Anda di halaman 1dari 10

Reading Materials:

Menyusun Wawancara:
Perangkap Pertanyaan
Sepasang kekasih sedang berbincang-bincang membahas mengenai makanan favorit
masing-masing. Mereka belum pernah membahas topik ini sebelumnya, sehingga
keduanya belum mengetahui preferensi satu sama lain. Perbincangan mereka berjalan
kurang lebih seperti ini:

A : Kamu cerita dong, kamu suka makan apa?


B : Eh, makan apa ya? Aku susah jawabnya nih, nggak kepikir. Bisa lebih spesifik gak?
A : Makanan Jepang suka atau ngga?
B : Hmm, suka?
A : Oh, kamu lebih suka ramen atau sashimi?
B : Kalau antara dua itu, aku lebih suka ramen sih. Kamu suka ramen ga? Eh, tapi kamu ada
makanan yang paling kamu suka gak?
A : Aku paling suka makan kepiting saos padang gitu sih. Kamu suka makan kepiting juga,
kan?
B : Hmm, kalau lagi ada kepiting aku ikut makan sih. Tapi aku lebih suka ikan.

Setelah membaca percakapan singkat tersebut, bagaimana penilaianmu terhadap


pertanyaan-pertanyaan yang A dan B keluarkan?

Apabila ternyata makanan Jepang yang disukai oleh B adalah ayam katsu, apakah
pertanyaan A bisa menggali informasi tersebut? Mengapa B tidak menceritakan apakah ia
menyukai makan ramen atau tidak padahal A sudah menanyakan hal tersebut? Apa yang
membuat B kesulitan untuk menjawab pertanyaan pertama dari A dan memintanya untuk
mengerucutkan pertanyaan?

Percakapan pasangan ini mungkin terkesan biasa saja dan terasa menyambung. Namun,
sebetulnya ada begitu banyak informasi yang lebih dalam yang bisa digali dalam
percakapan mereka. Informasi tersebut tidak keluar karena pertanyaan-pertanyaan yang
digunakan oleh A dan B masuk ke dalam perangkap pertanyaan. Itu adalah topik yang
akan dibahas dalam bahan bacaan ini.
Perangkap pertanyaan

Sumber:
https://www.pexels.com/

Biasanya wawancara disiapkan dengan struktur yang minim, sehingga seorang


pewawancara mau tidak mau tetap akan menciptakan pertanyaan utama dan probing
langsung di tempat saat wawancara berlangsung. Hal ini menyebabkan beberapa
pewawancara sering terjebak dalam perangkap pertanyaan tanpa disadari.

Beberapa perangkap pertanyaan yang dikeluarkan pada konteks informal, seperti saat
kita berbincang dengan keluarga ataupun teman-teman, mungkin akan dijawab dengan
baik karena responden membantu kita secara sukarela. Namun, dalam konteks formal
dan profesional, responden seringkali tidak secara sukarela memiliki motivasi untuk
membantu kita. Mereka mungkin hanya menjawab sesingkat mungkin atau bahkan
merasa tersinggung dengan pertanyaan kita. Penting untuk pewawancara memahami
perangkap pertanyaan yang mungkin tanpa disadari sering digunakan supaya bisa
melakukan wawancara formal yang profesional dan baik.
Berikut adalah beberapa perangkap pertanyaan:
Jebakan bipolar (The bipolar trap)
Jebakan bipolar terjadi ketika pewawancara menanyakan pertanyaan yang hanya dapat
dijawab dengan dua jawaban, dan kedua jawaban tersebut berada di kutub yang berbeda.
Apabila jawaban yang kita harapkan memang hanya respon ya atau tidak, maka
pertanyaan jenis ini aman untuk digunakan. Namun, apabila jawaban yang kita harapkan
adalah sebuah penjelasan, maka jebakan bipolar tidak akan cukup.

Pertanyaan dengan jebakan bipolar biasanya diawali dengan kata-kata seperti “Apakah
Anda”. Sebagai contoh, “Apakah Anda setuju atau tidak pentas tersebut diadakan?”
Pertanyaan tersebut dapat mendorong narasumber untuk menjawab antara “setuju” atau
“tidak setuju” tanpa penjelasan lebih lanjut.

Jebakan bipolar dapat dihindari dengan menanyakan pertanyaan yang diawali dengan
frasa apa, siapa, kapan, bagaimana, jelaskan atau bagikan kepada saya mengenai.

Beritahukan segalanya (The tell me everything)


Berbeda dari jebakan bipolar, jebakan ‘beritahukan segalanya’ justru terjadi ketika
seorang pewawancara memberikan pertanyaan terbuka yang sangat ekstrim tanpa ada
batasan tertentu. Perangkap pertanyaan seperti ini membuat narasumber tidak memiliki
panduan mengenai informasi apa yang perlu dijelaskan, informasi apa yang perlu dibuang
dan bagaimana harus memulai atau mengakhiri jawaban.

Contoh pertanyaan dengan perangkap ini adalah:

Beritahukan kepada saya mengenai diri Anda?


Kota Jakarta itu seperti apa?
Ceritakan perjalananmu ke luar kota beberapa hari lalu!

Pertanyaan jenis ini bisa saja membuat narasumber jadi bercerita panjang lebar tanpa
arah dan batasan, sampai pewawancara kesulitan untuk melanjutkan pertanyaan yang
ada di panduan. Untuk memperbaiki, pewawancara dapat membuat pertanyaan lebih
spesifik. Sebagai contoh, ia bisa menanyakan salah satu bagian dalam diri orang tersebut
ketimbang menanyakan keseluruhannya, misalnya “Beritahukan kepada saya hal apa yang
paling Anda takuti?”

The double-barreled inquisition


Pertanyaan double-barreled muncul ketika pewawancara secara tidak sengaja
menanyakan dua pertanyaan dalam satu kalimat pertanyaan, ketimbang menanyakan
hanya satu pertanyaan. Hal ini mendorong narasumber untuk menjawab dengan beragam
jenis cara. Mereka mungkin menjawab keduanya secara tidak jelas, menjawab salah satu
pertanyaan saja, memilih bagian yang ingin dijawab, atau mungkin menjawab keduanya
dengan baik. Apapun respon dari narasumber, seorang pewawancara harus berhati-hati
karena perangkap pertanyaan ini bisa membuat mereka harus mengulang kembali
pertanyaan atau bahkan melewatkan satu pertanyaan tanpa disadari.

Contoh dari pertanyaan ini adalah “Ceritakan pendapat Anda tentang keuntungan bisnis
rental sepeda dan apa yang memotivasi Anda pertama kali menggeluti bisnis tersebut?”
Di sini, si pewawancara ingin menanyakan mengenai keuntungan dari bisnis rental sepeda
dan juga apa motivasi narasumber saat pertama kali menggeluti bisnis tersebut, namun ia
menanyakannya langsung dalam satu kalimat. Narasumber yang terlalu bersemangat
mungkin bisa langsung melompati pertanyaan pertama dan hanya menjawab pertanyaan
kedua. Si pewawancara yang terbawa dengan cerita dari narasumber, mungkin saja
akhirnya malah melupakan pertanyaan pertama yang belum terjawab dan langsung
melanjutkan ke bagian selanjutnya.

Cara memperbaiki perangkap ini adalah dengan hanya bertanya satu pertanyaan pada
satu waktu. Apabila sudah terlanjur dilakukan, pastikan narasumber sudah menjawab
kedua pertanyaan. Jika narasumber tidak sengaja melewati satu pertanyaan, tanyakanlah
kembali satu pertanyaan tersebut secara lugas.

Menekan arah (The leading push)


Pertanyaan yang menekan arah muncul ketika seorang pewawancara menanyakan sebuah
pertanyaan dan kemudian memberikan arahan tentang bagaimana si narasumber harus
berespon. Tekanan arah ini bisa terjadi secara disengaja (pewawancara memang ingin
mengarahkan jawaban ke arah tertentu) ataupun terjadi secara tidak disengaja
(pewawancara tidak menyadari bahwa apa yang ia lakukan menekan narasumber
menjawab ke arah tertentu). Hal ini terkadang bisa terjadi secara tidak disengaja karena
sangat mudah untuk pewawancara menunjukkan perasaan ataupun sikapnya dalam suatu
pertanyaan melalui bahasa yang digunakan, maupun nonverbal.

Beberapa contoh pertanyaan yang menekan arah, misalnya:

Anda akan membantu juga, kan?


Anda memilih dia sebagai rekan usaha karena kematangannya dalam usaha baju ya?

Pewawancara mungkin tidak menyadari bahwa pertanyaan yang ia tanyakan


mengarahkan jawaban narasumber, bahkan pewawancara bisa jadi tidak peka bahwa
narasumber hanya menjawab sesuai yang si pewawancara inginkan. Hindari perangkap
pertanyaan ini dengan menanyakan pertanyaan yang dituliskan secara netral dan
dengarkan secara perlahan pertanyaan yang kita tanyakan.

Permainan menebak (The guessing game)


Permainan menebak muncul ketika pewawancara mencoba menebak informasi
ketimbang menanyakannya. Menebak-nebak sangatlah umum terjadi dan biasanya
membuat seorang pewawancara tidak bisa mendapatkan informasi yang baik.

Sebagai contoh, lihatlah dialog percakapan wawancara ini:

1. Pewawancara : Apakah Anda sedang berada di dekat korban saat kejadian terjadi?
2. Narasumber : Tidak.
3. Pewawancara : Apakah Anda sedang berada di dekat pelaku?
4. Narasumber : Tidak.
5. Pewawancara : Apakah Anda berada di posisi yang cukup dekat dengan lokasi
kejadian?
6. Narasumber : Tidak.
7. Pewawancara : Apakah Anda melihat kejadian secara langsung?
8. Narasumber : Tidak.
Apabila sedari awal si pewawancara menanyakan pertanyaan terbuka seperti “Di mana
posisi Anda ketika kejadian terjadi?”, maka seluruh dialog yang berisi pewawancara
menebak-nebak lokasi narasumber ini tidak perlu terjadi. Ketimbang menebak, cobalah
bertanya dengan pertanyaan yang terbuka.

Pertanyaan Ya Tidak (The Yes No Response)


Pertanyaan ini mirip seperti pertanyaan bipolar, di mana jawaban yang tersedia hanya
berupa ya ataupun tidak. Perbedaannya adalah, dalam pertanyaan ya tidak, respon
narasumber sudah bisa dengan jelas ditebak karena kemungkinan besar jawabannya
hanya satu arah. Pertanyaan jenis ini serupa dengan pertanyaan yang sifatnya retorik.

Contoh pertanyaan jenis ini adalah “Apakah Anda ingin lulus dari perkuliahan?” atau
“Apakah Anda merasa sedih karena ditinggalkan oleh orang yang Anda kasihi?”

Dengan tidak menggunakan pertanyaan tertutup dan juga menghindari pertanyaan


dengan jawaban yang sudah pasti, kita bisa terhindar dari perangkap pertanyaan ini.

Probing penasaran (The curious probe)


Probing penasaran muncul ketika seorang pewawancara menanyakan pertanyaan untuk
mendapatkan informasi yang sebetulnya tidak ia perlukan. Pertanyaan jenis ini biasanya
berupa hal-hal yang sifatnya pribadi sampai narasumber mungkin merasa bahwa
pewawancara tidak punya urusan apapun untuk menanyakan pertanyaan tersebut.
Sebagai contoh, seorang pewawancara mungkin menanyakan informasi mengenai status
pernikahan, pendapatan hingga tingkat edukasi narasumber.

Tidak semua pertanyaan jenis ini pasti jatuh ke dalam perangkap pertanyaan. Selama
pewawancara memiliki alasan yang valid dalam meminta informasi tersebut, maka ia
tidak dapat dikatakan jatuh dalam perangkap pertanyaan ini. Apabila seorang
narasumber merasa bahwa pertanyaan yang diajukan oleh pewawancara tidak relevan
dengan tujuan wawancara, penting bagi si pewawancara untuk menjelaskan alasan
mengapa ia meminta informasi tersebut beserta bagaimana informasi tersebut akan
dijaga dan dimanfaatkan. Oleh karena pertanyaan jenis ini bisa menjadi sangat sensitif
dan personal, maka sebaiknya pertanyaan seperti ini ditanyakan hanya setelah rasa
percaya antara narasumber dan pewawancara sudah terbangun, seperti misalnya di akhir
wawancara.

Apabila kita sendiri berada di posisi sebagai orang yang diwawancara, maka penting
untuk kita tidak cepat berasumsi bahwa pewawancara melakukan probing penasaran.
Mereka mungkin memiliki alasan kuat dalam meminta informasi tersebut. Salah satunya
misal karena perbedaan budaya, seperti orang Jepang yang bisa menanyakan pertanyaan
pribadi di awal wawancara karena mereka memang memiliki budaya untuk mengenal
karakteristik orang.

Pertunjukan kuis (The quiz show)


Perangkap pertanyaan pertunjukan kuis terjadi ketika seorang pewawancara
menanyakan pertanyaan yang tidak sensitif terhadap tingkat pengetahuan narasumber.
Wawancara tidak semestinya berjalan seperti pembawa acara kuis dengan kontestan.
Pewawancara perlu memiliki kepekaan dalam melihat sejauh mana tingkat kesulitan
pertanyaan masih bisa ditanyakan kepada narasumber yang bersangkutan.

Saat pewawancara menanyakan pertanyaan yang berada jauh di atas tingkat


pengetahuan narasumber, maka hal tersebut bisa jadi momen memalukan bagi si
narasumber karena ia akan terlihat tidak memahami isu dan bodoh. Narasumber mungkin
akan tetap menjawab, ketimbang melewatkan pertanyaan, namun jawaban yang
diberikan akan terkesan tidak jelas. Di sisi lain, menanyakan pertanyaan yang berada jauh
di bawah pemahaman narasumber mungkin terasa seperti menghina si narasumber.

Contoh perangkap pertanyaan ini sering kita temui di acara-acara TV, seperti misalnya
saat ada yang mewawancarai seorang tokoh politik. Pewawancara mungkin menanyakan
pertanyaan seperti “Bisakah Bapak jelaskan mengenai isi Undang-Undang tersebut?”
Padahal setiap tokoh politik belum tentu menguasai keseluruhan isi Undang-Undang,
sehingga mungkin si narasumber jadi kebingungan dan berusaha menjelaskan dengan
bahasa yang membingungkan.

Salah satu cara untuk mengurangi kemungkinan pertanyaan pertunjukan kuis adalah
dengan mendalami terlebih dahulu tingkat pemahaman dari seorang narasumber.
Dengan memahami seberapa dalam narasumber memiliki keahlian di bidang terkait, kita
bisa menentukan seberapa jauh tingkat kesulitan pertanyaan yang diberikan. Teknik
lainnya adalah dengan menggunakan referensi yang sama dengan narasumber, misalnya
menggunakan ‘kilogram’ ketimbang ‘pound’, ‘asisten sutradara’ ketimbang ‘astrada’ dan
lain sebagainya.

Kompleks vs sederhana (Complexity vs simplicity)


Perangkap pertanyaan ini terjadi ketika seorang pewawancara menanyakan pertanyaan
yang begitu kompleks sampai membuat narasumber merasa bingung, padahal
sebenarnya pertanyaan dapat dibuat lebih sederhana. Sebagai contoh, perhatikan
pertanyaan berikut:

“Sekarang saya ingin Anda untuk menilai beberapa jenis mobil kuno. Saya ingin Anda
menilainya dengan skala minus lima sampai plus lima. Apabila Anda menyukai jenis mobil
yang saya tunjukkan, maka berikan poin plus. Semakin Anda menyukainya, maka poin plus
yang diberikan bisa semakin tinggi. Kebalikannya, apabila Anda tidak menyukai jenis
mobil yang saya tunjukkan, maka berikan poin minus. Semakin Anda tidak suka, maka poin
bisa diberikan semakin rendah. Apabila Anda merasa netral dengan mobil yang saya
tunjukkan, maka berikan nilai nol.”

Pertanyaan jenis ini muncul biasanya dalam survei yang membutuhkan penggunaan skala
dalam menjawabnya. Apabila kamu harus menanyakan pertanyaan sejenis, maka
sebaiknya jelaskan skala tersebut dan berikan kesempatan bagi narasumber untuk
mencoba menjawab sehingga kita tahu apakah narasumber paham dengan instruksi kita.
Jika wawancara dilakukan secara tatap muka, maka kita bisa membantu narasumber
dengan mencetak pertanyaan pada secarik kertas sehingga mereka tidak perlu
mengingat segala hal yang kompleks tersebut. Berhati-hatilah dalam memberikan
pertanyaan dengan detil yang tidak diperlukan.

Jangan tanya, jangan beritahu (The don’t ask, don’t tell)


Perangkap pertanyaan ‘jangan tanya, jangan beritahu’ terjadi ketika seorang
pewawancara meminta informasi yang tidak bisa diberikan oleh narasumber akibat
hambatan sosial, psikologis maupun situasional. Terkadang, ada beberapa jenis
pertanyaan yang tidak bisa ditanyakan pada konteks-konteks tertentu. Misalnya, pada
konteks ras, konteks waktu, konteks kelompok agama, ataupun konteks kehidupan
seseorang. Pertanyaan jenis ini biasa kita sering lihat dalam pertanyaan-pertanyaan yang
bersifat tabu, sehingga sulit untuk narasumber bisa dengan leluasa menjawabnya apabila
rasa percaya belum terbangun.

Sebagai contoh, misalnya seorang pewawancara bertanya “Bagaimana kritik Anda terkait
ajaran agama Anda sendiri?” Apabila si narasumber merupakan orang yang tinggal di
lingkungan religius, maka kemungkinan pertanyaan jenis ini bisa terkesan sangat tabu
dan sulit untuk dijawab. Contoh pertanyaan tabu lainnya adalah topik pertanyaan tentang
seks, pendapatan seseorang, dan penyakit-penyakit tertentu.

Jelaskan kepada narasumber mengapa pertanyaan tersebut perlu untuk ditanyakan dan
hindari menanyakannya terlalu dini untuk mencegah narasumber merasa terserang.
Susunlah pertanyaan dalam kata-kata yang baik, sehingga tekanan yang dirasakan oleh
narasumber bisa berkurang. Berhati-hatilah jangan sampai pertanyaan yang kita
lontarkan menyinggung si narasumber.

Sumber:
https://www.pexels.com/

Anda mungkin juga menyukai