Pada tanggal 17 Agustus 1945, Bapak Proklamator Indonesia Ir. Soekarno
telah mencentuskan sebagai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 1 September 1945 masyarakat Indonesia disaat itu sedang merayakan kemerdekaan dan berbondong – bondong mengibarkan bendera Merah Putih. Akan tetapi para sekutu masih tidak menerima akan kemerdekaan Indonesia, jauh dari ibukota Batavia tentara Inggris yang tergabung dalam pasukan khusus Allied Forces Netherland East Indies (AFNEI) mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945. Selain tentara Inggris, tentara Belanda yang bergabung dalam Netherland Indies Civil Administration (NICA) juga ikut membonceng Inggris mendarat di Surabaya. “Tentara sekutu datang ke Surabaya untuk menjalankan misi penting, yaitu untuk melencuti senjata tentara Jepang dan membebaskan para tawanan perang.” Ucap tentara Inggris. Suatu tujuan yang awalnya disambut baik oleh para pejuang Indonesia. Namun misi pasukan sekutu itu hanya berupa kedok saja, sesungguhnya mereka juga punya maksud tesembunyi, yakni untuk membantu Belanda menjajah kembali Indonesia. Pada suatu hari di tanggal 19 September 1945 pasukan NICA yang menginap di Hotel Yamato menaikkan bendera Belanda (Merah, Putih dan Biru) di puncak Hotel Yamato yang membuat suasana kota Surabaya menjadi memanas. “Walah rek… Sopo seng kurang ajar berani ngibarin bendera wong Londo ning kunu.” “Pelecehan ini, Negara kita sudah merdeka, berani beraninya mengibarkan bendera Londo tanpa ijin.” Ucap dua pemuda Surabaya. Peristiwa ini membuat penduduk Surabaya geram, hingga membuat kegaduhan dan terdengar oleh para pemuda Indonesia. Mereka segera menuju Hotel Yamato untuk mencari pelaku yang mengibarkan bendera Belanda itu. Residen Soedirman bersama Sidik dan Hariyono lalu bertemu dengan tentara Belanda yang mengibarkan bendera tersebut, tantara itu bernama W.V.C . Ploegman. Mereka lalu saling beradu argument di Hotel Yamato. “Segera turunkan benderamu itu sekarang juga!!!” Tegas Soedirman. Ploegman lalu menjawab. “Kamu orang siapa??!! Berani perintah saya, negeri saya baru saja memenangkan perang dunia.” “Saya tidak takut dengan kalian!!, Bendera Netherlan harus tetap berkibar dan kita tidak mengakui kemerdekaan Indonesia!!!”. Ploegman menolak perintah itu. Dia bahkan mengancam dan mengeluarkan pistol. “Londo kate nembak!!!”. Teriak Sidik. Perkelahi di lobby Hotel itu pun tek terelakkan. Ploegman tewas di cekik sidik. “Selamatkan Ploegman! Dia mati kehabisan nafas!! Tembak orang itu!!”. Ucap tentara Belanda. Dan Sidik pun tewas di tembak tentara Belanda lainnya. Sementara itu Soedirman dan Hariyono berhasil keluar dari Hotel Yamato. Hariyono dan seorang pemuda bernama Koesno Wibowo kemudian memutuskan untuk memanjat ke puncak Hotel Yamato. Mereka lalu merobek warna biru pada bendera Belanda sehingga menjadi bendera Merah Putih. “Merdeka!!! Merdeka!!! Merdeka!!!” Sorakan para penduduk Surabaya. Sejak peristiwa itu, suasana di Surabaya mulai memanas di antara tentara Indonesia, sekutu dan Belanda. Kemudian tentara sekutu yang tiba di Surabaya adalah pasukan Inggris dari Brigade Infanteri India 49 Maratha yang dikomandoi oleh Brigjen Mallaby. Pasukan ini berisikan orang-orang India yang disebut India Army. Mereka tiba di Surabaya pada tanggal 25 oktober 1945. Kehadiran tentara ini membuat para pemuda Indonesia marah besar. “Walah rek!! Wong Londo yang dibebasin sekutu kok, jadi seenaknya sendiri!!”. “Senjata kita juga dirampas rek!! Tambah kurang ajar sekutu itu!!”. “Kalau bukan karena intruksi pimpinan kita utuk menahan diri, wah sudah kita habisi tuh para sekutu!!”. Penduduk Surabaya yang mulai geram terhadap sekutu. Lalu Mallaby mendarat di Indonesia ketika berada dalam situasi yang sulit, karena pada suasana permusuhan dengan rakyat Surabaya yang sudah mulai terlihat. Itu semua disebabkan karena Inggris memerintahkan orang-orang Indonesia agar menyerahkan senjatanya. Karena rakyat dan pemuda Indonesia bertekad tidak ingin mengalami penjajahan lagi dalam bentuk apa pun, maka mereka memutuskan untuk melawan para sekutu. Surabaya pun akhirnya menjadi medan pertempuran. Perang pertama antara arek Surabaya dan pasukan dari Brigjen Mallaby terjadi pada tanggal 27 oktober 1945. Insiden ini menelan banyak korban sehingga dilakukkan gencatan senjata pada tanggal 29 oktober 1945. Pada tanggal 30 oktober 1945 pasukan gurkha dari india yang diangkut inggris tidak mengetahui adanya gencatan senjata yang akhirnya meletus perang lanjutan di jembata merah Surabaya. Pimpinan mereka Brigjen Mallaby tewas dalam insiden ini dikarenakan tembakan dari jarak dekat yang dilakukan oleh pemuda tak dikenal. Setelah tragedy tewasnya Brigjen Mallaby, Mayjen Robert Mansergh ditunjuk untuk menggantikan posisi Mallaby. Lalu pada siang hari di tanggal 9 oktober 1945, masyarakat Surabaya dikejutkan oleh sebuah pesawat Inggris yang melayang-melayang di atas kota. Pesawat menyebarkan ribuan pamflet yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal E.C. Mansergh selaku Panglima Tentara Inggris di Jawa Timur.Tak pelak, ultimatum Inggris itu membuat rakyat Surabaya sangat marah. “Inggris edan!!, Berani beraninya meremehkan wong Suroboyo!!, Kita tidak takut kepada ancaman kalian!!!”. Penduduk Surabaya yang sudah sangat marah. Begitu “hujan pamflet” reda, nyaris seluruh sudut kota Surabaya dipenuhi pemuda dan kelompok bersenjata. Saat itu di sekitarnya telah berkumpul ratusan pemuda. Semua menenteng senjata dan pistol otomatis. Minimal mereka yang disebut tidak lengkap, membawa granat. Pertemuan pemuda dan kaum bersenjata di Surabaya memutuskan mengangkat Sungkono sebagai Komandan Pertahanan Kota Surabaya dan Surachman sebagai Komandan Pertempuran. Dari sinilah. Muncul semboyan “Merdeka atau Mati” dan Sumpah Pejuang. “Dan untuk kita sodara-sodara!!! Lebih baik kita hancur bung dari pada tidak merdeka!!! Semboyan kita tetap!! MERDEKA atau MATI!!” “Dan kita yakin sodara-sodara! Pada akhirnya, pastilah kemenangan akan jatuh ketangan kita. Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar.” “percayalah sodara-sodara tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar!!! Allahu Akbar!!! Allahu Akbar!!!... MERDEKA…!! MERDEKA…!! MERDEKA…!!” Ucap Bung Tomo dalam pidatonya. Usai pidato itu, Surabaya dicekam semangat perlawanan yang sangat kuat. Para pemuda di berbagai kampung bergotong royong membangun basis. Pertahanan berupa barikade tumpukan perabotan rumah, rongsokan kendaraan dan barang bekas lainnya. Meraka coba menahan laju tank dan infanteri Inggris sehingga membuka celah para pejuang melakukan penyergapan. Surabaya sedang bersiap menghadapi badai besar. Tepat jam 06.00 pagi pada 10 November 1945, tentara Inggris membombardir Surabaya yang berlangsung hingga tengah malam, diikuti serbuan tank dan infanteri. Akibat penyerbuan besar itu, ribuan orang tewas seketika, mayoritas rakyat sipil. Di bawah “guyuran” pidato Bung Tomo dari Radio Pemberontak, pertempuran Antara dua pihak berlangsung makin keras. Kendati hanya mengandalkan senjata tajam dan senjata api peninggalan KNIL dan rampasan dari tentara Jepang, arek-arek Suroboyo dan pemuda lainnya melakukan perlawanan sengit. Perlawanan pejuang Indonesia di Surabaya berlangsung dalam dua cara, yang pertama dengan mengorbankan diri secara fanatik, orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau belati dan dinamit di badan secara nekat menyerang tank-tank Sherman. Cara kedua, menggunakan cara yang lebih terorganisasi dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat buku-buku petunjuk militer Jepang. Tentara Inggris sempat terkejut menghadapi perlawanan rakyat Surabaya. Di hari kedua 11 November 1945, tiga pesawat Mosquito ditembak jatuh. Termasuk yang membawa Brigadier Robert Guy Loder Symonds. Komandan Detasemen Artileri Pasukan Inggris, terkena tembakan PSU Bofors 40 (sejenis Senjata penangkis serangan udara milik KNIL) yang Dikendalikan oleh Sekelompok veteran Heiho yang berpengalaman menghadapi pesawat pesawat tempur Amerika Serikat di palagan Halmahera dan Morotai. Hingga pertempuran berakhir pada hari ke-21, korban tewas diperkirakan mencapai puluhan ribu jiwa.