fungsinya dari
para pemangku kepentingan
5. Tempat ngrejekeni atau tempat yang menjadi pusat matapencaharian
dan sebagai tempat yang selalu didatangi untuk mendapatkan apa
yang dibutuhkan.

6.5 Teori Kebertahanan Pasar


Tradisional
Berpijak pada hasil rumusan proposisi yang telah terbangun maka pemahaman
terkait dengan teori yang terbangun dalam bentuk Strukturisasi Teori, Definisi
Teoritik, dan Definisi Operasional.
Bab 6 Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 187

6.5.1 Bagan Strukturisasi Teori kebertahanan Pasar


Tradisional
Bagian ini merupakan pembahasan strukturisasi bangunan teori berdasarkan
hasil pemahaman secara induktif fenomena yang ditemukan. Hasil analisis
dapat diketahui bahwa kebertahanan pasar dipahami tidak hanya dari dimensi
fisik yang berupa keruangan dan pemakainya saja tetapi dari dimensi sosial
dan budaya serta konteks keberadaannya dalam suatu kota tradisional Jawa
yang saling memiliki hubungan timbal balik. Berdasarkan hasil pembahasan
terdapat berbagai keunikan yang bersifat kontekstual dan lokal, sebagai hasil
proses interaksi dan adaptasi antar berbagai hal dalam perjalanan waktu dan
latar belakang sosial budaya yang terjadi pada obyek studi, yang tidak
menutup kemungkinan ada kemiripan berbagai fenomena di tempat lain, tetapi
belum dapat dikatakan sama.
Hasil pembahasan proposisi teoritisasi membawa pengertian bahwa teori
kebertahanan pasar terdiri dari 5 (lima) komponen yaitu Proses/waktu, Pelaku,
Aktivitas, Kebijakan dan Tempat, dengan karakteristik masing-masing dalam
suatu kota yang mengalami perubahan orientasi dari orientasi sosial-budaya
menjadi orientasi kebutuhan pasar, serta berbagai komponen yang terkait
seperti yang telah diungkapkan dalam proposisi dapat digambar secara
skematik dalam Gambar 6.3 sebagai berikut:

Gambar 6.3: Keterkaitan Komponen Teori Kebertahanan Pasar Tradisional


(Analisis Peneliti, 2016)
188 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Berdasarkan uraian perubahan orientasi sosial-budaya menuju orientasi


kebutuhan pasar di Kota Surakarta dan komponen pembentuk kebertahanan
pasar, maka dapat dibangun teori kebertahanan pasar tradisional yang disebut
dengan SiLoKu Ben Ngrejekeni. Kata tersebut merupakan akronim dari
komponen kebertahanan yang terdiri dari Sinergi, Loyalitas, Kumandhang,
Handharbeni dan Ngrejekeni, yang dimaksudkan untuk mempermudah dalam
mengingat kelima komponen tersebut. Keterkaitan dan hubungan dari semua
komponen dan orientasi kota dapat digambarkan dalam diagram Konstruksi
Teori Kebertahanan Pasar Gambar 6.4 sebagai berikut:

Gambar 6.4: Konstruksi Teori Kebertahanan Pasar Tradisional (SiLoKu Ben


Ngrejekeni) (Analisis Peneliti, 2016)

6.5.2 Definisi Teoritik Teori Kebertahanan Pasar Tradisional


Berdasarkan gambar 6.3 dan 6.4 dapat dilihat bahwa pasar tradisional masih
tetap bertahan dengan adanya komponen aktivitas yang kumandhang, pelaku
yang loyal atau dengan loyalitas, proses yang sinergi, tempat yang ngrejekeni
Bab 6 Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 189

dan kebijakan dengan jiwa handharbeni meskipun dalam perubahan orientasi


kota dari orientasi sosial-budaya menjadi orientasi kebutuhan pasar, pasar tetap
bertahan sebagai komponen struktur kota.
Pemahaman tentang berbagai komponen dapat dijelaskan dalam Gambar 6.5
sebagai berikut:

Gambar 6.5: Pengertian Komponen Kebertahanan pasar Tradisional


Kebertahanan pasar dapat terbentuk dengan adanya komponen aktivitas,
pelaku, proses, tempat dan kebijakan yang saling terkait antara satu dengan
yang lain. Kelima komponen ini merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan mengingat kelima komponen tersebut tidak dapat berperan dengan
sendirinya dalam keadaan yang terpisah. Komponen aktivitas merupakan
bentuk hasil kegiatan jual beli, interaksi sosial, dan budaya. Komponen pelaku
terdiri dari pengunjung pasar, pedagang, pengelola, tukang parkir, dan kuli
angkut serta jasa pengiriman barang lainnya. Komponen proses yang meliputi
waktu dan peristiwa yang terjadi di pasar, sedangkan komponen tempat adalah
190 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

kawasan Pasar Gede dan komponen kebijakan meliputi kebijakan dari


penguasa dalam hal ini adalah pihak keraton dan pemerintah, masyarakat,
institusi pendidikan, dan lembaga lain yang terlibat dalam pengelolaan pasar.
Berdasarkan hasil telaahan masing-masing komponen kebertahanan pasar,
maka dapat diketahui bahwa komponen pembentuk kebertahanan harus
memiliki karakteristik sebagai berikut : 1) Aktivitas dalam bentuk aktivitas
yang ada di pasar yang dikenal dengan istilah lokal kumandhang atau berjalan
secara kontinu dengan suasana tawar menawar dan regeng (ramai tetapi tidak
ricuh); 2) Pelaku yang melakukan kegiatan di pasar yang memiliki loyalitas
untuk selalu berbelanja, berjualan, mengunjungi dan menjaga kelestarian
pasar; 3) Proses sinergi dari berbagai ragam komoditas, etnis pengguna, dan
budaya jual beli serta alokasi pengaturan tempat dan waktu operasional antar
berbagai kepentingan atau kegiatan; 4) Tempat dengan pemahaman bukan
sembarang tempat, yaitu tempat yang ngrejekeni atau tempat yang menjadi
pusat matapencaharian, sebagai tempat yang selalu didatangi untuk
mendapatkan apa yang dibutuhkan, dan tempat usaha yang selalu diwariskan
secara turun temurun; dan 5) Kebijakan yang muncul karena adanya jiwa
handarbeni atau rasa memiliki, melindungi, menjaga dan menggunakan sesuai
dengan fungsinya dari para pemangku kepentingan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pasar disadari sebagai ruang yang
urip lan nguripi untuk mengumpulkan dan memenuhi kebutuhan hidup, maka
kesadaran adanya ketetapan rejeki dari Yang Maha Kuasa adalah bentuk
kepasrahan pada suatu hasil. Terkait dengan kata SiLoKu Ben Ngrejekeni
bahwa kata tersebut adalah akronim dari kelima komponen kebertahanan pasar
tradisional yang terdiri dari Sinergi, Loyalitas, Kumandhang, Handharbeni dan
Ngrejekeni.

6.5.3 Definisi Operasional Teori Kebertahanan Pasar


Tradisional
Teori Kebertahanan Pasar Tradisional yang dinamakan dengan Teori SiLoKu
Ben Ngrejekeni memiliki pengertian secara operasional bahwa pasar
tradisional dapat bertahan dalam suatu kota tradisional Jawa yang mengalami
perubahan orientasi dari orientasi sosial-budaya menuju orientasi kebutuhan
pasar karena memiliki 5 komponen kebertahanan pasar.
Bab 6 Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 191

Penjelasan secara rinci sebagai berikut:


1. Sinergi adalah suatu proses memadukan beberapa aktivitas dalam
rangka mencapai satu hasil yang berlipat. Sinergi ini meliputi
sumrambah (perluasan jejaring) dan keterpaduan. Pasar tradisional
yang memiliki karakter toleransi antar etnis atau teposeliro, dan
merupakan bagian kota yang di-uri-uri atau dilestarikan. Pasar
tradisional yang berada di pusat kota dan berperan sebagai komponen
struktur kota memiliki konsumen eksklusif dengan kategori kelas
menengah keatas. Keberadaan pasar tradisional di pusat kota dituntut
untuk dapat bersikap anti-diskriminasi dengan komunitas multi etnis.
Sedangkan dalam konteks keruangan dapat mensinergikan
perkembangan jaman atau Jaman Kalakone dengan tetap memiliki
karakter ruang khas sebagai sebuah pasar sehingga dapat dikatakan
memiliki ke-Ajeg-an ruang. Pasar tradisional sebagai fasilitas
perbelanjaan di pusat kota maka dituntut untuk berperan sebagai
pasar yang sempulur atau menyediakan segala macam barang dan
selalu ada dalam jumlah dan kualitas yang dibutuhkan konsumen.
Dengan demikian konsekuensi yang terjadi, suasana pasar akan
tercipta keadaan yang ramai dalam segala situasi, menjadi ikon kota,
dan menjadi komponen utama negari.
2. Loyalitas secara harfiah loyal berarti setia, atau loyalitas dapat
diartikan sebagai suatu kesetiaan. Kesetiaan timbul tanpa adanya
paksaan, tetapi timbul dari kesadaran sendiri. Masing-masing pihak
yang terlibat dalam penggunaan pasar memiliki loyalitas dengan
tempat atau pasar masing-masing yang digunakan. Sehingga
terbentuk loyalitas antar pedagang dengan pedagang, loyalitas
pedagang terhadap lingkungan pasar tempat berdagang, dan loyalitas
antara pedagang terhadap pelanggannya begitu pula sebaliknya
loyalitas pelanggan dengan pedagang dan pelanggan dengan
lingkungan pasar yang dikunjungi. Pada akhirnya antara pedagang,
pelanggan, dan pihak lain yang terlibat dalam aktivitas di pasar akan
merasa tumbuh bersama dengan rasa kepercayaan dan kepuasan
terhadap pelayanan.
192 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

3. Kumandhang merupakan situasi pasar yang selalu ramai tetapi tidak


padat, ditandai dengan aktivitas interaksi antar pedagang, pembeli
dan pelaku yang lain. Situasi demikian menjadi pertanda adanya
kehidupan yang berlangsung secara terus menerus sesuai dengan
fungsi pasar. Kumandhang memiliki dua hal yang dituju yaitu:
a. Syiar meraih rejeki dengan mudah dan tidak gaduh, dengan
maksud bahwa dengan beraktivitas secara kontinu atau terus
menerus secara konsisten maka akan mudah menjaring pelanggan
dan tidak membuat pelanggan kecewa karena bisa dipastikan
akan selalu ada di pasar dan tersedia barang yang dibutuhkan.
b. Regeng atau ramainya hiruk pikuk karena aktivitas jual beli
seperti obrolan, tawar menawar, hiruk pikuknya alat angkut
barang dan transportasi di kawasan maupun di lingkungan pasar.

Pasar tradisional yang berada di pusat kota dan berperan sebagai


komponen struktur kota memiliki kegiatan yang memutar di dalam
lingkungan pasar, kawasan, dan kota yang diibaratkan seperti cokro
manggilingan.
4. Handharbeni merupakan istilah Bahasa Jawa artinya ikut memiliki.
Sedangkan dalam Bahasa Inggris dinyatakan dengan istilah yang
lebih jelas yaitu sense of belonging. Lingkup arti handarbeni
termasuk dalam kegiatan memelihara, memperbaiki, memajukan,
menjaga, dan merasa milik bersama. Handharbeni memiliki 3
klasifikasi yaitu:
a. Handharbeni (rasa memiliki) adalah pihak yang memiliki
kewenangan terhadap pasar tradisional yaitu pemerintah atau
dinas teknis yang diberi tanggungjawab pengelolaan pasar
tradisional.
b. Melu Handharbeni (ikut memiliki) adalah pihak yang ikut
memiliki dalam hal ini adalah pihak yang terlibat langsung dalam
kegiatan di pasar tradisional yaitu pedagang, pemasok, pembeli,
pengunjung, tukang panggul, juru parkir, dan pihak lain yang
memperoleh manfaat secara langsung.
Bab 6 Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 193

c. Rumongso Melu Handharbeni (merasa ikut memilki) adalah


pihak yang tidak terlibat langsung tetapi memiliki kepedulian
terhadap pasar tradisional seperti budayawan, akademisi, peneliti,
lembaga swadaya masyarakat dan pihak lain yang peduli
terhadap pasar tradisional tetapi tidak secara langsung terlibat
dalam kegiatan di pasar.
5. Ngrejekeni merupakan pemahaman bahwa pasar tradisional sebagai
tempat untuk mencari, mendatang, dan memperoleh rejeki
dikarenakan aktivitas ekonomi, sosial dan budaya. Konsekuensi
ngrejekeni dapat tercipta karena adanya peran pasar sebagai tempat
jujugan atau tempat yang dituju dan sebagai tempat lurugan atau
tempat yang menarik untuk didatangi. Masyarakat Jawa percaya
bahwa rejeki sudah dibagi-bagi oleh Sang Maha Kuasa atau Tuhan,
sehingga dalam berdagang akan merasa tenang dan tidak gelisah
sehingga tercipta suasana tenang secara batin.

6.6 Perubahan Orientasi Sosial-Budaya


Menuju Orientasi Kebutuhan Pasar Di
Kota Surakarta
Perubahan orientasi dalam pembangunan kota membawa konsekuensi dalam
berbagai hal. Sebagai kota tradisonal Jawa kota Surakarta pada awal
pembentukan kota atau dulu disebut dengan istilah nagari, menggunakan
orientasi sosial-budaya, yaitu orientasi pemerintahan dan pengaturan kota
dengan dasar filosofi kaidah nilai-nilai budaya dan tata kehidupan nilai-nilai
sosial masyarakat.
Pada awal terbentuknya Kota Surakarta Paku Buwono II hingga Paku Buwono
IX (1744-1892), budaya Jawa Mataram Islam menjadi suatu cara hidup yang
berkembang, dan dimiliki bersama oleh masyakat Kota Surakarta. Hal tersebut
tumbuh dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya Jawa merupakan
bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung
menganggapnya diwariskan secara genetis sehingga dikenal dengan istilah
194 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

wong Jowo atau wong Solo. Dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat,
budaya Jawa menjadi suatu pola hidup menyeluruh, bersifat kompleks,
abstrak, dan luas, hingga melahirkan sistem sosial yang tercermin dalam pola-
pola tingkah laku manusia yang menggambarkan karakter suatu masyarakat
Jawa. Dengan demikian orientasi sosial-budaya merupakan pandangan atau
arah atau orientasi yang menitikberatkan pada nilai-nilai budaya dan sosial
yang telah ada pada suatu system pemerintahan keraton dan secara fisik dapat
ditengarai pada bentuk negari atau kota sebagai wilayah kekuasaan.
Berbagai fasilitas ditata dalam kontek pertautan budaya dan sosial dalam suatu
kaidah struktur kota Jawa secara makro adalah falsafah Cokro Manggilingan
dan secara mikro yaitu adanya falsafah aturan yang diwujudkan dalam bentuk
keraton, sujud manembah diwujudkan dalam bentuk masjid dan ucap syukur
dalam bentuk pasar. Sedangkan hirarki keberadaan masing-masing komponen
berpusat pada aturan yaitu keraton tepatnya pada bagian sitihinggil sebagai
bagian yang memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan bagian lainnya
dalam lingkup keraton maupun kota. Tingkatan berikutnya adalah masjid
sebagai bentuk filosofi sujud manembah bentuk perwujudan hubungan
manusia dengan sang Khalik atau Tuhannya atau dikenal dengan
habluminallah, sedangkan bagian pasar merupakan implementasi dari dasar
filosofi ucap syukur sebagai bentuk hubungan horizontal manusia sebagai
makhluk yang perlu memenuhi kebutuhan hidup dan mencari nafkah, di
samping kebutuhan sosial bermasyarakat.
Dalam konstelasi pasar yang ada di Kota Surakarta, khususnya pada lingkup
inti kota tradisional Jawa, tatanan jejaring pasar dibentuk dengan kaidah
sedulur papat kelimo pancer dengan pusat sitihinggil di kawasan Keraton
Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Penetapan posisi dan peran masing-masing
pasar menggunakan dasar kaidah nilai-nilai budaya dan sosial atau orientasi
sosial-budaya.
Perkembangan selanjutnya pada masa pemerintahan Paku Buwono X hingga
kolonial mulai berkuasa (1893-1947), pengaruh Hindia Belanda mulai
digunakan dalam pembangunan kota. Berbagai pembangunan fasilitas dan
jaringan transportasi dilakukan dengan dasar pemikiran kemudahan akses,
politis, dan fungsional. Seiring dengan waktu, orientasi sosial-budaya dalam
perkembangan kota mulai diabaikan dan penataan pembangunan kota bergeser
pada tuntutan fungsi dan lingkup pelayanan. Kondisi tersebut berlangsung
hingga masa Swapraja (1965).
Bab 6 Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 195

Peralihan masa Swapraja hingga masuk masa Orde Baru (1966) segala hal
terkait dengan penyediaan fasilitas umum dan sosial menggunakan dasar
standarisasi dan kaidah teori-teori yang mengarah pada tuntutan kebutuhan
umum masyarakat atau orientasi kebutuhan pasar. Segala fasilitas disediakan
dalam kontek pelayanan kepada masyarakat dengan dasar perhitungan standar
pusat layanan, kapasitas layanan, lingkup pelayanan atau kelas layanan dan
jarak jangkauan layanan. Keadaan tersebut merupakan situasi adanya
perubahan pergeseran orientasi dari orientasi sosial-budaya pada orientasi
kebutuhan pasar. Hal tersebut tetap berlangsung hingga sekarang, bahkan
menjadi bagian dalam proses perencanaan pembangunan semua fasilitas atau
komponen struktur kota.
Dalam situasi yang mengalami perubahan dari orientasi sosial-budaya pada
orientasi kebutuhan pasar, Pasar Gede sebagai salah satu komponen struktur
kota tradisional Jawa yang pada awal terbentuknya sebagai implementasi
filosofi atau nilai ucap syukur, masih dapat bertahan hingga saat ini, dengan
berbagai kegiatan, pelaku, dan peristiwa. Hal ini yang menjadi dari identitas
Kota Surakarta.

6.7 Perkembangan Struktur Kota


Tradisional Jawa Di Kota Surakarta
Kota Surakarta sebagai kota tradisional Jawa mengalami berbagai era
pemerintahan dan perubahan orientasi dari orientasi sosial-budaya pada
orientasi kebutuhan pasar. Masing-masing era pemerintahan membawa
konsekuensi pada perubahan orientasi yang pada akhirnya berdampak pada
perkembangan struktur kota tradisional Jawa yang ada di Kota Surakarta.
Awal terbentuknya Kota Surakarta yaitu masa perpindahan Keraton Kartasura
ke Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat di bawah pemerintahan Paku
Buwono II Tahun 1744 struktur kota ditata dalam bentuk inti kota kerajaan
yang terdiri dari komponen utama keraton, masjid dan pasar. Hal tersebut
merupakan bentuk implementasi folosofi trinitas yaitu aturan, sujud
manembah dan ucap syukur. Hal tersebut dapat bertahan hingga masa
pemerintahan Paku Buwono IX (Tahun 18920).
196 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Masa selanjutnya pada pemerintahan Paku Buwono X Tahun 1893-1939,


Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat mengalmi puncak kejayaan,
sehingga banyak dilakukan pembangunan dan penyediaan fasilitas. Pada era
tersebut terjadi pula pembangunan Keraton Mangkunegaran, sehingga ada dua
kekuasaan yang memiliki wilayah berbeda. Pembangunan jalan Slamet Riyadi
menjadikan poros kota beralih yang semula poros jalan utama berada pada
jalan Rajiman sebagai akses uatam keluar kota dan Jalan Jendral Sudirmal
sebagai sumbu utara selatan. Di samping itu pula Belanda melakukan
pembangunan rel kereta api dan Banra Beton serta berbagai jembatan
penghubung. Hal tersebut membuat jejaring struktur kota semakin
berkembang.
Pada era kolonial Tahun 1940-1947 pembangunan berbagai fasilitas dan
infrastruktur jalan terus meningkat. Kota Surakarta sebagai kota kerajaan, pada
era ini kekuasaan Raja mulai dipengaruhi kewenangannya dengan adanya
Kantor Residen Belanda yang berada dalam wilayah Kota Surakarta bagian
utara kota tepatnya daerah Banjarsari. Pembangunan jaringan jalan diperluas
hingga wilayah utara, dan dibangunnya berbagai stasiun kereta api.
Selanjutnya pada era kemerdekaan dikenal dengan sistem pemerintahan
Swapraja pada Tahun 1948-1965. Masa tersebut merupakan masa transisi
peralihan kekuasaan Raja Keraton Kasunanan Surakarta dan Hindia Belanda
beralih pada kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia khususnya Walikota
Daerah Tingkat II Surakarta yang berpusat di Kantor Balai Kota dengan
pimpinan seorang Walikota. Selama masa Swapraja pembangunan kota
mengacu pada penggunaan standar hitungan lingkup atau skala pelayanan dan
mengenal adanya kelas pasar dengan berdasar jumlah pedagang dan luasan
bangunan. Di samping itu orientasi utama struktur kota yang semula
menggunakan aksis utara selatan pada Jalan Jendral Sudirman tepatnya sumbu
Keraton dengan Tugu Pamandengan beralih menjadi berpusat titik pusat
pemerintahan di Kantor Balaikota.
Keadaan tersebut semakin menguat pada masa Orde Baru Tahun 1966-1999.
Orientasi kota berpusat pada Balaikota Kota Surakarta dan fasilitas-fasilitas
ekonomi yang strategis. Dengan demikian orientasi sumbu utara selatan mulai
memudar dan keraton tidak berperan sebagai pusat pemerintahan. Dalam
situasi ini, Pasar Gede sebagai salah satu komponen struktur kota tradisional
Jawa masih berperan sebagai komponen struktur kota hingga sekarang.
Memasuki era Reformasi sekarang ini, Pasar Gede sebagai salah satu
komponen struktur tradisional Jawa sekaligus fasilitas perdagangan yang
Bab 6 Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 197

berada di pusat kota mengalami penguatan peran. Tidak hanya sebagai ruang
ekonomi, tetapi semakin kuat perannya sebagai ruang sosial dan budaya,
bahkan sebagai ruang rekreasi dan aktualisasi diri. Berdasarkan hasil kajian,
perubahan struktur Kota Surakarta secara skematik dalam Gambar 6.6.
Era / Masa Perubahan Struktur Kota

Paku Buwono II-


IX
(1744-1892)

Paku Buwono X
(1893-1939)
198 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Kolonial
(1940-1947)

Era / Masa Perubahan Struktur Kota

Swapraja
(1948-1965)

Orbe Baru
(1966-1998)
Bab 6 Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 199

Reformasi
(1999-sekarang)

Gambar 6.6: Skematik Perkembangan Struktur Kota Tradisional Jawa di


Kota Surakarta (Analisis Peneliti, 2016 (Dinterpretasikan dari Army (1945);
Qomarun & Prayitno, (2007); Sajid (1926); dan Hind (1945))

6.8 Prediksi Teori Substantif Dalam


Perspektif Waktu
Prediksi merupakan proses untuk meramalkan, memprakirakan keberlanjutan
teori substantif Kebertahanan Pasar Tradisional SiLoKu Ben Ngrejekeni untuk
masa yang akan datang. Dengan berjalannya waktu berbagai kemungkinan
dapat terjadi karena perkembangan pasar tradisional sebagai komponen
struktur kota tradisional Jawa sangat dinamis. Pasar tradisional dalam
mencapai kebertahanan sebagai komponen struktur kota memiliki serangkaian
komponen yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Komponen tersebut
adalah sinergi, loyalitas, kumandhang, handarbeni dan ngrejekeni, dalam
setiap periode dapat dilihat dalam Tabel 6.4. Berdasarkan tabel tersebut maka
dapat diketahui kecenderungan yang terjadi pada awal pembentukan Kota
Surakarta hingga saat ini. Hasil analisis kecenderungan tersebut dapat menjadi
dasar pijakan dalam perumusan prediksi teori yang terdiri dari lima komponen
tersebut pada masa yang akan datang.
200 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Tabel 6.4: Matrik Perkembangan Komponen dalam Perkembangan Kota


Surakarta (Analisis Peneliti, 2016)
Era / Masa/Periode

Komp Reformasi
onen PB II-IX PB X Kolonial Swapraja Orbe Baru
(1999-
(1744-1892) (1893-1939) (1940-1947) (1948-1965) (1966-1998)
sekarang)

Sinerg Keselarasan Keselarasan Keselarasan Kurangnya Keselarasan jawa Keselarasan


i, budaya Jawa budaya jawa dan keselarasan dan etnis China, jawa dan etnis
dan Etnis Jawa dan etnis China, dalam dalam ruang China, dalam
China dalam etnis lain Belanda suasana ruang
tempat dalam dalam ruang politik
tempat dan
ruang

Loyali Loyalitas Loyalitas Loyalitas Menurunnya Loyalitas dalam Loyalitas


tas, dalam semua dalam dalam Loyalitas komoditas dalam
komoditas dari semua komoditas dalam eksklusif dari komoditas
masyarakat komoditas eksklusif komoditas segmen tertentu eksklusif dan
dari segmen dari segmen eksklusif tempat dari
atas dan tertentu karena segmen
semua ketidakstabila tertentu
masyarakat n ekonomi

Kuma Kumandhang Kumandhan Kumandhan Kumandhang Berkurangnya Kumandhang


ndhan dalam segala g dalam g dalam dalam Kumandhang dalam segala
g aktivitas dari segala aktivitas aktivitas dalam aktivitas aktivitas dari
seluruh aktivitas ekonomi ekonomi dari ekonomi akibat seluruh
masyarakat dalam dari seluruh kelompok persaingan masyarakat
bangunan masyarakat masyarakat ekonomi bebas dalam
termegah tertentu dukungan
dari seluruh semua pihak
masyarakat

Hand Komitmen dan Komitmen Komitmen Berkurangny Komitmen dan Komitmen dan
arbeni pengayoman dan dan a Komitmen pengayoman dari pengayoman
dari seluruh pengayoma pengayoma dan seluruh pihak dari seluruh
pihak terkait n dari n dari pengayoman terkait perumusan pihak terkait
seluruh seluruh dari seluruh undang-undang dalam bentuk
pihak terkait pihak terkait pihak terkait perlindungan pasar dukungan
dalam dalam dalam tradisional semua kegiatan
wujud ruang pengaruh pengaruh di Pasar
dan tempat kolonial politik Tradisional

Ngreje Pemusatan Pemusatan Pemusatan Pemusatan Berkurangnya Pemusatan


keni segala aktivitas segala segala segala peran Pemusatan segala aktivitas
dari semua aktivitas aktivitas aktivitas dari segala aktivitas dan dukungan
masyarakat dalam ruang dari semua semua karena persaingan dari semua
dan tempat masyarakat masyarakat ekonomi bebas masyarakat
dari semua dalam dalam
masyarakat pengaruh pengaruh
kolonial politik
Bab 6 Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 201

Perkembangan komponen struktur kota tradisional Jawa maka dapat


digambarkan secara grafik dalam masing-masing komponen seperti dalam
Gambar 6.7, Gambar 6.8, Gambar 6.9, Gambar 6.10, Gambar 6.11 berikut:

6.8.1 Perkembangan Komponen Sinergi (Synergy)


Berdasarkan fenomena yang terjadi mulai dari awal terbentuknya Pasar Gede
hingga masa sekarang, maka komponen Sinergi dapat digambarkan dalam
perkembangan komponen dalam Gambar 6.7 sebagai berikut:

Gambar 6.7: Grafik Perkembangan Komponen Sinergi (Analisis Peneliti,


2016)

6.8.2 Perkembangan Komponen Loyalitas (Loyality)


Berdasarkan fenomena yang terjadi mulai dari awal terbentuknya Pasar Gede
hingga masa sekarang, maka komponen Loyalitas dapat digambarkan dalam
perkembangan komponen dalam Gambar 6.8 sebagai berikut:

Gambar 6.8: Grafik Perkembangan Komponen Loyalitas (Analisis Peneliti,


2016)
202 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

6.8.3 Perkembangan Komponen Kumandhang Pasar


Berdasarkan fenomena yang terjadi mulai dari awal terbentuknya Pasar Gede
hingga masa sekarang, maka komponen Kumandhang dapat digambarkan
dalam perkembangan komponen dalam Gambar 6.9 sebagai berikut:

Gambar 6.9: Grafik Perkembangan Komponen Kumandhang (Analisis


Peneliti, 2016)

6.8.4 Perkembangan Komponen Handharbeni


Berdasarkan fenomena yang terjadi mulai dari awal terbentuknya Pasar Gede
hingga masa sekarang, maka komponen Handharbeni dapat digambarkan
dalam perkembangan komponen dalam Gambar 6.10 sebagai berikut:

Gambar 6.10: Grafik Perkembangan Komponen Handarbeni (Analisis


Peneliti, 2016)
Bab 6 Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 203

6.8.5 Perkembangan Komponen Ngrejekeni


Berdasarkan fenomena yang terjadi mulai dari awal terbentuknya Pasar Gede
hingga masa sekarang, maka komponen Ngrejekeni dapat digambarkan dalam
perkembangan komponen sebagai berikut:

Gambar 6.11: Grafik Perkembangan Komponen Ngrejekeni (Analisis


Peneliti, 2016)

6.8.6 Perkembangan dan Prediksi Teori Kebertahanan


Pasar Tradisional (SiLoKu Ben Ngrejekeni)
Berdasarkan hasil kajian perkembangan kelima komponen tersebut, maka
dapat diperoleh suatu kompilasi sebagai bentuk integrasi dari kelima
komponen yang utuh terhadap kecenderungan perkembangan Teori SiLoKu
Ben Ngrejekeni yang dapat digunakan sebagai dasar perumusan prediksi teori
di masa yang akan datang sebagai berikut:

Gambar 6.12: Grafik Perkembangan Rentang Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni


(Analisis Peneliti, 2016)
204 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Tahapan tersebut mulai dari adanya aktivitas jual beli di lokasi Pasar Gede
pada masa Paku Buwono II, selanjutnya dibangunnya bangunan Pasar Gede
pada masa Paku Buwono X, dan berikutnya dengan adanya pengaruh kolonial
yang kuat di Kota Surakarta, hingga terbentuknya pemerintahan Swapraja,
dilanjutkan Orde Baru dan masa Reformasi. Pada masa pemerintahan Paku
Buwono X merupakan masa kejayaan keraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat, berbagai upaya pembangunan dilakukan untuk meningkatkan
kesejahteraan dan perekonomian kota. Komponen sinergi, loyalitas,
kumandhang, handharbeni, dan ngrejekeni mengalami penguatan, meskipun
kelima komponen tidak dalam keadaan yang sama persis kedudukannya, tetapi
memiliki kecenderungan yang seiring meskipun bukan berarti pada posisi
yang sama. Setelah memasuki masa kolonial, kelima komponen kebertahanan
mengalami proses penurunan derajat kebertahanannya, hingga pada masa orde
baru dua komponen kebertahanan yaitu kumandhang dan ngrejekeni
mengalami kondisi krisis, sementara tiga komponen yang lainnya dapat segera
meningkat setelah mengalami penurunan pada masa kolonial. Hal tersebut
dikarenakan adanya pembangunan pasar-pasar modern di pusat kota
khususnya Kota Surakarta, sehingga dalam pada masa tersebut kelima
komponen kebertahanan mengalami kondisi yang tidak saling seiring dan
terjadi rentang antara dua komponen yaitu kumandhang dan ngrejekeni dengan
tiga komponen yang lain yaitu sinergi, loyalitas dan handarbeni. Pada masa
tersebut pasar tradisional mengalami berbagai permasalahan seperti serangan
pasar modern, pergeseran gaya hidup, krisis ekonomi yang berkepanjangan,
dan terbukanya persaingan ekonomi internasional. Keadaan tersebut tidak
berlangsung lama, pada masa Reformasi komponen kumandhang dan
ngrejekeni mendapat dukungan penuh dari pemerintah dan semua pelaku pasar
sehingga dapat mencapai posisi seiring dengan komponen lain.
Berdasarkan hasil penelusuran perkembangan masing-masing komponen
dalam Teori Kebertahanan Pasar Tradisional pada beberapa era, maka dapat
dipahami bahwa ada beberapa fase yang terbentuk yaitu fase kelima
komponen kebertahanan dalam keadaan seiring dan fase kelima komponen
kebertahanan dalam keadaan yang tidak seiring pada saat terjadi suatu situasi
perubahan yang mendasar atau ekstrim, baik pada keadaan di puncak atas
maupun bawah. Meskipun ada fase yang berbeda, tetapi secara mendasar
bahwa kebertahanan pasar tradisional tetap dalam kondisi tidak hilang atau
masih tetap bertahan. Hal tersebut dikarenakan adanya faktor pemengaruh
berupa fluktuasi atau naik turunnya goodwill atau kemauan baik dari semua
pihak yang terlibat, sehingga membawa dampak pada stabilitas komponen
Bab 6 Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 205

kebertahanan pasar tradisional. Dalam situasi goodwill dari berbagai pihak


mengalami posisi yang tinggi, maka akan membawa pengaruh pada derajat
kebertahanan pasar tradisional yang tinggi, sedangkan pada situasi yang
menurun maka derajat kebertahanan pasar tradisional pun turut berpengaruh
turun hingga mencapai titik terendah. Situasi yang demikian akan
menumbuhkan daya juang untuk menghadapi situasi dan semua komponen
akan bergerak guna mempertahankan keberadaan pasar tradisional.
Dengan berdasarkan fenomena dan kecenderungan yang terjadi, maka dapat
dirumuskan suatu prediksi Teori Kebertahanan Pasar Tradisional dalam era
yang akan datang akan mengalami suatu kondisi sebagai berikut:

Gambar 6.13: Grafik Prediksi Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni (Analisis Peneliti,
2016)
206 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

6.9 Kedudukan Teori Substantif


Kebertahanan Pasar Tradisional Dalam
Rumpun Teori Struktur Kota
Penelitian ini telah menghasilkan pengetahuan subtantif tentang teori
kebertahanan pasar dan komponen pembentuk yang digali dari fenomena lokal
yang Pasar Gede sebagai komponen struktur kota tradisional Jawa. Pandangan
tersebut telah memberi pemahaman baru tentang kebertahanan dan komponen
struktur kota. Sebagai bentuk hasil bangunan teori, maka teori kebertahanan
pasar agar dapat diimplementasikan sebagai kontribusi teori kebertahanan dan
struktur kota perlu dilakukan diskusi atau dialog teori dengan teori-teori dan
konsep lain yang telah ada.

6.9.1 Posisi Teori Substantif dalam Teori Kebertahanan


Berdasarkan hasil perumusan teori yang dibangun dari fenomena, tema,
konsepsi dan kategori dalam proses pengkodean (coding) maka dapat
dihasilkan bangunan teori kebertahanan pasar yang terdiri dari 5 komponen.
Komponen inilah yang membentuk adanya kebertahanan pasar yang
selanjutnya dapat dirumuskan dalam bangunan teori substantif Kebertahanan
Pasar SiLoKu Ben Ngrejekeni. Sebagai bangunan teori substantif yang
dirumuskan dari fenomena, maka untuk menjelaskan keberadaan posisi teori
Kebertahanan Pasar SiLoKu Ben Ngrejekeni dapat diuraikan seperti dalam
Gambar 6.14 bahwa teori substantif kebertahanan pasar tradisional merupakan
bangunan teori baru secara lingkup spasial lebih mikro dalam konteks kawasan
di pusat kota, sedangkan secara subtansi merupakan teori kebertahanan yang
mengaitkan aspek proses, aktivitas, pelaku, kebijakan dan keruangan. Hal
tersebut berbeda dengan teori kebertahanan yang telah dirumuskan
sebelumnya seperti Aliance (2007) dengan Teori Urban Resilience yang
mengungkapkan tentang lingkungan binaan, dinamika sosial, arus
metabolisme dan jejaring pemerintahan, sedangkan teori yang dikemukakan
Jabareen (2013) Resilient City Planning Framework atau RCPF tentang
Matrik analisis kerentanan perkotaan, perencanaan berorientasi ketidakpastian,
urban pemerintahan, dan pencegahan.
Bab 6 Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 207

Gambar 6.14: Rangkaian Teori Kebertahanan (Analisi Peneliti, 2016)


Berdasarkan uraian kedudukan teori kebertahanan secara makro maka Teori
SiLoKu Ben Ngrejekeni dapat dikaji secara lebih mendalam dalam bentuk
pembahasan kedudukan masing-masing komponen dalam rangkaian teori
formal secara menyeluruh. Kedudukan teori dapat dilihat pada tabel 6.5
berikut.
Tabel 6.5: Kedudukan Komponen Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni dalam
Kontek Teori Formal Kebertahanan (Analisi Peneliti, 2016)

Komponen Teori Teori Formal terkait dengan Teori Kebertahanan


Substantif

Sinergi Teori formal yang ada terkait dengan komponen Sinergi belum ada
yang mengungkap secara eksplisit. Teori Kebertahan yang
menyinggung terkait dengan sinergi adalah Teori Adaptive Cycle yang
dikemukan oleh Holling (2001), dalam teori tersebut diungkapkan
dalam bentuk reorganisasi, sehingga belum menyebutkan secara
eksplisit tentang sinergi.
208 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Loyalitas Komponen Loyalitas dalam konteks teori formal terkait dengan


kebertahanan belum ada yang menyebutkan secara eksplisit. Dalam
teori Urban Recilience yang dikemukakan Aliance (2007) disebutkan
arus metabolisme, hal ini secara lebih mendalam memiliki makna yang
berbeda.

Kumandhang atau Komponen kumandhang dalam pemahaman yang lebih umum gaung
Gaung Aktivitas suatu aktivitas belum dapat ditemukan dalam teori formal terkait
dengan kebertahanan. Dalam Teori Urban Recilience menurut Aliance
(2007) disebutkan dinamika sosial. Hal ini memiliki makna yang
berbeda dengan kumandhang.

Handharbeni atau Komponen Handharbeni dalam konteks teori formal, belum dapat
Rasa memiliki ditemukan komoponen yang sama dengan hal tersebut. Dalam Resilient
City Planning Framework atau RCPF menurut Jabareen, (2013)
disebutkan Pemerintahan Urban, dan Teori Urban Recilience, oleh
Aliance (2007) disebutkan adanya komponen jejaring pemerintah,
sedangkan Teori Pengukuran Wellbeing and Resilience measurement
(WARm) yang dikemukakan oleh Norman (2012) disebutkan Undang-
Undang: komisi dan aset, mengatasi kerentanan. Ketiga hal tersebut
memiliki makna yang beda dengan yang dimaksud dengan komponen
Handharbeni dalam Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni.

Ngrejekeni atau Komponen Ngrejekeni dalam konteks teori formal, belum dapat
Membawa Rejeki ditemukan komponen yang sama. Dalam teori Adaptive Cycle yang
dikemukakan oleh Holling (2001) disebutkan Eksploitasi, teori Empat
ketahanan (resilience) menurut Brian Walker (2012) menyebut
komponen resistance, sedangkan Planning Framework atau RCPF yang
dikemukakan oleh Jabareen (2013) disebutkan adanya komponen
perencanaan berorientasi Ketidakpastian. Ketiga hal tersebut memiliki
makna yang beda dengan yang dimaksud dengan komponen Ngrejekeni
dalam Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni dalam
Kontek Teori Formal Kebertahanan memiliki kedudukan mengisi mata rantai
keilmuan yang masih belum ada. Hal tersebut dikarenakan Teori SiLoKu Ben
Ngrejekeni memiliki fokus kebertahanan pada lingkup kawasan pasar
tradisional sebagai fasilitas ekonomi dalam konstelasi kota dan wilayah.

6.9.2 Posisi Teori Substantif dalam Teori Struktur Kota


Pembahasan kedudukan teori kebertahanan pasar tradisional dalam ranah
rumpun teori struktur kota dapat dikaitkan dengan keberadaan teori struktur
kota tradisional Jawa yang ada di Kota Surakarta sebagai kota tradisional Jawa
Kerajaan Mataram. Kedudukan teori kebertahanan pasar tradisional sebagai
Bab 6 Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 209

komponen struktur kota tradisional Jawa dalam berbagai teori modern yang
telah ada dan digunakan dalam penataan dan pengaturan suatu kota dapat
digambarkan dalam peta teoritik seperti dalam Gambar 6.15 sebagai berikut :
Secara garis besar dapat diuraikan bahwa Teori Kebertahanan Pasar
Tradisional sebagai komponen struktur kota tradisional Jawa (Teori SiLoKu
Ben Ngrejekeni) memiliki karakteristik yang berbeda dengan Central Place
Theory yang menguraikan sistem pelayanan dalam 3 prinsip utama yaitu:
Marketing Principle, Transport/Traffic principle, dan Administrative Principle
(Christaller, 1966). Dalam teori tersebut diuraikan pula bahwa terciptanya
suatu kota didorong oleh para produsen berbagai jenis barang pada orde yang
sama cenderung berlokasi pada titik sentral di wilayahnya. Hal tersebut sangat
berbeda dengan apa yang ada kota tradisional Jawa Kota Surakarta. Meski
jauh dari berbagai produsen dan konsumen yang dilayani, pasar tradisional
memiliki peran penting sebagai pusat pelayanan, bahkan antara pasar yang
satu dengan yang lain tidak dipengaruhi oleh Range atau jangkauan, yaitu
jarak yang perlu ditempuh orang untuk mendapatkan barang kebutuhannya
(secara temporary), dan threshold atau ambang, yaitu jumlah minimal
penduduk yang diperlukan untuk kelancaran dan kesinambungan suplai
barang.
Sedangkan Teori Lokasi Pertanian (Zonasi Lahan Usaha Pertanian) yang
dikemukakan oleh J. H. Von Thünen (1826), seorang ekonom dan tuan tanah
Jerman, yaitu tentang pola produksi pertanian yang dihubungkan dengan tata
guna lahan di sekitar suatu kota pemasaran. Model yang dipakai adalah
lingkaran tata guna lahan (zona-zona consentris dan real). Empat asumsi yang
digunakan oleh Von Thünen untuk membangun lokasi kegiatan ekonomi
dapat ditentukan pada tingkat yang luas seperti wilayah atau daerah
metropolitan, atau pada kawasan yang lebih kecil seperti zona, lingkungan,
blok kota, atau situs individu. Teori ini dengan pendekatan ilmu geografi
ekonomi, antara lain: 1) Kota pasaran (market town) itu harus berlokasi di
pusat suatu wilayah homogen secara geografis, dalam arti tanah dan iklimnya;
2) Biaya transportasi pengangkutan hasil dari tempat produksi ke kota
berbanding lurus dengan jarak; 3) Setiap petani di kawasan sekeliling kota
pemasaran itu akan menjual kelebihan hasil pertaniannya ke kota tadi, dan
biaya transportasinya menjadi tanggungan sendiri; 4) Petani cenderung
memilih jenis tanaman yang menghasilkan profit maksimal (Thunen, 1842).
Keempat asumsi tersebut tak dapat digunakan secara tepat untuk mengurai
peran pasar tradisional di kota tradisional Jawa khususnya Kota Surakarta,
210 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

mengingat para pemasok dari berbagai daerah lebih memilih memasok


dagangannya pada pasar tradisional di pusat kota dibandingkan dengan pasar
modern dikarenakan rumitnya prosedur dan besarnya risiko barang tidak dapat
laku dengan cepat, meskipun nilai jual lebih mahal. Pemasaran di pasar
tradisional menjadi pilihan para pemasok dari berbagai wilayah luar kota
dengan sistem komisi tetapi perputaran barang dapat berjalan dengan cepat.
Demikian halnya yang diungkap oleh Rustiadi (2009) bahwa dalam konteks
wilayah dikenal dengan istilah daerah belakang atau hinterland, daerah
pelayanan, pusat pelayanan, desa, kota, dan sebagainya. Istilah tersebut adalah
istilah yang berimplikasi posisi spasial namun menekankan pengertian
fungsional dibanding pengertian posisi fisiknya, tetapi juga menekankan pada
aspek sosial dan ekonomi (Rustiadi, et al., 2009). Hal tersebut berbeda dengan
Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni yang meliputi 5 (lima) komponen dengan
memasukkan aspek kesejarahan, budaya sosial, ekonomi dan spasial.

Gambar 6.15: Rangkaian Teori Kebertahanan Pasar Tradisional dalam Teori


Struktur Kota (Analisi Peneliti, 2016)
Bab 6 Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 211

Sejalan dengan teori yang dikemukan oleh Lefebvre bahwa perkotaan adalah
sentralitas sosial dan aspek kapitalisme berpotongan dalam ruang dan konsep
pemahaman ruang secara trikotomis bahwa ruang yang kolektif itulah ruang
sesungguhnya, yang diproduksi melalui relasi sosial dengan berbagai modus
produksi (Lefebvre, 1991), Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni secara spesifik
menerapkan lima komponen pembentuk kebertahanan suatu ruang dalam
peran yang saling terintegrasi dan sinergis sehingga tidak dapat dipisahkan
atau berproses secara berjenjang.
Di sisi lain beberapa teori yang terkait dengan pasar dan struktur kota
tradisonal Jawa, telah diungkapkan dan diuraikan secara jelas oleh berbagai
ahli. Hasil yang dapat dipahami bahwa teori-teori tersebut memiliki sudut
pandang yang berbeda dengan hasil yang diperoleh dari rumusan Teori
Kebertahanan Pasar Tradisional (Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni). Perbedaan
yang mendasar terletak pada dasar filosofis dan penetapan komponen struktur
kota dan penetapan jejaring pasar tradisional dalam konstelasi kota tradisional
Jawa. Rumusan Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni mengungkapkan tentang
orientasi kota. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Teori SiLoKu Ben
Ngrejekeni merupakan bangunan teori baru yang mengungkapkan beberapa
hal yang belum terungkap dalam teori-teori sebelumnya.

6.10 Simpulan Teori Kebertahanan


Pasar Tradisional Sebagai Komponen
Struktur Kota Tradisional Jawa
Berdasarkan hasil telaahan masing-masing komponen kebertahanan pasar,
maka dapat diketahui bahwa komponen pembentuk kebertahanan harus
memiliki karakteristik sebagai berikut : 1) Proses sinergi dari berbagai ragam
komoditas, etnis pengguna, dan budaya jual beli serta alokasi pengaturan
tempat dan waktu operasional antar berbagai kepentingan atau kegiatan; 2)
Pelaku yang melakukan kegiatan di pasar yang memiliki loyalitas untuk selalu
berbelanja, berjualan, mengunjungi dan menjaga kelestarian pasar; 3) Aktivitas
dalam bentuk aktivitas yang ada di pasar yang dikenal dengan istilah lokal
kumandhang atau berjalan secara kontinu dengan suasana tawar menawar dan
regeng (ramai tetapi tidak ricuh); 4) Kebijakan yang muncul karena adanya
212 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

jiwa handarbeni atau rasa memiliki, melindungi, menjaga dan menggunakan


sesuai dengan fungsinya dari para pemangku kepentingan; dan 5) Tempat
dengan pemahaman bukan sembarang tempat, yaitu tempat yang ngrejekeni
atau tempat yang menjadi pusat matapencaharian, sebagai tempat yang selalu
didatangi untuk mendapatkan apa yang dibutuhkan, dan tempat usaha yang
selalu diwariskan secara turun temurun
Proses kebertahanan yang terjadi pada suatu pasar tradisional tidak selamanya
mengalami kondisi yang sama. Setiap perubahan akan memengaruhi keadaan
lima komponen kebertahanan tersebut. Rentang masing-masing komponen
dalam Teori Kebertahanan Pasar Tradisional pada beberapa era dapat
dipahami bahwa ada beberapa fase yang terbentuk yaitu fase kelima
komponen kebertahanan dalam keadaan seiring dan fase kelima komponen
kebertahanan dalam keadaan yang tidak seiring. Meskipun ada fase yang
berbeda, tetapi secara mendasar bahwa kebertahanan pasar tradisional tetap
dalam kondisi tidak hilang atau masih tetap bertahan. Hal tersebut dikarenakan
adanya faktor pemengaruh berupa fluktuasi atau naik turunnya goodwill atau
kemauan baik dari semua pihak yang terlibat, sehingga membawa dampak
pada stabilitas komponen kebertahanan pasar tradisional. Dalam situasi
goodwill dari berbagai pihak mengalami posisi yang tinggi, maka akan
membawa pengaruh pada derajat kebertahanan pasar tradisional yang tinggi,
sedangkan pada situasi yang menurun maka derajat kebertahanan pasar
tradisional pun turut berpengaruh turun hingga mencapai titik terendah. Situasi
yang demikian akan menumbuhkan daya juang untuk menghadapi situasi dan
semua komponen akan bergerak guna mempertahankan keberadaan pasar
tradisional.

6.11 Uji Teori Kebertahanan Pasar


Tradisional Sebagai Komponen Struktur
Kota Tradisional Jawa (Teori SiLoKu Ben
Ngrejekeni)
Dalam penelitian Naturalistik, hasil teori yang terbangun merupakan rangkaian
hubungan dari proposisi yang telah dirumuskan melalui berbagai proses.
Bab 6 Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 213

Langkah akhir penelitian ini telah dicapai dengan adanya bangunan teori yaitu
teori Kebertahanan Pasar Tradisional yang disebut dengan SiLoKu Ben
Ngrejekeni. Sebagai tindak lanjut untuk menguji hasil terori yang terbangun
maka dapat dilakukan dengan mengimplementasikan teori tersebut pada
wilayah atau lokasi lain yang memiliki karakter yang sama. Pasar tradisional
yang memiliki peran yang sama sebagai komponen struktur kota tradisional
Jawa salah satunya ada Pasar Beringharjo di Kota Yogjakarta. Dalam menguji
teori kebertahanan pasar tradisional sebgaai komponen struktur kota tradisional
Jawa, kelima komponen akan digunakan sebagai parameter untuk mengkaji
fenomena yang ada di Pasar Beringharjo. Pengujian ini bersifat sementara
karena tidak dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah (scientific
method) secara detail, dengan hasil berupa hipotesa baru sebagai bahan
rujukan pengajuan rekomendasi untuk masa yang akan datang.
Tabel 6.6: Uji Komponen Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni
Komponen Uji Komponen Teori Pada Pasar Legi
Teori

Sinergi Komponen sinergi dapat ditemui


pada Pasar Bringhardjo berupa
keterpaduan fungsi ekonomi,
sosial, dan wisata
Meskipun bentuk sinergi yang
terjadi tidak meliputi berbagai
aspek seperti yang terjadi di
Pasar Gede. Sinergi di Pasar
Bringhadjo lebih didominasi
pada karakter pedagang dengan
komoditas pakaian dan hasil
kerajinan yang dipasok dari
berbagai daerah. Perpaduan
multi etnis tidak begitu nampak,
sehingga sinergi budaya terasa
tidak sekuat yang ada di Pasar
Gede.

Loyalitas Loyalitas para pelaku didasarkan


pada ukuran nilai ekonomi dan
nilai tempat. Para pengunjung
214 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

memiliki ketertarikan pada


komoditas yang lengkap dan
memiliki harga murah dan
kebanggaan pada nilai tempat
bahwa mereka bangga dapat
membeli produk di Pasar
Beringharjo sebagai kebutuhan
harian maupun oleh-oleh.

Kumandhang Pasar Beringharjo dengan


kelengkapan komoditas dan
harga yang ekonomi,
mengundang minat para
pengunjung untuk berbelanja.
Disamping itu Kota Yogyakarta
dikenal sebagai kota wisata
mendukung keberadaaan Pasar
Beringharjo untuk menarik
minat wisatawan berkunjung ke
pasar ditambah pula dengan
lokasi yang berada di koridor
Malioboro. kumandhang yang
terjadi di Pasar Beringharjo
memiliki karakter yang kuat
terkait dengan aktivitas ekonomi
dan wisata, sedangkan aktivitas
budaya dan sosial tidak muncul
secara signifikan.

Handharbeni Jiwa handharbeni dari semua


pihak dapat ditemukan pada
Pasar Beringharjo. Bila
disandingkan dengan Pasar
Gede, rasa handhrabeni yang
ada di Kota Yogyakarta terhadap
Pasar Beringharjo relatif sama
kuatnya. Masyarakat,
pemerintah, dan pelaku pasar
memiliki rasa memiliki yang
kuat terhadap Pasar Beringharjo.
Bab 6 Bertahannya Pasar Tradisional Di Pusat Kota 215

Ngrejekeni Pasar Beringharjo berada pada


komunitas yang dominan
masyarakat Jawa sehingga
komponen Ngrejekeni dapat
ditemukan dalam pembagian los
atau kios. Bahkan secara makro
meskipun pelaku pasar
menempati tempat yang tidak
mudah diakses, mereka tetap
merasa bahwa tempat tersebut
merupakan tempat yang
membawa rejeki bagi mereka.

Berdasarkan telaah uji teori pada Pasar Bringhardjo, maka dapat disimpulkan
bahwa Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni dapat diimplementasikan dengan hasil
bahwa secara detail masing-masing komponen memiliki kondisi berbeda
dengan yang ada di Pasar Gede. Komponen yang secara signifikan berbeda
adalah pada komponen Sinergi, Loyalitas dan Kumandhang. Komponen
Sinergi yang terjadi di Pasar Beringharjo menunjukkan bahwa tidak terjadi
keterpaduan multi etnis baik dalam budaya belanja, komoditas maupun para
pelaku pasar. Sedangkan komponen Loyalitas pada Pasar Bringhardjo
memiliki segmentasi pada pengunjung wistawan yang cukup besar sehingga
membawa konsekuensi penyediaan komoditas yang bersifat hasil kreativitas
dan ragam kuliner. Komponen kumandhang, Pasar Beringhardjo memiliki
gaung aktivitas yang sangat besar dibandingkan dengan Pasar Gede. Hal
tersebut berdampak pada perkembangan konsisi fisik pasar dan akses dalam
lingkup kota dan wilayah.
216 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
Bab 7
Kebertahanan Pasar Sebagai
Komponen Struktur Kota

7.1 Simpulan
Rangkaian suatu penelitian, tak lepas dari simpulan hasil dan saran atau
rekomendasi pada pihak lain untuk melanjutkan dan memanfaatkan hasil
penelitian sesuai dengan ranah keilmuan dan berbagai karakter permasalahan.
Rumusan terkait dengan komponen kebertahanan, perubahan orientasi kota,
perkembangan struktur kota tradisional Jawa, dan bangunan teori kebertahanan
pasar tradisional. Di samping itu pula peroleh suatu rumusan mengenai
prediksi masa depan pasar tradisional, upaya pasar tradisional untuk
menghadapi perkembangan pasar modern, dan kekuatan atau karakteristik
pasar tradisional yang meliputi interaksi pedagang dan pembeli, tawar
menawar, adanya fix price dan bargaining pasar tradisional terhadap
perkembangan jaman.
218 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

7.1.1 Pasar Tradisional Bertahan sebagai Komponen


Struktur Kota Tradisional Jawa
Pasar tradisional secara ontologis dapat bertahan dengan adanya komponen
aktivitas, pelaku, proses, tempat dan kebijakan yang saling terkait antara satu
dengan yang lain. Kelima komponen ini merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan mengingat kelima komponen tersebut tidak dapat berperan dengan
sendirinya dalam keadaan yang terpisah. Komponen aktivitas merupakan
bentuk hasil kegiatan jual beli, interaksi sosial, dan budaya. Komponen pelaku
terdiri dari pengunjung pasar, pedagang, pengelola, tukang parkir, dan kuli
angkut serta jasa pengiriman barang lainnya. Komponen proses yang meliputi
waktu dan peristiwa yang terjadi di pasar, sedangkan komponen tempat adalah
kawasan Pasar Gede dan komponen kebijakan meliputi kebijakan dari
penguasa dalam hal ini adalah pihak keraton dan pemerintah, masyarakat,
institusi pendidikan, dan lembaga lain yang terlibat dalam pengelolaan pasar.
Berdasarkan hasil telaahan masing-masing komponen kebertahanan pasar,
maka dapat diketahui bahwa pasar tradisional dapat bertahan dengan adanya
komponen pembentuk kebertahanan sebagai berikut: 1) Proses sinergi dari
berbagai ragam komoditas, etnis pengguna, dan budaya jual beli serta alokasi
pengaturan tempat dan waktu operasional antar berbagai kepentingan atau
kegiatan; 2) Pelaku yang melakukan kegiatan di pasar yang memiliki loyalitas
untuk selalu berbelanja, berjualan, mengunjungi dan menjaga kelestarian
pasar; 3) Aktivitas dalam bentuk aktivitas yang ada di pasar yang dikenal
dengan istilah lokal kumandhang atau berjalan secara kontinu dengan suasana
tawar menawar dan regeng (ramai tetapi tidak ricuh); 4) Kebijakan yang
muncul karena adanya jiwa handarbeni atau rasa memiliki, melindungi,
menjaga dan menggunakan sesuai dengan fungsinya dari para pemangku
kepentingan; dan 5) Tempat dengan pemahaman bukan sembarang tempat,
yaitu tempat yang ngrejekeni atau tempat yang menjadi pusat
matapencaharian, sebagai tempat yang selalu didatangi untuk mendapatkan
apa yang dibutuhkan, dan tempat usaha yang selalu diwariskan secara turun
temurun.

7.1.2 Perubahan Orientasi Sosial-Budaya (Socio-Culture


Driven) menjadi Orientasi Kebutuhan Pasar (Market Driven)
Perubahan orientasi dalam pembangunan kota membawa konsekuensi dalam
berbagai hal. Sebagai kota tradisional Jawa kota Surakarta pada awal
Bab 7 Kebertahanan Pasar Sebagai Komponen Struktur Kota 219

pembentukan kota atau dulu disebut dengan istilah nagari, menggunakan


orientasi sosial-budaya, yaitu orientasi pemerintahan dan pengaturan kota
dengan dasar filosofi kaidah nilai-nilai budaya dan tata kehidupan nilai-nilai
sosial masyarakat.
Pada awal terbentuknya Kota Surakarta Paku Buwono II hingga Paku Buwono
IX (1744-1892), budaya Jawa Mataram Islam menjadi suatu cara hidup yang
berkembang, dan dimiliki bersama oleh masyakat Kota Surakarta. Hal tersebut
tumbuh dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya Jawa merupakan
bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung
menganggapnya diwariskan secara genetis sehingga dikenal dengan istilah
wong Jowo atau wong Solo. Dalam kehidupan bernegera dan bermasyarakat,
budaya Jawa menjadi suatu pola hidup menyeluruh, bersifat kompleks,
abstrak, dan luas, hingga melahirkan sistem sosial yang tercermin dalam pola-
pola tingkah laku manusia yang menggambarkan karakter suatu masyarakat
Jawa. Dengan demikian orientasi sosial-budaya merupakan pandangan atau
arah atau orientasi yang menitikberatkan pada nilai-nilai budaya dan sosial
yang telah ada pada suatu system pemerintahan keraton dan secara fisik dapat
ditengarai pada bentuk negari atau kota sebagai wilayah kekuasaan.
Berbagai fasilitas ditata dalam kontek pertautan budaya dan sosial dalam suatu
kaidah struktur kota Jawa secara makro adalah falsafah Cokro Manggilingan
dan secara mikro yaitu adanya falsafah aturan yang diwujudkan dalam bentuk
keraton, sujud manembah diwujudkan dalam bentuk masjid dan ucap syukur
dalam bentuk pasar. Sedangkan hirarki keberadaan masing-masing komponen
berpusat pada aturan yaitu keraton tepatnya pada bagian sitihinggil sebagai
bagian yang memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan bagian lainnya
dalam lingkup keraton maupun kota. Tingkatan berikutnya adalah masjid
sebagai bentuk filosofi sujud manembah bentuk perwujudan hubungan
manusia dengan sang Khalik atau Tuhannya atau dikenal dengan
habluminallah, sedangkan bagian pasar merupakan implementasi dari dasar
filosofi ucap syukur sebagai bentuk hubungan horizontal manusia sebagai
makhluk yang perlu memenuhi kebutuhan hidup dan mencari nafkah, di
samping kebutuhan sosial bermasyarakat.
Dalam konstelasi pasar yang ada di Kota Surakarta, khususnya pada lingkup
inti kota tradisional Jawa, tatanan jejaring pasar dibentuk dengan kaidah
sedulur papat kelimo pancer dengan pusat sitihinggil di kawasan Keraton
Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Penetapan posisi dan peran masing-masing
220 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

pasar menggunakan dasar kaidah nilai-nilai budaya dan sosial atau orientasi
sosial-budaya.
Perkembangan selanjutnya pada masa pemerintahan Paku Buwono X hingga
kolonial mulai berkuasa (1893-1947), pengaruh Hindia Belanda mulai
digunakan dalam pembangunan kota. Berbagai pembangunan fasilitas dan
jaringan transportasi dilakukan dengan dasar pemikiran kemudahan akses,
politis, dan fungsional. Seiring dengan waktu, orientasi sosial-budaya dalam
perkembangan kota mulai diabaikan dan penataan pembangunan kota bergeser
pada tuntutan fungsi dan lingkup pelayanan. Kondisi tersebut berlangsung
hingga masa Swapraja (1965).
Peralihan masa Swapraja hingga masuk masa Orde Baru (1966) segala hal
terkait dengan penyediaan fasilitas umum dan sosial menggunakan dasar
standarisasi dan kaidah teori-teori yang mengarah pada tuntutan kebutuhan
umum masyarakat atau orientasi kebutuhan pasar. Segala fasilitas disediakan
dalam kontek pelayanan kepada masyarakat dengan dasar perhitungan standar
pusat layanan, kapasitas layanan, lingkup pelayanan atau kelas layanan dan
jarak jangkauan layanan. Keadaan tersebut merupakan situasi adanya
perubahan pergeseran orientasi dari orientasi sosial-budaya pada orientasi
kebutuhan pasar. Hal tersebut tetap berlangsung hingga sekarang, bahkan
menjadi bagian dalam proses perencanaan pembangunan semua fasilitas atau
komponen struktur kota.
Dalam situasi yang mengalami perubahan dari orientasi sosial-budaya pada
orientasi kebutuhan pasar, Pasar Gede sebagai salah satu komponen struktur
kota tradisional Jawa yang pada awal terbentuknya sebagai implementasi
filosofi atau nilai ucap syukur, masih dapat bertahan hingga saat ini, dengan
berbagai kegiatan, pelaku, dan peristiwa. Hal ini yang menjadi dari identitas
Kota Surakarta.

7.1.3 Perkembangan Struktur Kota Tradisional Jawa di


Kota Surakarta
Kota Surakarta sebagai kota tradisional Jawa mengalami berbagai era
pemerintahan dan perubahan orientasi dari orientasi sosial-budaya pada
orientasi kebutuhan pasar. Masing-masing era pemerintahan membawa
konsekuensi pada perubahan orientasi yang pada akhirnya berdampak pada
perkembangan struktur kota tradisional Jawa yang ada di Kota Surakarta.
Bab 7 Kebertahanan Pasar Sebagai Komponen Struktur Kota 221

Awal terbentuknya Kota Surakarta yaitu masa perpindahan Keraton Kartasura


ke Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat di bawah pemerintahan Paku
Buwono II Tahun 1744 struktur kota ditata dalam bentuk inti kota kerajaan
yang terdiri dari komponen utama keraton, masjid dan pasar. Hal tersebut
merupakan bentuk implementasi folosofi trinitas yaitu aturan, sujud
manembah dan ucap syukur. Hal tersebut dapat bertahan hingga masa
pemerintahan Paku Buwono IX (Tahun 1892).
Masa selanjutnya pada pemerintahan Paku Buwono X Tahun 1893-1939,
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat mengalmi puncak kejayaan,
sehingga banyak dilakukan pembangunan dan penyediaan fasilitas. Pada era
tersebut terjadi pula pembangunan Keraton Mangkunegaran, sehingga ada dua
kekuasaan yang memiliki wilayah berbeda. Pembangunan jalan Slamet Riyadi
menjadikan poros kota beralih yang semula poros jalan utama berada pada
jalan Rajiman sebagai akses uatam keluar kota dan Jalan Jendral Sudirmal
sebagai sumbu utara selatan. Di samping itu pula Belanda melakukan
pembangunan rel kereta api dan Banra Beton serta berbagai jembatan
penghubung. Hal tersebut membuat jejaring struktur kota semakin
berkembang.
Pada era kolonial Tahun 1940-1947 pembangunan berbagai fasilitas dan
infrastruktur jalan terus meningkat. Kota Surakarta sebagai kota kerajaan, pada
era ini kekuasaan Raja mulai dipengaruhi kewenangannya dengan adanya
Kantor Residen Belanda yang berada dalam wilayah Kota Surakarta bagian
utara kota tepatnya daerah Banjarsari. Pembanguan jaringan jalan diperluas
hingga wilayah utara, dan dibangunnya berbagai stasiun kereta api.
Selanjutnya pada era kemerdekaan dikenal dengan sistem pemerintahan
Swapraja pada Tahun 1948-1965. Masa tersebut merupakan masa transisi
peralihan kekuasaan Raja Keraton Kasunanan Surakarta dan Hindia Belanda
beralih pada kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia khususnya Walikota
Daerah Tingkat II Surakarta yang berpusat di Kantor Balai Kota dengan
pimpinan seorang Walikota. Selama masa Swapraja pembangunan kota
mengacu pada penggunaan standar hitungan lingkup atau skala pelayanan dan
mengenal adanya kelas pasar dengan berdasar jumlah pedagang dan luasan
bangunan. Di samping itu orientasi utama struktur kota yang semula
menggunakan aksis utara selatan pada Jalan Jenderla Sudirman tepatnya
sumbu Keraton dengan Tugu Pamandengan beralih menjadi berpusat titik
pusat pemerintahan di Kantor Balaikota.
222 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Keadaan tersebut semakin menguat pada masa Orde Baru Tahun 1966-1999.
Orientasi kota berpusat pada Balaikota Kota Surakarta dan fasilitas-fasilitas
ekonomi yang strategis. Dengan demikian orientasi sumbu utara selatan mulai
memudar dan keraton tidak berperan sebagai pusat pemerintahan. Dalam
situasi ini, Pasar Gede sebagai salah satu komponen struktur kota tradisional
Jawa masih berperan sebagai komponen struktur pada masa Baru hingga pada
masa sekarang. Memasuki era Reformasi sekarang ini, Pasar Gede sebagai
salah satu komponen struktur tradisional Jawa sekaligus fasilitas perdagangan
yang berada di pusat kota mengalami penguatan peran. Tidak hanya sebagai
ruang ekonomi, tetapi semakin kuat perannya sebagai ruang sosial dan budaya,
bahkan sebagai ruang rekreasi dan aktualisasi diri.

7.1.4 Bangunan Teori Kebertahanan Pasar Tradisional


sebagai Komponen Struktur Kota Tradisional Jawa
Berdasarkan uraian perubahan orientasi sosial-budaya pada orientasi
kebutuhan pasar di Kota Surakarta dan komponen pembentuk kebertahanan
pasar, maka dapat dibangun teori kebertahanan pasar tradisional yang disebut
dengan SiLoKu Ben Ngrejekeni. Kata tersebut merupakan akronim dari
komponen kebertahanan yang terdiri dari Sinergi, Loyalitas, Kumandhang,
Handharbeni dan Ngrejekeni, yang dimaksudkan untuk mempermudah dalam
mengingat kelima komponen tersebut.
Teori Kebertahanan Pasar Tradisional yang dinamakan dengan Teori SiLoKu
Ben Ngrejekeni memiliki pengertian secara operasional bahwa pasar
tradisional dapat bertahan dalam suatu kota tradisional Jawa yang mengalami
perubahan orientasi dari orientasi sosial-budaya menuju orientasi kebutuhan
pasar karena memiliki 5 komponen kebertahanan pasar.
Penjelasan secara rinci sebagai berikut:
1. Sinergi adalah suatu proses memadukan beberapa aktivitas dalam
rangka mencapai satu hasil yang berlipat. Sinergi ini meliputi
sumrambah (perluasan jejaring) dan keterpaduan. Pasar tradisional
yang memiliki karakter toleransi antar etnis atau teposeliro, dan
merupakan bagian kota yang di-uri-uri atau dilestarikan. Pasar
tradisional yang berada di pusat kota dan berperan sebagai komponen
struktur kota memiliki konsumen eksklusif dengan kategori kelas
menengah keatas. Keberadaan pasar tradisional di pusat kota dituntut
Bab 7 Kebertahanan Pasar Sebagai Komponen Struktur Kota 223

untuk dapat bersikap anti-diskriminasi dengan komunitas multi etnis.


Sedangkan dalam konteks keruangan dapat mensinergikan
perkembangan jaman atau Jaman Kalakone dengan tetap memiliki
karakter ruang khas sebagai sebuah pasar sehingga dapat dikatakan
memiliki ke-Ajeg-an ruang. Pasar tradisional sebagai fasilitas
perbelanjaan di pusat kota maka dituntut untuk berperan sebagai
pasar yang sempulur atau menyediakan segala macam barang dan
selalu ada dalam jumlah dan kualitas yang dibutuhkan konsumen.
Dengan demikian konsekuensi yang terjadi, suasana pasar akan
tercipta keadaan yang ramai dalam segala situasi, menjadi ikon kota,
dan menjadi komponen utama negari.
2. Loyalitas secara harfiah loyal berarti setia, atau loyalitas dapat
diartikan sebagai suatu kesetiaan. Kesetiaan timbul tanpa adanya
paksaan, tetapi timbul dari kesadaran sendiri. Masing-masing pihak
yang terlibat dalam penggunaan pasar memiliki loyalitas dengan
tempat atau pasar masing-masing yang digunakan. Sehingga
terbentuk loyalitas antar pedagang dengan pedagang, loyalitas
pedagang terhadap lingkungan pasar tempat berdagang, dan loyalitas
antara pedagang terhadap pelanggannya begitu pula sebaliknya
loyalitas pelanggan dengan pedagang dan pedagang dengan
lingkungan pasar yang dikunjungi. Pada akhirnya antara pedagang,
pelanggan, dan pihak lain yang terlibat dalam aktivitas di pasar akan
merasa tumbuh bersama dengan rasa kepercayaan dan kepuasan
terhadap pelayanan. Konteks pasar sebagai komponen struktur kota
tradisional Jawa loyalitas dapat dibagi dalam beberapa bagian, yaitu:
a. Loyalitas pedagang terhadap pasar, yaitu keterikatan para
pedagang terhadap pasar sebagai tempat memperoleh rejeki.
b. Loyalitas antar pedagang yang memiliki dagangan atau
komoditas sejenis, merupakan bentuk kebersamaan dalam
jejaring dan membentuk klen yang terbentuk secara alami, seperti
kelompok pedagang komoditas buah lokal, kelompok pedagang
buah impor, kelompok pedagang berdasarkan asal daerah,
kelompok pedagang berdasarkan tempat.
224 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

c. Loyalitas para pemasok dengan pedagang, loyalitas ini tumbun


dengan secara alami dengan pertimbangan kesadaran individu,
bahwa pemasok akan loyal pada pedagang tertentu dan antar
pemasok pun tidak akan merusak jaringan pemasok lain dengan
pedagang yang sama dalam suatu pasar.
d. Loyalitas pengunjung dengan pasar terbentuk karena adanya
ikatan emosional para pengunjung dengan pasar, dan tumbuh
secara alami.
e. Loyalitas antara pengunjung dengan pedagang langganan
merupakan jaringan yang didasari karena kepercayaan dan
kepuasan pelayanan dari para pedagang.
f. Loyalitas pelaku pasar yang lain terhadap pedagang atau juragan
masing-masing. Hal ini terbentuk karena hubungan kerja antara
anak buah dengan juragan.
g. Loyalitas semua pihak yang tidak terlibat langsung dengan pasar,
loyalitas ini merupakan bentuk kepedulian terhadap nilai-nilai
yang ada pada suatu pasar tradisional.
3. Kumandhang merupakan situasi pasar yang selalu ramai tetapi tidak
padat, ditandai dengan aktivitas interaksi antar pedagang, pembeli
dan pelaku yang lain. Situasi demikian menjadi pertanda adanya
kehidupan yang berlangsung secara terus menerus sesuai dengan
fungsi pasar. Kumandhang memiliki dua hal yang dituju yaitu:
a. Syiar meraih rejeki dengan mudah dan tidak gaduh, dengan
maksud bahwa dengan beraktivitas secara kontinu atau terus
menerus secara konsisten maka akan mudah menjaring pelanggan
dan tidak membuat pelanggan kecewa karena bias dipastikan
akan selalu ada di pasar dan tersedia barang yang dibutuhkan.
b. Regeng atau ramainya hiruk pikuk karena aktivitas jual beli
seperti obrolan, tawar menawar, hiruk pikuknya alat angkut
barang dan transportasi di kawasan maupun di lingkungan pasar.

Pasar tradisional yang berada di pusat kota dan berperan sebagai


komponen struktur kota memiliki kegiatan yang memutar di dalam
Bab 7 Kebertahanan Pasar Sebagai Komponen Struktur Kota 225

lingkungan pasar, kawasan, dan kota yang diibaratkan seperti cokro


manggilingan.
4. Handharbeni merupakan istilah Bahasa Jawa artinya ikut memiliki.
Sedangkan dalam Bahasa Inggris dinyatakan dengan istilah yang
lebih jelas yaitu sense of belonging. Lingkup arti handharbeni
termasuk dalam kegiatan memelihara, memperbaiki, memajukan,
menjaga, dan merasa milik bersama. Handharbeni memiliki 3
klasifikasi yaitu:
a. Handharbeni (rasa memiliki) adalah pihak yang memiliki
kewenangan terhadap pasar tradisional yaitu pemerintah atau
dinas teknis yang diberi tanggungjawab pengelolaan pasar
tradisional.
b. Melu Handharbeni (ikut memiliki) adalah pihak yang ikut
memiliki dalam hal ini adalah pihak yang terlibat langsung dalam
kegiatan di pasar tradisional yaitu pedagang, pemasok, pembeli,
pengunjung, tukang panggul, juru parkir, dan pihak lain yang
memperoleh manfaat secara langsung.
c. Rumongso Melu Handharbeni (merasa ikut memilki) adalah
pihak yang tidak terlibat langsung tetapi memiliki kepedulian
terhadap pasar tradisional seperti budayawan, akademisi, peneliti,
lembaga swadaya masyarakat dan pihak lain yang peduli
terhadap pasar tradisional tetapi tidak secara langsung terlibat
dalam kegiatan di pasar.
5. Ngrejekeni merupakan pemahaman bahwa pasar tradisional sebagai
tempat untuk mencari, mendatang, dan memperoleh rejeki
dikarenakan aktivitas ekonomi, sosial dan budaya. Konsekuensi
ngrejekeni dapat tercipta karena adanya peran pasar sebagai tempat
jujugan atau tempat yang dituju dan sebagai tempat lurugan atau
tempat yang menarik untuk didatangi. Masyarakat Jawa percaya
bahwa rejeki sudah dibagi-bagi oleh Sang Maha Kuasa atau Tuhan,
sehingga dalam berdagang akan merasa tenang dan tidak gelisah
sehingga tercipta suasana tenang secara batin.
226 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pasar disadari sebagai ruang yang
urip lan nguripi untuk mengumpulkan dan memenuhi kebutuhan hidup, maka
kesadaran adanya ketetapan rejeki dari Yang Maha Kuasa adalah bentuk
kepasrahan pada suatu hasil. Terkait dengan kata SiLoKu Ben Ngrejekeni
bahwa kata tersebut adalah akronim dari kelima komponen kebertahanan pasar
tradisional yang terdiri dari Sinergi, Loyalitas, Kumandhang, Handharbeni dan
Ngrejekeni. Akronim dibuat dengan maksud untuk mempermudah menghafal,
meskipun bukan semata-mata menunjukkan urutan secara hirarkis.
Pemahaman teoritik dan praktik dalam konteks kewilayahan bahwa teori
SiLoKu Ben Ngrejekeni merupakan kesadaran keruangan yang terbentuk
adanya suatu aktivitas berdagang dari para pelaku untuk memenuhi dan
mendapatkan kebutuhan hidup dalam suatu tempat pasar tradisional. Dalam
konteks kota pasar merupakan fasilitas ekonomi yang sekaligus sebagai
fasilitas sosial dan budaya. Berbagai aktivitas yang ada di pasar tradisional
dapat membangkitkan segala aspek kehidupan, baik moda dan jejaring
transportasi, pusat pelayanan serta sistem pemasaran yang lebih luas.

7.1.5 Prediksi Masa Depan Pasar Tradisional


Berdasarkan hasil penelusuran kondisi pasar tradisional dalam suatu kota yang
mengalami berbagai perubahan orientasi dan perkembangan struktur kota,
maka dapat dipahami bahwa kebertahanan pasar tradisional tetap dalam
kondisi tidak akan hilang atau masih tetap bertahan, dengan adanya goodwill
atau kemauan baik dari semua pihak yang terlibat. Dalam situasi kemauan
baik dari berbagai pihak pada posisi yang tinggi, maka akan membawa
pengaruh pada derajat kebertahanan pasar tradisional yang tinggi, sedangkan
pada situasi yang menurun maka derajat kebertahanan pasar tradisional pun
turut berpengaruh turun hingga mencapai titik terendah. Situasi yang demikian
akan menumbuhkan daya juang untuk menghadapi situasi dan semua
komponen akan bergerak guna mempertahankan keberadaan pasar tradisional.
Pasar tradisional dapat dikatakan bertahan bila mampu melakukan adaptasi
atau penyesuaian terhadap perubahan jaman atau Jaman Kalakone dengan
tetap menjaga karakteristiknya sebagai suah pasar yang sarat dengan tradisi.
Pasar yang tidak dapat menyesuaikan dengan perkembangan jaman dapat
diprediksikan tidak akan mampu bertahan. Sebaliknya bila pasar tradisional
melakukan perubahan hingga menghilangkan karakteristik tradisi maka dapat
diprediksikan tidak mampu bertahan lama.
Bab 7 Kebertahanan Pasar Sebagai Komponen Struktur Kota 227

7.1.6 Upaya Pasar Tradisional Untuk Menghadapi


Perkembangan Pasar Modern
Pasar tradisional sebagai salah satu aset warisan budaya dan sekaligus sebagai
komponen struktur kota tradisional Jawa, diperlukan berbagai upaya untuk
mampu bersaing menghadapi perkembangan jaman, khususnya kehadiran
pasar modern. Maraknya pasar modern menjadi pilihan bagi masyarakat untuk
mendapatkan fasilitas perbelanjaan yang sesuai dengan tuntutan gaya hidup
dan kemudahan akses. Dengan demikian upaya yang perlu dilakukan bagi
pasar tradisional untuk dapat bertahan menghadapi maraknya pasar modern
adalah sebagai berikut:
1. Mempertahankan dan memperbaiki penataan pasar tradisional agar
memiliki akses yang mudah dicapai oleh para pengguna.
2. Meningkatkan penataan ruang pasar tradisional agar hakikat tata letak
pedagang tradisional dapat tetap terjaga yaitu dengan sistem pembeli
dapat melihat langsung barang-barang yang dijual dan dapat memilih
dengan leluasa. Tata ruang bangunan ataupu kawasan tetap
mempertahankan pola-pola tradisional agar pedagang dan
pengunjung masih merasa akrab dan terbentuk suasana persaudaraan.
3. Tetap memperhatikan budaya dagang tradisional dengan penataan
ruang untuk face to face atau interaksi langsung antara pedagang dan
pembeli guna melakukan aktivitas tawar menawar, mengatur
kesepakatan dan saling menganal atau bertegur sapa.
4. Peningkatan pelayanan tanpa meninggalkan budaya belanja
tradisional untuk selalu berkunjung ke pasar dengan teknik promosi,
seperti pemberian hadiah undian langsung ataupun permainan yang
memacu pembeli dating kembali ke pasar.
5. Penyampaian informasi secara terbuka pada konsumen dan pedagang
untuk mengenalkan komoditas, fasilitas, dan keunikan pasar
tradisional, sehingga masyarakat luas mudah memilih untuk
berbelanja atau berdagang di pasar tradisional.
6. Pihak yang berwenang seperti Dinas Pengelola Pasar secara intensi
dan terus menerus melakukan upaya promosi, publikasi dan
pendampingan bagi semua pelaku pasar tradisional.
228 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

7. Pembinaan bagi para pedagang untuk dapat melakukan adaptasi dan


improvisasi dengan situasi perkembangan jaman dengan tidak
meninggalkan karakteristik tradisi pasar tradisional.

7.1.7 Karakteristik Pasar Tradisional


Karakteristik pasar tradisional yang menjadi keunikan budaya belanja
tradisional adalah sebagai berikut:
Karakteristik pasar tradisional yang perlu dipertahankan:
1. Sistem bertemunya antara pedagang dengan pembeli dalam suatu
tempat atau face to face, yang biasanya berlanjut dengan tawar
menawar, bahkan pembicaraan diluar perdagangan menjadi daya
tarik tersendiri. Hal tersebut membawa konsekuensi terjalinnya
hubungan yang erat seperti persaudaraan bila terjadi secara berulang.
2. Adanya ruang interaksi dalam suatu pasar, bahkan ruang interaksi
yang dimaksud bukan hanya ruang antara pedagang dan pembeli
tetapi antara pedagang dengan pedagang, dan antara pembeli dengan
pembeli atau pembeli dengan pihak lain di pasar tradisional.
3. Kualitas komoditas yang sepadan dengan harga. Dalam hal ini ada
sesuatu yang sangat unik dalam penentuan harga dan kualitas serta
kuantitas. Bagi pelanggan antara kualitas dan harga dapat tercipta fix
price, tetapi bagi pembeli yang baru atau belum menjadi pelanggan
akan terjadi slidding price yang cukup tinggi, sehingga muncul tawar
menawar yang ketat atau alot.
4. Komunikasi dan informasi apapun yang terjadi di pasar tradisional
pada masa lalu bersifat gethok tular, tetapi sekarang dapat
memanfaatkan teknologi dengan adanya papan informasi harga,
penanda blok, papan nama, dan informasi lain.
5. Adanya ruang sosial yang terbentuk secara informal, yang membuat
para pengunjung nyaman melakukan tawar menawar atau bargaining

Dengan demikian dapat disimpulkan dalam konteks aksiologi, hasil penelitian


ini dapat digunakan sebagai dasar pemahaman untuk mewujudkan kelestarian
nilai-nilai yang ada dalam suatu ruang ekonomi, sosial, dan budaya Jawa
dalam bentuk pasar tradisional sebagai komponen struktur kota tradisional
Bab 7 Kebertahanan Pasar Sebagai Komponen Struktur Kota 229

Jawa. Kebertahanan pasar tradisional sebagai struktur kota tradisional Jawa


dapat terjaga perlu adanya kemauan baik (goodwill) dari seluruh pihak untuk
menjaga keseimbangan semua komponen kebertahanan secara berkelanjutan.

1.7.8 Kedudukan Teori Substantif Kebertahanan Pasar


Tradisional Dalam Rumpun Teori Kebertahanan dan Teori
Struktur Kota
Penelitian ini telah menghasilkan pengetahuan subtantif tentang teori
kebertahanan pasar dan komponen pembentuk yang digali dari fenomena lokal
yang Pasar Gede sebagai komponen struktur kota tradisional Jawa. Pandangan
tersebut telah memberi pemahaman baru tentang kebertahanan dan komponen
struktur kota. Sebagai bentuk hasil bangunan teori, maka teori kebertahanan
pasar agar dapat diimplementasikan sebagai kontribusi teori kebertahanan dan
struktur kota perlu dilakukan diskusi atau dialog teori dengan teori-teori dan
konsep lain yang telah ada.
Bangunan teori substantif yang dirumuskan dari fenomena, maka untuk
menjelaskan keberadaan posisi teori Kebertahanan Pasar SiLoKu Ben
Ngrejekeni dapat diuraikan seperti dalam Gambar 6.14 dan Tabel 6.6 bahwa
teori substantif kebertahanan pasar tradisional merupakan bangunan teori baru
secara lingkup spasial lebih mikro dalam konteks kawasan di pusat kota,
sedangkan secara subtansi merupakan teori kebertahanan yang mengaitkan
aspek proses, aktivitas, pelaku, kebijakan dan keruangan. Hal tersebut berbeda
dengan teori kebertahanan yang telah dirumuskan sebelumnya seperti Aliance
(2007) dengan Teori Urban Resilience yang mengungkapkan tentang
lingkungan binaan, dinamika sosial, arus metabolisme dan jejaring
pemerintahan, sedangkan teori yang dikemukakan Jabareen (2013) Resilient
City Planning Framework atau RCPF tentang Matrik analisis kerentanan
perkotaan, perencanaan berorientasi ketidakpastian, urban pemerintahan, dan
pencegahan.
Pembahasan kedudukan teori substantif kebertahanan pasar tradisional dalam
ranah rumpun teori struktur kota dapat dijelaskan mulai dari keberadaan teori
subtantif struktur kota tradisional Jawa yang ada di Kota Surakarta sebagai
kota tradisional Jawa Kerajaan Mataram yang masih ada hingga saat ini.
Secara garis besar dapat diuraikan bahwa Teori Kebertahanan Pasar
Tradisional sebagai komponen struktur kota tradisional Jawa (Teori SiLoKu
Ben Ngrejekeni) memiliki karakteristik yang berbeda dengan Central Place
230 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Theory yang menguraikan sistem pelayanan dalam 3 prinsip utama yaitu:


Marketing Principle, Transport/Traffic principle, Administrative Principle
(Christaller, 1966). Disamping itu Von Thünen mengungkapkan bahwa untuk
membangun lokasi kegiatan ekonomi dapat ditentukan pada tingkat yang luas
seperti wilayah atau daerah metropolitan, atau pada kawasan yang lebih kecil
seperti zona, lingkungan, blok kota, atau situs individu. Teori ini dengan
pendekatan ilmu geografi ekonomi, antara lain: 1) Kota pasaran (market town)
itu harus berlokasi di pusat suatu wilayah homogen secara geografis, dalam arti
tanah dan iklimnya; 2) Biaya transportasi pengangkutan hasil dari tempat
produksi ke kota berbanding lurus dengan jarak; 3) Setiap petani di kawasan
sekeliling kota pemasaran itu akan menjual kelebihan hasil pertaniannya ke
kota tadi, dan biaya transportasinya menjadi tanggungan sendiri; 4) Petani
cenderung memilih jenis tanaman yang menghasilkan profit maksimal
(Thunen, 1842). Keempat asumsi tersebut tak dapat digunakan secara tepat
untuk mengurai peran pasar tradisional di kota tradisional Jawa khususnya
Kota Surakarta, mengingat para pemasok dari berbagai daerah lebih memilih
memasok dagangannya pada pasar tradisional di pusat kota dibandingkan
dengan pasar modern dikarenakan rumitnya prosedur dan besarnya resiko
barang tidak dapat laku dengan cepat, meskipun nilai jual lebih mahal.
Pemasaran di pasar tradisional menjadi pilihan para pemasok dari berbagai
wilayah luar kota dengan sistem komisi tetapi perputaran barang dapat berjalan
dengan cepat. Demikian halnya yang diungkap oleh Rustiadi (2009) bahwa
dalam konteks wilayah dikenal dengan istilah daerah belakang atau hinterland,
daerah pelayanan, pusat pelayanan, desa, kota, dan sebagainya. Istilah tersebut
adalah istilah yang berimplikasi posisi spasial namun menekankan pengertian
fungsional dibanding pengertian posisi fisiknya, tetapi juga menekankan pada
aspek sosial dan ekonomi (Rustiadi, et al., 2009). Hal tersebut berbeda dengan
Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni yang meliputi 5 (lima) komponen dengan
memasukkan aspek kesejarahan, budaya sosial, ekonomi dan spasial.
Sejalan dengan teori yang dikemukan oleh Levebvre bahwa perkotaan adalah
sentralitas sosial dan aspek kapitalisme berpotongan dalam ruang dan Konsep
pemahaman ruang secara trikotomis bahwa ruang yang kolektif itulah ruang
sesungguhnya, yang diproduksi melalui relasi sosial dengan berbagai modus
produksi (Lefebvre, 1991), Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni secara spesifik
menerapkan lima komponen pembentuk kebertahanan suatu ruang dalam
peran yang saling terintegrasi dan sinergis sehingga tidak dapat dipisahkan
atau berproses secara berjenjang.
Bab 7 Kebertahanan Pasar Sebagai Komponen Struktur Kota 231

Disisi lain beberapa teori yang terkait dengan pasar dan struktur kota tradisonal
Jawa, telah diungkapkan dan diuraikan secara jelas oleh berbagai ahli. Hasil
yang dapat dipahami bahwa teori-teori tersebut memiliki sudut pandang yang
berbeda dengan hasil yang diporelih dari rumusan Teori Kebertahanan Pasar
Tradisional (Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni). Perbedaan yang mendasar
terletak pada dasar filosofis dan penetapan komponen struktur kota dan
penetapan jejaring pasar tradisional dalam konstelasi kota tradisional Jawa.
Disamping itu dari rumusan Teori SiLoKu Ben Ngrejekeni mengungkapkan
tentang orientasi kota. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Teori SiLoKu
Ben Ngrejekeni merupakan bangunan teori baru yang mengungkap hal-hal
yang belum terungkap dalam teori-teori sebelumnya.

7.2 Rekomendasi Pengembangan Ilmu


Berbagai hal telah dilakukan dalam proses penelitian, tetapi tak dapat
dipungkiri, sebagai upaya kecermatan dari berbagai sudut pandang dan
pemahaman perlu adanya pengembangan pengetahuan dalam penggunaan
metode, kemanfaatan teoritik dan praktik.

7.2.1 Saran Untuk Pengembangan Pengetahuan dan


Penggunaan Metode Penelitian
Segala bentuk keputusan memiliki konsekuensi, begitu pula dengan penelitian
ini yang menggunakan paradigma Naturalistik, pendekatan kualitatif, strategi
induktif, dan metode Grounded Theory. Konsekuensi yang melekat pada
penelitian ini bahwa berbagai fenomena telah digali secara mendalam dan
dirumuskan dalam proses coding atau pengkodean hingga terumuskannya teori
substantif. Hal yang terkait dengan lokalitas yang bersifat maknawi atau padat
makna telah dianalisis dan diverifikasi secara trianggulasi dengan melibatkan
berbagai pihak dan data teoritik. Penelitian ini terbatas pada karakter teori yang
dihasilkan, dikarenakan penelitin ini tidak bermaksud membuat generalisasi
teori.
Sebagai bentuk tanggungjawab ilmiah, hasil penelitian ini dapat dilakukan Uji
kredibilitas uji transferabilitas, Uji dependabilitas, Uji konfirmabilitas pada
pasar tradisional yang memiliki karakter tidak jauh berbeda dengan Pasar
Gede, yaitu Pasar Beringhardjo yang memiliki peran sebagai komponen
232 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

struktur kota tradisional Jawa di Kota Yogyakarta. Berdasarkan hasil telaah


implementasi uji teori, maka dapat disimpulkan bahwa teori SiLoKu Ben
Ngrejekeni bersifat substantif dengan pengertian bahwa teori kebertahanan
pasar tradisional dapat diterapkan atau digunakan pada lokasi yang memiliki
karakter yang sama dengan kriteria:
a. Pasar tradisional yang terletak di pusat kota tradisional Jawa dengan
jejaring lintas daerah.
b. Pasar tradisional yang masih dapat ditengarai nilai-nilai tradisinya
baik secara fisik maupun non fisik
c. Pasar Tradisional yang memiliki peran sebagai ruang ekonomi,
sosial, dan budaya serta konsepsi hidup masyarakat Jawa
d. Pasar tradisional yang memiliki peran sebagai komponen struktur
kota tradisional Jawa.

Berbagai batasan yang ada pada penelitian ini, maka disarankan dapat
dilakukan penelitian dari sudut pemahaman dan metode yang berbeda,
sehingga dapat menjadi memperkaya kajian tentang teori kebertahanan pasar
tradisional sebagai komponen struktur kota tradisional Jawa. Di masa yang
akan datang diharapkan dapat dilakukan penelitian dengan generalisasi teori
yang menghasilkan teori formal sebagai tindak lanjut dari penelitian ini.

7.2.2 Rekomendasi Teoritik dan Praktik


Penelitian tentang Kebertahanan Pasar Tradisional sebagai Komponen
Struktur Kota Tradisional Jawa merupakan hasil penelusuran jejak nilai
historis dalam ruang fasilitas publik yang menjadi ruang sosial, budaya dan
ekonomi dengan muatan makna tradisional Jawa. Dengan demikian dapat
diajukan suatu rekomendasi sebagai bentuk tindaklanjut yang dapat dilakukan
demi pengembangan ilmu perancangan kota, dalam rumpun teori struktur kota
denga kajian teori kebertahanan pasar tradisional.
1. Rekomendasi Teoritik

Rekomendasi yang dapat diajukan dalam kaitannya dengan pengembangan


teoritik bidang keilmuan Arsitektur dan Perkotaan adalah sebagai berikut :
a. Teori kebertahanan pasar tradisional merupakan hasil penelitian
dengan fokus amatan pada ranah keruangan atau spasial, dengan
Bab 7 Kebertahanan Pasar Sebagai Komponen Struktur Kota 233

penekanan pada aspek place, space, atau wadah suatu aktivitas pada
konteks kawasan dan konstelasinya dalam suatu kota tradisional
Jawa. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu penelitian yang dapat
mengkaji dari sudut penekanan yang berbeda seperti fokus sosial
perkotaan, ekonomi perkotaan, dan budaya perkotaan sehingga
semua hasil penelitian dapat memperkuat kajian kebertahanan pasar
tradisional sebagai struktur kota tradisional Jawa.
b. Teori kebertahanan pasar tradisional SiLoKu Ben Ngrejekeni dapat
digunakan sebagai pijakan atau hipotesis dalam penelitian
selanjutnya, sehingga dapat dilakukan generalisasi teori kebertahanan
pasar tradisional.
c. Prediksi teori yang telah dirumuskan dapat menjadi tantangan bagi
penelitian selanjutnya untuk melakukan pembuktian atau verifikasi
apakah hal tersebut dapat terjadi sesuai rumusan grafik prediksi
ataukah tidak. Dengan demikian teori ini siap direvisi dan diperkaya
dengan hasil penelitian lain, karena kebenaran bukan lah hal yang
bersifat mutlak dan terbuka terhadap perkembangan sesuai dengan
pendekatan dan metode yang akan digunakan dalam penelitian
selanjutannya.
d. Penelitian terkait dengan kebertahanan pasar tradisional sebagai
komponen struktur kota dapat dilakukan pada lokus yang berbeda
baik yang memeiliki karakter yang sama ataupun yang berbeda. Hal
tersebut dimaksudkan untuk memperkaya teori kebertahanan dan
teori struktur kota.
e. Dalam kontek kelengkapan matarantai keilmuan teori struktur kota,
maka perlu adanya penelitian yang terkait dengan transformasi
struktur kota tradisional Jawa, yang hasilnya dapat menjadi pijakan
dalam penelusuran berbagai pola transformasi kota tradisional,
khususnya kota tradisional Jawa.
f. Seiring dengan perkembangan jaman, secara khusus direkomendasi
adalah melakukan penelitan lanjutan dengan konteks Kota Surakarta
terkait dengan penelusuran semua pasar tradisional yang ada di Kota
Surakarta dalam konstelasi perkembangan struktur kota tradisional
234 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Jawa. Hal tersebut direkomendasikan secara khusus mengingat


perkembangan Kota Surakarta dewasa ini menjadi bagian dari target
investasi para pemain modal besar dengan dicanangkannya Surakarta
sebagai kota MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition).
2. Rekomendasi Praktik

Teori kebertahanan pasar tradisional merupakan hasil penelitian yang


membawa konsekuensi menjelaskan (explanation) bagaimana
mempertahankan pasar tradisional sebagai komponen struktur kota,
meramalkan (prediction) kebertahanan pasar tradisional dimasa yang akan
datang, dan mengendalikan (control) agar kebertahanan dapat terjaga sehingga
ikon atau identitas dan jejak sejarah suatu kota dapat tetap terjaga, dengan
demikian secara praktik hal yang dapat direkomendasikan adalah sebagai
berikut:
a. Kawasan pasar tradisional merupakan kawasan ekonomi yang masih
memiliki nilai-nilai sosial dan budaya, sehingga kehidupan yang ada
pada suatu kawasan pasar tradisional tidak lepas dari kaidah nilai-
nilai tersebut. Komponen sinergi, loyalitas, kumandhang, handarbeni
dan ngrejekeni menjadi bagian yang tertanam dan mengakar sehingga
semua pihak perlu memikirkan dan memiliki kemauan baik
(goodwill) bagaimana semua komponen tersebut tidak musnah dalam
setiap upaya pembangunan kawasan maupun kota.
b. Kondisi riil yang terjadi di lapangan, semua pihak belum menyadari
keberadaan komponen yang menjadi kekuatan utama dalam
kebertahanan suatu pasar tradisional sebagai struktur kota tradisional
Jawa, dengan demikian sangat diperlukan upaya transfer knowledge
dan sosialisasi pada semua pihak pelaku ekonomi, masyarakat,
pemerintah, dan pemerhati pasar tradisional tentang hasil penelitian
ini berupa penjelasan teori kebertahanan, prediksi yang akan terjadi
dan pengendaiannya.
c. Implementasi teori kebertahanan pasar tradisional sebagai komponen
struktur kota tradisional Jawa menjadi bagian yang sangat penting
dalam penataan suatu kota, khususnya Kota Surakarta sebagai kota
budaya, kota MICE, dan juga kota Kerajaan Mataram Islam yang
Bab 7 Kebertahanan Pasar Sebagai Komponen Struktur Kota 235

masih ada hingga kini. Penataan dan pembangunan kota


direkomendasikan agar berpijak dan mempertimbangkan komponen
kebertahanan pasar tradisional, mengingat pasar tradisional sebagai
ruang yang sarat dengan makna dan nilai Jawa.
236 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
Glosarium

Adhakan : mudah ditemukan, dikenali, dan dicapai

Adipati : sebuah gelar kebangsawanan untuk orang yang


menjabat sebagai kepala wilayah yang tunduk/bawahan
dalam struktur pemerintahan kerajaan di Nusantara,
seperti di Jawa dan Kalimantan

Aja ngaya ana dina ana upa : Jangan memaksakan diri ada hari ada nasi, mengandung
makna mencari uang seperlunya

Ajeg : Tetap atau tidak berubah

Alun-alun : suatu lapangan terbuka yang luas dan berumput yang


dikelilingi oleh jalan dan dapat digunakan kegiatan
masyarakat yang beragam.

Alun-alun Selatan : suatu lapangan terbuka yang luas dan berumput yang
dikelilingi oleh jalan dan dapat digunakan kegiatan
masyarakat yang beragam.berada di selatan keraton dan
berperan sebagai halam belakang keraton.

Alun-alun Utara : suatu lapangan terbuka yang luas dan berumput yang
dikelilingi oleh jalan dan dapat digunakan kegiatan
masyarakat yang beragam.berada di utara keraton dan
berperan sebagai halaman depan keraton.

Asean Economic Community : sebuah integrasi ekonomi ASEAN dalam menghadapi


perdagangan bebas antarnegara-negara ASEAN

Asmo Kinaryo Jopo : konsep berdasarkan nama yang membawa arti


238 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Aturan : hasil perbuatan mengatur (segala sesuatu) yang sudah


diatur. Cara (ketentuan, patokan, petunjuk, perintah)
yang telah ditetapkan supaya diturut. Tindakan atau
perbuatan yang harus dijalankan adat sopan santun,
ketertiban seharusnya menurut (kebiasaan dan
sebagainya) biasanya dalam hal ini yang dimaksud
adalah Keraton sebagai tempat Raja pusat
pemerintahan.

Bakul : Pedagang

Baluwarti : Area permukiman para pegawai keraton yang terletak


didalam benteng keraton

Bangsal Pangrawit : Tempat Raja melantik patih (tempat pelantikan patih).

Batur : Teman, pelayan, budak

Bedhol Nagari, : Perpindahan Negara atau keraton atau kerajaan

Benteng : Pagar batas kawasan keraton

Catur gatra tunggal : empat komponen struktur Kota Tradisional Jawa yang
terdiri dari karaton, masjid, alun-alun, pasar.

Cepuri : Dinding yang beratap limasan dan mengelilingi


bangunan keraton

Cokro Manggilingan : kehidupan masyarakat kota tradisional Jawa selalu


berpijak pada keselarasan hidup dan menjalani
kehidupan secara proporsional atau sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki dengan kata lain tidak untuk
memaksakan kehendak.

Dhalem Keraton : tempat tinggal para bangsawan.

Gapura Gladhag : Gapura besar yang berfungsi sebagai pintu gerbang


pertama memasuki kawasan keraton dari arah utara, di
sebelah kiri dan kanannya, berdiri dua buah arca kembar
besar. Arca yang berwujud raksasa ini dinamakan Arca
Pandhito Yakso. Makna simbolis yang ada di area
Gladhag adalah manusia yang ingin mendapatkan
kekuatan fisik dan spiritual harus mampu menahan dan
mengekang hawa nafsu
Glosarium 239

Gapura Pamurakan : Gapuro kedua setelah gapuro Gladag sebelum


memasuki alun-alun utara, tempat ini dihiasi dengan
motif dekorasi api dan matahari. Di tempat ini dulu
dilakukan pemotongan hewan hasil perburuan seperti
babi hutan, menjangan dan lain-lain untuk dibagikan
pada rakyat

Gedong obat : Apotik

Grengseng : Semangat

Gubernuran : Tempat bertugas gubernur

Handarbeni. : Rasa memiliki, Handarbeni merupakan istilah Bahasa


Jawa artinya ikut memiliki. Sedangkan dalam bahasa
Inggris dinyatakan dengan istilah yang lebih jelas yaitu
sense of belonging. Lingkup arti handarbeni termasuk
dalam kegiatan memelihara, memperbaiki, memajukan,
menjaga, dan merasa milik bersama

Hasta Brata : Arah Barat Daya, kosmografi Jawa adalah arah mata
angin yang mempunyai watak dari api yang memeiliki
makna kekuatan dan kesaktian yang datang dari arah ini
dapat melawan segala usaha yang menentang hukum
universum

Hik : Berjualan makanan ringan dan minuman

Jagad besar : Dunia besar atau Alam semesta atau Makrokosmos

Jagad Kecil : Dunia Kecil atau manusia sebagai individu atau


Mikrokosmos

Jagang : Parit yang mengelilingi Keraton..

Jaman Kalakone : Suatu keadaan yang berbeda menyesuaikan dengan


jaman atau dengan kata lain dahulu berbeda bentuknya
dengan sekarang tetapi nilai-nilai tetap ada dalam
bentuk sesuai dengan jamannya

Jujugan : Berasal dari bahasa jawa yang memiliki arti papan sing
dijujug (tempat yang dituju) atau adhakan (posisi
strategis), gampang ketemu (mudah ditemukan) atau
tempat untuk mendapatkan, mencari, dan memperoleh
sesuatu bagi masyarakat

Kalenggahan dan Ngasta : Kedudukan, Jabatan, pekerjaan


240 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Kangge jajan mbah : Untuk membeli makan kakek

Kawulo Gusti : Kita yang ingat dan menyembah Gusti (Tuhan Yang
Maha Esa)

Keraton : Tempat seorang penguasa (raja atau ratu) memerintah


atau tempat tinggalnya (istana). Dalam pengertian
sehari-hari, keraton sering merujuk pada istana
penguasa di Jawa

Ke-tanda-an atau Ketandan : Tempat bermukim tanda atau lurah pasar yang bertugas
menarik pajak di pasar

Ketandan : Kampung yang dihuni oleh petugas keraton dengan


gelar Tanda yaitu petugas yang mengurus pasar, ada
Kampung Sampangan yang dihuni oleh masyarakat
Madura, kampung dagang Belanda di Loji Wetan yang
dihuni oleh kaum Belanda, kampung Pecinan di
kawasan Pasar Gede yang dihuni oleh masyarakat etnis
China dan kampung komunitas pedagang Bali di
Kebalen yang dihuni oleh masyarakat Bali.

Klaras : Daun pisang kering

Kliwon : Kliwat / lebih

Kosmologi : konsep tentang struktur dan sejarah alam semesta


berskala besar

Krama : Tindakan, perlakuan, dan perbuatan atau dalam


pengertian lain adalah salah satu tingkatan bahasa dalam
Bahasa Jawa. Bahasa ini paling umum dipakai di
kalangan orang Jawa. Pemakaiannya sangat baik untuk
berbicara dengan orang yang dihormati atau orang yang
lebih tua. Terdapat 2 Jenis Bahasa Krama yakni, Krama
inggil alus dan krama madya.

Kreteg Gantung : Jembatan gantung yang membentang di atas Kali Pepe,


pada masa dahulu transportasi perdagangan melalui
sungai sehingga jembatan tersebut dapat dibuka dan
ditutup ketika ada perahu atau kapal lewat

Kumandhang Gaung atau gema karena aktivitas pasar

Kumandhange pasar : Kehidupan suasana pasar, berasal dari Bahasa Jawa,


Gumarenggeng atau gemuruh suara orang berkunjung
di suatu tempat
Glosarium 241

Kutagara atau kuta-negara : Pusat pemerintahan dengan pusatnya adalah istana atau
keraton yang berkedudukan di ibukota kerajaan. Negara
Agung atau Negaragung, merupakan wilayah yang
mengitari Kutanegara atau Kutagara..

Kuthorojo menjadi kuthonegoro. : Kotanya Raja menjadi Kotanya Negara atau ibu kota
negara

Legi : Manis,

Lenjongan : Jajanan pasar berupa makanan tradisional

Lieutenant de Chinezen : pimpinan golongan etnis Cina yang diberi legitimasi


oleh pemerintah kolonial Belanda sekitar 100 tahun
silam

Loji : Gedung besar atau kantor atau benteng kompeni masa


penjajahan Belanda di Indonesia

Lumbung : Bangunan penyimpanan padi-padian yang telah


dirontokan, kadang kala lumbung juga digunakan untuk
menyimpan pakan ternak

Lurugan : Tempat yang didatangi

Mancanegara : wilayah yang terdapat diluar wilayah Negara Agung,


tetapi tidak termasuk daerah pantai

Mancapat Mancalima : Konsep filosofi Jawa yang mengandung makna sebuah


titik pusat yang dikelilingi oleh empat titik, yang
masing-masing berada di barat, timur, utara, dan selatan.
Mancapat dan mancalima adalah konsep rotasi pasar
yang telah dikenal oleh masyarakat Jawa, mancapat
yaitu satu desa induk dikelilingi oleh empat desa yang
terletak di empat penjuru mata angin dan untuk
mancalima adalah satu desa induk dikelilingi oleh
delapan penjuru mata angin

Marga : Jalan

Orientasi kebutuhan pasar : Orientasi pada kebutuhan pasar

Masjid : Tempat Ibadah orang yang beragama Islam

Nagaragung atau Negara Agung : daerah di sekitar Kutagara, yang masih termasuk inti
kerajaan, karena di daerah inilah terdapat daerah tanah
lungguh (jabatan) dan para bangsawan yang bertempat
tinggal di Kutanegara
242 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Ngayahi butuh : mencukupi segala kebutuhan

Ngayomi : Memberi perlindungan dan pelayanan

Nglurug : mendatangi

Ngrejekeni. : Tempat yang mendatangkan rejeki

Nguri-uri : Komitmen untuk menjaga, menggunakan dan


melestarikan

Njobo keraton : Luar keraton

Nyambangi : Mengunjungi untuk bertemu sapa tanpa ada keperluan


khusus

Opas polisi : Sebutan polisi pada masa tahun 1900 di Kota Surakarta

Opo-opo ono : serba ada

Pahing : Pait / Pahit

Pasar Candi (sakral), : Pasar yang sakral

Pasar Candi Padurasa : Sebutan Pasar Gede karena kegiatan religiusitas


masyarakat Hindu Majapahit dapat harmonis dengan
aktivitas ekonomi masyarakat Pecinan dengan
memanfaatkan Sungai Pepe di dekatnya sebagai jalur
transportasi. Lambat-laun, pasar semakin maju dan
dikenal dengan nama Pasar Gede Oprokan karena
semarak oleh payung-payung peneduh barang dagangan

Pasar Gede Oprokan : Pasar Gede dengan pedagang yang menggelar dagangan
dengan lesehan

Pasaran : Sistem penamaan siklus waktu yang terdiri dari 5 nama,


yaitu: Pon, Wage, Kliwon, Legi, dan Pahing

Pasare wong Chino : Pasar nya orang China (etnis Tionghoa)

Pasare wong Solo : Pasar nya orang Surakarta (Solo)

Pasare wong sugih-sugih : Pasar nya orang kaya


Glosarium 243

Patron-klien, : Pertukaran hubungan antara kedua peran yang dapat


dinyatakan sebagai kasus khusus dari ikatan yang
melibatkan persahabatan instrumental dimana seorang
individu dengan status sosio-ekonominya yang lebih
tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber
dayanya untuk menyediakan perlindungan, serta
keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status
yang dianggapnya lebih rendah (klien).

Pawisman : Tempat tinggal

Peken dan mapeken : Pasar atau fasilitas perbelanjaan

Perjanjian Giyanti : kesepakatan antara VOC, pihak Mataram (diwakili oleh


Sunan Pakubuwana III), dan kelompok Pangeran
Mangkubumi.

Perjanjian Salatiga : Perjanjian bersejarah yang ditandatangani pada tanggal


17 Maret 1757 di Salatiga. Perjanjian ini adalah
penyelesaian dari serentetan pecahnya konflik perebutan
kekuasaan yang mengakhiri Kesultanan Mataram

Pesisiran : wilayah kerajaan yang terletak ditepi pantai

Pon : Pas atau tepat atau cukup

Priyayi : sebuah kelas sosial yang diturunkan secara turun-


temurun, biasanya bergelar Raden, Raden Mas, Putri,
dan lain sebagainya. Yang biasanya masih berkerabat
dengan raja, atau keluarga raja.

Projo-kejawen kraton : Citra Keraton Jawa

Regeng : Situasi yang tidak pernah sepi dan tidak pula macet.

Rupa-rupa komoditas : segala macam kebutuhan sehingga segala macam


komoditas hasil produksi dalam kota maupun luar kota

Sakral-magis : Dikeramatkan dan memiliki nilai sakralitas/kesaktian

Sang Gusti : Sang Penguasa

Sedulur papat kalimo pancer : Empat bersaudara dan kelima sebagai pusat, dalam
implementasinya dihubungkan dengan konstelasi
penataan pasar di kota tradisional Jawa

Sempulur : Semua yang dibutuhkan tercukupi atau tersedia


244 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Siloku ben ngrejekeni : Akronim dari sinergi, Loyalitas, Kumandhang,


Handharbeni dan Ngrejekeni

Sinuwun atau Kanjeng Ratu : Sebutan untuk sang Raja

Sirnaning Resi Rasa Tunggal : Merupakan nama atau sebutan suatu tahun yaitu
Sirnaning Resi Rasa Tunggal (1670) yang menandai
saat pengerjaan Keraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat selesai dibangun, meski dalam keadaan
yang tergesa-gesa.

Sithik ning lumintu : Sedikit tetapi dapat terus menerus atau sedikit tetapi
tetap cukup

Sitihinggil : Pusat simbul kekuasaan dan kehidupan atau suatu


kompleks yang dibangun di atas tanah yang lebih tinggi
dari sekitarnya

Socio-cultural driven : Orientasi pada sosial budaya

Sujud manembah : Sujud beribadah sebagai perwujudannya adalah Masjid


sebagai tempat besujud

Sumrambah : Merambah atau berkembang mengarah ke luar wilayah

Sunan Panutup : Raja yang dianggap oleh rakyat sebagai Raja besar
Surakarta yang terakhir

Tani : Pekerjaan bercocok tanam padi di sawah

Tempuran : Pertemuan di antara dua buah arus sungai

Tenaga angkat junjung : Kuli panggul

Teposeliro : Toleransi

Tol : tempat pemberhentian dan sekaligus pemungutan pajak


untuk transportasi air (sungai) pada masa kerajaan

Tugu Pamandengan atau : Tugu yang digunakan sebagai pusat orientasi Raja
Sinukarto atau Titik Ketauhidan dalam pertapaan atau bersemedi

Tukang : Orang yang mempunyai kepandaian dalam suatu


pekerjaan tertentu

Tuna sathak bathi sanak : Biarlah rugi sedikit, asal mendapat saudara
Glosarium 245

Ucap syukur : Bentuk rasa bersyukur atau pasar sebagai bentuk rasa
syukur untuk selalu memberi pelayanan dan memenuhi
kebutuhan.

Unggah-ungguh : sopan santun

Urip lan nguripi : Hidup dan menghidupi

Voestelenden : Sebutan bagi Hindia Belanda pada wilayah Kerajaan


Surakarta yang dipecah menjadi dua yaitu Kerajaan
Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran

Wage : Terbatas

Warung eca : Rumah makan

Yang dipertuan-vasal : seseorang yang menjalin hubungan


dengan kerajaan yang berkuasa biasanya dalam bentuk
dukungan militer, perlindungan bersama (mutual
protection), atau pemberian upeti, dan menerima
jaminan dan imbalan tertentu sebagai gantinya
246 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota
Daftar Pustaka

Abdel-Hadi, A. (2012). Culture, Quality of life, Globalization and Beyond.


Procedia Social and Behavior Sciences, vol 50, 11-19.
Abdullah, I. (2006). Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta,
Indonesia: Pustaka Pelajar.
Adrisijanti, I. (2000). Arkeologi Perkotaan Mataram Islam ((1st ed.). (A. Ma'ruf,
& A. S. Alimi, Eds.) ed.). Yogyakarta, DI Yogyakarta, Indonesia: Penerbit
Jendela.
Aji, B. K. (2014). Biografi Sri Susuhunan Pakubuwono X (1866-1939) IN
KNOWLEDGE AND INFORMATION,.
http://infobimo.blogspot.co.id/2014/10/biografi-sri-susuhunan-
pakubuwono-x.html.
Alexander, J. (1987). Trade, Trades and Trading in Rural Java. Singapore:
Oxford University Press.
Aliance, R. (2007). Urban Resilience Research Prospectus: A Resilience
Alliance Initiative for Transitioning Urban Systems towards Sustainable
Futures. http://bit.ly/resilienceprospectus.
Aliyah, I. (2002). Konservasi Kampung Tradisional Jawa di Pusat Kota
Surakarta. Semarang: Program Magister Teknik Arsitektur Universitas
Diponegoro.
Aliyah, I., Setioko, B., & Pradoto, W. (2015). Fleksibilitas Ruang dalam
Transformasi Budaya di Kawasan Pasar Tradisional Kota Surakarta
(Obyek Studi: Pasar Gede Kota Surakarta). Conference on Urban Studies
and Development. Semarang: Perencanaan Wilayah Dan Kota
Universitas Diponegoro.
Aliyah, I., Setioko, B., & Pradoto, W. (2016, Spring). The Roles of Traditional
Markets as the Main Component of Javanese Culture Urban Space (Case
Study: The City of Surakarta, Indonesia). The IAFOR Journal of
Sustainability, Energy & the Environment, Volume 3 (Issue 1), 103-120.
Retrieved from Online: josee.iafor.org
248 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Aliyah, I., Setioko, B., & Pradoto, W. (2017a). Spatial flexibility in cultural
mapping of traditional market area in Surakarta (A case study of Pasar
Gede in Surakarta). City, culture and society, 10, 41–51.
Aliyah, I., Setioko, B., & Pradoto, W. (2017b). Spatial Variety And Distribution
Of Traditional Markets In Surakarta As Potential Factors In Improving
Spatial-Based Management. Journal of Geomatics and Planning, E-ISSN,
2355–6544.
Anas, A., Arnott, R., & Small, K. A. (1998). Urban Spatial Structure. Journal of
Economic Literature, vol. 36(issue 3), 1426–1464.
Andriani, M. N., & Ali, M. M. (2013). Kajian Eksistensi Pasar Tradisional Kota
Surakarta. Jurnal Teknik PWK Universitas Diponegoro, vol 2(issue 2),
252-269.
Arefi, M. (2011). Design for Resilient Cities, reflections from a studio. In:
Banerjee, Tidib & Loukaitou-Sideris (ed) (2011) Companion to Urban
Design. Abingdon: Routledge.
Arikunto, S. (2010). Prosedur penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Army, A. M. (1945). Java & Madura 1: 50.000. Washington DC 106416:
http://www.lib.utexas.edu/maps/ams/java_and_madura/txu-pclmaps-
oclc-6596455-soerakarta.jpg.
Bangia, A. (1998). Modelling Liquidity Risk, with Implications for traditional
Market Risk Measurement and Management. Bank For International
Settlements. Wharton Financial Institutions Center. Working Paper,
Dezember 1998.
Basyir Z.B, M. (1987). Kota Gede Kuno, Studi Pola Tata Kota dan Kehidupan
Masyarakatnya. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Brian Walker, D. S. (2012). Resilience Practice: Building Capacity to Absorb
Disturbance and Maintain Function. Washington: Island Press.
Bromley, R. (1987). Traditional and Modern Change in the Growt of Systems
of Market Centres in Highland Equador. Vancouver: The Centre for
Transportasion Studies.
Cahkalitan. (2009). Sejarah Pasar Gede. Surakarta:
https://cahkalitan.wordpress.com/2009/05/27/sejarah-pasar-listrik-dan-
Daftar Pustaka 249

air-surakarta/.
Carr S., M. F. (1992). Public Space. Cambridge: Cambridge University Press.
Chandler, A. D. (1990). Scale and Scope: The Dynamics of Industrial
Capitalism. Cambridge, MA: The Belknap Press of the Harvard
University Press.
Chen, F. (2011). Traditional Architecture Form in Market Oriented Chinese
Cities? Habitat International, vol 35(issue 2), 410-418.
Cheshmehzangi, A., & Heat, T. (2012). Urban Identities: Influences on Socio-
Environmental Values and Spatial Inter-Relations. Procedia - Social and
Behavioral Sciences, vol 36, 253-264.
Christaller, W. (1966). Central Places in South Germany. (W. Baskin, Trans.) .
New york, USA: Wnglewoods Cliffs, N.J. Prentice Hall, Inc.
Creswell, J. W. (2007). Qualitative Inquiry and Research Design Choosing
Among Five Traditions. California, United State Of America: Sage.
Creswell, J. W. (2009). Research Design Qualitative, Quantitative and Mixed
Methods Approaches. California. Sage Publication. ISBN : 0-7619-0070-
. California: Sage Publication. ISBN : 0-7619-0070-.
Deprizal. (2013). Bentuk Pasar Dan Fungsinya.
http://deprizal.blogspot.com/2013/05/1.html.
Dewey, A. (1962). Peasant Marketing In Java. New York: Free Press of
Glencoe.
Dinas Tata Ruang Kota, K. S. (2009). Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan
Kawasan Pasar Gede Kota Surakarta. Surakarta: Konsultan Trihita
Karana.
Djakfar, M. (2009). Hukum Bisnis. Malang: UIN Malang Press.
Doxiadis, C. (1968). Ekistics: An introduction to the Science of Human
Settlements. London: Oxford University Press.
Ekomadyo, A. S. (2007). Menelusuri Genius Loci Pasar Tradisional sebagai
Ruang Sosial Urban di Nusantara. Retrieved Februari 2, 2014, from
www.ar.itb.ac.id: http://www.ar.itb.ac.id/pa/wp-
content/upload/2007/11/201212.
Erkip, F., Kızılgün, Ö., & Akinci, G. M. (2014). Retailers’resilience Strategies
250 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

and Their Impacts on Urban Space in Turkey. Cities, vol 36(Special Issue:
Retail Planning and Urban Resilience), 112-120.
Faisal, S. (1990). Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang: YA-
3.
Gallion, A. B., & Eisner, S. (1983). The Urban Pattern: City Planning and
Design. New York: Van Nostrand Reinhold.
Garnham, H. L. (1985). Maintaining The Spirit of Place. Arizona: PDA
Publishers Corporation.
Geddes, P. (1915). Cities in evolution: an introduction to the town planning
movement and to the study of civics. London: Williams & Norgate, 14
Henrietta Street, Covent Garden .
Geertz, C. (1963). Peddlers and Princes: Social Change and Economic
Modernization in Two Indonesian Towns (1st ed ed.). Chicago dan
London, The United States of America: The University of Chicago Press.
Giddens, A. (1991). Modernity and self-identity: self and society in the late
modern age. Cambridge: Polity Press.
Goonewardena, K., Kipfer, S., Milgrom, R., & Schmid, C. (2008). Space,
Difference Everyday Life: Reading Henri Lefebvre. New York:
Routledge.
Graaf, H. D. (1989). Terbunuhnya Kapten Tack, Kemelut di Kartosura Abad
XVII (terj) . Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia: Pustaka Utama Grafiti.
Habermas, J. (1985). The Theory of Communicative Action, Volume 2:
Lifeworld and System: A Critique of Functionalist Reason. Boston:
Beacon Press Book.
Harper, D. (2001). Online Etymology Dictionary. Online:
http://www.etymoline,com.
Hayami, Y. (1987). Dilema Desa. Jakarta: Yayasan Obor.
Hind, 1. (1945). Town Plan Of Soerakarta. Survey Production Centre SE Asia.
Holling, C. (1973). Resilience and stability of ecological systems. In: Annual
review of ecology and systematics . Annual review of ecology and
systematics (1973) vol. 4 p. 1-23.
Holling, C. S. (2001). Understanding the Complexity of Economic, Ecological,
Daftar Pustaka 251

and Social Systems (DOI:10.1007/s10021-00 -0101-5 ed.). Gainesville,


Florida 32611, USA: Ecosystems(2001) 4: 390-405.
Ibnukhan. (2015). Sejarah Keraton Surakarta. ibnukhan.blogspot.co.id,
Wikipedia, 26 November 2015 pukul 18:07
https://www.facebook.com/notes/indonesian-history/sejarah-keraton-
surakarta/406557219543210/.
Jabareen, Y. (2013). Planning the resilient city: Concepts and strategies for coping
with climate change and environmental risk. Cities, 31, 220-229.
Jano, P. (2006). Public and private roles in promoting small farmers access to
traditional market. Buenos Aires: IAMA.
Karnajaya, S. (2002). Pengaruh Pemindahan Lokasi Pasar Terhadap Morfologi
Kota. . Semarang: Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Karplus, Y., & Meir, A. (2014). From congruent to non-congruent spaces:
Dynamics of Bedouin production of space in Israel. Geoforum, vol 52, 180–
192.
Kim, J. I., Lee, C. M., & Ahn, K. H. (2004). Dongdaemun, a Traditional Market
Place Wearing a Modern Suit: The Importance of The Social Fabric in
Physical Redevelopments. Habitat International, vol 28 (issue 1), 143-161.
Kostof, S. (1991). The City Shaped. Boston: Bulfinch Press.
Krier, R. (1979). Urban Space. Great Britain: Academy Editions.
Kurniawan, F. (2015). Sejarah Singkat Kota Solo. Surakarta:
http://febri997.blogspot.co.id/2015/03/sejarah-singkat-kota-solo.html.
Kusmawati, F. (1996). Pola Hari Pasar di Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Lauermann, J. (2013). Practicing Space : Vending Practices and Street Markets
in Sana’a Yemen. Geoforum, vol 47(issue 1), 65-72.
Lefebvre, H. (1991). The Production of Space. (D. Nicholson-Smith, Trans.).
Cambridge, Massachusetts, Unite State Of America: Blackwell.
Leksono, S. (2009). Runtuhnya Modal Sosial, Pasar Tradisional. Malang: Citra
Malang.
Lombard, D. (1996). Nusa Jawa: Silang Budaya Warisan Kerajaan-Kerajaan
Konsentris. Jakarta, Indonesia: PT Gramedia Pustaka Utama.
252 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Diterjemahkan: PT. Gramedia Utama bekerjasama dengan Forum


Jakarta-Paris.
Ludwig, D. B. (1997). Sustainability, stability, and resilience. Conservation
Ecology . Available from the Internet. URL:
http://www.consecol.org/vol1/iss1/art7/.
Lynch, K. (1960). The Image Of The City. Harvard, USA: MIT Press.
Madanipour, A. (1996). Design of Urban Space: An Inquiry into a Socio-Spatial
Process (1 edition (December 1996). ed.). Wiley.
Mainville, D. (2004). The Supermarket Market—Who Participates and How
Do They Fare? Evidence from the Fresh Produce Market of São Paulo
Brazil. International Food and Agribusiness Management Association
Symposium. Montreaux, 12-14 June.
Malano, H. (2011). Selamatkan Pasar Tradisional ((1st ed.). (A. Sikumbang,
Ed.) ed.). Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia: PT Gramedia Pustaka Utama.
Mannan, M. (1992). Ekonomi Islam “Teori dan Praktek”. Jakarta: PT
Intermasa.
Moleong, L. J. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mook, H. v. (1958). Kota Gede Before and After The Reorganization dalam
The Indonesian Town. Bandung: The Haque.
Muhajir, N. (2011). Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Munoz, L. (2001). The Traditional Market And The Sustainability Market: Is
The Perfect Market Sustainable? International Journal of Economic
Development, vol 3(issue 4), 34-45.
Mutiari, D. (2010). Pengaruh Politik Terhadap Arsitektur Rumah Cina.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
NÆss, P., & Jensen, O. B. (2004). Urban structure matters, even in a small town.
Journal Environmental Planning and Management, Vol 47 (issue 1), 35-
37.
Nastiti, S. S. (1995). Peranan Pasar di Jawa pada Masa Mataram Kuno Abad
VIII-XI Masehi. Jakarta, Indonesia: Universitas Indonesia.
Natawidjaja, R. (2005). Modern market growth and changing map of retail food
Daftar Pustaka 253

sector in Indonesia. Bandung: Padjadjaran University.


Negara, P. D. (2011). Kumandang Pasar Tradisional. Retrieved Mei 3, 2014,
from suaramerdeka.com:
http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2011/07/26/153864.
Norman, W. (2012). Adapting to change: the role of community resilience. London:
The Young Foundation.
Nurrohman, R. (2013). SEJARAH PEMERINTAHAN KOTA SURAKARTA .
https://ar-ar.facebook.com/notes/reza-nurrohman/sejarah-pemerintahan-kota-
surakarta/534071479962032/. .
Oliver Johannes, R. (2015). Kota di Djawa Tempo Doeloe. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
Ossenbruggen, F. v. (1917). De Ooorsprong van het Javaanche begrip Montja-pat
in Verband met primitieve Classificaties. Amsterdam: Medeelingen der
Koninklijk Nederlandsch Akademie van Wetenschappen.
Palmier, C. (1960). Social Status and Power in Java. London.
Pamardhi, R. (1997). Planing for Traditional Javanese Markets in Yogyakarta
Region. Sydney: University of Sydney.
Permendagri. (2007). PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI No42 Tahun
2007 Tentang Pasar Desa. Jakarta: Menderi Dalam Negeri Republik
Indonesia.
Permendagri. (2012). PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2012 Tentang Pengelolaan Dan
Pemberdayaan Pasar Tradisional. Jakarta: Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia.
Pigeaud, T. (1940). De Noorder Aloen-Aloen te Jogjakarta dalam Djawa.
Jogjakarta.
Pont, H. M. (1923). Javaansche Architektur dalam DJawa. Surakarta -
Yogyakarta: Tijdshcrift van het Java Instituut.
Qomarun, & Prayitno, B. (2007, Juli). Morfologi Kota Solo (Tahun 1500 -
2000). DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR, 35(1), 80 - 87.
Rahadi, R. A. (2012). Factors Related to Repeat Consumption Behaviour: A
Case Study in Traditional Market in Bandung and Surrounding Region.
Procedia - Social and Behavioral Sciences, Vol 36, 529-539.
254 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Rapoport, A. (1969). House Form and Culture. Michigan: Prentice-Hall.


Raymond, W. (1976). Keywords: A Vocabulary of Culture and Society. Oxford
University Press.
Reardon, T. (2003). The Rise of supermarket in Africa, Asia, and Latin
America. . American Journal of Agricultural Economics, vol 1, 85-90.
Rijckevorsel, & Hadiwidjana. (1925). Babad Tanah Jawi. Groningen Den Haag
Weltervreden .
Ropke, I. (1999). The Dynamics of Willingness to Consume. Ecological
Economics, vol 28(issue 3), 399-420.
Rutz, W. (1987). Cities and Town in Indonesia. Berlin, German: Gebruder
Borntraeger.
Sajid, R. (1926). Babat Sala. Surakarta.
Salim, A. (2006). Bangunan Teori Metodologi Penelitian Untuk Bidang Sosial,
Psikologi, dan Pendidikan. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Santoso, J. (2008). Arsitektur-Kota Jawa Kosmos, Kultur dan Kuasa (Vol. 1st
ed.). (E. A. Y. Hastarika, Ed.) Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia: Centropolis
Magister Teknik Perencanaan Universitas Tarumanagara.
Setioko, B. (2010). Integrasi Ruang Perkotaan di Kelurahan Meteseh Kawasan
Pinggiran Kota Semarang. Semarang, Jawa Tengah, Indonesia:
Universitas Diponegoro.
Sharifi, A., & Murayama, A. (2013). Changes in the traditional urban form and
the social sustainability of contemporary cities: A case study of Iranian
cities. Habitat International, vol 38, 126-134.
Shirvani, H. (1985). Urban Design Proces. New York: Van Nostrand Reinhold.
Sinaga, F. (2012). Eksistensi Pasar Tradisional di Kota Surakarta. Surakarta:
Tugas Akhir Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota Universitas
Sebelas Maret.
Sinulingga, B. D. (2005). Pembangunan Kota Tinjuan Regional dan Lokal.
Jakarta Indonesia: Pustaka Sinar Harapan.
Sirait, T. S. (2006). Identifikasi Karakteristik Pasar Tradisional Yang
Menyebabkan Kemacetan Lalu-Lintas Di Kota Semarang. Semarang:
Jurusan Perencanaan Wilayah Dan Kota .
Daftar Pustaka 255

Sitepu, R. K. (2011). Dampak Keberadaan Pasar Modern Terhadap Kinerja


Ekonomi Regional. QE Journal , vol 1(issue 1), 1-17.
Smith, J. W., & Floyd, M. F. (2013). The Urban Growth Machine, Central Place
Theory and Access to Open Space. Journal City Culture and Society, vol
4(issue 2), 87-98.
Soedarmono, S. (2008). Sar-GEDE HERITAGE SOLO LONG-LIVED .
Surakarta: http://soedarmono.blogspot.co.id/2008/12/sar-gede-heritage-
solo-long-lived.html.
Soemardjan, S. (1991). Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah
Mada Press.
Soendari, T. (2010). Pengujian Keabsahan Data Penelitian Kualitatif. Bandung:
Jurusan PLB FIP Universitas Pendidikan Indonesia.
solo4rt. (2008). Pasar Gedhe Hardjonagoro Solo. Surakarta:
http://solo4rt.blogspot.co.id/2008/10/pasar-gedhe-hardjonagoro-
solo.html.
Spaargaren, G. (2000). Lifestyle, Consumption and the Environment : The
Ecological Modernisation of Domestic Consumption. Environmental
Politics, vol 9(issue 1), 50-76.
Spradley, J. P. (1980). Participant Observation. Holt, Rinehart and Winston, 195
halaman .
Spreiregen, P. D. (1965). Urban Design: The Architecture of Towns and Cities.
McGraw-Hill.
Strauss, A., & Corbin, J. (2013). Dasar-Dasar penelitian Kualitatif Tata
Langkah dan Teknik Teoritisasi Data. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Stutterheim, W. (1956). Studies in Indonesian Archeology. Publication
commissioned and financed by the Netherlands Institute for International
Cultural Relations: The Haque, M. Nijhoff.
Sunoko, K. (2002). Perkembangan Tata Ruang Pasar Tradisional (Kasus Kajian
Pasar-pasar Tradisional di Bantul). . Yogyakarta: Thesis S2. Fakultas
Teknik. Universitas Gadjah Mada.
Suryadarma, D., Poesoro, A., Budiyati, S., Akhmadi, & Rosfadhila, M. (2007).
Impact of Supermarkets on Traditional Markets and Retailers in
Indonesia's Urban Centers. The SMERU Research Institute.
256 Pasar Tradisional: Kebertahanan Pasar Dalam Konstelasi Kota

Sutami, W. D. (2012). Strategi Rasional Pedagang Pasar Tradisional. Jakarta:


Biokultur.
Thunen JHV. Der Isolierte Staat-Von Thunen Isolated State Hall IP, editor.
London: Pergamon; 1842.
Tjiptoatmodjo, F. S. (1980). Struktur Birokrasi Mataram. Yogyakarta: Jurusan
Sejarah Fakultas Sastra UGM.
Toni, A. (2014). Eksistensi Pasar Tradisional Dalam Menghadapi Pasar Modern Di
Era Modernisasi. Jakarta: Retrieved April 22, 2014, from
www.stainumadiun.ac.id: http://www.stainumadiun.ac.id/wp-
content/uploads/2014/03/EKSISTENSI-PASAR-TRADISONAL-DALAM-
MENG.
Trancik, R. (1986). Finding Lost Space: Theories of Urban Design. New York: Van
Nostrand Reinhold.
Weber, M. (1994). Political Writings. Cambridge University Press.
Wikström, A. (2013). The Challenge of Change: Planning for social urban resilience
An analysis of contemporary planning aims and practices. Stockholm:
Department of Human Geography, Stockholm University.
Wiryomartono, B. (2000). Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Witkamp. (1922 ). Kromoblanda. Gravenshage.
Yosodipuro. (1922). Babad Giyanti. Surakarta.
Yuki, K. (2007). Urbanization, informal sector, and development. Journal of
Development Economics, vol 84(issue 1), 76–103.
Zahnd, M. (2008). Model Baru Perancangan Kota Yang Kontekstual (Vol. 3).
Yogyakarta, DI Yogyakarta, Indonesia: Kanisius.
Zaida, S. N., & Arifin, N. H. (2010). Surakarta: Perkembangan Kota Sebagai Akibat
Pengaruh Perubahan Sosial Pada Bekas Ibukota Kerajaan Di Jawa. Lansekap
Indonesia, 2(2), 83-92.
Zakariya, K., & Harun, N. Z. (2013). The People’s Dataran : Celebrating Historic
Square as A Potential Temporary Market Space. Procedia-Social and
Behavioral Sciences, vol 85(issue 3), 592-601.

Anda mungkin juga menyukai