Anda di halaman 1dari 9

Sabtu, 24 November 2012

SEKILAS PALESTINA DAN HAMAS (Dicopy dari Skripsi Pribadi yang


Ditulis Tahun 2004-2005)

A. Demografi Palestina
Kanaan, nama lain Palestina, terletak di ujung Timur Laut Mediterania dan sebelah
Barat Asia. Daerah ini adalah wilayah strategis yang menghubungkan Asia dan Afrika, dua
daerah Muslim dunia. Luas wilayahnya sekitar 20.323 km2, berbatasan dengan Lebanon di
sebelah Utara, Syiria dan Yordania di Timur, dan selatan dengan Mesir (Gayo, 1993: 13).
Pada masa Islam, Palestina adalah bagian (semacam distrik) dari Negeri Syam yang
terletak di bagian Barat Daya. Bagian Palestina membentang dari Sinai Mesir sampai kota Al-
Lajjun, 18 km sebelah utara Jenin (Saleh, 2001: 8). Batas-batas wilayah Palestina selalu
mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Namun, Palestina tetap merupakan bagian
integral dari Negeri Syam dan Ummah secara luas (Saleh, 2001: 9).
Ahmad Syalabi mengutip Charles Foster Kent dalam A Hstory of Hebrew People
mengatakan, bahwa penghuni awal Palestina adalah bangsa Phoenik (3000SM) yang disusul
bangsa Kanaan (Husaini, 2004: 22). Palestina awalnya dikenal dengan nama Negeri Kanaan.
Nama ini diambil dari nama bangsa Kanaan yang bermigrasi dari Arab ke daerah itu sekitar
2500 SM (Saleh, 2001: 8).
Nama ‘Negeri Kanaan’ kemudian berubah menjadi Palestina setelah masuknya
bangsa laut Filistin dari Pulau Creta pada tahun 1200 SM (Husaini, 2004: 22). Dari hasil
percampuran bangsa Kanaan dengan bangsa Filistin ini lah kemudian lahir generasi baru
darah Arab yang menggunakan dialek Semit (Husaini, 2004: 22).
Jumlah penduduk Palestina tidak memiliki angka pasti. Hal ini disebabkan tidak
pernah dilakukan sensus menyeluruh juga gelombang pengungsi dan migrasi yang terus
berlangsung sejak Zionisme Yahudi memasuki Palestina. Perubahan jumlah penduduk dan
perbandingan antara Arab-Palestina dengan Yahudi tidak terdata. Catatan-catatan yang ada
hanya bersifat perkiraan atau parsial pada beberapa wilayah saja, terutama Tepi Barat dan
Jalur Gaza. Beberapa catatatan misalnya menyebutkan penduduk Tepi Barat berkisar 1,2 juta
sampai 1,5 juta jiwa, sedang Jalur Gaza antara 800.000 sampai satu juta jiwa dengan tingkat
pertumbuhan 7,3% dan pengangguran 40% (Rahman, 2002: 215-216). Perkiraan jumlah
penduduk Palestina secara keseluruhan misalnya sampai tahun 1989, ada 4.477.000 jiwa
penghuni Palestina, dan hanya tinggal 600.000 (13%) warga Arab Palestina (Gayo, 1993: 13).
Jumlah ini berbeda jauh dari jumlah sebelum merebaknya Zionisme tahun 1897, 95%
penduduk Palestina adalah Arab-Palestina. Imigrasi besar-besaran yang bersamaan dengan
pengusiran dan pembantaian atas warga Arab-Palestina, telah berhasil menaikkan jumlah
Yahudi di Palestina secara drastis. Pada saat Perang Dunia I, Yahudi hanya memiliki 47
rumah di Palestina, hingga pada Mei 1949 saja telah ada 1.947 rumah (meningkat 40 kali
lipat) (COMES, 2001: 133-138).
Penghasilan utama Palestina adalah sektor pertanian dan pariwisata. Palestina dikenal
sebagai wilayah yang kaya dengan kota-kota bersejarah dunia terutama bagi agama-agama
samawi, hingga banyak dikunjungi. Mayoritas penduduk asli Palestina adalah Muslim,
selebihnya Kristen Ortodoks, Katolik Roma dan Armenia.
B. Palestina Sebagai Pusat Keagamaan
Sejarah Palestina adalah sejarah para Nabi. Kebanyakan Nabi dilahirkan di negeri ini,
atau setidaknya memiliki sejarah yang terkait dengan ajaran yang dibawanya. Ibrahim, Nabi
yang dikenal sebagai Nabi yang gigih menyampaikan ajaran tauhid dan mendapat julukan
‘ayah para Nabi’, dilahirkan di negeri ini dengan nama kecil Abram (Abraham). Al-Quran
menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim, Lut, Ismail, Ishaq, Ya’qub, Yusuf, Daud, Sulaiman, Salih,
Zakaria, Yahya dan Isa tinggal di Palestina (Saleh, 2001: 10).
Ibrahim kemudian dikaruniai dua orang putra dari dua orang isterinya. Putra
pertamanya lahir dari isteri kedua, Hajar, yang diberi nama Ismail. Sedang putera keduanya
lahir dari isteri pertama, Sarah, dan diberi nama Ishaq. Ismail dan Hajar kemudian menetap di
Arab Saudi dan menjadi penjaga ka’bah yang dibangun Ismail bersama Ibrahim. Sedangkan
Ishaq menetap di Palestina. Kedua anak Ibrahim ini kemudian menjadi Nabi, Ismail di Arab,
sedangkan Ishaq di Palestina. Dari keturunan Ismail lah lahir Muhammad SAW. Adapun
Ishaq, kemudian memiliki dua putra yang bernama Esau dan Ya’kub (Gayo, 1993: 9).
Lukman H. Gayo menuliskan bahwa Ya’kub kemudian digelari Isra’ karena berjalan
pada malam hari. Keturunan Ya’kub kemudian dikenal dengan Bani Israel. Pada masa
selanjutnya, Ya’kub dan anak-anaknya tinggal di Mesir ketika Yusuf –salah satu putra
Ya’kub yang juga menjadi Nabi- menjabat sebagai pejabat penting di kerajaan Firaun. Di
Mesir ini lah keturunan Bani Israel berkembang (Gayo, 1993: 9-10).
Pada masa selanjutnya, Fir`aun menindas Bani Israel, dengan adanya ramalan kejatuhan
kekuasaannya oleh Bani Israel. Bersama Bani Israel sekitar tahun 1176 SM (Gayo, 1993: 9-
10), Nabi Musa meninggalkan Mesir menuju Palestina dan Nabi Musa wafat sebelum
memasuki Palestina. Peristiwa perjalanan Nabi Musa dengan Bani Israel ini dalam Al-Quran
diceritakan dalam surat Thaha ayat 77-86, dimana kemudian Bani Israel berkhianat terhadap
perjanjian dengan Nabi Musa hingga mereka terlunta-lunta di Sinai selama 40 tahun.
Perjalanan Bani Israel menuju Palestina dilanjutkan di bawah kepemimpinan Nabi Usha
(Joshua) pada tahun 1190 SM (saleh, 2001: 12) atau 1136 SM (Gayo, 1993: 20). Dengan
demikian, ketika Bani Israel (Yahudi) memasuki tanah Palestina, di sana telah berdiam sejak
lama orang Arab-Palestina. Sejarah para Nabi di Palestina kemudian dilanjutkan oleh Nabi
Daud sekitar tahun 1000 SM (Gayo, 1993: 13), yang berhasil membangun sebuah kerajaan
berpusat di Jerussalem dengan ajaran tauhid yang dibawanya. Kejayaan Daud kemudian
dilanjutkan oleh puteranya Sulaiman, yang membawa Bani Israel pada masa kejayaan (963-
923 SM).
Setelah wafatnya Sulaiman, kerajaan Yahudi terpecah dan mulai melakukan
penyimpangan-penyimpangan dari ajaran tauhid. Kerajaan Sulaiman terpecah menjadi dua
yaitu kerajaan Judah di bawah Rehoboam (suku Judah dan Benyamin) dan kerajaan Israel di
bawah Jeroboam (10 suku lainnya dari Bani Israel) (Maulani, 2002: 2). Sejak terpecah dan
mulai meninggalkan sendi keimanannya, bangsa Yahudi berulang kali mengalami
penghancuran karena watak keras kepalanya yang selalu sombong dan memberontak.
Kerajaan Judah kemudian dihancurkan Babilonia, sedang kerajaan Israel dihancurkan
Asysyiria hingga rakyatnya bersebaran dan lenyap dari sejarah, dikenang dengan sebutan
“Sepuluh Bani Israel yang Hilang” (Maulani, 2002: 3-4).
Bangsa Yahudi terus berusaha bangkit dan secara berulang mengalami jatuh bangun,
hingga lahirnya Nabi Isa di tanah Palestin yang membawa agama Nasrani. Nabi Isa mengajak
rakyat Palestina –termasuk sisa-sisa bangsa Yahudi- untuk kembali pada ajaran tauhid.
Palestina ditaklukkkan Islam pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab,
sekitar tahun 15 H/636 M (Saleh, 2001: 15). Tujuan Islam menaklukkan Palestina adalah
untuk membebaskan rakyat dari penindasan Byzantium yang juga penganut Kristen,
karenanya ‘penaklukkan’ Islam atas Palestina lebih tepat disebut ‘pembebasan’
(www.isnet.ogr/arvhive-milis/archive97/apr97/0170.html). Setelah pembebasan, khalifah
memutuskan (setelah musyawarah) bahwa tanah Palestina tetap diberikan pada rakyatnya
untuk dikelola. Sementara penguasanya adalah wakaf Islam untuk seluruh generasi Islam.
Umar bin Khattab mengikat perjanjian dengan Soprenius, pendeta Kristen di Jerussalem:
“Bismillahirrahmanirrahim. Inilah perdamaian yang diberikan oleh Umar hamba Allah,
Umar, kepala pemerintah Islam, kepada penduduk Illiya (Jerussalem). Dia menjamin
keamanan, harta benda, gereja-gereja dan salib-salibnya. Dia menjaga yang sakit maupun
yang sehat dan semua aliran agamanya. Tidak boleh memaksa mereka meninggalkan
agamanya dan tak boleh saling mengganggu … tak boleh bagi penduduk Illiya untuk
memberi tempat pada orang Yahudi ….” (Sabili No. 5 Tahun VIII 23 Agustus 2000 hlm. 54).

Dari perjanjian ini terdapat sebuah pernyataan menarik, bahwa sejak pembebasan
Islam atas Palestina, bangsa Yahudi dilarang tinggal di Illiya (Jerussalem). Hal ini bukan
berarti Islam anti Yahudi, namun karena permintaan orang Kristen Jerussalem demikian,
sehingga perjanjian di atas pun hanya berlaku di Jerussalem, tidak untuk daerah lain di
Palestina (www.isnet.ogr). Sejak pembebasan ini pula, Palestina berubah ke dalam karakter
Islam, penduduknya secara penuh terwarnai Arab dan Islam (Saleh, 2001: 15).
Kekuasaan Islam di Palestina kemudian dikalahkan oleh pasukan Kristen dalam masa-
masa awal Perang Salib. Kekuasaan ini bertahan sekitar 88 tahun (1099-1187), hingga
Palestina kembali dalam kekuasaan Islam melalui kemenangan yang dikomandani oleh
Salahuddin Al-Ayyubi.
C. Palestina di Bawah Khilafah Turki Utsmani
Sebelum Perang Dunia I, Palestina sejak emapt abad lalu mutlak dikuasai ke-
Khilafahan Turki Utsmani yang berpusat di Turki. Di bawah kekuasaan Turki Utsmani,
konsepsi tentang Palestina adalah sebuah wilayah yang hak miliknya dipegang oleh umat
Islam, seperti yang diamanatkan Khalifah Umar bin Khattab saat pertama kali Islam
membebaskannya.
Pada masa pemerintahan Turki Utsmani ini lah gerakan Zionisme tumbuh dan
berkembang (awal abad 19). Sementara itu, nasionalisme Arab pun mulai meningkat
bersamaan dengan berkembangnya pemikiran-pemikiran pembaharuan Islam terutama di
akhir abad 19, dengan tokoh-tokoh seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Rasyid
Ridho, Muhammad Abduh dan lainnya.
Pada masa Khalifah Sultan Hamid II, orang-orang Yahudi berusaha untuk meminta izin
tinggal di Palestina. Dalam buku “Zionisme; Gerakan Menaklukkan Dunia”, Z.A. Maulani
(Maulani, 2002: 17-18) menuliskan bahwa pada tahun 1896, Theodore Herzl –bapak
Zionisme- berkunjung ke Istambul untuk minta hibah tanah di Palestina dengan imbalan
bantuan keuangan pada kesultanan. Sekembalinya dari istambul, bahkan Herzl menulis surat
untuk minta izin pada Sultan untuk mendeportasikan penduduk asli. Permintaan ini dijawab
oleh Sultan: “jangan lagi membicarakan soal ini. Saya tidak dapat menyisihkan sejengkal
tanah pun, karena tanah itu bukan milik saya, tetapi milik rakyat. Rakyat saya berjuang untuk
mendapatkan tanah itu dan menyuburkannya dengan darah mereka …”
Pada tahun-tahun menjelang berlangsungnya Konferensi Zionisme Internasional (29-31
Agustus 1897), Arab-Palestina adalah penguasa mutlak tanah Palestina (seluas 99% wilayah)
dengan jumlah penduduk 95% (Maulani, 2002; 19). Pada tahun 1899, Youssuf Zia Khalidi –
walikota Yerussalem- telah memperingatkan Yahudi melalui surat kepada Herzl tentang
penolakan Palestina atas tuntutan Zionisme (Maulani, 2002; 19-20). Namun demikian,
Zionisme tetap berlangsung dengan migrasi yang terus menerus.
Jalan Yahudi menuju Palestina terbuka luas dengan dikeluarkannya Deklarasi Balfour,
tanggal 2 November 1917 yang menjanjikan ‘tanah air bagi bangsa Yahudi’. Kalau Deklarasi
Balfour baru sebatas menjanjikan tanah air bagi yahudi, maka Konferensi Perdamaian di
Versailles tahun 1919 telah memberikan gambaran batas wilayah Negara Israel. Dalam
Konferensi itu, ditetapkan wilayah Israel meliputi Shaida (Libanon), Damsyik (Suriah),
Amman (Yordania), Aqaba san Al-Arish di Mesir (Maulani, 2002; 33). Pemimpin Arab-
Palestina yang terakhir memimpin Jerussalem adalah Amin Husseini yang memerintah sejak
1921, namun sejarahnya menentang Zionisme telah dimulai tahun 1913 saat berusia 13 tahun.
D. Palestina di Bawah Pendudukan Inggris
Inggris resmi menjadi penguasa atas tanah Palestina melalui mandat dari Liga
Bangsa-Bangsa pada 22 Juli 1922. Setelah resmi menjadi mandataris palestina, Inggris
menghadiahkan sebagian wilayah Palestina (Tepi Barat dan Jerussalem) untuk Trans-
Yordania. Dengan demikian, wilayah negara Israel yang akan didirikan memilki wilayah
yang jauh lebih kecil dari Konferensi Versailles.
Keputusan ini membawa kekecewaan yang dalam bagi Yahudi. Maka Yahudi mulai
menyerang kepentingan Inggris hingga mendeklarasikan negara Israel pada 14 Mei 1948.
Bagi Yahudi sendiri, batas wilayah Israel Tak terbatas. Chaim Weizmann, Presiden pertama
Israel mengatakan “ Luas negara Israel tidak ditentukan. Luasnya akan disesuaikan dengan
kebutuhan dan jumlah penduduknya” (Maulani, 2002; 34). Pernyataan ini sekaligus
menegaskan watak imperialisme dan teorisme Yahudi. Artinya, Yahudi akan terus menambah
wilayahnya jika dibutuhkan, yang otomatis akan bersinggungan dengan wilayah negara-
negara lain, dan hal ini akan dilakukan dengan cara apa saja.
Selama Palestina di bawah mandataris Inggris, gerakan Zionisme semakin gencar
memasuki Palestina. Perlawanan dari rakyat Palestina terus berlangsung hingga terjadi
berbagai peperangan sebelum 1948. Salah satu gerakan perlawanan yang terkenal adalah
gerakan pimpinan Izzuddin Al-Qassam yang mempelopori revolusi tahun 1936-1939 (Saleh;
2001: 37).
Perang Arab-Israel pertama terjadi tahun 1948 yang melibatkan sebagian besar negara
Arab dengan kesiapan yang relatif minim, bahkan terkesan setengah hati. Kekalahan Arab
dalam perang ini berakhir dengan deklarasi Negara Israel. Raja Abdullah (Yordania)
mengatakan:
“Kemudian ada simulasi militer Arab di dalam perang 1948 di Palestina; keputusan yang
terburu-buru untuk mengirim bala tentara yang hanya berlandaskan kebulatan tekad para
pemimpin ini saja tidak cukup; kepemimpinan yang tanpa persatuan untuk bicara …”
(COMES, 2001: 97).

Pada Mei 1967, kembali pecah perang Arab-Israel yang berlangsung selama enam
hari. Perang dimulai dengan dilancarkannya serangan udara besar-besaran oleh Israel
terhadap Mesir jam 8.05 senin pagi, 5 Mei 1967. Pada perang yang berlangsung enam hari
ini, Israel berhasil mencaplok wilayah Tepi Barat, Jalur Gaza, Gurun Sinai Mesir dan Dataran
Tinggi Golan (Saleh, 2001:55). Negara-negara Arab mengalami kekalahan telak. Kekalahan
ini dikemudian hari menjadi titik balik perlawanan Arab atas Yahudi Israel. Pencaplokan
wilayah Mesir pada perang 1967 ini menjadi salah satu alasan Mesir kemudian
menandatangani perjanjian Camp David yang mengejutkan dunia Arab.
E. Gerakan Perlawanan Islam Palestina
Gerakan Islam di Palestina sudah mulai tumbuh pada awal abad 20. Gerakan-gerakan
Islam ini secara umum menjadi motor perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan asing
atas tanah Palestina, terutama upaya masuknya Zionisme. Perkembangan Gerakan Islam
kemudian semakin meningkat setelah Perang Arab-Israel tahun 1948, dengan pengaruh
paling besar dari relawan perang Ikhwanul Muslimin. Gerakan Islam semakin popular bagi
rakyat Palestina dan menjadi wadah peningkatan pemahaman ke-Islaman dan perjuangan
kemerdekaan. Pada masa ini, gerakan-gerakan rakyat Palestina mendapat dukungan besar
dari Timur Tengah.
Sementara Timur Tengah kemudian mengalami berbagai perubahan politik pasca
Camp David. Gerakan Perlawanan Islam Palestina terus bergerak membangkitkan semangat
ke-Islaman dan perlawanan rakyat. Puncaknya, meletus lah Intifadhah I tahun 1987.
Beberapa Gerakan Islam di Palestina pasca-pendudukan antara lain Jihad Islam, Hizbullah
Palestina, Front Islam bagi Pembebasan Palestina, Brigade Al-Aqsha dan lainnya.
F. Gerakan HAMAS
Kemunculan HAMAS yang ditandai dengan Intifadhah I, telah memberikan semangat
baru bagi perjuangan pembebasan Palestina. HAMAS menjadi salah satu kekuatan yang
sangat diperhitungkan baik oleh PLO, Israel maupun pihak-pihak yang menjadi mediator
perdamaian. Perjanjian Oslo, tawaran Peta Jalan Damai dan lainnya, selalu menyaratkan
penghentian Intifadhah dan menyatakan HAMAS sebagai teroris yang harus dihancurkan,
sebagai prasyarat terciptanya perdamaian. Sementara itu, HAMAS sendiri memiliki
pandangan sendiri tentang konflik Israel-Palestina dan solusinya.
Berdirinya HAMAS berawal dari berdirinya Ikhwanul Muslimin cabang Palestina.
Ikhwanul Muslimin menaruh perhatian sangat besar terhadap permasalahan dunia Islam
secara keseluruhan, terutama masalah Palestina dan Zionisme. Menyikapi perkembangan
Zionisme, Ikhwanul Muslimin pernah melaksanakan konferensi tentang bahaya Yahudi pada
tanggal 7 Oktober 1938 di Mesir dan tanggal 17 Oktober 1947 di Palestina.
Pada Perang Arab-Israel tahun 1948, Ikhwanul Muslimin juga mengirimkan sepuluh
ribu relawan ke Palestina yang sebagiannya kemudian menetap di Palestina dan menjadi
penggagas HAMAS (Mia, 2002: 26). Peristiwa pengiriman pasukan ini kemudian menjadi
bumerang bagi Ikhwanul Muslimin. Pemerintah Mesir di bawah Raja Faruq memerintahkan
Ikhwan menarik pasukannya, kemudian membekukan Ikhwanul Muslimin dan melakukan
penangkapan besar-besaran terhadap tokoh-tokohnya sejak 18 November 1948. Puncaknya,
pendiri Ikhwanul Muslimin, Hasan Al-Banna. Syahid terbunuh tanggal 12 Februari 1949.
Pemikiran Ikhwanul Muslimin kemudian menyebar luas di Palestina. Selain relawan-
relawan perang yang dikirim Ikhwanul Muslimin Mesir, muncul tokoh-tokoh baru Ikhwanul
Muslimin dari penduduk asli Palestina. Kemudian berdirilah Ikhwanul Muslimin cabang
Palestina –yang melaksanakan kegiatan-kegiatan dakwah sesuai dengan manhaj IM di
palestina- dengan pimpinannya Ahmad Yassin.
Pada masa menjelang meletusnya Intifadhah I, Ikhwanul Muslimin Palestina -walaupun nama
ini kurang polpuler- aktif melakukan aktifitas-aktifitas sosial kemasyarakatan dan dalam
kadar terbatas melancarkan protes-protes terhadap penguasa melaui selebaran-selebaran dan
tulisan. Aktifitas-aktifitas ini dilakukan dengan menggunakan berbagai nama, sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan. Di antara nama yang paling sering digunakan adalah Islamic
Resistance Movement (IRM) (Mia, 2002: 27).
Cikal bakal HAMAS sebagai gerakan telah tumbuh lama melalui tahapan-tahapan yang
terus berkembang. Kebijakan pemerintah Inggris (1920-an) yang membolehkan aktifitas
gerakan sosial keagamaan bagi organisasi rakyat Palestina, telah dimanfaatkan secara optimal
oleh HAMAS untuk menyiapkan basis pergerakan.
HAMAS adalah singkatan dari Harakah Al-Muqawwamah Al-Islamiyyah yang berarti
Gerakan Perlawanan Islam atau dalam bahasa Inggris Islamic Resistance Movement. Nama
HAMAS muncul pertama kali secara resmi dalam Komunike (pernyataan) pertama tanggal
15 Desember 1987 yang menyatakan bahwa HAMAS bertanggung jawab atas demonstrasi-
demonstrasi terhadap insiden Kamp Jabalia yang menewaskan 4 orang penduduk
(www.palestine-info.com). Aksi protes berlangsung setelah pemakaman korban oleh sekitar
lima ribu orang (Faozi, 1996: 36). Demonstrasi kemudian berkembang menjadi aksi lempar
batu terhadap tentara Israel yang dikirim untuk menghentikan aksi. Aksi berlanjut keesokan
harinya dengan massa sebanyak 30.000 orang (Faozi, 1996: 37). Pada peristiwa ini, banyak
rakyat Palestina terluka dan satu orang pemuda berusia 20 tahun meninggal dunia (Mia,
2002: 28). Peristiwa Kamp Jabalia ini (tanggal 8 Desember 1987) menjadi awal meletusnya
Intifadhah I.
Setelah memperkenalkan diri sebagai sebuah Gerakan, pada tanggal 1 Muharram
1409 H bertepatan 18 Agustus 1988 (hampir setahun setelah Komunike pertama), HAMAS
mengeluarkan Piagam Harakah Al-Muqawwamah Al-Islamiyyah (Piagam HAMAS). Piagam
ini terdiri dari Pendahuluan, Isi yang terdiri lima bab dengan 35 pasal, dan satu pasal
penutup. Piagam ini berisi gambaran tentang apa dan bagaimana HAMAS sebenarnya.
Deklarasi nama ini sekaligus menandai fase baru perjuangan HAMAS, menuju konflik
terbuka. Sejak Komunike pertamanya, HAMAS terus aktif merespon perkembangan konflik
Israel-palestina dengan cara yang dipilihnya sendiri.
Tokoh-Tokoh HAMAS
Tokoh-tokoh pendiri maupun pemimpin HAMAS adalah orang-orang yang dikenal
sebagai orang-orang yang memiliki komitmen tinggi dalam menjalankan agama dan memiliki
kepedulian terhadap masalah sosial kemasyarakatan. Beberapa tokoh kunci HAMAS antara
lain: Ahmad Yassin, Abdul Aziz Ranteesi, Yahya Ayyasy, Khalid Misy’al, Mousa Abu
Marzuq, Imad Aqil, Ibrahim Ghousyah, Sholah Syahadah dan lainnya.
Generasi awalnya adalah orang-orang yang telah banyak terlibat dalam berbagai
oragnisasi dan kegiatan dakwah, khususnya dalam bidang pembinaan di masjid-masjid dan
lembaga pendidikan terutama perguruan tinggi. Dari hasil pembinaan ini lah lahir kader-
kader HAMAS yang sebagian besar dari kalangan akademisi, dengan berbagai disiplin ilmu
dan keahlian. Ahmad Yassin menjadi pemimpin Ikhwanul Muslimin, sebelum deklarasi
HAMAS. Ranteesi pernah menjabat dalam Dewan Majma' Islamy dan Organisasi Kedokteran
Arab di Jalur Gaza, dan juga di Bulan Sabit Merah Palestina. Ibrahim Ghousyah juga aktivis
Islam dalam Ikatan Pelajaran Palestina di Mesir, dan lainnya.
Para tokoh HAMAS adalah orang-orang akademis, berpendidikan tinggi bahkan
pengajar di perguruan tinggi. Yahya Ayyasy misalnya, adalah Insinyur Teknik Elektro
Universitas Beir Zeit, Mousa Abu Marzuq adalah Doktor bidang Teknik Industri, Khalid
Misy’al juga sarjana Fisika dari Universitas Kuwait, dan lainnya. Ranteesi mengajar di
Universitas Islam di kota Gaza sejak pembukaannya tahun1978 sebagai dosen ilmu Genetika,
dan ilmu Mikrobiologi. Dengan kata lain, HAMAS memiliki kader-kader yang memiliki
kompetensi tinggi dalam berbagai bidang.

Anda mungkin juga menyukai