Anda di halaman 1dari 36

KONSEP EVIDENCE BASED NURSING

Oleh:

ALIFIA KUNA
PO7120323110

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALU


JURUSAN SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
2024
KONSEP EVIDENCE BASED NURSING

A. Pengertian EBP

Arti kata evidence dalam Bahasa Indonesia adalah bukti. Bukti dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia berarti sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Arti based
dalam Bahasa Indonesia adalah dasar atau berdasarkan. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia berdasarkan memiliki arti memakai sebagai dasar; beralaskan; bersendikan.
Sedangkan practice dalam Bahasa Indonesia mempunyai arti praktek atau proses, dimana
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki makna pelaksanaan secara nyata apa yang
disebut dalam teori.

Secara umum, Evidence-Based Practice adalah sebuah pendekatan yang bertujuan


untuk meningkatkan proses melalui pertanyaan yang manakah bukti penelitian ilmiah yang
berkualitas tinggi yang dapat diperoleh dan diterjemahkan ke dalam keputusan praktik terbaik
untuk meningkatkan kesehatan (Steglitz, Warnick, Hoffman, Johnston, & Spring, 2015).
Sackett et al di dalam Gerrish et al (2006), EBP adalah segala tindakan yang berbasis bukti,
baik dalam pengobatan, eksplisit dan bijaksana dalam penggunaan EBP untuk mengambil
keputusan dalam perawatan pasien.

Menurut Carlon (2010) Evidence Based Practice merupakan suatu kerangka kerja
yang menguji, mengevaluasi dan menerapkan temuan-temuan penelitian dengan tujuan untuk
memperbaiki pelayanan keperawatan kepada pasien. Majid et al (2011) mengatakan bahwa
EBP merupakan salah satu teknik yang cepat untuk perkembangan dalam praktik
keperawatan karena EBP mampu memberikan penanganan masalah – masalah klinis secara
efektif yang mungkin terjadi disaat pemberian pelayanan kesehatan serta pemberian
perawatan berdasarkan hasil – hasil penelitian yang tertera. Sedangkan menurut Muhal
(1998) EBP adalah penggabungan dari seorang perawat mengenai hasil penelitian yang
didapatkannya dengan menerapkannya di praktik klinis kepada pasien serta ditambah dengan
pilihan dari pasien dalam keputusan klinis.

EBP pada masa ini sangat perlu dikembangkan dan diaplikasikan dalam praktiknya
untuk mendukung semua profesi dalam kesehatan baik dokter, perawat ataupun farmasi untuk
menuntun pengambilan keputusan atau tindakan yang harus diberikan kepada klien dengan
kualitas yang terjamin dan profesinal.

Dalam Evidence-Based Nursing Position Statement (2005), dinyatakan bahwa EBP


telah menjadi isu menonjol dalam keperawatan kesehatan internasional, biaya kesehatan
meningkat, prinsip manajemen dalam melakukan praktik keperawatan yang tepat dan
keinginan perbaikan kualitas EBP. Untuk itu keperawatan menjadi terlibat dalam gerakan
untuk mendefinisikan EBP dalam setiap praktik keperawatan, yang jelas adalah tanggung
jawab perawat untuk melaksanakan EBP dalam tindakan keperawatan, dan mengevaluasi,
mengintegrasikan dan menggunakan bukti terbaik yang telah tersedia untuk meningkatkan
praktik keperawatan (Rycroft-Malone, Bucknall, Melnyk, 2004) dikutip oleh Tarihoran
(2015) dalam jurnalnya.

1
Tujuan
Grinspun, Vinari & Bajnok dalam Hapsari (2011) menyatakan tujuan EBP
memberikan data pada perawat praktisi berdasarkan bukti ilmiah agar dapat memberikan
perawatan secara efektif dengan menggunakan hasil penelitian yang terbaik, menyelesaikan
masalah yang ada di tempat pemberian pelayanan terhadap pasien, mencapai kesempurnaan
dalam pemberian asuhan keperawatan dan jaminan standar kualitas dan memicu inovasi.

Keuntungan EBP :
1 Metode untuk mengevaluasi sistem kerja perawat dalam melakukan praktik
keperawatan;
2 Mengintegrasikan komponen – komponen pendukung EBP dalam pelayanan
kesehatan;
3 Melakukan intervensi kepada pasien berdasarkan bukti – bukti hasil penelitian;
4 Meminimalisir resiko yang mungkin terjadi dalam proses pelayanan kesehatan;
5 Bersikap profesional dalam memberikan layanan kesehatan kepada pasien;
6 Menguntungkan perawat, pasien, serta institusi kesehatan.

2
Penyebab
timbulnya
masalah
Iowa Trigger
Model Pengetahuan
kebijakan
penelitian

Pertimbangan
penerapan
dalam praktik

Settler Penyusunan masalah dari data


Model internal (quality improvement
dan operasional) dan data
eksternal dari penelitian

Ace Star Pengetahuan berdasarkan


Model EBP
Model research atau penelitian

Prioritas masalah ada 3


yaitu praktik keperawatan,
penelitian, dan pendidikan

John
Hopkins
Model
Tahapan model ini yaitu
penyusunan practice
questions (PICO), evidence,
translation yang sistematis

B. Model EBP
Langkah-langkah yang sistematis dibutuhkan dalam memindahkan evidence ke dalam
praktik guna meningkatkan kualitas kesehatan dan keselamatan (patient safety) dan dalam
mengembangkan konsep, perawat dapat dibantu dengan berbagai model EBP melalui
pendekatan yang sistematis dan jelas, alokasi waktu dan sumber yang jelas, sumber daya

3
yang terlibat, serta mencegah implementasi yang tidak runut dan lengkap dalam sebuah
organisasi (Gawlinski & Rutledge, 2008). Setiap institusi dapat memilih model yang sesuai
dengan kondisi organisasi karena beberapa model memiliki keunggulannya masing-masing.
Model-model yang dapat digunakan dalam mengimplementasikan EBP adalah Iowa
Model (2001), Stetler Model (2001), ACE STAR Model (2004), John Hopkin’s EBP Model
(2007), Rosswurm dan Larrabee’s Model. Karakteristik model yang dapat dijadikan landasan
dalam menerapkan EBP yang sering digunakan yaitu IOWA Model dimana model ini dalam
EBP digunakan untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan, digunakan dalam berbagai
akademik dan setting klinis. Ciri khas dari model ini adalah adanya konsep (triggers) dalam
melaksanakan EBP. Triggers adalah informasi ataupun masalah klinis yang berasal dari luar
organisasi. Terdapat 3 kunci dalam membuat keputusan, yaitu; adanya penyebab mendasar
timbulnya masalah, pengetahuan terkait dengan kebijakan institusi atau organisasi, penelitian
yang cukup kuat, dan pertimbangan mengenai kemungkinan diterapkannya perubahan ke
dalam praktik sehingga dalam model tidak semua jenis masalah dapat diangkat dan menjadi
topik prioritas organisasi.
Model John Hopkins memiliki 3 domain prioritas masalah, yaitu praktik keperawatan,
penelitian, dan pendidikan. Terdapat beberapa tahapan dalam pelaksanaan model ini, yaitu
menyusun practice question yang menggunakan PICO approach, menentukan evidence
dengan penjelasan mengenai setiap level yang jelas dan translation yang lebih sistematis
dengan model lainnya serta memiliki lingkup yang lebih luas.
ACE Star Model merupakan model transformasi pengetahuan berdasarkan research
atau penelitian. Model ini tidak menggunakan evidence non-research. Sedangkan untuk
Stetler’s Model tidak berorientasi pada perubahan formal tetapi pada perubahan oleh individu
perawat. Model ini dilaksanakan dengan menyusun masalah berdasarkan data internal yang
disebut juga quality improvement dan operasional dan data eksternal yang berasal dari
research atau penelitian (Schneider & Whitehead, 2013).

Penelitian
Keperawatan

C.
Pengalaman Pendidikan

Komponen
EBP

Pelatihan Pengetahuan

Keterampilan

Komponen – Komponen Pendukung EBP


1 Penelitian Keperawatan

4
Penelitian keperawatan sangat berpengaruh terhadap praktik keperawatan
berbasis bukti. Penelitian keperawatan memegang peranan penting terhadap suatu
hambatan atau masalah yang timbul di dalam praktik keperawatan sehingga dengan
adanya penelitian ini hambatan atau masalah yang terjadi di dalam praktik
keperawatan dapat diatasi dengan mudah secara efektif dan efisien serta tidak
merugikan klien atau pasien. Hambatan dalam suatu penilitian seringkali dikaitkan
dengan masalah yang ditimbulkan dari adanya suatu faktor yang menyebabkan
kegiatan penelitian terhambat. Hambatan tersebut dapat berupa kurangnya waktu
dalam melakukan pengkajian suatu masalah yang telah dijadikan sebagai pokok
permasalahan. Selain itu, manajemen waktu, lokasi yang geografis, ukuran sampel,
tingkat respons, dan organisasi dapat menghambat proses penelitian berlangsung.
Pelaksanaan EBP terhadap penilitian keperawatan sangat berhubungan satu
sama lainnya dimana di dalam pelaksanaan EBP terdapat sebuah hasil dari riset
penilitian ilmiah yang dilakukan. Hal ini akan membuat pelaksanaan EBP semakin
diperkuat dan dapat menunjukkan keprofesionalan seorang perawat dalam melakukan
intervensi terhadap kliennya. Selain itu, pelaksanaan penelitian keperawatan akan
menghasilkan suatu inovasi terbaru dan jaminan standar kualitas seorang perawat
dalam memberikan intervensi asuhan keperawatan kepada kilen atau pasien.
Intervensi dari seorang perawat harus disertai komponen – komponen EBP sehingga
dalam proses pelayanan kesehatan dapat memuaskan klien dan menguntungkan klien.
Dengan demikian, pentingnya penelitian keperawatan yang berdasarkan metode atau
analisa ilmiah yang berpengaruh terhadap EBP seorang perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan untuk memenuhi proses pelayanan kesehatan.
2 Pengalaman
Praktik keperawatan merupakan salah satu kegiatan secara rutin yang
dilakukan oleh seorang perawat di dalam pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, perawat
akan bertugas sesuai dengan topoksinya masing – masing dalam memenuhi kebutuhan
seorang pasien atau klien. Pemenuhan kebutuhan seorang pasien atau klien yang
menjadi salah satu tugas pokok bagi seorang perawat dalam menjalankan tugasnya.
Hal tersebut dilakukan oleh setiap perawat berdasarkan tingkatan masalah – masalah
yang dialami oleh seorang pasien. Seperti yang kita ketahui bahwa pasien adalah
individu yang unik dan berbeda sehingga perawat harus mengerti akan hal ini.
Dengan masalah yang ditimbulkan dan pemecahan akan masalah tersebut
sudah menjadi kebiasaan yang melekat dari seorang perawat sehingga terciptanya
banyak pengalaman di dalam pelayanan kesehatan. Pengalaman seorang perawat
dapat menunjukan kualitas EBP nya dalam memberikan suatu asuhan keperawatan
atau pelayanan yang lainnya kepada klien. Ketika seorang perawat diberikan sebuah
pertanyaan yang berkaitan dengan suatu masalah yang terjadi, perawat akan
menjawab permasalahan tersebut dengan menggunakan bukti – bukti penelitiannya
yang pernah dia lakukan sesuai dengan kajian ilmiah. Jelas demikian bahwa penelitian
juga berkaitan terhadap pengalaman seorang perawat dalam memecahkan suatu
permasalahan yang ada. Pengalaman yang dimiliki oleh seorang perawat dapat
memberikan suatu keputusan yang jelas dan terarah. Selain itu, perawat yang
berpengalaman banyak dalam hal intervensi kepada klien atau pasien dapat
memberikan suatu pengajaran kepada perawat – perawat yang lain dalam
menindaklanjuti seorang pasien dengan diagnosis yang berbeda. Jadi, peran perawat
terhadap teman sejawatnya adalah sebagai fasilitator mengenai pengalaman yang

5
dimilikinya. Dengan demikian, pengalaman seorang perawat sangat diperlukan untuk
mendukung pratik berdasarkan EBP kepada seorang klien.
3 Pendidikan
Pendidikan sangat berpengaruh terhadap kompetensi atau pengetahuan bagi
seorang perawat dalam melakukan asuhan keperawatn berbasis bukti kepada klien
atau pasien. Seperti yang kita ketahui bahwa jenjang pendidikan yang diberlakukan di
Indonesia berbeda - beda yaitu vokasi dan sarjana. Setiap tingkatan jenjang memiliki
karakteristik atau penciri yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tingkatan
vokasi lebih mengarah kepada hard skillnya dalam praktik kerja lapangan di institusi
kesehatan atau yang lainnya. Pendidikan ini mengarah pada aspek umum saja
sehingga ilmu – ilmu yang dimiliki hanya sebagian besar umum dan belum mendetail
secara spesifiknya. Sedangkan, tingkatan pendidikan akademik sarjana lebih
mengarah pada soft skillnya atau ilmu – ilmunya yang telah dipelajarinya. Pendidikan
ini lebih membahas menyeluruh dan mendetail dimana ilmu yang diajarkan pada
pendidikan ini tidak diajarkan di pendidikan sebelumnya. Cakupan bahasannya juga
luas dan dikhususkan pada bidang tertentu. Pendidikan seorang perawat sangat
berpengaruh terhadap kompetensi dan pengetahuannya di dalam memberikan
pelayanan kesehatan. Perawat yang lulus dari perguruan tinggi memiliki ilmu yang
berbeda – beda dalam dirinya masing – masing sehingga dalam memberikan asuhan
keperawatan juga berbeda antara perawat satu dengan lainnya. Perawat yang
bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi akan semakin kompeten dalam melakukan
tugasnya sebagai seorang perawat. Menurut Eizenberg (2010) hal ini menunjukkan
bahwa pendidikan mampu menuntun seseorang terampil dalam mencari sumber
penelitian, berorganisasi dan bersikap profesional dalam bekerja, meningkatkan
akses-akses untuk meningkatkan dan menerapkan praktik berdasarkan bukti
Pendidikan juga diperlukan bagi seorang perawat dalam menunjukan
keprofesionalitasannya dalam mengurus pasien tentunya keprofesionalitasan ini
sangat mendukung implementasi EBP dalam praktiknya. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seorang perawat maka semakin
tinggi pula tingkat pengetahuan yang dimilikinya sehingga dalam praktik keperawatan
perawat dapat kompeten dan profesional dalam praktik keperawatannya dengan
memberikan perawatan yang bermutu kepada klien atau pasien. Selain itu, hal ini juga
yang dapat mendukung dan meningkatkan kualitas EBP di dalam pelayanan
kesehatan.
4 Pengetahuan
Pengetahuan seorang perawat sangat berhubungan dengan kompetensi seorang
perawat dalam menjalankan tugasnya di bidang pelayanan kesehatan. Pengetahuan
seorang perawat didukung oleh pendidikannya dan kegiatannya selama proses
penempuan ilmu keperawatan. Kita sudah mempelajari bahwa pendidikan juga
berpengaruh terhadap pengetahuan seorang perawat. Pengetahuan yang dimiliki oleh
seorang perawat merupakan wujud dari profesional perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan atau pelayanan kesehatan yang bermutu. Pengetahuan juga dapat
membuat perawat lebih berpikir kritis dalam memecahkan suatu masalah atau
hambatan – hambatan lain yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan. Berpikir kritis
juga termasuk salah satu komponen EBP dimana perawat akan berpikir secara
mendalam untuk menggali bukti – bukti yang mendukung di dalam praktiknya.
Seperti yang sudah saya jelaskan, pengetahuan berpengaruh terhadap kompetensi
seorang perawat. Menurut Gruendemann (2006), kompetensi merupakan suatu

6
keterampilan, kemampuan, dan pengetahuan yang dimilikinya dalam melakukan
praktik keperawatan yang profesional di dalam tugas – tugasnya terhadap klien atau
pasien. Hal ini juga dijelaskan pada Undang – Undang RI No 20 pasal 35 ayat 1
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa kompetensi adalah kualifikasi
kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai
standard nasional yang telah disepakati. Dengan demikian, pengetahuan berpengaruh
terhadap praktik berbasis bukti seorang perawat kepada kliennya dengan memberikan
pelayanan yang bermutu, berkualitas, dan menguntungkan bagi pasien sehingga
pasien memiliki kesan terbaik dan percaya untuk ditindak lanjuti oleh perawat.
5 Pelatihan / Seminar
Pelatihan atau seminar sangat diperlukan bagi perawat dalam melakukan kegiatannya
di praktik keperawatan untuk memenuhi kebutuhan pasien. Perawat akan memiliki
banyak pengetahuan mengenai cara memenuhi kebutuhan pasien dalam pelayanan
kesehatan. Pelatihan ini diadakan bertujuan melatih dan mengembangkan
keterampilan, kreativitasan, serta pengetahuan perawat dalam menjalankan tugasnya
serta mengatasi segala kerumitan atau masalah yang didapat disaat praktik
keperawatan berlangsung. Selain itu, perawat akan memiliki banyak ilmu – ilmu
terbaru di dunia keperawatan yang diberikan oleh pemateri atau motivator lainnya.
Ilmu- ilmu tersebut tentunya berdasarkan ilmu – ilmu keperawatan yang terus
berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan adanya hal ini, perawat
akan memberikan pelayanan yang terbaik dan bermutu bagi pasien serta dapat
meningkatkan kualitas perawat terutama dalam pengaplikasian EBP. Pelatihan ini
juga akan membuat perawat bersikap profesional terhadap tugasnya. Dengan
demikian, pelatihan ini juga sangat diperlukan oleh perawat dalam mengembangkan
kompetensinya di pelayanan kesehatan terutama mengenai ilmu – ilmu terbaru seiring
perkembangan zaman. Hal tersebut berpengaruh terhadap pemberian asuhan
keperawatan kepada pasien.
6 Keterampilan
Keterampilan sangat diperlukan dalam pengimplementasian EBP. Keterampilan
yang dimaksudkan dalam hal ini adalah keterampilan menggunakan bukti –bukti yang
telah ada yang dapat digali dari riset hasil penelitian. Keterampilan seorang perawat
akan diuji dengan tindakannya kepada seorang pasien. Apakah ia terampil dalam
menggunakan fasilitas yang ada di institusi kesehatan. Perawat yang terampil dalam
hal menangani seorang pasien, mereka akan melakukan pendekatan – pendekatan
yang membuat dirinya merasa lebih percaya diri dan profesional dalam tindak
pengurusan pasien. Menurut Hart et al (2008) keterampilan seorang profesi kesehatan
atau yang lainnya dapat dibuktikan dengan pengaplikasian atau penerapan mengenai
riset hasil penelitian tersebut. Pencarian atau penemuan mengenai hasil riset
penelitian yang relevan dengan kondisi klinis pasien, perawat dapat menggunakan
segala fasilitas yang ada serta mendukung untuk mencari artikel ilmiah, jurnal
ataupun sumber – sumber bukti ilmiah yang lainnya. Apabila mereka tidak dapat
memanfaatkan fasilitas yang ada maka mereka sama saja tidak menunjukkan soft
skillnya atau kompetensi dalam intervensi atau yang lainnya. Selain itu, menurut
(Thompson, McCaughan, Cullum, Sheldon, & Raynor, 2003). Keterampilan dapat
berbentuk evaluasi hasil penelitian sehingga perawat klinisi dapat menentukan mana
yang terbaik untuk pasiennya dari temuan-temuan tersebut.

7
D. Metode Konsep Analisis EBP

Definisi konsep analisis EBP


Definisi EBP menurut analisis, EBP adalah pemecahan suatu masalah yang
melibatkan tenaga medis terutama pada perawat untuk mengajukan pertanyaan klinis yang
relevan guna mengakses bukti dari penelitian dan faktor kontekstual, menafsirkan bukti
(menilai dan mensintesis), manggabungkan bukti dengan pengalaman praktisi pasien atau
kelompok sasaran, dan menerapkan apa yang sudah ada belajar dari bukti dalam membuat
keputusan untuk meningkatkan praktik asuhan keperawatan. Sedangkan menurut Newhouse
dan Dearholt et al. mendefinisikan EBP sebagai "masalah- pemecahan pendekatan untuk
pengambilan keputusan klinis yang menggabungkan bukti penelitian dengan bukti
pengalaman, praktisi dan pengalaman pasien ”. Definisi ini terdiri dari lima komponen utama:
pemecahan masalah; bukti; praktisi pengalaman; pengalaman pasien dan pengambilan
keputusan. Newhouse et al. lebih lanjut mendefinisikan EBP sebagai "pemecahan masalah
pendekatan untuk pengambilan keputusan klinis dalam perawatan kesehatan organisasi yang
mengintegrasikan keilmuan terbaik yang tersedia bukti dengan pengalaman terbaik yang
tersedia (pasien dan praktisi) bukti, mempertimbangkan internal dan eksternal pengaruh pada
praktik, dan mendorong pemikiran kritis dalam aplikasi yang bijaksana dari bukti tersebut
untuk perawatan individu pasien, populasi pasien, atau sistem”. Hmurovich juga,
mendefinisikan EBP sebagai praktik membuat keputusan tentang tindakan perawatan
kesehatan, program, praktik, intervensi atau kebijakan berdasarkan yang terbaik bukti
penelitian, bukti pengalaman dari praktik klinis dan bukti kontekstual . Definisi ini lebih jauh
mengakui kontributor kontekstual untuk implementasi EBP. Melnyk et al., Memberikan
definisi luas tentang EBP; Itu didefinisikan sebagai "sebuah paradigma dan pendekatan
pemecahan masalah seumur hidup untuk pengambilan keputusan klinis yang melibatkan
penggunaan hati nurani dengan bukti terbaik yang tersedia, termasuk pencarian sistematis dan
penilaian kritis terhadap bukti yang paling relevan untuk dijawab, dengan keahlian klinis
sendiri dan nilai serta preferensi pasien dengan tujuan meningkatkan hasil untuk individu,
kelompok, komunitas dan sistem ”. Selain komponen utama yang diidentifikasi oleh
Newhouse et al., Definisi ini menambahkan tiga elemen penting, seperti: pendekatan seumur
hidup, proses identifikasi bukti (menilai literatur), dan ketersediaan pertanyaan klinis, juga
menawarkan lebih banyak panduan tentang proses.
Konsep analisis EBP
Konsep EBP dipilih untuk analisis EBP karena EBP adalah berprioritas pada
pemberian asuhan keperawatan serta untuk mempertimbangkan strategi paling efektif yang
dapat mengarah pada peningkatan hasil klinis dan peningkatan kondisi pada pasien agar lebih
membaik. Contohnya metode konsep strategis yang dikembangakan oleh Walker dan Avant
yang digunakan untuk menganalisis konsep. Kerangka kerjanya terdiri dari delapan langkah:
memilih konsep; menentukan maksud atau tujuan analisis; identifikasi semua kegunaan
konsep; menentukan atribut; membangun kasus model; membangun batas terkait kasus yang
bertentangan; mengidentifikasi anteseden dan konsekuensi; dan mendefinisikan referensi
empiris.

Definisi
Konsep
Analisis EBP

Konsep
Membangun Analisis EBP
Kasus Model (Walker dan
Metode Avant) 8
Konsep
Analisis
EBP
Tujuan konsep analisis
Kelebihan praktik berbasis bukti (EBP) dalam keperawatan praktik perawatan
memiliki potensial yang lebih untuk meningkatkan kualitas perawatan dan menghasilkan apa
yang bermanfaat bagi pasien, perawat dan bidan, dan sistem perawatan kesehatan. Asuhan
keperawatan juga disediakan dalam lingkungan yang berubah setiap hari yang mengharuskan
aplikasi bukti penelitian dalam praktik yang efektif. Denga demikian,Tujuan dari analisis
konsep ini sendiri adalah untuk memperjelas konsep EBP untuk mencapai yang lebih baik
dalam pemahaman konsep antara perawat dalam kaitannya dengan pengiriman perawatan
keperawatan dan mendorong mereka untuk memulai EBP perjalanan yang bersifat meluas.
Atribut – atribut pendefinisian EBP
Atribut adalah komponen dan fitur utama yang membedakan dan memperjelas arti
dari satu konsep dari konsep serupa lainnya. Terdapat lima atribut yang diidentifikasi untuk
dikarakterisasi yaitu ketersediaan pertanyaan klinis; penggunaan arus terbaik bukti penelitian;
keahlian dan pengalaman praktisi; preferensi, nilai dan masalah pasien serta penerapan bukti.
Perlunya mengintegrasikan lima komponen pendukung EBP guna meningkatkan keamanan
pasien, kualitas hidup serta hasil optimal pasien. Keahlian klinis mengacu pada integrasi
akumulasi pengetahuan, pengalaman perawatan, serta informasi pendidikan dan keterampilan
klinis dalam membuat keputusan keperawatan. Semua ini akan membantu perawat
menghasilkan rencana perawatan yang meminta komitmen dari praktisi dan hal itu yang
terbaik untuk kepentingan pasien dan keluarga. Selain itu, hal ini memfasilitasi kebutuhan
pasien untuk pemulihan optimal
Membangun Kasus Model
Pengalaman dan keterampilan sangat dipentingkan dalam menunjukkan kualitas
performa di dalam asuhan keperawatan. Dalam sebuah institusi terdapat pimpinan yang
bertanggung jawab terhadap semua kegiatan yang dilakukannya. Para pimpinan memimpin
sebuah tim harus berdasarkan pertanyaan klinis yang mungkin diajukan. Pertanyaan klinis
harus mengandung unsur – unsure PICO. Setelah itu, perencanaan mengenai sumber daya
yang dibutuhkan serta peninjauan mengenai literature yang digunakan sebagai bukti dalam
pemberian asuhan keperawatan kepada klien. Pendekatan yang berorientasi pada pasien
bertujuan untuk memberikan holistic dalam pemenuhan kebutuhan pasien. Perawat harus
mampu mengintegrasikan antara bukti yang telah didapatkannya dari beberapa artikel
penelitian yang berasal dari berbagai sumber dengan keahlian klinis seorang perawat serta
didukung dengan pengalaman yang telah dilakukannya. Dengan demikian, kinerja perawat
sangat berhubungan dengan kualitas kondisi pasien. Perawat perlu meningkatkan hubungan

9
interpersonal kepada pasien. Hubungan ini akan menguntungkan seorang pasien karena dapat
memenuhi dalam segi holistic nya.
Anteseden
Anteseden adalah proses atau kejadian sebelum konsep terjadi. Dalam analisis ini,
anteseden itu terjadi sebelum EBP terjadi dan memungkinkan EBP berlangsung adalah:
mengidentifikasi kesenjangan dalam praktik asuhan keperawatan; ketersediaan bukti dan
peralatan yang diperlukan (computer, internet Wi-Fi, alat tulis); kehadiran perawat dengan
kebutuhan pengetahuan, keterampilan, dan kepercayaan diri pada EBP untuk dapat
mengakses, menafsirkan dan menggunakan bukti; ketersediaan pemimpin yang mendukung
dan bimbingan. Ketersediaan anteseden ini akan memungkinkan perawat untuk melanjutkan
dengan langkah-langkah selanjutnya secara efektif Proses EBP: mengajukan pertanyaan
yang relevan; mengumpulkan, menilai dan mensintesis bukti, mengintegrasikan penyedia dan
pasien pengalaman, menerapkan bukti terbaik serta mengevaluasi proses dan kinerja.
Konsekuensi
Saat perawat mengambil keputusan asuhan keperawatan yang di dasarkan pada bukti,
perawat akan memilih opsi terbaik dari semua pilihan yang tertera dan akan menghasilkan
praktik keperawatan yang mungkin akan terjadi lebih lama tetapi akan lebih efektif, hemt
biaya serta memproduksi pasien yang dituju. Akan tetapi pasti terdapat konsekuensi EBP
tersebut seperti keselamatan pasien, efektivitas biaya, perawatan yang berkualitas karena
intervensi didasarkan pada bukti nyata
Referensi empiris
Referensi empiris adalah cara terukur untuk menunjukkan terjadinya suatu konsep.
Dalam hal ini, referensi empiris memperagakan bagaimana EBP dapat diukur dalam praktik.
EBP. Oleh karena itu diukur menggunakan tahap EBP dalam keperawatan. Tahapan meliputi:
Mengajukan pertanyaan klinis yang relevan; mencari, menilai, mensintesis dan memilih bukti
terbaik; mengintegrasikan pengalaman praktisi dan pasien; mengembangkan rencana,
pedoman dan protokol; mengimplementasikan rencana untuk diterapkan bukti dan hasil
evaluasi. Ini bisa ditunjukkan dalam laporan, notulen, dan dokumentasi.
Contoh kasus
Kasus perbatasan
Kasus batas berisi sebagian besar atribut kritis konsep tetapi tidak semuanya. Mphatso
adalah petugas keperawatan dan penanggung jawab bangsal bedah. Selama bekerja dia
menemukan bahwa ada dokumentasi yang buruk mengenai asuhan keperawatan yang
mengarah pada asuhan yang buruk. Lalu dia melakukan pertemuan untuk membahas dengan
perawat dan cara meningkatkan dokumentasi. Mereka berdiskusi untuk mengadopsi
dokumentasi elektronik dengan mengumpulkan, menilai dan mensintesis penelitian bukti
pada dokumentasi elektronik yang menunjukkan bahwa itu adalah cara yang efektif untuk
meningkatkan dokumentasi. Mereka mengidentifikasi perawat terdaftar yang memiliki
keahlian dan pengalaman yang diperlukan untuk memimpin proses penerapan apa yang
dipelajari bukti untuk memastikan dokumentasi yang baik. Elektronik perangkat lunak
dokumentasi diperkenalkan dengan dukungan dari personal dan manajemen teknologi
informasi dengan disediakan komputer. Perawat berorientasi pada elektronik dokumentasi.
Manajemen memantau proses dan mengevaluasi apakah dokumentasi dilakukan dengan
benar dan telah ditingkatkan. Setelah tiga bulan mendokumentasikan secara elektronik proses
10
dievaluasi dan menemukan bahwa dokumentasi itu mudah, dilakukan dengan benar,
informasi pasien disimpan dengan benar dapat ditinjau kapan saja dan mempromosikan
kesinambungan perawatan.
Analisis: Ini adalah kasus batas karena hanya itu menunjukkan tiga atribut EBP:
mengumpulkan bukti dan mengintegrasikan pengalaman penyedia dan menerapkan /
memperkenalkan pendekatan dokumentasi baru.
Kasus yang bertolak belakang
Kasus sebaliknya adalah contoh dari yang tidak sesuai dengan konsep. Yanjanani
adalah seorang perawat terdaftar dengan Bachelor of Science di Jakarta menyusui dan telah
bekerja sebagai perawat selama lima tahun. Terdapat suatu kunjungan pengawasan ke
lingkungannya menunjukkan bahwa standar asuhan keperawatan di bangsanya telah turun.
Beberapa perawat di lingkungannya menunjukkan kepadanya bahwa mereka dapat
menggunakan EBP untuk meningkatkan standar asuhan keperawatan. Meskipun dia belajar
tentang EBP dalam pendidikan pra layanannya, dia tampaknya tidak tertarik dan dia
menunjukkan kepada mereka bahwa dengan beban kerja di lingkungan mereka, mereka tidak
punya waktu untuk EBP dan itu lama proses. Apa yang bisa mereka lakukan adalah
memastikan bahwa itu benar menerapkan pendekatan pemecahan masalah secara
menyeluruh: mengidentifikasi masalah, menganalisis masalah, mengidentifikasi kriteria
keputusan, mengembangkan berbagai solusi dan memilih solusi optimal
Analisis: Ini adalah kasus yang bertentangan karena tidak mengandung semua atribut EBP
seperti mengumpulkan bukti; mengintegrasikan pengalaman penyedia; preferensi pasien dan
berlaku untuk meningkatkan penyediaan perawatan
Kasus terkait
Kasus terkait memiliki karakteristik yang mirip dengan konsep. Agnes adalah perawat
terdaftar yang menggunakan perawatan proses untuk menilai, mendiagnosis, merencanakan,
dan mengevaluasi asuhan keperawatan ketentuan.
Analisis:
Ini adalah kasus terkait karena meskipun sesuai proses adalah proses pemecahan masalah
yang sistematis, tidak memiliki beberapa langkah penting yang ditemukan di EBP seperti:
mengumpulkan, mengakses, mensintesis literatur; mengintegrasikan penyedia pengalaman;
preferensi pasien dan menerapkan apa yang sudah ada dipelajari dalam literatur (bukti) ke
dalam pengambilan keputusan klinis untuk meningkatkan penyediaan perawatan

11
EBP Non-EBP
Intervensi Intervensi
berdasarkan berdasarkan
paenelitian dan tradisi atau
riset budaya

Berbasis
Berbasis Bukti
Kebiasaan

Berdasarkan
literatur jurnal Berdasarkan
dan artikel mouth to mouth
penelitian

E. Perbedaan EBP dan Non-EBP


Saat ini para perawat berpraktik pada 'masa akuntabilitas' Dimana kualitas dan Biaya
menentukan arah pelayanan kesehatan (kizer,et al.,2000,new house et al.,2005) masyarakat
sudah mulai sangat memperhatikan kesehatan. Baik kesehatan dirinya maupun kesehatan
lingkungan, serta mereka juga sangat memperhatikan segala yang terjadi di dalam institusi
kesehatan. Perhatian khusus diberikan kepada pendekatan pelayanan kesehatan yang dapat
berhasil atau tidak. Hasilnya, praktik berbasis bukti atau evidence based practice (EBP)
Muncul sebagai jawaban dari pihak medis untuk masyarakat (New house,et al.,2005).
Perawat memegang peranan yang penting dalam pelayanan rumah sakit, dimana perawat
berada dengan pasien selama 24 jam. Perawat tidak hanya berperan sebagai care giver namun
juga sebagai client advocate, counsellor, educator, collaborator, coordinator, change agentdan
consultant (Doheny dalam Kusnanto, 2003).
Bukan suatu hal Yang mudah untuk bagaimana menselaraskan penelitian-penelitian
yang digabungkan untuk pada akhirnya menjadi suatu hal yang dapat digunakan dalam
praktik keperawatan. Selama ini kita sering menemui banyak intervensi atau praktik-praktik
dari tenaga medis yang hanya berpedoman pada “biasanya juga begitu” sebagai contoh,
sewaktu di pendidikan, cairan yang digunakan dalam perawatan luka adalah Povidone-iodine
10%. Praktik ini dipakai “over and over”meskipun yang bersangkutan menjelang pensiun bila
diberi masukan, kadang-kadang jawaban yang ucapkan adalah “biasanya juga begitu, pasien
juga sembuh kok, kok repot... “ padahal menurut penelitian baru air matang juga bisa di
gunakan untuk perawatan luka (Evidence-Based Nursing, 2008).EBP ternyata dapat
memberikan suatu manfaat dalam kegunaannya. Hal ini buktikan pula oleh penelitian
(Belden, et al, 2012) tentang dampak evidence-based practice dalampemberdayaan RN
menunjukkan hasil korelasi positif. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian dari (melnyk, et al,
2014) yang menyatakan bahwa penerapan kompetensi EBP dalam praktek RN dapat
meningkatkan kualitas kesehatan pasien, menurunkan lama perawatan, jenis perawatan
sehingga dapat menurunkan biaya perawatan pasien. Selain itu juga, pembelajaran modul
EBP atau EBN 1 pada mahasiswa keperawatan undergraduate mempunyai dampak yang

12
positif dalam meningkatkan kepercayaan dan implementasi EBP sehingga integrasi EBP
kedalam kurikum mahasiswa undergraduate sangatlah penting (reid, et al,2017).
Evidence-Based practic memungkinkan adanya tindakan terbaik yang diberikan seorang
perawat terhadap klien bukan hanya dengan berpedoman pada kebiasaan ata "tradisi" Lama
yang belum terbukti kebenarannya, tetapi berdasarkan kepada adanya penelitian atau bukti
terhadap kebenaran suatu tindakan atau pelayanan. Saat merawat klien, sering kali perawat
menemukan suatu kasus yang membutuhkan banyak keputusan klinis yang penting. Pada
masa seperti inilah diperlukan adanya bukti terbaik bagi pelayanan yang terbaik. Selama ini.
Pada perawat Non Evidence-Based practic sebagian besar perawat hanya menggunakan ilmu
atau yang diajarkan pada saat menempuh pendidikan seperti kuliah Keperawatan, berdasar
pada pengalaman yang ada, serta prosedur yang terdapat di instansi tempat perawat tersebut
praktik. Seringkali pendekatan seperti ini bukan berdasar pada informasi terbaru. Yang dapat
disimpulkan bahwa perawat tersebut hanya berdasarkan pada tradisi yang ada.
Informasi terbaik adalah suatu bukti yang didapat lewat sebuah penelitian dengan desain
baik dan sistematis. Sumber informasi tersebut salah satunya adalah dari jurnal-jurnal Ilmiah
yang terpercaya, Sayangnya para perawat terkadang enggan untuk meluaskan literaturnya,
para perawat tidak memilik akses literatur untuk selalu memperbarui pemahaman dan
praktiknya Kepada klien berdasarkan pada suara fakta terbaru yang terdapat pada penelitian.
Para perawat biasanya hanya mengandalkan pada pengalaman, kenyamanan klien, dan
kebiasaan yang ada saat ini untuk menangani suatu masalah atau kasus maupun dalam
pelayanan kepada klien.

13
P : Population
Pertanyaan I : Intervention
Klinis
C : Comparison

O : Outcome
Tempat
Medline dan penyimpanan
Pengumpulan Cinahel data yang
Bukti Relavan komperhensif
OVID Vendor yang
familiar
karena
memiliki
simpanan data
dasar
Cocrane
Database Data gratis
Sistematik internet untuk
Tahapan – Refuse penyusunan
Tahapan bukti
Praktik EBP
National
Guideline Penyimpanan
Clearing data
house berpedoman
klinis

Sumber artikel harus memiliki


Menilai Bukti unsur abstrk, pendahuluan, latar
belakang, narasi makalah

Integrasi Penyatuan bukti yang


Bukti diaplikasikan dalam praktik.

Evaluasi Respons EBP yang sesuai dengan


Keputusan apa yang diharapkan
Praktik

14
F. Tahapan – Tahapan Praktik Berbasis Bukti
EBP sebagai proses penelitian yang teratur ketika menentukan suatu keputusan
rasional sehingga bisa memberikan hasil parktik yang terbaik (Newhouse, et al., 2005).
Proses penelitian yang teratur dan bertahap akan memberikan kepastian dalam
menerima bukti terbaik sehingga bisa diterapkan ketika memberikan asuhan keperawatan
klien. Ada lima tahapan dalam melakukan EBP (Eizenberg, 2010).
1. Merumuskan kerangka pertanyaan klinis
2. Mengumpulkan bukti terbaik dan paling relevan
3. Mengevaluasi bukti yang telah dikumpulkan secara kritis
4. Menggabungkan bukti penelitian dengan keahlian klinis
5. Mengevaluasi keputusan hasil praktik.

1. Merumuskan Pertanyaan Klinis


Selalu memperhatikan saat melakukan praktik kepada klien. Melakukan identifikasi
jenis pertanyaan yang membutuhkan penjelasan dan yang tidak rasional. Pikirkan problem
yang berkaitan dengan waktu, biaya, atau yang tidak logis (Callister et al., 2005). Ketika
melakukan praktik klinis perawat dapat menggunakan pemicu yang berfokus pada masalah
dan pengetahuan untuk berpikir kritis mengenai masalah keperawatan klinis operasional.
Pemicu yang berfokus pada masalah adalah pemicu yang pasti akan dihadapi perawat saat
memberikan asuhan keperawatan. Contohnya, saat merawat pasien yang tidak sadar, perawat
akan berpikir, apa penyelesaian terbaik yang dapat di terapkan untuk memberikan perawatan
mulut klien? Contoh dari kecenderungan berfokus masalah adalah peningkatan jumlah klien
yang mengalami insiden infeksi saluran kandung kemih pada unit keperawatan. Hal ini akan
memuculkan pertanyaan, “Bagaimana saya bisa meminimalisir kuantitas pasien yang
mengalami insiden di unit saya?” atau “Apakah cara terbaik yang bisa saya lakukan untuk
mencegah infeksi saluran kandung kemih dalam klien pasca-operatif?” (Titler,et al., 2001).
Dari insiden yang dialami maka akan memunculkan pertanyaan yang bisa
membimbing perawat ke bukti yang menjawab pertanyaan. Maka, akan menjadikan perawat
untuk menggali jawaban yang bersumber dari literatur sains yang mampu membahas dan
menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan yang relevan (Nggie, 2010).
Ada unsur-unsur pertanyaan yang bisa dibangun untuk menyusun kerangka
pertanyaan yang baik dan kritis. Keempat unsur pertanyaan tersebut adalah pertanyaan PICO
(Melnyk dan Fineout-Overholt (2005) yang lebih jelasnya terdapat pada kotak di bawah ini.

Kompone Makna Penjelasan


n PICO
P Populasi klien yang dijadikan Identifikasi klien berdasarkan usia,
perhatian jenis kelamin, suku, budaya, dan
problem kesehatan yang
mempengaruhinya.
I Intervensi yang dijadikan Intervensi apakah yang sesuai
perhatian dalam memberikan praktik pada
klien (misalnya terapi, pemeriksaan
diagnostik dan faktor prognastik)?
C Intervensi pembanding Apakah standar pelayanan yang
rutin atau intervensi yang sedang
diberikan saat praktik?

15
O Outcome (hasil-hasil yang Bagaimana hasil yang didapatkan
diterapkan) dari intervensi yang dilakukan
(misalnya perubahan tingkah laku,
perubahan fisik dan tanggapan
klien?

Pertanyaan yang tidak dirumuskan dengan baik (seperti apakah solusi terbaik untuk
mengurangi insiden melindur? Apakah cara yang sesuai untuk mengukur tekanan darah?)
akan memunculkan sumber informasi yang tidak relevan sehingga akan mengalami kendala
dalam menemukan bukti. Format pertanyaan PICO akan memudahkan perawat untuk
bertanya sesuai fokus intervensinya. Untuk pertanyaan yang tidak berfokus pada intervensi,
arti dari huruf I dapat terdiri dari “area minat” (Melnyk dan Finenout-Overholt, 2005).
Contohnya, Apakah perbedaan dalam retensi ingatan (O) lulusan keperawatan (P) dengan
pengalaman asisten sebelumnya (I)? Beberapa pertanyaan tidak semuanya mengandung unsur
PICO. Sebagai contoh, Bagaimana klien penderita fibrosis kistik (P) menilai kualitas
hidupnya (O)? Pertanyaan tersebut hanya mengandung komponen P dan O (Nggie, 2010).
Pertanyaan PICO akan membantu menentukan kesenjanagan pengetahuan dalam
kondisi klinis. Jika perawat merumuskan pertanyaan dengan baik, bukti yang tidak dimiliki
perawat untuk parktik klinis menjadi lebih jelas. Contoh kesenjangan pengetahuan lainnya
sebagai berikut (ONS, 2005).
a. Diagnosis: Pertanyaan yang bersangkutan dengan pemilihan dan interpretasi
pemeriksaan diagnostik. Contoh: Apakah menggunakan termometer oral sekali
pakai lebih valid dibandingkan dengan termometer oral elektronik untuk klien
dengan kondisi tube endotrakeal?
b. Prognosis (perkiraan): Pertanyaan terkait kemungkinan hasil klinis klien. Contoh:
Apakah terdapat perbedaan cedar pada trombosis vena dalam pada klien operasi
yang mendapatkan heparis subkutan dibandingkan klien yang mendapatkan
hepain berat-molekul-rendah subkutan?
c. Terapi: Pertanyaan tentang pemberian terapi yang terbaik. Contoh: Apakah yang
paling efektif dalam meminimalisir konstipasi akibat pemberian opioid pada
klienn dengan nyeri kronik?
d. Pencegahan: Pertanyaan tentang cara skrinning dan pencegahan untuk
menurunkan risiko penyakit. Contoh: Apakah pemeriksaan prostate specific
antigen (PSA) pada lansia asimptomatik akan mengurangi risiko mortalitas akibat
kanker prostat?
e. Edukasi: Pertanyaan terkait pengajaran terbaik untuk rekan kerja, klien dan
anggota keluarga. Contoh: Apakah penggunaan alat bantu visual lebih efektif
dibandingkan pamflet atau buku pengajaran buta huruf dalam memberikan
pengetahuan pada lansia buta huruf tentang diet terapetik?
Selalu kritis dan tidak egois dalam melakukan aktifitas klinis secara rutin dan jangan
merasa puas terhadap apa yang dilakukan. Selalu mengajukan pertanyaan yang sesuai
untuk bisa memberikan pelayanan yang baik kepada klien (Nggie, 2010).
2. Mengumpulkan Bukti Terbaik
Setalah mendapatkan hasil yang jelas dari pertanyaan sesuai PICO, maka perawat bisa
mencari sumber bukti dari pertanyaan tersebut. Perawat bisa mencari sumber dari berbagai
elemen misalnya kebijakan agensi dan manual prosedur, data peningkatan kualitas, pedoman
parktik klinis, atau data dasar yang sudah tersimpan dalam komputer. Perawat bisa meminta

16
bantuan kepada instansi fakultasnya dahulu untuk emndapatkan sumber informasi yang tepat
(Nggie, 2010).
Perawat juga bisa bisa mencari sumber informasi di petugas kepustakaan ilmiah dengan
meminta bantuan kepada pustakawan medis. Pustakawan bisa mngganti pertanyaan PICO ke
dalam bahasa atau kata kunci yang dapat memunculkan hasil yang terbaik. Ketika
menuliskan kata kunci hasil yang yang diperoleh bisa jadi akan membingungkan karena kosa
kata yang ditampilkan memiliki arti yang berbeda. Pustakawan medis akan membantu untuk
menyelesaikan pertnyaan PICO sehinga memperoleh bukti yang tepat (Nggie, 2010).
MEDLINE dan CINAHL merupakan tempat penyimpanan data dasar yang komprehensif
dan mewakili dasar pengetahuan bagi pelayanan kesehatan (Melnyk dan Fineout-Overholt,
2005). Data ini tersedia secara gratis maupun berbayar. Informasi yang disediakan bisa
diakses melalui langganan institusi yang dibayar oleh sekolah. Langganan tersebut disediakan
oleh vendor. OVID merupakan salah satu vendor yang familiar karena memiliki beberapa
simpanan data dasar (Nggie, 2010).
Cochrane Database of Systematic Reviews adalah salah satu data dasar gratis yang ada di
internet yang memiliki sumber utama untuk menyusun bukti (bukti yang belum ditinjau).
Data dasar Cochrane merupakan artikel penuh dari peninjauan yang tersusun secara sitematis
dan protokol bagi tinjauan yang sedang dikerjakan. Kelompok peninjauan kolaboratif
menyediakan dan mengamankan tinjauan tersebut. Protokol menyiapakan latar belakang,
objektif, dan metode untuk tinjauan yang sedang dikerjakan (Melnyk dan Fineout-Overholt,
2005). National Guideline Clearinghouse (NGC) merupakan simpanan data dasar yang
disuport oleh AHRQ. NGC berisikan pedoman klinis, ialah pernyataan yang di rangkai secara
sistematis tentang strategi perawatan untuk keadaan klinis spesifik yang melibatkan populasi
klien spesifik juga. Contoh pedoman klinis ialah asuhan keperawatan anak-anak dan remaja
dengan diabetes melitus tipe 1 dan pedoman praktik untuk perawatan orang dewasa dengan
nyeri punggung bawah.

3. Menilai Bukti
Menilai bukti merupakan mengevaluasi EBP untuk menciptakan perubahan dengan
menentukan nilai, prubahan praktikalisasi, dan kebermanfaatan bukti (ONS, 2015). Dalam
melakukan penilaian bukti tersebut, evaluasi terlebih dahulu nilai ilmiahnya dan
penerapannya dalam setiap yang ditemukan. Kemudian, diskusikan dengan orang yang ahli
dalam bidangnya dan tentukan hasilnya yang paling sesuai untuk diterapkan ketika praktik.
Ketika sudah melakukan penilaian bukti, maka perawat akan mampu menjawab pertanyaan,
Apakah semu informasi yang telah diperoleh mampu menjawab pertanyaan PICO perawat?
Apakah informasi yang perawat peroleh menunjukkan bukti yang benar dan terpercaya?
Bisakah perawat menerapkan bukti tersebut ketika praktik? (Nggie, 2010).
Infomasi yang diperoleh dari sumber artikel memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
a. Abstrak, merupakan kesimpulan artikel yang dapat memberikan informasi terkait
jenis artikel (berdasarkan penelitian atau klinis). Di dalam abstrak sendiri
membahas tujuan penelitian atau pertanyaan klinis, topik atau pembahasan yang
ditemukan, dan keterlibatannya dalam kegiatan praktik keperawatan.
b. Pendahuluan, merupakan artikel yang mengandung informasi terkait tujuan dan
kepentingan topik bagi pembacanya. Dan bisa terdapat bukti pendukung singkat
yang penting sesuai persepsi penulisnya.
Abstrak dan pendahuluan akan menentukan apakah perawat ketika membaca
artikel tersebut ingin meneruskan atau tidak. Dan perawat bisa mengidentifikasi
apakah topik dari artikel yang dibaca sudah sesuai dengan pertanyaan PICO atau

17
hanya cukup berkaitan sehingga masih bisa memberikan informasi yang berguna
(Nggie, 2010).
c. Tinjauan pustaka atau latar belakang.
Penulis bisa menyertakan latar belakang yang rinci terkait pembahasan topik
penelitiannya. Hal ini akan membuat sebuah argumen bagi penulis terhadap hasil
yang sudah diteliti. Jika artikel yang mengandung latar belakang tidak bisa
menjawab pertanyaan PICO dengan tepat, infomasi dari artikel yang telah dibaca
akan memberikan sumber pengetahuan yang berguna untuk menambah wawasan.
d. Narasi makalah, merupakan bagian inti dan berisi pembahasan dari topik yang
dibuat penulis. Dalam artikel klinis akan dibahas mengenai deskripsi populasi
klien, sifat penyakit klien, perubahan kesehatan, bagaimana klien terpengaruh,
dan terapi keperawatan ynag sesuai. Suatu artikel riset memiliki sub pembahasan
yang terdapat pada bagian narasi, diantaranya:
1) Pernyataan tujuan: menejelaskan maksud dari penelitian. Bagian ini berisi
konsep yang akan diteliti. Pembahasannya terkait pertanyaan penelitian atau
hipotesis. Contoh pertanyaan penelitian, “Karakteristik seperti apa yang biasa
ditemukan pada wanita yang melakukan skrinning payudara tiap tahun?”
2) Metode atau desain: pada bagian ini menjelaskan penulis dalam menjawab
pertanyaan penelitian. Pada bagian ini, akan diketahui jenis penelitian apa
yang telah digunakan (misalnya RCT, penelitian kasus-kontrol, kualitatif, dan
kuantitatif). Dalam pembahasannya terkadang penulis menyampaikan hasil
penelitiannya dengan bahasa yang sulit dipahami karena untuk mendapatkan
hasil yang akurat.
3) Hasil atau kesimpulan: setiap artikel klinis yang ditulis berisikan kesimpulan
dari topik yang sudah dibahas. Pada bagian artikel riset penulis akan
menjelaskan keterkaitan klinis dari topik yang sudah disajikan. Pada artikel
riset juga dijelaskan apakah hipotesis yang dibuat bisa diterima atau bahkan
ditolak atau bagaimana pertanyaan penelitian dijawab.
4) Implikasi klinis: artikel riset akan mencakup bagian yang membahas apakah
temuan penelitisn tersebut memiliki keterkaitan klinis. Setelah mencari
sumber dari artikel dan telah dinilai sesuai pertanyaan PICO, maka
integrasikan hasil temuan tersebut dari seluruh artikel yang telah dibaca guna
menemukan status bukti yang ada. Dan menggunakan pemikiran kritis ketika
mempertimbangkan sejauh mana artikel tersebut bisa menjawab pertanyaan
perawat. Selain itu, pertimbangkan pula apakah butki tersebut bisa diterapkan
untuk satu klien saja atau kelompok yang biasanya memiliki riwayat medis
yang kompleks (Melnyk dan Fineout-Overholt, 2005). Secara etika perawat
juga haru memperhatikan bukti yang ditemukan bisa menguntungkan klien dan
tidak berbahaya.
4. Integrasikan Bukti
Setelah menumkan bukti yang dirasa sudah cukup kuat dan tepat ketika diaplikasikan,
perawat kemudian mengintegrasikan ke dalam praktik. Gunakan bukti yang ditemukan
sebagai langkah awal ketika melakukan intervensi pada klien. Contohnya, perawat
mempelajari cara melakukan pendekatan dalam memandikan lansia yang cemas, maka
perawat bisa menggunakan teknik yang sudah didapatkan ketika memutuskan hasil bukti
klinis dari artikel yang sudah dibaca (Melnyk dan Fineout-Overholt, 2005; Trepepi-Bova, et
al., 1997).

18
5. Evaluasi Keputusa Praktik atau Perubahan
Ketika bukti yang sudah ditemukan kemudian diterapkan, maka selanjutnya adalah
evaluasi efek. Bagaimana cara kerja intervensi tersebut? Apakah efektif keputusan yang
diambil dalam penerapannya pada klien dan lingkungan praktik? Evaluasi yang diperoleh
dapat berupa hasil yang sederhana misalnya hasil yang diperoleh sudah sesuai dengan apa
yang diharapkan.
Penelitian Penelitian menghasilkan
Manajemen Hasil pengetahuan yang objektif

Metode Penelitian menghasilkan


Penelitian
Keperawata Ilmiah pengetahuan yang objektif

Penelitian Historis

Penelitian Korelasi

Penelitian
Eksploratoris

Penelitian Evaluasi

Penelitian
Deskriptif

Penelitian
Eksperimental

Keperawatan dan Penelitian


Pendekatan Ilmiah Kualitatif

Penelitian
Kuantitatif

19
G. Tahapan – Tahapan Penelitian Keperawatan dalam EBP
Penelitian merupakan suatu proses yang dilakukan sesuai prosedur penelitian untuk
menyakan dan menjawab pertanyaan sehingga diperoleh pengetahuan. Pengetahuan yang
dihasilkan akan menjadi dasar ilmiah ketika praktik keperawatan dan memutuskan efisiensi
dari intervensi keperawatan (Metheny, el al., 1998, 1989, 1990, 1994, 2000). Penelitian
keperawatan didukung oleh International Counsil of Nurses (ICN) (1986) dan American
Nurses Association (ANA). Dukungan yang ada merupakan cara untuk meningkatakan mutu
kesehatan dan kesejahteraan rakyat, memperbarui pengetahuan, meningkatkan edukasi dan
praktik profesional, dan menggunakan sumber daya secara efisien dan efektif (Nggie, 2010).
Terdapat 3 komponen dari penelitian keperawatan yang bisa dilakukan, yaitu:
1. Penelitian Manajemen Hasil
Penelitian hasil merupakan penelitian yang dilakukan untuk memperoleh suatu
jawaban dan mendokumentasikan efektivitas pelayanan kesehatan dan
intevensinya (Polit dan Beck, 2004).
Suatu hasil penyampaian pelayanan berfokus pada penerima pelayanan (klien,
keluarga, atau komunitas) dan bukan pada yang memberikan pelyanan (perawat
atau dokter). Masalah pada penelitian hasil harus dapat diukur. Unsur-unsur hasil
mencakup hasil itu sendiri, cara pengamatan, karakteristik kritisnya, dan rentang
skalanya (Melnyk dan Fineout-Overholt, 2005).
2. Metode Ilmiah
Metode ilmiah merupakan cara yang digunakan untuk mendapatkan hasil
pengetahuan yang paling objektif ketika melakukan penelitian. Metode ilmiah
dijadikan acuan penelitian sehingga memiliki dapat terarah dan bisa mengahsilkan
bukti yang valid, reliable, dan dapat digeneralisasi (Nggie, 2010).
Peneliti menggunakan metode ilmiah untuk memahami, menjelaskan,
memperkirakan atau mengendalikan fenomena keperawatan (Polit dan Beck,
2004). Langkah-langkah yang sistematik mampu menekan opini peneliti yang bisa
mempengaruhi hasil yang diperoleh sehingga kesalahan penelitian bisa
diminimalisir (Nggie, 2010). Polit dan Beck (2004) menjelaskan ada beberapa
karakterisitik penelitian ilmiah sebagai berikut:
a. Masalah yang perlu diidentifikasi.
b. Tahapan perencanaan dan penyelenggaraan penelitian dilakukan secara
teratur dan sitematik.
c. Peneliti mencoba mengendalikan faktor ekdternal yang tidak diteliti
namun bisa memengaruhi hasil penelitian.
d. Data yang diperoleh berdasarkan bukti empiris
e. Ditujukan secara general untuk kelompok klien atas pengetahuan yang
telah didapatkan dari memahami fenomena.
3. Keperawatan dan Pendekatan Ilmiah
Nggie (2010) membahas pendekatan ilmiah, dikaitkan dengan jenis-jenis
penelitian sebagai berikut:
a. Penelitian historis: penelitian untuk menegakkan fakta dan hubungan dengan
masalalu. Contoh: pengamatan pada faktor masayarakat yang membuat
diterimanya perawat praktik ahli oleh klien.
b. Penelitian eksploratoris: penelitian untuk menegakkan hipotesis yang
berhubugan dengan fenomena. Contoh: penelitian pilot yang menguji program
olahraga baru terhadap lansia yang menderita demensia.
c. Penelitian evaluasi: penelitian terkait seberapa jauh program, praktik, atau
kebijakan dapat terlaksana dengan baik. Contoh: penelitian yang mengukur

20
hasil promosi kepada orangtua dalam meningkatakan kemampuan dalam
menaati jadwal imunisasi anakanya.
d. Penelitian deskriptif: penelitian yang mnegukur karakteristik orang, situasi,
atau kelompok dan frekuensi kejadian suatu peristiwa. Contoh: penelitian yang
menghadapi persimpangan RN saat merawat klien obesitas.
e. Penelitian eksperimental: penelitian yang mengendalikan variable penelitian
secara acak untuk menguji variabel tersebut. Contoh: suatu RCT
membandingkan Chlorhexidine dengan Betadine dalam menurunkan kejadian
flebitis IV.
f. Penelitian korelasi: penelitian yang membahas hubungan antar variabel tanpa
intevensi aktif oleh peneliti. Contoh: penelitian yang memperhatikan
hubungan strata pendidikan RN dan kepuasan mereka dalam peran
keperawatan.
Terdapat 2 pendekatan besar untuk penelitian metode kuantitif dan kualitatif.
1. Penelitian kuantitatif
Penlitian ini yang berdasarkan pengukuran dan kuantitatif yang rinci.
Contohya mengukur tingkat keparahan nyeri, tingkat pemulihan luka, dan suhu
tubuh. Penelitian kuantitatif berdasarkan data numerik, analisis statistik, dan
kontorl untuk menghilankan bias (Polit dan Beck, 2004).
Survei merupakan penelitian kuantitatif yang sering dilakukan untuk
mendapatkan informasi dari populasi mengenai frekuensi, distribusi, dan
hubungan antar-variabel dalam subjek penelitian (Polit dan Beck, 2004).
Misalnya survei yang dilakukan untuk mengukur persepsi perawat terkait
kesediaan dokter untuk bekerja sama dalam praktik (Nggie, 2010)
Penelitian evaluasi merupakan pengukuran terhadap hasil penelitian yang
berdasarkan program, parktik, prosedur atau kebijakan yang sedang dijalankan
(Polit dan Beck, 2004). Contohnya penelitian manajemen hasil. Penelitian
evaluasi akan menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam melaksanakan
program. Jika terjadi kegagalan maka akan diidentifikasi masalah dalam
program tersebut serta alasan tidak berhasilnya program, atau hambatan yang
mengahalanginya (Nggie, 2010).
2. Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang mendapatkan hasil dari
wawancara atau tidak dalam bentuk nomerik. Penelitian kualitatif didasarkan
analisis induktif untuk mengkontruksi teori dari pengamatan/wawancara
spesifik (Polit dan Beck, 2004).
Terdapat metode untuk penelitian kualitatif. Etongrafi merupakan
penelitian yang melibatkan pendeskripsian dan penafsiran dari tingkah laku
kultural (Polit dan Beck, 2004). Contohnya, peneliti mengamati tingkah laku
pada penderita Alzheimer yang dihubungkan dengan antropologi, yang
berfokus pada budaya suatu populasi (Nggie, 2010).
Fenomena merupakan metode penelitian yang bersumber dari pemikiran
atau filsafat (Polit dan Beck, 2004). Penelitian ini berfokus pada pengalaman
manusia dalam kegiatan sehari-hari dan bagaimana manusia itu bisa
menginterpretasikannya dan peneliti meminta untuk diceritakan kisahnya
tentang fenomena yang diteliti (Nggie, 2010). Contoh, Wongvantuyu dan
Poter (2005) meneliti pengalaman perempuan yang membantu penderita cedar
otak traumatik yang berusia muda. Peneliti mengamati tingkah laku wanita,

21
tindakan, dan tujuan yang berkesinambungan untuk membantu penderita
tersebut.
Grounded theory merupakan metode penelitian kualitatif dengan
mengumpulan dan menganalisis data untuk membuat tori yang berdasarkan
fenomena nyata (Polit dan Beck, 2004). Contoh, ketika melakukan penelitian
pada komunitas, sulit untuk berinteraksi antara perawat dengan klien, Sheldon,
et al. (2006) membuat kelompok untuk membahas kesulitan dalam
berkomunikasi sehingga bisa dibangun teori komunikasi yang bermanfaat.

H. Program Peningkatan Kualitas Performa dalam EBP

Dalam program peningkatan QI hendaknya berfokus pada proses yang berpengaruh pada
hasil yang diharapkan. Proses tersebut harus didukung oleh pendekatan organisasi dimana
setiap individu turut berperan dalam upaya peningkatan QI secara kontinu. Hal tersebut dapat
dimulai dari budaya organisasi itu sendiri dimana setiap individu menyadari dan memahami
betul perannya masing-masing diorganisasi tersebut serta mempertahankan bahkan
meningkatkan kualitasnya. Seperti pada pelayanan kesehatan, terdapat banyak proses
pelayanan tunggal. Ambil saja seperti peran seorang perawat, ahli farmasi, ahli gizi, dokter,
maupun sekretaris dan pembawa obat yang semuanya mempunyai peran masingmasing
namun bekerjasama dalam upaya peningkatan kualitas atau QI. Memang pada dasarnya
proses peningkatan QI harus dimulai dari tingkat staf terlebih dahulu, dimana suatu masalah
diidentifikasi, setiap anggota wajib mengetahui standar praktik yang sesuai dengan kualitas
yang ada. quality improvement (QI) di definisikan sebagai pendekatan penelitian atau upaya
perbaikan dalam memberikan pelayanan kepada pasien atau klien serta memenuhi segala
kebutuh anya. Sedangkan performance improvement (PI) yaitu suatu organisasi akan
melakukan evaluasi serta menganalisis performa saat ini untuk merumuskan tindakan atau
upaya perbaikan pelayanan yang ada.
Sementara itu terdapat peran Komite QI yang dimana tugasnya adalah untuk meninjau
aktivitas pelayanan kesehatan yang dilakukan terhadap klien serta mengenali berbagai
kesempatan terbesar dalam meningkatkan kualitas, komite memperhatikan aktivitas dengan
risiko tinggi ( berpotensi mengakibatkan terjadinya trauman bahkan kematian), volume tinggi
( aktivitas unit risiko), dan bidang masalah ( bagi klien, staf, maupun instansi). Terkadang
masalah yang ditemukan adalah masalah yang tidak diperkirakan sebelumnya yang
menyebabkan cedera fisik maupun psikologis yang berat atau bahkan kematian. Setelah

Komite QI mengkaji tingkat


kualitas dan performa saat ini

Perubahan kebijakan atau


sistem pelayanan

Penyampaian staf lewat


diskusi

Implementasi Kebijakan
yang diberikan
22
masalah teridentifikasi. Badan komite selanjutnya akan menerapkan model resmi dalam
rangka untuk menyelesaikan masalah tersebut. Ada banyak model PI dan QI, salah satunya.
Ada banyak model PI dan QI, salah satunya adalah model PDSA. Yaitu :
1. Plan (rencanakan). Peninjauan dilakukan pada data yang didapat untuk dipahami
masalah apa yang sebenarnya terjadi guna mengidentifikasi kebutuhan perubahan.
2. Do (Lakukan). Penentuan tindakan atau intervensi yang dapat diterapkan dalam
masalah tersebut dan selanjutnya diterapkan perubahan tersebut.
3. Study (pelajari). Setelah diterapkan, kemudian hasil dari perubahan yang sudah
diterapkan harus dievaluasi kembali tentang bagaimana dampak atau perkembangan
dari penerapan perubahan tersebut.
4. Act (tindak). Jika perubahan tersebut dinilai efektif dan dapat memecahkan masalah
bahkan meminimalisir peluang terulang kasus tersebut. Maka perubahan tersebut
dalam diterapkan dalam performa untuk keseharian.
Setelah dilakukan perubahan praktik oleh komite QI, selanjutnya hasil perubahan
tersebut harus langsung disampaikan kepada staf di departemen yang berkepentingan pada
organisasi atau instansi tersebut. Penyampaian bisa dilakukan lewat diskusi rutin yang
diadakan dalam rangka membahas tentang peningkatan kualitas mengenai aktivitas QI.
Diskusi tersebut bisa berupa pertemuan staf, buletin, atau yang lainya. Pada intinya
komunikasi yang baik antar staf atau bagian harus terbangun guna meningkatkan kualitas
pelayanan yang baik kepada klien. Banyak hasil diskusi yang membawa tentang QI yang
pada akhirnya dapat menimbulkan perubahan besar pada organisasi terbaru khusus dalam hal
sistem yang berjalan serta standar prosedur yang ditetapkan Dalam pemberian pelayanan dan
peningkatan kualitas. Perubahan praktik yang ditentukan oleh komite QI tidak akan bertahan
lama jika tidak adanya komunikasi dari komiet QI dengan staf departemen penting yang ada
di organisasi tersebut, selain itu organisasi juga berkewajiban untuk memberikan respon
terhadap suatu masalah dengan sumber daya yang sesuai pada bidangnya. Perubahan sistem
atau kebijakan dan prosedur, perubahan standar pelayanan, serta implementasi pendukung
baru merupakan contoh dari respon yang baik dari suatu organisasi.

23
Peningkatan
Kualitas Performa

QI (quality PI (perfomance
improvement) improvement)

Plan Do Study Act

(rencana) (lakukan) (pelajari) (tindakan)

Ketidakmerataan
EBP
Fasilitas Tidak
tidak terbiasa
memadai Meneliti

Tidak diberi Komponen


pertanggung belum
jawaban memadai
Faktor
Penghambat

Minim
Kurangnya
Pengetahuan
Dukungan
Bahasa Asing

Perbedaan
tingkat Waktu
pendidikan 24
I. Faktor – Faktor Penghambat dalam Pengaplikasian EBP

1. Model konsep Evidance-based Practice hanya berfokus di kota-kota besar baik yang
berada di dalam maupun luar negeri sehingga pada daerah-daerah pelosok atau pedesaan
yang terdapat di Indonesia belum berkembang. Hal itu terjadi karena kurangnya informasi
yang masuk antara pihak eksternal dari kota besar menuju pedasaan. Selain itu, perawat
kurang terampil dalam memainkan perannya;
2. Pada perawat sendiri menyatakan tidak setuju bahwa pengetahuan mereka memadai
untuk mengimplementasi Evidance-based Practice tetapi sebaliknya, banyak dari
responden yang sudah memiliki keterampilan yang cukup untuk melaksanakan Evidance-
based Practice serta mereka mengatakan bahwa mereka terbiasa membaca hasil penelitian
akan tetapi dalam melakukan suatu penelitian mereka tidak terbiasa;
3. Belum cukup memadainya banyak komponen persiapan perawat dalam
mengimplementasikan konsep Evidance-based Practice. Kurangnya komponen yang
terdapat pada diri seorang perawat menyebabkan mereka tidak siap untuk
mengaplikasikan EBP dalam praktik keperawatan. Komponen – komponen tersebut
sangat mendukung untuk eksistensi seorang perawat di dalam pelayanan kesehatan.
Ketika komponen yang terdapat pada diri perawat terpenuhi baik dari segi internal
maupun eksternal. Mereka akan memberikan pelayanan profesional kepada pasien atau
klien sehingga memberikan kesan positif pada pasien serta membuat pasien merasa
termotivasi untuk sehat;
4. Faktor penghambat utama yaitu pemahaman bahasa asing yang minim dan
pengetahuan yang terbatas. Hal ini dapat terjadi kepada seorang perawat karena kurang
nya budaya literasi atau kurang keikutsertaannya dalam mengikuti kegiatan pelatihan
untuk pengembangan ilmu dan peningkatan keterampilan yang bisa didapat dengan
kegiatan seperti seminar, pengaplikasian riset hasil penelitian dsb;
5. Waktu dan pengetahuan merupakan hambatan utama yang di temukan dari berbagai
penelitian yang ada mengenai implementasi;

25
6. Dukungan yang kurang dari organisasi dapat juga menghambat pengembangan
Evidance-based Practice
7. Seorang perawat yang tidak diberi tanggung jawab untuk mengimplementasikan
Evidance-based Practice. Semua profesi yang bekerja di dalam pelayanan kesehatan
sangatlah perlu menerapkan EBP dalam praktik keperawatannya khususnya dalam
pemberian asuhan keperawatan. Dengan diberlakukannya EBP di setiap pekerjaan atau
tugas dari seorang yang memiliki profesi maka pelayanan yang dihasilkan akan
berkualitas dan selalu bertumpu pada bukti – bukti yang mendukung kita ketika kita
melakukan intervensi kepada seorang pasien.
8. Fasilitas yang kurang memadai apa lagi pada era 4.0 dimana majunya teknologi pada
saat ini sehingga ketersediaan komputer sangat penting. Seharusnya fasilitas harus
dikembangkan baik dalam institusi kesehatan atau pada saat proses penelitian. Dengan
adanya fasilitas seperti komputer yang tersambung internet akan memudahkan profesi
kesehatan untuk mencari sumber – sumber ilmiah yang mendukung dalam pemberian
asuhan keperawatan kepada klien. Sumber – sumber ilmiah yang terdapat di internet
seperti jurnal, artikel ilmiah, dan riset hasil penelitian dapat dijadikan bukti sebagai dasar
pengimplementasian EBP dalam pelayanan kesehatan;
9. Tingkat pendidikan yang berbeda setiap individu. Pendidikan sangat berpengaruh
terhadap pengetahuan serta kompetensi seorang perawat. Semakin lama pendidikan yang
ditempuh oleh individu maka semakin banyak pula pengetahuan yang didapatkan oleh
individu tersebut. Ketika pengetahuan yang didapat oleh seorang individu sangat banyak
atau meluas, kompetensi yang dimiliki oleh individu tersebut akan mengikuti
pengetahuan yang didapatkannya. Kompetensi ini akan melahirkan keterampilan serta
soft skill seorang perawat dalam praktik keperawatan.
J. Pengimplementasian EBP di dalam Praktik Keperawatan
1. Pendekatan buku resep keperawatan
Pendekatan buku resep keperawatan didasarkan pada suatu bukti – bukti yang relevan
terhadapa pasien mengenai suatu permasalah kondisi klinisnya. Dalam hal ini
perawatan tidak bersifat individualitas bergantung pada perawat saja. Akan tetapi,
pasien juga perlu dan berhak mengetahui suatu tindakan yang akan diberikan
kepadanya. Perawat akan menggali semua bukti – bukti yang mendukung pasien
dalam proses pelayanannya dibidang asuhan keperawatan. Kondisi klinis yang
dialami oleh pasien akan memberikan tantangan baru bagi perawat untuk
mengatasinya dengan ilmu, pengetahuan ataupun keahliannya di bidang klinis
tersebut. Penyelesaian ini tentunya didasarkan pada EBP dalam keperawatan. Dengan
diberlakukannya EBP di setiap tindakan keperawatan akan memberikan output yang
terbaik bagi pasien dan tidak merugikan pasien. Penggabungan keahlian klinis harus
seimbang dengan resiko dan manfaat dari tindakan klinis yang diberikan kepada
pasien. Resiko yang mungkin terjadi dapat teratasi dengan keprofesionalitasan serta
keahlian seorang perawat sehingga tidak menimbulkan masalah yang terjadi bagi
pasien di dalam pelayanan kesehatan. Keuntungan akan didapatkan seorang pasien.
Seperti yang kita ketahui bahwa pasien adalah manusia yang unik serta berbeda –
beda sifat dan karakteristiknya. Kita mengetahui bahwa di dalam diri pasien terdapat
banyak faktor pendukung atau sejahtera kondisi pasien, salah satunya adalah
kebudayaan. Kebudayaan sangat penting untuk diperhatikan terutama saat pemberian
asuhan keperawatan, perawat harus mengerti mengenai variasi budaya yang dimiliki
oleh seorang pasien karena bisa jadi kondisi klinis yang dialami pasien berkaitan

26
dengan variasi kebudayaan. Meskipun EBP mencegah perhatian mengenai masalah
kebudayaan, tetapi asuhan keperawatan perlu mempertimbangkan hal ini dalam
kondisi dan situasi apapun. Keunikan seorang pasien harus diperhitungkan oleh
perawat terutama keadaan klinisnya, kondisinya serta preferensi komorbiditasnya. Hal
tersebut yang telah saya jabarkan merupakan salah satu komponen terpenting dalam
pengaplikasian EBP.

2. Intervensi berdasarkan Hasil Peneletian


Perawat pastinya akan memberikan suatu intervensi kepada pasiennya. Intervensi
yang diberikan bukan sembarangan intervensi. Akan tetapi, intervensi yang diberikan
berdasarkan bukti – bukti yang mendukung suatu tindakan tersebut diberikan kepada
pasien. Bukti – bukti tersebut dapat digali dengan adanya suatu kasus yang telah
ditemukan solusinya sesuai dengan tahapan – tahapan berdasarkan EBP baik dalam
bentuk diskusi maupun kerja sama. Selain itu, peran perawat dalam memberikan
intervensi harus memusatkan kepada kenyamanan dan sepengetahuan pasien sehingga
terjadi suatu hubungan saling percaya yang dihasilkan di kedua belah pihak. Dalam
praktik EBP sangat menjunjung tinggi kompetensi, pengetahuan, serta keterampilan
dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien. Dalam suatu pelayanan
khususnya pada praktik keperawatan tentunya dalam pemberian asuhan keperawatan
ataupun intervensi tidak hanya menganut terhadap hal – hal umum saja melainkan
sumber – sumber ilmiah yang relevan dan terpecaya yang dapat diakses melaui
internet mengenai kondisi klinis pasien sehingga pemberian intervensi bermutu dan
berkualitas dapat diberikan berdasarkan bukti – bukti yang tertera. Hasil penelitian
juga sangat diperlukan dalam intervensi kepada pasien. Selain itu, hasil penelitian
merupakan salah satu bentuk bukti terhadap pengimplementasian EBP. Hal ini dapat
dibuktikan dengan penerapan hasil penelitian terhadap kasus yang terjadi. Namun
demikian, hasil penelitian yang tertera harus mempunyai korelasi dengan kondisi
klinis pasien dalam proses penanganannya. Perawat perlu memerhatikan hasil
penelitian tersebut yang relevan dengan pasien sehingga dalam proses penanganannya
dapat diberikan yang terbaik dan bermutu.
K. Pengkajian dan Alat dalam EBP
Terdapat beberapa kemampuan dasar yang harus dimiliki tenaga kesehatan profesional
untuk dapat menerapkan praktek klinis berbasis bukti, yaitu.
1. Mengidentifikasi gap/kesenjangan antara teori dan praktek
2. Memformulasikan pertanyaan klinis yang relevan,
3. Melakukan pencarian literator yang efisien,
4. Mengaplikasikan peran dari bukti, termasuk tingkatan/hierarki dari bukti tersebut
untuk menentukan tingkat validitasnya
5. Mengaplikasikan temuan literator pada masalah pasien, dan
6.Mengerti dan memahami keterkaitan antara nilai dan budaya pasien dapat
mempengaruhi keseimbangan antara potensial keuntungan dan kerugian dari pilihan
manajemen/terapi
L. Langkah-langkah dalam EBP

27
1. Langkah 1 (Kembangkan Semangat Penelitian)
Sebelum memulai dalam tahapan yang sebenarnya di dalam EBP, harus ditumbuhkan
semangat dalam penelitian sehingga klinikan akan lebih nyaman dan tertarik mengenai
pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan perawatan pasien
2. Langkah 2 (Ajukan Pertanyaan Klinis dalam Format PICOT) Pertanyaan klinis dalam
format PICOT untuk menghasilkan evidence yang lebih baik dan relevan.
a. Populasi pasien (P),
b. Intervensi (I),
c. Perbandingan intervensi atau kelompok (C),
d. Hasil / Outcome (O), dan
e. Waktu / Time (T).
Format PICOT menyediakan kerangka kerja yang efisien untuk mencari database
elektronik, yang dirancang untuk mengambil hanya artikel-artikel yang relevan dengan
pertanyaan klinis. Menggunakan skenario kasus pada waktu respons cepat sebagai
contoh, cara untuk membingkai pertanyaan tentang apakah penggunaan waktu tersebut
akan menghasilkan hasil yang positif akan menjadi: “Di rumah sakit perawatan akut
(populasi pasien), bagaimana memiliki time respon cepat (intervensi) dibandingkan
dengan tidak memiliki time respon cepat (perbandingan) mempengaruhi jumlah
serangan jantung (hasil) selama periode tiga bulan (waktu)?”
3. Langkah 3 (Cari Bukti Terbaik)
Mencari bukti untuk menginformasikan praktek klinis adalah sangat efisien ketika
pertanyaan diminta dalam format PICOT. Jika perawat dalam skenario respons cepat
itu hanya mengetik “Apa dampak dari memiliki time respon cepat?” ke dalam kolom
pencarian dari database, hasilnya akan menjadi ratusan abstrak, sebagian besar dari
mereka tidak relevan. Menggunakan format PICOT membantu untuk mengidentifikasi
kata kunci atau frase yang ketika masuk berturut-turut dan kemudian digabungkan,
memperlancar lokasi artikel yang relevan dalam database penelitian besar seperti
MEDLINE atau CINAHL. Untuk pertanyaan PICOT pada time respons cepat, frase
kunci pertama untuk dimasukkan ke dalam database akan perawatan akut, subjek
umum yang kemungkinan besar akan mengakibatkan ribuan kutipan dan abstrak.
Istilah kedua akan dicari akan rapid respon time, diikuti oleh serangan jantung dan
istilah yang tersisa dalam pertanyaan PICOT. Langkah terakhir dari pencarian adalah
untuk menggabungkan hasil pencarian untuk setiap istilah. Metode ini mempersempit
hasil untuk artikel yang berkaitan dengan pertanyaan klinis, sering mengakibatkan
kurang dari 20. Hal ini juga membantu untuk menetapkan batas akhir pencarian, seperti
“subyek manusia” atau “English,” untuk menghilangkan studi hewan atau artikel di luar
negeri bahasa.
4. Langkah 4 (Kritis Menilai Bukti)
Setelah artikel yang dipilih untuk review, mereka harus cepat dinilai untuk menentukan
yang paling relevan, valid, terpercaya, dan berlaku untuk pertanyaan klinis. Studi-studi
ini adalah “studi kiper.” Salah satu alasan perawat khawatir bahwa mereka tidak punya
waktu untuk menerapkan EBP adalah bahwa banyak telah diajarkan proses mengkritisi
melelahkan, termasuk penggunaan berbagai pertanyaan yang dirancang untuk

28
mengungkapkan setiap elemen dari sebuah penelitian. Penilaian kritis yang cepat
menggunakan tiga pertanyaan penting untuk mengevaluasi sebuah studi.
a. Apakah hasil penelitian valid?
Ini pertanyaan validitas studi berpusat pada apakah metode penelitian yang cukup ketat
untuk membuat temuan sedekat mungkin dengan kebenaran. Sebagai contoh, apakah
para peneliti secara acak menetapkan mata pelajaran untuk pengobatan atau kelompok
kontrol dan memastikan bahwa mereka merupakan kunci karakteristik sebelum
perawatan? Apakah instrumen yang valid dan reliabel digunakan untuk mengukur hasil
kunci?
b. Apakah hasilnya bisa dikonfirmasi?
Untuk studi intervensi, pertanyaan ini keandalan studi membahas apakah intervensi
bekerja, dampaknya pada hasil, dan kemungkinan memperoleh hasil yang sama dalam
pengaturan praktek dokter sendiri. Untuk studi kualitatif, ini meliputi penilaian apakah
pendekatan penelitian sesuai dengan tujuan penelitian, bersama dengan mengevaluasi
aspek-aspek lain dari penelitian ini seperti apakah hasilnya bisa dikonfirmasi.
c. Akankah hasil membantu saya merawat pasien saya?
Ini pertanyaan penelitian penerapan mencakup pertimbangan klinis seperti apakah
subyek dalam penelitian ini mirip dengan pasien sendiri, apakah manfaat lebih besar
daripada risiko, kelayakan dan efektivitas biaya, dan nilai-nilai dan preferensi pasien.
Setelah menilai studi masing-masing, langkah berikutnya adalah untuk menyintesis
studi untuk menentukan apakah mereka datang ke kesimpulan yang sama, sehingga
mendukung keputusan EBP atau perubahan.
5. Langkah 5 (Mengintegrasikan Bukti Dengan Keahlian Klinis dan Preferensi Pasien
dan Nilai-nilai)
Bukti penelitian saja tidak cukup untuk membenarkan perubahan dalam praktek.
Keahlian klinis, berdasarkan penilaian pasien, data laboratorium, dan data dari
program manajemen hasil, serta preferensi dan nilai-nilai pasien adalah komponen
penting dari EBP. Tidak ada formula ajaib untuk bagaimana untuk menimbang
masing-masing elemen; pelaksanaan EBP sangat dipengaruhi oleh variabel
kelembagaan dan klinis. Misalnya, ada tubuh yang kuat dari bukti yang menunjukkan
penurunan kejadian depresi pada pasien luka bakar jika mereka menerima delapan
sesi terapi kognitif-perilaku sebelum dikeluarkan dari rumah sakit. Anda ingin pasien
Anda memiliki terapi ini dan begitu mereka. Tapi keterbatasan anggaran di rumah
sakit Anda mencegah mempekerjakan terapis untuk menawarkan pengobatan. Defisit
sumber daya ini menghambat pelaksanaan EBP.
6. Langkah 6 (Evaluasi hasil Keputusan Praktek atau Perubahan Berdasarkan Bukti)
Setelah menerapkan EBP, penting untuk memantau dan mengevaluasi setiap
perubahan hasil sehingga efek positif dapat didukung dan yang negatif diperbaiki.
Hanya karena intervensi efektif dalam uji ketat dikendalikan tidak berarti ia akan
bekerja dengan cara yang sama dalam pengaturan klinis. Pemantauan efek perubahan
EBP pada kualitas perawatan kesehatan dan hasil dapat membantu dokter melihat
kekurangan dalam pelaksanaan dan mengidentifikasi lebih tepat pasien mana yang

29
paling mungkin untuk mendapatkan keuntungan. Ketika hasil berbeda dari yang
dilaporkan dalam literatur penelitian, pemantauan dapat membantu menentukan.
7. Langkah 7 (Menyebarluaskan Hasil EBP)
Perawat dapat mencapai hasil yang indah bagi pasien mereka melalui EBP, tetapi
mereka sering gagal untuk berbagi pengalaman dengan rekan-rekan dan organisasi
perawatan kesehatan mereka sendiri atau lainnya. Hal ini menyebabkan perlu
duplikasi usaha, dan melanggengkan pendekatan klinis yang tidak berdasarkan bukti-
bukti. Di antara cara untuk menyebarkan inisiatif sukses adalah putaran EBP di
institusi Anda, presentasi di konferensi lokal, regional, dan nasional, dan laporan
dalam jurnal peer-review, news letter profesional, dan publikasi untuk khalayak
umum
M. Contoh Praktik Berbasis Bukti (EBP) dalam Keperawatan
Praktik berbasis bukti (EBP) mengintegrasikan keahlian klinis, bukti penelitian terbaik,
dan nilai-nilai pasien untuk mengoptimalkan hasil kesehatan. Pendekatan ini mendukung
profesi keperawatan dalam memberikan perawatan pasien yang berkualitas. Ada beberapa
contoh yang menunjukkan nilai EBP dalam keperawatan:
1. Kebersihan tangan: Penelitian secara konsisten menunjukkan pentingnya mencuci
tangan dalam mencegah infeksi yang didapat di rumah sakit. Florence Nightingale
adalah pionir yang menekankan kebersihan dalam perawatan pasien. Saat ini,
organisasi layanan kesehatan mengikuti pedoman dari American Nurses Association
dan lembaga lainnya untuk memastikan bahwa kebersihan tangan adalah standar
praktiknya
2. Pencegahan jatuh: EBP memandu penilaian yang tepat terhadap pasien yang berisiko
jatuh dan penerapan strategi untuk mencegah insiden tersebut. Penyedia layanan
kesehatan menggunakan alat berbasis bukti seperti Morse Fall Scale untuk menilai
pasien dan mengembangkan rencana perawatan yang komprehensif.
3. Pencegahan ulkus dekubitus: Pedoman berbasis bukti membantu perawat memahami
faktor risiko dan menerapkan intervensi untuk mencegah ulkus dekubitus. Contohnya
termasuk membalikkan pasien secara teratur, menggunakan alat pelepas tekanan, dan
menjaga integritas kulit melalui perawatan yang tepat.
4. Manajemen nyeri: EBP mendukung perawat dalam mengidentifikasi nyeri pasien dan
mengelolanya secara efektif menggunakan kombinasi intervensi farmakologis dan non-
farmakologis, meningkatkan hasil pasien dan pengalaman keseluruhan.
N. Peran dan Fungsi Perawat
Peran Perawat
Ada banyak peran dan tanggungjawab bagi seorang perawat. Dari sekian banyak peran,
berikut beberapa peran yang harus dikerjakan.
1. Perawat Sebagai Coordinator
Salah satu peran perawat sebagai koordinator. Hal ini dapat dilihat dari tugasnya
untuk selalu mengorganisasikan pelayanan kesehatan kepada pasien dengan tim

30
kesehatan lain. Tujuan adalah agar lebih terarah, dan terkoordinasi antara perawat satu
dengan perawat lain, atau dengan dokternya.
Perawat memiliki tugas untuk mengorganisasikan pelayanan kesehatan agar pasien
bisa langsung mendapatkan pelayanan kesehatan secara terarah. Adapun peran perawat
sebagai coordinator, yaitu Agar menciptakan asuhan keperawatan secara efisien, dan
memuaskan bagi pasien. Mengatur waktu secara keseluruhan terkait penangan kepada
pasien Membutuhkan keterampilan perawat dalam hal kontrol, mengorganisasikan,
merencanakan dan mengarahkan.
2. Peran Perawat Sebagai Advokat
Di lingkungan rumah sakit, perawat tidak hanya bertugas sebagai koordinator saja.
Ternyata juga berperan sebagai advokat. Jadi perawat memiliki peran melindungi dan
merawat pasien. Termasuk melindungi hak-hak pasien sebagai manusia secara hukum.
Misalnya, perawat memberikan edukasi penanganan atau informasi tentang penyakit
yang diderita. Tujuannya, agar pasien lebih aware dengan dirinya sendiri, agar lekas
sembuh. Ketika pasien dalam kondisi atau ingin hal-hal yang membahayakan, maka
perawat pun memiliki peran untuk mencegah, dengan maksud menjaga dan melindungi
pasien dari hal-hal yang berbahaya untuk dirinya.
3. Peran Perawat Komunikator
Menjadi seorang perawat memang memiliki tantangan tersendiri. Apalagi jika
berhadapan dengan pasien yang rewel. Meskipun demikian, seorang perawat dituntut
tetap bisa menjadi komunikator. Jadi perawat memiliki peran untuk membantu keluarga
pasien atau pasien mendapatkan informasi yang dibutuhkan terkait informasi ataupun
edukasi.
Tidak hanya itu saja, perawat sebagai penyampai pesan dengan keluarga pasien. Jadi,
seorang perawat yang baik adalah mereka yang memiliki kemampuan komunikasi yang
baik. Ketika komunikasi baik, dan memiliki kemampuan menyampaikan menggunakan
bahasa yang sederhana kepada keluarga pasien, maka keluarga pasien/pasien pun lebih
mudah memahami.
Sebaliknya, jika perawat tidak memiliki keterampilan dan kemampuan berkomunikasi.
Dikhawatirkan akan memicu terjadinya miskomunikasi dengan keluarga pasien/pasien.
4. Peran Perawat Sebagai Edukator
Peran perawat juga sebagai educator. Dimana perawat memiliki tanggung jawab
untuk mengedukasi pasien maupun keluarga pasien, terkait penyakit yang dialaminya.
Termasuk bertugas untuk membantu pasien dalam meningkatkan pengetahuan
kesembuhan.
Misalnya, mengedukasi makanan yang boleh dimakan dan tidak boleh dimakan. Serta
hal apa saja agar sakitnya cepat sembuh. Jadi, peran perawat tidak lain memberikan
pengertian terhadap pasien atau keluarga pasien terkait hal-hal yang baik untuk pasien
terkait kesehatannya.
5. Peran Perawat Sebagai Konselor

31
Tidak dapat dipungkiri jika tidak semua pasien memiliki pengetahuan yang baik
terhadap kesehatan. Jangankan pada kesehatannya sendiri, seringkali pasien juga tidak
tahu penyakit yang sedang dialaminya dan tindak lanjut yang seharusnya dilakukan.
Maka dari itu, di sinilah peran perawat untuk memberikan kesempatan kepada
keluarga pasien/pasien. Perawat harus siap menjawab semua pertanyaan yang diajukan.
Mungkin bagi perawat pertanyaannya klise, tetapi bagi pasien yang tidak tahu, butuh
sekali jawaban yang membangun.
Dari sini dapat dilihat, bahwasanya peran perawat seperti seorang konselor. Seperti
halnya dengan konselor, harus tetap professional dan sabar menghadapi segala macam
karakter pasien/keluarga pasien.
6. Peran Perawat Dalam Promosi Kesehatan
Bagi sebagian orang awam, mengira tugas perawat hanya memberi obat saja.
Ternyata tidak sampai disitu saja. Perawat juga bertanggungjawab untuk menyuarakan
terkait pentingnya menjaga kesehatan. Bisa dibilang, perawat sebagai duta kesehatan,
karena berperan untuk mempromosikan pentingnya hidup sehat.

7. Peran Perawat Dalam Pemberian Obat


Peran perawat memang ada banyak. Selain beberapa hal yang sudah disebutkan di
atas, ada peran yang paling penting dan mendasar. Yaitu memberikan obat kepada pasien
yang sedang rawat inap di rumah sakit. Mungkin ada yang beranggapan, “ah, hanya
memberikan obat ke pasien”. Jangan salah, memberi obat ke pasien adalah pekerjaan
yang membutuhkan ketelitian dan kejelian. Butuh kehati-hatian agar tidak terjadi
kesalahan seperti obat tertukar dengan pasien lain. Tidak hanya memberi obat, juga
bertugas mengontrol kondisi pasien secara berkala sambil melakukan pencatatan.
8. Peran Perawat Sebagai Konsultan
Ketika di berobat di rumah sakit, terkadang muncul beberapa kendala yang sering
dikeluhkan pasien. Yaitu sulit bertemu dengan dokter spesialis atau dokter yang
menangani. Padahal banyak hal yang ingin ditanyakan terkait penyakit yang dirasakan.
Mengingat tidak semua dokter memiliki keleluasaan waktu, maka perawat memiliki hak
atau peran untuk menjawab pertanyaan atau sebagai konsultan terhadap pasien yang
butuh informasi. Jadi, mulai saat ini, kamu tidak harus menunggu dokter. Kamu bisa
langsung bertanya pada perawat.
9. Peran Perawat Sebagai Peneliti
Yap, ternyata tidak hanya dosen dan mahasiswa saja yang melakukan penelitian.
Ternyata pekerjaan seorang perawat pun setiap hari melakukan penelitian. Mungkin kata
penelitian pada perawat terlalu ilmiah. Namun tugas perawat melakukan pemantauan dan
menjadi seorang observer terhadap perkembangan pasiennya. Bisa dibayangkan, dari
sekian banyak pasien yang rawat inap di rumah sakit, perawat harus melakukan penelitian
atau observasi secara berkala. TUjuannya untuk melihat perkembangan pasien. Apakah
pasien menunjukan perkembangan lebih baik, atau sebaliknya.

32
Fungsi Perawa
Fungsi perawat terdiri dari 3 yaitu independen, dependen, dan interdependen. Fungsi
perawat ini dijalankan sesuai dengan perannya dalam memberikan pelayanan
keperawatan dan disesuaikan dengan kondisi riil dari pasien. Berikut ini penjelasan
mengenai fungsi perawat yang lebih detail.
1. Independen
Fungsi perawat yang pertama yaitu fungsi independen. Dalam hal ini perawat
memiliki hak independen dalam mengambil keputusan dan melakukan tindakan yang
terbaik yang didasarkan dari ilmu keperawatan. Tindakan independen yang diambil
ini haruslah berdasarkan pada ilmu keperawatan. Selain itu, keputusan dan tindakan
yang dilakukan oleh perawat akan menjadi tanggung jawab penuh perawat tanpa
melibatkan pihak lain.
2. Dependen
Fungsi perawat yang selanjutnya yaitu fungsi dependen yang membuat perawat dapat
menjalankan perintah dari dokter seperti pemasangan infus, pemberian obat,
pengambilan sampel darah, penyuntikan dan sebagainya. Berbeda dari fungsi
sebelumnya yang menjadi tanggung jawab penuh perawat, maka dalam fungsi ini
yang bertanggung jawab secara penuh adalah dokter.

3. Interdependen
Fungsi perawatan yang terakhir yaitu fungsi interdependen. Dalam fungsi ini, perawat
dapat melakukan kerja sama dengan berbagai pihak lain yang terlibat dalam usaha
memberikan pelayanan kesehatan terbaik, seperti dokter, ahli gizi, fisioterapi, dan
para ahli untuk memberikan tindakan keperawatan terhadap pasien. Sebagai contoh,
dalam menangani pasien yang menderita diabetes, perawat akan bekerja sama dengan
ahli gizi dalam menentukan kebutuhan asupan makanan sang pasien.

33
DAFTAR PUSTAKA

Melnyk B, Fineout0overholt E. 2005. Evidence-Based Practice in Nursing and Health Care:


A Guide to Best Practice. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Polit D.F., Beck C.T 2004. Nursing Reasearch: Principles and Methods. ED 7. Philadelpihia:
JB Lippincott.
Newhouse R, et al. 2005. “Evidance-Based Practice: A Practical Appoarch to
Implementation.” J Nurs Adm, 35 (1): 35.
Callister L.C., et al . 2005. “Inquiry in Baccalaureate Nursing Education: Fostering Evidence-
Based Practice”. J Nurs Educ 44 (2): 59.
Sheldon L.K., et al. 2006. “DifficultCommunication in Nursing”. J Nurs Scholarsh 38 (2):
141.
International Council of Nurses. 1986. Nuring research: ICN Position statement. Geneva:
The Council.
Oncology Nursing Society. “Evidence-Based Practice Resource Area”.
https://onsopcontent.ons.org/toolkish/evidence/Definition/index.shtml. November
2005.
Potter,Perry. 2010. Fundamental of Nursing. Singapore:Elsevier Pte Ltd
Siska, dkk. 2015. Hubungan Tingkat Pendidikan Perawat dengan Kompetensi Aplikasi
Evidence Based Practice vol 1 no 1. Tangerang:Fakultas Keperawatan Universitas
Pelita Harapan. Jurnal Skolastik Keperawatan;
Ligita Titan. 2012. Pengetahuan, Sikap dan Kesiapan Perawat Klinisi Dalam Implementasi
Evidence-Base Practice vol 8 no1. Tanjungpura:Fakultas Kedokteran Universitas
Tanjungpura. Ners Jurnal Keperawatan;
Jeremy Steglitz, dkk. 2015. Evidence-Based Practice.Chicago USA Northwestern
University:Elseiver Ltd;

34
Stevens, K., (May 31, 2013) "The Impact of Evidence-Based Practice in Nursing and the
Next Big Ideas" OJIN: The Online Journal of Issues in Nursing Vol. 18, No. 2,
Manuscript 4.
Setyawati,Anita,dkk, 2017. Peningkatan Pengetahuan Perawat dan Bidan Tentang Evidence-
Based Practice Melalui Pelatihan Penerapan Evidence-Based Practice. Bandung. :
Jurnal Aplikasi Ipteks untuk Masyarakat Vol. 6, No. 1, Maret 2017: 53 – 56.
Chiwaula, C.H., dkk. 2018. Evidence Based Practice: A Concept Analysis. Zimbabwe,
Malawi. Imedpub journal. Vol. 5 No. 5:73.
https://www.academia.edu/42433171/
Makalah_Evidence_Based_Practice_Konsep_Dasar_Keperawatan

35

Anda mungkin juga menyukai