Anda di halaman 1dari 23

PENGOLAHAN CITRA PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENDUKUNG

PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN


I Wayan Sedana

1. Pendahuluan

Menurut Avery and Berlin (1992) Penginderaan jauh diartikan sebagai suatu teknik untuk
mengumpulkan informasi mengenai obyek melalui analisis data yang dikumpulkan
melalui suatu perangkat yang tidak berhubungan langsung secara fisik dengan obyek
yang sedang dikaji. Penginderaan jauh berbeda dengan banyak perangkat lain yang
bersifat in-situ sensing yang bersinggungan secara langsung dengan obyek yang diteliti.
Penginderaan jauh memanfaatkan berbagai perangkat seperti kamera, radiometer,
penyiam (scanner), atau sensor lainnya yang diangkut oleh suatu wahana (platform).

Banyak alasan mengapa penginderaan jauh sangat bermanfaat (Wiradisastra, 2000):

1. Sangat membantu untuk mengumpulkan data dan informasi dari daerah yang
sukar atau tidak mungkin dikunjungi (accessibility rendah) seperti rawa, hutan
dll.
2. Memungkinkan untuk meneliti daerah yang luas sekaligus, sehingga hubungan
antara satu wilayah dengan lainnya dapat dianalisis (Synoptic view) .
3. Memungkinkan melakukan ulangan pengamatan dengan cermat. Rekaman
mengenai obyek, area atau kejadian yang sama dapat diulang dengan hasil yang
dapat diperbandingkan, sehingga bermanfaat untuk mendeteksi perubahan
(monitoring).
4. Memenuhi persyaratan "skala khusus (Special scale)" atau jarak tertentu untuk
melihat sesuatu, seperti membaca tulisan paling baik pada jarak 30 cm dari
mata. Melihat hubungan antara area dalam studi suatu daerah aliran sungai
misalnya akan lebih baik digunakan data dengan skala < 1:30.000, sebaliknya
bila harus mempelajari sebaran rumah penduduk dalam suatu studi permukiman
akan dibutuhkan skala 1:5.000. Pada teknik penginderaan jauh memperkecil
maupun memperbesar data dapat dilakukan dengan mudah dan tetap valid.
5. Dapat memberikan kemungkinan "stop action" pada kejadian yang diamati.
Misalnya kalau diperlukan menghitung burung yang sedang terbang, akan lebih
mudah bila memotretnya terlebih dahulu dari pada mengikuti gerakan mereka,
demikian juga dalam menghitung satwa liar lainnya.
6. Kemampuan melihat lebih baik dibandingkan dengan mata. Mengenai hal
terakhir ini akan diuraikan lebih lanjut, pada bagian lain.

Teknologi penginderaan yang paling banyak dibicarakan saat ini adalah penginderaan
dengan menggunakan gelombang elektro magnetis. Sumber dari gelombang EM ini
yang sehari-hari kita gunakan adalah sinar matahari. Kita dapat melihat benda pada
waktu siang karena benda-benda, terkena energi yang bersumber dari matahari, yang
kemudian dipantulkannya ke berbagai arah. Bila mata kita tepat berada pada arah
pantulan cahaya (biasa sehari-hari kita sebut sebagai cahaya matahari) maka kita
dapat melihat benda tersebut sesuai dengan tingkat/besarnya energi. Mata adalah
sensor bagi kita masing-masing demikian juga dalam inderaja alat yang dipakai untuk
menangkap pantulan benda disebut sebagai sensor. Sedangkan alat atau pesawat yang
digunakan sebagai cara membawa sensor disebut wahana. Wahana yang paling dekat
dengan bumi adalah menara, kemudian disusul balon atau helikopter dan kapal
terbang biasa. Wahana lain yang jaraknya dapat jauh sekali dari bumi yang direkam
adalah pesawat ulang-alik dan satelit.

Penginderaan yang menggunakan sinar matahari yang tersedia tiap siang hari disebut
penginderaan bersifat pasif. Disebut pasif karena ada sumber energi lain yang dapat
dibuat sebagai sumber misalnya radar, maka inderaja dengan radar disebut inderaja aktif.
Sudah sewajarnya sumber energi radar harus dibiayai untuk pengadaannya, itulah
sebabnya pada awalnya inderaja pasif lebih banyak dilakukan dibandingkan inderaja
aktif. Keuntungan yang diperoleh dari cara aktif adalah kebebasan memilih waktu dan
keadaan (cuaca), sehingga mengindera dapat dilakukan kapan saja sesuai kebutuhan
(Wiradisastra, 2000).

Sinar tampak mata adalah hanya salah satu dari bentuk energi elektromagnetik.
Gelombang radio, panas, ultra violet, sinar X adalah bentuk-bentuk lain yang sudah
dikenal. Semua bentuk energi tersebut merambat mengikuti hukum perambatan
gelombang. Teori ini menggambarkan bahwa energi elektro magnetik merambat dalam
bentuk gelombang sinusoidal dengan kecepatan cahaya atau c. Jarak antara dua puncak
yang bertururtan disebut sebagai satu panjang gelombang (λ- lambda), sedangkan jumlah
puncak yang melewati titik ada satuan jarak tiap satuan waktu disebut frekuensi v atau c =
8
vλ. Karena c bersifat konstan sebesar 3x10 m/detik, maka frekuensi v berbanding

2
terbalik dari panjang gelombang λ. Gambar dibawah menunjukkan panjang gelombang
elektromagnetik yang umum digunakan pada penginderaan jauh optis

2. Pengolahan Awal

2.1 Koreksi Radiometri

Koreksi geometri merupakan tipe koreksi yang sangat berkaitan dengan topik tulisan ini.
Hal ini dimungkinkan mengingat koreksi geometri merupakan teknik yang secara
langsung mengubah kenampakan citra penginderaan jauh yang digunakan.

Secara ideal/teoritis, fluks radian yang direkam oleh sistem pencitra penginderaan jauh
pada band-band yang digunakan adalah representasi yang akurat dari fluks yang
dipantulkan oleh benda di atas permukaan bumi. Akan tetapi kesalahan atau
penyimpangan dapat terjadi dan masuk dalam subsistem penerimaan sinyal
elektromagnetik. Penyimpangan dapat terjadi akibat alat yang tidak berfungsi sempurna
(malfunction) atau tidak terkalibrasi sempurna. Selain di pihak alat, penyimpangan dapat
pula terjadi akibat efek atmosferik.

3
Kesalahan pada detektor sistem dapat berbentuk line dropouts, striping/banding dan
line-start. Line dropouts dapat terjadi sewaktu sensor malfungsi pada baris tertentu.
Kesalahan ini akan ditampakkan pada citra dengan garis hitam memanjang horisontal.
Mengingat kesalahan ini merupakan kesalahan sistem, maka tidak ada cara apapun
yang dapat digunakan untuk memperbaiki nilai digital yang hilang. Akan tetapi
kesalahan tersebut dapat direduksi untuk kepentingan visualisasi dengan mengestimasi
nilai yang hilang tersebut dengan rataan piksel pada baris sebelumnya dan sesudahnya
(Jensen, 1996). Teknik ini merupakan teknik yang awal sekali dikembangkan.

Kadang kala detektor tidak malfungsi sama sekali, tetapi memiliki karakteristik yang
berbeda dengan ciri piksel-piksel sekitarnya. Pada umumnya kondisi yang ada adalah
terjadi ketidakcocokan kontras dan kecerahan dengan piksel-piksel yang lain. Kejadian
ini sering disebut dengan striping. Jika striping ini terjadi secara simultan, maka
fenomena ini disebut dengan banding. Teknik yang dikembangkan untuk line dropouts
dapat digunakan bila baris yang terdegradasi memiliki karakteristik yang mirip dengan
ciri line dropouts. Pendekatan lain yang dapat dilakukan adalah menggunakan
transformasi Fast Fourier (FFT) untuk mengidentifikasi kesalahan-kesalahan tersebut
dan memperbaikinya (Trisasongko and Tjahjono, 1999). Makalah di atas
menggunakan pendekatan UDF (User Defined Function) pada proses masking
spektrum Fourier. Pendekatan ini berbasis pada teknik thresholding pada citra. Hasil
yang didapatkan cukup menjanjikan, meskipun pendekatan teknik yang digunakan
membutuhkan pengetahuan tentang spektrum frekuensi yang cukup dan hasil yang
diperoleh sangat tergantung pada kemampuan analis dalam mengolah citra atau
dengan kata lain subyektivitas masih cukup kuat.

4
2.2 Normalisasi Topografi

Normalisasi topografi sebenarnya merupakan bagian dari kegiatan dalam koreksi


radiometri, namun mengingat besarnya peran proses ini dalam studi vegetasi, maka dalam
makalah ini kegiatan ini dipisahkan dari induk koreksi radiometri.

Di samping kejaian kesalahan radiometri di atas, topografi dan lereng permukaan bumi
juga seringkali mengaburkan interpretasi citra. Topografi yang bergunung dapat
menghilangkan sama sekali informasi yang terkandung pada permukaan bumi tersebut.
Ada tiga kelompok besar prosedur pengoreksi topografi yaitu Koreksi Kosinus, Koreksi
Semi Empirik dan Koreksi Statistik-Empirik. Khusus untuk kelompok Koreksi Semi
Empirik, makalah ini akan menyajikan dua metode yang sering digunakan yaitu Koreksi
Minnaert dan Koreksi C.

Jumlah pantulan (irradiance) yang mencapai sensor dan direpresentasikan dalam 1 piksel
pada sebuah lereng memiliki hubungan langsung dan proporsional dengan kosinus dari
incidence angle. Sudut incidence adalah sudut yang dibentuk dari garis normal dengan
garis zenith. Asumsi yang dibuat dalam Koreksi Kosinus adalah: (1) permukaan
Lambertian, (2) jarak yang konstan antara matahari dan bumi, dan (3) jumlah pancaran
(illumination) matahari yang konstan. Secara matematis, koreksi ini dinyatakan sebagai

θ
cos
L =L 0
H T
cosα
dimana LH adalah pantulan pada permukaan horisontal, LT adalah pantulan pada

permukaan yang miring, θ0 adalah sudut zenith dan αadalah sudut incidence (Jensen,
1996; Hill et al, 1995).

Modifikasi Koreksi Kosinus diperkenalkan oleh Teillet, Guindon dan Goodenough untuk
mereduksi kelemahan-kelemahan Koreksi Kosinus. Modifikasi ini dikenal dengan nama
Koreksi C dan didefinisikan sebagai:

θ+
cos c
L =L 0
H T
cosα +c
dimana c adalah rasio b/m pada persamaan regresi yang akan diterangkan pada Koreksi
Statistik-Empirik.

5
Teillet-Guindon-Goodenough juga memperkenalkan Koreksi Minnaert yang didefinisikan
sebagai berikut:

θ
cos
L =L ( )
0 k
H T
cosα
dimana k adalah konstanta Minnaert yang bervariasi antara 0 (bukan permukaan
Lambertian) dan 1 (permukaan Lambertian penuh) (Jensen, 1996).

Dalam Koreksi Statistik-Empirik, setiap piksel dalam citra dapat dikorelasikan dengan
iluminasi yang diprediksikan dari model elevasi digital. Koreksi ini dapat didefinisikan
sebagai:

LH =LT −cosα.m −b +LT

dimana m adalah kemiringan dari garis regresi linier, b adalah intersep pada garis y dari
garis regresi, dan LT adalah rataan LT untuk piksel-piksel hutan (dari data referensi)
(Jensen, 1996).

Aplikasi normalisasi topografi dalam bidang kehutanan dapat ditelaah dalam makalah
Ekstrand (1996) dan Hill et al. (1995).

2.3 Koreksi Geometri

Data penginderaan jauh umumnya mengandung galat geometri sistematik dan non
sistematik. Distorsi sistematik dapat diakibatkan oleh scan skew, kecepatan mirror
scanning, distorsi panoramik, kecepatan wahana, rotasi bumi dan efek perspektif.
Sedangkan distorsi non sistematik umumnya diakibatkan oleh ketinggian wahana dan
attitude.

Prosedur koreksi geometri yang sering digunakan dan diterapkan oleh pembuat perangkat
lunak pengolahan citra penginderaan jauh adalah koreksi image-to-map dan image-to-
image. Koreksi pertama merupakan jenis koreksi yang sangat dianjurkan mengingat
referensi peta merupakan referensi standar bagi berbagai aplikasi.

Mengingat lokasi baru dari piksel tertransformasi sangat jarang cocok dengan lokasi
awal, maka umumnya piksel tertransformasi tersebut akan mengalami interpolasi. Nilai
piksel keluaran akan ditentukan oleh piksel-piksel lain dalam sebuah kelompok
ketetanggaan. Proses interpolasi ini umumnya dikenal dengan nama Resampling.

6
Terdapat tiga algoritma resampling yang dapat dimanfaatkan untuk menentuka nilai suatu
piksel yaitu (a) Tetangga Terdekat (Nearest Neighbour Resampling); (b) Interpolasi
Bilinear (Bilinear Interpolation); (c) Konvolusi Kubik (Cubic Convolution). Ilustrasi
berikut akan menggambarkan perbandingan penetapan nilai piksel dari suatu lokasi baru
A.

Bila dilakukan resampling dengan pendekatan Tetangga Terdekat, maka nilai piksel
keluaran akan ditentukan oleh nilai piksel tetanggany dengan jarak spasial yang paling
dekat. Keuntungan dari algoritma ini adalah citra keluaran akan memiliki pola rona atau
warna yang mendekati citra aslinya. Pada Interpolasi Bilinear, nilai piksel keluaran akan
ditentukan oleh rataan terboboti dari empat piksel-piksel tetangganya. Ciri penting dari
teknik ini adalah citra keluaran cenderung kabur (blur) karena terdapat operasi perataan.
Sementara algoritma Konvolusi Kubik lebih mirip dengan Interpolasi Bilinear, namun
menggunakan 16 piksel tetangga.

3. Transformasi Citra

3.1 Indeks Vegetasi

Vegetasi merupakan salah satu aplikasi terbesar untuk data penginderaan jauh. Banyak
teknik yang dikembangkan pada pengolahan citra penginderaan jauh berorientasi pada
pencarian karakteristik vegetasi untuk pertanian ataupun kehutanan, termasuk didalamnya
lingkungan. Teknik ini berkembang karena pengumpulan data secara in situ sangat mahal,
memakan waktu dan biaya yang sangat besar dan juga seringkali tidak mungkin
dilakukan, misalnya pada daerah-daerah yang terpencil ataupun daerah bahaya karena
perang. Salah satu pendekatan yang sering digunakan untuk memperoleh informasi
tentang kondisi vegetasi adalah menggunakan Indeks Vegetasi.

7
Indeks Vegetasi merupakan suatu ukuran yang dirancang untuk mereduksi kanal jamak
menjadi kanal tunggal yang mencerminkan informasi spesifik yaitu tentang karakteristik
vegetasi. Indeks vegetasi telah lama sekali digunakan untuk memonitor perubahan
vegetasi temporal yang menggunakan data penginderaan jauh. Perkembangan algoritma
indeks vegetasi dari nilai kecerahan didasarkan atas perubahan energi absorbsi,
transmitan dan reflektan oleh vegetasi pada spektrum elektromagnetik merah dan infra
merah. Beberapa penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa rasio infra merah dan
merah berkorelasi kuat dengan jumlah biomas daun hijau.

Lyon et al. (1998) mengklasifikasikan indeks vegetasi menjadi tiga kelompok besar yang
didasarkan atas jenis operasi komputasinya yaitu:

1. Kelompok Pengurangan : Difference Vegetation Index, Perpendicular Vegetation


Index
2. Kelompok Pembagian : Ratio Vegetation Index, Soil Adjusted Ratio Vegetation
Index
3. Kelompok Transformasi Rasional : Normalized Difference Vegetation Index,
Soil Adjusted Vegetation Index dan Transformed Soil Adjusted Vegetation
Index.

Beberapa persamaan indeks vegetasi yang umum digunakan adalah sebagai berikut
(Richardson and Everitt, 1992 dalam Lyon, et al., 1998):

DifferenceVegetationIndex =Band 4 −a * Band 2

Band 4 −Band 2
NormalizedDifferenceVegetationIndex =
Band 4 +Band 2
Band 4 −a * Band 2 −b
PerpendicularVegetationIndex =
2
1 +a
Band 4
RatioVegetationIndex =
Band 2
Band 4
SoilAdjustedRatioVegetationIndex =
Band 2 +b / a

8
(1 +L) * (Band 4 −Band 2)
SoilAdjustedVegetationIndex =
Band 4 +Band 2 +L

a * (Band 4 −a * Band 2 −b)


TransformedSoilAdjustedVegetationIndex =
Band 2 +a * Band 4 −a * b

dimana a = 0.96916, b = 0.084726 dan L = 0.5.

Mengingat kajian Indeks Vegetasi tidak terlepas dari sifat inheren dari masing-masing
sensor, pada sub bab berikut akan disajikan hasil penelitian terdahulu menggunakan
sensor-sensor yang umum digunakan untuk studi Indeks Vegetasi.

3.2 Studi Indeks Vegetasi pada Citra NOAA AVHRR

Perkembangan studi Indeks Vegetasi secara cepat dimulai dengan dibuktikannya estimasi
dari radiasi aktif fotosintetik yang diintersepsi (yaitu pada panjang gelombang 0.4-0.7
mikron) menggunakan kombinasi data (antar band). Dengan pembuktian itu, Indeks
Vegetasi menjadi populer sebagai sarana pengkajian produksi biomasa dari berbagai
macam tipe vegetasi (Tucker, 1996). Dua aplikasi yang penting dicatat dalam makalah
Tucker (1996) adalah estimasi biomas herbaceous pada padang rumput/steppa dan studi
regional, kontinental dan global.

Estimasi biomas mengikuti dasar kaitan antara NDVI dan PAR (Photosynthetically
Active Radiation) yang diintersepsi. Pada waktu pertumbuhan tumbuhan, PAR dan NDVI
berhubungan sangat erat (berkorelasi tinggi) dengan total fotosintesis yang selanjutnya
juga berkaitan erat dengan produksi biomasa kering total. Sebelum kajian ini
menggunakan riil data satelit, percobaan dilakukan terlebih dahulu menggunakan
pengukuran spektral di lapang menggunakan panjang gelombang merah dan infra merah.

Data AVHRR juga dapat dibentuk dalam NDVI yang berseri waktu (time series) dan
digunakan untuk mengetahui kemungkinan penetapan tutupan lahan kontinental. Asumsi
yang digunakan dalam kajian ini adalah agregasi besar yang berbeda-beda dari tutupan
lahan akan memiliki perbedaan respons NDVI. Perbedaan magnitude dan variasi waktu
sangat berguna untuk memilahkan atau mengklasifikasikan jenis tutupan lahan.

3.3 Studi Indeks Vegetasi pada Citra Landsat TM

Beberapa varian aplikasi dari teknik rasio yang juga menarik dibahas di sini adalah
kekeringan (drought stress) pada pinus (Pinder and McLeod, 1999). Data TM

9
multitemporal mengindikasikan bahwa rasio reflektansi dari band 5 ke band 4 meningkat
dengan meningkatnya kekeringan. Pinder dan McLeod juga menyatakan bahwa rasio
band 5/4 mendekati nilai 0.42 pada awal musim kering dan sekitar 0.55 pada tengah
musim kering yang panjang. Percobaan Pinder-McLeod ditujukan untuk mengevaluasi
prosedur pengukuran berulang yang mirip menggunakan data Thematic Mapper pada
sebelum, selama dan sesudah musim kering yang panjang. Perubahan variasi spasial pada
reflektansi kanopi selama musim kering dikaji untuk menentukan kemampuan mengukur
variasi spasial pada penurunan pertumbuhan. Parameter utama yang diujikan adalah
jumlah curah hujan, jenis tanah, kerapatan tumbuhan dan ukuran pohon.

3.4 Metode Thresholding

Mengingat data keluaran Indeks Vegetasi merupakan data yang “continuous” dan terlalu
rendahnya tingkat kecerahan untuk dibedakan oleh mata (Richards, 1993), maka untuk
lebih mempermudah pengkelasan, umumnya pengguna menggunakan teknik thresholding
atau pemotongan. Salah satu teknik yang dapat digunakan dengan relatif mudah adalah
metode Density Slicing.

Density Slicing menekankan pada pencarian atau pengenalan obyek dari histogram
kumpulan piksel. Metode pencarian yang dapat dijadikan patokan adalah pencarian
bentuk sebaran tunggal dari sebuah histogram. Walaupun teknik ini belum banyak
diujicoba potensinya, bentuk sebaran tunggal dapat diyakini merupakan representasi
suatu obyek yang khas.

3.5 Penyaringan (Filtering)

Karakteristik penting dari suatu citra penginderaan jauh adalah frekuensi spasial (spatial
frequency). Frekuensi spasial merupakan ukuran frekuensi perubahan dari nilai kecerahan
pada setiap unit jarak tertentu dan terjadi pada bagian tertentu dari citra. Jika frekuensi
perubahan tersebut sangat rendah, maka daerah tersebut dikatakan sebagai area dengan
frekuensi rendah. Daerah ini akan ditandai dengan homogenitas area yang tinggi serta
tingkat pemisahan obyek yang rendah.

Citra satelit seringkali mengandung ingar (noise) acak yang bertampalan dengan nilai
kecerahan piksel. Ingar ini dapat berasal dari malfungsi-nya sensor, interferensi
elektronik atau anomali pada pengolahan atau transmisi data. Kenampakannya dapat
menutupi ataupun bahkan menghilangkan sama sekali informasi radiometrik sehingga
akan mempersulit proses klasifikasi. Penyaringan low pass (low pass filter) secara spasial

10
pada umumnya digunakan untuk mereduksi ingar seperti ini. Penyaring seperti ini
cenderung menghaluskan/mengaburkan kenampakan citra.

Frekuensi spasial dapat dimanipulasi dalam analisis citra. Terdapat dua pendekatan utama
dalam manipulasi ini yaitu analisis domain spasial dan analisis domain frekuensi. Analisis
utama dalam domain spasial adalah pentapisan konvolusi (spatial convolution filtering).
Sedangkan pada domain frekuensi, metode Fourier merupakan pendekatan yang paling
banyak dikaji. Tulisan ini tidak membahas domain frekuensi.

Proses penyaringan pada domain spasial dilakukan dengan menggunakan konvolusi


dengan ukuran kernel tertentu. Operasi konvolusi menghasilkan nilai piksel yang
merupakan penjumlahan yang terboboti dari nilai piksel yang dikandung oleh suatu
kernel. Kelebihan teknik ini adalah memberikan peluang bagi analis untuk
memprediksikan keluaran citra dari format konvolusi yang digunakan. Pavlidis (1984)
memformulasikan prosedur konvolusi sebagai berikut

g(x) =∑[h(i)* f (i)]


i=1

dimana g(x) menyatakan hasil konvolusi, f(x) menyatakan nilai awal piksel, h(x)
menyatakan pembobotan dan i menyatakan jumlah piksel dalam suatu kernel. Formulasi
di atas dikenal sebagai filter linier.

Ilustrasi penyaringan domain spasial dapat dilihat pada gambar berikut.

Terlihat dari gambar di atas, untuk mendapatkan satu nilai piksel dalam citra keluaran
diperlukan kelumpok ketetanggaan dengan ukuran yang khas. Pada ilustrasi di atas,
kelompok ketetanggaan yang dibangun terdiri dari 3 x 3 piksel bertetangga. Ukuran ini
umumnya dikenal dengan istilah ukuran kernel. Ukuran ini dapat bervariasi, tetapi
umumnya dalam satuan ganjil.

11
3.6 Deskriptor Tekstur

Metode lain yang juga dikembangkan untuk mengekstrak informasi lanjutan dari Indeks
Vegetasi adalah penerapan Deskriptor Tekstur hasil penelitian Ricotta, Avena dan Ferri
(1996). Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan proses yang membangun
keberagaman dalam pencarian pendekatan biomasa tumbuhan.

Vegetasi cenderung mencapai bahan organik, spesies dan kompleksitas yang maksimum
sesuai dengan sumberdaya yang tersedia. Konsekuensinya, lingkungan hutan dengan
tingkat organisasi yang tinggi umumnya dicirikan oleh nilai densitas penutupan lahan
yang tinggi dan tingkat yang tinggi dari biomasa homogen secara spasial. Akan tetapi
gangguan-gangguan dari alam dan manusia (antropik) cenderung melemahkan kondisi
ini. Mengingat struktur hutan adalah fenomena spasial, pengukuran secara kuantitatif dari
keberagaman spasial adalah kegiatan penting dalam memahami dinamika dan struktur
bentang lahan. Ukuran kuantitatif ini dapat didekati dengan penggunaan deskriptor
tekstur dari data indeks vegetasi (Ricotta et al., 1996).

Dalam studinya, Ricotta et al. (1996) tidak menggunakan nilai asli NDVI mengingat nilai
tersebut berkisar antara –1 dan 1, tetapi menggunakan penskalaan/perentangan menjadi 0-
200 dengan nilai 0 direpresentasikan dengan nilai 100. Karena faktor komputasi dapat
menjadi kendala utama, studi ini menggunakan algoritme perbedaan absolut Rubin.
Secara singkat nilai tekstur Rubin dengan memanfaatkan aturan konvolusi baku dapat
dijelaskan dengan gambar berikut:

A B C … …
D E F … … Tekstur = |A-B| + |B-C| + |D-E| + |E-F| + |G-H| + |H-I| +
G H I … … |A-D| + |D-G| + |B-E| + |E-H| + |C-F| + |F-I|

… … … … …
… … … … …

Asumsi yang harus diperhatikan dalam studi ini adalah pengabaian kejadian transmitan
atmosfer (atmospheric transmittance) dan efek angular.

Karena homogenitas yang tinggi dari biomasa tumbuhan, tutupan lahan hutan
menunjukkan tekstur yang halus yang dicirikan oleh nilai tekstur NDVI yang rendah.
Sebaliknya, karena heterogenitas yang tinggi pada tutupan lahan non hutan, distribusi

12
tekstur NDVI sangat tersebar. Dalam grafik, kedua pernyataan tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:

Huta

Jumlah Piksel

Non

Nilai Tekstur

4. Ekstraksi Biomasa dengan SAR (Synthetic Aperture Radar)

Karakteristik fisik fenomena-fenomena alam dapat pula diekstrak dari data SAR.
Penggunaan terminologi data SAR digunakan mengingat citra dan karakteristik sinyal
pada data SAR dapat dipertukarkan, sehingga untuk sub bab ini peristilahan akan lebih
mengacu ke data SAR, tidak hanya bertumpu kepada data dalam bentuk citra saja.

Bentuk data SAR yang paling sering digunakan untuk mempelajari karakteristik
fenomena fisik alam adalah dalam bentuk koefisien hamburan balik (backscatter
coefficient). Secara khusus, koefisien hamburan balik digunakan oleh Ulaby untuk
memodelkan hamburan balik kanopi hutan yang dikenal dengan nama MIMICS
(Michigan Microwave Canopy Scattering) (Israelsson and Askne, 1995).

Konversi citra menjadi data hamburan balik SAR memerlukan pemahaman tentang
format data CEOS SAR Data Format (Trisasongko, 1999) dan aspek-aspek spesifik untuk
masing-masing sensor radar. Teknik konversi ini merupakan teknik yang umum
dilakukan untuk melakukan kalibrasi radiometrik sehingga unsur-unsur look up table
(LUT) dapat dihilangkan (Trisasongko, 1999; Sheperd, 1998). Proses konversi dimulai
dengan pengubahan nilai digital/kecerahan masing-masing piksel menjadi data kecerahan
radar (radar brightness) dengan persamaan berikut:

0 2
β j =10 log10 [(DN j +A3) / A2 j ]

13
dimana DNj adalah nilai digital pada piksel ke-j. Data A3 dan A2 diekstrak dari
Radiometric Data Record yang tersimpan dalam header data SAR (Trisasongko, 1999;
Sheperd, 1998).

Proses kedua yaitu pemindahan data kecerahan SAR menjadi data hamburan balik yang
dilakukan dengan memanfaatkan persamaan berikut (Trisasongko, 1999; Sheperd, 1998):

0 0
σ j =β j +10 log10 (Sin(I j ))

Studi Israelsson dan Askne menunjukkan bahwa penarikan informasi dari bole volume
menggunakan SAR band C setelah divalidasi secara teoritik dengan MIMICS adalah
tidak mungkin. Pada penggunaan band L, pengakjian dimungkinkan sampai 70-80 m3/ha
dengan teknik polarisasi silang. Pada band P, meningkat sampai 120 m3/ha. Studi
tersebut memberikan kesimpulan bahwa frekuensi radar yang digunakan untuk mengkaji
bole volume belum dapat dilakukan secara operasional. Pada umumnya tegakan hutan
yang mature membuat sinyal menjadi saturate (Israelsson and Askne, 1995).

5. Klasifikasi Citra

Selain dianalisis secara visual, citra penginderaan jauh seringkali juga dianalisis secara
digital untuk mendapatkan informasi tematik. Klasifikasi multispektral adalah satu
diantara metode yang seringkali digunakan untuk mengekstrak informasi, terutama
informasi penutup lahan. Bila pada pengolahan citra digital, citra penginderaan jauh akan
dianalisis secara kualitatif mengingat peran interpretasi visual yang kuat dalam perolehan
informasi. Sedangkan klasifikasi multispektral menggunakan pendekatan kuantitatif dan
mengurangi subyektifitas pada kegiatan interpretasi. Metode klasifikasi multispektral
dapat menggunakan algoritma-algoritma berikut : (1) Klasifikasi Tegas (Hard Classifier),
(2) Klasifikasi Samar (Soft Classifier), dan (3) Klasifikasi Hibrid (Jensen, 1996).
Algoritma Klasifikasi Tegas pada umumnya terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu
Kelompok Terbimbing (Supervised) dan Kelompok Tak Terbimbing (Unsupervised).

Pada pengolahan citra digital, aspek kualitatif (yaitu visual) merupakan aspek yang
dominan dalam proses ekstraksi informasi. Tetapi pada klasifikasi citra, aspek kuantitatif
merupakan aspek yang sangat menonjol. Klasifikasi multispektral merupakan pendekatan
yang umum digunakan untuk kegiatan pemetaan berbantu komputer dari citra

14
penginderaan jauh. Pemetaan secara obyektif tersebut didasarkan atas kemiripan spektral
yang diperoleh dan menghasilkan kelas-kelas spektral yang dapat berkaitan dengan kelas
sesungguhnya di permukaan tanah.

Langkah pertama dari prosedur klasifikasi adalah pelatihan (training) untuk program
komputer dalam mengenali ciri (signature) kelas yang dikehendaki. Aspek ini penting
karena akan menentukan sukses tidaknya hasil klasifikasi. Dalam proses pelatihan ini,
pengguna akan memasukkan contoh piksel dimana kelas ciri akan dibuat. Terdapat dua
cara untuk membangun ciri kelas dari contoh piksel yang tersedia yaitu tak
terbimbimbing dan terbimbing.

Untuk lebih memahami konsepsi prosedur klasifikasi, penjelasan akan dimulai dengan
pengertian statistika dasar peubah tunggal (univariate) dan peubah jamak (multivariate).
Kemudian penjelasan akan lebih diarahkan ke konsepsi matematis yang mendasari
algoritma klasifikasi.

5.1 Statistika Peubah Tunggal

Mengingat data citra memiliki unit tunggal (piksel) yang sangat banyak, pemahaman
tentang sebaran (distribusi) merupakan aspek yang sangat penting. Gambar berikut
memberikan penjelasan tentang berbagai macam sebaran yang sering dijumpai oleh analis
(Jensen, 1996).

Distribusi Normal Distribusi Multimodal Distribusi Uniform

Negatively Skewed Distribution


Pelatihan Dosen Tentang Teknologi Informasi
Untuk Menajemen Sumber Daya Alam. Bogor, 9 –21 Agustus 2004 15
Pengetahuan ini penting mengingat banyak metode pengolahan/klasifikasi citra
penginderaan jauh mengasumsikan sebaran normal untuk nilai kecerahan piksel yang ada.
Namun pada kenyataannya, banyak citra penginderaan jauh yang tidak mengikuti sebaran
normal, melainkan skewed ataupun bahkan multimodal. Pada kondisi ini selayaknya teori
statistika non parametrik-lah yang digunakan sebagai dasar analisis.

Aspek lain yang banyak bermanfaat adalah histogram. Dari data histogram, analis dapat
menentukan kualitas gambar yang sedang dikerjakan, baik dalam hal kecerahan
(brightness) ataupun kontras (contrast).

Beberapa pendekatan yang sering digunakan dalam penetapan statistika deskriptif peubah
tunggal adalah modus, median dan mean. Modus adalah nilai yang paling sering muncul
dalam pencacahan. Median adalah nilai tengah dari sebaran frekuensi yaitu setengah dari
area dibawah kurva sebaran. Sedangkan mean adalah rataan aritmetik dan didefinisikan
sebagai jumlah semua observasi dibagi dengan jumlah observasi.

Dua parameter lain yang juga penting adalah ragam (variance) dan deviasi standar
(standard deviation). Ragam dari sebuah contoh dalah rataan deviasi kuadrat dari semua
observasi yang mungkin dari mean contoh. Secara matematis dapat disimbolkan sebagai
berikut:

∑(BVik −µk )
2

var = i=1
k
n

Bagian pembilang dari persamaan di atas sering disebut dengan corrected sum of squares
(SS). Jika mean contoh (µk) adalah mean populasi, maka ragam memiliki pengukuran
yang akurat. Untuk ragam contoh penyebut dari persamaan di atas diganti menjadi n-1.

Deviasi standar adalah akar kuadrat positif dari ragam. Dalam persamaan matematis
dapat ditunjukkan dengan:

sk = vark

Nilai yang kecil dari deviasi standar menunjukkan bahwa observasi menunjukkan
gerombol yang erat di sekitar nilai tengah. Total area di bawah kurva sebaran normal

16
adalah 100% atau 1.00. Pada tipe sebaran ini, 68.27% dari observasi jatuh dalam +/- 1
deviasi standar, 95% dalam +/- 2 deviasi standar dan 99% dalam +/- 3.

5.2 Statistika Peubah Jamak

Penginderaan jauh sensor optik banyak bekerja dengan data multi dimensi (dalam hal ini
band). Oleh karena itu ukuran statistika yang digunakan adalah ukuran peubah jamak
(multivariate). Dua ukuran utama yang paling sering digunakan adalah kovarian dan
korelasi. Sekalipun kedua ukuran ini paling banyak diterapkan di proses klasifikasi,
aplikasi ukuran ini masih dimungkinkan pada bidang lain, yaitu dalam analisis komponen
utama (principal component analysis).

Mengingat ukuran spektral dari individu piksel mungkin tidak independen, kebutuhan
akan interaksi mutual antar band menjadi penting. Ukuran interaksi yang menjajikan
variasi/varian gabungan dari variabel-variabel umumnya dikenal dengan kovarian. Untuk
menghitung kovarian, perlu diketahui terlebih dahulu informasi tentang corrected sum of
products (SP) yaitu (Davis, 1973):

SPkl =∑(BVik −µk )(BVil −µl) i=1

Komputasi SP dapat disederhanakan menjadi (Jensen, 1996) :

n n
BV BV
n ∑ ik ∑ il

SPkl =∑ (BV ik * BVil ) − i=1 i=1

i=1 n

Kovarian dihitung dengan persamaan (Davis, 1973) :

SP
cov = kl
kl n− 1
Untuk mengestimasi tingkat hubungan antar band, ukuran korelasi digunakan untuk
keperluan ini. Korelasi adalah rasio dari kovarian dibandingkan dengan deviasi standar
masing-masing band.
cov
r= kl
kl
sk sl

17
Korelasi memiliki kisaran antara –1 dan 1. Koefisien korelasi mendekati 1 berarti terdapat
hubungan kuat yang positif antar nilai piksel pada band-band, sedangkan koefisien
mendekati –1 berarti terdapat hubungan kuat yang negatif. Korelasi nol menunjukkan
tidak adanya hubungan yang linier antar band. Pada umumnya penyajian kovarian dan
korelasi dilakukan dalam bentuk tabel agar hubungan antar band dapat lebih terintegrasi
dalam menganalisis.

6. Klasifikasi Tak Terbimbing

Dalam mendefinisikan area contoh untuk pelatihan klasifikasi, analis tidak perlu mencari
area yang homogen, bahkan seringkali dicari daerah yang sangat beragam untuk
memastikan bahwa semua kelas yang memungkinkan dan variabilitas di dalamnya
terbentuk. Piksel-piksel contoh tersebut kemudian akan dimasukkan dalam algoritma
gerombol yang akan menentukan pengelompokan alami dalam ruang feature berdimensi
jamak. Setiap gerombol diasumsikan merepresentasikan distribusi peluang (probability
distribution) untuk setiap kelas. Pelabelan (penamaan) kelas dapat dilakukan setelah
penggerombolan contoh ataupun setelah penggerombolan semua piksel dalam citra.

Penetapan gerombol intrinsik dalam data contoh dapat dilakukan dengan berbagai macam
cara. Metode yang paling umum digunakan adalah algoritme k-means.

Algoritma gerombol yang disajikan berikut ini beroperasi pada dua iterasi (pass). Pada
iterasi pertama, algoritma membaca seluruh data dan secara sekuen membangun
gerombol (kumpulan dari titik pada ruang spektral). Vektor rataan akan diasosiasikan
dengan setiap gerombol. Pada iterasi kedua, metode klasifikasi jarak minimum (minimum
distance to mean) digunakan pada seluruh data, piksel demi piksel pada rataan kelas yang
terbentuk.

Pada iterasi pertama, algoritma membutuhkan masukan data seperti: jarak radius pada
ruang spektral (R), jarak ruang spektral (C), Jumlah piksel yang dievaluasi diantara
penggabungan besar dari gerombol (N) dan Jumlah maksimum gerombol (Cmax). Pada
kebanyakan perangkat lunak pengolah citra penginderaan jauh, parameter ini dapat
ditentukan secara default.

Secara umum, gambaran tentang penggerombolan (clustering) dapat dijabarkan pada


gambar-gambar berikut:

18
(Jensen, 1996)

Citra Asli Algoritme K-means Algoritme Isodata

7. Klasifikasi Terbimbing

Pada klasifikasi terbimbing, analis menggunakan pengetahuan yang telah didapatkan


sebelumnya yang dapat berasal dari hasil ekstraksi informasi/interpretasi foto udara, peta
dan lain-lain. Pengetahuan ini akan digunakan untuk mengidentifikasi piksel-piksel
contoh dan menetapkan kelas ciri yang bersesuaian. Parameter-parameter statistika yang

19
penting diturunkan dari contoh kelas tersebut dan digunakan untuk mengkelaskan ciri
yang mirip dari sebuah piksel.

Pemilihan kumpulan contoh yang representatif sangat penting pada klasifikasi


terbimbing. Pencarian daerah yang homogen dan memiliki kisaran variabilitas yang baik
akan menentukan keberhasilan klasifikasi. Aspek statistika lain yang penting adalah
jumlah piksel yang digunakan untuk mengestimasi ciri kelas. Jika pengklasifikasi Bayes
maximum likelihood dan asumsi distribusi normal (normal class distribution) yang
digunakan, vektor rataan kelas dan matriks kovarian harus dihitung (Schowengerdt,
1983). Swain (1978) menyatakan bahwa untuk mendapatkan statistik kelas yang
memenuhi syarat, piksel contoh yang diperlukan berkisar antara 10 – 100.

Sebelum menjalankan algoritme klasifikasi, seringkali pengguna menentukan training


area yang digunakan untuk melihat ciri-ciri statistika masing-masing calon kelas.
Mengingat data penginderaan jauh pada umumnya berkanal jamak, maka untuk setiap
contoh piksel akan didapatkan sebuah vektor pengukuran sebagai berikut:

Xc = [BVij1, BVij2, …, BVijk]

dimana BVijk menyatakan nilai piksel (brightness value) untuk piksel ke-i,j dan pada
band ke-k. Selanjutnya akan didapatkan pula vektor pengukuran rataan untuk setiap kelas
sebagai berikut:

Mc = [µc1, µc2, …, µck]

dimana µck merepresentasikan nilai rataan dari data yang diperoleh untuk kelas c pada
band k. Selain itu bisa didapatkan pula matrik kovarian pada setiap kelas c sebagai
berikut:

Covc11 Covc12 ... Covc1n


Cov c21 Cov c22 ... Cov c2n
Vc =Vckl =
...... ... ...
Cov Cov ... Cov
cn1 cn2 cnn

dimana Covckl adalah kovarian dari kelas c dari band k sampai l. Untuk mempersingkat,
pada umumnya notasi di atas dapat disingkat menjadi Vc.

20
Aturan keputusan dalam algoritma kemungkinan maksimum akan bertindak sebagai
penentu penggolongan setiap piksel ke dalam kelas yang bersesuaian yaitu dengan
menempatkan piksel atas dasar kemiripan atau kemungkinan yang paling tinggi. Hal ini
mengasumsikan bahwa statistik dari data training set untuk setiap kelas dan setiap band
menyebar secara normal (Gaussian). Aturan keputusan pada algoritma ini dapat
dinotasikan sebagai berikut:

Tentukan X ada dalam kelas c, jika dan hanya jika:

Pc ≥Pi, i adalah kelas ke-1, 2, …, m

T -1
Pc = { -0.5loge[det(Vc)]} – [0.5(X-Mc) Vc (X-Mc)]

dimana det(Vc) adalah determinan dari matriks kovarian Vc. Untuk mengklasifikasikan
vektor X dari sebuah piksel ke dalam suatu kelas, aturan keputusan akan menghitung nilai
Pc untuk setiap kelas. Barulah kemudian piksel tersebut akan dikelompokkan ke dalam
kelas yang memiliki nilai maksimum.

Persamaan di atas mengasumsikan bahwa setiap kelas memiliki kemungkinan kejadian


yang sama pada permukaan bumi. Kejadian pada data penginderaan jauh menunjukkan
bahwa ada kemungkinan kejadian yang tinggi bagi suatu kelas daripada kelas yang lain.
Sebagai ilustrasi, bila kelas air mendominasi suatu citra, maka dapat diharapkan bahwa
akan semakin banyak piksel yang akan dikelaskan sebagai air. Dengan demikian,
dimungkinkan untuk memasukkan informasi a priori pada pengambilan keputusan dalam
klasifikasi. Pemasukan informasi ini dapat dilakukan dengan pembobotan setiap kelas c
dengan kemungkinan a priori ac sehingga:

Tentukan X ada dalam kelas c, jika dan hanya jika:

Pc(ac) ≥Pi(ai), i adalah kelas ke-1, 2, …, m

T -1
Pc(ac) = loge(ac) - { -0.5loge[det(Vc)]} – [0.5(X-Mc) Vc (X-Mc)]

Aturan keputusan Bayes di atas identik dengan aturan keputusan kemiripan maksimum,
kecuali bahwa Bayes tidak mengasumsikan kesamaan kemungkinan pada setiap kelas.

21
DAFTAR PUSTAKA

Avery, T.E. and G.L. Berlin. 1992. Fundamentals of Remote Sensing and Airphoto
Interpretation. Fifth Edition. Prentice Hall. Upper Saddle River, New Jersey.

Davis, J.C. 1973. Statistics and Data Analysis in Geology. John Wiley & Sons. New
York.

Ekstrand, S. 1996. Landsat TM-based Forest Damage Assessment: Correction for


Topographic Effects. Photogrammetric Engineering and Remote Sensing. Vol.62.
No. 2. pp. 151-161.

Hill, J., W. Mehl and V. Radeloff. 1995. Improved Forest Mapping by Combining
Corrections of Atmospheric and Topographic Effects in Landsat TM Imagery. In
Sensors and Environmental Applications of Remote Sensing. J. Askne (ed.). A.A.
Balkema. Rotterdam. The Netherlands.

Israelsson, H. and J. Askne. 1995. Retrieval of Forest Biomass Using SAR. In Sensors
and Environmental Applications of Remote Sensing. J. Askne (ed.). A.A.
Balkema. Rotterdam. The Netherlands.

Jensen, J.R. 1996. Introductory Digital Image Processing: A Remote Sensing Perspective.
Second Edition. Prentice Hall. Upper Saddle River, New Jersey.

Lyon, J.G., D. Yuan, R.S. Lunetta and C.D. Elvidge. 1998. A Change Detection
Experiment Using Vegetation Indices. Photogrammetric Engineering and Remote
Sensing. Vol.64. No. 2. pp. 143-150.

Pavlidis, T. 1984. Graphics Algorithms and Image Processing. Computer Science Press.
New York.

Pinder III, J.E. and K.W. McLeod. 1999. Indications of Relative Drought Stress in
Longleaf Pine from Thematic Mapper Data. Photogrammetric Engineering and
Remote Sensing. Vol. 65, No. 4. pp. 495-501.

Richards, J.A. 1993. Remote Sensing Digital Image Analysis: An Introduction. Springer
Verlag. Berlin, Germany.

Ricotta, C., G.C. Avena and F. Ferri. 1996. Analysis of Human Impact on a Forested
Landscape of Central Italy with a Simplified NDVI Texture Descriptor.
International Journal of Remote Sensing. Vol. 17, No. 14. pp. 2869-2874.

Schowengerdt, R.A. 1983. Techniques for Image Processing and Classification in


Remote Sensing. Academic Press. New York.
Sheperd, N. 1998. Extraction of Beta Nought and Sigma Nought from RADARSAT CDPF
Products. Canadian Space Agency Report No. AS97-5001. Ottawa, Canada.

Swain, P.H. 1978. Fundamentals of Pattern Recognition in Remote Sensing. In Remote


Sensing: The Quantitative Approach. P.H. Swain and S.M. Davis (eds.). McGraw
Hill. New York.

22
Trisasongko, B.H. 1999. Radarsat Image Processing: Interpretation for Mangrove and
Geomorphology. Introductory Course Radar Imagery. BPPT. Jakarta.

Trisasongko, B.H and B. Tjahjono. 1999. Reducing Artifacts Using Fourier


Transformation: Cases in Landsat TM and Radarsat. Franco-Indonesia Space
Industry and High Tech Conference. Jakarta.

Tucker, C.J. 1996. History of the Use of AVHRR Data for Land Applications. In
Advances in the Use of NOAA AVHRR Data for Land Applications. G. D’Souza,
A.S. Belward and J-P. Malingreau (eds.). Kluwer. Doordrecht, The Netherlands.

Wiradisastra, U.S. 2000. Komunikasi personal.

Anda mungkin juga menyukai