Anda di halaman 1dari 94

Strategi City Branding

Eli Jamilah Mihardja, S.S., M.Si., Ph.D


Dr. Prima Mulyasari A., S.Sos., M.Si.
Dr. Tuti Widiastuti, S.Sos., M.Si
Ir. Dr. BP. Kusumo Bintoro, MBA

Penerbitan Universitas Bakrie Jl.


HR Rasuna Said Kav. C-22
Kuningan,
Penerbitan Universitas Bakrie Jakarta 12920
www.bakrie.ac.id
ii

Eli Jamilah Mihardja, S.S., M.Si., Ph.D


Dr. Prima Mulyasari A., S.Sos., M.Si.
Dr. Tuti Widiastuti, S.Sos., M.Si
Ir. Dr. B. P. Kusumo Bintoro, MBA

Strategi City Branding, −Jakarta: Penerbit Universitas Bakrie, 2019.


E-ISBN : 978-602-7989-26-9

@ Hak pengarang dan penerbit dilindungi Undang-undang


Cetakan Pertama, September 2019

Dicetak oleh: Penerbit Universitas Bakrie

Kredit gambar sampul depan:

https://vecteezy.com

Lay-Out/Atak: Agnes Setioningrum

Sanksi pelanggaran Pasal 72


Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002
Tentang HAK CIPTA
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat
(1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling
singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,
atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran
Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
hanya dengan perkenan-Nya buku Strategi City Branding ini dapat
diselesaikan.

Branding kini semakin populer. Branding tidak hanya disematkan


pada produk, seperti makanan, minuman, pakaian, perumahan, sekolah,
namun juga branding dilakukan diberbagai destinasi wisata, baik
destinasi wisata yang sudah lama ada, atau destinasi wisata yang baru
dibentuk. Bahkan untuk meningkatkan pendapatan daerah dan
peningkatan ekonomi masyarakat berbagai wilayah di Indonesia mem-
branding desa, kabupaten dan kota, yang diharapkan dapat menarik
wisatawan lokal dan mancanegera untuk berwisata.

Pemberian merek suatu kota diperlukan untuk memberikan


identitas bagi kota tersebut. Dengan adanya identitas, maka kota akan
memiliki ciri khas tersendiri yang idealnya tidak dimiliki oleh kota lain.
Kota yang tidak memilik keunikan tidak akan diingat, tidak memiliki
diferensiasi dan tidak akan bisa bersaing dengan kota lain. Dengan
merek yang kuat suatu kota bisa “menjual dirinya” dan membuka
lapangan kerja yang lebih luas, baik melalui keunggulan pariwisata
(kuliner, obyek wisata, kerajinan, seni budaya), sebagai pusat
pendidikan, maupun keunggulan industri yang berpotensi menarik minat
investor dalam dan luar negeri.
iv Pengantar

Destination branding bukanlah hal yang mudah, apalagi jika


banyak pihak terlibat dalam pembentukan dan pengelolaan destinasi
wisatanya. Pemetaan berbagai pihak yang terlibat penting dilakukan
untuk mengetahui pendapat, harapan, rasa memiliki dan tanggung
jawab terhadap keberlangsungan dan pengembangan destinasi wisata.
Proses penciptaan merek suatu wilayah bukanlah proses
sederhana yang dapat dilakukan dalam waktu singkat. Diperlukan
pemahaman yang komprehensif mengenai dinamika suatu kota yang
tercipta dari interaksi antara masyarakat, pemerintah, pelaku industri,
pendatang dan pemangku kepentingan lain. Pemetaan stakeholder
penting dilakukan untuk mengetahui dan menggali persepsi, harapan,
rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap keberlangsungan dan
pengembangan kota. Disamping itu potensi kota dari sisi sumber daya
alam dan budaya masyarakat setempat juga harus digali, sebelum
akhirnya dapat menetapkan keunikan yang dapat diolah untuk dijadikan
merek suatu kota.
Akhir kata, penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan
kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi dalam
penyelesaian buku ini. Penulis mohon maaf atas segala kekurangan
dalam buku ini. Kritik dan saran yang membangun, penulis harapkan
sebagai perbaikan di masa mendatang.

Jakarta, September 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Pengantar........................................................................................................................iii
Daftar Isi...........................................................................................................................v
Daftar Gambar..............................................................................................................vii
Daftar Tabel.................................................................................................................viii
I. Hal Ihwal City Branding......................................................................................1
1.1 Apakah City Branding?..................................................................................1
1.2 Definisi City Branding....................................................................................3
1.3 Sejarah Perkembangan Kajian City Branding................................................6
1.4 Signifikansi City Branding.............................................................................9
1.5 Contoh City Branding yang Sukses............................................................10
1.6 Bagaimana membuat City Branding.............................................................13
1.7 Stakeholder Penyusunan City Branding.....................................................20
II. Menyusun City Branding..................................................................................23
2.1 Analisis SWOT Potensi Daerah..................................................................27
2.2 Blueprint........................................................................................................31
2.3 Strategi Branding..........................................................................................34
2.4 Strategi Komunikasi.....................................................................................36
2.5 Implementation..............................................................................................38
III. Branding dan Marketing Kota…...................................................................43
3.1 Place Marketing.............................................................................................43
3.2 Place of Origin Branding.............................................................................44
3.3 Nation Branding............................................................................................44
3.4 Destination Branding.....................................................................................45
3.5 Culture/Entertainment Branding....................................................................50
3.6 Place/City Branding.......................................................................................50
3.7 Integrated Marketing Communication (IMC)..............................................54
3.8 Regional Branding.........................................................................................57
IV. Pemanfaatan Potensi Budaya dan Alam.........................................................59
vi Daftar Isi

4.1. Pembentukan Strategi City Branding dengan Memanfaatkan Potensi


Ekowisata (Studi di Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan)....................................63
V. Simpulan.............................................................................................................70
Daftar Pustaka..............................................................................................................67
Tentang Penulis..............................................................................................................79
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Tagline Kabupaten Ponorogo..........................................11


Gambar 1.2. Pendekatan Lima Langkah Moser.................................14
Gambar 2.1. Logo Kabupaten Trenggalek.............................................32
Gambar 2.2. Letter sign yang terdapat di Ambarawa Jawa Tengah..39
Gambar 2.3. Slogan Kota Amsterdam yang dijadikan sebagai landmark
ikonik..............................................................................39
Gambar 3.1. Aspek-Aspek Kekuatan Brand Destinasi........................46
Gambar 3.2. Tabel Fase Destination Branding.....................................48
Gambar 3.3. The Components of Promotion........................................55
Gambar 4.1 Bagan Pemetaan Strategi City Branding dengan
Memanfaatkan Potensi Ekowisata, perspektif
Stakeholder.....................................................................66
Gambar 4.2. Bagan Pemanfaatan Potensi Ekowisata sebagai Strategi
City Branding
.....................................................................................
69
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Stakeholders Internal dan Eksternal.....................................22


Tabel 4.1. Kerangka Kerja Brand Kota Sumber: Branding Tempat:
Membangun Kota, Kabupaten, dan Provinsi Berbasis
Identitas.............................................................................61
Hal Ihwal City 1

Bab 1
HAL IHWAL CITY
BRANDING

1.1 Apakah City Branding?


City branding adalah topik yang sangat menarik bagi akademisi dan
talenta, serta untuk mencapai banyak tujuan lain, konsep strategi merek
semakin diadopsi dari dunia komersial dan diterapkan dalam mengejar
pembangunan perkotaan, regenerasi dan kualitas hidup. Sebagian besar
penelitian yang dipublikasikan kepada city branding berasal dari disiplin
ilmu pemasaran dan studi perkotaan, dua bidang yang cenderung mengikuti
paralel daripada jalur interdisipliner. Ketertarikan pada city branding
dapat dilihat sebagai bagian dari pengakuan yang lebih luas bahwa
tempat-tempat dari semua jenis dapat memperoleh manfaat dari
penerapan strategi yang koheren terkait dengan pengelolaan sumber daya,
reputasi, dan citra mereka.

Teori city branding masih dalam fase muncul. Selama beberapa


tahun terakhir, telah terjadi peningkatan jumlah penelitian ilmiah yang
diterbitkan dalam domain branding kota. Peningkatan minat ini dapat
diperkirakan akan terus berlanjut selama tahun-tahun mendatang karena
persaingan antar kota semakin meningkat untuk daya tarik bakat,
promosi pariwisata, penyelenggaraan acara olahraga dan budaya, daya
tarik investasi, dan banyak tujuan lain yang ingin dicapai oleh kota
dalam mencapai tujuan
2 Hal Ihwal City

mereka. pencarian untuk pengembangan dan regenerasi kota. Di masa


depan pendekatan yang lebih lintas disiplin harus menjadi lazim di
bidang branding kota, yang mencerminkan perlunya keragaman perspektif
teoretis untuk menangkap kompleksitas penuh dan sifat multidimensi
branding kota. (Dinnie, 2011).

City branding merupakan sebuah slogan atau kampanye promosi,


suatu gambaran dari pikiran, perasaan, asosiasi dan ekspektasi yang
datang dari benak seseorang ketika seseorang tersebut melihat atau
mendengar sebuah nama, logo, produk layanan, event, ataupun berbagai
simbol dan rancangan yang menggambarkan sebuah kota atau wilayah.
Dalam 10 tahun terakhir, beberapa kota besar di Indonesia telah
menerapkan konsep city branding. Sebagai tidak lanjut dari program
pariwisata Indonesia yang dikonsepkan oleh Departemen Kebudayaan
dan Pariwisata pada 2008 dengan meluncurkan branding “Visit
Indonesia“, beberapa daerah di Indonesia menerapkan konsep city
branding melalui logo dan slogan baru. Diantaranya Bali dengan
“Shanti, Shanti, Shanti”, Yogyakarta dengan “Jogja Never Ending
Asia”, Surakarta dengan “Solo The Spirit of Java”, Jawa Tengah dengan
“Passion Strength Herritage”, DKI Jakarta dengan “Enjoy Jakarta”,
Manado yang pada even World Ocean Conference menggunakan brand
“Sail Bunaken“, Semarang dengan “Semarang The Beauty of Asia”.

Penggunaan slogan dan logo baru sebagai salah satu komponen city
branding pada akhirnya menjadi sebuah trend dan menjadi kebutuhan
mendesak bagi sebagian besar kota di Indonesia. Sebagai
konsekuensinya pemerintah selaku pemegang dan pelaksana
kebijakan, sering kali
Hal Ihwal City 3

melakukan strategi city branding tanpa memperhatikan aspek-aspek


mendasar. Pada akhirnya branding yang dilakukan tidak mencerminkan
nilai-nilai yang dimiliki oleh kota tersebut. (http://blog.unnes.ac.id/
rahinadkv/2016/04/01/peran-akademisi-dalam-kontruksi-city-branding/
Diakses pada 14 Januari 2019).

Fenomena city branding di Indonesia sedang menjadi tren (Riyadi,


2009). Berbagai alasan pun menjadi latar belakangnya. Seperti
meningkatkan daya saing daerah, agar lebih dikenal, mengangkat potensi
daerah, adanya keinginan tiap daerah untuk menjadi sebuah tempat
tujuan dan menambah penghasilan asli daerah. Dinnie (2011)
menyatakan bahwa kota dan kota-kota besar lainnya saat ini sedang
bersaing membangun city branding. Mengkonstruksi city branding
bukanlah hal yang mudah karena idealnya tiap daerah harus memilih
potensi yang paling unik atau baru untuk diangkat. Banyak daerah yang
belum menyadari potensi unggulan daerahnya. Beberapa daerah yang
memilih potensi unggulan untuk dikembangkan sebagai icon branding
namun karena ada kemiripan dengan potensi daerah-daerah lain
membuatnya tidak cukup kuat menjadi sebuah brand.

1.2 Definisi City Branding


City branding merupakan sebuah proses dari sebuah branding. City
branding adalah strategi yang membuat suatu tempat ‘berbicara’ kepada
masyarakat. Kavaratzis menjelaskan bahwa: “City Branding dipahami
sebagai sarana untuk mencapai keunggulan kompetitif dalam rangka
untuk meningkatkan investasi dari pariwisata, dan juga sebagai
pencapaian
4 Hal Ihwal City

pembangunan masyarakat. Memperkuat identitas lokal dan identitas


warga dengan kota mereka dan mengaktifkan semua kalangan sosial
demi menghindari pengucilan dan kerusuhan sosial. (Yananda, dan
Salamah, 2014, hlm 34)

City branding dapat diartikan sebagai sebuah proses pembentukan


merek kota atau suatu daerah agar dikenal oleh target pasar (investo
tourist, talent, event) kota tersebut dengan menggunakan ikon, slogan,
eksibisi, serta positioning yang baik, dalam berbagai bentuk media
promosi. Sebuah city branding bukan hanya sebuah slogan atau
kampanye promosi, akan tetapi suatu gambaran dari pikiran, perasaan,
asosiasi dan ekspektasi yang datang dari benak seseorang ketika
seseorang tersebut melihat atau mendengar sebuah nama, logo, produk
layanan, event, ataupun berbagai simbol dan rancangan yang
menggambarkannya. Konsep city branding merupakan tujuan dari
sebuah citra yang merupakan strategi dari suatu kota untuk membuat
positioning di benak target sasaran. Bukan hanya itu, city branding juga
memasukkan ruh dari kota itu sendiri. (Putra, 2015, hlm. 15)

Menurut Gustiawan (2011) mendefinisikan city branding sebagai


strategi dari suatu negara atau daerah untuk membuat positioning yang kuat
di dalam benak target pasar mereka, seperti layaknya positioning sebuah
produk atau jasa, sehingga negara dan daerah tersebut dapat dikenal
secara luas di seluruh dunia.
(http://blog.unnes.ac.id/rahinadkv/2016/04/01/peran- akademisi-dalam-
kontruksi-city-branding/ Diakses pada 14 Januari 2019)

Yeoman et al (2004) menyatakan bahwa “In this, the city – the


place must be seen as the product consumed‟. Kavaratzis (2004)
mengatakan bahwa dalam mengelola city brand memiliki kesamaan
dengan mengelola
Hal Ihwal City 5

brand perusahaan. City branding adalah strategi yang membuat suatu


tempat berbicara‟ kepada masyarakat (Yananda dan Salamah, 2014).
Dalam strategi city branding, sebuah kota tampak seperti berkomunikasi
dengan masyarakat mengenai dirinya. City branding mengalami proses
branding yang kompleks. Seperti yang dinyatakan oleh Kavaratzis &
Ashworth (2005) yaitu “An immediate, persistent and convincing
objection to this whole line of argument is that places are just too
complex to be treated like products‟. Kavaratzis (2004), mengatakan
bahwa city branding dipahami sebagai sarana untuk mencapai
keunggulan kompetitif dalam rangka untuk meningkatkan investasi dan
pariwasata, dan juga sebagai pencapaian pembangunan masyarakat.
Memperkuat identitas lokal dan identifikasi warga dengan kota mereka
dan mengaktifkan semua kalangan sosial demi menghindari pengucilan
dan kerusuhan sosial.

Menurut Miller dan Herington (2009), city branding adalah tentang


tata cara berkomunikasi yang tepat untuk membangun merek kota,
daerah, masyarakat yang tinggal didalamnya berdasarkan pasar entitas
mereka. Sedangkan menurut pandangan Murfianti (2010), city branding
banyak digunakan oleh kota–kota dunia dalam upaya meningkatkan atau
mengubah citra suatu tempat/wilayah/ kota, dengan menonjolkan
kelebihan dan keunikan daerah tersebut. City branding adalah tentang
tata cara berkomunikasi untuk membangun city brand, mengedepankan
kelebihan dan keunikan serta identitas lokal untuk mencapai
keunggulan yang kompetitif dan meningkatkan investasi, citra kota,
kunjungan wisata dan pembangunan masyarakat.
6 Hal Ihwal City

1.3Sejarah Perkembangan Kajian City


Branding
American Marketing Association mendefinisikan brand atau merek
sebagai “nama, istilah, tanda, simbol, atau desain, atau kombinasi dari
keseluruhannya yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau
jasa dari penjual atau sekelompok penjual, agar dapat dibedakan dari
kompetitornya” (Keller, 1998:2; Shimp, 2000:8). Menurut Shimp
(2000:7) mengemukakan bahwa brand atau merek adalah label yang tepat
dan layak untuk menggambarkan suatu obyek yang dipasarkan. Sebuah
merek adalah produk atau jasa penambah dimensi yang dengan cara
tertentu mendiferensiasikannya dari produk atau jasa lain yang
dirancang untuk memuaskan kebutuhan yang sama (Kotler & Keller,
2007:332).

Fungsi brand yang paling mendasar adalah fungsi diferensiasi.


Adapun branding, berarti suatu aktivitas menciptakan brand. Aktivitas
branding identik dengan penciptaan merek produk, karena memang
pada awalnya merupakan temuan ilmu pemasaran yang diterapkan pada
produk/jasa. Namun seiring pertumbuhan kapitalisme global, branding
tidak hanya dilakukan terhadap produk atau jasa, branding dapat
dilakukan pada korporat (corporate branding), event (event branding),
seseorang (personal branding), dan juga suatu tempat
(place/city/region/nation branding).

Menurut Yananda & Salamah (2014:1) menyatakan bahwa City


branding adalah perangkat pembangunan ekonomi perkotaan yang
dipinjam dari praktik-praktik pemasaran oleh para perencana dan
perancang kota beserta semua pemangku kepentingan. Sebagaimana
produk, jasa dan organisasi, kota membutuhkan citra dan reputasi yang
kuat dan berbeda
Hal Ihwal City 7

demi mengatasi persaingan kota memperebutkan sumber daya ekonomi


di tingkat lokal, regional, nasional dan global. Aktivitas branding
merupakan temuan ilmu pemasaran, dan dengan sendirinya city/place
branding merupakan salah satu program dari city/place marketing
(pemasaran tempat/kota), city branding memiliki pemangku
kepentingan yang lebih kompleks daripada product/corporate branding,
yang kesemuanya itu harus mampu dan bersedia untuk berkolaborasi.

Dalam persaingan global, Kavaratzis dan Ashworth (2005) mengatakan


bahwa city branding adalah upaya untuk memposisikan kota ditengah
persaingan global yang intens sebagai tanggapan terhadap dinamika
ekonomi, politik dan sosial. Sehingga kota-kota perlu melakukan city
branding karena banyak keuntungan yang akan diperolehnya yaitu
kota/daerah dapat dikenal luas (high awareness). Untuk tujuan-tujuan
khusus (specific purposes), kota dipandang tepat untuk tempat investasi,
tujuan wisata, tujuan tempat tinggal, tempat penyelenggaraan
kegiatan/events, serta dipersepsikan sebagai tempat dengan kemakmuran
dan keamanan yang tinggi.

Eshuis dan Klijn (2012) mengatakan bahwa city branding menjadi


strategi baru dalam bidang pemerintahan dan belum diterapkan secara
luas dalam proses pemerintahan. Jika mengingat persaingan globalisasi
dan keuntungan yang diperoleh, maka city branding menjadi penting
untuk dilakukan pemerintah maupun pihak yang mempunyai
kepentingan terhadap eksistensi suatu kota agar tidak tergerus arus
globalisasi. Kota secara konsisten dapat mengkomunikasikan dan
menunjukkan tujuan dari city branding. Konsistensi dalam city branding
penting dilakukan agar tidak
8 Hal Ihwal City

memunculkan kebingungan masyarakat terhadap city brand-nya. Suatu


tempat/kota dapat memunculkan keunikannya dan dapat tampil berbeda
dengan para kompetitornya. Keunikan tidak hanya dalam slogan saja,
namun dalam kemampuan menawarkan sesuatu yang berbeda dan
mengkristalisasi sebagai identitas yang kuat dalam benak khalayaknya.

Menurut Sugiarsono (2009) dalam membuat sebuah city branding,


terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi, diantaranya:

1. Attributes: Do they express a city’s brand character, affinity, style,


and personality? (menggambarkan sebuah karakter, daya tarik,
gaya dan personalitas kota).
2. Message: Do they tell a story in a clever, fun, and memorable way?
(menggambarkan sebuah cerita secara pintar, menyenangkan dan
mudah atau selalu diingat).
3. Differentiation: Are they unique and original? (unik dan berbeda
dari kota-kota yang lain)
4. Ambassadorship: Do they inspire you to visit there, live there, or
learn more? (menginsipirasi orang untuk datang dan ingin tinggal
di kota tersebut)

(http://blog.unnes.ac.id/rahinadkv/2016/04/01/peran-akademisi-dalam-
kontruksi-city-branding/ Diakses pada 14 Januari 2019)

City branding mengadaptasi dari corporate branding, maka city


branding dipahami sebagai jaringan asosiasi atau persepsi di dalam
benak konsumen (wisatawan, investor, dan lain sebagainya), sehingga
city branding dapat didefinisikan sebagai sebuah jaringan asosiasi di
dalam benak konsumen, yang didasarkan atas visual, verbal, serta
ekspresi
Hal Ihwal City 9

behavorial dari suatu tempat, yang diwujudkan melalui tujuan,


komunikasi, nilai-nilai, dan budaya umum stakeholder, serta desain
tempat/kota secara keseluruhan (Zenker & Braun, 2011; Yananda &
Salamah, 2014:62).

1.4 Signifikansi City Branding


City Branding (Citra kota) adalah upaya strategi dari suatu kota
untuk membuat positioning yang kuat di regional maupun global.
Setiap kota adalah suatu sistem berbeda dan setiap komponennya
melakukan penetrasi dan bersinggungan satu sama lainnya yang
terefleksikan pada kesan ruang tersebut (Florek et al., 2006). Beberapa
kota melakukan strategi dengan menerapkan City Branding. Hal ini
dianggap menguntungkan bagi para pemangku kepentingan. Menurut
Handito (dalam Sugiarsono, 2009) menyatakan tujuan city branding
dilakukan yaitu:

1. Memperkenalkan kota/daerah lebih dalam


Penerapan City branding, suatu kota akan memperkenalkan
dirinya lebih dalam, karena pihak eksternal harus mengetahui
keberadaan suatu kota. Yang kemudian peningkatan kunjungan
terhadap suatu kota semakin tinggi.

2. Memperbaiki citra
Citra suatu kota yang sudah dinilai buruk oleh pengunjung
maupun penduduk kota sendiri, cukup sulit suatu kota memiliki daya
tarik bagi pihak yang berkepentingan, namun salah satu strategi
mengembalikan citra positif kota yaitu dengan city branding yang
diimbangi dengan
1 Hal Ihwal City

implementasi komprehensif, maka akan meningkatkan daya tarik


kota sebagai tujuan para pemangku kepentingan.

3. Menarik wisatawan asing dan domestik


penerapan city brand yang tepat dapat menarik pemangku
kepentingan eksternal kota termasuk wisatawan domestik maupun
asing, hal ini dikarenakan wisatawan memandang merek merupakan
pembeda satu dengan yang lainnya sehingga akan memilih suatu tempat
dengan keunikan atau ciri khas yang tidak dimiliki oleh kota lain

4. Menarik minat investor untuk berinvestasi


Tujuan lain dari city branding untuk mendapatkan investasi guna
meningkatkan pengembangan kota baik itu dari sektor ekonomi,
sosial, atau yang lainnya.

5. Meningkatkan perdagangan
Melalui penerapan city branding suatu kota akan dikenal luas
oleh masyarakat baik itu di dalam negeri maupun luar negeri. Maka
akan tercipta suatu transaksi yang dilakukan oleh pihak eksternal
kota maupun pihak internal kota yang menyebabkan terjadinya
peningkatan perdagangan.

1.5 Contoh City Branding Yang Sukses


Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu daerah di Indonesia yang
menerapkan city branding dalam mengenalkan potensi wilayahnya.
Kabupaten Ponorogo dengan luas 1.371,78 km² memiliki potensi wisata
yang cukup banyak. Kebudayaan dan adat-istiadat masyarakat Ponorogo
Hal Ihwal City 1

dipengaruhi oleh kebudayaan dan adatistiadat masyarakat Jawa Tengah.


Beberapa budaya masyarakat Ponorogo adalah Larung Risalah Do'a,
Grebeg Suro, dan Kirab pusaka. Ponorogo memiliki potensi wisata
diantaranya adalah tempat tempat wisata alam, seni budaya, wisata religi
dan kuliner. Dalam hal wisata alam Ponorogo memiliki banyak destinasi
seperti Telaga Ngebel, wisata gunung Beruk, wisata tanah goyang, dan
beberapa air terjun. Kabupaten Ponorogo memiliki. Di dunia kuliner,
Ponorogo memiliki makanan khas sate Ponorogo yang berbeda dengan sate
daerah lainnya. Kabupaten Ponorogo menggunakan tagline dan logo
untuk memasarkan pariwisatanya seperti yang dilakukan di daerah daerah
lainnya.

Gambar 1.1. Tagline Kabupaten Ponorogo


Sumber:
http://www.pariwisata.ponorogo.go.id

Logo dan tagline dibuat dengan tujuan untuk memperkuat brand.


Ponorogo memiliki tagline “Ethnic Art of Java”.Tagline ini memberikan
makna bahwa Ponorogo mempunyai keunikan tersendiri dibandingkan
dengan kota yang lainnya khususnya dibidang seni budaya. Kabupaten
Ponorogo melakukan branding dan promosi dengan tujuan untuk
mencapai target kunjungan wisatawan. Kepala Dinas Pariwisata
Kebudayaan Pemuda dan Olahraga (DISPAPORA) Ponorogo, Sapto
Jatmiko, mengatakan bahwa
1 Hal Ihwal City

jumlah wisatawan yang datang ke Ponorogo pada tahun 2016 sebanyak


890.000 orang.

Proses perencanaan city branding Ponorogo juga melewati proses


penetapan tujuan, kajian terkait potensi Ponorogo yang kemudian
menghasilkan logo dan tagline “Ethnic Art of Java”, mempersiapkan
Sumber Daya Manusia (SDM) dan destinasi wisata. Keduanya baik
SDM ataupun destinasi merupakan dua hal yang saling mendukung.
Destinasi merupakan tujuan atau obyek yang akan dikunjungi
pengunjung yang apabila kondisinya tidak baik atau tidak ada fasilitas
yang menunjang, hal itu akan mengecewakan pengunjung. Begitupun
dengan SDM yang berperan dalam mempersiapakn destinasi ataupun
masyarakat yang nantinya akan berhubungan langsung dengan
pengunjung.

Pihak dalam organisasi yang bersinergi dalam city branding Kabupaten


Ponorogo yaitu Kepala Dinas beserta jajarannya. Dalam hal promosi
atau mengenalkan branding, secara teknis memang yang bertanggung
jawab adalah Bidang Pengembangan Produk dan Promosi, namun dari
segi isi atau makna city branding sendiri merupakan hasil dari pemikiran
semua bagian. Masing-masing bidang dalam DISPAPORA yang saling
mendukung seperti pada Bidang Kebudayaan yang bertanggung jawab
segala urusan terkait seni dan budaya, Bidang Atraksi yang bertanggung
jawab dalam hal atraksi pariwisata dan Bidang Sarana yang bertanggung
jawab dalam hal hiburan malam, hotel dan restoran. Terdapat pula
Bidang Pengembangan yang bertanggung jawab dalam hal Obyek Daya
Tarik Wisata (ODTW) yang apabila mereka membangun sebuah obyek
mereka harus membawa dan bertanggung jawab terhadap branding.
Hal Ihwal City 1

Semua bidang tersebut memiliki peran dalam hal mensosialisasikan dan


menjalankan branding yang telah disepakati. Pihak lain yang juga berperan
dalam city branding Ponorogo adalah Bupati Ponorogo dan beberapa
jajaran institusi yang terkait karena Pariwisata merupakan sektor yang selalu
berhubungan dengan lainnya dan tidak bisa berdiri sendiri.
Pengembangan pariwisata memiliki hubungan dengan pengembangan
UKM, penunjang sarana prasarana, perizinan dan lain sebagainya maka
dalam menjalankan city branding Ponorogo terdapat beberapa instansi
terkait yang berkerjasama dengan DISPAPORA.

Jumlah kunjungan wisatawan di Ponorogo dari tahun ke tahun


mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena geliat kegiatan-kegiatan
yang dirangkum dan dilaksanakan dalam rangka branding Kabupaten
Ponorogo. Pada tahun 2015 kunjungan wisatawan ke Ponorogo
mencapai
249.294 pengunjung. Pada tahun 2016 kunjungan wisatawan di
Kabupaten Ponorogo mengalami peningkatan mencapai angka 345.818
pengunjung. Peningkatan ini terjadi khususnya di wisatawan lokal.
DISPAPORA mengakui bahwa untuk kunjungan wisatawan
mancanegara Kabupaten Ponorogo belum sesuai harapan meskipun sudah
mulai terlihat khususnya di agenda Grebeg Suro.

1.6 Bagaimana membuat City Branding


Mike Moser, seorang praktisi periklanan dengan agensinya Goldberg
Moser O’Neill menawarkan suatu pendekatan dalam menciptakan brand
yang kohesif. Dalam bukunya yang berjudul United We Brand, Moser
(2008), menawarkan lima langkah praktis dalam menciptakan brand,
yang
1 Hal Ihwal City

memiliki kecenderungan pada penciptaan brand korporat. Lima langkah


Moser tersebut dibagi menjadi :
1) Menciptakan nilai merek inti,
2) Menciptakan pesan merek inti,
3) Menentukan kepribadian merek,
4) Menentukan ikon merek, dan
5) Menentukan kepribadian merek.

Gambar 1.2 Pendekatan Lima Langkah Moser


Sumber: Moser. 2008. Moser, M, (2006), United We Brand: Menciptakan
Merek Kohesif yang Dilihat, Didengar, dan Diingat,

A. Menentukan Nilai Merek Inti


Kota Nilai adalah ukuran derajat tinggi-rendahnya atau kadar
yang dapat diperhatikan, diteliti, atau dihayati dalam berbagai obyek
yang bersifat fisik (kongkret) maupun abstrak (Kartika, 2004:20).
Moser menyebutnya sebagai identitas internal yang ditentukan oleh
nilai-nilai yang menurut perusahaan/pemangku kepentingan kota
integral dengan eksistensinya, dan menjadi “sumber” dimana seluruh
aspek lain dari brand korporat/kota secara ideal akan mengalir.
Karena merupakan
Hal Ihwal City 1

identitas internal, maka nilai ini bersumber kepada stakeholder


internal city branding.

Nilai merek inti merupakan fondasi utama dari brand, dalam


konteks kota, ia merupakan identitas kota. Untuk menemukan nilai
inti merek, (Moser, 2008) mengajukan saran untuk memulainya
dengan menemukan nilai-nilai yang potensial pada korporat/kota
dengan jalan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

1) Nilai mana yang sangat melekat dengan perusahaan/kota, yang


apabila dihilangkan, kota tidak akan lagi menjadi sebagaimana
saat ini?
2) Nilai mana yang secara konsisten digenggam erat oleh
perusahaan (dalam konteks city branding, perusahaan dapat
digantikan oleh stakeholder internal) dalam menghadapi segala
hambatan? Nilai ini merupakan yang dipertahankan dalam
segala macam situasi yang penuh tekanan.
3) Apakah kata bergairah terlintas di benak stakeholder ketika
membaca sebuah nilai dan menerapkannya ke warga
masyarakat kota? Nilai ini merupakan suatu ikatan emosional
antara warga dengan kotanya.
4) Nilai manakah yang merupakan nilai budaya? Nilai tersebut
merupakan nilai yang telah membudaya dan telah menjadi ciri
khusus sebuah kota. Disamping itu untuk mendapatkan data
mengenai nilai potensial kota dapat juga meninjau enam saluran
atau aktivitas kota.
1 Hal Ihwal City

Anholt (2011, dalam Yananda & Salamah, 2014:70)


mengemukakan keenam area aktivitas tersebut adalah 1) Kegiatan
promosi turisme, 2) Barang dan jasa yang diekspor, 3) Kebijakan
pemerintah, 4) Hal-hal terkait bisnis dan investasi, seperti
ketenagakerjaan, perusahaan asing, 5) Pertukaran budaya, dan 6) Warga
kota itu sendiri. Nilai potensial kota, dapat diinterpretasi dari data-
data yang didapat dari observasi, dokumentasi, dan wawancara
kepada pemangku kepentingan internal terkait dengan enam aspek
tersebut.
Untuk memastikan nilai inti kota yang diperoleh dari survey
tersebut benarbenar representatif, dapat dilakukan observasi terhadap
fenomena masyarakat kota, seperti interaksi sosial, struktur
masyarakat, fenomena budaya, tindakan berpola, dan lain sebagainya
terkait dengan sosiologi perkotaan. Dari nilai merek inti kota, dan
data-data yang didapat dari stakeholder internal, maka dapat
disimpulkan bahwa kota tersebut terspesialisasi untuk suatu aktivitas
layanan tertentu, atau dengan kata lain merepresentasikan suatu
tipologi kota baru.
Adapun tipologi kota baru, seperti yang diungkapkan oleh
Nallari, Griffith dan Yusuf (2012:56, dalam Yananda & Salamah,
2014:22- 32), yaitu:
1) Kota Pengetahuan (Knowledge Cities) Merupakan kota dengan
keunggulan pembangunan ekonomi yang terletak pada basis
pengetahuan. Pengetahuan dimaknai sebagai area daya saing
kota di tingkat lokal, regional, dan juga nasional. Pengetahuan
dapat mengambil bentuk dalam investasi pada research and
development (R&D), angkatan kerja memiliki kompetensi,
wirausahawan berkompetensi, atau ketiganya.
Hal Ihwal City 1

2) Kota Kreatif (The Creative City) Adalah kota yang memiliki


konteks spasial terkait kreatifitas, pencarian kreatifitas
individual dan industri, serta menyarankan potensi
pembangunan ekonomi. Kota kreatif merupakan rumah bagi
“kelas kreatif” yang berfungsi sebagai agen perubahan
struktural, revitalisasi ekonomi, fasilitator kemitraan publik dan
privat, serta sebagai sumber cerita sukses perkotaan.
3) Kota Global (Global City) Kota global merupakan sebuah kota
yang kompleks, dan membuat norma yang baru. Kota global
memiliki tingkat pluralitas yang sangat tinggi, budaya toleransi,
dan pusat pergaulan internasional. Tokyo merupakan salah satu
dari kota global di dunia.
4) Kota Hijau/Kota Ekologi (Green/Eco City) Merupakan kota
yang merepresentasikan tantangan dan kesempatan bagi
kebijakan perubahan iklim.
5) Kota Pintar (Smart City) Merupakan kota yang tumbuh dari
kemajuan teknologi dan inovasi. Pada sebuah negara maju,
negara hanya memiliki beberapa smart city sebagai pusat
inovasi dan industri teknologi.
B. Menentukan Pesan Merek Inti Kota
Pesan merek inti adalah pesan kunci yang akan dikomunikasikan
oleh perusahaan (kota) kepada seluruh audiensinya (Moser, 2006:37).
Dalam konteks iklan ataupun pemasaran, pesan merupakan sesuatu
yang disampaikan kepada target audience, yang dalam konteks city
branding, tidak lain merupakan sebagian dari stakeholder eksternal
(wisatawan, calon investor, pendatang potensial, dan sebagainya).
1 Hal Ihwal City

Dalam konteks periklanan, suatu kampanye periklanan pertama-tama


yang paling penting adalah “apa yang ingin disampaikan” (menyangkut
isi pesan), kemudian “bagaimana cara menyampaikan” (menyangkut
bentuk pesan). Isi pesan (content) merupakan hal yang paling
penting dalam periklanan, karena merupakan jiwa (roh) yang akan
menggerakkan periklanan dalam mempengaruhi target audiens, agar
bertindak sesuai dengan pesan yang disampaikan.
Di dalam isi pesan berisi “pokok-pokok pikiran” untuk
menetapkan dasar tema dan pendukung tema yang akan diangkat
dalam kampanye periklanan (Sanyoto, 2006:85-86). Adapun secara
umum, bentuk pesan dapat berupa pesan visual dan pesan verbal.
Dalam city branding, pokok-pokok pikiran dalam isi pesan
dirumuskan dari analisis persepsi vs realitas kota, analisis SWOT,
Unique Selling Preposition (USP), dan positioning.
C. Menciptakan Kepribadian Merek Kota
Kepribadian merek, atau brand personality, merupakan
seperangkat karakteristik manusia yang diasosiasikan dengan
sebuah brand. Kepribadian merek kota dapat menjadi poin pembeda
(diferensiasi) yang membedakan suatu kota dengan kota yang lain.
Kepribadian merek akan terkait dengan cara menyampaikan suatu
pesan (bentuk pesan), layaknya seorang manusia yang sedang
berbicara, tentunya juga memiliki ciri dan sifat khas, dan dari cara
seseorang tersebut berbicara, dapat diketahui bagaimana
kepribadiannya. Dalam penentuan kepribadian kota, peran
pemimpin kota sangatlah berpengaruh, karena meskipun tidak
sepenuhnya, namun dapat dikatakan kepribadian sebuah kota adalah
kepribadian pemimpinnya.
Hal Ihwal City 1

Dalam menetapkan kepribadian merek kota, sebaiknya dihindari


menetapkan kepribadian “ideal” yang tidak realistis. Kepribadian
kota, disamping analog dengan kepribadian pemimpinnya, juga
harus suatu kepribadian yang jujur dan tulus (kepribadian sejati),
tidak dibuat-buat, atau dengan kata lain memang bersumber dari
nilai merek inti kota. Kepribadian ideal yang tidak realistis biasanya
akan muncul pada sesi brainstorming, semua pihak menginginkan
idealisasi yang menciptakan kepribadian merek yang terlalu bagus
untuk menjadi nyata (Moser, 2006:73). Kepribadian yang tidak
realistis disini bermakna tantangan untuk mewujudkannya terlalu
berat, atau “muluk-muluk”.
D. Menciptakan Ikon Merek Kota
Ikon dalam perpektif Moser, secara harfiah terkait dengan indera
penglihatan, sesuatu yang unik bagi merek, dan sebagai sesuatu
yang dapat memberikan gambaran tentang merek (Moser, 2006:91).
Ikon, menurut Moser dibagi menjadi: 1) Ikon visual (Logo,
produk/kemasan, warna, tipografi, desain dan layout, teknik visual,
arsitektural unik), 2) Ikon suara (Sulih suara, musik, mnemonik), 3)
Ikon sentuhan (desain dan bentuk, tekstur, suhu), 4) Ikon aroma, dan
5) Ikon rasa.
Menurut Budiman (2011:78) menyatakan bahwa ikon adalah
tanda yang didasarkan atas “keserupaan” atau kemiripan diantara
representamen dan objeknya, namun tidak semata-mata mencakup
citra- citra “realistis” seperti pada lukisan atau foto, melainkan juga
ekspresi seperti grafik-grafik, skema, peta geografis, persamaan
matematis, bahkan metafora.
2 Hal Ihwal City

E. Peta Jalan Merek


Dalam lima langkah penciptaan brand Moser, langkah yang
terakhir yakni menciptakan peta jalan (roadmap) bagi merek/brand.
Tujuan dari dibuatnya peta jalan merek ini adalah sebagai panduan
bagi stakeholder agar konsisten dengan city branding yang telah
dilakukan. ((http://journal 2.um.ac.id/index.php/ dart/article/view/183
Diakses pada 14 Januari 2019)

Mapping Survey
Membangun city branding yang kuat dibutuhkan perencanaan yang
matang. Gelder (2003) menyebutkan ada beberapa langkah utama dalam
membangun dan merencanakan city branding yaitu mapping survey,
langkah ini meliputi survei persepsi dan ekspektasi tentang suatu daerah,
baik dari masyarakat daerah itu sendiri maupun pihak-pihak luar yang
mempunyai keterkaitan dengan daerah itu.

1.7 Stakeholder Penyusunan City Branding


Freeman (1984:25) mendefinisikan stakeholder sebagai “any group
or individual who can affect or be affected by the achievement of an
organization’s objective”. Stakeholder merupakan kelompok maupun
individu yang dapat memengaruhi atau dipengaruhi oleh proses
pencapaian tujuan suatu organisasi. stakeholder dalam city branding
dibagi menjadi dua, yaitu stakeholder internal (dalam kota) dan
stakeholder eksternal (luar kota). Pembagian stakeholder internal dan
eksternal ini merupakan analogi dari branding organisasi dan korporat,
seperti yang diungkapkan oleh Kasali
Hal Ihwal City 2

(dalam Wibisono, 2007:90), bahwa Stakeholders internal adalah


stakeholders yang berada di dalam lingkungan organisasi.

Dalam konteks city branding, stakeholder internal adalah para


pemangku kepentingan yang berada di dalam kota, misalnya Pemerintah
Kota, aparatur/dinas terkait dalam kota, pelaku bisnis/sektor privat (baik
umkm maupun bisnis skala menengah ke besar/korporat),
pendidik/akademisi (berasal dari sekolah/universitas dalam kota), seniman
& budayawan lokal, dan masyarakat secara umum yang masih dapat
diklasifikasikan lagi menurut peran masing-masing (pekerja, pelajar, ibu
rumah tangga, dan sebagainya. Begitu juga dengan pelaku bisnis dalam
kota yang masih dapat diklasifikasikan lagi berdasarkan jenis usaha
yang dijalankan (travel agent, hotel, printing, kuliner, dan sebagainya).

Adapun stakeholder eksternal adalah para pemangku kepentingan yang


berasal dari luar kota, misalnya seperti Pemerintah provinsi/pusat, calon
investor, calon pendatang potensial (pelajar/pekerja), wisatawan (asing
maupun domestik), dan lain sebagainya. Pada kenyataanya, setiap kota
memiliki karakter dan ciri khas sosio-kultural yang berbeda-beda, dan tidak
menutup kemungkinan memiliki elemen stakeholder yang berbeda pula,
bergantung pada kecenderungan kota tersebut.
2 Hal Ihwal City

Stakeholders
Internal Eksternal
1. Pemerintah Kota 1. Pemerintah Pusat/Propinsi
2. Disbudpar/dinas terkait 2. Calon investor
3. Pelaku UMKM & pelaku bisnis, 3. Wisatawan asing dan
terutama produsen produk khas domestik
kota (City of Origin) 4. Calon pendatang potensial
4. Akademisi (pelajar maupun pekerja)
5. Agamawan 5. Distributor/retailer luar
6. Seniman/budayawan kota untuk produk khas
7. Travel agent, pengelola wisata & kota.
Hospitality 6. Pemasok bahan baku dari
8. Organda luar kota
9. Komunitas lokal 7. Luar negeri
10. Media massa lokal 8. Dsb.
11. Masyarakat pada umumnya.
12. Dsb.

Tabel 1.1 Stakeholders Internal dan Eksternal


Sumber: Freeman, R. Edward. 1984. Strategic Management: A
Stakeholder Approach. Boston: Pitman
Menyusun City 2

Bab 2
MENYUSUN CITY
BRANDING

Identitas adalah sebuah kontruksi, sebuah konsekuensi dari sebuah


proses interaksi antar manusia, institusi dan praktis dalam kehidupan sosial.
Berbicara mengenai city branding maka tidak akan terlepas dari
pembicaraan mengenai merek, karena city branding identik sebagai
bagian dari konsep merek itu sendiri. Kegiatan city branding ini
menuntut setiap daerah berlomba menciptakan citra tertentu dibenak
masyarakat luas dalam merepresentasikan karakter kota. Citra kota
memiliki kekuatan dalam membentuk merek sebuah kota, bahkan
mempengaruhi kota itu sendiri. Membangun city branding yang kuat
dibutuhkan perencanaan yang matang. Gelder (2003) menyebutkan ada
beberapa langkah utama dalam membangun dan merencanakan city
branding yaitu sebagai berikut:

1. Mapping Survey
Membangun city branding yang kuat dibutuhkan perencanaan yang
matang. Gelder (2003) menyebutkan ada beberapa langkah utama dalam
membangun dan merencanakan city branding yaitu mapping survey,
langkah ini meliputi survei persepsi dan ekspektasi tentang suatu daerah,
baik dari masyarakat daerah itu sendiri maupun pihak-pihak luar yang
mempunyai keterkaitan dengan daerah itu.
2 Menyusun Strategi City

2. Competitive Analysis
Competitive analysis adalah melakukan analisis daya saing, baik
level makro maupun mikro daerah itu sendiri. Analisis SWOT pada
dasarnya merupakan identitas berbagai faktor dan unsur penentu
pembangunan suatu institusi secara sistematis untuk melakukan evaluasi
kondisi lingkup kegiatan bersangkutan dan selanjutnya dapat pula
digunakan untuk merumuskan strategi pembangunan institusi yang
tepat sesuai dengan kondisi dan potensi yang dimilikinya. Dalam
penerapannya, institusi yang dimaksud disini dapat berbentuk
perusahaan atau dinas dan instansi pemerintah.

Analisis SWOT ini didasarkan pada kondisi umum institusi


bersangkutan baik yang bersifat internal maupun eksternal guna
mencapai tujuan serta visi dan misi yang telah ditetapkan semula oleh para
pemangku kepentingan. Kekuatan utama analisis SWOT adalah karena
teknik ini dapat melakukan evaluasi secara lebih tajam dan terarah.
Kemudian analisis dapat pula digunakan untuk perumusan strategi
pembangunan secara sistematis sesuai dengan kondisi dan lingkungan
institusi bersangkutan dalam rangka menghadapi kondisi persaingan
sesama institusi bersangkutan. Untuk melakukan analisis, ditentukan
tujuan usaha atau mengidentifikasi objek yang akan dianalisis. Kekuatan
dan kelemahan dikelompokkan ke dalam faktor internal, sedangkan
peluang dan ancaman diidentifikasi sebagai faktor eksternal.

Kekuatan (Strength) pada dasarnya merupakan kelebihan yang


dimiliki oleh suatu daerah dan institusi dibandingkan dengan daerah dan
institusi lainnya. Dalam anlaisis kondisi sosial ekonomi daerah,
kekuatan tersebut
Menyusun City 2

dapat muncul dalam bentuk kesuburan tanah yang lebih baik, potensi
sumber daya alam yang lebih besar, kualitas pendidikan yang lebih
baik, kondisi keuangan yang lebih mapan dan lain-lainnya.

Analisis akan menjadi lebih kongkrit dan meyakinkan bilamana


kekuatan ini dapat dibuktikan secara kuantitatif dengan menggunakan
indikator pembangunan dan data tertentu. Misalnya, tingkat kesuburan
dapat diperlihatkan oleh produktivitas lahan per hektar, potensi sumber
daya alam ditunjukkan oleh jumlah kandungan deposit yang dimiliki,
kualitas sumber daya manusia oleh Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
dan lain-lainnya. Kelemahan (Weaknesses) pada dasarnya merupakan
kekurangan atau kelemahan yang dimiliki oleh suatu daerah atau
institusi tertentu dibandingkan dengan daerah dan institusi lainnya.
Dalam analisis kondisi sosial ekonomi, unsur kelemahan ini pada
dasarnya merupakan kebalikan dari unsur kekuatan sebagaimana telah
dijelaskan di atas. Sama halnya dengan unsur kekuatan, analisis tentang
kelemahan ini akan lebih kongkrit dan meyakinkan bilamana dapat
didukung oleh data dan informasi yang kuantitatif secara terukur.

Peluang (Opportunities) dapat diartikan sebagai kesempatan dan


kemungkinan yang tersedia dan dapat dimanfaatkan untuk mendukung
proses pembangunan daerah atau institusi bersangkutan. Dalam analisis
kondisi sosial ekonomi, peluang tersebut dapat muncul dalam bentuk
adanya minat masyarakat yang cukup tinggi terhadap sesuatu hal,
meningkatnya daya beli masyarakat, adanya kebijakan dan aturan baru
yang dapat memberikan peluang pengembangan atau karena adanya
perubahan
2 Menyusun Strategi City

teknologi dan penemuan produk baru yang dapat mendorong timbulnya


kebutuhan baru pula dan lain-lainnya.

Ancaman (Threat) dapat pula diartikan sebagai suatu kondisi yang


datang dari luar dan dapat menimbulkan kesulitan, kendala atau
tantangan yang cukup serius bagi suatu daerah atau institusi tertentu.
Ancaman tersebut dapat muncul sebagai akibat kemajuan dan
perubahan kondisi sosial ekonomi, perubahan kebijakan dan aturan atau
karena terjadinya perubahan pandangan dan kemajuan teknologi.
Sebagai contoh, dengan semakin mantapnya pelaksanaan otonomi
daerah maka masing-masing daerah akan berlomba-lomba untuk
mempercepat proses pembangunan daerahnya masing-masing sehingga
terjadi persaingan yang semakin tajam antardaerah berkaitan.

Dengan menggunakan keempat unsur tersebut, analisis SWOT ini


lazim pula digunakan sebagai alat untuk melakukan evaluasi diri (Self
Evaluation) terhadap suatu institusi tertentu. Dengan catatan, analisis
SWOT ini akan menjadi baik dan dapat dipercaya bilamana penilaian
terhadap kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman tersebut dilakukan
secara jujur tanpa ditutupi atau dinilai secara berlebihan.

Hasil dari analisis SWOT akan berupa ragam objek atau keadaan
internal dan eksternal yang menjadi faktor kunci pencapaian tujuan
organisasi atau wilayah, peta posisi organisasi terhadap lingkungannya
serta gambaran alternatif pilihan strategi umum yang sesuai umtuk
dijadikan dasar dalam menetapkan sasaran-sasaran organisasi selama 3 –
5 tahun ke depan.
Menyusun City 2

2.1 Analisis SWOT Potensi Daerah


Berikut adalah contoh analisis SWOT potensi daerah untuk Kota
Bandung: (Fatmala, Dita. 2012. Perancangan City Branding Kota Bandung.
Bandung: Universitas Komputer Indonesia. https://elib.unikom.ac.id/
files/disk1/571/jbptunikompp-gdl-ditafatmal-28523-10-unikom_d-i.pdf)

a) Strengths
(Kekuatan) Kondisi
:
 Kota Bandung merupakan kota yang strategis yang mudah
dikunjung oleh siapa saja.
 Kota Bandung mampu memadukan antara modernisasi dengan
tradisi.
 Masih banyak pohon-pohon yang menghiasi jalan di Kota
Bandung sehingga menambah keindahan kota dan masih
memberikan suasana kesejukan dibanding kota lain.
 Di beberapa wilayah Kota Bandung, bangunan bersejarahmasih
dijaga dengan baik, sehingga jika kita berada di tempat tersebut
bisa memberikan atmosfir yang berbeda seakan kembali pada
zaman Bandung tempo dulu.
 Biaya hidup di Kota Bandung lebih terjangkau.

Ekonomi :
 Kota Bandung sudah memiliki perekonomian yang kuat.

Fasilitas :
2 Menyusun Strategi City

 Bandung menyajikan beragam kuliner yang khas yang tersebar


diseluruh penjuru Kota Bandung.
 Bandung seringkali disebut kota mode, hal ini diperkuat oleh
banyaknya tempat wisata belanja dari mulai barang-barang
bekas, distro, FO dan butik yang dapat memenuhi semua
kebutuhan fashion dan mode.
 Banyaknya tempat pendidikan yang berkualitas menjadikan
Bandung berada didaftar atas kota yang paling dicari untuk
tempat menuntut ilmu.
 Kota Bandung memiliki banyak tempat wisata kota yang
merangsang daya kreatifitas.
 Banyak tempat hiburan terutama bagi anak muda.

Masyarakat:
 Masyarakat Kota Bandung yang ramah, sopan, dan mudah
untuk bersosialisasi menambah kenyamanan kota ini.
 Banyak terdapat komunitas kreatif yang dilahirkan anak muda
Bandung, yang telah melahirkan banyak prestasi untuk
mengharumkan nama Kota Bandung.

b) Weakness
(Kelemahan) Kondisi
:
 Jalan-jalan di Kota Bandung mulai padat sehingga
menimbulkan kemacetan lalu lintas dan mengganggu
kenyaman dan keteraturan kota.
Menyusun City 2

 Keamanan di Kota Bandung mulai terganggu dengan


banyaknya geng motor.
 Banyaknya pengemis dan gelandangan di pusat kota.

Fasilitas :
 Kurangnya perawatan untuk taman-taman kota seperti di
Taman Lansia, Taman Maluku, Taman Dewi Sartika, dan lain
sebagainya.
 Kurangnya ruang publik di Kota Bandung yang dapat
menyeimbangkan suasana kota sehingga kota menjadi aman
dan nyaman.
 Sarana dan prasarana yang ada di Kota Bandung masih belum
memadai.

Masyarakat :
 Kurangnya kepedulian masyarakat Kota Bandung dalam
melestarikan budaya Kota Bandung misalnya saja Bahasa
Sunda yang kini kian pudar.
 Masyarakat Kota Bandung belum sepenuhnya mengetahui
potensi yang dimiliki Kota Bandung, sehingga perlu
diperkenalkan kembali untuk menambah kecintaan terhadap
Kota Bandung.
3 Menyusun Strategi City

c) Opportunities (Peluang)
 Kota Bandung bisa menjadi kota percontohan dalam bidang
kuliner, fashion dan bidang kreatifitas lain.
 Kota Bandung bisa go international jika ada kerjasama antara
pemerintah dan masyarakat Kota Bandung dalam membenahi
Kota Bandung kearah lebih baik.
 Kota Bandung bisa mengembalikan kenyamanan dan
keteraturan seperti tempo dulu jika pemerintah membuat ruang-
ruang publik yang dapat dinikmati masyarakat dan membuat
peraturan tegas terhadap segala tindakan yang mengancam
kenyamanan, keamanan, dan keteraturan Kota Bandung.
 Kota Bandung bisa menjadi kota yang mewadahi kreatifitas
semua kalangan masyarakat.
 Kota Bandung memiliki banyak sumber daya manusia yang
berkualitas yang dapat meningkatkan perekonomian kota.

d) Threat (Ancaman) :
 Kota Bandung terancam kehilangan karakter karena pengaruh
dari perkembangan kota yang pesat yang mendorong
masyarakat untuk terus berubah namun tidak diimbangi dengan
pelestarian budaya.
 Banyaknya wisatawan yang datang mengunjungi Kota
Bandung, bisa menjadi sebuah ancaman untuk Kota Bandung
yang membuat masyarakat Kota Bandung tidak merasa
Menyusun City 3

memiliki Kota Bandung yang akhirnya muncul ketidakpedulian


terhadap Kota Bandung.
 Pada akhir pekan Kota Bandung selalu dipenuhi oleh
wisatawan, jika pemerintah kurang tegas dalam menanggapi
peraturan tentang keteraturan lalu lintas dan kebersihan
lingkungan akan tidak seimbang dengan perkembangan kota
yang semakin pesat.

2.2 Blueprint
Blueprint adalah penyusunan cetak biru atau grand design daerah
yang diinginkan, baik logo, semboyan, "nick names", "tag line", dan
lain sebagainya beserta strategi branding dan strategi komunikasinya.
(Wibawanto, Wandah. 2015. Peran Akademisi dalam Konstruksi City
Branding. Semarang: Universitas Negeri Semarang).
Sebagai contoh kita akan menganalisis city branding pada
Kabupaten Trenggalek. Berdasarkan tiga karakteristik Kabupaten
Trenggalek, yaitu pantai, dataran tinggi dan turonggo yakso akan
didistribusikan ke dalam desain elemen branding. Konsep desain juga
dipengaruhi dengan target audience atau pasar yang akan disasar.
Perilaku masyarakat Indonesia pada umumnya memiliki interest pada
trend, gaya hidup, pekerja keras, inovatif, dan ketenaran. Dari
karakteristik tersebut dapat disimpulkan bahwa target konsumen
memiliki selera yang fun, modern, simpel dan up to date. Konsep tersebut
selanjutnya dijadikan dasar penentuan konsep desain city branding.

Konsep pewarnaan yang digagas banyak menggunakan campuran


warna primer yang kontras sehingga dapat menimbulkan efek psikologis
3 Menyusun Strategi City

maupun optikal yang menarik. Perpaduan warna merupakan unsur


penting yang sangat dibutuhkan untuk menciptakan visualisasi yang
menarik, sehinggai perpaduan warna tidak ditampilkan dengan
sembarangan. Untuk bahasa yang digunakan, menggunakan bahasa
persuasif yang menarik, adapun beberapa menggunakan bahasa Inggris
sebagian elemen seperti slogan dan kalimat ajakan. Untuk bahasa yang
digunakan pada deskripsi penjelasan menggunakan bahasa Indonesia
yang menarik.
Setelah melalui proses penentuan konsep selanjutnya proses pembuatan
desain alternatif, dan divalidasikan kepada keyplayer Kabupaten
Trenggalek melalui FGD, maka logo yang terpilih adalah seperti gambar
dibawah ini.

Gambar 2.1. Logo Kabupaten Trenggalek

Sumber:

Sesuai dengan konsep desain logo bertema fun, moderen, dan up to


date dengan menampilkan pesona keindahan Kabupaten Trenggalek
yang memiliki aspek dominan pantai. Logo terdiri dari dua bagian, yaitu
bagian teks nama identitas dan simbol yang melambangkan
karakteristik Kabupaten Trenggalek. Pada bagian simbol terdiri atas
empat unsur utama, yaitu pantai, awan senja, perahu layar, dan
destination point. Logo menggunakan tiga pilihan warna pokok, yaitu
warna oranye dan biru.

Dari ketiga pilihan warna pokok di perluas menjadi beberapa warna


variasi, biru muda dan biru tua. Warna oranye merupakan warna hangat
Menyusun City 3
dan
3 Menyusun Strategi City

ramah yang membuat orang merasa nyaman. Oranye adalah hasil peleburan
merah dan kuning, sehingga efek yang di hasilkan masih tetap sama,
yaitu kuat dan hangat, karena sebab itulah warna ini paling banyak di
pakai untuk menarik perhatian orang. Warna biru memiliki sifat yang
menyegarkan, selain itu warna biru sering di anggap sebagai warna
yang melambangkan kepercayaan dan trustfulness.

Jenis font yang digunakan pada logo memiliki tipe san serif. San
serif berarti huruf yang tidak memiliki sirip pada ujung hurufnya
sehingga memiliki ketebalan huruf yang sama atau hampir sama.
Pememilihan tipe font san serif menimbulkan kesan yang moderen,
kontemporer dan efisien pada sebuah logo. Font yang digunakan pada
logi ini menggunakan font “Harabara” pada tulisan Trenggalek dan font
“Lato” pada tulisan slogan. Harabara memiliki kesan yang moderen
tatapi tidak kaku dan cenderung memiliki kesan fun. Font Lato pada
tulisan slogan memiliki kesan yang profesional sehingga perpaduan
huruf harabara dan lato sangatlah cocok. Kabupaten Trenggalek tidak
memiliki ciri khas khusus yang sangat menonjol dalam aspek pertanian,
perikanan, perkebunan, sosial, budaya, pariwisata dan lain sebagainya.

Walaupun Kabupaten Trenggalek tidak memiliki ciri khas khusus


yang sangat menonjol, namun Kabupaten Trenggalek memiliki potensi
yang besar. Hampir disegala aspek Kabupaten Trenggalek mempunya
potensi yang besar, baik dalam aspek pertanian, perikanan, perkebunan,
sosial, budaya, pariwisata dan lain sebagainya walau tidak menonjol.
Untuk itu Kabupaten Trenggalek tidak bisa menetapkan disalah satu
aspek untuk
Menyusun City 3

dijadikan identitas Kabupaten, sehingga perlu identitas yang lebih umum


namun berkarakter.

Adapun slogan untuk Kabupaten Trenggalek yaitu “Southern


Paradise” yang memiliki arti surga yang terletak di selatan. Alasan
menggunakan Southern karena Kabupaten Trenggalek terletak di bagian
selatan provinsi Jawa Timur yang berbatasan langsung dengan pesisir
selatan. Dari letak geografis Kabupaten Trenggalek ini gagasan
menggunakan kata Southern. Selain itu selatan dalam kepercayaan
masyarakat jawa kuno ditunggu oleh Batara Brahma yang merupakan
dewa dengan gelar dewa kebijaksanaan. Kata Paradise yang berarti surga
didapat dari keindahan alam yang dimiliki Kabupaten Trenggalek.
Keindahan bagai di surga kesan pertama orang yang menikmati keindahan
alam yang dimiliki Kabupaten Trenggalek.

2.3 Strategi Branding


Kegiatan strategi branding meliputi kegiatan menciptakan,
mengembangkan, mengimplementasikan dan mengelola brand secara
terus menerus sampai brand tersebut menjadi kuat atau bisa dikatakan
dengan istilah brand equity. Membangun brand yang kuat menurut
Rangkuti (2004) dilakukan dengan cara yaitu:

a) Memiliki positioning yang tepat.


Positioning adalah bagaimana sebuah brand dengan segala nilai-
nilai yang ditawarkannya menjadi selalu nomor satu dibenak
konsumen, itupun sekaligus menjadi tujuannya. Keberhasilan
positioning tidak
3 Menyusun Strategi City

sekadar menemukan core benefits (manfaat inti/utama) suatu brand,


tetapi juga lebih jauh lagi menjembatani keinginan dan harapan
target konsumen sehingga dapat memuaskan target konsumen;

b) Memiliki brand values yang tepat.


Semakin tepat brand di-positioning-kan di benak konsumen,
maka akan semakin kompetitif. Untuk mengelola hal tersebut,
pelaku/pemasar harus mengetahui brand value. Misalnya dapat
dianalogikan bahwa positioning adalah kesesuaian ukuran bagi
pemakainya, sedangkan brand value merupakan keindahan warna serta
model pakaian tersebut.

c) Memiliki konsep yang tepat.


Tahap akhir untuk mengkomunikasikan brand value dan
positioning yang tepat kepada konsumennya harus didukung oleh
konsep yang tepat pula. Pengembangan konsep merupakan proses
kreatif, karena berbeda dari positioning, konsep dapat terus-menerus
berubah sesuai dengan daur hidup produk yang bersangkutan.
Konsep yang baik adalah dapat mengkomunikasikan semua elemen-
elemen brand values dan positioning yang tepat, sehingga brand
image dapat terus menerus ditingkatkan.

Jadi, strategi branding adalah suatu manajemen brand yang bertujuan


untuk mengatur semua elemen brand dalam kaitannya dengan sikap dan
perilaku konsumen. Dapat juga diartikan sebagai suatu sistem
komunikasi yang mengatur semua kontak point dengan suatu produk
atau jasa atau organisasi itu sendiri dengan stakeholder dan secara
langsung mendukung bisnis strategi secara keseluruhan.
Menyusun City 3

2.4 Strategi Komunikasi


Effendy mengutarakan bahwa strategi komunikasi merupakan panduan
perencanaan komunikasi (communication planning) dengan manajemen
komunikasi (communication management) untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Strategi komunikasi ini harus menunjukkan bagaimana
operasionalnya secara praktis harus dilakukan, dalam arti kata bahwa
pendekatan bisa berbeda sewaktu-waktu bergantung pada situasi dan
kondisi.

R. Wayne Pace, Brent D. Peterson, dan M. Dallas Burnett dalam


bukunya Techniques for Effective Communication (1979), menyatakan
bahwa tujuan sentral kegiatan komunikasi terdiri atas tiga tujuan utama,
yakni:
a. to secure understanding
b. to establish acceptance
c. to motivate action
Pertama adalah, to secure understanding memastikan bahwa
komunikan mengerti pesan yang diterimanya. Andaikata dia sudah dapat
mengerti dan menerima, maka penerimaan itu harus dibina (to establish
acceptance). Pada akhirnya kegiatan dimotivasikan (to motivate action).
Strategi komunikasi sudah tentu bersifat makro yang dalam prosesnya
berlangsung secara vertical piramidal.

Penerapan city branding, maka tidak terlepas dari strategi


pengembangan pariwisata, karna ujung tombak dari city branding adalah
bagimana mengkomunikasikan kepada masyarakat mengenai potensi
3 Menyusun Strategi City

pariwisata suatu daerah. Strategi pengembangan pariwisata adalah


“strategi pada prinsipnya berkaitan dengan persoalan, kebijakan
pelaksanaan, penentuan kebijakan yang hendak dicapai, dan penentuan
cara-cara atau metode penggunaan sarana-prasarana. strategi selalu
berkaitan dengan tiga hal yaitu tujuan, saranan dan cara, oleh karena itu
strategi juga harus didukung oleh kemampuan untuk mengantisipasi
kesempatan yang ada. dalam melaksankan fungsi dan peranannya
dalam mengembangkan pariwisata daerah, pemerintah daerah harus
melakukan berbagai upaya dalam pengembangan sarana dan prasarana
pariwisata”. (Suryono, 2004)

City branding adalah strategi yang membuat suatu tempat


“berbicara‟ kepada masyarakat (Yananda & Salamah). Sebuah kota
tampak seperti berkomunikasi dengan masyarakat mengenai dirinya.
Maka city branding dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah sebagai salah
satu strategi komunikasi pemerintahan dalam menyampaikan program
pembangunan yang ada di daaerahnya. Artinya dalam city branding
terdapat pesan (visi, misi, tujuan dan manfaat program pemerintah)
disampaikan kepada masyarakat secara baik dan tepat agar mencapai
persamaan persepsi dan dukungan dari pemangku
kepentingan/stakeholder (masyarakat, pihak swasta, pemerintah). Maka
dapat kita tangkap substansi dari komunikasi yaitu bagaimana identitas
yang dibangun pemerintah dalam city branding dapat diterima.
Pemerintah berupaya mengkonstruksi identitasnya dan
mengkomunikasikannya kepada publiknya.

Upaya tersebut bukanlah hal yang mudah. Banyak daerah di


Indonesia saat ini yang membuat brand, ada yang berhasil seperti Kota
Bandung “Paris van Java” namun banyak pula yang belum berhasil. Bagi
daerah yang
Menyusun City 3

belum berhasil harus terus mencari dan menemukan fomula yang tepat
untuk mengkonstruksi identitasnya sedangkan yang telah berhasil pun
terus berinovasi (rebranding) demi kelanggengannya. Penting bagi
pemerintah agar mengkomunikasikan secara konsisten tentang eksistensi
suatu kota dan menunjukkan maksud dari suatu brand sebuah kota,
sehingga tidak memunculkan kebingungan masyarakat terhadap brand
sebuah kota melalui city branding.

2.5 Implementation
Kavaratzis (2004) mendeskripsikan 3 bentuk implementasi
komunikasi dalam model city branding, yaitu :

1. Komunikasi primer. Meliputi branding di bidang landscape,


infrastruktur, organisasi dan perilaku masyarakat.
2. Komunikasi sekunder. Meliputi
kegiatan advertising, public relation, dan desain visual
3. Komunikasi tersier. Komunikasi yang terkait dengan persepsi
masyarakat, mouth to mouth advertising, bentukan media (media
trending) dan persepsi kota pesaing.
Dalam 10 tahun terakhir beberapa kota di Indonesia memiliki
beberapa variasi dalam mengimplementasikan city branding. Komunikasi
primer dan sekunder adalah yang paling umum dilakukan yaitu dengan
mengkombinasikan antara landscape, elemen branding seperti logo dan
slogan, dan diikuti dengan kegiatan periklanan (advertising).
4 Menyusun Strategi City

Dalam konsep city branding, sebuah kota/daerah sedapat mungkin


dikemas untuk bisa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan target, sehingga
kerap kali sebuah kota harus mengalami transformasi demi mencapai
konsep marketing yang diinginkan. Namun di satu sisi, pertimbangan
tersebut juga berpotensi mengaburkan nilai-nilai yang seharusnya
melekat pada suatu daerah. Dengan kata lain, melalui branding yang
dibangun sebuah daerah justru bisa menalami krisis identitas.

Gambar 2.2. Letter sign yang terdapat di Ambarawa Jawa Tengah

Gambar 2.3. Slogan kota Amsterdam yang dijadikan sebagai landmark


ikonik
Menyusun City 4

Sebagai contoh, letter sign yang kita temui di depan museum


Ambarawa Jawa Tengah. Jika diperhatikan letter sign bertuliskan I
ambarawa ini memiliki kemiripan dengan letter sign I amsterdam yang
merupakan salah satu landmark ikonik dari kota Amsterdam. Tentu
saja landmark ikonik milik kota Amsterdam yang mengusung
slogan I amsterdam dikenal oleh masyarakat luas jauh lebih lama
dibandingkan letter sign yang bertuliskan “I ambarawa” yang berada di
museum Ambarawa. Kesan pertama yang muncul ketika melihat letter
sign di Ambarawa adalah kesan latah dan ikut-ikutan, yang justru
berpotensi menimbulkan respon kurang baik terhadap branding yang
dibangun.

Kemiripan konsep tulisan tersebut memang disadari oleh pihak


pengelola Museum Ambarawa. Namun dengan pertimbangan bahwa
branding Amsterdam yang dijadikan acuan adalah konsep yang bagus dan
positif, maka letter sign tersebut tetap dipertahankan. Kadangkala, dalam
membangun branding ada hal-hal yang luput dari perhatian pemerintah
setempat. Seperti dalam kasus I ambarawa, hilangnya makna dari nama
daerah ambarawa (yang berarti rawa yang luas) menjadi hilang dan
digantikan oleh sebuah kalimat yang secara struktur tidak tepat, dan dari
segi makna pun juga salah. Padahal, nama daerah Ambarawa mengacu
pada kondisi geografis Ambarawa yang tidak dapat dilepaskan dengan
Rawa Pening.

Membangun branding yang tidak berdasar pada nilai-nilai yang


seharusnya menjadi pembeda suatu daerah dengan daerah lain, atau
dalam istilah komunikasi pemasaran disebut sebagai sebagai USP
(Unique Selling Preposition) menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan mengapa city
4 Menyusun Strategi City

branding sebuah daerah yang sudah diupayakan oleh sebuah daerah justru
tidak memberikan efek yang positif pada suatu kota. (Wibawanto,
Wandah. 2015. Peran Akademisi dalam Konstruksi City Branding.
Semarang: Universitas Negeri Semarang)
Menyusun City 4
Branding dan Marketing 4

Bab 3
BRANDING DAN
MARKETING KOTA

3.1 Place Marketng


Sama seperti bisnis, sebuah tempat pasti memiliki serangkaian nilai
dan karakteristik mereka sendiri. Atribut inilah yang memberi suatu
tempat tersebut memiliki keunikannya sendiri. Sama seperti sebuah bisnis
memiliki identitas visual dan verbal yang berbeda, penting juga bagi
sebuah tempat untuk mengkomunikasikan keunikannya ke dunia yang
lebih luas.
Place Marketing mengacu pada mempromosikan tempat tertentu.
Place Marketing Practices, jelas tidak hanya digunakan di kota-kota
besar dan negara saja, tetapi dapat ditemukan di berbagai tempat kecil
dan menengah (Alaux, Serval, & Zeller, 2015;). Place marketing mengacu
pada penerapan instrumen pemasaran ke lokasi geografis, seperti kota,
wilayah dan komunitas. Dikutip dari Braun (2008, hlm. 43)
mendefinisikan place marketing sebagai 'penggunaan terkoordinasi dari
alat pemasaran yang didukung oleh filosofi tempat tersebut yang
berorientasi masyarakat untuk menciptakan, berkomunikasi, mengirim
dan menukar penawaran perkotaan yang memiliki nilai bagi pelanggan
kota, wilayah, dan komunitas luas. (Eshuis et al., 2014, hlm. 153-154).
4 Branding dan Marketing

3.2 Places of Origin Branding


Place of Origin Branding (mis. Kotler dan Gertner 2002;
Papadopoulos dan Heslop 2002): tren ini telah berkembang dalam
disiplin pemasaran dan telah berkembang ke sejumlah besar publikasi.
Hal Ini menyangkut penggunaan tempat asal dalam merek suatu
produk. Menggunakan kualitas, gambar, dan, dalam banyak kasus,
stereotip tempat dan orang-orang yang tinggal di tempat itu, guna untuk
memberi merek suatu produk yang diproduksi di tempat itu dianggap
sebagai strategi yang efektif. Pada dasarnya, hal tersebut tidak ada
hubungannya dengan konsep place branding. Walaupun mungkin
menarik (dan berguna untuk pemasaran produk), praktik ini bukan
merupakan strategi branding tempat, yang artinya bahwa teori ini tidak
dapat dianggap sebagai place managemen strategy.

3.3 Nation Branding


Nation Branding adalah proses di mana gambar-gambar suatu
negara dapat dibuat atau diubah, dipantau, dievaluasi dan dikelola secara
proaktif untuk meningkatkan reputasi negara di antara target audiens
internasional. Nation brand adalah jumlah total dari semua persepsi suatu
bangsa di benak para pemangku kepentingan internasional, yang
mungkin mengandung beberapa elemen berikut: orang, tempat, budaya /
bahasa, sejarah, makanan, mode, wajah terkenal (selebritas), merek global
dan seterusnya. Fan (2010).
Nation branding adalah bidang teori dan praktik yang bertujuan
untuk mengukur, membangun, dan mengelola reputasi negara. Farooqi
(2009).
Branding dan Marketing 4

Nation brand adalah perpaduan unik dari elemen multi-dimensi yang


memberikan bangsa dengan diferensiasi dan relevansi budaya untuk
semua audiens targetnya. (Dinnie, 2008). Dimensi nasional
diklasifikasikan ke dalam pariwisata, ekspor, pemerintah, budaya, orang,
investasi dan imigrasi (Anholt, 2002; 2007). Ini menandakan sosial-
budaya, ekonomi, dan politik (Kotler & Gertner, 2002; Dinnie, 2008)..

3.4 Destination Branding


Destination branding adalah usaha merubah persepsi seorang
terhadap suatu tempat atau tujuan termasuk melihat perbedaan sebuah
tempat lainnya untuk dipilih sebagai tujuan. Konsep deestination
branding harus berdasar passion dan identitas yang menarik dan saling
berhubungan dengan berbagai hal yang akan memudahkan orang
memiliki asosiasi dengan tempat tersebut. Brand Destinasi memiliki arti
yang tidak hanya sebatas slogan, tagline, logo destinasi, dan lainnya
saja. Menurut Bungin (2015), Brand suatu destinasi haruslah mencakup
keseluruhan destinasi yang didalamnya terdapat value, people,
governance, export, investment/immigration, culture and heritage.
Brand yang dilihat oleh wisatawan (audiensi) akan merangsang
keputusan membeli (Bungin, 2015:5). Selain itu Ariando (2015)
menyatakan bahwa brand dari destinasi akan membangun kedekatan
antara wisatawan dan destinasi, sehingga dapat meningkatkan loyalitas
wisatawan terhadap destinasi. Destination Branding yang sedang
dibangun Indonesia seperti Pulau Komodo.
4 Branding dan Marketing

Branding yang dibangun berbagai pihak dan masyarakat Indonesia


dalam mengangkat nama Pulau Komodo di dunia pariwisata beberapa
waktu lalu sempat menjadi perhatian. Memasukkan dalam peringkat
tujuh keajaiban dunia salah satu usahanya. Hewan endemik komodo
yang tidak bisa dijumpai di tempat lain menjadi daya tarik tersendiri
bagi pengunjung dan calon pengunjung. (sumber: organisasi
New7Wonders.com )
Brand Destinasi yang diciptakan perlu melewati tahap yang sulit
dan panjang. Brand yang sudah melewati tahap tersebut haruslah
memiliki kekuatan. Kekuatan suatu Brand Destinasi salah satunya
berasal dari identitas destinasi itu sendiri. Untuk menciptakan Brand
Destinasi yang kuat, dapat mengacu pada aspek-aspek kekuatan Brand
Destinasi menurut Risitano (2005:7) berikut ini:

Gambar 3.1. Aspek-Aspek Kekuatan Brand Destinasi


Sumber: Risitano (2005)

a. Brand Culture
Yang dimaksud dengan Brand Culture adalah bagaimana suatu
Brand Destinasi dapat mencerminkan karakteristik destinasi berdasarkan
aspek budaya masyarakat (kepercayaan, tradisi, ritual, dll) dan aspek
destinasi itu sendiri (situs bersejarah, monumen, situs arkeologi,
bangunan tua, dll). Hal
Branding dan Marketing 4

tersebut merupakan esensi yang sesungguhnya dari suatu destinasi dan


hal tersebut menunjukkan nilai inti dari apa yang ada di destinasi tersebut.
b. Brand Character
Brand Character terkait dengan janji sebuah destinasi dalam
memberikan pengalamannya, seperti integritas, kepercayaan, kejujuran.
c. Brand Personality
Brand Personality adalah bagaimana suatu destinasi diibaratkan seperti
kepribadian manusia dalam kehidupan sehari-hari; down-to-earth, ceria,
senang berimajinasi, berkelas tinggi, suka berpetualang, dan lain
sebagainya.
d. Brand Name
Kebanyakan destinasi hanya menggunakan nama asli daerahnya,
bahkan untuk memasarkan produk wisatanya sekalipun. Brand Name,
baik menggunakan bahasa lokal ataupun bahasa inggris, merupakan
sesuatu yang sangat penting dan sangat berguna dalam strategi komunikasi
kepada target wisatawan. Brand Name haruslah memiliki keunikan serta
mudah diucapkan dan mudah diingat. Biasanya destinasi yang sudah
siap untuk memasarkan produknya menggunakan kata tambahan dalam
brand-nya seperti Wonderful Indonesia, Incredible India, Imagine Your
Korea, Malaysia Truly Asia, 100% Pure New Zealand, dll.
e. Brand Logos (and Symbols)
Logo atau simbol dalam sebuah Brand Destinasi menjadi bagian
yang cukup krusial. Logo atau simbol tersebut haruslah mendefinisikan
kekuatan dari sebuah destinasi melalui sebuah tampilan visual, seperti
keindahan alam destinasi tersebut, monumen terkenal, keunikan tradisi,
dan lain-lain. Tidak
4 Branding dan Marketing

hanya berupa gambar, namun jenis tulisan dan warna tulisan juga
termasuk ke dalam Brand Logos (and symbols).
f. Brand Slogan
Meskpin tidak selalu ada slogan dalam Brand Destinasi, nyatanya
Brand Slogan dibutuhkan untuk mengkomunikasikan brand secara lebih
persuasif sehingga wisatawan yang asalnya tidak tertarik menjadi tertarik
untuk berkunjung. Brand memegang peranan penting dalam pemasaran
destinasi pariwisata. Memiliki sebuah brand yang mampu
merepresentasikan nilai, budaya, filosofi, harapan masyarakat atau
stakeholder di dalam suatu destinasi tentunya akan sangat berpengaruh
positif terhadap perkembangan pariwisata di destinasi tersebut.
Morgan and Pritchard (2004) menyarankan 5 tahapan untuk
melakukan destination branding dalam merubah image sebuah daerah.
Tabel 1.2 Fase Destination Branding Phase 1 Market investigation,
analysis and strategic recommendations Phase 2 Brand identity
development Phase 3 Brand launch and introduction – communicating
the vision Phase 4 Brand implementation Phase 5 Monitoring,
evaluation, and review Sumber: Morgan, Pritchard, and Pride (2004)

Gambar 3.2 Tabel Fase Destination Branding


Sumber:Morgan, Pritchard, and Pride (2004, Tabel 5.1, 69)
Branding dan Marketing 4

1) Market investigation, analysis and strategic recommendations


merupakan tahapan awal dalam fase pembentukan branding sebuah
kota. Pada tahapan ini marketer daerah melakukan riset pemetaan
potensi pasar, hal-hal apa saja yang bisa dikembangkan dan
penyusunan strategi.
2) Brand identity development. Dalam tahap ini brand identity
dibentuk berdasarkan visi, misi dan image yang ingin dibentuk
daerah tersebut. Dari hasil riset ditentukan beberapa alternatif lalu
dipilih satu buah tagline untuk menggambarkan daerah tersebut.
3) Brand launch and introduction: communicating the vision. Setelah
tagline diperkenalkan maka brand yang ada diperkenalkan dengan
melibatkan seluruh komponen yang ada melalui media relations
seperti Advertising, direct marketing, personal selling, websites,
brochures, atau Event organizers, film-makers, destination
marketing organizations (DMOs) serta jurnalis.
4) Brand implementation meliputi proses yang mengolaborasikan
kompilasi budget untuk mendukung berbagai program komunikasi
pemasaran dalam menyampaikan brand message. Budgeting
merupakan aspek penting dalam melakukan sebuah branding.
5) Monitoring, evaluation and review. Program sedang yang
dilaksanakan dilakukan monitoring apakah ada penyimpangan,
kekurangan dan sebagainya. Dari hasil monitoring dilakukan
evaluasi dan review untuk perbaikan selanjutnya.
5 Branding dan Marketing

3.5 Culture/Entertainment Branding


Branding Budaya / Hiburan (mis. Evans 2003; Greenberg 2003;
Hannigan 2004): tren lain yang menarik dan terus berkembang adalah
pemeriksaan efek branding budaya dan hiburan pada lingkungan fisik,
ekonomi dan (kadang-kadang) sosial kota. Diterapkan secara luas di
kota- kota di seluruh dunia, branding budaya ini berutang
perkembangannya karena semakin pentingnya industri budaya, rekreasi
dan hiburan dalam ekonomi kontemporer, sebanyak untuk wisatawan
dan pengunjung lain, serta untuk penduduk lokal.
Pada saat yang sama, upaya untuk menggabungkan tren ini dalam
perencanaan kota (Evans 2001) dan semakin pentingnya industri
berbasis gambar dan orang-orang yang dipekerjakan ini (Florida 2002)
memperkuat proses yang terlibat dalam branding semacam ini.
Berhubungan dengan tren ini, orang dapat mengidentifikasi diskusi yang
lebih baru, terutama di kalangan perancang kota, tentang efek bangunan
kelas atas pada citra kota penggunaan bangunan tersebut dan 'landmark'
lainnya secara umum dalam promosi kota.

3.6 Place/City Branding


Menurut Robert Govers dan Frank M. Go (2009:2), Place
branding adalah sebuah kegiatan marketing yang mendukung sebuah
nama, simbol, logo, tanda khusus atau gambar lain yang
mengidentifikasikan sebuah tempat tujuan wisata dengan menyampaian
janji pengalaman perjalanan yang tidak terlupakan dan unik terkait
dengan tujuan disebuah
Branding dan Marketing 5

tempat. Sedangkan menurut buku Kamus Brand karangan Mendiola B.


Wiryawan (2008) pengertian dari Place Branding adalah penerapan
konsep dan model branding pada suatu lokasi tertentu (bisa berupa
negara, kota, propinsi atau wilayah).
Tujuan dari Place Branding adalah memaksimalkan potensi suatu
wilayah agar terjadi peningkatan kunjungan (wisata maupun bisnis)
yang akhirnya meningkatkan devisa dan nilai ekonomi wilayah tersebut.
Place Branding memiliki kekuatan untuk merubah presepsi dan
merubah cara pandang seseorang terhadap suatu tempat tujuan
termasuk melihat perbedaan sebuah tempat dengan tempat lainnya
untuk di pilih sebagai tujuan. Pentingnya branding yang dilambangkan
dengan logo atau symbol adalah memvisualisasikan gagasan dan cita-
cita menjadi sebuah icon yang mampu mengimajinasikan atau
menggambarkan cita-cita tersebut.
Sedangkan menurut Evi Avraham dan Erran Ketter (2008:16)
dalam bukunya berjudul Media Strategies For Marketing Place In Crisis
mengatakan “Place branding tidak mudah, tetapi mereka yang berhasil
dapat mengharapkan masa depan yang lebih cerah. Banyak tempat di
dunia menawarkan produk yang sama dan satu-satunya cara agar tempat
untuk bertahan di pasar internasional yang kompetitif adalah dengan
mengembangkan identitas yang unik. Seperti halnya branding produk,
place branding adalah kombinasi karakteristik tempat dan nilai tambah,
fungsional dan non-fungsional.
Dalam dunia merek, citra dan posisi produk mungkin jauh lebih
penting daripada karakteristik aktual tempat itu. Manajer tempat harus
5 Branding dan Marketing

menekankan keunikan tempat mereka dan bagaimana tempat ini sendiri


dapat memuaskan kebutuhan tertentu untuk audiens target. Merek harus
mencakup slogan, logo, materi visual, dan warna yang memamerkan
semangat merek dan mempromosikan pemasarannya”.
City branding merupakan upaya pengembangan kota dari para
perencana dan perancang kota beserta semua stakeholders (pemangku
kepentingan). Seperti produk, jasa dan organisasi, kota sangat
membutuhkan citra yang kuat dan berbeda dengan citra kota lainnya
demi mengatasi persaingan untuk memperebutkan sumber daya
ekonomi di tingkat lokal, regional, nasional maupun global.
Melalui branding, sebuah kota mampu membangun ruh kota yang
dapat ditunjukkan melalui infrastruktur kota untuk menarik wisatawan.
Menurut Roll Martin (2006), sebuah kota perlu membentuk identitas
yang berbeda di benak calon turis, pebisnis, pedagang, importer, dan
konsumen. Roll Martin mendefinisikan branding kota sebagai berikut.
Branding kota merupakan jawaban karena brand adalah jalan pintas
mental yang memudahkan pengambilan keputusan yang perlu
dilakukan.Branding juga dapat memenuhi sasaran di pasar dunia melalui
menarik investasi dan pekerja yang memiliki keterampilan tinggi (skilled
worker)
Banyak definisi mengenai branding kota yang dapat dijadikan
acuan untuk membentuk sebuah brand. Beberapa definisi city branding
merujuk pada pembangunan kota yang diikuti dengan membangun ruh
atau ciri khas sebuah kota. Adapun defenisi lain mengenai city branding
dikemukakan oleh Kavartzis (Ina Primasari, 2014) sebagai berikut. City
branding dipahami sebagai sarana untuk mencapai keunggulan
kompetitif dalam
Branding dan Marketing 5

rangka untuk meningkatkan investasi dari pariwisata, dan juga sebagai


pencapaian pembangunan masyarakat.Memperkuat identitas lokal dan
identitas warga dengan kota mereka dan mengaktifkan semua kalangan
sosial demi menghindari pengucilan dan kerusuhan sosial.
Selain meningkatkan kualitas pariwisata untuk meningkatkan
investasi di sektor tersebut, pemasaran tempat diperlukan untuk
membuat sebuah identitas kota yang nantinya akan memuaskan
kebutuhan target pasar. Seperti diungkapkan oleh Kotler (Syahbana,
2014), “Pemasaran tempat adalah perancangan suatu tempat untuk
memuaskan kebutuhan target pasar. Keberhasilan terjadi ketika warga kota
dan pelaku usaha sangat senang dengan komunitasnya, dan para
pendatang dan investor mendapatkan keinginannya3.” Konsep
pemasaran kota ini berkembang menjadi pembentukan citra atau city
branding melalui pengembangan ekonomi dan meningkatkan kualitas
hubungan antara warga dengan kota. City branding berkembang pada
sebuah kota yang sedang membangun sebuah identitas kota. Identitas
ini tentunya akan mencerminkan potensi kota dan upaya yang sedang
dibentuk dalam pembangunan citra kota tersebut. Setelah identitas
tersebut terbentuk, harus ada komunikasi brand yang yang dilakukan
secara efektif untuk mempromosikan city branding secara lokal maupun
global.
Pemasaran kota memiliki beberapa tingkatan strategi, seperti
perencanaan (planning), pemasaran (marketing) dan target pasar (target
markets). Perencanaan merupakan inti dari pemasaran tempat dan
melibatkan pemangku kepentingan kota, yaitu warga kota, pemerintah
kota dan komunitas dunia usaha.
5 Branding dan Marketing

3.7 Integrated Marketing Communication


(IMC)
Menurut Kotler dan Keller (2008 : 232) “Komunikasi pemasaran
terpadu (IMC-integrated marketing communication) adalah konsep
perencanaan komunikasi pemasaran yang mengakui nilai tambah suatu
rencana yang komprehensif”. Komunikasi pemasaran terintegrasi
(Integrated marketing communication/IMC) adalah proses pengembangan
dan implementasi berbagai bentuk program komunikasi peruasif kepada
pelanggan dan calon pelanggan secara berkelanjutan. IMC menggunakan
semua bentuk komunikasi yang relevan serta dapat diterima oleh
pelanggan atau calon pelanggannya, Shimp (2003).
Definisi Integrated Marketing Communcation menurut Duncan
(2005: 17) adalah "Suatu proses untuk merencanaan, melaksanaan dan
memantau pesan dari sebuah merek untuk menciptakan hubungan
pelanggan". Sedangkan menurut Baack and Clow (2012: 24) IMC dapat
di definisikan sebagai “the coordination and integration of all
marketing communication tools, avenues, and sources in a company
into a seamless program designed to maximize the impact on customers
and stake holders.” yang berarti IMC adalah koordinasi dan integrasi
dari semua alat komunikasi pemasaran, jalan, dan sumber-sumber daya
di sebuah perusahaan ke dalam program yang dirancang untuk
memaksimalkan dampak pada pelanggan dan pemegang saham.
Branding dan Marketing 5

Gambar 3.3. The Components of Promotion


Sumber: Baack and Vlow (2012: 24)

Konsep bauran pemasaran menurut Kottler Keller (2012: 25) terdiri


dari 4P yaitu produk, harga, tempat, dan promosi
a. Produk (Product)
Suatu yang dapat ditawarkan ke pasar untuk mendapatkan
perhatian, agar produk yang dijual mau dibeli, digunakan atau dibeli,
digunakan atau dikomsumsi yang dapat memenuhi suatu keinginan atau
kebutuhan dari konsumen.
b. Harga (Price)
Sejumlah nilai yang ditukarkan konsumen dengan manfaat dari
memiliki atau menggunakan produk atau jasa yang nilainya ditetapkan
oleh pembeli dan penjual melalui tawar menawar, atau ditetapkan oleh
penjual melalui tawar menawar, atau ditetapkan oleh penjual untuk satu
harga yang sama terhadap semua pembeli.
c. Tempat (Place)
Tempat diasosiasikan sebagai saluran distribusi yang ditujukan
untuk mencapai target konsumen. Sistem distribusi ini mencakup
lokasi,
5 Branding dan Marketing

transportasi, pergudangan, dan sebagainya.


d. Promosi (Promotion)
Promosi berarti aktivitas yang menyampaikan manfaat produk dan
membujuk pelanggan membelinya
Selanjutnya menurut Kotler Keller (2012: 478) ada delapan model
komunikasi bauran pemasaran (marketing communication mix), yaitu:
1. Periklanan. Setiap bentuk presentasi nonpersonal berbayar dan
promosi gagasan, barang, atau jasa oleh sponsor di identifikasi
melalui media cetak (koran dan majalah), media penyiaran (radio
dan televisi), media jaringan (telepon, kabel, satelit, wireless),
media elektronik (rekaman suara, rekaman video, halaman web),
dan media tampilan (billboard, tanda-tanda, poster).
2. Promosi. penjualan Berbagai insentif jangka pendek untuk
mendorong percobaan atau pembelian produk atau jasa termasuk
promosi konsumen (seperti sampel, kupon dan premi), promosi
perdagangan (seperti iklan dan display perdagangan), bisnis dan
tenaga penjualan promosi (konteks untuk tenaga penjualan).
3. Event and experiences. Yang mensponsori program yang
dirancang untuk menciptakan interaksi harian atau merek terkait
khusus dengan konsumen, termasuk olahraga, seni, hiburan, dan
kerena sebaiknya acara lebih sedikit kegiatan formal.
4. Humas and publisitas. Berbagai program diarahkan secara internal
kepada karyawan dari perusahaan atau eksternal kepada konsumen,
perusahaan lain, pemerintah, dan media untuk mempromosikan
atau melindungi citra perusahaan atau produk komunikasi individu.
Branding dan Marketing 5

5. Direct marketing. Penggunaan mail, telepon, fax, e-mail, atau


internet untuk berkomunikasi secara langsung dengan atau
meminta respon atau dialog dari pelanggan tertentu dan prospek.
6. Interaktif marketing Online dan program yang dirancang untuk
melibatkan pelanggan atau prospek dan langsung atau tidak
langsung meningkatkan kesadaran, meningkatkan citra, atau
menimbulkan penjualan produk dan jasa.
7. Word of mouth marketing. Dari orang ke orang, tertulis, atau
komunikasi elektronik, yang berhubungan dengan manfaat atau
pengalaman membeli atau menggunakan produk atau jasa.
8. Personal selling. Interaksi secara langsung dengan satu atau lebih
calon pembeli untuk tujuan membuat presentasi, menjawab
pertanyaan, dan pengadaan pesanan.

3.8 Regional Branding


Regional branding [ditujukan untuk menciptakan citra atau reputasi
yang lebih khas, yang membantu meningkatkan daya saing regional
(Maessen et al., 2008). Regional branding memasarkan kualitas wilayah
dalam arti luas: lanskap, alam, warisan budaya, produk regional,
keahlian memasak regional, produk berkualitas tradisional, dan
sebagainya (de Bruin, 2008). Dalam inisiatif branding regional,
identitas wilayah dan identitas regional, sebagaimana didefinisikan
oleh Paasi (2002, 2003) berfungsi sebagai dasar untuk merek atau
merek regional yang digunakan untuk mempromosikan wilayah
(Sonneveld, 2007). Regional branding merangsang ekonomi regional,
menciptakan nilai tambah untuk produk dan
5 Branding dan Marketing

layanan regional, dan dapat menembus batasan yang ada dari


pendekatan berorientasi sektoral untuk pembangunan pedesaan
(Hegger, 2007). Sebagaimana disebutkan di atas, pedesaan telah
mengalami transformasi dari produksi dan konsumsi dan telah menjadi
komoditas yang dapat dibeli dan dijual (Floysand dan Jakobsen, 2007,
Kneafsey et al., 2001).
Regional branding (Wardani , 2012) merupakan sebuah cara yang
dilakukan pemerintah untuk meningkatkan citra terhadap potensi daerah.
Merek regional (Regional Brand) didefinisikan sebagai nama dan / atau
simbol pembeda seperti logo, merek dagang, atau desain, yang
dimaksudkan untuk mengidentifikasi sumber daya regional atau suatu
wilayah sebagai tempat, dan untuk membedakan sumber daya dan
wilayah tersebut dari pesaing, dengan kata lain, satu set gambar
pembeda yang diasosiasikan konsumen dengan nama dan / atau simbol
sumber daya regional dan / atau wilayah.
Jadi, apabila pengelola daerah membuat nama, logo atau kombinasi
dari hal-hal tersebut untuk mengidentifikasi potensi daerahnya berarti
pengelola daerah telah menciptakan sebuah merk atau melakukan
branding terhadap daerahnya, yang kemudian disebut sebagai Regional
branding.
Secara internal, Regional branding digunakan sebagai alat
pemersatu guna meningkatkan kebanggaan dengan etos bersama untuk
memajukan perekonomian wilayah. Sedangkan secara eksternal,
regional branding digunakan untuk membangun citra kawasan yang
menarik, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan mengenalkan Solo
sebagai wilayah yang potensial sebagai wilayah yang potensial bagi
kegiatan investasi, perdagangan, dan pariwisata.
Pemanfaatan Potensi Budaya dan 5

Bab 4
PEMANFAATAN POTENSI
BUDAYA DAN ALAM UNTUK
CITY BRANDING

Berbekal kekayaan sumber daya pariwisata (alam, budaya, buatan)


yang luar biasa melimpah, Pemerintah Indonesia melihat fenomena ini
sebagai sebuah peluang untuk semakin serius dan menyadari bahwa
pariwisata merupakan aset potensial yang harus dimanfaatkan secara
optimal.
Salah satu upaya untuk mewujudkan dan melancarkan misi tersebut
adalah melalui pemberdayaan potensi pariwisata, budaya dan
karakteristik daerah yang ada di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, sebagaimana telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor. 6 Tahun 2006 tentang pengelolaan barang milik
negara atau daerahnya bagi wisatawan serta sistem penyelenggaraan
pemerintah daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 Pasal 2 ayat 3 yang berbunyi: “Pemerintahan daerah menjalankan
otonomi seluasluasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi
urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah”.
6 Pemanfaatan Potensi Budaya dan

Realisasi dari penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004


dan Peraturan Peraturan Nomor. 6 Tahun 2006 diatas yaitu suatu daerah
kebupaten atau kota mempunyai kewenangan untuk menentukan dan
melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat. Pemerintah Daerah (kabupaten atau kota) dituntut
kemampuannya untuk mengatur dan mengurus pengelolaan, menyangkut
pembiayaan dalam pelaksanaan pemerintahan dan pengembangan di
wilayahnya. Pemerintah beserta masyarakat bersama-sama
bertanggungjawab untuk mengatur, mengelola dan meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah sebagai wujud nyata kemandirian atas
daerahnya (Susanti, 2012:1).
City branding muncul untuk merespon kondisi tersebut, dimana
setiap daerah berusaha mengatur, mengurus, dan mengembangkan
pengelolaan potensi sumber daya pariwisata yang dimiliki secara
mandiri sehingga perencanaan yang ada tidak hanya dapat
diimplementasikan tetapi juga mengangkat dan mengembangkan
kekhasan kota sebagai brand yang bernilai jual tinggi dengan
menonjolkan sensasi dan keunikan masing- masing daerah serta
memberikan pengalaman dan kenangan yang tidak akan terlupakan bagi
wisatawan, yang secara otomatis membuat wisatawan akan merasa
ketagihan untuk berkunjung kembali (Anholt dalam Ismi, 2007:1).
Kavartzis (2004) mengintegrasikan kerangka kerja city branding
dengan mengelompokkan komponen yang membantu membangun City
Branding:
Pemanfaatan Potensi Budaya dan 6

Tabel 4.1 Kerangka Kerja Brand Kota Sumber: Branding Tempat:


Membangun Kota, Kabupaten, dan Provinsi Berbasis Identitas

Visi dan Strategi Visi yang dipilih untuk masa depan kota dan
pengembangan stratgi yang jelas untuk
merealisasikan visi tersebut

Sinergi Kesepakatan dan dukungan dari seluruh


pemangku kepentingan yang relevan dan adanya
partisipasi yang berimbang

Komunitas Lokal Penentun prioritas pada kebutuhan lokal yang


melibatkan warga lokal, pengusaha dan pebisnis
dalam mengembangkan dan mengantarkan brand

Infrastruktur Penyediaan kebutuhan dasar yang harus


diberikan kota untuk memnuhi harapan yang
dibangun melalui brand

Ruang Kota dan Kemampuan lingkungan buatan untuk


Gerbang mempresentasikan diri dan memperkuat atau
(Cityscape and merusak brand
Getaways)
Budaya Internal Penyebaran orientasi brand melalui pengelolaan
dan pemasaran perkotaan itu sendiri

Kesempatan Kesempatan yang terbuka untuk individu tertentu


seperti gaya hidup urban, jasa, pendidikan, dan
lainnya serta perusahaan (keuangan,SDM) yang
6 Pemanfaatan Potensi Budaya dan

menonjolkan potensi tempat

Komunikasi Upaya menyelaraskan semua pesan komunikasi


yang bersifat intensional

Sumber: ( Kavartzis, 2004).


Pemanfaatan potensi alam, budaya dari suatu daerah dapat dikemas
secara optimal melalui kegiatan kepariwisataan. Aktivitas atau kegiatan
kepariwisataan ini tentunya sangat diharapkan akan dapat menimbulkan
multiple effect atau efek ganda, yaitu:
a. Menjaga agar kelestarian potensi lokal yang dimiliki dapat terjaga
b. Meningkatkan pendapatan masyarakat, dari kegiatan
kepariwisataan tersebut. Menurut Gunn pariwisata sebagai
aktivitas ekonomi yang harus dilihat dari dua sisi yakni sisi
permintaan (demand side) dan sisi pasokan (supply side). Lebih
lanjut dia mengemukakan bahwa keberhasilan dalam
pengembangan pariwisata di suatu daerah sangat tergantung
kepada kemampuan perencana dalam mengintegrasikan kedua sisi
tersebut secara berimbang ke dalam sebuah rencana
pengembangan pariwisata.(Suradnya, 2006)
Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu wilayah yang gencar
melakukan berbagai publikasi terkait potensi alam dan budaya untuk
kegiatan pariwisata. Upaya tersebut harus dilakukan melalui manajemen
pariwisata yang optimal. Salah satu upaya yang bisa dilakukan yakni
melakukan aktivitas City Branding, aktivis ini secara sederhana yaitu
melakukan pencitraan sebuah destinasi wisata, dengan tujuan untuk
memasarkan produk. (Yulianti, 2014) Kegiatan – kegiatan City
Branding,
Pemanfaatan Potensi Budaya dan 6

dapat dilihat dari berbagai image yang akan di bangun di sebuah


wilayah khususnya, yang berkaitan dnegan pembangunan wisata yang
menitik beratkan pada kearifan lokal.
Kembali ke Provinsi Jawa Timur, kita tahu provinsi ini memiliki
sekitar 38 kabupaten kota, yang masing – masing wilayah memiliki
Brand Image masing – masing, sehingga menjadi kekuatan pariwisata
di provinsi tersebut. bisa dibayangkan ketika daerah – daerah tersebut
di padukan menjadi sebuah paket wisata, yang akhirnya memunculkan
konsep pariwisata terpadu yang sangat bagus dan realistis dalam upaya
mempromosikan wilayah tersebut, khususnya dalam bidang pariwisata.

4.1 Pembentukan Strategi City Branding


dengan Memanfaatkan Potensi Ekowisata
(Studi di Kabupaten Pinrang Sulawesi
Selatan)
Temuan yang dapat digarisbawahi dari kedua survei adalah bahwa
pengetahuan terhadap tempat wisata di Pinrang sudah memadai.
Pengetahuan itu umumnya bersumber dari media sosial dan keluarga.
Namun mengenai pengetahuan terkait program dan kebijakan pemerintah
terhadap tempat wisata di Pinrang, responden umumnya tidak mengetahui.
Pengelolaan dan pemasaran tempat wisata di Pinrang dinilai masih
sangat minim sehingga responden umumnya ragu dan tidak berpendapat
bahwa wisata di Pinrang dapat dijadikan sebagai identitas kota. Oleh
karena itu, peningkatan pengelolaan terkait kenyamanan dan keamanan
tempat wisata sangat diraskan perlu oleh para responden. Tujuan wisata
di Pinrang
6 Pemanfaatan Potensi Budaya dan

adalah untuk menikmati kuliner dan pemandangan alam. Hal ini dapat
menjadi masukan yang potensial untuk dikembangkan.
Dari keseluruhan responden pada dua kali survei (sejumlah 115 orang),
sebanyak 63% menyatakan menikmati kunjungan ke tempat wisata di
Pinrang. Angka ini menunjukkan bahwa kepuasan kunjungan relatif
masih sekitar separuh dari seluruh responden. Ini berarti bahwa potensi
wisata di Pinrang masih memerlukan perbaikan pengelolaan yang lebih
baik dan promosi yang lebih luas.
Potensi yang dapat diidentifikasi dari hasil survei ini adalah bahwa
media sosial adalah wahana yang dapat dimaksimalkan untuk promosi
pariwisata Pinrang. Selain itu, preferensi masyarakat terhadap pariwisata
Pinrang adalah pada kuliner dan menikmati pemandangan.
Kesimpulan sementara untuk potensi ekowisata sebagai strategi city
branding Kabupaten Pinrang, pada saat ini, berdasarkan persepsi
masyarakat adalah tidak ada. Potensi ekowisata yang dapat dijadikan
identitas kota dan kemudian menjadi city branding tidak dapat
dilakukan karena berbagai kekurangan dan kelemahan dalam
pengelolaan sektor pariwisata ini. Namun, perkembangan pengelolaan
pariwisata dan kebijakan pemerintah masih harus dielaborasi untuk
mengetahui kemungkinan-kemungkinan lain berdasarkan adanya peluang
dan hambatan yang harus dihadapi untuk mewujudkan city branding
Kabupaten Pinrang.
City branding Kabupaten Pinrang, menurut para stakeholder, adalah
pada aspek agraris dan bahari. RJPMD 2014-2019 menjelaskan bahwa
Kabupaten Pinrang merupakan bagian dari Sistem Kawasan Pengembangan
Ekonomi Terpadu (KAPET) Pare-pare yang merupakan Kawasan
Strategis
Pemanfaatan Potensi Budaya dan 6

Nasional (KSN) dengan arahan peningkatan pertumbuhan ekonomi dari


sudut pandang agroindustri dan perikanan. Demikian juga bahwa mata
pencaharian masyarakat Kabupaten Pinrang di sektor pertanian masih
menjadi lapangan kerja terbesar (56, 50%) tahun 2009, dibandingkan
sektor Industri (3, 95%) dan Perdagangan (12, 67 %). Potensi sektor
pertanian masih menjadi yang paling besar dibanding dengan sektor-
sektor lain sebagai sektor penyedia lapangan kerja Kabupaten Pinrang.
Dalam hal ini,
RIPDA Pariwisata Kabupaten Pinrang juga menyebutkan
“Kepariwisataan Kabupaten Pinrang mendukung upaya sektor
andalannya yakni pertanian (termasuk peternakan dan perikanan)
yang menjadikan kabupaten ini sebagai the ricebowl of the
region, atau lumbung padi provinsi bahkan nasional (hlm. iv-2)”
Kesimpulan dari hasil pemetaan ini adalah bahwa city branding
harus mendapat perhatian dan prioritas dari pemangku kepentingan agar
dapat dirumuskan. Potensi wisata, dan khususnya ekowisata, belum
digarap dengan maksimal menjadikan kesulitan berganda untuk
menetapkan bidang ini menjadi strategi city branding Pinrang.
Identitas ideologis terkait sosok La Sinrang dikatakan dapat menjadi
identitas kota, tetapi untuk menjadi brand, diperlukan strategi khusus;
terutama terkait internalisasi nilai-nilai sosok ini di kalangan muda. Sektor
pertanian dan bahari, khususnya agroindustri dan perikanan, yang
menjadi tumpuan perhatian pengembangan daerah sesuai kebijakan
pemerintah dapat dikemas khusus dan diintegrasikan sebagai atraksi
wisata misalnya sesuai dengan saran dari salah seorang narasumber untuk
membangun edu- farming.
6 Pemanfaatan Potensi Budaya dan

Gambar 4.1. Bagan Pemetaan Strategi City Branding


dengan Memanfaatkan Potensi Ekowisata, perspektif
Stakeholder
Gambar 4.1 meringkaskan pemetaan strategi city branding sesuai
dengan perspektif stakeholder. Program pemerintah menetapkan
agroindustri dan bahari menjadi program unggulan dalam pembangunan
Kabupaten sehingga arah penetapan city branding cenderung menggunakan
potensi dan terminologi dalam bidang tersebut. Manakala, Bumi La Sinrang
dikenal luas untuk menyebut Kabupaten Pinrang sekaligus digunakan
sebagai penanda kota. Namun, stakeholder mengakui bahwa terdapat
Potensi Alam, Sosial, dan Budaya Kabupaten Pinrang beserta potensi
yang bersumber dari Smart City Devices, Komunitas Hobbist,
pemanfaatan Media Sosial. Potensi-potensi tersebut dapat menjadi
modal dan bahan dalam membentuk city branding dan mengembangkan
ekowisata. Dalam hal ini, pengembangan ekowisata disebutkan memiliki
hambatan terbesar
Pemanfaatan Potensi Budaya dan 6

dari infrastruktur perkotaan. Namun, keterbatasan infrastruktur itu dapat


juga disiasati dengan pengembangan wisata minat khusus dan
pengembangan investasi swasta. Operasionalisasi wisata minat khusus
dan pengembangan investasi swasta ini memerlukan kajian lebih dalam
dan menyeluruh.
Gambaran potensi alam dan kebijakan pemerintah sebagai modal
untuk pengembangan potensi ekowisata ini juga dilengkapi dengan
rencana identitas pariwisata Kabupaten Pinrang. Sebagai Strategi
Pembangunan Pasar dan Pemasaran Pariwisata, ditetapkan identitas.
Identitas dan penempatan (positioning) merupakan identitas spesifik
yang harus diinformasikan dan dikomunikasikan secara intensif kepada
wisatawan maupun pelaku kepariwisataan di Kabupaten Pinrang. Arahan
slogan pada setiap Pembangunan produk pariwisata di Kabupaten
Pinrang adalah (RIPDA, 2016: V-17) adalah The Longest Sunset in
South Sulawesi. Artinya: Pariwisata Kabupten Pinrang memiliki
keunikan fenomena alam yang sangat berpotensi dipadukan dengan
keunikan budaya yang juga legendaris. Kehidupan masyarakat nelayan
dan petani berdampingan secara harmonis. Secara morfologis alamnya
dihiasi pantai sepanjang 97 km lebih dan menghadap barat. Pegunungan
dengan scenery/ view indah pun semakin fantastis saat sore.
Identitas pariwisata ini dapat dikaitkan dengan pengembangan
ekowisata dan selanjutnya untuk dijadikan sebagai city branding. Namun
demikian, pengembangan identitas ini memerlukan studi yang mendalam
terkait pemanfaatan pantai untuk pengembangan
6 Pemanfaatan Potensi Budaya dan

Perencanaan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah ini dapat


dikembangkan sebagai city branding Kabupaten Pinrang dengan
memanfaatkan potensi ekowisata. Untuk menuju ke arah itu, diperlukan
lagi serangkaian strategi. Proses komunikasi merek untuk suatu kota,
Michail Kavaratzis memperkenalkan sebuah model, yaitu City branding
Communication Model. (Kavaratzis, 2004:58-73). Identitas pariwisata
The Longest Sunset in South Sulawesi hasil perencanaan Bappeda
Kabupaten Pinrang juga dapat disinergikan dengan kebijakan daerah
yang mengedepankan pembangunan agriculture dan bahari. Di sisi lain,
penetapan icon La Sinrang sebagai identitas ideologis dapat
dikembangkan dan juga disinergikan dengan cita-cita identitas
pariwisata ini. Lebih jauh, identitas pariwisata sebagai city branding ini
dapat menginduk ke branding pariwisata nasional Wonderful Indonesia.
Peneliti menyarankan untuk mengembangkan identitas pariwisata
The Longest Sunset of South Sulawesi sebagai city branding Pinrang
dengan memanfaatkan potensi ekowisata. Pengembangan ini dapat
dilakukan secara sinergis di pihak pemerintah antara Bappeda sebagai
perencana, Dinas Pariwisata sebagai pelaksana, dan Dinas Infokom
sebagai pendukung dalam melaksanakan perencanaan tersebut pada
tahap implementasi dengan berpedoman kepada langkah-langkah
strategi city branding, yang meliputi primary, secondary dan tertiary
communication.
Pemanfaatan Potensi Budaya dan 6

Gambar 4.2. Bagan Pemanfaatan Potensi Ekowisata sebagai Strategi City


Branding
7 Pemanfaatan Potensi Budaya dan
Simpulan 70

Bab 5
SIMPULAN

City branding adalah topik yang sangat menarik bagi akademisi


dan talenta, serta untuk mencapai banyak tujuan lain, konsep strategi
merek semakin diadopsi dari dunia komersial dan diterapkan dalam
mengejar pembangunan perkotaan, regenerasi dan kualitas hidup.
Sebuah city branding bukan hanya sebuah slogan atau kampanye
promosi, akan tetapi suatu gambaran dari pikiran, perasaan, asosiasi dan
ekspektasi yang datang dari benak seseorang ketika seseorang tersebut
melihat atau mendengar sebuah nama, logo, produk layanan, event,
ataupun berbagai simbol dan rancangan yang menggambarkannya.
Penerapan city brand yang tepat dapat menarik pemangku
kepentingan eksternal kota termasuk wisatawan domestik maupun asing,
hal ini dikarenakan wisatawan memandang merek merupakan pembeda
satu dengan yang lainnya sehingga akan memilih suatu tempat dengan
keunikan atau ciri khas yang tidak dimiliki oleh kota lain. Tujuan lain
dari city branding untuk mendapatkan investasi guna meningkatkan
pengembangan kota baik itu dari sektor ekonomi, sosial, atau yang
lainnya.
Daftar 7

Daftar Pustaka

Buku:
Agus. Suryono.2004. Pengantar Teori Pembangunan. Malang:
Universitas Negeri Malang.
Anholt, S. (2007). Competitive Idenity: The New Brand Management
For Nations, Cities And Regions. London: Palgrave Macmillan.
Ariando, Valdo. (2015). Destination Branding Kepulauan Seribu: Studi
Kasus Destination Branding Kepulauan Seribu Dalam Upaya
Mengembangkan Destinasi Wisata Bahari Internasional.
Yogyakarta:UGM-Ilmu Komunikasi (S1)
Astuti, Widiana Puji, Andriani Kusumawati. 2018. Upaya Pemasaran
Pariwisata Ponorogo Melalui City Branding dalam Meningkatkan
Kunjungan Wisatawan (Studi Kasus Pada City Branding
Kabupaten Ponorogo dengan Tagline “Ethnic Art Of Java”). Jurnal
Administrasi Bisnis (JAB). 55(1): 48-58.
Avraham, E. & Ketter, E. (2008). Media Strategies For Marketing Places
In Crisis: Improving The Image Of Cities, Countries, And Tourist
Destinations. Oxford, England: Butterworth Heinemam.
B. T. Indrojarwo, Sabar, and E. Zulaikha. 2010. Visual Design Study of
city branding of Surabaya as a National Creative Industry Center
with MDS Method,” Jurnal City Brand. 1(2): 1-21.
7 Daftar

Bungin, Burhan. (2015). Komunikasi Pariwisata (Pemasaran Dan Brand


Destinasi). Cetakan ke-1. Jakarta: Prenadamedia Group.
Clow, K. E. Dan Baack, D. (2012) Integrated Advertising, Promotion And
Marketing Communications. England: Pearson.
Dinnie, Keith. 2011. City Branding Theory and Cases. London: Palgrave
Macmillan.
Duncan, Tom. ( 2005 ). Principles Of Advertising And Imc . 2nd Edition.
Mcgraw, Hill.
Floysand, A. and Jakobsen, S-E. (2007), Commodification of rural places:
a narrative of social fields, rural development, and football,
Journal of Rural Studies 23(2), 206-221.
Frank, M. Go., Robert, Govers. 2009. Place Branding: Global, Virtual
And Physical Identities, Constructructed, Imagined And Experienced.
New York : Palgrave Macmillan.
Freeman, R. Edward. 1984. Strategic Management: A Stakeholder
Approach. Boston: Pitman.
Gelder, Sicco Van. 2003. Global Brand Strategy: Unlocking Brand
Potential Across Countries,
Culture & Markets. Sterling, VA.Hegger, E. (2007), Branching,
Banding & Blending. An explorative study into concepts and practice
of region branding in the Netherlands, Rural Sociology Group,
Wageningen University. Gelder, Sicco Van. 2003. Global Brand
Strategy: Unlocking Brand Potential Across Countries, Culture &
Markets. Sterling, VA.
Hendra Setia Putra, Pengaruh Event Marketing terhadap City Branding
Kota Bandung (Universitas Pendidikan Indonesia, 2015) hal. 15.
Daftar 7

Kartika, Dharsono Sony, Nanang Ganda Perwira. 2004. Pengantar Estetika.


Bandung: Rekayasa Sains.
Kavaratzis, M. 2004. From city marketing to city branding: Towards a
theoretical framework for developing city brands. Henry Stewart
Publications – Place Branding. 1(1): 58–73.
Kavaratzis, M, Ashworth GJ. 2005. City branding: an effective assertion of
identity or a transitory marketing Trick?. Tijdschrift voor
Economische en Sociale Geografie. 96(5): 506-514.
Kotler, P, dan Keller, K, L. (2000). Manajemen Pemasaran Jilid 1 Edisi 12.
Jakarta: Indeks.
Kotler, Philip & Kevin Lane Keller. (2008). Manajemen Pemasaran,
Edisi 13 Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kotler, P. And K. L. Keller. (2012) Marketing Management. 14th Edition.
Prentice Hall. International. New Jersey.
Lestari, Retno Budi. 2016. Membangun Citra Sebuah Kota Dalam
Persaingan Global Melalui City Branding. Jurnal Ilmiah STIE
MDP. 5(2): 68-79.
Maessen, R., Wilms, G. and Jones-Walters, L. (2008), Branding our
landscapes: Some practical experiences from the LIFESCAPE
project, Proceedings
Megantari, Krisna. 2019. Penerapan Strategi city branding Kabupaten
Ponorogo “Ethnic Art of Java”. 7(1): 1-9.
Miller, Merrilees D and Herington. 2009. Antecedents of residents city
brand attitudes. Journal of Business Research. 1(62): hal. 362
7 Daftar

Morgan, N., Pritchard, A., & Pride, R. 2004. Destination Branding –


Creating the Unique Destination Proposition. (2ndEd). Oxford:
Butterworth – Heinemann
Moser, M, 2006. United We Brand: Menciptakan Merek Kohesif yang
Dilihat, Didengar, dan Diingat. Jakarta: Erlangga.
Pace, R. Wayne, Brent D. Peterson, M. Dallas Burnett. 1979.
Techniques for Effective Communication. Addison-Wesley.
Rahman, Faisal Arif, Indra Wijayanto N.A, Jasmine Marva Silmina.
2015. Aspek Hukum Regional Branding Dalam Undang•Undang
Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek Dan Undang•Undang
Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (Studi Kasus Jogja
Istimewa Sebagai Brand Daerah Istimewa Yogyakarta). Jurnal
Penelitian Hukum. 2(3): 179- 204.
Rangkuti, Fredy. 2004. The Power of Brand. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Risitano, Marcello. (2005). The Role Of Destination In The Tourism
Stakeholders System (The Campi Flegrei Case). University of Naples
Federico II, Italy: Department of Business Management, Faculty
of Economics
Shimp, Terrence A. 2000. Periklanan Promosi dan Aspek Tambahan
Komunikasi Pemasaran Terpadu Edisi kelima jilid I. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Shimp, Terence A. 2003. Periklanan Promosi: Aspek Tambahan
Komunkasi Pemasaran Terpadu Jilid I. Jakarta: Erlangga
Sukmaraga, Ayyub Ashari. Aditya Nirwana. 2016. City Branding:
Sebuah Tinjauan Metodologis Dengan Pendekatan Elaboratif,
Praktis, Dan
Daftar 7

Ilmiah. JADECS (Journal of Arts, Design, Art Education and


Culture Studies). 1(1): 1-19.
Wardani, Zakia, M. Baiquni. 2012. Persepsi Pelaku Bisnis Pariwisata
Terhadap Regional
Wibawanto, Wandah. 2015. Peran Akademisi dalam Konstruksi City
Branding. Semarang: Universitas Negeri Semarang
Widyaswara, Bramantya Yoga, Berto Mulia Wibawa, dan Muhammad
Saiful Hakim. 2018. “Perancangan Logo dan Slogan Kabupaten
Trenggalek Sebagai Media city branding”. Jurnal Sains Dan Seni
Its 7(1): 24-25.
Wiryawan, B., Mendiola. (2008). Kamus Brand. Jakarta: Red & White
Publishing.
Yananda, M. Rahmat dan Salamah, Ummi, Branding Tempat: Membangun
Kota. Jakarta: PT. Grafindo, 2014) dalam hal. 34.

Journal:
Alaux, Christophe, Serval, Sarah & Zeller, Christelle. (2015). Le Marketing
Territorial Des Petits Et Moyens Territoires: Identite, Image Et
Relations, ́ Gestion Et Management Public, Volume 4 / N° 2, P.
61- 78.
Anholt, S. (2002). Foreword. Journal Of Brand Management, 9(4–5), 229–
239.
Branding ‘Solo, The Spirit of Java’. Jurnal Bumi Indonesia, 1(1): 3.
Braun, Erik. (2008). City Marketing: Towards An Integrated Approach.
(Ph.D. Thesis), Erasmus Research Institute Of Management
(Erim).
7 Daftar

Retrieved From Http://Hdl.Handle.Net/1765/13694 (Eps-2008-142-


Org).
Eshuis, Jasper, Klijn, Erik-Hans, & Braun, Erik. (2014). Place
Marketing And Citizen Participation: Branding As Strategy To
Address The Emotional Dimension Of Policy Making.
International Review Of Administrative Sciences, 80(1), 153-174.
Fan, Y., (2010). Branding The Nation, Towards A Better Understanding.
Place Branding And Public Diplomacy, 6, 2, 97-103.
Farooqi R (2009). “Nation Branding: A Study Of India’s Brand Equity
And Capabilities In Comparison To Two Other South Asian
Countries”, Pranjana: The Journal Of Management Awareness,
12(2), 51-71.
Kotler, P. And Gertner, D. (2002), “Country As Brand, Product, And
Beyond: A Place Marketing And Brand Management
Perspective”, Journal Of Brand Management, Vol 9, No. 4-5, Pp
249-261.
Paasi, A. (2002), Bounded spaces in the mobile world: Deconstructing
‘Regional identity’, Tijdschrift voor Economische en Sociale
Geografie 93 (2), 137–148.
Papadopoulos, N. And Heslop, L. (2002), “Country Equity And Country
Branding: Problems And Prospects”, Journal Of Brand
Management, Vol 9, No. 4-5, Pp 294-314

Website:
Agustin, Dara, Puspa. (2015). Analisis SWOT dalam Perencanaan
Wilayah dan Kota Diakses dari
http://www.radarplanologi.com/2015/ 11/analisis-swot-dalam-
perencanaan-wilayah-dan-kota.html pada tanggal 13 Januari 2019.
Daftar 7

Dinas Pariwisata Ponorogo. Diakses dari http://www.pariwisata.ponorogo.


go.id pada tanggal 14 Januari 2019.
Fatmala, Dila. (2012). Perancangan City Branding Kota Bandung.
Diakses dari https://elib.unikom.ac.id/files/disk1/571/jbptunikompp-
gdl- ditafatmal-28523-10-unikom_d-i.pdf pada tanggal 13 Januari
2019.
Gamatechno Indonesia. (2018). Manfaat City Branding sebagai Citra
Pariwisata Daerah. Diakses dari https://blog.gamatechno.
com/manfaat-city-branding-sebagai-citra-pariwisata-daerah/ pada
tanggal 14 Januari 2019.
Marheda. Analisis SWOT. Diakses dari https://www.academia.edu/
6391072 /Analisis_Swot pada tanggal 14 Januari 2019.
Nugrahani, Rahina. (2016). Peran Akademisi dalam Kontruksi City
Branding. Diakses dari http://blog.unnes.ac.id/rahinadkv/2016/04
/01/peran-akademisi-dalam-kontruksi-city-branding/ pada tanggal 14
Januari 2019.
Suryahadi, Akhmad Sadewa. (2015). Branding Pariwisata Daerah di
Indonesia. Diakses dari http://akhsadew.blogspot.com/2015/
03/branding-pariwisata-daerah-di-indonesia.html pada tanggal 14
Januari 2019.
Wibawanto, Wandah, Rahina Nugrahani. (2015). Peran Akademisi
dalam Kontruksi City Branding. Diakses dari
https://www.academia.edu/
17805837/Peran_Akademisi_dalam_Kontruksi_City_Branding pada
tanggal 13 Januari 2019.
Wicaksono, Rahardhian Galang. (2016). Perancangan City Branding
Kota Ambarawa sebagai Pembentuk Identitas Kawasan
Penyangga
7 Daftar

Joglosemar. Diakses dari http://digilib.isi.ac.id/id/eprint/1675 pada


tanggal 14 Januari 2019.
Tentang 7

TENTANG

Eli Jamilah Mihardja meraih gelar PhD tentang


Jurnalisme Lingkungan dari Universiti Sains
Malaysia, Penang, dengan disertasi berjudul
“Praktek Jurnalisme Lingkungan di Indonesia
dan Malaysia: Studi Kasus Kompas dan Utusan
Malaysia” (2017). Lulus dari Universitas
Padjadjaran, dengan tesis sarjana "Peran
KOWANI dalam Mempromosikan dan
Memperluas Kesetaraan Gender di Indonesia,
1946-1998" (2001) dan master tesis "Strategi media massa dalam Produksi Berita di
sekitar Kandidat Presiden Indonesia: studi kasus dalam Program Siaran Pemilihan
Presiden RI Merangkap Kedua di Radio Mara 106.7 FM Bandung ”(2005).
Eli suka bepergian dan menikmatinya saat melakukan penelitian. Oleh karena itu,
ia mendalami bidang penelitian dan metodologi dan aktif melakukan penelitian
lapangan terutama pada penelitian kualitatif.
Penelitian yang sedang berlangsung adalah Hibah Risetdikti PDUPT berjudul "Potensi
Ekowisata sebagai Strategi Branding Kota (Studi Kasus Kabupaten Pinrang Sulawesi
Selatan)" dan PTUPT berjudul "Model Peningkatan Performa Rumah Susun Berbasis
Masalah Keselamatan dan Kesehatan".
8 Tentang

TENTANG

Dr. Prima Mulyasari A., S.Sos., M.Si. dosen


program studi Ilmu Komunikasi di
Universitas Bakrie sejak tahun 2012, serta
dosen program pasca sarjana program studi
Magister Ilmu Komunikasi Universitas
Mercu Buana sejak tahun 2011. Pada tahun
yang sama Prima juga mengabdikan
pengetahuannya sebagai dosen pada
Universitas Paramadina Program
Komunikasi dan Universitas Islam Bandung
Program Ilmu Komunikasi. Prima menamatkan gelar Sarjana Sosial pada tahun 1998
dari Universitas Islam Bandung dan meraih gelar magister ilmu ekonomi manajemen
pada tahun 2005 dari Universitas Padjajaran Bandung. Gelar doctor diperoleh dari
Universitas yang sama pada tahun 2013 dalam program studi ilmu komunikasi. Karir
sebagai dosen diawali sebagai tenaga pengajar di bidang kajian Manajemen Komunikasi
Universitas Islam Bandung sejak tahun 1999. Beliau pernah menjabat sebagai Dean
Assistant, Departemen Komunikasi Universitas Islam Bandung tahun 2006-2008 dan
sebagai kepala bagian Administras umum dan keuangan Departemen Komunikasi
Universitas Islam Bandung pada tahun 2000-2003. Selain itu, Prima menjadi tenaga ahli
di berbagai perusahaan dan lembaga pemerintah.
Tentang 8

TENTANG

Tuti Widiastuti, Doktor Ilmu Komunikasi dari


Universitas Indonesia, meraih gelar sarjana
dari Universitas Sahid dan gelar magister dari
Universitas Indonesia. Setelah memiliki
beberapa tahun pengalaman di beberapa
perusahaan swasta, Tuti memutuskan untuk
mengejar karir di bidang akademik sebagai
dosen. Berawal sebagai dosen di Universitas
Sahid dari tahun 2000, Tuti juga mengajar
secara tidak tetap di banyak universitas top
lainnya seperti Universitas Paramadia, Universitas Al-Azhar Indonesia, Universitas
Terbuka, dan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka. Kemudian, ia menjadi
dosen tetap di Universitas Bakrie.
Tuti memiliki pengalaman yang luas, tidak hanya sebagai dosen, tetapi juga
sebagai peneliti dan konsultan untuk banyak program komunikasi untuk mendukung
pertumbuhan bangsa. Tuti melakukan beberapa penelitian sosial dengan dukungan dari
DIKTI, Kopertis Wilayah III, Pusat Kajian Komunikasi UI dan PT Kaltim Prima Coal,
Polling Center, LP2MK Universitas Sahid, Prof. Harsono Suwardi & Associates, Retno
Dewanti Purba & Associates dan Telkom Divre II.
8 Tentang

TENTANG

Ir. Dr. BP. Kusumo Bintoro, MBA lulus dari


Jurusan Teknik Sipil - Institut Teknologi
Bandung pada tahun 1982. Kurangnya
pengetahuan manajemen yang ia hadapi dalam
pekerjaannya sebagai Project Engineer dari
sebuah perusahaan konstruksi milik negara
terpenuhi ketika ia bergabung dengan program
Wijawiyata Manajemen yang diselenggarakan
oleh Lembaga Pendidikan & Pengembangan
Manajemen (LPPM) di Jakarta pada tahun
1983. Mendapatkan prestasi akademik tertinggi di antara teman-teman sekelasnya
mendorong LPPM untuk merekrutnya sebagai staf professional. Pada tahun 1986 ia
dipilih untuk menerima hibah dari USAID untuk mengejar gelar MBA dari University
of Southern California - Los Angeles jurusan Bisnis Internasional yang ia capai pada
tahun 1987. Medio 2005 menandai karir barunya sebagai dosen paruh waktu di SBM
ITB dan kemudian di Bakrie School of Management (sekarang Universitas Bakrie)
sejak Agustus 2007. Bertekad untuk mendedikasikan jasanya dalam pendidikan, sejak
Agustus 2010 ia mendaftar di Doctor of Science dalam program Manajemen SBM-ITB
dan selesai pada tahun 2015. Minat penelitiannya meliputi implementasi Perencanaan
Sumber Daya Perusahaan dan analisis teori drama tentang pengambilan keputusan dan
negosiasi.
Branding kini semakin populer Branding tidak hanya
disematkan pada produk, seperti makanan, minuman,
pakaian, perumahan, sekolah, namun juga branding
dilakukan diberbagai destmasi wisata, baik destinasf
wisata yang sudah lama ada, atau destinasi w1sata
yang baru dibentu Pembenan merek suatu kota
diperlukan untuk memberikan identitas bagi kota terse
but Proses penciptaan merek suatu wilayah bukanlah
proses sederhana yang dapa dilakukan dalam waktu
singkat Diper1ukan pemahaman yang komprehensif
mengenaj dinamika suatu kota yang terdpta dari inter
aksi antara masyarakat, pemerintah, pelaku industri,
pendatang dan pemangku kepentingan lain

I J rt.: 12920
1 1 1 1 1 1 1 1I I I I
9 786027
w w w bane ctd

Anda mungkin juga menyukai