Anda di halaman 1dari 9

Back To Nature

Oleh : Saskia Resti Nur’aini

“Banyak banget sih tugasnya, huh! Emangnya ngerjainnya ga dipikir


dulu apa?! Ish…” gerutu seorang bocah laki laki umur 9 tahun diatas
flying skateboard nya. Mulut kecilnya berkomat kamit dan sesekali
menghentakkan kakinya kesal.

Beep..beep..

Terdengar suara alarm pengingat dari jam tangannya. Anak kecil itu
melirik kearah sumber suara tersebut yang ternyata adalah alarm
pengingat cuaca di sore hari ini. Kemudian terdengar suara perempuan
yang menjelaskan dengan nada seperti layaknya robot.

“Cuaca sore hari ini cerah berangin dengan suhu 24⁰ C dan kecepatan
angin 20 km/jam. Pakailah pakaian hangat dan selamat menikmati sore
hari”

Setelah mendengar itu, anak kecil bernma Damian itu nampak berfikir,

“Hari ini capek banget rasanya, apa aku ke taman dulu ya?”

Tepat setelah ia mengatakan itu, angin tiba tiba mulai berhembus.


Langit yang semula cerah, kini tergantikan dengan awan yang sangat
banyak dengan angin yang berhembus lumayan kencang.

“Tori, apa kamu mau mampir ke taman sebentar?” tanyanya kepada


robot anjing yang selalu menemaninya kemanapun itu.

Robot anjing bernama Tori itu hanya mengangguk sambil terus


memeluk kaki sang majikan, takut jika ia terbang terbawa angin.

Setelah sampai di salah satu taman di kotanya, Damian turun dari flying
skateboard dan memasukkannya ke dalam tas biru yang sedari tadi
disandangnya. Ia duduk di sebuah kursi taman ditemani Tori, robot
anjingnya.

Pip..

Damian memencet tombol yang menyerupai kancing di bajunya.


Seketika baju kemeja putih khas anak sekolahnya itu telah dilapisi jaket
yang berwarna sama.

Ia memandangi lingkungan sekitarnya. Angin yang berhembus lumayan


kencang membuat pohon dan rumput rumput hologram di sekitarnya
bergerak. Hologram? Ya, Damian ini hidup di tahun 2100. Disebuah
kota bernama Neopolitran City, kota modern dengan hampir 80%
menggunakan teknologi super canggih, semua serba buatan manusia.
Cuaca, oksigen dan alam semua buatan manusia. Tinggal pencet-pencet
saja, begitu kata Nenek Dami. Dami? Ya, Dami adalah nama panggilan
kesayangan dari Neneknya, walaupun sebenarnya ia lebih suka
dipanggil `Dam` saja, biar lebih keren katanya.

Ngomong ngomong soal Neneknya, Damian jadi teringat kepada


Neneknya itu. Nenek Damian sudah meninggal 2 tahun yang lalu.
Damian sangat menyayangi Neneknya itu, dulu saat Neneknya masih
hidup, beliau sering bercerita banyak hal kepada Damian. Mulai dari
dongeng dongeng hingga cerita pengalaman semasa hidup Neneknya.

Cerita yang paling ia ingat adalah tentang pengalaman Neneknya yang


merasakan pergantian zaman, dari zaman analog ke zaman sekarang
yang serba digital.

Flashback

“Dami.. makan dulu. Nanti dilanjut lagi makannya” seru seorang wanita
paruh baya dari meja makan.

“Ihhh Nenek.. jangan panggil Dami Dami lagi dong! Nanti kalau di
dengar teman teman kan Dam malu” protes seorang bocah laki laki. Ia
menuju ke meja makan dengan bibir cemberut.
“Iya Dami..”

“Tuh kan, Nenek…” rengeknya lagi

Neneknya hanya terkekeh gemas melihat kelakuan cucu laki lakinya itu.
Walaupun cemberut, cucunya itu terus menyuap makanan yang ia buat
ke dalam mulutnya.

“Hari ini cucu Nenek yang tampan ini mau diceritakan apa?” ini adalah
kebiasaan Damian yang ingin mendengarkan cerita selama ia sarapan.

Mendengar kata cerita, Damian langsung menoleh cepat kearah


Neneknya dengan mata berbinar.

“Ceritain tentang Nenek dulu. Kan kemarin Nenek udah janji mau
cerita” jawabnya cepat

“Oke oke, Nenek akan cerita” Nenek Damian menjeda kalimatnya


sebentar umtuk mengingat-ingat masa lalunya dulu sekaligus merangkai
kata yang tepat agar ceritanya mudah dimengerti oleh cucunya yang
masih berumur 4 tahun itu.

“Nenek lahir di tahun 2030, waktu itu kota ini belum seperti ini. Pohon
pohonnya masih banyak dan alami, udaranya benar-benar masih terasa
menyegarkan. Dulu, waktu Nenek masih seumuran kamu, Nenek dan
teman-teman Nenek senang bermain di bawah pohon besar yang ada di
atas bukit di kota ini. Pohonnya sangat besar dan rindang. Pokoknya
benar-benar nyaman saat kita berada di bawah pohon tersebut. Tapi,
disaat Nenek berumur 10 tahun, perubahan besar-besaran terjadi di
seluruh dunia. Setiap kota di dunia ini berlomba-lomba untuk
menjadikan kotanya lebih maju. Manusia berlomba-lomba menciptakan
penemuan-penemuan digital baru untuk menggantikan semua yang ada
di alam. Semua pohon-pohon dan segala yang ada di alam dihapuskan.
Digantikan oleh buatan-buatan mereka. Sampai oksigen dan cuaca pun
mereka buat sendiri. Kalau dulu manusia harus berusaha terlebih dahulu
buat mendapatkan sesuatu, kalau sekarang kan tinggal pencet-pencet
saja” Nenek Damian menceritakan secara singkat kehidupannya dulu.

“Kalau pohon yang sangat besar itu, sudah ditebang juga ya Nek?”
Tanya Damian

“Setau Nenek pohon itu tetap dibiarkan, karena sangat besar dan
letaknya pun ada di atas bukit” jawab Neneknya.

“Wahhh, Dam pengen banget ngerasain pegang pohon. Ga kayak


sekarang yang kalau pohonnya dipegang malah tembus” ucap Damian
manyun.

“Iyaaa.. nanti kita sama sama ya pegang pohon betulannya” ucap Nenek
Damian sambil mengelus kepala cucunya.

Flashback End

Damian menghembuskan nafas beratnya saat memori bersama


Neneknya kembali terputar.

“Gimana ya rasanya hidup di zaman Nenek? Pengen banget pegang


pohon betulan dan menghirup oksigen yang benar-benar alami”
gumamnya.

“Sekarang masih ada gak ya pohon besar yang Nenek bilang? Jadi
penasaran gimana bentuknya. Apa aku tanya ke Ayah aja? Ayah kan
pemimpin kota ini, pasti tau tentang pohon besar itu”

Sesampainya di rumah, ia langsung menuju ke ruang kerja Ayahnya. Ia


berniat untuk menanyakan pohon besar itu kepada Ayahnya.

“Ayah” panggil Damian

“Ada apa Dam?” Tanya Ayahnya yang sedang sibuk dengan layar
tembus pandang di tangannya.
“Ayah tau tentang pohon besar di kota ini?” Tanya Damian

“Kenapa kamu tanya soal pohon itu?” Ayah Damian mengalihkan


pandangannya kearah Damian

“Dam pengen tau gimana rasanya ada di dekat pohon itu, Yah. Pasti
udaranya lebih alami” jawab Damian

“Damian, untuk apa kamu memikirkan hal yang tidak berguna seperti
itu. Kita sudah punya semuanya, bahkan oksigen yang kota ini buat
adalah yang terbaik di seluruh dunia. Tidak usah membuang-buang
waktumu untuk hal yang tidak penting seperti itu. Cepat kembali ke
kamarmu”

Tanpa berkata kata Damian keluar dari ruang kerja Ayahnya dan masuk
ke dalam kamarnya. Namun, entah mengapa ia masih memikirkan
pohon besar itu. Ia memutuskan untuk memberi tahu 2 teman dekatnya
tentang pohon itu. Dan respon dari kedua temannya sangat positif.
Mereka juga ingin melihat pohon asli dan berjanji akan membantu
Damian menemukan pohon besar itu.

Keesokan harinya saat sekolahnya libur, Damian, Wino, Caterina dan


robot anjingnya berangkat menuju bukit tempat pohon besar itu berada
sejak pagi-pagi sekali. Berbekal cerita dari paman Wino, bukit tersebut
ternyata berada di paling ujung kota itu. Mereka berangkat
menggunakan flying skateboard masing masing. Namun, saat masih
ditengah perjalanan, handphone Caterina berbunyi. Ibu Caterina
mengabarkan tengah terjadi masalah di pusat kota. Mesin-mesin yang
seharusnya menyebarkan oksigen ke seluruh kota bocor dan malah
mengeluarkan gas-gas beracun. Ibu Caterina menyuruh mereka pulang,
karena takut jika gas beracun itu sudah menyebar.

“Dam, Win. Kita pulang aja ya. Ibuku bilang kita harus berada di rumah
supaya tetap mendapatkan oksigen” ajak Caterina

Wino mengiyakan ajakan Caterina, namun Damian hanya diam.


“Dam, kamu mau pulang juga kan? Situasi sekarang lagi ga baik buat
kita lama lama ada di luar ruangan” bujuk Caterina.

“Kalian duluan aja. Nanti aku nyusul kok” jawab Damian

“Beneran lho ya nanti nyusul” tanya Caterina dan diangguki cepat oleh
Damian.

Saat Caterina dan Wino berbalik, terlihat dari kejauhan asap putih pekat
yang telah memenuhi kota dan menuju kearah mereka.

“Wino, Caterina pasang masker oksigen kalian, gaada pilihan lain selain
ke atas bukit dan menemukan pohon besarnya” perintah Damian kepada
kedua temannya.

Wino dan Caterina yang sudah panik akhirnya menyetujui usul Damian
untuk melanjutkan perjalanan mereka.

Sesampainya di kaki bukit itu, mereka bertiga turun dari flying


skateboard masing masing. Mereka harus mendaki untuk mencapai
puncak, dikarenakan bukit yang tinggi dan flying skateboard mereka
tidak mampu jika harus terbang sampai ke atas.

“Kalian bedua kuat kan mendaki keatas? Kita juga harus cepat sampai
sebelum asap-asap itu sampai kesini” ucap Damian kepada kedua
temannya.

“Tapi Dam, apa kamu yakin kalau kita keatas bisa menemukan jalan
keluarnya? Asap-asap itu juga bisa sampai keatas lho, Dam” sanggah
Wino.

Damian terdiam, ia juga tidak tau mengapa dirinya se yakin itu ingin
keatas sana. Yang jelas hatinya berkata ia harus kesana.

“Kita ga akan tau ada apa diatas sana sebelum naik. Perasaanku bilang
kita harus naik keatas sana” jawab Damian.
“Tapi Dam, gimana kalau pohon itu udah mati? Sedangkan asap-asap itu
juga udah sampai keatas. Kita cuma punya masker oksigen dan itu pun
ga banyak Dam” Wino kembali menyanggah pernyataan Damian.

Robot anjing Damian yang bernama Tori menunjuk ke arah belakang


mereka. Mereka bertiga menengok ke belakang dan mendapati asap-
asap itu tinggal beberapa kilometer dari tempat mereka berdiri.

“Kalau kalian gamau ikut gapapa, aku juga ga maksa. Tapi, aku tetap
bakal keatas sana karena perasaanku berkata demikian” ucap Damian
sambil membawa Tori keatas pundaknya. Ia lalu berlari menyusuri
jalan setapak untuk menuju ke puncak bukit itu.

“Dam.. tungguuuu… kita ikutt” teriak Caterina sambil menarik tangan


Wino untuk mengejar Damian.

Perjalanan menuju ke atas puncak sangat berat bagi mereka bertiga. Di


sekeliling mereka oksigen kian menipis, sehingga mereka harus tetap
memakai masker oksigen. Medan yang terjal dan licin juga semakin
membuat mereka kelelahan. Saat akan menuju puncak, langit yang
semula cerah tiba-tiba berubah menjadi merah, kabut dimana-mana dan
yang lebih parahnya lagi penglihatan mereka menjadi terganggu. Mata
mereka cepat berair akibat asap dan gas beracun yang kian mendekat.

“Dam, gimana kalau kita ga selamat? Aku takut banget Dam” ucap
Caterina yang sudah hampir menangis

“Aku yakin kita bias selamat, percepat langkah kalian. Dikit lagi kita
sampai” walaupun ia juga panik dan takut, Damian tidak ingin membuat
kedua temannya bertambah panik.

Setelah menempuh perjalanan yang sangat menyiksa, mereka akhirnya


tiba di puncak bukit. Namun, bukannya melihat pohon rindang seperti
apa yang Damian harapkan, mereka malah mendapati pohon besar itu
kering. Semua daun-daun sudah meranggas dan hanya tersisa ranting
yang sudah kering .
Damian hanya terdiam di tempatnya berdiri, ia tidak menyangka hal ini
akan terjadi.

“Ga mungkin.. harusnya ga kayak gini” Damian berlutut di depan pohon


besar itu dengan air mata yang sudah membasahi pipinya

Langit yang sudah merah berubah menjadi merah pekat, kabut dimana-
mana, dan tanah buatan manusia itu perlahan retak. Asap dan gas-gas
beracun pun kini tinggal beberapa langkah lagi mendekati mereka.

“Pohon, bantu aku untuk mengakhiri ini semua. Kami, para manusia
telah membuat kesalahan yang sangat besar dengan menggantikan alam
dengan buatan kami. kami minta maaf, kami minta maaf sebesar
besarnya. Kami janji tidak akan mengganggu alam dan membiarkan
alam sebagaimana mestinya” dengan tersedu-sedu Damian mengatakan
itu sambil menutup mata dan membungkukkan badannya.
Dibelakangnya, kedua temannya dan Tori juga menunduk memohon
pengampunan kepada alam.

Tiba tiba ranting ranting pohon besar itu menumbuhkan daun, sedikit
demi sedikit dan akhirnya lebat. Tak lama, pohon tersebut memancarkan
cahaya sangat terang sehingga menyinari seluruh kota. Dan langit pun
kembali cerah seperti sedia kala dengan sinar matahari yang memancar
langsung. Tanah yang semula retak kembali seperti dulu bahkan
ditumbuhi rumput. Gas-gas beracun yang semula memenuhi kota kini
lenyap. Pohon pohon yang rindang mulai bermunculan di bukit itu,
bahkan di seluruh kota. Mesin mesin yang diciptakan manusia kini rata
dengan tanah. Sekarang hanya oksigen alami yang memenuhi seluruh
kota.

-selesai-
Biodata

Hai nama saya Saskia Resti Nur’aini, biasa dipanggil Resti. Lahir di
Kelapa Kampit, 6 Juni 2006. Sekarang saya tinggal di Jalan Merdeka,
Desa Senyubuk. Saat ini saya bersekolah di SMAN 1 Kelapa kampit,
tepatnya duduk di bangku kelas X IPA 1. Saya suka membaca,
menonton, dan mendengarkan lagu. Saya bercita-cita menjadi guru atau
penulis. Saya aktif di media sosial yaitu instagram (@saskiares_).

Anda mungkin juga menyukai