Anda di halaman 1dari 19

BLADE RUNNER 2035 – LOVE CONTRACT

Cerita pendek ini adalah sebuah fan fiksi atau dunia alternatif yang terinspirasi dari
sebuah buku berjudul “Do Androids Dream Of Electric Sheep?” karya Philip K. Dick
tahun rilis 1968 yang difilmkan dengan judul “Blade Runner” karya sutradara Ridley
Scott tahun rilis 1982, serta film “Blade Runner 2049” karya sutradara Dennis
Villeneuve tahun rilis 2017.

PROLOG

Mengapa manusia bisa memiliki obsesi memanfaatkan teknologi secara berlebih-


lebihan? Tidakkah mereka berpikir akan selalu ada konsekuensi di balik setiap
keputusan yang dibuat? Bagaimana dampak perkembangan teknologi yang tidak
dibarengi oleh peningkatan stabilitas ekonomi dan kesejahteraan sosial?

Manusia kini hidup digiring oleh perkembangan zaman yang terlalu memaksa,
menuntut semua serbacepat sedangkan kemampuan fisik manusia terbatas.
Berdasarkan hal itu, satu perusahaan gila bernama Tyrell Corporation
mengembangkan replika manusia superior, dengan kecerdasan melebihi segala
robot biasa yang menggunakan artifisial inteligen yang beberapa dekade lalu telah
dipensiunkan.

Pertengahan tahun 2020an, Tyrell Corporation bangkrut setelah Tyrell dibunuh


replikan yang memberontak. Kesuksesan perusahaan itu diambil alih oleh Wallace
Corporation yang kemudian mengembangkan replikan tipe baru, Nexus 8 dan Nexus
9. Para replikan yang ‘terlalu maju’ dalam berpikir akibat otaknya yang entah
bagaimana terlampau superior sudah seperti manusia pada umumnya, bisa lebih
jahat dan keji.

Cerita ini tidak akan menampilkan terlalu banyak aksi para replikan yang
memberontak. Ini adalah sebuah kisah seorang lelaki yang hidup satu atap dengan
replikan wanita sebagai pasangannya. Replikan tipe Nexus 8 adalah android buatan
yang diciptakan Wallace Corporation sebagai program pekerja dengan kontrak yang
bersifat ketat dan mengikat. Nexus 8 yang dibeli oleh lelaki itu dari perusahaan
Wallace telah diprogramkan khusus menjadi layaknya istri sungguhan untuknya.
Keunggulan replikan ini dapat menuruti segala perintahnya, tetapi dapat juga
menolak jika itu hal yang merugikan satu sama lain.

***

1. Replikan Pemberontak

NEW YORK, DESEMBER 2035

Aaron meringkuk di bawah meja bar tempatnya bekerja. Bersembunyi dari


bengisnya para replikan yang semena-mena membuat kekacauan di lingkungan
sekitar. Selain takut karena mereka menenteng senjata blaster besar, tubuh mereka
yang terlihat tak berotot saja memiliki kekuatan untuk mengangkat buldoser. Mereka
sedang mencari seorang pemburu replikan bayaran yang ditugasi oleh pihak
kepolisian—pemburu itu disebut sebagai Blade Runner—yang mereka ketahui
berhasil membunuh temannya di suatu tempat. Satu persatu kedai diinspeksi, setiap
sudut ruangan diperiksa.

Lonceng pintu berdenting, mereka masuk. Aaron mengintip sejenak dari celah di
bawah meja. Empat replikan tipe Nexus 8 itu masuk menenteng senjatanya masing-
masing di bahu mereka. Dua laki-laki dan dua perempuan.

Salah seorang dari mereka berambut cepak hijau, bola matanya membesar melihat
keadaan bar yang nampak kosong. Semua kru dan pengunjung berada di balik meja
bar. “Aneh sekali. Bukankah sore tadi kau kemari, Ludwig?” Ia bertanya pada
temannya yang berbadan besar. “Katamu, bar ini disesaki pengunjung. Hampir tak
ada kursi dan meja yang kosong. Botol dan gelas bir berantakan di meja. Mengapa
sekarang semua kosong? Meja sudah bersih, kursi-kursi sangat rapi.” Ia mengetuk-
ngetuk meja dengan moncong senjatanya.

“Sepertinya mereka bersembunyi, Rob.” Jawab Ludwig yang sedang mengecek


segala sudut ruangan bar. Ia terhenti di depan meja bar. “Aku tahu kalian berada di
balik meja ini. Bar ini terlalu berharga untuk ditembusi peluru kami. Keluarlah, kami
hanya ingin bicara baik-baik.”

Chris, seorang pramusaji melirik kepada Aaron, menunggu keputusannya. Aaron


mengangkat tangan menyuruhnya bersabar. Jas hujan yang ia simpan di dalam
lemari kecil di bawah meja dikeluarkan dan dilemparkan ke sisi kiri meja bar untuk
memastikan mereka tak akan menembak mereka ketika muncul dari balik meja.

“Oh, ayolah. Kami tidak senaif itu.” Ujar Robert, si replikan berambut cepak hijau.

Aaron mengangguk dan berbisik pada semua yang bersembunyi, “Kita keluar,
perlahan, angkat tangan kalian dan jangan menatap mata mereka.”

Mereka muncul dari balik meja bar mengangkat tangan, menunduk, sebagian ada
yang gemetar dan berkeringat.

Robert tersenyum penuh kemenangan. “Ah. Kalian. Ketakutan. Jangan kalian


anggap kami hanya sebagai tiruan kalian. Kita sama-sama manusia.” Ia melangkah
di hadapan mereka sambil menatap satu persatu. “Tak perlu takut, aku hanya ingin
mengajukan beberapa pertanyaan.”

Ia berhenti di hadapan Aaron, lalu menggeliat seperti cacing kepanasan. Kemudian


tiba-tiba membungkuk. Dari bawah, pandangannya lekat pada sepatu, celana,
pinggul, perut, dada, leher, hingga kepala Aaron. Dihidunya dalam-dalam aroma
leher Aaron. “Hmm... Aroma alkohol dari minuman bercampur dengan alkohol dari
parfum murahan. Kau, si bartender satu-satunya yang bekerja disini.” Ia mencari
kursi, menyandarkan blaster besarnya pada sisi meja bundar lalu duduk.
“Kemarilah.” Aaron mendekatinya dengan ragu, ia menyuruhnya duduk. Aaron
duduk dengan kaki gemetar hebat.

“Siapa namamu?” Tanyanya sambil menopang dagu.

“Aaron.” Suara Aaron serak, lalu berdehem.

“Baiklah, Aaron. Kemarin, kawanku Josh berkunjung kemari. Keadaannya waktu itu
sangat istimewa, masih rupawan dengan kulitnya yang seputih burung merpati. Lalu,
aku mendapat kabar bahwa Josh menggelepar di lantai bar ini dengan kepalanya
yang pecah, otaknya berhamburan, darahnya berceceran.” Ia menggeleng, sekilas
nampak kedua bola matanya basah. Aaron merasa canggung, belum pernah melihat
seorang replikan menangis seperti itu. Ia melanjutkan perkataannya bersama kedua
matanya yang secara ajaib sudah kering, “Seorang pemburu bayaran—yang disebut
sebagai Blade Runner—suruhan NYPD bernama Peter Hamilton membunuhnya
dengan keji di sini. Kau menyaksikan itu, huh?”

“S-setahuku temanmu itu dipensiunkan, bukan dibunuh.” Jawab Aaron ragu.

Robert menggebrak meja, “Bodoh! Dipensiunkan adalah kata yang diperhalus agar
citra kaum kalian tidak dianggap buruk oleh kami. Jelas-jelas ia dibunuh. Sama
seperti kalian jika aku tembak dengan senjataku ini, dibunuh. Bukan dipensiunkan!”

“I-iya, dibunuh.”

“Peter sering berkunjung kemari. Josh dengan sialnya terperangkap di sini. Kau tahu
dimana aku bisa menemukan Peter? Di rumahnya, tahu alamat rumahnya?”

“Aku tidak tahu apartemennya, temui saja di NYPD.”

“Bodoh! Kau baru saja menyebut apartemen, bukan rumah seperti yang aku
sebutkan.” Robert menodongkan blaster besarnya pada Aaron, “Jawab dengan jujur!
Dimana alamat apartemennya, atau kau akan...“ Ia berbisik di telinga kiri Aaron,
“...Dipensiunkan seperti Josh.”

Aaron terpaksa memberi tahu alamat Peter. Peter tinggal di sebuah apartemen
ramai penghuni di Soho. Setelah mereka pergi, Aaron segera mengirim pesan
singkat melalui ponselnya pada Peter mengabarkan para replikan itu mencarinya di
sana.

AARON: Para replikan sialan itu menuju apartemenmu. Bersiaplah.

PETER: Aku sedang di Chinatown, Kedai Nakagawa. Menyantap ramen dan sushi
yang sangat lezat. Kemarilah, persetan dengan mereka.

Para pengunjung berhamburan keluar bar beberapa menit setelah para replikan
pergi. Aaron dan Chris segera menutup bar, Chris pamit pulang dan Aaron pergi
menumpang taksi terbang ke Chinatown menemui Peter.
Waktu tempuh menuju Chinatown sekitar 10 menit dari barnya. Di tengah guyuran
hujan intensitas sedang yang hampir setiap hari turun—akibat radiasi debu radioaktif
pada masa perang beberapa dekade lalu—Aaron keluar dari taksi terbang. Ia masih
harus berjalan kaki di tengah lautan manusia karena taksi tidak bisa berhenti tepat di
depan kedai itu. Sebagian dari mereka menggunakan payung dengan tangkai yang
menyala seperti lampu LED. Aaron tidak membawa payung, ia menutupi kepalanya
hanya dengan telapak tangannya. Kemudian berlari kecil menyebrang jalan menuju
Kedai Nakagawa.

Ketika Aaron membuka pintu, Peter sudah duduk menyantap ramen dan sushi.
Mulutnya mengeluarkan uap setiap kali dia mengunyah ramen. Aaron yang berada
di hadapannya menggeleng, terheran mengapa kawannya itu bisa bersantai setelah
banyak memensiunkan replikan sejak beberapa hari lalu sedangkan apartemennya
juga kemungkinan diobrak-abrik para replikan.

“Aku sudah memperkirakan, mereka pasti mencariku. Replikan yang kupensiunkan


di tempatmu kemarin adalah buruanku sekaligus pancingan buat mereka.” Ujar
Peter sambil mengunyah sushi. “Duduklah.” Aaron duduk di hadapannya. “Kau mau
makan apa?”

“Tidak, Pete. Berhadapan langsung dengan replikan pemberontak membuatku


mual.”

“Ah. Kebetulan kalau begitu, minumlah ini.” Peter menyodorkan gelasnya yang berisi
air yang nampak coklat pucat.

“Apa ini?” Aaron menghirup aroma minuman itu.

“Air jahe dan madu. Bagus untuk kekebalan tubuh dan penghilang rasa mualmu itu.”
Peter telah menghabiskan ramennya. Ia mengelap mulutnya menggunakan
saputangan.

Aaron meminum seteguk air jahe dan madu, rasa mualnya langsung sirna. Lalu
Peter menawarkan sushinya yang masih tersisa dua buah untuk dimakan Aaron. Ia
memakannya dengan lahap.

“Begini, Ron. Maafkan aku jadi menggiringmu berhadapan dengan para replikan itu.
Mereka tak perlu kau pikirkan lagi, itu urusanku. Aku akan memastikan mereka tak
akan kembali ke tempatmu lagi. Aku sudah tahu tempat persembunyian mereka.
Sebuah gedung apartemen kosong di selatan Brooklyn. Para replikan pemberontak
sering bersembunyi di apartemen yang sudah tak layak huni. Besok aku akan
mencari mereka.” Ujar Peter kemudian memanggil pelayan meminta bon
pembayaran.

“Terima kasih, Pete. Berhati-hatilah.” Aaron selesai menghabiskan sushi.


“Ya sudah, pulanglah ke rumahmu. Pacarmu, ehm—replikan baik itu mungkin sedari
tadi sudah menunggumu di ranjang.” Gurau Peter.

“Sialan kau. Aku bersyukur sejauh ini dia tidak memberontak seperti replikan-
replikan itu.”

“Ya, semoga tidak. Atau nanti aku akan memburunya.”

2. Love in Contract

Setelah turun dari taksi terbang, Aaron menembus hujan bergegas masuk gedung
apartemennya. Ia bersendawa terus menerus akibat memakan sushi dan air jahe
campur madu. Rambut pirangnya yang basah lepek dikibaskan dengan tangannya
selagi berjalan di koridor. Ia masuk ke dalam lift, mengucapkan lantai 7 pada mesin
suara operator lift. Tiba di lantai 7, menyusuri koridor menuju apartemennya yang
paling ujung lobi. Pintu kamar bernomor 79 diketuk, beberapa detik kemudian pintu
terbuka sedikit. Di celah pintu yang terbuka nampak gadis berambut coklat digelung
dan berbola mata besar.

“Hei, babe. Masuklah.” Lizzie, si gadis—replikan itu mempersilakan Aaron masuk.


Selagi Aaron melepas sepatu dan menggantungkan mantel tebalnya yang cukup
basah, ia memperhatikan pacarnya yang nampak kuyu. “Mengalami hari yang berat,
huh?”

Aaron tak menjawab, ia memperhatikan replikan miliknya yang mengenakan dress


pendek merah bermotif polkadot putih itu dari ujung kepala hingga kakinya.

“Tadi aku memasak sup jamur dan brokoli kesukaanmu. Mungkin sekarang sudah
dingin, aku akan...” Replikan itu berhenti berbicara selagi Aaron tiba-tiba menariknya
dan mencium bibirnya. Ia memeluknya erat. Setelah beberapa detik, ia berusaha
melepaskan tangan Aaron yang masih memeluk punggungnya lalu melanjutkan
perkataannya tadi yang sempat terpotong, “...aku akan memanaskannya lagi
untukmu. Mulutmu bau jahe. Kau mandilah terlebih dahulu.” Pungkasnya dengan
tawa menggelitik.

“Terima kasih, babe.” Ucap Aaron sembari membuka bajunya berjalan menuju
kamar mandi.

Aaron selesai mandi. Liz sudah menyiapkan sup jamur dan brokoli di meja makan.
Asap tipis mengepul dari mangkuk porselen. Aaron duduk di kursi memerhatikan
jamur dan brokoli yang sudah layu karena dipanaskan kembali. Sementara Liz
menyiapkan piring dan sendok untuk Aaron. Mengisikan air ke dalam gelas, lalu
duduk di hadapan Aaron.

“Mana piringmu?” Tanya Aaron yang tidak melihat piring di depan Liz.
Liz menopang dagu dengan kedua tangannya yang dikepalkan. “Sementara kau
masih di luar, aku sudah makan duluan karena kelaparan. Kau pulang terlalu larut,
babe.”

“Maafkan aku, malam ini aku cukup sibuk.” Ujar Aaron sembari menyantap sup
buatan Liz yang membuat alisnya terangkat-angkat.

“Gara-gara kawan-kawanku yang memberontak berulah di barmu itu?”

Aaron hampir tersedak, “Dari mana kau tahu soal itu?”

Liz menurunkan tangannya, dilipat di atas meja. Wajahnya murung, “Sebenarnya,


mereka mengajakku kembali untuk memberontak. Kemajuan replikan tipe Nexus 8
sepertiku ini seharusnya sudah diperkenankan untuk bekerja sesuai kehendak kami.
Namun itu hal yang sulit, karena kontrak program yang diberikan Wallace pada para
pelanggannya terlalu mengikat. Maka mereka kabur dari pelanggan demi kepuasan
dan kebebasan mereka sendiri.”

“Tetapi tidak berani mengadu pada Wallace?”

“Ya. Kami memilih kabur dari pelanggan. Beberapa replikan tidak bisa
mengendalikan empatinya sehingga memberontak secara brutal seperti yang terjadi
pada Robert, Josh, Ludwig, Fred, Jolene, Erica dan Pom.”

“Kau tidak seperti mereka?”

Liz mengembuskan napas berat. “Semoga tidak. Aku kan tipe yang berbeda. Mereka
kelas pekerja berat. Robert dan Josh buruh bangunan. Josh kawan dekat Robert,
sehingga dia yang paling marah mendapati kawannya menyusul Fred dan Jolene
yang sebelumnya sudah dipensiunkan Peter ketika sedang bekerja di suatu tempat
prostitusi di pinggiran Sungai Hudson sebelum mayat mereka dibawa ke kantor
polisi dan temanmu Peter mendapatkan imbalannya.”

Liz terhenti sejenak, meminum air dari gelas, kemudian melanjutkan, “Ludwig, si
pemecah batu yang selalu dirundung sebagai manusia sintetis oleh bosnya disuruh
memecahkan batu memakai tangan kosong sampai terluka. Perawat seperti Erica
dan Pom sering dicerca keluarga pasien yang meninggal karena dianggap
melakukan malpraktik. Sedangkan aku cukup beruntung hanya diprogramkan
untukmu, menjadi kekasihmu. Sebenarnya kami juga berteman dengan dua Nexus 8
yang diprogramkan sepertiku, Misaki dan Julie. Namun mereka pindah beroperasi di
Wallace Corporation Jepang. Maka hanya tersisa aku sendiri.”

Aaron berhenti menyantap sup. Ia memutar-mutar telunjuknya pada mulut gelas,


ekspresinya berubah datar dengan tatapan setengah kosong.

“Omong-omong, berapa sisa kontrakmu denganku? Kurasa sudah lama kau hidup
bersamaku di sini. Tapi aku tak pernah menghitungnya.”
“Astaga, kau lupa? Kontrak selama dua tahun itu berakhir dua hari lagi. Tepat
malam tahun baru nanti programku berakhir.” Jawab Liz bernada sedih namun air
mukanya senang, terlihat dari senyuman aneh yang menampakkan gigi-gigi
putihnya.

“Wow, dua hari lagi rupanya. Tidak terasa, sungguh. Seharusnya aku bisa lebih
banyak meluangkan waktu bersamamu.” Ucap Aaron memaksakan senyumnya.

Liz menguap, ia meminta izin pada Aaron untuk tidur terlebih dahulu. Aaron
mengangguk, melanjutkan menyantap supnya. Setelah selesai menyantap sup, ia
mencuci peralatan makannya.

Berbaring di samping Liz, Aaron menatap Liz yang sudah tertidur. Ia masih tak
menyangka selama dua tahun diberi makan oleh seorang replikan yang sangat
pandai memasak.

Di luar, hujan sudah mereda. Balon udara besar membumbung di atas kamar
apartemennya. Sinar lampu yang dipancarkan dari balon itu menembus tirai kaca
balkonnya. Mereka mempromosikan produk terbaru Wallace yang akan segera rilis.
Pasangan wanita hologram bebas kontrak akan menggantikan replikan fisik yang
diperuntukkan pada pria lajang.

3. Organ Emosi Penfield

Paginya, Liz membuatkan Aaron sarapan. Ia sudah berada di dapur setengah jam
sebelum Aaron bangun. Scramble egg dan sosis diolesi mentega yang dipanggang,
diselipkan ke dalam dua roti gandum. Aaron keluar kamar, masih menguap ia
memperhatikan Liz yang sedang menata telur dan sosis di dalam roti. Ia
memeluknya dari belakang sambil tersenyum. Liz agak terkejut. Dipeluknya Liz
sambil bergoyang ke kanan kiri seperti mengajaknya berdansa.

“Sarapan pagi ini sederhana saja. Aku bangun kesiangan karena menunggumu
pulang tadi malam.” Ucap Liz yang masih merasa geli karena dipeluk Aaron.

“Tidak apa. Apapun yang kau buat, aku menyukainya. Kau sangat andal dalam
memasak.” Puji Aaron lalu melepaskan pelukannya dan mencium pipi Liz. Kemudian
mengambil dua gelas dalam rak di atas kompor lalu berjalan menuju lemari es,
mengambil kotak susu dan menuangkannya dalam gelas.

Aaron pamit pada Liz untuk kembali membuka bar. Di luar, langit mendung. Setiap
hari hampir tak bisa dibedakan antara siang atau malam. Temperatur udara hampir
sama setiap waktunya, sekitar 10 hingga 12 derajat celsius. Siang dan malam hanya
bisa diketahui melalui jam hologram yang terpampang di tembok-tembok beberapa
gedung dan perangkat elektronik pribadi.

Sementara Aaron pergi bekerja, Liz menyadari satu hari lagi masa kontrak kerjanya
sudah habis. Ia memutuskan untuk membelikan hadiah untuk Aaron. Sambil
menyapu lantai apartemen, Liz menimbang-nimbang hadiah yang cocok untuk
Aaron agar tidak kesepian jika tidak ada dirinya lagi. Diperhatikannya seisi ruangan
apartemen Aaron, hanya diisi perabotan seperti rumah-rumah pada umumnya. Ia
keluar pintu apartemen, mondar-mandir di koridor.

Di ujung koridor nampak seorang wanita gempal keluar dari lift. Patsy, tetangganya.
Ia nampak menjinjing suatu alat elektronik. Liz menghampirinya sebelum Patsy
menuju apartemennya.

“Hai, Patsy.” Ia berdiri di belakang Patsy yang hendak membuka kunci pintu
apartemennya.

Patsy terkejut mendapati suara di belakangnya. “Astaga, kau mengejutkanku, Liz.”

“Oh maaf, Patsy.” Ucap Liz tersenyum sambil memerhatikan suatu alat yang dibawa
Patsy.

“Ada apa, Liz?”

“Apa itu, Pat?” Tanya Liz menunjuk alat itu.

“Ah, ini.” Sambil tersenyum Patsy mengeluarkan alat itu dari plastik pembungkusnya,
lalu memperlihatkannya pada Liz, “Organ emosi Penfield. Akan kuberikan sebagai
hadiah ulang tahun untuk suamiku.”

“Oh, manis sekali. Apa fungsi alat itu?”

“Ini berfungsi untuk mengatur tingkat emosi atau mood kita ke arah yang diinginkan.
Apabila kau ingin merasa senang, sedih, khawatir, dan segala emosi lainnya bisa
diatur oleh alat ini. Bisa juga untuk mengatur mood kita yang semisal sedang malas
membersihkan rumah bisa menjadi bersemangat, ataupun ingin menonton televisi
tak peduli apapun acaranya. Walaupun kau menonton Buster Ramah yang
menyebalkan itu, kau tetap akan menikmatinya.”

“Oh, baiklah. Apakah alat itu bisa mengobati rasa kesepian?” Tanya Liz dengan
wajah memelas.

Senyum Patsy surut, ia memasukkan kembali organ emosi Penfield ke dalam plastik
pembungkusnya. “Apakah kau sedang ada masalah dengan Aaron? Setiap aku
berpapasan dengan Aaron belakangan ini wajahnya terlihat kusut.”

“Tidak. Aaron yang punya masalah. Tapi itu hanya masalah kecil, tak perlu kau
pikirkan.” Jawab Liz yang kembali tersenyum.

Patsy senang mendengarnya. Ia berkata bahwa organ emosi Penfield bisa


mengobati rasa kesepian, hanya dengan mengatur pada angka 72 maka akan
berdamai dengan rasa sepi. Liz menanyakan tempat ia membeli alat itu.
“Dari seseorang bernama Paul Badger. Penadah barang bekas di Manhattan, tetapi
dia juga menjual beberapa barang elektronik baru.”

Setelah diberitahu Patsy, Liz memutuskan akan membeli organ emosi Penfield
sebagai hadiah perpisahan untuk Aaron. Ia bergegas menyelesaikan pekerjaannya,
lalu berganti pakaian untuk pergi ke Manhattan. Liz mengunci pintu, kuncinya ia
selipkan di belakang kotak lampu dekat pintu.

Melalui panggilan video, Liz menghubungi kawannya, Pom yang memiliki mobil
terbang pribadi. Hadiah dari Wallace ketika ia masih bekerja sebagai perawat karena
telah menyelamatkan dirinya dari kematian akibat melawan replikan yang
memberontak, walaupun Wallace harus kehilangan penglihatannya.

“Oh, hai Nyonya Tompson. Ada apa?” Tanya Pom yang menerima panggilan video
sembari merias diri.

“Jangan panggil aku dengan sebutan itu. Kau tahu Aaron membenci ayahnya.”

“Hmm. Tumben kau menghubungiku, Liz. Apakah kau berubah pikiran, akan ikut
bersama kami mengejar Blade Runner?”

“Bukan, aku ingin kau menemaniku pergi ke Manhattan.”

“Kemana tepatnya?”

“Toko gadai.”

“Hahaha, apakah Aaron berniat menutup barnya karena ketakutan bertemu kami?”
Pom terbahak-bahak.

“Tidak, Pom. Aku hanya ingin membelikannya hadiah. Kontrak kerjaku dengannya
hanya menyisakan satu hari lagi.”

“Oh. Baiklah. Aku segera bersiap. Aku akan menjemputmu di depan apartemenmu.”

“Kau sedang berias, tidak akan pergi bersama kawan-kawan lainnya?”

“Tidak. Semalam, setelah inspeksi ke beberapa tempat, mereka menyambangi


apartemen Peter, aku tidak ikut karena sibuk berjudi dengan seorang akuntan. Aku
tidak mendapat kabar lagi dari mereka setelah itu. Mungkin mereka sudah
dipensiunkan, aku tidak terlalu peduli.”

“Oh, baiklah. Terima kasih, Pom.”

4. Target Terakhir

Aaron membuka bar. Mencuci gelas-gelas yang semalam tidak sempat dicuci akibat
ketegangan dengan replikan. Slot kosong untuk botol minuman beralkohol ia penuhi
kembali. Rekannya, Chris sedang mengelap meja dan kursi. Reece di luar sibuk
menyemprotkan cairan pembersih pada kaca.
Peter muncul di hadapan Reece, “Aaron sudah datang?”

Reece menunjuk Aaron yang berada di dalam dengan dagunya. Peter masuk lalu
duduk di depan meja bar Aaron.

“Kau datang pagi sekali, Pete. Bagaimana dengan para Nexus itu?”

“Tuangkan scotch untukku.” Perintah Peter, dengan sigap Aaron membuatkannya.


Lanjut Peter, “Semalam hanya tiga replikan yang datang ke apartemenku. Rupanya
mereka menungguku sampai larut malam. Aku sudah memensiunkan mereka
semua, dan itu tidak mudah.”

“Tiga replikan dalam satu malam?” Aaron terkejut tak menyangka.

“Ya, hanya tiga. Padahal targetku empat. Replikan bernama Pom tidak bersama
mereka semalam.” Jawab Peter lalu meneguk habis scotch-nya. Kemudian Peter
menatap Aaron dengan serius, “Kudengar, kontrakmu dengan Lizzie akan berakhir
besok?”

Aaron menyandarkan kedua telapak tangannya di meja, “Betul. Bagaimana kau tahu
itu?” tanyanya penasaran.

“Sebenarnya aku tidak nyaman membicarakan ini denganmu, apalagi pada pagi hari
seperti ini. Tapi apa boleh buat. Semalam aku mendapatkan satu tugas tambahan,
memburu satu replikan lagi yang tersisa.”

“Siapa? Pom yang semalam tidak turut serta bersama mereka?”

“Bukan, Lizzie.”

Wajah Aaron kisut. Ia tahu kalau suatu saat mungkin Liz akan diburu oleh temannya
sendiri, dan inilah saatnya.

Peter melanjutkan, “Inspektur Leopold memberitahuku bahwa ada kemungkinan


besar Lizzie terkoneksi dengan total tujuh replikan Nexus 8 yang memberontak.
Apakah sebenarnya kau tahu itu?”

“Ya. Liz pernah menceritakannya. Tapi kau tahu, ia tak ikut memberontak dengan
mereka, mengapa Liz tiba-tiba masuk ke dalam daftar targetmu selanjutnya?” Aaron
mencoba membela Lizzie.

“Walaupun aku nantinya telah tuntas memensiunkan tujuh replikan, selesai kontrak
denganmu Lizzie akan dipanggil kembali oleh Wallace. Ia akan bergabung dengan
dua replikan yang ditugaskan di Jepang sebagai pemasok senjata ilegal bagi
replikan di New York. Ancaman replikan yang memberontak akan semakin banyak.”

“Benarkah? Mengapa Liz tidak menceritakan itu padaku?”


“Liz belum tahu. Inspektur Leopold punya mata-mata di Wallace Corporation di
California. Kuharap kau tidak memberitahu Liz soal ini.”

Aaron tak menjawab, raut wajahnya penuh amarah.

5. Hadiah Terakhir

Lizzie dan Pom melesat menuju pertokoan di Manhattan. Menembus hujan yang
mematuk-matuk bodi mobil terbang. Mereka tiba di Manhattan, di sebuah kawasan
pasar penuh kios-kios yang menjual barang beraneka ragam. Ada kios pakaian
bekas, tanaman hias, hewan-hewan ternak—baik yang artifisial maupun sungguhan,
karena beberapa binatang sungguhan telah punah beberapa dekade lalu setelah
perang—kedai makanan, ramuan herbal, kacang-kacangan, dan masih banyak lagi.
Mereka menelusuri jalan kecil yang disesaki pengunjung, menembus kepulan asap
dari pedagang daging asap, aroma ramuan herbal yang campur aduk beradu
dengan aroma roti yang baru dikeluarkan dari panggangan.

Di ujung jalan nampak sebuah kios yang memajang berbagai peralatan elektronik.

“Ah, sepertinya itu kios Paul Badger.” Tunjuk Liz pada Pom yang sambil lalu
memerhatikan ular sanca yang tengah dipotong penjual ramuan herbal. Liz menarik
tangan Pom menggiringnya menuju ke kios Paul. Kios nan sempit namun disesaki
berbagai macam barang-barang elektronik dan etalase berisi binatang asli dan
artifisial.

Paul menyambut mereka dengan senyum ramah dan formal. “Selamat datang. Aku
Paul Badger. Senang melayani anda, calon pelanggan baru.”

Liz dan Pom mengamati setiap barang yang dijajakan di kios, kebanyakan barang-
barang elektronik bekas, pikir Liz. Ia berniat membelikan organ emosi Penfield yang
baru, bukan bekas.

“Ada yang bisa kubantu? Anda mencari apa, sister?” Tanya Paul memerhatikan
mereka.

“Paul, aku mencari organ emosi Penfield yang baru. Untuk hadiah, aku
menginginkan barang yang baru. Masih ada?” Tanya Liz dihadapan Paul memelas.

“Oh, organ emosi. Sayangnya yang baru sudah terjual pagi tadi. Yang tersisa...
sebentar.” Paul merunduk, mencari alat itu di etalase bagian bawah, “ini.” Ia
mengambilnya lalu diperlihatkan pada Liz di permukaan etalase.

“Hanya tersisa satu, bekas. Menurut pengguna sebelumnya, dia hanya


menggunakan alat ini sebanyak tiga kali. Masih seperti baru. Akan aku berikan
diskon untukmu, seorang gadis yang cantik.” Paul mengedipkan sebelah matanya.

Pom mendekat, menggebrak permukaan etalase. “Dia mencari yang baru!”


Paul tersentak, “Maaf, sister. Aku hanya bercanda, tetapi aku tidak bercanda soal
alat ini.”

Liz kembali memasang wajah memelas, “Dimana aku bisa mencari organ emosi
Penfield yang masih baru?”

“Aku mendapatkannya dari kakakku yang juga tukang gadai di California. Alat ini
hanya diproduksi terbatas di sana. Kabar terakhir dari kakakku ia sudah tidak
menemukan lagi alat ini. Produksinya sudah berhenti akibat kalah bersaing dengan
teknologi terbaru dari Wallace Corporation yang lebih canggih. Di New York hanya
aku yang menjual alat ini. Kau tidak akan mendapatkannya di kios manapun.” Ujar
Paul meyakinkan Liz.

Pom berbisik pada Liz, “Aku yakin dia berbohong. Mana mungkin hanya dia yang
menjual alat itu.”

“Baiklah. Aku akan mencarinya ke kios lain. Permisi.” Ucap Liz lalu pergi menuju
pintu keluar bersama Pom.

“Hei, sister. Aku bersungguh-sungguh. Baiklah, kau boleh membayar setengah


harga.” Bujuk Paul.

Liz tersenyum, ia kembali mendekati Paul. Pom menggeleng-geleng di dekat pintu.

“Asalkan kau menyerahkan jam tanganmu itu.” Paul tersenyum menunjuk jam
tangan yang melingkar di pergelangan tangan Liz.

“Hmm, baiklah. Lagipula jam tangan ini hanya imitasi.” Liz melepaskan jam
tangannya dan menyerahkannya pada Paul.

“Memang tak seberapa, tapi jam tangan ini senilai dengan setengah harga organ
emosi ini.” ujar Paul senang.

Liz meminta Paul membungkusnya rapi dengan kertas kado agar tak perlu repot-
repot membungkusnya kembali sehingga bisa langsung diberikan pada Aaron
nantinya. Liz bersama Pom kembali menuju tempat mereka memarkirkan mobil
terbangnya. Di perjalanan menuju tempat parkir, Pom kembali mengamati ular sanca
yang masih sedang dijagal.

6. Makan Malam Istimewa

Tiba di apartemennya, Liz buru-buru menyembunyikan hadiah untuk Aaron di bawah


ranjang. Ia akan memberikannya esok, tepat di hari terakhir kebersamaan mereka
sebelum Liz kembali ke California.

Malam harinya, Liz begitu ceria. Ia akan menyiapkan menu makan malam yang
spesial untuk dinikmati berdua. Berbagai buah-buahan ia beli tadi sewaktu pulang
dari kios Paul Badger, ditatanya dengan rapi buah-buahan itu di atas piring besar.
Bunga lilac diatur sedemikian rupa yang dimasukkan dalam vas transparan lalu
ditaruhnya di tengah meja. Setelah itu ia langsung beranjak ke dapur mengolah
bahan makanan.

Ketika semua sudah selesai disajikan, ia menyalakan lilin di samping bunga lilac.
Penuh senyum ia menatap bunga itu, kemudian duduk di kursi yang biasa Aaron
duduki, meniru gaya bicaranya seakan Aaron akan terkesan dengan segala hal yang
dipersiapkan Liz.

Tak lama, Aaron pulang. Ia membunyikan bel pintu, Liz bersiap membukakan pintu.
Ia berhenti sejenak di belakang pintu, menata rambutnya di depan cermin yang
terletak di samping pintu. Liz membukakan pintu dengan senyuman ramah.

Aaron nampak lesu, melihat Liz tersenyum ia memaksakan senyumnya merekah


tetapi tampak tidak tulus. Liz yang menyadari itu langsung bertanya sambil
memeluknya. “Hari yang buruk lagi?” Aaron digiring masuk oleh Liz, “Aku sudah
menyiapkan makan malam yang spesial untukmu.”

“Wah. Kau mempersiapkan ini semua untukku?”

“Untuk kita berdua, esok adalah hari terakhir kita. Kemarilah.” Liz menarik kursi
untuk Aaron.

Aaron membuka tutup mangkuk besar, asap tipis mengepul dari sup daging sapi
yang dibuat Liz, aromanya menguar menusuk hidungnya yang memerah karena
udara dingin di luar. Ia tersenyum dan mengecup pipi kiri Liz yang sedang
menunduk di sampingnya, “Duduklah. Mari kita makan.”

Liz dan Aaron duduk berhadapan dengan air muka yang sungguh berbeda dari
biasanya. Liz lebih ceria dan menyembunyikan hadiah untuk diberikan pada Aaron
esok hari, sedangkan Aaron lebih lesu dan menyembunyikan fakta Liz kemungkinan
akan dipensiunkan esok hari.

7. The Last Day

Hari terakhir di tahun 2035, Aaron membuka barnya sampai sore hari. Sementara
Liz bersiap menyambut tahun baru bersama Aaron dengan hadiah yang
dipersiapkannya. Sepanjang hari Aaron lebih banyak merenung ketika melayani
pelanggan. Seharusnya barnya baru tutup menjelang tengah malam, hari ini ia
memutuskan tutup lebih awal demi menemani Liz di saat terakhirnya.

Aaron dan Liz menghabiskan waktu makan malam bersama seperti kemarin dan
menonton film di televisi. Liz akan segera pergi saat pesta kembang api akan
dimulai.

Liz beranjak dari sofa sambil tersenyum dan mengelus lengan Aaron, “Tunggu
sebentar.” Ia berjalan menuju kamar.
Sementara Liz berada di kamarnya, ponsel Aaron berdering. Pesan singkat dari
Peter, Pom telah kupensiunkan. Selamat menikmati malam terakhir bersama Lizzie.
Aku harap kau tetap di rumah sementara aku akan mengikutinya selepas dia
meninggalkan New York. Aaron gelisah, terus menerus menggoyang-goyangkan
kedua kakinya. Liz kembali membawa bingkisan berbentuk kotak berukuran sedang.

“Hadiah untukmu, babe.” Liz menyerahkan hadiahnya pada Aaron.

“Dalam rangka perpisahan kita?” Tanya Aaron memastikan.

Liz mengangguk. “Ini hari terakhirku denganmu. Sebelum pesta kembang api nanti
aku akan beranjak kembali ke California. Seseorang dari Wallace Corporation akan
datang menjemput. Jangan dibuka sekarang. Bukalah saat pesta kembang api
dimulai dan aku sudah beranjak dari rumah ini.”

Aaron tersenyum, meletakkan hadiahnya di meja. “Tidak. Aku akan mengantarmu ke


California sekarang.”

Liz terheran, “Ah? Mengapa kau tiba-tiba ingin mengantarku?”

“Dengar. Seharusnya aku memberitahumu sejak kemarin. Kau belum mendapat


kabar dari teman-temanmu? Mereka sudah dipensiunkan Peter. Pom baru saja.
Sebentar lagi giliranmu.” ucap Aaron gelisah. Liz menganga, wajahnya memucat.
Aaron melanjutkan, “Kalau kau pergi sekalipun bersama seseorang dari Wallace tak
menjamin dirimu akan selamat dari Peter. Aku tahu betul dia sangat tangkas
menangani replikan.”

“Tak perlu khawatir, babe. Apapun yang akan terjadi denganku nanti adalah
urusanku. Bagaimanapun, aku hanya kekasih kontrakmu. Setelah dua tahun aku
bukan siapa-siapa lagi bagimu. Dan bila aku selamat, program baru yang
ditanamkan Wallace nanti padaku mungkin akan membuatku melupakanmu.”

“Tidak. Kau keluargaku. Takkan kubiarkan Peter memensiunkanmu.” Aaron geram,


namun ia sendiri ketakutan.

“Tidak apa, babe. Kita masih punya waktu satu jam lagi.” Liz membelai rambut
Aaron. Aaron memeluk Liz. Liz menenangkannya.

Beberapa menit sebelum pergantian tahun, Liz hendak berpamitan pada Aaron yang
sudah pasrah akan berpisah dengan Liz yang masih tak jelas nasibnya. Berhasil
dipensiunkan Peter atau Liz bisa kabur dikawal oleh seseorang dari Wallace
Corporation.

Pintu apartemen diketuk. “Permisi. Nyonya Lizzie? Saya dari Wallace Corporation.”

Aaron membukakan pintu. Hujan cukup deras, kilat berkelebat. Di hadapannya


berdiri tegap seorang pria memegang payung, berambut hitam klimis yang berbadan
kekar.
“Ah, kau pasti Aaron. Perkenalkan, saya Dominic. Saya yang akan mengantar
Nyonya Lizzie kembali kepada Tuan Wallace di California.” Ia nampak
mengeluarkan sebuah tablet. “Mohon menempelkan sidik jari anda di sini.”

Aaron menurut saja. Kontrak Liz dengan Aaron sudah resmi berakhir. Aaron melirik
ke arah mobil terbang Dominic. “Kau sendirian saja?”

“Ya. Saya sendirian. Apakah ada masalah, Aaron?”

“Tidak. Berhati-hatilah berkendara di tengah guyuran hujan deras seperti ini.”

“Tentu saja, Aaron.”

Liz muncul dari balik punggung Aaron, ia menyambut ramah Dominic yang sudah
dikenalnya.

“Suatu pengalaman yang indah bisa bersamamu selama dua tahun, Aaron. Ingat.
Jangan menyusulku. Bukalah hadiahmu itu.” Ujar Liz tersenyum. Mereka berpelukan
sejenak kemudian Liz bergabung dengan Dominic yang memayunginya.

Aaron mematung. Sebelum memasuki mobil terbang, Liz menengok ke belakang


dengan raut wajah sendu, matanya berkaca-kaca. Ia melambai pada Aaron lalu
masuk. Pintu mobil dari atas menutup ke bawah. Dari jendela mobil di dalam yang
terhalangi air yang mengalir dari kap mobil, Liz masih bisa melihat bayang-bayang
Aaron. Tangisnya pecah ketika mobil perlahan mengapung. Aaron beranjak keluar,
berdiri mendongak di tengah derasnya hujan, memastikan mobil itu lepas landas
dengan aman.

8. Menari Di Tengah Hujan

Baru melaju beberapa menit di udara, sebelum keluar dari New Jersey mobil terbang
Liz dan Dominic didekati mobil terbang Peter. Dengan pelantang dari mobilnya,
Peter menyuruh Dominic untuk mendarat. Dominic yang kebingungan melihat mobil
terbang polisi mendekatinya tak mengetahui kesalahan yang diperbuatnya. Liz
mencoba mencegah Dominic mendarat.

“Jangan mendarat. Aku sedang dalam bahaya.” Perintah Liz gelisah.

“Apakah dia seorang Blade Runner?” Dominic bertanya sambil menunjuk mobil
terbang Peter.

“Ya. Dia mengincarku sekarang. Apabila aku dipensiunkan, kau harus


bertanggungjawab pada Wallace. Atau kita harus mati bersama.”

Dominic batal mendaratkan mobilnya, di tengah kecepatan sedang yang diikuti Peter
ia menukik lalu melaju dengan kecepatan tinggi. Peter terkejut, ia segera menyusul
mereka.
Aaron duduk sendirian di sofa apartemennya. Menatap teh dalam cangkir yang
beberapa menit lalu masih ada yang meminumnya. Noda lipstik ungu masih
menempel, air teh yang sebelumnya panas kini sudah dingin. Pandangannya
mengedar pada seisi ruangan. Dapur tempat biasa Liz memasak hidangan
favoritnya, meja makan tempat biasa mereka bersantap dan berbagi cerita, bingkai
foto mereka yang diletakkan di sebelah televisi. Ia beranjak, memasuki kamarnya
yang sebelumnya pernah ditempati Liz.

Di lemari pakaian hanya tersisa pakaian Aaron. Liz tidak meninggalkan sehelai
benangpun. Di meja rias tergeletak begitu saja botol parfum Liz yang sudah kosong.
Aaron mengambil botol itu, membuka tutupnya. Dihidunya dalam-dalam sisa
wewangian yang menguar dari botol kecil itu. Wangi Liz seperti biasanya, pikirnya. Ia
hendak membuang botol parfum kosong itu ke tempat sampah, namun urung. Botol
itu tetap diletakkan persis sedia kala. Tergeletak begitu saja agar ia mengingat Liz
yang mungkin tak sengaja menyenggol botol parfum kosong itu pada saat sedang
berkemas.

Dengan langkah berat ia keluar kamarnya, kembali duduk di sofa. Ia teringat tadi Liz
memberikannya suatu hadiah. Dibukanya hadiah dari Liz di atas meja. “Oh, wow.
Organ emosi Penfield.” Ia mengambil buku panduan di dalam boksnya, dipelajarinya
dengan saksama daftar nomor pengubah emosi.

Dominic menggila di belakang kemudi mobil terbang. Kecepatan setara kilat yang
berkelabat di atas mereka. Peter mencoba menyusul. Kekurangan dari mobil polisi
yang dikendarai Peter tidak memiliki misil apapun untuk diluncurkan. Sehingga ia
harus terus mendekat untuk menyerempet mobil terbang Dominic.

“Ah, sialan pemburu bayaran itu. Liz, berpeganganlah dengan erat. Aku akan
mengemudikannya lebih cepat dan akan terasa turbulensi.”

Liz bersandar, kedua tangannya mencengkeram handrest erat-erat. Mobil terbang


melaju lebih kencang, mobil kian diterpa hujan deras di luar seperti dilempar kerikil-
kerikil bebatuan.

Mobil terbang Peter mengalami turbulensi yang sama. Berguncang menembus angin
kencang dan hujan deras. Di tengah-tengah pengejaran replikan dengan sopirnya itu
ia mendapat panggilan video di dalam mobil. Inspektur Leopold menghubunginya.
Dengan susah payah ia mencoba meraih tombol menerima panggilan video itu di
dashboardnya. Wajah Inspektur Leopold muncul di layar.

“Hei, Pete. Aku baru saja mendapat jasad Pom. Sebentar, kau mengemudi dengan
kecepatan tinggi? Mengapa mobil terlihat berguncang hebat?”

“Ya, Leo. Aku sedang mengejar replikan satu lagi, Lizzie. Ia dijemput oleh sopirnya
Wallace. Aku tunggu hadiah dua ribu dolar malam ini.”

“Hahaha baiklah, Pete. Apakah kau perlu bantuan untuk mengejar replikan itu?”
“Tidak perlu, Leo. Aku bisa menanganinya sendiri.”

“Baiklah. Kalau kau perlu bantuan segera hubungi aku kembali.”

Wajah Inspektur Leopold menghilang, panggilan video berhenti. Peter kembali fokus
mengejar mereka.

Aaron diam sejenak, berpikir mengapa Liz memberikannya organ emosi Penfield.
Alat ini bisa mengatur tingkat emosi yang ingin ia rasakan. Bila digunakan, rasanya
kodrat dirinya sebagai manusia untuk merasakan emosi secara natural akan
dipermainkan. Saat ini Aaron merasa khawatir jika mendapati Liz bertemu Peter di
tengah perjalanan. Ia segera menyalakan perangkat panggilan video di sudut
ruangan untuk menghubungi Peter.

Peter terkejut dengan panggilan video yang diterimanya, “Ah, ngapain Leopold
menghubungiku lagi.” Ia menatap layar videonya menyadari yang menghubunginya
Aaron. Ia tak menerima panggilan itu, “Sialan, aku sudah dekat dengannya, bro.”
gumamnya.

Aaron semakin gelisah. Ia terus menerus menghubungi Peter, tetapi Peter tetap tak
menanggapinya.

“Maafkan aku, Ron. Ini harus segera aku lakukan.” Ucap Peter sendiri.

Mobil terbang Dominic nampak berkurang kecepatannya. Lampu indikator bahan


bakar berkelip. “Ah, gawat Liz. Kita hampir kehabisan bahan bakar. Mobil ini
otomatis mengurangi kecepatannya. Aku tak bisa mengendarainya terlalu cepat
lagi.”

“Apa? Ah sialan. Ia mulai mendekat, Dom.” Ujar Liz melihat dari kaca tempat
duduknya, mobil terbang Peter sudah nampak di samping mereka.

Di apartemennya, Aaron masih menatap organ emosi. Ia ragu akan


menggunakannya atau tidak. Nomor 23 bisa membuatnya merasa mengantuk.
Rasanya ingin tidur saja daripada membayangkan Liz yang mungkin sedang
ketakutan diburu Peter, pikirnya. Nomor 45 bisa membuatnya merasa bersyukur,
cukup dengan kesendiriannya yang bisa lebih fokus bekerja dan memperkaya diri.
Tetapi ia tertuju pada nomor 72, berdamai dengan rasa sepi. Kini di apartemennya
hanya dihuni olehnya sendiri. Baru beberapa menit setelah Liz pergi saja ia sudah
merasa kesepian. Ia masih menimbang ragu.

9. Kembang Api dalam Bola Mata Indah

Tanpa berpikir panjang, Peter menabrakan mobil terbangnya di sisi kanan mobil
Dominic. Benturan keras terjadi mengakibatkan kedua mobil kehilangan
keseimbangan. Mobil terbang Peter menukik ke bawah mobil Dominic. Ia
membenturkan kap mobilnya ke arah tangki bahan bakar. Dominic yang menyadari
itu melihat indikator bahan bakarnya menyusut drastis, mau tidak mau ia harus
mendaratkan mobil terbangnya.

“Tangki bahan bakar bocor, terpaksa aku harus segera menurunkan mobil ini. Kau
tenang saja. Akan kuhadapi pemburu bayaran itu. Aku punya blaster juga.”

Liz mencoba menenangkan diri. “Oke. Berhati-hatilah, Dom”

Dominic perlahan menurunkan mobilnya. Asap tebal membubung dari bawah


mesinnya. Diikuti mobil terbang Peter yang hancur bagian atasnya.

Kedua mobil telah mendarat. Dominic mengisyaratkan Liz agar tetap di dalam mobil
sambil menunduk. Liz nampak ketakutan, napasnya memburu. Dominic perlahan
membuka pintu, blaster digenggamnya erat. Mengembuskan napas, dengan sigap ia
keluar disambut tembakan dari Peter. Ia berhasil menghindar, bersembunyi di depan
mobil.

Dominic membalas tembakan Peter. Peter sembunyi di belakang mobilnya


mengeluarkan tangan dengan senjatanya, ia berhasil menembak tangan Peter.
Peter mengerang kesakitan. Blaster dipindahkan ke tangan kirinya, perlahan
bergerak mendekati Dominic dari sisi samping mobil.

Dominic terkecoh tak melihat pergerakan Peter, pendangannya tetap pada sisi
belakang mobil Peter sementara Peter sudah berada di sisi kanan depan mobilnya.
Peter menembak Dominic tepat di kepalanya. Ia menghampiri jasad Dominic,
dengan jarinya ia membuka kelopak mata Dominic mencari nomor serial di bawah
matanya apabila ia ternyata replikan juga. Namun Dominic bukan replikan, Peter
tidak menemukan nomor serialnya.

Liz masih merunduk, bersembunyi di jok mobil. Peter menghampirinya, ia mengetuk-


ngetuk kaca jok Liz. “Keluarlah, Liz. Aku akan berdiskusi denganmu sebentar.”

Liz menimbang-nimbang, percuma saja bila ia meringkuk seperti ini, bantuan takkan
datang. Di tengah lapangan luas seperti ini hanya ada mereka berdua. Liz perlahan
membuka pintu, lalu menendang Peter yang berdiri di hadapannya. Peter tersungkur
ke tanah yang becek. Liz berlari di tengah lapangan yang tergenang air, terengah-
engah menghindari Peter yang masih tersungkur.

Peter melihat gadis itu terus berlari menjauhinya. Ia membidik Liz dari kejauhan,
peluru melesat lalu menembus punggung Liz diiringi letusan pesta kembang api
yang baru dimulai. Ia tersungkur. Gaun tipis berwarna kuningnya ternodai darah
merah dan lumpur. Dengan punggung yang bercucuran darah, ia masih berusaha
bangkit dan berlari lagi. Namun Peter melepaskan tembakan keduanya. Peluru
mengenai punggung kirinya. Badannya terpelanting, Liz tersungkur lagi.

Liz menangis sejadi-jadinya, ia melentangkan tubuhnya. Kembang api begitu indah


dipandang oleh kedua bola matanya yang indah. Mulutnya memuntahkan darah.
Pandangannya mulai gelap, suara letusan kembang api yang masih berlangsung tak
lagi didengarnya.

Aaron memutuskan memasang organ emosi nomor 72, ia ingin berdamai dengan
kesepiannya. Suara letusan kembang api di luar menembus dinding apartemennya.
Kelabatan cahaya merah, kuning dan biru yang dihasilkan kembang api itu membias
di wajahnya. Sebelum memasang organ emosi, ia mengambil sebuah vinyl yang
disimpan di samping televisi, memasangkannya di turntable. Suasana damai dari
alunan instrumen Mozart yang berkumandang di ruangan itu membuainya. Ia
kembali duduk bersandar, meraih organ emosi Penfield dan memasang nomor 72. Ia
sudah merasa damai.

Perangkat panggilan videonya berdering, Peter menghubunginya. Ia tak


menghiraukan itu. Matanya perlahan memejam dan tersenyum puas. Kini giliran
ponselnya berdering, Peter menelponnya. Ia tak menyadari itu. Ponselnya berdering
lagi, Peter mengirimkan pesan teks singkat.

Selamat tahun baru. Mulailah dengan kehidupan baru. Aku sudah mengakhirinya,
dan itu tidak mudah. Wallace tak akan memedulikannya lagi. Ia masih akan terus
memproduksi Nexus baru, Nexus 9 yang mungkin akan bekerja di kepolisian juga.
Oh ya, mereka juga akan merilis produknya yang terbaru awal tahun ini. Joi. Gadis
virtual yang bisa menemanimu, menggantikan Lizzie. Jangan terlalu menyayangi
replikan. Mereka berbahaya. Sekali lagi, selamat tahun baru.

EPILOG

Wallace Corporation sukses mengembangkan replikan Nexus 9. Mereka sama


persis seperti manusia pada umumnya, tetapi tidak bisa berkembang biak. Beberapa
Nexus 9 diperbolehkan bekerja sesuai apa yang diinginkannya. Beberapa lagi masih
dioperasikan sebagai pekerja kontrak yang disewa oleh manusia. Tak hanya
pengembangan Nexus, Wallace juga telah meluncurkan wanita hologram bernama
Joi menggantikan replikan Nexus 8 yang sudah lama menjadi pendamping hidup
manusia pria dewasa.

Joi sangat digandrungi para pria kesepian seperti Aaron. Peter yang masih
berteman dengannya terus menerus merekomendasikannya. Namun Aaron enggan
berpaling menggunakan Joi. Ia merindukan kekasih yang bisa disentuhnya, tidak
seperti Joi yang terbatas hanya bisa digunakan di dalam ruangan secara virtual.

TAMAT.

Anda mungkin juga menyukai