net/publication/328530245
CITATIONS READS
0 358
1 author:
Faza Adhimah
Universitas Gadjah Mada
4 PUBLICATIONS 2 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Faza Adhimah on 06 April 2022.
26
3.1.2 Kondisi Fisik
27
beradaptasi pada lingkungan air laut. Lamun banyak dijumpai di perairan
dangkal pada daerah pesisir. Ditemukan 10 genera lamun yang termasuk
dalam Pomatogetonacaea dan Hydrocharitaceae. Enam genera lamun
yang ditemukan adalah genera Enhalus dan Thalassia mendominasi
komunitas lamun di perairan Karimunjawa (Aryono, 2004). Selain karang
dan padang lamun, ekosistem mangrove juga merupakan kelas yang
paling banyak dijumpai pada sepanjang pantai di Pulau Kemujan
3.2.1 Alat
28
5.4 Peralatan pendukung survei:
a. GPS (global positioning system) handheld etrex 30 dan GPS
Garmin 60csx (penentuan posisi objek di lapangan)
b. Alat dasar selam untuk snorkling (pengamatan objek di
lapangan) dan kamera (untuk dokumentasi)
c. Kapal (transportasi menuju titik penelitian)
5.5 Peralatan tulis
3.2.2 Bahan
A. Pra Pengolahan
29
3.3.2 Koreksi geometrik
Citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra Pléiades-1A
yang sudah diproses hingga level ortho. Sehingga citra ini tidak perlu
dikoreksi geometrik karena citra sudah terproyeksi dengan sistem
koordinat. Keterangan koreksi citra ditampilkan pada file product
paramaters sebagai berikut:
ROI Type : Polygon
Acquisition date : 2013-09-23 03:03:48.4
Platform : PHR 1A
Acquisition mode : PX
Spectral processing : PA+XS
Processing level : ORTHO
Coordinate system type : Projected
Coordinate system name : 32149
Coordinate system code : EPSG:32749
Number of lines : 31150
Number of pixels per line : 27975
Number of bands :4
Keterangan pendukung citra yang lain dapat dilihat pada Tabel 3.1 hingga
Tabel 3.3
Band ID B0 B1 B2 B3
Absolute calibration gains (W/m2 /sr/μm) 9,38 9,34 10,46 15,69
30
Tabel 3. 2 Keterangan incidences dan orientation citra
Keterangan Start Middle End
Orientation 180,11 180,01 179,87
Global incidence 21,91 21,93 21,97
Across/along the track 8,33/-20,53 8,25/-20,59 8,18/-20,65
Solar azimuth 76,29 76,15 75,99
Solar elevation 67,43 67,41 67,40
31
Keterangan:
Lλ = TOA spectral radiance (μW/(sr.cm-2 .nm))
Gain (b) = nilai gain pada band x
DC = band x
Bias (b) = nilai bias/offset pada band x
Dari hasil pembacaan metadata, nilai gain dan bias citra dapat dilihat
pada Tabel 3.4
Citra yang sudah dikoreksi radian memiliki nilai spektral yang sudah
ada satuannya. Perbedaan dari nilai spektral citra dapat dilihat pada
Tabel 3.5 dan Tabel 3.6.
32
Koreksi reflectance
Koreksi reflectance berfungsi untuk menyamakan nilai spektral objek
dengan mempertimbangkan kesalahan akibat faktor posisi matahari
dan sensor satelit saat perekaman. Berikut persamaan yang digunakan
dalam koreksi reflectance menurut ENVI help:
( )
( ) ( )
(2)
( )
Keterangan:
Ρb (p) = TOA spectral reflectance (μW/(sr.cm-2 .nm))
Π = 3.141593
Lb (p) = nilai band x
E0 (b) = nilai TOA solar irradiance untuk band x
Cos (θs) = sun zenith angle (zenith angle = 900 - sun elevation0 )
Koreksi atmosfer
Koreksi atmosfer dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa
faktor gangguan atmosfer sebagai sumber kesalahan yang dapat
menyebabkan penyerapan dan penghamburan sinar matahari.
Terdapat beberapa metode koreksi atmosfer diantaranya adalah
koreksi DOS (dark object substraction). Koreksi DOS merupakan
koreksi absolut dimana nilai reflekatan pada satelit dikonversi
menjadi nilai surface reflectance dengan asusmsi bahwa terdapat
objek yang mempunyai nilai pantulan mendekati nol persen
33
(misalnya bayangan, air jernih dalam dan hutan lebat), (Chaves Jr,
1996; Nurlina, 2014). Koreksi atmosfer pada citra Pléiades-1A ini
menggunakan koreksi dark substraction yang terdapat pada tool
ENVI 5.0 dengan mengevaluasi nilai minimum band. Secara
tampilan, citra yang sudah dikoreksi atmosfer memiliki warna yang
rona yang lebih cerah seperti yang ditampilkan pada Gambar 3.2.
(a) (b)
Gambar 3. 2 Perbandingan citra sebelum dan sesudah dikoreksi
atmosfer
(a) Citra hasil koreksi reflectance; (b) Citra hasil koreksi atmosfer
Koreksi sunglint
Koreks sunglint dilakukan untuk menghilangkan efek pantulan sinar
yang terjadi pada perairan. Pengaruh sunglint dapat diketahui dengan
membandingkan antara band visible dan band NIR yang dapat dilihat
dengan menetapkan training area pada citra yang mengandung
sunglint (Anggoro, 2014). Berikut persamaan yang digunakan dalam
koreksi sunglint menurut (Hedley et al, 2005):
( ) ( ) ( ) ( ) (3)
34
Keterangan:
Li (vis)’ = band terkoreksi sunglint
Li (vis) = band visible
bi = nilai regression slope
L (nir) = band NIR
Lmin (nir) = nilai munimum ROI dari band NIR
Gambar 3.3 menunjukkan perbandingan linear dari band visible dan
band NIR untuk setiap training area yang diambil.
Red vs NIR
0.02
y = 0.8582x - 0.0024
R² = 0.9826
0.01
0
0 0.005 0.01 0.015 0.02
Blue vs NIR
0.02
y = 0.651x - 0.0051
R² = 0.9307
0.01
0
0 0.01 0.02 0.03
Green vs NIR
0.02
y = 0.4014x - 0.0034
0.01 R² = 0.9538
0
0 0.01 0.02 0.03 0.04
Gambar 3. 3 Scatter plot nilai bi pada band visible dan band NIR
35
terendam. Persamaan yang digunakan dalam algoritma Lyzenga
adalah:
( ) ( ) ( ) (4)
√ (5)
( ) ( )
(6)
( )
Keterangan:
Ln (Bi) = nilai ln dari band i
Var Bi = nilai varian dari ln band i
Cov Bij = nilai covarian dari ln band i dan band j
36
Jika dibandingkan dengan citra yang belum terkoreksi kolom air,
substrat pasir yang ada memiliki warna yang seragam (putih) pada
berbagai varian kedalaman seperti yang ditampilkan pada Gambar
3.5.
37
Kemujan. Pemotongan citra dilakukan dengan menggunakan proses
masking. Masking dilakukan pada area daratan dan area laut dalam
sehingga menyisakan perairan dangkal di Pulau Kemujan.
(a)
(b)
Gambar 3. 6 Kegiatan survei lapangan
(a) Plotting titik sampel; (b) Dokumentasi kelas habitat bentik
38
GPS yang digunakan adalah GPS etrex 30 dan GPS Garmin 60 csx
yang memiliki akurasi 2 hingga 8 meter, sedangkan citra yang digunakan
dalam penelitian memiliki resolusi spasial 0,5 meter. Untuk
menyesuaikan akurasi dari GPS tersebut, plotting titik sampel dilakukan
pada lokasi yang memiliki kelas habitat bentik dengan homogenitas tinggi
di lapangan. Titik sampel yang diperoleh dari hasil survei lapangan ini
nantinya akan dibagi menjadi 2, yaitu digunakan untuk acuan dalam
membuat training area untuk klasifikasi berbasis piksel dan untuk
validasi data hasil klasifikasi. Dapat dilihat pada Gambar 3.7 persebaran
titik sampel yang diambil saat di lapangan.
B. Pengolahan Data
3.3.7 Penentuan jumlah kelas
Jumlah kelas yang diterapkan pada penelitian ini berdasarkan hasil
pengamatan pada citra penginderaan jauh dan pengamatan lapangan.
39
Pengamatan objek dilakukan dengan melihat objek secara langsung yang
ada di lapangan untuk membuat skema klasifikasi habitat bentik. Kelas
habitat bentik yang ditemukan di lapangan berjumlah 7 kelas. Kelas
habitat bentik dapat berupa kelas tunggal ataupun kelas campuran yang
dilabeli berdasarkan komponen penyusun dominannya, yaitu kelas pasir
(Ps), terumbu karang (Tb), lamun (Lm), alga (Al), terumbu karang dan
pasir (Tb-Ps), pasir dan rubble (Ps-Rb), alga dan terumbu karang (Al-Tb).
Contoh kenampakan dari masing-masing kelas habitat bentik dapat dilihat
pada Gambar 3.8.
(g)
Gambar 3. 8 Variasi komponen kelas habitat bentik
(a) Lamun; (b) Alga; (c) Terumbu Karang; (d) Alga-Terumbu Karang; (e)
Terumbu Karang-Pasir; (f) Pasir-Rubble; (g) Pasir
40
3.3.8 Klasifikasi berbasis piksel
Metode klasifikasi yang digunakan untuk klasifikasi berbasis piksel
adalah klasifikasi supervised maximum likelihood. Maximum likelihood
merupakan metode klasifikasi yang menghasilkan akurasi pemetaan yang
paling tinggi dibandingkan dengan skema klasifikasi lainnya (Wicaksono,
2014). Klasifikasi supervised dilakukan dengan menggunakan titik
training area yang dibuat dari hasil survei lapangan. Pada klasifikasi
maximum likelihood, training area yang digunakan diambil dari titik
survey lapangan yang dibagi menjadi dua sebelumnya. Perbedaan antara
titik survey yang digunakan sebagai uji akurasi dan training area dapat
dilihat pada Gambar 3.9.
Gambar 3. 9 Titik survei uji akurasi dan model pada maximum likelihood
41
Gambar 3. 10 Tampilan ROI tool dan hasil klasifikasi habitat bentik
42
sudah dilakukan maka perlu membuat urutan proses dengan membuat
append baru dan child baru. Pada Gambar 3.11 dan 3.12 menampilkan
contoh pembuatan process tree untuk segmentasi. Segmentasi
menghasilkan citra yang sudah terbagi ke dalam segmen-segmen seperti
yang terlihat pada Gambar 3.13.
Append
Child
Gambar 3. 11 Tampilan process tree untuk segmentasi
(a) (b)
Gambar 3. 13 Perbandingan citra sebelum dan sesudah di segmentasi
(a) Citra sebelum segmentasi (b) Citra sesudah segmentasi scale
parameter 20
43
b. Klasifikasi
Proses klasifikasi merupakan proses yang dilakukan untuk
mengelompokkan objek berdasarkan suatu karakteristik. Pada penelitian
ini klasifikasi yang dilakukan menggunakan klasifikasi assign class yang
mengelompokkan objek berdasarkan kondisi/threshold condition. Kondisi
yang dimaksud disini adalah nilai dari suatu segmen objek. Kondisi yang
digunakan pada penelitian ini adalah kondisi nilai mean dari layer band
biru (layer band 23 pada input citra koreksi kolom air). Nilai objek dapat
dilihat pada image object information. Setiap segmen untuk objek tertentu
akan memiliki pola yang memungkinkan untuk mengenali objek dari pola
tersebut. Dengan membaca nilai objek diharapkan dapat menemukan pola
yang dapat digunakan untuk mengisi threshold condition pada proses
klasifikasi. Gambar 3.14 menunjukkan tampilan pembacaan nilai pasir
pada jendela image object informastion.
44
Gambar 3. 15 Tampilan class hierarchy window dan kelas habitat bentik
45
c. Klasifikasi Manual
Klasifikasi manual adalah proses pengelompokkan objek secara
visual dengan memilih segmen-segmen yang termasuk ke dalam kelas
tertentu dengan bantuan brush. Klasifikasi manual dilakukan dengan
tujuan membedakan kelas lama dengan kelas baru yang tidak dapat
dibedakan berdasarkan nilai objeknya. Klasifikasi manual merupakan
proses klasifikasi lanjutan yang dilakukan pada data hasil klasifikasi
”assign class” untuk mengklasifikasikan kelas yang belum terkelaskan
pada proses tersebut.
Klasifikasi manual dilakukan pada kelas lamun, alga-terumbu
karang, dan terumbu karang-pasir. Yang perlu diperhatikan pada
klasifikasi manual ini adalah besar brush yang digunakan (semakin besar
nilai brush maka semakin besar ukurannya), kelas yang akan dikelaskan
dan kelas yang diubah. Keterangan paramter yang digunakan pada
klasifikasi manual dapat dlihat pada Gambar 3.17.
46
Gambar 3. 18 Tampilan hasil klasifikasi assign class dan manual
d. Ekstraksi
Ekstraksi pada klasifikasi berbasis objek bertujuan untuk merubah
format penyimpanan hasil segmentasi dan klasifikasi ke dalam bentuk
shapefile untuk pengolahan selanjutnya. Ekstraksi data klasifikasi
dilakukan satu persatu pada setiap kelas untuk memudahkan dalam
penamaan objek. Berikut tampilan proses ekstraksi datanya:
47
yang dilakukan berupa overlay dengan metode append dan clip untuk
memotong daerah yang tidak termasuk dalam daerah kajian.
C. Penyajian Data
3.3.10 Uji akurasi
Uji akurasi dilakukan untuk mengetahui tingkat keakuratan peta
yang dihasilkan dari kedua metode, yang nantinya akan menjadi acuan
dalam membandingkan hasil dari metode klasifikasi. Metode yang
digunakan dalam uji akurasi ini adalah confusion matrix yang menghitung
nilai akurasi user accuracy, producer accuracy, commission, ommission
dan overall accuracy. Uji akurasi dilakukan menggunakan data hasil
survei lapangan.
Uji akurasi yang dilakukan pada hasil klasifikasi OBIA dilakukan
dengan merubah hasil klasifikasi yang sebelumnya disimpan dalam
bentuk vektor ke dalam bentuk .ROI menggunakan software ENVI. Data
.ROI ini jadi acuan dalam pembuatan image class classification yang
digunakan untuk melakukan uji akurasi dengan metode confusion matrix.
Uji akurasi pada setiap hasil klasifikasi dilakukan dengan
menggunakan dua input, yaitu uji akurasi dalam bentuk titik dan data
yang sudah dikonversi dalam bentuk polygon. Hasil klasifikasi maximum
likelihood akan diuji akurasinya dengan menggunakan titik survei yang
sebelumnya sudah dibagi dua (model dan uji akurasi). Uji akurasi pada
klasifikasi OBIA dilakukan dengan menggunakan semua titik hasil survei
lapangan. Sama seperti uji akurasi pada maximum likelihood, klasifikasi
OBIA juga dilakukan dengan menggunakan dua jenis ROI uji akurasi,
yaitu dalam bentuk titik dan polygon.
Pembuatan ROI dalam bentuk polygon dilakukan dengan
menggunakan spatial join tool pada software ArcMap untuk
menampalkan data titik survei lapangan dengan data hasil segmentasi
48
citra. Tujuan dari membedakan ROI dalam dua bentuk adalah untuk
mengetahui bentuk ROI yang paling sesuai dalam uji akurasi pada
klasifikasi berbasis piksel dan klasifikasi OBIA.
Disebutkan sebelumnya bahwa klasifikasi berbasis piksel
mengkelaskan objek dalam satuan piksel dan klasifikasi OBIA
mengkelaskan objek dalam satuan segmen. Pada klasifikasi maximum
likelihood, setiap piksel yang dikelaskan dapat diwakili oleh satu titik
survey, sedangkan pada klasifikasi OBIA setiap segmen yang dikelaskan
dapat terdiri dari beberapa titik survey sekaligus. Untuk membuat setiap
segmen hasil klasifikasi hanya terdiri dari satu titik survey saja, maka data
titik tersebut perlu dikonversi menjadi polygon dengan memilih titik
survey dengan kelas yang mendominasi. Bentuk ROI uji akurasi yang
sudah dikonversi dalam bentuk polygon dapat dilihat pada Gambar 3.20.
49
3.4 Diagram Alir Penelitian
Koreksi Geometrik
Kalibrasi Nilai Radian
Koreksi Reflektan
Koreksi Radiometrik Koreksi Atmosfer
Koreksi Sunglint
Koreksi Kolom Air
Masking daerah kajian
Klasifikasi
Polygon Titik
Overlay
Berbasis Objek Berbasis Piksel
51
Validasi data hasil pemetaan dilakukan dengan menggunakan data hasil survei
lapangan dengan menggunakan dua data input ROI untuk uji akurasi, yaitu titik dan
polygon. Uji akurasi dalam penelitian ini menggunakan metode confusion matrix
yang membandingkan jumlah piksel yang terklasifikasikan dengan benar dan jumlah
titik survei yang digunakan. Uji akurasi yang dilakukan dengan menggunakan ROI
berupa polygon menghasilkan overall accuracy (OA) sebesar 69,75% dengan
koefisien kappa 0,64. Uji akurasi menggunakan polygon menggunakan 58.784 piksel
yang diuji, dan hanya 41.002 piksel yang sesuai. Hasil uji akurasi berbasis piksel
dengan ROI berupa polygon dapat dilihat pada Lampiran 6.
Hasil uji akurasi yang dilakukan dengan ROI dalam bentuk titik menggunakan
151 titik referensi memiliki nilai OA sebesar 71,52% dengan nilai koefisien kappa
sebesar 0,65. Hasil akurasi dengan menggunakan ROI berupa titik memiliki nilai OA
lebih besar. ROI berupa titik lebih tepat digunakan dalam hasil klasifikasi berbasis
piksel karena setiap satu titik objek akan mewakili setiap satu piksel. ROI dalam
bentuk polygon akan mewakili beberapa piksel sekaligus sehingga menyebabkan
akurasinya menurun. Berikut akurasi hasil klasifikasi berbasis piksel menggunakan
ROI berupa titik disajikan pada Tabel 4.1
Tabel 4. 1 Tabel uji akurasi hasil klasifikasi berbasis piksel dengan ROI titik
52
Nilai user’s accuracy (UA) merupakan nilai yang mewakili kondisi tiap kelas
di lapangan. Sedangkan nilai producer’s accuracy (PA) merupakan nilai yang
mengindikasikan bahwa setiap piksel sudah terkelaskan dengan tepat. Kelas TB-SD
memiliki nilai UA terendah, dengan nilai 25%. Sebesar 45% sampel untuk TB-SD
berada pada kelas TB dan sisanya berada pada kelas AL dan LM. Kelas LM dan AL-
TB memiliki nilai UA tertinggi, yaitu 100%. Hal ini menunjukkan bahwa klasifikasi
yang dilakukan pada kedua kelas tersebut sudah sesuai dengan kondisi aslinya di
lapangan.
Berdasarkan perhitungan akurasi pada Tabel 4.1, dapat dilihat kelas TB-SD
memiliki nilai PA terendah, yaitu 41,67%. Pada kelas TB-SD, terdapat 6 titik
referensi yang tidak terkelaskan dengan benar, dengan adanya kelas TB-SD yang
terkelaskan menjadi kelas TB dan AL. Sedangkan kelas dengan nilai PA tertinggi
terdapat pada kelas LM, dengan nilai sebesar 90%, meskipun begitu terdapat 10%
yang salah terkelaskan menjadi kelas TB. Hal ini dapat disebabkan karena terdapat
kemiripan nilai spektral pada kedua kelas tersebut.
Hasil pemetaan dengan metode klasfikasi berbasis piksel pada sebagian Pulau
Kemujan didominasi dengan kelas TB-SD dengan luas 1,38 Km2 dari luas total
daerah kajian 4,68 Km2 . Sedangkan kelas LM memiliki luasan terkecil, yaitu dengan
luas 0,17 Km2 . Jika dilihat pada Gambar 4.1 kelas LM berada pada paling dekat
dengan daratan dengan pola yang memanjang, namun terdapat pula kelas LM yang
berada di sekitar kelas TB. Luasan setiap kelas hasil klasifikasi berbasis piksel
ditampilkan pada Tabel 4.3
53
4.2 Klasifikasi berbasis objek
Klasifikasi berbasis objek secara garis besar meliputi tiga proses utama, yaitu
segmentasi, klasifikasi assign class dan klasifikasi manual. Ketiga porses tersebut
digambarkan pada Gambar 4.2.
Berdasarkan rule set yang ditampilkan pada Gambar 4.2, segmentasi dilakukan
dengan menggunakan scale parameter 20, sedangkan nilai shape dan compactness-
nya mengikutin pengaturan default software, yaitu 0,1 dan 0,5. Pemilihan nilai scale
parameter 20 untuk memperingan kerja software dalam mengolah data citra Pléiades-
1A yang memiliki resolusi spasial yang sangat tinggi, yaitu 0,5 meter. Pada
segmentasi ini menghasilkan jumlah objek atau jumlah polygon hasil segmentasi
sebanyak 137.248 objek.
Klasifikasi assign class dilakukan hanya pada 4 kelas habitat bentik, yaitu pada
kelas PS, PS-RB, AL, dan kelas TB. Ke-empat kelas tersebut dipilih untuk klasifikasi
ini karena nilai spektralnya masih dapat dibedakan polanya dari kelas lainnya.
Klasifikasi assign class hanya menggunakan satu kondisi saja, yaitu berdasarkan
kondisi nilai mean pada layer 1, dimana layer 1 diisi dengan band 23 dari citra hasil
koreksi kolom air. Layer 2 (band 13) dan layer 3 (12) tidak digunakan karena pada
54
dasarnya ke-dua layer tersebut memiliki nilai mean yang hampir sama dengan nilai
mean dari layer 1. Sedangkan nilai brightness tidak digunakan karena tidak dapat
ditemukan polanya untuk setiap kelas habitat bentik. Analisa pola nilai dari setiap
kelas menggunakan metode try and error dengan membaca informasi layer value
pada setiap segmen dari setiap kelas dengan menggunakan bantuan jendela image
object information. Pembacaan layer value dapat dilihat pada Lampiran 9.
Kelas PS di citra memiliki rona yang paling terang, sehingga nilai mean untuk
kelas pasir memiliki nilai yang paling tinggi. Sebaliknya, kelas TB memiliki rona
yang paling gelap, sehingga nilai mean-nya paling rendah. Dalam memasukkan
threshold condition perlu diperhatikan objek yang akan dikelaskan paling pertama
dan penggunaan tandanya agar tidak terjadi kesalahan dalam klasifikasi objeknya.
Untuk memudahkan dalam memasukkan threshold condition klasifikasi dilakukan
pada objek yang memiliki nilai mean yang paling tinggi atau yang paling rendah
terlebih dulu, seperti yang ditampilkan pada Gambar 4.2 dimana klasifikasi dilakukan
pertama kali pada kelas pasir yang memiliki nilai mean paling tinggi.
Kelas TB dan kelas LM memiliki layer value yang sama, sehingga perlu dipilih
salah satu kelas yang diklasifikasikan dengan menggunakan algoritma assign class.
Kelas LM dipilih untuk diklasifikasikan secara manual karena pemilihan objeknya
yang lebih mudah dari pada objek TB yang banyak tersebar di daerah kajian,
sehingga untuk mempercepat dan mempermudah pengerjaan klasifikasi, kelas TB
dipilih untuk diklasifikasikan menggunakan algoritma assign class. Kelas TB-SD
dan AL-TB juga diklasifikasikan dengan menggunakan algoritma manual
classification yang mengkelaskan objek dengan cara memilih objek yang akan
dikelaskan dengan bantuan brush. Klasifikasi objek tersebut menggunakan bantuan
unsur interpretasi seperti rona, asosiasi dan tekstur objek.
Hasil pemetaan dengan menggunakan metode klasifikasi berbasis objek dapat
ditampilkan pada Gambar 4.3.
55
Gambar 4. 3 Peta habitat bentik dengan metode klasifikasi berbasis objek
Dapat dilihat dari Gambar 4. 3 bahwa kelas yang mendominasi pada hasil klasifikasi
OBIA adalah kelas TB dengan luasan 1,59 Km2 . Sedangkan kelas LM menjadi kelas
dengan luasan terkecil, yaitu 0,14 Km2 .
Sama seperti klasifikasi berbasis piksel, klasifikas OBIA juga akurasinya diuji
dengan menggunakan dua bentuk ROI, yaitu dengan polygon dan titik. Namun pada
klasifikasi OBIA uji akurasi yang dilakukan dengan menggunakan ROI dalam bentuk
polygon memiliki hasil akurasi yang lebih baik daripada hasil uji akurasi
menggunakan titik. Hasil uji akurasi yang dilakukan dengan menggunakan titik
memiliki OA sebesar 82,27% dengan nilai koefisien kappa 0,78. Nilai hasil uji
akurasi OBIA menggunakan titik dapat dilihat pada Lampiran 7. Sedangkan hasil
klasifikasi OBIA yang diuji dengan menggunakan polygon memiliki OA sebesar
86,89% dengan nilai koefisien kappa sebesar 0.84. Menurut Altman (1991) yang
dikutip dalam Murti (2011), peta hasil klasifikasi OBIA dapat dikategorikan sangat
56
baik karena memiliki rentang nilai kappa antara 0,81 – 1. Dalam pengujian akurasi
klasifikasi OBIA menggunakan titik survei yang sudah dikonversi dalam bentuk
polygon hasil segmentasi sehingga melibatkan banyak piksel, yaitu sebanyak 58784
piksel.
Tabel 4. 2 Tabel uji akurasi hasil klasifikasi berbasis objek dengan ROI polygon
UA dari klasifikasi OBIA memiliki nilai terendah 72% dan yang tertinggi
adalah 100%. Kelas PS memiliki nilai UA terendah, yaitu 72,04%, dimana dari 5221
piksel hanya 3761 piksel yang sesuai dengan kondisi lapangan. Sedangkan kelas LM
memiliki UA 100% yang menandakan bahwa kelas LM sudah sesuai dengan kondisi
aslinya di lapangan.
Nilai PA tertinggi berada pada kelas LM, dimana pada kelas tersebut memiliki
PA sebesar 98,77% dan hanya sebesar 1,23% yang salah terkelaskan menjadi kelas
TB. Sedangkan kelas PS memiliki PA terendah dengan nilai sebesar 69,97%. Kelas
PS sebesar 18,58% salah terkelaskan menjadi kelas AL dan 11,53% terkelaskan
menjadi AL-TB. Kelas yang diklasifikasikan dengan menggunakan algoritma manual
classification memiliki nilai PA yang lebih besar dibandingkan dengan kelas yang
hanya dikelaskan dengan algortima assign class. Kelas habitat bentik yang dikelaskan
57
dengan algoritma manual classification memiliki nilai PA lebih dari 75%. Kelas
habitat bentik tersebut adalah kelas LM, PS-RB, TB, TB-SD, dan AL-TB.
58
kelas LM, PS, PS-RB, dan kelas AL-TB mengalami peningkatan nilai UA.
Klasifikasi OBIA yang diuji dengan ROI dalam bentuk polygon mengalami
peningkatan nilai UA pada semua kelas kecuali pada kelas PS-RB dan kelas Al-TB.
80
60
40
20
0
AL LM PS PS-RB TB-SD AL-TB TB
ML POLY 65.81 98.48 44.76 90.2 25.02 87.36 63.94
ML POINT 46.15 100 50 92.31 25 100 60
OBIA POLY 84.24 100 72.04 73.24 82.09 91.74 89.71
OBIA POINT 76.32 100 63.16 79.52 73.08 92.86 76.09
Gambar 4. 4 Grafik perbandingan user acc tiap kelas metode piksel dan OBIA
80
60
40
20
0
PS-RB AL LM PS TB-SD TB AL-TB
ML POLY 64.43 61.1 89.68 70.87 60.34 52.95 66.8
ML POINT 87.8 57.14 90 55.56 41.67 47.37 73.68
OBIA POLY 87.4 72.21 98.77 69.97 96.35 95.42 78.61
OBIA POINT 81.48 70.73 98.33 66.67 82.61 92.11 68.42
Gambar 4. 5 Grafik perbandingan prod. acc tiap kelas metode piksel dan OBIA
Keterangan: ML Poly= Maximum Likelihood Polygon; OBIA Poly= OBIA Polygon;
PS-RB= Pasir dan rubble; AL-TB= Alga dan terumbu karang; AL=
Alga; LM= Lamun; PS= Pasir; TB-SD= Terumbu karang dan pasir; TB=
Terumbu karang
59
Dilihat dari grafik di atas, PA untuk klasifikasi OBIA memiliki nilai yang lebih
besar dari pada nilai PA klasifikai piksel di setiap kelas, kecuali pada kelas PS-RB
dengan selisih nilai hanya 0,4% saja. Dari nilai PA tersebut dapat dilihat bahwa
klasifikasi OBIA memiliki tingkat ketepatan yang lebih besar dalam mengkelaskan
suatu objek ke dalam kelas-kelas habitat bentik dari pada dengan menggunakan
klasifikasi berbasis piksel. Kelas LM memiliki nilai PA tertinggi pada semua
klasifikasi yang menandakan bahwa banyak piksel yang sudah terkelaskan dengan
benar pada kelas LM. Kelas TB-SD pada hasil klasifikasi berbasis piksel yang diuji
dengan menggunakan ROI titik memiliki nilai PA terendah untuk klasifikasi berbasis
piksel dengan nilai 41,67%. Sedangkan kelas PS memiliki nilai PA terendah pada
klasifikasi OBIA dengan nilai 66, 67% dan 69,97%.
Berdasarkan hasil uji akurasi yang dilakukan pada pemetaan habitat bentik,
faktor metode klasifikasi dan bentuk ROI yang digunakan sebagai acuan dalam uji
akurasi sangat mempengaruhi nilai hasil uji akurasi pemetaan habitat bentik.
klasifikasi berbasis piksel memiliki nilai uji akurasi yang lebih tinggi jika uji
akurasinya menggunakan ROI dalam bentuk titik, sedangkan klasifikasi OBIA
memiliki nilai yang lebih tinggi jika menggunakan ROI dalam bentuk polygon.
Perbedaan metode klasifikasi yang digunakan mempengaruhi luasan pada
setiap kelas habitat bentik. Pada klasifikasi berbasis piksel, kelas TB-SD merupakan
kelas dengan luasan terbesar, yaitu 1,38 Km2 , sedangkan pada klasifikasi OBIA kelas
TB-SD hanya memiliki luas 0,56 Km2 . Kelas yang mendominasi di kelas OBIA
adalah kelas TB dengan luas 1,59 Km2 dan terdapat selisih 0,70 Km2 pada kelas TB
di klasifikasi berbasis piksel. Pada kedua metode klasifikasi ini, kelas LM selalu
menjadi kelas dengan luasan terkecil, dengan luas 0,17 Km2 pada hasil klasifikasi
berbasis piksel dan 0,14 Km2 pada hasil klasifikasi OBIA. Keseluruhan perhitungan
luas setiap kelas habitat bentik dari metode klasifikasi berbasis piksel dan OBIA
disajikan pada Tabel 4.3
60
Tabel 4. 3 Luas dan selisih perhitungan luas kelas habitat bentik
Luas (Km2 )
Kelas
Piksel Objek Selisih Luas
Alga-Terumbu Karang 0,45 0,28 0,17
Alga 0,83 0,86 0,03
Lamun 0,17 0,14 0,03
Pasir-Rubble 0,26 0,64 0,38
Pasir 0,68 0,59 0,09
Terumbu Karang-Pasir 1,38 0,56 0,82
Terumbu Karang 0,89 1,59 0,70
Luas Total 4,68
Data yang diolah pada penelitian ini adalah citra dengan resolusi spasial yang
tinggi yang membuat data memiliki ukuran yang sangat besar. Besarnya ukuran data
menyebabkan segala proses yang dilakukan menjadi lebih lama, khususnya saat
melakukan klasifikasi OBIA. Hal ini menjadi salah satu kekurangan dari klasifikasi
OBIA yang proses pengolahannya hingga proses uji akurasi membutuhkan waktu
yang lama dan kurang efisien jika dibandingkan dengan menggunakan klasifikasi
berbasis piksel. Meskipun begitu, akurasi dari OBIA memiliki nilai yang lebih besar
daripada akurasi klasifikasi berbasis piksel.
61