Anda di halaman 1dari 8

WIS KESEL DADI WONG WARAS

Claresta Prima Eliyan

Setiap kali Jenar mengatakan “Ya Allah”, sebenarnya setiap kali itu juga dia ragu apaka
h “Ya Allah” itu punya makna atau hanya kata selingan seperti “lho”, “kan”, dan “wek”
yang bahkan ketiganya tadi punya kekuatan untuk mendukung maksud pokok, tidak sep
erti “Ya Allah” yang abstrak. Sekarang, kenapa dia mengatakan “Ya Allah” itu? Di hidu
pnya yang semakin lama semakin sulit, kadang kali terlintas di benak Jenar untuk jadi at
eis. Biarkan saja bapak ibunya mengamuk. Jadi, istilahnya ini semacam acara untuk bal
as dendam kepada Tuhan.

Tempo hari, tidak ada hujan, tidak ada petir, tiba-tiba datang surat tagihan dari b
ank. Katanya Jenar sudah lama menunggak utang dengan jumlah cukup besar. Setidakn
ya untuk ukuran laki-laki itu yang masih pegawai baru. Jenar tidak tahu apa yang terjadi
tapi data yang tertera pada berkas-berkas yang diberi bank adalah data miliknya asli. Te
ntu saja dia kemudian lapor polisi. Keadaan semakin lama semakin runyam. Temannya
bilang, kemungkinan paling masuk akal adalah bahwa ada orang lain yang memakai dat
a-data pribadi Jenar untuk melakukan pinjaman. Soal bagaimana orang itu melakukanny
a, Jenar tak mau memusingkan. Yang jelas mereka bajingan, keparat, dan calon penghu
ni neraka.

“Ya Allah,” gumam Jenar. Dia mengatakan “Ya Allah” lagi. Dia lupa beberapa
menit lalu sempat mengadakan konflik batin untuk menemukan arti ucapan itu. Juga ten
tang keinginan menjadi ateis. Dan sekiranya bagaimana mungkin Jenar masih percaya h
ukuman berupa neraka, ketika dia memutuskan hanya mempercayai sesuatu bila sesuatu
itu dapat dijangkau secara empirik? Jenar masih belum benar-benar serius ternyata.

“Ya Allah.” Lagi, Jenar mengucap demikian. Di balik meja kerjanya, pegawai 2
6 tahun itu mengusap muka. Layar komputer menyala tanpa arti. Oleh sebab dia lelaki, J
enar tak pernah dibolehkan menangis. Sekali saja tak pernah air matanya menetes kecua
li jika badannya sedang sakit atau ibunya yang sakit. Tapi sekarang dia benar-benar ingi
n menangis dan berteriak. Meski sudah lapor polisi, orang-orang bank sekali dua kali ter
us melayangkan panggilan ke nomor teleponnya.

Hatinya sudah lelah, kalau bisa mungkin lebih baik dia mati saja. Bisa jadi tidak
akan lebih baik, tapi setidaknya dia bisa berkelit dari semua urusan pelik ini. Mati adala
h cara paling murah, ketimbang dia pergi ke luar negeri, membuat identitas baru, menyu
ap polisi, melakukan operasi plastik atau bahkan membayar utang itu sendiri. Tapi kena
pa dia harus menggelontorkan uang untuk membayar apa yang tak pernah dia pinjam?

Tiba-tiba Jenar merasakan bahunya ditepuk. Dienyahkan olehnya kedua tangan


yang menutupi muka guna menengok siapa yang melakukan itu. Aryo, teman sekantor J
enar yang paling dekat sejak kali pertama dia masuk mengedikkan kedua alis kepadanya.

“Masih mikirin yang kemarin?” Aryo menarik kursi yang ada di sudut ruangan,
membawanya ke sebelah tempat duduk Jenar. “Mbok ya dilakoni kanggo ati legawa.1”

Buku jari Jenar mengetuk pelan meja. Matanya menghindari kontak dengan soso
k di sebelahnya, takut ketahuan kalau sedang ingin sesenggukan. “Gimana mau sabar…?
Aku nggak pernah ngapa-ngapain, tiba-tiba punya utang.”

“Namanya hidup juga kadang nggak adil,” balas Aryo.

“Halah!”

Teman Jenar itu lantas tertawa. Terdengar agak kecut. “Jangan dipikirin teruslah
Stres nanti! Nggak waras lama-lama.”

“Babah! Wong aku iki wis kesel dadi wong waras!2”

“Mau jadi orgil?”

“Selama nggak bikin pusing ya kenapa nggak?”

“Waduh.” Aryo mengusap-usap dahinya. Laki-laki dengan kulit sawo matang ter
sebut berhenti sejenak sebelum melanjutkan percakapan. “Butuh hiburan kamu ini.”

Jenar menghela napas dalam. Kata-kata Aryo terasa sangat tidak masuk akal. Bu
kannya hiburan, yang paling dibutuhkan Jenar saat ini adalah uang. Masa dia tidak paha

1
Dijalani saja dengan hati sabar. (Jawa)
2
Biarin! Orang aku ini sudah capek jadi orang waras! (Jawa)
m? Jenar sejujurnya tidak ingin bersikap dingin pada Aryo, apalagi sejak dia adalah tem
an yang paling dekat. Namun saat ini Jenar sedang kesal bukan main. Kalap. Marah. Jen
gkel. Seperti tidak ada yang bisa dia lakukan selain menahan didihan darah yang dia tid
ak yakin sampai kapan akan mampu. Sewaktu-waktu, tidak mustahil kepalanya meledak
pecah.

“Malam kamu ke mana, Nar?” Aryo membuka pembicaraan lagi.

“Kuburan,” jawab Jenar singkat.

“Lah, dalah! Wes, kamu ikut aku ae nanti!”

Jenar mengernyit. “Ke mana? ngapain juga?”

“Ngepet!” Aryo bangkit dari kursi, membenahi celana yang sedikit kusut. “Butu
h duit kan?”

“Peh, ora nggenah blas3 kamu ini, Yo, Yo!”

******

Jenar kadang-kadang berpikir tentang arti namanya. Hasan Miftah Jenar. Bagian Miftah
nya nampak seperti nama perempuan bagi dia. Ibunya dulu sering bilang, itu nama oran
g-orang yang hebat agama. Mulia juga. Apalagi Jenar nama seorang sufi, kata ibunya w
aktu itu. Tapi toh buat Jenar, tetap saja akhirnya sang sufi mati karena dihukum. Artinya
dia tetap manusia biasa yang di mata beberapa orang ada salahnya.

“Ayo, Nar!” Aryo berdiri di depan meja kerja Jenar, memasukkan kedua lengan
nya ke dalam jaket. “Wayahe, wayahe.4”

Jenar lantas membereskan beberapa berkas yang masih tersisa di atas meja, mele
takannya dalam satu lampiran, dan menyimpannya di laci. Wajah laki-laki itu sangat dat
ar. Jenar tak mau tersenyum, tak mau pula merengut. Beberapa wanita pernah bilang me
reka menyukai Jenar justru karena mimiknya yang begitu. Jenar lebih rupawan bila sika
pnya dingin. Kendati demikian, Jenar tak pernah menggubris mereka sampai saat ini.

“Nesu ae5 kamu ini!” kata Aryo sembari menepuk-nepuk punggung Jenar.

3
Duh, nggak benar banget… (Jawa)
4
Waktunya, waktunya. (Jawa)
5
Merajuk saja… (Jawa)
“Bah!6”

Kedua pria tersebut lantas berjalan keluar kantor menuju parkiran. Setelah adzan
maghrib, langit berlarut-larut menggelap. Biasanya Jenar tak melewatkan waktu sholat y
ang rakaatnya sedikit. Tetapi hari ini beda. Jenar dengan sengaja melewatkan ibadah kar
ena sedang marah pada Yang Disembah itu. Masa bodoh, pikirnya. Kali ini, mungkin di
a akan benar-benar ngepet lalu membuat pesugihan.

Bunyi knalpot motor Aryo dan Jenar menderu beradu di tengah jalan raya. Masi
h tersisa sedikit jingga matahari di angkasa. Udara yang harusnya mulai dingin juga mas
ih terasa hangat di punggung tangan Jenar. Padahal jalanan tidak sedang ramai maupun
macet. Malah, sangat lowong. Sangat aneh karena keadaan tidak bersikap sebagaimana i
a wajarnya bersikap.

Setelah melewati beberapa tikungan, Aryo menuntun Jenar berhenti di mulut seb
uah gang kecil. Tempat itu jauh lebih gelap dibanding tempat-tempat di sebelahnya. Ha
nya ada beberapa lampu gantung yang cahayanya sudah pudar. Remang-remang. Satu di
antaranya menyala-redup, tanda sudah harus diganti.

“Ini namanya lampu disko proletarian.” Aryo berseloroh seraya menunjuk lampu
yang menyala-redup itu.

“Tempat apa ini?” tanya Jenar. Hatinya merasa tidak enak. Selain kurang cahaya,
tempat ini juga diseliweri bau menyengat parfum.

“Sudah, ayo masuk aja…!” tukas Aryo tanpa ada niatan menjawab pertanyaan Je
nar.

Mereka melangkahkan kaki lebih dalam menuju gang. Betapa terkejutnya Jenar
setelah gang kecil itu habis dilewati. Bangunan-bangunan wisma berjejer menampilkan
wanita-wanita dengan pakaian serba pendek di balik dinding kaca. Dandanan mereka sa
ngat mencolok. Bibir merah menyala adalah satu yang sama dari semua wanita di sana.

“Cuk7, raimu lapo nggowo aku mrene?!8” umpat Jenar. Alisnya tertaut satu sam
a lain.

6
Biar! (Jawa)
7
Penggalan ‘Jancuk’ (bersetubuh); umpatan dalam jejawaan.
8
…kamu kenapa bawa aku ke sini? (Jawa)
Aryo mengangkat kedua tangannya. “Kamu tuh butuh hiburan. Sekali-sekali jaja
nlah. Segerin diri. Jangan nesu terus.”

“Tapi nggak di sini juga!” Jenar makin naik pitam. Seumur hidupnya, dia tak per
nah berpikir untuk menginjakkan kaki di tanah pelacuran. Sangat menjijikkan baginya.

“Terus di mana?” Aryo masih menunjukkan wajah santai.

“Pokoke nggak nang kene!9” Jenar berpaling. Laki-laki itu bergegas meninggalk
an sang teman yang masih berdiri di tempat.

“Nar! Jenar!” Aryo berteriak memanggil. Tetapi Jenar tidak mengindahkan. Jena
r pergi, memacu motornya membelah jalan raya lagi.

******

Di atas motor, Jenar merenungkan apa yang baru saja terjadi. Tak pernah sekalipun terli
ntas di benaknya Aryo akan membawanya ke tempat seperti itu. Bagaimana mungkin?!
Tadi pagi Aryo menyuruh Jenar untuk tetap jadi orang waras, padahal sesungguhnya te
mannya itu sudah lebih dulu gila.

Di balik helmnya, Jenar mengomat-ngamitkan mulut tidak jelas. Mengumpat, m


eracau, tapi juga sedikit-sedikit istigfar. Bukannya rileks, setelah ulah Aryo tadi Jenar m
alah semakin frustrasi. Ketika dia melintas di suatu kampung, mata Jenar mendapati seb
uah surau. Waktu maghrib sudah habis sejak tadi. Isya’ pun sudah lewat satu jam.

“Tapi tak apalah. Daripada tidak sama sekali,” gumam Jenar. Dia merasa gagal.
Baik untuk menjadi orang baik, maupun menjadi orang buruk. Laki-laki itu lantas mem
acu motor mendekat ke muka surau. Lupakan saja keinginan jadi ateis. Di hari-hari sebe
lum hari ini, Jenar tak pernah absen untuk sholat.

******

Hari yang sangat melelahkan. Malam ini bulan purnama. Tidak terlalu tajam warnanya.
Kuning puyeh. Awan-awan berjalan tipis selayaknya kabut di atas gunung. Dua-tiga bu
nyi serangga menghindarkan suasana dari kesepian hakiki. Dahan bergoyang. Ranting
melambai-lambai meski tak mengucapkan selamat tinggal.

9
Pokoknya nggak di sini! (Jawa)
Jenar mengehela napas. Laki-laki dengan balutan kemeja biru itu masih berdiam
diri dalam surau. Hidupnya sudah mulai harus direnungi dan direnungi. Alangkah lebih
bagus bila dia merenung setiap hari, ingat mati dan berdoa 24 jam. Dengan begitu, dia ti
dak akan berpapasan dengan kesusahan. Tidak usahlah pergi bekerja, menengok dunia l
uar yang hanya menawarkan duri.

Tiba-tiba Jenar mendengar suara tangisan. Di sebelah tempat salat untuk laki-lak
i, terdapat pembatas yang agak besar. Dari balik pembatas itulah suara tadi bermuara. Je
nar mengernyitkan dahi. Seingatnya tadi tidak ada siapa-siapa di sini. Lalu suara apa itu?
Hantu? Setan?

“Kalau benar, berarti setan ini sudah sangat terkutuk.” Jenar bangkit. Dia berjinj
it, melongokkan kepala melewati puncak pembatas yang untungnya hanya mencapai pel
ipis. Didapati oleh lelaki itu seorang perempuan berbungkus mukena putih tengah sesen
ggukan dengan segala sedu-sedannya. Jenar bisa melihat mata si perempuan yang agak
bengkak. Hidungnya pun memerah seperti orang yang terkena pilek.

Jenar tak berkata apa-apa. Dia cuma diam memandangi perempuan tersebut. Beb
erapa saat, yang dipandangi menoleh, membalas tatapan Jenar.

“Apa lihat-lihat?” seru si perempuan ketus. Kendati begitu, suaranya lemah seka
li.

“Kenapa kamu nangis?” Jenar menjawab dengan pertanyaan. Lelaki itu masih be
rjinjit. Entah sampai kapan dia akan betah.

“Tidak apa-apa.” Yang diajak bicara mengusap air mata. “Cuma sudah lelah hid
up.”

Mata Jenar terbuka penuh seusai mendengar tuturan tersebut. Jadi, di dunia ini te
rnyata bukan hanya dia yang lelah hidup. Lelah jadi orang yang berpikir dan mengguna
kan pikiran. Perempuan di depannya ini juga. Kira-kira ada berapa lagi orang yang puny
a persepsi seperti mereka?

Tidak ada balasan dari mulut Jenar selepas jawaban tadi. Jenar hanya memandan
gi sosok di hadapannya dengan taat. Cantik sekali perempuan itu. Kulitnya putih bersih
seperti air susu dan kemerah-merahan di kedua pipi. Alisnya tipis sangat simetris. Seum
ur-umur Jenar belum pernah menemui gadis yang cantiknya seperti dia di dunia nyata. P
aling-paling, Jenar melihat gadis-gadis putih itu dari layar televisi atau ponsel.

“Pernikahan aku gagal.” Si perempuan meneruskan penjelasan tanpa diminta. M


ata Jenar yang penuh terbuka kini makin membelalak. Bibirnya mengatup rapat. Bukan
alasan yang telah diungkapkan yang membuat Jenar demikian, tapi keberanian gadis itu:
yang bicara sangat santai pada seseorang dari antah berantah seolah dirinya tak punya ra
hasia untuk dilindungi.

“Kenapa?” Jenar bertanya lagi. Rasa menyesal dan takut dipandang bodoh meng
gedor-gedor dadanya selepas kata tanya itu berakhir. Kenapa dia tanya ‘kenapa’?

“Memang bukan jodohnya,” jawab si perempuan. “Dia selingkuh.”

“Tapi kamu cantik.” Lagi-lagi mulut Jenar bertindak di luar kendali. Sepersekian
detik, tidak ada pilihan lain selain melanjutkan ketidaktaatannya pada otak itu bila tak in
gin malu. “Apa benar-benar bisa diselingkuhi?”

Lawan bicara Jenar tergelak kecil. “Cantik itu bukan jaminan.”

Kekesalan yang menghuni jiwa Jenar beberapa jam lalu sekonyong-konyong hil
ang. Pergi entah ke mana. Mendengar tutur perempuan itu sedikit membuat hati Jenar le
ga. Jenar tidak mau menyebut dirinya bahagia di atas penderitaan orang lain, tapi sungg
uh, bertemu orang yang sama-sama sedang sedih itu seperti berbagi kesedihan. Setidakn
ya Jenar tahu bahwa yang merasa dirugikan takdir Tuhan itu bukan cuma dirinya.

Perempuan bermukena putih itu menangis lagi setelah sempat tergelak. Kali ini l
ebih halus. Sungguh menyayat hati menyadari bahwa tangisan itu hadir karena suatu hal
konyol: perselingkuhan. Padahal dia sangat cantik. Cantik sekali. Seharusnya tidak mun
gkin ada laki-laki yang membuang gadis cantik seperti dia.

Melihat ironi yang terpampang di hadapannya membuat Jenar berpikir sekelebat.


Selama ini ada banyak hal baik yang menimpanya, tidak hanya hal buruk. Tapi kenapa h
anya pada saat tidak beruntung, Jenar mengumpat-umpat? Sekalipun sembahyang lima
waktu, Jenar pikir dirinya tidak benar-benar selalu bersyukur dengan apa yang telah terj
adi dan dimiliki.
“ Kadang-kadang aku pengen jadi ateis. Tapi betapa pun seringnya keinginan itu
muncul, tetap saja aku kembali ke tempat ini.”

Jenar terkejut. “Hah?!”

“Padahal aku wis kesel dadi wong waras.”

** SELESAI **

Anda mungkin juga menyukai