Anda di halaman 1dari 7

Ilmu tanpa amal merupakan kegilaan.

Demikian seperti yang disampaikan oleh Imam


Al Ghazali. Bagaimana tidak, sebuah nilai pengetahuan tidak berdampak menjadi
sesuatu. Sungguh sebuah kesia-siaan. Manusia sepanjang sejarahnya selalu dipenuhi
oleh berbagai upaya dalam bertahan mengarungi kehidupannya. Sejarah juga
membuktikan bahwa manusia-manusia yang tidak cukup memiliki ilmu akan
terpinggirkan bahkan tidak akan menjadi apa-apa. Kata Ilmu merupakan turunan dari
bahasa Arab alima, ya’lamu, ‘ilman yang dapat diartikan sebagai mengerti, memahami
secara benar. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ilmu merupakan
pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode
tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang
(pengetahuan) itu. Ilmu merupakan suatu deskripsi data pengalaman secara lengkap dan
tertanggung jawabkan dalam rumusan-rumusannya yang sesederhana mungkin.1

HAKIKAT ILMU DALAM ISLAM

Al Qur’an al karim mendudukkan ilmu dalam Islam pada posisi yang tinggi. Ilmu
dipandang sebagai salah satu unsur pembentuk kepribadian manusia dan merupakan
sebuah jalan yang menghantarkan manusia dalam posisi yang terhormat. Hal ini
sebagaimana firman Allah ta’ala pada surat al Mujadilah ayat 11,
‫َيْر َفِع الَّلُه اَّلِذ يَن آَم ُنوا ِم ْنُك ْم َو اَّلِذ يَن ُأوُتوا اْلِع ْلَم َد َر َج اٍت َو الَّلُه ِبَم ا َتْع َم ُلوَن َخ ِبيٌر‬
“….niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Ketinggian derajat Allah berikan kepada orang berilmu diantaranya karena Allah
mensifati ilmu sebagai sifat ilahiyah. Dalam al Qur’an Allah memperlihatkan diri-Nya
sebagai satu-satunya pemilik ilmu yang sempurna serta menyandarkan ilmu kepada
diri-Nya. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al baqarah 216: ‫والله يعلم وأنتم ال‬
‫“ تعلمون‬Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui”, atau dalam surat ali Imran
ayat 167: ‫والله أعلم بما يكتمون‬, “dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka
sembunyikan”. Juga dalam surat al Baqarah ayat 95 “‫”والله عليم بالظالمين‬, “dan Allah
Maha Mengetahui orang-orang yang berbuat aniaya”. Ayat-ayat ini menunjukkan
makna seolah-olah ilmu merupakan kekuasaan (qudrah) dan kehendak (iradah) Allah
ta’ala, dan manusia tak punya daya upaya melainkan menerima realitas tersebut
dengan penuh keridho’an. Sayyid Quthb berkata,“‫وإنها لتتركه حين يس``تجيب له``ا طيعًا في ي``د‬
]1[ ”‫ ولكن ي```رد األمر كله للي```د الحكيمة والعلم الش```امل‬،‫ يعمل ويرجو ويطمع ويخ```اف‬،‫ الق```در‬dan
sesungguhnya (ayat) ini membiarkannya ketika manusia meresponnya dengan penuh
kepatuhan atas takdir, bekerja, berharap, berambisi dan merasa takut namun mereka
mengembalikan semua urusan kepada kekuasaan mutlak yang Maha Bijaksana serta
Pengetahuan yang sempurna.

1
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Meski demikian, sebagaimana penyandaran ilmu kepada diri-Nya Allah mengangkat
derajat manusia dengan menyandarkan ilmu juga kepada manusia. Allah ta’ala
berfirman dalam surat al baqarah ayat 26
‫ِإَّن الَّلَه اَل َيْسَتْح ِيي َأْن َيْض ِر َب َم َثاًل َم ا َبُعوَض ًة َفَم ا َفْو َقَها َفَأَّم ا اَّلِذ يَن آَم ُنوا َفَيْع َلُم وَن َأَّنُه اْلَح ُّق ِم ْن َر ِّبِه ْم‬
“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang
lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa
perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, …”

Menurut sayyid Quthb, kecerdasan dan pengetahuan yang dimiliki orang mukmin itu
dikarenakan mereka memposisikan perumpamaan /ciptaan Allah itu sebagai sarana
pencerahan (tanwir) dan pembuka mata hati (tabshir)[2].

Demikianlah risalah Islam mendudukkan posisi ilmu pada tempat yang mulia dan
menuntun orang untuk memiliki ilmu. Adapun dalam surat al Baqarah ayat 26 tersebut
juga terdapat sebuah pengertian bahwa di atas imanlah manhaj keilmuan itu
diletakkan, iman berfungsi menjaga ilmu dari penyimpangan, mengaitkan ilmu dengan
Sang Pemilik Ilmu serta menjadi platform dalam realisasi ilmu pada realitas
kehidupan manusia.

DEFINISI ILMU DAN ISTILAH TERKAIT DALAM KAJIAN BAHASA

Kata ilmu dalam bahasa arab adalah “ ]3[” ‫ َنِقيُض اْلَج ْه ِل‬yang berarti lawan dari
kebodohan. Dikatakan “ ‫ ”َع ِلَم َيْع َلُم‬berarti “ ‫ ”َتَيَّقَن‬mengetahui dengan pasti atau meyakini,
ia juga bisa berarti “ ‫ ”اْلَم ْع ِر َفِة‬pengetahuan. [4] Al Jurzani menuliskan bahwa
ilmu adalah, “‫ ”االعتق``اد الج``ازم المط``ابق للواقع‬keyakinan yang kokoh terkait erat dengan
realitas, dikatakan pula ilmu adalah “‫ ”حص```ول ص```ورة الش```يء في العق```ل‬mendapatkan
gambaran sesuatu hal dengan kemampuan akal.[5] Ada pula yang membedakan antara
ilmu dan keyakinan, keyakinan adalah “ ]6[”‫ العلم بالشيء بعد النظ``ر واالس``تدالل‬mengetahui
sesuatu setelah meneliti dan membuat hipotesa.

Selain ilmu, dalam al Qur’an disebutkan beberapa terminologi yang terkait dengan
ilmu, seperti, jahl, syak serta dzhan. Jahl atau kebodohan berarti “‫اعتقاد الشيء على خالف‬
‫ واعترضوا علي``ه‬،‫ ”ما هو عليه‬meyakini sesuatu tetapi bertentangan dengan hakikat yang
sebenarnya atau menyanggah hakikat yang sebenarnya.[7]

Syak atau keraguan adalah “‫ ”التردد بين النقيضين بال ترجح ألح``دهما على اآلخر‬kebimbangan
antara dua perkara yang berlawanan dengan tidak mengunggulkan salah satu diantara
kedua perkara tersebut. Ia juga berarti “‫ ”الوقوف بين الشيئين ال يميل القلب إلى أحدهما‬berhenti
antara dua hal yang tidak menjadikan hati cenderung kepada salah satunya. [8]

Dzhan atau prasangka berarti “‫ ويس``تعمل في اليقين والش``ك‬،‫”االعتق``اد ال``راجح مع احتمال النقيض‬
keyakinan yang lebih disukai dengan kemungkinan yang berlawanan, dan berbuat
diantara keyakinan dan keraguan. [9]

Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat kita simpulkan bahwa ilmu adalah suatu
kesesuaian antara pengetahuan dengan hakikat yang sebenarnya dari sebuah obyek.
Kebodohan adalah bertolak belakangnya pengetahuan dengan hakikat yang
sebenarnya dari sebuah obyek. Sedangkan syak adalah pertengahan antara ilmu dan
kebodohan dimana sehingga tidak ada sebuah tindakan apapun dari informasi yang
dimilikinya, dan prasangka adalah kecenderungan terhadap salah satu hal dari dua hal
yang bertentangan tersebut namun kecenderungan itu tidak berdasarkan sebuah
metodologi.

MAFHUM ILMU DALAM AL QUR’AN

Menurut Ibnu ‘Adil, lafadz ilmu dalam alQur’an digunakan pemakaiannya untuk
dalam 4 hal,[10] pertama, ilmu al Qur’an hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala
dalam surat Ali Imran ayat 61,
‫َفَم ْن َح آَّجَك ِفيِه ِم ن َبْع ِد َم ا َج آَء َك ِم َن العلم‬
“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan
kamu),….”

Kedua, Nabi Sholallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagaimana firman Allah ta’ala dalam
surat al Jatsiyah ayat 17,
‫وآتيناهم بينات من األمر فما اختلفوا إال من بعد ما جاءهم العلم بغي``ا بينهم إن ربك يقضي بينهم ي``وم القيامة فيما‬
‫كانوا فيه يختلفون‬
“Dan Kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata tentang urusan
(agama); maka mereka tidak berselisih melainkan sesudah datang kepada
mereka pengetahuan karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.”

Ketiga, ilmu kauniyah atau ilmu yang terkait dengan cara memperoleh kesuksesan di
dunia, sebagaimana dalam kisah Qarun pada surat al Qashas ayat 78,
‫قال إنما أوتيته على علم عندي أولم يعلم أن الله قد أهلك من قبله من القرون من هو أشد منه قوة وأك``ثر جمعا وال‬
‫يسأل عن ذنوبهم المجرمون‬
“Qarun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada
padaku". Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah
membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih
banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang
berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.”

Kempat adalah kemusyrikan, sebagai perlambang ilmu yang menyesatkan. Allah


ta’ala berfirman dalam surat al Ghafir ayat 83,
‫فلما جاءتهم رسلهم بالبينات فرحوا بما عندهم من العلم وحاق بهم ما كانوا به يستهزئون‬
“Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka
dengan membawa keterangan-keterangan, mereka merasa senang
dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh adzab Allah
yang selalu mereka perolok-olokkan itu.”

Dengan demikian ilmu yang diserukan dalam al Qur’an al Karim adalah ilmu dengan
pemahamannya yang menyeluruh, mengatur segala hal yang berkaitan dengan
kehidupan manusia dalam segala aspeknya bauk kehidupan fisik, pemikiran dan
spiritualnnya. Dalam pengertian ini maka yang dimaksid ilmu dalam Islam adalah
sebuah kebenaran yang bersumber dari al Qur’an dan sunnah dan dibangun di atasnya,
serta tidak hanya yang terkait dengan ayat-ayat qauliyah saja, melainkan pula
kauniyyah, yang menjamin kesuksesan hidup di dunia dan di akhirat. Pemikiran ini
sebagaimana tersirat dalam tafsir asy Sya’rawi, “‫ألن رسول الله سيحتاج إلى علم تقوم عليه حركة‬
]11[ ”‫ ِع ْلٌم يش``مل األزمنة واألمكنة‬،‫ الحياة من َلُد ْنه إلى أن تق``وم الس``اعة‬bahwasanya Rasulullah saw
menginginkan ilmu yang dapat tegak diatas pergerakan kehidupan hingga waktu yang
telah ditetapkan, ilmu yang sempurna melingkupi seluruh zaman dan tempat. Hal ini
dapat terjadi jika ilmu tersebut berasal dari zat yang Maha Hidup dan Abadi, serta
dasar-dasar ilmu tersebut memungkinkan terbukanya at tadayyun, ijtihad dan
pembaharuan (ibda’).

Menurut al Qatthan, “ Allah ta’ala tidak memerintahkan Rasulullah menambah


sesuatu dalam kehidupannya kecuali dengan ilmu”[12], sehingga seluruh perubahan
dalam prikehidupan seorang muslim berada dalam perputaran ilmu. Hal ini sesuai
dengan fungsi al Qur’an sebagai kitab al istikhlaf, kitab yang mengatur seluruh
kehiduan manusia di bawah naungannya, membangun peradaban dunia, menciptakan
ketenangan, kedamaian dan keteraturan dunia.

Selanjutnya al Qatthan menjelaskan, “‫ وبالعلم سيطرت‬،‫ولقد قام االسالم على العلم والتعلم من بدايته‬
‫ ”األمم المسيِط رة في الوقت الحار‬sesungguhnya sejak awalnya Islam telah tegak atas ilmu dan
pengajaran, sebab dengan ilmulah kepemimpinan atas bangsa-bangsa akan diraih
dalam waktu yang dekat.[13] Pendapatnya ini menjelaskan dimensi tujuan dari ilmu
bagi ummat Islam, yaitu untuk meninggikan kalimat Allah hingga tidak ada fitnah
dimuka bumi, tercipta kedamaian dan ketentraman hidup didunia yang bermuara
kepada ketentraman hidup di akhirat.

Ibnul Jauzi ketika menafsirkan surat Thoha ayat 114 mendefinisikan ilmu sebagai “
‫ ”قرآنًا‬al Qur’an, “‫ ”فهمًا‬pemahaman dan “‫ ”حفظا‬hafalan.[14] Sebagaimana pendapat Ibnu
Abbas ra, bahwa maksudnya adalah “ ‫ ”حفظًا وفهمًا َو حكما ِباْلُقْر آِن‬hafalan, pemahaman dan
hukum-hukum berdasarkan al Qur’an.[15] Diriwayatkan pula bahwa Ibnu Mas’ud ra,
ketika membaca ayat ini mendefinisikannya sebagai “ ‫”ِإيَم اًن ا وفقه```ا ويقينا وعلما‬
keimanan, kefahaman, keyakinan dan pengetahuan.[16]

Pengertian-pengertian tersebut menjelaskan bahwa rancang bangun ilmu dalam al


Qur’an adalah meliputi hafalan-hafalan konseptual, paradigma atau kerangka berfikir
atas konsep-konsep tersebut dan tataran penerapan atau aplikasi dalam bentuk aturan-
aturan hukum. Dengan pengarahan ini al Qur’an menjadi dasar sekaligus membuka
pintu ilmu, memerdekakan akal dan fikiran serta mendorong mengadakan pengkajian,
penelitian dan uji coba yang bersifat sistemik dan terencana.

Pengertian lain tentang ilmu adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Al Mawardi,
ia berpendapat bahwa ilmu, adalah: pertama, “‫ ”أدبًا في دينك‬tatacara dalam agama.
Kedua, “‫ ألن الص``بر يس``هل بوجود العلم‬, ‫ ”صبرًا على طاعتك وجهاد أعدائك‬shabar dalam ketaatan
dan memerangi musuh, karena dengan kesabaran ilmu akan diraih. Ketiga, “‫علمًا بقصص‬
‫ ”أنبيائك ومنازل أوليائك‬ilmu tentang kisah para nabi dan yang kedudukan mereka. Dan
terakhir, “‫ ”علمًا بح``ال أمتي وما تكون علي``ه من بعدي‬pengetahuan tentang perihal ummat
manusia dan apa yang terjadi di masa depan.[17]

Dalam penafsirannya ini dapat kita rumuskan bahwa al Mawardi memandang ilmu itu
memiliki 4 aspek yaitu aspek tuntunan atau tatacara dalam meraih ilmu, aspek
mentalitas dalam hal ini shabar dalam menempuh jalan menuju ilmu, aspek hikmah,
ibrah dari sejarah serta aspek perencanaan masa depan bangsa. Dengan demikian ilmu
terkait dengan proses keilmuan, mentalitas ilmuwan serta subjek ilmu pengetahuan
yang dipelajari harus terkait antara masa lampau dan masa yang akan datang.

Menafsirkan ayat sama, Az Zamakhsary berpendapat bahwa ilmu itu diperoleh


melalui dua cara yaitu “‫ ”ترتيب التعلم‬proses belajar yang teratur dan “‫ ”أدبا جميال‬tata cara
yang menyenangkan.[18] Dalam nidzham ad Darar disebutkan pula bahwa proses
meraih ilmu adalah melalui “‫ وأع``ون على الحف``ظ‬، ‫ ”بالت``دبر وبإلق``اء الس``مع أنف``ع‬tadabbur dan
menyampaikan hal-hal bermanfaat yang didengar serta kesadaran menghafal. [19]Dari
pemikiran ini dapat kita rumuskan bahwa proses memperoleh ilmu melalui
perencanaan, terlaksana karena kebutuhan dan menginspirasi, mengutamakan aspek
tadabbur (pengkajian dan penelitian) serta penyebaran pengetahuan.

KESIMPULAN

Ragam corak pemikiran para ulama tafsir tersebut di atas memberikan sebuah bingkai
pemikiran tentang mafhum ilmu dalam al Qur’an. Asas dan sumber rujukan ilmu serta
kebenaran, maksud ilmu dalam al Qur’an, tujuan, ruang lingkup hingga
proses keilmuan. Pendapat-pendapat ini juga mengetengahkan cara berfikir yang
komprehensif mewujudkan kesatuan asal, undang-undang atau peraturan dan kesatuan
akhir dari kehidupan manusia, dalam poros inilah keilmuan Islam itu bergulir.

Al Qur’an juga mendorong manusia untuk menjauhkan model pemikiran yang hanya
berputar pada tataran ide semata, melainkan harus diaplikasikan, serta melakukan
eksperimen atasnta untuk membuahkan penemuan-penemuan baru dalam menjalankan
misinya di muka bumi.
Hasbunallah wa ni’mal wakil

DAFTAR PUSTAKA
al Biqa’iy, Burhanuddin, tt, Nidzham ad Darar, Cairo : Daar al Kitab al Islamy.
al Fairuz Abady, Majduddin Abu Thohir Muhammad bin Ya’qub, tt, Tanwir al Muqabbas
min Tafsir Ibnu Abbas, Libanon : Daar al Kutub al Ilmiyyah.
al Fayumi, Ahmad bin Muhammad bin Ali, tt, al Misbah al Munir fi Gharib asy Syarh al
Kabir, Beirut : al Maktabah al Ilmiyah.
al Jauzy, Jamaluddin Abul Faraj Abdurrahman bin Ali bin Muhammad, 1422H, Zaadul
Masiir fi Ilmi Tafsir, Beirut : Daar al Kitab al Araby.
al Jurjaniy, Ali bin Muhammad bin Ali az Zain as Syarif, 1403 H, Kitab at Ta’rifat, Beirut :
Daar al Kutub al Ilmiyyah.
al Mawardy, Abul Hasan Ali bin Muhammad al Bashary al Baghdady, tt, an Nukat wal
Uyun, Beirut : Daar al Kutub al Ilmiyyah.
an Nu’many, Abu Hafs Sirajuddin Umar bin adil al Hanbali, 1419 H, al Lubab fi Ulumil
Kitab, Beirut : Daar al Kitab al Araby.
al Qatthan, Ibrahim, tt, Taisir at Tafsiir, naskah bahan ajar tanpa penerbit.
ar Razi, Ahmad bin Faris bin Zakaria al Qazwini, Mu’jam Maqayis al Lughah, Beirut : Daar
al Fikr.
asy Syarabi, Sayyid Quthb Ibrahim Husain, 1412H, Fii Dzilalil Qur’an, Cairo: Daarus
Syuruq.
asy Sya’rawiy, Muhammad Mutawaliy, 1997, Tafsir asy Sya’rawiy , Mesir : Muthabi’
Akhbar al Yaum.
az Zamakhsary, Abul Qasim Mahmud bin Amru bin Ahmad, 1401 H, al Kasyaf ‘an
Haqaiq Ghawamid at Tanzil, Beirut : Daar al Kitab al ‘Araby.

[1] Sayyid Quthb Ibrahim Husain asy Syarabi, 1412H, Fii Dzilalil
Qur’an, Cairo: Daarus Syuruq, Jilid 1, hlm 224.
[2] Ibid, Juz 1, hlm 50.
[3] Ahmad bin Faris bin Zakaria al Qazwini ar Razi, Mu’jam Maqayis al
Lughah, Beirut : Daar al Fikr, 1399 H, 4/109.
[4] Ahmad bin Muhammad bin Ali al Fayumi, tt, al Misbah al Munir fi
Gharib asy Syarh al Kabir, Beirut : al Maktabah al Ilmiyah, 2/427.
[5] Ali bin Muhammad bin Ali az Zain as Syarif al Jurjaniy, 1403 H, Kitab at
Ta’rifat, Beirut : Daar al Kutub al Ilmiyyah, 1/156
[6] Ibid, 1/159.
[7] Ibid, 1/80.
[8] Ibid, 1/128.
[9] Ibid, 1/144.
[10] Abu Hafs Sirajuddin Umar bin adil al Hanbali an Nu’many, 1419 H, al
Lubab fi Ulumil Kitab, Beirut : Daar al Kitab al Araby, 5/283.
[11] Muhammad Mutawaliy asy Sya’rawiy, 1997, Tafsir asy Sya’rawiy , Mesir
: Muthabi’ Akhbar al Yaum, 15/9415.
[12] Ibrahim al Qatthan, tt, Taisir at Tafsiir, naskah tanpa penerbit, 2/422.
[13] ibid
[14] Jamaluddin Abul Faraj Abdurrahman bin Ali bin Muhammad al Jauzy,
1422H, Zaadul Masiir fi Ilmi Tafsir, Beirut : Daar al Kitab al Araby, 3/178.
[15] Majduddin Abu Thohir Muhammad bin Ya’qub al Fairuz Abady,
tt, Tanwir al Muqabbas min Tafsir Ibnu Abbas, Libanon : Daar al Kutub al Ilmiyyah,
1/267.
[16] Abu Hafs Sirajuddin Umar bin adil al Hanbali an Nu’many, op.cit,
13/400.
[17] Abul Hasan Ali bin Muhammad al Bashary al Baghdady al Mawardy,
tt, an Nukat wal Uyun, Beirut : Daar al Kutub al Ilmiyyah, 3/429.
[18] Abul Qasim Mahmud bin Amru bin Ahmad az Zamakhsary, 1401 H, al
Kasyaf ‘an Haqaiq Ghawamid at Tanzil, Beirut : Daar al Kitab al ‘Araby, 3/90.
[19] Burhanuddin al Biqa’iy, tt, Nidzham ad Darar, Cairo : Daar al Kitab al
Islamy, 12/350

Anda mungkin juga menyukai