Anda di halaman 1dari 35

EBP (EVIDANCE BASED) DAN BUDAYA DALAM LINGKUP

KERJA PERAWAT DALAM PENINGKATAN


PATIENT SAFETY

Oleh :

1. I Dewa Made Agie Pramana ( 064 )


2. N. Adi Sumartawan ( 065 )
3. Isma Rizky Amalia ( 066 )
4. Ni Putu Dian Aprilia ( 067 )
5. Ni Putu Diah Ameliya Putri ( 068 )
6. Ni Putu Putri Asmariani ( 069 )
7. Ni Made Linda Adimaharani ( 070 )

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
PRODI NERS
2019
A. EBP (Evidence Based) untuk peningkatan patient safety

1. Pengertian evidence based practice

Evidence based practice (EBP) adalah sebuah proses yang akan membantu

tenaga kesehatan agar mampu uptodate atau cara agar mampu memperoleh informasi

terbaru yang dapat menjadi bahan untuk membuat keputusan klinis yang efektif dan

efisien sehingga dapat memberikan perawatan terbaik kepada pasien (Macnee, 2011).

Sedangkan menurut (Bostwick, 2013) evidence based practice adalah starategi untuk

memperolah pengetahuan dan skill untuk bisa meningkatkan tingkah laku yang

positif sehingga bisa menerapakan EBP didalam praktik. Dari kedua pengertian EBP

tersebut dapat dipahami bahwa evidance based practice merupakan suatu strategi

untuk mendapatkan knowledge atau pengetahuan terbaru berdasarkan evidence atau

bukti yang jelas dan relevan untuk membuat keputusan klinis yang efektif dan

meningkatkan skill dalam praktik klinis guna meningkatkan kualitas kesehatan

pasien. Oleh karena itu berdasarkan definisi tersebut, Komponen utama dalam

institusi pendidikan kesehatan yang bisa dijadikan prinsip adalah membuat keputusan

berdasarkan evidence based serta mengintegrasikan EBP kedalam kurikulum

merupakan hal yang sangat penting.

Namun demikian fakta lain dilapangan menyatakan bahwa pengetahuan,

sikap, dan kemampuan serta kemauan mahasiswa keperawatan dalam

mengaplikasikan evidence based practice masih dalam level moderate atau

menengah. Hal ini sangat bertolak belakang dengan konsep pendidikan keperawatan

yang bertujuan untuk mempersiapkan lulusan yang mempunyai kompetensi dalam

melaksanakan asuhan keperawatan yang berkualitas. Meskipun mahasiswa


keperawatan atau perawat menunjukkan sikap yang positif dalam mengaplikasikan

evidence based namun kemampuan dalam mencari literatur ilmiah masih sangat

kurang. Beberapa literatur menunjukkan bahwa evidence based practice masih

merupakan hal baru bagi perawat. oleh karena itu pengintegrasian evidence based

kedalam kurikulum sarjana keperawatan dan pembelajaran mengenai bagaimana

mengintegrasikan evidence based kedalam praktek sangatlah penting (Ashktorab et

al., 2015).

Pentingnya evidence based practice dalam kurikulum undergraduate juga

dijelaskan didalam (Sin&Bleques, 2017) menyatakan bahwa pembelajaran evidence

based practice pada undergraduate student merupakan tahap awal dalam menyiapkan

peran mereka sebagai registered nurses (RN). Namun dalam penerapannya, ada

beberapa konsep yang memiliki kesamaan dan perbedaan dengan evidence based

practice. Evidence based practice atauevidence based nursing yang muncul dari

konsep evidence based medicinememiliki konsep yang sama dan memiliki makna

yang lebih luas dari RU atauresearch utilization(Levin & Feldman, 2012).

2. Tujuan EBP

Tujuan utama di implementasikannya evidance based practice di dalam

praktek keperawatan adalah untuk meningkatkan kualitas perawatan dan

memberikan hasil yang terbaik dari asuhan keperawatan yang diberikan. Selain itu

juga, dengan dimaksimalkannya kualitas perawatan tingkat kesembuhan pasien bisa

lebih cepat dan lama perawatan bisa lebih pendek serta biaya perawatan bisa ditekan

(Madarshahian et al., 2012). Dalam rutinititas sehari-hari para tenaga kesehatan

profesional tidak hanya perawat namun juga ahli farmasi, dokter, dan tenaga
kesehatan profesional lainnya sering kali mencari jawaban dari pertanyaan-

pertanyaan yang muncul ketika memilih atau membandingkan treatment terbaik yang

akan diberikan kepada pasien/klien, misalnya saja pada pasien post operasi bedah

akan muncul pertanyaan apakah teknik pernapasan relaksasi itu lebih baik untuk

menurunkan kecemasan dibandingkan dengan cognitive behaviour theraphy, apakah

teknik relaksasi lebih efektif jika dibandingkan dengan teknik distraksi untuk

mengurangi nyeri pasien ibu partum kala 1 (Mooney, 2012).

Pendekatan yang dilakukan berdasarkan pada evidance based bertujuan untuk

menemukan bukti-bukti terbaik sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan klinis

yang muncul dan kemudian mengaplikasikan bukti tersebut ke dalam praktek

keperawatan guna meningkatkan kualitas perawatan pasien tanpa menggunakan

bukti-bukti terbaik, praktek keperawatan akan sangat tertinggal dan seringkali

berdampak kerugian untuk pasien. Contohnya saja education kepada ibu untuk

menempatkan bayinya pada saat tidur dengan posisi pronasi dengan asumsi posisi

tersebut merupakan posisi terbaik untuk mencegah aspirasi pada bayi ketika tidur.

Namun berdasarkan evidence based menyatakan bahwa posisi pronasi pada bayi

akan dapat mengakibatkan resiko kematian bayi secara tiba-tiba SIDS (Melnyk &

Fineout, 2011).

Oleh karena itu, pengintegrasian evidence based practice kedalam kurikulum

pendidikan keperawatan sangatlah penting. Tujuan utama mengajarkan EBP dalam

pendidikan keperawatan pada level undergraduate student adalah menyiapkan

perawat profesional yang mempunyai kemampuan dalam memberikan pelayanan

keperawatan yang berkualitas berdasarkan evidence based (Ashktorab, 2015).


3. Komponen kunci EBP

Evidence atau bukti adalah kumpulan fakta yang diyakini kebenarannya.

Evidence atau bukti dibagi menjadi 2 yaitu eksternal evidence dan internal evidence.

Bukti eksternal didapatkan dari penelitian yang sangat ketat dan dengan proses atau

metode penelitian ilmiah. Pertanyaan yang sangat penting dalam

mengimplementasikan bukti eksternal yang didapatkan dari penelitian adalah apakah

temuan atau hasil yang didapatkan didalam penelitian tersebut dapat

diimplementasikan kedalam dunia nyata atau dunia praktek dan apakah seorang

dokter atau klinisi akan mampu mencapai hasil yang sama dengan yang dihasilkan

dalam penelitian tersebut. Berbeda dengan bukti eksternal bukti internal merupakan

hasil dari insiatif praktek seperti manajemen hasil dan proyek perbaikan kualitas

(Melnyk & Fineout, 2011).

4. Model-model EBP

Dalam memindahkan evidence kedalam praktek guna meningkatkan kualitas

kesehatan dan keselamatan (patient safety) dibutuhkan langkah-langkah yang

sistematis dan berbagai model EBP dapat membantu perawat atau tenaga kesehatan

lainnya dalam mengembangkan konsep melalui pendekatan yang sistematis dan

jelas, alokasi waktu dan sumber yang jelas, sumber daya yang terlibat, serta

mencegah impelementasi yang tidak runut dan lengkap dalam sebuah organisasi

(Gawlinski & Rutledge, 2008). Namun demikian, beberapa model memiliki

keunggulannya masing-masing sehingga setiap institusi dapat memilih model yang

sesuai dengan kondisi organisasi. Beberapa model yang sering digunakan dalam

mengimplementasikan evidence based practice adalah Iowa model (2001), stetler


model (2001), ACE STAR model (2004), john hopkinsevidence-based practice

model(2007), rosswurm dan larrabee’s model, serta evidence based practice model

for stuff nurse (2008).

Beberapa karakteristik tiap-tiap model yang dapat dijadikan landasan dalam

menerapkan EBP yang sering digunakan yaitu IOWA model dalam EBP digunakan

untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, digunakan dalam berbagai

akademik dan setting klinis. Ciri khas dari model ini adalah adanya konsep “triggers”

dalam pelaksanaan EBP. Trigers adalah masalah klinis ataupun informasi yang

berasal dari luar organisasi. Ada 3 kunci dalam membuat keputusan yaitu adanya

penyebab mendasar timbulnya masalah atau pengetahuan terkait dengan kebijakan

institusi atau organisasi, penelitian yang

cukup kuat, dan pertimbangan mengenai kemungkinan diterapkannya perubahan

kedalam praktek sehingga dalam model tidak semua jenis masalah dapat diangkat

dan menjadi topik prioritas organisasi (Melnyk & Fineout, 2011).

Sedangkan john hopkin’s model mempunyai 3 domain prioritas masalah yaitu

praktek keperawatan, penelitian, dan pendidikan. Dalam pelaksanaannya model ini

terdapat beberapa tahapan yaitu menyusun practice question yang menggunakan pico

approach, menentukan evidence dengan penjelasan mengenai tiap level yang jelas

dan translation yang lebih sistematis

dengan model lainnya serta memiliki lingkup yang lebih luas. Sedangkan ACE star

model merupakan model transformasi pengetahuan berdasarkan research. Evidence

non research tidak digunakan dalam model ini. Untuk stetler’s model merupakan

model yang tidak berorientasi pada perubahan formal tetapi pada perubahan oleh
individu perawat. Model ini menyusun masalah berdasarkan data internal (quality

improvement dan operasional) dan data eksternal yang berasal dari penelitian. Model

ini menjadi panduan preseptor dalam mendidik perawat baru. Dalam pelaksanaanya,

untuk mahasiswa sarjana dan master sangat disarankan menggunakan model jhon

hopkin, sedangkan untuk mahasiswa undergraduate disarankan menggunkan ACE

star model dengan proses yang lebih sederhana dan sama dengan proses keperawatan

(Schneider& Whitehead, 2013).

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi EBP

Dalam (Ashktorab et all., 2015) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang

akan mendukung penerapan evidence based practice oleh mahasiswa keperawatan,

diantaranya adalah intention (niat), pengetahuan, sikap, dan perilaku mahasiswa

keperawatan. Dari ketiga faktor tersebut sikap mahasiswa dalam menerapkan EBP

merupakan faktor yang sangat menunjang penerapan EBP. Untuk mewujudkan hal

tersebut pendidikan tentang EBP merupakan upaya yang harus dilakukan dalam

meningkatkan pengetahuan mahasiswa ataupun sikap mahasiswa yang akan menjadi

penunjang dalam penerapannya pada praktik klinis. Sedangkan didalam (Ryan, 2016)

dijelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan EBP dalam

mahasiswa keperawatan berkaitan dengan faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.

Faktor intrinsik terkait erat dengan intention atau sikap serta pengetahuan

mahasiswa, sedangkan faktor ekstrinsik erat kaitannya dengan organizational atau

institutional support seperti kemampuan fasilitator atau mentorship dalam

memberikan arahan guna mentransformasi evidence kedalam praktek, ketersedian

fasilitias yang mendukung serta dukungan lingkungan.


6. Langkah-langkah dalam proses EBP

Berdasarkan (Melnyk et al., 2014) ada beberapa tahapan atau langkah dalam

proses EBP. Tujuh langkah dalam evidence based practice (EBP) dimulai dengan

semangat untuk melakukan penyelidikan atau pencarian (inquiry) personal. Budaya

EBP dan lingkungan merupakan faktor yang sangat penting untuk tetap

mempertahankan timbulnya pertanyaan-pertanyaan klinis yang kritis dalam praktek

keseharian. Langkah-langkah dalam proses evidance based practice adalah sebagai

berikut:

1) Menumbuhkan semangat penyelidikan (inquiry).

Inquiry adalah semangat untuk melakukan penyelidikan yaitu sikap kritis

untuk selalu bertanya terhadap fenomenafenomena serta kejadian-kejadian yang

terjadi saat praktek dilakukan oleh seorang klinisi atau petugas kesehatan dalam

melakukan perawatan kepada pasien. Namun demikian, tanpa adanya dalam

lingkup individu ataupun institusi tidak akan bisa berhasil dan dipertahankan.

Elemen kunci dalam membangun budaya EBP adalah semangat untuk melakukan

penyelidikan dimana semua profesional kesehatan didorong untuk

memepertanyakan kualitas praktek yang mereka jalankan pada saat ini, sebuah

pilosofi, misi dan sistem promosi klinis dengan mengintegrasikan evidence based

practice, mentor yang memiliki pemahaman mengenai evidence based practice,

mampu membimbing orang lain, dan mampu mengatasi tantangan atau hambatan

yang mungkin terjadi, ketersediaan infrastruktur yang mendukung untuk mencari

informasi atau lieratur seperti komputer dan laptop, dukungan dari administrasi
dan kepemimpinan, serta motivasi dan konsistensi individu itu sendiri dalam

menerapkan evidence based practice (Tilson et al, 2011).

2) Mengajukan pertanyaan PICO(T) question.

Menurut (Newhouse et al., 2007) dalam mencari jawaban untuk pertanyaan

klinis yang muncul, maka diperlukan strategi yang efektif yaitu dengan membuat

format PICO dimana:

P = pasien, populasi atau masalah baik itu umur, gender, ras atapun penyakit

seperti hepatitis dll.

I = intervensi baik itu meliputi treatment di klinis ataupun pendidikan dan

administratif. Selain itu juga intervensi juga dapat berupa perjalanan

penyakit ataupun perilaku beresiko seperti merokok.

C = atau comparison merupakan intervensi pembanding bisa dalam bentuk terapi,

faktor resiko, placebo ataupun non intervensi.

O = atau outcome adalah hasil yang ingin dicari dapat berupa kualitas hidup,

patient safety, menurunkan biaya ataupun meningkatkan kepuasan pasien.

Pada langkah selanjutnya membuat pertanyaan klinis dengan menggunakan

format PICOT yaitu P (Patient atau populasi), I (Intervention atau tindakan atau

pokok persoalan yang menarik), C (Comparison intervention atau intervensi yang

dibandidngkan), O (Outcome atau hasil) serta T (Time frame atau kerangka

waktu). Contohnya adalah dalam membentuk pertanyaan sesuai PICOT adalah

pada Mahasiswa keperawatan (population) bagaimana proses pembelajaran PBL

tutotial (Intervention atau tindakan) dibandingkan dengan small group discussion

(comparison atau intervensi pembanding) berdampak pada peningkatan critical


thinking (outcome) setelah pelaksanaan dalam kurun waktu 1 semester (time

frame). Ataupun dalam penggunaan PICOT non intervensi seperti bagaimana

seorang ibu baru (Population) yang payudaranya terkena komplikasi (Issue of

interest) terhadap kemampuannya dalam memberikan ASI (Outcome) pada 3

bulan pertama pada saat bayi baru lahir. Hasil atau sumber data atau literatur

yang dihasilkan akan sangat berbeda jika kita menggunakan pertanyaan yang

tidak tepat makan kita akan mendapatkan berbagai abstrak yang tidak relevan

dengan apa yang kita butuhkan (Melnyk & Fineout, 2011).

Sedangkan dalam lobiondo & haber, (2006) dicontohkan cara

memformulasikan pertanyaan EBP yaitu pada lansia dengan fraktur

hip(patient/problem), apakah patientanalgesic control (intervensi) lebih efektif

dibandingkan dengan standard of care nurse administartif analgesic(comparison)

dalam menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan LOS(Outcome).

3) Mencari bukti-bukti terbaik.

Kata kunci yang sudah disusun dengan menggunakan picot digunakan untuk

memulai pencarian bukti terbaik. Bukti terbaik adalah dilihat dari tipe dan

tingkatan penelitian. Tingkatan penelitian yang bisa dijadikan evidence atau bukti

terbaik adalah meta analysis dan systematic riview. Systematic riview adalah

ringkasan hasil dari banyak penelitian yang memakai metode kuantitatif.

Sedangkan meta-analysis adalah ringkasan dari banyak penelitian yang

menampilkan dampak dari intervensi dari berbagai studi. Namun jika meta

analisis dan systematic riview tidak tersedia maka evidence pada tingkatan

selanjutnya bisa digunakan seperti RCT. Evidence tersebut dapat ditemukan pada
beberapa data base seperti CINAHL, MEDLINE, PUBMED, NEJM dan

COHRANE LIBRARY (Melnyk & Fineout, 2011). Ada 5 tingkatan yang bisa

dijadikan bukti atau evidence (Guyatt&Rennie, 2002) yaitu:

a. Bukti yang berasal dari meta-analysis ataukah systematic riview.

b. Bukti yang berasal dari disain RCT.

c. Bukti yang berasal dari kontrol trial tanpa randomisasi.

d. Bukti yang berasal dari kasus kontrol dan studi kohort.

e. Bukti dari systematic riview yang berasal dari penelitian kualitatif dan

diskriptif.

f. Bukti yang berasal dari single-diskriptif atau kualitatif study

g. Bukti yang berasal dari opini dan komite ahli.

4) Melakukan penilaian (appraisal) terhadap bukti-bukti yang ditemukan

Setelah menemukan evidence atau bukti yang terbaik, sebelum di

implementasikan ke institusi atau praktek klinis, hal yang perlu kita lakukan

adalah melakukan appraisal atau penilaian terhadap evidence tersebut. Untuk

melakukan penilaian ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan diantaranya

adalah (Polit & Beck, 2013) :

a. Evidence quality adalah bagaimana kualitas bukti jurnal tersebut? (apakah

tepat atau rigorous dan reliable atau handal)

b. What is magnitude of effect? (seberapa penting dampaknya?)

c. How pricise the estimate of effect? Seberapa tepat perkiraan efeknya?

d. Apakah evidence memiliki efek samping ataukah keuntungan?

e. Seberapa banyak biaya yang perlu disiapkan untuk mengaplikasikan bukti?


f. Apakah bukti tersebut sesuai untuk situasi atau fakta yang ada di klinis?

5) Mengintegrasikan bukti dengan keahlian klinis dan pilihan pasien untuk membuat

keputusan klinis terbaik

Sesuai dengan definisi dari EBP, untuk mengimplementasikan EBP ke

dalam praktik klinis kita harus bisa mengintegrasikan bukti penelitian dengan

informasi lainnya. Informasi itu dapat berasal dari keahlian dan pengetahuan

yang kita miliki, ataukah dari pilihan dan nilai yang dimiliki oleh pasien. Selain

itu juga, menambahkan penelitian kualitatif mengenai pengalaman atau

perspektif klien bisa menjadi dasar untuk mengurangi resiko kegagalan dalam

melakukan intervensi terbaru (Polit & Beck, 2013). Setelah mempertimbangkan

beberapa hal tersebut maka langkah selanjutnya adalah menggunakan berbagai

informasi tersebut untuk membuat keputusan klinis yang tepat dan efektif untuk

pasien. Tingkat keberhasilan pelaksanaan EBP proses sangat dipengaruhi oleh

evidence yang digunakan serta tingkat kecakapan dalam melalui setiap proses

dalam EBP (Polit & Beck, 2008).

6) Evaluasi hasil dari perubahan praktek setelah penerapan EBP

Evaluasi terhadap pelaksanaan evidence based sangat perlu dilakukan untuk

mengetahui seberapa efektif evidence yang telah diterapkan, apakah perubahan

yang terjadi sudah sesuai dengan hasil yang diharapkan dan apakah evidence

tersebut berdampak pada peningkatan kualitas kesehatan pasien (Melnyk &

Fineout, 2011).
7) Menyebarluaskan hasil (disseminate outcome)

Langkah terakhir dalam evidence based practice adalah menyebarluaskan

hasil. Jika evidence yang didapatkan terbukti mampu menimbulkan perubahan

dan memberikan hasil yang positif maka hal tersebut tentu sangat perlu dan

penting untuk dibagi (Polit & Beck, 2013). Namun selain langkah-langkah yang

disebutkan diatas, menurut (Levin & Feldman, 2012) terdapat 5 langkah utama

evidence based practicedalam setting akademik yaitu Framing the question

(menyusun pertanyaan klinis), searching for evidence, appraising the evidence,

interpreting the evidence atau membandingkan antara literatur yang diperoleh

dengan nilai yang dianut pasien dan merencanakan pelaksanaan evidence

kedalam praktek, serta evaluating your application of he evidence atau

mengevaluasi sejauh mana evidence tersebut dapat menyelesaikan masalah

klinis.

B. Budaya dalam Lingkup Kerja Perawat dalam Peningkatan Patient Safety

1. Pengertian Budaya dalam Lingkup Kerja Perawat dalam Peningkatan Patient

Safety

Budaya kerja didefinisikan sebagai kebiasaan orang bekerja dalam suatu

kelompok, nilai, filosofi dan aturan-aturan dalam kelompok yang membuat mereka

bisa bekerjasama. Budaya mendorong terciptanya komitmen organisasi dan

meningkatkan konsistensi sikap karyawan (Schein, 2012). Budaya keselamatan

pasien merupakan hal yang mendasar di dalam pelaksanaan keselamatan di rumah

sakit. Rumah sakit harus menjamin penerapan keselamatan pasien pada pelayanan
kesehatan yang diberikannya kepada pasien (Fleming & Wentzel, 2010). Upaya

dalam pelaksanaan keselamatan pasien diawali dengan penerapan budaya

keselamatan pasien (KKP-RS, 2012). Hal tersebut dikarenakan berfokus pada budaya

keselamatan akan menghasilkan penerapan keselamatan pasien yang lebih baik

dibandingkan hanya berfokus pada program keselamatan pasien saja (El-Jardali,

Dimassi, Jamal, Jaafar, & Hemadeh, 2011). Budaya keselamatan pasien merupakan

pondasi dalam usaha penerapan keselamatan pasien yang merupakan prioritas utama

dalam pemberian layanan kesehatan (Disch, Dreher, Davidson, Sinioris, & Wainio,

2011; NPSA, 2009).

Pondasi keselamatan pasien yang baik akan meningkatkan mutu pelayanan

kesehatan khususnya asuhan keperawatan. Penerapan budaya keselamatan pasien

yang adekuat akan menghasilkan pelayanan keperawatan yang bermutu. Pelayanan

kesehatan yang bermutu tidak cukup dinilai dari kelengkapan teknologi, sarana

prasarana yang canggih dan petugas kesehatan yang profesional, namun juga ditinjau

dari proses dan hasil pelayanan yang diberikan (Ilyas, 2012). Rumah sakit harus bisa

memastikan penerima pelayanan kesehatan terbebas dari resiko pada proses

pemberian layanan kesehatan (Cahyono, 2008; Fleming & Wentzel, 2010). Penerapan

keselamatan pasien di rumah sakit dapat mendeteksi resiko yang akan terjadi dan

meminimalkan dampaknya terhadap pasien dan petugas kesehatan khususnya

perawat.

Penerapan keselamatan pasien diharapkan dapat memungkinkan perawat

mencegah terjadinya kesalahan kepada pasien saat pemberian layanan kesehatan di


rumah sakit. Hal tersebut dapat meningkatkan rasa aman dan nyaman pasien yang

dirawat di rumah sakit (Armellino, Griffin, & Fitzpatrick, 2010).

2. Budaya dalam Lingkup Kerja Perawat dalam Peningkatan Patient Safety

Upaya yang telah dilakukan di Indonesia antara lain terdapat pada salah satu

pedoman yang dapat dilaksanakan oleh perawat berdasarkan PERMENKES no.

1691/MENKES/PE/VIII/2011 tentang keselamatan pasien di rumah sakit.

a. Sasaran I : Mengidentifikasi Pasien dengan Tepat

Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk memperbaiki atau

meningkatkan ketelitian dalam mengidentifikasi pasien. Kesalahan dalam

mengidentifikasi pasien bisa terjadi pada pasien yang dalam keadaan yang

terbius, disorientasi, tidak sadar, bertukar tempat tidur atau kamar atau lokasi di

rumah sakit, adanya kelainan sensori, atau akibat situasi yang lain. Adapun

maksud dari sasaran ini adalah untuk melakukan dua kali pengecekan dalam

setiap kegiatan pelayanan ke pasien. Pertama untuk identifikasi pasien sebagai

individu yang akan menerima pelayanan atau pengobatan dan kedua untuk

kesesuaian pelayanan atau pengobatan terhadap individu tersebut. Kebijakan atau

prosedur yang dilakukan secara kolaboratif dikembangkan untuk memperbaiki

proses identifikasi khususnya pada proses pengidentifikasian pasien ketika

pemberian obat, darah, atau produk dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis

atau pemberian pengobatan serta tindakan lain. Kebijakan atau prosedur tersebut

memerlukan sedikitnya dua cara untuk mengidentifikasi seorang pasien seperti

nama pasien, nomor rekam medis, tanggal lahir, gelang identitas pasien dengan

bar-code, dan lainlain. Suatu proses kolaboratif digunakan untuk mengembangkan


kebijakan atau prosedur agar dapat memastikan semua kemungkinan situasi

untuk dapat diidentifikasi dengan tepat dan cepat.

Adapun peran perawat dalam peningkatan patient safety adalah :

1) Pasien yang dirawat diidentifikasi dengan menggunakan gelang identitas

sedikitnya dua identitas pasien (nama, tanggal lahir atau nomor rekam medik)

2) Pasien yang dirawat diidentifikasi dengan warna gelang yang ditentukan dengan

ketentuan biru untuk laki-laki dan merah muda untuk perempuan, merah untuk

pasien yang mengalami alergi dan kuning untuk pasien dengan risiko jatuh (risiko

jatuh telah diskoring dengan menggunakan protap penilaian skor jatuh yang

sudah ada)

3) Pasien yang dirawat diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk

darah.

4) Pasien yang dirawat diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen

lain untuk pemeriksaan klinis.

5) Pasien yang dirawat diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan

tindakan/prosedur.

b. Sasaran II: Meningkatkan Komunikasi yang Efektif

Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk meningkatkan komunikasi

yang efektif antar para pemberi layanan. Komunikasi yang dilakukan secara efektif,

akurat, tepat waktu, lengkap, jelas, dan yang mudah dipahami oleh pasien akan

mengurangi kesalahan dan dapat meningkatkan keselamatan pasien. Komunikasi

yang mudah menimbulkan kesalahan persepsi kebanyakan terjadi pada saat perintah

diberikan secara lisan atau melalui telepon. Komunikasi yang mudah terjadi
kesalahan yang lain adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis. Rumah

sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan atau prosedur untuk

perintah lisan dan telepon termasuk mencatat perintah yang lengkap atau hasil

pemeriksaan oleh penerima perintah, kemudian penerima perintah membacakan

kembali (read back) perintah atau hasil pemeriksaan dan melakukan mengkonfirmasi

bahwa apa yang sudah dituliskan dan dibaca ulang adalah akurat. Kebijakan atau

prosedur pengidentifikasian juga menjelaskan bahwa diperbolehkan tidak

melakukan pembacaan kembali (read back) bila tidak memungkinkan seperti di

kamar operasi dan situasi gawat darurat.

Adapun peran perawat dalam peningkatan patient safety adalah :

1) Melakukan kegiatan, “read back” pada saat menerima permintaan secara lisan

atau menerima intruksi lewat telepon dan pasang stiker ‟sign here‟ sebagai

pengingat dokter harus tanda tangan.

2) Menggunakan metode komunikasi yang tepat yaitu SBAR saat melaporkan

keadaan pasien kritis, melaksanakan serah terima pasien antara shift (hand off)

dan melaksanakan serah terima pasien antar ruangan dengan menggunakan

singkatan yang telah ditentukan oleh manajemen.

c. Sasaran III: Peningkatan Keamanan Obat yang Membutuhkan Perhatian

Rumah sakit perlu mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki

keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai (high-alert). Bila obat-obatan menjadi

bagian dari rencana pengobatan pasien, manajemen rumah sakit harus berperan

secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien agar terhindar dari risiko

kesalahan pemberian obat. Obat-obatan yang perlu diwaspadai (highalert


medications) adalah obat yang sering menyebabkan terjadi kesalahan serius

(sentinel event), obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak

diinginkan (adverse outcome) seperti obat-obat yang terlihat mirip dan

kedengarannya mirip. Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu

kebijakan atau prosedur untuk membuat daftar obat-obat yang perlu diwaspadai

berdasarkan data yang ada di rumah sakit tersebut. Kebijakan atau prosedur

juga dapat mengidentifikasi area mana saja yang membutuhkan elektrolit

konsentrat, seperti di IGD atau kamar operasi, serta pemberian label secara benar

pada elektrolit dan bagaimana penyimpanannya di area tersebut, sehingga

membatasi akses, untuk mencegah pemberian yang tidak sengaja/kurang hati-

hati.

Adapun peran perawat dalam peningkatan patient safety adalah :

1) Melakukan sosialisasi dan mewaspadai obat Look Like dan Sound Alike (LASA)

atau Nama Obat Rupa Mirip (NORUM)

2) Menerapkan kegiatan double check dan counter sign setiap distribusi obat dan

pemberian obat pada masing-masing instansi pelayanan.

3) Menerapkan agar Obat yang tergolong high alert berada di tempat yang aman

dan diperlakukan dengan perlakuan khusus

4) Menjalankan Prinsip delapan Benar dalam pelaksanaan pendelegasian Obat

(Benar Instruksi Medikasi, Pasien, Obat, Masa Berlaku Obat, Dosis, Waktu,

Cara, dan Dokumentasi).


d. Sasaran IV: Mengurangi Risiko Salah Lokasi, Salah Pasien dan Tindakan Operasi

Rumah sakit dapat mengembangkan suatu pendekatan untuk memastikan

pemberian pelayanan dilakukan dengan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien.

Salah lokasi, salah pasien, salah prosedur, pada operasi adalah sesuatu yang

mengkhawatirkan dan kemungkinan terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini merupakan

akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau yang tidak adekuat antara

anggota tim bedah, kurangnya melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi (site

marking), dan tidak ada prosedur untuk verifikasi lokasi operasi. Di samping

itu, pemeriksaan pasien yang tidak adekuat, penelaahan ulang catatan medis

yang kurang tepat, budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka antar

anggota tim bedah atau operasi, permasalahan yang berhubungan dengan tulisan

tangan yang tidak terbaca (illegible handwritting) dan pemakaian singkatan adalah

faktor-faktor yang dapat menyebabkan kesalahan. Rumah sakit perlu untuk secara

kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan atau prosedur yang efektif di dalam

mengeliminasi masalah yang mengkhawatirkan ini. Digunakan juga keadaan

yang berbasis bukti, seperti yang digambarkan di Surgical Safety Checklist dari

WHO Patient Safety (2009), juga di The Joint Commission’s Universal Protocol for

Preventing Wrong Site, Wrong Procedure, Wrong Person Surgery. Penandaan lokasi

operasi perlu melibatkan pasien dan dilakukan atas satu pada tanda yang dapat

dikenali. Tanda itu harus digunakan secara konsisten di rumah sakit dan harus

dibuat oleh operator yang akan melakukan tindakan, dilaksanakan saat pasien

terjaga dan sadar jika memungkinkan, dan harus terlihat sampai saat akan

disayat. Penandaan lokasi operasi dilakukan pada semua kasus termasuk sisi
(laterality), multipel struktur (jari tangan, jari kaki, lesi) atau multipel level

(bagian tulang belakang). Proses verifikasi praoperatif ditujukan untuk memverifikasi

lokasi, prosedur, dan pasien yang benar, memastikan bahwa semua dokumen, foto

(imaging), hasil pemeriksaan yang relevan tersedia dan diberi label dengan baik

serta dipampang dan melakukan verifikasi ketersediaan peralatan khusus dan/atau

implant - implant yang dibutuhkan. Tahapan “Sebelum insisi” (Time out)

memungkinkan semua pertanyaan atau kekeliruan diselesaikan dengan baik dan

tepat. Time out dilakukan di tempat dimana tindakan akan dilakukan, tepat

sebelum tindakan dimulai, dan melibatkan seluruh tim operasi. Rumah sakit

menetapkan bagaimana proses itu didokumentasikan secara ringkas, misalnya

menggunakan checklist dan sebagainya.

Adapun peran perawat dalam peningkatan patient safety adalah memberi tanda spidol

skin marker pada sisi operasi (Surgical Site Marking) yang tepat dengan cara yang

jelas dimengerti dan melibatkan pasien dalam hal ini (Informed Consent).

e. Sasaran V: Mengurangi Risiko Infeksi

Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko

infeksi yang terkait pelayanan kesehatan yang diberikan. Pencegahan dan

pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam tatanan pelayanan

kesehatan dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang berhubungan

dengan pelayanan kesehatan merupakan hal yang menjadi perhatian besar bagi

pasien maupun para profesional pelayanan kesehatan. Infeksi biasanya dijumpai

dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih,

infeksi pada aliran darah dan pneumonia. Pusat dari eliminasi infeksi ini
maupun infeksi-infeksi lain adalah kegiatan cuci tangan (hand hygiene) yang

tepat. Pedoman hand hygiene bisa dibaca di kepustakaan WHO, dan berbagai

organisasi nasional dan internasional. Rumah sakit mempunyai proses kolaboratif

untuk mengembangkan kebijakan atau prosedur yang menyesuaikan atau

mengadopsi petunjuk hand hygiene yang diterima secara umum dan untuk

implementasi petunjuk itu di rumah sakit.

Adapun peran perawat dalam peningkatan patient safety adalah :

1) Mencuci tangan sebelum dan sesudah bersentuhan dengan pasien, sebelum

melakukan tindakan, sesudah bersentuhan dengan cairan tubuh pasien, sesudah

bersentuhan dengan lingkungan pasien (five moment cuci tangan ).

2) Menggunakan Hand rub di ruang perawatan dan melakukan pelatihan cuci

tangan efektif.

3) Memberikan tanggal dengan menggunakan spidol atau tinta yang jelas setiap

melakukan prosedur invasif (infuse, dower cateter, CVC, WSD, dan lain-lain)

f. Sasaran VI: Pengurangan Risiko Pasien Jatuh

Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko

pasien dari cedera karena jatuh. Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai

penyebab cedera bagi pasien rawat inap. Dalam konteks masyarakat yang

dilayani, pelayanan yang disediakan, dan fasilitasnya rumah sakit perlu

mengevaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi

risiko cedera bila sampai jatuh. Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat dan

telaah pasien yang bermkemungkinan mengkonsumsi alkohol, gaya jalan dan

keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh pasien.


Adapun peran perawat dalam peningkatan patient safety adalah :

1) Melakukan pengkajian risiko jatuh pada pasien yang dirawat di rumah sakit.

2) Melakukan tindakan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko jatuh.

3) Memberikan tanda bila pasien berisiko jatuh dengan gelang warna kuning dan

kode jatuh yang telah ditetapkan oleh manajemen


DAFTAR PUSTAKA

Agency for Healthcare Research and Quality. 2009. Hospital Survei on Patient

Survey Culture. Agency for Healthcare Research and Quality: Page 1-5

Chase, L.K, (2010) Nurse Manager Competencies.Thesis the University of IOWA

diakses 13 Maret 2017 pada www.Proquest.com

Colla, J.B, Bracken, A.C., Kinney, L.M., &Weeks WB.2008. Measuring patient

safety climate: A review of surveys. Qual Saf Health Care. Volume 14 page

364-366

Classen, Dc, R, Resar et al (2011).Global Trigger Tools Shows That Adverse Events

in Hospital May Be Ten Times Greater than Previously Measured Health

Aff (Millwood) 30

James, J.T., (2013). Review Article A New, Evidence-based Estimate of Patient

Harms Associated with Hospital Care, Journal Patient Safety 9(3).122-128

Lia M dan Asep S. 2010. Pengembangan Budaya Patient Safety dalam Praktik

Keperawatan

Marshal P and Robson R, 2005. Preventing and management conflict: Vital pieces in

the patient safety puzzle. Healthcare Quarterly. Volume 8 page 39-44


Mc. Fadden, K.L. Henagan, S.C, and Gowen, C.R. 2009. The patient safety chain:

Transformational leadership’s effect on patient safety culture, initiatives,

outcomes.Journal of Operation Management: Page 1-15

Rachmawati. Emma.2011. Model Pengukuran Budaya Keselamatan Pasien di RS

Muhammadiyah-‘Aisyiyah.Tesis.Fakultas Ilmu Kesehatan-Universitas

Muhammadiyah Prof.Dr.Hamka: Jakarta

Schein. 2012. Lessons for patient safety reporting systems: Defining and classifying

medical error. Qual Saf Health Care.Volume 13 page 13-20

Setiowati, Dwi. 2010. Hubungan Kepemimpinan Efektif Head Nurse dengan

Penerapan Budaya Keselamatan Pasien oleh Perawat Pelaksana di RSUPN

Dr. Cipto Mangunkusomo. Tesis.Fakultas Ilmu Keperawatan-UI: Depok

Yulia, Sri. 2010. Pengaruh Pelatihan Keselamatan Pasien terhadap Pemahaman

Perawat Pelaksana mengenai Penerapan Keselamatan pasien di RS Tugu

Ibu. Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan-UI: Depok


SOAL

1. Pondasi dalam usaha penerapan keselamatan pasien yang merupakan prioritas

utama dalam pemberian layanan kesehatan akan meningkatkan mutu pelayanan

kesehatan khususnya asuhan keperawatan sehingga yang adekuat akan

menghasilkan pelayanan keperawatan yang bermutu merupakan pengertian

dari…….

a. Budaya keselamatan pasien

b. Budaya keselamatan dokter

c. Budaya keselamatan perawat

d. Budaya keselamatan bidan

e. Budaya keselamatan analis kesehatan

2. Upaya yang telah dilakukan di Indonesia antara lain terdapat pada salah satu

pedoman yang dapat dilaksanakan oleh perawat berdasarkan……

a. PERMENKES no. 1692/MENKES/PE/VIII/2011 tentang keselamatan pasien

di rumah sakit.

b. PERMENKES no. 1691/MENKES/PE/VIII/2011 tentang keselamatan

pasien di rumah sakit.

c. PERMENKES no. 1695/MENKES/PE/VIII/2011 tentang keselamatan pasien

di rumah sakit.

d. PERMENKES no. 1696/MENKES/PE/VIII/2011 tentang keselamatan pasien

di rumah sakit.
e. PERMENKES no. 1697/MENKES/PE/VIII/2011 tentang keselamatan pasien

di rumah sakit.

3. Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk memperbaiki atau

meningkatkan ketelitian dalam mengidentifikasi pasien. Kesalahan dalam

mengidentifikasi pasien bisa terjadi pada pasien yang dalam keadaan yang

terbius, disorientasi, tidak sadar, bertukar tempat tidur atau kamar atau lokasi

di rumah sakit, adanya kelainan sensori, atau akibat situasi yang lain

merupakan sasaran yaitu…

a. Sasaran I

b. Sasaran II

c. Sasaran III

d. Sasaran IV

e. Sasaran V

4. Peran perawat dalam peningkatan pasien safety dalam mengidentifikasi pasien

dengan tepat kecuali …..

a. Pasien yang dirawat diidentifikasi dengan menggunakan gelang identitas

sedikitnya dua identitas pasien (nama, tanggal lahir atau nomor rekam

medik)

b. Pasien yang dirawat diidentifikasi dengan warna gelang yang ditentukan

dengan ketentuan biru untuk laki-laki dan merah muda untuk perempuan,

merah untuk pasien yang mengalami alergi dan kuning untuk pasien dengan

risiko jatuh (risiko jatuh telah diskoring dengan menggunakan protap

penilaian skor jatuh yang sudah ada)


c. Pasien yang dirawat diidentifikasi setelah pemberian obat, darah, atau

produk darah.

d. Pasien yang dirawat diidentifikasi sebelum mengambil darah dan

spesimen lain untuk pemeriksaan klinis.

e. Pasien yang dirawat diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan

tindakan/prosedur.

5. Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk meningkatkan komunikasi

yang efektif antar para pemberi layanan. Komunikasi yang dilakukan secara

efektif, akurat , tepat waktu, lengkap, jelas, dan yang mudah dipahami oleh

pasien akan mengurangi kesalahan dan dapat meningkatkan keselamatan pasien

merupakan sasaran….

a. Mengidentifikasi pasien dengan tepat

b. Meningkatkan komunikasi yang efektif

c. Peningkatan Keamanan Obat yang Membutuhkan Perhatian

d. Mengurangi Risiko Salah Lokasi, Salah Pasien dan Tindakan Operasi

e. Mengurangi Risiko Infeksi

6. Menggunakan metode komunikasi yang tepat yaitu SBAR saat melaporkan

keadaan pasien kritis, melaksanakan serah terima pasien antara shift (hand off)

dan melaksanakan serah terima pasien antar ruangan dengan menggunakan

singkatan yang telah ditentukan oleh manajemen merupakan sasaran….

a. Sasaran I

b. Sasaran II

c. Sasaran III
d. Sasaran IV

e. Sasaran V

7. Menjalankan Prinsip delapan Benar dalam pelaksanaan pendelegasian Obat

(Benar Instruksi Medikasi, Pasien, Obat, Masa Berlaku Obat, Dosis, Waktu,

Cara, dan Dokumentasi) merupakan sasaran….

a. Sasaran I

b. Sasaran II

c. Sasaran III

d. Sasaran IV

e. Sasaran V

8. Obat-obatan yang perlu diwaspadai (highalert medications) adalah obat yang

sering menyebabkan terjadi kesalahan serius (sentinel event), obat yang

berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse

outcome) seperti obat-obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip

nerupakan salah satu peningkatan patient safety di bidang ….

a. Mengidentifikasi pasien dengan tepat

b. Meningkatkan komunikasi yang efektif

c. Peningkatan Keamanan Obat yang Membutuhkan Perhatian

d. Mengurangi Risiko Salah Lokasi, Salah Pasien dan Tindakan Operasi

e. Mengurangi Risiko Infeksi

9. Salah lokasi, salah pasien, salah prosedur, pada operasi adalah sesuatu yang

menkhawatirkan dan kemungkinan terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini

merupakan akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau yang tidak
adekuat antara anggota tim bedah, kurangnya melibatkan pasien di dalam

penandaan lokasi (site marking), dan tidak ada prosedur untuk verifikasi

lokasi operasi merupakan sasaran….

a. Mengidentifikasi pasien dengan tepat

b. Meningkatkan komunikasi yang efektif

c. Peningkatan Keamanan Obat yang Membutuhkan Perhatian

d. Mengurangi Risiko Salah Lokasi, Salah Pasien dan Tindakan Operasi

e. Mengurangi Risiko Infeksi

10. Memberi tanda spidol skin marker pada sisi operasi (Surgical Site Marking) yang

tepat dengan cara yang jelas dimengerti dan melibatkan pasien dalam hal ini

(Informed Consent) merupakan peningkatan patient safety….

a. Sasaran I

b. Sasaran II

c. Sasaran III

d. Sasaran IV

e. Sasaran V

11. Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko

infeksi yang terkait pelayanan kesehatan yang diberikan. Pencegahan dan

pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam tatanan pelayanan

kesehatan dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang berhubungan

dengan pelayanan kesehatan merupakan hal yang menjadi perhatian besar bagi

pasien maupun para profesional pelayanan kesehatan merupakan sasaran yang

kelima yaitu…
a. Mengidentifikasi pasien dengan tepat

b. Meningkatkan komunikasi yang efektif

c. Peningkatan Keamanan Obat yang Membutuhkan Perhatian

d. Mengurangi Risiko Salah Lokasi, Salah Pasien dan Tindakan Operasi

e. Mengurangi Risiko Infeksi

12. Melakukan pengkajian risiko jatuh pada pasien yang dirawat di rumah sakit,

Melakukan tindakan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko jatuh,

Memberikan tanda bila pasien berisiko jatuh dengan gelang warna kuning dan

kode jatuh yang telah ditetapkan oleh manajemen merupakan peningkatan patient

safety yaitu….

a. Mengidentifikasi pasien dengan tepat

b. Meningkatkan komunikasi yang efektif

c. Peningkatan Keamanan Obat yang Membutuhkan Perhatian

d. Mengurangi Risiko Salah Lokasi, Salah Pasien dan Tindakan Operasi

e. Pengurangan risiko pasien jatuh

13. Evidance based practice (EBP) adalah….

a. Sebuah proses yang akan membantu tenaga kesehatan agar mampu

uptodate atau cara agar mampu memperoleh informasi terbaru yang

dapat menjadi bahan untuk membuat keputusan klinis yang efektif dan

efisien sehingga dapat memberikan perawatan terbaik kepada pasien

b. Kebiasaan orang bekerja dalam suatu kelompok, nilai, filosofi dan aturan-

aturan dalam kelompok yang membuat mereka bisa bekerjasama.

c. komitmen organisasi dan meningkatkan konsistensi sikap karyawan


d. Semangat untuk melakukan penyelidikan yaitu sikap kritis untuk selalu

bertanya terhadap fenomenafenomena serta kejadian-kejadian yang terjadi

saat praktek dilakukan oleh seorang klinisi atau petugas kesehatan dalam

melakukan perawatan kepada pasien

e. Ringkasan dari banyak penelitian

14. Dalam komponen kunci EBP yang merupakan hasil dari insiatif praktek seperti

manajemen hasil dan proyek perbaikan kualitas yaitu….

a. IOWA model

b. Internal evidence

c. Eksternal evidence

d. Settler model

e. ACE star model

15. Dalam memindahkan evidence kedalam praktek guna meningkatkan kualitas

kesehatan dan keselamatan (patient safety) dibutuhkan langkah-langkah yang

sistematis dan berbagai model EBP dapat membantu perawat atau tenaga

kesehatan lainnya dalam mengembangkan konsep melalui pendekatan yang

sistematis dan jelas. Model yang dapat dijadikan landasan dalam menerapkan

EBP yang sering digunakan yaitu…..

a. ACE STAR model

b. Stetler model

c. john hopkinsevidence-based practice model

d. IOWA model

e. Eksternal evidence
16. IOWA model dalam EBP digunakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan

kesehatan, digunakan dalam berbagai akademik dan setting klinis. Ciri khas dari

model ini adalah….

a. Adanya konsep “tringgers”

b. Timbulnya masalah

c. Menggunakan pico approach

d. Transformasi pengetahuan

e. Menyusun masalah berdasarkan data internal

17. IOWA model memiliki ciri khas yaitu adanya konsep “triggers” dalam

pelaksanaan EBP. Triggers merupakan….

a. Pengetahuan terkait dengan kebijakan institusi atau organisasi

b. Topik prioritas organisasi

c. Masalah klinis ataupun informasi yang berasal dari luar organisasi

d. Pengetahuan berdasarkan research

e. Berorientasi pada perubahan formal tetapi pada perubahan oleh individu

perawat

18. Faktor-faktor yang akan mendukung penerapan evidence based practice oleh

mahasiswa keperawatan diantaranya, kecuali….

a. Intention (niat)

b. Pengetahuan

c. Sikap

d. Perilaku mahasiswa keperawatan

e. Masalah
19. Salah satu langkah dalam evidence based practice yaitu, kecuali….

a. Menumbuhkan semangat penyelidikan (inquiry).

b. Mengajukan pertanyaan PICO(T) question.

c. Mencari bukti-bukti terbaik

d. Menentukan pokok masalah

e. Mengintegrasikan bukti dengan keahlian klinis dan pilihan pasien untuk

membuat keputusan klinis terbaik

20. Setelah menumbuhkan semangat penyelidikan langkah selanjutnya yang

dilakukan adalah….

a. Mencari bukti-bukti terbaik

b. Mengajukan pertanyaan PICO(T) question.

c. Mengintegrasikan bukti dengan keahlian klinis dan pilihan pasien untuk

membuat keputusan klinis terbaik

d. Evaluasi hasil dari perubahan praktek setelah penerapan EBP

e. Menyebarluaskan hasil (disseminate outcome)

21. Membuat pertanyaan klinis dengan menggunakan format PICOT yaitu P (Patient

atau populasi), I (Intervention atau tindakan atau pokok persoalan yang menarik),

C (Comparison intervention atau intervensi yang dibandidngkan), O (Outcome

atau hasil) serta T (Time frame atau kerangka waktu). Dalam membentuk

pertanyaan sesuai PICOT adalah pada Mahasiswa keperawatan merupakan….

a. Populasi

b. Intervention

c. Outcome
d. Time

e. Output

22. Dalam mencari bukti-bukti terbaik. Tingkatan penelitian yang bisa dijadikan

evidence atau bukti terbaik adalah meta analysis dan systematic riview. Dimana

systematic riview adalah….

a. ringkasan dari banyak penelitian yang menampilkan dampak dari intervensi

dari berbagai studi

b. hasil yang ingin dicari dapat berupa kualitas hidup, patient safety,

menurunkan biaya ataupun meningkatkan kepuasan pasien

c. Ringkasan hasil dari banyak penelitian yang memakai metode

kuantitatif.

d. intervensi pembanding bisa dalam bentuk terapi, faktor resiko, placebo

ataupun non intervensi.

e. Sebuah proses yang akan membantu tenaga kesehatan agar mampu uptodate

atau cara agar mampu memperoleh informasi terbaru

23. Langkah terakhir dalam proses EBP adalah….

a. Menumbuhkan semangat penyelidikan (inquiry).

b. Mengajukan pertanyaan PICO(T) question.

c. Mencari bukti-bukti terbaik

d. Menyebarluaskan hasil (disseminate outcome)

e. Evaluasi hasil dari perubahan praktek setelah penerapan EBP

24. Untuk melakukan penilaian ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan salah

satunya adalah….
a. Evidence quality adalah bagaimana kualitas bukti jurnal tersebut?

(apakah tepat atau rigorous dan reliable atau handal)

b. Apakah evidence memiliki efek samping ataukah keuntungan?

c. Seberapa banyak biaya yang perlu disiapkan untuk mengaplikasikan bukti?

d. Apakah bukti tersebut sesuai untuk situasi atau fakta yang ada di klinis?

e. Apaka semangat penilai tinggi?

25. Hal yang sangat perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa efektif evidence

yang telah diterapkan, apakah perubahan yang terjadi sudah sesuai dengan hasil

yang diharapkan dan apakah evidence tersebut berdampak pada peningkatan

kualitas kesehatan pasien, yaitu….

a. Menumbuhkan semangat penyelidikan (inquiry).

b. Mengajukan pertanyaan PICO(T) question.

c. Mencari bukti-bukti terbaik

d. Evaluasi hasil dari perubahan praktek setelah penerapan EBP

a. Menyebarluaskan hasil (disseminate outcome)

Anda mungkin juga menyukai