Anda di halaman 1dari 4

.

Membuat Daftar Potensi Pertanyaan

Buka kembali dan pelajari semua dokumen yang teman-teman lampirkan ketika mendaftar
LPDP, mulai dari essay kontribusi untuk Indonesia, penilaian diri, CV (mulai dari riwayat
pendidikan sampai penghargaan), hingga proposal penelitian (bagi pendaftar S3). Semua hal
yang teman-teman tulis dan lampirkan saat pendaftaran itu bisa menjadi potensi pertanyaan
saat wawancara.

Salah satu tips yang saya sangat rekomendasikan sebelum wawancara adalah membuat dan
menjawab sejumlah pertanyaan yang berpotensi ditanyakan selama wawancara berdasarkan
data yang teman-teman sudah berikan ke LPDP. Cara favorit saya (dan yang saya juga
sarankan ke 50+ kandidat itu) adalah membuat sebuah tabel dengan 2 kolom - satu kolom
berisi daftar pertanyaan, satu kolom lainnya berisi poin poin penting jawaban dari tiap
pertanyaan tersebut.

Tuliskan sebanyak mungkin pertanyaan yang sekiranya dapat muncul seputar essay dan CV
kita. Saya pribadi saat itu menuliskan sekitar 30-50 pertanyaan yang saya kumpulkan dari
berbagai sumber dan juga dari data yang saya berikan ke LPDP. Dari pengalaman selama ini,
saya dapat mengkategorikan pertanyaan wawancara LPDP ke dalam 3 kategori besar
(rencana studi, rencana kontribusi, dan pertanyaan seputar pribadi/psikologi). Untuk
pendaftar S3, ada 1 kategori pertanyaan khusus yang pasti ditanyakan, yaitu seputar proposal
penelitian. Sebagai panduan teman-teman, di bagian akhir tulisan ini saya berikan link berisi
beberapa pertanyaan umum yang sering ditanyakan di semua kategori diatas dan juga
beberapa pertanyaan pribadi yang pernah saya dapatkan. Dengan cara ini, saya pribadi
berhasil mengantisipasi sekitar 70-80% pertanyaan wawancara, termasuk beberapa
pertanyaan yang saya anggap menjadi titik lemah saya.

Dalam menyusun daftar pertanyaan dan jawaban ini, saya sangat menyarankan agar tidak
hanya menjawab 1 pertanyaan, kemudian berpindah menjawab pertanyaan lainnya.
Wawancara adalah interaksi dua arah yang dinamis, yang artinya setelah kita menjawab 1
pertanyaan, sangat besar kemungkinan bahwa pertanyaan selanjutnya akan berkaitan dengan
jawaban yang sebelumnya kita berikan. Kalau nantinya pewawancara LPDP sering tidak
memberikan pertanyaan yang berkaitan dengan jawaban yang teman-teman berikan
sebelumnya, hal itu justru bisa menjadi red flag, karena sangat mungkin artinya mereka tidak
tertarik dengan jawaban itu.

Oleh karena itu, silakan berlatih menebak pertanyaan selanjutnya dari jawaban yang sudah
diberikan sebelumnya. Sederhananya, jika teman teman menjawab A, pikirkan mengenai
beberapa hal yang sekiranya bisa ditanyakan mengenai A. Proses pre-emptive preparation ini
sangat membantu untuk memahami kelemahan yang mungkin terlihat dari jawaban yang kita
berikan sebelumnya.

Sebagai contoh, salah satu kandidat yang saya bimbing ditanya mengenai kampus tujuannya
dan menjawab: "I want to pursue Master in Language Education at the University of
Edinburgh because the study program offers ....", yang kemudian direspon: "Why don't you
pursue English Education or Language Education in Indonesia?". Pertanyaan lanjutan
tersebut adalah respon karena kandidat tersebut hanya menjelaskan alasan memilih kampus di
luar negeri dan lupa menjelaskan alasan tidak memilih kuliah di dalam negeri saja. Saya
pribadi juga pernah mendapatkan pengalaman yang sama saat wawancara beasiswa
Australian Awards (AAS). Setelah saya menjawab: "After finishing my study, I would like to
work as an academician doing research in Applied Linguistics", salah satu pewawancara
langsung merespon dengan bertanya: "What area of research are you interested in? and why it
is an important area of study for Indonesia?" - 2 pertanyaan spesifik yang tidak saya
antisipasi sebelumnya, yang akhirnya menyadarkan saya tentang pentingnya pre-emptive
preparation ini. Jika dilakukan dengan baik, proses pre-emptive preparation bisa sangat
membantu mengantisipasi beberapa pertanyaan tidak terduga.

2. Berlatih Simulasi Wawancara

Cari orang lain yang dapat memberikan simulasi wawancara LPDP, terutama awardee yang
sudah berhasil melalui tahap ini. Hal ini penting karena orang lain yang tidak mengenal kita
biasanya dapat melihat kekurangan/kelemahan dari jawaban yang kita berikan, yang kita
sendiri bisa jadi tidak sadar. Apalagi kalau ini adalah pengalaman wawancara pertama dalam
hidup. Saya pribadi sangat beruntung berkesempatan mengikuti seleksi wawancara beasiswa
AAS beberapa bulan sebelum wawancara LPDP. Walaupun tidak berhasil di seleksi beasiswa
tersebut, pengalaman wawancara yang saya lalui benar-benar memberikan pengalaman
berharga tentang kelemahan yang saya miliki dan apa yang saya harus perbaiki untuk
wawancara beasiswa selanjutnya.

Tujuan simulasi ini tidak hanya sebatas menguji jawaban – apakah cukup kuat atau tidak.
Yang sering dilupakan dalam persiapan wawancara adalah latihan delivery jawaban. Jawaban
wawancara memang penting, tapi bagaimana menyampaikan jawaban itu tidak kalah penting.
Hal hal seperti body language dan kualitas vokal juga menyampaikan kesan kepada
pewawancara dan menjadi komponen yang menguatkan (atau melemahkan) penampilan
wawancara kita. Apalagi, bagi pendaftar tujuan luar negeri, ada kemungkinan bahwa
sebagian pertanyaan akan disampaikan dalam bahasa inggris, dan oleh karena itu, perlu
dijawab dengan bahasa inggris pula. Ini membutuhkan latihan berkali kali untuk memastikan
bukan hanya bahwa jawaban kita sudah cukup kuat, tapi jawaban kita juga disampaikan
dengan singkat, padat, dengan tata bahasa yang jelas dan mudah dimengerti.

3. Menjawab dengan Spesifik dan Detail

Salah satu kesalahan yang paling umum saya perhatikan ketika simulasi dengan puluhan
kandidat penerima beasiswa LPDP adalah tidak memberikan jawaban yang detail dan
spesifik. Dengan kata lain, banyak kandidat yang memberikan jawaban yang generic.
Misalnya, ketika ditanya rencana kontribusi untuk Indonesia, banyak yang menjawab: "Saya
ingin menjadi dosen dan melakukan tri dharma perguruan tinggi. Selain itu, dalam jangka
panjang, saya juga berniat membangun lembaga bimbingan belajar." Jawaban ini tidak salah,
tapi masih sangat generic dan tidak menunjukan rencana unik yang bisa membedakan kita
dengan kandidat lain. Salah satu yang perlu diingat adalah jawaban seperti ini sangat
mungkin juga disampaikan oleh kandidat lain, karena dosen memang merupakan salah satu
karir yang banyak digandrungi, sehingga kalau kita hanya menjawab demikian, kita bisa jadi
tidak terlihat spesial dan khas di mata pewawancara. Hal ini juga bisa berlaku untuk rencana
karir yang lain.

Bayangkan jika teman-teman menjalani interview di tanggal tanggal tengah/akhir dari masa
wawancara LPDP dimana para pewawancara sudah mendengarkan ratusan jawaban dari
kandidat di hari hari sebelumnya, atau teman-teman menjalani interview di sore hari, dimana
di pagi sampai siang hari di hari yang sama, ada beberapa kandidat memberikan jawaban
yang sama seperti jawaban diatas. Akan sangat sulit bagi kita untuk bisa stand out di mata
pewawancara. Oleh karena itu, perlu memberikan jawaban yang lebih detail dan spesifik,
kalau bisa juga dilengkapi dengan data data. Contoh jawaban yang detail dan menarik: "Saya
ingin mengabdikan diri sebagai dosen dan aktif melakukan penelitian mengenai penyakit
ABC yang saya temukan dari pengalaman magang dan kerja saya sebelumnya. Pertama, saya
akan mengajukan roadmap penelitian ke dosen senior di Fakultas X Universitas Y. Roadmap
ini meliputi penyiapan model hewan untuk meneliti ABC, melaksanakan preclinical study
untuk menentukan pathogenesis penyakit ABC, mempelajari efek dan manfaat pengobatan
herbal untuk mencegah perkembangan ABC.” Jawaban seperti ini dapat menimbulkan kesan
di mata pewawancara bahwa: 1) kita telah benar benar memahami rencana kontribusi dan
punya rencana yang konkrit dan realistis, dan 2) kita telah melakukan persiapan wawancara
dengan matang dengan jawaban yang detail.

4. Tidak "Bermain Aman"

Banyak kandidat mencoba tampil “sempurna” ketika wawancara. Dalam artian, beberapa
kandidat mencoba memberikan “jawaban aman” dan tidak mencoba lebih terbuka dalam
menjawab beberapa pertanyaan, terutama ketika menghadapi psikolog di bagian akhir
wawancara. Hal ini bahkan dimulai ketika menulis jawaban penilaian diri. Misalnya, untuk
pertanyaan “kesalahan yang pernah dilakukan dalam bekerja/belajar”, beberapa orang hanya
menceritakan kesalahan yang sebenarnya cukup remeh (tidak punya dampak besar atau
memberikan pengalaman berharga). Sebagai contoh, seorang kandidat yang saya bantu
pernah menjawab, “Ketika menjadi MC di suatu acara kampus, saya salah menyebutkan
nama pemateri di acara tersebut”. Jawaban seperti ini cenderung kurang berkesan karena
pewawancara kemungkinan besar tidak bisa menggali lebih dalam tentang pengalaman
tersebut untuk memahami karakter kita. Hal ini bertentangan dengan tujuan dari pertanyaan
seputar kepribadian atau psikologi yang ditanyakan psikolog tersebut. Psikolog pastinya ingin
mencari kandidat yang autentik, yang lebih terbuka dalam wawancara dan tampil apa adanya.

Saya pribadi sangat merekomendasikan teman teman untuk menceritakan pengalaman negatif
yang lebih “serius” yang teman-teman alami selama hidup (pengalaman gagal, melakukan
kesalahan, merasa malu, dan sejenisnya), yang sekiranya menjadi pengalaman yang
memberikan pelajaran berharga. Ketika saya wawancara S3, saya tidak segan untuk
menceritakan beberapa kesalahan dan pengalaman buruk yang saya pernah lakukan dan alami
dalam hidup. Misalnya, saya menceritakan pengalaman ketika sempat “cekcok” dengan
pembimbing skripsi karena saya yang dianggap kurang sopan dalam proses bimbingan, atau
pengalaman saya melanggar lalu lintas dan mendapat perlakuan yang saya anggap “rasisme”
ketika menjalani S2 di Cardiff. Dari semua cerita tersebut, terbukti psikolog sangat antusias
dalam menanggapi dan memberikan pertanyaan lanjutan.

Dan dari yang saya sedikit pelajari di ilmu Psikologi, ketika kita bersedia menunjukan
vulnerability di hadapan orang lain, apalagi orang yang tidak terlalu dekat/kenal dengan kita,
melalui cerita cerita sangat personal seperti ini, orang lain tersebut akan sangat mungkin
menumbuhkan trust dan kedekatan dengan kita. Bukankah kita tidak menceritakan sisi gelap
kita kecuali kepada orang yang kita percaya? Dengan bersikap terbuka, kita menunjukan
kepada orang lain tersebut bahwa kita percaya kepada mereka, and trust is usually mutual.
Poin terpenting disini adalah untuk lebih terbuka terutama pada pertanyaan-pertanyaan
seputar pengalaman pribadi/psikologi, tapi tidak lupa menjelaskan apa yang kita pelajari dari
pengalaman pengalaman tersebut. Di pengalaman saya pribadi, saya menjelaskan bahwa
pengalaman cekcok dengan pembimbing tersebut mengajarkan saya untuk lebih
memperhatikan dan menghargai orang lain terlebih dulu, sebelum meminta diperhatikan dan
dihargai.

5. Mengontrol Emosi dan Konsisten dalam Menjawab

Pada saat wawancara nanti, teman-teman mungkin akan bertemu pewawancara yang
cenderung sinis. Sebagian pewawancara mungkin akan meremehkan, menyudutkan, atau
menyangsikan jawaban yang kita berikan. Beberapa kandidat punya pengalaman ditanyakan
hal yang sama berkali-kali, yang bisa jadi karena pewawancara ingin menguji apakah kita
yakin dengan jawaban kita atau mungkin jawaban kita sebelumnya salah atau kurang
meyakinkan. Seorang kolega saya yang mendaftar S3 bahkan pernah mendapatkan
pernyataan: “Masa’ kamu lulusan S2 di UK menulis proposal penelitian S3 seperti ini?”.
Apapun itu, jika berada dalam situasi ini, teman-teman harus bisa mengontrol emosi, tidak
reaktif, dan tetap tenang. Sebisa mungkin untuk tidak defensif ketika memang ada
kekurangan/kesalahan dari jawaban yang kita berikan sebelumnya, karena tuturan yang
menyudutkan dari pewawancara itu sangat mungkin karena mereka melihat ada kekurangan
atau sesuatu yang kurang meyakinkan dari jawaban kita. Terima kritik yang diberikan dengan
lapang dada dan tetap melanjutkan wawancara dengan tenang karena emosi yang kita
tampilkan juga akan menjadi bagian penilaian.

Anda mungkin juga menyukai