Menyusun Wawancara:
Perangkap Pertanyaan
Sepasang kekasih sedang berbincang-bincang membahas mengenai makanan favorit
masing-masing. Mereka belum pernah membahas topik ini sebelumnya, sehingga
keduanya belum mengetahui preferensi satu sama lain. Perbincangan mereka berjalan
kurang lebih seperti ini:
Apabila ternyata makanan Jepang yang disukai oleh B adalah ayam katsu, apakah
pertanyaan A bisa menggali informasi tersebut? Mengapa B tidak menceritakan apakah ia
menyukai makan ramen atau tidak padahal A sudah menanyakan hal tersebut? Apa yang
membuat B kesulitan untuk menjawab pertanyaan pertama dari A dan memintanya untuk
mengerucutkan pertanyaan?
Percakapan pasangan ini mungkin terkesan biasa saja dan terasa menyambung. Namun,
sebetulnya ada begitu banyak informasi yang lebih dalam yang bisa digali dalam
percakapan mereka. Informasi tersebut tidak keluar karena pertanyaan-pertanyaan yang
digunakan oleh A dan B masuk ke dalam perangkap pertanyaan. Itu adalah topik yang
akan dibahas dalam bahan bacaan ini.
Perangkap pertanyaan
Sumber:
https://www.pexels.com/
Beberapa perangkap pertanyaan yang dikeluarkan pada konteks informal, seperti saat
kita berbincang dengan keluarga ataupun teman-teman, mungkin akan dijawab dengan
baik karena responden membantu kita secara sukarela. Namun, dalam konteks formal
dan profesional, responden seringkali tidak secara sukarela memiliki motivasi untuk
membantu kita. Mereka mungkin hanya menjawab sesingkat mungkin atau bahkan
merasa tersinggung dengan pertanyaan kita. Penting untuk pewawancara memahami
perangkap pertanyaan yang mungkin tanpa disadari sering digunakan supaya bisa
melakukan wawancara formal yang profesional dan baik.
Berikut adalah beberapa perangkap pertanyaan:
Jebakan bipolar (The bipolar trap)
Jebakan bipolar terjadi ketika pewawancara menanyakan pertanyaan yang hanya dapat
dijawab dengan dua jawaban, dan kedua jawaban tersebut berada di kutub yang berbeda.
Apabila jawaban yang kita harapkan memang hanya respon ya atau tidak, maka
pertanyaan jenis ini aman untuk digunakan. Namun, apabila jawaban yang kita harapkan
adalah sebuah penjelasan, maka jebakan bipolar tidak akan cukup.
Pertanyaan dengan jebakan bipolar biasanya diawali dengan kata-kata seperti “Apakah
Anda”. Sebagai contoh, “Apakah Anda setuju atau tidak pentas tersebut diadakan?”
Pertanyaan tersebut dapat mendorong narasumber untuk menjawab antara “setuju” atau
“tidak setuju” tanpa penjelasan lebih lanjut.
Jebakan bipolar dapat dihindari dengan menanyakan pertanyaan yang diawali dengan
frasa apa, siapa, kapan, bagaimana, jelaskan atau bagikan kepada saya mengenai.
Pertanyaan jenis ini bisa saja membuat narasumber jadi bercerita panjang lebar tanpa
arah dan batasan, sampai pewawancara kesulitan untuk melanjutkan pertanyaan yang
ada di panduan. Untuk memperbaiki, pewawancara dapat membuat pertanyaan lebih
spesifik. Sebagai contoh, ia bisa menanyakan salah satu bagian dalam diri orang tersebut
ketimbang menanyakan keseluruhannya, misalnya “Beritahukan kepada saya hal apa yang
paling Anda takuti?”
Contoh dari pertanyaan ini adalah “Ceritakan pendapat Anda tentang keuntungan bisnis
rental sepeda dan apa yang memotivasi Anda pertama kali menggeluti bisnis tersebut?”
Di sini, si pewawancara ingin menanyakan mengenai keuntungan dari bisnis rental sepeda
dan juga apa motivasi narasumber saat pertama kali menggeluti bisnis tersebut, namun ia
menanyakannya langsung dalam satu kalimat. Narasumber yang terlalu bersemangat
mungkin bisa langsung melompati pertanyaan pertama dan hanya menjawab pertanyaan
kedua. Si pewawancara yang terbawa dengan cerita dari narasumber, mungkin saja
akhirnya malah melupakan pertanyaan pertama yang belum terjawab dan langsung
melanjutkan ke bagian selanjutnya.
Cara memperbaiki perangkap ini adalah dengan hanya bertanya satu pertanyaan pada
satu waktu. Apabila sudah terlanjur dilakukan, pastikan narasumber sudah menjawab
kedua pertanyaan. Jika narasumber tidak sengaja melewati satu pertanyaan, tanyakanlah
kembali satu pertanyaan tersebut secara lugas.
1. Pewawancara : Apakah Anda sedang berada di dekat korban saat kejadian terjadi?
2. Narasumber : Tidak.
3. Pewawancara : Apakah Anda sedang berada di dekat pelaku?
4. Narasumber : Tidak.
5. Pewawancara : Apakah Anda berada di posisi yang cukup dekat dengan lokasi
kejadian?
6. Narasumber : Tidak.
7. Pewawancara : Apakah Anda melihat kejadian secara langsung?
8. Narasumber : Tidak.
Apabila sedari awal si pewawancara menanyakan pertanyaan terbuka seperti “Di mana
posisi Anda ketika kejadian terjadi?”, maka seluruh dialog yang berisi pewawancara
menebak-nebak lokasi narasumber ini tidak perlu terjadi. Ketimbang menebak, cobalah
bertanya dengan pertanyaan yang terbuka.
Contoh pertanyaan jenis ini adalah “Apakah Anda ingin lulus dari perkuliahan?” atau
“Apakah Anda merasa sedih karena ditinggalkan oleh orang yang Anda kasihi?”
Tidak semua pertanyaan jenis ini pasti jatuh ke dalam perangkap pertanyaan. Selama
pewawancara memiliki alasan yang valid dalam meminta informasi tersebut, maka ia
tidak dapat dikatakan jatuh dalam perangkap pertanyaan ini. Apabila seorang
narasumber merasa bahwa pertanyaan yang diajukan oleh pewawancara tidak relevan
dengan tujuan wawancara, penting bagi si pewawancara untuk menjelaskan alasan
mengapa ia meminta informasi tersebut beserta bagaimana informasi tersebut akan
dijaga dan dimanfaatkan. Oleh karena pertanyaan jenis ini bisa menjadi sangat sensitif
dan personal, maka sebaiknya pertanyaan seperti ini ditanyakan hanya setelah rasa
percaya antara narasumber dan pewawancara sudah terbangun, seperti misalnya di akhir
wawancara.
Apabila kita sendiri berada di posisi sebagai orang yang diwawancara, maka penting
untuk kita tidak cepat berasumsi bahwa pewawancara melakukan probing penasaran.
Mereka mungkin memiliki alasan kuat dalam meminta informasi tersebut. Salah satunya
misal karena perbedaan budaya, seperti orang Jepang yang bisa menanyakan pertanyaan
pribadi di awal wawancara karena mereka memang memiliki budaya untuk mengenal
karakteristik orang.
Contoh perangkap pertanyaan ini sering kita temui di acara-acara TV, seperti misalnya
saat ada yang mewawancarai seorang tokoh politik. Pewawancara mungkin menanyakan
pertanyaan seperti “Bisakah Bapak jelaskan mengenai isi Undang-Undang tersebut?”
Padahal setiap tokoh politik belum tentu menguasai keseluruhan isi Undang-Undang,
sehingga mungkin si narasumber jadi kebingungan dan berusaha menjelaskan dengan
bahasa yang membingungkan.
Salah satu cara untuk mengurangi kemungkinan pertanyaan pertunjukan kuis adalah
dengan mendalami terlebih dahulu tingkat pemahaman dari seorang narasumber.
Dengan memahami seberapa dalam narasumber memiliki keahlian di bidang terkait, kita
bisa menentukan seberapa jauh tingkat kesulitan pertanyaan yang diberikan. Teknik
lainnya adalah dengan menggunakan referensi yang sama dengan narasumber, misalnya
menggunakan ‘kilogram’ ketimbang ‘pound’, ‘asisten sutradara’ ketimbang ‘astrada’ dan
lain sebagainya.
“Sekarang saya ingin Anda untuk menilai beberapa jenis mobil kuno. Saya ingin Anda
menilainya dengan skala minus lima sampai plus lima. Apabila Anda menyukai jenis mobil
yang saya tunjukkan, maka berikan poin plus. Semakin Anda menyukainya, maka poin plus
yang diberikan bisa semakin tinggi. Kebalikannya, apabila Anda tidak menyukai jenis
mobil yang saya tunjukkan, maka berikan poin minus. Semakin Anda tidak suka, maka poin
bisa diberikan semakin rendah. Apabila Anda merasa netral dengan mobil yang saya
tunjukkan, maka berikan nilai nol.”
Pertanyaan jenis ini muncul biasanya dalam survei yang membutuhkan penggunaan skala
dalam menjawabnya. Apabila kamu harus menanyakan pertanyaan sejenis, maka
sebaiknya jelaskan skala tersebut dan berikan kesempatan bagi narasumber untuk
mencoba menjawab sehingga kita tahu apakah narasumber paham dengan instruksi kita.
Jika wawancara dilakukan secara tatap muka, maka kita bisa membantu narasumber
dengan mencetak pertanyaan pada secarik kertas sehingga mereka tidak perlu
mengingat segala hal yang kompleks tersebut. Berhati-hatilah dalam memberikan
pertanyaan dengan detil yang tidak diperlukan.
Sebagai contoh, misalnya seorang pewawancara bertanya “Bagaimana kritik Anda terkait
ajaran agama Anda sendiri?” Apabila si narasumber merupakan orang yang tinggal di
lingkungan religius, maka kemungkinan pertanyaan jenis ini bisa terkesan sangat tabu
dan sulit untuk dijawab. Contoh pertanyaan tabu lainnya adalah topik pertanyaan tentang
seks, pendapatan seseorang, dan penyakit-penyakit tertentu.
Jelaskan kepada narasumber mengapa pertanyaan tersebut perlu untuk ditanyakan dan
hindari menanyakannya terlalu dini untuk mencegah narasumber merasa terserang.
Susunlah pertanyaan dalam kata-kata yang baik, sehingga tekanan yang dirasakan oleh
narasumber bisa berkurang. Berhati-hatilah jangan sampai pertanyaan yang kita
lontarkan menyinggung si narasumber.
Sumber:
https://www.pexels.com/