Anda di halaman 1dari 4

Strategi Menembus Narasumber dan Etika Wawancara

Oleh Ilung S. Enha*)

Melakukan wawancara kepada narasumber, hampir merupakan kewajiban rutin bagi


seorang jurnalis. Sebab ini penting untuk kesempurnaan berita yang hendak ditulis. Perlunya
wawancara tersebut dilakukan, bisa untuk sekedar meminta tanggapan tentang informasi yang
telah didapatkan, atau untuk mempedalam data informasi yang ada. Jadi, meskipun data
informasi yang kita dapatkan sudah lengkap, namun tetap saja lakukan wawancara agar berita
yang kita tulis lebih akurat, lebih menarik, tidak monoton, lebih objektif, lebih rinci dan detil.

Hanya saja, pada kenyataannya, tak semua narasumber gampang ditembus. Setiap
jurnalis akan menghadapi narasumber yang sangat sulit untuk diwawancarai. Bisa lantaran
narasumber tersebut adalah orang yang super sibuk, atau bisa jadi dia memang tak suka
diwawancarai oleh wartawan. Narasumber yang demikian, selalu saja punya alasan untuk
menolak diwawancarai.

Tapi bagi seorang jurnalis sejati, tak ada tugas peliputan yang tak dapat diselesaikan.
Sebab dirinya telah memiliki beragam strategi untuk bagaimana bisa mewawancarai narasumber
yang sesulit apapun. Strategi-setrategi tersebut sangat bergantung pada kreativitas jurnalis
sendiri. Jadi tak ada “rumus baku” untuk menembus narasumber yang sulit diwawancarai.

Yang terpenting, bagaimana Anda mengenali terlebih dahulu narasumber semacam itu.
Cari informasi secara detil tentang kegiatan rutin dan aktivitas senggangnya. Kenali pula apa
kesukaan dan hobinya, sifat dan wataknya, serta sikap dia dalam memperlakukan orang lain.
Setelah mengetahui itu semua, segera cari nomer telponnya dan cari waktu yang tepat untuk
menghubunginya. Ketika telpon tersambung, langsung perkenalkan diri Anda, media Anda, serta
tujuan wawancara dan tema yang akan diperbincangkan.

Dalam komunikasi yang pertama ini, usahakan dapat membuat narasumber tertarik pada
cara komunikasi Anda. Kalau itu terasa gagal, buatlah dia tertarik dengan tema yang akan
diperbincangkan. Katakan, bahwa pernyataan atau tanggapan dia tentang tema tersebut sangat
ditunggu para pembaca. Pernyataannya sangat penting, karena dia adalah seorang publik figur.
Kalau dia masih enggan untuk memberikan waktu wawancara, katakan pula bahwa masyarakat
pembaca membutuhkan ide-ide dan inspirasi dari dia.

Intinya, buat narasumber tersebut agar mau memberikan waktu wawancara. Kalau dia
terkesan tak suka terhadap cara komunikasi Anda, segera rubah model komunikasi tersebut. Jika
dia kurang menyukai tema yang Anda sodorkan, berikan tema yang dia sukai. Kalau perlu tanya
tema apa yang pas buat dia. Toh, ini sekedar sebagai pintu masuk agar dia mau memberikan
waktu untuk diwawancarai. Kalau dia bilang waktunya sangat sempit, mintalah wawancara via
telpon beberapa menit saja.

Andaipun dia tetap tak mau untuk diwawancarai, sudahilah komunikasi via telpon
tersebut secar baik-baik. Tak perlu merasa jengkel ataupun marah. Sebab masih ada cara lain
untuk bagaimana agar dapat mewawancarainya. Semisal menemuinya di saat dia memberikan
ceramah atau mengisi seminar di suatu tempat. Seusai acara Anda bisa langsung “menodong” dia
dengan beberapa pertanyaan yang langsung masuk ke inti masalah. Kalau Anda mengetahui jika
seusai acara dia langsung pergi ke kesibukan lain, jadilah peserta seminar. Pertanyaan-pertanyaan
Anda bisa dilempar atas nama peserta seminar.

Sebagai catatan, Anda bisa melakukan hal seperti itu di mana saja dan kapan saja. Baik
ketika berada di ruang publik, di kantor ataupun di rumahnya. Asal saja, Anda tak masuk ke
ruang privasi dia. Kalau Anda nekat untuk masuk ke ruang privat narasumber, hampir pasti Anda
bakal gagal melakukan wawancara.

Keberanian semacam itu harus dimiliki seorang jurnalis. Sebab tanpa keberanian, seorang
jurnalis akan banyak mengalami kegagalan dalam melakukan tugas-tugas peliputan. Disamping
keberanian, seorang jurnalis sejati harus mempunyai kebulatan tekad saat bertugas jadi
wartawan. Di sisi lain, Anda harus pula mempunyai sikap kesabaran yang rangkap. Sebab tugas-
tugas di lapangan sangat membutuhkan kesabaran yang tanpa batas.

Lebih-lebih ketika berhadapan dengan narasumber semacam di atas. Sebab bisa jadi dari
sikap dan omongan dia bisa melukai jiwa kita. Kalaupun itu terjadi, bersabarlah. Jangan sampai
ada sakit hati saat kita melakukan wawancara. Kita harus sanggup mengendalikan emosi kita,
sehingga tetap terfokus pada alur dan topik wawancara.
Ketika sudah berhasil memperoleh waktu wawancara pada hari dan jam yang disepakati,
maka berikan sapaan yang penuh pesona saat bertemu. Berpakaianlah yang sopan dan tak acak-
acakan kayak preman yang menakutkan. Jangan bersikap “sok wartawan” yang “boleh mentang-
mentang”. Tunjukkan bahwa seorang jurnalis juga memiliki etika dan tatasusila.

Perlu pula untuk berbasa-basi sejenak untuk melancarkan komunikasi dan mencairkan
suasana. Awali dengan pertanyaan-pertanyaan ringan terlebih dahulu. Hindari pertanyaan-
pertanyaan yang membuat narasumber tersinggung. Jangan beri pertanyaan yang bersikap
mengadili atau menghakimi.

Jika suasana pembicaraan terasa tegang, selingi dengan joke-joke atau guyonan agar
suasana turun cair kembali. Ini penting, karena suasana wawancara yang kaku akan menghambat
informasi-informasi yang kita butuhkan. Dan sebaliknya, suasana dialog yang cair akan
membuat narasumber enjoy untuk menyampaikan informasi-informasi yang dipendamnya.
Minimal, wawancara yang cair akan memperoleh informasi yang lebih banyak.

Ingat, jangan biasakan memotong pembicaraan di saat narasumber belum berhenti bicara.
Sebab itu bisa membuat dia tak suka, sehingga keburu mengakhiri wawancara. Hal ini boleh
dilakukan, jika narasumber terkesan ngelantur kemana-mana. Namun usahakan memotong
dengan cara sopan dan mengalurkan kembali ke topik wawancara. Jangan sekali-kali memotong
pembicaraan dengan cara yang tak disukai narasumber.

Dalam melakukan wawancara, terutama terhadap narasumber yang super sibuk,


janganlah banyak bicara. Lontarkan pertanyaan yang membuatnya harus menjawab secara
panjang. Ketika dia terdiam, sambunglah dengan pembicaraan yang dapat membuat narasumber
lancar kembali bicara. Hindari pertanyaan-pertanyaan yang tak perlu. Di sinilah pentingnya
menyiapkan draft pertanyaan terlebih dahulu. Dengan begitu kita bisa membuang pertanyaan-
pertanyaan yang keluar dari topik wawancara.

Alhasil, sukses gagalnya sebuah wawancara ataupun mengejar narasumber tergantung


pada sifat seorang jurnalis sendiri. Sikap dan tabiat yang baik seorang jurnalis, akan
menumbuhkan simpati narasumbernya. Untuk itulah, jadilah seorang jurnalis yang santun dan
cakap, cermat membaca gelagat narasumber, komunikatif, akrab, bersahabat, pintar
menghidupkan suasana, serta menguasai permasalahan dan topik yang diperbincangkan.
Seorang jurnalis yang demikiann, dirinya tak bingung saat menghadapi narasumber yang
super cibuk, tertutup, dan bahkan menjengkelkan sekalipun. Sebab dengan potensi, kreativitas
dan strategi yang dimilikinya, dirinya lebih percaya diri untuk bisa ”menggiring” narasumber
tetap berkumpar pada topik wawancara. Dengan begitu dia akan memperoleh data dan informasi
yang dibutuhkan untuk tulisannya.
Selebihnya, jadikan profesi jurnalis sebagai panggilan jiwa dan bukan skill-keterampilan
sampingan yang cuma sekedar. Nah!

*) Editor majalah MIMBAR Pembangunag Agama Kanwil Kemenag Prov. Jawa Timur.

Anda mungkin juga menyukai